Anda di halaman 1dari 40

HUBUNGAN SENSATION SEEKING DENGAN FEAR OF MISSING OUT

PADA MAHASISWA PENGGUNA SMARTPHONE

DI UNIVERSITAS X DI BANDAR LAMPUNG

(Proposal Skripsi)

Oleh:

Reza Ramadhan
16030012

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2021
0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu perkembangan komunikasi dan teknologi yang berpengaruh

pada umat manusia saat ini dan telah menjadi bagian terbesar dalam

kehidupan seorang individu adalah internet. Hal ini dapat terbukti dengan

banyaknya individu yang tidak dapat hidup tanpa internet dan selalu

memeriksa gadget sejak bangun tidur hingga tidur lagi.

Minat masyarakat yang antusias terhadap kehadiran smartphone bukan

tidak beralasan. Berdasarkan data riset yang dirilis oleh Erricson Mobile

Phone yang menulis tentang Erricson Mobility Report menunjukan bahwa

75% dari semua perangkat mobile yang terjual di kuartal pertama 2015

merupakan perangkat ponsel pintar (smartphone). Naik 10% dari periode

yang sama di tahun lalu. Hingga tahun 2020, jumlah penggunna smartphone

diprediksi akan mencapai 6.1 miliar di seluruh dunia. (selular.id/ diakses

tanggal 21 Oktober 2020)

Penggunaan smartphone di Indonesia dipredikasi akan terus meningkat.

Pada 2015, hanya terdapat 28.6% populasi di Indonesia yang menggunakan

gawai tersebut. Lebih dari setengah populasi di Indonesia atau 56.2% telah

menggunakan smartphone pada 2018. Setahun setelahnya yaitu tahun 2019

1
sebanyak 63.3% masyarakat Indonesia menggunakan smartphone

(https://databoks.katadata.co.id/ di akses 21 oktober 2020).

Pada tingkat mahasiswa mereka dapat memanfaatkan berbagai aplikasi

dan website untuk mengakses berbagai informasi berupa artikel, tulisan,

gambar, dan video terkait dengan kebutuhan pemggunanya.

Keanekaragaman informasi inilah yang menyebabkan individu tahan

berlama-lama berada di depan komputer. Selain itu, perangkat yang

digunakan untuk mengakses internet tidak hanya terbatas komputer atau

laptop saja, melainkan juga dapat diakses melalui smartphone. Internet yang

diakses melalui smartphone jauh lebih praktis karena bisa dibawa kemana

saja dan dapat diakses kapan saja.

Farah & Darwis, (2020) pada penelitiannya menyebutkan “Pemanfaatan

teknologi sebagai sarana penunjang untuk kebutuhan belajar online (virtual)

maka telah menciptakan sisi efektivitas dari segi efisiensi waktu, jarak, dan

tempat. Di sisi lain ada pula dampak yang kurang baik dari adanya

pembelajaran online seperti kecenderungan mahasiswa yang malah

konsumtif terhadap akses internet. Sehingga dikhawatirkan akan terbentuk

permasalahan baru, dimana model interaksi dan komunikasi menjadi kurang

begitu intens”. Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa

selain ada dampak positif dari pemanfaatan teknologi untuk kebutuhan

belajar, ada dampak yang kurang baik dari pembelajaran daring (online) yaitu

mahasiswa lebih konsumtif terhadap akses internet sehingga terbentuknya

2
permasalahan baru yang berpengaruh pada gaya interaksi dan komunikasi

akibat berkurangnya intesitas pada hal tersebut.

Menurut Cummiskey, (2013) Smartphone merupakan perangkat

teknologi komunikasi canggih yang mampu untuk berkomunikasi secara

langsung maupun tidak langsung. Smartphone tidak hanya sebagai alat

komunikasi saja akan tetapi smartphone juga dapat mengakses internet,

menyimpan data, bahkan mengirim pesan email.

Smartphone tidak hanya sekedar alat komunikasi, tetapi juga memiliki

fitur hiburan yang menarik seperti musik, video, game online maupun offline,

memotret dan mengirim gambar dan fasilitas mengakses internet. Hal inilah

yang membuat smartphone semakin banyak dimiliki orang terutama untuk

menunjang komunikasi. Selain karena kebutuhan komunikasi dan informasi

yang semakin penting, harga smartphone juga sudah sangat terjangkau bagi

masyarakat.

Di samping itu, penggunaan smartphone cenderung dapat berjam-jam.

Dalam sehari semalam 32.3% menggunakan perangkat smartphone selama

3-5 jam, sedangkan 25.8% rata-rata menggunakan smartphone lebih dari 7

jam. 22.6% menggunakannya di bawah 3 jam, dan 19.4% rata-rata

menggunakannya antara 5-7 jam (Surahman & Surjono, 2017). Fakta lainnya

dari lama waktu penggunaan smartphone tersebut diperoleh data bahwa

29% online sosial media (Surahman, 2015). Sehingga terjadi kecenderungan

penggunaan smartphone secara berlebihan.

3
APJII (2020) menyatakan hampir 197 juta atau 74% populasi Indonesia

menggunakan internet di tahun 2020. Jumlah tersebut naik 8.9%

dibandingkan 2019. Hal ini disebabkan pembelajaran daring yang harus

dilaksanakan bahkan oleh pelajar di daerah terpencil. APJII menyebut pada

kuartal kedua tahun 2019, pengguna internet Indonesia hanya 171,2 juta

atau sekitar 64.8% dari 267 juta penduduk Indonesia. Per-tanggal 2 Juni

sampai 25 Juni, APJII melakukan suveri dengan mewawancarai 7000

responden secara acak. Hasil surveinya menunjukan 1.27% margin of error

(batas kesalahan). Sebagian responden menghabiskan waktu lebih dari 8

jam sehari untuk mengakses media sosial, aplikasi chat, perbankan, hiburan

dan belanja online. Mayoritas mengatakan mereka paling sering

menggunakan konten pendidikan (ayobandung.com/ diakses 15 November

2020).

Penggunaan smartphone secara berlebihan dapat mempengaruhi

perkembangan psikologis manusia. Individu yang mengakses media sosial

selama dua jam atau lebih, beresiko mengalami kecemasan ketika

membandingkan diri dengan obyek yang dianggapnya ideal, misalkan teman

atau bahkan selebritis. Hal tersebut akan mendorong remaja untuk

membentuk harapan yang tidak realistis terkait kecantikan dan body image.

Akibat lainnya yakni kecenderungann remaja untuk memandang dirinya

sebagai seseorang yang kesepian dan depresi. Selain itu, remaja juga

berisiko mengalami cyberbullying, mengalami gangguan tidur serius baik

secara kualitas maupun kuantitas, dimaana itu merupakan hal penting yang

4
mendukung proses perkembangan yang sehat (Sklar, 2017). Penggunaan

media sosial dalam beberapa kasus turut berpengaruh di bidang akademik

dimana mahasiswa akan mengalami penurunan konsentrasi dalam proses

pembelajaran di kelas (Tomczyk & Elma, 2018).

Pada penelitian Dyah dkk, (2017) yang berjudul “Hubungan

Ketergantungan Smartphone Terhadap Kecemasan Pada Mahasiswa

Fakultas Diponegoro” dengan rata-rata usia responden adalah 20,41 tahun,

Pada penelitian tersebut diketahui memiliki 214 subjek dengan hasil 202

responden yang menggunakan smartphone kurang dari 4 jam sehari, dan

sisanya menggunakan smartphone diatas 4 jam sehari yaitu sebanyak 12

orang. Tingkat ketergantungan sedang pada responden perempuan

sebanyak 117 dan 14 orang responden mengalami ketergantungan tinggi,

sedangkan untuk laki-laki mayoritas mengalami ketergantungan sedang

sebanyak 36 orang dan 11 orang mengalami ketergantungan tinggi. Pada

tingkat kecemasan didapatkan mayoritas responden dengan ketergantungan

sedang mengalami kecemasan ringan sebesar 77.9% sedangkan responden

yang mengalami kecemasan sedang sebanyak 68.4%. Dan responden

dengan ketergantungan tinggi mengalami kecemasan ringan sebesar 11.5%

dan mengalami kecemasan sedang sebesar 26.3%. Berdasarkan penelitian

tersebut dapat diketahui bahwa mahasiswa sangat rentan terhadap

ketergantungan smartphone dengan tingkat kecemasan yang berbeda-beda

akibat dari ketergantungan tersebut.

5
Peneliti telah melakukan wawancara awal terhadap 17 mahasiswa

mengenai ketergantungan smartphone pada 30 November 2020. Survei

tersebut mendapatkan respon sebanyak 10 orang mengecek smartphone

setiap saat dan sebanyak 7 orang mengecek 3-4 kali dalam sehari, dengan

durasi waktu dalam sekali mengakses bervariasi antara 1-2 jam hingga ada

yang lebih dari 5 jam. Sebanyak 16 orang merasa terganggu ketika tidak

dapat menggunakan smartphone. Kebanyakan dari responden akan merasa

cemas ketika smartphone mereka kehabisan baterai, ketika tidak ada sinyal

paket data atau tidak dapat terkoneksi dengan internet. Selanjutnya

sebanyak 14 orang memiliki kecemasan tidak bisa berhubungan secara

instan dengan keluarga atau teman dan 11 responden akan merasa aneh

karena tidak tahu harus berbuat apa-apa ketika tidak ada smartphone.

Dampak lain yang dialami remaja dari aktivitas yang berlebihan dalam

menggunangakan smartphone ialah Fear of Missing Out (FoMo) (Sklar,

2017). FoMo merupakan kekhawatiran yang dialami seseorang bahwa orang

lain sedang melakukan aktivitas yang lebih menyenangkan daripada atau

tanpa dirinya, dimana perasaan tersebut dipicu oleh pembaharuan (update)

aktivitas orang lain melalui media sosial (Przybylski, Murayama, DeHaan &

Gladwell, 2013). Seperti yang telah diketahui bahwa penggunaan media

sosial saat ini telah menyebar keseluruh bagian kehidupan manusia, bahkan

hingga ranah paling pribadi sekalipun. Media sosial memungkinkan

seseorang dengan mudah mendapatkan kesempatan untuk memberi

6
sekaligus menerima informasi, dalam hal ini informasi mengenai aktivitas

sehari-hari (Abel, Cheryl & Sarah, 2016).

Pada dasarnya FoMo merupakan suatu kebutuhan individu untuk selalu

terhubung dengan aktivitas sosial orang lain. Perilaku tersebut tentu

didahului oleh motivasi atau dorongan tertentu sehingga dapat muncul

sebagai tindakan. Salah satu teori yang dapat menjelaskan motivasi pada

individu ialah Self Determination Theory (SDT). Kesehatan psikologis

didasarkan atas tiga kebutuhan dasar yakni kompetensi, otonomi, dan

keterhubungan dan FoMo dapat dipahami sebagai akibat dari kurangnya

pemuasan ketiga kebutuhan dasar tersebut (Song dkk, 2017).

Fear of missing out mengalami peningkatan seiring berkembangnya

media sosial yang pesat. Fenomena fear of missing out pada kalangan

mahasiswa dapat memberikan pengaruh buruk karena mereka cenderung

untuk selalu mengecek media sosialya untuk melihat apa saja yang

dilakukan teman-teman mereka sehingga rela mengabaikan aktivitasnya

sendiri. Perilaku tersebut pada akhirnya akan mengacu pada perilaku

kompulsif yang mengarah ke efek negatif. Subahtra, Nimisha, dan Hakeem

(2013) menyatakan bahwa kecanduan akan membuat seseorang merasa

terdorong untuk melakukan kegiatan tertentu berulang kali dan menjadi

kegiatan yang berbahaya, kemudian akan menganggu kegiatan penting

lainnya seperti bekerja dan kuliah.

Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Agusta (2016) tentang faktor-

faktor resiko kecanduan menggunakan smartphone, mengungkapkan bahwa

7
1) faktor internal merupakan faktor yang paling beresiko menyebabkan

kecanduan yang terdiri dari aspek kontrol diri yang rendah, sensation seeking

yang tinggi dan self-esteem yang rendah, 2) faktor situasional merupakan

faktor kedua yang beresiko, terdiri dari aspek tentang situasi psikologi

individu, 3) faktor eksternal merupakan faktor ketiga yang beresiko, terdiri

dari aspek tentang pemaparan media yang tinggi terhadap smartphone, 4)

faktor sosial merupakan faktor keempat yang beresiko, terdiri dari aspek

tentang interaksi sosial.

Pada rentang usia 18-24 tahun dalam strata pendidikan adalah individu

yang berada pada bangku perkuliahan yang mana termasuk dalam usia

dewasa awal yang artinya mereka berada dalam tahap perkembangan

remaja. Pada generasi yang di usia tersebut informasi dan teknologi adalah

hal yang sudah menjadi bagian kehidupan mereka, kemampuan dalam

menjalankan sosial media pada smartphone, browsing di Internet,

mendengarkan musik. Segala bentuk kegiatan yang dilakukan di smartphone

pada akhirnya akan memberikan kenyamanan dan kemudahan sehingga

apabila dilakukan secara berlebihan dapat menjadi masalah. Usia dewasa

awal ini merupakan usia individu dalam mencari jati diri, senang mencoba hal

dan pengalaman baru, serta mencoba berbagai hal menarik. Hal ini sesuai

dengan pengertian sensation seeking menurut Zuckerman sebagaimana

dikutip dalam Roberti (2003) adalah sebuah sifat yang ditandai oleh

kebutuhan berbagai macam sensasi dan pengalaman-pengalaman yang

baru, luar biasa dan kompleks, serta kesediaan untuk mengambil resiko, baik

8
secara fisik, sosial, hukum maupun finansial. Sander & Scherer (2009)

mengartikan bahwa sensation seeking didefinisikan sebagai kecenderungan

untuk menikmati dan mengejar kegiatan yang menarik serta memiliki

keterbukaan untuk mencoba pengalaman baru.

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa sensation seeking

merupakan sebuah kebutuhan akan berbagai macam sensasi serta

pengalaman-pengalaman baru dari sebuah aktivitas yang dilakukan secara

berulang-ulang sedangkan fear of missing out merupakan suatu kebutuhan

individu untuk selalu terhubung dengan aktivitas sosial orang lain yang

didahului oleh dorongan tertentu sehingga dapat muncul sebuah tindakan.

Sehinggga peneliti tertarik untuk meneliti hubungan sensation seeking

dengan fear of missing out pada mahasiswa.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat di identifikasikan bahwa

masalah utama yang muncul dalam penelitian ini adalah terkait sensation

seeking sebagai faktor seseorang memiliki kecendenderungan fear of

missing out. Untuk memperjelas ruang lingkup yang akan dibahas dan agar

penelitian dapat dilaksanakan secara fokus pada akar masalahnya, maka

permasalahan dalam penelitian ini dibatasi sebagai berikut: seperti yang

telah dipaparkan dalam latar belakang bahwa adanya hubungan sensation

seeking dengan fear of missing out, yang mana hal tersebut nantinya akan

berpengaruh pada gaya hidup dan gaya interaksi serta komunikasi pada

9
seseorang. Terkait dengan penelitian ini yaitu yang dijadikan tempat

penelitian adalah Universitas Muhammadiyah Lampung dan mahasiswa

sebagai subjeknya, sehingga akan dilihat sejauh mana hubungan sensation

seeking dengan fear of missing out pada mahasiswa.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang telah dijabarkan di atas, peneliti

merumuskan masalah yaitu apakah ada hubungan antara sensation seeking

dengan kecenderungan fear of missing out pada mahasiswa pengguna

smartphone di Universitas X di Bandar Lampung?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui hubungan antara

sensation seeking dengan kecenderungan fear of missing out pada

mahasiswa di Universitas X di Bandar Lampung.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu dalam bidang psikologi

terutama psikologi klinis yang berkaitan dengan sensation seeking dan

nomophobia.

2. Manfaat Praktis

10
a. Bagi mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat membantu

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Lampung khususnya

Fakultas Psikologi agar mampu mengelola penggunaan smartphone

agar tidak berlebihan.

b. Bagi perguruan tinggi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

rujukan acuan untuk diberikan kepada mahasiswa khusunya

mengenai dampak penggunaan smartphone yang berlebihan.

c. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan

informasi bagi pembaca dan dapat menyumbangkan ilmu yang positif

dalam bidang psikologi.

11
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Fear of Missing Out (FoMo)

1. Pengertian Fear of Missing out

Fear of missing out ini merupakan suatu teori yang didasarkan pada teori

self-determinant (Przyblylski et al, 2013; Menayes, 2016). Secara teoritis,

Przyblylski, Murayama, DeHaan dan Gladwell (2013) mendefinisikan Fear of

missing out merupakan ketakutan akan kehilangan momen berharga individu

atau kelompok lain dimana individu tersebut tidak dapat hadi didalamnya dan

ditandai dengan keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang orang

lain lakukan melalui internet atau dunia maya. Sedangkan menurut JWT

Intelligence (2011) fear of missing out merupakan ketakutan yang dirasakan

oleh seseorang bahwa orang lain mungkin sedang mengalami suatu hal atau

kejadian menyenangkan namun orang tersebut tidak ikut merasakan hal

tersebut.

Alt (2015) menjelaskan Fear of Missing out (FoMo) merupakan fenomena

dimana individu merasa ketakutan orang lain memperoleh pengalaman yang

menyenangkan namun tidak terlibat secara langsung sehingga

menyebabkan individu berusaha untuk tetap terhubung dengan apa yang

orang lain lakukan melalui media dan internet. Secara lebih sederhana,

12
FoMO dapat diartikan sebagai ketakutan ketinggalan hal-hal menarik diluar

sana dan atau takut dianggap tidak eksis dan up to date.

Menurut Przyblylski, Murayama, DeHaan dan Gladwell (2013)

menemukan beberapa fakta mengenai fear of missing out diantaranya

adalah merupakan kekuatan pendorong dibalik penggunaan internet dan

media sosal, tingkat fear of missing out tertinggi dialami oleh remaja dan

dewasa awal, rendahnya kepuasan dalam hidup dapat mendorong fear of

missing out yang tinggi dan fear missing out yang tinggi disebabkan karena

terlalu sering mengakses internet ketika sedang menjalani aktivitas yang

membutuhkan konsentrasi tinggi seperti mengemudi maupun sedang belajar

di dalam kelas.

Berdasarkamn uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa fear of

missing out adalah kondisi ketika seseorang merasa takut akan kehilangan

momen berharga ketika individu atau kelompok lain dimana seseorang

tersebut tidak dapat hadir didalamnya yang ditandai dengan keinginan untuk

tetap terus terhubung dengan apa yang orang lain lakukan melalui internet

atau sosial media.

2. Aspek – aspek Fear of Missing Out

Menurut Przyblyski, Murayama, DeHaan dan Gladwell (2013) rendahnya

level dari kebutuhan dasar psikologi tersebut yang berhubungan dengan fear

of missing out karena berdasarkan perspektif tersebut menganggap bahwa

fear of missing out sebagai keadaan situasional saat tidak terpenuhinya

13
kebutuhan psikologis pada self dan relatedness, maka aspek-aspek dari fear

of missing out menurut Przybylski, Murayama, DeHaan dan Gladwell (2013)

yaitu:

a. Tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis akan Relatedness

Relatedness (kedekatan atau keinginan untuk berhubungan dengan

orang lain) adalah kebutuhan seseorang untuk merasakan perasaan

tergabung, terhubung, dan kebersamaan dengan orang lain. Kondisi seperti

pertalian yang kuat, hangat dan peduli dapat memuaskan kebutuhan untuk

pertalian, sehingga individu merasa ingin memiliki kesempatan dalam

berinteraksi dengan orang-orang yang dianggap penting dan terus

mengembangkan kompetensi sosialnya. Dan apabila kebutuhan psikologis

akan relatedness tidak terpenuhi menyebabkan individu merasa cemas dan

mencoba mencari tahu pengalaman dan apa yang dilakukan orang lain,

salah satunya melalui internet.

b. Tidak terpenuhinya kebutuhan psikologi akan Self

Kebutuhan psikologis akan self (diri sendiri) berkaitan dengan

competence dan autonomy. Competence didefinisikan sebagai keinginan

yang melekat pada individu untuk merasa efektif dalam berinteraksi dengan

lingkungannya mencerminkan kebutuhan untuk melatih kemampuan dan

mencari tantangan yang optimal (Reeve & Sickenius, 1994). Kebutuhan

competence ini berkaitan dengan keyakinan individu untuk melakukan

tindakan atau perilaku tertentu secara efisien dan efektif. Rendahnya

kepuasan terhadap competence akan memungkinkan individu merasa

14
frustasi dan putus asa. Sementara autonomy adalah pengalaman

merasakan adanya pilihan, dukungan dan kemauan yang berkaitan dengan

memulai, memelihara dan mengakhiri keterlibatan perilaku (Niemic, Lynch,

Vansteenkistec, Bernstein, Deci & Ryan dalam Tekeng, 2015). Autonomy

bermakna bahwa individu bebas mengintegrasikan tindakan yang dijalankan

dengan diri sendiri tanpa terikat atau mendapat control dari orang lain

(individu adalah inisiatir dan sumber dari perilakunya).

Apabila Kebutuhan Psikologis akan self tidak terpenuhi, maka individu

akan menyalurkannya melalui internet untuk memperoleh berbagai macam

informasi dan berhubungan dengan orang lain. Hal tersebut akan

menyebabkan individu terus berusaha untuk mencari tahu apa yang sedang

terjadi pada orang lain melalui internet.

3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Fear of Missing Out (FoMO)

JWT Intelligence (2012) menyebutkan ada enam faktor pendorong yang

mempengaruhi munculnya FoMO, yaitu:

a. Keterbukaan informasi di media sosial

Media sosial, gadget dan fitur pemberitahuan lokasi sesungguhnya

menjadikan kehidupan saat ini semakin terbuka dengan cara memamerkan

apa yang sedang terjadi disaat ini. Laman media sosial terus dibanjiri dengan

pembaruan informasi yang real-time, obrolan terhangagt dan gambar atau

video terbaru. Keterbukaan infromasi saat ini mengubah kultur budaya

masyarakat yang bersifat privasi menjadi budaya yang lebih terbuka.

15
b. Usia

Usia muda yaitu 13-33 tahun merupakan usia yang memiliki level

FoMO tertinggi berdasarkan survey dari JWT Intelligence (2012). Masyarakat

digital natives, yaitu masyarakat yang mahir menggunakan dan

mengintegrasikan teknologi internet, merupakan salah satu ciri khas dari

kelompok usia muda yang saat ini berumur 13-33 tahun. Keberadaam

kelompok masyarakat digital natives memiliki jumlah terbanyak di media

sosial dibandingkan generasi lainnya dan menjadikan dunia internet adalah

bagian dari kehidupan sehari-hari generasi tersebut.

c. Social one-upmanship

Berdasarkan kamus daring Merriam-Webster (“One up manship,”

n.d), social one-upmanship merupakan perilaku dimana seseorang berusaha

untuk melakukan sesuatu seperti perbuatan, perkataan atau mencari hal lain

untuk membuktikan bahwa dirinya lebih baik dibandingkan orang lain. FoMO

disebabkan karena dipengaruhi adanya keinginan untuk menjadi paling hebat

atau superior dibanding orang lain. Aktivitas “memamerkan” secara daring di

media sosial menjadikan pemicu munculnya FoMO pada orang lain.

d. Peristiwa yang disebarkan melalui fitur hashtag

Media sosial memiliki fitur hashtag (#) yang memungkinkan

pengguna untuk memberitahukan peristiwa yang sedang terjadi saat ini.

Misalnya, pada saat reuni 212 yang dilakukan di tugu monas. Ketika pada

saat yang bersamaan banyak pengguna media sosial memamerkan

aktivitasnya dengan menuliskan #Reuni212, maka peristiwa tersebut akan

16
masuk ke daftar topik pembicaraan yang sedang marak dibicarakan,

sehingga pengguna media sosial lainnya dapat mengetahui. Hal demikian

akan mengakibatkan perasaan tertinggal bagi individu yang tidak ikut serta

dalam melakukan aktivitas tersebut.

e. Kondisi deprivasi relatif

Kondisi deprivasi relatif adalah kondisi yang menggambarkan

perasaan ketidakpuasan seseorang saat membandingkan kondisinya dengan

orang lain. Festinger (dalam Eddleston, 2009) mengatakan dalam teori

perbandingan sosialnya, individu melakukan penilaian atas dirinya dengan

cara membandingkan dengan orang lain. Perasaan missing out dan tidak

puas dengan apa yang dimiliki, muncul ketika para penggunanya saling

membandingkan kondisi diri sendiri dengan orang lain di media sosial.

f. Banyak stimulus untuk mengetahui suatu informasi

Di zaman yang serba digital saat ini, sangat memungkinkan seseorang

untuk terus dibanjiri dengan topik-topik menarik tanpa perlu adanya usaha

keras untuk mendapatkannya. Disisi lain munculnya stimulus-stimulus yang

ada mengakibatkan keingintahuan untuk tetap mengikuti perkembangan

terkini.

Ditinjau dari adanya dampak yang muncul dari penggunaan smartphone,

para remaja seolah-olah menjadi individu yang terobsesi untuk melakukan

sesuatu karena timbulnya sifat ketergantungan, untuk selalu up to date. Sifat

ketergantungan yang membuat remaja memiliki kecenderungan mencari

berbagai pemenuhan untuk hal tersebut (Sensation Seeking).

17
Fenomena kecanduan remaja terhadap smartphone penting bagi orang

tua untuk diketahui. Seperti diketahui, bahwa masa remaja adalah suatu

periode transisi dalam rentang kehidupan manusia, yang menjembatani

masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Santrock, 2012: 402). Masa

remaja juga masa yang paling sederhana karena tidak berlakunya aturan.

Remaja selalu mencoba banyak hal, berusaha mencari hal yang cocok

dengan dirinya.

B. Sensation Seeking

1. Definisi Sensation Seeking

Pengertian sensation seeking pertama kali dikemukakan dalam

sensation seeking scale (SSS). Menurut Zuckerman (2007) sensation

seeking adalah perilaku yang ditentukan oleh kebutuhan mencari sensasi

dan pengalaman bervariasi, baru dan tak biasa, dan keinginan untuk

mengambil resiko, baik secara fisik, hukum, sosial, dan finansial hanya untuk

mendapatkan sebuah pengalaman. Sedangkan menurut Roberti (2003),

seorang individu yang melakukan sensation seeking sering bertujuan untuk

mendapatkan kegairahan dan meningkatkan rangsangan yang optimal dan

akan cenderung mencari stimulus baru dan luar biasa, dan mungkin saja

berbahaya bagi orang lain karena akan menimbulkan perasaan yang tidak

menyenangkan maupun rasa kecemasan.

Sander & Scherer (2009) menyatakan bahwa sensation seeking

didefiniskan sebagai kencenderungan untuk menikmati dan mengejar

18
kegiatan yang menarik serta memiliki rasa keterbukaan untuk mencoba

pengalaman baru. Ciri-ciri dari trait sensation seeking adalah punya

keberanian yang ekstrim, toleran terhadap kesulitan atau rasa sakit dan

rentan terhadap kebosanan, dan selalu merasa ingin tahu (Zuckerman dalam

Amanta, 2009).

Sensation dapat diartikan sebagai proses merasakan ataupun

menghayati. Sedangkan seeking dalam bahasa inggris berasal dari kata

seek yang berarti mencari. Bila diartikan secara harfiah, sensation seeking

adalah proses merasakan, mencari, ataupun menghayati suatu sensasi yang

muncul apabila ada rangsangan yang membangkitkan reseptor (Afitinayah,

2013).

Berdasarkan penjelasan diatas maka, disimpulkan bahwa sensation

seeking adalah proses merasakan, mencari, ataupun menghayati suatu

sensasi yang muncul apabila ada rangsangan yang membangkitkan

reseptor, kencenderungan untuk menikmati dan mengejar kegiatan yang

menarik serta memiliki rasa keterbukaan untuk mencoba pengalaman baru.

2. Aspek-Aspek Sensation Seeking

Zuckerman (1994) telah mengembangkan sifat sensation seeking yang

dibuat sebagai pengukuran skala sensation seeking, diantaranya yaitu:

a. Perilaku Impulsif atau Disinhibition (DIS)

Merefleksikan perilaku impulsif pada individu, meliputi keinginan yang

kuat untuk melakukan perilaku yang mengandung resiko kesehatan dan

19
resiko sosial. Perilaku ini dapat menimbulkan dampak negative terhadap

posisi individu yang bisa muncul dari proses masa kini ataupun yang akan

datang.

b. Mencari petualangan dan kesenangan atau Thrill and Adventure Seeking

(TaS)

Merefleksikan kebutuhan seseorang untuk melakukan tindakan yang

beresiko dan penuh petualangan yang menawarkan sensasi untik terhadap

individu. Keinginan yang kuat untuk terlibat dalam aktifitas fisik yang

menuntut bahaya, kecepatan, dan aktifitas yang menyimpang dari gravitasi

bumi (Terjun paying, menyelam, dan bungee jumping).

c. Mencari pengalaman atau Exprerience Seeking (ES)

Mengekspresikan pencarian individu terhadap pengalaman baru

(novel experience) melalui penginderaan, gaya hidup, dan pemikiran yang

konvensional dalam berbagai hal. Seperti dalam dalam hal travel style, seni,

musik, hingga gata hidup yang anti-konformitas lainnya.

d. Rentan akan rasa bosan atau Boredom Susceptibility (BS)

Merefleksikan perilaku individu yang atipati terhadap pengalaman

yang repetitive dari kehadiran orang-orang yang terprediksi, pekerjaan yang

rutin, dan reaksi tidak puasan terhadap kondisi yang membosankan tersebut.

Boredom Susceptibility juga menyebabkan kegundahan pada individu saat

tidak ada perubaha pada ketidaksukaan pada orang yang membosankan.

Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa

sensation seeking memiliki 4 aspek yaitu; Perilaku Impulsif atau Disinhibition

20
(DIS), Mencari petualangan dan kesenangan atau Thrill and Adventure

Seeking (TaS), Mencari pengalaman atau Exprerience Seeking (ES), Rentan

akan rasa bosan atau Boredom Susceptibility (BS).

3. Faktor-Faktor Sensation Seeking

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi trait sensation seeking dalam

diri individu, yaitu faktor herediter dan faktor lingkungan (Zuckerman, 2007).

Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi trait sensation seeking:

a. Faktor Herediter

Faktor herediter merupakan faktor utama yang diprediksi sebagai

faktor penyebab munculnya trait sensation seeking pada individu. Zuckerman

juga mengindikasikan adanya faktor genetic yang sangat mempengaruhi

susunan gen dan biologis individu sehingga memiliki kecenderungan untuk

mencari sensasi dalam hidupnya. Adanya MAO (Manoamine Oxidase), kode

kelas genetic dopamine 4 (DRD4), kadar hormone seksual dan kadar

tingginya neurotransmitter maupun dopamine dipercaya menjadi kondisi

biologis yang menyebabkan individu memiliki kebutuhan arousal dan sensasi

yang tinggi. Oleh karena itu faktor herediter diprediksi memberikan pengaruh

sebesar 60% pada individu untuk memiliki kebutuhan arousal dan sensasi

pada dirinya.

Zuckerman (1994) menyatakan bahwa usia dan jenis kelamin menjadi

faktor demogarafik yang paling mempengaruhi trait sensation seeking pada

seseorang. Menurut Zuckerman trait sensation seeking lebih tinggi dialami

21
pria dibandingkan wanita dan mulai berkembang pada usia 9-14 tahun dan

setelahnya mengalami puncaknya pada usia 20 tahun keatas kemudian

mulai menurun berdasarkan bertambahnya usia.

b. Faktor lingkungan

Pembelajaran sosial (Social Learning) adalah faktor yang juga

mempengaruhi dan mengajarkan individu untuk suka terhadap sensasi dan

perilaku mencari sensasi tertentu. Faktor lingkungan dan pembelajaran

lingkungan ini diprediksi memberikan pengaruh sebesar 40% pada individu

untuk terstimulus dalam memiliki trait sensation seeking dan kebutuhan

pencarian sensasi lainnya. Observasi dan imitasi yang dilakukan pada orang

tua, teman, dan signification others memungkinkan individu untuk

mempelajari perilaku yang cenderung mencari sensasi, baik tinggi ataupun

rendah.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa

sensation seeking terdiri dari 2 faktor yaitu; Faktor Herediter yaitu

berhubungan dengan faktor genetik, dan Faktor Lingkungan yaitu Social

Learning yang mempengaruhi dan mengajarkan individu untuk suka terhadap

sensasi dan perilaku mencari sensasi tertentu.

C. Hubungan Antara Sensation Seeking dengan Fear of Missing Out

JWT Intelligence (2012) mengungkapkan bahwa Fear of Missing Out

merupakan perasaan seseorang seperti merasa kehilangan atau tertinggal

ketika orang lain melakukan sesuatu yang dianggap lebih berharga

22
dibandingkan yang ia lakukan pada saat itu. FoMO juga dapat diartikan

sebagai kecemasan yang bersifat konstan secara berlebihan dalam merasa

kehilangan sesuatu yang dianggap penting. Individu yang merasakan FoMO

mungkin tidak tahu mengenai hal spesifik apa yang dilewatkan namun tetap

memiliki ketakutan bahwa orang lain memiliki waktu yang lebih baik

dibandingkan dirinya. FoMO terjadi karena hasil dari interaksi individu

dengan smartphone masing-masing. Salah satu faktor yang berkaitan

dengan karakteristik individu seperti adanya sensation seeking yang tinggi

dan self-esteem yang rendah menjadi faktor pendukung terjadinya seseorang

memiliki FoMO.

Santrock (2007) mengungkapkan bahwa remaja memiliki karakteristik

sosio-emosional, yaitu perubahan pada emosi, perubahan emosional, serta

relasi interpersonal membuat remaja membutuhkan sesuatu yang dapat

memberikan sensasi yang menimbulkan kesenangan dengan mencari

pengalaman-pengalaman baru. Pada masa ini remaja dihadapkan pada

tantangan menemukan identitas siapa mereka, bagaimana mereka nantinya,

dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya (menuju tahap dewasa.

Terjadinya berbagai perubahan dan pencarian identitas tersebut, menjadikan

masa remaja menjadi puncak meningkatnya pengambilan resiko demi

mencari pengalaman-pengalaman baru yang menyenangkan serta

memberikan sensasi yang akan tersu dilakukan yang dimunculkan dengan

tingginya penggunaan smartphone hingga menimbulkan smartphone

addiction (Azizah, 2014). Situasi mencari pegalaman-pengalaman baru dan

23
mencari sensasi yang menyenangkan dalam hal ini disebut sensation

seeking.

Menurut Zuckerman (2007) sensation seeking adalah perilaku yang

ditentukan oleh kebutuhan mencari sensasi dan pengalaman bervariasi, baru

dan tak biasa, dan keinginan untuk mengambil resiko, baik secara fisik,

hukum, sosial, dan finansial hanya untuk mendapatkan sebuah pengalaman.

Sedangkan menurut Roberti (2003), seorang individu yang melakukan

sensation seeking sering bertujuan untuk mendapatkan kegairahan dan

menngkatkan rangsangan yang optimal dan akan cenderung mencari

stimulus baru dan luar biasa, dan mungkin saja berbahaya bagi orang lain

karena akan menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan maupun rasa

kecemasan.

D. Landasan Teoritis

Fear of missing out merupakan perasaan takut yang dialami individu

yang merasa jika individu lain sedang melakukan kegiatan atau pengalaman

yang menyenangkan, akan tetapi seseorang itu tidak dapat mengalami hal

tersebut. (JWT Intellegence, 2012). Salah satu aspek yang mempengaruhi

FoMO yaitu tidak terpenuhinya Kebutuhan psikologis akan self (diri sendiri)

berkaitan dengan competence dan autonomy. Competence didefinisikan

sebagai keinginan yang melekat pada individu untuk merasa efektif dalam

berinteraksi dengan lingkungannya mencerminkan kebutuhan untuk melatih

kemampuan dan mencari tantangan yang optimal (Reeve & Sickenius,

24
1994). Kebutuhan competence ini berkaitan dengan keyakinan individu

untuk melakukan tindakan atau perilaku tertentu secara efisien dan efektif.

Rendahnya kepuasan terhadap competence akan memungkinkan individu

merasa frustasi dan putus asa. Sementara autonomy adalah pengalaman

merasakan adanya pilihan, dukungan dan kemauan yang berkaitan dengan

memulai, memelihara dan mengakhiri keterlibatan perilaku (Niemic, Lynch,

Vansteenkistec, Bernstein, Deci & Ryan dalam Tekeng, 2015). Autonomy

bermakna bahwa individu bebas mengintegrasikan tindakan yang dijalankan

dengan diri sendiri tanpa terikat atau mendapat kontrol dari orang lain

(individu adalah inisiatif dan sumber dari perilakunya).

Sensation seeking bertujuan untuk mendapatkan kegairahan dan

meningkatkan rangsangan yang optimal dan akan cenderung mencari

stimulus baru dan luar biasa. Salah satu aspek Sensation seeking yaitu

individu merefleksikan perilaku antipati terhadap pengalaman yang berulang

(repetitive), pekerjaan yang rutin, dan reaksi tidak puasan terhadap kondisi

membosankan yang menyebabkan kegundahan pada individu saat tidak ada

perubahan pada ketidaksukaan.

Individu yang memiliki sikap sensation seeking akan mendorong rasa

keinginannya untuk mencari sensasi terhadap kegiatan berulang dan akan

bereaksi tidak puas terhadap kondisi yang membosankan dan menyebabkan

kegundahan pada saat tidak ada perubahan pada ketidaksukaan. Jika tingkat

sensation seeking tinggi maka individu tersebut akan cenderung

mempengaruhi FoMO.

25
Zuckerman (1994) mengembangkan Przybylski, Murayama, DeHaan dan
sifat sensation seeking, diantaranya Gladwell (2013) rendahnya
yaitu: kebutuhan dasar psikologi yang
menyebabkan timbulnya FoMO :
a. Perilaku Impulsif atau Disinhibition
(DIS) a. Tidak terpenuhinya kebutuhan
b Mencari petualangan dan psikologis akan Relatedness
kesenangan atau Thrill and Adventure b. Tidak terpenuhinya kebutuhan
Seeking (TaS) psikologis akan Self
c. Mencari pengalaman atau
Exprerience Seeking (ES)
d. Rentan akan rasa bosan atau
Boredom Susceptibility (BS)

Gambar 1. Kerangka teori Hubungan sensation seeking dengan fear

of missing out.

E. Hipotesis

Menurut Creswell (2010) mendefinisikan hipotesis merupakan penyataan

dalam penelitian kuantitatif dimana peneliti membuat dugaan atau prediksi

tentang hubungan antara atribut dan karakteristik.

Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara, diterima atau

ditolaknya suatu hipotesis tergantung dari hasil penelitian yang dilaksanakan

dan berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka

hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Ada hubungan sensation

seeking dengan fear of missing out pada mahasiswa Universitas X di Bandar

Lampung”
26
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penelitian ini adalah metode

penelitian kuantitatif. Penelitian ini menekankan analisisnya pada data-data

kuantitatif (angka) yang dikumpulkan melalui prosedur pengukuran dan

diolah dengan metode statiska (Azwar, 2013). Jenis penelitian yang

digunakan adalah jenis penelitian asosiatif hubungan kausal. Penelitian

asosiatif hubungan kausal ini penelitian yang bersifat menayakan hubungan

antara dua variable atau lebih yang bersifat sebab-akibat dengan diolah

menggunakan data kuantitatif (Sugiyono, 2013)

Variabel bebas (X) : Sensation seeking

Variabel terikat (Y) : Fear of missing out

B. Definisi Operasional Variabel

Menurut Sugiyono (2013) definisi operasional adalah penentuan

konstrak atau sifat yang akan dipelajari sehingga menjadi variable yang

dapat diukur. Definisi operasional menjelaskan cara tertentu yang digunakan

untuk meneiliti dan mengoperasikan konstrak, sehingga memungkinkan bagi

peneliti yang lain untuk melakukan replikasi pengukuran dengan cara yang

27
sama atau mengembangkan cara pengukuran konstrak yang lebih baik.

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Fear of Missing Out

Fear of Missong out didefinisikan sebagai ketakutan seseorang akan

kehilangan momen berharga yang dimiliki orang lain atau kelompok teman

sebaya ketika individu tersebut tidak hadir di dalamnya. Fear of missing out

ditandai denga adanya keinginan untuk terus berhubungan dengan apa yang

rekan individu lakukan melalui dunia maya.

Fear of missing out dalam penelitian ini akan diungkapkan melalui skala

Fear of missing out yang dikembangkan oleh Przybylski (2013). Tinggi

rendahnya skor yang dihasilkan dari skala menunjukan tinggi atau rendahnya

fear of missing out uang dimiliki oleh mahasiswa.

2. Sensation Seeking

Sensation seeking adalah perilaku yang ditentukan oleh kebutuhan

mencari sensasi dan pengalaman bervariasi, baru dan tak biasa, dan

keinginan untuk mengambil resiko, baik secara fisik, hukum, sosial, dan

finansial hanya untuk mendapatkan sebuah pengalaman.

Dalam mengukur skala sensation seeking terdapat empat dimensi, yakni

perilaku impulsive atau disinhibition (DIS), mencari kesenangan dan

petualangan atau thrill and adventure seeking (TaS), mencari pengalaman

atau experience seeking (ES), rentan akan rasa bosan atau boredom

susceptibility (BS).

C. Subjek Penelitian

28
1. Populasi

Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu

ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan. Jadi, populasi berhubungan

dengan data, bukan manusianya. Kalau setiap manusia memberikan suatu

data, maka banyaknya atau ukuran populasi akan sama dengan banyaknya

manusia (Margono, 2013). Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri

atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulanya

(Sugiyono, 2013). Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah remaja dengan usia 18-24 tahun. Menurut Heri (2015) Berdasarkan

usia, pengguna ponsel berusia 18 hingga 24 tahun, yakni sekitar 77%,

Rentang usia 18-24 tahun dalam strata pendidikan adalah individu yang

berada pada bangku perkuliahan yang mana termasuk dalam usia dewasa

awal yang artinya mereka berada dalam tahap perkembangan remaja. Pada

generasi yang di usia tersebut informasi dan teknologi adalah hal yang sudah

menjadi bagian kehidupan mereka.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan 25% dari

keseluruhan populasi, pengambilan sampel tersebut merujuk pada pendapat

Arikunto. S (2002) jika subjek lebih dari 100 orang dapat diambil 10-15% atau

20-25% lebih. Berdasarkan paparan diatas maka peneliti mengambil

mahasiswa prodi psikologi Universitas Muhammadiyah Lampung angkatan

2018-2020 dengan jumlah 52 orang untuk dijadikan subjek penelitian.

2. Sample

29
Sample adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin

mempelajari semua yang ada di-populasi, misalnya karena keterbatasan

dana, tenaga, dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sample yang

diambil dari populasi itu apa yang dipelajari dari sample itu, kesimpulannya

akan dapat diberlakukan untuk populasi (Sugiyono, 2013). Pengambilan

sample dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling.

Purposive sampling adalah teknik pengambilan sample berdasarkan

pertimbangan tertentu.

3. Teknik Sampling

Teknik Sampling adalah teknik dalam memilih sampel yang digunakan

pada penenelitian (Sugiyono, 2015). Teknik yang digunakan dalam penelitian

ini yaitu menggunakan teknik non probability sampling dengan jenis

purposive sampling.

Purposive sampling dipilih didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang

mempunyai sangkut paut erat dengan populasi yang sudah diketahui

sebelumnya, atau dengan kata lain, unit sampel disesuaikan dengan kriteria

tertentu yang di terapkan berdasarkan tujuan penelitian atau permasalahan

penelitian ini.

Menurut Barbie (dalam Creswell, 2010) teknik non probability sampling

merupakan proses pemilihan individu sebagai responden atau sampel

berdasarkan ketersediaan dan kemudahannya. Sedangkan purposive

sampling menurut Sugiyono (2015) adalah teknik pengambilan sampel dari

30
populasi dengan pertimbangan tertentu. Data diambil dengan

mempertimbangkan kriteria yang sudah ditentukan sesuai dengan kebutuhan

penelitian seperti:

a. Remaja usia 18 hingga 24 tahun

b. Pengguna smartphone

c. Mahasiswa aktif prodi psikologi Universitas Muhammadiyah

Lampung

D. Metode Pengumpulan Data

Menurut Sugiyono (2013), pengumpulan data dapat dilakukan dalam

berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara. Bila dilihat dari

settingnya, dapat dikumpulkan pada setting alamiah (natural setting), pada

laboratium dengan metode eksperimen, dirumah dengan berbagai

responden, pada suatu seminar, diskusi, dijalan dan lain-lain. Bila dilihat dari

sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber

primer, dan sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung

memberikan data kenpada pengumpul data dan sumber sekunder

merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada

pengumpul data, misalnya lewat orang lain dan lewat dokumen. Selanjutnya

bila dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik

pengumpulan data dapat dilakukan dengan skala (angket). Skala yang

digunakan adalah skala likert. Skala ini mengukur sikap, pendapat, dan

persepsi seseorang atau kelompok orang tentang fenomena sosial dalam

31
penelitian. Fenomena sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti,

yang selanjutnya disebut sebagai variable penelitian. Dengan skala likert,

maka variable yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variable.

Kemudian indikator-indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk

menyusun item-item instrument yang dapat berupa pernyataan atau

pertanyaan jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala likert

mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif. Menurut

Sugiyono (2013), skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat da

persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Skala-

skala tersebut terdiri dari penyataan favorable dan unfavorable. Responden

memilih jawaban yang paling sesuai dengan dirinya dari 4 jawaban yang

disediakan yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Seutju), STS

(Sangat Tidak Setuju).

Tabel 1. Skor Dari Alternatif Jawaban Likert

JAWABAN FAVORABLE UNFAVORABLE

Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4

Tidak Setuju (TS) 2 3

Setuju (S) 3 2

Sangat Setuju (SS) 4 1

Kuisioner dalam penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu:

1. Bagian I berisikan petunjuk pengisian

32
2. Bagian II berisikan identitas responden

3. Bagian III berisikan butir-butir pernyataan skala dari variable

Pada penelitian ini menggunakan dua alat ukur yang keduanya di

adaptasi dari beberapa penelitian sebelumnya dimana skala sudah lolos uji

validitas dan reliabilitasnya yaitu skala NMP-Q (Nomophobia Questionnaire)

yang digunakan untuk mengambil data dari kecenderungan nomophobia dan

skala sensation seeking untuk mengukur sensation seeking.

1. Skala fear of missing out

Skala yang digunakan untuk mengukur fear of missing out dalam

penelitian ini adalah skala fear of missing out atau yang biasa disebut FoMO

terdiri dari 10 item yang diadaptasi dari Neli Azmi (2019) dari skala yang

dikembangkan Przybylski dkk (2013). Dengan Cronbach Alpha berkisar

antara 0,87 – 0,90, kemudian skala ini di adaptasi oleh peneliti.

Pada skala fear missing out terdapat 2 aitem yang gugur yaitu 3 dan 4

dengan nilai koefisien korelasi aitem-total sebesar 0,30, yang artinya apabila

terdapat aitem yang memiliki koefisien dibawah 0,30 maka aitem tersebut

tidak layak dijadikan aitem untuk penelitian. Nilai aitem-total masing-masing

aitem dari Skala Fear of Missing Out berkisar antara 0,362 hingg 0,666.

Berikut adalah blueprint hasil uji indeks fear of missing out:

Tabel 2. Blueprint Skala Fear of Missing Out

Aitem
No Aspek jumlah
F UF
1. Tidak 10, 8, 7, 3, - 6
terpenuhinya 5, 2
kebutuhan
psikologis akan
33
Relatedness
Tidak
terpenuhinya
kebutuhan
2. 9, 6, 4, 1 - 4
psikologis akan
self.

TOTAL 10

*aitem berwarna merah adalah aitem yang tidak valid

2. Skala Sensation Seeking

Alat ukur skala sensation seeking yang digunakan pada penelitian ini
adalah adaptasi dari penelitian Rizaldy Dwiasmara (2020) yang telah
dimodifikasi dari alat ukur Sensation Seeking Scale Form V oleh Zuckerman
(1978). Skala sensation seeking ini diukur berdasarkan empat aspek yaitu;
Mencari pengalaman atau Experience seeking (ES), Mencari petualangan
dan kesenangan atau Thrill and Adventure Seeking (TaS), perilaku impulsif
atau Disinhibition (DIS), Rentan akan rasa bosan atau Boredom susceptibility
(BS).
Pada skala Rizaldy Dwi Asmara (2020) ini terdapat 29 aitem dengan
validitas aitem gugur sebanyak 11 yaitu 4,7,10,11,14,18,20,21,24,27,29.
Jumlah aitem yang valid yaitu menjadi 18 aitem. Variabel sensation seeking
dinyatakan valid karena dari 18 aitem yang valid sudah memenuhi indikator
masing-masing. Indeks validitas penelitian tersebut berkisar dari 0,064-0,609.
Dan menghasilkan nilai relibilitas dengan nilai koefisien cronbach’s alpha
0,717.
Tabel 3. Blueprint Skala Sensation Seeking

No Aspek Aitem jumlah


F UF
34
Mencari
Pengalaman
1. 2,6,10,18,25 14,22,28 8
(Experience
Seeking)
Mencari
Petualangan Dan
Kesenangan
2. 1,9,7 5,13,21,27 7
(Thrill and
Adventure
Seeking)
Perilaku Impulsif
3. 3,11,19 7,15,23 6
(Disinhibition)
Rentan Akan
Rasa Bosan
4. 4,12,20,26,29 8,16,24 8
(Boredom
Susceptibility)
TOTAL 16 13 29

*aitem berwarna merah adalah aitem yang tidak valid

E. Validitas Dan Realibitas

1. Validitas

Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan atau

keakuratan suatau instrumen (tes) dalam melakukan fungsinya (Azwar,

2013). Validitias adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat ke-validan

atau kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila

dapat mengunkap data yang hendak diteliti secara tepat.

Perhitungan validitas item skala ini menggunakan korelasi Product

Moment dari Pearson yaitu dengan cara mengkorelasi antara skor item

dengan skor total item, kemudian peneliti menganalisis data tersebut dengan

menggunakan program SPSS 25 for windows.


35
Menurut Azwar (2009) apabila item yang memiliki indeks daya

diskriminasi sama dengan atau lebih besar dari 0,30 jumlahnya melebihi

jumlah item yang direncanakan untuk dijadikan skala, maka kita dapat

memilih item-tem yang memiliki indeks daya diskriminasi tertinggi, sebaliknya

apabila item yang lolos ternyata masih kurang mencukupi jumlah yang

diinginkan, kita dapat mempertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas

kriteria 0,30 menjadi 0,25.

2. Reliabilitas

Reliabilitas berkenaan dengan derajat konsistensi data dalam interval

waktu tertentu (Sugiyono, 2008). Pada prinsipnya ide pokok reliabilitas

menunjukan sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya, dimana

hasil ukur dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pengukuran terhadap

kelompok subjek yang sama diperoleh hasil relative sama (Azwar, 2007).

Peneliti menggunakan bantuan perhitungan menggunakan program SPSS 25

for windows.

Reliabilitas dinyatakan koefisien yang angkanya berada pada rentang 0

sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati 1,00

berarti semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya koefisien yang semakin

rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendahnya reliabilitas (Azwar,

2007).

F. Analisis Data

36
Metode analisis data adalah suatu cara yang digunakan untuk mengolah

dan menganalisis data hasil penelitian dalam rangka menguji kebenaran

(Hadi, 2000) Selanjutnya dengan metode analisis data, dapat dicari

kesimpulan-kesimpulan dari hasil penelitian. Metode yang digunakan pada

penelitian adalah teknik uji korelasi Product Moment yaitu untuk menganalisis

ada tidaknya hubungan antara dua variabel, korelasi antara Sensation

seeking (Variabel X) dengan Fear of Missing Out (Variabel Y). Untuk

pengujian hipotesis product moment dalam penelitian ini menggunakan

bantuan SPSS 25 for windows.

DAFTAR PUSTAKA

37
Selular.id. (2015, 17 Juni). 2020, Hampir seluruh anak-anak punya ponsel. Diakses

tanggal 21 Oktober 2020 dari https://selular.id/2015/06/2020-hampir-seluruh-anak-

anak-punya-ponsel/

38

Anda mungkin juga menyukai