Anda di halaman 1dari 2

Antonius Suyadi, “Sahabat Suharto”

Ketika anda mengunjungi Jawa Timur, Waduk Karang Kates tentu tidak asing
lagi. Waduk ini dibangun pada masa pemerintahan Suharto. Pengerjaannya memakan
waktu yang cukup panjang yakni 1968 hingga 1972. Di balik pembangunannya ada
kisah “persahabatan” seorang kuli bangunan dan sang presiden, Suharto.
Bagi kebanyakan orang yang mengerti sejarah serta polemik politik, Suharto
tentu nama yang cukup familiar dengan konotasi kejam dan negatif. Praktik KKN,
diktator, dan stigma-stigma jahat lain tersematkan padanya. Namun bagi orang-orang
kecil yang tidak “peduli” terhadap polemik politik, Suharto tak ubahnya sang
“sahabat” murah senyum nan murah hati. Adalah Antonius Suyadi (78) seorang kuli
bangun waduk Karang kates, warga Dusun Kecopokan, Desa….. Kepanjen, yang
berkisah tentang jiwa persahabatan sang jendral.
Pak Suyadi bertutur tentang proyek besar waduk karang kates. Baginya waduk
ini menjadi bukan sekedar suaka mencari nafka, tetapi wahana berjumpa dengan
presiden ke-2 RI. “Dulu Pak Harto (Suharto) mengunjungi proyek ini setiap 2
minggu pake helikopter. Wih megah sekali, itu pertama kali saya melihat helikopter.
Pak Harto itu orang sangat ramah. Saya semangat bekerja di waduk, karena bisa
bertemu presiden dekat-dekat, berbicara santai dan bersalaman. Orang kecil seperti
kami kalau bertemu presiden itu rasanya sangat bangga.” Menurut pengakuannya
bertemu presiden menjadi alasanya bertahan untuk bekerja di waduk. Pekerjaannya
tidak mudah dengan upah yang cukup rendah. Berbicara dekat dengan presiden
rasanya cukup menutupi kekurangan upah.
Suharto di lain pihak, dalam kunjungannya, sering menyapa Pak Suyadi.
“Pripun Pak Su, Sae? Mpun (Sampun) dahar?” Kadang pula melemparkan beberapa
guyonan yang membangkitkan gelak tawa para kuli. Sapaan orang-orang dari strata
sosial yang sama terasa biasa meskipun dari seorang karib. Namun sapaan akrab dari
pribadi-pribadi yang memiliki power yang sangat kuat, lebih menyejukkan hati orang
lemah. Dikenal banyak orang karena sifat-sifat baik memang menyenangkan, namun
disapa dengan menyebut nama orang “superman” kepada seorang kuli membekaskan
suka cita yang tak lekang oleh sang waktu. Pak Suyadi pun insaf siapa Suharto,
tindakan-tindakannya, hingga peta politik yang tidak kondusif. Ia insaf pula betapa
takutnya banyak orang terhadap presiden. Namun baginya, ia sedang memenangkan
lotre sehingga boleh berjumpa dengan pribadi nomor wahid di Indonesia.
Para sahabat Freud, Maslow, Erikson, dan banyak lagi mungkin akan
berbicara tentang psikologi buruh dan tuan. Bagi para pencinta waktu yang menyebut
diri sebagai sejarahwan, akan mendiskusikan tentang prasasti dalam wujud waduk
karang kates yang menyiratkan guratan-guratan pesan di setiap jengkalnya. Para
sahabat Machiavelli akan berkata tentang kekuasaan sang jendral memimpin dengan
tangan besi. Terlepas dari kebenaran-kebenaran tersembunyi dan data-data histori itu,
bagi Pak Suyadi Presiden Suharto adalah sahabat yang menggembirakan, menghibur
di kala upah buruh tidak begitu baik, dan memanggilnya dengan nama. Mereka dapat
berbicara tatap muka dan tertawa. Agak menggelikan memang. Ini bukan kisah
persahabatan pertama yang terdengar. Sebagai anak dari para migran, kisah heroik
sang jendral selalu terdengar indah dari kalangan transmigran. Sang jendral berhasil
merebut hati dan simpati.
Kisah Pak Suyadi tidak memiliki nilai historis yang membanggakan kaum
akademisi. Kisah Pak Suyadi adalah kisah personal yang tidak mempedulikan
penilaian-penilaian negatif terhadap Suharto. Duo Su menghidupkan nilai
persahabatan yang asli. Sahabat yang asli akan berdiri di sisi dengan rasa bangga
yang selalu dimiliki. Mereka memilih untuk menjadi sahabat. Entahlah bagaimana
Suharto memandang Pak Suyadi, namun Pak Suyadi melihat Suharto dengan hati dan
cinta seorang sahabat.
Menariknya beberapa dekade ini menjadi sahabat sudah populer. Blusukan,
masuk parit, ikut ke sawah, ngobrolin hal-hal receh tentang sepak bola dan hal-hal
viral, hingga tiba-tiba religius adalah cara-cara genial. Namun pertanyaannya, apakah
mereka memiliki hati seorang sahabat? Atau mereka hanya bisa membuat kebijakan
publik atas perintah sang juragan dari pada kepentingan rakyat? Mereka dikagumi
sebagai pemimpin yang mengakar dan merakyat, peduli kepada penderitaan rakyat
serta orang-orang mulia yang berjuang bersama rakyat. Pak Suyadi menunjukkan
cinta seorang sahabat yang murni. Namun politisi masa kini, cinta apakah yang
mereka miliki? Cinta seorang sahabat yang rela memberikan nyawanya bagi para
sahabat, atau cinta diri yang mengorbankan para sahabat demi birahi kuasa yang
rasanya sudah menyatu dengan darah di nadi. Sudah siap memimpin, sudah tentu
harus menjadi sahabat. Belum mampu menjadi sahabat bagi yang miskin dan lemah,
janganlah jadi pemimpin. Tidak perlu memahami konsep Aristoteles maupun Thomas
Aquinas tentang sahabat. Pahamilah hatimu untuk mencintai dengan tulus dan
pimpinlah dengan cinta itu.

Anda mungkin juga menyukai