Anda di halaman 1dari 5

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

A. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum Perguruan Tinggi


Pada hakikatnya pendidikan adalah upaya sadar dari suatu masyarakat dan pemerintah
suatu negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan kehidupan generasi penerus, selaku
warga masyarakat, bangsa dan negara, secara berguna dan bermakna serta mampu
mengantisipasi hari depan mereka yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks
dinamika budaya, bangsa, negara dan hubungan internasionalnya. Kemampuan warganegara
suatu negara, untuk hidup berguna dan bermakna serta mampu mengantisipasi perkembangan,
perubahan masa depannya, memerlukan pembekalan ilmu pengetahuan, tekhnologi dan seni
(ipteks) yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-nilai dasar
tersebut menjadi panduan dan mewarnai keyakinan serta pegangan hidup warganegara dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui pendidikan secara bertahap dan
berkelanjutan akan dapat dilahirkan generasi yang sadar dan terdidik. Pendidikan dimaksud
mengarah pada 2 (dua) aspek.
Pertama, pendidikan untuk memberi bekal pengetahuan dan pengalaman akademis,
keterampilan profesional, ketajaman dan kedalaman intelektual, kepatuhan pada nilai-nilai atau
kaidah-kaidah ilmu (it is matter of having).
Kedua, pendidikan untuk membentuk kepribadian atau jatidiri menjadi sarjana atau
ilmuwan yang selalu komited kepada kepentingan bangsa (it is matter of being). Aspek being ini
maknanya sangat penting, dan tidak kalah pentingnya dari aspek having. Ketrampilan,
profesionalisme dapat saja kita cari dengan menyewa tenaga asing, namun adalah suatu
kemustahilan untuk membentuk jatidiri bangsa dengan mengambil oper nilai-nilai dari luar.
Untuk itu tidak ada alternatif lain kecuali kita harus mengacu kepada nilai-nilai budaya
kita sendiri sebagaimana termanifestasikan dalam Pancasila sebagai dasar negara. Mengacu
pada apa yang dinyatakan oleh The Internasional Commision on Education for 21 st century,
bahwa pendidikan hendaknya memasukkan 4 (empat) pilar yaitu:
a. learning to know,
b. learning to do,
c. learning to be,
d. learning to live together.
(Siswomihardjo, 2001).
Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Tujuan Pendidikan Tinggi adalah:
1) Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik
dan atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
2) Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta
mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan
memperkaya kebudayaan nasional.
Sesuai dengan harapan, bahwa Pendidikan Tinggi dikembangkan dan peranan
perguruan tinggi diarahkan untuk:
1) Menjadikan perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni serta pusat kegiatan penelitian sesuai dengan kebutuhan pembangunan masa sekarang
dan masa datang.
2) Mendidik mahasiswa agar mampu menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berjiwa
penuh pengabdian serta memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan
bangsa dan negara Indonesia dalam rangka pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
3) Mengembangkan tata kehidupan kampus sebagai masyarakat ilmiah yang berbudaya,
bermoral Pancasila dan berkepribadian Indonesia. Peranan Perguruan Tinggi makin
ditingkatkan, antara lain dengan cara:
1) Menjamin penggunaan kebebasan mimbar akademik dalam bentuk yang kreatif, konstruktif,
dan bertanggung jawab, sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan.
2) Melanjutkan usaha-usaha ke arah integrasi dan konsolidasi kegiatan mahasiswa dan
cendikiawan sesuai dengan disiplin ilmu dan profesinya dalam wadah-wadah yang efektif
sehingga mereka dapat mengembangkan prestasiprestasi serta partisipasi yang positif.
Dalam keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 232 / U / 2000
tentang Pedoman penyusunan kurikulum pendidikan tinggi dan penilaian hasil belajar
mahasiswa, ditetapkan pengelompokan matakuliah pada program sarjana dan diploma
terdiri atas :
(a) Kelompok matakuliah pengembangan kepribadian (MPK) adalah kelompok bahan kajian
dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan
mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan;
(b) Kelompok matakuliah keilmuan dan ketrampilan (MKK) adalah kelompok bahan kajian
dan pelajaran yang ditujukan terutama untuk memberikan landasan penguasaan ilmu dan
ketrampilan tertentu;
(c) Kelompok matakuliah keahlian berkarya (MKB) adalah kelompok bahan kajian dan
pelajaran yang bertujuan menghasilkan tenaga ahli dengan kekaryaan berdasarkan ilmu
dan keterampilan yang dikuasai;
(d) Kelompok matakuliah perilaku berkarya (MPB) adalah kelompok bahan kajian dan
pelajaran yang bertujuan untuk membentuk sikap dan perilaku yang diperlukan seseorang
dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan ketrampilan yang
dikuasai;
(e) Kelompok matakuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB) adalah kelompok bahan kajian
dan pelajaran yang diperlukan seseorang untuk dapat memahami kaidah berkehidupan
bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.
Penyelenggaraan perkuliahan MPK di perguruan tinggi merupakan kegiatan yang sangat
mendasar, karena hal itu menyangkut aspek kepribadian yang akan mewarnai sikap dan
perilaku calon intelektual yang kelak akan hidup dan mengabdikan dirinya di tengah-
tengah masyarakat, bangsa dan negara.
Secara umum Visi MPK di perguruan tinggi menjadi sumber nilai dan pedoman bagi
penyelenggaraan program studi dalam mengantarkan mahasiswa mengembangkan
kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Misi MPK di perguruan tinggi adalah
membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu
mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah
air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggungjawab. Sedangkan Standar
Kompetensi MPK yang wajib dikuasai mahasiswa meliputi pengetahuan tentang nilai-nilai
agama, budaya dan kewarganegaraan, dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut
dalam kehidupan sehari-hari; memiliki kepribadian yang mantap; berpikir kritis; bersikap
rasional, etis, estetis, dan dinamis, berpandangan luas; dan bersikap demokratis yang
berkeadaban. Adapun Kompetensi Dasar Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bagian dari
MPK adalah menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah
air; demokratis yang berkeadaban; menjadi warga negara yang memiliki daya saing;
berdisiplin; dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan
sistem nilai Pancasila. (Kep. Dirjen Dikti. No: 43/DIKTI/Kep./2006).
Substansi materi Pendidikan Kewarganegaraan yang disajikan dalam buku ini meliputi:
(a) Pengantar; (b) Hak Asasi Manusia; (c) Hak dan Kewajiban Warganegara; (d) Bela Negara;
(e) Demokrasi; (f) Wawasan Nusantara; (g) Ketahanan Nasional; dan (h) Politik Strategi
Nasional. Melalui Pendidikan Kewarganegaraan, warganegara R.I. diharapkan mampu :
memahami, menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat,
bangsa dan negaranya secara bersinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan
nasional seperti yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Pada saatnya dapat
menghayati hakikat konsepsi Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, sehingga
menjiwai tingkah lakunya selaku warganegara RI yang patriotik dan cinta tanah air dalam
melaksanakan profesinya.
B. Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan
Bangsa Indonesia bertekad mempertahankan kemerdekaan serta kedaulatan negara
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pandangan banga Indonesia mengenai pembelaan negara
tercermin dalam Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 yaitu, (a) bahwa kemerdekaan adalah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. (b) Pemerintah negara melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. (c) menjadi hak dan kewajiban setiap
warga negara untuk ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Dari pandangan tersebut jelaslah
bahwa Indonesia dalam pembelaan negaranya menganut prinsip bahwa setiap warga negara
berhak dan wajib membela serta mempertahankan kemerdekaan negara yang telah
diperjuangkannya, meliputi segenap rakyat Indonesia dan seluruh wilayah Indonesia. Oleh
karena itu tidak boleh sejengkalpun wilayah RI jatuh ke tangan asing, termasuk segala kekayaan
yang terkandung didalamnya serta yang tercakup dalam yurisdiksi nasional. Upaya pembelaan
negara merupakan tanggung jawab dan kehormatan setiap warga negara. Dalam prinsip ini
terkandung pengertian bahwa upaya pembelaan negara harus dilakukan berdasarkan azas
keyakinan akan kekuatan sendiri, keyakinan akan kemenangan dan tidak kenal menyerah, serta
tidak mengandalkan pada bantuan atau perlindungan negara/kekuatan asing.
Bentuk perlawanan rakyat Indonesia dalam rangka membela dan mempertahankan
kemerdekaan bersifat kerakyatan, kesemestaan dan kewilayahan. Hal ini berarti melibatkan
seluruh rakyat, segenap sumber daya nasional dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah
negara merupakan tumpuan perlawanan. Perlawanan rakyat semesta dilaksanakan sesuai
dengan perkembangan zaman.
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia membuktikan bahwa bangsa Indonesia dalam
membela dan mempertahankan kemerdekaan senantiasa mendasarkan diri pada semangat
perjuangan seluruh rakyat yang didorong oleh perasaan senasib dan sepenanggungan serta skap
rela berkorban untuk tanah air. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa tumpuan
perlawanan bangsa Indonesia dalam menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan
(ATHG) adalah pada rakyat. Oleh sebab itu peranan rakyat dalam upaya pembelaan negara
merupakan faktor yang sangat menentukan.
Rakyat Indonesia adalah pejuang, sedangkan TNI/POLRI yang tumbuh dan terdiri atas
segenap lapisan dan golongan pejuang adalah prajurit pejuang yang selalu berjuang bahu
membahu dengan rakyat. Semangat perjuangan yang terwujud manunggalnya TNI/POLRI
dengan rakyat tidak pernah pudar. Asas kekeluargaan melandasi kemanunggalan TNI/POLRI
dengan rakyat yang melahirkan tanggung jawab bersama dalam pengabdian mewujudkan cita-
cita bangsa. Pada awalnya keikutsertaan rakyat Indonesia dalam perjuangan bersenjata tersebut
belum diatur oleh Pemerintah atau belum terorganisasi secara tertib.
Hal ini dapat dimaklumi karena negara Indonesia baru saja memperoleh
kemerdekaannya, jadi belum sempat mengatur banyak hal termasuk organisasi perlawanan
rakyat. Namun demikian lama kelamaan pengaturan dan pengorganisasian tentang lembaga
perlawanan rakyat tersebut dapat dilaksanakan setahap demi setahap.
Dalam rangka melawan kembalinya penjajah di tanah air Indonesia pada waktu itu yang
berfungsi sebagai kekuatan pokok bersenjata adalah: Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian
sebagaimana seharusnya bahwa tiap negara mempunyai angkatan perang yang lazim disebut
tentara, maka BKR berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan dalam waktu
yang tidak lama berubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat yang singkatannya masih tetap
TKR. Kemudian nama TKR berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), yang akhirnya
nama TRI berubah lagi menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) sampai sekarang. Sebagai
pengejawantahan peranserta (partisipasi) rakyat pada umumnya dan pemuda atau pelajar pada
khususnya, maka di mana-mana didirikan badan-badan perjuangan atau badan-badan
kelaskaran bersenjata, antara lain: Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), Laskar Wanita
Indonesia (LASWI), Corp Mahasiswa (CM), Tentara Pelajar (TP), Tentara Republik Indonesia
Pelajar (TRIP), Corp Pelajar Siliwangi, Mobilisasi Pelajar ) MOBPEL), dan sebagainya. Para pelajar
mahasiswa disamping tugas belajar dalam masa revolusi fisik, ikut ambil bagian langsung di
berbagai medan pertempuran bergabung bersama TNI. Untuk mewadahi kelompok pelajar
mahasiswa setelah penataan organisasi angkatan perang RI dibentuk satu Brigade yang dikenal
Brigade XVII. Tradisi kejuangan itu berlanjut dalam periode sesudah revolusi fisik antara lain
dalam bentuk Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) di sekitar tahun 1960-an yaitu program
yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Programini
diperuntukkan bagi mahasiswa yang telah mencapai sarjana muda dengan tugas sebagai guru di
berbagai wilayah Indonesia. Pemerintah merasa perlu melaksanakan sistem Hankamnas secara
terpadu dengan dukungan dari semua unsur yang ada di masyarakat. Untuk itu di lingkungan
lembaga pendidikan tinggi pada masa lalu pernah diselenggarakan Wajib Latih Mahasiswa
(Walawa). Pelaksanaan Walawa tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa mahasiswa
Indonesia nantinya mempunyai fungsi dan kedudukan yang penting di dalam masyarakat yaitu
sebagai kader bangsa yang diharapkan menjadi pemimpin bangsa.
Diselenggarakannya Walawa bagi para mahasiswa Indonesia tidak bermaksud
memiliterkan mahasiswa, melainkan meningkatkan kesadaran mahasiswa Indonesia untuk ikut
bertanggung jawab terhadap Hankamnas Indonesia karena merasa ikut memiliki tanah air
nusantara dan negara Indonesia. Pada waktu perebutan Irian Barat dengan Tri Komando Rakyat
(Trikora) yang di serukan oleh Presiden, Walawa juga dikembangkan. Untuk memberikan wadah
bagi para mahasiswa dalam pelaksanaan Hankamnas selanjutnya pemerintah membentuk
Resimen Mahasiswa (MENWA). Dengan dibentuknya Menwa tersebut berarti mengikutsertakan
para mahasiswa di dalam usaha Perlawanan Rakyat (WANRA), dan Pertahanan Sipil (HANSIP).
Dalam wajib bela negara, dikenal dua sistem: Wajib Latih (WALA), dan Wajib Militer (WAMIL),
yang kedudukannya merupakan proses kegiatan integral dalam rangka menyiapkan komponen-
komponen Hankamnas di luar TNI/POLRI khususnya menyiapkan komponen Cadangan Nasional
(CADNAS). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah menempuh kebijaksanaan
baru, bahwa mulai tahun anggaran 1973/1974 pendidikan Walawa dihentikan, dan untuk
selanjutnya diselenggarakan:
1) Pendidikan Kewiraan, dan
2) Pendidikan Perwira Cadangan (PACAD). Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa mahasiswa dan pelajar Indonesia dalam masa revolusi fisik ikut aktif dalam perjuangan
bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negaranya. Tradisi kejuangan itu
masih terus dilakukan dalam mengisi kemerdekaan. Setelah memperoleh kemerdekaan,
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda
sesuai dengan eranya. Kondisi dan tuntutan yang berbeda tersebut harus ditanggapi bangsa
Indonesia sesuai dengan reformasi yang diinginkan masyarakat Indonesia, sehingga Negara
Kesatuan Republik Indonesia masih tetap eksis dalam wadah Nusantara.

Sumber Kutipan ; Pusat Pengembangan Kurikulum, Inovasi Pembelajaran, MKU dan


MKDK UNNES

Anda mungkin juga menyukai