Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KHUSUS EPIDEMIOLOGI PENYAKIT

Nama : Elya Noer Aini/20234040071

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Epilepsi Pada Anak

A. Definisi
Kejang epileptik adalah kejadian klinis yang ditandai aktivitas sinkronisasi
sekumpulan neuron otak yang abnormal, berlebihan, dan bersifat transien. Kejang
pertama kali tanpa demam dan tanpa provokasi (first unprovoked seizure) adalah satu
atau lebih kejang tanpa demam maupun gangguan metabolik akut yang terjadi dalam
24 jam disertai pulihnya kesadaran di antara kejang.
Epilepsi didefinisikan sebagai serangan kejang paroksismal berulang tanpa provokasi
dengan interval lebih dari 24 jam tanpa penyebab yang jelas.
B. Klasifikasi
ILAE membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang parsial dengan definisi
sebagai berikut:
1. Kejang umum: gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan
keterlibatan kedua hemisfer.
2. Kejang parsial (fokal): gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan
aktivasi pada neuron terbatas pada satu hemisfer saja.

Tabel 1 Klasifikasi epilepsi berdasarkan tipe bangkitan (ILAE 1981)

1
2
Klasifikasi berdasarkan etiologi :
1. Epilepsi idiopatik, yaitu epilepsi yang penyebabnya tidak diketahui.
2. Epilepsi simptomatik, yaitu epilepsi yang terjadi akibat suatu penyakit yang
menyebabkan kerusakan pada otak.
3. Epilepsi atau sindrom epilepsi kriptogenik yaitu epilepsi atau sindrom epilepsi yang
diasumsikan simtomatik tetapi etiologi masih belum diketahui.

C. Epidemiologi
Penyakit Epilepsi atau ayan adalah suatu gangguan fungsi listrik otak yang ditandai
oleh cetusan listrik secara berlebihan pada sekelompok atau sebagian besar sel-sel otak,
sehingga bisa timbul kejang, perubahan perilaku sesaat dan berulang. Pada umumnya
serangan atau bangkitan epilepsi ditandai dengan pingsan dan/ atau kejang secara
berulang kali. Di Negara berkembang, jumlahnya diperkirakan lebih tinggi
dibandingkan di negara maju . Insiden epilepsi umumnya tinggi pada kelompok usia
anak –anak dan lanjut usia, cenderung lebih tinggi pada pria daripada wanita. Data
epidemiologi epilepsi di Indonesia masih terbatas. Estimasi penderita epilepsi di
Indonesia adalah 1,5 juta dengan prevalesi 0,5-0,6% dari penduduk Indonesia.
Frekuensi terjadinya epilepsi menurut usia di Indonesia juga sangat terbatas. Namun
pada umumnya di negara berkembang sebaran penderita epilepsi banyak pada anak dan
dewasa muda dibandingkan kelompok umur lainnya. (ILAE 2016)
D. Gejala
Gejala utama epilepsi yang pertama kali terlihat adalah kejang, namun bentuk
kejang dapat berupa tubuh kaku dan lemas secara cepat, kaget-kaget atau seperti
terdiam atau jatuh, gerakan menyentak lengan dan kaki, penurunan kesadaran dan
kejadian ini terjadi berulang.
E. Tatalaksana Terapi
Pada epilepsi yang baru terdiagnosis, semua kelompok usia, dan semua jenis
kejang, beberapa uji klinik acak menunjukkan bahwa karbamazepin, asam valproat,
klobazam, fenitoin, dan fenobarbital efektif sebagai OAE, namun penelitian tersebut
tidak dapat membuktikan perbedaan yang bermakna antara obat-obat tersebut dalam
hal efikasi obat-obat tersebut
a. Epilepsi umum
Studi retrospektif yang membandingkan angka remisi pada kasus epilepsi
umum idiopatik yang diterapi dengan valproat, topiramat, dan lamotrigin,

3
menunjukkan bahwa angka remisi tertinggi tercapai pada kelompok valproat
disusul topiramat, dan paling sedikit pada kelompok lamotrigin (peringkat bukti 3,
derajat rekomendasi C). Sedangkan pada epilepsi umum simtomatik (sindrom
Lennox-Gastatut, sindrom Dravet, epilepsi absans atipikal, dan epilepsi mioklonik
yang tidak dapat diklasifikasi), pemberian valproat, lamotrigin, dan klobazam dapat
menurunkan frekuensi kejang
b. Epilepsi fokal
Obat antiepilepsi spektrum luas (fenitoin, valproat, karbamazepin, klobazam,
lamotrigin, topiramat, okskarbazepin, vigabatrin) efektif sebagai monoterapi pada
kejang fokal.

Tabel 2 Pilihan OAE Pertama

Efek samping

1. Rash/ruam adalah efek samping yang sering terjadi pada anak dan berkaitan dengan
karbamazepin, fenitoin dan lamotrigin.
2. Peningkatan berat badan
3. Gangguan kognitif pada penggunaan fenobarbital

4
4. Hipertorfi gusi atau pembesaran gusi sering berkaitan dengan fenitoin, namun jarang
terjadi pada natrium valproat dan vigabatrin.
5. Gangguan fungsi hati pada penggunaan Asam valproat berhubungan dengan
peningkatan enzim transaminase hati dan kadar amonia darah namun biasanya
asimtomatik. Asam valproat berhubungan dengan peningkatan enzim transaminase hati
dan kadar amonia darah namun biasanya asimtomatik.
6. Leukopenia dan agranulositosis enggunaan karbamazepin berhubungan dengan
leukopenia yang terjadi dalam 2-3 bulan pertama terapi. Pada keadaan leukopenia dan
agranulositosis, jumlah leukosit dan hitung jenis diulang setiap 3-4 minggu mencapai
nilai normal. Jika nilai absolute neutrophil count (ANC) kurang dari 1000, maka
pemberian karbamazepin harus dihentikan.
7. Asidosis metabolik pada penggunaan Topiramat dapat mencetuskan asidosis metabolik
kronik ringan sampai sedang pada dua pertiga anak serta dapat mencetuskan
nefrolitiasis. Risiko asidosis metabolik meningkat bila terdapat kondisi yang
merupakan predisposisi asidosis metabolik, misalnya -45- kelainan ginjal dan
penggunaan diet ketogenik. Topiramat dikurangi dosisnya atau dihentikan
pemberiannya bila terjadi asidosis metabolik berat.
8. Efek samping teratogeni pada Remaja putri yang mendapat terapi OAE harus
diinformasikan mengenai risiko kelainan kongenital pada janin dan keterlambatan
perkembangan pada anak yang dilahirkan

Pneumonia pada anak

A. Epidemiologi
Pneumonia adalah radang jaringan paru yang dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, jamur, dan juga parasit. Berdasarkan data WHO tahun 2019, pneumonia
menyebabkan 14% dari seluruh kematian anak di bawah 5 tahun dengan total kematian
740.180 jiwa. Mengutip dari IDAI, pneumonia yang menyerang anak dapat disebabkan
oleh berbagai macam virus, bakteri, atau jamur. Bakteri yang paling banyak ditemukan
pada kasus pneumonia adalah pneumokokus (Streptococcus pneumonia), stafilokokus
(Staphylococcus aureus), dan HiB (Haemophilus influenzae type b). Beberapa virus
yang dapat menyebabkan pneumonia pada anak adalah rhinovirus, virus influenza, dan
respiratory syncytial virus (RSV). Selain itu, virus campak (morbili) juga dapat

5
menyebabkan komplikasi berupa pneumonia pada kondisi tertentu. Beberapa faktor
lain yang dapat meningkatkan resiko anak terkena pneumoni adalah:
1. Bayi prematur
2. Malnutrisi
3. Menderita infeksi campak/HIV
4. Belum memperoleh vaksin pneumonia
5. Tidak mendapatkan ASI eksklusif ketika bayi
6. Adanya kelainan bawaan pada organ paru-paru dan pernapasan
7. Faktor lingkungan seperti paparan asap rokok, debu, polusi udara, tinggal di
daerah pemukiman padat penduduk.
B. Gejala
Gejala pneumonia diawali dengan infeksi saluran pernapasan atas (hidung dan
tenggorokan) yang biasanya muncul 2–3 hari setelah tubuh terinfeksi. Beberapa gejala
pneumonia yang menyerang anak dapat disertai peningkatan laju pernapasan (takipnea)
(anak 60 kali/menit; 2 – 11 bulan laju napas >50 kali/menit; dan 13-60 bulan laju napas
>40 kali/menit)dan tarikan dinding dada saat bernapas. Umumnya gejala pneumonia
yang timbul berupa batuk berdahak, demam, nyeri dada, sesak napas, myalgia, dan sakit
kepala. Pada pemeriksaan fisis didapatkan suara napas ronki. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan peningkatan nilai leukosit atau nilai leukosit yang rendah.
Gejala setiap anak penderita pneumonia juga bisa berbeda-beda, tergantung dari
penyebabnya. Apabila penyebabnya bakteri, maka beberapa gejala yang biasanya
muncul seperti muntah atau diare, kehilangan nafsu makan, terjadi perubahan warna
bibir dan kuku membiru (sianosis). Jika disebabkan oleh virus maka gejala yang dialami
adalah keringat dingin, mengi, dan batuk yang semakin memburuk.

C. Tatalaksana Terapi
Pengobatan diawali dengan pemberian antibiotik dan antiinflamasi. Pilihan antibiotik
empiris tergantung pada patogen yang paling mungkin, faktor risiko individu,
komorbiditas, alergi, dan efektivitas biaya menggambarkan manajemen dan
pengobatan antibiotik yang diusulkan oleh pedoman pneumonia yang didapat
masyarakat. Pedoman menyarankan cakupan S. Pneumoniae dan patogen atipikal
misalnya, kombinasi -laktam ditambah makrolida atau flouroquinolone pernapasan.
Namun perlu diperhatikan juga efek samping seperti peningkatan risiko kejadian

6
kardiovaskular pada pasien yang menerima makrolida dan tekanan selektif untuk
resistensi terhadap makrolida dan fluoroquinolone.
Berikut dosis yang digunakan :
- Amoksilin : 80 – 100mg/kg BB / hari dibagi 2 dosis
- Eritromisin : 40-60 mg/ kg BB/hari dibagi 3 -4 dosis
Catatan : jika mampu, pemberian antibiotik disesuaikan secara individual (taylor
made). Jika tidak mampu, ikuti cara yang lebih sederhana seperti pada tabel berikut:
Kategori Umur/ BB Amoksisilin Amoksisilin Eritromisin
pneumonia tab (250 syr syr
mg) 125mg/5ml 125mg/5ml
Dengan 2-12 bln (4-10 kg) 2x1 tab/hari 2x20 ml 3x5 ml
napas cepat 12-59 bln (10-19 kg) 2x1 tab/hari 2x20 ml 3x10 ml

Antibiotik pra rujukan (AB dosis pertama) pada:


1. Anak usia < 2 bln dengan penyakit angat berat
2. Anak usia 2 – 59 bulan dengan pneumonia bberat harus ditangani ampisilin
parenteral / penisilin dan gentamisin sebagai lini pertama
- Ampisilin : 50 mg/ kg BB IM diberikan hanya 1x suntikan
- Gentamisin : 7,5 mg/ kg BB IM diberikan hanya 1x suntikan

PENGOBATAN DEMAM
Pemberian parasetamol untuk demam tinggi > 38,5 ̊C diberikan tiap 6 jam sampai
demam turun. Dengan pemberian dosis parasetamol 10 mg/kg BB

Hepatitis

A. Epidemiologi
Hepatitis merupakan suatu peradangan pada hepar yang disebabkan oleh agen infeksi
maupun noninfeksi (WHO, 2022a). Hepatitis yang disebabkan oleh agen infeksi bisa
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur maupun parasit. Hepatitis yang disebabkan oleh
virus bisa disebabkan oleh virus Hepatitis A, B, C, D, E dan juga virus Mumps, virus
Rubella, virus Cytomegalovirus, virus Epstein-Barr, virus Herpes (Siswanto, 2020).
Virus Hepatitis A dapat menyebabkan terjadinya peradangan pada hepar yang disebut
sebagai Hepatitis A (WHO, 2022b). Data RISKESDAS tahun 2018 bahwa kelompok

7
usia di bawah satu tahun menempati posisi kedua persentase terbesar prevalensi
hepatitis (0,45%) di Indonesia. Laki-laki lebih besar prevalensinya (0,4%)
dibandingkan perempuan (0.39%), dan mereka yang tinggal di perkotaan lebih besar
prevalensinya (0,4%) daripada di pedesaan (0,38%).Menurut World Health
Organization (WHO), terdapat 2 milyar penduduk dunia yang mengidap penyakit
hepatitis dan 1,4 juta diantaranya mengalami kematian. Sehingga, penyakit ini dapat
dikategorikan sebagai penyakit menular berbahaya. Virus yang dapat menyebabkan
hepatitis terdiri dari virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis
C (HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV).
B. Gejala
Jenis Gejala Pengobatan
HAV Pusing, mata dan kulit menjadi kuning Pengobatan hepatitis akut yang
(jaundice), mual dan muntah, sakit disebabkan oleh infeksi hepatitis A
tenggorokan, diare, tidak nafsu makan bersifat suportif karena tidak ada
antivirus khusus hepatitis A.
HBV Tidak nafsu makan, mual dan muntah, 1. golongan nukleosida analog
gejala yang menyerupai flu seperti lelah, (amivudine, Telbivudine,
nyeri pada tubuh, sakit kepala dan Entecavir, Adefovir, dan
demam tinggi, nyeri perut, jaundice. Tenofovir)
2. golongan interferon. Obat ini
memiliki efek antivirus dan
meningkatkan sistem imun
tubuh. Terdapat 2 jenis peg-
interferon, yaitu pegylated-
interferon α-2a (peg-IFN α-2a)
dan pegylated-interferon α-2b
(peg-IFN α-2b). Keduanya
diberikan melalui suntikan
subkutan.
HCV Tidak nafsu makan, mual muntah, letih Agen direct acting antivirus (DAA).
dan jaundice.80% pasien HCV akan DAA yang tersedia di Indonesia saat ini
menjadi hepatitis C kronik, 10-20% akan adalah sofosbuvir, ledipasvir/
menjadi sirosis hati sofosbuvir, simeprevir, daclatasvir,

8
elbasvir/grazoprevir, dan
velpatasvir/sofosbuvir. Apabila DAA
belum tersedia, dapat diberikan
kombinasi obat injeksi peg-interferon
dan ribavirin.
HDV Memiiki gejala seperti HBVkarena virus Pengobatan hepatitis akut yang
ini memerlukan virus hepatitis B untuk disebabkan oleh infeksi hepatitis D
dapat berkembang di tubuh manusia. bersifat suportif karena tidak ada
Virus ini mampu mempercepat proses antivirus khusus hepatitis D.
fibrosis hati sehingga mempercepat
terjadinya sirosis hati dan resiko kanker
hati.
HEV Gejala infeksi virus hepatitis E sama Pengobatan hepatitis akut yang
seperti gejala hepatitis A. Virus ini disebabkan oleh infeksi hepatitis E
terdapat pada feses pasien yang bersifat suportif karena tidak ada
menderita hepatitis E dan ditularkan antivirus khusus hepatitis E.
melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi virus tersebut. Gejala
HEV dapat menimbulkan hepatitis akut
yang berat hingga gagal hati yang
menyebabkan kematian.

9
Gambar 1 profil farmakologis DAA

Anxiety disorder

A. Epidemiologi
Studi epidemiologi terbaru memberikan bukti bahwa gangguan anxietas
menjadi gangguan dengan frekuensi tinggi pada populasi umum di seluruh dunia
(Soodan and Arya, 2015). Studi menurut Global Burden of Disease. (GBD)
memperkirakan bahwa gangguan kecemasan berkontribusi terhadap 26,8 juta penyebab
kecacatan per tahun pada tahun 2010 (Whiteford, et al., 2013). Menurut survei yang
lebih baru, tingkat prevalensi seumur hidup untuk remaja berusia 13 hingga 17 tahun
adalah 7,7%, sementara itu 6,6% pada orang dewasa berusia 18 hingga 64,3 tahun
(Bandelow and Michaelis, 2015).
B. Gejala
Berdasarkan kriteria DSM-IV-TR, gangguan anxietas dibagi menjadi beberapa tipe
(Baldwin, et al., 2014), yaitu:
1. Generalized Anxiety Disorders (GAD)
GAD merupakan perasaan cemas yang berat, menetap, disertai dengan gejala
somatik yang menyebabkan gangguan fungsi sosial dan fungsi pekerjaan.

10
Kecemasan atau kekhawatiran disertai dengan setidaknya 3 gejala psikologis atau
fisiologis. Gejala psikologi seperti kecemasan yang berlebihan. kekhawatiran yang
sulit dikontrol, gelisah, konsentrasi rendah atau pikiran kosong. Gejala fisik
meliputi kegelisahan, kelelahan, ketegangan otot, gangguan tidur, dan iritabilitas
(Dipiro, 2009).
2. Panic Disorders (PD)
Gejala untuk panic disorders biasanya dimulai dengan serangkaian serangan
panik yang tak terduga (Locke, et al., 2015). Kriteria diagnostiknya diikuti oleh
setidaknya kekhawatiran yang berlangsung selama 1 bulan terus-menerus. Selama
terjadi serangan, harus ada setidaknya 4 gejala fisik, ditambah dengan gejala
psikologi. Gejala psikologi seperti depersonalisasi, takut kehilangan kontrol, takut
menjadi gila, serta takut mati. Sedangkan gejala fisik seperti distress abdominal,
nyeri dada, menggigil, pusing, hot flushes, palpitasi, mual, sesak napas, berkeringat,
takikardia, dan gemetar (Dipiro, 2009).
3. Social Anxiety Disorders (SAD)
Ciri penting dari SAD adalah rasa takut yang intens, irasional, dan
terusmenerus. Ketika berada dalam situasi yang ditakuti biasanya memicu serangan
panik. Ketakutan dan penghindaran terhadap suatu situasi dapat mengganggu
aktivitas sehari-hari. Gejala takut seperti takut diteliti orang lain, malu, serta takut
dihina. Situasi yang menakutkan seperti makan atau menulis di depan orang lain,
berinteraksi dengan figur otoritas, berbicara di depan umum, berbicara dengan
orang asing, dan penggunaan toilet umum. Gejala fisik meliputi wajahmemerah,
diare, berkeringat, takikardia, dan gemetar (Dipiro, 2009).
4. Post-traumatic Stress Disorders (PTSD)
Dalam PTSD, kejadian trauma dapat menyebabkan rasa takut yang intens, tidak
berdaya, atau horor. Penderita disebut PTSD apabila memiliki setidaknya satu
gejala reexperiencing, tiga gejala avoidance yang persisten, dan dua gejala hiper-
arousal. Gejala dari setiap kategori harus lebih dari 1 bulan dan menyebabkan
distress atau gangguan yang signifikan (DiPiro, et al., 2009). Gejala reexperiencing
seperti kenangan berulang yang menyebabkan trauma, mimpi yang berulang,
merasa bahwa peristiwa trauma kembali terulang, reaksi fisiologis terhadap
pengingat trauma. Gejala avoidance seperti menghindari percakapan tentang
trauma, menghindari pemikiran tentang trauma, menghindari aktivitas yang dapat
mengingatkan terhadap suatu kejadian, menghindari orang atau tempat yang

11
membangkitkan ingatan trauma, ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting
dari trauma, anhedonia. Gejala hyperarousal yaitu konsentrasi menurun, mudah
kaget, insomnia, dan iritabilitas (Dipiro, 2009).
5. Agoraphobia Yaitu ketakutan akan tempattempat yang bisa membuatnya merasa
malu yang akan memicu serangan panik. Gangguan ini penderitanya akan
menghindari berbagai situasi yang mungkin menyebabkan panik seperti ketika
bertemu orang banyak, angkutan umum, atau ruang tertutup misalnya lift. Penderita
agoraphobia biasanya hanya akan mengurung diri di rumah karena takut berada di
tempat umum dan ruang terbuka (Bandelow, 2017).
6. Specific Phobia Merupakan gangguan fobia yang terbatas pada situasi tertentu,
biasanya meliputi ketakutan terhadap hewan (misalnya kucing, laba-laba atau
serangga), atau fenomena alam (misalnya darah, ketinggian dan kedalaman air).
Penderita yang mengalami gangguan ini akan menghindari objek-objek yang
ditakuti (Bandelow, 2017).
C. Tatalaksana Terapi
Pengobatan utama yang digunakan untuk gangguan anxietas adalah antidepresan, anti-
anxietas, dan β-blockers untuk mengontrol beberapa gejala fisik. Dengan treatment
yang tepat, penderita gangguan anxietas dapat hidup lebih normal (National Institute of
Mental Health, 2009).

Tabel 3 Rekomendasi Pengobatan Menurut Dipiro, 2015

Anxiety Disorder First-Line Drugs Second-Line Drugs Alternative


Generalized Duloxetine Benzodiazepines Hydroxyzine
Anxiety Disorder Escitalopram Buspirone Quetiapine
Paroxetine Imipramine
Sertraline Pregabalin
Venlafaxine XR
Panic Disorder SSRIs Venlafaxine Alprazolam Phenelzine
XR Citalopram
Clomipramine
Clonazepam
Imipramine

12
Social Anxiety Escitalopram Clonazepam Gabapentin
Disorder Fluvoxamine CR Citalopram Phenelzine
Paroxetine Pregabalin
Sertraline
Venlafaxine XR
Post-Traumatic SSRIs Venlafaxine Mirtazapine Phenelzine
Stress Disorder Amitriptyline
Imipramine

Bipolar

A. Epidemiologi
Gangguan bipolar merupakan gangguan mood kronik yang ditandai dengan
adanya episode mania atau hipomania yang muncul secara bergantian atau bercampur
dengan episode depresi. Gangguan bipolar dapat pula disebut sebagai depresi manik,
gangguan afektif bipolar (bipolar affective disorder) atau gangguan spektrum bipolar.
Gangguan bipolar merupakan masalah yang serius dengan prevalensi 3%, yang
ditandai dengan angka kekambuhan tinggi dan seringkali komorbid dengan gangguan
psikiatri (seperti: gangguan cemas, penyalahgunaan/ketergantungan zat, gangguan
makan) dan gangguan somatik (seperti: sakit kepala, hipertensi, obesitas, diabetes)
lainnya. Kecenderungan untuk bunuh diri juga banyak dijumpai dan gangguan ini
mempunyai konsekuensi yang cukup besar baik bagi individu maupun bagi instansi
pemberi layanan kesehatan. Perubahan proporsi gangguan “mood” dari 86% gangguan
Depresi Mayor berkurang ke 50%. Proporsi gangguan bipolar I sebesar 2% dan
gangguan bipolar II sebesar 2%, meningkat menjadi 15 % untuk gangguan bipolar II.
Hal tersebut dikarenakan perkembangan pengenalan gangguan ‘mood’ yang ternyata
pada pasien didiagnosis gangguan depresi mayor, sesungguhnya adalah gangguan
bipolar.
Gangguan bipolar I terjadi hampir sama rata pada pria dan wanita dengan
prevalensi sebesar 0,4 – 1,6%. Gangguan bipolar II lebih umum terjadi pada wanita
dengan prevalensi sekitar 0,5%. Pada sebuah studi populasi, prevalensi bipolar secara
signifikan lebih tinggi pada wanita (Dipiro, 2008).

13
B. Gejala
Gejala utama gangguan bipolar ialah mania/hipomania dan depresi. Gejala dari
episode mania diantaranya:
 Abnormalitas suasana hati seperti euforia.
 Peningkatan energi.
 Peningkatan harga diri.
 Penurunan kebutuhan tidur.
 Lebih banyak berbicara dibanding biasanya.
 Agitasi psikomotor.
 Memiliki penilaian yang buruk dan mengambil keputusan secara impulsif yang
mengarah pada perilaku berbahaya (Miklowitz and Gitlin, 2014).

Hipomania merupakan episode mania yang lebih ringan dengan gejala yang sama
namun terjadi dalam waktu yang lebih singkat, biasanya 4 hari dan biasanya tidak
disadari karena tidak berbeda secara signifikan dengan kebiasaan normal.

Episode depresi pada gangguan bipolar memiliki kriteria diagnosis dan


karakterisasi yang sama dengan gejala depresi nonbipolar. Gejala – gejala yang muncul
diantaranya:

 Perubahan pola tidur (insomnia atau hipersomnia)


 Perubahan pola makan dan berat badan.
 Kelelahan.
 Retardasi atau agitasi psikomotor.
 Adanya perasaan tidak berharga atau rasa bersalah.
 Penurunan konsentrasi.
 Memiliki pemikiran tidak wajar seperti keinginan bunuh diri (Miklowitz
and Gitlin, 2014).
C. Tatalaksana Terapi
Secara umum terapi bipolar berfokus pada stabilisasi dengan tujuan pemulihan
gejala mania atau depresi pada pasien sehingga didapatkan mood yang stabil (eutimik).
Fase pemeliharaan bertujuan untuk mencegah kambuh, mengurangi gejala
subthreshold, meningkatkan fungsi sosial, mengurangi resiko bunuh diri, dan
ketidakstabilan mood. Keberhasilan dalam pengendalian dan pencegahan kambuhnya

14
gangguan bipolar didasari oleh pengendalian stabilitas mood jangka panjang serta
pencegahan berlanjutnya episode mania dan depresi.
Prinsip pengobatan gangguan bipolar antara lain:
1. sesuai pengobatan lini terbukti
2. pilih obat yang aman dan ditoleransi, paling mudah digunakan oleh pasien
dan mudah dikelola oleh dokter
3. bertujuan untuk mencegah remisi
4. mengukur hasil gejala dengan pemeriksaan penunjang, The Young Mania
Rating Scale (YMRS), Montgomery_Asberg Depression Rating Scale
(MADRS)
5. tidak boleh menyerah
6. evaluasi psikososial dengan penurunan simtom psikoterapi keluarga, CBT,
7. mengakui bahwa penyakit kronis dapat merespon meskipun lebih lambat

Tabel 4 Managemen gangguan bipolar episode manik akut dan episode campuran (Ketter
TA, 2010)

Tingkat Prioritas Name Pilihan Pengobatan


I Tinggi Approved Mood Stabilizer:
lithium, divalproat
Antipsikotik
Atipikal:
olanzapine,
risperidone,
quetiapine,
ziprasidone,
aripiprazole
II Tinggi High-priority Antipsikotik
unapproved Atipikal: Asenapine
III Sedang other Mood Stabilizer:
Carbamazepine
Antipsikotik
Tipikal:
Chlorpromazine,

15
thioridazine,
pimozide,
haloperidol
Antipsikotik
Atipikal yang lain:
clozapine
Adjunctive
benzodiazepine
ECT
IV Rendah Novel adjunct Mood Stabilizer
lain: Lamotrigine
Antikonvulsan
lain:
Oxcarbamazepine,
gabapentin ,
topiramate
Adjunctive
psychoterapy

Ketika tidak ditemukan kontraindikasi, penangan awal harus meliputi


monoterapi salah satu dari mood stabilizer (lithium, carbamazepine, valproate) yang
direkomendasikan, salah satu dari antipsikotik atipikal (aripiprazole, olanzapine,
quetiapine, risperidone, ziprasidone) yang direkomendasikan, atau haloperidol (dalam
kasus emergensi atau untuk terapi jangka pendek). Benzodiazepine dapat ditambahkan
untuk jangka waktu yang sangat terbatas. Ketika respon yang didapat tidak adekuat,
direkomendasikan untuk menggunakan kombinasi mood stabilizer dengan antipsikotik
atipikal. Intervensi dalam bentuk perubahan perilaku dapat membantu pada kasus
episode ringan. Sementara dalam kasus yang berat, terapi elektrokonvulsi (ECT) dapat
dilakukan. Pasien juga harus mendapat psikoterapi (family focused therapy,FFT),
cognitive behavioral therapy (CBT), terapi interpersonal dan ritme sosial
(interpersonal and social rhythm therapy, IPSRT), dan atau terapi untuk mengatur
waktu tidur (sleep deprivation treatment). ECT dapat dipertimbangkan khususnya pada

16
kasus yang resisten terhadap pengobatan dan kasus berat atau sampai mengancam
nyawa. (Pfennig A, 2013).

Tabel 5 Managemen gangguan bipolar episode depresi akut (Ketter TA, 2010)

Tingkat Prioritas Nama Pilihan Pengobatan


I Tinggi Approved Antipsikotik Atipikal: olanzapine +
fluoxetine, quetiapine
II Tinggi High-priority Mood stabilizer: lithium, lamotrigine
unapproved
III Sedang Other Mood stabilizer lain: divalproat,
carbamazepine Antipsikotik Atipikal lain:
olanzapine monoterapi, aripiprazolea ,
risperidonr, ziprasidone, clozapine
Adjunctive antidepressants ECT Adjunctive
psychotherapy : psychoeducation,, CBT,
family focudtherapy, interpersonal and
social rhythm therapy
IV Rendah Novel Thyroid hormones Pramipexole Topiramate
adjuncts Stimulants

17
DAFTAR PUSTAKA
Febrina, dkk. Tatalaksana Pneumonia. Jurnal Medika Hutama. Vol 03 No 02, Januari
2022.
Hilda, dkk. Review: Farmakoterapi Gangguan Anxietas. Jurnal Farma Suplemen
Volume 16 Nomor 1
Ida, dkk. Bipolar Disorder Clinical Pathway Inpatient. Jurnal Departemen Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Nurjanah, dkk. Profil Pneumonia pada Anak di RSUD Dr. Zainoel Abidin, Studi
Retrospektif. Jurnal Sari Pediatri, Vol. 13, No. 5, Februari 2012.
Permenkes No HK.01.07/681/2019. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Hepatitis C.
Uzlifatul, dkk. Review: Farmakoterapi Gangguan Bipolar. Jurnal Faramaka Suplemen
Volume 16 Nomor 1
https://www.slideshare.net/Titiksuwarti1/tatalaksana-pneumonia
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1993/hepatitis-jenis-penyebab-gejala-dan-
pengobatan diakses pada tanggal 15 februari 2024.

18

Anda mungkin juga menyukai