Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Setiap tahun, hampir 12.000 perempuan di Amerika Serikat mengalami kehamilan


saat menjalani terapi dengan obat antiepilepsi (OAE). Kurang lebih 6% bayi yang dilahirkan
oleh ibu yang mendapat terapi OAE tersebut mengalami cacat bawaan baik secara anatomis
maupun fisiologis1. Beberapa penelitian epidemiologik juga menemukan bayi dari ibu yang
menderita epilepsi mengalami cacat lahir sekitar dua sampai tiga kali lipat dibanding
populasi umum2. Di seluruh dunia, sekitar 40.000 bayi setiap tahun terpajan OAE di dalam
kandungan. Diperkirakan sekitar 1.500-2.000 dari bayi tersebut mengalami cacat lahir
sebagai dampak OAE tersebut3.
Pada masa lalu, perempuan dengan epilepsi disarankan untuk tidak memiliki anak
dan sebagian besar negara memiliki hukum yang menghambat pernikahan bagi mereka yang
memiliki epilepsi tetapi perilaku ini telah secara bertahap memberikan jalan bagi sebuah
suasana dimana pernikahan dan keibuan menjadi sesuatu yang dapat diterima bagi
perempuan dengan epilepsi, dan manajemen kehamilan pada perempuan dengan epilepsi
semakin mendapatkan perhatian dari neurolog dan dokter lain4.
Sebagian besar perempuan dengan epilepsi saat ini dapat memiliki dan membesarkan
anak yan normal dan sehat, tetapi kehamilan mereka memiliki peningkatan risiko untuk
komplikasi. Kehamilan dapat menyebabkan eksaserbasi frekuensi bangkitan pada beberapa
perempuan dengan epilepsi, dan baik epilepsi maternal dan paparan obat antiepileptik in
utero dapat meningkatkan risiko terjadinya outcome yang merugikan pada anak yang
dilahirkan dari ibu dengan epilepsi. Outcome ini termasuk kematian janin dan kematian
perinatal, malformasi dan anomali kongenital, perdarahan neonatal, berat badan lahir
rendah, keterlambatan perkembangan, dan epilepsi masa kanak-kanak5.
Mengacu pada bahasan di atas, perempuan hamil dengan epilepsi dihadapkan pada
kondisi yang unik. Penghentian sama sekali OAE juga bukan suatu keputusan yang realistik.
Satu sisi, kehamilannya mempunyai risiko untuk meningkatkan serangan, di sisi lain
penggunaan OAE umumnya mempunyai efek teratogenik. Penanganan epilepsi pada
perempuan hamil perlu direncanakan secara cermat4.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Definisi epilepsi secara konseptual adalah gangguan di otak yang ditandai dengan
faktor predisposisi menetap untuk mengalami kejang selanjutnya dan terdapat konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial dari kondisi ini. 4 Definisi praktikal dari epilepsi
adalah:
1. Terdapat dua atau lebih kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari 24 jam.
2. Terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi namun risiko kejang selanjutnya sama
dengan risiko rekurensi umum (mencapai 60%) setelah dua kejang tanpa provokasi
dalam 10 tahun mendatang.

ETIOLOGI
Menurut International League Against Epilepsy atau ILAE, etiologi epilepsi dapat
dibagi menjadi 3 kategori yaitu idiopatik, simtomatik, dan kriptogenik5
Pada epilepsi idiopatik, epilepsi disebabkan oleh faktor genetik yang dominan, tidak
terdapat abnormalitas pada neuroanatomi atau neuropatologi.
Pada epilepsi simtomatik, epilepsi pada kategori ini merupakan epilepsi yang dapat
bersifat genetik atau yang didapat (acquired), dimana terdapat hubungan dengan abnormalitas
anatomi atau patologi, dan atau manifestasi klinis yang indikatif terhadap penyakit atau
kondisi yang melatarbelakangi. Pada kategori ini, gangguan perkembangan dan kongenital
yang berhubungan dengan perubahan patologi serebral.
Epilepsi kriptogenik termasuk dalam epilepsi simtomatik, namun penyebabnya tidak
dapat diketahui.

EPIDEMIOLOGI
Sebuah meta-analisis studi insiden epilepsi melaporkan tingkat kejadian epilepsi secara
keseluruhan sekitar lima per 10.000 per orang tahun 1. Kohort studi perkembangan anak
nasional Inggris, berdasarkan pada lebih dari 17.000 anak yang lahir pada bulan Maret,
ditemukan insiden kumulatif epilepsi yang dikonfirmasi adalah 8,4 per 1000 pada usia 23
tahun, dengan prevalensi aktif 6,3 per 1000. Seumur hidup prevalensi diperkirakan 2-5%;
Namun, prevalensi epilepsi pada populasi hamil biasanya dianggap sebagai kurang dari
perkiraan di atas. Ini mungkin karena kejangnya hanya satu aspek dari spektrum kondisi lain
yang di dalamnya sendiri dapat mengurangi kehamilan, atau karena beberapa wanita dengan
epilepsi dapat memilih untuk tidak hamil karena ketakutan seputar kejang dan/atau obat yang
digunakan untuk mengobatinya. Perkiraan menunjukkan bahwa antara 0,2 dan 0,5%
kehamilan yang terjadi melibatkan seorang wanita dengan epilepsi aktif 2,5.

FAKTOR RESIKO
Beberapa peneliti mengatakan bahwa bangkitan epilepsi lebih sering terjadi terutama
pada trimester I dan hanya sedikit meningkat trimester III. Meningkatnya frekuensi serangan
kejang pada wanita penyandang epilepsi selama kehamilan ini disebabkan oleh6 :
Perubahan hormonal
Hormon yang berpengaruh terhadap bangkitan epilepsi pada wanita hamil adalah estrogen
dan progesteron.
Metabolik
Adanya kenaikan berat badan
Deprivasi tidur
Wanita hamil sering mengalami kurang tidur yang disebabkan beberapa keadaan seperti rasa
mual muntah, nyeri pinggang, gerakan janin dalam kandungan, nokturia akibat tekanan pada
kandung kencing dan stress psikis. Semuanya ini dapat meningkatkan serangan kejang. Mual
muntah yang sering pada kehamilan trimester pertama dapat mengganggu pencernaan dan
absorbsi obat anti epilepsi.
Perubahan farmakokinetik pada obat anti epilepsi (OAE)
Penurunan kadar obat anti epilepsi ini disebabkan oleh beberapa keadaan antara lain
berkurangnya absorbsi (jarang), meningkatnya volume distribusi, penurunan protein binding
plasma, berkurangnya kadar albumin dan meningkatnya kecepatan drug clearance pada
trimester terakhir.
Penurunan serum albumin sesuai dengan bertambahnya usia gestasi juga mempengaruhi
kadar plasma obat anti epilepsi, sehingga obat anti epilepsi yang terikat dengan protein
berkurang dan menyebabkan peningkatan obat anti epilepsi bebas. Namun obat anti epilepsi
ini akan cepat dikeluarkan sesuai dengan meningkatnya drug clearance yang disebabkan oleh
induksi enzim mikrosom hati akibat peningkatan hormon steroid (estrogen dan progesteron).
Pada umumnya dalam beberapa hari-minggu setelah partus kadar obat anti epilepsi akan
kembali normal.
Suplementasi asam folat
Penurunan asam folat (37%) dalam serum darah dapat ditemukan pada penderita yang telah
lama mendapat obat anti epilepsi16 . Wanita hamil dengan epilepsi lebih mungkin menjadi
anemia 11% (anemia mikrositer), karena sebagian besar obat anti epilepsi yang dikonsumsi
berperan sebagai antagonis terhadap asam folat dan juga didapatkan thrombositopenia.
Suplementasi asam folat dapat mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (fenytoin dan
fenobarbital) sehingga mempengaruhi kadarnya dalam plasma.
Psikologik (stres dan ansietas)
Stres dan ansietas sering berhubungan dengan peningkatan jumlah terjadinya serangan
kejang. Keadaan ini sering disertai dengan gangguan tidur, hiperventilasi, gangguan nutrisi
dan gangguan psikologik sekunder.
Penggunaan alkohol dan zat
Penggunaan alkohol yang berlebihan akan menginduksi enzim hati dan menurunkan kadar
plasma obat anti epilepsi (fenobarbital, fenytoin dan karbamazepin) sehingga timbul kejang.
Disamping itu intoksikasi alkohol mapun obat-obatan terlarang akan menyebabkan gangguan
siklus tidur normal sehingga meningkatkan frekuensi kejang.

PATOGENESIS
Hormon yang berpengaruh terhadap bangkitan epilepsi pada wanita hamil adalah estrogen
dan progesteron. Pada wanita hamil kadar estrogen dalam darah akan menurun,sehingga
merangsang aktifitas enzim asam glutamat dekarboksilase, sintesa gamma amino butiric acid
(GABA) akan menurun dalam otak sehingga merangsang bangkitan epilepsi. Pada kehamilan
juga terjadi hemodilusi, sehingga filtrasi glomerulus berkurang yang mengakibatkan retensi
cairan sebagai penyebab edema. Retensi cairan juga menyebabkan hiponatremi sehingga
terjadi gangguan “sodium pump” yang mengakibatkan peninggian eksitabilitas neuron dan
mempresitasi bangkitan.7
Kadar estrogen dan progesteron dalam plasma darah akan meningkat secara bertahap selama
kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ketiga. Sedangkan kadar hormon
khorionik gonadotropin mencapai puncak pada kehamilan trimester pertama yang kemudian
menurun terus sampai akhir kehamilan. Serangan kejang pada epilepsi berkaitan erat dengan
rasio estrogen-progesteron, sehingga wanita penyandang epilepsi dengan rasio estrogen-
progesteron yang meningkat akan lebih sering mengalami kejang dibandingkan dengan yang
rasionyamenurun. Kerja hormon estrogen adalah menghambat transmisi GABA (dengan
merusak enzim glutamat dekarboksilase). GABA merupakan neurotransmiter inhibitorik,
sehingga nilai ambang kejang makin rendah dengan akibat peningkatan kepekaan untuk
terjadinya serangan epilepsi. Sebaliknya kerja hormon progesteron adalah menekan pengaruh
glutamat sehingga menurunkan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi.7
Adanya kenaikan berat badan pada wanita hamil yang disebabkan retensi air dan garam serta
perubahan metabolik seperti terjadinya perubahan metabolisme di hepar yang dapat
mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (terutama proses eliminasi). Serta terjadinya
alkalosis respiratorik dan hipomagnesemia yang dapat menimbulkan kejang, meskipun masih
selalu diperdebatkan.8

PATOFISIOLOGI
Aktivitas kejang fokal dapat terjadi di daerah korteks dan kemudian menyebar ke
daerah lain. Dalam hal ini terdapat dua fase yaitu inisitasi kejang dan propagasi kejang. Fase
inisiasi melibatkan adanya action potential burst dengan frekuensi tinggi dan
hipersinkronisasi. Rekrutmen dari beberapa neuron akan menimbulkan propagasi dari
aktivitas kejang melalui koneksi kortikal yang lokal dan bisa menyebar ke area lain melalui
corpus calosum. Epileptogenesis adalah transformasi dari jaringan saraf yang normal menjadi
hipereksitasi. Hal itu akan menginisiasi proses yang menurunkan ambang batas kejang atau
seizure threshold di regio tersebut hingga akhirnya terjadi kejang spontan. Hipereksitasi lokal
akan menyebabkan perubahan struktur yang terjadi seiring waktu berjalan hingga terbentuk
lesi fokal yang menyebabkan kejang.7
MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu8 :
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu hemisfer
serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita
umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau
emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang paling khas
terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua
hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita
umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia. Serangan
tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak
terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan badan.
Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang yang terjadi
dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan total disertai
kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik
berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik.
Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,
pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang terjadi
berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh akibat
hilangnya keseimbangan,
DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan
yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.9
1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis epilepsi. Dalam
melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis
dapat memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu.
Penjelasan dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting
dan merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus. Sebab-sebab terjadinya
serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur
dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran
antara anggota tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral.
3) Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan dan
harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat
dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang
tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal. Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan
penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis bertujuan untuk
melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan
Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila
dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak
lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan.

SCREENING

Pada wanita hamil yang mengalami kejang pada paruh kedua kehamilan yang tidak
dapat dijelaskan dengan jelas dikaitkan dengan epilepsi, pengobatan segera harus mengikuti
protokol yang ada untuk manajemen sampai diagnosis definitif dibuat oleh penilaian
neurologis lengkap. Kondisi jantung, metabolik, dan intrakranial lainnya harus
dipertimbangkan dalam diagnosis banding. Kondisi neuropsikiatri termasuk gangguan
serangan non-epilepsi juga harus dipertimbangkan. Panduan rujukan tersier National Institute
for Health and Care Excellence (NICE) harus diikuti jika ada ketidakpastian diagnostik atau
kegagalan pengobatan.10
Salah diagnosis menghadapkan ibu dan anak yang belum lahir pada hal-hal yang tidak
perlu dan berpotensi berbahaya perawatan narkoba selain beban psikososial, seperti
kehilangan mengemudi yang tidak pantas hak-hak istimewa atau pembatasan pekerjaan. Jika
ada ketidakpastian diagnostik, wanita yang hadir dengan kejang harus memiliki keterlibatan
ahli saraf. Diagnosis mungkin tergantung pada riwayat epilepsi masa lalu atau pada faktor
risiko lain. Modalitas pencitraan seperti magnetic resonance imaging (MRI) dan
komputerisasi pemindaian tomografi (CT) dianggap aman pada kehamilan untuk menilai
wanita yang mengalami kejang. Risiko pada janin dari paparan tunggal minimal. Diangosis
dari sindrom epilepsi berdasarkan pemeriksaan EEG. 10

DIAGNOSIS BANDING
Jika ada keraguan apakah kejang sekunder untuk epilepsi atau eklampsia, magnesium
sulfat, yang merupakan obat pilihan untuk pengobatan kejang eklampsia, harus diberikan
sampai diagnosis definitif dibuat. Diagnosis banding lain untuk kejang pada kehamilan
termasuk sinus vena serebral trombosis, sindrom leukoensefalopati reversibel posterior, lesi
yang menempati ruang dan sindrom vasokonstriksi serebral reversibel. Kondisi lain, seperti
sinkop terkait dengan aritmia jantung, stenosis aorta, sensitivitas sinus karotis, sinkop
vasovagal dan kondisi metabolik seperti hipoglikemia, hiponatremia, dan krisis Addisonian
perlu dikesampingkan untuk presentasi pertama kejang pada kehamilan. Gangguan serangan
non-epilepsi, juga disebut sebagai kejang non-epilepsi psikogenik, kejang disosiatif atau
pseudoseizure, membentuk diagnosis banding yang penting dalam individu dengan serangan
yang resistan terhadap obat. Gangguan serangan non-epilepsi dapat muncul bersamaan
dengan: epilepsi dan menimbulkan tantangan diagnostik dan terapeutik yang kompleks yang
membutuhkan manajemen multidisiplin dengan akses ke layanan psikologis atau psikiatri.10

TERAPI

Memperhatikan bahasan di atas, perempuan hamil dengan epilepsi dihadapkan pada


kondisi yang unik. Satu sisi dengan kehamilannya mempunyai risiko untuk meningkat
serangannya, namun di sisi lain penggunaan OAE tidak sepenuhnya aman dan bebas
diberikan mengingat efek samping bagi janin yang dikandungnya. Penanganan epilepsi pada
perempuan hamil perlu direncanakan secara cermat.11,12,13
Pertolongan Pertama Saat Kejang
Tahap – tahap dalam pertolongan pertama saat kejang, antara lain :
a. Jauhkan penderita dari benda - benda berbahaya (gunting, pulpen, kompor api, dan lain –
lain).
b. Jangan pernah meninggalkan penderita.
c. Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang tidak menimbulkan cedera
kepala dan kendorkan pakaian ketat atau kerah baju di lehernya agar pernapasan penderita
lancar (jika ada).
d. Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut dapat mengalir
keluar dengan lancar dan menjaga aliran udara atau pernapasan.
e. Pada saat penderita mengalami kejang, jangan menahan gerakan penderita. Biarkan
gerakan penderita sampai kejang selesai.
f. Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut penderita, seperti memberi minum,
penahan lidah.
g. Setelah kejang selesai, tetaplah menemani penderita. Jangan meninggalkan penderita
sebelum kesadarannya pulih total, kemudian biarkan penderita beristirahat atau tidur.
Penanganan antenatal
Risiko malformasi kongenital mayor pada janin masih dapat mungkin dikurangi dengan
pemberian suplemen asam folat, namun pada kasus wanita dengan epilepsi, masih belum
diperoleh cukup data untuk menentukan efektivitasnya. Walaupun demikian, pemberian asam
folat tetap direkomendasikan untuk semua wanita usia reproduktif dengan atau tanpa epilepsi
sebelum konsepsi dan selama kehamilan dengan dosis 0,4 mg per hari.
Odds ratio memiliki janin dengan small gestational age pada wanita dengan epilepsi
meningkat bila dibandingkan dengan wanita tanpa epilepsi yaitu sebesar 1.26 dan 3,5 kali
lipat lebih tinggi pada wanita dengan epilepsi yang terpapar dengan obat antiepileptik
sehingga perlu dilakukan growth scan serial yang ditawarkan kepada ibu mulai dari usia
kehamilan 28 minggu untuk mendeteksi growth restriction.
Jenis obat antiepileptik yang sedang digunakan jangan diganti bila tujuannya hanya untuk
mengurangi risiko teratogenik. Kadar OAE diperiksa setiap awal trimester dan pada bulan
terakhir kehamilan dan juga dipantai bila ada indikasi seperti bila terjadi kejang atau ragu
terhadap kepatuhan minum obat. Dosis OAE dapat dinaikkan bila kadar OAE turun di bawah
kadar OAE sebelum kehamilan. Pada pengguna asam valproat atau OAE politerapi,
dianjurkan utnuk dilakukan pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein serum (pada minggu 14-16
kehamilan), pemeriksaan ultrasonografi (pada minggu 16-20 kehamilan) dan amnionsentesis
untuk pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein dan antikolinesterase dalam cairan amnion).
Apabila terdapat abnormalitas pada pemeriksaan diatas, merupakan bahan pertimbangan
untuk meneruskan kehamilan atau tidak.
Beberapa obat antiepileptik dapat memicu kerja enzim yang dapat meningkatkan aktivitas
enzim hepatik pada janin, yang mengakibatkan defisiensi vitamin K. Obat tersebut meliputi
carbamazepine,oxcarbazepine, henobarbitone, fenitoin, primidone, dan topiramate.
Obat-obat tersebut dapat memicu degradasi vitamin K pada janin karena dapat menembus
plasenta.5 Oleh karena itu, dianjurkan untuk memberikan profilaksis antenatal yaitu vitamin
K 20mg/hari selama 4 minggu terakhir kehamilan, untuk mencegah risiko perdarahan
neonatus. Bila vitamin K tidak diberikan pada periode antenatal, maka dapat diberikan
vitamin K 10mg IV dalam waktu 5 menit pada saat partus atau partus prematurus.
Pemberian OAE
Apabila monoterapi dapat mengendalikan serangan epilepsi dengan baik maka pemberian
OAE harus diteruskan. Perubahan jenis OAE selama kehamilan untuk tujuan mengurangi
risiko teratogenik merupakan kontra indikasi dengan berbagai alasan. Perubahan jenis obat
justru dapat mengundang serangan. Secara umum, risiko dapat diminimalisir dengan
penggunaan multivitamin prakonsepsi dengan folat, menggunakan OAE dalam monoterapi
pada dosis efektif yang paling rendah, dan dengan mencegah terjadinya bangkitan pada ibu4.
Hingga saat ini, belum ada penelitian prospektif, terkendali komparatif yang mengindikasikan
bahwa OAE mana yang paling aman selama kehamilan. Secara keseluruhan, bayi dari ibu
dengan epilepsi dilaporkan memiliki tingkat malformasi mayor kongenital antara 4% dan 6%
sekitar dua kali dari populasi umum. Peningkatan risiko ini sangat tinggi bagi perempuan
yang memerlukan politerapi OAE, memiliki epilepsi refraktori, atau memerlukan kadar obat
yang tinggi untuk pengendalian bangkitan. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian
bangkitan maternal yang optimal, monoterapi, dan menghindari kadar serum puncak yang
tinggi (membagi dosis total harian ke dalam dosis multipel yang lebih kecil dengan puncak
postabsorptif yang lebih kecil) akan lebih aman bagi bayi. Laporan dari North American
Pregnancy Registry menunjukkan risiko yang lebih tinggi untuk abnormalitas kongenital
dengan penggunaan fenobarbital dan valproat5.
Terjadinya cacat lahir ini selain bergantung pada jenis dan dosis obat OAE, lama dan waktu
serta cara pemberiannya, juga dipengaruhi oleh faktor genetik, beratnya epilepsi yang diderita
ibu, atau kombinasi dari berbagai faktor tersebut. Beberapa data menyebutkan, cacat lahir
lebih banyak terjadi pada anak dari ibu yang harus mengkonsumsi lebih dari satu macam
OAE secara bersamaan selama kehamilan dibandingkan dengan yang mengkonsumsi hanya
satu macam OAE saja. Secara nyata besarnya peningkatan ini tidak diketahui. Beberapa
peneliti menemukan sekitar 3% cacat lahir pada ibu hamil yang mengkonsumsi hanya satu
macam OAE, dibandingkan ibu epilepsi yang tidak mengkonsumsi OAE selama kehamilan
yang hanya mengalami cacat lahir sekitar 2%. Risiko ini meningkat menjadi 5% pada ibu
yang mengkonsumsi 2 macam OAE, serta meningkat lagi menjadi 10% pada ibu yang
mengkonsumsi 3 macam OAE dan pada ibu yang menkonsumsi 4 macam OAE risiko ini
meningkat menjadi sekitar 20%. Kombinasi asam valproat, karbamazepin dan fenobarbital
kemungkinan lebih teratogenik dari pada kombinasi OAE yang lain15,19. Pengaruh jumlah
OAE terhadap kejadian malformasi seperti tertera pada tabel 3.
Berdasarkan data, OAE yang paling sering digunakan adalah karbamazepin, fenitoin, dan
asam valproat. OAE generasi baru seperti lamotigrin, topiramat, felbamat, gabapentin,
tiagabin, vigabatrin, oxcarbazepin, levetiracetam, fosfenitoin masih sangat terbatas
penggunaannya dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana efek
teratogen bisa ditimbulkan. Saat ini belum bisa ditentukan di antara jenis OAE golongan baru
tersebut mana yang sebaiknya digunakan serta mana yang mempunyai efek teratogenik lebih
kecil atau lebih besar dari pada yang lain.
Penovich et al. merekomendasikan penggunaan OAE dalam kehamilan :
1. Gunakan monoterapi dengan OAE yang dipilih untuk sindrom atau tipe bangkitan.
2. Gunakan dosis yang paling rendah yang diperlukan untuk mengendalikan bangkitan
dengan optimal.
3. Hindari kadar puncak yang tinggi dengan membagi dosis harian total ke dalam dosis
multipel yang lebih kecil.
4. Ada bukti bahwa sediaan extended- release mungkin lebih aman selama kehamilan.
5. Periksa kadar obat total dan bebas (jika tersedia) setiap bulan5.
Pemberian Asam Folat
Folat merupakan vitamin esensial yang diperlukan pada sintesa nukleotid dan metilasi
DNA22. Pada trimester pertama kehamilan, folat sangat penting dalam mencegah cacat
bawaan, khususnya NTD. Metilasi DNA penting juga untuk mencegah kanker. Pertumbuhan
yang cepat selama embrio membutuhkan sintesis DNA meningkatkan kebutuhan folat.
Metabolisme abnormal folat akan mengakibatkan penurunan sintesis DNA dan metilasi gen,
dengan dampak pada kerusakan embrio yang sedang tumbuh.
Neural tube defect adalah salah satu dari malformasi yang terjadi lebih sering pada wanita
dengan pengobatan antiepileptik, khususnya dengan sodium valproat. Telah diketahui dengan
jelas bahwa asam folat prakonsepsi (dengan dosis 4-5 mg/hari) efektif dalam mengurangi
risiko neural tube defectdiantara ibu dengan risiko tinggi karena memiliki anak yang dengan
kondisi tersebut sebelumnya. Terlebih lagi, penelitian pada binatang (tikus) menunjukkan
bahwa dosis tinggi valproat berhubungan dengan perubahan konsentrasi bentuk folat spesifik
di dalam jaringan embrionik dan peningkatan insidensi anomali neural tube. Tetapi penelitian
pada manusia yang menunjukkan sebuah efek protektif dari suplemen folat pada wanita
dengan epilepsi masih kurang.
Dosis optimal asam folat belum diketahui secara pasti. Untuk perempuan yang tidak
mengalami defisiensi asam folat cukup diberi 1 mg/hari. Apabila terbukti ada defisiensi asam
folat maka kepada penderita perlu diberi asam folat dengan dosis yang lebih tinggi, dapat
diberikan sampai 4 mg/hari.
Pemberian Vitamin K
Bayi dari ibu yang mendapatkan pengobatan dengan OAE tertentu (karbamazepin, fenitoin,
primidon, fenobarbiton) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami perdarahan pada
neonatus yang disebabkan defisiensi faktor penjendalan yang tergantung pada vitamin K. Ibu
dengan obat ini harus mendapatkan penanganan profilaksis dengan vitamin K (Konakion) 20
mg oral per hari dari usia kehamilan 36 minggu hingga persalinan dan bayi mereka harus
mendapatkan vitamin K 1 mg intramuskuler pada saat kelahiran.
Pada awalnya berhubungan dengan paparan terhadap fenobarbital atau primidon tetapi
selanjutnya juga ditunjukkan pada anak yang terpapar dengan fenitoin, karbamazepin,
diazepam, mefobarbital, amobarbital, dan ethosuximide. Sebuah kelompok peneliti
menunjukkan bahwa vigabatrin juga meningkatkan risiko perdarahan neonatus. Angka
prevalensi mencapai setinggi 30% tetapi tampaknya memiliki rata-rata 10%. Mortalitas
tinggi, lebih dari 30%, karena perdarahan terjadi dalam kavitas interna dan tidak diketahui
hingga anak mengalami syok. Perdarahan diakibatkan karena defisiensi faktor penjendalan
yang tergantung vitamin K yaitu faktor II, VII, IX dan X. Antikonvulsan bekerja seperti
warfarin, dan menghambat transport vitamin K melewati plasenta.
Persalinan
Persalinan adalah waktu dimana terjadi peningkatan risiko baik untuk ibu maupun janin.
Bangkitan relatif mungkin terjadi selama persalinan dengan akibat risiko pada janin karena
anoksia.
Persalinan harus dilakukan di klinik atau rumah sakit dengan fasilitas untuk perawatan
epilepsi dan unit perawatan intensif untuk neonatus. Selama persalinan, OAE harus tetap
diberikan; apabila perlu maka dapat diberi dosis tambahan dan/atau obat penetral terutama
apabila terjadi partus lama. Perlu diingat bahwa OAE yang menginduksi enzim merupakan
inhibitor kompetitif terhadap prothrombin precusors; hal demikian ini menempatkan bayi
dalam keadaan risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan termasuk perdarahan otak. Risiko
tertinggi terdapat pada hari pertama pascalahir, dan bayi mungkin memerlukan pemeriksaan
koagulasi. Untuk mengurangi risiko perdarahan maka pada bayi perlu diberikan vitamin K
pada saat lahir, akhir minggu pertama, dan akhir minggu ke-empat bayi diberi 2 mg vitamin
K secara oral.
Penanganan kejang intrapartum
Persalinan merupakan proses yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya rekurensi kejang.
beberapa alasannya adalah bioavabilitas dan kepatuhan yang buruk terhadap penggunaan
obat antiepileptik, kurangnya waktu tidur ibu, kecemasan, dan hiperventilasi saat persalinan.
Menurut data EURAP, diketahui bahwa pada wanita dengan epilepsi yang sedang dalam
persalinan, angka kejadian kejang adalah sebesar 3,5%. Adanya kejadian kejang pada saat
kehamilan trimester awal berhubungan dengan kejadian kejang saat persalinan.
Pada wanita yang tidak mengkonsumsi obat antikonvulsan selama lebih dari 12 jam,
mamerlukan dosis parenteral. Pada wanita yang memang mengkonsumsi obat fenitoin per
oral maka dapat dilanjutkan dengan dosis yang sama melalui intravena yang terbagi menjadi
beberapa dosis. Untuk dosis awal fenitoin yang diberikan untuk wanita yang menggunakan
antikonvulsan lain, diberikan 15-20mg/kg BB dengan dosis rumatan 8mg/kgBB/hari, sekitar
300 mg, dua kali sehari per intravena atau oral. Kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit
jarang terjadi dan berisiko untuk progresif menjadi status epileptikus, yang terjadi pada 1%
kehamilan pada wanita dengan epilepsi.
Belum ada studi mengenai manajemen optimal dari kejang epileptik pada persalinan. Bila
terdapat akses intravena, maka diberikan lorazepam 0,1 mg/kg atau diazepam 5-10mg secara
intravena sebagai alternatif. Bila tidak ada akses intravena, maka diberikan diazepam 10-
20mg per rektal yang dapat diulang 1x setelah 15 menit kemudian, bila ada risiko terjadinya
status epileptikus, atau diberikan midazolam 10mg preparat buccal. Bila kejang belum
terkendali, maka diberikan fenitoin atau fosfenitoin dengan loading dose 10-15mg/kg
dengan infus intravena. Setelah ibu distabilisasi, dilakukan monitoring terhadap janin secara
kontinu. Bila denyut jantung janin tidak ditemukan dalam waktu 5 menit, atau kejang
rekuen, maka harus terminasi segera.
Menurut Mirawati et al, terapi kejang saat persalinan dapat digunakan diazepam 10mg IV
atau fenitoin 15-20mg/kgBB bolus IV diikuti dengan dosis 8mg/kg BB/hari diberikan 2x/hari
secara intravena atau oral.
Dalam hal metode anestesi seperti regional anestesi yaitu epidural, spinal, termasuk metode
aman untuk persalinan. Anestesi epidural dipertimbangkan karena dapat meminimalkan
faktor presipitasi kejang ketika persalinan seperti overbreathing, sleep deprivation dan stres
emosional. Diamorphine lebih dipilih dibandingkan dengan petidin karena petidin akan
dimetabolisme menjadi norpetidin yang bersifat epileptogenik ketika diberikan dalam dosis
tinggi pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Setelah bayi lahir, maka anjurkan kepada ibu
agar bayi diberikan suntik vitamin K intramuskular segera setelah lahir dimana dosisnya
adalah 1mg untuk bayi aterm dan 0,5mg untuk bayi dengan berat badan di bawah 1500 gram.
Dilakukan observasi terhadap bayi mengenai tanda tanda depresi nafas dan memeriksa
dismorfologi pada bayi.
Periode Menyusui
Level obat antiepileptik di dalam plasma ibu dapat mengalami fluktuasi hingga minggu ke-8
post partum dan harus tetap dimonitor. Pada periode menyusui, bila ibu menggunakan obat
antiepileptik yang terdapat efek mengantuk, maka perlu dilakukan observasi terhadap bayi
yaitu efek sedasi, tidak tertarik untuk minum ASI, peningkatan berat badan yang tidak
adekuat.19 Metode optimal untuk memperkirakan pajanan terhadap obat tersebut adalah
dengan mengukur konsentrasi obat pada air susu ibu dan mengalikannya dengan perkiraan
daily intake. Bila hasilnya kurang dari atau sama dengan 10%, maka terapi obat dengan dosis
tersebut termasuk aman. Dari penelitian yang dilakukan oleh Pennell et al., level estimasi dari
carbamazepine, fenitoin, dan asam valproate adalah 3-5% dari dosis terapi dan termasuk
aman. Sementara untuk lamotrigine dan levetiracetam sekitar 10% dan gabapentin sekitar
12%.3 Data preliminari mengatakan lamotrigine dan topiramate dapat dieksresikan di dalam
air susu ibu (ASI) namun, tidak ditemukan laporan mengenai efek samping.
Perawatan Bayi
Bagaimanapun, bayi perlu untuk mendapatkan pengawasan yang hati-hati terhadap efek
apapun yang berkaitan dengan paparan OAE melalui susu ibu. Monitoring konsentrasi obat
serum bayi disarankan tetapi bukan keharusan. Rekomendasi umum adalah untuk
meneruskan pemberian ASI, tetapi pemberian mungkin dapat dilakukan sebelum ibu
menggunakan dosis OAE- nya.
Banyak perempuan penyandang epilepsi yang mampu menyusui anaknya secara baik. Kadar
OAE ditentukan oleh kadar obat dalam plasma dan tingkat terikatnya obat oleh protein.
Makin tinggi tingkat keterikatan oleh protein maka kadar obat dalam ASI semakin rendah.
Fenitoin dan asam valproat terikat protein cukup tinggi sehingga kadarnya dalam ASI cukup
rendah. Lebih dari itu, fenitoin cukup sulit diabsorbsi oleh traktus gastrointestinalis bayi.
Dengan demikian ibu yang minum fenitoin dan asam valproat diperbolehkan menyusui
bayinya. Karbamazepin dan fenobarbital terdapat dalam ASI dalam kadar yang lebih tinggi;
dengan demikian kepada perempuan yang bersangkutan kurang dianjurkan untuk menyusui
bayinya, atau diperbolehkan menyusui bayinya dengan pengawasan yang ketat. Apabila si
ibu minum fenobarbital maka bayinya harus selalu diawasi apakah tidak dapat menghisap
ASI atau tampak mengantuk terus. Apabila terjadi keduanya maka pemberian ASI harus
segera dihentikan.
Beberapa hal yang harus diedukasi kepada ibu mengenai perawatan bayi adalah ibu harus
mengurangi kegiatan yang berat yang dapat menyebabkan kelelahan, ibu harus istirahat dan
waktu tidur yang cukup, serta perlu pendampingan keluarga. Dalam periode post partum,
penyedia layanan kesehatan harus waspada terhadap risiko kejang postpartum yang dapat
diakibatkan oleh kurangnya waktu tidur dan kurangnya kepatuhan berobat. Peran dari
penyedia layanan kesehatan sangat penting untuk mengedukasi ibu agar istirahat yang cukup
dan patuh terhadap jadwal minum obat.
Kontrasepsi
Penggunaan metode kontrasepsi implant progesterone atau pil progesteron pada wanita
dengan epilepsi yang mengkonsumsi obat antikonvulsan yang sifatnya dapat memicu kerja
enzim, termasuk tidak reliable, namun untuk wanita dengan obat yang lain selain lamotrigine
dan yang disebutkan di atas, dapat digunakan kontrasepsi tersebut. Pil kombinasi yang
mengandung kurang dari 50 mikrogram estrogen dapat berhubungan dengan peningkatan
insiden breakthrough bleeding dan atau kontrasepsi yang gagal dan harus dihindari.

EDUKASI
1. Konsultasi prenatal
2. Rutin ANC
3. Rutin minum obat
4. Hindari faktor pencetus kejang
5. Istirahat cukup
Penyuluhan Prakonsepsi dan Ante Natal Care
Menjelang perkawinan, hakekat dan seluk beluk kehamilan sudah harus dijelaskan kepada
penderita dan calon suaminya. Hal ini berkaitan dengan kehamilan dan seluruh proses
perubahan perubahan yang terjadi pada janin dan tubuh calon ibu, persalinan, menyusui,
ketaatan minum OAE dan kemungkinan perubahan dosis dan/atau jenis OAE yang
diminumnya.7
Beberapa konseling bagi perempuan epileptik yang akan segera memiliki anak adalah
penting5. Hal ini berkaitan dangan seluruh proses perubahan yang terjadi pada janin dan
tubuh calon ibu, persalinan, menyusui, ketaatan minum OAE, dan kemungkinan adanya
perubahan dosis dan/atau jenis yang diminumnya. Penderita harus diyakinkan bahwa
sebagian besar perempuan melahirkan dengan normal, tetapi kepada penderita juga harus
diberitahukan bahwa perempuan penyandang epilepsi mempunyai risiko lebih tinggi
untukmelahirkan bayi yang cacat, itupun sebagian besar disebabkan oleh obat yang
diminumnya. Bangkitan yang terkontrol baik, terutama bangkitan tonik-klonik, akan
melahirkan bayi sehat. Penekanan kepada pentingnya kebangkitan yang terkontrol akan
meningkatkan ketaatan penderita untuk minum obat selama hamil.
Evaluasi prakonsepsi adalah fase yang paling penting di dalam manajemen epilepsi dan
kehamilan. Perempuan hamil dengan epilepsi perlu untuk memiliki tinjauan neurologis pada
tahap ini, untuk memastikan diagnosis dan kebutuhan untuk diteruskannya pengobatan
dengan OAE. Monitoring malformasi janin seharusnya dilakukan hingga akhir trimester
pertama. Prosedur skrining lini pertama mungkin berupa estimasi alfa-fetoprotein (AFP)
serum, yang cenderung meningkat dalam kasus NTD terbuka. Kadar AFP serum meningkat
secara bertahap selama trimester pertama dan menurun hingga bulan keempat kehamilan.
Dalam penanganan antenatal, dilakukan pemeriksaan pada setiap trimester dan dokumentasi
dari kejadian kejang, serta obat antiepileptik apa yang sekarang sedang dikonsumsi dan
dosisnya. Pada trimester pertama, tawarkan kepada ibu untuk melakukan skrining terhadap
kelainan kromosom seperti aneuploidy. Selain itu, dilakukan skrining terhadap alfa
fetoprotein pada usia kehamilan 14 hingga 20 minggu. Dilakukan juga pengawasan terhadap
level antikonvulsan dalam plasma setiap 1-2 bulan, dan bila terjadi gangguan dalam
pengendalian kejang, maka dosisnya perlu disesuaikan. Wanita dengan epilepsi yang sedang
hamil juga dianjurkan untuk tidur yang cukup dan patuh terhadap pengobatan epilepsi yang
sedang dijalani, terutama pada trimester akhir, dimana level dari obat antiepileptik berada
pada titik terendah.
Pada wanita dengan epilepsi juga dilakukan surveilans terhadap kelainan kongenital, dengan
menggunakan pemeriksaan ultrasound pada usia kehamilan 11 hingga 13 minggu. Pada
trimester pertama, diperiksa apakah janin acrania atau tidak dan apakah terjadi peningkatan
nuchal translucency, adanya defek jantung atau tidak. Pada trimester kedua, dilakukan
pemeriksaan ultrasound untuk skrining defek pada neural tube.
Kewaspadaan dokter dan kekhawatiran penderita akan kemungkinan terjadinya cacat pada
janin mendorong dikerjakannya pemeriksaan antenatal yang tidak sederhana, meliputi
pemeriksaan kadar OAE, asam folat, AFP, vitamin K, dan pemeriksaan ultrasonografi untuk
mengetahui ada atau tidak adanya neural-tube defects, bibir sumbing, dan kelainan jantung
bawaan. Pemeriksaan tersebut dikerjakan sejak kehamilan 6 minggu sampai 36 minggu.
Tentu saja, pemeriksaan tersebut harus dipahami sepenuhnya oleh penderita dan suaminya.
Khusus untuk pemantauan kadar OAE, tidak ada konsensus atau bukti epidemiologi kuat
yang mendukung pemeriksaan kadar OAE lebih sering dari pada biasa (status tidak hamil).
Walaupun kadar OAE menurun selama kehamilan, fragmen obat yang tidak terikat protein
dalam keadaan lebih konstan. Di samping hal tersebut diatas, penderita dianjurkan untuk
tidur secara cukup. Kurang tidur dapat mencetuskan bangkitan epilepsi maupun
meningkatkan frekuensinya.7
KOMPLIKASI
Status Epileptikus
Menurut International League Against Epilepsy atau ILAE, status epileptikus adalah kondisi
yang berlangsung akibat gagalnya mekanisme terminasi dari kejang atau dari mekanisme
inisiasi kejang yang menyebabkan bangkitan kejang dengan durasi yang panjang. Status
epileptikus (SE) merupakan:
1. aktivitas bangkitan konvulsif yang berlangsung selama 5 -10 menit, atau
2. dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan
kesadaran. Penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai bila bangkitan konvulsif sudah
berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE merupakan keadaan kegawatdaruratan yang
memerlukan penanganan dan terapi segera guna menghentukan bangkitan (dalam waktu
30 menit).12
Komplikasi perinatal
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pennell et al. diketahui bahwa angka
kejadian small gestational age (SGA) tertinggi adalah pada neonatus yang terpapar dengan
asam valproate (14,5%) dan carbamazepine (12,9%). Sementara untuk mikrosefali, angka
tertingginya adalah pada neonatus yang terpapar dengan carbamazepine (24%) dan asam
valproate (18%).
Selain itu, dari penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Artama et al, ditemukan bahwa
neonatus yang lahir dari ibu dengan epilepsi memiliki risiko lebih tinggi untuk skor APGAR
yang rendah daripada neonatus dari ibu tanpa epilepsi. Pada wanita dengan epilepsi yang
menjalani politerapi obat antiepileptik memiliki risiko 2-3 kali lipat lebih tinggi terhadap
komplikasi perinatal. Angka neonatus dengan berat badan lahir rendah banyak pada neonatus
yang dengan ibu dalam terapi carbamazepine, levetiracetam, dan klonazepam.13
Risiko obstetrik
Menurut studi retrospektif yang dilakukan oleh Borthen et al, wanita dengan epilepsi yang
menggunakan obat antiepileptik memiliki risiko yang meningkat terhadap beberapa
komplikasi obstetrik yaitu terhadap pre eklamsia, perdarahan pada trimester awal kehamilan,
induksi persalinan dan sectio caesarea.13

PROGNOSIS
Dubia ad bonam
DAMPAK EPILEPSI TERHADAP KEHAMILAN
Sekitar 30% perempuan hamil yang sudah mendapat terapi mengalami kenaikan frekuensi
bangkitan. Risiko paling tinggi dihadapi oleh mereka yang sudah memiliki bangkitan lebih
dari satu kali sebelum hamil. Risiko paling rendah terjadi pada mereka yang pada masa
sebelum kehamilan hanya mengalami bangkitan kurang dari satu kali dalam sembilan bulan.
Fungsi ginjal juga meningkat dengan adanya peningkatan creatinine clearance 50% yang
berdampak pada metabolisme. Hal ini akan menurunkan kadar OAE dalam sirkulasi darah,
sehingga kebutuhan OAE meningkat. elain itu, estrogen yang bersifat epileptogenik
meningkat selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ke tiga. Hal itu
berdampak pada peningkatan frekuensi bangkitan. Sebaliknya, progesteron yang bersifat
antiepileptik akan meningkat pada fase luteal dalam siklus menstruasi sehingga pada masa
itu frekuensi bangkitan akan turun.
Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi, dengan akibat filtrasi glomerulus berkurang
sehingga terjadi retensi cairan serta edema, akibatnya kadar obat dalam plasma akan
menurun. Retensi cairan yang terjadi menyebabkan hiponatremi. Keadaan ini akan
menimbulkan gangguan parsial dari sodium pump yang mengakibatkan peninggian
eksitabilitas neuron dan mempresipitasi bangkitan.
Secara ringkas, beberapa penyebab yang dideteksi memicu kenaikan frekuensi bangkitan
adalah : (1) Faktor hormonal, peningkatan estrogen yang bersifat epileptogenik, (2)
Metabolik, yaitu peningkatan sodium dan retensi cairan, (3) Psikologik dan emosional, yaitu
kecemasan atau ketegangan yang cenderung meningkat serta gangguan tidur, (4)
Farmakokinetik yaitu gangguan ikatan protein atau protein binding plasma dan absorbsi
OAE, (5) Kurangnya ketaatan pasien selama kehamilan terhadap terapi yang disebabkan
karena malas, bosan atau adanya mual-muntah selama kehamilan maupun kekawatiran
terhadap efek samping obat.
Kebanyakan perempuan dengan epilepsi telah mengalami bangkitan sebelum kehamilan.
Meskipun jarang terjadi, beberapa perempuan dengan epilepsi mungkin mengalami
bangkitan hanya selama kehamilan, yang disebut dengan gestational epilepsy. Perempuan
tersebut akan bebas bangkitan diantara kehamilan. Sebuah subkelompok lain (gestational
onset epilepsy) mungkin mengalami bangkitan pertama mereka ketika hamil dan setelah itu
mungkin terus mendapatkan bangkitan rekuren spontan. Sekitar 1% hingga 2% perempuan
dengan epilepsi mungkin mengalami status epileptikus selama kehamilan, yang
berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Bayi dari ibu yang menderita epilepsi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk sejumlah
outcome kehamilan yang merugikan. Di antaranya adalah kematian janin, malformasi
kongenital, perdarahan neonatus, berat badan lahir rendah, keterlambatan perkembangan,
kesulitan makan, dan epilepsi masa kanak-kanak.
Sejumlah data epidemiologi menunjukkan, anak dari perempuan penderita epilepsi
mengalami cacat lahir sekitar 2–3 kali lebih tinggi dari populasi umum. Di seluruh dunia,
sekitar 40.000 bayi setiap tahun terpajan OAE di dalam kandungan. Diperkirakan sekitar
1.500-2.000 dari bayi tersebut mengalami cacat lahir sebagai dampak OAE tersebut.
Bangkitan selama kehamilan meningkatkan risiko outcome kehamilan yang merugikan.
Bangkitan pada trimester pertama diketahui meningkatkan risiko malformasi kongenital
pada keturunan 12,3% berbanding 4% dengan anak yang terpapar dengan bangkitan
maternal pada waktu yang lain. Bangkitan umum tonik-klonik meningkatkan risiko hipoksia
dan asidosis dan juga cedera karena trauma benda tumpul. Peneliti dari Kanada menemukan
bahwa bangkitan maternal selama kehamilan meningkatkan risiko keterlambatan
perkembangan. Meski jarang terjadi, status epileptikus dapat menyebabkan tingkat mortalias
yang tinggi bagi ibu dan anak. Di dalam sebuah penelitian terhadap 29 kasus yang
dilaporkan, 9 ibu dan 14 anak meninggal selama atau sesaat setelah episode status
epileptikus. Anak dari seorang perempuan yang memiliki tiga kali bangkitan tonik klonik
umum selama kehamilannya, dapat menyebabkan perdarahan intraserebral.14
Kematian Janin
Kematian janin, didefinisikan sebagai fetal loss setelah usia kehamilan 20 minggu
tampaknya menjadi hal yang umum terjadi dan kemungkinan merupakan masalah yang
sama besarnya dengan malformasi dan anomali kongenital. Penelitian yang
membandingkan tingkat stillbirth menemukan tingkat yang lebih tinggi pada bayi dari ibu
dengan epilepsi (1,3-1,4%) dibandingkan dengan bayi dari ibu tanpa epilepsi (1,2-7,8%).
Aborsi spontan, didefinisikan sebagai fetal loss pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu,
tampaknya terjadi lebih sering pada bayi dari ibu dengan epilepsi. Penelitian lain telah
menunjukkan kenaikan tingkat kematian neonatus dan perinatal. Tingkat kematian perinatal
berkisar dari 1,3 hingga 7,8% dibandingkan dengan 1,0 hingga 3,9% kontrol.
Serangan epilepsi selama trimester pertama kehamilan juga berhubungan dengan
peningkatan risiko terjadinya cacat. Pada penelitian ditemukan sekitar 12% anak lahir cacat
dari ibu epilepsi yang mengkonsumsi OAE dan mengalami serangan pada trimester pertama.
Ibu yang tidak mengalami serangan pada trimester pertama kehamilan namun juga
mengkonsumsi OAE, cacat lahir yang terjadi hanya sekitar 4 %. Serangan selama kehamilan
juga dihubungkan dengan lebih tingginya angka fetal dan maternal mortality rates sebesar
30%–50%12. Hiilesmaa et al. meneliti hubungan antara epilepsi general dan kematian janin.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan peningkatan kematian maternal dan fetal
berhubungan dengan status epileptikus dan efek samping bangkitan secara umum pada janin
seperti hipoksia dan asidosis. Hal itu mengindikasikan, terapi OAE perlu dilanjutkan
meskipun kewaspadaan terhadap teratogenik OAE harus diperhatikan9.
Perdarahan Neonatus
Sebuah fenomena perdarahan neonatus yang unik telah digambarkan pada bayi dengan
epilepsi. Berbeda dengan gangguan perdarahan lain pada bayi dimana perdarahan cenderung
terjadi selama 24 jam pertama kehidupan. Pada awalnya berhubungan dengan paparan
terhadap fenobarbital atau primidone tetapi selanjutnya juga ditunjukkan pada anak yang
terpapar dengan fenitoin, karbamazepin, diazepam, mefobarbital, amobarbital, dan
ethosuximide. Sebuah kelompok peneliti menunjukkan bahwa vigabatrin juga meningkatkan
risiko perdarahan neonatus. Angka prevalensi mencapai setinggi 30% tetapi tampaknya
memiliki rata-rata 10%. Mortalitas tinggi, lebih dari 30%, karena perdarahan terjadi dalam
kavitas interna dan tidak diketahui hingga anak mengalami syok. Perdarahan diakibatkan
karena defisiensi faktor penjendalan yang tergantung vitamin K yaitu faktor II, VII, IX dan
X. Antikonvulsan bekerja seperti warfarin, dan menghambat transport vitamin K melewati
plasenta11.
Berat Badan Lahir Rendah
Berat badan lahir rendah (kurang dari 2500g) dan prematuritas telah ditunjukkan pada bayi
dari ibu penderita epilepsi. Rata-rata tingkatan berkisar dari 7-10% untuk berat badan lahir
rendah dan 4-11% untuk prematuritas. Penelitian ini tidak menganalisis efek dari tipe
bangkitan tertentu, frekuensi atau OAE terhadap aspek perkembangan janin11.
Malformasi dan Teratogenesis OAE
Berbagai penelitian menemukan, OAE yang dikonsumsi ibu lebih menjadi penyebab cacat
lahir dibanding penyakitnya atau epilepsinya sendiri. OAE menyebabkan efek teratogenik
pada janin5. Penelitian yang dilakukan oleh Holmes et al. menunjukkan, peningkatan cacat
lahir pada bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita epilepsi yang mendapat terapi OAE lebih
tinggi dibandingkan dengan yang tidak mendapat terapi13.
Meskipun dihadapkan pada risiko cacat lahir, penghentian OAE pada perempuan hamil
bukan suatu tindakan yang realistik. Hal itu disebabkan karena kondisi kehamilan itu sendiri
meningkatkan risiko bangkitan. Sekitar 30% perempuan hamil yang sudah mendapat terapi
mengalami kenaikan frekuensi bangkitan. Risiko paling tinggi dihadapi oleh mereka yang
sudah memiliki bangkitan lebih dari satu kali sebelum hamil. Risiko paling rendah terjadi
pada mereka yang pada masa sebelum kehamilan hanya mengalami bangkitan kurang dari
satu kali dalam sembilan bulan.
Sejumlah OAE baru telah dipasarkan di Amerika Serikat sejak tahun 1993: gabapentin,
felbamate, lamotrigine, leveticaretam, oxcarbazepine, tiagabine, topiramate, dan zonisamide.
Jumlah laporan kehamilan yang terpapar obat ini sangat rendah, dan tidak cukup besar untuk
dapat menentukan apakah ada peningkatan risiko outcome yang merugikan dengan paparan
janin. Kita mengetahui bahwa konsentrasi lamotrigin dan levetiracetam mengalami
penurunan selama kehamilan dan telah menduga bahwa hal ini juga benar untuk OAE yang
baru lainnya.
Pemberian terapi jangka panjang dengan zat yang diperkirakan mempunyai efek teratogenik
yang potensial pada masa usia kehamilan yang sensitif harus dipertimbangkan dengan
cermat, hal ini termasuk penggunaan OAE. Gangguan pada masa rawan ini menimbulkan
cacat terutama pada sistem saraf pusat, karena sistem saraf pusat sedang terbentuk dan
berkembang.
Neural Tube Defect (NTD) adalah cacat yang terjadi pada susunan saraf pusat termasuk otak
dan medula spinalis. Spina bifida merupakan istilah dari bahasa Latin yang berarti medula
spinalis yang terbuka, mengacu pada cacat lahir yang ditandai dengan adanya medula spinalis
yang tidak terbentuk secara lengkap. Anensefali merupakan salah satu bentuk NTD yang
ditandai sebagian besar otak, tulang tengkorak dan mungkin medula spinalis tidak
terbentuk.15

PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP EPILEPSI


Kehamilan berhubungan dengan perubahan fisiologis, endokrin, dan psikologikal yang dapat
berkontribusi terhadap menurunnya ambang batas kejang atau seizure threshold. Faktor yang
dapat memprediksi frekuensi kejang selama kehamilan adalah frekuensi kejang yang terjadi
selama 1 tahun sebelum kehamilan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Battino et al., sebanyak 66.6% (n= 2521) wanita dengan
riwayat epilepsi bebas kejang selama periode kehamilan. Sedangkan sebanyak 33.4% (n=
1263) mengalami kejang dimana 15,2% mengalami kejang tonik klonik dan 18,2%
mengalami kejang non konvulsif. Pada kohort, 70,5% mengalami frekuensi kejang tidak
berubah, 12% terjadi frekuensi kejang yang berkurang, dan 15,8% terjadi peningkatan
frekuensi kejang. Pada kelompok yang mengalami peningkatan frekuensi kejang, 32%
(n=189) mengalami pada trimester ke-2, 39% (n= 229) mengalami peningkatan frekuensi
kejang pada trimester ke-3, dan 29% (n= 171) mengalami peningkatan frekuensi kejang di
trimester kedua dan ketiga.
Konsentrasi obat antiepileptik dalam plasma bisa mengalami fluktuasi akibat perubahan
fisiologis dalam proses absorpsi, peningkatan renal clearance, hepatic clearance, peningkatan
pada distribusi volume plasma dan induksi enzim di liver. Pada kehamilan, absorpsi obat
dapat terganggu karena berkurangnya tonus dan motilitas gaster. Perubahan pada aktivitas
enzim di liver yang berperan dalam metabolisme obat, aliran darah, dan transporter obat
dapat mempengaruhi hepatic clearance dari obat antiepileptik. Hal ini menjadi sangat penting
karena beberapa obat antiepileptik dimetabolisme oleh nicotinamide adenine dinucleotide
phosphate (NADPH) sitokrom P450 reduktase, uridine diphosphatase glucose (UDP)
glukoronosiltransferase, dan kemudian dieksresikan lewat ginjal.Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Reiseinger et al., penurunan dari antiepileptic drug level >35% dari level
baseline saat sebelum kehamilan dapat meningkatkan risiko kejang pada beberapa pasien.13,11

PENGARUH EPILEPSI DAN OBAT ANTI EPILEPSI TERHADAP KEHAMILAN


DAN JANIN
Kebanyakan penderita epilepsi telah mengalami bangkitan sebelum kehamilan. Meskipun
jarang terjadi, beberapa perempuan dengan epilepsi mungkin mengalami bangkitan hanya
selama kehamilan, yang disebut dengan gestational epilepsy. Pada gestatioanal epilepsy,
penderita akan mengalami bebas kejang diatara 2 kehamilan, namun bisa juga mengalami
bangkitan rekuren spontan saat setelah hamil yang disebut gestational onset epilepsy. Sekitar
1% hingga 2% perempuan dengan epilepsi mungkin mengalami status epileptikus selama
kehamilan, yang berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Komplikasi serangan epilepsi pada kehamilan terjadi 1,5 sampai 4 kali, yaitu perdarahan
pervaginam sekitar 7%-10% pada trimester I dan III, hiperemesis gravidarum sebagianbesar
akibat dosis tinggi obat anti epilepsi, herpes maternal ditemukan 6 kali lebih sering dan resiko
timbulnya preeklampsia 50%-250%.7,8
Bayi dari ibu yang menderita epilepsi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk sejumlah
outcome kehamilan yang kurang baik, diantaranya adalah kematian janin, malformasi
kongenital, perdarahan neonatus, berat badan lahir rendah,keterlambatan perkembangan,
kesulitan makan, dan epilepsi masa kanak-kanak. Sejumlah data epidemiologi menunjukkan
anak dari perempuan penderita epilepsi mengalami cacat lahir sekitar 2–3 kali lebih tinggi
dari populasi umum. Di seluruh dunia, sekitar 40.000 bayi setiap tahun terpajan OAE di
dalam kandungan, diiperkirakan sekitar 1.5002.000 dari bayi tersebut mengalami cacat lahir
sebagai dampak OAE tersebut.
Berbagai penelitian menemukan,OAE yang dikonsumsi ibu yang menderita epilepsi lebih
menjadi penyebab cacat lahir dibanding penyakitnya atau epilepsinya sendiri. Obat anti
epilepsi menyebabkan efek teratogenik pada janin. Penghentian OAE pada penderita epilepsi
yang sedang hamil bukan suatu tindakan yang realistic karena kondisi kehamilan itu sendiri
meningkatkan risiko bangkitan. Sekitar 30% perempuan hamil yang sudah mendapat terapi
mengalami kenaikan frekuensi bangkitan, risiko paling tinggi dihadapi oleh mereka yang
sudah memiliki bangkitan lebih dari satu kali sebelum hamil, risiko paling rendah terjadi pada
mereka yang pada masa sebelum kehamilan hanya mengalami bangkitan kurang dari satu kali
dalam sembilan bulan.
Peningkatan risiko malformasi kongenital yang berhubungan dengan penggunaan valproat
sudah menjadi temuan dalam banyak penelitian yang melibatkan banyak kasus oleh karena
itu kehamilan pada penderita epilepsi yang sedang diterapi dengan asam valproat perlu
direncanakan, dan rasio manfaat-risiko penggunaan asam valproat yang berkelanjutan atau
perubahan terapi perlu dibicarakan dengan pasien.
Kejang tonik klonik yang tidak terkontrol merupakan faktor risiko terbesar untuk kejadian
SUDEP, yang menjadi penyebab utama dari kematian wanita dengan riwayat epilepsi.
Sudden unexpected death in epilepsy atau SUDEP merupakan kematian yang tiba-tiba, tidak
terduga, non trauma, pada pasien dengan epilepsi dengan atau tanpa bukti terjadinya kejang
dan tidak berhubungan dengan status epileptikus.
Menurut penelitian, belum ada yang dapat menunjukkan kejadian kejang parsial sederhana,
parsial kompleks, absans, atau mioklonik berbahaya bagi janin. Selain itu, studi prospektif
lain juga belum dapat menunjukkan hubungan antara kejang tonik klonik dan malformasi.
Kejang umum pada saat persalinan akan menyebabkan asfiksia transien pada janin. Pada
kejang grand mal, 15 menit setelah kejang, terjadi bradikardia pada janin, variabilitas
berkurang, dan deselerasi. Angka kejadian fetal loss akibat pengaruh epilepsi atau obat
antiepileptik cenderung rendah.
Overall risk tertinggi dari malformasi kongenital mayor 12 minggu setelah lahir dengan
pajanan terhadap obat antiepiletik di trimester pertama, yang merupakan data dari NAAPR
adalah asam valproate dengan 9,3%.
Dosis asam valproate lebih dari 1500mg/hari akan memiliki risiko malformasi kongenital
sebanyak lebih dari 24,2%. Menurut data UK Epilepsy and Pregnancy Register yang
melaporkan malformasi kongenital yang terdeteksi pada usia bayi 3 bulan. Dari laporan
tersebut, diketahui bahwa lamotrigine dosis tinggi memiliki risiko lebih rendah terhadap
kejadian malfomasi kongenital bila dibandingkan dengan asam valproate dosis berapapun.
EURAP menunjukkan asam valproate memiliki risiko tertinggi untuk menyebabkan
malformasi kongenital dan yang terendah adalah lamotrigine dengan dosis kurang dari 300
mg. Lamotrigine dan levetiracetam dalam monoterapi ataupun politerapi memiliki efek
teratogenik yang lebih rendah dan menjadi pilihan untuk manajemen epilepsi selama
kehamilan.
Dosis asam valproate lebih dari 1500mg/hari akan memiliki risiko malformasi kongenital
sebanyak lebih dari 24,2%. Menurut data UK Epilepsy and Pregnancy Register yang
melaporkan malformasi kongenital yang terdeteksi pada usia bayi 3 bulan. Dari laporan
tersebut, diketahui bahwa lamotrigine dosis tinggi memiliki risiko lebih rendah terhadap
kejadian malfomasi kongenital bila dibandingkan dengan asam valproate dosis berapapun.
Perkembangan neurokognitif
Obat antiepileptik sampai sekarang masih diobservasi mengenai efek apoptosis neuronal.
Efek dari apoptosis tergantung dari dosis yang diberikan dan dapat terjadi pada satu kali
paparan dosis tunggal. Beberapa obat antiepileptik seperti carbamazepine, lamotrigine, atau
topiramate tidak menginduksi apoptosis pada monoterapi. Pada politerapi obat antiepileptik
memiliki risiko apoptosis yang meningkat. Obat antiepileptik dapat menganggu
sistemneurotransmitter yang bisa berpengaruh terhadap proliferasi dan migrasi neuron.
Blockade dari reseptor NMDA atau peningkatan inhibisi GABA dapat menganggu
neurogenesis dan migrasi sel sehingga dapat menyebabkan dysplasia kortikal dan
berkurangnya volume otak serta mengganggu synaptogenesis. Semua perubahan
neurotransmitter dan perubahan seluler pada bayi dan anak yang terpapar obat antiepileptik
selama dalam kandungan dapat menyebabkan gangguan kognitif. Sampai saat ini, menurut
penelitian yang dilakukan oleh Manthey et al, satu satunya obat antiepileptik yang tidak
menyebabkan apoptosis dalam monoterapi dan kombinasi dengan obat lain adalah
levetiracetam.4,6
BAB III
KESIMPULAN

Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi adalah dapat meningkatkan frekuensi kejang. Salah
satu faktor yang dapat memprediksi frekuensi kejang selama kehamilan adalah frekuensi
kejang yang terjadi selama 1 tahun sebelum kehamilan. Beberapa obat antiepileptik, bersifat
teratogenik, dan dapat berpengaruh terhadap kehamilan seperti malformasi kongenital,
komplikasi perinatal, dan perkembangan neurokognitif, seperti asam valproat, fenitoin, dan
carbamazepine. Penanganan epilepsi pada kehamilan yang meliputi penanganan antenatal,
intrapartum, dan post partum.
Sebagian besar perempuan dengan epilepsi saat ini dapat memiliki dan membesarkan anak
yang normal dan sehat, tetapi kehamilan mereka memiliki peningkatan risiko untuk
komplikasi. Kehamilan dapat menyebabkan peningkatan frekuensi bangkitan pada beberapa
perempuan dengan epilepsi. Bangkitan epilepsi maternal dan paparan obat antiepilepsi in
utero dapat meningkatkan risiko terjadinya outcome yang merugikan pada anak yang
dilahirkan dari ibu dengan epilepsi. Outcome ini termasuk fetal loss dan kematian perinatal,
malformasi dan anomali kongenital, perdarahan neonatal, berat badan lahir rendah,
keterlambatan perkembangan, dan epilepsi masa kanak-kanak.
Penatalaksanaan epilepsi pada kehamilan meliputi pentalaksanaan konsultasi dan edukasi
prakonsepsi, pemilihan OAE sebelum dan selama kehamilan, ANC dan pemberian supemen
volat dan Vit K, persalinan dan post partum (menyusui).
DAFTAR PUSTAKA

1. Patel and Page B. Pennell . Management of epilepsy during pregnancy: an update.


Therapeutic Advances in Neurological Disorders. Sima I. Ther Adv Neurol Disord
2016, Vol. 9(2) 118–129 DOI: 10.1177/ 1756285615623934
2. Agus Taufiqurrohman, et al. MANAJEMEN EPILEPSI PADA KEHAMILAN. JKKI
– Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia
3. Allotey J, Fernandez-Felix BM, Zamora J, Moss N, Bagary M, Kelso A, et al. (2019)
Predicting seizures in pregnant women with epilepsy: Development and external
validation of a prognostic model. PLoS Med 16(5): e1002802.
https://doi.org/10.1371/journal.pmed.1002802
4. Fidelia , Julita D. L. Nainggolan. Epilepsi Dalam Kehamilan. pISSN: 1978-3094 .
Medicinus. 2018; 7 (2) : 61 – 69
5. Mamta Mahajan, et al. Risks and management of pregnancy in women with epilepsy:
a review. International Journal of Reproduction, Contraception, Obstetrics and
Gynecology Mahajan M et al. Int J Reprod Contracept Obstet Gynecol. 2018
Apr;7(4):1289-1295 www.ijrcog.org
6. Epilepsy in pregnancy. REPRINTED FROM Australian Family Physician Vol. 43,
No. 3, MARCH 2014
7. Riki Sukiandra. Epilepsi dan Kehamilan. JIK, Jilid 8, Nomor 2, September 2014, Hal.
58-63
8. Epilepsy in Pregnancy. RCOG Green-top Guideline No. 68. Royal College of
Obstetricians and Gynaecologists. 2016
9. Borgelt et al. Epilepsy during pregnancy: focus on management strategies.
International Journal of Women’s Health 2016:8
10. Miachael, et al. Epilepsy in pregnancy. BMJ 2016;353:i2880 doi: 10.1136/bmj.i2880
(Published 2 June 2016)
11. Tomson, et al. Management of epilepsy in pregnancy: A report from the International
League Against Epilepsy Task Force on Women and Pregnancy. Epilepsia.
2019;00:1–3.
12. Ellen Mawhinney & Jim Morrow (2011) Managing epilepsy in pregnancy, Expert
Review of Obstetrics & Gynecology, 6:6, 667-680, DOI: 10.1586/eog.11.66
13. Khuda & Aljaafari. Epilepsy in pregnancy. Neurosciences 2018; Vol. 23 (3)
14. P. O. González-Vargas, et al. Clinical guideline: epilepsy in pregnancy and women of
childbearing age. Rev Mex Neuroci. 2019;20
15. Galappatthy et al. Obstetric outcomes and effects on babies born to women treated for
epilepsy during pregnancy in a resource limited setting: a comparative cohort study.
BMC Pregnancy and Childbirth (2018) 18:230

Anda mungkin juga menyukai