PENDAHULUAN
DEFINISI
Definisi epilepsi secara konseptual adalah gangguan di otak yang ditandai dengan
faktor predisposisi menetap untuk mengalami kejang selanjutnya dan terdapat konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial dari kondisi ini. 4 Definisi praktikal dari epilepsi
adalah:
1. Terdapat dua atau lebih kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari 24 jam.
2. Terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi namun risiko kejang selanjutnya sama
dengan risiko rekurensi umum (mencapai 60%) setelah dua kejang tanpa provokasi
dalam 10 tahun mendatang.
ETIOLOGI
Menurut International League Against Epilepsy atau ILAE, etiologi epilepsi dapat
dibagi menjadi 3 kategori yaitu idiopatik, simtomatik, dan kriptogenik5
Pada epilepsi idiopatik, epilepsi disebabkan oleh faktor genetik yang dominan, tidak
terdapat abnormalitas pada neuroanatomi atau neuropatologi.
Pada epilepsi simtomatik, epilepsi pada kategori ini merupakan epilepsi yang dapat
bersifat genetik atau yang didapat (acquired), dimana terdapat hubungan dengan abnormalitas
anatomi atau patologi, dan atau manifestasi klinis yang indikatif terhadap penyakit atau
kondisi yang melatarbelakangi. Pada kategori ini, gangguan perkembangan dan kongenital
yang berhubungan dengan perubahan patologi serebral.
Epilepsi kriptogenik termasuk dalam epilepsi simtomatik, namun penyebabnya tidak
dapat diketahui.
EPIDEMIOLOGI
Sebuah meta-analisis studi insiden epilepsi melaporkan tingkat kejadian epilepsi secara
keseluruhan sekitar lima per 10.000 per orang tahun 1. Kohort studi perkembangan anak
nasional Inggris, berdasarkan pada lebih dari 17.000 anak yang lahir pada bulan Maret,
ditemukan insiden kumulatif epilepsi yang dikonfirmasi adalah 8,4 per 1000 pada usia 23
tahun, dengan prevalensi aktif 6,3 per 1000. Seumur hidup prevalensi diperkirakan 2-5%;
Namun, prevalensi epilepsi pada populasi hamil biasanya dianggap sebagai kurang dari
perkiraan di atas. Ini mungkin karena kejangnya hanya satu aspek dari spektrum kondisi lain
yang di dalamnya sendiri dapat mengurangi kehamilan, atau karena beberapa wanita dengan
epilepsi dapat memilih untuk tidak hamil karena ketakutan seputar kejang dan/atau obat yang
digunakan untuk mengobatinya. Perkiraan menunjukkan bahwa antara 0,2 dan 0,5%
kehamilan yang terjadi melibatkan seorang wanita dengan epilepsi aktif 2,5.
FAKTOR RESIKO
Beberapa peneliti mengatakan bahwa bangkitan epilepsi lebih sering terjadi terutama
pada trimester I dan hanya sedikit meningkat trimester III. Meningkatnya frekuensi serangan
kejang pada wanita penyandang epilepsi selama kehamilan ini disebabkan oleh6 :
Perubahan hormonal
Hormon yang berpengaruh terhadap bangkitan epilepsi pada wanita hamil adalah estrogen
dan progesteron.
Metabolik
Adanya kenaikan berat badan
Deprivasi tidur
Wanita hamil sering mengalami kurang tidur yang disebabkan beberapa keadaan seperti rasa
mual muntah, nyeri pinggang, gerakan janin dalam kandungan, nokturia akibat tekanan pada
kandung kencing dan stress psikis. Semuanya ini dapat meningkatkan serangan kejang. Mual
muntah yang sering pada kehamilan trimester pertama dapat mengganggu pencernaan dan
absorbsi obat anti epilepsi.
Perubahan farmakokinetik pada obat anti epilepsi (OAE)
Penurunan kadar obat anti epilepsi ini disebabkan oleh beberapa keadaan antara lain
berkurangnya absorbsi (jarang), meningkatnya volume distribusi, penurunan protein binding
plasma, berkurangnya kadar albumin dan meningkatnya kecepatan drug clearance pada
trimester terakhir.
Penurunan serum albumin sesuai dengan bertambahnya usia gestasi juga mempengaruhi
kadar plasma obat anti epilepsi, sehingga obat anti epilepsi yang terikat dengan protein
berkurang dan menyebabkan peningkatan obat anti epilepsi bebas. Namun obat anti epilepsi
ini akan cepat dikeluarkan sesuai dengan meningkatnya drug clearance yang disebabkan oleh
induksi enzim mikrosom hati akibat peningkatan hormon steroid (estrogen dan progesteron).
Pada umumnya dalam beberapa hari-minggu setelah partus kadar obat anti epilepsi akan
kembali normal.
Suplementasi asam folat
Penurunan asam folat (37%) dalam serum darah dapat ditemukan pada penderita yang telah
lama mendapat obat anti epilepsi16 . Wanita hamil dengan epilepsi lebih mungkin menjadi
anemia 11% (anemia mikrositer), karena sebagian besar obat anti epilepsi yang dikonsumsi
berperan sebagai antagonis terhadap asam folat dan juga didapatkan thrombositopenia.
Suplementasi asam folat dapat mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (fenytoin dan
fenobarbital) sehingga mempengaruhi kadarnya dalam plasma.
Psikologik (stres dan ansietas)
Stres dan ansietas sering berhubungan dengan peningkatan jumlah terjadinya serangan
kejang. Keadaan ini sering disertai dengan gangguan tidur, hiperventilasi, gangguan nutrisi
dan gangguan psikologik sekunder.
Penggunaan alkohol dan zat
Penggunaan alkohol yang berlebihan akan menginduksi enzim hati dan menurunkan kadar
plasma obat anti epilepsi (fenobarbital, fenytoin dan karbamazepin) sehingga timbul kejang.
Disamping itu intoksikasi alkohol mapun obat-obatan terlarang akan menyebabkan gangguan
siklus tidur normal sehingga meningkatkan frekuensi kejang.
PATOGENESIS
Hormon yang berpengaruh terhadap bangkitan epilepsi pada wanita hamil adalah estrogen
dan progesteron. Pada wanita hamil kadar estrogen dalam darah akan menurun,sehingga
merangsang aktifitas enzim asam glutamat dekarboksilase, sintesa gamma amino butiric acid
(GABA) akan menurun dalam otak sehingga merangsang bangkitan epilepsi. Pada kehamilan
juga terjadi hemodilusi, sehingga filtrasi glomerulus berkurang yang mengakibatkan retensi
cairan sebagai penyebab edema. Retensi cairan juga menyebabkan hiponatremi sehingga
terjadi gangguan “sodium pump” yang mengakibatkan peninggian eksitabilitas neuron dan
mempresitasi bangkitan.7
Kadar estrogen dan progesteron dalam plasma darah akan meningkat secara bertahap selama
kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ketiga. Sedangkan kadar hormon
khorionik gonadotropin mencapai puncak pada kehamilan trimester pertama yang kemudian
menurun terus sampai akhir kehamilan. Serangan kejang pada epilepsi berkaitan erat dengan
rasio estrogen-progesteron, sehingga wanita penyandang epilepsi dengan rasio estrogen-
progesteron yang meningkat akan lebih sering mengalami kejang dibandingkan dengan yang
rasionyamenurun. Kerja hormon estrogen adalah menghambat transmisi GABA (dengan
merusak enzim glutamat dekarboksilase). GABA merupakan neurotransmiter inhibitorik,
sehingga nilai ambang kejang makin rendah dengan akibat peningkatan kepekaan untuk
terjadinya serangan epilepsi. Sebaliknya kerja hormon progesteron adalah menekan pengaruh
glutamat sehingga menurunkan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi.7
Adanya kenaikan berat badan pada wanita hamil yang disebabkan retensi air dan garam serta
perubahan metabolik seperti terjadinya perubahan metabolisme di hepar yang dapat
mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (terutama proses eliminasi). Serta terjadinya
alkalosis respiratorik dan hipomagnesemia yang dapat menimbulkan kejang, meskipun masih
selalu diperdebatkan.8
PATOFISIOLOGI
Aktivitas kejang fokal dapat terjadi di daerah korteks dan kemudian menyebar ke
daerah lain. Dalam hal ini terdapat dua fase yaitu inisitasi kejang dan propagasi kejang. Fase
inisiasi melibatkan adanya action potential burst dengan frekuensi tinggi dan
hipersinkronisasi. Rekrutmen dari beberapa neuron akan menimbulkan propagasi dari
aktivitas kejang melalui koneksi kortikal yang lokal dan bisa menyebar ke area lain melalui
corpus calosum. Epileptogenesis adalah transformasi dari jaringan saraf yang normal menjadi
hipereksitasi. Hal itu akan menginisiasi proses yang menurunkan ambang batas kejang atau
seizure threshold di regio tersebut hingga akhirnya terjadi kejang spontan. Hipereksitasi lokal
akan menyebabkan perubahan struktur yang terjadi seiring waktu berjalan hingga terbentuk
lesi fokal yang menyebabkan kejang.7
MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu8 :
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu hemisfer
serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita
umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau
emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang paling khas
terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua
hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita
umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia. Serangan
tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak
terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan badan.
Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang yang terjadi
dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan total disertai
kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik
berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik.
Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,
pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang terjadi
berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh akibat
hilangnya keseimbangan,
DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan
yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.9
1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis epilepsi. Dalam
melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis
dapat memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu.
Penjelasan dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting
dan merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus. Sebab-sebab terjadinya
serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur
dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran
antara anggota tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral.
3) Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan dan
harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat
dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang
tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal. Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan
penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis bertujuan untuk
melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan
Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila
dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak
lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan.
SCREENING
Pada wanita hamil yang mengalami kejang pada paruh kedua kehamilan yang tidak
dapat dijelaskan dengan jelas dikaitkan dengan epilepsi, pengobatan segera harus mengikuti
protokol yang ada untuk manajemen sampai diagnosis definitif dibuat oleh penilaian
neurologis lengkap. Kondisi jantung, metabolik, dan intrakranial lainnya harus
dipertimbangkan dalam diagnosis banding. Kondisi neuropsikiatri termasuk gangguan
serangan non-epilepsi juga harus dipertimbangkan. Panduan rujukan tersier National Institute
for Health and Care Excellence (NICE) harus diikuti jika ada ketidakpastian diagnostik atau
kegagalan pengobatan.10
Salah diagnosis menghadapkan ibu dan anak yang belum lahir pada hal-hal yang tidak
perlu dan berpotensi berbahaya perawatan narkoba selain beban psikososial, seperti
kehilangan mengemudi yang tidak pantas hak-hak istimewa atau pembatasan pekerjaan. Jika
ada ketidakpastian diagnostik, wanita yang hadir dengan kejang harus memiliki keterlibatan
ahli saraf. Diagnosis mungkin tergantung pada riwayat epilepsi masa lalu atau pada faktor
risiko lain. Modalitas pencitraan seperti magnetic resonance imaging (MRI) dan
komputerisasi pemindaian tomografi (CT) dianggap aman pada kehamilan untuk menilai
wanita yang mengalami kejang. Risiko pada janin dari paparan tunggal minimal. Diangosis
dari sindrom epilepsi berdasarkan pemeriksaan EEG. 10
DIAGNOSIS BANDING
Jika ada keraguan apakah kejang sekunder untuk epilepsi atau eklampsia, magnesium
sulfat, yang merupakan obat pilihan untuk pengobatan kejang eklampsia, harus diberikan
sampai diagnosis definitif dibuat. Diagnosis banding lain untuk kejang pada kehamilan
termasuk sinus vena serebral trombosis, sindrom leukoensefalopati reversibel posterior, lesi
yang menempati ruang dan sindrom vasokonstriksi serebral reversibel. Kondisi lain, seperti
sinkop terkait dengan aritmia jantung, stenosis aorta, sensitivitas sinus karotis, sinkop
vasovagal dan kondisi metabolik seperti hipoglikemia, hiponatremia, dan krisis Addisonian
perlu dikesampingkan untuk presentasi pertama kejang pada kehamilan. Gangguan serangan
non-epilepsi, juga disebut sebagai kejang non-epilepsi psikogenik, kejang disosiatif atau
pseudoseizure, membentuk diagnosis banding yang penting dalam individu dengan serangan
yang resistan terhadap obat. Gangguan serangan non-epilepsi dapat muncul bersamaan
dengan: epilepsi dan menimbulkan tantangan diagnostik dan terapeutik yang kompleks yang
membutuhkan manajemen multidisiplin dengan akses ke layanan psikologis atau psikiatri.10
TERAPI
EDUKASI
1. Konsultasi prenatal
2. Rutin ANC
3. Rutin minum obat
4. Hindari faktor pencetus kejang
5. Istirahat cukup
Penyuluhan Prakonsepsi dan Ante Natal Care
Menjelang perkawinan, hakekat dan seluk beluk kehamilan sudah harus dijelaskan kepada
penderita dan calon suaminya. Hal ini berkaitan dengan kehamilan dan seluruh proses
perubahan perubahan yang terjadi pada janin dan tubuh calon ibu, persalinan, menyusui,
ketaatan minum OAE dan kemungkinan perubahan dosis dan/atau jenis OAE yang
diminumnya.7
Beberapa konseling bagi perempuan epileptik yang akan segera memiliki anak adalah
penting5. Hal ini berkaitan dangan seluruh proses perubahan yang terjadi pada janin dan
tubuh calon ibu, persalinan, menyusui, ketaatan minum OAE, dan kemungkinan adanya
perubahan dosis dan/atau jenis yang diminumnya. Penderita harus diyakinkan bahwa
sebagian besar perempuan melahirkan dengan normal, tetapi kepada penderita juga harus
diberitahukan bahwa perempuan penyandang epilepsi mempunyai risiko lebih tinggi
untukmelahirkan bayi yang cacat, itupun sebagian besar disebabkan oleh obat yang
diminumnya. Bangkitan yang terkontrol baik, terutama bangkitan tonik-klonik, akan
melahirkan bayi sehat. Penekanan kepada pentingnya kebangkitan yang terkontrol akan
meningkatkan ketaatan penderita untuk minum obat selama hamil.
Evaluasi prakonsepsi adalah fase yang paling penting di dalam manajemen epilepsi dan
kehamilan. Perempuan hamil dengan epilepsi perlu untuk memiliki tinjauan neurologis pada
tahap ini, untuk memastikan diagnosis dan kebutuhan untuk diteruskannya pengobatan
dengan OAE. Monitoring malformasi janin seharusnya dilakukan hingga akhir trimester
pertama. Prosedur skrining lini pertama mungkin berupa estimasi alfa-fetoprotein (AFP)
serum, yang cenderung meningkat dalam kasus NTD terbuka. Kadar AFP serum meningkat
secara bertahap selama trimester pertama dan menurun hingga bulan keempat kehamilan.
Dalam penanganan antenatal, dilakukan pemeriksaan pada setiap trimester dan dokumentasi
dari kejadian kejang, serta obat antiepileptik apa yang sekarang sedang dikonsumsi dan
dosisnya. Pada trimester pertama, tawarkan kepada ibu untuk melakukan skrining terhadap
kelainan kromosom seperti aneuploidy. Selain itu, dilakukan skrining terhadap alfa
fetoprotein pada usia kehamilan 14 hingga 20 minggu. Dilakukan juga pengawasan terhadap
level antikonvulsan dalam plasma setiap 1-2 bulan, dan bila terjadi gangguan dalam
pengendalian kejang, maka dosisnya perlu disesuaikan. Wanita dengan epilepsi yang sedang
hamil juga dianjurkan untuk tidur yang cukup dan patuh terhadap pengobatan epilepsi yang
sedang dijalani, terutama pada trimester akhir, dimana level dari obat antiepileptik berada
pada titik terendah.
Pada wanita dengan epilepsi juga dilakukan surveilans terhadap kelainan kongenital, dengan
menggunakan pemeriksaan ultrasound pada usia kehamilan 11 hingga 13 minggu. Pada
trimester pertama, diperiksa apakah janin acrania atau tidak dan apakah terjadi peningkatan
nuchal translucency, adanya defek jantung atau tidak. Pada trimester kedua, dilakukan
pemeriksaan ultrasound untuk skrining defek pada neural tube.
Kewaspadaan dokter dan kekhawatiran penderita akan kemungkinan terjadinya cacat pada
janin mendorong dikerjakannya pemeriksaan antenatal yang tidak sederhana, meliputi
pemeriksaan kadar OAE, asam folat, AFP, vitamin K, dan pemeriksaan ultrasonografi untuk
mengetahui ada atau tidak adanya neural-tube defects, bibir sumbing, dan kelainan jantung
bawaan. Pemeriksaan tersebut dikerjakan sejak kehamilan 6 minggu sampai 36 minggu.
Tentu saja, pemeriksaan tersebut harus dipahami sepenuhnya oleh penderita dan suaminya.
Khusus untuk pemantauan kadar OAE, tidak ada konsensus atau bukti epidemiologi kuat
yang mendukung pemeriksaan kadar OAE lebih sering dari pada biasa (status tidak hamil).
Walaupun kadar OAE menurun selama kehamilan, fragmen obat yang tidak terikat protein
dalam keadaan lebih konstan. Di samping hal tersebut diatas, penderita dianjurkan untuk
tidur secara cukup. Kurang tidur dapat mencetuskan bangkitan epilepsi maupun
meningkatkan frekuensinya.7
KOMPLIKASI
Status Epileptikus
Menurut International League Against Epilepsy atau ILAE, status epileptikus adalah kondisi
yang berlangsung akibat gagalnya mekanisme terminasi dari kejang atau dari mekanisme
inisiasi kejang yang menyebabkan bangkitan kejang dengan durasi yang panjang. Status
epileptikus (SE) merupakan:
1. aktivitas bangkitan konvulsif yang berlangsung selama 5 -10 menit, atau
2. dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan
kesadaran. Penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai bila bangkitan konvulsif sudah
berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE merupakan keadaan kegawatdaruratan yang
memerlukan penanganan dan terapi segera guna menghentukan bangkitan (dalam waktu
30 menit).12
Komplikasi perinatal
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pennell et al. diketahui bahwa angka
kejadian small gestational age (SGA) tertinggi adalah pada neonatus yang terpapar dengan
asam valproate (14,5%) dan carbamazepine (12,9%). Sementara untuk mikrosefali, angka
tertingginya adalah pada neonatus yang terpapar dengan carbamazepine (24%) dan asam
valproate (18%).
Selain itu, dari penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Artama et al, ditemukan bahwa
neonatus yang lahir dari ibu dengan epilepsi memiliki risiko lebih tinggi untuk skor APGAR
yang rendah daripada neonatus dari ibu tanpa epilepsi. Pada wanita dengan epilepsi yang
menjalani politerapi obat antiepileptik memiliki risiko 2-3 kali lipat lebih tinggi terhadap
komplikasi perinatal. Angka neonatus dengan berat badan lahir rendah banyak pada neonatus
yang dengan ibu dalam terapi carbamazepine, levetiracetam, dan klonazepam.13
Risiko obstetrik
Menurut studi retrospektif yang dilakukan oleh Borthen et al, wanita dengan epilepsi yang
menggunakan obat antiepileptik memiliki risiko yang meningkat terhadap beberapa
komplikasi obstetrik yaitu terhadap pre eklamsia, perdarahan pada trimester awal kehamilan,
induksi persalinan dan sectio caesarea.13
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
DAMPAK EPILEPSI TERHADAP KEHAMILAN
Sekitar 30% perempuan hamil yang sudah mendapat terapi mengalami kenaikan frekuensi
bangkitan. Risiko paling tinggi dihadapi oleh mereka yang sudah memiliki bangkitan lebih
dari satu kali sebelum hamil. Risiko paling rendah terjadi pada mereka yang pada masa
sebelum kehamilan hanya mengalami bangkitan kurang dari satu kali dalam sembilan bulan.
Fungsi ginjal juga meningkat dengan adanya peningkatan creatinine clearance 50% yang
berdampak pada metabolisme. Hal ini akan menurunkan kadar OAE dalam sirkulasi darah,
sehingga kebutuhan OAE meningkat. elain itu, estrogen yang bersifat epileptogenik
meningkat selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ke tiga. Hal itu
berdampak pada peningkatan frekuensi bangkitan. Sebaliknya, progesteron yang bersifat
antiepileptik akan meningkat pada fase luteal dalam siklus menstruasi sehingga pada masa
itu frekuensi bangkitan akan turun.
Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi, dengan akibat filtrasi glomerulus berkurang
sehingga terjadi retensi cairan serta edema, akibatnya kadar obat dalam plasma akan
menurun. Retensi cairan yang terjadi menyebabkan hiponatremi. Keadaan ini akan
menimbulkan gangguan parsial dari sodium pump yang mengakibatkan peninggian
eksitabilitas neuron dan mempresipitasi bangkitan.
Secara ringkas, beberapa penyebab yang dideteksi memicu kenaikan frekuensi bangkitan
adalah : (1) Faktor hormonal, peningkatan estrogen yang bersifat epileptogenik, (2)
Metabolik, yaitu peningkatan sodium dan retensi cairan, (3) Psikologik dan emosional, yaitu
kecemasan atau ketegangan yang cenderung meningkat serta gangguan tidur, (4)
Farmakokinetik yaitu gangguan ikatan protein atau protein binding plasma dan absorbsi
OAE, (5) Kurangnya ketaatan pasien selama kehamilan terhadap terapi yang disebabkan
karena malas, bosan atau adanya mual-muntah selama kehamilan maupun kekawatiran
terhadap efek samping obat.
Kebanyakan perempuan dengan epilepsi telah mengalami bangkitan sebelum kehamilan.
Meskipun jarang terjadi, beberapa perempuan dengan epilepsi mungkin mengalami
bangkitan hanya selama kehamilan, yang disebut dengan gestational epilepsy. Perempuan
tersebut akan bebas bangkitan diantara kehamilan. Sebuah subkelompok lain (gestational
onset epilepsy) mungkin mengalami bangkitan pertama mereka ketika hamil dan setelah itu
mungkin terus mendapatkan bangkitan rekuren spontan. Sekitar 1% hingga 2% perempuan
dengan epilepsi mungkin mengalami status epileptikus selama kehamilan, yang
berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Bayi dari ibu yang menderita epilepsi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk sejumlah
outcome kehamilan yang merugikan. Di antaranya adalah kematian janin, malformasi
kongenital, perdarahan neonatus, berat badan lahir rendah, keterlambatan perkembangan,
kesulitan makan, dan epilepsi masa kanak-kanak.
Sejumlah data epidemiologi menunjukkan, anak dari perempuan penderita epilepsi
mengalami cacat lahir sekitar 2–3 kali lebih tinggi dari populasi umum. Di seluruh dunia,
sekitar 40.000 bayi setiap tahun terpajan OAE di dalam kandungan. Diperkirakan sekitar
1.500-2.000 dari bayi tersebut mengalami cacat lahir sebagai dampak OAE tersebut.
Bangkitan selama kehamilan meningkatkan risiko outcome kehamilan yang merugikan.
Bangkitan pada trimester pertama diketahui meningkatkan risiko malformasi kongenital
pada keturunan 12,3% berbanding 4% dengan anak yang terpapar dengan bangkitan
maternal pada waktu yang lain. Bangkitan umum tonik-klonik meningkatkan risiko hipoksia
dan asidosis dan juga cedera karena trauma benda tumpul. Peneliti dari Kanada menemukan
bahwa bangkitan maternal selama kehamilan meningkatkan risiko keterlambatan
perkembangan. Meski jarang terjadi, status epileptikus dapat menyebabkan tingkat mortalias
yang tinggi bagi ibu dan anak. Di dalam sebuah penelitian terhadap 29 kasus yang
dilaporkan, 9 ibu dan 14 anak meninggal selama atau sesaat setelah episode status
epileptikus. Anak dari seorang perempuan yang memiliki tiga kali bangkitan tonik klonik
umum selama kehamilannya, dapat menyebabkan perdarahan intraserebral.14
Kematian Janin
Kematian janin, didefinisikan sebagai fetal loss setelah usia kehamilan 20 minggu
tampaknya menjadi hal yang umum terjadi dan kemungkinan merupakan masalah yang
sama besarnya dengan malformasi dan anomali kongenital. Penelitian yang
membandingkan tingkat stillbirth menemukan tingkat yang lebih tinggi pada bayi dari ibu
dengan epilepsi (1,3-1,4%) dibandingkan dengan bayi dari ibu tanpa epilepsi (1,2-7,8%).
Aborsi spontan, didefinisikan sebagai fetal loss pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu,
tampaknya terjadi lebih sering pada bayi dari ibu dengan epilepsi. Penelitian lain telah
menunjukkan kenaikan tingkat kematian neonatus dan perinatal. Tingkat kematian perinatal
berkisar dari 1,3 hingga 7,8% dibandingkan dengan 1,0 hingga 3,9% kontrol.
Serangan epilepsi selama trimester pertama kehamilan juga berhubungan dengan
peningkatan risiko terjadinya cacat. Pada penelitian ditemukan sekitar 12% anak lahir cacat
dari ibu epilepsi yang mengkonsumsi OAE dan mengalami serangan pada trimester pertama.
Ibu yang tidak mengalami serangan pada trimester pertama kehamilan namun juga
mengkonsumsi OAE, cacat lahir yang terjadi hanya sekitar 4 %. Serangan selama kehamilan
juga dihubungkan dengan lebih tingginya angka fetal dan maternal mortality rates sebesar
30%–50%12. Hiilesmaa et al. meneliti hubungan antara epilepsi general dan kematian janin.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan peningkatan kematian maternal dan fetal
berhubungan dengan status epileptikus dan efek samping bangkitan secara umum pada janin
seperti hipoksia dan asidosis. Hal itu mengindikasikan, terapi OAE perlu dilanjutkan
meskipun kewaspadaan terhadap teratogenik OAE harus diperhatikan9.
Perdarahan Neonatus
Sebuah fenomena perdarahan neonatus yang unik telah digambarkan pada bayi dengan
epilepsi. Berbeda dengan gangguan perdarahan lain pada bayi dimana perdarahan cenderung
terjadi selama 24 jam pertama kehidupan. Pada awalnya berhubungan dengan paparan
terhadap fenobarbital atau primidone tetapi selanjutnya juga ditunjukkan pada anak yang
terpapar dengan fenitoin, karbamazepin, diazepam, mefobarbital, amobarbital, dan
ethosuximide. Sebuah kelompok peneliti menunjukkan bahwa vigabatrin juga meningkatkan
risiko perdarahan neonatus. Angka prevalensi mencapai setinggi 30% tetapi tampaknya
memiliki rata-rata 10%. Mortalitas tinggi, lebih dari 30%, karena perdarahan terjadi dalam
kavitas interna dan tidak diketahui hingga anak mengalami syok. Perdarahan diakibatkan
karena defisiensi faktor penjendalan yang tergantung vitamin K yaitu faktor II, VII, IX dan
X. Antikonvulsan bekerja seperti warfarin, dan menghambat transport vitamin K melewati
plasenta11.
Berat Badan Lahir Rendah
Berat badan lahir rendah (kurang dari 2500g) dan prematuritas telah ditunjukkan pada bayi
dari ibu penderita epilepsi. Rata-rata tingkatan berkisar dari 7-10% untuk berat badan lahir
rendah dan 4-11% untuk prematuritas. Penelitian ini tidak menganalisis efek dari tipe
bangkitan tertentu, frekuensi atau OAE terhadap aspek perkembangan janin11.
Malformasi dan Teratogenesis OAE
Berbagai penelitian menemukan, OAE yang dikonsumsi ibu lebih menjadi penyebab cacat
lahir dibanding penyakitnya atau epilepsinya sendiri. OAE menyebabkan efek teratogenik
pada janin5. Penelitian yang dilakukan oleh Holmes et al. menunjukkan, peningkatan cacat
lahir pada bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita epilepsi yang mendapat terapi OAE lebih
tinggi dibandingkan dengan yang tidak mendapat terapi13.
Meskipun dihadapkan pada risiko cacat lahir, penghentian OAE pada perempuan hamil
bukan suatu tindakan yang realistik. Hal itu disebabkan karena kondisi kehamilan itu sendiri
meningkatkan risiko bangkitan. Sekitar 30% perempuan hamil yang sudah mendapat terapi
mengalami kenaikan frekuensi bangkitan. Risiko paling tinggi dihadapi oleh mereka yang
sudah memiliki bangkitan lebih dari satu kali sebelum hamil. Risiko paling rendah terjadi
pada mereka yang pada masa sebelum kehamilan hanya mengalami bangkitan kurang dari
satu kali dalam sembilan bulan.
Sejumlah OAE baru telah dipasarkan di Amerika Serikat sejak tahun 1993: gabapentin,
felbamate, lamotrigine, leveticaretam, oxcarbazepine, tiagabine, topiramate, dan zonisamide.
Jumlah laporan kehamilan yang terpapar obat ini sangat rendah, dan tidak cukup besar untuk
dapat menentukan apakah ada peningkatan risiko outcome yang merugikan dengan paparan
janin. Kita mengetahui bahwa konsentrasi lamotrigin dan levetiracetam mengalami
penurunan selama kehamilan dan telah menduga bahwa hal ini juga benar untuk OAE yang
baru lainnya.
Pemberian terapi jangka panjang dengan zat yang diperkirakan mempunyai efek teratogenik
yang potensial pada masa usia kehamilan yang sensitif harus dipertimbangkan dengan
cermat, hal ini termasuk penggunaan OAE. Gangguan pada masa rawan ini menimbulkan
cacat terutama pada sistem saraf pusat, karena sistem saraf pusat sedang terbentuk dan
berkembang.
Neural Tube Defect (NTD) adalah cacat yang terjadi pada susunan saraf pusat termasuk otak
dan medula spinalis. Spina bifida merupakan istilah dari bahasa Latin yang berarti medula
spinalis yang terbuka, mengacu pada cacat lahir yang ditandai dengan adanya medula spinalis
yang tidak terbentuk secara lengkap. Anensefali merupakan salah satu bentuk NTD yang
ditandai sebagian besar otak, tulang tengkorak dan mungkin medula spinalis tidak
terbentuk.15
Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi adalah dapat meningkatkan frekuensi kejang. Salah
satu faktor yang dapat memprediksi frekuensi kejang selama kehamilan adalah frekuensi
kejang yang terjadi selama 1 tahun sebelum kehamilan. Beberapa obat antiepileptik, bersifat
teratogenik, dan dapat berpengaruh terhadap kehamilan seperti malformasi kongenital,
komplikasi perinatal, dan perkembangan neurokognitif, seperti asam valproat, fenitoin, dan
carbamazepine. Penanganan epilepsi pada kehamilan yang meliputi penanganan antenatal,
intrapartum, dan post partum.
Sebagian besar perempuan dengan epilepsi saat ini dapat memiliki dan membesarkan anak
yang normal dan sehat, tetapi kehamilan mereka memiliki peningkatan risiko untuk
komplikasi. Kehamilan dapat menyebabkan peningkatan frekuensi bangkitan pada beberapa
perempuan dengan epilepsi. Bangkitan epilepsi maternal dan paparan obat antiepilepsi in
utero dapat meningkatkan risiko terjadinya outcome yang merugikan pada anak yang
dilahirkan dari ibu dengan epilepsi. Outcome ini termasuk fetal loss dan kematian perinatal,
malformasi dan anomali kongenital, perdarahan neonatal, berat badan lahir rendah,
keterlambatan perkembangan, dan epilepsi masa kanak-kanak.
Penatalaksanaan epilepsi pada kehamilan meliputi pentalaksanaan konsultasi dan edukasi
prakonsepsi, pemilihan OAE sebelum dan selama kehamilan, ANC dan pemberian supemen
volat dan Vit K, persalinan dan post partum (menyusui).
DAFTAR PUSTAKA