Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan. Data WHO menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia. Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja tanpa batasan ras dan sosial ekonomi. Insiden epilepsi di dunia berkisar antara 33-198 tiap 100.000 penduduk tiap tahunnya. Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Menurut PERDOSSI 2012, epilepsi merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi.1 Sebagai salah satu penyakit otak yang sering terjadi, ada beberapa penyebab dari epilepsi itu sendiri, salah satunya adalah pengaruh hormon pada perempuan. Angka kejadian epilepsi pada perempuan menurut data dari rochester study, minnesota amerika didapatkan tahun 2011 ada 41 kasus dari 100.000 perempuan per tahunnya. 8 Kebanyakan perempuan yang menderita epilepsi akan mengalami serangan kejang saat terjadi perubahan hormonal pada dirinya, misalnya saat pubertas, saat fase ovulasi dalam siklus menstruasi, saat kehamilan dan menopause. Dalam hal ini faktor hormonal dilaporkan berperan penting. Estrogen mempunyai efek epileptogenik ringan, sedangkan progesteron merupakan antiepileptogenik lemah. Ini menyebabkan epilepsi pada perempuan dianggap spesial. Oleh karena itu, pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang epilepsi saat pubertas, epilepsi pada mestruasi, epilepsi pada kehamilan dan persalinan, epilepsi saat menyusui, epilepsi saat menopause dan epilepsi yang berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi ataupun terapi sulih hormon.4 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EPILEPSI PADA PEREMPUAN 2.1.1 Sistem hormonal mempengaruhi kejang pada epilepsi Pada perempuan, hormon steroid yang dihasilkan ovarium akan mempengaruhi keparahan dan frekuensi dari kejang epilepsi. Sistem hormonal mempengaruhi tipe kejang dan epilepsi. Kebanyakan wanita dengan epilepsi mengalami perubahan pengeluaran phenotypic sebagai respons jika terjadi epilepsi saat masa reproduksi dan siklus reproduksi menjadi berlebihan . Frekuensi dan keparahan kejang mungkin akan meningkat saat pubertas, saat menstruasi, kehamilan dan menopause. Peningkatan ini terjadi akibat hormon steroid yang dihasilkan ovarium berpengaruh pada saraf- saraf di sistem saraf pusat. 4 2.1.2 Hormon steroid Hormon merupakan alat pengangkut yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin dan disekresikan ke dalam sitem sirkulasi tubuh untuk bekerja sebagai reseptor di target organ. Terdapat dua jenis steroid hormon, adrenal dan gonadal. Berawal dari pregnenolone, yang memproduksi kolesterol. Ovarium akan memproduksi hormon steroid wanita, yaitu estrogen yang berasal dari folikel ovarium dan progesteron yang berasal dari korpus luteum. Dampak klasik dari estrogen adalah membentuk karakteristik seksual wanita, mempengaruhi metabolisme dan distribusi lemak. Sedangkan progesteron mempengaruhi perkembangan uterus dan kelenjar mammae, memelihara kehamilan dan menghambat perilaku seksual. Hormon tersebut terikat pada reseptor DNA intranuklear yang menyebabkan modifikasi dan transkripsi gen RNA serta sintesis protein. Perlu disadari bahwa hormon steroid juga mempengaruhi hubungan antar membran sel. Pengaruh terhadap membran sel dimediasi oleh GABAA( alfa- asam aminobutirat ) reseptor. Pada reseptor GABAA, terdapat beberapa tempat untuk diduduki oleh hormon steroid, barbiturat dan benzodiazepin, yang keduanya sebagai antiepileptik agen.

2.1.3 Mekanisme molekular steroid hormon pada ovarium Estrogen memiliki pengaruh secara genom dan membran, dapat memicu pengeluaran dan menurunkan efek hambatan. Ketika estrogen menduduki GABA A reseptor, klorida akan menurun yang menyebabkan efek inhibisi GABA tidak bekerja. Estrogen juga berfungsi sebagai agonis reseptor N-methyl- D- aspartat ( NMDA ) untuk memediasi pengeluaran CA-1 di hipokampus. Efek terhadap genom, estrogen mengubah mRNA sebagai kode untuk GABA amino decarboxylase ( GAD ), enzim yang mengatur kadar sintesis dari neurochemical GABA. Estrogen juga menurunkan kadar sintesis reseptor GABAA. Secara keseluruhan estrogen mengatur kadar jumlah GABAA, reseptor GABAA sekaligus menurunkan jumlah konsentrasi GABA A. Progesteron memiliki efek yang berkebalikan dengan estrogen, meningkatkan efek GABA sebagai neurontransmitter inhibitor dan menurunkan pengeluaran glutamat di lobus temporal. Secara genom, progesteron meningkatkan sintesis GABA dan jumlah reseptor GABA A. Pada beberapa wanita dengan epilepsi, estrogen akan meningkatkan aktivitas epileptiform pada EEG. Penurunan jumlah progesteron akan meningkatkan ambang kejang. 4 Faktor lainnya yang mungkin berhubungan antara pengaruh hormon dengan epilepsi adalah perbedaan yang signifikan pada distribusi anatomi dari reseptor steroid di otak saat postpubertal ( mature ) dan saat prepubertal. Reseptor progesteron disebarkan sepanjang neurokorteks. Pada infant atau pada otak prepubertal, estrogen juga disebar sepanjang neurokorteks. Seiring dengan bertambahnya usia, jumlah resptor estrogen pada neurokorteks berkurang, dan berpusat di korteks limbik ( amygdala dan hipokampus ). Yang penting secara klinis akibat perubahan distribusi ini kemunculan dari neuroactive steroid sangat bervariasi. Sebagai contoh, pengaruh hormon terhadap epilepsi akan berbeda saat premenopause dibandingkan saat postmenopause.

GAMBAR 1 : RESEPTOR GABAA

2.1.4 GANGGUAN REPRODUKSI PADA PEREMPUAN DENGAN EPILEPSI Wanita dengan epilepsi mengalami masa anovulasi lebih lama dibanding wanita pada umumnya, ini akibat wanita dengan epilepsi mengalami gangguan di daerah lobus temporal. Wanita dengan epilepsi juga mengalami gangguan perkembangan endokrin, termasuk gangguan produksi LH. Kondisi ini menunjukkan terjadinya sindroma polisiklik ovarium, yaitu abnormal dari morfologi ovarium dan hiperandrogenisme, yang salah satu penyebabnya adalah akibat pemberian asam valproat.7 2.1.5 GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN PADA PEREMPUAN DENGAN EPILEPSI Wanita dengan epilepsi mengalami abnormalitas pada korteks serebri yang menyebabkan perubahan input terhadap hipotalamus sebagai penghasil hormon pituitari, yakni FSH dan LH. FSH berperan saat awal siklus menstruasi dimulai dan LH yang merangsang terjadinya ovulasi. Wanita dengan epilepsi yang memiliki gangguan pada lobus temporal memiliki risiko terjadinya abnormal sistem endokrin. Ini terjadi akibat struktur lobus temporal, termasuk amygdala, memiliki koneksi dengan hipotalamus yang akan menyebabkan perubahan pengeluaran hormon hipotalamus. Wanita dengan epilepsi mengalami gangguan produksi LH, kadarnya bisa menurun atau meningkat tergantung lokasi dari epileptogenik yang mendominasi terhadap rangsangan atau hambatan terhadap

aktivitas hipotalamus. Kadar steroid dalam plasma dapat berubah tergantung stimulasi dari lobus temporal. Wanita dengan epilepsi mengalami gangguan hormon steroid akibat obat anti epileptik yang digunakan. Estrogen, progesteron, testosteron di metabolisme oleh sistem enzim sitokrom P450. Obat anti epileptik yang menginduksi sistem enzim seperti barbiturat, karbamazepin, oxcarbazepine, fenitoin dan topiramat meningkatkan metabolisme kedua kelenjar gonad dan kelenjar adrenal sehingga kadar hormon steroid dalam plasma menurun. Obat ini juga menyebabkan ikatan steroid sebagai protein yang beredar dalam sirkulasi. Asam valproat sebagai penghambat C450 memiliki efek yang berbeda yakni menyebabkan penurunan metabolisme hormon steroid sehingga kadarnya dalam sirkulasi akan meningkat. Wanita yang mengkonsumsi obat anti epileptik yang tidak memiliki efek terhadap enzim tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan kadar hormon steroid antara wanita yang mengkonsumsi obat anti epilepsi dengan wanita biasa.

2.1.6 MEKANISME TERJADINYA GANGGUAN REPRODUKSI PADA WANITA DENGAN EPILEPSI Etiologi gangguan reproduksi pada wanita dengan epilepsi sangat multifaktorial. Epilepsi sering berdampak pada region di otak, sebagai contoh lobus temporal, lobus frontal dan termasuk hipotalamus yang mengatur regulasi siklus reproduksi agar berjalan baik. Fungsi otak mungkin mengalami gangguan akibat perubahan struktural dan fungsional akibat adanya lesi epileptogenik atau akibat adanya ictal discharge. Beberapa obat antiepileptik memiliki risiko tinggi yang menyebabkan gangguan reproduksi. Obat anti epileptik ang berdampak pada gangguan reproduksi akibat neurotransmitter dan hormon neuroaktif. Perubahan psikologis berhubungan dengan epilepsi juga menjadi faktor yang menyebabkan gangguan reproduksi, namun penyebabnya belum diketahui. Depresi dan anxietas berhubungan dengan epilepsi juga menyebabkan gangguan siklus reproduksi.

2.2 EPILEPSI PADA PUBERTAS Saat pubertas, terjadi perubahan yaitu pengeluaran phenotypic epilepsi. Kebanyakan sindrom epilepsi genetik muncul sebagai respons pubertas. Epilepsi primer umum berkembang menjadi juvenile myoclonic epilepsy ( JME ) dan sindrom epilepsi photosensitifitas, merupakan dua tipe epilepsi yang sering terjadi pada wanita. Epilepsi fokal mengalami peningkatan frekuensi bangkitan di sekitar waktu menarke. Kejang umum idiopatik seperti mioklonik pada masa remaja ( juvenile myoclonic epilepsy ) adalah tipe kejang yang paling sering muncul saat akil balik ( adolescence ). Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal ( benign epilepsy with rolandic spikes ), membaik selama pubertas bahkan dapat menghilang. Awitan epilepsi katamenial lebih sering saat pubertas. Selama masa pubertas dapat terjadi perubahan frekuensi dan tipe bangkitan, bisa bertambah berat ataupun berkurang sampai terkontrol baik. Bangkitan umum tonik-klonik lebih sering memburuk, sebaliknya bangkitan lena dapat membaik sedangkan bangkitan fokal kompleks tidak terpengaruh. Bangkitan lebih sering kambuh apabila awitan bangkitan terjadi pada usia lebih muda, etiologi yang jelas, pemeriksaan fisik, neurologik dn EEG abnormal serta menarke terlambat. 1 2.3 EPILEPSI PADA MENSTRUASI ( EPILEPSI KATAMENIAL ) Epilepsi katamenial adalah epilepsi yang terjadi selama masa menstruasi, beberapa hari menjelang atau sesudah menstruasi. Frekuensi bangkitan epilepsi yang berhubungan dengan menstruasi sebenarnya belum terlalu jelas. Ini disebabkan karena setiap wanita memiliki periode menstruasi yang berbeda, termasuk masa anovulasi. Selain itu harus didapatkan data statistik yang valid dengan melakukan pencatatan tipe kejang yang terjadi, frekuensi, pengobatan dan monitoring pada saat sebelum siklus menstruasi dan saat menstruasi.2 Siklus menstruasi wanita, saat fase ovulasi ditandai dengan peningkatan estrogen, sedangkan saat perimenstrual atau saat menstruasi terjadi penurunan kadar progesteron.

Selama menstruasi kadar estrogen relatif tinggi terus-menerus, berkebalikan dengan kadar progesteron yang semakin menurun. Epilepsi katamenial itu sendiri merupakan epilpsi yang terjadi akibat pengaruh perubahan hormonal saat siklus menstruasi tersebut, dan terjadi pada sepertiga sampai setengah dari jumlah wanita yang mengalami epilepsi. Kejang bisa terjadi saat perimenstrual atau saat fase ovulasi. Penelitian membuktikan adanya hubungan yang kuat antara fase dalam siklus menstruasi dengan bangkitan epilepsi. Kebanyakan bangkitan terjadi selama periode perimenstrual ( sekitar 3 hari sebelum menstruasi ) dan saat fase ovulasi. Bentuk kejang ini tidak ditemukan saat fase anovulasi, dimana saat fase anovulasi perbandingan jumlah antara estrogen dan progesteron relatif konstan. Epilepsi katamenial bisa terjadi akibat penurunan konsentrasi AED ( Anti Epileptic Drug ) dalam plasma. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa epilepsi katamenial terjadi akibat perubahan siklus yang berhubungan dengan neuroaktif steroid. Peningkatan estrogen saat ovulasi, penurunan kadar progesteron dan peningkatan perbandingan kadar estrogen dengan progesteron saat fase anovulasi menjadi mekanisme hormonal yang utama. Hormon yang dihasilkan ovarium memiliki beberapa pengaruh terhadap epilepsi. Hormon ovarium menyebabkan penurunan ambang kejang yang terjadi akibat estrogen sebagai GABA inhibitor. Pengaruh hormon terhadap epilepsi juga disebabkan adanya variasi kadar AED ( Anti Epileptic Drug ), kadar AED dapat menurun sebelum menstruasi atau meningkat metabolismenya dengan penurunan kadar hormon. Mekanisme fisiologis lainnya yang disebabkan perubahan hormon dan berhubungan dengan epilepsi adalah terjadinya retensi air dan perubahan elektrolit.

Terdapat beberapa tipe dari epilepsi katamenial. Tipe katamenial 1 Tipe katamenial 2 Tipe katamenial 3 Definisi Waktu Cycle days -3 sampai +3 perimenstrual Cycle days 10 sampai -13 preovulasi Hari ke 22 , progesteron level ovulasi > 5 mg/ml

Untuk memilih terapi yang tepat, maka harus dipastikan secara klinis apakah bangkitan yang terjadi memiliki hubungan dengan siklus menstruasi. Untuk memastikaanya dilakukan dengan memperhatikan tipe kejang, frekuensi, waktu timbul kejang, obat antiepileptik yang digunakan dan dosisnya. Wanita dengan epilepsi harus memahami betul tipe epilepsi yang terjadi saat siklus menstruasi, tanggal menstruasi, melakukan pengukuran suhu basal tubuh, obat-obat yang digunakan dan terapi hormonal ( termasuk kontrasepsi dan terapi sulih hormon. Pengobatan pada kejang akibat sensitif terhadap hormon sebenarnya masih mengalami kekurangan data penelitian. Fenitoin dan karbamazepin sering digunakan sebagai lini pertama untuk terapi kejang parsial. Karbamazepin dan fenitoin memiliki efek smaping yaitu menurunkan efektivitas dari penggunaan hormonal kontrasepsi. Valproate memiliki efek samping peningkatan massa tubuh, hiperandrogenisme dan polikistik ovarium. Fenitoin, karbamazepin dan valproat juga merupakan obat anti epilepsi yang teratogenik. Terapi yang dipilih bertujuan untuk mengontrol bangkitan yang terjadi yang berhubungan dengan fluktuasi hormonal. Tidak ada pengobatan yang spesifik yang terbukti paling efektif. Beberapa pilihan terapi pada epilepsi katamenial : 1. Pengobatan AED yang optimal Menggunakan AED yang bekerja cepat seperti klobazam. Dosis klobazam 20-30 mg/hari dalam 2-4 hari sebelum, selama dan setelah menstruasi 2. Manipulasi hormonal low-estrogen atau high progesterone oral kontrasepsi progesteron suplementasi ( oral, suppositoria, parenteral ) estrogen antagonis GRH analog

3. Benzodiazepine 4. Acetazolamide

Acetazolamide diberikan 5-10 hari sebelum, selama dan sesudah haid. Ada 2 dosis yang dianjurkan : 1) dosis 250 mg 1-2 kali 2) dosis 5 mg /kg BB / hari selama 3 hari sebelum, selama dan setelah menstruasi 2.4 EPILEPSI PADA KEHAMILAN Epilepsi merupakan kelainan neurologik, dimana pada ibu hamil membutuhkan tata laksana yang adekuat dan tanpa berisiko baik terhadap ibu atau bayi. Risiko pada wanita epilepsi yang hamil lebih besar dari pada wanita normal yang hamil. Angka kematian neonatus pada pasien epilepsi yang hamil adalah tiga kali dibandingkan populasi normal.5 Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi bervariasi. Kira-kira seperempat kasus frekuensi bangkitan akan meningkat terutama pada trimester terakhir. Seperempatnya lagi menurun dan separuhnya tidak mengalami perubahan selama kehamilan Pengobatan wanita epilepsi yang hamil pada umumnya dilakukan menurut prinsip yang sama seperti pada pasien tidak hamil. Resiko yang dialami janin karena bangkitan yang dialami ibu mungkin sama besar dengan yang disebabkan obat anti epilepsi. Malformasi yang disebabkan terapi obat anti epilepsi akan terjadi pada 4-8 minggu pertama dalam pertumbuhan janin. Epilepsi pada kehamilan dibagi dalam 2 kelompok: 1. Yang sebelumnya sudah menderita epilepsi 2. Berkembang menjadi epilepsi selama hamil Wanita-wanita yang mendapat bangkitan selama masa reproduksi, dapat terjadi secara insidentil pada kehamilan. Hormon yang berpengaruh terhadap bangkitan pada ibu epilepsi yang hamil adalah estrogen dan progesteron. Pada seorang wanita yang hamil kadar estrogen dalam darah akan menurun,sehingga merangsang aktifitas enzim asam glutamat dekarboksilase dan karena itu sintesa gamma amino butiric acid (GABA) akan menurun dalam otak. Dengan menurunnya konsentrasi GABA di otak akan merangsang bangkitan epilepsi.

Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi, dengan akibat filtrasi glomerulus berkurang sehingga terjadi retensi cairan serta edema, akibatnya kadar obat dalam plasma akan menurun. Retensi cairan yang terjadi menyebabkan hiponatremi. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan parsial dari sodium pump yang mengakibatkan peninggian eksitabilitas neuron dan mempresitasi bangkitan. Pada pasien wanita epilepsi yang hamil sangat sulit untuk menduga terjadinya bangkitan, karena fenomena ini tidak berhubungan dengan tipe bangkitan selama menderita epilepsi. Terjadinya suatu bangkitan sangat berbahaya baik untuk ibu maupun fetus akibat trauma yang timbul. Supresi detak jantung janin selama proses persalinan akibat bangkitan yang timbul. Pada wanita hamil volume plasma meningkat kira-kira sepertiga pada trisemester ketiga, hal ini disebabkan oleh efek dilusi. Penentuan dan angka penurunan dari konsentrasi obat anti epilepsi berbeda ubtuk setiap jenis obat. Penurunan kadar obat dalam darah untuk fenitoin kira-kira 80% terjadi pada trimester pertama, juga serupa dengan fenobarbital. Untuk karbamazepin terbesar penurunannya pada trisemester ketiga. Pada wanita hamil dengan bangkitan dan telah mendapat obat anti epilepsi maka pemeriksaan yang perlu dilakukan yaitu: 1. pemeriksaan kadar obat dalam darah 2. EEG 3. CT Scan, bila ada kelainan neurologik, dilakukan tergantung pada stadium kehamilan. Perubahan-perubahan konsentrasi obat anti epilepsi secara teratur harus dimonitor setiap bulan. Komplikasi Kehamilan Wanita epilepsi lebih cenderung memperoleh komplikasi obstetrik dalam masa kehamilan dari pada wanita penduduk rata-rata. Pengaruh epilepsi terhadap kehamilan yaitu: 1. Melahirkan bayi prematur 2. Berat badan lahir rendah, kurang dari 2500 gr 3. Mikrosefali 4. Apgar skor yang rendah

10

Komplikasi persalinan Neonatus wanita epilepsi yang hamil mengalami lebih banyak resiko karena kesukaran yang akan dialami ketika partus berjalan. Partus prematur lebih sering terjadi pada wanita epilepsi. Penggunaan obat anti epilepsi mengakibatkan kontraksi uterus yang melemah, ruptur membran yang terlalu dini. Penggunaan forceps atau vakum sering dilakukan dan juga seksio saesar. Komplikasi persalinan baik untuk ibu dan bayi adalah: Frekuensi bangkitan meningkat 33% Perdarahan post partum meningkat 10% Bayi mempunyai resiko 3% berkembang menjadi epilepsi Apabila tanpa profilaksis vitamin K yang diberikan pada ibu, terdapat resiko 1)% terjadi perdarahan perinatal pada bayi Pengobatan / Tata laksana Seorang wanita epilepsi yang merencanakan untuk hamil selalu khawatir terhadap janin, kehamilan, perkembangan dan perawatan bayi. Hal ini membutuhkan pengawasan khusus, baik sebelum dan selama hamil, dan penyuluhan prekonsepsi haruslah merupakan bagian yang penting untuk pencegahan dan persiapan. Penyuluhan Prekonsepsi Pada umumnya perkembangan malformasi fetal sudah dimulai sebelum wanita menyadari kehamilannya secara mantap. Penutupan langit-langit terjadi pada hari ke 47 kehamilan. Wanita epilepsi yang hamil harus diberitahu tentang resiko hamil yang berhubungan dengan penggunaan obat anti epilepsi. Mereka harus tahu juga bahwa serangan epileptik dapat membahayakan kandungan dan diri sendiri. Namun demikian mereka harus mengetahui bahwa resiko dapat diperkecil dengan tindakan pencegahan. Dalam masalah tersebut, dokter harus memberikan advis yang tepat dalam menghadapi dua problematik yang rumit ini. Disatu pihak ia harus menggunakan obat anti epilepsi untuk mengontrol timbulnya serangan epileptik pada ibu yang hamil dan sekaligus iaharus mencegah terkenanya fetus oleh efek obat anti epilepsi digunakan oleh ibu yang hamil. Terapi yang dianjurkan ialah penggunaan

11

monoterapi dengan dosis serendah mungkin paad tahap pertama kehamilan. Dosis dapat dinaikkan pada trisemester ketiga kehamilan. Pada tahap lanjut dapat diberikan juga vitamin K (20mg/hari) untuk mencegah perdarahan neonatal. Tata laksana perempuan dengan epilepsi dan kehamilan Sebelum hamil : strong evidence ( class 1 ) Terapi diberikan optimal sebelum konsepsi Bila memungkinkan ganti ke OAE yang kurang teratogenik, dan dosis efektif harus tercapai sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum konsepsi Diberikan asam folat ( > 0,4 mg/hari ) selama masa reproduksi dianjurkan selama kehamilan Saat hamil : strong evidence ( classs I ) Jenis OAE jangan diganti bila tujuannya hanya untuk mengurangi risiko teratogenik. Penggunaan polifarmasi atau asam valproat perlu dilakukan : 1. Pemeriksaan kadar alfa fetoprotein serum ( minggu 14- 16 kehamilan ) 2. Pemeriksaan ultrasonografi level II ( struktural ) ( minggu 16-20 kehamilan ) 3. Amniosentesis untuk pemeriksaan kadar alfa-fetoproteindan asetilkolinesterase dalam cairan amnion Weaker evidence ( class III ) Penyandang epilepsi dengan bangkitan terkontrol, kadar OAE diperiksa sebelum konsepsi, awal tiap trimester dan pada bulan terakhir kehamilan. Juga dapat dipantau bila ada indikasi ( misalnya bila terjadi bangkitan atau ragu dengan ketaatan minum obat ) Setelah persalinan Strong evidence ( class I ) ASI tetap diberikan Diperhatikan apakah ada kesulitan minum dan efek sedasi pada bayi

12

Weaker evidence ( class III ) Kadar OAE dipantau sampai minggu ke 8 pascapersalinan Bila dosis OAE dinaikkan selama kehamilan, turunkan kembali sampai ke kadar dosis sebelum kehamilan untuk menghindari toksisitas Teratogenisitas OAE Tidak ada OAE yang dianggap pasti aman pada kehamilan. asam valproat sering menyebabkan defek neural tube terutama mielomeningokel dan anensefali yang terjadi akibat gangguan metabolisme asam folaat yang berhubungan dengan level homosistein yang tinggi. Pemberian suplemen asam folat 1-4 mg/ hari, B6 dan B12 perikonsepsi serta penggunaan formula extended- release seperti pada karbamazepin dan asam valproat dikatakan dapat menurunkan risiko terjadinya malformasi, terutama defek neural tube.1 Efek Terotogenik Obat Anti Epilepsi Hipotesa mekanisme terjadinya teratogenisitas obat anti epilepsi adalah: 1. Metabolisme obat anti epilepsi terjadi melalui komponen arene oksid atau epoksid, yang sebagian besar merupakan komponen reaktif yang bersifat teratogenik. 2. Kelainan genetik yang disebabkan oleh hidrolase epoksid meningkatkan resiko terhadap toksisitas fetus 3. Radikal bebas yang dihasilkan dari metabolisme obat anti epilepsi dan bersifat sitotoksik. 4. Kelainan genetik yang disebabkan oleh free radical scavenging activity meningkatkan resiko terhadap toksisitas fetus Presentase malformasi akibat obat anti epilepsi adalah: 1. Trimetadion, lebih 50% 2. Fenitoin, 30% 3. Sodium Valproat, 1,2% 4. Karbamazepin, 0,5-1 %

13

5. Fenobarbital, 0,6% Konsentrasi obat anti epilepsi dalam plasma wanita hamil yang akan melahirkan bayi malformasi selalu lebih tinggi dari pada kadar obat anti epilepsi pada wanita epilepsi hamil yang melahirkan tanpa malformasi. Para wanita epilepsi yang hamil dengan menggunakan berbagai jenis obat anti epilepsi lebih mudah melahirkan bayi dengan malformasi dari pada wanita epilepsi wanita epilepsi yang hamil memakai obat epilepsi tunggal. Penggunaan multipel dan penggunaan dosis tinggi berhubungan dengan jenis epilepsi yang tidak mudah terkontrol. Obat-obat tersebut adalah: 1. Trimetadion Dapat mengakibatkan kelainan pada janin yang spesifik disebut sindrom trimetadion fetus. 2. Fenitoin Obat ini digunakan sangat luas sebagai obat anti epilepsi pada kehamilan dan mempunyai efek teratogenik. Sindrom ini terdiri dari abnormalitas kraniofasial,kelainan anggota gerak, defisiensi pertumbuhan, retardasi mental baik ringan atau sedang 3. Sodium Valproat Obat ini relatif baru dan sedikit data yang berefek pada uterus. Penggunaan obat ini dapat mengakibatkan kelainan pada janin berupa sindrom valproat fetus. Obat ini dapat menyebabkan kelainan neural tube defect. 4. Karbamazepin Obat ini tidak terlibat pada malformasi mayor tetapi dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan kepala janin. 5. Fenobarbital Terdapat sedikit keterangan mengenai teratogenik dari obat ini, studi awal mengatakan bahwa sebagian besar wanita epilepsi mendapat kombinasi antara fenotoin dan fenobarbital.

14

OAE generasi baru rendah teratogenik : 1. Gabapentin, untuk terapi add-on pada epilepsi fokal, tersedia dalam bentuk oral, dosis epilepsi 2400-4800 mg/hari. Keunggulan gabapentin adalah tidak ada interaksi dengan obat lain. Data sehubungan dengan kehamilan belum cukup namun pada post marketing 3100 orang inggris dengan epilepsi yang mengkonsumsi gabapentin terdapat 11 perempuan hamil dan tidak ditemukan malformasi mayor. 2. Lamotrigin, merupakan antifolat lemah dan bekerja sebagai modulasi kanal natrium, spektrum luas, merupakan lini pertama untuk epilepsi umum dan parsial. Bentuk sediaan berupa tablet dengan dosis pemeliharaan monoterapi 100-400 mg/hari, lamotrigin dapat melewati plasenta dan konsentrasi pada plasma fetus dan ibu sama. 3. Oxcarbazepine, tersedia dalam kemasan tablet dan suspensi oral, dosis antara 6002400 mg/ hari. Oxcarbazepin diberikan mulai dosis rendah dan dititrasi bertahap tiap minggu sampai tercapai dosis yang diinginkan. 4. Topiramat, obat dengan spektrum luas pada epilepsi fokal dan umum sekunder, tersedia dalam bentuk tablet dengan dosis harian 75-400 mg/ hari. Dapat melewati plasenta dengan plasma level pada tali pusat sama dengan level plasma pada ibu. Persalinan pada penyandang epilepsi 1. persalinan harus dilakukan di klinik atau rumah sakit dengna fasilitas untuk perawatan epilepsi dan unit perawatan untuk neonatus 2. persalinan dapat dilakukan secara normal pervaginam 3. selama persalinan OAE harus tetap diberikan. Apabila perlu penyandang epilepsi dapat diberi dosis tambahan dan/atau obat parenteral terutama bila terjadi partus lama 4. terapi kejang saat melahirkan dianjurkan sebaiknya digunakan lorazepam, diazepam atau intravena. Dosis lorazepam 0,07 mg/kg, jika peru dapat diulangi setelah 10 menit. Diazepam 10 mg i.v dan fenitoin 15-20 mg/kg/hari, diberikan 2 kali/hari secara intravena atau oral

15

5. vitamin K 1 mg intramuskular diberikan pada neonatus saat dilahirkan oleh ibbu yang menggunakan OAE penginduksi-enzim untuk mengurangi risiko terjadinya perdarahan. Pemberian ulang vitamin K 2 mg oral pada neonatus dilakukan pada akhir minggu pertama dan akhir minggu ke 4 Menyusui pada perempuan dengan epilepsi 1. fenitoin dan asam valproat mempunyai proporsi ikatan pada protein cukup tinggi sehingga kadarnya dalam ASI cukup rendah 2. karbamazepin dan fenobarbital terdapat di dalam ASI dengan kadar yang lebih tinggi 3. lamotrigin dan topiramat mempunyai ikatan protein yang rendah sampai sedang, demikian pula konsentrasi yang ditemukan pada ASI 4. Gabapentin dan levetirasetam tidak ada ikatan protein dan mempunyai konsentrasi yang ekuivalen dengan serum maternal dan ASI 2.5 PENGGUNAAN KONTRASEPSI HORMONAL PADA PEREMPUAN DENGAN EPILEPSI Lebih dari 65 juta wanita di seluruh dunia menggunakan kontrasepsi oral hormonal, karena dianggap sebgai salah satu metode kontrasepsi yang mudah dan efektif. Kegagalan dari oral kontrasepsi bisa akibat lupa minum obat atau akibat interaksi dengan obat lain yang mempengaruhi kadar hormon. Bentuk kontrasepsi oral yang paling banyak digunakan adalah kombinasi estrogen sintetik ( biasanya estinil estradiol ) dengan progestin. Jenis oral kontrasepsi lainnya adalah jenis mini-pill yang hanya mengandung progesteron, walaupun tingkat efektivitasnya lebih kurang dibanding pil kombinasi. Selain sediaan per oral, juga ada bentuk sediaan lainnya yaitu injeksi ( IM ) atau dikenal depo povera yang diberikan setiap 3 bulan sekali dan bentuk alat kontrasepsi dalam kulit seperti Noorplant, yang mampu bertahan sampai bertahun-tahun. Oral kontrasepsi dapat bekerja sebagai sebagai kontrasepsi melaluibeberapa mekanisme:

16

1. Estrogen menekan gonadotropin releasing faktor di hipotalamus 2. Menghambat folikel menghasilkan hormon folikel dan ovulasi 3. Progestin menghambat LH dan merangsang mukus serviks yang kental, sehingga mampu melumpuhkan sperma dan merubah endometrium menjadi tempat yang tidak baik untuk nidasi.

Pengaruh kontrasepsi hormonal terhadap epilepsi Sebenarnya belum ada data yang jelas menunjukkan hubungan kontrasepsi oral dengan serangan epilepsi. Progesteron dapat menghambat epilepsi, secara teori pada pil kombinasi, adanya progesteron di dalam kandungan pil tersebut dapat menyeimbangkan efek estrogen sebagai prokonvulsi. Penggunaan kontrasepsi oral pada pasien epilepsi Untuk meningkatkan kualitas hidup wanita dengan epilepsi, maka harus dipilih jenis oral kontrasepsi yang digunakan. Setiap wanita dengan epilepsi yang menggunakan oral kontrasepsi perlu diberikan penjelasan tentang penurunan aktivitas kerja kontrasepsi tersebut akibat interaksi dengan obat anti epileptik. Sehingga kemungkinan buruk yang bisa terjadi diantaranya kehamilan yang tidak diketahui dan tidak direncanakan. Obat anti epilepsi yang menginduksi enzim mikrosomal ( karbamazepin, fenitoin, fenobarbital ) dapat menurunkan efek kontrasepsi oral. Obat antiepileptik tersebut meningkatkan jumlah enzim yang menurunkan kadar hormon, sehingga hormon yang terkandung dalam kontrasepsi lebih cepat menurun kadarnya dalam tubuh dan tidak efektif sebagai alat kontrasepsi. Penggunaan suntikan ( depo provera ) dilaporkan dapat mengurangi bangkitan, terutama pada perempuan bangkitan katamenial. Pemberian suntikan ini dianjurkan untuk diulangi setiap 10 minggu dari yang biasanya 12 minggu oleh karena secara teoritis diduga induksi enzim ini dapat mengurangi keefektivan depoprovera. Obat anti epileptik yang tidak menginduksi enzim seperti Benzodiaepin, lamotrigin dan gabapentin bisa menjadi pilihan obat antiepileptik pada wanita yang mengkonsumsi kontrasepsi hormonal. 7

17

2.6 EPILEPSI PADA MENOPAUSE Menopause menunjukkan suatu proses yang memiliki variasi onset dan masa akhir. Menopause dapat dibagi menjadi perimenopause, yang ditandai dengan siklus menstruasi yang tidak teratur, rasa panas dan perubahan mood dan menopause, ditandai dengan tidak adanya siklus menstruasi selama 1 tahun. Selama perimenopause, kadar estrogen secara bertahap menurun dan siklus luteal yang didominasi oleh progesteron juga ikut menurun. Perbandingan estrogen dan progesteron secara keseluruhan menjadi meningkat dan tak dapat diduga. Pada akhir menopause, produksi estrogen oleh ovarium tidak dapat terdeteksi dan dapat menimbulkan efek yang berarti. 4 Pada masa perimenopause, terjadi peningkatan risiko untuk terjadi awitan bangkitan dan keparahan epilepsi. Menopause dapat mengurangi frekuensi kejang pada epilepsi katamenial, bangkitan yang terjadi pada usia lanjut, dan bangkitan yang terkontrol dengan baik. OAE yang menginduksi enzim P450 ( fenobarbital, fenitoin dan karbamazepin ) umumnya masih digunakan pada perempuan menopause. OAE jenis ini dapat mempengaruhi metabolisme kalsium dan menekan produksi bentuk vitamin D aktif yang akan meningkatkan risiko gangguan pada tulang seperti osteoporosis, osteopeni, osteomalasia dan fraktur. Dianjurkan menggunakan OAE non induksi enzim yang dilaporkan lebih baik untuk perempuan. Valproat juga meningkatkan risiko terjadinya kelainan tulang walaupun mekanismenya belum diketahui.

18

DAFTAR PUSTAKA

1. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 4. Jakarta. 2012 2. Harsono. EPILEPSI. Edisi kedua. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2007. 3. Panayiotopoulos CP. The epilepsies seizures, syndromes and management. Chipping norton : Bladon Medical Publishing. 2005
4. Morrell, martha. Epilepsy in women : the science of why it is special. Official journal of the american academy of neurology. Volume 53:1999. Page 42-47 5. Zahn, catherine. Catamenial epilepsy : clinical aspects. Official journal of the american academy of neurology. Volume 53:1999. Page 34-37

6. Scottish obstetric guidelines and audit project. The management of pregnancy in women with epilepsy. Scotland. 2010.page 7-14 7. Hussein, abbashar. Women and epilepsy. Sudanese journal of public health: october 2011, vol 2 (4). Page 227-231 8. Epilepsi in women. 2011. http//www. Epilepsysociety.org.uk. diakses 1 februari 2013 9. Womens issue epilepsi in women. 2013. http//www.emedicine.com. diakses 4 februari 2013

19

Anda mungkin juga menyukai