Anda di halaman 1dari 30

Referat

STATUS EPILEPTIKUS : PATOGENESIS DAN TATALAKSANA PADA KEHAMILAN DAN


PERSALINAN

UNIVERSITAS ANDALAS

Oleh :

Pembimbing:

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)


OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP M DJAMIL PADANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN

Di seluruh dunia diperkirakan ada 50 juta penderita epilepsi. Estimasi penderita epilepsi
di Indonesia adalah 1,5 juta dengan prevalesi 0,5-0,6% dari penduduk Indonesia. Populasi
epilepsi aktif (penderita dengan bangkitan tidak terkontrol atau yang memerlukan pengobatan)
diperkirakan antara 4 hingga 10 per 1.000 orang. Namun beberapa penelitian di negara
berkembang menunjukkan proporsi yang lebih tinggi, antara 7 hingga 14 per 1.000 orang. Secara
global, diperkirakan 2,4 juta orang didiagnosis epilepsi setiap tahun. Di negara-negara maju,
kasus baru tahunan yang terjadi antara 30 hingga 50 per 100.000 orang dalam populasi umum.
Sedangkan di negara-negara berkembang, angka ini bisa sampai dua kali lebih tinggi. 1 Secara
statistik yang diterbitkan oleh Institut Nasional Statistik dan Geografi, di Meksiko, ada 61,4 juta
wanita mengalami epilepsi, yang mewakili lebih dari setengah populasi negara (51,4%) dan
sebagian besar di usia reproduksi dan memiliki kemungkinan tinggi untuk hamil.2
Epilepsi merupakan salah satu kondisi neurologis yang paling sering ditemukan pada ibu
hamil dengan prevalensi 0,5-1%.Di Amerika Serikat, sebanyak 3-5 kasus dari 1000 kelahiran
merupakan kelompok wanita dengan epilepsi. Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan
antara 0,3%-0,5% penyandang epilepsi. Risiko kematian dari kehamilan wanita dengan riwayat
epilepsi adalah sepuluh kali lipat lebih tinggi dari wanita tanpa riwayat epilepsi. Telah dilaporkan
bahwa sebanyak 12 dari 14 kasus kematian ibu yang terjadi sejak tahun 2009 hingga 2012,
diklasifikasikan sebagai sudden unexpected death in epilepsy atau SUDEP dengan kondisi
kejang yang tidak terkontrol dengan baik yang merupakan faktor penyebab utama.3
Epilepsi adalah salah satu gangguan neurologis yang paling umum, mempengaruhi
hingga 2% dari populasi di seluruh dunia dan merupakan gangguan neurologis kedua yang
paling sering ditemui setelah migrain di kalangan wanita selama kehamilan. Kehamilan pasien
epilepsi merupakan 0,3-0,5% dari semua kehamilan. Keseimbangan dicoba untuk dipertahankan
antara risiko ibu dan janin dari kejang yang tidak terkontrol dan efek teratogenik potensial dari
obat anti-epilepsi dalam pengelolaan epilepsi selama kehamilan. Sebagian besar wanita dengan
epilepsi mampu melahirkan bayi yang sehat. Di sisi lain, malformasi kongenital mayor atau
minor 2-5 kali lebih sering terjadi pada anak-anak dari wanita epilepsi dibandingkan dengan
populasi umum.4 Kebanyakan kejang selama kehamilan terjadi pada wanita yang sudah
menderita epilepsi. Meskipun Jarang, beberapa wanita mungkin mengalami kejang pertama
selama kehamilan.5 Kejang umum tonik-klonik dikaitkan dengan risiko pada janin serta wanita
hamil. Kejang lain lebih tidak berbahaya, tetapi mungkin berhubungan dengan cedera, retardasi
pertumbuhan intrauterin dan kelahiran premature.6 Malformasi kongenital yang paling sering
adalah celah bibir-langit-langit, kelainan jantung, defek tuba neural, kelainan tulang dan
urogenital, karakteristik dismorfik, gangguan perilaku, dan IQ rendah. Peningkatan risiko aborsi,
lahir mati, kelahiran prematur, keterlambatan perkembangan intra-uterin, dan keterbelakangan
mental dan psikomotor dilaporkan pada pasien hamil dengan epilepsi.4
Perubahan fisiologis yang terjadi pada kehamilan secara signifikan mengubah volume
distribusi dan eliminasi Obat Anti Epilepsi (OAE) dan akibatnya menurunkan konsentrasi
plasma.7 Monoterapi telah terbukti lebih aman untuk janin daripada politerapi karena telah
terbukti dikaitkan dengan risiko malformasi kongenital yang lebih rendah. Beberapa penelitian
juga menunjukkan bahwa obat antiepilepsi yang lebih tua lebih mungkin menyebabkan
malformasi kongenital daripada yang lebih baru. Secara khusus, valproat telah terbukti memiliki
potensi teratogenik terbesar.8
Wanita dengan epilepsi (WWE) disarankan untuk melanjutkan obat antiepilepsi (OAE)
selama kehamilan untuk mengurangi trauma ibu dan janin yang terkait dengan kejang.
Tujuannya adalah kontrol kejang yang optimal dengan paparan OAE minimal terhadap janin.
Paparan OAE prenatal dapat dikaitkan dengan malformasi kongenital utama (MCM), retardasi
pertumbuhan intrauterin, sindrom dismorfik dan defisit dalam perkembangan neurokognitif.
Pada WWE hamil, penyebab peningkatan kejang tidak dipahami dengan jelas dan kemungkinan
multifaktorial. Kehamilan dikaitkan dengan sejumlah perubahan fisiologis, endokrin dan
psikologis, salah satu atau semua yang mungkin berkontribusi untuk menurunkan ambang
kejang. Perubahan fisiologis selama kehamilan mengubah farmakokinetik OAEyang dapat
menyebabkan penurunan kadar dan penurunan kejang pada WWE.9
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Definisi epilepsi secara konseptual adalah gangguan di otak yang ditandai dengan faktor
predisposisi menetap untuk mengalami kejang selanjutnya dan terdapat konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial dari kondisi ini. Diagnosis dari sindrom epilepsi
berdasarkan pemeriksaan EEG. Definisi praktikal dari epilepsi adalah:3
1. Terdapat dua atau lebih kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari 24
jam.
2. Terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi namun risiko kejang selanjutnya sama
dengan risiko rekurensi umum (mencapai 60%) setelah dua kejang tanpa provokasi
dalam 10 tahun mendatang.3
Epilepsi adalah masalah neurologis serius yang paling sering ditemui dalam praktik
kebidanan. Insiden epilepsi adalah 0,3-0,5% pada populasi yang berbeda di seluruh dunia.
Proporsi populasi yang menggunakan obat antiepilepsi (OAE) berkisar antara 4-9 per 1000
orang. Di Australia, sekitar 1500-2000 wanita yang menggunakan OAE menjadi hamil setiap
tahun. Ada kekhawatiran luas tentang risiko teratogenik yang ditimbulkan oleh OAE. Penyakit
dan obat-obatan ini mungkin memiliki dampak yang signifikan pada fungsi reproduksi, pilihan
dan efektivitas kontrasepsi.1
Bagi kebanyakan wanita dengan epilepsi, frekuensi kejang tidak meningkat selama
kehamilan. The International Registry of Antiepileptic Drugs and Pregnancy (EURAP)
melaporkan pada tahun 2006 pada 1882 wanita dengan epilepsi yang kontrol dan pengobatan
kejangnya tercatat secara prospektif; 58% peserta bebas kejang selama kehamilan; frekuensi
kejang dan pengobatan OAE tetap tidak berubah pada 62-64%. APR juga menemukan bahwa
kehamilan berdampak kecil pada frekuensi kejang di antara wanita yang diobati. Periode bebas
kejang 12 bulan sebelum kehamilan dikaitkan dengan pengurangan 50-70% risiko kejang selama
kehamilan. Banyak wanita yang mengalami peningkatan frekuensi kejang kurang tidur atau tidak
patuh karena kekhawatiran tentang efek obat pada janin yang sedang berkembang. Perubahan
farmakokinetik OAE juga dapat berkontribusi pada perubahan frekuensi kejang selama
kehamilan.10 Gangguan neurologis kedua yang paling umum setelah migrain pada ibu hamil
adalah epilepsi. Insiden epilepsi pada wanita hamil adalah 0,3-0,7%.11
Epilepsi dan kehamilan berkaitan secara kompleks. Perubahan fisiologis yang terjadi
untuk mempertahankan homeostasis berlanjut selama kehamilan dan keseimbangan hormon baru
berpotensi mengubah rangsangan saraf dan ambang kejang. Selain itu, diketahui bahwa obat
antikonvulsan/antiepilepsi (OAE) berinteraksi dengan hormon seks wanita (endogen maupun
eksogen) dengan menurunkan kadarnya. Selanjutnya, agen farmakologis ini juga dapat
menyebabkan malformasi mayor pada janin. Efek teratogenik dari obat ini memang
menimbulkan masalah serius bagi pasien dan penyedia layanan kesehatan.13
ILAE membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang parsial dengan definisi sebagai
berikut:13
 Kejang umum: gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan keterlibatan
kedua hemisfer.
 Kejang parsial (fokal): gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan aktivasi
pada neuron terbatas pada satu hemisfer saja. 13
Gambar 2.1. Bagian otak koronal yang menggambarkan jenis kejang dan rute
potensial penyebaran kejang,14

Selain itu ILAE (1989) juga membagi epilepsi berdasarkan etiologi. Menurut etiologi
epilepsi dapat dibagi menjadi:13
 Epilepsi atau sindrom epilepsi idiopatik yaitu epilepsi tanpa adanya kelainan struktur otak
dan tidak ditemukan defisit neurologi. Faktor genetik diduga berperan pada tipe ini dan
biasanya khas mengenai usia tertentu.
 Epilepsi atau sindrom epilepsi simtomatik yaitu epilepsi yang disebabkan satu atau lebih
kelainan anatomi dan ditemukan defisit neurologi.
 Epilepsi atau sindrom epilepsi kriptogenik yaitu epilepsi atau sindrom epilepsi yang
diasumsikan simtomatik tetapi etiologi masih belum diketahui. Dengan kemajuan ilmu
pengetahuan (pemeriksaan pencitraan, genetik, metabolik) klasifikasi kriptogenik banyak
yang dapat digolongkan sebagai epilepsi simtomatik.13
Gambar 2.2. Klasifikasi epilepsi berdasarkan etiologi.13

2.2. Etiologi dan Patogenesis Epilepsi


Etiologi epilepsi umumnya tidak diketahui. Klasifikasi berdasarkan ILAE 2010,
mengganti terminologi dari idiopatik, simtomatis, atau kriptogenik, menjadi genetik,
struktural/metabolik, dan tidak diketahui. Genetic epilepsy syndrome adalah epilepsi yang
diketahui/diduga disebabkan oleh kelainan genetik dengan kejang sebagai manifestasi utama.
Structural/metabolic syndrome adalah adanya kelainan struktural/metabolik yang menyebabkan
seseorang berisiko mengalami epilepsi, contohnya; epilepsi setelah sebelumnya mengalami
stroke, trauma, infeksi SSP, atau adanya kelainan genetik seperti tuberosklerosis dengan kelainan
struktur otak (tuber). Epilepsi digolongkan sebagai “unknown cause” bila penyebabnya belum
diketahui.13
Kelainan genetik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain:
1. Kelainan kromosom: sindrom fragile X, sindrom Rett.
2. Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsi umum awitan lambat dan
leukoensefalopati.13
Kelainan struktural/metabolik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain
1. Kelainan neurokutan: tuberosklerosis, neurofibromatosis, hipomelanosis Ito, sindrom
Sturge-Weber.
2. Palsi serebral (PS); epilepsi didapatkan pada 50% PS spastik kuadriplegia atau
hemiplegia dan 26% PS spastik diplegia atau diskinetik.
3. Sklerosis hipokampus, gliosis, dan hilangnya neuron sehingga mengubah rangkaian
sirkuit menjadi epileptogenesis, termasuk mesial temporal sclerosis
4. Malformasi serebral atau kortikal (didapatkan pada 40% epilepsi intraktabel),
hemimegalensefali, focal cortical dysplasia (FCD), heterotopia nodular
periventrikular, agiria, pakigiria, skizensefali, polimikrogiria.
5. Tumor otak dan lesi lain; astrositoma, gangliositoma, ganglioglioma, angioma
kavernosum.
6. Trauma kepala.
7. Infeksi; ensefalitis herpes simpleks, meningitis bakterial, malaria serebral,
sistiserkosis.
8. Kelainan metabolik bawaan.13

Gambar 2.3. Patogenesis Epilepsi.15

Studi eksperimental dan klinis telah menunjukkan bahwa kejang dipengaruhi oleh
hormon seks wanita estrogen dan progesteron. Secara umum, estrogen menurunkan ambang
kejang dan progesteron meningkatkannya. Pada sebagian besar model hewan percobaan,
estrogen menurunkan ambang kejang yang disebabkan oleh kejutan listrik, kayu bakar,
pentylenetetrazol, dan agen lainnya. Aplikasi otak topikal atau pemberian estradiol intravena
pada kelinci meningkatkan pelepasan lonjakan paroksismal spontan, terutama bila ada lesi
kortikal yang sudah ada sebelumnya. Progesteron mengurangi pelepasan epileptiform spontan
dan terinduksi. Pengamatan serupa telah dilakukan pada manusia juga. Estrogen terkonjugasi,
bila diberikan secara intravena, mengaktifkan pelepasan epileptiform pada 11 dari 16 wanita
dengan kejang klinis. Dalam studi lain, empat dari tujuh wanita dengan epilepsi parsial
menunjukkan penurunan yang signifikan dalam frekuensi lonjakan interiktal ketika progesteron
diinfuskan secara intravena.16
Secara umum dianggap bahwa Woman with Epilepsy (WWE) telah mengurangi tingkat
kesuburan. Proporsi wanita yang menikah dan usia kawin dapat mempengaruhi angka fertilitas.
Faktor demografi, sosial, ekonomi, dan medis yang mempengaruhi pernikahan di WWE perlu
diteliti lebih lanjut. Penyakit ovarium polikistik (PCOD), penyebab penting infertilitas, dapat
terjadi pada sekitar 10% wanita di masyarakat. Ini harus dibedakan dari ovarium polikistik yang
dapat terlihat pada sebanyak 20% wanita di komunitas. Lokakarya konsensus Eropa-Amerika
membutuhkan dua dari tiga kriteria (oligo/anovulaton, klinis, atau tanda-tanda biokimia
hiperandrogenisme dan ovarium polikistik) untuk mendiagnosis PCOD. Tampaknya WWE
memiliki kecenderungan yang meningkat untuk PCOD. Penggunaan sodium valproate (VPA)
telah terbukti berkorelasi dengan adanya PCOD, yang berbalik ketika VPA digantikan oleh OAE
lain. Sebuah laporan konsensus baru-baru ini telah merekomendasikan bahwa jika gangguan
endokrin reproduksi ditemukan di WWE, pengobatan OAE harus ditinjau untuk memastikan
bahwa itu benar untuk jenis kejang tertentu dan bahwa itu tidak berkontribusi pada masalah
endokrin. Kemungkinan manfaat dari perubahan pengobatan harus seimbang terhadap kontrol
kejang dan efek samping kumulatif dari agen alternative.16

2.3. Diagnosis Epilepsi


Diagnosis epilepsi merupakan diagnosis klinis yang terutama ditegakkan atas dasar
anamnesis dan pemeriksaan fisis-neurologis. Penegakkan diagnosis epilepsi dimulai dengan
penentuan secara klinis apakah kejang merupakan kejang epileptik, berdasarkan atas deskripsi
serangan atau pengamatan kejang secara langsung serta gejala dan temuan lain pada anamnesis
dan pemeriksaan fisis. Anamnesis dapat didapatkan dari pasien, orang lain yang menyaksikan
atau mengetahui riwayat serangan, serta bilamana memungkinkan, dari saksi mata yang melihat
serangan. Dalam menentukan serangan merupakan suatu kejang epileptik, diagnosis banding
yang lain perlu disingkirkan. Diagnosis kejang epileptik atas dasar temuan klinis (anamnesis dan
pemeriksaan fisis, dengan baku emas pemantauan jangka panjang) memiliki sensitivitas 97,7%
dan spesifisitas 100% (peringkat bukti 2, derajat rekomendasi B). Pembedaan kejang epileptik,
kejang non-epileptik, dan serangan paroksismal bukan kejang dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi yang ditemukan pada anamnesis
dan pemeriksaan fisis. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) dengan rekaman video pada saat
terjadi serangan terkadang dapat membantu menentukan apakah serangan merupakan kejang
epileptik, namun pemeriksaan EEG dan rekaman video secara terpisah tidak dapat menentukan
atau menyingkirkan kejang epileptik dan bukan merupakan pemeriksaan baku emas.13
Walaupun EEG secara rutin dilakukan pada kejang tanpa provokasi pertama dan pada
(dugaan) epilepsi, pemeriksaan ini bukanlah baku emas untuk menegakkan diagnosis epilepsi.
Kelainan pada EEG dapat ditemukan pada 2-4% anak yang tidak pernah kejang; sebaliknya,
EEG interiktal pertama dapat normal pada 55% anak dengan kejang pertama tanpa provokasi.
Gambaran EEG saja tanpa memandang informasi klinis tidak dapat menyingkirkan maupun
menegakkan diagnosis epilepsy. Pada EEG diperhatikan frekuensi dan amplitudo gelombang
irama dasar, ada tidaknya asimetri, serta ada tidaknya aktivitas epileptiform yang dapat berupa
gelombang paku, gelombang tajam, paku-ombak, tajam-ombak, paku multipel, burst-
suppression, dan hipsaritmia. Diperhatikan juga lokalisasi aktivitas abnormal, bila ada. Secara
tersendiri, sensitivitas EEG untuk mendiagnosis epilepsi hanya 25-56%, sedangkan
spesifisitasnya 78-98%. Jika digunakan bersama dengan temuan klinis pada anamnesis dan
pemeriksaan neurologis, maka sensitivitasnya menjadi 98,3% (IK95% 96,3 sampai 99,2) dan
spesifisitasnya 86% (IK95% 78,8 sampai 91,2) (peringkat bukti peringkat bukti 2).13
Peran pencitraan adalah untuk mendeteksi adanya lesi otak yang mungkin menjadi faktor
penyebab epilepsi atau kelainan perkembangan saraf yang menyertai. Pencitraan dilakukan untuk
menentukan etiologi, memperkirakan prognosis, dan merencanakan tata laksana klinis yang
sesuai. Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pencitraan pilihan untuk mendeteksi
gangguan yang memiliki epilepsi (peringkat buktiperingkat bukti 2, derajat rekomendasi A).13
Diagnosis epilepsi dan serangan epilepsi harus dilakukan oleh praktisi medis yang ahli
dalam bidang epilepsi, umumnya ahli saraf. Wanita dengan riwayat epilepsi yang tidak dianggap
memiliki risiko tinggi kejang tak beralasan dapat ditatalaksana sebagai wanita berisiko rendah
dalam kehamilan.17 Diagnosis lengkap epilepsi melibatkan diagnosis kejang (berdasarkan
riwayat klinis), sindrom epilepsi dan etiologi yang mendasarinya. Diagnosis banding yang paling
umum adalah kejang sinkop dan disosiatif (psikogenik non-epilepsi). Semua pasien yang
mengalami kejang harus menjalani pemeriksaan elektrokardiogram, dan neuroimaging harus
dilakukan pada semua pasien dengan dugaan penyebab fokal.18
Wanita hamil dan anak perempuan yang menggunakan OAE harus ditawarkan
pemeriksaan ultrasonografi resolusi tinggi untuk skrining anomali struktural. Pemeriksaan ini
harus dilakukan pada usia kehamilan 18-20 minggu oleh ahli ultrasonografi yang terlatih, tetapi
pemeriksaan lebih awal dapat memungkinkan malformasi mayor dideteksi lebih cepat. 19 Dalam
tinjauan sistematis, berdasarkan 11 studi (satu uji coba terkontrol secara acak, enam kohort
retrospektif dan empat kohort prospektif), yang dilakukan untuk memeriksa penggunaan
ultrasound rutin trimester kedua untuk mendeteksi anomali janin, prevalensi keseluruhan
anomali janin adalah 2,09%, berkisar dari 0,76% menjadi 2,45% dalam studi individu dan
termasuk anomali mayor dan minor. Menggunakan pemeriksaan ultrasonografi akhir kehamilan
secara keseluruhan, deteksi anomali janin adalah 44,7%, dengan kisaran 15,0% hingga 85,3%.
Waktu optimal dari pemeriksaan ultrasound tersebut dapat dibantu dengan perkiraan tanggal
yang akurat menggunakan pemeriksaan awal kehamilan rutin.20

2.4. Pengaruh Kehamilan terhadap Epilepsi


Kehamilan berhubungan dengan perubahan fisiologis, endokrin, dan psikologikal yang
dapat berkontribusi terhadap menurunnya ambang batas kejang atau seizure threshold. Faktor
yang dapat memprediksi frekuensi kejang selama kehamilan adalah frekuensi kejang yang terjadi
selama 1 tahun sebelum kehamilan. Konsentrasi obat antiepileptik dalam plasma bisa mengalami
fluktuasi akibat perubahan fisiologis dalam proses absorpsi, peningkatan renal clearance, hepatic
clearance, peningkatan pada distribusi volume plasma dan induksi enzim di liver. Pada
kehamilan, absorpsi obat dapat terganggu karena berkurangnya tonus dan motilitas gaster.
Perubahan pada aktivitas enzim di liver yang berperan dalam metabolisme obat, aliran darah, dan
transporter obat dapat mempengaruhi hepatic clearance dari obat antiepileptik. Hal ini menjadi
sangat penting karena beberapa obat antiepileptik dimetabolisme oleh nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate (NADPH) sitokrom P450 reduktase, uridine diphosphatase glucose
(UDP) glukoronosiltransferase, dan kemudian dieksresikan lewat ginjal.3
Gambar 2.4. Mekanisme Penyebab Peningkatan Frekuensi Kejang pada Kehamilan.3

2.5. Pengaruh Epilepsi terhadap kehamilan


Kejang tonik klonik yang tidak terkontrol merupakan faktor risiko terbesar untuk
kejadian SUDEP, yang menjadi penyebab utama dari kematian wanita dengan riwayat epilepsi.
Sudden unexpected death in epilepsy atau SUDEP merupakan kematian yang tiba-tiba, tidak
terduga, non trauma, pada pasien dengan epilepsi dengan atau tanpa bukti terjadinya kejang dan
tidak berhubungan dengan status epileptikus. Menurut penelitian, belum ada yang dapat
menunjukkan kejadian kejang parsial sederhana, parsial kompleks, absans, atau mioklonik
berbahaya bagi janin. Selain itu, studi prospektif lain juga belum dapat menunjukkan hubungan
antara kejang tonik klonik dan malformasi. Kejang umum pada saat persalinan akan
menyebabkan asfiksia transien pada janin. Pada kejang grand mal, 15 menit setelah kejang,
terjadi bradikardia pada janin, variabilitas berkurang, dan deselerasi. Angka kejadian fetal loss
akibat pengaruh epilepsi atau obat antiepileptik cenderung rendah. Pada tabel berikut akan
diperlihatkan presentasi klinis dari beberapa jenis kejang dan efeknya terhadap ibu dan janin.3

Gambar 2.5. Manifestasi klinis dari tipe kejang dan efek terhadap ibu dan janin.3
Selain kekhawatiran tentang paparan janin terhadap OAE, ada risiko pada janin dari
kejang ibu dan epilepsi ibu. Penting untuk meyakinkan wanita yang tidak memerlukan OAE
bahwa mereka tidak berisiko tinggi melahirkan bayi dengan cacat lahir. Meskipun janin relatif
resisten terhadap episode hipoksia pendek, kejang kejang yang berkepanjangan dapat
menyebabkan hipoksia janin yang berkelanjutan. Melindungi janin dari konsekuensi kejang yang
sering atau berkelanjutan adalah argumen yang meyakinkan untuk mempertahankan penggunaan
OAE selama kehamilan. Risiko tambahan dari kejang ibu termasuk cedera pada janin, solusio
atau keguguran karena trauma ibu yang diderita selama kejang. Ada sekitar 4 kali lipat
peningkatan risiko epilepsi pada bayi dari wanita dengan epilepsy.21

2.6. Obat antiepilepsi pada Kehamilan


Selama kehamilan, konsentrasi OAE plasma dapat berfluktuasi karena perubahan
fisiologis dalam penyerapan, peningkatan pembersihan ginjal, perubahan pembersihan hati,
peningkatan distribusi volume plasma dan induksi enzimatik hati dari hormon steroid seks
wanita. Perubahan ini penting untuk OAE yang dimetabolisme oleh enzim nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate (NADPH) cytochrome P450 reduktase, uridine diphosphate glucose
(UDP) enzim glucuronosyltransferases dan OAE dibersihkan oleh ekskresi ginjal. Secara umum,
peningkatan klirens dapat mempengaruhi konsentrasi OAE dan memerlukan penyesuaian dosis
untuk mempertahankan kadar sebelum kehamilan. Penurunan kadar OAE dalam darah >35%
dari kadar awal sebelum kehamilan dapat menyebabkan peningkatan kejang pada beberapa
pasien.9
Malformasi kongenital mayor merupakan abnormalitas atau kelainan struktural dari
aspek surgikal, medikal, fungsional, atau kosmetika, yang terjadi selama masa organogenesis
pada trimester pertama. Sekarang dinyatakan bahwa epilepsi yang tidak ditangani tidak
berhubungan dengan meningkatnya angka malformasi kongenital. Monoterapi dihubungkan
dengan rendahnya angka defek kongenital bila dibandingkan dengan politerapi.3
Gambar 2.6. Efek Teratogenik pada Medikasi Antiepileptik.3
Dosis harian total yang lebih rendah dari 800 mg dikaitkan dengan risiko yang lebih
rendah, sedangkan dosis yang lebih tinggi dari 1500 mg dikaitkan dengan risiko yang lebih
tinggi. Malformasi kongenital terkait asam valproat termasuk cacat tabung saraf, anomali tulang,
hipospadia, dan anomali sumbing.11 Malformasi kongenital kardiovaskular relatif sering terjadi
pada bayi lahir dari ibu epilepsi tetapi proporsi yang terdeteksi oleh USG pra-kelahiran rendah.22
Overall risk tertinggi dari malformasi kongenital mayor 12 minggu setelah lahir dengan
pajanan terhadap obat antiepiletik di trimester pertama, yang merupakan data dari NAAPR
adalah asam valproate dengan 9,3%. Dosis asam valproate lebih dari 1500mg/hari akan memiliki
risiko malformasi kongenital sebanyak lebih dari 24,2%. Menurut data UK Epilepsy and
Pregnancy Register yang melaporkan malformasi kongenital yang terdeteksi pada usia bayi 3
bulan. Dari laporan tersebut, diketahui bahwa lamotrigine dosis tinggi memiliki risiko lebih
rendah terhadap kejadian malfomasi kongenital bila dibandingkan dengan asam valproate dosis
berapapun. EURAP menunjukkan asam valproate memiliki risiko tertinggi untuk menyebabkan
malformasi kongenital dan yang terendah adalah lamotrigine dengan dosis kurang dari 300 mg.
Lamotrigine dan levetiracetam dalam monoterapi ataupun politerapi memiliki efek teratogenik
yang lebih rendah dan menjadi pilihan untuk manajemen epilepsi selama kehamilan.3
Paparan valproat atau asam valproat dikaitkan dengan cacat lahir garis tengah termasuk
spina bifida (6-10%), gangguan spektrum autisme, serta IQ verbal yang lebih rendah pada anak-
anak dari ibu yang terpapar selama kehamilan. Ada peningkatan risiko cacat lahir dengan
politerapi dengan OAE (bila dibandingkan dengan monoterapi). Tampaknya ada risiko terkait
celah wajah dengan Topiramate. Menurut tinjauan terbaru dari Pendaftaran Kehamilan Amerika
Utara, obat paling aman tampaknya Lamotrigin dan Levetiracetam tetapi ini dapat berubah di
masa depan tergantung pada temuan dari pendaftar kehamilan nasional yang berbeda. Folat
prakonsepsi menurunkan risiko cacat lahir garis tengah dan IQ rendah pada keturunan WWE.
Tidak ada bukti yang cukup untuk menentukan apakah risiko komplikasi perdarahan neonatus
pada bayi baru lahir yang menggunakan WWE yang memakai OAE meningkat secara
substansial. Tingkat OAE dapat menurun selama kehamilan karena perubahan volume distribusi.
Ini terutama terlihat dengan Lamotrigin dan Phenytoin.23

Gambar 2.7. Efek OAE pada kontrasepsi oral, fertilitas, dan kehamilan.16

2.7. Penanganan Kehamilan Dengan Epilepsi


2.7.1. Penanganan Antenatal
Dalam penanganan antenatal, dilakukan pemeriksaan pada setiap trimester dan
dokumentasi dari kejadian kejang, serta obat antiepileptik apa yang sekarang sedang dikonsumsi
dan dosisnya. Pada trimester pertama, tawarkan kepada ibu untuk melakukan skrining terhadap
kelainan kromosom seperti aneuploidy. Selain itu, dilakukan skrining terhadap alfa fetoprotein
pada usia kehamilan 14 hingga 20 minggu. Dilakukan juga pengawasan terhadap level
antikonvulsan dalam plasma setiap 1-2 bulan, dan bila terjadi gangguan dalam pengendalian
kejang, maka dosisnya perlu disesuaikan. Wanita dengan epilepsi yang sedang hamil juga
dianjurkan untuk tidur yang cukup dan patuh terhadap pengobatan epilepsi yang sedang dijalani.
terutama pada trimester akhir, dimana level dari obat antiepileptik berada pada titik terendah.3
Pada wanita dengan epilepsi juga dilakukan surveilans terhadap kelainan kongenital,
dengan menggunakan pemeriksaan ultrasound pada usia kehamilan 11 hingga 13 minggu. Pada
trimester pertama, diperiksa apakah janin acrania atau tidak dan apakah terjadi peningkatan
nuchal translucency, adanya defek jantung atau tidak. Pada trimester kedua, dilakukan
pemeriksaan ultrasound untuk skrining defek pada neural tube. Risiko malformasi kongenital
mayor pada janin masih dapat mungkin dikurangi dengan pemberian suplemen asam folat,
namun pada kasus wanita dengan epilepsi, masih belum diperoleh cukup data untuk menentukan
efektivitasnya. Walaupun demikian, pemberian asam folat tetap direkomendasikan untuk semua
wanita usia reproduktif dengan atau tanpa epilepsi sebelum konsepsi dan selama kehamilan
dengan dosis 0,4 mg per hari.3 Rekomendasi di seluruh dunia (WHO) untuk suplementasi wanita
usia reproduksi adalah dengan 0,4-0,8 mg asam folat setiap hari. Namun, untuk pencegahan
defek tuba neural, dosisnya lebih besar. Jika ada riwayat bayi dengan defek tuba neural,
rekomendasi harian adalah 4 atau bahkan 5 mg asam folat, karena tidak ada efek samping yang
terkait dengan vitamin ini.2
Odds ratio memiliki janin dengan small gestational age pada wanita dengan epilepsi
meningkat bila dibandingkan dengan wanita tanpa epilepsi yaitu sebesar 1.26 dan 3,5 kali lipat
lebih tinggi pada wanita dengan epilepsi yang terpapar dengan obat antiepileptik sehingga perlu
dilakukan growth scan serial yang ditawarkan kepada ibu mulai dari usia kehamilan 28 minggu
untuk mendeteksi growth restriction. Beberapa obat antiepileptik dapat memicu kerja enzim yang
dapat meningkatkan aktivitas enzim hepatik pada janin, yang mengakibatkan defisiensi vitamin
K. Obat tersebut meliputi carbamazepine,oxcarbazepine, henobarbitone, fenitoin, primidone, dan
topiramate. Obat-obat tersebut dapat memicu degradasi vitamin K pada janin karena dapat
menembus plasenta. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memberikan profilaksis antenatal yaitu
vitamin K 20mg/hari selama 4 minggu terakhir kehamilan, untuk mencegah risiko perdarahan
neonatus. Bila vitamin K tidak diberikan pada periode antenatal, maka dapat diberikan vitamin K
10mg IV dalam waktu 5 menit pada saat partus atau partus prematurus.3

2.7.2. Penanganan intrapartum


Persalinan merupakan proses yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya rekurensi
kejang. Beberapa alasannya adalah bioavabilitas dan kepatuhan yang buruk terhadap penggunaan
obat antiepileptik, kurangnya waktu tidur ibu, kecemasan, dan hiperventilasi saat persalinan.
Menurut data EURAP, diketahui bahwa pada wanita dengan epilepsi yang sedang dalam
persalinan, angka kejadian kejang adalah sebesar 3,5%. Adanya kejadian kejang pada saat
kehamilan trimester awal berhubungan dengan kejadian kejang saat persalinan (OR=4.8 95% CI
2.3-10.0).3
Pada wanita yang tidak mengkonsumsi obat antikonvulsan selama lebih dari 12 jam,
mamerlukan dosis parenteral. Pada wanita yang memang mengkonsumsi obat fenitoin per oral
maka dapat dilanjutkan dengan dosis yang sama melalui intravena yang terbagi menjadi
beberapa dosis. Untuk dosis awal fenitoin yang diberikan untuk wanita yang menggunakan
antikonvulsan lain, diberikan 15-20mg/kg BB dengan dosis rumatan 8mg/kgBB/hari, sekitar 300
mg, dua kali sehari per intravena atau oral. Kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit jarang
terjadi dan berisiko untuk progresif menjadi status epileptikus, yang terjadi pada 1% kehamilan
pada wanita dengan epilepsi.3
Belum ada studi mengenai manajemen optimal dari kejang epileptik pada persalinan. Bila
terdapat akses intravena, maka diberikan lorazepam 0,1 mg/kg atau diazepam 5-10mg secara
intravena sebagai alternatif. Bila tidak ada akses intravena, maka diberikan diazepam 10-20mg
per rektal yang dapat diulang 1x setelah 15 menit kemudian, bila ada risiko terjadinya status
epileptikus, atau diberikan midazolam 10mg preparat buccal. Bila kejang belum terkendali, maka
diberikan fenitoin atau fosfenitoin dengan loading dose 10-15mg/kg dengan infus intravena.
Setelah ibu distabilisasi, dilakukan monitoring terhadap janin secara kontinu.3
Gambar 2.8. Manajemen Persalinan Wanita dengan Epilepsi.24
Gambar 2.9. Indikasi untuk operasi Caesar.16
Bila denyut jantung janin tidak ditemukan dalam waktu 5 menit, atau kejang rekuen,
maka harus terminasi segera. Menurut Mirawati et al. (2014), terapi kejang saat persalinan dapat
digunakan diazepam 10mg IV atau fenitoin 15-20mg/kgBB bolus IV diikuti dengan dosis
8mg/kg BB/hari diberikan 2x/hari secara intravena atau oral. Dalam hal metode anestesi seperti
regional anestesi yaitu epidural, spinal, termasuk metode aman untuk persalinan. Anestesi
epidural dipertimbangkan karena dapat meminimalkan faktor presipitasi kejang ketika persalinan
seperti overbreathing, sleep deprivation dan stres emosional. Diamorphine lebih dipilih
dibandingkan dengan petidin karena petidin akan dimetabolisme menjadi norpetidin yang
bersifat epileptogenik ketika diberikan dalam dosis tinggi pada pasien dengan fungsi ginjal
normal.1 Setelah bayi lahir, maka anjurkan kepada ibu agar bayi diberikan suntik vitamin K
intramuskular segera setelah lahir dimana dosisnya adalah 1mg untuk bayi aterm dan 0,5mg
untuk bayi dengan berat badan di bawah 1500 gram. Dilakukan observasi terhadap bayi
mengenai tanda tanda depresi nafas dan memeriksa dismorfologi pada bayi.3

2.7.3. Penanganan post partum


2.7.3.1.Periode menyusui
Level obat antiepileptik di dalam plasma ibu dapat mengalami fluktuasi hingga minggu
ke-8 post partum dan harus tetap dimonitor. Pada periode menyusui, bila ibu menggunakan obat
antiepileptik yang terdapat efek mengantuk, maka perlu dilakukan observasi terhadap bayi yaitu
efek sedasi, tidak tertarik untuk minum ASI, peningkatan berat badan yang tidak adekuat.
Metode optimal untuk memperkirakan pajanan terhadap obat tersebut adalah dengan mengukur
konsentrasi obat pada air susu ibu dan mengalikannya dengan perkiraan daily intake. Bila
hasilnya kurang dari atau sama dengan 10%, maka terapi obat dengan dosis tersebut termasuk
aman. Dari penelitian yang dilakukan oleh Pennell et al. (2007), level estimasi dari
carbamazepine, fenitoin, dan asam valproate adalah 3-5% dari dosis terapi dan termasuk aman.
Sementara untuk lamotrigine dan levetiracetam sekitar 10% dan gabapentin sekitar 12%. Data
preliminari mengatakan lamotrigine dan topiramate dapat dieksresikan di dalam air susu ibu
(ASI) namun, tidak ditemukan laporan mengenai efek samping.3

Gambar 2.10. Obat antiepilepsi dalam ASI sebagai proporsi kadar darah.16

2.7.3.2. Perawatan bayi


Beberapa hal yang harus diedukasi kepada ibu mengenai perawatan bayi adalah ibu harus
mengurangi kegiatan yang berat yang dapat menyebabkan kelelahan, ibu harus istirahat dan
waktu tidur yang cukup, serta perlu pendampingan keluarga. Dalam periode post partum,
penyedia layanan kesehatan harus waspada terhadap risiko kejang postpartum yang dapat
diakibatkan oleh kurangnya waktu tidur dan kurangnya kepatuhan berobat. Peran dari penyedia
layanan kesehatan sangat penting untuk mengedukasi ibu agar istirahat yang cukup dan patuh
terhadap jadwal minum obat.3
2.7.3.3. Kontrasepsi
Penggunaan metode kontrasepsi implant progesterone atau pil progesteron pada wanita
dengan epilepsi yang mengkonsumsi obat antikonvulsan yang sifatnya dapat memicu kerja
enzim, termasuk tidak reliable, namun untuk wanita dengan obat yang lain selain lamotrigine dan
yang disebutkan di atas, dapat digunakan kontrasepsi tersebut. Pil kombinasi yang mengandung
kurang dari 50 mikrogram estrogen dapat berhubungan dengan peningkatan insiden
breakthrough bleeding dan atau kontrasepsi yang gagal dan harus dihindari.3

Gambar 2.11. Metode kontrasepsi yang direkomendasikan bagi wanita dengan


epilepsi yang menggunakan OAE.3
Wanita harus diperiksa oleh ahli saraf untuk menyesuaikan dosis OAE. Kadar OAE
plasma ibu dapat berfluktuasi hingga minggu kedelapan pascapersalinan dan pemantauan kadar
OAE plasma mungkin diperlukan. Kebutuhan OAE kemungkinan akan turun pada masa nifas
dan toksisitas dapat terjadi jika dosisnya tidak disesuaikan. Dosis lamotrigin dan oxcarbazepine
khususnya mungkin perlu dikurangi pascapersalinan.10
Gambar 2.12. Strategi manajemen yang direkomendasikan selama pra-kehamilan,
kehamilan, persalinan, dan postpartum dini.6
Gambar 2.13.Epilepsi dan Kehamilan.25
2.8. Prognosis
Meskipun data mendukung peningkatan risiko obstetrik selama persalinan pada Wanita
dengan epilepsi (WWE), beberapa penelitian tidak menemukan perbedaan yang signifikan.
Misalnya, satu studi meninjau kehamilan tunggal pada wanita dengan epilepsy dan kehamilan
tunggal pada wanita tanpa epilepsy; tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara 2
kelompok dalam kejadian preeklamsia, persalinan prematur, tingkat operasi caesar, kematian
perinatal atau berat badan lahir rendah.9
Anak-anak dari wanita dengan epilepsi (WWE) berada pada risiko dua sampai tiga kali
lebih tinggi dari malformasi kongenital dibandingkan dengan populasi umum. Risiko malformasi
tertinggi dilaporkan dengan natrium valproat (VPA) dengan pasien pada dosis yang lebih tinggi
dan politerapi berada pada risiko yang lebih besar dibandingkan dengan monoterapi. Selain
risiko malformasi struktural, ada kekhawatiran yang meningkat mengenai efek samping OAE
pada perkembangan kognitif bayi yang lahir dari ibu dengan epilepsi. Meskipun lamotrigin
dianggap relatif aman pada kehamilan, lamotrigin tidak tersedia untuk pasien di rumah sakit
pemerintah di Sri Lanka. Monoterapi karbamazepin juga dianggap memiliki risiko
teratogenisitas yang relatif lebih rendah, sementara natrium valproat membawa risiko
teratogenisitas tertinggi dengan 5,4 hingga 20,3% melaporkan malformasi kongenital utama atau
kematian dengan peningkatan risiko yang signifikan pada dosis lebih dari 600 mg/hari. Risiko
terbesar yang dapat diatribusikan telah diamati pada dosis lebih dari 1000 mg/hari.21
Semua WWE harus disarankan untuk mengonsumsi asam folat 5 mg/hari sebelum
konsepsi dan melanjutkan asupan hingga setidaknya akhir trimester pertama untuk mengurangi
insiden malformasi kongenital mayor. Asam folat sebelum hamil 5 mg/hari dapat membantu
dalam mengurangi risiko defisit kognitif terkait OAE.17 Frekuensi kejang tidak mungkin
meningkat selama kehamilan, dan bebas dari kejang 9-12 bulan sebelum kehamilan merupakan
prediktor yang baik untuk bebas dari kejang selama kehamilan. Keberhasilan ini sebagian besar
tergantung pada konsentrasi serum OAE, yang harus dipantau secara ketat sebelum dan selama
kehamilan.25
Gambar 2.14. Rekomendasi manajemen wanita dengan epilepsi pada usia reproduksi dan
kehamilan.12
DAFTAR PUSTAKA

1. Tedyanto EH; Chandra L; Adam OM. Gambaran Penggunaan Obat Anti Epilepsi
(OAE) pada Penderita Epilepsi Berdasarkan Tipe Kejang di Poli Saraf Rumkital DR.
Ramelan Surabaya. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. 2020; 9(1): 77-84.
2. Gonzalez-Vargas PO; Matuk-Perez Y; Hernandez JLS; Quinones-Canales G;
Silva- Sanchez SE; Aguqyo-Leytte G; et al. Clinical guideline: epilepsy in
pregnancy and women of childbearing age. Rev Mex Neuroci. 2019;20(2):104-109
3. Fidelia & Nainggolan JDL. Epilepsi Dalam Kehamilan. Medicinus. 2018; 7 (2) : 61 – 69
4. Cilliler AE; Guven H; Comoglu SS. Epilepsy and Pregnancy: A Retrospective Analysis
of 101 Pregnancies. Epilepsi 2019;25(2):69-75
5. Melikova S; Bagirova H; Magalov S. New-onset epilepsy in pregnant women: clinical
features and delivery outcomes. British Epilepsy Association. 2020. Available from:
https://www.seizure-journal.com/article/S1059-1311(20)30240-5/fulltext [Accessed on
15th June 2021]
6. Tomson T; Battino D; Bromley R; Kochen S; Meador K; Pennell P; Thomas SV.
Management of epilepsy in pregnancy: a report from the International League Against
Epilepsy Task Force on Women and Pregnancy. Epileptic Disord 2019; 21 (6): 497-517
7. Razaz N; Tomson T; Wikstrom AK; Cnattingius S. Association Between Pregnancy and
Perinatal Outcomes Among Women With Epilepsy. JAMA Neurol. 2017;74(8):983-991.
doi:10.1001/jamaneurol.2017.1310
8. Kulaga S; Sheehy O; Zargazadeh AH; Moussally K; Berard A. Antiepileptic drug use
during pregnancy: Perinatal outcomes. Seizure 20 (2011) 667–672
9. Patel SI & Pennell PB. Management of epilepsy during pregnancy: an update. Ther Adv
Neurol Disord. 2016; 9(2): 118-129.
10. Ahmed R; Apen K; Endean C. Epilepsy in pregnancy. Australian Family Physician.
2014; 43(3): 112-116.
11. Hasirci BR; Gursoy G; Tutkavul K; Cetinkaya Y. Pregnancy and Epilepsy: Monitoring
and Treating the Seizures. Epilepsi 2019;25(3):117-122
12. Khuda I & Aljaafari D. Epilepsy in pregnancy. Neurosciences 2018; Vol. 23 (3): 185-
193. doi: 10.17712/nsj.2018.3.20180129
13. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Epilepsi pada
Anak. Kemenkes. 2017: 1-79.
14. Stafstrom CE. The Pathophysiology of Epileptic Seizures: A Primer for Pediatricians.
Pediatrics in Review. 1998; 19(10): 1-12.
15. Moshe SL; Perucca E; Ryvlin P; Tomson T. Epilepsy: new advances. The Lancet. 2015;
385: 884-898. Available from: https://www.thelancet.com/article/S0140-6736(14)60456-
6/fulltext [Accessed on 15th June 2021]
16. Thomas SV. Management of epilepsy and pregnancy. J Postgrad Med March 2006 Vol
52 Issue 1
17. RCOG. Epilepsy in Pregnancy. RCOG. 2016: 1- 33.
18. Hart YM. Diagnosis and management of epilepsy. Epilepsy. 2016; 44(8): 488-494.
19. NICE. Special considerations for women and girls with epilepsy. NICE. 2021: 1-12.
20. Whitworth M; Bricker L; Mullan C. Ultrasound for fetal assessment in early pregnancy
Cochrane Library. 2015: 1-58.
21. Galappatthy P; Liyanage CK; Lucas MN; Jayasekara DTLM; Abhayaratna SA;
Weeraratne C; et al. Obstetric outcomes and effects on babies born to women treated for
epilepsy during pregnancy in a resource limited setting: a comparative cohort study.
BMC Pregnancy and Childbirth (2018) 18:230
22. Mawer G; Briggs M; Baker GA; Bromley R; Coyle H; Eatock J; et al. Pregnancy with
epilepsy: Obstetric and neonatal outcome of a controlled study. Seizure 19 (2010) 112–
119
23. Burneo J; RamachandranNair R; Andrade D; Castagna L; Derbyshire G; Hassan A; et al.
Provincial Guidelines for the management of epilepsy in adults and children. Epilepsy
Implementation Tast Force. 2015: 1- 50.
24. Holohan M. National Clinical Programme for Epilepsy. Royal College of Physicians of
Ireland. 2018: 1-44.
25. Borgelt LM; Hart FM; Bainbridge JL. Epilepsy during pregnancy: focus on management
strategies. International Journal of Women’s Health 2016:8 505–517

Anda mungkin juga menyukai