Anda di halaman 1dari 53

TUGAS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

“Analisis Jurnal dengan Kasus Penyakit Anak: Epilepsi”

Disusun Oleh :

Della Afrianti

P27820820012

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN


SURABAYA

2020
ANALISIS JURNAL 1

A. RINGKASAN JURNAL
1. JUDUL
Faktor Faktor yang Berpengaruh pada Kejadian Epilepsi Intraktabel
Anak di RSUP Dr Kariadi Semarang.
2. PENELITI Nuh
Gusta, Dkk
3. RINGKASAN JURNAL
Epilepsi adalah salah satu kelainan neurologi kronik yang ditandai
dengan gejala khas yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik
neuron otak secara berlebihan dan paroksismal. Salah satu pengobatan
epilepsi adalah OAE. Pada keadaan dimana telah mengonsumsi 2 atau lebih
jenis OAE secara teratur dan adekuat selama 18 bulan namun tidak
menunjukkan penurunan frekuensi dan durasi kejang, hal ini disebut dengan
epilepsi intraktabel. Pengetahuan mengenai faktor yang berpengaruh pada
kejadian epilepsi intraktabel anak penting untuk menjadi bahan
pertimbangan dalam pengelolaan pasien agar lebih komprehensif dan
adekuat.
4. TUJUAN PENELITIAN
Untuk Mengidentifikasi faktor faktor yang mempengaruhi kejadian
epilepsi intraktabel pada pasien anak dengan epilepsi.
5. KELEBIHAN
Teknik yang digunakan mudah dan tidak membutuhkan banyak alat.
Pembahasan dibahas secara rinci.
METODE ANALISA PICO
1) PROBLEM
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian observasional analitik dengan
desain cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai
Mei 2018. Sampel penelitian didapatkan dengan metode consecutive sampling.
Penelitian ini melibatkan 38 subyek penelitian yang merupakan pasien epilepsi
anak yang menjalani perawatan di RSUP Dokter Kariadi Semarang. Seluruh
subyek penelitian telah memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien anak yang di
diagnosis epilepsi yang menjalani rawat jalan di Poliklinik Anak RSUP Dokter
Kariadi Semarang, usia pasien 2 tahun sampai <18 tahun, memiliki rekam
medis yang lengkap, mengonsumsi Obat Anti Epilepsi (OAE) lini pertama
secara teratur dan adekuat selama minimal 18 bulan, bersedia mengikuti
penelitian ini yang dibuktikan dengan menandatangani informed consent.
2) INTERVENTION
Data penelitian terdiri dari atas data primer dan data sekunder. Data primer
terdiri dari pengisian kuesioner, yaitu identitas, anamnesis dan faktor-faktor
risiko yang ingin ditelusuri secara retrospektif yaitu jenis kelamin, usia onset
saat serangan epilepsi, etiologi, keterlambatan perkembangan, abnormalitas
neurologi, komplikasi perinatal, riwayat kejang demam, status epilepticus,
riwayat keluarga garis pertama yang di diagnosis epilepsi, dan tipe kejang
multipel. Sedangkan data sekunder diambil dari rekam medis pasien untuk
melengkapi dan dicocokkan dengan data pada kuesioner
3) COMPARE
Peneliti : Wirrel et al , judul : What predicts enduring intractability in
children who appear medically intractable in the first 2 years after diagnosis?
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 468 anak dengan epilepsi
baru di identifikasi selama periode penelitian. Dari jumlah tersebut, 381 (81%)
diikuti setidaknya selama 3 tahun setelah diagnosis awal dan dimasukkan
dalam penelitian. Kelompok penelitian terdiri dari 204 laki-laki (54%) dan usia
rata-rata onset epilepsi adalah 6,0 tahun (25-75% ile, 2,6-10,8). Durasi rata-rata
tindak lanjut adalah 10,3 tahun (ile 25-75%, 5,8-16,0). Dari kohort kami yang
terdiri dari 381 anak, 100 (26%) didiagnosis antara 1980 dan 1989, 142 (37%)
antara 1990 dan 1999, dan 139 (37%) antara 2000 dan 2009.
4) OUTCOME
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 38 subjek penelitian, angka
kejadian epilepsi intraktabel adalah 13 subjek (34,2%). Pada analisis bivariat
didapat faktor risiko yang berhubungan adalah etiologi (p=0,017) dan
abnormalitas neurologi (p=0,002). Pada analisis multivariat didapatkan faktor
abnormalitas neurologi (OR 37,67 IK95% 1,27-1111,04) sebagai faktor risiko
yang signifikan. Angka kejadian epilepsi intraktabel anak sebesar 34,2% dan
faktor yang berpengaruh terhadap kejadian epilepsi intraktabel anak adalah
abnormalitas neurologi.
ANALISIS JURNAL 2

A. RINGKASAN JURNAL
1. JUDUL
Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi pada Anak Palsi Serebral.
2. PENELITI
Lutfi, Dkk
3. RINGKASAN JURNAL
Epilepsi merupakan kelainan neurologis kronis yang ditandai dengan
berulangnya kejang. Setiap perubahan pada otak dapat menjadi faktor risiko
terjadinya epilepsi dengan berbagai manifestasi klinis. Palsi serebral
merupakan sindrom klinis akibat kerusakan jaringan otak dan bersifat
menetap. Palsi serebral mengakibatkan kelainan neurologis, salah satunya
epilepsi. Pada anak dengan palsi serebral terdapat peningkatan risiko
terjadinya epilepsi, Surveillance of Cerebral Palsy in Europe (SCPE)
melaporkan 35% anak palsi serebral menderita epilepsi.
4. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko dengan terjadinya
epilepsi pada anak palsi serebral.
5. KELEBIHAN
Pembahasan dibahas secara rinci.
B. METODE ANALISA PICO
1) PROBLEM
Penelitian ini menggunakan desain crosssectional study untuk
mengetahui hubungan antara faktor risiko dengan terjadinya epilepsi pada anak
palsi serebral, dilaksanakan pada Agustus 2018 sampai Desember 2019. Faktor
risiko yang diteliti meliputi asfiksia, persalinan vakum ekstraksi, BBLR,
prematuritas dan kejang neonatal. Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien
anak palsi serebral yang terdaftar di Poliklinik Rawat Jalan dan Rawat Inap
RSUP Dr. M. Djamil Padang. Subjek penelitian adalah bagian populasi yang
memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, diperoleh secara consecutive
sampling dengan jumlah minimal 60 subjek.
2) INTERVENTION
Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelusuran rekam medis.
Seluruh data dicatat pada kuesioner yang sudah disiapkan, diolah menggunakan
program statistik komputer SPSS,dan disajikan dalam bentuk tabel. Analisis
bivariatantara faktor risiko dengan terjadinya epilepsi pada anak palsi serebral
diuji menggunakan Chi-Square test dan Fisher’s exact test, dengan batas
kemaknaan p<0,05. Besarnya risiko dinyatakan sebagai prevalence ratio (PR).

3) COMPARE
Peneliti : Rahmat et al , judul : Prevalence and risk factors for epilepsy in
children with spastic cerebral palsy
Hasil : 236 dari 238 pasien cerebral palsy spastik dianalisis. Usia rata-rata saat
diagnosis cerebral palsy adalah 28,8 bulan. Rasio pria dan wanita adalah 1,4:
1. Prevalensi kejang epilepsi pada cerebral palsy spastik adalah 39%. Faktor
risiko epilepsi pada cerebral palsy spastik adalah infeksi sistem saraf pusat,
terjadinya kejang pada tahun pertama kehidupan, dan kelainan EEG.
4) OUTCOME
Pada 60 pasien palsi serebral, ditemukan 39 pasien (65%) menderita epilepsi
dan 21 pasien (35%) tidak menderita epilepsi. Perbandingan jenis kelamin
perempuan dan laki-laki 1,2:1. Epilepsi umum merupakan tipe epilepsi yang
paling banyak ditemukan (76,9%), pengobatan secara politerapi hampir sama
banyak dengan monoterapi. Asfiksia, persalinan vakum ekstraksi, berat badan
lahir rendah, prematuritas dan kejang neonatal tidak bermakna sebagai faktor
risiko epilepsi pada anak palsi serebral. Tidak terdapat hubungan antara
asfiksia, persalinan vakum ekstraksi, berat badan lahir rendah, prematuritas dan
kejang neonatal dengan terjadinya epilepsi pada anak palsi serebral.
ANALISIS JURNAL 3

A. RINGKASAN JURNAL
1. JUDUL
Gambaran Pengetahuan Ibu dalam Pencegahan Epilepsi pada Anak Usia
5-12 Tahun di Dusun III Sunggal Kanan Kecamatan Sunggal Kabupaten
Deli Serdang.
2. PENELITI
Noradina
3. RINGKASAN JURNAL
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan
gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan-
serangan yang berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan
kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik
pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, yang dapat
menimbulkan kelainan motorik, sensorik,otonom atau psikis yang timbul
tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel otak
(Ngastiah 2005). Prevalensi epilepsi di Amerika Utara dan Eropa adalah 5-
6/1000; sementara itu prevalensi epilepsi di Amerika Tengah dan Selatan
lebih tinggi ialah 17/1000. Insidensi epilepsi dinegara maju adalah
50/100.000 dan dinegara berkembang 100/100.000. Diseluruh dunia kasus
baru tiap tahun diperkirakan sekitar 3,5 juta dengan proporsi sebagai berikut
: 40% golongan anak, 40% golongan dewasa, dan 20% golongan lanjut usia.
Di negara maju faktor penyebab epilepsi nonidiopatik yang paling menonjol
adalah stroke, meliputi 11-14% dari seluruh kasus.
4. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu dalam pencegahan
epilepsi pada anak usia 5-12 tahun di Dusun III Sunggal Kanan Kecamatan
Sunggal Kabupaten Deli Serdang.
5. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
a. Kelebihan
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Pembahasan di
ulas secara rinci.
b. Kekurangan
Tidak dijelaskan tahapan dalam melakukan pengambilan data.
B. METODE ANALISA PICO
1) PROBLEM
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan
untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan Ibu Dalam Pencegahan Epilepsi
Pada Anak Usia 5-12 Tahun di Dusun III Sunggal Kanan Tahun 2015 dengan
52 responden.
2) INTERVENTION
Teknik pengukuran pada setiap variabel adalah dengan mengajukan 12
pertanyaan yaitu masing-masing 6 pertanyaan untuk variabel pengetahuan dan
6 pertanyaan untuk variabel tindakan dalam bentuk kuesioner tertutup,
kemudian diformulasikan menggunakan rumus range (kelas) dan rumus struger
oleh Sudjana (2009) untuk menentukan kriteria jawaban responden dan
mengetahui skor dan persentase jawaban. Karakteristik Responden yang diteliti
adalah umur, pendidikan, sumber informasi dan pekerjaan Dari hasil penelitian
ditemukan bahwa mayoritas pengetahuan ibu tergolong cukup.
3) COMPARE
Peneliti : Dimas, dkk , judul : Gambaran Tingkat Pengetahuan
Masyarakat tentang Epilepsi di Kelurahan Mahena Kecamatan Tahuna
Kabupaten Sangihe
Hasil : Walaupun sebagian besar masyarakat kelurahan Mahena, Tahuna sudah
memiliki tingkat pengetahuan cukup tentang epilepsi, masih banyak juga yang
memiliki tingkat pengetahuan kurang tentang epilepsi.
4) OUTCOME
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan bahwa mayoritas
pengetahuan ibu tergolong cukup. Karena ditemukan sebanyak 24 responden
(46,15%) yang berpengetahuan cukup. Mayoritas ibu umur (32-37) 17
responden. Pendidikan ibu mayoritas SD (38,46%) 20 responden Sumber
Informasi mayoritas dari Tenaga Kesehatan (46,15%) 24 responden. Dan
berdasarkan Pekerjaan ibu mayoritas petani (59,61%) 31 responden.
ANALISIS JURNAL 4

A. RINGKASAN JURNAL
1. JUDUL
Hubungan Terapi Obat Antiepilepsi terhadap Fungsi Kognitif pada
Pasien Epilepsi Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Periode Maret
2016-November 2016.
2. PENELITI
Nanda, dkk
3. RINGKASAN JURNAL
Epilepsi masih menjadi salah satu permasalahan penting dalam bidang
kesehatan maupun psikologi-sosial di dunia dan khususnya juga di
Indonesia, dapat dilihat dari prevalensi, dampak yang mempengaruhi kualitas
hidup pasien dan munculnya stigma di masyarakat terkait pasien epilepsi.
Epilepsi adalah penyakit otak yang didefinisikan dengan salah satu kondisi
berikut: setidaknya dua kejang tak beralasan atau refleks terjadi dalam
interval lebih dari 24 jam; satu kejang tak beralasan atau tanpa provokasi dan
kemungkinan kejang lanjut mirip dengan risiko kekambuhan umum
(setidaknya 60%) setelah dua kejang tanpa provokasi, terjadi selama 10
tahun ke depan; atau diagnosis sindrom epilepsi.
Melihat cukup sering ditemukannya kasus epilepsi, perhatian lebih perlu
diberikan karena sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien epilepsi.
Beberapa studi sebelumnya menyebutkan epilepsi berhubungan dengan
fungsi kognitif. Umumnya, proporsi disfungsi intelektual (IQ <80) pada
anak-anak dengan epilepsi bervariasi antara 26% dan 57% dan dalam studi
berbasis populasi, sekitar 20-40% anak dengan epilepsi dilaporkan memiliki
keterbelakangan mental. Selain itu, dalam tulisan Rantaten dipaparkan
gangguan neurokognitif lainnya yakni 28% dari pasien epilepsi mengalami
gangguan bicara dan 23% mengalami gangguan belajar.6 Banyak faktor
yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif pada epilepsi, termasuk di
dalamnya obat anti epilepsi. OAE dapat mempengaruhi fungsi kognitif
dengan menekan perangsangan neuron atau meningkatkan
penghambatan neurotransmisi. Meskipun penggunaan OAE dalam jangka
panjang dengan jelas dapat menimbulkan gangguan kognitif, efek kognitif
dalam periode singkat sampai satu tahun tidak terdapat bukti meyakinkan.

Secara umum, efek pada fungsi kognitif lebih buruk pada OAE tipe lama
(fenobarbital) daripada placebo, OAE tipe baru, dan tanpa penggunaan
OAE. Penting untuk mengidentifikasi dan meminimalkan efek OAE pada
anak dengan epilepsi, dimana perkembangan sistem saraf dapat menjadi
lebih rentan untuk konsekuensi jangka panjang berupa gangguan konitif
akibat penggunaan OAE. Studi yang dilakukan pada anak-anak
menunjukkan lebih banyak pengaruh fungsi kognitif yang berhubungan
dengan politerapi OAE yang dikaitkan dengan dengan masalah
neurokognitif, rendahnya kinerja intelektual, dan masalah perilaku.
4. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui hubungan obat antiepilepsi terhadap fungsi kognitif
pada pasien epilepsi anak di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
5. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
a. Kelebihan
Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan
penelitian Cross Sectional.
b. Kekurangan
Tidak dijelaskan bagaimana peneliti dalam pengambilan data dan
kendala apa saja yang ada saat pengambilan data.
B. METODE ANALISA PICO
1) PROBLEM
Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan penelitian
Cross Sectional. Variabel diukur pada satu saat tertentu dalam penelitian.
Responden penelitian adalah 69 pasien epilepsi anak yang berobat di RSUP
Sanglah pada rentang waktu Maret 2016- November 2016. Responden adalah
semua yang memenuhi salah satu usia 0-68 bulan dan minimal sudah mendapat
pengobatan OAE selama 4 minggu. Teknik yang digunakan untuk penentuan
sampel penelitian adalah convenient purposive sampling dengan
memakai kuisioner dan lembar tes Mullen dan hanya mengambil sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
2) INTERVENTION
Pengisian kuisioner dilakukan dengan cara mewawancarai orang tua atau
pengantar pasien. Kriteria inklusi dari responden adalah pasien epilepsi berusia
0-68 bulan dan telah mendapatkan pengobatan OAE ≥ 4 minggu. Kriteria
Eksklusi dari responden adalah responden tidak dapat mengikuti sepenuhnya
tes Mullen pada hari pengerjaan tes, serta pasien yang menderita retardasi
mental dan pasien putus obat.
3) COMPARE
Peneliti : Suwarba judul : Insiden dan Karakteristik Klinis
Epilepsi pada Anak
Hasil : Ditemukan 276 kasus epilepsi, dengan insidens 5,3%. Sebagian besar
laki-laki (56,9%), terbanyak (42%) umur 1–5 tahun dan onset tersering umur
<1 tahun (46%) kasus. Diagnosis epilepsi umum tonik- klonik (62%), dan
sindrom epilepsi yang ditemukan spasme infantil 6,9% kasus. Sebagian besar
tumbuh kembang normal (75%), riwayat kejang demam sebelumnya 10,1%
kasus dan riwayat epilepsi keluarga 13% kasus. Pemeriksaan EEG pertama
ditemukan abnormal 42,4% kasus dan pada CT scan kepala ditemukan kelainan
pada 51,4 % kasus.
4) OUTCOME
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa sebagian besar pasien memiliki tipe epilepsi umum tonik klonik dengan
proporsi 58%. Seluruh pasien epilepsi anak sebanyak 69
sampel mendapatkan pengobatan OAE, sebagian besar pasien mendapatkan
terapi OAE dengan satu macam OAE (monoterapi) yaitu sebanyak 85,5%,
sedangkan sebanyak 14,5% pasien mendapatkan terapi OAE dengan dua
macam OAE (politerapi). Jenis OAE yang paling banyak digunakan pada
pasien yang mendapatkan monoterapi OAE adalah jenis
asam valproat sebanyak 37,7%, sedangkan sebanyak 10,1% menggunakan
OAE jenis fenobarbital. Pasien yang mendapatkan politerapi OAE
menggunakan OAE jenis fenobarbital dengan asam valproat sebanyak
10,71%. Sebagian besar pasien sudah mendapatkan terapi OAE kurang dari
dua tahun yaitu sebanyak 84,1%, sedangkan sebanyak 15,9% sudah
mendapatkan terapi OAE lebih dari sama atau sama dengan dua tahun.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan juga
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah macam OAE terhadap
fungsi kognitif serta hubungan yang signifikan antara lama pengobatan OAE
terhadap fungsi kognitif.
ANALISIS JURNAL 5

A. RINGKASAN JURNAL
1. JUDUL
Ketogenic Diet for the Management of Epilepsy Associated with
Tuberous Sclerosis Complex in Children.
2. PENELITI
Sooyoung, et al
3. RINGKASAN JURNAL
Tuberous sclerosis complex (TSC) adalah kelainan multisistem bawaan
yang biasanya disebabkan oleh mutasi pada TSC1 atau TSC2, yang
mempengaruhi 1 dari setiap 6.000 atau 10.000 orang, masing-masing. TSC
ditandai dengan fitur pleomorfik yang melibatkan beberapa sistem organ
dan ciri khas sistem saraf pusat (SSP) termasuk umbi kortikal, nodul
subependymal (SEN), dan astrositoma sel raksasa subependymal (SEGA).
Keterlibatan neurologis di TSC dikaitkan dengan kecacatan terkait
penyakit seperti epilepsi, gangguan perilaku, dan defisit kognitif, dengan
epilepsi menjadi yang paling umum, dilaporkan pada 75% hingga 90%
pasien. Selain itu, 30% hingga 50% pasien dengan TSC didiagnosis dengan
kejang infantil (IS), epilepsi sindrom ensefalopati, pada tahun pertama
kehidupan mereka.
Gangguan neuropsikiatri terkait TSC adalah fitur patologis utama
lainnya pada pasien, yang mempengaruhi hasil klinis serta kualitas
kehidupan. Beberapa pilihan pengobatan tersedia untuk mengoptimalkan
fungsi perkembangan saraf dan menangani epilepsi pada pasien dengan
TSC, termasuk obat anti epilepsi (AED), diet ketogenik (KD), epilepsi
pembedahan (pembedahan resektif atau kalosotomi korpus), stimulasi saraf
vagus, dan penghambat rapamycin (mTOR) target mamalia terapi. Dalam
penelitian ini, kami meninjau penggunaan KD pada anak-anak dengan TSC
dan epilepsi yang resistan terhadap obat dan dievaluasi efeknya pada beban
kejang dan hasil kognitif serta perilaku.
4. TUJUAN PENELITIAN
Untuk meninjau hasil penggunaan diet ketogenik (KD) untuk
manajemen epilepsi pada anak-anak dengan tuberous sclerosis complex
(TSC).
5. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
a. Kelebihan
Peneliti melakukan review grafik retrospektif dari semua pasien
yang diperiksa TSC di departemen neurologi pediatrik di Severance
Children's Rumah Sakit.
b. Kekurangan
Peneliti tidak memiliki data yang tepat tentang jenis kejang,
temuan elektroensefalogram, dan studi genetik..
METODE ANALISA PICO
1) PROBLEM
Peneliti melakukan review grafik retrospektif dari semua pasien yang
diperiksa TSC di departemen neurologi pediatrik di Severance Children's
Rumah Sakit. Sebanyak 12 anak dengan epilepsi keras terkait dengan TSC
yang diobati dengan KD dirumah sakit kami antara 1 Maret 2008 dan 28
Februari 2015 terdaftar secara retrospektif. Pasien dimasukkan jika mereka
memiliki TSC yang pasti secara klinis, telah menggunakan KD untuk > 3
bulan, memiliki kejang yang tidak dapat diatasi setidaknya 2 AED, dan telah
tersedia untuk evaluasi neuropsikologis (NP) formal dan orang tua. Penilaia
global untuk hasil diet. Kami mengeluarkan pasien yang memiliki menjalani
diet indeks glikemik rendah, mereka yang kepatuhannya buruk. Perawatan KD
<3 bulan, dan yang orang tuanya kesulitan menghitung kejang untuk
menentukan frekuensi kejang.
2) INTERVENTION
AKD (rasio 3: 1 atau 4: 1 lemak terhadap karbohidrat dan protein) atau
modifikasi diet Atkin dimulai tanpa puasa. Data pasien termasuk jenis kelamin,
usia terakhir tindak lanjut, resonansi magnetik otak temuan pencitraan (MRI),
usia saat onset kejang, jumlah AED yang digunakan, riwayat kejang infantil,
status perkembangan, klasifikasi epilepsi saat inisiasi KD, usia saat inisiasi
KD, waktu awal untuk inisiasi KD, efek puncak KD, durasi KD, hasil kejang
setelah KD, dan penilaian global orang tua dari hasil KD keseluruhan
dikumpulkan dengan review grafik.
Penyesuaian kecil AED telah dilakukan selama pemeliharaan KD dalam
beberapa kasus. Hasil kejang dinilai pada 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan
setelah memulai KD, dan itu diklasifikasikan sebagai berikut: kejang bebas,>
90% pengurangan, 50% sampai 90% pengurangan, dan <50% pengurangan
kejang. Penilaian global orang tua dari hasil KD secara keseluruhan
mempertimbangkan kondisi keseluruhan pasien, termasuk beban kejang serta
kognitif dan perilaku. fitur. Penilaian orang tua diperoleh pada kunjungan
klinik, dan diklasifikasikan sebagai jauh lebih baik, agak membaik, tidak ada
interval berubah, dan memburuk.
3) COMPARE
Peneliti : Curatolo, et al judul : Epilepsy in Tuberous Sclerosis:
Phenotypes, Mechanisms, and Treatments
Hasil : Kebanyakan pasien memiliki dua atau lebih tipe kejang. Pengendalian
kejang menggunakan obat antiepilepsi saat ini seringkali tidak memuaskan,
sehingga menyebabkan polifarmasi yang sering. Operasi epilepsi memiliki
tempat dalam penanganan beberapa pasien. Mutasi pada gen TSC1 dan TSC2
yang menyebabkan tuberous sclerosis hiperaktivasi pensinyalan melalui target
mamalia kompleks rapamycin 1 (mTORC1). Penghambat mTORC1 baru-baru
ini terbukti menjadi pengobatan yang efektif untuk beberapa manifestasi
tuberous sclerosis; mereka sekarang dinilai sebagai potensi obat antiepilepsi
baru di tuberous sclerosis dan gangguan terkait.
4) OUTCOME
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Usia rata-rata saat mulai Ketogenik
Diet (KD) adalah 73,1 ± 38,0 bulan. Pasien secara medis tahan api dengan rata-
rata 4,8 ± 1,7 obat antiepilepsi. Sembilan pasien (75,0%) memiliki riwayat
kejang infantil. Pada 3 bulan setelah inisiasi KD, 10 pasien (83,3%) mengalami
penurunan kejang> 50%. Apalagi 7 pasien (58,3%) menunjukkan peningkatan
kualitatif dalam kognisi dan perilaku setelah inisiasi KD, seperti yang
dilaporkan oleh pengasuh / orang tua. Waktu rata-rata terapi diet adalah 14,8 ±
12,8 bulan. Separuh dari pasien dalam hal ini studi akhirnya menjalani operasi
epilepsi karena kejang persisten atau kambuh kejang.
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Nuh Gusta Ady Yolanda, Tun Paksi Sareharto, Hermawan Istiadi

FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEJADIAN EPILEPSI


INTRAKTABEL ANAK DI RSUP DR KARIADI SEMARANG
1 2 3
Nuh Gusta Ady Yolanda , Tun Paksi Sareharto , Hermawan Istiadi
1
Mahasiswa Program Pendidikan S-1 Kedokteran Umum, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro 2Staf
Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro 3Staf Pengajar Ilmu Patologi
Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro Jln. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang-Semarang 50275
Telp. 02476928010

ABSTRAK
Latar Belakang : Epilepsi adalah salah satu kelainan neurologi kronik yang ditandai dengan
gejala khas yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan
dan paroksismal. Salah satu pengobatan epilepsi adalah OAE. Pada keadaan dimana telah
mengonsumsi 2 atau lebih jenis OAE secara teratur dan adekuat selama 18 bulan namun tidak
menunjukkan penurunan frekuensi dan durasi kejang, hal ini disebut dengan epilepsi
intraktabel. Pengetahuan mengenai faktor yang berpengaruh pada kejadian epilepsi intraktabel
anak penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan pasien agar lebih
komprehensif dan adekuat. Tujuan : Mengidentifikasi faktor faktor yang mempengaruhi
kejadian epilepsi intraktabel pada pasien anak dengan epilepsy Metode : Penelitian
observasional analitik dengan desaim cross sectional. Subjek penelitian sebanyak 38 pasien
epilepsi yang menjalani perawatan di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Bahan penelitian diambil
dengan kuesioner oleh orangtua pasien dan rekam medik, data disajikan dalam bentuk tabel
dan dianalisis menggunakan uji chi square dan regresi logistik. Hasil : Dari 38 subjek
penelitian, angka kejadian epilepsi intraktabel adalah 13 subjek (34,2%). Pada analisis bivariat
didapat faktor risiko yang berhubungan adalah etiologi (p=0,017) dan abnormalitas neurologi
(p=0,002). Pada analisis multivariat didapatkan faktor abnormalitas neurologi (OR 37,67
IK95% 1,27-1111,04) sebagai faktor risiko yang signifikan. Simpulan : Angka kejadian
epilepsi intraktabel anak sebesar 34,2% dan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
epilepsi intraktabel anak adalah abnormalitas neurologi.

Kata Kunci : epilepsi, intraktabel, anak, faktor risiko

ABSTRACT
FACTORS THAT INFLUENCE THE INCIDENCE OF INTRACTABLE EPILEPSY
IN PEDIATRIC PATIENTS AT Dr. KARIADI GENERAL HOSPITAL SEMARANG
Background: Epilepsy is a chronic neurological disorder characterized by typical symptoms
of repeated seizures due to excessive release of the electrical charge of brain neurons and
paroxysmal. One treatment for epilepsy is OAE. In cases where it has been taking 2 or more
types of OAE regularly and adequately for 18 months but does not show a decrease in the
frequency and duration of seizures, this is referred to as intractable epilepsy. Knowledge of
factors influencing the occurrence of childhood intractable epilepsy is important to be
considered in the management of patients to be more comprehensive and adequate. Aim: To
identify factors that influence the incidence of intractable epilepsy in pediatric patients with
epilepsy. Methods: Analytical observational study with cross sectional design. Research
subjects were 38 epileptic patients who underwent treatment at Dr. Kariadi Semarang. The
research material was taken with a questionnaire by parents and medical records, data were
presented in table form and analyzed using chi square test and logistic regression. Results: Of
the 38 study subjects, the incidence of intractable epilepsy was 13 subjects (34.2%). In
378 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 378-389
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Nuh Gusta Ady Yolanda, Tun Paksi Sareharto, Hermawan Istiadi

bivariate analysis, the associated risk factors were etiology (p = 0.017) and neurological
abnormalities (p = 0.002). In multivariate analysis, neurological abnormalities were found
(OR 37.67 IK95% 1.27-1111.04) as a significant risk factor. Conclusion: The incidence of
intractable epilepsy in children is 34.2% and the factors that influence the incidence of
intractable epilepsy in children are neurological abnormalities.

Key words: Epilepsy, intractable, children, risk factors

PENDAHULUAN 3
orang per tahun. Di Bagian Ilmu
Epilepsi adalah salah satu kelainan Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto
neurologi kronik yang banyak terjadi pada Mangunkusumo Jakarta pada tahun
anak. Epilepsi merupakan manifestasi terdapat sekitar 175 – 200 pasien baru per
gangguan fungsi otak dengan gejala yang tahun dan terbanyak pada kelompok usia
khas yaitu kejang berulang akibat lepasnya 5-12 tahun.
muatan listrik neuron otak secara Kejang merupakan ciri yang harus
berlebihan dan paroksismal.
1 ada pada epilepsi, tetapi tidak semua kejang
4
Pada saat ini sekitar 50 juta jiwa dapat di diagnosis sebagai epilepsi.

hidup dengan epilepsi di seluruh dunia. Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi
5
Perkiraan proporsi populasi dengan yaitu kejang fokal dan kejang umum.
epilepsi aktif (kejang terus menerus atau Pengobatan epilepsi bertujuan
dengan butuh pengobatan) pada waktu fokus untuk pengendalian kejang dengan
tertentu adalah 4-10 per 1000 penduduk. pemberian obat anti epilepsi (OAE).
6

Namun, pada beberapa studi menunjukkan Namun, pada beberapa kasus pasien anak
bahwa pada negara berpenghasilan rendah memiliki resistensi terhadap OAE sehingga
dan menengah memiliki proporsi yang tidak memperlihatkan respon pengobatan
lebih tinggi yaitu 7-14 per 1000 penduduk. yang baik hal ini disebut sebagai epilepsi
Hampir 80% penderita epilepsi tinggal di intraktabel. Dikategorikan sebagai epilepsi
negara dengan penghasilan rendah dan intraktabel jika telah mengonsumsi 2 atau

menengah.
2 lebih obat antiepilepsi secara teratur dan
adekuat selama 18 bulan namun tidak
Di Indonesia, belum diketahui pasti
menunjukkan penurunan frekuensi dan
jumlah penderita epilepsi anak. Namun,
7
diperkirakan prevalensi epilepsi di durasi kejang.

Indoensia adalah 5-10 kasus per 1000 Epilepsi bukan hanya permasalahan
orang dan insiden 50 kasus per 100.000 secara medis tetapi juga akan berpengaruh

379 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 378-389


JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Nuh Gusta Ady Yolanda, Tun Paksi Sareharto, Hermawan Istiadi

pada kehidupan sosial ekonomi sehari-hari mengikuti penelitian ini yang dibuktikan
8
penderita dan keluarga. Oleh sebab itu dengan menandatangani informed consent.

peneliti tertarik untuk meneliti faktor Data Penelitian

faktor yang mempengaruhi kejadian Data penelitian terdiri dari atas data
epilepsi intraktabel pada pasien anak primer dan data sekunder. Data primer
dengan epilepsi agar dapat digunakan terdiri dari pengisian kuesioner, yaitu
sebagai pertimbangan pengelolaan yang identitas, anamnesis dan faktor-faktor
tepat pada pasien epilepsi anak agar tidak risiko yang ingin ditelusuri secara
berujung pada epilepsi intraktabel. retrospektif yaitu jenis kelamin, usia onset
saat serangan epilepsi, etiologi,
METODE PENELITIAN keterlambatan perkembangan,
Subyek Penelitian abnormalitas neurologi, komplikasi
Penelitian ini menggunakan jenis perinatal, riwayat kejang demam, status
penelitian observasional analitik dengan epilepticus, riwayat keluarga garis pertama
desain cross sectional. Penelitian ini yang di diagnosis epilepsi, dan tipe kejang
dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei multipel. Sedangkan data sekunder di
2018. Sampel penelitian didapatkan ambil dari rekam medis pasien untuk
dengan metode consecutive sampling. melengkapi dan dicocokkan dengan data
Penelitian ini melibatkan 38 subyek pada kuesioner.
penelitian yang merupakan pasien epilepsi Analisis Data
anak yang menjalani perawatan di RSUP Data yang telah terkumpul dari
Dokter Kariadi Semarang. Seluruh subyek sampel terlebih dahulu di entry ke dalam
penelitian telah memenuhi kriteria inklusi, file Microsoft Office Excel. Pengolahan
yaitu pasien anak yang di diagnosis dan analisis data lebih lanjut menggunakan
epilepsi yang menjalani rawat jalan di program komputer IBM SPSS Statistics
Poliklinik Anak RSUP Dokter Kariadi Version 21. Analisis statistik dilakukan
Semarang, usia pasien 2 tahun sampai <18 dengan beberapa langkah sebagai berikut,
tahun, memiliki rekam medis yang pertama deskripsi karakteristik sampel,
lengkap, mengonsumsi Obat Anti Epilepsi dengan menampilkan distribusi frekuensi
(OAE) lini pertama secara teratur dan dari masing masing variable yang diteliti,
adekuat selama minimal 18 bulan, bersedia kedua analisis bivariate dengan
menggunakan uji chi square untuk

380 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 378-389


JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Nuh Gusta Ady Yolanda, Tun Paksi Sareharto, Hermawan Istiadi

mengetahui hubungan variabel bebas Usia Onset


 Neonatus 3 7,9
dengan variabel terikat, hasil bermakna
jika didapatkan nilai p<0,05, kemudian  1 bulan - < 1 18 47,4

dilanjutkan dengan uji analisis multivariate tahun

dengan regresi logistik untuk menganalisis  1 tahun – 5 tahun 11 28,9

hubungan antara semua variabel bebas  6 tahun – 12 6 15,8

dengan variabel terikat, hasil bermakna tahun


jika didapatkan nilai p<0,05.  13 tahun - < 18 0 0
Etika Penelitian tahun
Etika penelitian diperoleh dari Etiologi
Komisi Etik Penelitian Kedokteran  Struktural 19 50
(KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas
 Non struktural 19 50
Diponegoro Semarang dan RSUP Dokter
Keterlambatan
Kariadi. Penelitian dilakukan dengan Perkembangan
memberikan penjelasan kepada subjek dan
 Ada 22 57,9
orangtua subjek penelitian tentang maksud,
keterlambatan
tujuan, dan manfaat penelitian.
 Tidakada 16 42,1
Subjek penelitian berhak menolak tanpa keterlambatan
konsekuensi apapun. Subjek yang bersedia
Abnormalitas Neurologi
ikut dalam penelitian diminta  Ada abnormalitas 19 50
menandatangani lembar informed consent. 19 50
 Tidakada
abnormalitas
HASIL PENELITIAN
Komplikasi Perinatal
Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian
 Ada komplikasi 4 10,5
Variabel Frekuensi % 34 89,5
 Tidak ada
Outcome Terapi Epilepsi komplikasi
 Non Intraktabel 25 65,8
Riwayat Kejang Demam
 Intraktabel 13 34,2
 Ada riwayat
18 47,4
Jenis Kelamin kejang demam
 Laki-laki 22 57,9  Tidak ada
 Perempuan 16 42,1 20 52,6
riwayat kejang

381 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 378-389


JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Nuh Gusta Ady Yolanda, Tun Paksi Sareharto, Hermawan Istiadi

demam keterlambatan perkembangan didapatkan


Status Epilepticus
22 subjek (57,9%) dengan keterlambatan
 Ada 4 10,5
perkembangan dan 16 subjek (42,1%)
 Tidak ada 34 89,5 tanpa keterlambatan perkembangan. Untuk
Riwayat Keluarga Garis faktor risiko ada tidaknya abnormalitas
Pertama neurologi juga mendapat jumlah subjek
 Ada 6 15,8 yang sama yaitu 19 subjek (50%). Anak
 Tidak ada 32 84,2 dengan komplikasi saat lahir dan
Tipe Kejang Multipel membutuhkan rawat inap berjumlah 4
 Ya 17 44.7 subjek (10,5%) dan 34 subjek (89,5%)
 Tidak 21 55.3 lainnya tidak mengalami komplikasi saat
lahir dan tidak membutuhkan rawat inap.
Terdapat 18 subjek (47,4%) yang memiliki
Berdasarkan tabel di atas hasil
riwayat kejang demam sebelum
analisis karakteristik subjek penelitian
didiagnosis epilepsi sedangkan 20 subjek
didapatkan 13 subjek (34,2%) epilepsi
(52,6%) tidak memiliki riwayat kejang
intraktabel dan 25 subjek (65,8%) epilepsi
demam. Hanya 4 subjek (10,5%) yang
non intraktabel. Subjek laki-laki sebanyak
mengalami status epilepticus dan 34 subjek
22 subjek (57,9%) dan perempuan 16
(89,5%) tidak mengalami status
subjek (42,1%). Berdasar usia onset yang
epileptikus. Terdapat 6 subjek (15,8%)
di bagi menjadi 5 kategori yaitu usia onset
yang orang tuanya juga memiliki riwayat
neonates didapatkan 3 subjek (7,9%) , usia
epilesi, 32 subjek (84,2%) lainnya tidak.
onset 1 - < 1 tahun 18 subjek (47,4%), usia
Menurut faktor risiko tipe kejang multipel
onset 1 – 5 tahun 11 subjek (28,9%), usia
atau memiliki tipe kejang yang lebih dari
onset 6 – 12 tahun 6 subjek (15,8%), dan
satu, di dapatkan 17 subjek (44.7%)
tidak ada satupun subjek yang masuk pada
dengan tipe kejang multipel, 21 subjek
kategori usia onset 13 - < 18 tahun.
(55.3%) lainnya hanya mengalami satu tipe
Berdasar etiologi, di bagi menjadi ada dan
kejang.
tidaknya kelainan struktural di otak,
etiologi struktural dan non struktural
mendapat jumlah subjek yang sama yaitu
19 subjek (50%). Dari faktor risiko

382 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 378-389


JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Nuh Gusta Ady Yolanda, Tun Paksi Sareharto, Hermawan Istiadi

Tabel 2. Hasil Uji Hubungan Faktor Risiko dengan Outcome Terapi Epilepsi
Outcome Terapi Epilepsi
Variabel Non Intraktabel Intraktabel p
n % n %
Jenis Kelamin 0,290
 Laki-laki 16 42,1 6 15,8
 Perempuan 9 23,7 7 18,4
Onset Usia 0,522
 Neonatus 1 2,6 2 5,3
 1 Bulan - < 1 Tahun 12 31,6 6 15,8
 1 - 5 Tahun 7 18,4 4 10,5
 6 - 12 Tahun 5 13,1 1 2,6
 13 - <18 Tahun 0 0 0 0
Etiologi 0,017
 Struktural 9 23,7 10 23,3
 Non struktural 16 42,1 3 7,9
Keterlambatan Perkembangan 0,087
 Ada 12 31,6 10 26,3
 Tidak ada 13 34,2 3 7,9
Abnormalitas neurologi 0,002
 Ada 8 21 11 28,9
 Tidak ada 17 44,7 2 5,3
Komplikasi Perinatal 0,681
 Ada 3 7,9 1 2,6
 Tidak ada 22 57,9 12 31,6
Riwayat Kejang Demam 0,914
 Ada 12 31,6 6 15,8
 Tidak ada 13 34,2 7 18,4
Status Epileptikus 0,482
 Ada 2 5,3 2 5,3
 Tidak ada 23 60,5 11 28,9
Riwayat Keluarga Garis Pertama 0,324
 Ada 5 13,1 1 2,6
383 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 378-389
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Nuh Gusta Ady Yolanda, Tun Paksi Sareharto, Hermawan Istiadi

 Tidak ada 20 52,6 12 31,6


Tipe Kejang Multipel 0,415
 Ada 10 26,3 7 18,4
 Tidak ada 15 39,5 6 15,8

Berdasar data pada tabel diatas variabel usia onset tidak berpengaruh pada
didapatkan 6 subjek jenis kelamin laki-laki kejadian epilepsi intraktabel.
dengan epilepsi intraktabel dan 16 subjek Untuk variabel etiologi di bagi
dengan epilepsi non intraktabel. 7 subjek menjadi etiologi struktural dan non
perempuan dengan epilepsi intraktabel dan struktural. Etiologi struktural terdapat 10
9 subjek epilepsi non intraktabel. Nilai subjek epilepsi intraktabel dan 9 subjek
p=0.290 lebih besar dari 0,05 yang berarti epilepsi non intraktabel. Etiologi non
tidak signifikan atau variabel jenis kelamin struktural terdapat 3 subjek dengan epilepsi
tidak berpengaruh pada kejadian epilepsi intraktabel dan 16 subjek dengan epilepsi
intraktabel pada anak. Pada data usia onset non intraktabel. Didapatkan nilai p=0.017
neonates didapatkan 2 subjek epilepsi lebih kecil dari 0.05 yang berarti signifikan
intraktabel dan 1 subjek epilepsi non atau variabel etiologi berhubungan dengan
intraktabel. Usia onset 1 bulan - < 1 tahun kejadian epilepsi intraktabel pada anak.
didapatkan 6 subjek dengan epilepsi Dari variabel keterlambatan perkembangan
intraktabel dan 12 subjek dengan epilepsi didapatkan 22 subjek terdiri dari 10 subjek
non intraktabel. Usia onset 1 tahun – 5 dengan epilepsi intraktabel dan 12 subjek
tahun didapatkan 4 subjek dengan epilepsi dengan epilepsi non intraktabel. 16 subjek
intraktabel dan 7 subjek dengan epilepsi tanpa ada keterlambatan perkembangan
non intraktabel. Usia onset 6 tahun – 12 yakni 3 subjek epilepsi intraktabel dan 13
tahun didapatkan 1 subjek epilepsi subjek epilepsi non intraktabel. Nilai
intraktabel dan 5 subjek epilepsi non p=0.087 lebih besar dari 0.05 yang berarti
intraktabel. Pada usia onset 13 tahun - < 18 tidak signifikan atau variabel
tahun tidak didapatkan subjek baik keterlambatan perkembangan tidak
epilepsi intraktabel maupun non mempengaruhi kejadian epilepsi
intraktabel. Nilai p=0.522 lebih besar dari intraktabel anak. Terdapat 19 subjek
0.05 yang artinya tidak signifikan atau dengan abnormalitas neurologi 11 subjek
epilepsi intraktabel dan 8 subjek epilepsi

384 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 378-389


JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Nuh Gusta Ady Yolanda, Tun Paksi Sareharto, Hermawan Istiadi

non intraktabel. Sedangkan 19 subjek Neurologi


Komplikasi 0,27 0,004 19,18 0,550
sisanya tidak didapatkan abnormalitas
Perinatal
neurologi yang terdiri dari 2 epilepsi
Riwayat 0,37 0,040 3,46 0,387
intraktabel dan 17 epilepsi non intraktabel.
Kejang
Pada analisis nilai p=0.002 lebih kecil dari Demam
0.05 yang berarti signifikan atau variabel Status 0,28 0,01 6,06 0,419
adanya abnormalitas neurologi Epilepticus
berhubungan dengan kejadian epilepsi Riwayat 0,23 0,009 6,14 0,382
intraktabel anak. Keluarga
Hanya 4 subjek yang mengalami Garis Pertama

komplikasi perinatal yaitu 1 subjek dengan Tipe Kejang 2,95 0,31 27,60 0,343
Multiple
epilepsi intraktabel dan 3 subjek dengan
epilepsi non intraktabel. Sedangkan 34
subjek lainnya tidak mengalami Berdasarkan hasil analisis
komplikasi perinatal terdiri dari 12 dengan multivariat dengan uji regresi logistik
epilepsi intraktabel dan 22 subjek dengan didapatkan hasil bahwa faktor
epilepsi non intraktabel. Nilai p=0.681 abnormalitas neurologi merupakan faktor
lebih besar dari 0.05 yang artinya tidak yang paling berpengaruh terhadap kejadian
signifikan atau variabel adanya komplikasi epilepsi intraktabel pada anak.
perinatal tidak berpengaruh terhadap Nilai OR dari hasil analisis
kejadian epilepsi intraktabel pada anak. 18 hubungan antara faktor abnormalitas
subjek dengan riwayat kejang demam. neurologi dengan kejadian epilepsi
Tabel 3. Hasil Analisis Multivariat Regresi intraktabel adalah 37,67 yang berarti
Logistik terhadap Outcome Epilepsi pasien epilepsi yang memiliki faktor
OR 95% CI p abnormalitas neurologi memiliki risiko
Lower Upper 37,67 kali untuk menjadi epilepsi
Jenis Kelamin 6,07 0,61 60,02 0,123
intraktabel daripada pasien yang tidak
Usia Onset 0,98 0,16 5,84 0,986
Etiologi 0,34 0,03 3,52 0,369 memiliki abnormalitas neurologi. Nilai

Keterlambatan 0,34 0,01 6,46 0,479 kemaknaan menunjukkan p = 0,036 (p <


Perkembangan 0,05), sehinngga pada taraf kepercayaan
Abnormalitas 37,67 1,27 1111,04 0,036 95%, nilai OR dianggap signifikan atau
bermakna.

385 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 378-389


JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Nuh Gusta Ady Yolanda, Tun Paksi Sareharto, Hermawan Istiadi

PEMBAHASAN semakin meningkatkan komorbiditas yang


Pengaruh Faktor Jenis Kelamin signifikan. Intellectual disability banyak
terhadap Kejadian Epilepsi Intraktabel terdapat pada anak epilepsi, hal ini
Anak merupakan tanda yang tampak akibat dari
9
Berdasarkan hasil penelitian ini kejang yang timbulkan.
faktor jenis kelamin tidak menunjukkan Pengaruh Faktor Etiologi terhadap
hasil bermakna atau faktor jenis kelamin Kejadian Epilepsi Intraktabel Anak
tidak berpengaruh terhadap kejadian Pada penelitian ini faktor etiologi
epilepsi intraktabel anak. Hasil penelitian tidak menunjukkan hasil bermakna pada
ini sesuai dengan penelitian Dragoumi et al kejadian epilepsi intraktabel anak. Hasil ini
yang di dapatkan data 160 subjek (52.8%) sesuai dengan hasil penelitian Wirrell et al,
jenis kelamin laki-laki dan 143 subjek pada penelitian tersebut faktor etiologi di
(47.2%) jenis kelamin perempuan dari total bagi menjadi 3 yaitu etiologi struktural,
303 subjek. Pada penelitian tersebut juga metabolik, dan genetik dan menunjukkan
menunjukkan hasil bahwa jenis kelamin hasil bahwa ketiga faktor tersebut tidak
laki-laki maupun perempuan tidak
berpengaruh terhadap kejadian epilepsi
memiliki pengaruh terhadap kejadian
intraktabel. Sedangkan pada penelitian ini
1
epilepsi intraktabel anak. Sedangkan pada faktor etiologi dibagi menjadi dua yaitu
penelitian ini didapatkan 22 subjek faktor etiologi struktural dan non
(57.9%) berjenis kelamin laki-laki dan 16 struktural.
subjek (42.1%) berjenis kelamin Pengaruh Faktor Keterlambatan
perempuan. Perkembangan terhadap Kejadian
Pengaruh Faktor Usia Onset terhadap Epilepsi Intraktabel Anak
Kejadian Epilesi Intraktabel Anak Berdasarkan hasil penelitian ini,
Hasil pada penelitian ini tidak didapatkan nilai bermakna antara
menunjukkan bahwa faktor usia onset tidak pengaruh faktor keterlambatan
berpengaruh terhadap kejadian epilepsi perkembangan dengan kejadian epilepssi
intraktabel anak. Hal ini berbeda dengan intraktabel anak. Hal ini berbeda dengan
hasil penelitian Wirrell et al yang hasil penelitian Wirrell et al yang
menunjukkan hasil bahwa usia onset menunjukkan hasil bahwa faktor
berpengaruh terhadap kejadian epilepsi keterlambatan perkembangan pada awal
intraktabel anak. Semakin awal usia onset diagnosis mempunyai perngaruh terhadap
386 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 378-389
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Nuh Gusta Ady Yolanda, Tun Paksi Sareharto, Hermawan Istiadi

kejadian epilepasi intraktabel anak dan hubungan yang signifikan terhadap


mempunyai nilai OR 20.03 yang berarti anak kejadian epilepsi intraktabel anak.
dengan keterlambatan perkembangan pada Pengaruh Faktor Riwayat Kejang
saat didiagnosis epilepsi mempunyai risiko Demam terhadap Kejadian Epilepsi
20 kali untuk mengalami epilepsi intraktabel Intraktabel Anak
daripada anak yang tidak mempunyai Berdasarkan hasil penelitian ini
9
keterlambatan perkembangan. faktor riwayat kejang demam tidak
Pengaruh Faktor Abnormalitas menunjukkan hubungan yang signifikan

Neurologi terhadap Kejadian Epilepsi terhadap kejadian epilepsi intraktabel anak,

Intraktabel Anak dapat diartikan bahwa faktor riwayat

Berdasar hasil penelitian ini faktor kejang demam tidak mempunyai pengaruh
terhadap kejadian epilepsi intraktabel anak.
abnormalitas neurologi merupakan faktor
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil
yang paling berpengaruh terhadap kejadian
penelitian yang dilakukan Wirrell et al,
epilepsi intraktabel, hasil penelitian ini
jika faktor riwayat kejang demam tidak
juga sama dengan penelitian Wirrell et al
berpengaruh terhadap kejadian epilepsi
yang menunjukkan hasil bahwa adanya
9
abnormalitas neurologi pada anak epilepsi intraktabel anak.
dapat menjadi salah satu prediktor Pengaruh Faktor Status Epileptikus
terjadinya epilepsi intraktabel pada anak terhadap Kejadian Epilepsi Intraktabel
tersebut. Anak
Pengaruh Faktor Komplikasi Perinatal Berdasarkan hasil penelitian ini
terhadap Kejadian Epilepsi Intraktabel didapatkan hasil bahwa faktor status
Anak epilepticus tidak menunjukkan yang
Pada penelitian ini didapatkan hasil signifikan atau faktor status epilepticus
bahwa faktor komplikasi perimatal tidak tidak berpengaruh terhadap kejadian
menunjukkan hubungan yang tidak epilepsi intraktabel anak. Hasil penelitian
bermakna atau yang berarti faktor ini sesuai dengan hasil penelitian Wirrell et
komplikasi perinatal tidak berpengaruh al bahwa faktor status epileptikus tidak
terhadap kejadian epilepsi intraktabel anak. berpengarh terhadap kejadian epilepsi
Hasil ini sesuai dengan penelitian Wirrell intraktabel anak.
et al, berdasar penelitian tersebut faktor
komplikasi perinatal tidak mempunyai
387 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 378-389
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Nuh Gusta Ady Yolanda, Tun Paksi Sareharto, Hermawan Istiadi

Pengaruh Faktor Riwayat Keluarga multipel tidak menunjukkan hasil


Garis Pertama terhadap Kejadian bermakna, yang artinya faktor tipe kejang
Epilepsi Intraktabel Anak multipel tidak berpengaruh terhadap
Pada penelitian ini memperlihatkan kejadian epilepsi intraktabel anak. Hasil ini
hasil bahwa faktor riwayat garis pertama berbeda dengan penelitian yang di lakukan
tidak bermakna, yang berarti faktor riwayat Dragoumi et al yang menunjukkan hasil
garis pertama tidak berpengarh terhadap bahwa tipe kejang multipel atau tipe
kejadian epilepsi intraktabel anak. Hasil ini kejang yang lebih dari satu mempunyai
sesuai dengan penelitian yang di lakukan pengaruh terhadap kejadian epilepsi
Wirrell et al bahwa faktor riwayat garis 1
intraktabel anak.
pertama tidak mempunyai pengaruh
9
terhadap kejadian epilepsi intraktabel. SIMPULAN DAN
Namun hasil penelitian ini tidak SARAN Simpulan
sesuai dengan penelitian yang di lakukan Abnormalitas neurologi merupakan
Peljto et al, pada penelitian tersebut di faktor yang berpengaruh pada kejadian
dapatkan hasil bahwa faktor riwayat epilepsi intraktabel anak di RSUP Dokter
keluarga garis pertama berpengaruh Kariadi Semarang.
terhadap kejadian epilepsi intraktabel. Pada Saran
penelitian tersebut di jelaskan bahwa anak Pasien epilepsi anak dengan
dengan riwayat keluarga garis pertama abnormalitas neurologi perlu mendapatkan
mempunyai OR 8,3 yang artinya bahwa perhatian khusus dan tatalaksana
anak yang memiliki riwayat keluarga garis pemberian OAE yang lebih agresif
pertama dengan epilepsi 8,3 kali lebih khususnya dalam hal peningkatan dosis
berisiko mengalami epilepsi intraktabel dan pemilihan jenis OAE.
dengan tipe kejang umum di banding
dengan anak yang tidak memiliki riwayat
DAFTAR PUSTAKA
10
keluarga garis pertama. 1. Dragoumi P, Tzetzi O, Vargiami E,
Pengaruh Faktor Tipe Kejang Multipel Pavlou E, Krikonis K, Kontopoulos
terhadap Kejadian Epilepsi Intraktabel E, et al. Clinical course and seizure
Anak outcome of idiopathic childhood
Hasil pada penelitian ini epilepsy: determinants of early and
menunjukkan bahwa faktor tipe kejang long-termprognosis.BMC
388 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 378-389
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Nuh Gusta Ady Yolanda, Tun Paksi Sareharto, Hermawan Istiadi

Neuurology. 2013;13:1471–2377. Predicts Enduring Intractability in


2. World Health Organisation. WHO | Children Who Appear Medically
Epilepsy [Internet]. Vol. 2016, Who. Intractable In The First Two Years
2016. Available from: After Diagnosis? Epilepsia.
http://www.who.int/mediacentre/fac 2013;54:1056–64.
tsheets/fs999/en/ 8. Prilipko L, Saxena S, Boer H.
3. Harsono. Buku Ajar Neurologis Atlas : epilepsy care in the world.
Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada Buch [Internet]. 2005;129:91.
University Press; 2008. 119-33 p. Available from:
4. Hauser A. Commentary: ILAE http://books.google.com/books?id=
Definition of Epilepsy. Vol. 55, ZJfku__6BKMC&pgis=1
Epilepsia. 2014. p. 488–90. 9. Wirrell EC, Wong Kisiel LC,
5. Scheffer IE, Berkovic S, Capovilla Mandrekar J, Nickels KC.
G, Connolly MB, French J, Guilhoto Predictors and Course of Medically
L, et al. ILAE classification of the Intractable Epilepsy in Young
epilepsies: Position paper of the Children Presenting Before 36
ILAE Commission for Classification Months of Age: A Retrospectivve,
and Terminology. Epilepsia. Population-Based Study. Epilepsia.
2017;58(4):512–21. 2012;53:1563–9.
6. Shorvon S. Handbook of Epilepsy 10. Peljto AL, Barker-Cummings C,
Treatment. Progress in Neurology Vasoli VM, Leibson CL, Hauser
and Psychiatry. 2011;15(1):4–4. WA, Buchhalter JR, et al. Familial
7. Wirrell EC, Wong Kisiel LC, risk of epilepsy: A population-based
Mandrekar J, Nickels KC. What study. Brain. 2014;

389 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 378-389


http://jurnal.fk.unand.ac.id 225

Artikel Penelitian

Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi pada Anak Palsi Serebral

M. Luthfi Suhaimi, Iskandar Syarif, Eva Chundrayetti, Rahmi Lestari

Abstrak
Pada anak yang menderita palsi serebral kemungkinan akan mengalami peningkatan risiko terjadinya epilepsy.
Setiap perubahan pada otak dapat menjadi faktor risiko terjadinya epilepsi dengan berbagai manifestasi klinis. Tujuan:
Mengetahui hubungan antara faktor risiko dengan terjadinya epilepsi pada anak palsi serebral di RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Metode: Desain peneltian ini adalah cross-sectional study yang dilaksanakan pada Agustus 2018 sampai
Desember 2019. Subjek palsi serebral diperoleh secara consecutive sampling, dengan jumlah minimal 60 subjek.
Faktor risiko yang diteliti meliputi asfiksia, persalinan vakum ekstraksi, berat badan lahir rendah, prematuritas dan
kejang neonatal. Uji statistik menggunakan Chi-square test dan Fisher’s exact test, dengan batas kemaknaan p<0,05.
Hasil: Pada 60 pasien palsi serebral, ditemukan 39 pasien (65%) menderita epilepsi dan 21 pasien (35%) tidak
menderita epilepsi. Perbandingan jenis kelamin perempuan dan laki-laki 1,2:1. Epilepsi umum merupakan tipe epilepsi
yang paling banyak ditemukan (76,9%), pengobatan secara politerapi hampir sama banyak dengan monoterapi.
Asfiksia, persalinan vakum ekstraksi, berat badan lahir rendah, prematuritas dan kejang neonatal tidak bermakna
sebagai faktor risiko epilepsi pada anak palsi serebral. Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara asfiksia, persalinan
vakum ekstraksi, berat badan lahir rendah, prematuritas dan kejang neonatal dengan terjadinya epilepsi pada anak
palsi serebral.
Kata kunci: cerebral palsy, epilepsy, risk factors

Abstract
Children with cerebral palsy have an increased risk of epilepsy. Any changes in the brain may act as a risk factor
of epilepsy with various manifestations. Objectives: To determined the correlation between risk factors and the
occurrence of epilepsy among children with cerebral palsy at Dr. M. Djamil Hospital Padang. Methods: It was cross-
sectional study that was performed from August 2018 to December 2019. Subjects cerebral palsy were obtained by
consecutive sampling, minimal 60 subjects. Risk factors that have been studied were asphyxia, vacuum extraction, low
birth weight, prematurity, and neonatal seizure. Statistical analysis using the Chi-square test and Fisher’s exact test,
with significance was defined as p<0.05. Results: Among 60 children with cerebral palsy, thirty-nine patients (65%)
had epilepsy, while 21 patients (35%) without epilepsy. Female to male ratio was 1.2:1. General epilepsy was the most
common type of epilepsy (76.9%), and the use of polytherapy drugs was almost as frequent compare to monotherapy.
Asphyxia, vacuum extraction, low birth weight, prematurity, and neonatal seizure were not significant risk factors for
the occurrence of epilepsy in children with cerebral palsy. Conclusion: There is no correlation between asphyxia,
vacuum extraction, low birth weight, prematurity, and neonatal seizure associated with the occurrence of epilepsy
among children with cerebral palsy.
Keywords: cerebral palsy, epilepsy, risk factors

Affiliasi penulis: Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas PENDAHULUAN


Kedokteran, Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil Padang,
Epilepsi merupakan kelainan neurologis kronis
Indonesia.
Korespondensi: Email:luthfi.suhaimi@yahoo.com yang ditandai dengan berulangnya kejang. Setiap
Telp : 081282192534 perubahan pada otak dapat menjadi faktor risiko
terjadinya epilepsi dengan berbagai manifestasi

Jurnal Kesehatan Andalas. 2020; 9(2)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 226

1, 2
klinis. Palsi serebral merupakan sindrom klinis penelitian ini adalah seluruh pasien anak palsi
akibat kerusakan jaringan otak dan bersifat menetap. serebral yang terdaftar di Poliklinik Rawat Jalan dan
Palsi serebral mengakibatkan kelainan neurologis, Rawat Inap RSUP Dr. M. Djamil Padang. Subjek
3-5
salah satunya epilepsi. penelitian adalah bagian populasi yang memenuhi
Pada anak dengan palsi serebral terdapat kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, diperoleh secara
1
peningkatan risiko terjadinya epilepsi, Surveillance consecutive sampling dengan jumlah minimal 60
of Cerebral Palsy in Europe (SCPE) melaporkan subjek. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
6
35% anak palsi serebral menderita epilepsi, Paucic- penelusuran rekam medis. Seluruh data dicatat pada
7 8
Kirincic et al 35,9%, Kwong et al 37,6%, Sianturi et kuesioner yang sudah disiapkan, diolah
9 10 menggunakan program statistik komputer SPSS,
al 37,3%, dan Rahmat et al 39%.
Asfiksia neonatal dapat mengakibatkan dan disajikan dalam bentuk tabel. Analisis bivariat
terjadinya palsi serebral, dan epilepsi bila mengenai antara faktor risiko dengan terjadinya epilepsi pada
area tertentu seperti korteks serebri atau lobus anak palsi serebral diuji menggunakan Chi-Square
1,3,6
temporal. Pada persalinan vakum ekstraksi test dan Fisher’s exact test, dengan batas
dapat terjadi cedera kepala yang dapat kemaknaan p<0,05. Besarnya risiko dinyatakan
3
menyebabkan kerusakan otak. Berat Badan Lahir sebagai prevalence ratio (PR). Penelitian ini telah
Rendah (BBLR) dan prematuritas dapat menjadi disetujui oleh Komite Etika Penelitian Fakultas
faktor risiko terjadinya epilepsi pada anak palsi Kedokteran Universitas Andalas Nomor
3,9
serebral. Kejang pada masa neonatus juga 420/KEP/FK/2019.
berperan untuk terjadinya epilepsi pada anak palsi
7, 8
serebral. Risiko terjadinya epilepsi meningkat HASIL
apabila palsi serebral terjadi akibat komplikasi infeksi Penelitian ini melibatkan 60 orang anak yang
10
susunan saraf pusat (SSP). menderita palsi serebral, berusia antara 9 bulan
Tipe epilepsi yang sering ditemukan pada palsi sampai 16 tahun, terdiri dari 39 (65%) subjek
serebral yaitu epilepsi umum tonik-klonik dan menderita epilepsi dan 21 (35%) tidak menderita
7,9,10
parsial. Tipe epilepsi mempengaruhi pemilihan epilepsi. Perbandingan jenis kelamin perempuan dan
obat anti epilepsi (OAE), dan epilepsi pada anak laki-laki 1,2:1.
palsi serebral lebih sulit dikontrol karena terdapat lesi
1
otak yang mendasarinya. Pemberian lebih dari satu
Tabel 1. Karakteristik subjek epilepsi
jenis OAE (politerapi) dipertimbangkan pada kejang
11 Karakteristik n=39
neonatal dan kejang refrakter. Bervariasinya faktor
Riwayat keluarga
risiko dan manifestasi klinis epilepsi pada anak palsi Tidak 33 (84,6%)
serebral, menjadi hal yang menarik untuk dipelajari
Ya 6 (15,4%)
lebih lanjut.
Tipe kejang
Fokal 9 (23,1%)
METODE
Umum 30 (76,9%)
Penelitian ini menggunakan desain cross-
Pengobatan
sectional study untuk mengetahui hubungan antara
Monoterapi 19 (48,7%)
faktor risiko dengan terjadinya epilepsi pada anak
Politerapi 20 (51,3%)
palsi serebral, dilaksanakan pada Agustus 2018
Lingkar kepala
sampai Desember 2019. Faktor risiko yang diteliti
Microcephal 33 (84,6%)
meliputi asfiksia, persalinan vakum ekstraksi, BBLR,
Normocephal 6 (15,4%)
prematuritas dan kejang neonatal. Populasi

Jurnal Kesehatan Andalas. 2020; 9(2)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 227
Tabel 2. Faktor risiko terjadinya epilepsi pada anak palsi serebral

Palsi serebral Prevalence 95% CI


Faktor risiko (confidence p
Epilepsi Tidak epilepsi ratio
interval)

Asfiksia neonatal
Asfiksia 15 (75%) 5 (25%) 1,25 0,87-1,79 0,39*
Tidak asfiksia 24 (60%) 16 (40%)
Cara persalinan
Vakum 1 (50%) 1 (50%) 0,76 0,19-3,09 1**
Spontan/SC 38 (65,5%) 20 (34,5%)
Berat badan lahir
BBLR 11 (73,3%) 4 (26,7%) 1,18 0,80-1,72 0,54**
BBLC 28 (62,2%) 17 (37,8%)
Usia kehamilan
Kurang bulan 10 (71,4%) 4 (28,6%) 1,13 0,76-1,69 0,75**
Cukup bulan 29 (63%) 17 (37%)
Kejang neonatal
Ya 6 (85,7%) 1 (14,3%) 1,38 0,95-1,99 0,40**
Tidak 33 (62,3%) 20 (37,7%)

*Chi-Square test, **Fisher’s exact tes

PEMBAHASAN menemukan kelahiran secara vakum pada 8% pasien


9
Berbagai penelitian menemukan prevalensi palsi serebral yang menderita epilepsi. Pada
epilepsi pada palsi serebral bervariasi antara 35– penelitian ini hanya 1 dari 39 (2,6%) subjek epilepsi
6-12
yang lahir secara vakum, sedangkan sisanya lahir
62%. Penelitian ini menemukan 65% anak palsi
secara spontan pervaginam dan sectio caesarea.
serebral menderita epilepsi, hampir sama dengan
Analisis statistik dilakukan dengan Fisher’s exact test,
13
penelitian Bruck et al yaitu sebesar 62%. Prevalensi dan tidak ditemukan perbedaan yang bermakna.
yang lebih besar ini disebabkan karena pasien palsi Pada penelitian ini ditemukan berat badan lahir
serebral yang kontrol di RSUP Dr. M. Djamil datang <2500 gram (BBLR) pada 11 dari 39 (23,5%) subjek
untuk memperoleh OAE, sedangkan pasien palsi yang menderita epilepsi, hampir sama dengan yang
serebral tanpa epilepsi tidak dibawa kontrol karena tidak menderita epilepsi sebesar 19% (4 dari 21).
tidak memiliki keluhan lain. Analisis statistik menunjukkan bahwa BBLR tidak
Asfiksia merupakan suatu keadaan yang dapat bermakna sebagai faktor risiko terjadinya epilepsi
menyebabkan hipoksia dan iskemia otak, sehingga pada palsi serebral. Rahmat et al menemukan BBLR
1, 3, 6 10
terjadi kerusakan otak, palsi serebral dan epilepsi. pada 21,2% subjek. Berbeda dengan penelitian
Sianturi et al menemukan 61,2% subjek palsi serebral Kulak yang menemukan bahwa BBLR berhubungan
memiliki riwayat asfiksia, dan 36,6% diantaranya
dengan peningkatan terjadinya epilepsi pada anak
9
menderita epilepsi, sedangkan Rahmat et al 14
palsi serebral.
10
menemukan 37%. Penelitian ini menemukan angka
Sebagian besar subjek penelitian ini tidak bisa
yang lebih besar yaitu 75% (15 dari 20), dengan rasio
dikonfirmasi usia gestasinya secara objektif, dan
prevalensi 1,25 (95% CI 0,87-1,79), namun tidak
prematuritas sebagai faktor risiko epilepsi pada palsi
ditemukan perbedaan yang bermakna setelah
serebral ditemukan tidak bermakna secara statistik.
dilakukan uji Chi-square.
Berbeda dengan penelitian Sianturi et al yang
Pada persalinan forsep atau vakum ekstraksi,
menyimpulkan bahwa prematuritas merupakan faktor
dapat terjadi cedera kepala karena penekanan yang
9
3
dapat menyebabkan kerusakan otak. Sianturi et al risiko terjadinya epilepsi pada anak palsi serebral.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2020; 9(2)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 228

Kejang pertama pada periode neonatal khusus, dan faktor risiko tersebut tidak memenuhi
meningkatkan risiko terjadinya epilepsi dan palsi syarat untuk dilakukan analisis multivariat. Hal ini
7, 11-17
serebral. Pada penelitian ini ditemukan 6 dari 7 menjadi keterbatasan penelitian. Selain itu, faktor
(85,7%) subjek mengalami kejang neonatal. Hasil ini risiko riwayat infeksi SSP tidak bisa diteliti karena hasil
lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Rahmat et analisis liquor cerebrospinalis (LCS) tidak lengkap.
10
al yang melaporkan hanya 16,3%, dan Kwong et al
8
menemukan 19%. SIMPULAN
Tidak terdapat hubungan antara asfiksia,
18-20
persalinan vakum ekstraksi, berat badan lahir rendah,
Manifestasi klinis epilepsi pada palsi serebral tergantung dari letak dan luas kerusakan otak. prematuritas dan kejang neonatal dengan terjadinya
epilepsi pada anak palsi serebral.
Pada penelitian ini ditemukan epilepsi umum sebanyak
76,9% kasus dan epilepsi fokal 23,1%. Sianturi et al
menemukan 72%, Rahmat et al 68,5%,
9 10
Bruck et al
UCAPAN TERIMA KASIH
13 21 Terima kasih kepada semua pihak yang telah
45,2%, Senbil et al 61,3%, dan Zafeiriou et al
banyak membantu dalam penelitian ini.
mendapatkan 44,4% subjek menderita epilepsi
22
umum.
Epilepsi pada anak palsi serebral pada umumnya DAFTAR PUSTAKA
lebih sulit dikontrol dibandingkan anak epilepsi tanpa 1. Passat J. Kelainan paroksismal. Dalam:
palsi serebral, dan penghentian pengobatannya Soetomenggolo TS, Ismael S, editor (penyunting).
membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai bebas Buku ajar neurologi anak. Jakarta: Balai Penerbit
kejang, karena terdapat kerusakan otak yang IDAI; 1999.hlm.190-209.
1, 23
mendasari. Pada penelitian ini perbandingan 2. Fisher RS, Boas WE, Blume W, Elger C, Genton P,
pengobatan OAE secara politerapi hampir sama Lee P, et al. Epileptic seizures and epilepsy:
dengan monoterapi yaitu 1,05:1, berbeda dengan Definition proposed by the International League
penelitian Kwong et al bahwa sebagian besar subjek Against Epilepsy (ILAE) and the International
8
diberikan OAE politerapi, sedangkan Singhi et al Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia. 2005; 46:
mengemukakan dalam penelitiannya bahwa 61,9% 470-2.
penderita palsi serebral dengan epilepsi mendapatkan 3. Passat J. Kelainan perkembangan: Palsi serebral.
24 Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, editor
OAE secara monoterapi.
Kelainan bentuk dan lingkar kepala terjadi karena (penyunting). Buku ajar neurologi anak. Jakarta:
malformasi SSP ataupun setelah infeksi SSP, yang Balai Penerbit IDAI; 1999.hlm.115-20.
dapat diketahui secara spesifik dari pemeriksaan CT 4. Rosenbaum P, Paneth N, Leviton A, Goldstein M,

scan ataupun MRI kepala.


21, 25
Microcephal Bax M. The definition and classification of cerebral

merupakan manifestasi klinis yang paling banyak palsy. Washington DC, USA: United Cerebral
10 Palsy Research & Educational Foundation;
ditemukan pada pasien palsi serebral dan epilepsi.
2006.hlm.8-14.
Kejadian microcephal pada penelitian ini tidak
5. Fenichel GM. A signs and symptoms approach:
sebanding dengan kejadian BBLR, microcephal
ditemukan pada 84,6% subjek, sedangkan BBLR Paroxymal disorders. Clinical Pediatric Neurology

hanya 28,2%. Hal ini menunjukkan bahwa kelainan Edisi ke-5. Nashville: Saunders; 2009.hlm.1-45.
lingkar kepala pada palsi serebral ataupun epilepsi 6. Sellier E, Uldall P, Calado E, Sigurdardottir S,
terjadi pada masa pascanatal yang disebabkan oleh Torrioli MG, Platt MJ, et al. Epilepsy and cerebral
gangguan pada fase puncak perkembangan otak, palsy: Characteristics and trends in children born in

bukan pada proses pertumbuhan prenatal.


10 1976-1998. Eur J Pediatr Neurol. 2012;16:48-55.

Keberadaan 2 faktor risiko yang ditemukan 7. Paucic-Kirincic E, Modrusan-Mozetic Z, Sindicic-

bersamaan pada 1 subjek dapat memperbesar risiko Simundic N, Prpic I, Nekic M. Epilepsy among
1, 3
terjadinya epilepsi pada anak palsi serebral, namun
pada penelitian ini tidak dikelompokkan secara
Jurnal Kesehatan Andalas. 2020; 9(2)
http://jurnal.fk.unand.ac.id 229

children with CP born in Rijeka between 1982 and children with cerebral palsy. Eur J Pediatr Neurol.
1992. Medicina. 2005;41:31-6. 2010;14:67-72.
8. Kwong KL, Wong SN, So KT. Epilepsy in children 18. Berg AT, Brodie MJ. Report of the ILAE
with cerebral palsy. Pediatr Neurol. 1998;19:31-6. Commission on classification and terminology.
9. Sianturi P, Syarifuddin A, Saing B. Incidence of 2010;676-85.
epilepsy among patients with CP. Paediatr 19. Engel J. Guidelines for epidemiologic studies on
Indones. 2001;41:202-7. epilepsy. Commission on Epidemiology and
10. Rahmat D, Mangunatmadja I, Tridjaja B, Prognosis. Epilepsia. 2001;42:796-803.
Tambunan T, Suradi R. Prevalence and risk factor 20. Sander JWAS. The Epidemiology of the epilepsies:
for epilepsy in children with spastic cerebral palsy. Future directions. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
Paediatr Indones. 2010;50:11-7. 1997;38:614-8.
11. Gururaj AK, Sztriha L, Bener A, Dawodu A, Eapen 21. Senbil N, Sonel B, Aydin OF, Gurer YK. Epileptic
V. Epilepsy in children with cerebral palsy. Seizure. and non-epileptic cerebral palsy: EEG and cranial
2003;12:110-4. imaging findings. Brain Dev. 2002;24:166-9.
12. Wallace S. Epilepsy in cerebral palsy. Dev Med 22. Zafeiriou DI, Kontopoulos EE, Tsikoulas I.
Child Neurol. 2001;43:713-7. Characteristics and prognosis of epilepsy in
13. Bruck I, Antoniuk SA, Spessato A, de Bem RS, children with cerebral palsy. J Child Neurol.
Hausberger R, Pacheco CG. Epilepsy in children 1999;14:289-94.
with CP. Arq Neuropsiquiatr. 2001;59:35-9. 23. Aicardi J. Epilepsy in brain-injured children. Dev
14. Kulak W, Sobaniec W. Risk factor and prognosis of Med Child Neurol.1990;32:191-202.
epilepsy in children with cerebral palsy in north- 24. Singhi P, Jagirdar S, Khandelwal N, Malhi P.
eastern Poland. Brain Dev. 2003;25:499-506. Epilepsy in children with CP. J Child Neurol.
15. Lagunju IOA, Adedokun BO, Fatunde OJ. Risk 2003;18:174-9.
factor for epilepsy in children with CP. Afr J Neurol 25. Ashwal S, Russman BS, Blasco PA, Miller G,
Sci. 2006;25:29-37. Sandler A, Shevell M, et al. Practice parameter:
16. Carlsson M, Hargberg G, Olsson I. Clinical and diagnostic assessment of the child with CP. Report
aetiological aspects of epilepsy in children with CP. of the quality standards subcommittee of the
Dev Med Child Neurol. 2003;45:371-6. American Academy of Neurology and the practice
17. Zelnik N, Konopnicki M, Bennett-Back O, Castel- committee of the child neurology society.
Deutsch T, Tirosh E. Risk factors for epilepsy in Neurology. 2004;62:851-63.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2020; 9(2)


Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA Vol. 2, No. 1, Februari 2016

Penelitian
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU DALAM PENCEGAHAN
EPILEPSI PADA ANAK USIA 5-12 TAHUN DI DUSUN III
SUNGGAL KANAN KECAMATAN SUNGGAL KABUPATEN DELI
SERDANG

Noradina
Staf Pengajar Prodi D-III Keperawatan STIKes Imelda Medan, Jalan Bilal Nomor 52 Medan

E-mail: dinanora74@gmail.com

ABSTRAK

Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan kronik otak yang
menunjukkan gejala-gejala berupa serangan-serangan yang berulang-ulang yang terjadi akibat adanya
ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron
(sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom
atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel
otak.Ngastiah 2005). Prevalensi epilepsi di Amerika Utara dan Eropa adalah 5-6/1000; sementara itu
prevalensi epilepsi di Amerika Tengah dan Selatan lebih tinggi ialah 17/1000. Insidensi epilepsi dinegara
maju adalah 50/100.000 dan dinegara berkembang 100/100.000. Diseluruh dunia kasus baru tiap tahun
diperkirakan sekitar 3,5 juta dengan proporsi sebagai berikut : 40% golongan anak, 40% golongan
dewasa, dan 20% golongan lanjut usia. Di negara maju faktor penyebab epilepsi nonidiopatik yang
paling menonjol adalah stroke, meliputi 11-14% dari seluruh kasus. Jenis penelitian deskritif. Teknik
pengukuran pada setiap variabel adalah dengan mengajukan 12 pertanyaan yaitu masing-masing 6
pertanyaan untuk variabel pengetahuan dan 6 pertanyaan untuk variabel tindakan dalam bentuk
kuesioner tertutup, kemudian diformulasikan menggunakan rumus range (kelas) dan rumus struger oleh
sudjana (2009) untuk menentukan kriteria jawaban responden dan mengetahui skor dan persentase
jawaban. Karakteristik Responden yang diteliti adalah umur, pendidikan, sumber informasi dan
pekerjaan Dari hasil penelitian ditemukan bahwa mayoritas pengetahuan ibu tergolong cukup. Karena
ditemukan sebanyak 24 responden (46,15%) yang berpengetahuan cukup. Mayoritas ibu umur (32-37) 17
responden. Pendidikan ibu mayoritas SD (38,46%) 20 responden Sumber Informasi mayoritas dari
Tenaga Kesehatan (46,15%) 24 responden. Dan berdasarkan Pekerjaan ibu mayoritas petani (59,61%)
31 responden.

Kata kunci: Anak; Epilepsi; Ibu; Pencegahan; Pengetahuan.

PENDAHULUAN psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat


disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal
Epilepsi menurut World Health sel-sel otak. Epilepsi dapat disebabkan oleh
Organization (WHO) merupakan gangguan banyak penyakit atau kelainan diantaranya
kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala ialah trauma lahir,trauma kapitis, radang
berupa serangan-serangan yang berulang- otak, tumor otak, perdarahan otak, gangguan
ulang yang terjadi akibat adanya peredaran darah, hipoksia, kelainan
ketidaknormalan kerja sementara sebagian degenaratif susunan saraf pusat,gangguan
atau seluruh jaringan otak karena cetusan metabolisme, gangguan elektrolit, demam,
listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang keracunan obat atau zat kimia (Ngastiah
yang berlebihan, yang dapat menimbulkan 2005).
kelainan motorik, sensorik, otonom atau
40
Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA Vol. 2, No. 1, Februari 2016

Prevalensi epilepsi di Amerika Utara dan umum diperoleh gambaran bahwa insidensi
Eropa adalah 5-6/1000; sementara itu epilepsi menunjukkan pola bimodal : puncak
prevalensi epilepsi di Amerika Tengah dan insidensi terdapat pada golongan anak dan
Selatan lebih tinggi ialah 17/1000. Penyebab lanjut usia. (Harsono, 2007).
perbedaan angka tersebut tidak jelas,apakah Dampak dari penyakit epilepsi dapat
memang demikian halnya atau ada berpengaruh pada IQ anak. Kejang yang
hubungannya dengan perbedaan dalam hal terjadi akibat dari manifestasi klinik dari
pengambilan sample. Diseluruh dunia aktivitas neuron yang berlebihan dalam
diperkirakan ada 50 juta penderita epilepsi. korteks serebral. Akibat yang ditimbulkan
Insidensi epilepsi dinegara maju adalah adalah kerusakan otak yang semakin
50/100.000 dan dinegara berkembang bertambah,ini karena sel-sel yang sedah rusak
100/100.000. Diseluruh dunia kasus baru tiap tidak bisa diperbaiki dan akan semakin
tahun diperkirakan sekitar 3,5 juta dengan bertambah banyak seiring seringnya terjadi
proporsi sebagai berikut : 40% golongan serangan atau kambuh.(Hendra 2007).
anak, 40% golongan dewasa, dan 20% Perawat bertanggung jawab dalam pemberian
golongan lanjut usia. Di negara maju faktor obat-obatan yang aman, perawat berperan
penyebab epilepsi nonidiopatik yang paling mengurangi rasa takut terhadap kejang dan
menonjol adalah stroke, meliputi 11-14% dari mendorong penderita epilepsi untuk
seluruh kasus. Di Amerika Selatan mematuhi terapi yang dijalani sehingga
neurosistiserkosis merupakan penyebab peneliti tertarik dalam penelitian ini.
epilepsi yang penting. Sementara itu 50% (Cahyaningsih 2011).
dari seluruh kasus epilepsi di seluruh dunia
idopatik. (Harsono, 2007). METODE
Insiden epilepsi di negara maju
diperkirakan berkisar 50 berbanding 100.000, Tujuan Penelitian
sedangkan di negara berkembang mencapai Untuk mengetahui Gambaran
100 dari 100.000. Pendataan secara global pengetahuan Ibu Dalam Pencegahan Epilepsi
ditemukan 3,5 juta kasus baru per tahun Pada Anak Di Dusun III Sunggal Kanan
dengan pembagian kategori 40% adalah Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.
anak-anak, 40% lain adalah orang dewasa
dan 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut. Metode penelitian
Di indonesia kasus epilepsi secara pasti tidak Penelitian ini menggunakan metode
diketahui karena tidak ada data epidemiologi, penelitian deskriptif yang bertujuan untuk
namun hingga saat ini diperkirakan ada mengetahui Gambaran Pengetahuan Ibu
900.000 sampai 1.800.000 kasus (Petrus Dalam Pencegahan Epilepsi Pada Anak Usia
Tjahyadi dikutip dari Harsono, ED: 1996). 5-12 Tahun di Dusun III Sunggal Kanan
Penyakit epilepsi selain merupakan masalah Tahun 2015. (Setiadi, 2007).
kesehatan yang sangat rumit juga merupakan Setelah dilakukan penelitian terhadap 52
suatu penyakit yang menimbulkan responden dengan judul Gambaran
dampak/stigma sosial yang sangat berat bagi Pengetahuan Ibu Dalam Pencegahan Epilepsi
penderita dan keluarganya adanya Pada Anak 5-12 Tahun di Dusun III Sunggal
pemahaman yang salah tentang penyakit Kanan. Kemudian hasilnya disajikan dalam
epilepsi yang dipandang sebagai penyakit tabel berikut:
kutukan merupakan suatu hal yang
menyebabkan sulitnya mendeteksi jumlah
kasus ini di masyarakat karena biasanya
keluarga sering menyembunyikan
keluarganya yang menderita penyakit ini.
( Judha dan Rahil) Epilepsi dapat terjadi pada
laki-laki maupun perempuan,umur berapa
saja,dan ras apa saja. Jumlah penderita
epilepsi meliputi 1-2% dari populasi. Secara
4
1
Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA Vol. 2, No. 1, Februari 2016

Data Umum Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden


Berdasarkan Sumber Informasi Dalam
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Pencegahan epilepsi pda anak Usia 5-12
Berdasarkan Umur Dalam Pencegahan Tahun di Dusun III Sunggal Kanan
Epilepsi Pada Anak 5-12 Tahun di Dusun III Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang
Sunggal Kanan Kecamatan Sunggal Kabupaten No Sumber Frekuensi Persentase
Deli Serdang Informasi (F) (%)
No Umur/ Frekuensi Persentase 1 Media 10 19,23
Tahun (F) (%) masa
1 20-25 12 23,07 2 Tenaga 24 46,15
2 26-31 9 17,30 kesehatan
3 32-37 17 32,69 3 Keluarga/T 18 34,61
4 38-43 4 7,69 eman
5 44-49 6 11,53 Total 52 100
6 50-55 4 7,69 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa
Total 52 100 responden yang pernah memperoleh
informasi tentang Epilepsi pada anaki dari
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa media massa sebanyak 10 orang (19,23%),
responden yang berumur 20-25 tahun dari tenaga kesehatan berjumlah 24 orang
sebanyak 12 orang (23,07%), responden yang (46,15%) dan dari keluarga atau teman
berumur 26-31 tahun 9 orang (17,30%), berjumlah 18 orang (34,61%).
responden yang berumur 32-37 tahun 17
orang (32,69%), responden yang berumur 38- Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden
43 tahun 4 orang (7,69%), sedangkan Berdasarkan Pekerjaan Tentang Pencegahan
responden yang berumur 44-49 tahun 6 orang Epilepsi pada Anak Usia 5-12 Tahun di
(11,53%), sedangkan responden yang Dusun III Sunggal Kanan Kecamatan
berumur 50-55 tahun 4 orang (7,69%). Sunggal Kabupaten Deli Serdang
No Pekerjaan Frekuensi Persentase
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden (F) (%)
Berdasarkan Pendidikan Dalam Pencegahan 1 Petani 31 59,61
Epilepsi Pada Anak 5-12 Tahun di Dusun III 2 PNS 3 5,77
Sunggal Kanan Kecamatan Sunggal Kabupaten 3 Pedagang 7 13,46
Deli Serdang 4 Wiraswasta 11 21,15
No Pendidikan Frekuensi Persentase Total 52 100
(F) (%) Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa
1 SD 20 38,46 seluruh responden bekerja sebagai Petani
2 SMP 16 30,77 sebanyak 31 orang (59,61%) PNS sebanyak 3
3 SLTS 14 26,92 orang (5,77%), Pedagang sebanyak 7 orang
Akademi/Pe 2 3,84 (13,46%) dan Wiraswasta sebanyak 11 orang
4 rguruan
(21,15%).
Tinggi
Total 52 100
Dari tabel di atas dilihat responden yang Data Khusus
tamat SD berjumlah 20 orang (38,46%),
responden yang tamat SLTP berjumlah 16 Tabel 5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan
orang (30,77%), responden yang tamat SLTA Ibu Dalam Pencegahan Epilepsi pada anak
usia 5-12 Tahun di Dusun III Sunggal Kanan
berjumlah 14 orang (32,69%) dan responden
Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang
yang Perguruan Tinggi berjumlah 2 orang
No Pengetahuan Frekuensi Persentase
(3,84%).
(F) (%)
1 Baik 20 38,46
2 Cukup 24 46,15
3 Buruk 8 15,38
Total 52 100

4
2
Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA Vol. 2, No. 1, Februari 2016

Dari tabel di atas dapat dilihat tingkat Hal ini sesuai dengan teori Notoadmojo
pengetahuan responden baik berjumlah 20 (2007) menyatakan bahwa pengetahuan itu
orang (38,46%), tingkat pengetahuan yang merupakan hasil dari tahu seseorang setelah
cukup berjumlah 24 orang (46,15%) dan melakukan penginderaan terhadap obyak
tingkat pengetahuan yang buruk berjumlah 8 tertentu. Penginderaan terjadi malalui panca
orang (15,38%). indra manusia, yakni indra penglihatan,
pendengaran rasa dan raba. Sebagian besar
PEMBAHASAN pengetahuan diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan
Setelah penulis melakukan penelitian domain yang sangat penting untuk
dengan mengumpulkan data melalui terbentuknya tindakan seseorang (overt
pembagian kuesioner sampai kepada analisa behavior). Adapun faktor-faktor yang
data yang dapat dilakukan kepada responden mempengaruhi pengetahuan adalah faktor
tentang Gambaran Pengetahuan Ibu Dalam usia, faktor sosial budaya dan ekonomi,
Pencegahan epilepsi pada anak usia 5-12 faktor media, faktor pendidikan, faktor
tahun di Dusun III Sunggal Kanan pengalaman dan faktor lingkungan
Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, (Notoatmodjo, 2007).
maka penulis akan pembahasan hasil Hal ini sesuai dengan Notoadmojo
Penelitian yang sudah ditemukan sebagai (2007) bahwa pengetahuan atau kognitif
berikut: merupakan domain yang sangat penting
Berdasarkan hasil dari 52 responden untuk terbentuknya sikap atau tindakan
yang di teliti menunjukkan bahwa seseorang, Perubahan atau tindakan
pengetahuan ibu dalam pencegahan epilepsi pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
pada anak masih tergolong cukup sebanyak yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan
24 orang responden (46,15%). Penyebab ini didasarkan kepada pengetahuan dan
kurangnya pengatahuan pasien dalam hal ini, kesadaran melalui proses pembelajaran
oleh karena tidak berusaha mencari informasi (Notoatmodjo, 2005).
tentang cara pencegahan epilepsi pada anak. Dalam penelitian ini, peneliti juga
Berdasarkan hasil penelitian yang mempunyai berbagai keterbatasan antara lain:
diperoleh peneliti adalah berdasarkan umur 1. Keterbatasan Waktu
mayoritas responden berumur 32-37 tahun Dalam menyelesaikan penelitian ini,
berjumlah 17 responden (32,69%), jadi peneliti kurang banyak waktu selama
semakin bertambahnya usia akan semakin penelitian ini dilakukan sebab peneliti
berkembang pula daya tanggap dan pola pikir mengikuti berbagai ujian dan praktek
sehingga pengetahuan yang diperoleh akademik seperti: ujian mid semester,
semakin membaik, berdasarkan tingkat ujian semester dan ujian program
pendidikan mayoritas responden praktek akhir sebagai syarat untuk
berpendidikan SD sebanyak 20 responden menyelesaikan D-III Keperawatan.
(38,46%), jadi semakin tinggi pendidikan 2. Keterbatasan Dana
seseorang maka semakin luas pula Selama melakukan penelitian, peneliti
pengetahuannya. Dari sumber informasi yang mengalami kesulitan dana sebab sumber
di dapat pencegahan epilepsi mayoritas dana hanya berasal dari peneliti sendiri
diperoleh dari tenaga kesehatan berjumlah 24 dalam jumlah yang terbatas.
responden (46,15%), jadi semakin banyak Keterbatasan dana ini sedikit banyak
sumber informasi yang di peroleh semakin mempengaruhi kemaksimalan hasil
banyak pula pengetahuan yang didapat penelitian.
tentang kesehatan. Sedangkan berdasarkan
pekerjaan mayoritas responden sebagai petani KESIMPULAN
sebanyak 31 responden (59,61%) jadi
pekerjaan yang diluar rumah sehingga Berdasarkan hasil penelitian yang telah
kesempatan untuk memperhatikan kesehatan dilakukan di Dusun III Sunggal Kanan
anak kurang maksimal.
4
3
Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA Vol. 2, No. 1, Februari 2016

Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, Pelayanan kesehatan diharapkan dapat le


maka diperolah kesimpulan sebagai berikut : bih mendalam memahami akan pencega
1. Dari hasil penelitian yang dilakukan han epilepsi pada anak dan memberikan
bahwa dari 52 responden di Dusun III informasi kepada keluarga dalam
Sunggal Kanan Kecamatan Sunggal pencegahan epilepsi pada anak.
Kabupaten Deli Serdang mayoritas 3. Bagi Keluarga
masih memiliki pengetahuan yang cukup Diharapkan kepada keluarga agar dapat
sebanyak 24 responden (46,15%) dan menambahkan pengetahuan dan
minoritas berpengetahuan buruk tindakannya dalam pencegahan epilepsi
sebanyak 8 responden (15,38%). pada anak dengan mencari informasi di
2. Dari hasil penelitian yang dilakukan berbagai media atau di penyuluhan-
bahwa dari 52 responden di Dusun III penyuluhan yang ada.
Sunggal Kanan Kecamatan Sunggal 4. Peneliti selanjutnya
Kabupaten Deli Serdang mayoritas umur Peneliti selanjutnya diharapkan untuk
32-37 tahun sebanyak 17 responden melakukan penelitian lebih spesifik lagi
(32,69%). Umur mempegaruhi tentang Pengetahuan Ibu Dalam
pengetahuan ibu dalam pencegahan pencegahan epilepsi pada anak di Dusun
epilepsi karena dianggap sudah memiliki III Sunggal Kanan Kecamatan Sunggal
banyak pengalaman. Kabupaten Deli Serdang.
3. Responden di Dusun III Sunggal Kanan
Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli DAFTAR PUSTAKA
Serdangmayoritasmemiliki
pengetahuan yang cukup tentang Andriana, D. (2011). Tumbuh Kembang dan
pencegahan epilepsi. Hal ini Terapi Bermain Pada Anak. Jakarta:
dipengaruhi oleh pendidikanibu Salemba Medika.
mayoritas berpendidikan SD sebanyak Depkes. (2008). Asuhan Keperawatan Anak
20 responden (38,46%), Pengetahuan Epilepsi. Dikutip Pada Tanggal 08 April
dapat dipengaruhi oleh pendidikan yang 2015 jam 14.50 wib dari
diperoleh oleh seseorang tentang http://Kesehatan.kompasiana.com/medis
pencegahan sinusitis sebab semakin /2013/05/19/epilepsi-557529.html.
tinggi tingkat pendidikan seseorang Fitriani. (2011). Promosi Kesehatan (Edisi I
semakin mudah juga menerima Cetakan I). Graha Ilmu : Yogyakarta.
informasi. Harsono. (2007). Epilepsi Edisi Kedua.
Yogyakarta: Gadjah Mada University
SARAN Press.
Hasibuan. (2005). Pengantar Ilmu
1. Institusi Pendidikan Keperawatan Keperawatan Anak 1. Jakarta: Salemba
Institusikeperawatanhendaknya Medika.
mengajarkankepadamahasiswa/i
tentang pencegahan epilepsi pada anak Hendra. (2007). Epilepsi. Dikutip Pada
lebih mendalam supaya dapat Tanggal 10 April 2015 jam 21.00 wib
memberikan pendidikan kesehatan atau dari
penyuluhan kepada http://penyakitepilepsi.com/dampak-
keluarga dalam pencegahan epilepsi dari-penyakit-epilepsi.
pada anak sehingga mahasiswa/i Judha M & Rahil Hamdar N. (2011). Sistem
dapat mengaplikasikan didalam Persarafan Dalam Asuhan
masyarakat. Institusi pendidikan juga Keperawatan. Yogyakarta: Gosyen
diharapkan untuk menambah jam belajar Publishing.
aplikasi untuk membuat karya ilmiah Mubarak. (2011). Promosi kesehatan untuk
supaya mahasisiwa/i lebih mahir/suka kebidanan. Jakarta: Salemba medika.
dalam melakukan penelitian. Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit
2. Pelayanan Kesehatan (Edisi 2). Yogyakarta: Monica Ester.

4
4
Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA Vol. 2, No. 1, Februari 2016

Notoatmodjo. (2007). Kesehatan Setiadi. (2007). Konsep & Penulisan Riset


Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Notoatmodjo. (2010). Metodologi Penelitian Sofyan. (2006). Konsep Ibu. Dikutip Pada
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Tanggal 10 April 2015 jam 20.30 wib
Pranita. (2012). Karakteristik Anak Sekolah dari http://Konsep.Ibu.com/2012.
Dasar. http://wordpress.com. Diakses Sudjana. (2009). Metode Statistika. Bandung:
tanggal 20 Maret 2015 Pukul 15.00 Tarsito.
WIB.

4
5
JMU ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 9 NO.7,JULI, 2020

Jurnal medika udayana

Diterima:09-07-202 Revisi:13-07-2020 Accepted: 16-07-2020

HUBUNGAN TERAPI OBAT ANTIEPILEPSI TERHADAP


FUNGSI KOGNITIF PADA PASIEN EPILEPSI ANAK DI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH PERIODE MARET
2016-NOVEMBER 2016
Nanda Putri Chintia1, Ida Ayu Sri Wijayanti2, Dewi Sutriani Mahalini3
1 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana 2 Departemen/SMF Ilmu Penyakit Saraf
RSUP Sanglah
3
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah
Koresponden : Nanda Putri Chintia Email:
nanda.chintia24@gmail.com

ABSTRAK
Epilepsi merupakan penyakit kronis dengan angka insiden yang tinggi pada anak-anak.
Epilepsi merupakan masalah kesehatan dan sosial, dimana masalah kesehatan ini dapat
berdampak pada gangguan kognitif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan obat
antiepilepsi terhadap fungsi kognitif pada pasien epilepsi anak di Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar.Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik potong lintang.
Selama 9 bulan periode penelitian, didapatkan 69 sampel yang masuk dalam kriteria inklusi..
Data penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel. Dari data penelitian ini didapatkan hasil
berupa proporsi pasien yang mendapatkan terapi obat antiepilepsi dengan satu macam obat
antiepilepsi (monoterapi) yaitu 85,5%, dan 14,5% pasien mendapatkan terapi obat
antiepilepsi dengan dua macam obat antiepilepsi (politerapi). Proporsi pasien yang sudah
mendapatkan terapi obat antiepilepsi kurang dari dua tahun yaitu 84,1% dan sebanyak 15,9%
sudah mendapatkan terapi obat antiepilepsi lebih dari sama atau sama dengan dua tahun.
Didapatkan juga proporsi fungsi kognitif kategori average (60,9%) yang lebih tinggi
dibanding kategori below average (21,7%) dan above average (17,4%). Terdapat hubungan
yang signifikan antara jumlah macam obat antiepilepsi dengan fungsi kognitif (p=0,000).
Terhadap lama pengobatan obat antiepilepsi didapatkan hubungan yang signifikan terhadap
fungsi kognitif (p=0,000). Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dari
jumlah macam obat antiepilepsi dan lama pengobatan terhadap fungsi kognitif. Kata kunci:
epilepsi anak, obat antiepilepsi, fungsi kognitif

ABSTRACT
Epilepsy is a chronic disease with high incidence rates in children. Epilepsy is a health and
social problems, those health problems can have an impact on cognitive function. The
purpose of this study to determine the relationship of antiepileptic drugs on cognition in
children patients with epilepsy at the General Hospital Sanglah. The purpose of this study
was to determine the association of antiepileptic drugs on cognition in children with epilepsy
patients at the General Hospital Center Sanglah. This study used an analytical cross-sectional
study design. During 9 months of the study period, obtained 69 samples which are included
in inclusion criteria. The research data were then presented in tabular form. From the study
data, obtained the proportion of patients who have received antiepileptic drug therapy with a
single antiepileptic drug (monotherapy) is 85.5%, and 14.5% patients received antiepileptic
drug therapy with two kinds of antiepileptic drugs (polytherapy). The proportion of patients
who have received an antiepileptic drug therapy less than two years is 84.1% and 15.9% have
received an antiepileptic drug therapy more or equal to two years. Also obtained the

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum 64 doi:10.24843.MU.2020.V9.i7.P12
HUBUNGAN TERAPI OBAT ANTIEPILEPSI,. Nanda Putri Chintia1, Ida Ayu Sri Wijayanti2, Dewi Sutriani
Mahalini3

proportion of average category of cognitive function (60.9%) higher than the below average
(21.7%) and above average (17.4%). There is a significant association of the number of
antiepileptic drugs with cognitive function (p = 0.000). For the duration of antiepileptic drug
therapy is found a significant association to cognitive function (p = 0.000). It can be
concluded that there is a significant association of the number of antiepileptic drugs and
duration of treatment on cognitive function.
Keywords: epilepsy, children, antiepilepsy drug, cognitive function

PENDAHULUAN
Epilepsi masih menjadi salah satu fungsi kognitif. Umumnya, proporsi disfungsi
permasalahan penting dalam bidang kesehatan intelektual (IQ <80) pada anak-anak dengan
maupun psikologi-sosial di dunia dan khususnya epilepsi bervariasi antara 26% dan 57% dan
juga di Indonesia, dapat dilihat dari prevalensi, dalam studi berbasis populasi, sekitar 20-40%
dampak yang mempengaruhi kualitas hidup anak dengan epilepsi dilaporkan memiliki
pasien dan munculnya stigma di masyarakat keterbelakangan mental. Selain itu, dalam
terkait pasien epilepsi. tulisan Rantaten dipaparkan gangguan
Epilepsi adalah penyakit otak yang neurokognitif lainnya yakni 28% dari pasien
didefinisikan dengan salah satu kondisi berikut: epilepsi mengalami gangguan bicara dan 23%
setidaknya dua kejang tak beralasan atau refleks mengalami gangguan belajar.6 Banyak faktor
terjadi dalam interval lebih dari 24 jam; satu yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif pada
kejang tak beralasan atau tanpa provokasi dan epilepsi, termasuk di dalamnya obat anti
kemungkinan kejang lanjut mirip dengan risiko epilepsi. OAE dapat mempengaruhi fungsi
kekambuhan umum (setidaknya 60%) setelah kognitif dengan menekan perangsangan neuron
dua kejang tanpa provokasi, terjadi selama 10 atau meningkatkan penghambatan
tahun ke depan; atau diagnosis sindrom neurotransmisi. Meskipun penggunaan OAE
epilepsi.1 dalam jangka panjang dengan jelas dapat
Sekitar 50 juta orang di dunia mengidap menimbulkan gangguan kognitif, efek kognitif
epilepsi yang menyebabkan epilepsi menjadi dalam periode singkat sampai satu tahun tidak
salah salah satu penyakit neurologi yang sering terdapat bukti meyakinkan. Secara umum, efek
terjadi dan hampir 80% dari orang dengan pada fungsi kognitif lebih buruk pada OAE tipe
epilepsi berada di negara dengan pendapatan lama (fenobarbital) daripada placebo, OAE tipe
menengah ke bawah.2 Menurut World Health baru, dan tanpa penggunaan OAE. Penting untuk
Organization (WHO), dalam banyak penelitian mengidentifikasi dan meminimalkan efek OAE
di dunia bersama-sama mengestimasi bahwa pada anak dengan epilepsi, dimana
rerata prevalensi epilepsi aktif adalah sekitar 8.2 perkembangan sistem saraf dapat menjadi lebih
per 1000 pada populasi umum. Namun, angka rentan untuk konsekuensi jangka panjang berupa
ini dapat di bawah dari estimasi sebagaimana gangguan konitif akibat penggunaan OAE.5
penelitian di negara-negara berkembang yang Studi yang dilakukan pada anak-anak
mengusulkan lebih dari 10 per 1000 dari menunjukkan lebih banyak pengaruh fungsi
populasi. kognitif yang berhubungan dengan politerapi
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun OAE yang dikaitkan dengan dengan masalah
perempuan dan dapat mulai pada usia berapapun, neurokognitif, rendahnya kinerja intelektual, dan
tetapi paling sering ditemukan pada awal masalah perilaku .6
kehidupan atau pada masa anak-anak. Golongan Rantanen pada penelitian Social
anak-anak memiliki prevalensi dan insiden yang Competence of Preschool Children with
paling banyak dibandingkan dengan golongan Epilepsi mendapatkan prevalensi gangguan
yang lain. Sekitar 10.5 juta anak memiliki pemusatan perhatian dan perilaku sebesar 35%
diagnosis epilepsi aktif pada 25% populasi di pada anak usia prasekolah dengan epilepsi.
dunia dengan epilepsi.3 Di Indonesia, sedikitnya Rantanen tiga tahun setelah penelitian
terdapat 700.000 - 1.400.000 kasus epilepsi sebelumnya mendapatkan prevalensi gangguan
dimana terdapat pertambahan sebesar 70.000 perkembangan kognitif pada anak usia
kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%- prasekolah dengan epilepsi yaitu 50% dari anak-
50% terjadi pada anak-anak.4 anak peserta penelitian pada batas normal dalam
Melihat cukup sering ditemukannya kasus kisaran (IQ ± 70) pada penelitian Cognitive
epilepsi, perhatian lebih perlu diberikan karena Impairment in Preschool Children with Epilepsi.
sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien Namun, beberapa dari anak-anak ini dapat
epilepsi. Beberapa studi sebelumnya dipertimbangkan untuk berada pada batas atau
menyebutkan epilepsi berhubungan dengan borderline (IQ 70-79) fungsi kognitif.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum 65
doi:10.24843.MU.2020.V9.i7.P12
HUBUNGAN TERAPI OBAT ANTIEPILEPSI.

Keterbelakangan mental ringan ditemukan di Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden


21,9% dari peserta dan keterbelakangan yang berdasarkan Sosiodemografi
menengah sampai parah ditemukan di 28,1%
dari studi kohort.6 Karakteristik Jumlah Persentase
Penelitian tentang epilepsi dalam kaitannya (%)
hubungan OAE terhadap fungsi kognitif pada Jenis Kelamin
pasien epilepsi anak di Rumah Sakit Umum Laki-laki 33 47,8
Pusat Sanglah Denpasar (RSUP) belum pernah Perempuan 36 52,2
dilakukan. Hal tersebut mendorong penulis Usia
untuk melakukan penelitian terkait yang 2 -6 bulan 5 7,2
diharapkan akan memberikan informasi dan 1 tahun 9 13
manfaat bagi aspek pelayanan kesehatan 2 tahun 10 14,5
maupun bidang ilmu pengetahuan untuk 3 tahun 8 11,6
penelitian selanjutnya. 4 tahun 17 24,6
5 tahun 20 29
Tabel diatas menunjukkan bahwa pasien
BAHAN DAN METODE yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 33
sampel (47,8%) dan sebanyak 36 sampel
Penelitian ini adalah penelitian analitik
(52,2%) berjenis kelamin perempuan. Hasil
dengan rancangan penelitian potong-lintang.
tersebut menunjukkan bahwa pasien epilepsi
Variabel diukur pada satu saat tertentu dalam
anak yang berobat ke poli anak Rumah Sakit
penelitian. Responden penelitian adalah 69
Umum Pusat Sanglah lebih banyak berjenis
pasien epilepsi anak yang berobat di RSUP
kelamin perempuan dibandingkan jenis kelamin
Sanglah pada rentang waktu Maret 2016-
laki-laki.
November 2016. Responden adalah semua yang
memenuhi salah satu usia 0-68 bulan dan Subjek yang diteliti adalah pasien epilepsi
minimal sudah mendapat pengobatan OAE anak yang berobat ke poli Anak Rumah Sakit
selama 4 minggu. Teknik yang digunakan untuk Umum Pusat Sanglah dengan rentang usia
penentuan sampel penelitian adalah convenient subjek adalah 0 hingga 68 bulan atau setara
purposive sampling dengan memakai kuisioner dengan usia hingga 5 tahun. Dari tabel 1,
dan lembar tes Mullen dan hanya mengambil didapatkan distribusi usia terbanyak adalah 4
sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan tahun yaitu sebanyak 20 sampel (29%).
eksklusi. Pengisian kuisioner dilakukan dengan
cara mewawancarai orang tua atau pengantar Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden
pasien. Kriteria inklusi dari responden adalah berdasarkan Temuan Penelitian
pasien epilepsi berusia 0-68 bulan dan telah
mendapatkan pengobatan OAE ≥ 4 minggu. Karakteristik Jumlah Persentase
Kriteria Eksklusi dari responden adalah (%)
responden tidak dapat mengikuti sepenuhnya tes Tipe epilepsi
Mullen pada hari pengerjaan tes, serta pasien Parsial Fokal 16 23,2
yang menderita retardasi mental dan pasien Parsial Kompleks 7 10,1
putus obat. Parsial Sederhana 3 4,3
Penelitian ini sudah memiliki kelaikan etik Umum Absence 3 4,3
dengan no surat yaitu, Umum Tonik 40 58
825/UN.14.2/Litbang/2016 dengan nomor Klonik
protocol 427.01.1.2016 dari Unit Penelitian dan Jumlah macam
Pengembangan Fakultas Keddokteran OAE
Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat 1 (Monoterapi) 59 85,5
Sanglah. 2 (Politerapi) 10 14,5
Hasil yang didapat akan dianalisis Jenis OAE
menggunakan software IBM SPSS Statistics 21 AsamValproat 26 37,7
dan disajikan dalam bentuk tabel dalam bentuk Fenobarbital 13 10,1
distribusi frekuensi yang kemudian dilakukan Karbamazepin 20 29,0
analisa mengenai hubungan variabel yang Fenobarbital + 7 10,1
diteliti. Asam Valproat
Fenobarbital + 2 2,9
HASIL Karbamazepin
Distribusi responden menurut jenis kelamin Fenobarbital + 1 1,4
dan usia dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini Fenitoin
Lama
pengobatan OAE
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
doi:10.24843.MU.2020.V9.i7.P12 66
Nanda Putri Chintia1, Ida Ayu Sri Wijayanti2,
Dewi Sutriani Mahalini3

<2 tahun 58 84,1 sampel (4,3%) dengan fungsi kognitif kategori


≥2 tahun 11 15,9 below average. Sedangkan pasien yang
Fungsi Kognitif mendapatkan politerapi OAE, sebanyak 3
Above Average 12 17,4 sampel (30%) dengan fungsi kognitif kategori
Average 42 60,9 average dan sebanyak 7 sampel (70%) dengan
Below Average 15 21,7 fungsi kognitif kategori below average.
Distribusi responden berdasarkan temuan
penelitian yang terdiri atas tipe epilepsi, jumlah Tabel 3 Jumlah Macam OAE terhadap Fungsi
macam OAE, jenis OAE, lama pengobatan OAE, Kognitif
dan fungsi kognitif berdasarkan tes Mullen dapat
dilihat pada tabel 2. Kategori fungsi kognitif
Jumlah
Karakteristik responden berdasarkan tipe
epilepsi dapat dilihat pada tabel 2, dimana macam p
menunjukkan bahwa pasien dengan tipe epilepsi OAE

%)Av
%)averageA

%)averageBel
umum tonik klonik memiliki proporsi paling
tinggi (58%) dan tipe epilepsi parsial sederhana
serta tipe umum absence masing-masing 1 12 ; 39 ; 66,1 8 ;13,6
memiliki proporsi terendah (4,3%). (mono) 20,3

0,0
00
Seluruh pasien epilepsi anak sebanyak 69 2 (poli) 0;0 3;30 7;70
sampel (100%) mendapatkan pengobatan OAE, Jumlah 12 ; 42 ; 60,9 15 ;
dimana artinya seluruhnya mendapatkan terapi 17,4 21,7
OAE. Dari tabel 2, didapatkan sebagian besar
pasien mendapatkan terapi OAE dengan satu
macam OAE (monoterapi) yaitu sebanyak Tabel 3 menunjukkan bahwa proporsi
85,5%. Sebagian besar pasien yang pasien dengan fungsi kognitif kategori average
mendapatkan monoterapi OAE menggunakan lebih tinggi (66,1%) dibanding proporsi pasien
OAE jenis asam valproat yaitu sebanyak 37,7%, dengan fungsi kognitif kategori above average
sedangkan sebanyak 10,1% menggunakan OAE (20,3%) maupun kategori below average
jenis fenobarbital. Pasien yang mendapatkan (13,6%) pada pasien yang mendapatkan
politerapi OAE menggunakan OAE jenis monoterapi OAE. Sedangkan pasien yang
fenobarbital dengan asam valproat yaitu mendapatkan politerapi OAE, didapatkan bahwa
sebanyak 10,71%, sedangkan sebanyak 1,4% proporsi pasien dengan fungsi kognitif kategori
menggunakan OAE jenis fenobarbital dengan below average lebih tinggi (70%) dibanding
fenitoin. proporsi pasien dengan fungsi kognitif kategori
above average (0%) maupun kategori average
Seluruh pasien epilepsi anak sebanyak
(30%).
69 sampel (100%) sudah mendapatkan
pengobatan OAE dengan lama pengobatan yang Tabel 4 Lama Pengobatan OAE terhadap
bervariasi dengan tujuan pengobatan selama 2 Fungsi Kognitif
tahun bebas kejang. Sebagian besar pasien sudah
mendapatkan terapi OAE kurang dari dua tahun
yaitu sebanyak 84,1%, sedangkan sebanyak Kategori fungsi kognitif
15,9% sudah mendapatkan terapi OAE lebih Lama
dari sama atau sama dengan dua tahun. Pengo- p
%)Aver

batan
age

(n;
eA
bo

ag

av

Tes Mullen dilakukan pada seluruh


ve

er
n

%)averageBe
;

OAE
pasien epilepsi anak sebanyak 69 sampel
(100%), dimana didapatkan tiga kategori fungsi
kognitif dari lima kategori yang ada. <2 6 ; 10,3
12 ; 20,7 40;69
Berdasarkan tabel 2, dari hasil tes Mullen tahun
banyak didapatkan pasien dengan fungsi
0,00

tahun 9 ; 81,8
0

kognitif kategori average, yaitu sebanyak 42 ≥2 0;0 2 ; 18,2


sampel (69,9%).
Jumlah 12 ; 17,4 42; 60,9 15 ;21,7
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 59 pasien
yang mendapatkan monoterapi OAE, sebanyak
12 sampel (20,3%) dengan fungsi kognitif
kategori above average, 39 sampel (66,1%)
dengan fungsi kognitif kategori average, dan 8

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum 67
doi:10.24843.MU.2020.V9.i7.P12
HUBUNGAN TERAPI OBAT ANTIEPILEPSI

Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 58 pasien Epilepsi fokal/parsial ditemukan pada 12,6%
yang sudah mendapatkan terapi OAE kurang kasus.4
dari dua tahun, sebanyak 12 sampel (20,7%)
dengan fungsi kognitif kategori above average, Hasil penelitian ini juga menunjukkan
40 sampel (69%) dengan fungsi kognitif bahwa sebagian besar pasien yang sudah
kategori average, dan 6 sampel (10,3%) dengan mendapatkan terapi OAE kurang dari dua tahun
fungsi kognitif kategori below average. yaitu sebanyak 84,1%. Hasil lain juga
Sedangkan pasien yang sudah mendapatkan didapatkan berdasarkan tes Mullen yang
terapi OAE lebih dari atau sama dengan dua dilakukan yaitu sebanyak 42 sampel (69,9%)
tahun, sebanyak 2 sampel (18,2%) dengan adalah pasien dengan fungsi kognitif kategori
fungsi kognitif kategori average dan sebanyak 9 average.
sampel (81,8%) dengan fungsi kognitif kategori
Berdasarkan hasil analisis uji bivariat
below average.
didapatkan hubungan antara jumlah macam
Proporsi pasien dengan fungsi kognitif OAE terhadap fungsi kognitif. Hal ini terbukti
kategori average didapatkan lebih tinggi (69%) dari hasil uji Chi-square dengan hasil p-
dibanding proporsi pasien dengan fungsi value<0,05 dengan nilai p sebesar 0,000. Dari
kognitif kategori above average (20,7%) hasil ini maka H0 ditolak, yang berarti terdapat
maupun kategori below average (10,3%) pada hubungan yang signifikan antara jumlah macam
pasien yang sudah mendapatkan terapi OAE OAE terhadap fungsi kognitif.
kurang dari dua tahun. Sedangkan pasien yang
Tidak jauh berbeda dengan penelitian
sudah mendapatkan terapi OAE lebih dari atau
tahun 2015 oleh Anderson yang menyimpulkan
sama dengan dua tahun, didapatkan bahwa bahwa penggunaan dua jenis atau lebih OAE
proporsi pasien dengan fungsi kognitif kategori
(politerapi) meningkatkan kemungkinan
below average lebih tinggi (81,8%) dibanding
munculnya adverse drug reactions (ADRs) pada
proporsi pasien dengan fungsi kognitif kategori
anak-anak. Fungsi kognitif yang terganggu bisa
above average (0%) maupun kategori average
menjadi salah satu bentuk ARDs tersebut.
(18,2%).
Dalam penelitiannya, di catat 27 dari 45 pasien
(60%) yang menerima politerapi mengalami
PEMBAHASAN ADRs. Risiko terjadinya ADRs secara
Hasil penelitian yang dilakukan signifikan lebih rendah pada pasien yang
menunjukkan bahwa pasien epilepsi anak yang menerima monoterapi dibandingkan dengan
berobat ke poli anak Rumah Sakit Umum Pusat yang menerima politerapi (RR: 0,61,
Sanglah lebih banyak berjenis kelamin p<0,0001).7
perempuan dibandingkan jenis kelamin laki-laki,
juga didapatkan distribusi usia terbanyak yaitu 5 Berdasarkan hasil analisis uji bivariatjuga
tahun yaitu sebanyak 20 sampel (29%) dan didapatkan hubungan antara lama pengobatan
jumlah paling sedikit adalah rentang usia 2 OAE terhadap fungsi kognitif. Hal ini terbukti
hingga 6 bulan yaitu masing-masing sebanyak 5 dari hasil uji Chi-square dengan hasil p-
sampel (7,2%). Hasil penelitian ini tidak jauh value<0,05 dengan nilai p sebesar 0,000. Dari
berbeda dengan hasil penelitian milik Suwarba hasil ini maka H0 ditolak, yang berarti terdapat
hubungan yang signifikan antara lama
tahun 2011 di Rumah Sakit Umum Pusat
pengobatan OAE terhadap fungsi kognitif.
Sanglah dimana dijumpai pasien epilepsi baru
276 kasus, rata-rata 69 kasus. Sebesar 42% Dalam penelitian lain juga menunjukkan
ditemukan pada kelompok umur 1-5 tahun.4 adanya pengaruh lama pengobatan terhadap
Hasil penelitian yang dilakukan juga fungsi kognitif. Tahun 2011 dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa karakteristik responden Mustarsid menyimpulkan bahwa lama
berdasarkan tipe epilepsi, tipe epilepsi umum pengobatan lebih dari 2 tahun meningkatkan
tonik klonik memiliki proporsi paling tinggi risiko sebesar sepuluh kali lebih besar (p-value
(58%). Didapatkan juga sebagian besar pasien sebesar 0,001) daripada anak dengan lama
mendapatkan terapi OAE dengan satu macam pengobatan <2 tahun (terhadap terjadinya
8
OAE (monoterapi) yaitu sebanyak 85,5% gangguan perhatian visual).
dimana sebanyak 37,7% pasien menggunakan
SIMPULAN
OAE jenis asam valproat. Hasil penelitian ini
Berdasarkan penelitian yang telah
tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian milik
dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
Suwarba tahun 2011 di Rumah Sakit Umum
sebagian besar pasien memiliki tipe epilepsi
Pusat Sanglah dimana ditemukan pasien dengan
umum tonik klonik dengan proporsi 58%.
jenis epilepsi umum tonik klonik sebesar 62%,
Seluruh pasien epilepsi anak sebanyak 69
tipe tonik 12,3%, dan tipe absence 4,3%.
sampel mendapatkan pengobatan OAE,
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum 68
doi:10.24843.MU.2020.V9.i7.P12
Nanda Putri Chintia1, Ida Ayu Sri Wijayanti2, Dewi Sutriani Mahalini3

sebagian besar pasien mendapatkan terapi OAE Children with Epilepsy. Epilepsia. 2011;
dengan satu macam OAE (monoterapi) yaitu 52(8):1499–1505,
sebanyak 85,5%, sedangkan sebanyak 14,5% 7. Rantanen K., Eriksson K., Nieminen P,.
pasien mendapatkan terapi OAE dengan dua Timonen S,. Neurocognitive Functioning
macam OAE (politerapi). Jenis OAE yang and Social Competencein Preschool
paling banyak digunakan pada pasien yang Children with Epilepsy. Epilepsy &
mendapatkan monoterapi OAE adalah jenis Behavior. 2009;14(2) 338–343
asam valproat sebanyak 37,7%, sedangkan 8. Anderson M,. Cherrill J., Egunsola O.,
sebanyak 10,1% menggunakan OAE jenis Millward C. A Prospective Study of
fenobarbital. Pasien yang mendapatkan Adverse Drug Reactions to Antiepileptic
politerapi OAE menggunakan OAE jenis Drugs in Children. BMJ Open.
fenobarbital dengan asam valproat sebanyak 2015;5:e008298.
10,71%. 9. Mustarsid., Nur, F., Setiawati S. Pengaruh
Sebagian besar pasien sudah mendapatkan Obat Antiepilepsi terhadap Gangguan
terapi OAE kurang dari dua tahun yaitu Daya Ingat pada Epilepsi Anak. Sari
sebanyak 84,1%, sedangkan sebanyak 15,9% Pediatri. 2011; 12(5):305
sudah mendapatkan terapi OAE lebih dari sama
atau sama dengan dua tahun.
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, maka dapat disimpulkan juga bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah
macam OAE terhadap fungsi kognitif serta
hubungan yang signifikan antara lama
pengobatan OAE terhadap fungsi kognitif.
Orang tua pasien diharapkan agar lebih
memerhatikan perkembangan fungsi kognitif
anaknya serta lebih memerhatikan keluhan-
keluhan gangguan fungsi kognitif yang mungkin
terlihat dan segera memeriksakan ke pelayanan
kesehatan.
Keterbatasan penelitian ini yaitu tes
Mullen dilakukan dalam kondisi poli anak yang
kurang kondusif, sehingga terkadang
menggangu konsentrasi pasien saat melakukan
tes Mullen.
Diperlukan juga penelitian lebih lanjut
untuk meneliti variabel yang lain seperti tipe
epilepsi, dosis OAE, jenis kelamin, dan usia.

DAFTAR PUSTAKA
1. Fisher, RS,. Acevedo C., Bogasz A., Cross
J.H,. A Practical Clinical Definition of
Epilepsy. Epilepsia. 2014; 55(4):475–482
2. World Health Organization. 2015. Tersedia
di:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets
/fs999/en/ (akses: 11 Oktober 2016)
3. Yilmaz, BS., Okuyaz C., Komur M.
Predictor of Intracable Childhood Epilepsy.
Pediatric Neurology. 2013;48:52-55
4. Suwarba. Insiden dan Karakteristik Klinis
Epilepsi pada Anak. Sari Pediatri.
2011;13(2):123.
5. Park SP dan Kwon SH. 2008. Cognitive
Effects of Antiepileptic Drugs. J Clin
Neurol. 2008;(4):99-106
6. Rantanen K., Eriksson K., Nieminen P.
Cognitive Impairment in Preschool

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum 69
doi:10.24843.MU.2020.V9.i7.P12
Ketogenic Diet for the Management of Epilepsy
Associated with Tuberous Sclerosis Complex in Children
Soyoung Park1, Eun Joo Lee2, Soyong Eom3, Hoon-Chul Kang4, Joon Soo Lee4, Heung Dong Kim4
1
Department of Pediatrics, Soonchunhyang University Bucheon Hospital, Soonchunhyang University
College of Medicine, Bucheon; 2Division of Dietetics, Severance Children's Hospital, Yonsei
Original Article University College of Medicine, Seoul; 3Epilepsy Research Institute, Yonsei University College of
Journal of Epilepsy Research Medicine, Seoul; 4Division of Pediatric Neurology, Epilepsy Research Institute, Severance Children's
pISSN 2233-6249 / eISSN 2233-6257 Hospital, Department of Pediatrics, Yonsei University College of Medicine, Seoul, Korea

Background and Purpose: In the present study, we reviewed the outcome of ketogenic diet (KD)
use for the management of epilepsy in children with tuberous sclerosis complex (TSC).
Methods: A total of 12 children with intractable epilepsy associated with TSC who were treated with
KD at our hospital between March 1, 2008 and February 28, 2015 were retrospectively enrolled.
Results: The mean age at the time of KD initiation was 73.1 ± 38.0 months. Patients were medically
refractory to a mean of 4.8 ± 1.7 antiepileptic drugs. Nine patients (75.0%) had a history of infantile spasms.
Received April 27, 2017
Accepted May 17, 2017 At 3 months after KD initiation, 10 patients (83.3%) had > 50% seizure reduction. Moreover, 7 patients
Corresponding author: Heung Dong Kim (58.3%) exhibited qualitative improvements in cognition and behavior after KD initiation, as reported by
Division of Pediatric Neurology, caregivers/parents. The mean duration of dietary therapy was 14.8 ± 12.8 months. Half of the patients in this
Epilepsy Research Institute, Severance
Children's Hospital, Department of study eventually underwent epilepsy surgery due to persistent seizures or seizure relapse.
Pediatrics, Yonsei University College of Conclusion: KD is an important non-pharmacological treatment option for patients with intractable epilepsy
Medicine, 50-1 Yonsei-ro, Seodaemun-
associated with TSC. KD may improve cognition and behavior in addition to reducing seizure frequency.
gu, Seoul 03722, Korea
Tel. +82-2-2228-2061 (2017;7:45-49)
Fax. +82-2-393-9118 E-
mail; hdkimmd@yuhs.ac Key words: Ketogenic diet, Epilepsy, Tuberous sclerosis complex, Children

Several treatment options are available to optimize neuro-


Introduction
developmental function and manage epilepsy in patients with TSC,
including anti-epileptic drugs (AEDs), ketogenic diet (KD), epilepsy
Tuberous sclerosis complex (TSC) is an inherited multisystem
surgery (resective surgery or corpus callosotomy), vagus nerve stim-
dis-order that is typically caused by mutations in TSC1 or TSC2,
ulation, and mammalian target of rapamycin (mTOR) inhibitor
affecting 1 in every 6,000 or 10,000 persons, respectively. 1-3 TSC
is charac-terized by pleomorphic features involving several organ therapy.6,9,12,14,15 In this study, we reviewed use of a KD in children

systems and hallmark central nervous system (CNS) findings with TSC and drug-resistant epilepsy and evaluated its effects on

including cortical tu-bers, subependymal nodules (SEN), and seizure burden and cognitive as well as behavioral outcomes.
1,2,4,5
subependymal giant cell as-trocytoma (SEGA). Neurologic
involvement in TSC is associated with disease-related disability Methods
such as epilepsy, behavioral disorders, and cognitive deficits,4‐8
We performed a retrospective chart review of all patients seen for
with epilepsy being the most common, re-ported in 75% to 90% of
TSC at the pediatric neurology department of Severance Children’s
patients.6,9 Moreover, 30% to 50% of pa-tients with TSC are
Hospital between March 1, 2008 and February 28, 2015. Patients
diagnosed with infantile spasms (IS), an epileptic encephalopathy
were included if they had clinically definite TSC, had been on a KD for
syndrome, in their 1st year of life.10‐13 TSC-asso-ciated
> 3 months, had seizures intractable to at least 2 AEDs, and were
neuropsychiatric disorder is another major pathological fea-ture in
patients, which affects clinical outcome as well as quality of life.5,7 available for formal neuropsychological (NP) evaluation and parental

This is an Open Access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution Non-Commercial License
(http://creativecommons.org/licenses/by-nc/3.0/) which permits unrestricted non-commercial use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original
work is properly cited.
46 Journal of Epilepsy Research Vol. 7, No. 1, 2017

global assessment for diet outcome. We excluded patients The institutional review board of the Severance
who had been on the low glycemic index diet, those with poor Hospital approved this study.
compliance for KD maintenance < 3 months, and those
whose parents had difficulty counting seizures to determine Results
seizure frequency. Finally, 12 patients were enrolled.
A KD (3:1 or 4:1 ratio of fat to carbohydrate and protein) or a Patient demographic and clinical characteristics
modified Atkin’s diet was started without fasting. Patient data in- Of 156 children with TSC who were seen at our hospital during
cluding gender, age at last follow up, brain magnetic resonance the study period, 133 (85.3%) were treated for epilepsy with
imaging (MRI) findings, age at seizure onset, number of AEDs used, multiple treatment modalities such as AEDs, KD, and surgery. KD
history of infantile spasms, developmental status, epilepsy classi- was initiated in 18 patients. 6 patients were excluded due to loss
fication at KD initiation, age at KD initiation, lead-time to KD ini-tiation, to follow up or early discontinuation of the KD within 3 months.
peak effect of KD, duration of KD, seizure outcome after KD, and Ultimately, 12 of these patients were included in our analysis.
parental global assessment of overall KD outcome were col-lected by The 12 patients enrolled in this study were 5 boys and 7 girls with a

chart review. Minor adjustments of AEDs were done during KD mean age of 73.1 ± 38.0 months (range, 26.4-144.2 months). All 12

maintenance in some cases. Seizure outcomes were assessed at 3 patients of had cortical tubers and SEN, and 3 patients (25.0%) had

months, 6 months, and 12 months after starting the KD, and were SEGA on brain MRI. Ten patients (83.3%) had experienced seiz-ures

classified as follows: seizure free, > 90% reduction, 50% to 90% re- in the 1st year of life and the mean age at seizure onset was 9.6

duction, and < 50% reduction in seizures. The parental global as- ± 12.5 months (range, 1.0-47.4 months). Patients were treated with a
sessment of overall KD outcome regarded the patient’s overall con- mean of 4.8 ± 1.7 AEDs (range, 2-7) for seizure control. Nine pa-tients
dition, including seizure burden as well as cognitive and behavioral (75.0%) had a history of IS and all of them (9 patients with IS) failed to
features. Parental assessments were obtained at clinic visits, and control spasms with vigabatrin, which is an effective in the treatment
were classified as much improved, somewhat improved, no interval of TSC children with IS. Upon KD initiation, 6 patients (50%) had IS, 1
change, and worsened. patient had Lennox-Gastaut Syndrome (LGS), and 5 (41.7%) patients
NP evaluations were available in all 12 patients. As per had focal epilepsy. The mean age at KD initiation was 23.2 ± 21.7
formal NP evaluations, patients with an intelligence quotient months (range, 2.9-76.5 months) and the lead-time to KD initiation
(IQ) < 70 (or sometimes a Developmental quotient [DQ] or (i.e., the time interval from seizure onset to KD ini-tiation) was 13.7 ±
social quotient [SQ] in cases where an IQ was not obtained) 13.5 months (range, 1.5-38.0 months). The mean duration of KD

were considered to be cogni-tively impaired. maintenance was 14.8 ± 12.8 months (range,

Table 1. Demographics of patients

Parameters Value
Gender, n (%)
Male 5 (41.7)
Female 7 (58.3)
Mean age at last follow up, mean ± SD (months) 73.1 ± 38.0 (range, 26.4-144.2)
Brain MRI findings, n (%)
Cortical tubers 12 (100.0)
SEN 12 (100.0)
SEGA 3 (25.0)
Seizure onset in the 1st year of life, n (%) 10 (83.3)
Seizure onset age, mean ± SD (months) 9.6 ± 12.5 (range, 1.0-47.4)
No. of tried AEDs, mean ± SD (months) 4.8 ± 1.7 (range, 2-7)
History of infantile spasms, n (%) 9 (75.0)
Developmental status at KD initiation, n (%)
IQ, DQ, or SQ ≥ 70 5 (41.7)
IQ, DQ, or SQ < 70 7 (58.3)
SD, standard deviation; MRI, magnetic resonance imaging; SEN, subependymal nodules; SEGA, subependymal giant cell
astrocytoma; No., Number; AEDs, anti-epileptic drugs;IQ, intelligence quotient; DQ, developmental quotient; SQ, social quotient.

Copyright ⓒ 2017 Korean Epilepsy Society


Soyoung Park, et al. KD for Management of Epilepsy with TSC in Children 47

3.9

6.1
7.6
7.8
10.3
12.2

12.5

12.5

20.9

36.5
43.6
Seizure outcomes
After 3 months of the KD, 4 patients (33.3%) were seizure free and
3.3-43.6 months). Seven patients (58.3%) had cognitive
10 patients (83.3%) achieved a > 50% reduction in seizures. Two
impairment at the time of KD initiation (Table 1, 2).
patients discontinued the KD after 3 months due to seizure

aggravation. Among 10 patients who continued the KD for 6 months,


6 (60.0%) were seizure free and 8 (80%) achieved a > 50% reduc-tion
Table 2. Clinical characteristics and seizure outcomes related to KD in seizures. Reasons for KD discontinuation after 6 months were

Parameters Value limited effectiveness in 2 patients (50.0%), general weakness and

Mean age at initiation of KD, 23.2 ± 21.7 (range, 2.9-76.5) weight loss in 1 patient (25.0%), and parental will in 1 patient (25.0%).
mean ± SD (months)
Half of the initial 12 patients maintained the dietary ther-apy for more
Lead-time to KD, 13.7 ± 13.5 (range, 1.5-38.0)
mean ± SD (months) than 12 months. Of these, 2 (33.3%) were seizure free, 2 achieved a
(i.e the time interval from 90% reduction in seizures, and 2 had a < 50% reduc-tion in seizures
seizure onset to KD initiation)
after 12 months of the KD (Table 2, 3).
Mean duration of KD, 14.8 ± 12.8 (range, 3.3-43.6)
mean ± SD (months) Of the 12 patients included in our analysis, 6 patients underwent
Epilepsy classification at KD, n (%) epilepsy surgery after trying the KD; 3 of these patients (50.0%) ex-
IS 6 (50.0) perienced no effect on KD, 2 of them (33.3%) were seizure free with
LGS 1 (8.3)
KD for initial several months, but recurred, and 1 of them (16.7%) had
Focal epilepsy 5 (41.7)
only partial effect by KD (75% reduction of seizure frequency for less

than 3 months). 5 of above mentioned 6 patients (83.3%) were

seizure free after surgery and 1 patient still experienced weekly

seizures. Therefore, 8 of the 12 original patients included in our anal-

ysis achieved seizure free status at last follow up; 1 (12.5%) was

seizure free with KD maintenance, 5 (62.5%) were seizure free after

surgery, and 2 (25.0%) were seizure free after finding an appropriate

AED regimen, even after KD discontinuation.

Seizure free after 5 (41.7)


3 months of KD, n (%)
Cognitive and behavioral features
Seizure reduction more than 50% 10 (83.3) Efficacy of the KD was mainly assessed by seizure outcome;
after 3 months of KD, n (%) however, the global outcome by parental assessment included
Epilepsy surgery after KD, n (%) 6 (50.0)
cognitive and behavioral features in addition to seizure burden.
KD, ketogenic diet; SD, standard deviation; IS, infantile Four patients (33.3%) were “much improved,” 5 patients (41.7%)
spasms; LGS, Lennox-Gastaut syndrome.
were “somewhat improved,” 2 patients (16.7%) showed “no in-

Table 3. Detailed profiles of all patients: tuberous sclerosis complex patients with epilepsy treated by KD

No. of Age at Epilepsy Lead time to KD Duration of KD


KD initiation classification at Ratio of KD Peak effect of KD
patients (months) (months)
(months) KD initiation
1 2.9 IS 1.8 3:1 → 4:1 3.3 No interval change
2 4.5 IS 1.5 4:1 90% Reduction for 3 months →
aggravation
3 76.5 Focal epilepsy 29.1 MAD → 4:1
No interval change
4 6.0 IS 3.7 3:1 → 4:1 50% Reduction for 6 months
5 3.4 Focal epilepsy 38.0 4:1 No interval change
6 15.0 Focal epilepsy 10.7 4:1 Seizure free for 6 months → recur
7 4.0 IS 2.3 3:1 → 4:1 → 2:1 Seizure free for 3 months → recur
8 8.0 IS 6.1 4:1 90% Reduction for 12 months →
aggravation
9 3.9 IS 4.5 3:1 → MAD
Seizure free for 9 months → recur
10 6.9 Focal epilepsy 13.3 4:1 75% Reduction for 20 months →
aggravation
11 7.0 Focal epilepsy 17.0 4:1 → MAD
Seizure free for 8 months → recur
12 9.0 LGS 35.8 4:1 → 3:1 Seizure free over 60 months
KD, ketogenic diet; No., number; IS, infantile spasms; LGS, Lennox-Gastaut syndrome; MAD, modified Atkin’s diet.

www.kes.or.kr
48 Journal of Epilepsy Research Vol. 7, No. 1, 2017

a history of IS or active IS.


Neuropsychological deficits of TSC are associated with
abnormal-ities in the mTOR signaling pathway, which has a
crucial role in brain development. Previous studies have identified
the ability of a KD to decrease mTOR activation in animal models,
providing a biological basis for the mechanism of action for dietary

treatment.3,20 Yet, the exact mechanism of KD-mediated benefits


Figure 1. Global outcome by parental assessment for ketogenic
in TSC remains unknown and warrants further research.
diet on seizure, cognition and behavior.
This study had several limitations. First, we enrolled a small
terval change,” and 1 patient was (8.3%) “worsened” num-ber of patients and lacked precise data about seizure
after 3 months of the KD (Fig. 1). types, electro-encephalogram findings, and genetic studies.
Second, considering the retrospective nature of the study,

Discussion data may have been incomplete despite our efforts to be


thorough in chart/record collection and review.
The present results suggest that KD maintenance is useful for the In conclusion, KD therapy is an important treatment option in cas-
management of intractable seizures in patients with TSC. KD main- es of medically intractable epilepsy related to TSC. Considering the
tenance not only had beneficial effects on seizure frequency, but also efficacy of the KD for seizure reduction and neuropsychological im-
produced overall improvements in cognition or behavior as rated by
provement in our study, additional studies should explore the ther-
patient’s caretakers/parents. One-third of patients were seizure free
apeutic value and mechanism of a KD in TSC.
and 83.3% patients showed a > 50% reduction in seizure frequency
after 3 months of the KD. After 12 months of the KD, 4 of 6 patients
Acknowledgements
(66.7%) achieved a > 50% reduction in seizures. Furthermore, 75.0%
patients who maintained the KD for at least 3 months were reported to
This study was supported by the Soonchunhyang
have overall improvement (much or somewhat improved) as per
University Research Fund.
parental assessments. Given that cognitive and behavioral problems

are main features of CNS involvement in TSC, 5,8,16 and that 58.3% of
Conflicts of Interest
patients had cognitive impairment defined by an IQ, SQ, or DQ of < 70
prior to dietary therapy in our study, it is possible that the KD has The authors have no financial conflicts of interest.
multifaceted utility for addressing CNS symptoms in TSC.

Few previous studies have reported the efficacy of a KD for the


References
treatment of epilepsy associated with TSC.17,18 Our finding of a
50% to 90% reduction in seizure frequency at 6 months after diet 1. Kassiri J, Snyder TJ, Bhargava R, Wheatley BM,
ini-tiation is consistent with that a previous study by Kossoff et Sinclair DB. Cortical tubers, cognition, and epilepsy in
al.17 Another study indicated that low glycemic index dietary tuberous sclerosis. Pediatr Neurol 2011;44:328-32.
therapy also produced good responses with minimal side effects 2. Krueger DA. Management of CNS-related Disease
Manifestations in Patients With Tuberous Sclerosis
in patients with epilepsy related to TSC.19
Complex. Curr Treat Options Neurol 2013;15:618-33.
Patients with TSC are at high risk for early-onset seizures including 3. Jülich K, Sahin M. Mechanism-based treatment in tuberous
9
focal seizures and IS. Approximately 30% of infants with TSC pres- sclerosis complex. Pediatr Neurol 2014;50:290-6.
4. Krueger DA, Northrup H, International Tuberous Sclerosis Complex
ent with epileptic encephalopathy, which has a poor prognosis. 6 In our
Consensus Group. Tuberous sclerosis complex surveillance and man-
study, 83.3% patients developed seizures in the 1st year of life and
agement: recommendations of the 2012 international tuberous scle-
75.0% of patients had a history of IS. Indeed, half of our study rosis complex consensus conference. Pediatr Neurol 2013;49:255-65.
population started KD to treat IS. Future studies should examine 5. Curatolo P, Moavero R, de Vries PJ. Neurological and neuropsychiatric

whether the KD has particular usefulness in a subset of patients with aspects of tuberous sclerosis complex. Lancet Neurol 2015;14:733-45.

Copyright ⓒ 2017 Korean Epilepsy Society


Soyoung Park, et al. KD for Management of Epilepsy with TSC in Children 49

6. Saxena A, Sampson JR. Epilepsy in Tuberous Sclerosis: Phenotypes, lepsy associated with tuberous sclerosis. Epilepsia 1998;39:1158-63.
Mechanisms, and Treatments. Semin Neurol 2015;35:269-76. 14. Curatolo P. Mechanistic target of rapamycin (mTOR) in tuberous scle-

7. de Vries PJ, Whittemore VH, Leclezio L, et al. Tuberous rosis complex-associated epilepsy. Pediatr Neurol 2015;52:281-9.

sclerosis asso-ciated neuropsychiatric disorders (TAND) 15. Holmes GL, Stafstrom CE. Tuberous sclerosis complex and epilepsy: re-

and the TAND Checklist. Pediatr Neurol 2015;52:25-35. cent developments and future challenges. Epilepsia 2007;48:617-30.
8. Zaroff CM, Devinsky O, Miles D, Barr WB. Cognitive and behavioral cor- 16. Cusmai R, Moavero R, Bombardieri R, Vigevano F, Curatolo P. Long-
relates of tuberous sclerosis complex. J Child Neurol 2004;19:847-52. term neurological outcome in children with early-onset epilepsy
9. Curatolo P, Jóźwiak S, Nabbout R. Management of epilepsy associated with tuberous sclerosis. Epilepsy Behav 2011;22:735-9.
asso-ciated with tuberous sclerosis complex (TSC): clinical 17. Kossoff EH, Thiele EA, Pfeifer HH, McGrogan JR,
recommen-dations. Eur J Paediatr Neurol 2012;16:582-6. Freeman JM. Tuberous sclerosis complex and the
10. Thiele EA. Managing and understanding epilepsy in tuberous ketogenic diet. Epilepsia 2005;46:1684-6.
sclerosis complex. Epilepsia 2010;51 Suppl 1:90-1. 18. Coppola G, Klepper J, Ammendola E, et al. The effects of the
11. Chu-Shore CJ, Major P, Camposano S, Muzykewicz D, keto-genic diet in refractory partial seizures with reference to
Thiele EA. The natural history of epilepsy in tuberous tuberous sclerosis. Eur J Paediatr Neurol 2006;10:148-51.
sclerosis complex. Epilepsia 2010;51:1236-41. 19. Larson AM, Pfeifer HH, Thiele EA. Low glycemic index treatment for

12. Moavero R, Cerminara C, Curatolo P. Epilepsy secondary epilepsy in tuberous sclerosis complex. Epilepsy Res 2012;99:180-2.

to tuberous sclerosis: lessons learned and current 20. McDaniel SS, Rensing NR, Thio LL, Yamada KA, Wong
challenges. Childs Nerv Syst 2010;26:1495-504. M. The keto-genic diet inhibits the mammalian target of
13. Ohtsuka Y, Ohmori I, Oka E. Long-term follow-up of childhood epi- rapamycin (mTOR) pathway. Epilepsia 2011;52:e7-11.

www.kes.or.kr

Anda mungkin juga menyukai