Anda di halaman 1dari 7

Tugas

Tragedi Empat Hari.

Matahari mulai menampakan diri menghadap bumi dari arah timur. Ayam berteriak,
membangunkan manusia yang masih beristirahat setelah menyelesaikan satu hari yang
membosankan seperti biasanya. Handphone-ku berdering menunjukkan pukul 05.30. Aku bangun
dan mulai mengumpulkan nyawaku untuk segera bersiap-siap berangkat sekolah.

Perkenalkan, nama-ku Sabina, atau lebih lengkapnya Ayumi Fabia Sabina. Aku sedang menyusuri
jalan menuju sekolah yang membosankan. "Na! Tungguin," suara yang baru saja dilemparkan
kepadaku berasal dari Raphael, seorang cowok dengan kulit sawo matang dan rambut cepak rapih.
Jujur saja, aku malas berangkat dengan dia karena dia sangat membosankan. Tapi apalah dayaku
yang terlahir menjadi seorang cewek tidak enakan.

Aku juga bingung, kenapa sejak satu bulan terakhir, Raphael semakin dekat denganku. "Cepetan, 5
menit lagi bel masuk!" Aku membalas ucapannya sambil berteriak. Setelah dia berhasil sampai,
kami pun berangkat bersama.

Sepuluh meter lagi, kami sampai di depan sekolah, bahkan kami dapat melihat gerbang bertuliskan
"SMP Negeri 01 Bumijawa" di tengah-tengahnya. Saat kami sampai di kelas, semua siswi
mengerumuni meja yang kusadari bahwa itu meja sahabatku Rita.

"Ada apaan itu?" Tanya Raphael.

"Nggak tau, semoga aja sesuatu yang bagus," balasku sambil berjalan menuju kerumunan.

Begitu sampai di depan meja Rita, aku melihat Rita diam melamun. "Ada apa?" Tanyaku. Semuanya
diam, dan kemudian salah satu cewek membalas, "tadi Rita nemuin ini di laci meja-nya," sambil
memberikan amplop besar berwarna pink dengan tulisan "For: Rita." Segera ku buka, dan ternyata
sebuah surat berisi kata "Aku selalu mengawasimu!" beserta foto yang terlihat familiar bagiku. Itu
adalah foto aib Rita yang kuambil dua hari yang lalu di kamarku. Seingatku, aku tidak pernah
memberikan foto ini kepada siapapun kecuali Rita itu sendiri, tapi mengapa ada di sini? Tanyaku
didalam hati.

Rita bangun dan bertanya, "Itu dari kamu?"

Tentu saja kujawab, "Bukan."

"Lalu dari siapa? Yang punya foto itu cuma kamu," tanya-nya lagi.

"Demi Tuhan, Ta, itu bukan dari aku, dan kalau kamu berpikir aku menyebarkannya itu juga salah,"
balasku menjelaskan.

Rita mulai terdiam lagi dengan ekspresi kesal. Ya, aku juga akan kesal bila ada yang melihat foto
aibku, jadi wajar saja bila Rita bersikap seperti itu.

Aku mulai bertanya-tanya padanya dengan nada pelan dan lembut, "Pas kemarin ada amplop ini
nggak?"

"Nggak ada," balasnya.

"Kamu pernah ngirim foto ini ke seseorang nggak?"


"Seingatku sih nggak," balasnya lagi.

Aku terdiam sejenak sampai Raphael datang. "Ada apaan sih, Na?" tanya-nya.

Akupun menjelaskan apa yang terjadi pada Rita kepadanya, walaupun dengan perasaan malas.
Tapi siapa tahu dia melihat orang yang meletakkan surat itu.

"Eh Na, apa ..." kalimat Raphael terpotong karena para siswa berlari ke dalam akibat Pak Eko, guru
seni budaya, sedang berjalan menuju kemari.

Aku penasaran apa yang mau dikatakan Raphael, tapi sudahlah aku tidak perduli. Aku
menyelesaikan hariku di sekolah seperti biasanya dan pulang seperti biasanya, yaitu bersama Rita.

◇◇◇
Keesokan harinya ternyata ada pesan lagi, dan kali ini hanya satu lembar kertas tanpa dibungkus
apapun. Kali ini tertulis, "Temui aku besok di perpustakaan pada istirahat kedua!" Wow, dia
langsung mau menampakan dirinya, dan lebih parahnya, dia mengajak bertemu di perpustakaan,
bukan di toilet yang jauh lebih sepi.

Kemudian, Daffa, salah satu siswa kelasku yang sedang bertugas piket, berteriak memberitahukan
bahwa dia menemukan gelang berwarna hitam dengan huruf "R." Biasanya, aku mengacuhkannya
karena itu bukan barang milikku, tapi entah mengapa aku merasa harus bertanya.

"Nemu dimana, Daff?" tanyaku.

"Di sini!" sambil menunjuk kolong meja disamping meja Rita.

"Punyamu?" lanjutnya.

Aku diam dan berpikir, "Daff, itu bukan punyaku, tapi boleh nggak buat aku? Kayaknya aku butuh,"
ucapku.

Dia memberikan gelang itu dan melanjutkan tugasnya. Kenapa aku minta gelangnya? Pasti itu yang
kalian tanyakan. Aku merasa bahwa orang yang mengirimi surat sejak kemarin terasa aneh.
Umumnya, kalau dia mau menembak Rita, tidak perlu mengirimkan surat berisi foto aib Rita.
Lagipula, dari mana dia mendapatkannya, padahal yang punya foto itu cuma aku dan Rita. Aku
menduga orang itu adalah orang dekat kami. Kemudian, gelang ini ditemukan di sebelah meja Rita.
Yah, mungkin saja ini punya dia yang terjatuh pada saat meletakkan surat di laci meja Rita.

Saat istirahat, aku menuju Raphael yang sedang tidur di mejanya. "Woi! Bisa bantu gue nggak?"
tanyaku padanya.

"Coba lu tanya ke pak satpam atau siapapun yang bertugas mengurus CCTV, siapa tahu orang yang
mengirimi surat ke Rita kerekam," lanjutku, begitu dia bangun.

"Ngapain sih, kan itu udah jelas, orang itu suka sama Rita dan mau menembaknya di
perpustakaan," balasnya.

"Udah lakuin aja!" perintahku.

Dia mengangguk dan berjalan dengan kaki pincangnya. Ngomong-ngomong, tadi pagi saat
berangkat sekolah dia bilang kaki-nya pincang gara-gara terjatuh kemarin, aku juga tidak melihat
kejadiannya kemarin sih.

Setelah sekitar 7 menit, dia kembali dan mengatakan bahwa CCTV sedang rusak. Cih, kenapa
harus pas di saat aku butuhkan sih.

Saat pulang, aku mampir ke tempat biasa aku dan Raphael nongkrong, tapi kali ini Raphael tidak
ikut karena kakinya yang tidak mendukung. Jadi, aku sendirian kesana.

Begitu sampai, aku bertemu dengan tiga siswa yang kukenal dengan nama Dion, Alvin, dan Farhan.
Mereka dari kelas yang berbeda dari aku dan Raphael, tapi dulu saat kelas 7, Raphael dengan
mereka satu kelas. Terus kenapa aku kenal mereka? Aku diajak Raphael untuk ikut, awalnya aku
nolak, tapi aku penasaran. Tongkrongan anak laki-laki itu bagaimana sih. Dan setelah aku ikut,
lumayan asik, mungkin karena aku tomboy sehingga aku bisa konek dengan mereka. Baru saja aku
duduk, Alvin bertanya.

"Kok sendirian Na? Biasanya sama Raphael?"

"Iya, Na, tumben nggak bareng Raphael?" ucap Dion ikut bertanya.

"Katanya kaki-nya nggak kuat, kemarin jatuh terus pincang," balasku menjawab pertanyaan-
pertanyaan mereka.

"Ouh iya, kemarin dia pulang sama gue terus cerita kalau kaki-nya kesandung terus jatuh di kelas."
Farhan menimbrung pembicaraan.

Seingatku kemarin Raphael tidak jatuh di kelas, kalaupun iya jatuh, seharusnya aku melihatnya.
Toh, aku juga kemarin tidak keluar kelas karena sibuk membaca Novel Harry Potter yang sedang
kucoba selesaikan.

"Lu pulang sama Raphael jam berapa?" tanyaku.

"Sekitar jam satu lebih seperempat, kalau nggak salah." balasnya.

"Ngapain?" tanyaku heran karena waktu pulang sekolah kami adalah pukul 12.55.

"Gue harus ngumpulin tugas remidi ulangan bahasa Inggris, terus Raphael nungguin gue, cuman
sebelum itu dia ngomong ada yang ketinggalan di kelas, jadi dia balik ke kelas, dan gue masuk ke
ruang guru ngumpulin tugas. Nah, pas gue balik lagi, gue ngliat Raphael lagi megangin kaki-nya, ya
gue tanya kenapa? Dia jawab kesandung terus jatuh." jelas Farhan.

Aku terdiam sejenak dan mengeluarkan gelang yang ditemukan Daffa tadi pagi sambil bertanya
pada mereka.

"Kalian kenal gelang ini nggak?"

Mereka mengambil dan mulai mengingat-ingat.

"Ini bukannya gelang Raphael?" ucap Alvin.

"Iya bener itu gelang Raphael." sela Farhan.

"Beneran?" ucapku memastikan.

"Coba liat foto-foto kita aja, siapa tahu ada." usul Dion.

Segera kubuka ranselku dan mengambil Handphone yang kuseludupkan tadi pagi dan mengecek.
Segera kubuka ranselku dan mengambil Handphone yang kuseludupkan tadi pagi dan mengecek.
Ternyata bener, itu gelang Raphael. Apa mungkin Raphael yang mengirimi surat ke Rita? Pikirku.

Saat aku pulang dan selesai membereskan tas dan baju-ku, Handphone-ku berdering menyanyikan
lagu "Revolution" dari The Beatles. Kemudian saat aku mengeceknya ternyata Rita menelpon.

"Hallo Na." Rita memulai pembicaraan.

"Iya, ada apa? Kok telepon?" balasku.

"Emh... besok bisa nggak temenin ke perpustakan? "

" Gas, aku juga penasaran " jawabku.

" makasih ya na. " balas Rita.

" sama - sama " ucapku sambil menutup telepon.

◇◇◇
Hari berikutnya, Istirahat pertama baru berjalan beberapa menit, dan aku sedang mengunyah
beberapa jajanan yang baru saja kubeli dari kantin bersama Rita tentunya. Sesuai pesan kemarin,
Rita dan aku akan ke perpustakaan pada istirahat kedua.

Raphael datang dengan kaki pincangnya, duduk di belakang kami sambil meminum minuman dan
bermain dengan pulpen H-technya yang tutupnya sudah hilang. Aku heran, biasanya dia tidur pada
saat jam istirahat.

"Dari mana lo?" tanyaku.

"Kantinlah, beli jajan. Emang kenapa, tumben nyariin gue?" jawabnya.

" Heran aja tumben lo nggak tidur." balasku.

Dia terdiam dan berdiri menuju tempat duduknya. Bel masuk berbunyi menandakan waktu istirahat
sudah selesai.

Dua jam pelajaran sudah selesai dan akhirnya istirahat kedua, Rita dan aku menuju perpustakaan
sesuai dengan pesan misterius itu. Saat pintu perpustakaan terbuka, kami menemukan sepatu
yang terpampang rapih di depan pintu. Tetapi kami tetap melangkah masuk dan menemui seorang
siswa bertampang culun yang tengah memegang buku.

Rita berbisik padaku, "Itu mungkin orang yang mengirimi aku pesan, Na."

Aku berpikir sejenak, "Kayaknya bukan sih Ta. Tampangnya nggak kayak anak brengsek yang nyari
foto aib seseorang ranpa izin."

" Iya juga sih, tapi tanyain dulu aja siapa tahu. Jangan nilai lagu dari intronya." balas Rita sembari
melangkah menuju siswa tersebut.

"Hei, kamu yang naroh surat ini di laci mejaku?" tanya Rita sambil menunjukkan surat-surat yang
dia terima.

"Hah, bicara padaku?" balasnya kebingungan.


"Iya, sama lo. Emang ada orang lagi di sini selain kita!" ucapku.

Dia terdiam memandangi surat tersebut. "Nggak, aku nggak pernah ngirimin seseorang surat.
Apalagi sama orang yang nggak dikenal," jawabnya.

"Kalau gitu, kenalan dong. Aku Sabina, dia Rita," ucapku sambil menawarkan tangan untuk
bersalaman. Rita langsung memandangku, seolah - olah bertanya kenapa aku mengajaknya
berkenalan.

"Ouh, jadi bukan kamu." Lanjutku setelah Rita menatapku. "Kamu katanya Rita, apa ini untukmu?"
ucap siswa itu sambil memberikan surat besar lagi.

"Itu surat dari mana?" Rita langsung bertanya.

"Aku menemukan surat itu di buku ini. Buku ini juga tadi terletak di meja, jadi kuambil karena
penasaran," jelasnya.

"Kamu ngliat orang yang naroh nggak?" tanyaku.

"Nggak, tapi kayaknya surat itu ditaruh pada saat jam istirahat pertama. Karena begitu bel istirahat
ke-dua, aku langsung ke sini dan menemukan surat itu. Kan tidak mungkin penaruh bisa secepat
itu, dan apabila ditaruh kemarin, penjaga perpus pasti menaruh kembali buku ini," jawabnya sambil
menjelaskan.

"Masuk akal juga," balasku.

"Kalau begitu, terima kasih ya," ucap Rita, dan kami keluar dari perpustakaan. Saat kami sedang
mengenakan sepatu, aku menemukan tutup pulpen H-tech. Kenapa aku merasa harus
mengambilnya? Jadi, kupungut saja, karena sepertinya ada kaitannya dengan gelang kemarin.

Begitu sampai di kelas, kami membuka surat tersebut. Aku langsung kaget begitu melihatnya.
Isinya berupa foto Rita, tapi kali ini lebih parah, dan sebaiknya aku tidak mengucapkannya pada
kalian.

"Sebenarnya dia itu siapa sih!" ucap Rita sambil marah.

Pas pulang sekolah, aku mampir lagi ke tempat biasa. Siapa tahu mereka bisa membantuku. Kali
ini Raphael juga tidak ikut, karena kakinya masih belum sembuh juga.

"Yo," ucapku begitu datang.

"Ya, yo, ya, yo. Minimal salam!" keluh Dion.

"Nih, gue kasih tau, mengucapkan salam itu sunah, nah baru kalau jawab salam itu wajib," ucapku
ngeles.

"Iyain deh yang paling pinter agama," jawab Dion dengan muka cemberut.

"Na, Phael nggak ikut lagi?" tanya Farhan.

"Cie-cie nyariin," ledekku.

"Idih, gini-gini gue masih normal yah. Cuman nanya," jawab Farhan.
"nggak, kakinya masih minta di manja. " jawabku serius.

"Tuh Han, kakinya aja dimanja apalagi kamu." ledek Dion.

"Eh lu jangan ikut - ikutan." ucap Farhan sambil sedikit emosi.

"Santai dong, cuma bercanda," balas Dion.

"Eh mungkin nggak sih Raphael ngelakuin hal aneh," tanyaku serius.

"Orangnya aja udah aneh, Na. Emang ada apa?" Jawab Alvin yang sedari tadi diam.

Aku pun menjelaskan kejadian-kejadian yang dialami Rita sejak tiga hari yang lalu, dan soal aku
yang merasa ada sangkut paut Raphael dari benda-benda yang kutemukan, seperti gelang Raphael
yang kudapatkan di sekitar meja Rita, tutup pulpen H-tech yang sepertinya milik Raphael, dan
Raphael yang keluar pada jam istirahat pertama, padahal biasanya dia tidak pernah keluar kelas
pada jam istirahat.

"Ya buktinya kurang kuat sih Na, tapi itu semua mungkin aja, toh saling berkaitan," komentar Alvin.

"Gimana kalau kita besok interrogasi Raphael? Tapi lu jangan marah Han," usul Dion sambil
meledek Farhan.

"Sekali lagi lu ngledek gue, gue tendang muka lu mumpung sepatu gue abis nginjek tai tadi pas
pulang," balas Farhan.

"Boleh," ucapku menerima usul Dion.

"Okeh, kita susun dulu rencananya," ucap Alvin.

◇◇◇
Keesokan harinya, kami melaksanakan rencana yang sudah kami bangun kemarin. Aku menunggu
di toilet bersama Alvin, hingga Farhan dan Dion muncul membawa Raphael yang dipegang
tangannya oleh kedua bodyguard-ku itu. Kemudian, masuk ke dalam toilet.

"El, lu-kan yang ngirimin surat ke Rita dari kemarin," tanyaku.

"Nggak, kok lu nuduh gue? Emang lu punya bukti?" balasnya, berusaha menutupi.

"Punya! Kenapa? Lu mau ngaku nggak?" bentakku.

Raphael diam.

"Anak-anak," ucapku sambil menjetikkan jariku.

Kemudian, Farhan dan Dion memasukkan kepala Raphael ke dalam bak berisi air.

"Masih nggak mau ngaku? Apa mau kita buka baju lo terus kita foto lu dan disebarin ke media
sosial?" tanya Alvin sambil mengancam.

Raphael akhirnya terpaksa membuka mulutnya, "Iya, iya, gue yang ngirimin surat-surat itu."

"Kenapa sih, Phael? Emang ada masalah apa sama Rita?" tanya Farhan.
Raphael terlihat ragu sejenak sebelum akhirnya mengakui, "Gue suka sama Rita dari dulu, tapi gue
nggak punya keberanian buat ngungkapin. Terus, gue lihat dia akrab banget sama Sabina. Jadi, gue
kesel aja. Gue ngirimin surat-surat itu buat bikin dia ngerasa terganggu, terus mungkin jadi kesal
sama Sabina, jadi gue punya kesempatan."

"Phael, lu salah besar. Seharusnya lu ngomong sama Rita dari awal, bukan malah begini," kataku
dengan nada kecewa.

"Lo coba bayangin gimana perasaan gue. Tapi, emangnya kenapa lo bisa dapetin semua foto - foto
aib Rita?" Tanyaku.

" Gue ambil dari HP lu Na. Seminggu yang lalu kita semuakan nongkrong, nah terus kalian semua
pergi untuk beli jajan ke warung. Pas kalian nggak ada itu gue buka HP lu Na. Kebetulan gue tau
sandi HP lu. Gue nggak nyangka bakal ketauan gini. Gue minta maaf ya, " Jelas Raphael.

"Sebaiknya lo minta maaf langsung ke Rita. Dan yang pasti, jangan pake cara kayak gini lagi. Ini
malah bikin semuanya jadi ribet," tegasku.

Raphael mengangguk dan aku melihatnya pergi menuju Rita. Aku berharap semuanya bisa
diselesaikan dengan baik.

◇◇◇
Beberapa hari kemudian, suasana kelas kembali normal. Raphael dan Rita tidak lagi bertengkar,
malah mereka terlihat lebih dekat dan sering berbicara. Kehidupan sekolah kembali tenang tanpa
surat misterius.

"Apa yang kamu pikirkan tentang semuanya, Na?" tanya Alvin saat kami duduk di kursi kantin.

"Aku pikir, seringkali masalah bisa diselesaikan dengan berbicara. Dan terkadang, kita perlu
memberi orang kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya tanpa harus menggunakan cara
yang salah," jawabku.

Farhan menambahkan, "Betul juga, terkadang kita perlu lebih sensitif terhadap perasaan orang
lain."

"Seiring berjalannya waktu, semoga semuanya bisa belajar dari kejadian ini dan menjadi lebih baik,"
ucap Dion.

Setelah itu, kami melanjutkan hari-hari sekolah kami dengan lebih bijak. Saling pengertian dan
komunikasi yang baik menjadi kunci untuk menjaga keharmonisan di antara kami.

THE END

Anda mungkin juga menyukai