Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FIQIH MAWARIS

DASAR HUKUM DAN HIKMAH KEWARISAN DALAM ISLAM

Disusun oleh:

Kelompok 1

Mhd. Zaky Ardiansyah : 230102008


Zulhammuas’ari : 230102019
Ardhian Rifqy : 230102005

Dosen pengampu: Muhammad Husnul, S.Sy., M.H.I.

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

2024
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang dan Rumusan Masalah

Hukum islam mencakup seluruh aspek dalam kehidupan manusia, baik urusan
di dunia maupun urusan di akhirat. Hukum-hukum ini semua juga berlandaskan
pada al qur’an dan as-sunnah yang kita jadikan sebagai pedoman dalam kehidupan
kita, dari lahir hingga meninggal. Salah satu permasalahan yang kita tinggalkan
disaat kita meninggal pun ada hukum-hukum yang mengaturnya, yaitu mengenai
peralihan harta yang diwariskan kepada kerabat saudara terdekat atau biasa disebut
juga kewarisan. Keberadaan hukum-hukum waris sangatlah penting untuk
mengatur distribusi harta peninggalan tentang siapa yang berhak menerimanya dan
mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang setelah
meninggal serta akibatnya bagi para ahli waris.

Kewarisan islam menjadi salah satu topik yang begitu jarang dibahas. Bahkan,
orang biasanya menghindari pembicaraan tentang warisan, terutama jika orang
tuanya masih hidup dan sehat. Selain dianggap tabu, seluruh rumah tangga bisa
saja ragu untuk mengajukan pembagian warisan berdasarkan hukum kewarisan
Islam. Bahkan sekarang, ketika kita membicarakan tentang warisan mungkin
sebagian cerita yang kita dengar berkaitan dengan sengketa atau perebutan harta
warisan antar sesama keluarga.

Oleh karena itu, pembahasan mengenai harta warisan dan pembagiannya


sangat penting untuk diangkat dan di dipelajari, agar hal-hal yang berhubungan
seperti sengketa harta tidak akan terjadi lagi kedepannya. Namun sebelum
memasuki pembahasan yang lebih mendalam tentang kewarisan dalam islam, kita
perlu mengetahui terlebih dahulu apa saja yang dijadikan sebagai dasar-dasar
hukum dalam persoalan kewarisan nantinya. Agar kedepannya, kita dapat
terhindar dari ketimpangan-ketimpangan yang mungkin bisa terjadi disaat kita
tidak mengetahui dasar dasar hukumnya.

Dan kita juga harus bisa memahami apa saja hikmah dibalik adanya
pembahasan dan ilmu kewarisan dalam islam. Inilah yang harus dipelajari dan
dipahami agar memudahkan kita dalam mempelajari topik-topik pembahasan yang
berkaitan berikutnya.

BAB II

PEMBAHASAN DASAR HUKUM DAN HIKMAH KEWARISAN ISLAM

A. Dasar hukum kewarisan islam

Al qur’an dan as-sunnah telah menjadi pedoman umat islam dalam


menyelesaikan masalah-masalah yang ada di kehidupan sehari-hari, salah satunya
mengenai kewarisan dalam islam. Dalam hal ini, al-qur’an benar-benar sangat
memperhatikan persoalan kewarisan. Dimana sangat berkaitan dalam hal menjaga
hubungan tali persaudaraan. karena seperti yang kita tahu saat ini, banyak
terjadinya pertengkaran juga permusuhan antar saudara yang disebabkan
pembagian harta warisan.
Dan al-qur’an membahas persoalan ini dengan beberapa ayat yang berisi
pemahaman juga ketentuan-ketentuan dalam hal kewarisan sehingga hal-hal tadi
dapat terhindarkan. Seperti pada Q.S. An-Nisa’ ayat 7 berikut:

‫َص ۡيب ِم َّما ت ََر َك ۡال َوا ِل ٰد ِن‬ َ ِ‫َص ۡيب ِم َّما ت ََر َك ۡال َوا ِل ٰد ِن َو ۡاۡلَ ۡق َرب ُۡونَ َو ِللن‬
ِ ‫سا ٓ ِء ن‬ ِ ‫ِل ِلر َجا ِل ن‬
1
ً ‫َص ۡيبًا َّم ۡف ُر ۡو‬
‫ضا‬ ِ ‫َو ۡاۡلَ ۡق َرب ُۡونَ ِم َّما قَ َّل ِم ۡنهُ اَ ۡو َكث ُ َر ؕ ن‬
Artinya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan
kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang
telah ditetapkan.” Kandungan dari ayat tersebut, secara umum menetapkan adanya
bagian warisan yang dapat diterima oleh laki-laki maupun perempuan tanpa
terkecuali.

Adapun pada ayat-ayat al-qur’an lainnya, persoalan kewarisan islam yang


dibahas lebih khusus dan terperinci seperti, menjelaskan ketentuan-ketentuan
tentang bagian setiap ahli waris yang berhak memperoleh harta warisan, serta
syarat-syaratnya, memberikan penjelasan tentang keadaan dimana seseorang
berhak mendapat pembagian harta warisan atau keadaan dimana seseorang tidak
mendapatkannya dan lain sebagainya.

Sehingga ayat-ayat ini yang menjadi dasar hukum utama dalam hal kewarisan
dalam islam. Berikut tiga ayat al-qur’an yang membahas hukum kewarisan dalam
islam secara terperinci:

1
Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam, (Surabaya: Pustaka Radja, 2016), hlm. 20.
1. Surat An-Nisa’ ayat 11:

ۡ‫ۡاثنَتَۡي ِنۡفَلَ ُه َّن‬


ۡ َ‫سۡا ًءۡفَ ۡوق‬ ِۡ ۡ‫ۡاَلُنۡثَيَي‬
َ ِ‫نۡۡفَاِنۡۡ ُك َّنۡن‬ ِ ‫ّۡللاُۡفِىۡۡاَوۡ ََل ِد ُك ۡم ِللذَّ َك ِر‬
ۡ ‫ۡمثۡلُۡ َح ِظ‬ ٰۡ ‫صيۡ ُك ُم‬
ِ ۡ‫يُو‬
ۡ‫ُس‬
ُ ‫سد‬
ُّ ‫ٍۡمنۡ ُه َماۡال‬
ِ ‫احد‬ َ ‫فۡؕۡ َو َِلَۡ َب َويۡ ِهۡ ِل ُك ِل‬
ِ ‫ۡو‬ ِ ‫احدَةًۡفَلَ َه‬
ُۡ ۡ‫اۡالنص‬ َۡ ‫ثُلُثَاۡ َماۡت ََر‬
ِ ‫كۡۡ َواِنۡۡ َكانَتۡۡ َو‬
ُۡ ُ‫نۡلَّهۡۡ َولَد ٌَّۡو َو ِرثَهۡۡاَبَوۡهُۡفَ ِِلُ ِم ِهۡالثُّل‬
ۡ ‫ثۡؕۡفَا‬
ۡ َ‫ِنۡ َكان‬ ۡ ‫ِنۡلَّمۡۡيَ ُك‬
ۡ ‫ِنۡ َكانَ ۡلَ ۡهۡ َولَدٌۡۡفَا‬
ۡ ‫ِم َّماۡت ََر َكۡا‬
ۡ‫نۡؕۡاۡبَاۡ ُؤ ُك ۡمۡ َواَبۡنَاۡ ُؤ ُكمۡۡۡ ََل‬
ٍۡ ۡ‫ىۡ ِب َهاۡۡاَوۡۡدَي‬
ۡ‫ص‬ِ ۡ‫صيَّةٍۡيُّو‬
ِ ‫ِۡو‬
َ ‫ۡمنۡۡبَعۡد‬
ِ ‫ُس‬ ُّ ‫لَهۡۡاِخۡ َوةٌۡفَ ِِلُ ِم ِهۡال‬
ُ ‫سد‬
2
َ ۡ َ‫ّۡللاَۡۡ َكان‬
‫ع ِليۡ ًماۡ َح ِكيۡ ًمۡا‬ ۡؕ ‫ّۡللا‬
ٰ ‫ۡۡؕۡا َِّن‬ ِ ً‫ضة‬
ِ ٰ َ‫ۡمن‬ َ ۡ‫بۡلَـ ُكمۡۡنَفۡعًاۡؕۡۡفَ ِري‬ َ ‫ۡروۡنَ ۡاَيُّ ُهمۡۡاَق‬
ُ ‫ۡر‬ ُ ‫تَد‬
Pada ayat di atas, menjelaskan bagian-bagian waris secara terperinci, seperti
waris bagian anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Bagian seorang anak
laki-laki sama dengan dua kali bagian seorang anak perempuan. Anak perempuan
jika sendirian mendapat bagian separuh harta, sedangkan jika lebih dari seorang,
maka bagian anak perempuan dua pertiga.

Pada ayat di atas juga memaparkan bagian bapak dan ibu dalam beberapa
kondisi, yaitu kondisi ada ahli waris anak atau tidak ada, yang berimplikasi pada
ketentuan bagian yang diperoleh oleh masing-masing bapak atau ibu.

2. Surat An-Nisa’ ayat 12:

۞ ‫ف َما ت ََر َك اَ ۡز َوا ُج ُك ۡم ا ِۡن لَّ ۡم َي ُك ۡن لَّ ُه َّن َولَد فَا ِۡن َكانَ لَ ُه َّن َولَد فَلَـ ُك ُم‬ ُ ۡ‫َولَـ ُك ۡم ِنص‬
‫الربُ ُع ِم َّما ت ََر ۡكت ُ ۡم‬
ُّ ‫ص ۡينَ بِ َها اَ ۡو دَ ۡين َولَ ُه َّن‬ِ ‫صيَّة ي ُّۡو‬ ِ ‫الربُ ُع ِم َّما ت ََر ۡكنَ ِم ۡن بَعۡ ِد َو‬
ُّ
ِ ‫ا ِۡن لَّ ۡم يَ ُك ۡن لَّ ُك ۡم َولَد فَا ِۡن َكانَ لَـ ُك ۡم َولَد فَلَ ُه َّن الث ُّ ُم ُن ِم َّما ت ََر ۡكت ُ ۡم ِم ۡن بَعۡ ِد َو‬
‫صيَّة‬
‫ث َك ٰللَةً اَ ِو امۡ َراَة َّولَه اَخ اَ ۡو ا ُ ۡخت فَ ِل ُك ِل‬ ُ ‫ص ۡونَ ِب َها اَ ۡو دَ ۡين َوا ِۡن َكان ََر ُجل ي ُّۡو َر‬ ُ ‫ت ُ ۡو‬

2
Muhammad Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur,an dan Sunnah, (Jakarta: Dar Al-
Kutub Al-Islamiyah, 2005), hlm. 14.
‫ث ِم ۡن بَعۡ ِد‬ ُ ‫ُس فَا ِۡن َكانُ ۡوا اَ ۡكثَ َر ِم ۡن ٰذ ِل َك فَ ُه ۡم‬
ِ ُ‫ش َر َكا ٓ ُء فِى الثُّل‬ ُّ ‫احد ِم ۡن ُه َما ال‬
ُ ‫سد‬ ِ ‫َو‬
3 ۡ
‫ع ِل ۡيم َح ِليم‬
َ ُ‫ّللا‬
ٰ ‫ّللا َو‬ِ ٰ َ‫صيَّةً ِمن‬ ِ ‫ضآر َو‬ َ ‫صيَّة ي ُّۡوصٰ ى ِب َها اَ ۡو دَ ۡين غ َۡي َر ُم‬ ِ ‫َو‬
Pada ayat di atas menjelaskan yaitu hak bagian suami ketika istrinya
meninggal dunia terlebih dahulu dengan memperhatikan kondisi yang berbeda
antara sang istri meninggalkan anak dengan tidak meninggalkan anak. Begitu pula
sebaliknya, menjelaskan hak bagian istri ketika ditinggal mati suaminya yang juga
memperhatikan kondisi dan keberadaan anak-anak yang ditinggalkan.

Lebih lanjut ayat ini juga menegaskan ketentuan kalalah. Yaitu seseorang
(baik laki-laki maupun perempuan) yang meninggal dalam kondisi tidak
mempunyai bapak dan tidak ada anak, namun mempunyai saudara laki-laki atau
perempuan seibu. Maka masing-masing untuk saudara bagian seperenam. Dan jika
saudara laki-laki atau perempuan lebih dari seorang, maka mereka Bersama-sama
memperoleh bagian sepertiga harta tanpa membedakan jenis kelamin.

3. Surat an-nisa’ ayat 176:

‫س لَه َولَد َّولَه ا ُ ۡخت‬ َ ‫ّللاُ ي ُۡفتِ ۡي ُك ۡم فِى ۡالـ َك ٰللَ ِة ا ِِن امۡ ُرؤا َهلَ َك لَ ۡـي‬
ٰ ‫يَ ۡست َۡفت ُ ۡون ََك قُ ِل‬
‫ف َما ت ََر َك َو ُه َو َي ِرث ُ َها ا ِۡن لَّ ۡم َي ُك ۡن لَّ َها َولَد فَا ِۡن َكانَـتَا ۡاثنَت َۡي ِن فَلَ ُه َما‬ُ ۡ‫فَلَ َها نِص‬
‫سا ٓ ًء فَ ِللذَّ َك ِر ِم ۡث ُل َح ِظ ۡاۡلُ ۡنثَيَ ۡي ِن يُبَيِ ُن‬
َ ِ‫الثُّلُ ٰث ِن ِم َّما ت ََر َك َوا ِۡن َكانُ ۡوا ا ِۡخ َوة ً ِر َج ًاۡل َّون‬
4 ۡ
َ ‫ّللاُ ِب ُك ِل ش َۡىء‬
‫ع ِليم‬ ٰ ‫َضلُّ ۡوا َو‬
ِ ‫ّللاُ لَـ ُك ۡم اَ ۡن ت‬ٰ
Ayat di atas kembali menjelaskan mengenai kalalah dan bagian saudara
perempuan sekandung jika sendirian, begitu juga bagian saudara baik laki-laki
maupun perempuan dengan pembagian 2:1 untuk seorang perempuan.

3
Ibid., hlm. 15.
4
Ibid., hlm. 16
Ayat-ayat yang telah disebutkan tadi akan terus digunakan sebagai sumber
hukum dalam persoalan kewarisan dalam islam. Walaupun hanya terdiri beberapa
ayat saja, namun semuanya telah mencakup pokok-pokok Ilmu Faraidh dan dasar-
dasar hukum kewarisan.

Selanjutnya, ada penyebab mengapa ayat-ayat alqur’an ini bisa turun dan hal
tersebut terdapat beberapa riwayat yang menjelaskannya, yaitu:

Dalam Ash-Shahihain (hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim) disebutkan,


bahwa istri Sa'ad bin Ar-Rabi menghadap Rasulullah saw dengan membawa dua
putri hasil perkawinannya dengan Sa'ad. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua
anak ini adalah putri Sa'ad yang mati syahid di Perang Uhud dalam pasukanmu.
Pamannya telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad dan tidak menyisakan
sedikit pun bagi mereka berdua. Padahal kedua anak ini tidak dapat dinikahkan
kecuali dengan harta."

Rasulullah saw menjawab, "Tunggulah sampai Allah SWT memberikan


keputusan dalam masalah ini." Tidak lama kemudian, turunlah ayat mawaris yang
berbunyi:

ِۡ ۡ‫ۡاَلُنۡثَيَي‬
‫ن‬ ِ ‫ّۡللاُۡفِىۡۡاَوۡ ََل ِد ُك ۡم ِللذَّ َك ِر‬
ۡ ‫ۡمثۡلُۡ َح ِظ‬ ٰۡ ‫صيۡ ُك ُم‬
ِ ۡ‫يُو‬
"Allah telah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan
untuk anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan."(Q.S. [04] An-Nisa': 11).

Lalu Nabi Muhammad saw mengutus seseorang kepada paman kedua putri
Sa'ad memerintahkannya agar memberikan harta warisan Sa'ad kepada kedua
putrinya sebanyak dua pertiga, dan kepada istrinya seperdelapan, sedangkan
sisanya boleh diambilnya.5

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ayat mawaris ini turun berkenaan
dengan Abdurrahman bin Tsabit, saudara Hassan bin Tsabit (penyair).
Abdurrahman wafat dan meninggalkan ahli waris seorang istri yang bernama
Ummu Kahhah dan lima orang saudara perempuan. Akan tetapi, para ahli waris
laki-laki dari kerabatnya mengambil seluruh harta warisan Abdurrahman. Maka
Ummu Kahhah melaporkan hal itu kepada Nabi Muhammad saw kemudian
turunlah ayat mawaris (HR. Ibnu Jarir).6

Meskipun ada beberapa riwayat yang berbeda, namun semuanya


menunjukkan bahwa sebab turunnya ayat mawaris dikarenakan pada masa itu
perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan bagian harta warisan sedikitpun.
Setelah dasar hukum kewarisan terdapat dalam ayat-ayat al-qur’an, di dalam as-
sunnah juga terdapat dasar hukum dan penjelasan-penjelasan kewarisan dalam
islam. berikut haditsnya:

َ ‫ع ْن أَبِي ِه‬
‫ع ْن اب ِْن‬ َ ‫اوس‬ ُ ‫ط‬َ ‫سى ب ُْن ِإ ْس َما ِعي َل َحدَّثَنَا ُو َهيْب َحدَّثَنَا اب ُْن‬
َ ‫َحدَّثَنَا ُمو‬
َ ِ‫سلَّ َم َقا َل أَ ْل ِحقُوا ْال َف َرائ‬
‫ض‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ع ْن ُه َما‬
َ ِ ‫ع ْن النَّ ِبي‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ض‬ِ ‫عبَّاس َر‬ َ
َ ‫ِبأ َ ْه ِل َها فَ َما َب ِق‬
‫ي فَ ُه َو ِِل َ ْولَى َر ُجل ذَ َكر‬
7

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il telah menceritakan
kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Ibnu Thawus dari ayahnya
dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW. bersabda: "Berikanlah faraid (bagian-bagian

5
Ibid., hlm. 27.
6
Ibid., hlm. 28.
7
Maimun Nawawi, op.cit., hlm. 26.
yang telah ditentukan) kepada yang berhak, dan selebihnya berikanlah kepada
laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menjelaskan mengenai kewarisan anak, baik laki-laki maupun


perempuan, sebagai bentuk penjelas dari al-Qur’an yang belum secara rinci
memberikan bagian kepada anak laki-laki. Juga diketahui bahwa anak laki-laki
berposisi sebagai penerima sisa harta waris (ashabah). Mengenai perolehan anak
Perempuan, berpindah dari bagian yang telah ditentukan (al-Furud al-
Muqaddarah) menjadi memperoleh bagian sisa (ashabah) jika bersama dengan
anak laki-laki, dengan bagian antara anak laki-laki dan anak perempuan 2:1 setelah
sebelumnya diberikan bagian-bagian tertentu kepada ahli waris lain yang
menyertainya, misalnya bapak atau ibu dan sebagainya.

Berikutnya ada hadits lebih khusus dalam menentukan pembagian waris:

َ‫عثْ َمان‬
ُ ‫ع ْن‬
َ ،‫ع ِن اب ِْن ِش َهاب‬ َ ،‫ قال َحدَّثَنَا َما ِلك‬،‫ َحدَّثَنَا َم ْعن‬،‫ي‬ ُّ ‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫َحدَّثَنَا اِل َ ْن‬
‫ت ْال َجدَّة ُ ِإلَى أَبِي بَ ْكر‬
ِ ‫ قَا َل َجا َء‬،‫صةَ ب ِْن ذُ َؤيْب‬ َ ،َ‫شة‬
َ ‫ع ْن قَبِي‬ َ ‫ب ِْن ِإ ْس َحاقَ ب ِْن خ ََر‬
‫سو ِل‬ ُ ‫ش ْيء َو َما لَ ِك فِي‬
ُ ‫سنَّ ِة َر‬ َ ‫ّللا‬ِ َّ ‫ب‬ َ ‫تَ ْسأَلُهُ ِم‬
ِ ‫ قَا َل فَقَا َل لَ َها َما لَ ِك فِي ِكتَا‬. ‫يراثَ َها‬
َ َّ‫سأ َ َل الن‬
‫اس فَقَا َل‬ َ َّ‫ار ِج ِعي َحتَّى أَ ْسأ َ َل الن‬
َ َ‫ ف‬. ‫اس‬ ْ َ‫ش ْيء ف‬ َ ‫ّللا صلى هللا عليه وسلم‬ ِ َّ
. ‫ُس‬
َ ‫سد‬ َ ‫ّللا صلى هللا عليه وسلم فَأ َ ْع‬
ُّ ‫طاهَا ال‬ ِ َّ ‫سو َل‬ َ ‫ش ْعبَةَ َح‬
ُ ‫ض ْرتُ َر‬ َ ‫ْال ُم ِغ‬
ُ ‫يرة ُ ب ُْن‬
‫ي فَقَا َل ِمثْ َل َما‬
ُّ ‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫ام ُم َح َّمدُ ب ُْن َم ْسلَ َمةَ اِل َ ْن‬ َ ‫فَقَا َل أَبُو بَ ْكر ه َْل َم َع َك‬
َ َ‫غي ُْر َك فَق‬
8
‫ش ْع َبةَ فَأ َ ْنفَذَهُ لَ َها أَبُو َب ْكر‬ َ ‫قَا َل ْال ُم ِغ‬
ُ ‫يرة ُ ب ُْن‬

8
Ibid., hlm. 33.
Artinya: Telah menceritakan kepada kami al-Anshari; telah menceritakan kepada
kami Ma’an; telah menceritakan kepada kami Malik bin Shihab dari ‘Usman bin
Ishaq bin Kharasyah dari Qabishah bin Dzu’ib ia berkata: Seorang nenek
mendatangi Abu Bakar untuk bertanya mengenai bagiannya dalam harta warisan
dari cucunya, Abu Bakar menjawab: “bagianmu tidak disebutkan di dalam al-
Qur’an sedikitpun, dan tidak pula di dalam sunnah Rasulullah SAW, pulanglah
dulu, nanti saya akan bertanya kepada orang lain terlebih dahulu tentang hal ini”.
Mughirah bin Syu’bah berkata: “saya pernah menghadiri Nabi memberikan hak
nenek seperenam”. Abu Bakar berkata: “Apakah ada orang lain selain kamu yang
menyaksikannya”. Muhammad Bin Maslamah berdiri dan berkata seperti yang
dikatakan Mughirah. Maka Abu Bakar akhirnya memberikan hak warisan untuk
nenek itu”. (HR. At-Tirmizi)

Setelah al-Qur’an dan as-sunnah menjadi dasar Sumber hukum dalam


kewarisan islam, terdapat pula pendapat sahabat (Qaul al-Shahabi)9 yang dijadikan
juga sebagai rujukan untuk memperjelas hukum-hukum kewarisan yang
sebelumnya tidak dibahas di dalam al qur’an dan as-sunnah. Mengapa kita
menggunakan pendapat para sahabat? Karena para sahabat adalah orang-orang
yang paling paham mengenai hukum Islam, termasuk di dalamnya hukum
pembagian harta waris sehingga menjadi alternatif untuk penyelesaian kasus
pembagian harta waris yang berkembang didalam masyarakat.

Salah satu contoh yaitu pendapat Umar ibn al-Khattab yang menetapkan suatu
kasus kewarisan dalam hal bertemunya saudara laki-laki atau saudara perempuan
seibu dengan saudara laki-laki dan perempuan sekandung dalam satu kasus
warisan.10 Bagian saudara laki-laki dan bagian saudara perempuan sekandung
memperoleh bagian sisa (ashabah). Oleh karena bagian sisa, maka kemungkinan

9
Ibid., hlm. 36.
10
Ibid., hlm. 37.
harta akan terbagi habis oleh bagian saudara atau saudari seibu, sehingga saudara/i
sekandung tidak memperoleh bagian sama sekali. Kasus seperti ini dikenal dengan
musharakah atau mushtarikah.

Maka dalam kasus seperti ini, Umar ibn al-Khattab menetapkan pembagian di
antara saudara seibu dan saudara sekandung baik laki-laki maupun perempuan
dengan jalan berbagi sama di antara mereka dalam bagian sepertiga tanpa
membedakan jenis kelamin.11 Alasannya, di antara saudara/i seibu dan saudara/i
sekandung, sama-sama berasal dari ibu yang sama, sehingga dalam hal ini tidak
boleh saling menutupi satu sama lain. Kasus penyelesaian seperti ini dikenal dalam
istilah fiqh dengan ‘umariyatain.

Penjelasan di atas menunjukkan betapa pentingnya peran pendapat sahabat


terhadap hukum waris Islam, sehingga kasus-kasus kewarisan dalam islam yang
berkembang dan belum ada hukumnya didalam al-qur’an dan as-sunnah bisa
terselesaikan secara adil dan bijaksana.

B. HIKMAH KEWARISAN ISLAM

Hukum kewarisan Islam hadir di kehidupan sosial kemasyarakatan yang


bertujuan untuk mengatur dan memelihara harta yang dimiliki seorang atau
kelompok tertentu. Dengan adanya pembahasan kewarisan dalam islam, menjadi
hikmah bagi kita dalam menyelesaikan permasalahan kewarisan. Secara lebih
jelas, hikmah adanya hukum kewarisan Islam dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Menetapkan hak dan kewajiban keluarga si mayit.

11
Ibid.
2. Menjaga harta warisan hingga sampai kepada ahli waris yang berhak
menerima.
3. Adanya keberlanjutan harta dalam setiap generasi.
4. Menghindari persoalan sengketa warisan, persoalan kewarisan sering memicu
adanya sengketa harta yang berujung mengakibatkan terjadinya pertengkaran
dan permusuhan yang berkepanjangan dalam suatu keluarga.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dasar hukum kewarisan dalam islam merupakan poin penting bagi kita dalam
mempelajari dan memahami ilmu kewarisan islam. Dasar hukum juga menjadi
dasar bagi kita dalam menjalani aturan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Pada hal kewarisan islam, dasar hukumnya adalah berdasarkan Al-Qur'an dan
as-sunnah. Ini telah menjadi ketetapan dari Allah SWT dan rasulnya yang diatur
dengan rapi dan adil tanpa mengabaikan hak seorang pun. Walaupun demikian,
perkembangan masyarakat menjadi menjadi sebuah permasalahan baru yang
menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak dibahas di dalam al-qur’an dan as-
sunnah.

Dan dari sini diperlukannya dasar hukum lain yang dapat dijadikan sebagai
rujukan yaitu pendapat para sahabat atau disebut qaul shahabi. Akhirnya segala hal
mengenai kewarisan dapat terselesaikan dengan adil dan bijaksana sama seperti
halnya yang bersumber dari al-qur’an dan as-sunnah.
Mengenai hikmah adanya kewarisan islam, begitu banyak dapat dirasakan
oleh seluruh umat, seperti keadilan yang merata dan terpenuhinya hak-hak bagi
ahli waris, juga dengan adanya kewarisan dalam islam menjadi kunci untuk
terjaganya hubungan tali persaudaraan antar kerabat dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Sabouni, M. A. (2005). Hukum kewarisan: menurut Al-Quran dan Sunnah.


Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah.
Nawawi, Maimun. (2016). Pengantar Hukum Kewarisan Islam. Surabaya: Pustaka
Radja.

Anda mungkin juga menyukai