Anda di halaman 1dari 30

ADVOKASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN

KAYU JATI DI DAERAH TANAH VERPONDING DI DESA TAMBAK


REJO KEC WONOTIRTO KAB BLITAR

PROPOSAL TESIS

Minat Studi : Hukum Pidana

Oleh :

RACHMAN HANDOKO

NIM : 2274101016

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS WISNUWARDHANA MALANG

TAHUN 2024

i
ADVOKASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN
KAYU JATI DI DAERAH TANAH VERPONDING DI DESA TAMBAK
REJO KEC WONOTIRTO KAB BLITAR

TESIS

Minat Studi : Hukum Pidana

Oleh :

RACHMAN HANDOKO

NIM : 2274101016

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS WISNUWARDHANA MALANG

TAHUN 2024

ii
ADVOKASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN KAYU
JATI DI DAERAH TANAH VERPONDING DI DESA TAMBAK REJO KEC
WONOTIRTO KAB BLITAR

(Studi Cara Pandang Terhadap Ilmu Hukum)

PROPOSAL TESIS

Diajukan untuk memenuhi syarat menyelesaikan Pendidikan

Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana

Universitas Wisnuwardhana Malang

Oleh :

Rahman Handoko

NIM 2274101016

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS WISNUWARDHANA MALANG

TAHUN 2024

iii
HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN TESIS

ADVOKASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN


KAYU JATI DI DAERAH TANAH VERPONDING DI DESA TAMBAK
REJO KEC WONOTIRTO KAB BLITAR
(Studi Cara Pandang Terhadap Ilmu Hukum)

Proposal Tesis

Disusun oleh :

RAHMAN HANDOKO
NIM 2274101016

Disetujui untuk diuji oleh Dosen Pembimbing


Pada Tanggal: _______________

Prof. Dr. H. Suko Wiyono, S.H., M.H.


Pembimbing I _____________________

Dr. Agus Pramono . S.H., M.H


Pembimbing II _____________________

Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Program Pasca Sarjana
Universitas WIsnuwardhana Malang

Dr. Marsudi Dedi Putra, S.H., M.H.


NIDN 0728107602

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas petunjuk dan
ridho-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan lancar. Tesis
dengan judul “ Advokasi terhadap Pelaku Tindsk Pidana Pencurian Kayu Jati di
Tanah Verponding Kec Wonotirto Kab Blitar ‘ ini merupakan salah satu syarat
yang harus ditempuh guna menyelesaikan Pendidikan Program Pasca Sarjana
Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan dan
kurangnya pengetahuan yang penulis miliki. Untuk itulah saran dan kritik dari
para pembaca sangat penulis harapkan. Penyelesaian Tesis ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak baik itu berupa bimbingan, pengarahan, nasehat maupun
dorongan moral. Karena itu tidaklah berlebihan jika penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya

1.Prof. Dr. H. Suko Wiyono, S.H., M.H.

yang telah berkenan memberikan petunjuk dalam tahap review proposal guna
lebih sempurnanya tesis ini.

2.Dr. Agus Pramono . S.H., M.H.

yang telah membantu dalam memperlancar perkuliahan selama studi

3. Kedua Orang Tua, dan ibunda tercinta, terima kasih atas doa dan dukungannya,
baik moril maupun materiil. Beliau adalah malaikat yang dikirim oleh ALLAH
SWT serta anugrah terindah bagiku. Terima kasih atas kasih sayang yang selama
ini telah dicurahkan untukku. Semoga anakmu ini bisa menjadi anak yang kelak
akan membanggakan dan membahagiakanmu.

4 Orang-orang tersayangku, terima kasih atas bantuan dan kesabaran yang telah
diberikan untukku serta dukungan yang tiada henti, dan telah menemani dan
memberikan semangat kepadaku dan memotifasi untuk tetap bertahan dan tetap
bersemangat untuk menggapai cita-cita

5 Teman-teman seperjuangan angkatan 2024 semuanya.

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................v
DAFTAR ISI....................................................................................................................vi
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A.Latar Belakang...........................................................................................................1
B. PERUMUSAN MASALAH......................................................................................6
C. TUJUAN PENELITIAN...........................................................................................7
D. MANFAAT HASIL PENELITIAN...........................................................................7
E. ORISINALITAS PENELITIAN................................................................................7
F. SISTEMATIKA PENULISAN.................................................................................10
BAB II.............................................................................................................................11
KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL...............................................................11
A. KERANGKA TEORI..............................................................................................11
B. TEORI TUJUAN HUKUM………………………………………………....15

C. KERANGKA KONSEPTUAL………………………………………………………………………………………16
BAB III...........................................................................................................................20
METODE PENELITIAN..............................................................................................20
A.JENIS PENELITIAN...............................................................................................20
B.PENDEKATAN PENELITIAN................................................................................20
C .JENIS DATA/BAHAN HUKUM............................................................................20
D. SUMBER DATA/BAHAN HUKUM......................................................................21
E. METODE PENGUMPULAN DATA/BAHAN HUKUM........................................22
F.TEKNIK ANALISI DATA........................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................24

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu faktor krusial di dalam mata rantai permasalahan
lingkungan hidup sosial. Terlepas dari bagaimana implementasi pengelolaan hutan
di lapangan, sebenarnya pemerintah Indonesia telah menyatakan concern terhadap
masalah degradasi lingkungan global diantaranya dengan komitmen untuk
mengelola hutan secara lestari (sustainable forest management). Di samping
berbasis pada prinsip-prinsip kelestarian, pemanfaatan sumber daya hutan dituntut
juga untuk memperhatikan juga prinsip multiguna mencakup konservasi tanah dan
air, sumber kayu dan non kayu untuk masyarakat lokal, konservasi flora dan
fauna, serta fungsi support untuk program pembangunan lainnya seperti
transmigrasi, pertanian, dan sarana umum lainnya. Hal tersebut sejalan dengan apa
yang tersebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa dalam hal pengelolaan
hutan pun negara berhak memanfaatkannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Hal itu diperjelas di dalam pasal 4 (ayat) 1 Undang-undang No. 47 yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat, namun demikian pengelolaan hutan dan pemanfaatan
hasil hutan harus dilakukan secara proporsional, agar tidak merusak kondisi dan
fungsi hutan secara keseluruhan, mengingat, hutan sebagai salah satu penentu 2
sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, jika kita tidak ingin
kondisinya akan semakin menurun akibat illegal logging, perambahan dan
terbakarnya hutan secara meluas. Selain UU Kehutanan No.41 tahun 1999, yang
berhubungan dengan pencegahan dan pemberantasan hutan juga dipertegas
dengan Undang-Undang No.18 Tahun 2013 mencakup keseluruhan tentang
pemberantasan perusakan hutan, pemanfaatan hutan dan hasil hutan serta
pengelolaan kawasan hutan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap. Salah satu hal terpenting yang seharusnya diperhatikan oleh
negara untuk penyelenggaraan kehutanan yang berkeadilan dan berkelanjutan

1
adalah pengaturan hak atas hutan (property rights). Pengaturan hak atas hutan
merupakan masalah fundamental yang harus dibenahi agar masyarakat lokal dapat
mengelola sumber daya hutan yang baik, berkelanjutan, dan mensejahterakan
masyarakat. Selain hak atas hutan, masalah yang perlu mendapat perhatian adalah
alokasi lahan hutan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 47, yakni hutan
konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Pengelompokan hutan berdasarkan
fungsinya hanyalah merupakan sebagian dari aplikasi “alokasi lahan hutan”
karena sejatinya tidak hanya mencerminkan fungsi dan luasan hutan, tetapi lebih
hutan. dari itu juga merefleksikan tanggung jawab dan otoritas lahan Barber
sebagaimana dikutip oleh Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan` bahwa
pengaturan yang baik atas pola kepemilikan hutan, akses, dan pengawasan hutan
dapat menjadi faktor pendorong (insentive) yang cukup efektif untuk pengelolaan
hutan yang lestari, namun sebaliknya jika terjadi 3 kesalahan dalam pengaturan
pola kepemilikan hutan, akses, dan pengawasan hutan dapat menghancurkan
sistem hutan.

1Selain berperan sentral dalam menyangga fungsi ekologis dan sosial, hutan juga
memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Pada
pertengahan tahun 1980-an, Indonesia memulai babak baru sebagai produsen kayu
lapis di dunia yang layak diperhitungkan. Sejak tahun 1988, market share produk
kayu lapis Indonesia telah menguasai hampir 50% kayu lapis dunia dan
menempatkan Indonesia sebagai pemimpin pasar yang sangat tangguh. Sebagian
besar produksi kayu lapis diperuntukkan untuk tujuan ekspor, hanya 10-15% yang
diperuntukkan bagi pasar domestik. Sementara kayu gergajian kurang lebih 60%
masih ditunjukkan untuk pasar dalam negeri. Sampai dengan awal tahun 1990-an
sektor kehutanan memberikan pendapatan nasional kedua terbesar setelah minyak
dan gas (migas), dan urutan ketiga di bawah ini migas dan tekstil sejak
pertengahan tahun 1990-an. 2Namun kondisi hutan di Indonesia sekarang makin
kritis. Hal ini disebabkan karena terdapat kesalahan dalam mengelola hutan.
Kegiatan mengeksplorasi hutan selama lebih dari tiga dekade, baik yang
dilakukan oleh pihak pemerintah maupun pihak swasta yang diberikan hak izin
untuk mengelola hutan (melalui Hak Pengelolaan Hutan), menyebabkan
kerusakan hutan yang parah. Selain itu, maraknya berbagai aksi kejahatan

2
terhadap hutan yang memperparah kondisi hutan. Kerusakan hutan di tanah air
cukup memprihatinkan. Berdasarkan catatan Kementerian Kehutanan Republik
Indonesia, sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap
tahunnya. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan dari sekitar 130 juta hektar
hutan yang tersisa di Indonesia, 42 juta hektar diantaranya sudah habis ditebang.
Kerusakan atau ancaman yang paling besar terhadap hutan alam di Indonesia
adalah penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan
dan eksploitasi hutan secara tidak lestari baik untuk pengembangan pemukiman,
industri, maupun akibat perambahan. Kerusakan hutan yang semakin parah
menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem hutan dan lingkungan
disekitarnya. Contoh nyata yang frekuensinya semakin sering terjadi adalah
konflik ruang antara satwa liar dan manusia. Rusaknya hutan habitat satwa liar
menyebabkan mereka bersaing dengan manusia untuk mendapatkan ruang
mencari makan dan hidup, yang sering kali berakhir dengan kerugian bagi kedua
pihak. Rusaknya hutan telah menjadi ancaman bagi seluruh makhluk hidup.
Masalah illegal logging merupakan masalah utama di Departemen Kehutanan,
karena masalah ini dapat memberikan dampak yang luar biasa bagi peradaban dan
generasi yang akan datang. Hal tersebut akan mengakibatkan seluruh biodiversity
dan kekayaan alam (termasuk kayu) dapat punah, sehingga generasi mendatang
hanya mengetahui dari buku-buku saja dan tidak menyaksikan langsung kekayaan
mega biodiversity hutan tropis Indonesia. Illegal logging merupakan sebuah
bentuk kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana diatur di dalam Pasal 50 dan
Pasal 78 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta
kejahatan dan atau pelanggaran lainnya1

yang berkaitan dengan tata usaha kayu sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku dan diatur juga di dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 17
Undangundang Nomor 18 Tahun 2013 .Apalagi berdasarkan Instruksi Presiden
Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Illegal di
Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia maka
diinstruksikan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk

1
Dodik Ridho Nurrochmat, 2005, Strategi Pengelolaan Hutan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal.1
Ibid ,hal 1

3
menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para pelaku kegiatan
penebangan kayu secara illegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya,
melindungi dan mendampingi aparat kehutanan yang melaksanakan kegiatan
pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan hutan dan
peredarannyadi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan menempatkan
petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di lokasi rawan penebangan kayu
secara illegal (Illegal Logging). Bila tren deforestasi tidak segera dihentikan,
dunia patut waspada dan siap untuk kehilangan 80% wilayah hijaunya. Lebih dari
170 juta hektar hutan akan menghilang secara pesat hingga 2030 mendatang.
Indonesia masuk dalam daftar 11 wilayah yang terkonsentrasi deforestation fronts.
Seperti yang sudah diketahui, eksploitasi yang tak kunjung henti sebabkan
Sumatera harus kehilangan separuh hutannya yang sudah beralih fungsi untuk
kepentingan industri. Begitu juga dengan Borneo dan Papua yang hanya akan
menyisakan seperempat wilayah hijaunya 15 tahun mendatang. Minimnya edukasi
tentang penyelamatan hutan di Indonesia menjadi salah satu hal yang
mempercepat degradasi hutan. Tidak hanya itu, ketidaktegasan pemerintah dalam
menegakkan hukum dan moratorium atau pemberian izin pengolahan hutan juga
menjadi sebuah tanda tanya besar. Lalu, bagaimana dengan nasib beragam hayati
dan ekosistem yang menggantungkan kehidupannya di dalam sana? Rodney
Taylor selaku Direktur Program Hutan WWF Internasional memaparkan hasil
diskusi tentang solusi yang bisa dijalankan untuk menekan laju deforestasi,
“Mempertimbangkan dari segala` sektor baik kebutuhan, bisnis, masyarakat, dan
alam, Indonesia bisa fokus untuk mengembangkan infrastruktur forest friendly
atau ramah lingkungan. Sumber daya manusia perlu ditingkatkan untuk
menciptakan sumber ekonomi hijau yang inovatif. Cerdas dan bijak dalam
memanfaatkan lingkungan, kemudian mengembalikan fungsi hutan yang
semestinya.” jelasnya. Pada umumnya persoalan illegal logging dan berbagai
kejahatan kehutanan yang terkait langsung dengan aktivitas kriminal yang unik
hanya kepada sektor kehutanan. Korupsi, misalnya, adalah sebuah kegiatan
kriminal yang sangat menyebar luas dimana oknum pegawai pemerintah
menerima secara rutin uang suap sebagai imbalan untuk pemberian hak konsensi

4
dan izin pemanfaatan hasil hutan.2 Perusahaan kayu sering terlibat di dalam
penggelapan pajak (tax evasion) dengan melaporkan penebangan kayu yang lebih
rendah dari yang seharusnya. Beberapa produser pulp dan kertas di Indonesia
telah melakukan tindakan pidana kejahatan perbankan dengan melakukan mark-
up biaya investasi mereka. Penyelundupan juga sangat menonjol di sektor
kehutanan yang terlihat 7 dari besarnya volume kayu dan hasil hutan lainnya yang
dikirimkan keluar Indonesia tanpa dilengkapi surat-surat yang sah. Sebagaimana
disampaikan oleh Iskandar, bahwa penebangan liar (illegal logging) ini telah
menimbulkan masalah multidimensi yang berhubungan dengan aspek ekonomi,
sosial, budaya dan lingkungan. Hal ini merupakan konsekwensi logis dari fungsi
hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya
mengandung tiga fungsi dasar, yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi
lingkungan (ekologi) serta fungsi sosial.3 Peredaran hasil hutan illegal dan
penebangan liar di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks karena
melibatkan banyak aktor dengan berbagai kepentingan dan jaringan, baik di
Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya serta jaringan pasar di dalam
negeri maupun di luar negeri. Khusus di luar negeri peredaran hasil hutan illegal
telah melibatkan jaringan organisasi internasional yang rapi. Penyelundupan kayu
illegal ke luar negeri melalui negara-negara perbatasan, seperti Malaysia dan
Papua Nugini. Studi Departemen Kehutanan dalam kurun waktu tiga tahun
terakhir ini jumlah kayu bulat yang diselundupkan ke luar negeri mencapai sekitar
9 juta m3 . Berbagai upaya penanggulangan pencurian kayu dan pengamanan
hutan, baik berupa operasi pengamanan fungsional
di kawasan hutan lindung maupun kawasan hutan konservasi,Pola pengelolaan
Hutan Tropika, alternatif Pengelolaan Hutan yang Selaras Dengan Desentralisasi
dan Otonomi Daerah, PT. Bayu Indra Kemampuan Departemen Kehutanan dalam
penanggulangan penebangan liar dan peredaran hasil hutan illegal dirasakan
kurang memadai.3 Organisasi penanggulangan pencurian kayu sekarang ini tidak
berjalan efektif dalam melakukan koordinasi lintas sektoral, padahal pembentukan
2
Dodik Ridho Nurrochmat, 2005, Strategi Pengelolaan Hutan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal.1 2 Ibid ,hal 1

3
3Iskandar,2000

5
lembaga penanggulangan pencurian kayu adalah memastikan bahwa seluruh
jajaran Departemen Kehutanan dan instansi departemen lain seperti Departemen
Perhubungan, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pemerintah Propinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kotamadya, Bea dan Cukai, Imigrasi, Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk ikut terlibat di
dalamnya. Tidak efektifnya lembaga penanggulangan pencurian kayu ini, karena
Departemen Kehutanan cenderung bekerja sendirian, temporal dan tanpa
dukungan departemen lain. Kelembagaan penanganggulangan pencurian kayu
terutama di provinsi, Kabupaten dan UPT (Unit Pelaksana Teknis) juga masih
lemah. Di samping itu, masalah penanggulangan penebangan liar dan peredaran
hasil hutan illegal yang semestinya di lakukan secara cepat, tepat dan transparan,
harus terganjal oleh proses birokrasi hukum yang panjang dan berbelit, sehingga
kadang para pelaku dan barang bukti pencurian kayu sudah tidak dapat terjangkau
lagi.4 Dari berbagai uraian diatas maka peneliti berkeinginan untuk meneliti lebih
dalam tentang hal tersebut dan penulis sajikan dalam bentuk uraian ilmiah (tesis)
dengan judul : “ ADVOKASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PENCURIAN KAYU JATI DIDAERAH TANAH VERPONDING DI DESA
TAMBAK REJO KEC WONOTIRTO KAB BLITAR”.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka selanjutnya dapat dirumuskan


permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana proses penyidikan tindak pidana pencurian kayu jati di Desa


Tambak Rejo Kec Wonotirto Kab Blitar ?

2. Apa sajakah kendala yang ditemui dan upaya mengatasinya dalam proses
penyidikan tindak pidana pencurian kayu jati di Desa Tambak Rejo Kec Wonotirto
Kab Blitar ?

4
Grafika, Yogyakarta, hal. 165

6
C. TUJUAN PENELITIAN

Setiap penelitian memerlukan suatu penelitian yang dapat memberikan arah pada
penelitian yang dilakukan. Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan
diatas, maka disusun tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses penyidikan tindak pidana pencurian


kayu jati di Desa Tambak Rejo Kec Wonotirto Kab Blitar.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis apa saja kendala yang ditemui dan upaya
mengatasinya dalam proses penyidikan tindak pidana pencurian kayu jati di Desa
Tambak Rejo Kec Wonotirto Kab Blitar.

D. MANFAAT HASIL PENELITIAN

Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:

1.Secara Teoritis

Penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis serta


bermanfaat bagi pengembangan ilmu 6 pengetahuan khususnya ilmu hukum, serta
menambah referensi ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana yang berkaitan
tentang penyidikan terhadap tindak pidana pencurian kayu jati

2. Secara Praktis

a. Menjadikan sarana bagi penulis untuk selalu mengembangkan pola pikir dan
meningkatkan penalaran tentang apa yang diteliti.

b. Menjadi sumbangsih pemikiran agar ke depannya masyarakat lebih teredukasi


mengenai bagaimana penyidikan kasus tindak pidana pencurian kayu jati di
Kepolisian Blitar .

E. ORISINALITAS PENELITIAN

No Nama Peneliti, Persamaan Perbedaan Hasil


Tahun, dan judul

7
1. LANDY untuk Faktor apakah memperhatikan
CHRISTIANTO, mengetahui yang kebijakan
2007, proses faktor-faktor menyebabkan legislasi
penyidikan yang terjadinya tindak hukum pidana
tindak pidana menyebabkan pidana pencurian kehutanan
pencurian kayu warga kayu hutan sebagai sarana
jati di perum masyarakat Negara untuk
perhutani kph melakukan melakukan
kendal tindak pidana pengelolaan
pencurian, hutan di
pertimbangan indonesia
polisi hutan secara lestari.
dalam
menerapkan
sanksi pidana
terhadap
warga
masyarakat
sebagai
pelaku tindak
pidana
pencurian,
dan kendala-
kendala yang
dihadapi
hakim dalam
menerapkan
sanksi pidana
terhadap
warga
masyarakat
sebagai

8
pelaku tindak
pidana
pencurian
Kayu Jati.
2. Jurnal yang Perlindungan Persamaan nya Perbedaan nya
ditulis oleh Konsumen yaitu tentang adalah yaitu
Hirman dan Pengguna perlindungan pemberian
Yuni Purwati/ Jasa konsumen atau sanksi kepada
Dosen Fakultas Angkutan penumpang atas pemilik jasa
Hukum Umum jasa pelayanan layanan
Universitas Bus angkutan bus. angkutan
Merdeka Berdasarkan Penelitian ini umum
Madiun/ Tahun Undang- menggunakan bus ketika bus
2012 Undang penelitian hukum yang di
Nomor 8 normatif dengan keluarkan atau
Tahun menggabungkan dilolskan uji
1999 tentang antara hukum kelaikan jalan
perlindungan dan buku yang oleh dinas
konsumen menjadi bahan perhubungan
dan hukum penelitian yang
Undang- normatif. seharusnya
Undang tidak laik jalan
Nomor 22 yang masih
Tahun beroperasi
2009 Tentang sidoarjo sesuai
Lalu Lintas dengan
Dan ketetapan
Angkutan undang-undang
Jalan lalu lintas dan
angkutan jalan
dan pandangan
hukum islam

9
mengenai
masalah
tersebu

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Hasil dari keseluruhan penelitian agar mudah dipahami maka penulisan tesis ini
dalam Bab II diuraikan mengenai Tinjauan Pustaka yang menguraikan tentang
Pemahaman tentang Kebijakan Hukum Pidana, Politik Hukum Pidana di Bidang
Kehutanan, Pengertian Hukum Kehutanan, Sejarah Perkembangan Perundang-
undangan di Bidang Kehutanan, Tujuan Perlindungan Hutan,Selanjutnya dengan
berdasarkan uraian Tinjauan Pustaka pada Bab II digunakan untuk membahas
permasalahan pada Bab III. Dalam Bab III dibahas tentang kebijakan perumusan
istilah pencurian kayu jati dan penerapan sanksi pidana yang berlaku sekarang ini
dan bagaimanakah kebijakan mengenai perumusan istilah pencurian kayu jati dan
sanksi pidananya yang akan dating.

10
BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL

A. KERANGKA TEORI

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana merupakan cara


yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula yang menyebutnya
sebagai “older philosophy of crime control”12. Dilihat sebagai suatu masalah
kebijakan, maka ada yang mempermasalahkan apakah perlu kejahatan
ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan, dengan menggunakan sanksi pidana.
Untuk dapat menjalankan hukum pidana (substantif) perlu hukum yang dapat
menjalankan ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum pidana (substantif) yaitu
hukum formil atau hukum acara pidana. Hukum pidana sendiri dalam arti luas
meliputi juga hukum subtantif/materiil dan hukum formil. Upaya atau kebijakan
untuk melakukan Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan (PPK) termasuk
bidang “kebijakan criminal” (“criminal policy”). Kebijakan kriminal inipun tidak
terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial” (“social policy”)
yang terdiri dari “kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan social” (“social
walfare policy”) dan kebijakan/upaya-upaya untuk melindungi masyarakat”
(“social-defence policy”). Dengan demikian sekiranya kebijakan penanggulangan
kejahatan (politik kriminal ) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum
pidana), maka kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya pada tahap
kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum inconcreto) harus memperhatikan
dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social
welfare” dan “social defence”.5 Kebijakan sosial dengan tujuan hendak mencapai
kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan perlindungan masyarakat (social
defence) adalah sejalan dengan konsep yang dianut oleh Marc Ancel (penganut
aliran defense sosial yang lebih moderat). Menurut Marc Ancel14 sebagaimana
dikutip oleh Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa : “Tiap
masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat
5
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984 hal 149 . 25

11
peraturanperaturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan
bersama tetapi juga sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada
umumnya. Oleh karena itu peranan yang besar dari hukum pidana merupakan
kebutuhan yang tak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Perlindungan
individu maupun masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai
hukum pidana yang mendasari kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu
sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap si pelanggar dalam
hubungannya dengan hukum secara murni maupun pidana merupakan lembaga-
lembaga (institusi) yang harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam
menggunakan hukum pidana Marc Ancel menolak penggunaan fiksifiksi yuridis
dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari pernyataan sosial Dilihat dari aspek
kebijakan hukum pidana sasaran hukum pidana tidak hanya mengatur perbuatan
warga masyarakat pada umumnya, tetapi juga mengatur perbuatan
(kewenangan/kekuasaan) penguasa/aparat penegak hukum15. Upaya pencegahan
dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum tetapi
juga menjadi tugas pembuat hukum (legislatif). Menurut Barda Nawawi Arief
bahwa tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan, dan penanggulangan
kejahatan adalah tahap formulasi, oleh karena itu kesalahan/kelemahan kebijakan
legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya
pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi16.
Melihat demikian penting dan strategisnya kebijakan formulasi maka dalam
menetapkan/merumuskan suatu perbuatan pidana beserta sanksi yang dikenakan
pada tahap kebijakan formulasi tersebut harus dilakukan secara cermat dan tepat.
Hal ini sesuai dengan konggres PBB IX tentang “pencegahan kejahatan dan
pembinaan pelanggar” Di Kairo tanggal 29 April s/d 08 Mei 1995 yang
menyatakan (… The Correctional system ispart of crime police and interelatif
with all the sectors of crime prefention and justice Menurut Soedarto, kebijakan
kriminal mempunyai tiga arti17 1. Dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan
metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggar hukum yang berupa
pidana.6 Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum

6
Barda Nawawi Arief, op.cit

12
termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; 3. Dalam arti paling
luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan
dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral
dari masyarakat. Dalam kesempatan lain beliau mengemukakan, definisi singkat
politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam
menanggulangi kejahatan. Definisi ini diambil dari definisi Marc Ancel yang
merumuskan sebagai “The Rational Organization of the Control of Crime by
Society” Kebijakan penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan
bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (Social Defence) dan upaya
mencapai kesejahteraan masyarakat (Social Welfare) 7 Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama politik kriminal ialah
perlindungan masyarakat. Menetapkan sistem pemidanaan dalam perundang-
undangan sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan
merupakan salah satu bagian dari kebijakan kriminal atau politik kriminal.
Melaksanakan politik kriminal antara lain berarti membuat perencanaan untuk
masa yang akan datang dalam menghadapi atau menanggulangi masalahmasalah
yang berhubungan dengan kejahatan. Termasuk dalam perencanaan ini adalah,
disamping merumuskan perbuatan-perbuatan apa saja yang seharusnya dijadikan
tindak pidana, juga menetapkan sistem pemidanaan yang bagaimana yang
seharusnya bisa diterapkan kepada terpidana dengan tetap memperhatikan hak-
hak terpidana. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana
menuntut adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah sentral yang sangat
fundamental dan strategis. Termasuk dalam klasifikasi masalah yang, Kebijakan
Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Balai
Penerbitan Undip, Semarang, 1996, hal. 3, 28 antara lain masalah kebijakan dalam
menetapkan/merumuskan suatu perbuatan merupakan perbuatan pidana dan sanksi
yang dapat dikenakan.8 sajakah yang dapat dikualifikasikan perbuatan seseorang
sebagai perbuatan pidana atau tidak, para ahli hukum memiliki pandangan yang
berbeda-beda. Berikut akan diuraikan pendapat beberapa ahli hukum tersebut.
7
16 Ibid, hal 35 17 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 113-114 27
Alumni, Bandung, 1986, hal. 113-114
8
Ibid, hal 35 17 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 113-114 27
Alumni, Bandung, 1986, hal. 113-114, i,

13
Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut . Larangan ditujukan
kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan
orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan
kejadian itu.9 Simons mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya oleh
undangundang telah dinyatakan sebagai perbuatan atau tindakan dapat
dihukum.20 Van Hammel menguraikan perbuatan pidana sebagai perbuatan
manusia yang dirumuskan oleh undang-undang, melawan hukum (patut atau
bernilai) untuk dipidana dan dapat dicela karena kesalahan. Mengingat pentingnya
pemidanaan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu
perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat maka perlu diperhatikan
juga teori-teori penjatuhan pidana dalam ilmu pengetahuan yakni : 1. Teori
absolute atau teori pembalasan Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata
karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana, oleh karenanya
pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada
orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenar pidana terletak pada
adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. 2. Teori relative atau teori tujuan
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolute dari
keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai
sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat, tujuan yang bermanfaat, oleh
karena itu teori ini sering juga disebut teori tujuan. Sedangkan mengenai sanksi
pidana, dalam pasal 10 KUHP, diatur mengenai jenis-jenis pidana yang terbagi
menjadi dua jenis :

a. Pidana Pokok yaitu :

1. pidana mati;

9
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal 54 20 Leden
Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum, (DelikSedarto, Hukum dan Hukum Pidana I ,
Alumni, Bandung, 1986, hal. 41 29

14
2. pidana penjara; 30

3. pidana kurungan;

4. pidana denda

5. pidana tutupan (berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 1946)

b. Pidana tambahan, yaitu:

1. Pencabutan hak-hak tertentu;

2. Perampasan barang-barang tertentu;

3. Pengumuman putusan hakim; Selain jenis sanksi yang berupa pidana, dalam
hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan, misalnya :

a. Penempatan dirumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat mempertanggung
jawabkan perbuatannya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau
terganggu karena penyakit.

b. Terhadap anak nakal yang dipidana dengan Undang-undang No. 3 tahun 1997
pidana dapat dijatuhkan kepada anak nakal berupa : Pidana pokok yaitu :

a. Pidana penjara; b. Kurungan; c. Pidana denda; atau d. Pidana pengawasan


Selain pidana pokok terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan
berupa perampasan barang-barang tertentu dan 31 atau pembayaran ganti rugi
tertentu, selain itu dapat pula dijatuhi tindakan berupa,10

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan


latihan kerja; atau

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial


Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja. Dalam Konsep KUHP terakhir jenis sanksi yang digunakan terdiri dari jenis
sanksi pidana dan tindakan, sanksi pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana

10
Jakarta, SinarGrafika, 1991, hal. 4 21

15
tambahan. Dalam pidana pokok terdapat beberapa perluasan antara lain adanya
pidana kerja sosial dan pidana pengawasan, sedangkan pidana tambahan juga
mengalami perluasan dengan munculnya pidana pemenuhan kewajiban adat dan
pembayaran ganti kerugian. Dalam upaya untuk menanggulangi tindak pidana
illegal logging dengan sarana hukum pidana kiranya perlu juga diperhatikan
tujuan pemidanaan dan pemberian sanksi pidana adalah upaya untuk
menanggulangi kejahatan dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat dan
keadilan bagi pelaku tindak pidana sehingga perlu mendapat perhatian karena
masih banyaknya kelemahan antara lain tidak adanya instrument hukum yang
khusus mengatur mengenai kejahatan dibidang kehutanan (illegal logging),
subyek tindak pidana serta jenis sanksi/pidana yang dapat dijatuhkan. 32 Dari
uraian diatas maka diharapkan kerangka teori ini bisa dijadikan sebagai landasan
awal atau kerangka berpikir yang memberikan arah untuk membahas
permasalahan tentang bagaimanakah kebijakan formulasi selama ini yang
mengatur mengenai suatu perbuatan dikategorikan dalam suatu tindak pidana
illegal logging dan sanksi pidana yang dijatuhkan dengan tetap memperhatikan
tujuan pemidanaan adalah untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan
masyarakat.

B. TEORI TUJUAN HUKUM

Dalam mewujudkan tujuan hukum Gustav Radbruch menyatakan perlu

digunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum. Hal ini

disebabkan karena dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan

kemanfaatan dan kepastian hukum dan begitupun sebaliknya. Diantara tiga nilai

dasar tujuan hukum tersebut, pada saat terjadi benturan, maka mesti ada yang

dikorbankan. Untuk itu, asas prioritas yang digunakan oleh Gustav Radbruch
harus

dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut :

1. Keadilan Hukum;
2. Kemanfaatan Hukum

16
3. Kepastian Hukum.11

Dengan urutan prioritas sebagaimana dikemukakan tersebut diatas, maka


sistem hukum dapat terhindar dari konflik internal. Secara historis, pada awalnya
menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas
diantara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan
teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek
yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan
membuat hokum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa
itu, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan
tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain.12

Bagi Radbruch ketiga aspek ini sifatnya relatif, bisa berubah-ubah. Satu
waktu bisa menonjolkan keadilan dan mendesak kegunaan dan kepastian hukum
ke wilayah tepi. Diwaktu lain bisa ditonjolkan kepastian atau kemanfaatan.
Hubungan yang sifatnya relatif dan berubahubah ini tidak memuaskan.
Meuwissen memilih kebebasan sebagai landasan dan cita hukum. Kebebasan yang
dimaksud bukan kesewenangan, karena kebebasan tidak berkaitan dengan apa
yang kita inginkan. Tetapi berkenaan dengan hal menginginkan apa yang kita
ingini. Dengan kebebasan kita dapat menghubungkan kepastian, keadilan,
persamaan dan sebagainya ketimbang mengikuti Radbruch.13

C .KERANGKA KONSEPTUAL

Kerangka Koseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus


yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan, dengan istilah yang akan di
teliti dan/atau di uraikan dalam sebuah penelitian. 14 Untuk memberikan arah atau
pedoman yang jelas dalam penelitian ini, maka penulis memberikan definisi–

11
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, 2012, hal.123
12
Ahmad Zaenal Fanani, Berpikir Falsafati Dalam Putusan Hakim, Artikel ini
pernah dimuat di Varia Peradilan No. 304 Maret 2011, hal 3.
13
Sidharta Arief, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 20.
14
12Soerjono Soekanto dan Sri Pamuji

17
definisi terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yakni
sebagai berikut :

a.Hutan

Hutan merupakan sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup
luas, sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi
menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh
tumbuh-tumbuhan/pepoonan baru asalakn tumbuh pada tempat yang cukup luas
dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal).

b.Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan yang di larang oleh suatu aturan hukum, larangan
mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar aturan tersebut.19

c.Lingkungan Hidup

Lingkungan hudip adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan 16 Sianturi, Asas-Asas
Hukum Pidana Di Indinesia Dan Penerapana, perilakunya yang mempengarihui
kelansungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lainnya20

d.Pertanggungjawaban

Pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu (liability) merupakan istilah


hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung
jawab, yang pasti, yang bertanggung atau yang mungkin meliputi semua karakter
hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman,
kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan
Undang-Undang. Jadi istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban
hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang di lakukan subyek hukum.21

e.Sanksi

18
Sanksi adalah hukuman yang di jatuhkan pada seseorang yang melanggar hukum.
Merupakan bentuk perwujudan yang paling jelas dari kekuasaan negara dalam
pelaksanaan kewajibannya untuk memaksakan ditaatinya hukum.

f.Penegakan hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukanya upaya untuk tegaknya atau


berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman hubungan
hukum yang berhubungan dengan masyarakat dan bernegara.15

g.Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayat merupakan gudang plasma nutfah (sumber genetik) dari


berbagai jenis tumbuhan (flora) dan binatang (fauna). Jika hutan rusak, dapat di
pastikan akan terjadi erosi plasma nutfah yang akan berakibat punahnya berbagai
kehidupan yang tadinya ada di hutan serta menurunnya keanekaragaman hayati.
Perlu diperhatikan bahwa keanekaragaman hayati merupakan sumber daya alam
yang sangat bermanfaat.

h.Kekayaan Sumber Daya Alam

Kekayaan Sumber Daya Alam Hutan merupakan sember daya alam yang dapat
dimanfaatkan untuk kesejahtaeraan manusia karea dapat memberikan sumbangan
hasil alam yang cukup besar bagi negara. Selain itu, hutan dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat di sekitar hutan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya
baik berupa kayu, binatang liar, pangan, rumput, lateks, resin, maupu obat-
obatan.16

15
Cetakan I, Babinkum TNI, Jakarta, 2012, h.164-189. 17 Ali Zainuddin, Metode Penelitian Hukum,
Cetakan III, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 96. 18 Salim., Op.Cit, h. 40. 19 Teguh Prasetya, Hukum
Pidana, Cetakan III, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, h. 8. UPN "VETERAN" JAKARTA 13

16
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h. 1. 21 Ridwan
H.R, Hukum Administrasi Negara, Cetakan II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 335-337. UPN
"VETERAN" JAKARTA 14

19
BAB III

METODE PENELITIAN

A.JENIS PENELITIAN

Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian Metode kualitatif ini dapat
digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang
sedikitpun belum diketahui. Format deskriptif kualitatif bertujuan untuk
menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi atau berbagai fenomena
realitassosial yang ada di masyarakat.

B.PENDEKATAN PENELITIAN

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis,
yaitu tidak hanya dari sudut peraturan-peraturan atau hukum positif saja, namun
juga memperhatikan aspek-aspek sosiologis yang terjadi dalam implementasi
penegakan hukum di masyarakat.

C .JENIS DATA/BAHAN HUKUM

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objeknya melalui
wawancara dengan responden yang dimaksud wawancara dalam hal ini adalah
mengadakan wawancara secara langsung dengan objek yang diteliti sehingga
memperoleh data yang diperlukan. Pada data primer biasanya mengacu pada data
real-time atau data yang terus berkembang setiap waktu. Sedangkan data sekunder
biasanya merupakan data yang berhubungan dengan masa lalu atau lebih bersifat
tetap.17 Dalam proses pengumpulannya, data primer didapatkan dengan
melibatkan partisipasi aktif dari peneliti. Biasanya, data primer dikumpulkan
melalui kegiatan survei, observasi, eksperimen, kuesioner, wawancara pribadi dan
media lain yang digunakan untuk memperoleh data lapangan.
17
11Ronny Hanijito Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1998, hlm.34., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press,
Jakarta, 1998, hlm.35.

20
b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau
penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan
masalah atau materi penelitian.18 Penelitian kepustakaan dimaksud untuk
membandingkan antara teori dan kenyataan di lapangan. proses pengumpulan data
sekunder lebih cenderung mudah dan cepat dilakukan. Peneliti bisa mendapatkan
berbagai data sekunder dengan memanfaatkan sumber publikasi pemerintah, situs,
buku, artikel jurnal, catatan internal organisasi dan lain sebagainya.Data sekunder
dalam penelitian ini mencakup:

1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

c) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

d) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

e) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan


Pemberantasan

Perusakan Hutan

f) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

D. SUMBER DATA/BAHAN HUKUM

1) Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder adalah hasil karya ilmiah dari kalangan hukum, artikel,
jurnal dan internet serta bahan lain yang berkaitan dengan pokok bahasan.19
18
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum
19
Mukti Fajar, Rajawali Press, Jakarta, 2013, hlm.39 9 12Soerjono Soekanto dan Sri Pamuji
Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum-Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

21
2) Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

E. METODE PENGUMPULAN DATA/BAHAN HUKUM

Data yang digunakan dalam penelitian ini akan dikumpulkan melalui 2 metode
yaitu studi pustaka dan studi lapangan:

a.Studi Kepustakaan Untuk mengumpulkan data teoritik, yaitu dengan cara


pengumpulan data dan literature yang berhubungan dengan permasalahan yang
akan dibahas dengan cara membaca dan menganalisa terutama yang berkaitan
dengan judul yang diajukan.15 Dalam penelitian kepustakaan ini data diperoleh
dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Perpustakaan
Pusat Universitas Islam Sultan Agung, dan bukubuku referensi yang di dapat.

b.Studi Lapangan Metode ini digunakan untuk memperoleh data primer yang
dilakukan dengan cara peneliti terjun langsung ke lapangan guna memperoleh
data yang diperlukan. Adapun cara pengumpulan 15 Bambang Sunggono, Metode
Penelitian Hukumdatanya adalah melalui wawancara. Berupa tanya jawab antara
penulis dengan sumber informasi yang berlangsung secara lisan. 5. Analisis Data
Penelitian Penulis menggunakan teknik analisis data secara deskriptif kualitatif,
untuk mencari data yang sesuai fakta di lapangan agar jelas yaitu mengenai
penyidikan tindak pidana pencurian kayu jati di Wonotirto kab Blitar.

F.TEKNIK ANALISI DATA

Analisis data pada penulisan hukum dilakukan melalui pendekatan kualitatif, yaitu
uraian data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak
tumpang tindih sehingga memudahkan implementasi data dan pemahaman hasil
analisis. Dalam hal ini setelah bahan dan data diperoleh, maka selanjutnya
diperiksa, kembali bahan dan data yang telah diterima terutama mengenai

2015, hlm.156

22
konsistensi jawaban dari keragaman bahan dan data yang diterima. Dari bahan
dan data tersbut selanjutnya dilakukan analisis terhadap penerapan
perundangundangan yang berkaitan dengan peranan dinas kehutanan dalam
menanggulangi tindak pidana pencurian kayu Jati.20

DAFTAR PUSTAKA
Buku

Walgito Bimo,1990, Psikologi Sosial, Yogyakarta, Andi

Hamidi, 2004, Metode Penelitian Kualitatif- Aplikasi Praktis Pembuatan

Proposal dan Laporan Penelitian, Malang: UMM Press

20
Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hal.112. 11 hal 73 14 Muladi dan Barda Nawawi AriefOp.cit hal. 29
26

23
Lamintang,1990, Delict-delict Khusus, Bandung, Tasito

Moeljatno, 1984, KUHP, Cetakan 19, Bumi Aksara

Moeljatno, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta

Mr. J.M.Van Bemmelen, 1986 , Hukum Pidana 3 Bagian Khusus Delik Khusus

Cetakan I , Bandung, Bina Cipta

Sardjito Bambang, 1998, Pedoman Pengamanan Hutan Dengan Sistem Patroli

Tunggal Mandiri (PTM), Jakarta, Perum Perhutani

Suarga Riza, 2005, Pemberantasan Ilegal Logging Optimisme Ditengah Praktek

Premanisme Global, Banten : Wana Aksara

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang : Yayasan Sudarto

Suharto, 1993, Hukum Pidana Materiil Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar

Perwakilan Dakwaan, Jakarta : Sinar Grafika

Soekanto Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Unifersitas

Indonesia

Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

24

Anda mungkin juga menyukai