Anda di halaman 1dari 24

PENATALAKSAAN SYSTEM

PERKEMIHAN
A. Sistem Perkemihan
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem di mana terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan oleh
tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak
dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih).
Sistem perkemihan atau biasa juga disebut Urinary System adalah suatu sistem kerjasama
tubuh yang memiliki tujuan utama mempertahankan keseimbangan internal atau
Homeostatis. Fungsi lainnya adalah untuk membuang produk-produk yang tidak
dibutuhkan oleh tubuh dan banyak fungsi lainnya. Susunan sistem perkemihan terdiri
dari: a) dua ginjal (ren) yang menghasilkan urin, b) dua ureter yang membawa urin dari
ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih), c) satu vesika urinaria (VU), tempat urin
dikumpulkan, dan d) satu urethra, urin dikeluarkan dari vesika urinaria
(Romli&Indrawati, 2012)
Sistem perkemihan merupakan organ vital yang berperan penting dalam
melakukan ekskresi dan melakukan eliminasi sisa -sisa hasil metabolisme tubuh, dan
dalam keseimbangan cairan dan elektrolit. Sistem ini secara kontinu membuang dan
mereabsorbsi air dan substansi terlarut dalam darah, serta mengeliminasi setiap substansi
yang tidak dibutuhkan dalam tubuh (Wylie,2011).
1. Fungsi sistem perkemihan
Sistem perkemihan mempunyai fungsi, yaitu sebagai berikut:
a. Meregulasi volume darah dan tekanan darah dengan mengeluarkan sejumlah
cairan ke dalam urin dan melepaskan eritropoietin, serta melepas rennin.
b. Melakukan kontribusi stabilisasi pH darah dengan me ngontrol jumlah keluarnya
ion hidrogen dan ion bikarbonat ke dalam urin.
c. Menghemat pengeluaran nutrisi dengan memelihara ekskresi pengeluaran nutrisi
tersebut pada saat proses eliminasi produk sisa, terutama pada saat pembuangan
nitrogen seperti urea dan asam urat.
d. Membantu organ hati dalam mendetoksikasi racun selama kelaparan, deaminasi
asam amino yang dapat merusak jaringan (Muttaqin & Sari, 2014).

2. Organ sistem perkemihan


Sistem perkemihan terdiri atas ginjal, kandung kemih, dan uretra. Sistem perkemihan
mempunyai dua ginjal untuk menjaga fungsi ekskresi. Organ ini memproduksi urin
yang berisikan air, ion- ion, dan senyawa-senyawa solute yang kecil. Urin
meninggalkan kedua ginjal dan melewati sepasang ureter menuju dan ditampung
sementara pada kandung kemih, selanjutnya terjadi proses ekskresi urin yang
dinamakan miksi, terjadi ketika adanya kontraksi dari otot-otot kandung kemih
menekan urin untuk keluar melewati uretra dan keluar dari tubuh (Muttaqin & Sari,
2014)
a. Ginjal
Lokasi ginjal berada dibagian belakang dari kavum abdominalis, area
retroperitoneal bagian atas pada kedua sisi vertebra lumbalis III, dan melekat
langsung pada dinding abdomen. Bentuknya seperti biji buah kacang merah,
jumlahnya ada 2 buah yang terletak pada bagian kanan dan kiri, ginjal kiri lebih
besar dari pada ginjal kanan. Pada orang dewasa ginjal ± 200 gram. Pada
umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal perempuan
Ginjal lelaki relatif lebih besar ukurannya daripada perempuan. Ukuran
rerata ginjal orang dewasa adalah 11,5 cm (Panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm
(tebal), dengan beratnya bervariasi antara 120-170 gram,atau kurang lebih 0,4 %
dari berat badan. Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrus tipis dan mengkilat yang
disebut kapsula fibrosa (true capsule) ginjal, yang melekat pada parenkim ginjal
Ginjal dapat mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit, dengan
menyesuaikan jumlah air dan berbagai konstituen plasma yang dipertahankan di
tubuh atau dikeluarkan di urin dalam kisaran yang sangat sempit yang
memungkinkan kehidupan, meskipun pemasukan dan pengeluaran konstituen-
konstituen ini melalui saluran lain sangat bervariasi. Organ ginjal melakukan
tugasnya mempertahankan homeostasis sehingga komposisi urin dapat bervariasi.

Struktur Ginjal
Secara anatomis ginjal terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu bagian kulit
(korteks), sumsum ginjal (medula), dan bagian rongga ginjal (pelvis renalis)

1) Kulit ginjal
(korteks)
Kulit
ginjal
terdapat
bagian
yang
bertugas

Gambar 1. Struktur Ginjal


melaksanakan penyaringan darah yang disebut nefron. Pada tempat
penyaringan darah ini banyak mengandung kapiler darah yang tersusun
bergumpal-gumpal disebut glomerolus. Pipa glomerolus dikelilingi oleh
simpai bownman, dan gabungan antara glomerolus dengan simpai
bownman disebut badan malphigi. Penyaringan darah terjadi pada badan
malphigi, yaitu di antara glomerolus dan simpai bownman. Zat-zat yang
terlarut dalam darah akan masuk kedalam simpai bownman. Dari sini
maka zat-zat tersebut akan menuju ke pembuluh yang merupakan lanjutan
dari simpai bownman yang terdapat di dalam sumsum ginjal
2) Sumsum ginjal (medula)
Bagian ini merupakan jaringan halus yang terdapat di dalam ginjal.
Struktur medula terdiri atas piramida ginjal yang meliputi nefron dan
tubulus, serta saluran medula. Tubulus berfungsi untuk mengangkut cairan
tubuh dan darah menuju ginjal.
Setelah cairan zat limbah dan racun di dalam darah disaring, maka
ginjal akan mengeluarkan zat-zat tersebut melalui urine. Urine ini
kemudian akan dialirkan menuju saluran ureter di bagian pelvis ginjal
3) Rongga ginjal (pelvis renalis)
Pelvis renalis adalah ujung ureter yang berpangkal di ginjal,
berbentuk corong lebar. Sebelum berbatasan dengan jaringan ginjal, pelvis
renalis bercabang dua atau tiga disebut kaliks mayor, yang masing-masing
bercabang membentuk
beberapa kaliks minor yang langsung menutupi papila renis dari piramid.
Kliks minor ini menampung urine yang terus keluar dari papila. Dari
kaliks minor, urine masuk ke kaliks mayor, ke pelvis renis ke ureter,
hingga di tampung dalam kandung kemih (vesika urinaria)

b. Ureter
Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi
mengalirkan urin dari pielum ginjal ke dalam kandung kemih. Setiap ureter pada
orang dewasa memiliki panjang kurang lebih 20 cm, memiliki dinding yang
terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional, otot-otot polos sirkuler
dan longitudinal yang dapat melakukan gerakan peristaltic (berkontraksi) untuk
mengeluarkan urin ke kandung kemih (Muttaqin & Sari, 2014).
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik tiap 5
menit sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam kandung kemih
(vesika urinaria). Gerakan peristaltik mendorong urin melalui ureter yang
diekskresikan oleh ginjal dan disemprotkan dalam bentuk pancaran, melalui
osteum uretalis masuk ke dalam kandung kemih. Ureter berjalan hampir vertikal
ke bawah sepanjang fasia muskulus psoas dan dilapisi oleh pedtodinium (Nuari,
dkk. 2017).
c. Vesika Urinaria (kandung kemih)
Kandung kemih adalah organ berongga yang terdiri atas tiga lapis otot
destrusor yang saling beranyaman. Dinding kandung kemih terdapat dua bagian
besar yakni ruangan yang berdinding otot polos yang terdiri dari badan (korpus)
yang merupakan bagian utama dimana urin berkumpul dan leher (kolum) yang
merupakan lanjutan dari badan yang berbentuk corong. Kandung kemih berfungsi
menampung urin dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam
mekanisme miksi (berkemih). Kandung kemih mempunyai kapasitas maksimal
dalam menampung urin.
Kandung kemih dapat mengembang dan megempis seperti balon karet,
terletak di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Bentuk kandung
kemih seperti kerucut yang dikelilingi oleh oto yang kuat, berhubungan
ligamentum vesika umbikalis medius. Dinding kandung kemih terdiri dari
beberapa lapisan yaitu, peritonium (lapisan paling luar), tunika muskularis, tunika
subukosa, dan lapisan mukosa (lapisan bagian dalam). Bagian vesika urinaria
terdiri dari:
1) Fundus, yaitu bagian yang menghadap kearah belakang dan bawah, bagian ini
terpisah dari rektum oleh spatium rectosivikalis yang terisi oelh jaringan ikat
duktud deferent, vesika seminalis, dan prostate
2) Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus
3) Verteks, bagian yang maju ke arah muka dan berhubungan dengan
ligamentum vesika umbilikalis (Nuari, dkk. 2017)
d. Uretra
Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih
yang berfungsi menyalurkan air kemih keluar. Pada laki-laki uretra berjalan
berkelokkelok melalui tengah-tengah prostat kemudian menembus lapisan fibrosa
yang menembus tulang pubis kebagian penis panjanangnya ±20 cm. Uretra pada
laki-laki terdiri dari: uretra prostatica, uretra membranisa dan uretra kavernosa.
Lapisan uretra laki-laki terdiri dari lapisan mukosa (lapisan paling dalam), dan
lapisan submukosa.
Ureta pada perempuan terletak dibelakang simfisis pubis berjalan mirirng
sedikit kerarah atas, panjangnya ±3-4 cm. Lapisan uretra pada peremuan terdiri
dari tunika muskularis (sebelah luar). Lapisan spongeosa merupakan pleksus dari
vena-vena, dan lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam). Muara uretra pada
perempuan terletak di sebelha atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan uretra
di sini hanya sebagai saluran ekskresi.

B. Keluhan Utama pada Pasien Gangguan Perkemihan


Keluhan utama merupakan keluhan yang menjadi alasan pasien untuk datang mendapatkan
penanganan kesehatan. Gangguan pada saluran kemih dapat menimbulkan gejala yang
kompleks di seluruh bagian tubuh. Namun gejala yang paling umum yang sering menjadi
keluhan pada pasien yang mengami gangguan sistem perkemihan yaitu rasa nyeri, perubahan
pada proses berkemih, gejala ganstrointestinal, serta kondisi anemia (Hinkle and Cheever,
2018), yang dijelaskan sebagai berikut:
1 Nyeri. Keluhan nyeri sering menjadi keluhan utama yang dialami pasien dengan masalah
perkemihan. Nyeri bisa terasa seperti terbakar atau perih. Nyeri biasa terjadi oleh karena
kontraksi otot kandung kemih dan peristaltis uretra yang akhirnya menyebabkan urin
berkontak langsung dengan jaringan mukosa yang meradang. Hal ini memberi
rangsangan pada reseptor nyeri dan menyebabkan penderita merasakan nyeri. Nyeri ini
disebabkan oleh faktor infeksi maupun obstruksi yang terjadi di daluran kemih (Mehta
and Reddivari, 2021). Data yang perlu ditanyakan berhubungan dengan keluhan nyeri
yaitu lokasi, penyebaran, karakteristik, skala dan durasi dari nyeri tersebut. Hal apa yang
memicu munculnya nyeri dan apa yang meringkan nyeri, serta tanda penyerta lain yang
muncul oleh karena nyeri yang dialami (Hinkle and Cheever, 2018). Tipe dan
karakteristik nyeri yang berhubungan dengan masalah saluran kemih yaitu(Lemone et al.,
2017):
a. Nyeri ginjal, nyeri yang dirasakan pada area punggung dan sudut kostovetebra yaitu
sudut antara tulang rusuk paling bawah dan vetebra terdekat, yang dapat menyebar
kearah umbilikus. Sifat nyeri ini adalah tumpul, terasa terus menerus. Jika terjadi
distensi kapsula ginjal secara tiba-tiba penderita akan merasakan nyeri hebat dengan
karakterisktik seperti ditusuk-tusuk.
b. Renal kolik atau nyeri ureter yaitu nyeri yang muncul akibat adanya batu yang
bergerak melalui ureter. Nyeri jenis ini merupakan nyeri hebat, tajam menusuk dan
menyiksa. Lokasi nyeri dirasakan di area panggul, kandung kemih, uretra, dan testis.
c. Nyeri kandung kemih, yaitu nyeri tumpul atau kadang seperti spasme yang terasa di
area suprapubis. Nyeri bertambah parah jika kenadung kemih penuh.
d. Nyeri uretra. Pada laki-laki nyeri terasa disepanjang penis dan meatus uretara. Pada
perempuan nyeri diuretra dan meatus. Nyeri bervariasi, lebih terasa saat berkemih dan
setelah berkemih.
e. Nyeri karena distensi kandung kemih, merupakan nyeri konstan dan bertambah nyeri
jika ada penekanan pada area kandung kemih. f. Nyeri prostat, yaitu rasa tidak
nyaman pada pria di area perineum dan rektum.
2 Perubahan pada proses berkemih. Secara normal proses berkemih terjadi kurang lebih
sebanyak delapan kali sehari dengan jumlah total sekitar 1-2 liter urin. Jumlah urin yang
dikeluarkan dalam sehari tergantung pada jumlah asupan cairan, keringat, suhu
lingkungan, kejadian muntah atau diare. Perubahan yang terjadi dalam proses berkemih
yaitu frekuensi, urgensi, disuria, kesulitan memulai berkemih, inkontinensia, enuresis,
poliuria, oliguria dan hematuria (Hinkle and Cheever, 2018).
Beberapa istilah yang menyakut perubahan pola berkemih mungkin akan sulit dimengerti
oleh pasien, sehingga perawat perlu menjelaskan dalam arti yang dapat dimengerti. Tabel
1 menguraikan arti dari beberapa istilah tersebut.

Tabel 1. Masalah terkait perubahan pola berkemih


Masalah Definisi
Anuria Haluaran urin <50mL/Hari
Disuria Rasa nyeri atau sulit berkemih
Enuresis Berkemih tanpa disengaja saat tidur
Frekuensi Sering berkemih
Hematuria Ada darah dalam urin
Hesitansi Kesulitan memulai berkemih
Inkontinen Berkemih tanpa disengaja/disadari
Nokturia Sering berkemih di malam hari
Oliguria Haluaran urin
Poliuria Jumlah urin yang banyak (lebih dari 3 L/hari
Urgensi Keinginan yang kuat untuk berkemih
3 Gejala gastrointestinal. Gangguan pada sistem perkemihan sering memunculkan gejala
pada gastrointestinal atau sistem pencernaan. Hal ini terjadi oleh karena secara anatomi
sistem saraf yang sama menginervasi kedua sistem ini. Sistem saraf yang dimaksud yaitu
saraf otonom, sensosry dan refleks renointestinal. Sebagai contoh, rangsangan aferen dari
pelvis ginjal dapat menyebabkan spasme pilorus pada lambung, sehingga pasien
mengalami gejala seperti pada penyakit ulkus peptikum. Contoh lain, pasien yang
mengalami kolik renal dapat disertai dengan gejala mual dan muntah. Tanda dan gejala
gastrointestinal yang paling sering yaitu mual, muntah, diare, nyeri abdomen dan distensi
abdomen.
4 Fatigue. Gejala kelelahan sering dikeluhkan oleh penderita gangguan ginjal. Walaupun
penurunan fungsi ginjal terjadi secara bertahap dan tanpa gejala, keluhan fatigue bisa
terjadi oleh karena penurunan jumlah sel-sel darah merah dan hemoglobin pada kondisi
kronis. Tanyakan tentang riwayat fatigue yang dialami dan gejala penyerta seperti rasa
sesak nafas ataupun intoleransi aktivitas fisik. Penyebab anemia pada gangguan ginjal
kronis terjadi oleh karena berkurangnya eritropoietin dan defisiensi zat besi (Batchelor et
al., 2020; Portolés et al., 2021).

C. Penatalaksanaan Medis pada Sistem Perkemihan


1 Infeksi saluran kemih (ISK)
Penatalaksanaan infeksi saluran kemih (ISK) atau urinary tract infection yang utama
adalah pemberian antibiotik. ISK hanya diterapi jika menimbulkan keluhan. Pemilihan
terapi juga perlu mempertimbangkan adanya komorbiditas, tingkat keparahan penyakit,
dan potensi resistensi obat.
a) Terapi Antibiotik
Terapi antibiotik per oral yang efektif terhadap bakteri coliform aerobik gram negatif,
seperti E coli, adalah pilihan terapi pada pasien dengan infeksi saluran kemih bagian
bawah. Pemilihan terapi antibiotik perlu mempertimbangkan adanya resistensi obat,
riwayat terapi sebelumnya, dan hasis kultur dan resistensi
1) Sistitis Uncomplicated
Pada sistitis uncomplicated, dapat diberikan nitrofurantoin selama 5 hari. Pilihan
antibiotik lain adalah kotrimoksazol dengan durasi terapi 7 hari.
Nitrofurantoin monohidrat diberikan 100 mg, 2 kali sehari selama setidaknya 5
hari. Sementara itu, kotrimoksazol dapat diberikan 160/800 mg, 2 kali sehari
selama 7 hari. Kotrimoksazol hanya dipilih jika tingkat resistensi lokal di bawah
20%. Pilihan antibiotik lain adalah fosfomycin trometamol dosis tunggal 3 gram;
atau pivmecillinam 400 mg, 3 kali sehari selama setidaknya 3 hari
2) Sistitis Complicated
Pasien dengan sistitis complicated mengalami peningkatan risiko kegagalan
terapi. Sistitis complicated dapat timbul pada pasien dengan diabetes, gejala
selama 7 hari atau lebih sebelum mencari perawatan, gagal ginjal, kelainan
fungsional atau anatomi saluran kemih, transplantasi ginjal, terpasang kateter,
atau imunosupresi. Pilihan terapi pada pasien dengan sistitis complicated adalah:

 Ciprofloxacin 500 mg, 2 kali sehari, per oral, selama 7-14 hari
 Levofloxacin 750 mg, sekali sehari, per oral, selama 5 hari
 Ciprofloxacin 400 mg IV setiap 12 jam selama 7-14 hari
 Levofloxacin 750 mg IV, sekali sehari selama 5 hari
 Ampicillin 1-2 g IV setiap 6 jam, dengan gentamicin 2 mg/kg/dosis setiap 8
jam selama 7-14 hari
 Doripenem 500 mg IV setiap 8 jam selama 10 hariImipenem-cilastatin 500
mg IV setiap 6 jam selama 7-14 hari
 Meropenem 1 g IV setiap 8 jam selama 7-14 hari
Terapi yang diutamakan adalah terapi oral. Terapi intravena dapat dipilih jika
pasien tidak dapat mentoleransi terapi oral. Durasi terapi adalah sesingkat
mungkin sesuai dengan respon klinis pasien. Jika dirasa perlu, maka dapat
digunakan terapi dengan durasi lebih panjang (10-14 hari). Pada pasien yang
mendapat terapi intravena, dapat dilakukan konversi ke terapi oral segera setelah
gejala klinis membaik
3) Pyelonephritis Uncomplicated
Pada pasien pyelonephritis uncomplicated, masih dapat dilakukan terapi rawat
jalan. Untuk pemberian antibiotik empiris awal pada pasien dengan pyelonephritis
akut yang tidak memerlukan rawat inap, dapat diberikan 1-2
g ceftriaxone intravena, diikuti dengan fluoroquinolone oral sampai diperoleh
hasil dari tes kultur. Pilihan terapi oral antara lain:
 Ciprofloxacin 500 mg, 2 kali sehari, selama 7 hari
 Levofloxacin 750 mg, sekali sehari, selama 5 hari
 Ceftibuten 400 mg, sekali sehari, selama 10 hari
 Cefpodoxime proxetil 200 mg, 2 kali sehari, selama 10 hari
 Kotrimoksazol 16/800 mg, 2 kali sehari, selama 14 hari
Pada pasien rawat inap, disarankan untuk langsung diberikan regimen antibiotik
parenteral. Pilihan antibiotik empiris antara lain:

 Ciprofloxacin 400 mg IV, 2 kali sehari


 Levofloxacin 500–750 mg IV, sekali sehari
 Cefuroxime 750 mg IV setiap 8 jam
 Ceftriaxone 1–2 g IV, sekali sehari
 Cefepime 1–2 g IV, 2 kali sehari
 Meropenem 500–1000 mg IV, setiap 8 jam
 Imipenem-cilastatin 500 mg IV, setiap 6–8 jam
 Doripenem 500 mg, setiap 8 jam
 Ertapenem 1 g IV, sekali sehari
Setelah demam berkurang, antibiotik harus diubah menjadi antibiotik oral yang
dipilih berdasarkan kerentanan antibiotik dan resistensi bakteri penyebab.

4) Pyelonephritis Complicated
Meskipun tidak semua kasus pyelonephritis complicated memerlukan rawat inap,
perawatan perlu dipertimbangkan pada pasien yang tampak sakit berat atau
menunjukkan gejala sepsis. Pasien juga mungkin perlu dirawat inap jika
mengalami demam dan nyeri persisten, tidak mampu mempertahankan hidrasi,
atau tidak mampu mengonsumsi obat per oral.
Antibiotik empiris untuk pasien dengan pyelonephritis complicated atau yang
berhubungan dengan obstruksi saluran kemih sebetulnya serupa dengan pilihan
antibiotik pada pyelonephritis tanpa komplikasi. Fluoroquinolone, β-laktam/ β-
laktamase inhibitor, sefalosporin generasi ketiga, aminoglikosida, dan
karbapenem dapat digunakan sebagai antibiotik empiris awal. Namun, jika gejala
klinis berat, maka pemilihan antibiotik harus didasarkan pada protokol
pengobatan untuk ISK berat yang disertai dengan sepsis.
b) Terapi Infeksi Saluran Kemih pada Anak
Tujuan terapi ISK pada anak adalah menghilangkan gejala dan bakteriuria pada
episode akut, mencegah jaringan parut ginjal, mencegah rekurensi, dan megoreksi lesi
urologi. Pencegahan sekuele dan rekurensi dilakukan dengan penatalaksanaan
adekuat, pemeriksaan radiologi untuk menilai adanya kelainan anatomi di saluran
kemih, serta pemantauan jangka panjang.
Pilihan antibiotik oral mencakup kotrimoksazol, sefalosporin, dan amoxicillin
clavulanate selama 5-7 hari pada ISK simpleks. Sementara itu, antibiotik parenteral
dapat diberikan pada anak dengan pyelonephritis atau kasus berat. Pilihan antibiotik
parenteral adalah ceftriaxone 75 mg/kgbb tiap 12-24 jam sekali; ataupun gentamicin
2,5 mg/kgbb dosis tunggal bagi pasien yang alergi sefalosporin.

c) Terapi Infeksi Saluran Kemih pada Kehamilan


ISK pada kehamilan umumnya tergolong dalam ISK complicated. Pada pasien
dengan gejala ringan dapat dilakukan rawat jalan. Akan tetapi, pada pasien hamil
dengan gejala demam, peningkatan leukosit, muntah, dan dehidrasi, sebaiknya
dilakukan rawat inap.
Antibiotik golongan penicillin, sefalosporin, dan nitrofurantoin umumnya dapat
digunakan pada kehamilan. Akan tetapi, nitrofurantoin tidak disarankan
penggunaannya pada kehamilan aterm dikarenakan risiko anemia hemolitik pada
bayi. Sulfonamid, seperti kotrimoksazol, juga harus dihindari pemakaiannya pada
trimester awal dan menjelang kelahiran dikarenakan efek teratogenik dan
kemungkinan kernikterus. Fluorokuinolon dihindari dikarenakan kemungkinan efek
pada pertumbuhan kartilago fetus.
Pilihan terapi untuk ISK pada kehamilan adalah:
 Nitrofurantoin monohidrat 100 mg, 2 kali sehari, selama 5-7 hari
 Amoxicillin 500 mg, 2-3 kali sehari, selama 5-7 hari
 Amoxicillin-clavulanate 500/125 mg, 2 kali sehari, selama 3-7 hari
 Cephalexin500 mg, 2 kali sehari, selama 3-7 hari

2 Batu Ginjal
Penatalaksanaan batu ginjal (nefrolitiasis) dapat dibedakan menjadi penatalaksanaan saat
kolik renal, medical expulsive therapy (MET), terapi medikamentosa, dan terapi
pembedahan
a) Tatalaksana Kolik Renal
Yang pertama dilakukan adalah pemasangan akses intravena untuk hidrasi dan obat-
obatan IV. Bila tidak ada obstruksi atau infeksi, dapat diberikan: analgesik,
antiemetik, dan antidiuretik.
1) Analgesik
 Ketorolak. Dosis: 30 – 60 mg (intramuskular / IM) atau 30 mg (intravena / IV)
diikuti 30 mg setiap 6 – 8 jam. Pada pasien dewasa (> 65 tahun), bisa
diberikan 15 mg
 Morfin. Dosis: 10 mg/70 kg berat badan (IM atau subkutan / SK setiap 4 jam)
 Morfin sulfat: 4 – 10 mg (IV) bolus lambat. Efek sampingnya adalah depresi
napas, sedasi, konstipasi, potensi adiksi, mual dan muntah.
 Meperidin (60 – 80 mg meperidin ekuivalen dengan 10 mg morfin). Dosis: 50
– 150 mg (IM atau SK setiap 3 – 4 jam). Butorfanol, memberikan efek spasme
otot polos dan distres napas yang lebih kecil, namun harganya 10 kali dari
meperidin
2) Antiemetik
Metoklopramid, dosis 10 mg IV atau IM setiap 4 – 6 jam.
3) Antidiuretik
Desmopresin (DDAVP) dapat menurunkan nyeri kolik renal. Dosis semprotan
nasal 40 mcg dan dosis IV 4 mcg.
4) Antibiotik
Antibiotik hanya diberikan apabila ada potensi infeksi seperti gejala ISK, piuria,
bakteriuria, demam atau leukositosis dengan penyebab lain disingkirkan.
b) Medical Expulsive Therapy (MET)
Medical expulsive therapy (MET) dapat diberikan karena terbukti dari berbagai
penelitian dapat menurunkan nyeri karena perjalanan batu, meningkatkan
kemungkinan untuk batu keluar spontan dan menurunkan jumlah pembedahan.
Indikasi untuk pemberian MET adalah batu dengan besar 3 – 10 mm. Regimen yang
umum digunakan adalah:
 Alfa-blocker : Tamulosin 0.4 mg satu kali sehari selama 1-2 minggu
 Ca- channel blocker : Nifedipine extended release 1 x 30 mg selama 7 hari, PO
 Kortikosteroid : Prednisone 2 x 20 mg selama 5 hari. Penggunaan biasanya
digabung dengan alfa-blocker
c) Penatalaksanaan Batu Non-Kalsium
Pada pasien dengan batu non-kalsium, dapat dilakukan terapi untuk membuat urin
menjadi lebih basa, pilihan obatnya adalah natrium bikarbonat dan kalium sitrat.
d) Pembedahan
Pembedahan dapat dilakukan dengan indikasi dimana batu tidak dapat keluar dengan
sendirinya. Batu dengan ukuran di bawah 4 mm biasanya dapat keluar dengan
spontan, sedangkan di atas 8 mm tidak bisa keluar tanpa intervensi bedah. Indikasi
pembedahan antara lain:
 Batu ureter > 10 mm
 Batu ureter distal tanpa komplikasi <= 10 mm yang tidak keluar dengan spontan
setelah 4 – 6 minggu,
 Batu ginjal yang menimbulkan obstruksi
 Gejala simtomatik batu ginjal dengan penyebab lain telah disingkirkan
 Pasien anak-anak dengan batu ureter yang gagal terapi sebelumnya
 Pasien kehamilan dengan batu ureter atau ginjal yang gagal sembuh setelah
observasi
Pilihan teknik operasi pembedahan:
 Pemasangan stent. Dilakukan pemasangan “pipa” atau stent untuk mengurangi
obstruksi. Tidak disarankan dilakukan bila terdapat pionefrosis dengan ISK atau
urosepsis
 Nefrostomi perkutan. Dilakukan drainase dari ginjal ke luar tubuh melalui kulit
untuk mengurangi obstruksi, bila tidak memungkinkan pemasangan stent atau
pada keadaan obstruksi ginjal yang terinfeksi

e) Extracorporeal shockwave lithotripsy (ESWL)


Extracorporeal shockwave lithotripsy (ESWL). Menggunakan energi gelombang
suara yang tinggi untuk memecah batu sehingga menjadi fragmen-fragmen yang lebih
kecil agar dapat keluar. Indikasinya adalah batu yang lebih kecil dari 2 cm dan
terdapat di kaliks atas dan tengah. Kontraindikasi pada kehamilan, gangguan
perdarahan, batu yang tersangkut secara ketat, dan obstruksi ureter yang jauh dari
batu. ESWL menurun efektivitasnya pada batu yang keras (dapat terlihat dari densitas
saat CT-scan), batu sistin dan pasien berbadan besar.
3 Inkontinensia
Penatalaksanaan inkontinensia urine sangat tergantung pada jenis dan penyebab
inkontinensia yang dialami. Penatalaksanaan etiologi merupakan hal yang pertama kali
dilakukan karena pada beberapa kasus, inkontinensia urine dapat membaik ketika etiologi
pendasarnya telah teratasi.
Apabila inkontinensia urine tetap terjadi setelah etiologi diatasi, pilihan terapi mencakup
modalitas nonfarmakologi, farmakologi, dan pembedahan sesuai jenis inkontinensia urine
a) Terapi Nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi seperti latihan otot kandung kemih, modifikasi gaya hidup,
dan modifikasi diet merupakan tata laksana yang direkomendasikan. Selain itu,
penggunaan produk-produk kebersihan, seperti popok dewasa ataupun absorben lain
juga dapat membantu pasien inkontinensia dalam perawatan.
1) Modifikasi Gaya Hidup
Mengurangi berat badan dapat bermanfaat pada pasien inkontinensia urine.
Indeks massa tubuh >30 kg/m2 merupakan faktor risiko inkontinensia stres
dan urgensi. Pasien inkontinensia juga sebaiknya berhenti merokok. Merokok
>20 batang per hari dapat memperburuk gejala inkontinensia urine
2) Modifikasi Diet
Peran pengurangan konsumsi kafein (seperti kopi, teh, cokelat, dan soda)
dalam tata laksana inkontinensia urine masih inkonklusif. Namun, beberapa
ahli merekomendasi pasien untuk mengurangi kafein untuk memperbaiki
gejala urgensi dan frekuensi.
Konsumsi diet tinggi serat dapat memperbaiki gejala konstipasi. Konstipasi
juga bisa menjadi penyebab inkontinensia urine. Intervensi lain untuk
mengatasi konstipasi juga dapat disarankan pada pasien inkontinensia urine
3) Latihan Otot Pelvis
Latihan otot pelvis dengan senam kegel dapat melatih kekuatan otot detrusor,
sehingga dapat memperbaiki fungsi kontrol miksi dan mengurangi mobilitas
uretra, khususnya pada pasien kandung kemih overaktif
4) Latihan Kandung Kemih atau Bladder Training
Pasien dilatih untuk ke toilet pada waktu yang telah ditentukan, misalnya
setiap 1 atau 2 jam. Hal ini tetap dilakukan meskipun pasien belum merasakan
ingin berkemih. Pasien juga harus tetap menunggu hingga jadwal yang
ditentukan meskipun telah merasakan ingin berkemih lebih cepat. Jadwal ke
toilet kemudian dapat dijarangkan menjadi setiap 3 atau 4 jam jika klinis
sudah mulai membaik
b) Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi yang dapat diberikan adalah obat antikolinergik, antidepresan,
dan agonis reseptor beta 3. Selain memberikan obat-obatan untuk inkontinensia urine,
riwayat konsumsi obat pasien juga harus diperhatikan, terutama bila terdapat obat
yang dapat memperburuk gejala inkontinensia
1) Antikolinergik
Obat-obatan antikolinergik adalah terapi farmakologi pilihan pada inkontinensia
urine. Antikolinergik dapat mengurangi kontraksi otot detrusor yang dimediasi
asetilkolin, khususnya pada inkontinensia urgensi.
Beberapa obat yang sering digunakan untuk terapi inkontinensia adalah
fesoterodine, oksibutinin, propiverine, solifenacin, tolterodine, darifenacin, dan
trospium. Namun, pemberian obat-obat ini harus dilakukan dengan hati-hati pada
pasien geriatri karena sering menimbulkan efek samping dan mengganggu fungsi
kognitif.
2) Antidepresan
Kombinasi obat antikolinergik dengan antidepresan serotonin-norepinefrin
reuptake inhibitor (SNRI) dilaporkan memberikan efek terapi yang baik. Akan
tetapi, SNRI tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal pada inkontinensia.
Duloksetin efektif dalam memperbaiki gejala inkontinensia stres dan urgensi
inkontinensia campuran.
3) Terapi Hormonal
strogen berperan dalam inkontinensia urine, khususnya pada wanita post-
menopause. Studi menunjukkan bahwa terapi hormonal dengan estrogen atau
kombinasi estrogen dan progesteron dapat memperburuk inkontinensia, sehingga
tidak direkomendasikan. Namun, ada studi yang menunjukkan bahwa estrogen
topikal dapat memperbaiki inkontinensia urgensi dan inkontinensia stres akibat
atrofi vagina dan atrofi jaringan penyokong uretra pada wanita post-menopause.
Pemberian hormon antidiuretik desmopressin dapat memperbaiki nokturia pada
pasien inkontinensia urine, tetapi tidak direkomendasikan untuk jangka panjang.
Hal ini karena desmopressin dilaporkan sering menimbulkan efek-efek samping
seperti hiponatremia, terutama pada pasien geriatri
c) Pembedahan
Pembedahan pada inkontinensia urine dilakukan apabila terapi nonfarmakologi dan
terapi farmakologi gagal memberikan perbaikan, atau bila penyebab inkontinensia
urine memerlukan tindakan bedah. Beberapa metode operasi yang dapat dilakukan
adalah:
 Augmentasi kandung kemih: untuk mengurangi kontraksi otot detrusor
 Miomektomi detrusor: memotong otot detrusor, sehingga mengurangi
kontraksi detrusor
 Kolposuspensi: dapat dilakukan secara terbuka ataupun laparoskopi,
merupakan modalitas pembedahan inkontinensia urine yang paling efektif
dengan rata-rata perbaikan 75–90%
 Pemasangan sling pubovaginal: mengurangi mobilitas uretra
4 Uretritis
Penatalaksanaan uretritis non-gonore tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
laboratorium. Jika manifestasi klinis sangat jelas, pengobatan dapat dimulai sembari
menunggu hasil pemeriksaan penunjang

a) Regimen Lini Pertama


Pilihan tata laksana lini pertama untuk uretritis non-gonore antara lain:
 Azithromycin 1 gram per oral dosis tunggal
 Doxycycline 100 mg 2 kali sehari selama 1 minggu[
b) Regimen Lini Kedua
Pilihan tata laksana lini kedua untuk uretritis non-gonore adalah:
 Erythromycin 500 mg 4 kali sehari per oral selama 7 hari
 Levofloxacin 500 mg sekali sehari selama 7 hari
 Ofloxacin 200 mg 2 kali sehari selama 7 hari
c) Perhatian Khusus
Selain pengobatan pada pasien, diperlukan juga manajemen pada pasangan seksual
pasien. Periode untuk penyelidikan kontak dari awitan gejala adalah 4 minggu hingga
60 hari. Oleh karena itu, seluruh pasangan seksual pasien dalam 4 minggu hingga 60
hari terakhir disarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke tenaga medis.
5 Gagal Ginjal
Konsep penatalaksanaan pada penyakit ginjal kronis adalah menunda atau menghentikan
proses perburukan penyakit, diagnosis dan tata laksana manifestasi serta penyebab
penyakit ginjal kronis, serta merencanakan terapi pengganti ginjal (hemodialisis) untuk
jangka panjang.
a. Menunda atau Menghentikan Proses Perburukan Penyakit
Aspek utama untuk menunda atau menghentikan proses perburukan penyakit adalah
dengan melakukan kontrol tekanan darah sesuai usia. Menurut kidney disease:
improving global outcomes (KDIGO), aturan kontrol tekanan darah untuk penyakit
ginjal kronis adalah:
 Bila ekskresi albumin urin < 30 mg/24 jam (atau ekuivalen) dengan tekanan darah
> 140/90 mmHg, target tekanan darah dengan obat anti-hipertensi yaitu ≤ 140
mmHg pada sistolik dan ≤ 90 mmHg pada diastolic
 Bila ekskresi albumin urin ≥ 30 mg/24 jam (atau ekuivalen) dengan tekanan darah
> 130/80 mmHg, target tekanan darah dengan obat anti-hipertensi yaitu ≤ 130
mmHg pada sistolik dan ≤ 80 mmHg pada diastolic
 ngiotensin Receptor Blocker (ARB) atau Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitor (ACEI) direkomendasikan digunakan untuk pasien penyakit ginjal
kronis dengan diabetes dan ekskresi albumin urin 30 – 300 mg/24 jam (atau
ekuivalen)
 ARB atau ACEI direkomendasikan pada pasien penyakit ginjal kronis dengan
atau tanpa diabetes dengan ekskresi albumin urin > 300 mg/24 jam (atau
ekuivalen)
 Pada pasien anak-anak dengan penyakit ginjal kronis, obat antihipertensi
diberikan bila tekanan darah secara konsisten berada di atas persentil 90 sesuai
usia, jenis kelamin dan tinggi badan dan disarankan untuk menggunakan ARB
dan ACEI untuk mencapai persentil 50, kecuali timbul tanda dan gejala hipotensi
b. Anemia
Pengecekan Hb pada penyakit ginjal kronis tidak perlu dilakukan secara rutin pada
pasien dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) ≥ 60 mL/min/1.73 m2. Pada pasien
dengan LFG 30 – 59 mL/min/1.73 m2, pemeriksaan dilakukan minimal 1 kali/tahun,
dan pada LFG <30 mL/min/1.73 m2, pemeriksaan dilakukan minimal 2 kali/tahun.
Pemberian eritropoietin disarankan dimulai bila Hb < 10 mg/dL dengan target Hb 10
– 12 mg/dL. Sebelum memulai terapi, sebaiknya dilakukan studi kadar besi di dalam
darah. Target saturasi besi adalah 30 – 50% dan feritin 200 – 500 ng/mL.
c. Gangguan Mineral Tulang
Pengukuran kadar kalsium, fosfat, hormon paratiroid dan alkalin fosfatase dilakukan
setidaknya satu kali pada pasien dengan LFG < 45 mL/min/1.73 m2. Bila diperlukan
pemberian vitamin D, pemeriksaan ulang dilakukan setidaknya 3 bulan sekali. Bone
mineral density tidak disarankan dilakukan pada pasien dengan LFG < 45
mL/min/1.73 m2.
Rekomendasi pemberian vitamin D diberikan hingga kadar kalsium di atas 10.2
mg/dL. Bila kadar fosfat di atas 4.6 mg/dL, berikan pengikat fosfat, seperti kalsium
asetat, sevelamer karbonat, atau lanthanum karbonat. Bila tetap tinggi setelah
pemberian pengikat fosfat, hentkan terapi vitamin D
d. Komplikasi Kardiovaskular
Semua pasien penyakit ginjal kronis disarankan dipertimbangkan berada dalam risiko
tinggi penyakit kardiovaskular. Terapi kejadian kardiovaskular pasien penyakit ginjal
kronis disamakan dengan pasien yang tidak menderita penyakit ginjal kronis, tetapi
pada pasien dengan gagal jantung, sebaiknya lakukan pengawasan laju filtrasi
glomerulus dan kadar kalium darah.
6 Sindrom Nefritik
Penatalaksanaan sindroma nefritik umumnya meliputi penanganan istirahat, diet,
pertimbangan pemberian kortikosteroid, seperti prednison dan/ atau imunosupresan
seperti siklofosfamid serta antibiotik seperti amoxicilin dan erythromycin.
Penatalaksanaan sindroma nefritik juga meliputi komplikasi penyakit, seperti hipertensi
dan proteinuria
a. Istirahat
Tenaga medis mungkin akan menyarankan Anda untuk beristirahat total (bedrest)
hingga kondisi membaik dan mengalami pemulihan.
b. Obat-obatan
Tenaga medias biasanya akan meresepkan antibiotik untuk mengobati infeksi ginjal.
Jika infeksi Anda sangat serius, Anda mungkin memerlukan infus antibiotik dan
rawat inap di rumah sakit. Anda juga mungkin diberikan pengobatan untuk
mengontrol tekanan darah dan mengeluarkan cairan berlebih dalam tubuh
c. Suplemen dan diet
Bila ginjal Anda tidak berfungsi optimal, keseimbangan elektrolit di tubuh bisa
terganggu. Elektrolit, seperti kalium, natrium, dan magnesium, sangat berperan dalam
proses metabolisme tubuh. Jadi, Anda mungkin akan membutuhkan suplemen
elektrolit.
Selain itu, Anda juga mungkin akan diminta untuk mengatur pola makan khusus yang
sesuai dengan kondisi elektr
olit dalam tubuh.
d. Cuci Darah
Jika fungsi ginjal Anda terganggu secara signifikan, Anda mungkin memerlukan cuci
darah, yang dapat membantu menggantikan fungsi ginjal untuk sementara.
Sindrom nefritik merupakan kumpulan gejala yang penyebabnya sangat luas.
Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi sangat jelas gejalanya, kondisi ini juga bisa
terjadi dalam jangka panjang tanpa gejala yang jelas.

DAFTAR PUSTAKA

Romli, Leo Yosdimyati & Indrawati,


Ucik. (2018). Modul pembelajaran
KMB
2. Jombang: S1 Kep ICME
Romli, Leo Yosdimyati & Indrawati,
Ucik. (2018). Modul pembelajaran
KMB
2. Jombang: S1 Kep ICME
Romli, Leo Yosdimyati & Indrawati,
Ucik. (2018). Modul pembelajaran
KMB
2. Jombang: S1 Kep ICME
10.1681/ASN.2019020213.
American Society of Nephrology,
31(3), hal. 456–468. doi:
Batchelor, E. K. et al. (2020)
“Iron deficiency in chronic kidney
disease:
Batchelor, E. K. et al. (2020) “Iron deficiency in chronic kidney disease: Updates on
pathophysiology, diagnosis, and treatment,” Journal of the American Society of
Nephrology, 31(3)
Bjerklund Johansen TE, et al. Prevalence of hospital-acquired urinary tract infections in urology
departments. Eur Urol, 2007. 51(4): p. 1100-11; discussion 1112

centred care
Hinkle, J. L. dan Cheever, K. H.
(2018) Brunner and Suddarth’s Text
Book of
Hinkle, J. L. dan Cheever, K. H. (2018) Brunner and Suddarth’s Text Book of Medical-Surgical
Nursing. 14 ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health Lippincott William & Wilkins.

Lemone et al. (2017) Medical-


surgical nursing:critical thinking for
person-
Lemone et al. (2017) Medical- surgical nursing:critical thinking for person-centred care

Lippincott William & Wilkins.


M. Wilson Lorraine, Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. 6th edition.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2012.p867-889

Medical-Surgical Nursing. 14 ed.


Philadelphia: Wolters Kluwer
Health |
Mosby
Muttaqin, Arif, dan Kumala Sari.
(2012). Asuhan Keperawatan
Gangguan
Muttaqin, A dan Kumala Sari.
(2012). Asuhan Keperawatan
Gangguan Sistem
Muttaqin, A dan Kumala Sari. (2012). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika.
Osterman M, Chang R: Acute Kidney Injury in the Intensive Care Unit according to RIFLE.
Critical Care Medicine 2007

Perkemihan. Jakarta: Salemba


Medika.
Romli, Leo Yosdimyati & Indrawati, Ucik. (2018). Modul pembelajaran KMB 2. Jombang: S1
Kep ICME

Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba


Medika.
Updates on pathophysiology,
diagnosis, and treatment,” Journal
of the
Whaley dan Wong, D (1999)
Nursing Care of Infants and
Children. 6th ed.
Whaley dan Wong, D (1999) Nursing Care of Infants and Children. 6th ed. Mosby

Anda mungkin juga menyukai