Anda di halaman 1dari 19

ANATOMI FISIOLOGI KIMIA FISIKA

SISTEM PERKEMIHAN

A. ANATOMI ORGAN ORGAN SISTEM PERKEMIHAN


Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan
darah sehingga darah bebas dari zat -zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan
menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak
dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air
kemih).
Sistem perkemihan terdiri dari :
1. Dua ginjal (Ren) yang menghasilkan urin
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum pada
kedua sisi vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra lumbalis ke 3. Bentuk ginjal
seperti biji kacang. Ginjal kanan lebih rendah dari gijal kiri karena adanya lobus
hepatis dexter yang besar.
a. Anatomi Kasar Ginjal
1) Tampilan
Ginjal adalah organ berbentuk seperti kacang berwarna merah tua,
panjangnya sekitar 12,5 cm dan lebarnya 2,5 cm (kurang lebih sebesar
kepalan tangan). Setiap ginjal memiliki berat antara 125-175 g pada laki-
laki dan 115-155 pada perempuan.
2) Lokasi
a) Ginjal terletak diarea yang tinggi, yaitu pada dinding abdomen
posterior yang berdekatan dengan dua pasang iga terakhir. Organ ini
merupakan organ retroperitoneal dan terletak diantara otot-otot
punggung dan peritoneum rongga abdomen atas. Tiap-tiap ginjal
memiliki sebuah kelenjar adrenal diatasnya.
b) Ginjal kanan terletak agak kebawah dibandingkan ginjal kiri karena
ada hati pada sisi kanan.
3) Jaringan ikat pembungkus
Setiap ginjal diselubungi tiga lapisan jaringan ikat

1
a) Fasia renal adalah pembungkus terluar. Pembungkus ini melabuhkan
ginjal pada struktur disekitarnya dan mempertahankan posisi organ.
b) Lemak perirenal adalah jaringan adipose yang terbungkus fasia
ginjal. Jaringan ini membantali ginjal dan membantu orang tetap
pada posisinya.
c) Korpus fibrosa atau ginjal adalah membrane halus transparan yang
langsung membungkus ginjal dan dapat dengan mudah dilepas.
b. Struktur Internal Ginjal
1) Hilus (hilum) adalah tingkat kecekungan tepi medial ginjal
2) Sinus ginjal adalah rongga berisi lemak yang terbuka pada hilius. Sinus
ini membentuk perlekatan untuk jalan masuk dan keluar ureter, vena dan
arteri renalis, saraf dan limfatik.
3) Pelvis ginjal adalah perluasan ujung proksimal ureter. Ujung ini berlanjut
menjadi dua sampai tiga kaliks mayor, yaitu rongga yang mencapai
glandular, bagian penghasil urine pada ginjal. Setiap kaliks mayor
bercabang menjadi beberapa (8-18) kaliks minor.
4) Parenkim ginjal adalah jaringan ginjal yang menyelubungi struktur sinus
ginjal. Jaringan ini terbagi menjadi medulla dalam dan korteks luar.
a) Medulla terdiri dari masa-masa triangular yang disebut piramida
ginjal. Ujung yang sempit dari setiap piramida,papilla, masuk dengan
pas dalam kaliks minor dan ditembus mulut ductus pengumpul urine
b) Korteks tersusun dari tubulus dan tubulus darah nefron yang
merupakan unit structural dan fungsional ginjal. Korteks terletak
didalam di antara piramida-piramida medulla yang bersebelahan
untuk membentuk kolumna ginjal yang terdiri dari rubulu-tubulus
pengumpul yang mengalir ke dalam ductus pengumpul.
5) Ginjal terbagi lagi menjadi lobus ginjal. Setiap lobus terdiri dari satu
piramida ginjal, kolumna yang sering berdekatan, dan jaringan korteks
yang melapisinya
c. Fungsi Ginjal
1) Pengeluaran zat sisa organic. Ginjal mensekresi urea, asam urat,
kreatinin, dan produk penguraian hemoglobin dan hormone.
2) Pengaturan konsentrasi ion-ion penting. Ginjal mensekresi ion natrium,
kalium, kalsium, magnesium, sulfat dan phosfat. Eksresi ion-ion ini

2
seimbang dengan asupan dan eksresinya melalui rute lain, seperti pada
saluran gastroinstestinal atau kulit.
3) Pengaturan keseimbangan asam basa tubuh. Ginjal mengendalikan
ekskresi ion hydrogen (H+), bikarbonat (HCO3-), amonium (NH4+), serta
memproduksi urin asam atau basa, tergantung pada kebutuhan tubuh.
4) Pengaturan produksi sel darah merah. Ginjal melepas eritroprotein, yang
mengatur produksi sel darah merah dalam sumsum tulang.
5) Pengaturan tekanan darah. Ginjal mengatur volume cairan yang esensial
bagi pengaturan tekanan darah, dan juga memproduksi enzim rennin.
Rennin adalah komponen penting dalam mekanisme rennin-
antiangiotensin-aldosteron, yang meningkatkan tekanan darah dan retensi
air.
6) Pengendalian terbatas terhadap konsentrasi glukosa darah dan asam
amino darah. Ginjal melalui eksresi glukosa dan asam amino berlebih,
bertanggung jawab atas konsentrasi nutrient dalam darah.
7) Pengeluaran zat beracun. Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambahan
makanan, obat-obatan atau zat kimia asing lain dari tubuh.
2. Dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih)
Terdiri dari dua saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika
urinaria.
Panjangnya 25-30 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak
pada rongga
abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari :
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerak-gerakan peristaltic yang mendorong
urin
masuk ke dalam kandung kemih.
3. Satu vesika urinaria (VU) tempat urin dikumpulkan
Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti
kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat, berhubungan dengan ligamentum
vesika umbilikalis medius. Letaknya di belakang simfisis pubis di dalam rongga
panggul. Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet.
3
Dinding kandung kemih terdiri dari :
a. Lapisan sebelah luar (peritoneum)
b. Tunika muskularis (lapisan berotot)
c. Tunika submukosa
d. Lapisan mukosa (lapisan bagian dalam)
4. Satu uretra, urin dikeluarkan dari vesika urinaria
Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi
menyalurkan air kemih ke luar.
Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7 16,2 cm terdiri dari :
a. Uretra pars Prostatica
b. Uretra pars membranosa (terdapat spinchter uretra externa)
c. Uretra pars spongiosa
Lapisan uretra laki-laki terdiri dari:
a. Lapisan mukosa (lapisan paling dalam)
b. Lapisan submukosa
Sedangkan uretra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7 6,2 cm (Taylor) 3 5
cm (Lewis). Sphincter uretra terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan
vagina) dan uretra disini hanya sebagai saluran ekskresi.
Lapisan uretra wanita terdiri dari :
a. Tunika muskularis (lapisan sebelah luar)
b. Lapisan spongeosa
c. Lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam)
Dinding uretra terdiri dari 3 lapisan :
a. Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot polos dari vesika urinaria.
Mengandung jaringan elastis dan otot polos. Sphincter uretra menjaga agar
uretra tetap tertutup.
b. Lapisan submokasa, lapisan longgar mengandung pembuluh darah dan saraf
c. Lapisan mukosa pembentukan urine yang pekat.

B. FISIOLOGI SISTEM URINARIUS


Ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra membentuk sistem urinarius.
Fungsi utama ginjal adalah mengatur cairan serta elektrolit dan komposisi asam basa
cairan tubuh : mengeluarkan produk akhir metabolic dari dalam darah : dan
mengatur tekanan darah. Urine yang terbentuk sebagai hasil dari proses ini diangkut
dari ginjal melalui ureter ke dalam kandung kemih tempat urine tersebut disimpan
4
untuk sementara waktu. Pada saat urinasi, kandung kemih berkontraksi dan urine
akan diekskresikan dari tubuh lewat uretra.
Meskipun cairan serta elektrolit dapat hilang melalui jalur lain dan ada organ
lain yang turut serta dalam mengatur keseimbangan asam basa, namun organ yang
mengatur lingkungan kimia internal tubuh secara akurat adalah ginjal. Fungsi
ekskresi ginjal diperlukan untuk mempertahankan kehidupan. Namun demikian,
berbeda dengan sistem kardiovaskuler dan repiratorius, gangguan total fungsi ginjal
tidak menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat. Dialysis (Ginjal artificial)
dan bentuk bentuk terapi lainnya dapat dilakukan untuk menggantikan fungsi
fungsi tertentu dari ginjal. Cirri penting sistem renal terletak pada kemampuannya
untuk beradaptasi terhadap beban muatan cairan yang sangat bervariasi sesuai
kebiasaan dan pola hidup individu. Ginjal harus mampu untuk mengekskresikan
berbagai produk limbah makanan dan metabolisme dalam jumlah yang dapat
diterima serta tidak dieliminasi oleh organ lain. Jika diukur tiap hari, jumlah produk
tersebut biasanya berkisar dari 1 hingga 2 liter air, 6 hingga 8 gram (natrium
klorida), 6 hingga 8 gram kalium klorida dan 70 mg ekuivalen asam per hari.
Disampingitu ureum yang merupakan produk akhir metabolisme protein dan
berbagai produk limbah lainnya diekskresikan ke dalam urine. Jumlahsubstansi yang
diterima ginjal mungkin berbeda jika pasien mendapatkan infuse cairan intravena,
nutrisi parental total atu nutrisi enteral lewat selang nasogastrik.

C. PROSES PEMBENTUKAN DAN KOMPOSISI URINE


1. Proses Pembentukan
Glomerulus berfungsi sebagai ultrafiltrasi pada kapsula bowman,
berfungsi untuk menampung hasil filtrasi dari glomerulus. Pada tubulus ginjal
akan terjadi penyerapan kembali zat-zat yang sudah disaring pada glomerulus,
sisa cairan akan diteruskan ke piala ginjal terus berlanjut ke ureter. Urine berasal
dari darah yang dibawa arteri renalis masuk ke dalam ginjal, darah ini terdiri
dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah. Ada tiga tahap
pembentukan urine :
a. Proses Filtrasi
Terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena permukaan aferen lebih besar
dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan sebagian
tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring

5
ditampung oleh simpai bowman yang terdiri dari glukosa, air, sodium,
klorida, sulfat, bikarbonat, dll yang diteruskan ke tubulus ginjal.
Filtrasi darah terjadi di glomerulus, dimana jaringan kapiler dengan struktur
spesifik dibuat untuk menahan selular dan medium-molekular-protein besar
kedalam vascular sistem, menekan cairan yang identik dengan plasma di
elektrolitnya dan komposisi air. Cairan ini disebut filtrateglomerular.
Tumpukan glomerulus tersusun dari jaringan kapiler. Tumpukan glomerulus
dibungkus didalam lapisan epithelium yang disebut kapsula bowman. Area
antara glomerulus dan kapsula bowman disebut bowman space dan
merupakan bagian yang mengumpulkan filtrate glomerular, yang
menyalurkan ke segmen pertama dari tubulus proksimal. Tekanan hidrostatik
darah dalam kapiler dan tekanan encotik dari cairan di dalam bowman space
merupakan kekuatan untuk filtrasi. Hasil penyaringan di glomerulus berupa
filtrate glomerulus (urin primer) yang komposisia serupa dengan darah
tetapi tidak mengandung protein.
b. Proses Reabsorpsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar glukosa, sodium,
klorida, fosfat, dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif
yang dikenal dengan obligator reabsorpsi terjadi pada tubulus atas.
Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali penyerapan dan
sodium dan ion bikarbonat, bila diperlukan akan diserap kembali ke dalam
tubulus bagian bawah, penyerapannya terjadi secara aktif dikenal dengan
reabsorpsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papilla renalis.
Volume urin manusia hanya 1% dari filtrate glomerulus. Oleh karena itu,
99% filtrate glomerulus akan direabsorbsi secara aktif pada tubulus
kontortus proksimal dan terjadi penambahan zat-zat sisa serta urea pada
tubulus kontortus distal. Sunstance yang masih berguna seperti glukosa dan
asam amino dikembalikan ke darah. Sisa sampah kelebihan garam, dan
bahan lain pada filtrate dikeluarkan dalam urin. Gula dan asam amino
meresap melalui peristiwa difusi, sedangkan air melalui peristiwa osmosis.
Reabsorbsi air terjadi pada tubulus proksimal dan tubulus distal.
c. Proses Sekresi / Augmentasi
Sisanya penyerapan kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan ke
piala ginjal selanjutnya diteruskan ke luar.

6
2. Komposisi Urine
Ginjal berfungsi sebagai organ ekskresi yang utama dari tubuh. Organ ini
membuang produk akhir metabolisme tubuh. Ketika ginjal berfungsi normal,
jumlah bahan bahan yang diekskresikan setiap hari akan sama dengan jumlah
yang dikonsumsi atau dibentuk sehingga dalam suatu periode waktu tidak akan
terjadi perubahan netto pada komposisi total tubuh.
Urine terutama tersusun dari air. Individu yang normal akan
mengkonsumsi kurang lebih 1 hingga 2 liter air per hari dan dalam keadaan
normal seluruh asupan cairan ini akan diekskresikan keluar termasuk 400 hingga
500 ml yang diekskresikan ke dalam urine. Sisanya akan diekskresikan lewat
kulit, paru paru pada saat bernapas, dan feses. Elektrolit, yang mencakup
natrium, kalium, klorida, bikarbonat dan ion ion lain jumlahnya lebih sedikit
juga diekskresikan melalui ginjal. Diet rata rata orang Amerika mengandung 6
hingga 8 gram natrium klorida (garam) serta kalium klorida per hari, dan hampir
seluruhnya akan diekskresikan ke dalam urine.
Kelompok ketiga substansi yang muncul dalam urine terbentuk dari
berbagai produk akhir metabolisme protein. Produk akhir yang utama adalah
ureum, dengan jumlah sekitar 25 gram, diproduksi dan diekskresikan setiap
harinya. Produk lain dari metabolisme protein yang harus diekskresikan adalah
kreatinin, fosfat dan sulfat. Asam urat yang terbentuk sebagai produk
metabolisme asam nukleat juga dieliminasi ke dalam urine.
Kita harus mengetahui bahwa sebagian substansi yang terdapat dengan
kadar konsentrasi yang tinggi dalam darah biasanya akan direabsorpsi
seluruhnya melalui transportasi aktif dalam tubulus ginjal. Sebagai contoh asam
amino dan glukosa biasanya disaring di glomerulus dan direabsorpsi sehingga
kedua substansi ini tida diekskresikan ke dalam urine. Namun, glukosa akan
terlihat dalam urine jika kadarnya dalam darah begitu tinggi sehingga
konsentrasinya di dalam filtrate glomerulus melampaui kapasitas reabsopsi
tubulus. Dalam keadaan normal, seluruh glukosa akan direabsorpsi bila
konsentrasinya dalam darah kurang dari 200 mg/dL (11 mmol/liter). Pada
diabetes ketika kadar glukosa darah melebihi kapasitas reabsorpsi ginjal maka
dalam urine akan dijumpai adanya glukosa. Protein dalam keadaan normal juga
tidak ditemukan dalam urine. Molekul molekul ini tidak akan disaring di
glomerulus karena ukurannya yang besar. Penampakan protein dalam urine
biasanya menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang menyebabkan organ
7
tersebut menjadi keropos sehingga molekul molekul berukuran besar dapat
melewatinya.

D. PENYIMPANAN DAN ELIMINASI URINE


1. Penyimpanan
Urine yang terbentuk oleh ginjal diangkut dari pelvis ginjal melalui
ureter dan ke dalam kandung kemih. Gerakan ini difasilitasi oleh gelombang
peristaltic yang terjadi sekitar 1 hingga 5 kali permenit dan di hasilkan oleh otot
polos dalam dinding ureter. Antara kandung kemih dan ureter tidak terdapat
sfingter. Meskipun aliran balik urine dari kandung kemih dalam keadaan normal
dicegah oleh sifat gelombang peristaltic yang satu arah dank arena setiap ureter
memasuki kandung kemih dengan sudut miring (oblique). Meskipun demikian,
pada keadaan distensi kandung kemih, yang berlebihan akibat suatu penyakit,
kenaikan tekanan dalam kandung kemih tersebut dapat dialihkan balik melalui
uretersehingga terjadi distensi ureter dan kemungkinan refluks atau pengaliran
balik urine. Keadaan ini dapat menyebabkan infeksi ginjal (pielonefritis) dan
kerusakan ginjal akibat kenaikan tekanan (hidronefrosis).
2. Eliminasi Urin
Beberapa struktur otak yang mempengaruhi fungsi kandung kemih
meliputi korteks serebral, thalamus, hipotalamus dan batang otak. Secara
bersama sama struktur otrak ini menekan kontraksi otot detrusor kandung
kemih sampai individu ingin berkemih atau bunag air kecil. Dua pusat di pons
yang mengatur mikturisi atau berkemih yaitu : pusat M yang mengaktifkan
reflex otot detrusor dan pusat L mengkoordinasi tonus otot pada dasar panggul.
Pada saat berkemih respon yang terjadi adalah kontraksi kandung kemih dan
relaksasi otot pada dasar panggul yang terkoordinasi. Mikturisi dipengaruh oleh
beberapa factor yaitu :
a. Tekanan Kandung Kemih
Normalnya tekanan dalam kandung kemih sangat rendah bahkan meskipun
terjadi akumulasi urine, karena otot polos kandung kemih akan melakukan
adaptasi terhadap peningkatan regangan ketika kandung kemih terisi secara
perlahan-lahan. Sensasi pertama yang timbul dari pengisian kandung kemih
umumnya terjadi ketika sekitar 100 hingga 150 ml urine berada dalam
kandung kemih. Pada sebagian besar kasus, keinginan untuk buang air kecil
timbul ketika kandung kemih berisi kurang lebih 200 hingga 300 ml urine.
8
Dengan jumlah urine 400 ml,rasa penuh yang mencolok biasanya akan
ditemukan.
b. Pengendalian Otot
Eliminasi urin dikendalikan oleh kontraksi sfingter uretra eksterna. Otot ini
berada di bawah kendali volunter dan diinervasi oleh saraf yang berasal dari
medulla spinalis daerah sakral. Pengendalian ini merupakan perilaku yang
dipelajari dan bukan bawaan sejak lahir. Ketika muncul keinginan untuk
buang air kecil, sfingter uretra eksterna akan melemas dan muskulus
detrusor (otot polos kandung kemih) berkontraksi serta mendorong urine
keluar dari dalam kandung kemih melalui uretra. Tekanan yang timbul
dalam kandung kemih pada waktu urinasi (mikturisi) kurang lebih sebesar 50
hingga 150 cm H2O. sisa urine dalam uretra akan mengalir keluar akibat
pengaruh gaya berat pada wanita dan akan didorong keluar oleh kontraksi
otot volunter pada laki laki.
c. Pengendalian Neural
Kontraksi muskulus detrusor yang diatur oleh suatu reflex yang mencakup
sistem saraf parasimpatik. Refleks tersebut terintegrasi dalam bagian sakral
traktus spinalis. Sistem saraf simpatik tidak memiliki peranan yang penting
dalam mikturisi tapi dapat mencegah masuknya semen (air mani) ke dalam
kandung kemih pada saat terjadi ejakulasi. Jika terjadi kerusakan pada saraf
pelvis yang menginervasi kandung kemih dan sfingter, maka kendali
volunteer serta urinasi yang bersifat refleks akan menghilang dan kandung
kemih tersebut mengalami distensi yang berlebihan akibat akumulasi urine.
Jika lintasan spinal dari otak ke sistem urinarius terganggu atau rusak
(misalnya sesudah terjadi trauma medulla spinalis), kontraksi kandung
kemih yang reflektoris tetap dipertahankan kendali volunteer atas proses
tersebut akan menghilang. Pada kedua keadaan ini, otot kandung kemih
dapat berkontraksi dan mendorong urine keluar meskipun kontraksinya tidak
cukup kuat untuk mengosongkan kandung kemih secara tuntas sehingga di
dalamnya akan terdapat urine sisa (atau urine yang tertinggal setelah
eliminasi urine).
d. Kateterisasi
Kateterisasi yaitu pemasangan ureter melalui uretra ke dalam kandung kemih
dapat dilakukan untuk mengkaji fungsi kandung kemih dengan mengukur
volume urine sisa. Normalnya, urine sisa berjumlah tidak lebih dari 50ml.
9
Namun tindakan kateterisasi sedapat mungkin dihindari karena tindakan ini
akan meningkatkan resiko infeksi. Pemeriksaan lain untuk memastikan
disfungsi kandung kemih adalah dengan mengukur tekanan dalam kandung
kemih sesudah memasukkan larutan garam fisiologis (saline) dengan jumlah
yang bervariasi. Tindakan terakhir ini disebut sistometrogram.

E. PEMEKATAN URINE, MEKANISME COUNTER-CURRENT


1. Pemekatan Urine
Proses untuk pemekatan urina tidak sesederhana mengencerkannya.
Namun terkadang sangat penting untuk memekatkannya sehingga dapat
membuang solute yang kelebihan dengan kehilangan air sekecil mungkin dari
tubuh. Untungnya ginjal mempunyai mekanisme khusus untuk memekatkan
urina tersebut, yang disebut mekanisme counter current.
Mekanisme counter current tergantung kepada suatu susunan anatomis
khususdari ansa Henle dan vasa rekta. Pada manusia, ansa Henle dari kira-kira
sepertiga sampai seperlima nefron jatuh turun ke dalam medulla kemudian
kembali ke korteks. Kelompok nefron ini dengan ansa Henle panjang dinamai
nefron juktameduler. Sejajar dengan ansa Henle panjang adalah gelung kapiler
peritubular yang dinamai vasa rekta, gelung ini turun ke bawah ke dalam
medulla dan kemudian kembali ke korteks. Empat mekanisme pemekatan solute
yang berbeda bertanggung jawab bagi hiperosmolalitas adalah sebagai berikut :
a. Pertama, penyebab utama sangat meningkatnya osmolalitas cairan interstisial
medulla ini adalah transport aktif ion klorida (ditambah absorpsi pasif
elektronikion-ion natrium) keluar dari bagian tebal pars asendens ansa
Henle.
b. Kedua, ion-ion juga ditranspor ke dalam cairan interstisial medulla dari
duktus koligens, terutama sebagai hasil transport aktif ion natrium dan
absorpsi pasif elektrogenik ion-ion klorida bersama dengan ion-ion natrium.
c. Ketiga, bila konsentrasi hormon antidiuretik tinggi di dalam darah, maka
sejumlah besar urea akan di absorpsi ke dalam cairan medulla dari duktus
koligens medulla dalam. Bila ada hormone antidiuretik, maka duktus
koligens di bagian dalam medulla menjadi permeable secara moderate bagi
urea. Akibatnya, konsentrasi urea dalam cairan interstisial medulla
meningkat sehingga hampir sama dengan konsentrasi di dalam duktus
koligens.
10
d. Keempat, kejadian terakhir yang menyebabkan peningkatan konsentrasi
osmolal cairan interstisial medulla adalah absorpsi ion-ion natrium dan
klorida ke dalam interstisium bagian dalam medulla dari bagian segmen tipi
sans Henle. Bila konsentrasi urea meningkat sangat tinggi di dalam
interstisium medulla karena absorpsi urea dari duktus koligens, ini segera
menggerakkan osmosis air keluar dari cabang tipis desendens ansa Henle.
Sehingga konsentrasi natrium klorida di dalamcabang tipis ansa Henle
meningkat hamper dua kali normal. Karena konsentrasi yang tinggi, ion-ion
natrium dan klorida berdifusi secara pasif keluar dari segmen tipis ke dalam
interstisium. Ringkasnya, ada empat faktor berbeda yang menyokong
peningkatan osmolalitas di dalam cairan interstisial medulla, yaitu: transport
aktif ion-ion ke dalam interstisium oleh bagian tebal cabang asendens ansa
Henle, transport aktif ion-ion dari duktus koligens ke dalam interstisium,
difusi pasif sejumlah besar urea dari duktus koligens ke dalam interstisium,
dan absorpsi tambahan natrium dan klorida ke dalam interstisium dari
segmen ansa Henle. Hasil bersihnya adalah peningkatan osmolalitas cairan
interstisial medulla.
2. Mekanisme Counter-Current
Aliran darah medulla mempunyai dua karakteristik, yang keduanya
sangat penting untuk mempertahankan konsentrasi solute yang tinggi di dalam c
airan interstisial medulla:
a. Pertama, aliran darah medulla sangat lambat, hanya berjumlah 1 sampai
2% aliran darah ginjal total. Karena aliran yang lambat ini, maka
pembuangan solute minimum.
b. Kedua, fungsi vasa rekta sebagai penukar counter current yang mencegah
hanyutnya solute dari medulla.
Mekanisme pertukaran counter current merupakan salah satu
mekanisme cairan mengalir melalui tabung U yang panjang, dengan dua lengan
U yang terletak dekat satu dengan yang lain sehingga cairan dan solute dapat
segera bertukar antara kedua lengan. Bila cairan dan solute ini di dalam dua
aliran sejajar berdampingan dapat segera bertukaran, maka konsentrasi solute
yang tinggi dapat dipertahankan pada puncak ansa dengan jumlah solute yang
hanyut yang relative dapat diabaikan. Jadi, ketika darah mengalir menuruni pars
desenden vasa rekta, natrium kloridadan urea berdifusi ke dalam darah dan
cairan interstisial, sementara air berdifusi keluar ke dalam interstisium dan dua
11
efek ini menyebabkan konsentraasi osmol dalam darah meningkat secara
progresif, mencapai suatu konsentrasi maksimum sebesar 1.200 milosmol/liter
pada ujung vasa rekta tersebut. Kemudian ketika darah mengalir kembali ke atas
mendaki air asendens, sifat semua molekul yang sangat udah berdifusi melalui
membrane kapiler pada dasarnya memungkinkan semua natrium klorida dan
urea yang sama berdifusi kembali keluar dari darah ke dalam cairan interstisial
sementara air kembali berdifusi ke dalam darah. Oleh karena itu, pada saat darah
akhirnya meninggalkan medulla, konsentrasi osmolnya hanya sedikit lebih
tinggi daripada konsentrasi osmol darah yang mula-mula masuk vasa rekta.
Sebagai akibatnya, darah yang mengalir melalui vasa rekta hanya mengangkut
sejumlah kecil solute interstisial medulla keluar dari medulla.

F. MEKANISME RENIN-ANGIOTENSIN
Pengaturan atau regulasi tekanan darah juga merupakan salah satu fungsi
system renal. Suatu hormon yang dinamakan rennin disekresikan oleh sel-sel
jukstaglomeruler ketika tekanan darah menurun. Rennin adalah enzim pertama
dalam kaskade biokimia system rennin-angiotensin-aldosteron. Fungsi system ini
adalah mempertahankan volume ECF (Efektif Circulation Volume) dan tekanan
perfusi jaringan dengan mengubah resistensi pembuluh darah dan ekskresi Na+ dan
air di ginjal. Hipoperfusi ginjal, yang dihasilkan oleh hipotensi dan penurunan
volume serta peningkatan aktivitas simpatetik adalah perangsangan utama sekresi
rennin. Asupan ke system saraf pusat diberikan oleh baroreseptor yang terletak di
pusat melalui saraf vagus dan glosofaringeal, yang sebaliknya mempengaruhi
keluaran simpatetik : baroreseptor yang terletak dalam atrium jantung dan
pembuluh darah paru bertekanan rendah terutama merespon volume atau isi dari
cabang pembuluh darah. Baroreseptor terletak dalam arkus aorta dan sinus karotis
bertekanan tinggi yang terutama merespon terhadap tekanan arteri darah.
Penurunan tekanan darah menghasilkan peningkatan aktivitas simpatis ginjal,
menyebabkan retensi Na+ dan air. Peningkatan tekanan intravaskuler memiliki efek
yang bertolak belakang.
Suatu enzim akan mengubah rennin menjadi angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, yaitu senyawa vasokonstriktor paling kuat.
Vasokonstriksi menyebabkan peningkatan tekanan darah. Aldosteron disekresikan
oleh korteks adrenal. Sebagai reaksi terhadap stimulasi oleh kelenjar hipofisis dan

12
pelepasan ACTH sebagai reaksi terhadap perfusi yang jelek atau peningkatan
osmolalitas serum. Akibatnya peningkatan tekanan darah.
Atrium jantung memiliki mekanisme tambahan untuk mengontrol ekskresi
Na+ ginjal dan volume ECF yang secara berlawanan mengatur mekanisme rennin-
angiotensin-aldosteron. Atrium jantung menyintesis suatu hormon yang disebut
peptide natriuretik atrial (ANP) yang kemudian disimpan dalam granula. ANP
dilepaskan dari granula atrium sebagai respon terhadap regangan yaitu peningkatan
volume ECF. ANP meningkatkan ekskresi Na+ dan air oleh ginjal.

G. PERAN ERITROPOETIN DALAM PEMBETUKAN DARAH


Sampai saat ini peranan eritropoietin (EPO) telah banyak dikenal dalam sisi
hematologik yaitu dalam meningkatkan pembentukan sel darah merah melalui
rangsangan terhadap proses eritropoiesis. Saat ini penjelajahan kemampuan EPO
semakin berkembang diantaranya adalah peranannya di dalam otak sebagai
neuroprotektor. EPO meningkatkan produksi sel-sel darah merah dan bisa
mengurangi ketergantungan akan transfusi darah. Namun EPO tidak ditujukan
untuk menggantikan transfusi emergensi.

Hormon ini bersirkulasi sepanjang aliran darah menuju sumsum tulang dan
menstimulasi produksi sel darah merah. Bila terjadi gagal ginjal, maka produksi
EPO terhenti. Akibatnya produksi sel darah merah pun turut berkurang yang bisa
berujung pada anemia parah.

Meski pengetahuan tentang fungsi eritropoietin itu telah lama diketahui,


namun keberadaannya sebagai agen terapi untuk mengatasi gangguan produksi
darah merah belum begitu lama dikenal. Bayangkan saja, berdasarkan percobaan
transfusi pada kelinci, eksistensi suatu faktor humoral yang mengatur produksi sel
darah merah telah sukses dipostulasikan pada 1906. Namun sampai dengan 1950,
faktor eritropoietik ini masih belum terindentifikasi. Sepuluh tahun kemudian baru
diketahui bahwa faktor ini bersumber dari ginjal.

Setelah sekian lama penelitian dilakukan, barulah pada 1977, T. Miyake, C.


K. Kung dan E. Goldwasser dari University of Chicago berhasil memurnikan EPO
dari urin manusia. Sejak saat itu, eritropoietin yang berasal dari protein asli manusia
ini mulai digunakan secara terbatas dalam eksperimen untuk mengobati pasien
anemia. Dan, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran,
pada 1983 pengodean gen EPO sukses diidentifikasi. Alhasil, EPO pun bisa
13
diproduksi secara masal dengan menggunakan teknologi DNA rekombinan pada
kultur sel mamalia.

Sekarang, hormon yang juga dikenal dengan sebutan hematopoietin atau


hemopoietin ini diidentifikasi sebagai suatu glikopritein dengan masa molekul
sekitar 30.000 Dalton. Hormon ini memiliki 165 rantai asam amino dengan 4 sisi
rantai oligosakarida. Di samping itu, indikasi penggunaannya pun turut
berkembang. Kini, EPO tak hanya digunakan untuk mengatasi anemia pada pasien
gagal ginjal kronis, namun juga untuk anemia pada pasien yang menjalani
kemoterapi dan antisipasi kehilangan darah pada pembedahan.

Pada prinsipnya, terapi EPO pada pasien tersebut bertujuan untuk


meningkatkan produksi sel darah merah dan mengurangi kebutuhan akan transfusi
darah. Namun, EPO tidak ditujukan untuk pasien dengan anemia parah yang
membutuhkan koreksi secepatnya. EPO tidak ditujukan untuk mengantikan
transfusi emergensi.

H. PENGATURAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT,


SERTA SISTEM BUFFER
Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter
penting, yaitu volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal
mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam
dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan
keseimbangan cairan.
1. Pengaturan volume cairan ekstrasel.
Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan
darah jangka panjang.
a. Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake dan output)
air. Untuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka
harus ada keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam
tubuh. Hal ini terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen
dan antara tubuh dengan lingkungan luarnya. Water turnover dibagi dalam:
1. eksternal fluid exchange, pertukaran antara tubuh dengan lingkungan
luar; dan 2. Internal fluid exchange, pertukaran cairan antar pelbagai
kompartmen, seperti proses filtrasi dan reabsorpsi di kapiler ginjal.

14
b. Memeperhatikan keseimbangan garam. Seperti halnya keseimbangan air,
keseimbangan garam juga perlu dipertahankan sehingga asupan garam sama
dengan keluarannya. Kelebihan garam yang dikonsumsi harus diekskresikan
dalam urine untuk mempertahankan keseimbangan garam.

Ginjal mengontrol jumlah garam yang dieksresi dengan cara:

a. Mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju


Filtrasi Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate (GFR).
b. Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal

Jumlah Na+ yang direasorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan
mengontrol tekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur
reabsorbsi Na+ dan retensi Na+ di tubulus distal dan collecting. Retensi Na+
meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma dan
menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri.Selain sistem Renin-
Angiotensin-Aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide (ANP) atau hormon
atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air.
2. Pengaturan Osmolaritas Cairan Ekstrasel
Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut)
dalam suatu larutan. Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi
solut yang tidak dapat menmbus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion
natrium menrupakan solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion
utama yang berperan penting dalam menentukan aktivitas osmotik cairan
ekstrasel. sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab
dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel. Pengaturan osmolaritas
cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan dilakukan melalui:
a. Perubahan osmolaritas di nefron
Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan
osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urine yang sesuai dengan
keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di dukstus koligen. Dinding tubulus
ansa Henle pars decending sangat permeable terhadap air, sehingga di bagian
ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta.
Dinding tubulus ansa henle pars acenden tidak permeable terhadap air
dan secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan
reabsobsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus
distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik. Permeabilitas dinding tubulus
15
distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin
(ADH). Sehingga urine yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di
keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya
vasopresis (ADH).
b. Mekanisme haus dan peranan vasopresin (antidiuretic hormone/ADH)
Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel akan merangsang osmoreseptor
di hypotalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron hypotalamus
yang mensintesis vasopresin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis
posterior ke dalam darah dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus
koligen. ikatan vasopresin dengan reseptornya di duktus koligen memicu
terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks duktus
koligen. Pembentukkan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi
cairan ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urine yang terbentuk di duktus
koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di
dalam tubuh tetap dipertahankan.
3. Pengaturan Neuroendokrin dalam Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Sebagai kesimpulan, pengaturan keseimbangan keseimbangan cairan dan
elektrolit diperankan oleh system saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf
mendapat informasi adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
melalui baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotikus, osmoreseptor di
hypotalamus, dan volume reseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan
dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami
kekurangan cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ADH
dengan meningkatkan reabsorbsi natrium dan air. Sementara, jika terjadi
peningkatan volume cairan tubuh, maka hormone atriopeptin (ANP) akan
meningkatkan eksresi volume natrium dan air.
Perubahan volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi pada beberapa
keadaan.Faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit di
antaranya ialah umur, suhu lingkungan, diet, stres, dan penyakit.
4. Keseimbangan Asam-Basa
Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan konsentrasi ion H
bebas dalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4; pH darah arteri 7,45
dan darah vena 7,35. Jika pH <7,35 dikatakan asidosi, dan jika pH darah >7,45
dikatakan alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam

16
tubuh. Ion H secara normal dan kontinyu akan ditambahkan ke cairan tubuh dari
3 sumber, yaitu:
a pembentukkan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H
dan bikarbonat.
b . katabolisme zat organik

c. disosiasi asam organik pada metabolisme intermedia, misalnya pada


metabolisme lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam
ini akan berdisosiasi melepaskan ion H.

Fluktuasi konsentrasi ion H dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal sel,
antara lain:
a. perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan
saraf pusat, sebaliknya pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.
b. mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh

c. mempengaruhi konsentrasi ion K

Bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha mempertahankan


ion H seperti nilai semula dengan cara:
a. mengaktifkan sistem dapar (buffer) kimia
b. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernafasan

c. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan

5. Sistem Buffer (dapar)


Ada 4 sistem dapar:
a. Dapar bikarbonat; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel terutama untuk
perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat
b. Dapar protein; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel

c. Dapar hemoglobin; merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk


perubahan asam karbonat

d. Dapar fosfat; merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan


intrasel.

Sistem dapar kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa


sementara. Jika dengan dapar kimia tidak cukup memperbaiki
ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akan dilanjutkan oleh paru-paru
yang berespon secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam darah akinat
rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernafasan, kemudian
17
mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan
tersebut. Ginjal mampu meregulasi ketidakseimbangan ion H secara lambat
dengan menskresikan ion H dan menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah
karena memiliki dapar fosfat dan amonia.

18
DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Arthur C. & Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed. 9 Hal.
399 - 401. Jakarta : EGC

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol. 2 Hal.
1364 1371. Jakarta : EGC

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol.2. Jakarta
: EGC

Syaifuddin. 1997. Anatomi Fisiologi untuk Siswa Perawat Ed. 2 Hal.108.Jakarta : EGC

19

Anda mungkin juga menyukai