Anda di halaman 1dari 18

2.

LANDASAN TEORI

2.1 Etika Bisnis


2.1.1 Definisi Etika Bisnis
Etika berasal dari kata Yunani ethos yang menurut Keraf (1998) adalah
adat istiadat atau kebiasaan. Perpanjangan dari adat istiadat membangun suatu
aturan kuat di masyarakat, yaitu bagaimana setiap tindak dan tanduk mengikuti
aturan-aturan, dan aturan-aturan tersebut ternyata telah membentuk moral
masyarakat dalam menghargai adat istiadat yang berlaku. Pengertian moral
menurut Velasquez (2005) bahwa moral memang mampu mempengaruhi
seseorang dalam mengambil keputusan. Sehingga etika dan moralitas berbeda,
etika perlu dipahami sebagai sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai
dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.
Terdapat banyak versi dari definisi etika bisnis dari berbagai pihak, dan
berikut adalah beberapa definisi etika bisnis:
 Menurut Laura Nash (1990), etika bisnis sebagai studi mengenai
bagaimana norma moral personal diaplikasikan dalam aktivitas dan tujuan
perusahaan (dalam Sutrisna, 2010).
 Etika bisnis adalah istilah yang biasanya berkaitan dengan perilaku etis
atau tidak etis yang dilakukan oleh manajer atau pemilik suatu organisasi
(Griffin & Ebert, 2007).
 Menurut Velasques (2005), etika bisnis merupakan studi yang
dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini
berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam
kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.
 Menurut Irham Fahmi (2013), etika bisnis adalah aturan-aturan yang
menegaskan suatu bisnis boleh bertindak dan tidak boleh bertindak,
dimana aturan-aturan tersebut dapat bersumber dari aturan tertulis maupun
aturan yang tidak tertulis. Dan jika suatu bisnis melanggar aturan-aturan
tersebut maka sangsi akan diterima. Dimana sangsi tersebut dapat
berbentuk langsung maupun tidak langsung.

7
Universitas Kristen Petra
2.1.2 Jenis-jenis Etika Bisnis
2.1.2.1 Etika Utilitarianisme
Etika Utilitarianisme menurut John S. Mill dalam buku kamus filsafat
mengatakan bahwa etika utilitarianisme merupakan teori etika yang mengatakan
bahwa hal-hal yang baik merupakan hal yang bermanfaat, berguna, dan
menguntungkan. Sebaliknya hal-hal yang jahat dan tidak baik merupakan hal-hal
yang merugikan, tidak bermanfaat dan tidak menguntungkan, dari karena itu baik
atau buruknya sesuatu ditentukan berdasarkan manfaat yang diperoleh, berguna
atau tidak berguna dan menguntungkan atau tidak menguntungkan (Bagus, 2000).
Etika Utilitarianisme mengungkapkan bahwa suatu tindakan dikatakan baik jika
mampu memberikan manfaat bukan kepada satu atau dua masyarakat saja
melainkan masyarakat besar. Perumusan etika utilitarisme yang terkenal adalah
the greatest happiness of the greatest number. (Bertens,2000).

2.1.2.2 Etika Hedonisme


Hedonisme berlaku kaidah, bertindaklah sedemikian rupa sehingga
mencapai kenikmatan yang paling besar bagimu atau hindari semua
ketidaknikmatan (Sutrisna, 2010). Menurut Sutrisna (2010), etika hedonisme
memiliki dorongan untuk mencari kenikmatan, kegembiraan, atau kesenangan dan
sebaliknya menauhi serta mencegah rasa sakit atau ketidaksenagan dalam hidup
manusia adalah sesuatu yang manusiawi.

2.1.2.3 Etika Evolusionisme


Etika Evolusionisme adalah suatu etika yang merupakan hasil dari suatu
evolusi (Sunoto,1992). Bapak dari gerakan evolusionisme adalah Herbert
Spencer. Menurutnya, manusia hanya mampu mengenal suatu gejala-gejala,
walaupun dibelakang gejala-gejala tersebut terdapat suatu dasar absolut. Namun
manusia tidak mampu mengenal dasar absolut tersebut. (Bertens, 1998). Sehingga
suatu etika yang berkembang di suatu tempat merupakan suatu evolusi pada
tempat tersebut. Kondisi ini menyebabkan kepastian dan kebenaran berbeda-beda
yang mengatakan secara tidak langsung semuanya benar yang pada hakikatnya
mengatakan semuanya salah. (Watloly, 2001). Evolusi sendiri merupakan suatu

8
Universitas Kristen Petra
pengintegrasian dari sesuatu, dimana selama pengintegrasian tersebut sesuatu itu
berpindah dari suatu kebersamaan yang tak tertentu, yang tanpa gabungan, ke
dalam suatu keanekaragaman tertentu, yang menampakkan hubungan dan di mana
gerak yang menyertainya juga mengalami perubahan yang sama (Hadiwijono,
2011).

2.1.2.4 Etika Pragmatisme


Etika Pragmatisme adalah aliran filsafat yang berprinsip bahwa
pengetahuan dicari bukan sekedar untuk tahu demi tahu, melainkan untuk
mengerti masyarakat dan dunia, sehingga dalam menilai pemikiran, gagasan,
teori, kebijakan, dan pernyataan tidak cukup hanya berdasarkan aspek-aspek logis
dan bagus suatu rumusan, tetapi juga harus berdasarkan dapat atau tidaknya
dibuktikan, dilaksanakan, dan apakah mendatangkan hasil atau tidak, jadi sesuatu
yang baik adalah yang dapat dilaksanakan, dipraktekkan, dan mendatangkan
sesuatu yang positif demi kemajuan hidup. (Wibowo,2009). Etika pragmatisme
adalah suatu prinsip dimana suatu tindakan dikatakan baik jika mudah, cepat,
memberikan hasil yang positif. (Darmaputera, 2008).

2.1.2.5 Etika Situasionisme


Etika Situasionisme adalah suatu etika yang mempertimbangkan keadaan
khusus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masing-masing situasi, dengan
tetap menggunakan prinsip-prinsip mendasar sebagai petunjuk atau pedoman,
sehingga tidak ada kebenaran dan kesalahan yang mutlak karena semuanya
berdasarkan dari kondisi saat itu (Parsons, 2004). Etika situasionisme menurut
Joseph Fletcher berarti saat berhadapan dengan masalah-masalah nyata, suara hati
merupakan variabel-variabel situasional yang perlu diberikan bobot sama besar
dengan tetapan-tetapan normatif yang dengan kata lain bisa menghilangkan etika-
etika lain (Magnis, 2006).

2.1.2.6 Teori Deontologi (Etika Kewajiban)


Teori deontologi menurut Keraf, merupakan suatu tindakan itu baik bukan
dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan tersebut,

9
Universitas Kristen Petra
melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri (dalam Fahmi, 2013). Atas dasar itu,
etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik, dan watak yang
kuat dari pelaku (Sutrisna, 2010). Atau sebagaimana dikatakan Immanuel Kant,
kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apapun juga
(dalam Sutrisna, 2010). Menurut Sutrisna (2010) Ada tiga prinsip yang harus
dipenuhi dalam menerapkan teori deontologi, yaitu:
a. Supaya suatu tindakan punya nilai moral, maka tindakan itu harus
dijalankan berdasarkan aturan, prosedur, atau kewajiban.
b. Nilai moral dari suatu tindakan tidak ditentukan oleh tujuan atau hasil
yang dicapai, melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong
seseorang untuk melakukan tindakn tersebut.
c. Sebagai konsekuensi dari dua prinsip tersebut, kewajiban adalah hal yang
penting dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada
hukum moral universal.

Dalam uraian teori etika bisnis maka, dalam penelitian ini menegaskan
memakai teori deontologi. Hal ini terbukti bahwa deontologi memiliki banyak
kelebihan dibandingkan teori-teori etika yang lain. Dalam suatu perbuatan pasti
ada konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi
pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari hasilnya melainkan
karena perbuatan tersebut wajib dilakukan. Deontologi menekankan perbuatan
tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadi perbuatan itu
juga baik. Dalam hal ini, tidak boleh melakukan suatu perbuatan jahat agar
sesuatu yang dihasilkan itu baik. Misalkan tidak boleh mencuri, berdusta untuk
membantu orang lain, mencelakai orang lain melalui perbuatan ataupun ucapan,
karena dalam teori deontologi kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena ini
merupakan suatu keharusan dan memiliki pendirian yang teguh pada prinsip yang
taat.

2.1.3 Prinsip-prinsip Etika Bisnis


Menurut Keraf (1998), prinsip-prinsip etika yang berlaku dalam bisnis
adalah (dalam Sutrisna, 2010):

10
Universitas Kristen Petra
 Prinsip otonomi: sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil
keputusan berdasarkan kesadaran sendiri tentang apa yang dianggap baik
untuk dilakukan.
 Prinsip kejujuran: terkait dengan kepercayaan. Kejujuran relevan dalam
bisnis berkaitan dengan pemenuhan syarat-syarat kontrak atau
perjanjian, penawaran barang dan jasa yang meliputi mutu dan harga
yang sebanding, dan hubungan kerja internal.
 Prinsip keadilan: prinsip ini menuntut agar setiap orang diperlakukan
secara adil sesuai dengan criteria yang rasional objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan.
 Prinsip saling menguntungkan: dalam bisnis kompetitif, tetap harus
diupayakan terjadinya win-win solution.
 Prinsip integritas moral: sebagai tuntutan moral dalam diri pelaku bisnis
atau perusahaan, agar dalam menjalankan bisnisnya senantiasa menjaga
nama baik perusahaan.

2.1.4 Peran dan Manfaat Etika Bisnis


2.1.4.1 Peran Etika Bisnis
Peranan etika dalam kegiatan bisnis antara lain, sebagai berikut:
 Etika harus menjadi pedoman dalam kegiatan masyarakat, dan seharusnya
juga menjadi pedoman bagi pebisnis. Mana tindakan yang tepat, benar
dan boleh dilakukan dalam bisnis yang diharapkan menguntungkan
semua pihak yang terlibat (Satyanugraha, 2003).
 Etika berperan sebagai penghubung pelaku bisnis. Pelayanan purna jual
tentu merupakan refleksi nilai atau etika bisnis yang diterapkan
perusahaan untuk menjaga loyalitas konsumennya (Tjiptono, 2005).
 Etika juga berperan sebagai syarat utama untuk kelanggengan atau
konsistensi perusahaan. Loyalitas konsumen akan dapat membantu
perusahaan agar tetap bisa bertahan (Tjiptono, 2005).
 Untuk membangun kultur bisnis yang sehat, idealnya dimulai dari
perumusan etika yang akan digunakan sebagai norma perilaku sebelum

11
Universitas Kristen Petra
aturan (hukum) perilaku dibuat dan laksanakan, atau aturan (norma) etika
tersebut diwujudkan dalam bentuk aturan hukum (Arman, 2011).
 Sebagai kontrol terhadap individu. Pelaku dalam bisnis yaitu melalui
penerapan kebiasaan atau budaya moral atas pemahaman dan
penghayatan nilai-nilai dalam prinsip moral sebagai inti kekuatan suatu
perusahaan dengan mengutamakan kejujuran, bertanggung jawab,
disiplin, berperilaku tanpa diskriminasi (Arman, 2011).
 Etika bisnis hanya bisa berperan dalam suatu komunitas moral, tidak
merupakan komitmen individual saja, tetapi tercantum dalam suatu
kerangka sosial (Arman, 2011).

2.1.4.2 Manfaat Etika Bisnis


Perubahan yang cepat pada era globalisasi saat ini, menimbulkan
masalah-masalah yang berkaitan dengan etika dalam berbisnis dan mengundang
pro dan kontra dengan berbagai alasan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa
manfaat etika bisnis menurut Sutrisna (2010) adalah sebagai berikut:
 Sebagai moralitas, etika bisnis membimbing tingkah laku manusia agar
dapat mengelola kehidupan dan bisnis menjadi lebih baik.
 Dapat mendorong dan mengajak orang untuk bersikap kritis dan rasional
dalam mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri, yang
dapat dipertanggungjawabkannya.
 Dapat mengarahkan masyarakat untuk berkembang menjadi masyarakat
yang tertib, teratur, damai, dan sejahtera dengan menaati norma-norma
yang berlaku demi mencapai ketertiban dan kesejahteraan sosial.
 Sebagai ilmu pengetahuan, etika bisnis memberikan pemenuhan terhadap
keingintahuan dan menuntut manusia untuk dapat berperilaku moral
secara kritis dan rasional.

2.1.4.3 Keuntungan Etika Bisnis


Adapun pendapat Sinour (2009) bahwa etika bisnis memberikan
keuntungan dan membantu para pebisnis. Keuntungan yang dimaksud Sinour
adalah sebagai berikut:

12
Universitas Kristen Petra
 Etika bisnis menyadarkan para pebisnis tentang adanya dimensi etis yang
melekat dalam perusahan yang dibangun.
 Etika bisnis memampukan para pebisnis untuk membuat pertimbangan-
pertimbangan moral dan pertimbangan-pertimbangan ekonomis secara
memadai.
 Etika bisnis memberi arah yang tepat bagi para pebisnis ketika akan
menerapkan pertimbangan-pertimbangan moral-etis dalam setiap
kebijakan dan keputusan bisnis demi tercapainya tujuan yang
ditargetkan.

2.2 Etika Bisnis dalam Perusahaan


2.2.1 Etika Penetapan Harga
Dalam pemilihan strategi penetapan harga, ada beberapa tahapan yang
perlu diperhatikan, yaitu (Hirdinis, 2009 & Dharmmesta, 2005): menetapkan
tujuan harga, analisis situasi harga, memilih strategi harga, menetapkan harga
khusus dan kebijakan.
Menurut Kotler ada berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya harga.
Faktor-faktor tersebut adalah (dalam Dharmmesta, 2005): kondisi perekonomian,
penawaran dan permintaan, elastisitas permintaan, persaingan, biaya, tujuan
manajer, dan pengawasan pemerintah.

2.2.1.1 Etika Penetapan Harga Jasa


Menurut Tjiptono (2005) strategi penerapan harga jasa adalah sebagai
berikut:
 Penetapan harga berdasarkan kepuasan (Statisfaction-Based Pricing).
Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi ketidak pastian yang
dirasakan pelanggan. Bentuk implementasinya adalah sebagai berikut:
a. Garansi jasa (service guarantees): penetapan harga disertai garansi.
b. Benefit-driven pricing: penetapan harga berdasarkan manfaat.
c. Flate-rate pricing: penetapan harga berdasarkan biaya aktual.

13
Universitas Kristen Petra
 Relationship pricing adalah penetapan harga berdasarkan upaya yang
menarik, mempertahankan, dan meningkatkan relasi dengan para
konsumen, seperti:
a. Long-term contracts
Penetapan harga berdasarkan kontrak dengan insentif harga dan
non harga kepada pelanggan agar mereka bersedia mengikat diri
pada relasi jangka panjang.
b. Price bundling
Strategi penetapan harga dengan menjual satu jasa atau lebih dalam
satu paket. Harga satu paket harus lebih murah daripada harga total
masing-masing item bila dijual terpisah.
c. Efficiency pricing
Strategi penetapan harga melalui pemahaman, pengelolaan, dan
penekanan biaya. Sebagian atau keseluruhan penghematan biaya
akan diteruskan kepada para pelanggan dalam bentuk harga yang
lebih murah.
 Metode penetapan harga konvensional dalam sektor jasa, yaitu:
a. Cost-based pricing, yaitu metode penetapan harga berdasarkan
perhitungan biaya-biaya finansial.
b. Competition-based pricing, yaitu strategi ini berfokus pada harga
ditetapkan oleh perusahaan-perusahaan lain dalam industri atau
pasar yang sama.
c. Demand-based pricing (value-based pricing), yaitu menetapkan
harga konsisten dengan persepsi pelanggan terhadap nilai.

2.2.2 Etika Menjalin Hubungan dengan Relasi Bisnis


Menurut Sinuor (2009) terdapat empat kewajiban yang harus dimiliki
untuk menjalin hubungan dalam berbisnis, yaitu:
 Berbisnis secara jujur
Satu-satunya alasan dari segi bisnis adalah menyangkut hakikat dan
tujuan dari bisnis itu sendiri. Namun dalam hal ini yang merupakan
kejujuran atau berjikap jujur sesungguhnya adalah sebagai berikut:

14
Universitas Kristen Petra
a. Hakikat dan pengertian kejujuran adalah terbuka, tanpa kedok, atau
tidak berusaha menyembunyikan keaslian diri sendiri.
b. Kejujuran dalam berbisnis dimana dibutuhkan pebisnis yang seluruh
hidup dan perilakunya terarah kepada tujuan bisnis yang sebenarnya
bukan terhadap keuntungan semata.
 Berbisnis secara adil
Keadilan secara hakiki merupakan norma yang menuntut agar dalam
mencapai tujuan-tujuan tertentu termasuk dalam dunia bisnis, seseorang
tidak boleh mengorbankan hak-hak dan kepentingan orang lain.
 Berbisnis secara bertanggungjawab
Pebisnis bebas memilih dan menetapkan siapa yang seharusnya menjadi
mitra bisnisnya. Semuanya dilakukan berdasarkan pilihan dan
kehendaknya. Seorang pebisnis yang beretika memang bebas, tetapi
dalam kebebasannya juga harus selalu siap untuk
mempertanggungjawabkan semua akibat atau dampak yang timbul atas
penggunaan kebabasan tersebut.
 Berbisnis di antara hak dan kewajiban
Dalam dunia bisnis, hak dan kewajiban bersifat normative atau
konsekuensinya harus ditaati oleh semua pihak. Perlu ditegaskan bahwa
penegakkan hak dan kewajiban semua pihak dalam perusahaan
merupakan unsur pokok yang menentukan kenyamanan dan kepastian
dalam praksis bisnis.

2.2.3 Etika Ketenagakerjaan


Ada beberapa tanggung jawab perusahaan terhadap karyawan, seperti
adanya komitmen hukum dan sosial perilaku tanggung jawab secara sosial
terhadap para karyawan yang memiliki komponen hukum dan sosial (Ricky W.
Griffin dan Ronald J. Ebert, 2006). Menurut peraturan, bisnis tidak dapat
mempraktekkan berbagai bentuk diskriminasi ilegal terhadap orang-orang dalam
setiap segi hubungan pekerjaan (dalam Sutrisna, 2010). Perusahaan dikatakan
memenuhi tanggung jawab hukum dan sosialnya apabila karyawannya diberikan

15
Universitas Kristen Petra
kesempatan yang sama tanpa memandang suku, jenis kelamin, atau faktor lainnya
yang tidak relevan (Bertens, 2013).
Menurut badan penelitian, pengembangan dan informasi kementrian
tenaga kerja dan transmigrasi (2013), masalah ketenagakerjaan yang sering terjadi
adalah masalah pelatihan keterampilan kerja, penempatan tenaga kerja, hubungan
industrial dan jamsostek, serta pengawasan ketenagakerjaan. Sehingga dibuatlah
arahan kebijakan bidang ketenagakerjaan 2014-2019 berdasarkan undang-undang
Republik Indonesia No. 3 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, berikut adalah
arahan kebijakan bidang ketenagakerjaan 2014-2019:
 Pelatihan keterampilan kerja
Untuk mewujudkan pelatihan keterampilan kerja sebagai gawe nasional
dalam meningkatkan skill dan attitude tenaga kerja agar menjadi human
capital yang handal, maka kebijakan pelatihan keterampilan kerja yang
dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi harus
dilandaskan pada filosofi bermanfaat dan integratif.
 Penempatan tenaga kerja
Untuk mencapai penciptaan dan perluasan kesempatan kerja yang
memadai dari aspek jumlah, dan layak dari aspek penghasilan dan standar
kerja baik di dalam maupun di luar negeri, serta terjadinya peningkatan
keterampilan tenaga kerja Indonesia melalui alih keterampilan dari TKA,
maka kebijakan penempatan tenaga kerja yang harus dilaksanakan oleh
Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
 Hubungan industrial dan jamsostek
Untuk mencapai hubungan industrial yang harmonis melalui High Road
Industrial Relation System, yang menjamin adanya fleksibilitas pasar kerja
tanpa mengabaikan supremasi nilai kemanusiaan, maka kebijakan
hubungan industrial yang harus dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasiharus didasarkan pada filosofi dan visi
menciptakan High Road Industrial Relation System, yang menjamin
terciptanya hubungan industrial yang harmonis, yakni:
a. Pengupahan
 Menegaskan kepastian kebijakan pengupahan.

16
Universitas Kristen Petra
 Memberi pemahaman kepada seluruh pihak terkait agar
melakukan penentuan upah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
 Mengevaluasi peraturan-peraturan daerah yang teridentifikasi
menimbulkan kemelut dalam penentuan upah minimum.
 Evaluasi ini harus dilakukan oleh Biro Hukum.
 Bersama dengan pemerintah daerah memberi pencerahan
kepada perusahaan mengenai unsur kesejahteraan pekerja, yang
tidak hanya didasarkan pada upah.
b. Pemborongan dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan
lain (outsourcing).
 Menunjukkan komitmen untuk menjamin kesejahteraan,
keberlangsungan pekerjaan, dan jaminan sosial bagi pekerja
dalam kegiatan pemborongan dan penyerahan sebagian
pekerjaan kepada perusahaan lain.
 Mengambil keputusan yang tegas dalam penegakan hukum
terkait pelaksanaan kegiatan pemborongan dan penyerahan
sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain.
 Mengambil langkah yang tegas terhadap kontroversi dalam
pelaksanaan kegiatan pemborongan dan penyerahan sebagian
pekerjaan kepada perusahaan lainkarena terbitnya
Permenakertrans No 19 Tahun 2012, Surat Edaran Menteri
Tenaga Kerja No 4 Tahun 2013.
c. Jaminan sosial
 Menyarankan agar PT JAMSOSTEK pro-aktif melakukan
sosialisasi mengenai program jamiman sosial bagi tenaga kerja.
 Meningkatkan koordinasi dengan SKPD ketenagakerjaan
tentang kepesertaan jamsostek.
 Mengupayakan implementasi SJSN dalam waktu secepatnya
untuk memecahkan permasalahan kesejahteraan pekerja/buruh,
pesangon, outsourcing, dll).

17
Universitas Kristen Petra
 Penerapan prinsip keadilan yang proporsional bagi kontribusi
Pemerintah, Pengusaha, dan Pekerja dalam kebijakan SJSN.
d. Revitalisasi serikat pekerja kelembagaan hubungan industrial
 Bersama dengan pemerintah daerah meningkatkan
profesionalisme serikat pekerja/buruh.
 Bersama dengan pemerintah daerah melakukan bimbingan
mengenai budaya pekerja terhadap serikat pekerja/buruh.
 Meningkatkan kemampuan pemerintah daerah untuk
menentukan representasi serikat pekerja/buruhyang sah dalam
hubungan Tripartit dalam menentukan kebijakan
ketenagakerjaan.
 Meningkatkan ketegasan aparat ketertiban dan keamanan
terhadap tindakan anarkis.
 Pengawasan ketenagakerjaan
Untuk mewujudkan pengawasan ketenagakerjaan yang berfungsi sebagai
pengawal pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan,
maka kebijakan pengawasan ketenagakerjaan yang harus dilakukan oleh
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi harus dilandaskan pada
filosofi pengawasan ketenagakerjaan yang kuat, kompeten, professional,
bermartabat, dan mengglobal.

2.2.4 Etika Sosial dan Lingkungan


Bisnis bukan hanya secara hukum dan moral bertanggungjawab terhadap
tindakannya, tetapi juga tanggung jawab sosial, yaitu untuk menjadi warga negara
yang baik (Sutrisna, 2010). Setiap pihak yang mengikat diri terhadap manajemen
mutu sesungguhnya menyetujui adanya tanggung jawab moral. Menurut Pratley
(dalam Sutrisna, 2010) minimal ada tiga tanggung jawab utama korporasi, yaitu:
 Menghasilkan barang-barang, kepuasan konsumen, dan keamanan
pemakaian.
 Peduli terhadap lingkungan, baik dilihat dari sudut masukan maupun
keluaran, pembuangan limbah yang aman, serta mengurangi penyusutan
sumber daya.

18
Universitas Kristen Petra
 Memenuhi standar minimal kondisi kerja dan sistem pengupahan serta
jaminan sosial.

Tanggung jawab sosial bisnis (Corporate Social Responsibility atau


disingkat CSR adalah memanfatkan sumber daya yang ada untuk mencapai laba
dengan cara yang sesuai dengan aturan bisnis dalam persaingan bebas tanpa
mengabaikan etika bisnis (Fahmi, 2013).
Sutrisna (2010) mengemukakan CSR mengalami perkembangan yang
cukup dramatis. Salah satu pendorongnya adalah perubahan dan pergeseran
paradigm dunia usaha, untuk tidak semata-mata mencari keuntungan, tetapi turut
pula bersikap etis dan berperan dalam penciptaan investasi sosial. CSR adalah
suatu konsep yang bermaterikan tanggung jawab sosial dan lingkungan oleh
perusahaan kepad masyarakat luas, khususnya di wilayah perusahaan tersebut
beroperasi (Bertens, 2013). Implementasi CSR diperusahaan pada umumnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: komitmen pimpinan, ukuran dan
kematangan perusahaan, dan regulasi sistem perpajakan yang diatur pemerintah.
Terdapat beberapa pendapat yang mendukung perlunya tanggung jawab sosial
bisnis (Sutisna, 2010), yaitu: kewajiban moral, terbatasnya sumber daya alam,
lingkungan sosial yang lebih baik, bisnis mempunyai sumber daya, keuntungan
jangka panjang, perimbangan tanggung jawab dan kekuasaan.
Pentingnya kelesatarian lingkungan untuk masa sekarang hingga masa
yang akan datang, secara eksplisit menunjukan bahwa perjuangan manusia untuk
menyelamatkan lingkungan hidup harus dilakukan secara berkesinambungan yang
dapat dipertanggungjawabkan (Bertens, 2013).

2.3 Penelitian Terdahulu


Berikut ini penulis sajikan beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai
topik yang terkait dengan penelitian penulis.

19
Universitas Kristen Petra
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Terkait dengan Penerapan Etika Bisnis
Michaelson Cornwell, B Svensson, G., & Wood, G.
Penulis

Moral Luck and Business Peran Etika Kristen, Islam, A Conceptual Framework of
Judul

Ethic Budha, dan Khonghuchu Corporate and Business Ethics


(Confucius) Terhadap Etika Across Organizations
Konsumen
2008 2005 2011
Tahun

Untuk menjawab pertanyaan Untuk mengungkapkan peran Untuk memperkenalkan dan


penelitian ini yang nilai-nilai agama sebagai menjelaskan suatu kerangka
Tujuan Penelitian

berpendapat bahwa jika penggerak utama etika dalam kerja konseptual etika
seseorang tidak dapat posisi etika konsumen. perusahaan dan bisnis di
menjelaskan dimana level seluruh organisasi dalam hal
moral seseorang. struktur etis , proses etis dan
kinerja etis.

Normatif deskriptif dengan Kuantitatif yang mengacu pada Kualitatif deskriptif


pendekatan deduktif penelitian sebelumnya yaitu Al
Penelitian
Metode

Khatib, et al 1997, Rawwas,


et.al 1994, dan Erffeneyer, et.al.
1999. Pengumpulan data
digunakan kuisioner dari
Forsyth 1980
Di dalam bisnis sebuah a. Penelitian mengenai etika Etika bisnis di seluruh
pujian dan anggapan konsumen yang telah organisasi harus dilihat secara
seseorang tentang moral banyak diteliti di berbagai terus-menerus. Etika harus
yang terdapat dalam bisnis negara, banyak konstan dan praktek bisnis
umumnya dapat mengabaikan nilai-nilai organisasi perlu dilakukan
mempengaruhi seseorang agama. perubahan terus-menerus. Etika
untuk memberikan penilaian b. Sulit menilai peran agama mendukung dinamika
moral. Maka seharusnya dalam mempengaruhi kompleksitas, karena
Hasil Penelitian

orang itu harus memberikan konsumen karena tingkat memberikan dukungan tentang
pertimbangan risiko moral relativisme dan idealisme. bagaimana mengembangkan,
dalam penilaian moral yang c. Relativisme dan idealisme mengelola dan mengevaluasi
akan didapat dalam tersebut adalah ideologi bisnis yang etis dalam praktek
penugasanya nanti terkait Barat yang kurang optimal organisasi. Etika bisnis di
imbalan ekonomi mengenai dalam mengidentifikasi seluruh organisasi bergantung
episode di mana posisi etis dari agama- pada struktur etika yang ada.
keberuntungan moral yang agama Timur. Organisasi yang saling
nantinya akan memainkan tergantung dan secara implisit
peran. bertanggungjawab bersama
untuk kinerja etis di seluruh
organisasi.

Sumber: Diolah oleh Penulis (2014)

20
Universitas Kristen Petra
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang telah membahas etika bisnis
seperti jurnal yang berjudul “Moral Luck and Business Ethic” yang menyatakan
bahwa di dalam bisnis sebuah pujian dan anggapan seseorang tentang moral yang
terdapat dalam bisnis umumnya dapat mempengaruhi seseorang untuk
memberikan penilaian moral (Michaelson, 2008).
Berdasarkan jurnal tentang peran etika Kristen, Islam, Budha, dan
Khonghuchu (Confucius) terhadap etika konsumen menurut Cornwell (2005)
bahwa, sulit menilai peran agama dalam mempengaruhi konsumen karena tingkat
relativisme dan idealism yang dianut (ideologi). Dimana ideologi barat yang
kurang optimal dalam mengidentifikasi posisi etis dari agama-agama timur.
Adapun penelitian Svensson, G., & Wood, G. (2011) dalam jurnal yang
berjudul “A Conceptual Framework of Corporate and Business Ethics Across
Organizations” yang menyatakan bahwa Etika bisnis di seluruh organisasi harus
dilihat secara terus-menerus. Etika mendukung dinamika kompleksitas, karena
memberikan dukungan tentang bagaimana mengembangkan, mengelola dan
mengevaluasi bisnis yang etis dalam praktek organisasi. Etika bisnis di seluruh
organisasi bergantung pada struktur etika yang ada. Hal ini dapat diartikan bahwa
adanya persepsi di pasar dan di masyarakat yang menentukan apa masalah harus
ditujukan untuk mencapai praktek bisnis yang etis didalam sebuah organisasi.
Persepsi ini mendasari masyarakat bahwa, masyarakat kemudian akan melakukan
apa yang penting untuk mengenali praktek bisnis yang etis di seluruh organisasi
tergantung pada tindakan staf dan perilaku. Karena itu, dibutuhkan struktur dan
proses pendukung.
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu tersebut maka, penulis pun
menjadi tertarik untuk melakukan penelitian tentang etika bisnis. Namun, penulis
akan melakukan penelitian dengan menganalisis etika bisnis mana yang
diterapkan pada PT Maju Jaya di Pare, Kediri, Jawa Timur.

2.4 Etika Bisnis dan Hukum di Indonesia


Diperlukan pembanding antara etika bisnis dalam perusahan dengan
hukum yang berlaku di Indonesia. Perbandingan tersebut dimaksudkan agar dapat
membuktikan apakah hukum di Indonesia telah memenuhi etika yang berlaku di

21
Universitas Kristen Petra
masyarakat dan etika pada hakekatnya lebih tinggi daripada hukum. Hal ini
terbukti dengan pendapat dari Arman (2011) bahwa, hukum akan mengkodifikasi
harapan dari etika dalam melaksanakan kegiatan bisnis. Meskipun disadari tidak
semua harapan etika tersebut dapat dipenuhi oleh hukum. Norma etika memang
bersifat dinamis, tetapi begitu etika dituangkan dalam ketentuan hukum sifat
dinamisnya menjadi berkurang/bahkan mungkin menjadi statis. Maka, hukum
tentunya harus memperhatikan pula apabila adanya perubahan-perubahan.
Menurut Arman (2011) bahwa etika bisnis memiliki peranan yang lebih
dibandingkan hukum, sebagai berikut:
 Hukum sebagai salah satu sarana/alat pengawasan (social control) yang
efektif untuk mengendalikan praktek bisnis yang tidak sehat. Sebab
hukum menetapkan secara tegas apa yang harus dilakukan atau tidak
boleh dilakukan, serta bentuknya yang tertulis memberi rasa aman bagi
para pelaku bisnis, karena apabila terjadi pelanggaran sanksinya jelas.
 Bisnis tidak bisa lepas dari faktor hukum, tetapi hukum saja belum
cukup untuk mengatur bisnis, dalam hal ini pula didukung faktor lain
seperti etika. Bahkan pada taraf normatif, etika mendahului hukum.
Mematuhi hukum dalam bisnis adalah suatu keharusan.
 Etika bisnis mendasari terbentuknya hukum (substantif) bukan
sebaliknya hukum yang membentuk etika bisnis. Etika sebagai
bagian/cabang dari filafat (umum) yang mempelajari tentang tingkah
laku manusia mengenai baik dan buruknya dalam kehidupan
bermasyarakat.
 Filsafat hukum mempelajari tentang hakekat hukum, juga merupakan
cabang filsafat (khusus). Keduanya (etika dan filsafat) pada dasarnya
sama-sama membahas mengenai aturan tingkah laku manusia dalam
kehidupan masyarakat dan dipraktekkan dalam kehidupan
bermasyarakat.
 Etika berkaitan dengan tentang apa yang benar dan apa yang salah,
sedangkan hukum cenderung dapat ditafsirkan sebagai masalah legal
atau ilegal.

22
Universitas Kristen Petra
 Tidak semua etika diatur secara penuh oleh hukum, karena etika terus
berkembang dalam kehidupan masyarakat yang mencerminkan
pemikiran etis masyarakat dalam membangun etika bisnis, sedangkan
hukum bersifat terbatas.
 Namun demikian hukum harus dapat mengkodifikasikan harapan dari
etika, meskipun disadari bahwa tidak semua harapan etika tersebut dapat
dipenuhi seluruhnya oleh hukum.

2.5 Penerapan Etika Bisnis dalam Perusahaan


Menurut Sutrisna (2010), bahwa keuntungan memungkinkan suatu
perusahaan bertahan dalam bisnisnya. Tanpa memperoleh keuntungan tidak ada
pemilik modal yang bersedia menanamkan modalnya, dan keuntungan
memungkinkan perusahaan tidak hanya bertahan, melainkan juga dapat
menghidupi para karyawannya, bahkan pada tingkat dan taraf hidup yang semakin
baik. Namun, bisnis tidak boleh dibangun hanya berlandskan pada keinginan
mendapatkan materialistis semata, atau mengejar kekeayaan saja (Fahmi, 2013).
Menurut Lennick dan Keil (2005) bahwa, perusahaan-perusahaan yang memiliki
pemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih
sukses dalam jangka panjang. Hal yang sama juga dikemukakan miliuner John M.
Huntsman (2005), kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha
yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain.
Pada penelitian ini, penulis akan meneliti lebih dalam mengenai
penerapan etika bisnis pada PT Maju Jaya. Penelitian tersebut berfokus pada etika
mana yang diterapkan pada PT Maju Jaya dari jenis-jenis etika yaitu; etika
utilitarianisme, etika hedonisme, etika evolusionisme, etika pragmatisme, etika
situasionisme, dan etika deontologi berdasarkan kriteria etika penetapan harga (
Tjiptono, 2005), etika dalam menjalin hubungan dengan relasi bisnis (Sinour,
2009), etika ketenagakerjaan (Badan penelitian, pengembangan dan informasi
kementrian tenaga kerja dan transmigrasi, 2013), etika tanggung jawab sosial dan
lingkungan (Sinour, 2009).

23
Universitas Kristen Petra
2.6 Kerangka Berpikir

Analisa Etika Bisnis: Etika Binis dalam Perusahaan:


1. Etika Penetapan Harga
1. Etika Utilitarianisme 2. Etika dalam Menjalin
2. Etika Hedonisme Hubungan dengan
Etika Bisnis
3. Etika Evolusionisme Relasi Bisnis
4. Etika Pragmatisme 3. Etika Ketenagakerjaan
5. Etika Situasionisme 4. Etika Tanggung Jawab
6. Etika Deontologi Sosil dan Lingkungan.

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir


Sumber: Diolah oleh Penulis (2014)

Pada penelitian ini, peneliti melakukukan penelitian tentang etika bisnis


dengan menganalisa etika mana yang diterapkan pada PT Maju Jaya. Analisa
etika bisnis yang digunakan mengaju pada etika bisnis dalam perusahaan dengan
indikator etika penetapan harga, etika dalam menjalin hubungan dengan relasi
bisnis, etika ketenagakerjaan, etika tanggung jawab sosial dan lingkungan.

24
Universitas Kristen Petra

Anda mungkin juga menyukai