Anda di halaman 1dari 3

Memupuk Sikap Toleransi dalam Lingkungan Sekolah

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat beragam, baik dari sisi etnis, suku bangsa,
agama, maupun budaya. Indonesia terdiri lebih dari 101 etnis dengan beragam bahasa yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Indonesia mengakui agama Islam, Katolik, Kristen,
Hindu, Buddha, Konghucu, dan berbagai kepercayaan lokal lainnya.

Keragaman tersebut merupakan kekayaan yang mesti dirayakan bersama karena mendapat
pengakuan dunia international. Keragaman pun (agama, bahasa, budaya) menjadi acuan luar
biasa untuk membentuk karakter siswa untuk menjadi pribadi yang terbuka dan toleran. Akan
tetapi, kenyataannya keragaman justru menjadi pemicu konflik antarsiswa di sekolah.

Menurut pendapat seorang Guru SMA Avicenna Cinere, kegagalan pendidikan di sekolah dalam
membentuk sikap kebhinekaan disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya minimnya
pemberdayaan pembelajaran di kelas berbasis sikap kebhinekaan. Pembelajaran di kelas yang
menanamkan sikap kebhinekaan dimulai dari pengenalan diri secara utuh kondisi masing-masing
peserta didik. Kemudian juga pemberlakuan antidiskriminatif komunitas dalam kelas dan
internalisasi sikap kebhinekaan dalam setiap materi pembelajaran.

Pembelajaran di kelas lebih berorientasi pada penekanan aspek kognitif dan kuantifikasi angka.
Pembelajaran sebagai proses transfer pengetafhuan dan nilai-nilai keragaman hidup,
diterjemahkan secara distortif dengan model pendekatan lama yang mengabaikan sisi keragaman
dan kebhinekaan siswa.

Penanaman nilai-nilai kebhinekaan dianggap kurang penting dan menjadi pemenuhan kebutuhan
pendidikan yang sifatnya sesaat dan reaktif. Persepsi bahwa esensi kebhinekaan sebagai
keniscayaan dan rahmat bagi kehidupan berbangsa lebih sering dinihilkan dalam pembelajaran.
Padahal, bangunan persepsi seperti pengenalan keragaman individu, kelompok sosial dan
masyarakat sangat penting dijadikan modalitas sosial dalam pembelajaran kebinekaan secara
keberlanjutan.

Sekolah seakan gagal dalam menjalankan fungsi pendidikan terhadap siswa dengan penekanan
internalisasi nilai-nilai kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang
diimplementasikan dalam sikap saling menghargai, toleransi, menjunjung kesetaraan, dan
keberadilan yang berbasis pada kearifan perbedaan suku, ras, etnis, dan agama.

Internalisasi nilai-nilai kebinekaan dalam setiap gerak dan langkah pembelajaran harus dilakukan
dengan nyata, konsisten, serta berkelanjutan. Langkah yang perlu ditempuh antara lain
merumuskan dan menyosialisasikan model penanaman nilai-nilai kebhinekaan dalam
pembelajaran kepada para siswa.

Murid sejak dini harus mulai dikenalkan esensi dan maknanya dalam kehidupan sesuai dengan
jenjang pendidikan. Jangan sampai siswa dalam proses pendidikan mengalami indoktrinasi dan
“pencucian otak” oleh guru. Ini akan membentuk generasi yang eksklusif dan menolak
keragaman sebagai suatu kenyataan kehidupan bermasyarakat.
Kepala sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengevaluasi dan memonitor keberlangsungan
penanaman nilai-nilai dalam proses pembelajaran. Lebih penting juga untuk membekali guru
melalui penyamaan persepsi, penguatan materi, dan pelatihan model-model pembelajaran
berbasis kebhinekaan. Dengan demikian, pembelajaran lebih berdaya tarik dalam membentuk
suasana kebhinekaan di sekolah.

Guru harus sanggup melukiskan cita-cita kehidupan yang harmonis dan dapat berdampingan di
tengah-tengah keragaman masyarakat. Ini harus menjadi sebuah tujuan dan impian dalam
pelaksanaan perilaku hidup setiap siswa. Peran guru di sekolah harus sanggup melukiskan
kebersamaan, perdamaian, dan kesetaraan seluruh siswa. Ini bisa melalui ide kreatif dalam
pembelajaran dan pelibatan siswa untuk menggali nilai-nilai kebhinekaan sekitar. Di atas
segalanya, guru melaksanakan pembelajaran kebhinekaan dengan berlandaskan pada nilai-nilai
luhur Pancasila. Jadi, tidak sekadar mengejar angka sebagai hasil akhir pembelajaran.

Pendidik dalam menjalankan tugas profesional pengajaran tidak cukup hanya menimbulkan rasa
tertarik dan penasaran siswa akan nilai-nilai kebhinekaan. Dia harus sanggup menstimulasi
siswa, sehingga merasa mampu dan memiliki hasrat untuk memujudkan cita-cita yang
ditanamkan menjadi kebiasaan hidup.

Rasa mampu akan melahirkan keyakinan tentang tekad dan kesungguhan mencapai cita-cita serta
dimanifestasikan menjadi kenyataan dalam kepribadian siswa dalam menyikapi keragaman. Di
sinilah budaya konsistensi antara materi, proses, pengalaman dan perilaku nyata siswa dalam
bingkai kebinekaan mesti dirangkai menjadi satu kesatuan orientasi pembelajaran guru.

Para guru harus dapat memfasilitasi rasa mampu siswa dalam pembelajaran kebinekaan menjadi
pengalaman dan kenyataan hidup melalui studi nyata lapangan. Contoh dengan kunjungan
tempat peribadatan umat beragama lain. Siswa didorong dan dibekali agar berani dialog
kebinekaan dengan tokoh umat agama lain. Ini sesuai dengan pengalaman hidup yang
dialaminya.

Ilustrasinya, siswa setelah mengetahui dan memahami nilai-nilai kebinekaan dalam


pembelajaran, lalu didialekkan untuk memperkuat keyakinan dan peneguhan diri sebagai siswa
yang prokebinekaan. Siswa sanggup menyampaikan gagasan dan prinsip-prinsip yang
memperkuat keragaman dengan orang yang berbeda pandangan.

Langkah-langkah tersebut sebagai batu pijakan dari konsep ke stimulasi menuju aktualisasi
penanaman nilai-nilai keragaman di sekolah kepada siswa. Dengan begitu, setidaknya dapat
menjadi kekuatan baru bagi sekolah. Lembaga ini berkonstribusi dalam mengantisipasi konflik
karena bias keragaman di masyarakat.

Proses penanaman nilai-nilai kemajemukan dalam pembelajaran dilaksanakan secara terus-


menerus. Ini terlepas dari berbagai internalisasi nilai-nilai akan membentuk sikap kebhinekaan di
dalam sebuah komunitas secara lebih matang. Sebagaimana dikatakan Bung Karno, hanya
dengan terus-menerus mengalir ke laut, sebuah sungai tetap setia kepada sumber airnya.
Bertolak dari situ dapat ditunjukkan bahwa konsistensi peran sekolah sangat penting sebagai
wadah dan jalan alternatif yang moderat untuk menjawab persoalan lunturnya kebhinekaan
masyarakat akhir-akhir ini. Sebagaimana dikatakan mantan Presiden India Abdul Kalam.
Menurutnya, pendidikan adalah jalan terbaik untuk mengatasi kemiskinan, kesenjangan,
perbedaan, dan membawa kemajuan suatu negara.

Jika saja guru-guru sekolah memiliki kesadaran untuk merevitalisasi peran yang mereka emban
begitu penting dalam membangun kualitas bangsa, tidak menutup kemungkinan negara ini akan
memiliki kualitas keadaban tinggi. Ini dengan mengedepankan nilai-nilai kebhinekaan sebagai
kekayaan dalam bingkai NKRI.

Anda mungkin juga menyukai