Makalah Ekonomi Mikro Dirra Azzuhra
Makalah Ekonomi Mikro Dirra Azzuhra
Disusun Oleh :
LHOKSEUMAWE
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam dan jika dikelola
dengan baik akan menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi negara. Salah satu bentuk
penyelenggaraannya adalah pengembangan industri pariwisata sehingga memberikan kontribusi
pada aliran pendapatan negara. Perjanjian Pariwisata Daerah diatur dalam Undang-Undang
Pemerintah Provinsi No. 23 Tahun 2014, yang mengatur urusan negara terkait pariwisata. Dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan kepariwisataan
dibagi menjadi urusan administrasi yang diperebutkan (menurut Pasal 9(1)), yaitu urusan pilihan
(menurut Pasal 11(1)). Pasal 1 Ayat 3 UU No. 10 Tahun 2009 menjelaskan pentingnya
pariwisata.
Pariwisata dipahami sebagai kegiatan perjalanan dengan dukungan berbagai tawaran jasa
dari masyarakat, ekonomi, negara, dan pemerintahan daerah. Salah satu daerah yang sedang
mengembangkan industri pariwisatanya adalah Aceh. Aceh merupakan provinsi yang memiliki
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
rakyatnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia, Provinsi Aceh merupakan provinsi dengan pemerintahan
khusus. Keistimewaan provinsi Aceh dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan diperkuat dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan sejak tahun 2006, terdapat
Peraturan Daerah di Provinsi Aceh yang sering disebut dengan Qanun. Qanun diartikan sebagai
peraturan perundang-undangan, mirip dengan peraturan daerah, yang mengatur urusan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat provinsi Aceh. Qanun tersebut memuat ketentuan
Syariat Islam yang disesuaikan dengan adat Aceh.
BAB II
PEMBAHASAN
Selain objek wisata yang sudah ada, Pemerintah Kota Banda Aceh tetap mengelola objek
wisata yang ada melalui Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh. Pengelolaan destinasi wisata
tersebut dilakukan dengan mendukung pelaksanaan program wisata halal melalui penyediaan
tempat ibadah yang layak dan suci, penyediaan makanan dan minuman halal, serta
penyelenggaraan pertunjukan dan atraksi budaya yang sesuai dengan syariah. dan peraturan
sanitasi. dan kebersihan lingkungan.
Mengenai penyediaan sarana ibadah yang tertib dan suci, penulis menemukan di lapangan
bahwa dinas pariwisata masih belum memiliki sarana ibadah yang layak dan suci seperti tempat
ibadah, tempat cuci pakaian, toilet bersih, akses air bersih dan sekat. untuk urin toilet pria.
Dalam prakteknya, Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh belum melengkapi fasilitas
tersebut, padahal fasilitas tersebut merupakan bagian dari keberhasilan pelaksanaan Program
Wisata Halal. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa kelengkapan fasilitas terutama
sebagai pelengkap fasilitas masjid/masjid seperti tempat wudhu juga menjadi salah satu
penghambat berkembangnya wisata halal di Jepang (Wahidati & Sarinastiti, 2017). Padahal
ketersediaan mushola yang meliputi tempat wudhu, petunjuk kiblat, perlengkapan sholat dan
ketersediaan Al Quran merupakan fasilitas yang harus disediakan sebagai prasyarat untuk
menciptakan suasana ramah muslim untuk wisata halal (Satriana & Faridah, 2018).
Selain itu, penulis melakukan observasi lapangan dan menemukan bahwa masih
terdapat tempat-tempat yang tidak memiliki ruang yang layak dan sakral. Hal ini terbukti ketika
penulis berkunjung ke salah satu pantai di pusat kota Banda Aceh yaitu Pantai Ulee Lheue, dan
menemukan bahwa praktis masih belum ada bangunan yang layak dan suci di pinggir pantai,
yang belum ada tempat untuk beribadah. layanan di pantai, seperti musala dan tempat mencuci.
Silahkan lihat gambar 1 untuk informasi lebih detail mengenai kondisi toilet yang sangat
berantakan dan kotor karena ada dua toilet di pinggir pantai yang berfungsi sebagai bak
penampungan air dan tidak memiliki atap sedangkan toilet lainnya terlihat kotor dan air yang
disediakan. tidak kotor dan tidak bersih. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi keberhasilan
implementasi program wisata halal.
Terkait wisata makanan dan minuman halal, terdapat informasi bahwa masih terdapat
kendala dalam pelaksanaan program wisata halal terkait wisata kuliner yang menawarkan
makanan dan minuman halal. Sertifikasi halal harus diperluas, salah satunya regulasi khusus
untuk wisata halal (Hamzana, 2017). Kehalalan makanan dan minuman dinilai tidak hanya
berdasarkan Sertifikat Halal produk yang dikeluarkan oleh LPOM MPU Aceh, tetapi juga
berdasarkan kejujuran dalam menentukan harga jual. Dalam prakteknya, masih banyak
pengusaha yang belum memiliki sertifikat produk yang dijualnya, dan masih ada pengusaha yang
belum memahami standardisasi harga.
Menetapkan harga jual yang berbeda antar toko sedangkan makanan atau minuman
yang dijual adalah jenis yang sama dan lokasinya berada di lokasi yang sama. Selain itu,
keyakinan agama dan peran sertifikasi Halal diyakini berdampak signifikan terhadap
perkembangan kesadaran Halal di masyarakat (Pra Mintasari & Fatmawati, 2017). Hasil
observasi di lapangan penulis menunjukkan bahwa kondisi wisata kuliner masih belum tertata
dengan baik. Kesuksesan program wisata halal di bidang wisata kuliner tercermin tidak hanya
pada kepemilikan sertifikat halal saja, tetapi misalnya. Aspek kemurnian, komposisi, pemilihan
dan kualitas pembuatan produk tersebut. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi keberhasilan
implementasi program wisata halal.
Selain itu, terkait dengan pertunjukan dan atraksi seni budaya yang tidak bertentangan
dengan kriteria umum pariwisata syariah, diperoleh informasi bahwa Dinas Pariwisata Kota
Banda Aceh selalu menyelenggarakan pertunjukan dan atraksi seni budaya untuk
mempromosikan Peraturan Halal agar berhasil dilaksanakan. pariwisata program Pertunjukan
seni dan budaya diselenggarakan sebagai bagian dari beberapa acara seperti Festival Makanan
Halal Internasional Aceh, Pekan Budaya Aceh setiap 5 tahun, Festival Budaya Daerah Aceh dan
Festival Kopi Banda Aceh. Acara ini akan diatur dengan pengenalan Calendar of Events (CoE)
yang merangkum semua acara yang berlangsung setiap tahun. Acara tersebut dinilai memenuhi
unsur halal dan juga mendukung keberhasilan program pengembangan wisata halal di Kota
Banda Aceh. Penyelenggaraan acara dan festival secara teratur dianggap sebagai bagian dari
pengembangan pariwisata Halal (Nasution et al., 2020).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis tentang kebersihan dan kebersihan
lingkungan destinasi, penulis mendapatkan informasi bahwa meskipun kebersihan lingkungan
destinasi merupakan bagian dari implementasi, namun destinasi tersebut masih belum cukup
bersih. dari program perjalanan halal. Program wisata halal mewajibkan setiap destinasi
memiliki lingkungan yang bersih. Lingkungan yang bersih menghadirkan rasa nyaman bagi
setiap wisatawan yang berkunjung ke tempat wisata di kota Banda Aceh.
Walaupun pengamatan penulis menunjukkan destinasi wisata yang masih kurang dari segi
kebersihan, namun gambaran di atas jelas menunjukkan bahwa salah satu tempat wisata pantai di
Ulee Lheue, salah satu pantai yang berada di pusat kota Banda Aceh, masih sangat kotor yang
letaknya tentu saja kurangnya petugas kebersihan dan ketersediaan fasilitas berupa tempat
sampah yang kurang memadai, sehingga sepanjang pantai pun banyak sampah yang membuat air
laut kotor dan keruh. Hal ini juga terjadi pada Gambar 2. Dari gambar tersebut terlihat jelas
bahwa salah satu tempat wisata sejarah bernama Kerkhof terlihat sangat kotor dan tidak tertata,
banyak daun-daun kering yang tidak dibersihkan. Hal ini tentunya akan mempengaruhi
kurangnya minat wisatawan untuk berwisata ke destinasi tersebut.
Penyediaan fasilitas peribadatan yang layak dan suci belum sepenuhnya terlaksana, masih
ada beberapa destinasi wisata yang belum memiliki fasilitas yang lengkap. Selain itu, penyediaan
makanan dan minuman halal masih melibatkan masyarakat dan pengusaha yang belum paham
dan belum mampu menerapkannya. Pelaksanaan pagelaran dan atraksi budaya yang sesuai
syariah telah dilaksanakan namun tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena adanya pandemi
Covid-19. Begitu pula dengan sanitasi dan kebersihan lingkungan yang masih perlu ditingkatkan,
terutama di daerah tujuan wisata.
Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa salah satu faktor pendorong
berkembangnya wisata halal di Kota Banda Aceh adalah tersedianya transportasi bagi wisatawan
dan hal ini sesuai dengan kriteria wisata halal menurut GMTI, dimana halal - Pariwisata
menerapkan kebutuhan. Perhatikan kemudahan komunikasi, penjangkauan dan kesadaran
wisatawan Muslim, koneksi transportasi udara dan persyaratan visa bagi wisatawan.
Beberapa ketentuan terpenting yang harus ada dalam pengaturan pariwisata halal adalah:
Creswell. (2013). Research Design Pendekatan Peneliian Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Pustaka Belajar.
Jaelani, A. (2017). Halal tourism industry in Indonesia: Potential and prospects. MPRA Paper.
Https://Kemenparekraf.Go.Id/https://kemenparekraf.go.id/ragam- pariwisata/Potensi-
Pengembangan- Wisata-Halal-di-Indonesia-
Maryati, S. (2019). Persepsi Terhadap Wisata Halal Di Kota Padang. Maqdis : Jurnal Kajian
Ekonomi Islam, 4(2). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.15 548/maqdis.v4i2.250
Muis. (2020). Perkembangan Peluang Dan Tantangan Wisata Halal Di Aceh. Jurnal Adabiya,
2(1). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22 373/adabiya.v22i1.7456
Nasution, M. S., Prayitno, B., & Rois, I. (2020). Pengembangan Wisata Halal Untuk
Kesejahteraan Masyarakat Di Kota Mataram. Istinbáth Jurnal Hukum Dan Ekonomi Islam,
19(2). https://doi.org/https://doi.org/10.20414/ijhi.v19i2.272
Pitana, I. G., & Diarta, I. K. S. (2009). Pengantar Ilmu Pariwisata. Andi. Pramintasari, T. R., &
Fatmawati, I.
(2017). Pengaruh Keyakinan Religius, Peran Sertifikasi Halal, Paparan Informasi, dan Alasan
Kesehatan Terhadap Kesadaran Masyarakat Pada Produk Makanan Halal. Jurnal Manajemen
Bisnis, 8(1).https://journal.umy.ac.id/index.php/m b/article/view/3922/3384
Pratiwi, F. (2016). GMTI Jadi Acuan Kriteria Wisata Halal. Https://Www.Republika.Co.Id/
https://www.republika.co.id/berita/o5 xd0810/gmti-jadi-acuan-kriteria- wisata-halal
Pratiwi, S. R., Dida, S., & Sjafirah, N. A. (2018). Strategi Komunikasi dalam Membangun
Awareness Wisata Halal di Kota Bandung. Jurnal Kajian Komunikasi,
6(1).https://doi.org/https://doi.org/10.2418/jkk.v6i1.12985
Saleh, R., & Anisah, N. (2019). Pariwisata Halal di Aceh : Gagasan dan Realitas di Lapangan.
Sahafa: Journal of Islamic Communication, 1(2). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21
111/sjic.v1i2.2849
Satriana, E. D., & Faridah, H. D. (2018). Wisata Halal: Perkembangan, Peluang, Dan Tantangan.
Journal of Halal Product and Research (JHPR),
01(02).https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/68244278/5804-with-cover-page-
v2.pdf?Expires=1644665178&Signat ure=aXm4kniYNEPS4rfJXjqj9q1Q2~
Ov4YGrftmpvIgBBzD42OgqgvZSW okqVnh8crPslpS- VKvfccgSQRtVHFl6YZsxtF1ltnU~N
9I9sgFIiQWyj5K54xnQ3FNJ~ikK~- 9rCoex2NkFu~o910GEHWdsLSMhh
UoZyhCHUVY6kKOEJLAjP-3- DfKrt0zhlJaDcTA~vWnBaEq-
vPbK9mGUze7cav273HDRPuU6S~1 X5W65KUO2yWP4eps2ZRoR67j5q5 wKvjO1TezTM-
DAMf1hGdLt2qxn~6ju3AtWnDbtlcL SzvWPda5~GOPIL3R7UpUQ2XxV5
XAHR2KymSrOWMw6t5QunA__& Key-Pair- Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA
Sedarmayanti. (2009). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. CV. Mandar Maju.
Wahidati, L., & Sarinastiti, E. N. (2017). Perkembangan Wisata Halal di Jepang. Jurnal Gama
Societa (JGS), 1(1).https://doi.org/https://doi.org/10.2214
6/jgs.34043