Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

EKONOMI MIKRO ISLAM

Dosen Pengampu Mata Kuliah : Rahmawati, S.E.,MA

PERMASALAHAN TENTANG PERKEMBANGAN HALAL DI ACEH

Disusun Oleh :

DIRRA AZZUHRA (202242026)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

LHOKSEUMAWE

TAHUN 2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam dan jika dikelola
dengan baik akan menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi negara. Salah satu bentuk
penyelenggaraannya adalah pengembangan industri pariwisata sehingga memberikan kontribusi
pada aliran pendapatan negara. Perjanjian Pariwisata Daerah diatur dalam Undang-Undang
Pemerintah Provinsi No. 23 Tahun 2014, yang mengatur urusan negara terkait pariwisata. Dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan kepariwisataan
dibagi menjadi urusan administrasi yang diperebutkan (menurut Pasal 9(1)), yaitu urusan pilihan
(menurut Pasal 11(1)). Pasal 1 Ayat 3 UU No. 10 Tahun 2009 menjelaskan pentingnya
pariwisata.

Pariwisata dipahami sebagai kegiatan perjalanan dengan dukungan berbagai tawaran jasa
dari masyarakat, ekonomi, negara, dan pemerintahan daerah. Salah satu daerah yang sedang
mengembangkan industri pariwisatanya adalah Aceh. Aceh merupakan provinsi yang memiliki
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
rakyatnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia, Provinsi Aceh merupakan provinsi dengan pemerintahan
khusus. Keistimewaan provinsi Aceh dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan diperkuat dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan sejak tahun 2006, terdapat
Peraturan Daerah di Provinsi Aceh yang sering disebut dengan Qanun. Qanun diartikan sebagai
peraturan perundang-undangan, mirip dengan peraturan daerah, yang mengatur urusan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat provinsi Aceh. Qanun tersebut memuat ketentuan
Syariat Islam yang disesuaikan dengan adat Aceh.
BAB II

PEMBAHASAN

1.Perkembangan Wisata Halal Di Kota Banda Aceh

A. Perkembangan Obyek dan Destinasi Wisata

Dimensi destinasi dan pengembangan destinasi dalam indikator pengembangan destinasi


pariwisata; pertunjukan seni dan budaya sesuai syariah; menyediakan tempat ibadah yang layak
dan suci di tempat wisata; penyediaan makanan dan minuman halal; dan kebersihan dan
kebersihan lingkungan. Sebuah diskusi tentang indikator individu berikut dalam deskripsi.

Mengingat dimensi pengembangan situs dan destinasi wisata, implementasi program


wisata halal di Kota Banda Aceh saat ini masih belum optimal. Karena masih banyak destinasi
yang mendukung pelaksanaan program wisata halal dan masih dalam tahap pengembangan.
Pengelolaan tempat wisata sudah didesentralisasikan ke seluruh wilayah kota Banda Aceh,
sehingga diharapkan wisatawan ke depan fokus pada wisata halal tidak hanya di tempat ibadah
(masjid/mushala) tetapi di semua aspek wisata itu sendiri. Pengembangan industri pariwisata
melalui program wisata halal diharapkan dapat menarik minat masyarakat kota Banda Aceh
dalam pengembangan industri pariwisata..

Selain objek wisata yang sudah ada, Pemerintah Kota Banda Aceh tetap mengelola objek
wisata yang ada melalui Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh. Pengelolaan destinasi wisata
tersebut dilakukan dengan mendukung pelaksanaan program wisata halal melalui penyediaan
tempat ibadah yang layak dan suci, penyediaan makanan dan minuman halal, serta
penyelenggaraan pertunjukan dan atraksi budaya yang sesuai dengan syariah. dan peraturan
sanitasi. dan kebersihan lingkungan.
Mengenai penyediaan sarana ibadah yang tertib dan suci, penulis menemukan di lapangan
bahwa dinas pariwisata masih belum memiliki sarana ibadah yang layak dan suci seperti tempat
ibadah, tempat cuci pakaian, toilet bersih, akses air bersih dan sekat. untuk urin toilet pria.

Dalam prakteknya, Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh belum melengkapi fasilitas
tersebut, padahal fasilitas tersebut merupakan bagian dari keberhasilan pelaksanaan Program
Wisata Halal. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa kelengkapan fasilitas terutama
sebagai pelengkap fasilitas masjid/masjid seperti tempat wudhu juga menjadi salah satu
penghambat berkembangnya wisata halal di Jepang (Wahidati & Sarinastiti, 2017). Padahal
ketersediaan mushola yang meliputi tempat wudhu, petunjuk kiblat, perlengkapan sholat dan
ketersediaan Al Quran merupakan fasilitas yang harus disediakan sebagai prasyarat untuk
menciptakan suasana ramah muslim untuk wisata halal (Satriana & Faridah, 2018).

Selain itu, penulis melakukan observasi lapangan dan menemukan bahwa masih
terdapat tempat-tempat yang tidak memiliki ruang yang layak dan sakral. Hal ini terbukti ketika
penulis berkunjung ke salah satu pantai di pusat kota Banda Aceh yaitu Pantai Ulee Lheue, dan
menemukan bahwa praktis masih belum ada bangunan yang layak dan suci di pinggir pantai,
yang belum ada tempat untuk beribadah. layanan di pantai, seperti musala dan tempat mencuci.
Silahkan lihat gambar 1 untuk informasi lebih detail mengenai kondisi toilet yang sangat
berantakan dan kotor karena ada dua toilet di pinggir pantai yang berfungsi sebagai bak
penampungan air dan tidak memiliki atap sedangkan toilet lainnya terlihat kotor dan air yang
disediakan. tidak kotor dan tidak bersih. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi keberhasilan
implementasi program wisata halal.

Terkait wisata makanan dan minuman halal, terdapat informasi bahwa masih terdapat
kendala dalam pelaksanaan program wisata halal terkait wisata kuliner yang menawarkan
makanan dan minuman halal. Sertifikasi halal harus diperluas, salah satunya regulasi khusus
untuk wisata halal (Hamzana, 2017). Kehalalan makanan dan minuman dinilai tidak hanya
berdasarkan Sertifikat Halal produk yang dikeluarkan oleh LPOM MPU Aceh, tetapi juga
berdasarkan kejujuran dalam menentukan harga jual. Dalam prakteknya, masih banyak
pengusaha yang belum memiliki sertifikat produk yang dijualnya, dan masih ada pengusaha yang
belum memahami standardisasi harga.
Menetapkan harga jual yang berbeda antar toko sedangkan makanan atau minuman
yang dijual adalah jenis yang sama dan lokasinya berada di lokasi yang sama. Selain itu,
keyakinan agama dan peran sertifikasi Halal diyakini berdampak signifikan terhadap
perkembangan kesadaran Halal di masyarakat (Pra Mintasari & Fatmawati, 2017). Hasil
observasi di lapangan penulis menunjukkan bahwa kondisi wisata kuliner masih belum tertata
dengan baik. Kesuksesan program wisata halal di bidang wisata kuliner tercermin tidak hanya
pada kepemilikan sertifikat halal saja, tetapi misalnya. Aspek kemurnian, komposisi, pemilihan
dan kualitas pembuatan produk tersebut. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi keberhasilan
implementasi program wisata halal.

Selain itu, terkait dengan pertunjukan dan atraksi seni budaya yang tidak bertentangan
dengan kriteria umum pariwisata syariah, diperoleh informasi bahwa Dinas Pariwisata Kota
Banda Aceh selalu menyelenggarakan pertunjukan dan atraksi seni budaya untuk
mempromosikan Peraturan Halal agar berhasil dilaksanakan. pariwisata program Pertunjukan
seni dan budaya diselenggarakan sebagai bagian dari beberapa acara seperti Festival Makanan
Halal Internasional Aceh, Pekan Budaya Aceh setiap 5 tahun, Festival Budaya Daerah Aceh dan
Festival Kopi Banda Aceh. Acara ini akan diatur dengan pengenalan Calendar of Events (CoE)
yang merangkum semua acara yang berlangsung setiap tahun. Acara tersebut dinilai memenuhi
unsur halal dan juga mendukung keberhasilan program pengembangan wisata halal di Kota
Banda Aceh. Penyelenggaraan acara dan festival secara teratur dianggap sebagai bagian dari
pengembangan pariwisata Halal (Nasution et al., 2020).

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis tentang kebersihan dan kebersihan
lingkungan destinasi, penulis mendapatkan informasi bahwa meskipun kebersihan lingkungan
destinasi merupakan bagian dari implementasi, namun destinasi tersebut masih belum cukup
bersih. dari program perjalanan halal. Program wisata halal mewajibkan setiap destinasi
memiliki lingkungan yang bersih. Lingkungan yang bersih menghadirkan rasa nyaman bagi
setiap wisatawan yang berkunjung ke tempat wisata di kota Banda Aceh.
Walaupun pengamatan penulis menunjukkan destinasi wisata yang masih kurang dari segi
kebersihan, namun gambaran di atas jelas menunjukkan bahwa salah satu tempat wisata pantai di
Ulee Lheue, salah satu pantai yang berada di pusat kota Banda Aceh, masih sangat kotor yang
letaknya tentu saja kurangnya petugas kebersihan dan ketersediaan fasilitas berupa tempat
sampah yang kurang memadai, sehingga sepanjang pantai pun banyak sampah yang membuat air
laut kotor dan keruh. Hal ini juga terjadi pada Gambar 2. Dari gambar tersebut terlihat jelas
bahwa salah satu tempat wisata sejarah bernama Kerkhof terlihat sangat kotor dan tidak tertata,
banyak daun-daun kering yang tidak dibersihkan. Hal ini tentunya akan mempengaruhi
kurangnya minat wisatawan untuk berwisata ke destinasi tersebut.

Penyediaan fasilitas peribadatan yang layak dan suci belum sepenuhnya terlaksana, masih
ada beberapa destinasi wisata yang belum memiliki fasilitas yang lengkap. Selain itu, penyediaan
makanan dan minuman halal masih melibatkan masyarakat dan pengusaha yang belum paham
dan belum mampu menerapkannya. Pelaksanaan pagelaran dan atraksi budaya yang sesuai
syariah telah dilaksanakan namun tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena adanya pandemi
Covid-19. Begitu pula dengan sanitasi dan kebersihan lingkungan yang masih perlu ditingkatkan,
terutama di daerah tujuan wisata.

B. Penyediaan Prasarana dan Aksesibilitas


Dimensi penyediaan infrastruktur dan aksesibilitas tercermin dalam indikator penyediaan
layanan pendukung sholat (infrastruktur air bersih untuk mencuci); Memberikan informasi
tentang lokasi tempat ibadah terdekat; dan menyediakan modal transportasi yang aman untuk
semua. Sebuah diskusi tentang indikator individu berikut dalam deskripsi.
Tentunya dalam pelaksanaan program wisata halal, sarana dan prasarana harus ditawarkan
sebagai bagian dari zona kreatif/ruang kreatif/kota kreatif dan juga sebagai ruang ekspresi dalam
pelaksanaan promosi. Selain itu, pembangunan, renovasi dan revitalisasi sarana dan prasarana
wisata menjamin kenyamanan wisatawan berwisata.
Berdasarkan hasil observasi lapangan penulis menyarankan penyediaan sarana dan
prasarana yang dapat mempermudah beribadah wisatawan muslim dan memberikan informasi
lokasi masjid terdekat.
Berdasarkan hasil wawancara penulis mengenai penyediaan layanan pendukung fasilitasi
ibadah bagi wisatawan muslim selama perjalanan, penulis mendapatkan informasi bahwa tidak
semua layanan tersedia di semua destinasi wisata, namun tetap berlaku. konstruksi Penulis
mengamati kawasan sebuah masjid di dekat Obyek Wisata Kapal Apung PLTD yang masjidnya
masih dalam tahap pembangunan. Fasilitas seperti tempat ibadah masih kurang dan fasilitas
tersebut kurang terawat sehingga banyak mukena yang kotor.
Berdasarkan hasil wawancara tentang ketersediaan landmark masjid terdekat, penulis
mendapatkan informasi bahwa tidak semua lokasi wisata memiliki landmark masjid tujuan
wisata tersebut, melainkan disediakan oleh dinas pariwisata.Fasilitas berupa kartu wisata yang
dapat memudahkan perjalanan wisata sehingga wisatawan muslim dapat berwisata dengan
nyaman.
Bagi para pelancong, menyediakan transportasi yang aman bagi semua orang merupakan
pertimbangan penting. Menurut Fandell (2002), pariwisata mencakup segala sesuatu yang
berkaitan dengan pariwisata, termasuk pengusaha destinasi dan daya tarik wisata serta usaha
terkait. Senada dengan itu, Fennel menyatakan dalam Pitana dan Diarta (2009) bahwa pariwisata
adalah hubungan sistemik yang melibatkan pelancong dan asosiasi bisnis yang menyediakan dan
menggunakan fasilitas, atraksi, transportasi, dan akomodasi untuk memfasilitasi pergerakan
mereka.
Kota Banda Aceh juga menyediakan berbagai sarana transportasi bagi wisatawan.
Menurut penulis, moda transportasi merupakan salah satu moda transportasi utama dalam
pengembangan wisata halal di Kota Banda Aceh. Karena kota halal dapat diakses dengan
berbagai sarana transportasi sesuai dengan kebutuhan wisatawan tersebut. Merujuk pada uraian
di atas, penulis berkesimpulan bahwa pengembangan wisata halal di Kota Banda Aceh masih
belum mencukupi dari dimensi infrastruktur dan aksesibilitas, mengingat masih banyak destinasi
wisata yang belum memiliki fasilitas yang lengkap. Selain itu, tidak semua objek wisata
memiliki cara untuk menunjukkan lokasi masjid berdasarkan pemandangannya, yaitu tempat
ibadah Parasiwata.
C. Pengembangan Sumber Daya Manusia Wisata
Dimensi staf pariwisata sebagai indikator pemahaman dan penerapan peraturan syariah;
kebaikan moral; kesesuaian penampilan dengan nilai-nilai etika Islam; serta mengajarkan nilai-
nilai Islam selama berwisata. SDM Pariwisata meliputi SDM pemerintah, SDM pemandu wisata
dan SDM masyarakat pariwisata. Sebuah diskusi tentang indikator individu berikut dalam
deskripsi.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya di bidang kepariwisataan sebagai
perangkat daerah dilakukan pemberian pelayanan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk
memberikan kontribusi dalam pelaksanaan pembangunan kepariwisataan daerah di Kota Banda
Aceh. Pembangkit Ekonomi Masyarakat.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis untuk memahami sumber daya manusia
dalam mengimplementasikan nilai-nilai syariah dalam tugasnya terkait dengan industri
pariwisata. Penulis diinformasikan bahwa sampai saat ini masih ada kesepakatan tentang
pelaksanaan program wisata halal ini agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang akan
membuat para pelancong percaya bahwa pelaksanaan wisata halal hanya difokuskan pada umat
Islam, meskipun pelaksanaan wisata halal itu pariwisata - Pariwisata didasarkan pada nilai-nilai
Syariah, tetapi dalam praktiknya tidak ada larangan agama. Namun pelaksanaan program wisata
halal ini memerlukan sosialisasi karena menurut penelitian masih ada yang melakukannya.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis tentang sikap yang harus
ditunjukkan dalam pelaksanaan program wisata Halal, penulis mendapat informasi bahwa masih
ada masyarakat yang belum mengetahui bahwa sesuai dengan peraturan Banda Aceh berperilaku.
Peraturan Walikota Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pariwisata Halal. Ini lebih
tentang kejujuran dalam menetapkan harga. Masih ada masyarakat khususnya pebisnis yang
belum jujur dalam menetapkan harga jual suatu produk.
Mengenai kesesuaian penampilan dengan nilai-nilai etika Islam, akan diperoleh informasi
bahwa dalam pelaksanaan program wisata halal, penampilan menjadi prioritas karena Kota
Banda Aceh merupakan kota yang menerapkan Syariat Islam.
Penampilan luar adalah hal pertama yang menarik perhatian. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan program wisata halal banyak memperhatikan penampilan luar terutama pengusaha
dapat berpakaian sopan walaupun masih ada masyarakat yang belum dapat melaksanakannya
namun masih perlu ditingkatkan untuk membuat program wisata halal. dapat bekerja sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pengamatan penulis, penulis
menemukan bahwa wisatawan yang bepergian ke Masjid Raya Baiturrahman dengan alasan
agama tidak diperbolehkan menggunakan celana, sehingga wisatawan yang bercelana tetap
diperbolehkan masuk selama menggunakan jas. Pihak Pengurus Masjid Raya Baiturrahman
memberikan jubah melalui Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh, namun jumlah jubah sedikit dan
tidak memadai.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa informan tentang penanaman nilai-
nilai keislaman melalui pendidikan dan pelatihan, ditemukan bahwa pelatihan dan bimbingan
diberikan khusus untuk pramuwisata dan pemilik hotel, namun tidak untuk pelaku ekonomi
lainnya secara keseluruhan. Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh akan terus berupaya agar
Program Halal Tourism ini dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Merujuk pada uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa masih terdapat ruang untuk
perbaikan dalam pelaksanaan capacity building di bidang SDM dan industri kreatif bidang
pariwisata, karena masih ada masyarakat yang belum begitu mengetahuinya, sehingga akan
menjadi . perlu adanya penguatan agar masyarakat dapat berperan aktif dalam pelaksanaan
program wisata halal. Hal ini dapat dilihat dari pemahaman dan penerapan prinsip syariah Islam
dalam pelaksanaan tugas seseorang, namun masih ada masyarakat yang belum mengetahui hal
tersebut.
Selain itu, kesadaran masyarakat terhadap indikator akhlak yang baik dan kesesuaian
penampilan dengan nilai-nilai etika Islam harus dipertajam. Selain itu, berdasarkan sumber daya
peralatan, disimpulkan bahwa sumber daya peralatan Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh tidak
mencukupi dan terjadi kekurangan sumber daya peralatan. Permasalahan lainnya adalah latar
belakang pendidikan Dinas Sumber Daya Perlengkapan Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh tidak
sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
1. Diskusi
Penerapan syariat Islam di Kota Banda Aceh merupakan suatu kebanggaan yang menjadi
landasan utama pengembangan industri pariwisata melalui program wisata halal. Program wisata
halal menjadi andalan Kota Banda Aceh dalam menumbuhkan daya tarik wisata. Pelaksanaan
pengembangan wisata halal di Kota Banda Aceh berpedoman pada Keputusan Walikota Banda
Aceh Nomor 17 Tahun 2016.
Keputusan Walikota Banda Aceh (2016) Nomor 17 menetapkan bahwa pengembangan
wisata halal harus menyediakan ibadah yang layak dan suci, makanan dan minuman halal,
pertunjukan seni dan budaya, serta atraksi yang tidak bertentangan dengan kriteria umum wisata
syariah, kebersihan. dan kebersihan lingkungan, layanan pendukung yang memudahkan
wisatawan Muslim untuk beribadah, dan informasi lokasi masjid terdekat. Selain itu, diperlukan
sinergi antara peralatan dan masyarakat untuk mendukung dan melaksanakan sepenuhnya
pengembangan halal urban tourism di Kota Banda Aceh.
Pemerintah Kota Banda Aceh melakukan upaya rekonsiliasi pembangunan dengan SK No.
17 Walikota Banda Aceh tahun 2016, namun masih terdapat kendala dari berbagai segi yang
perlu perbaikan. Hambatan utama terkait fasilitas dan kesadaran masyarakat. Sesuai dengan
kebijakan pemerintah kota, pengembangan wisata halal tidak hanya membutuhkan dukungan
pemerintah daerah, tetapi juga kesadaran masyarakat yang tinggi. Mengingat kotamadya
merupakan tujuan wisata halal yang ditawarkan oleh pemerintah kota.
Informasi yang diperoleh penulis dari industri menunjukkan bahwa pemahaman
masyarakat terhadap pelaksanaan program wisata halal masih belum lengkap sehingga
pelaksanaan wisata halal masih sulit. Pemahaman masyarakat mengarah pada pelaksanaan
program keuangan. Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh membutuhkan dukungan masyarakat
untuk melaksanakan program wisata halal tersebut. Kesadaran masyarakat dapat ditunjukkan
dengan akhlak yang baik dan kesesuaian penampilan dengan nilai-nilai etika Islam. Mengingat
peningkatan kesadaran khususnya bagi masyarakat memerlukan strategi yang kompleks, salah
satunya dapat dikembangkan melalui kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait
(S.R. Pratiwi et al., 2018).
Hal ini dikonfirmasi oleh Wicaksana et.al (2020) bahwa sosialisasi dan penggunaan
aplikasi dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kemungkinan wisata
halal.Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinas pariwisata masih belum memiliki tempat ibadah
yang layak dan suci, seperti Tempat ibadah, tempat wudhu, toilet bersih, akses air bersih dan
sekat Kencing untuk toilet pria. Dalam prakteknya, Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh belum
melengkapi fasilitas tersebut, padahal fasilitas tersebut merupakan bagian dari keberhasilan
pelaksanaan Program Wisata Halal. Hal ini sejalan dengan temuan survei Crescent Rating
Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif (2021), yang menilai pariwisata halal di 130 negara
dan mengidentifikasi enam kebutuhan dasar wisatawan muslim, yaitu:
a) makanan halal; b) sarana ibadah; c) kamar mandi dengan air untuk mencuci; d) pelayanan
selama Ramadhan; 6) pencantuman label tidak halal (jika terdapat makanan tidak halal); 7)
Fasilitas rekreasi pribadi (tidak ada pencampuran gratis).
Di sisi lain, menurut Global Muslim Travel Index (GMTI) yang diterbitkan di Republic
(2016), kriteria halal travel meliputi destinasi ramah keluarga, layanan dan fasilitas di destinasi
ramah muslim, serta kesadaran dan pemasaran halal. Mengenai kriteria wisata Halal, Kota Banda
Aceh sudah menawarkan wisata ramah keluarga dan secara umum aman untuk dikunjungi
wisatawan Muslim karena mayoritas penduduk Kota Banda Aceh beragama Islam. Namun
terkait pelayanan dan fasilitas destinasi ramah muslim, Pemkot Banda Aceh harus melakukan
pembenahan dengan mengikuti dan memantau secara ketat penggunaan sertifikat halal oleh
pengusaha terhadap makanan dan minuman yang ditawarkan kepada wisatawan.
Mengingat dengan berkembangnya halal urban tourism di Kota Banda Aceh, masih ada
masyarakat dan pengusaha yang belum paham dan belum mampu mengimplementasikannya.
Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa Pemkot harus melakukan sosialisasi dan
pendampingan terkait teknis pendaftaran label Halal untuk memastikan karakter Halal dari
makanan dan minuman yang tersedia.

Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa salah satu faktor pendorong
berkembangnya wisata halal di Kota Banda Aceh adalah tersedianya transportasi bagi wisatawan
dan hal ini sesuai dengan kriteria wisata halal menurut GMTI, dimana halal - Pariwisata
menerapkan kebutuhan. Perhatikan kemudahan komunikasi, penjangkauan dan kesadaran
wisatawan Muslim, koneksi transportasi udara dan persyaratan visa bagi wisatawan.
Beberapa ketentuan terpenting yang harus ada dalam pengaturan pariwisata halal adalah:

1) Prinsip dan tujuan penyelenggaraan wisata halal


Prinsip penyelenggaraan wisata halal menjadi landasan yang paling penting
Ini menjadi dasar untuk mendefinisikan implementasi pariwisata halal. Oleh karena itu,
penyelenggaraan wisata halal harus dilandasi oleh nilai-nilai Islam yang dalam praktiknya tidak
dibenarkan bertentangan dengan ketentuan syariat Islam. Prinsip-prinsip Islam ini harus
dimasukkan ke dalam pengaturan pariwisata halal.
2) Klasifikasi tempat wisata halal
Klasifikasi destinasi wisata halal menjadi penting Regulasi dalam regulasi pariwisata halal
untuk secara jelas mengidentifikasi destinasi wisata yang harus memenuhi prinsip-prinsip wisata
halal.
3) Standar masing-masing destinasi
Standar atau indikator merupakan hal mendasar yang harus diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan tentang pariwisata halal. Hal ini menjadi dasar atau pedoman
penyelenggaraan wisata halal. Standar tersebut diatur berdasarkan karakteristik jenis destinasi
wisata halal. Misalnya, di destinasi wisata alam harus diatur regulasi yang seragam tentang
wisata halal, yaitu. H. kewajiban menyediakan sarana ibadah yang representatif, tidak
menawarkan sarana wisata alam yang dapat menimbulkan perbuatan yang bertentangan dengan
syariat Islam, menyediakan makanan wisata alam halal.
4) Sertifikat Perjalanan Halal
Sertifikat pariwisata halal adalah salah satu bentuk pengakuan Pariwisata yang memenuhi
persyaratan penyelenggaraan pariwisata halal. Sertifikat pariwisata dapat dibuktikan dengan
surat keterangan dari lembaga yang membidangi sertifikasi pariwisata halal.
5) Periklanan dan Pemasaran
Selain itu promosi dan pemasaran wisata halal harus diatur dengan peraturan perundang-
undangan untuk menjamin keberlanjutan wisata halal. Di bidang periklanan dan pemasaran,
subjek dan tujuan penjualan serta metode periklanan dan pemasaran dapat ditentukan.
6) Pengawasan
Sangat penting bahwa pengawasan diatur wisata halal, mengingat kemungkinan besar
terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Pengawasan dapat dilakukan oleh negara, asosiasi
pariwisata halal dan pemerintah kota. Pengawasan ini bertujuan agar penyelenggaraan pariwisata
halal dapat dilakukan dengan benar dan sesuai dengan peraturan dan standar. Inspeksi dapat
dilakukan sesuai dengan standar pariwisata, proses sertifikasi pariwisata halal, dan kewajiban
pengelola destinasi pariwisata halal untuk menerapkan standar pariwisata halal yang diakui oleh
sertifikasi pariwisata halal.
7) Sanksi.
Sanksi adalah bagian penting dari regulasi dalam ketentuan UU Pariwisata Halal. Sanksi
ini bertujuan untuk memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan
Pariwisata Halal. Sanksi dapat dijatuhkan sebagai sanksi administratif berupa teguran lisan;
peringatan tertulis; penghentian sementara usaha, penghentian usaha tetap; penghentian
sementara izin; pencabutan izin secara tetap; dan/atau sanksi administratif.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan semua pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pengembangan


wisata halal di Kota Banda Aceh belum terlaksana dengan baik. Dari tiga dimensi yang
dipertimbangkan, yaitu. dimensi pengembangan destinasi wisata dan destinasi wisata, dimensi
penyediaan infrastruktur dan aksesibilitas serta dimensi pengembangan sumber daya manusia di
bidang pariwisata, semuanya memiliki presentasi yang tidak dapat dinilai baik. Hal ini karena
masih belum memiliki sumber daya manusia yang berkualitas untuk peralatan yang dapat
menahan pengembangan pariwisata halal dan anggaran yang diperlukan untuk menyediakan
infrastruktur dan layanan pendukung pariwisata halal yang lengkap.
Selain itu, jika melihat kriteria wisata halal menurut hasil survei Crescent Rating dan
survei GMTI, dalam proses pengembangan halal urban tourism di Kota Banda Aceh, Dinas
Pariwisata Kota Banda Aceh membutuhkan peningkatan pelayanan. dan perbaikan. fasilitas
elegan. Selain itu, kurangnya sosialisasi Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh kepada masyarakat
mengakibatkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap penyelenggaraan Pariwisata Halal
yang menyasar seluruh pemangku kepentingan pariwisata di Kota Banda Aceh.
DAFTAR PUSTAKA

Creswell. (2013). Research Design Pendekatan Peneliian Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Pustaka Belajar.

Fandeli, C. (2002). Perencanaan Kepariwisataan Alam. Pustaka Pelajar.

Hamzana, A. A. (2017). Pelaksanaan Standarisasi Pelayanan Pariwisata Halal dalam


Pengembangan Pariwisata di Nusa Tenggara Barat. Pena Justisia: Media Komunikasi Dan Kajian
Hukum, 17(2). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.31 941/pj.v17i2.545

Jaelani, A. (2017). Halal tourism industry in Indonesia: Potential and prospects. MPRA Paper.

https://mpra.ub.uni- muenchen.de/76237/1/MPRA_paper_ 76237.pdf

Kemenparekraf. (2021). Potensi Pengembangan Wisata Halal di Indonesia.

Https://Kemenparekraf.Go.Id/https://kemenparekraf.go.id/ragam- pariwisata/Potensi-
Pengembangan- Wisata-Halal-di-Indonesia-

Maryati, S. (2019). Persepsi Terhadap Wisata Halal Di Kota Padang. Maqdis : Jurnal Kajian
Ekonomi Islam, 4(2). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.15 548/maqdis.v4i2.250

Muis. (2020). Perkembangan Peluang Dan Tantangan Wisata Halal Di Aceh. Jurnal Adabiya,
2(1). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22 373/adabiya.v22i1.7456

Nasution, M. S., Prayitno, B., & Rois, I. (2020). Pengembangan Wisata Halal Untuk
Kesejahteraan Masyarakat Di Kota Mataram. Istinbáth Jurnal Hukum Dan Ekonomi Islam,
19(2). https://doi.org/https://doi.org/10.20414/ijhi.v19i2.272

Pitana, I. G., & Diarta, I. K. S. (2009). Pengantar Ilmu Pariwisata. Andi. Pramintasari, T. R., &
Fatmawati, I.

(2017). Pengaruh Keyakinan Religius, Peran Sertifikasi Halal, Paparan Informasi, dan Alasan
Kesehatan Terhadap Kesadaran Masyarakat Pada Produk Makanan Halal. Jurnal Manajemen
Bisnis, 8(1).https://journal.umy.ac.id/index.php/m b/article/view/3922/3384
Pratiwi, F. (2016). GMTI Jadi Acuan Kriteria Wisata Halal. Https://Www.Republika.Co.Id/
https://www.republika.co.id/berita/o5 xd0810/gmti-jadi-acuan-kriteria- wisata-halal

Pratiwi, S. R., Dida, S., & Sjafirah, N. A. (2018). Strategi Komunikasi dalam Membangun
Awareness Wisata Halal di Kota Bandung. Jurnal Kajian Komunikasi,
6(1).https://doi.org/https://doi.org/10.2418/jkk.v6i1.12985

Saleh, R., & Anisah, N. (2019). Pariwisata Halal di Aceh : Gagasan dan Realitas di Lapangan.
Sahafa: Journal of Islamic Communication, 1(2). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21

111/sjic.v1i2.2849

Sammeng, A. M. (2001). Cakrawala Pariwisata. Balai Pustaka.

Satriana, E. D., & Faridah, H. D. (2018). Wisata Halal: Perkembangan, Peluang, Dan Tantangan.
Journal of Halal Product and Research (JHPR),
01(02).https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/68244278/5804-with-cover-page-
v2.pdf?Expires=1644665178&Signat ure=aXm4kniYNEPS4rfJXjqj9q1Q2~
Ov4YGrftmpvIgBBzD42OgqgvZSW okqVnh8crPslpS- VKvfccgSQRtVHFl6YZsxtF1ltnU~N
9I9sgFIiQWyj5K54xnQ3FNJ~ikK~- 9rCoex2NkFu~o910GEHWdsLSMhh
UoZyhCHUVY6kKOEJLAjP-3- DfKrt0zhlJaDcTA~vWnBaEq-
vPbK9mGUze7cav273HDRPuU6S~1 X5W65KUO2yWP4eps2ZRoR67j5q5 wKvjO1TezTM-
DAMf1hGdLt2qxn~6ju3AtWnDbtlcL SzvWPda5~GOPIL3R7UpUQ2XxV5
XAHR2KymSrOWMw6t5QunA__& Key-Pair- Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA

Sedarmayanti. (2009). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. CV. Mandar Maju.

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian, Kualitatif, dan R&D. Alfabet, CV.

Wahidati, L., & Sarinastiti, E. N. (2017). Perkembangan Wisata Halal di Jepang. Jurnal Gama
Societa (JGS), 1(1).https://doi.org/https://doi.org/10.2214

6/jgs.34043

Anda mungkin juga menyukai