Anda di halaman 1dari 2

BAB VII

AL’AM dan AL-KHASH


1. AL’AM
Yang dimaksud dengan lafal ‘am ialah yang memang diucapkan untuk mengucapkan
semua yang dapat dimasukkan ke dalam konotasi lafal itu jumlahnya tidak terbatas.
Dapat dimengerti keumuman itu menjadi sifat yang pengertiannya mencakup segala yang
dapat dimasukkan ke dalam konotasi lafal. Sedangkan lafal yang hanya menunjukkan
seorang seperti “rojulun” atau menunjukkan dua orang “rajulain” atau menunjukkan
beberapa orang seperti “rijalun” tidak termasuk lafal umum.
Lafall umum dalam bahasa arab ada beberapa bentuk :
(1) Lafal atau seperti dalam hadist yang berbunyi:

Artinya :
“Setiap pemimpin bertanggungjawab atas yang dipimpinnya”
(HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar)
Dan dalam firman Allah :

Artinya :
“Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu…”
(QS. Al-Baqara : 9)
(2) Mufrad muarraf bi-al ta’rif jinsi seperti lafal :
dan yan dapat diartikan setiap penzina dan setiap pencuri.
(3) Jamaul muaraf bi-al ta’rif jinsi dan jama’ muarraf biidhafah seperti lafal dan
lafal
(4) Isim syarat seperti lafal …
(5) Isim Maushullah seperti :
(6) Nakirah fi siaain nafi seperti :

Semua lafal yang memang diucapkan untuk memasukkan semua yang dapat dimasukkan
kedalam maknanya, namun kalau tidak mencakup yang lain maka lafal itu dinamakan
majaz dan ini harus ada bukti yan dapat dijadikan alasan untuk memalingkan dari arti
hakiki ke arti majazi.
Kalau ditemui lafal umum apakah boleh langsung melaksanakan semuanya tanpa mencari
lebi dahulu mukhasisnya ? dalam hal ini iam Ghazali berpendapat; sebagian besar ulama
yang diantaranya imam Ghazali berpendapat apabila dijumpai lafal umum yang tidak
boleh langsung melaksanakan keumuman lafal itu sebelum mencari lebih dahulu
mukhasisnya. Alasannya karena dalil-dalilnya terpencar-pencar dalam eberapa tempat
karena itu sebelum melaksanakan keumuman lafal itu dicari lebih dahulu mukhasisnya.
Dalam mencari mukhasis itu tidaklah perlu sampai ke tingkat yang meyakinkan tetapi
cukup sampai ke tingkat dugaan (zan) dan kalau sudah dicuri ternyata tidak ada
mukhasisnya barulah boleh melaksanakan keumuman lafal itu.
Sebaliknya dari pendapat diatas ialah pendapat al Baidhawi dalam kitabnya “Matan
Minhaj” menerangkan apabila ditemui lafal umum boleh dilaksanakan seumumnya lafal
itu sekalipun tidak dicari lebih dahulu mukhasisnya, karena mukhasis itu sendiri baru
dapat diketahui sesudah menemui dalilnya.
Para ahli menetapkan dalil takhasis ini ada dua macam :
(1) Yang beasal dari nash dan
(2) Yang berasal bukan dari nash

Dalil takhsis yang berasalh dari nash adakalanya erdiri sendiri (mustakil) dan da kalanya
tidak berdiri sendiri (gairu mustakil). Mukhasis yang tidak berdiri sendiri juga dinamakan
“mukhasis mutashill”. Yang termasuk mukhasis muttasil ada lima ialah :

(1) Syarat
(2) Ghayah
(3) Shifat
(4) Badal dan
(5) Istina muttashil

Dan dalil yang berasal dari yang bukan nash juga dinamakan dalil mustaqil ada 3 macam:

(1) Kidah umum syariat


Didalam kaidah umum syariat dijelaskan bahwa tuntunan syara hanya dihadapkan
kepada ornag yann mempunyai kemampuan dan cakap melaksanakannya.yang berarti
orang yang tidak mampu dan tidak cakap seperti orang gila dan anak anak tidak
menjadi tuntutan syara.
(2) ‘uruf’ (adat-kebiasan)
Dalam menetapkan pengecualian dari keumuman nash para ulama kadang kadang
mempergunakan adat kebiasan setempat.umpamanya kalau disebutkan dinar maka
yang dimaksud adalah dinar yang beredar didaerah itu,karena mungkin saja dinar
yang beredar didaerah lain tidak sama nilainya dengan dinar didaerah itu
(3) Nash syara’
Nash syara’ yang bersifat umum dapat ditakhsiskan dengan nash lain.para ulama al
quran dapat ditakhsiskan dengan al quran,al quran dapat ditakhsiskan dengan sunnah
muttawatir/masyhur.namun apakah boleh al quran ditakhsiskan dengan hadist ahad
para ulama berbeda pendapat menurut jumhurul ulama Al quran dapat ditakhsiskan
dengan hadist ahad namun menurut mazhab Hanafi,Al quran tidak dapat ditakhsiskn
dengan hadist ahad,karena tidak setara.

Anda mungkin juga menyukai