Anda di halaman 1dari 25

PERAN NOTARIS/PPAT MENGENAI KEWAJIBAN PERPAJAKAN OLEH

PARA PIHAK DALAM HAL PEMBUATAN AKTA


YANG DIBUAT DI HADAPANNYA

Novitri Arianti.,S.H
Fakultas Hukum,Universitas Sriwijaya, Indonesia
Email : novitriart08@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini membahas mengenai Peran Notaris/PPAT Mengenai Kewajiban Perpajakan Oleh
Para Pihak dalam Hal Pembuatan Akta atas Peralihan Hak Pemilikan Atas Tanah yang dibuat di
Hadapannya. Tujuan dari penelitian ini adalah dalam rangka mengetahui peran penting dan
kewajiban Notaris/PPAT dalam perpajakan atas akta peralihan hak pemilikan atas tanah yang
dibuatnya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Jenis dan bahan hukum diperoleh dari data
sekunder, yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
primer, dikumpulkan melalui studi kepustakaan, diolah secara kualitatif, dengan teknik penarikan
kesimpulan secara deduktif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa peran Notaris/PPAT adalah
memberikan penyuluhan mengenai kewajiban perpajakan yang harus diselesaikan oleh para pihak
dalam hal pembuatan akta atas peralihan hak pemilikan atas tanah yang dibuat di hadapannya.
Penyuluhan hukum tersebut dapat berupa pelayanan untuk membantu membayarkan atau
memvalidasi pembayaran pajak terutang para pihak. Seorang Notaris/PPAT dalam menjalankan
jabatannya sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik, harus dapat
mencegah para pihak yang hendak membuat akta menghindari kewajibannya dalam pembuatan
akta tersebut, seperti pemenuhan kewajiban dalam pembayaran pajak. Untuk dapat mencegah para
pihak yang hendak menghindari pajak seorang Notaris/PPAT harus mengetahui ketentuan
perpajakan yang akan dikenakan untuk setiap pelanggaran.

Kata kunci:Peran Notaris/PPAT; Pembayaran Pajak; Penghindaran Pajak.

A. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pesatnya perkembangan dalam sistem kemasyarakatan apalagi setelah
adanya pemisahan antara rumah tangga pribadi, rumah tangga raja dan rumah
tangga negara atau dengan kata lain sudah mulai terbentuknya negara, upeti
yang semula hanya untuk kepentingan raja mulai mendapat tempat sebagai
pendapatan negara.1 Pajak telah menjadi primadona sebagai sektor yang
memberikan penerimaan terbesar bagi negara serta merupakan salah satu

1
Erly Suandi, Hukum Pajak, edisi 4, cetakan 2, Jakarta : Salemba Empat, 2008, h. 1.

1
sumber dana utama dalam melakukan pembangunan termasuk di negara
Indonesia.
Menurut pendapat R. Santoso Brotohadiharjo, Pajak adalah “iuran kepada
negara (yang dapat dipaksakan), yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan”.2
Pajak dalam struktur belanja dan pendapatan negara merupakan
komponen utama sebagai sumber pembiayaan dalam sistem penganggaran
pemerintah Indonesia. Pajak merupakan unsur yang tidak dapat dilepasakan
dengan serta merta dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) karena
perpajakan adalah kontributor terbesar dalam APBN di setiap tahun.1
Dengan kata lain, pajak memiliki peran besar dan penting dalam sistem
penganggaran pemerintah sebagai sumber pembiayaan (budgeter) untuk
setiap rencana pembangunan dan pengeluaran yang akan dilakukan oleh
pemerintah. Hal tersebut sudah merupakan hal yang umum di seluruh negara-
negara di dunia terutama di negara dunia ketiga. Negara Indonesia sendiri
yang merupakan negara dalam kategori sebagai negara dunia ketiga dalam
setiap rencana pembangunan dan pengeluaran yang akan dilakukan di
berbagai sektor, pajak merupakan instrumen pokok sebagai sumber
pembiayan dan permodalan pembangunan tersebut. Setiap perkembangan
atau laju pertumbuhan perekonomian secara tidak langsung mengkonstraksi
kebijakan pengetatan dengan menaikkan target dalam penerimaan pajak agar
dapat memenuhi pembangunan. Hal tersebut menjadi dasar pentingnya peran

2
R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, edisi 4, cetakan 1, Bandung :
Rafika Aditama, 2003, h. 2.

2
serta masyarakat baik secara direct maupun indirect terhadap peningkatan
penerimaan pajak sehingga target penerimaan pajak menjadi optimal.3
Dalam kehidupan interaksi antara masyarakat di zaman modern ini semua
perbuatan hukum antara masyarakat satu dengan yang lainnya perlu
dibuatkan suatu hubungan hukum agar memiliki legalitas, yang mana salah
satu fungsi hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam
kehidupan bermasyarakat. Demi tercapainya kepastian hukum tersebut
dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan,
peristiwa, atau perbuatan hukum. Lembaga kemasyarakatan yang dikenal
sebagai ‘notariat’ ini timbul dalam kebutuhan dalam pergaulan sesama
manusia yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan
hukum keperdataan yang ada dan/atau yang terjadi diantara mereka. Suatu
lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum
(openbar gezag) untuk di mana dan apabila undang- undang mengharuskan
sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat bukti tertulis
yang mempunyai kekuatan bukti otentik.4
Notaris dan PPAT adalah pejabat-pejabat yang mempunyai kewenangan
membuat akta otentik berdasarkan Undang- Undang. Segala sesuatu yang
ditulis dan ditetapkannya (konstantir) adalah benar, Notaris adalah pembuat
dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum. 5 Jabatan notaris/PPAT
diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud
untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti
tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan
hukum. Dengan dasar yang demikian mereka yang diangkat sebagai notaris

3
Tjandra, K. T. dan Toly, A. A. Upaya konsultan pajak dalam memenangkan kasus
banding dan gugatan dalam perpajakan. Tax & Accounting Review, Volume 4 Issue 2,
November 2014, h.2.
4
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga 1996, h. 2.
5
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, cet. 1, Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007, h. 3.

3
harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat dan atas pelayanan
tersebut, masyarakat yang telah merasa dilayani oleh notaris sesuai dengan
tugas dan jabatannya.
Peran serta masyarakat dalam peningkatan penerimaan pajak menjadi
bagian penting terutama peran serta masyarakat yang berkaitan langsung
dengan pelayanan publik seperti yang dilakukan oleh Notaris/PPAT yang
bersinggungan langsung dengan para penghadap yang baik langsung atupun
tidak langsung yang berkewajiban dalam pemenuhan kewajiban pembayaran
pajak terutama atas aktivitas yang dilakukannya di hadapan Notaris/PPAT.
Seperti pembuatan akta yang berhubungan dengan bukti peralihan hak
pemilikan atau penguasaan atas tanah atau akta yang berkaitan dengan
pembebanan yang menjadi satu kesatuan bukti formil atas transaksi yang
dilakukan. Pada dasarnya hal tersebut merupakan bagian dari kesadaran dan
kepatuhan masyarakat terhadap kewajiban perpajakan yang harus
dipenuhinya sebagai bagian dari kontribusi terhadap pembangunan, sehingga
sangat penting peran serta masyarakat dalam mengoptimalkan pendapatan
negara dari sektor pajak.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB dan Pajak
Penghasilan Atas Tanah dan Bangunan (PPhTB) dijelaskan bahwa
Notaris/PPAT memiliki tanggung jawab hukum dan moral atas kepatuhan
masyarakat terhadap kewajiban perpajakan di antaranya berkaitan dengan
pemenuhan kewajiban atas perpajakan yang berkaitan langsung dengan
proses pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai pejabat umum seperti
kewajiban bea meterai dan kewajiban penyetoran atau pembayaran
perpajakan lainnya yang wajib dibayarkan yang terkait dengan pembuatan
akta yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT seperti mengenai kewajiban
pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang
menjadi kewajiban dari para pihak untuk melakukan pembayarannya.

4
Selain itu, Notaris/PPAT memiliki peran yang penting dalam penyetoran
perpajakan yang menjadi kewajiban kliennya melalui surat setoran pajak atau
surat setoran bea (SSB). Surat setoran BPHTB adalah salah satu bentuk
formulir yang digunakan oleh para pihak yang berhutang pajak (wajib pajak)
sebagai sarana dalam melakukan pelunasan penyetoran pembayaran
perpajakan yang menjadi hutang (terhutang) untuk dibayarkan ke kas negara
pada lokasi atau tempat yang ditentukan juk oleh instansi terkait yang
menjadi mitra atau persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dan wajib
pajak memiliki kewajiban untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan tersebut.6
BPHTB merupakan pajak yang harus dibayar masyarakat dari
diperolehnya hak kepemilikan atas tanah dan bangunan yang seperti hak
pemilikan atau penguasaan atas tanah berupa hak milik (HM), HGB, HGU,
hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun (Sarusun), dan/atau hak
pengelolaan. Pemungutan bea ini dilakukan ketika terjadi pembelian
bangunan dan/ataupun tanah yang dilakukan umumnya secara langsung oleh
pengembang dan pembebanan biayanya disatukan dalam biaya penjualan.7
Peran tersebut juga melekat pada Notaris/PPAT yang berperan untuk
meningkatkan kesadaran, kepedulian, dan kepatuhan masyarakat dalam
membayar pajak terutang yang wajib dibayarkan oleh wajib pajak yang
sangkutan. Maka, tidak heran jika para Notaris/PPAT menjadi pihak yang
paling sering berhadapan dengan klien yang memiliki kewajiban untuk
melunasi pajak atas transaksi yang dilakukannya yang korelasinya dengan
pembuatan akta yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT.

6
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-16/PJ/2008 Tentang Tata Cara Penelitian
Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
7
Sundary, R. I. (2018). Pengalihan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB) dari pajak pusat menjadi pajak daerah sebagai upaya peningkatan pendapatan asli
daerah (PAD). Aktualita, Volume 1 Issue 1, Januari 2018. h.280.

5
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis akan mengkaji dan
membahas tentang “Peran Notaris/PPAT Mengenai Kewajiban Perpajakan
Oleh Para Pihak dalam Hal Pembuatan Akta atas Peralihan Hak Pemilikan
Atas Tanah yang dibuat di Hadapannya”.

1.2 Pokok Permasalahan


1. Bagaimana Peran Notaris/PPAT Terhadap Klien dalam Pembayaran
Perpajakan?
2. Bagaimana penghindaran pajak dalam ketentuan perpajakan berkaitan
dengan Notaris/PPAT?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas tentang Peran
Notaris/PPAT Mengenai Kewajiban Perpajakan Oleh Para Pihak dalam Hal
Pembuatan Akta atas Peralihan Hak Pemilikan Atas Tanah yang dibuat di
Hadapannya. Jenis penelitian dalam kajian ini adalah penelitian normatif
yang merupakan studi kepustakaan atau dokumen.8 Jenis penelitian ini
mengkaji studi dokumen (data sekunder) seperti peraturan perundang-
undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, atau pendapat para sarjana
terkait dengan peralihan hak kekayaan intelektual. Jenis penelitian ini
mengkaji studi dokumen (data sekunder) seperti peraturan perundang-
undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, atau pendapat para sarjana
terkait dengan peralihan hak kekayaan intelektual. Dalam penelitian normatif
menggunakan analisis kualitatif dengan mendeskripsikan data yang ada
bukan dengan angka-angka. Jenis penelitian ini disebut juga dengan
penelitian doktrinal yaitu penelitian yang mengkaji secara sistematis terhadap
peraturan yang mengatur kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan

8
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan singkat.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1985, h. 34.

6
antar peraturan, menjelaskan area yang mengalami hambatan, dan bahkan
memperkirakan perkembangan mendatang (Peter Mahmud Marzuki: 2005).
Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang dan
konseptual. Sumber bahan hukum yang dipakai adalah bahan hukum primer
terkait dengan peraturan perundang-undangan bidang Jabatan Notaris dan
Hukum Perpajakan dan bahan hukum sekunder dalam bentuk literatur (buku),
jurnal dan bahan hukum tersier seperti kamus dan ensiklopedi. Teknik
pengumpulan bahan hukum/data diolah dan dianalisis secara sistematis
kualitatif sehingga dapat diambil kesimpulan dan dapat menjawab
permasalahan.

B. PEMBAHASAN
1. Peran Notaris/PPAT Terhadap Klien dalam Pembayaran Perpajakan
Peran Notaris/PPAT dalam pemungutan pajak wajib memberikan
penyuluhan hukum sehingga kliennya tersebut benar-benar mengerti dan
sadar terhadap kewajibannya tersebut.9 Meskipun, pada dasarnya tanggung
jawab Notaris/PPAT adalah membuat akta autentik sebagaimana undang-
undang jabatan notaris (UUJN), dalam Pasal 1 Angka 1 menyebutkan bahwa
seorang notaris merupakan pejabat umum yang mempunyai kewenangan
dalam membuat akta autentik dan mempunyai kewenangan yang lainnya
sebagaimana dimaksud atau diamanatkan dalam UUJN atau berdasarkan
undang-undang lainnya yang berkaitan dengan jabatannya. Kemudian, dalam
Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 (PP PPAT)
menyebutkan bahwa PPAT merupakan pejabat umum yang memiliki

9
Rachmawati, A. R. & Sariono, J. N. (2011). Upaya hukum wajib pajak atas surat
ketetapan pajak kurang bayar yang ditetapkan oleh fiskus dalam pemenuhan hak wajib
pajak. Perspektif. Volume XVI Issue 4, 2011, h .199.

7
wewenang untuk membuat akta autentik dalam hal perbuatan-perbuatan
hukum di bidang peralihan hak atas tanah dan/atau hak pemilikan atas satuan
rumah susun (sarusun). PPAT, berasal dari bahasa Inggris yaitu land deed
officials, sedangkan menurut Bahasa Belanda dikenal dengan istilah land
titles registrar, eksistensinya berkedudukan dan memiliki peranan yang
sangat penting di dalam masyarakat karena PPAT memiliki dan diamanahi
kewenangan oleh negara dalam melakukan pembuatan akta yang
berhubungan proses pengalihan atau perubahan hak pemilikan tanah dan/atau
akta-akta yang lainnya.10 Maka, pada dasarnya Notaris/PPAT merupakan
pejabat umum yang berwenang dalam membuat akta autentik sebagaimana
ketentuan mengenai jabatan Notaris/PPAT dan tidak memiliki kewenangan
khusus dan langsung dalam pemungutan pajak.
Jabatan Notaris/PPAT keberadaanya dikehendaki ketentuan atau aturan
yang berlaku dengan tujuan dalam memberikan bantuan dan layanan kepada
masyarakat yang memanh membutuhkannya sebagai salah satu alat bukti
yang bersifat autentik tertulis mengenai keadaan, peristiwa, dan/atau
perbuatan hukum yang dilakukan oleh yang pihak yang menghadap
kepadanya.11 Dengan demikian, setiap orang yang diangkat menjadi
Notaris/PPAT seharusnya memiliki semangat dengan sepenuh hatinya untuk
melayani secara ikhlas kepada masyarakat, dan atas pemberian jasanya
tersebut masyarakat merasa puas dan nyaman serta merasakan manfaat
pentingnya jasa layanan yang diberikan oleh Notaris/PPAT. Notaris/PPAT
seharusnya tidak hanya cermat, cakap, dan cepat yang semata-mata
berlandaskan pada sikap pandang atas pemenuhan formil saja, melainkan
harus juga dilandasi sikap dan sudut pandang yang memegang penuh
profesionalitas yang dampaknya dapat mendorong peningkatan kualitas jasa
10
Salim, H. S. Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2016, h. 85.
11
Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum (Cet. 3), Bandung: Citra Aditya Bakti,
2006, h. 14.

8
pelayanan Notaris/PPAT yang benar-benar memberikan manfaat yang
konstruktif untuk masyarakat.12 Artinya, Notaris/PPAT dalam menjalakankan
jabatannya harus benar-benar bertindak dan bersikap dengan penuh kehati-
hatian dengan berpedoman kepada semua ketentuan yang berlaku yang
berkaitan dengan jabatannya, khususnya dalam hal pemenuhan kewajiban
perpajakan yang harus dipenuhi oleh klien dalam melakukan peralihan
pemilikan dan/atau penguasaan hak atas tanah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dijelaskan bahwa Proses
peralihan pemilikan dan/atau penguasaan hak atas tanah yang dilakukan oleh
para penghadap harus dilakukan di hadapan PPAT yang berwenang dalam
pembuatan akta yang dimaksud. Atas dasar dilakukannya proses pembuatan
peralihan hak pemilikan dan/atau penguasaan atas tanah melalui akta yang
dibuat di hadapan PPAT yang berwenang, maka telah dipenuhi syarat jelas
dan tegas. Syarat peralihan hak atas tanah pada dasarnya ada dua, yaitu: (1)
syarat materil, syarat ini menjadi determinan terhadap sahnya peralihan hak
kepemilikan atas tanah dimaksud, antara lain: (i) hak atas tanah yang
dibelinya apa jenis haknya misalnya termasuk hak milik, HGB, HGB atau
hak pakai. Menurut ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) untuk jenis hak
milik, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah adalah khusus untuk
warga negara Indonesia dan badan hukum yang diatur sebagaimana hukum
Indonesia serta yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau ketentuan yang
berlaku. Jika pihak yang membeli berkewarganegaraan asing, maka
perbuatan penjualan dan pembelian tersebut batal demi hukum (menjadi
dianggap tidak pernah ada) dan secara hukum berpindah ke Negara hak

12
Eddy, Richard. Aspek Legal Properti Teori, Contoh, dan Aplikasi. Yogyakarta: Andi
Offset, 2010, h. 55.

9
penguasaannya sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 26 Ayat (2) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA); (ii) yang melakukan penjualan memiliki hak dan memiliki
wewenang untuk melakukan pengalihan hak kepemilikan atas tanahnya
kepada pihak lain, yang berhak mengalihkan atas sebidang tanah, maka tentu
saja pihak pemilik atau penguasa yang sah dari hak kepemilikan atas tanah
tersebut. Jika pemilik atas sebidang tanah merupakan perseorangan tunggal,
maka ia memilik hak dalam melakukan pengalihan hak pemilikan atas tanah
dimaksud. Akan tetapi, apabila yang memiliki tanah tersebut adalah lebih
atau sama dengan dua orang, maka yang berhak untuk melakukan pengalihan
hak atas tanah dimaksud ialah perseroangan jamak (lebih dari dua orang),
maka tidak dibolehkan yang melakukan perbuatan pengalihan hak atas tanah
dimaksud hanya satu orang saja; (iii) status pemilikan atau penguasaan hak
atas tanah yang dimaksud tidak sedang menjadi sengketa atau penguasaan
pihak lain seperti diberikan pembebanan berupa hak tanggungan. (2) Syarat
formil, setelah apa yang dipersyarakan dari segi materiil telah dipenuhi, maka
tindakan selanjutnya yang dilakukan adalah membuat akta peralihan hak atas
tanah. Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran TanahAkta yang berkaitan
dengan peralihan hak pemilikan atas tanah bahwa Akta jual beli harus dibuat
oleh PPAT. Dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak akta
tersebut dibuat dan ditandatangani, maka PPAT melakukan penyerahan akta
tersebut bersamaan dengan dokumen-dokumen pendukung lainnya kepada
Kantor Pertanahan (Kantah) Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Kabupaten/Kota setempat untuk dilakukan pendaftaran peralihan hak atas
tanya dimaksud. Pada praktiknya, sebelum dilakukan peralihan hak
pemilikan atas tanah dimaksud, dalam hal syarat-syarat formal tidak atau
belum terpenuhi seperti belum dilakukannya pembayaran pelunasan berupa
BPHTB) dan PPhTB yang merupakan kewajiban para pihak, maka secara

10
hukum peralihan hak atas tanah belum terjadi berdasarkan ketentuan Pasal
103 Ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dengan
demikian, dalam tahapan peralihan dan/atau penguasaan hak atas tanah
semua persyaratan formil dan materil harus dipenuhi, seperti pelunasan atas
PPh dan BPHTB, jika tidak dipenuhi maka perbuatan hukum peralihan hak
atas tanah dimaksud secara hukum dikatakan belum terjadi.
Bukti pelunasan atas PPh dan BPHTB dalam pemindahan hak pemilikan
atas tanah merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam proses pendaftaran
peralihan hak atas tanah tersebut. PPAT berkewajiban menyampaikan akta
peralihan hak dimaksud beserta dokumen-dokumen yang terkait dengan
pembuatan akta tersebut untuk dilakukan pendaftaran peralihan hak tersebut
ke Kantor Pertanahan (Kantah) BPN setempat. Sebelum melakukan hal
tersebut Notaris/PPAT harus melakukan pengecekan secara saksama terkait
objek tanah yang akan dilakukan peralihan atau pun dilakukan perbuatan
hukum yang akan dituangkan dalam akta. Dengan demikian, peran
Notaris/PPAT adalah memastikan dan meyakinkan bahwa semua persyaratan
pembayaran atau pelunasan pajak baik PPh maupun BPHTB telah dipenuhi
oleh klien.
Informasi yang diperoleh dari Kantor Pertanahan BPN setempat, sebagai
langkah kehati-hatian dan memberikan kepastian yang kuat terhadap diri
Notaris/PPAT dan para pihak mengenai hak tanah yang akan dilakukan
peralihan, menjadi dasar langkah selanjutnya untuk melakukan pembuatan
perjanjian atau perikatan peralihan hak atas tanah dimaksud oleh para pihak
di hadapan seorang pejabat Notaris/PPAT. Sebelum dilakukan peralihan hak
atas tanah yang dilakukan di hadapan PPAT yang memiliki wewenang untuk
melakukan hal tersebut, maka penjual wajib terlebih dahulu melunasi PPhTB
dan pembeli wajib terlebih dahulu melunasi BPHTB sebagaimana ketentuan

11
yang berlaku dalam perpajakan yang terkait perpajakan atas tanah dan
bangunan. Adanya tanggung jawab dalam pelunasan PPhTB dan BPHTB
oleh para pihak menjadi sebab terjadinya tenggang waktu antara perikatan
dengan proses pengalihan hak atas tanah yang dilakukan di hadapan
Notaris/PPAT dengan pelaksanaan peralihan hak atas tanahnya menjadi lebih
lama dan umumnya para pihak yang terkait dengan perbuatan tersebut
melakukan transaksi peralihan dan/atau penguasaan pemilikan hak atas tanah
tersebut dengan menitipkan atas dasar kepercayaan berupa sejumlah uang
untuk pembayaran PPhTB dan BPHTB melalui tindakan penyerahan kepada
pejabat Notaris/PPAT sebagai pembuat akta peralihan hak atas tanah para
pihak. Jangka waktu yang relatif lama tersebut berpotensi terhadap terjadinya
penyelewengan dana pembayaran atau pelunasan PPhTB dan BPHTB yang
diamanatkan kepada Notaris/PPAT, baik oleh karyawannya dan atau oleh
Notaris/PPAT yang bersangkutan langsung.13 Dengan demikian, pemenuhan
atas pelunasan pembayaran perpajakan bisa menjadi faktor penghambat
dilaksanakannya peralihan hak atas tanah, sehingga tidak jarang klien
menyerahkan proses tersebut kepada Notaris/PPAT serta menitipkan uang
untuk pembayaran pajak yang dimaksud. Padahal, hal tersebut bisa
berpotensi untuk terjadinya penyelewenangan oleh Notaris/PPAT atas dana
atau uang yang dititipkan untuk pembayaran pajak dimaksud. Tindakan
penyelewengan yang dilakukan tentunya bisa berakibat terhadap tindak
pidana penggelapan. Oleh sebab itu, peran Notaris/PPAT dalam hal ini
adalah memberikan penyuluhan dengan memberitahukan kepada klien untuk
membayar pajak terhutang tersebut sendiri, dan jika memang dititipkan
kepada Notaris/PPAT yang bersangkutan maka harus dengan segera

13
Asmara, A. F. Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah Terhadap Notaris
Yang Melakukan Penggelapan Uang Pajak Bea Peralihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
(BPHTB), Studi Kasus Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris DKI Jakarta
Nomor03/PTS/MJ.PWN.PROV.DKIJAKARTA/VI/2015. Jurnal Universitas Indonesia, Volume 1
Issue 1, Januari 2019, h.12.

12
dibayarkan agar tidak terjadi masalah serta memastikan bahwa pembayaran
tersebut benar telah dilakukan dengan mengecek bukti pembayaran dan bukti
validasi pembayaran dalam rangka memastikan keaslian bukti pembayaran
sehingga terhindar dari potensi terjadinya tindak pidana sebagaimana Pasal
263 dan 264 KUHP dan Pasal 39A Huruf (a) UU No. 28 Tahun 2007.

2. Penghindaran Pajak dalam Ketentuan Perpajakan berkaitan dengan


Notaris/PPAT
Sebagai sumber penerimaan negara yang utama dalam sektor non migas,
Pajak tidak luput dari perhatian Pemerintah, dewasa ini Pemerintah semakin
gencar untuk meningkatkan penerimaan pajak hal ini dapat dilihat dari
berbagai program yang diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, seperti
program sunset policy yang memberikan penghapusan sanksi pajak dan
meningkatkan target kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi
setiap Warga Negara Indonesia.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan disebutkan sebagai berikut: “Yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, termasuk...”
Berdasarkan Pasal tersebut maka unsur-unsur penghasilan yang
dikenakan pajak adalah sebagai berikut:
a. Setiap tambahan kemampuan ekonomis.
b. Yang diterima oleh Wajib Pajak.
c. Baik berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia.

13
d. Yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
wajib pajak yang bersangkutan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh
disampaikan bahwa Undang-Undang PPh menganut prinsip pemajakan atas
penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas
setiap kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
darimanapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau
menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Selain penghasilan yang merupakan Objek Pajak, Undang-Undang PPh
juga mengatur penghasilan yang bukan objek pajak pada Pasal 4 ayat (3). Di
antara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak adalah hibah tertentu
yang diatur dalam Padal 4 ayat (3) huruf a angka (2) Undang-Undang PPh.
Penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak dengan nama dan dalam bentuk
apapun, akan berimplikasi pada pelaksanaan kewajiban perpajakannya sesuai
dengan Undang-Undang PPh.
Pada dasarnya masyarakat tidak membayar pajak disebabkan oleh dua
hal, yaitu karena dia tidak mengerti betul ketentuan undang-undang
perpajakan dan yang kedua karena dia tidak peduli dengan arti penting dari
pajak itu sendiri. Untuk mencapai peningkatan terhadap budaya hukum dan
membentuk kesadaran hukum masyarakat maka kegiatan penyuluhan hukum
harus menetapkan arah kebijakan.14
Penghindaran pajak merupakan upaya Wajib Pajak meminimalisir jumlah
pajak yang harus mereka bayar dengan memanfaatkan celah (loophole) dalam
ketentuan-ketentuan mengenai Perpajakan, penghindaran pajak juga
seringkali disebut sebagai sebuah sikap perlawanan terhadap pajak,
perlawanan terhadap pajak merupakan hambatan terhadap pemungutan pajak
yang berdampak kepada berkurangnya penerimaan kas negara, Wajib Pajak

14
Karol Teovani Lodan, Menggugat Partisipasi Masyarakat dalam Pelayanan Publik,
Jurnal Ipteks Terapan Kopertis wilayah X, Volume 7 Issue. 1 Edisi Maret 2013, h. 124.

14
tidak bisa merasakan imbalan secara langsung saat mereka berkontribusi
dalam pembayaran pajak sehingga hal itu membuat Wajib Pajak enggan
untuk membayar pajak dengan jumlah yang besar, banyak cara yang
dilakukan oleh Wajib Pajak guna mengindari kewajiban mereka dalam
pembayaran pajak.
Perilaku seseorang dalam memenuhi kewajiban perpajakan ditentukan
oleh suatu keadaan, baik dai faktor eksternal misalnya tingkat keadilan dalam
perpajakan, admnitrasi pajak yang tersedia secara memadai. Sedangkan dari
faktor internal, adanya pengetahuan dan pemahaman wajib pajak dalam
perpajakan. Seorang dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman yang
tinggi, maka hal tersebut akan digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk
melakukan kewajiban perpajakan. Teori atribusi relevan untuk menjelaskan
penelitian ini.
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah (loophole)
yang dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak agar jumlah pajak yang dibayar
oleh seorang Wajib Pajak optimal dan minimum (secara keseluruhan).
Optimal disini diartikan, sebagai Wajib Pajak tidak membayar suatu pajak
yang semestinya harus dibayar, atau membayar pajak dengan jumlah yang
paling sedikit, sistem pemungutan pajak di Indonesia pun dirasakan dapat
mendukung niat dari seorang Wajib Pajak untuk melalukan penghindaran
pajak dikarenakan sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah self-
assesment system, wajib pajak dalam kasus ini diberikan kebebasan untuk
menghitung dan melaporkan sendiri pajaknya dalam SPT tiap tahunnya.
Umumnya, ukuran kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan, biasanya
diukur dan dibandingkan dengan besar kecilnya penghematan pajak (tax
avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion) yang semuanya itu
bertujuan untuk meminimalkan beban pajak, melalui beberapa cara antara
lain melalui pengecualian-pengecualian, pengurangan-pengurangan, insentif
pajak, penghasilan yang bukan merupakan objek pajak, penangguhan beban

15
pajak, pajak ditanggung negara sampai kepada kerja sama dengan aparat
perpajakan, suap-menyuap dan pemalsuan.15 Penghindaran pajak adalah
rekayasa ‘tax affairs’ yang masih tetap berada di dalam bingkai ketentuan
perpajakan (lawful). Wajib pajak melakukan penghindaran pajak dengan
menaati aturan yang berlaku yang sifatmya legal dan diperbolehkan oleh
peraturan perundang-undang perpajakan.16
Langkah konkrit yang dilakukan Direktoran Jenderal Pajak untuk
meningkatkan penerimaan pajak antara lain melakukan reformasi perpajakan
secara menyeluruh dengan mengganti official assessment system menjadi
self-assesment system. Self-assesment system merupakan sistem yang
memberikan kepercayaan penuh terhadap Wajib Pajak untuk menghitung,
membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakan kepada aparatur
pajak. Kenyataannya terdapat perbedaan kepentingan antara wajib pajak dan
pemerintah. Wajib Pajak berusaha membayar pajak sekecil mungkin karena
dengan membayar pajak berarti mengurangi kemampuan ekonomi pajak.
Pemerintah memerlukan dana untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan yang sebagian besar dananya merupaka pemasukan dari
pemungutan pajak. Adanya perbedaan kepentingan ini menyebabkan Wajib
Pajak cenderung mengurangi jumlah pembayaran pajak, baik secara legal
maupun illegal.
Self-assesment system merupakan sistem pemungutan pajak yang
diterapkan di Indonesia, pada prinsipnya self-assesment system merupakan
mekanisme pemenuhan kewajiban perpajakan yang menuntut Wajib Pajak
untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak yang terhutang sesuai
ketentuan. Kurangnya pengetahuan Wajib Pajak terhadap terhadap sistem dan
tata cara perhitungan dalam perpajakan tidak dapat dipungkiri menjadi salah

15
Mohammad Zain, Manajemen Perpajakan, ed. 3, Jakarta: Salemba Empat, 2008,
h.67.
16
Suandy Erly, Perencanaan Pajak, ed. 4, Jakarta: Salemba Empat, 2008, h. 31.

16
satu penyebab terjadinya pemasalahan dalam dunia perpajakan, dalam self-
assement system Wajib Pajak berkewajiban untuk menghitung,
memperhitungkan serta melaporkan besarnya pajak terhutang Wajib Pajak.
Kurangnya sosialisasi pemerintah kepada Wajib Pajak akan menyebabkan
Wajib Pajak mengalami ketertinggalan dalam mendapatkan informasi
mengenai perubahan-perubahan tersebut khususnya perubahan dalam teknis
perhitungan self-assessment system.
Upaya memperkecil beban pajak dapat dilakukan melalui, tax planning,
tax avoidance, dan tax evasion. Perencanaan pajak (tax planning) adalah
langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan
pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat
diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan.17
Perencanaan pajak adalah upaya subjek pajak untuk meminimalkan pajak
yang terhutang melalui skema yang memang jelas telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan perpajaka dan sifatnya tidak menimbulkan
sengketa antara subjek pajak dan otoritas pajak. Perencanaan pajak juga
merupakan tindakan penstruktran yang terkait dengan konsekuensi potensi
pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada
konsekuensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut
dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah,
melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance), dan
bukan penyelundupan pajak (tax evasion).18 Dengan adanya self-assesment
system tersebut Wajib Pajak dituntut untuk menjadi mandiri, saat pelaporan
SPT penambahan harta yang tertulis dalam SPT merupakan kebebasan dari
Wajib Pajak itu sendiri.
Dalam hal pajak tidak dibayar berulang-ulang kali akan dilakukan
pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui apartur pajak (fiskus), di

17
Ibid, h.6.
18
Op .Cit, Mohammad Zain, h.67.

17
mana dalam hal ini, Notaris/PPAT sebagai pembuat aktamdimintakan
keterangan mengenai kebenaran formil dan materiil terhadap akta yang
dibuatnya, dan Notaris/PPAT harus memberikan keterangan tersebut,
berdasarkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1963 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana
Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 35 ayat (1) yang menyatakan:
“apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik,
notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya,
yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan
pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang peprajakan,
atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut
wajib memberikan keteranga atau bukti yang diminta.”
Notaris/PPAT merupakan profesi yang mempunyai ketentuan mengenai
rahasia jabatan, seperti yang diatur dalam ketentuan mengenai rahasia jabatan
Notaris bahwa Notaris wajib “merahasiakan segala sesuatu mengenai akta
yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan
akta”17, sehingga untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan tersebut, atas permintaan tertulis Direktur Jenderal
Pajak, pihak ketiga yaitu bank, akuntan public, notaris, konsultan pajak,
kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan
dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak atau
penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan harus
memberikan keterangan atau bukti-bukti yang diminta.
Dikarenakan pengecualian tersebut, setiap pejabat yang mempunyai
hubungan dengan Wajib Pajak tersebut wajib untuk memberikan keterangan
mengenai segala keterangan yang dimintai oleh aparatur pajak, dalam hal
Notaris menolak untuk memberikan keterangan yang diminta dan tidak

18
memenuhi kewajibannya mendapatkan sanksi sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1963 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah
Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009
atau KUP : “setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti
yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja
tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti
yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta
Rupiah).
Cara menghindari diri dari pajak kadang-kadang dinamakan juga
penghematan pajak dalam arti sempit, alasannya adalah: karena seluruh usaha
yang termasuk ke dalam perlawanan aktif, pada hakikatnya tergolong ke
dalam penghematan pajak dalam arti luas. Ternyatalah kini bahwa
penghindaran pajak secara yuridis berbentuk perbuatan dengan cara
sedemikian rupa, sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena
penerapan KUP. Biasanya perbuatan tersebut merupakan penggunaan dari
kekosongan dan atau ketidakjelasan dari undang-undang yang dimaksud.
Akibat dari penghindaran pajak dapat menyebabkan stagnansi atau
macetnya pertumbuhan ekonomi, pajak merupakan kontribusi wajib dari
setiap warga negara Indonesia, yang atas dana hasil pemungutan pajak
tersebut akan di alokasikan untuk pembangunan fasilitas negara itu sendiri,
penerapan pemungutan pajak sendiri berdasarkan dua prinsip, yaitu benefit
principle, di mana warga negara mendapatkan keuntungan dari negara, maka
negara diperkenankan untuk memungut pajak kepada warganya sebagai
gantinya negara akan membangun berbagai fasilitas dan memberikan layanan
publik untuk masyarakat di mana untuk membiayai pengeluaran tersebut
dibutuhkan sumber dana yang mencukupi. Prinsip berikutnya ability to pay
taxation principle di mana negara memungut pajak berdasarkan kemampuan

19
individu, warga negara yang mempunya kemampuan lebih akan membayar
pajak lebih besar dibandingkan mereka yang berpenghasilan kecil, seperti
yang kita ketahui Indonesia merupakan negara kepulauan yang masih
berkembang, tidak sedikit penduduknya adalah petani sehingga hal tersebut
membuat mereka tidak bisa membuat Nomor Pokok Wajib Pajak karena
penghasilan yang mereka terima bukanlah penghasilan tetap, sehingga kalau
warga negara yang mempunyai penghasilan lebih menghindari pajak yang
harusnya dibayarkan, akan sangat mengurangi pemasukan negara dari sektor
non migas.
Untuk menghindari pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan, seorang
wajib pajak harus menerima jika akan dilakukan pemeriksaan terhadap
dirinya, pemeriksaan pajak merupakan bagian tak terpisahkan (built-in)
dengan sistem self-assessment yang dianut dengan sistem perpajakan di
Indonesia. Pemeriksaan pajak dilakukan dalam rangka pengawasam (control)
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Tanpa pengawasan, wajib
pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya cenderung menghindari
bayar pajak. Bahkan banyak wajib pajak juga wajib pajak yang menghindari
bayar pajak dengan cara yang tidak benar seperti menurunkan omset, atau
menambah biaya yang pada akhirnya menghilangkan keuntungan fiskal atau
meminimalkan penghasilan kena pajak, ketika suatu wajib pajak, baik itu
perorangan maupun badan, yang telah menghitung, membayar, dan
melaporkan kewajiban perpajakannya secara tepat waktu dan benar menurut
wajib pajak, tetap saja ada kemungkinan bagi wajib pajak akan dikenakan
pemeriksaan perpajakan, seperti yang diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 545/KMK/04/2000, dan memiliki dua tujuan, yaitu:
1. Menguji kepatuhan wajib pajak dalam rangka memberikan kepastian dan
penjelasan mengenai perpajakan wajib pajak tersebut yang telah
dilaporkan, yang meliputi:

20
a. SPT lebih bayar, termasuk yang telah diberikan pengembalian
pendahuluan pajak.
b. SPT rugi.
c. SPT terlambat, yaitu melampaui jangka waktu Surat Teguran yang
disampaikan.
d. Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi,
pembubaran atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya.
e. Menyampaikan SPT yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil
analisis yang mengindikasi adanya kewajiban perpajakan wajib pajak
yang tidak dipenuhi.
2. Tujuan lainnya hanya untuk melaksanakan KUP.
Ada beberapa jenis pemeriksaan pajak yang perlu dipahami oleh wajib
pajak, yaitu:
1) Pemeriksaan Lapangan
Pemeriksaan lapangan dilakukan di tempat baik itu di tempat tinggal,
tempat usaha atau tempat bekerja wajib pajak. Dalam pelaksanaannya
wajib pajak diwajibkan untuk:
a) Memperlihatkan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan
dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas wajib pajak atau objek yang terutang pajak.
b) Memberi kesempatan untuk mengakses data yang dikelola secara
elektronik.
c) Memberi kesempatan memasuki dan memeriksa ruangan, barang
bergerak atau tidak bergerak yang digunakan untuk menyimpan
dokumen yang menjadi dasar pembukuan, maupun dokumen yang
memberi petunjuk penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,
maupun pekerjaan bebas wajib pajak.

21
d) Memberikan bantuan untuk kelancaran pemeriksaan, yaitu seperti
memberikan kesempatan bagi pemeriksa pajak membuka atau
melihat barang bergerak maupun tidak bergerak dilokasi
pemeriksaan, memperbolehkan pemeriksa pajak untuk boleh
memeriksa buku, catatan maupun dokumen yang tidak
memungkinkan untuk dibawa ke kantor pajak.
e) Menyampaikan tanggapan secara tertulis atau surat pemberitahuan
hasil pemeriksaan.
f) Memberikan keterangan lisan maupun tertulis yang diperlukan.
2) Pemeriksaan Kantor
Pemeriksaan ini dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak atau
Kantor Pelayanan Pajak, dan saat pelaksanaan pemeriksaan kantor.
Wajib pajak diwajibkan untuk:
a) Memenuhi panggilan untuk menghadiri pemeriksaan sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan.
b) Memperlihatkan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan
dokumen lain yang termasuk data yang dikelola secara elektronik
yang berhubungan dengan penghasilan, kegiatan usaha maupun
pekerjaaan wajib pajak.
c) Memberikan bantuan untuk kelancaran pemeriksaan.
d) Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan
Hasil Pemeriksaan.
e) Meminjamkan kertas kerja.
f) Bersedia memberikan keterangan baik secara lisan maupun tertulis
jika dibuthkan oleh pemeriksa pajak.
Sehingga setelah pelaporan SPT oleh Wajib Pajak, jika terdapat
permasalahan atau kecurigaan yang timbul atas pelaporan pajak tersebut,
pemeriksaan akan diajukan dan dengan pemeriksaan diatas, seorang wajib
pajak akan dituntut untuk memberi segala keterangan dengan sebenar-

22
benarnya, tidak ada yang bisa dirahasiakan, sehingga jika terjadi kecurangan
atau terbukti menghindari pajak, Wajib Pajak akan dikenai sanksi
sebagaimana yang tertulis dalam KUP.

C. PENUTUP
Peran Notaris/PPAT adalah memberikan penyuluhan mengenai kewajiban
perpajakan yang harus diselesaikan oleh para pihak dalam hal pembuatan akta
atas peralihan hak pemilikan atas tanah yang dibuat di hadapannya. Pemerintah
juga seharusnya memberikan sosialisasi yang memadai dan menyeluruh terkait
peranan Notaris/PPAT kepada seluruh masyarakat dalam hal perannya dalam
membantu masyarakat dalam membayar pajak Penyuluhan hukum tersebut dapat
berupa pelayanan untuk membantu membayarkan atau memvalidasi pembayaran
pajak terutang para pihak.
Penghindaran pajak merupakan upaya Wajib Pajak meminimalisir jumlah
pajak yang harus mereka bayar dengan memanfaatkan celah (loophole) dalam
ketentuan-ketentuan mengenai Perpajakan, penghindaran pajak juga seringkali
disebut sebagai sebuah sikap perlawanan terhadap pajak, perlawanan terhadap
pajak merupakan hambatan terhadap pemungutan pajak yang berdampak kepada
berkurangnya penerimaan kas negara, Wajib Pajak tidak bisa merasakan imbalan
secara langsung saat mereka berkontribusi dalam pembayaran pajak sehingga hal
itu membuat Wajib Pajak enggan untuk membayar pajak dengan jumlah yang
besar, banyak cara yang dilakukan oleh Wajib Pajak guna mengindari kewajiban
mereka dalam pembayaran pajak. Untuk dapat mencegah para pihak yang hendak
menghindari pajak seorang Notaris/PPAT harus mengetahui ketentuan
perpajakan yang akan dikenakan untuk setiap pelanggaran.

23
DAFTAR PUSTAKA

Buku (1 Penulis)
Erly Suandi, Hukum Pajak, edisi 4, cetakan 2, Jakarta : Salemba Empat, 2008
Erly Suandy, Perencanaan Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2008.
Mohammad Zain, Manajemen Perpajakan, ed. 3, Jakarta: Salemba Empat, 2008.
R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, edisi 4, cetakan 1, Bandung :
Rafika Aditama, 2003.
Salim, H. S. Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2016.
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, cet. 1, Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007.

Buku (Lebih dari 1 Penulis)


Eddy dan Richard. Aspek Legal Properti Teori, Contoh, dan Aplikasi. Yogyakarta:
Andi Offset, 2010.
Muhammad dan Abdulkadir. Etika Profesi Hukum (Cet. 3), Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2006.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
singkat. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1985.

Jurnal
Asmara, A. F.. Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah Terhadap
Notaris Yang Melakukan Penggelapan Uang Pajak Bea Peralihan Hak Atas
Tanah Dan Bangunan (BPHTB), Studi Kasus Putusan Majelis Pemeriksa
Wilayah Notaris DKI Jakarta Nomor 03/ PTS/ MJ.PWN.
PROV.DKIJAKARTA/ VI/ 2015. Jurnal Universitas Indonesia 1, no.1
(2019)

24
Karol Teovani Lodan, Menggugat Partisipasi Masyarakat dalam Pelayanan Publik,
Jurnal Ipteks Terapan Kopertis wilayah 7, no. 1 2013).
Rachmawati, A. R. & Sariono, J. N. Upaya hukum wajib pajak atas surat ketetapan
pajak kurang bayar yang ditetapkan oleh fiskus dalam pemenuhan hak wajib
pajak. Perspektif 16, no.4 (2011).
Sundary, R. I. Pengalihan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dari
pajak pusat menjadi pajak daerah sebagai upaya peningkatan pendapatan asli
daerah (PAD). Aktualita, 1, no.1 (2018).
Tjandra, K. T. dan Toly, A. A. Upaya konsultan pajak dalam memenangkan kasus
banding dan gugatan dalam perpajakan. Tax & Accounting Review 4, no. 2
(2014).

Undang-undang
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-16/PJ/2008 Tentang Tata Cara
Penelitian Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB dan Pajak Penghasilan Atas Tanah
dan Bangunan (PPhTB).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1963 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah
Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2009.

25

Anda mungkin juga menyukai