Anda di halaman 1dari 30

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JAMBI 
PROGRAM PASCASARJANA 
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

TUGAS MAKALAH KONTRAK INTERNASIONAL


Dosen Pengampu : Dr. Muskibah, S.H., M.Hum.
ELVA INDINA MZ
P2B221022

UNIVERSITAS JAMBI
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MEGISTER KENOTARIATAN
JAMBI
2021
PRINSIP KEMANDIRIAN NOTARIS DALAM
PEMBUATAN AKTA OTENTIK

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Salah satu tugas utama, kewenangan atau kekuasaan dari Negara memberikan pelayanan
kepada masyarakat umum. Pelayanan Negara kepada masyarakat umum itu dibagi menjadi 2
(dua) bagian besar secara mendasar, principal yaitu : Pertama, pelayanan Negara kepada
masyarakat umum dalam bidang hukum public, dilakukan oleh organ Negara yang disebut
dengan pemerintah atau eksekutif, juga dikenal dengan istilah Pejabat Tata Usaha Negara atau
Pejabat Administrasi Negara atau dalam arti khusus pegawai negeri. Organ Negara yang disebut
pemerintah atau eksekutif juga dikenal sebagai Pejabat Tata Usaha Negara mempunyai
kewenangan, hak dan kewajiban serta kekuasaan untuk memberikan pelayanan kepada dan untuk
kepentingan masyarakat umum akan tetapi terbatas hanya dalam bidang hukum publik saja.

pelayanan Negara kepada masyarakat umum dalam bidang hukum perdata atas suatu
Negara dilakukan oleh organ Negara yang disebut pejabat umum, baik eksekutif / pemerintah
atau Pejabat Tata Usaha Negara maupun pejabat umum, sama-sama organ Negara dan juga
keduanya sama-sama menjalankan tugas public akan tetapi Pejabat Tata Usaha Negara
mempunyai kewenangan memberikan pelayanan kepada masyarakat umum hanya dalam bidang
hukum publik saja, sedangkan Pejabat Umum yang juga organ Negara mempunyai kewenangan
memberikan pelayanan kepada masyarakat umum hanya dalam bidang perdata saja. Karena
pejabat umum bukan Pejabat Tata Usaha Negara dan sebaliknya Pejabat Tata Usaha Negara
bukan pejabat umum.

Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya yuresprudensi dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor:62/K/TUN/1998, tanggal 27 Juli 2001, yang menyatakan bahwa akta-akta in
casu akta perusahaan dan pembagian dan akta jual beli adalah bukan keputusann Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1 sub 3 undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
sehingga tidak dapat dijadikan objek sengketa Tata Usaha Negara karena meskipun dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat tata Usaha Negara namun dalam hal ini pejabat
tersebut bertindak sebagai pejabat umum dalam bidang perdata. Oleh karena itu, di era reformasi
sekarang, berkenaan diperlukannya akta Notaris sebagai alat bukti keperdataan yang terkuat
menurut tatanan hukum yang berlaku, maka diperlukan adanya pejabat umum yang ditugaskan
oleh undang-undang untuk melaksanakan pembuatan akta otentik itu, perwujudan tentang
perlunya kehadiran pejabat umum untuk lahirnya akta otentik, maka keberadaan Notaris sebagai
pejabat publik tidak dapat dihindarkan.

Karena Notaris dapat dipandang sebagai figur yang sangat penting dan dibutuhkan oleh
masyarakat karena keterangan-keterangan yang tertuang dalam akta Notaris harus dapat
dipercaya, diandalkan, dapat memberikan jaminan sebagai alat bukti yang kuat, dan dapat
memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Notaris merupakan pilar utama dalam
starting bussines di Indonesia, karena dalam berbagai hubungan bisnis, baik diperbankan,
pertanahan, maupun kegiatan sosial. Agar suatu tulisan mempunyai nilai bobot akta otentik yang
bentuknya ditentukan oleh undang-undang membawa konsekuensi logis, bahwa pejabat umum
yang melaksanakan pembuatan akta otentik itupun harus pula diatur dalam undang- undang.

Sejalan dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat tentang pengguna jasa
Notaris dalam proses pembangunan semakin meningkat, karena Notaris merupakan jabatan
tertentu yang menjalankan profesi dan pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan
perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Undang-Undang Jabatan Notaris
diundangkan dengan maksud menggantikan Reglement of Het Notaris Ambt in Indonesie
(Stb.1860 No. 3) tentang Peraturan Jabatan Notaris yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
hukum dan kebutuhan masyarakat.

Dengan berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris


diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat. Dalam Pasal 15 ayat (1)
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa Notaris
berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan perjanjian dan ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang- undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain
yang ditetapkan oleh undang-undang. Jabatan yang diemban Notaris adalah suatu jabatan
kepercayaan yang diberikan oleh undang-undang dan masyarakat, untuk itulah seorang Notaris
bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan selalu
menjunjung tinggi etika hukum dan martabat serta keluhuran jabatannya. Seorang Notaris di
dalam menjalankan jabatannya harus dapat bersikap professional dengan dilandasi kepribadian
yang luhur dengan senantiasa melaksanakan undang-undang sekaligus menjunjung tinggi Kode
Etik Profesinya yaitu Kode Etik Notaris. Berdasarkan Pasal 16 huruf (a) UUJN, seorang Notaris
diharapkan dapat bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan
pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Kemandirian Notaris harus sesuai asas legalitas
hukum yang berlaku, sehingga Notaris dalam melaksanakan tugas tidak terpengaruh oleh pihak
lain.

Kemandirian yang dimaksud adalah bahwa dalam menjalankan jabatannya Notaris


berada dalam kedudukan yang netral dan tidak memihak, artinya berada di luar para pihak yang
melakukan hubungan hukum tersebut dan bukan sebagai salah satu pihak dalam hubungan
hukum itu. Dalam fungsinya yang demikian dapat dikatakan bahwa Notaris adalah aparat
hukum, tetapi dia bukanlah penegak hukum. Maka Notaris harus bersikap mandiri dan
independen, perkataan independen dalam hal ini terkandung banyak pengertian, diantaranya
ialah : independensi structural (institusional structural or institusional independence),
independensi funsional (fungsional independence), independensi financial (financial
independence), independensi administratif (administratif independence). Notaris dikatakan
independen secara structural, apabila organ jabatannya secara kelembagaan berdiri sendiri diluar
struktur organisasi Negara atau pemerintah tertentu.

Misalnya, sejauh mana organ jabatan Notaris berada didalam atau diluar structural
Departemen Hukum dan hak Asasi Manusia republik Indonesia. Namun Notaris dapat juga
dikatakan independen secara fungsional apabila misalnya, meskipun secara kelembagaan berada
dibawah atau didalam organisasi pemerintah, tetapi dalam menjalankan fungsinya ia bebas dan
merdeka serta tidak dapat diintervensi bahkan oleh para pejabat pemerintah yang terkait
sekalipun. Elemen lain yang dapat dijadikan ukuran independensi itu adalah keuangan. Sejauh
mana organ jabatan Notaris dapat mengatur dan mengurus sendiri keuangan mereka, maka hal
itu dapat pula disebut independensi.
Demikian pula dengan administrasi kepegawaian dan sebagainya, apabila organ yang
bersangkutan sama sekali tidak terkait dengan system administratif pemerintah, termasuk dalam
sosial pengangkatan dan pemberhentian pegawainya, maka organ jabatan yang bersangkutan
serta tidak terpengaruh terhadap keinginan pihak-pihak tertentu. Apabila Notaris memenuhi
keempat ciri independensi tersebut, maka tentunya dapat dikatakan bahwa Notaris memang
sudah independensi penuh.

Oleh karena itu, Notaris tidak mempunyai kehendak (wilsvorming) untuk membuat akta
untuk orang lain, dan Notaris tidak akan membuat akta apapun jika tidak ada permintaan atau
kehendak dari para pihak, dan Notaris bukan pihak dalam akta. Akta Otentik sebagai alat bukti
terkuat dan terpenuh mempunyai perananpenting dalam setiap hubungan hukum dalam
masyarakat. Menurut Pasal 1868 KUH Perdata, akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Menurut Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), Notaris adalah satu-
satunya yang mempunyai wewenang umum itu, artinya tidak turut para pejabat lainnya. Tugas
Notaris selain memberikan bantuan dengan membuat akta otentik, akan tetapi juga konsultasi
hukum kepada masyarakat. Dengan demikian penting bagi Notaris untuk dapat memahami
ketentuan yang diatur oleh undang-undang supaya masyarakat umum yang tidak tahu atau
kurang memahami aturan hukum, dapat memahami dengan benar serta tidak melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan hukum. Notaris mempunyai tugas utama yang berat, selain harus
memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya, juga harus
mempertanggunjawabkan perbuatan hukum yang dilakukannya baik selama menjabat sebagai
Notaris maupun sesudah pensiun jadi Notaris.

Karena akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris adalah akta otentik dan
keotentikannya bertahan terus, bahkan sampai sesudah Notaris itu meninggal dunia, tanda
tangannya pada akta itu tetap mempunyai kekuatan hukum, walaupun Notaris tersebut tidak
dapat lagi menyampaikan keterangannya mengenai kejadian-kejadian pada saat pembuatan akta
itu. Notaris melalui akta-akta yang dibuat oleh atau dihadapannya, terkandung suatu beban dan
tanggung jawab untuk menjamin kepastian hukum bagi para pihak. Untuk itu diperlukan suatu
tanggung jawab baik individual maupun sosial, terutama ketaatan terhadap norma-norma hukum
positif dan kesediaan untuk tunduk pada Kode Etik Profesi, sehingga akan memperkuat norma
hukum positif yang sudah ada. Seorang Notaris harus menjunjung tinggi tugasnya serta
melaksanakannya dengan tepat dan jujur, yang berarti bertindak menurut kebenaran sesuai
dengan sumpah jabatan Notaris. Seorang Notaris dalam memberikan pelayanan, harus
mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nurani. Notaris
mempunyai peranan untuk menentukan suatu tindakan dapat dituangkan dalam bentuk akta atau
tidak. Notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang diperlihatkan kepada
Notaris, meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepadanya, mendengarkan keterangan atau
pernyataan para pihak.

Keputusann tersebut harus didasarkan pada alasan hukum yang harus dijelaskan kepada
para pihak. Pertimbangan tersebut harus memperhatikan semua aspek hukum termasuk masalah
hukum yang akan timbul dikemudian hari. Setiap pembuatan akta Notaris dapat dijadikan
sebagai alat pembuktian, apabila terjadi sengketa diantara para pihak, persengketaan tersebut
tidak menutup kemungkinan melibatkan Notaris, dan atas keterlibatan itu Notaris harus ikut
bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Notaris dapat dimintakan
pertanggungjawaban selain berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris juga berdasarkan Kode Etik Notaris.

Menurut Pasal 4 ayat (1) yakni : sebelum Notaris melaksanakan jabatannya, terlebih
dahulu wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau Pejabat
yang ditunjuk. Antara lain sumpah tersebut berbunyi seperti yang tercantum dalam Pasal 4 ayat
(2) yakni : Saya bersumpah/berjanji : Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik
Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya. Bahwa
saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak berpihak.
Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai
dengan Kode Etik Profesi, Kehormatan Martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.
Bahwa saya akan merahasikan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan
saya. Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung, dengan nama
atau dalih apapun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada
siapapun.
Jabatan yang diemban oleh Notaris adalah suatu jabatan kepercayaan yang diberikan oleh
undang-undang dan masyarakat, untuk itulah seorang Notaris bertanggung jawab untuk
melaksanakan kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan selalu menjunjung tinggi kode etik
Notaris. Oleh karena itu peneliti tertarik melakukan penelitian terhadap prinsip kemandirian
Notaris dalam pembuatan akta otentik.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian sebagaimana yang telah diuraikan di atas maka
permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Bagaimana wujud dari pelaksanaan prinsip kemandirian Notaris dalam pembuatan akta
otentik?

2. Bagaimana tanggung jawab Notaris dalam menjunjung tinggi prinsip kemandirian Notaris
dalam pembuatan akta otentik?

3. Bagaimana akibat hukum serta perlindungan hukum apabila terjadi pelanggaran prinsip
kemandirian oleh Notaris

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang

hendak dicapai dalam penulisan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui wujud dari pelaksanaan prinsip kemandirian Notaris dalam pembuatan akta
otentik ?

2. untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab Notaris dalam menjunjung tinggi prinsip
kemandirian Notaris dalam pembuatan akta otentik?

3. Bagaimana akibat hukum serta perlindungan hukum apabila terjadi pelanggaran prinsip
kemandirian oleh Notaris
BAB II
WUJUD PELAKSANAAN PRINSIP KEMANDIRIAN NOTARIS DALAM
PEMBUATAN AKTA OTENTIK

A. Sejarah Notaris di Indonesia

Lembaga Notaris di Indonesia yang dikenal sekarang ini, bukan lembaga yang lahir dari bumi
Indonesia. Lembaga Notaris ke Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya
Vereenidge Oost Ind. Compagnie (VOC) di Indonesia. Jan Pieterszoon Coen pada waktu itu
sebagai Gubernur Jenderal di Jacatra (Jakarta sekarang) antara tahun 1617 sampai 1629, untuk
keperluan para penduduk dan para pedagang di Jakarta menganggap perlu diangkat Notaris yang
disebut Notarium Publicum. Notaris di Indonesia dimulai dengan pengangkatan Melchior
Kerchem sebagai Notaris pertama di Indonesia pada 27 Agustus 1920. Kelchem merupakan
seorang sekretaris College van Schenpenen, Jakarta yang bertugas menjadi seorang Notarius
Publicus. Keberadaan Kelchem memudahkan warga Hindia Belanda, terutama warga eropa dan
timur asing dalam membuat dokumen legal di Ibukota. Sejak tanggal 27 Agustus 1620,
mengangkat Melchior Kerchem, sebagai sekretaris College Van Schepenen (urusan perkapalan
kota) di Jakarta. Tugas Melchior Kerchem sebagai Notaris untuk menjalankan pekerjaannya itu
sesuai dengan sumpah setia dan dengan kewajiban untuk mendaftarkan semua dokumen danakta
yang dibuatnya.

Pada tahun 1625 Jabatan Notaris dipisahkan dari jabatan sekretaris (College Van
Schepenen), yaitu dengan dikeluarkan instruksi untuk para Notaris pada tanggal 16 Juni 1625.
Instruksi ini hanya terdiri dari 10 (sepuluh) Pasal, antara lain menetapkan bahwa Notaris wajib
merahasiakan semua informasi yang diberikan kliennya serta dilarang menyerahkan salinan akta-
akta milik kliennya. Tanggal 7 Maret 1822 (stb. No.11) dikeluarkan Instructie voor de Notarissen
Residerende inNederlands Indie. Pasal 1 Instruksi tersebut mengatur secara hukum batas-batas
dan wewenang dari seorang Notaris, dan juga menegaskan Notaris bertugas untuk membuat
akta-akta dan kontrak-kontrak dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan
pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau memintanya dan
mengeluarkan grossenya, demikian juga memberikan salinannya yang sah dan benar.
Pengangkatan Melchior Kerchem disusul dengan pengangkatan Notaris-Notaris lainnya untuk
mengakomodasi kebutuhan pembuatan dokumen legal yang dirasa makin penting, ditambah lagi
dengan kesibukan kota Batavia saat itu. Tahun 1860 Pemerintahan Hindia Belanda memandang
perlu untuk membuat peraturan-peraturan yang baru mengenai Jabatan Notaris yang berlaku di
Belanda. Sebagai pengganti Instructie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie,
kemudian tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie
(Stbl.1860:3).

Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, keberadaan Notaris di Indonesia tetap


diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
yaitu segala peraturan perundang-undangan yang masih ada tetap berlaku selama belum
diadakannya yang baru menurut undang-undang dasar ini. Sampai dibentuknya Peraturan
Jabatan Notaris, akan tetapi Peraturan Jabatan Notaris tersebut juga telah diganti dengan
Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 yang merupakan unifikasi pengaturan
Notaris di Indonesia.

Perkataan Notaris berasal dari kata Notarius pada zaman romawi, yaitu yang diberikan
kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis, ada juga pendapat mengatakan
Notaris berasal dari perkataan nota literaria, yaitu tanda yang menyatakan suatu perkataan, abad
kelima sebutan Notarius itu diberikan kepada penulis pribadi raja, dan akhir abad kelima sebutan
tersebut diberikan kepada pegawai-pegawai istana yang akan melaksanakan pekerjaan
administratif. Pejabat-pejabat yang dinamakan Notaris ini merupakan pejabat yang menjalankan
tugas tidak melayani umum, yang melayani umum disebut Tabelliones.

Fungsi mereka sudah agak mirip dengan Notaris zaman sekarang tetapi tidak mempunyai
sifat jabatan negeri. Ketentuan dalam Pasal 1 Instructie Voor De Notarissen in
Indonesia,menyebutkan bahwa Notaris adalah pegawai umum yang harus mengetahui seluruh
perundang-undangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta dan
kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan,
menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan
grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan benar. Pengertian Notaris menurut pendapat
Tan Thong Kie yaitu : “Notaris adalah seorang fungsionaris dalam masyarakat, hingga sekarang
jabatan seorang Notaris masih disegani.
Seorang Notaris bisanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat
memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan
(konstatir) adalah benar, ia adalah pembuatan dokumen yang kuat dalam proses hukum.
Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dalam
Pasal 1 angka (1) menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini.

Di dalam Undang-Undang tentang Jabatan Notaris pada Pasal 3 dinyatakan syarat untuk
diangkat menjadi Notaris yaitu :

1. Warga Negara Indonesia


2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3. Berumur paling rendah 27 (dua puluh tujuh) tahun
4. Sehat jasmani dan rohani
5. Berijazah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang Strata Dua Kenotariatan
6. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam
waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas
rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulusan strata dua kenotariatan; dan
7. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat Negara, advokat, atau tidak sedang
memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan Jabatan
Notaris.
WEWANG DAN LARANGAN NOTARIS

Wewenang merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu
jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang
bersangkutan. Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan Notaris yaitu
membuat akta secara umum26, hal ini disebut kewenangan umum Notaris dengan batasan
sepanjang:

1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang.


2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau wewenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh
yang bersangkutan.

3. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat
atau dikehendaki oleh yang berkepentingan. Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris
sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka
ada 2 (dua) kesimpulan yaitu:

1. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta
otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.

2. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga
tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang
menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau
menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan.
Pasal 15 ayat (2) mengatur mengenai kewenangan khusus Notaris untuk melakukan tindakan
hukum tertentu, seperti :

1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus;

2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

4. Melakukan pengesahan kecocokkan fotokopi dengan surat aslinya;

5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta

6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

7. Membuat akta risalah lelang.

Pasal 16 UUJN menegaskan


kewajiban Notaris yaitu :

1. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban :

a. Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang
terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari
Protokol Notaris;
c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta.
d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini,
kecuali ada alasan untuk menolaknya;
e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang
diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-
undang menentukan lain;
f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak
lebih dari 50(lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku,
akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta,
bulan dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat
berharga;
h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan
akta setiap bulan;
i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang
berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap
bulan berikutnya;
j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada
ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan dan tempat kedudukan yang
bersangkutan;
l. Membacakan Akta dihadapan peghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang
saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris.
m. Menerima magang calon Notaris.
2. Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam
hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali
3. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta :

a. Pembayaran uang sewa, bunga dan pensiun;


b. Penawarann pembayaran tunai;
c. Proses terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
d. Akta kuasa;
e. Keterangan kepemilikan atau;
f. Akta lainnnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
4. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap,
ditandatangani pada waktu, bentuk dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis
kata-kata “berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua”.

5. Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat
dalam 1 (satu) rangkap.

6. Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k ditetapkan
dengan Peraturan Menteri.

7. Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1 tidak wajib dilakukan, jika
penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri,
mengetahui, dan memahami isinya dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam
penutup akta serta dalam setiap halman Minuta Akta di paraf oleh penghadap, saksi dan Notaris.

8. Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1 dan ayat (7) tidak dipenuhi,
akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

9. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat.

Pasal 17 ayat (1) UUJN mengatur tentang larangan Notaris yang bertujuan untuk
menjamin kepentingan dan memberi kepastian hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasa
Notaris. Pasal 17 UUJN tersebut menegaskan bahwa Notaris yang memangku jabatan dan
menjalankan jabatannya dilarang :

a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya


b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan
yang sah
c. Merangkap sebagai pegawai negeri
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat Negara
e. Merangkap jabatan sebagai advokat
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris
h. Menjadi Notaris pengganti
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan atau yang dapat
mempengaruhi dan martabat jabatan Notaris.
B. Wujud dari Pelaksanaan Prinsip Kemandirian Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik

Notaris di dalam menjalankan tugas kewenangannya sebagai pejabat umum memiliki ciri
utama, yaitu pada kedudukannya (posisinya) yang tidak memihak dan mandiri (independensi),
bahkan dengan tegas dikatakan “bukan sebagai salah satu pihak”. Notaris selaku pejabat umum
didalam menjalankan fungsinya memberikan pelayanan kepada menyangkut antara lain di dalam
pembuatan akta otentik sama sekali bukan pihak dari yang berkepentingan. Notaris sekalipun ia
adalah apparat hukum bukanlah sebagai “penegak hukum”, Notaris sungguh netral tidak
memihak kepada salah satu dari mereka yang berkepentingan. Kemandirian seorang Notaris
tercermin dari keahlian yang dimiliki serta didukung oleh ilmu pengetahuan, pengalaman dan
memiliki ketrampilan yang tinggi serta memiliki integritas moral yang baik.

Kemandirian seorang Notaris terletak pada hakekatnya selaku Pejabat umum, hanyalah
mengkonstatir atau merelateer atau merekam secara tertulis dan otentik dari perbuatan hukum
pihak-pihak yang berkepentingan, Notaris tidak berada didalamnya, ia adalah orang luar, yang
melakukan perbuatan hukum itu adalah pihak-pihak yang membuat serta yang terikat dalam dan
oleh isi perjanjian. Notaris harus mengetahui batas-batas kewenangannya dan harus mentaati
peraturan hukum yang berlaku serta mengetahui batas-batas sejauh mana ia dapat bertindak apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Notaris juga perlu bekerja sama dengan pihak
pemerintah daerah dan para pihak terkait demi tercapainya tujuan hukum, sebab pada dasarnya
seorang Notaris tidak dapat melakukan pekerjaannya sendiri dengan sempurna tanpa keterlibatan
pihak-pihak lain. Namun sebagai pejabat umum, profesi yang bermartabat haruslah selalu
diingat, seorang pejabat adalah didatangi bukan mendatangi karena untuk menjunjung tinggi
keluhuran martabatnya.

Moral Notaris menjadi hal utama dalam pelaksanaan profesi ini, moral yang baik tentu
menghasilkan Notaris yang bermutu, yaitu professional yang menguasai hukum Indonesia,
mampu menganalisis masalah hukum dalam masyarakat, mampu menggunakan hukum sebagai
sarana untuk memecahkan masalah konkret dengan bijaksana, berdasarkan prinsip-prinsip
hukum, menguasai dasar ilmiah untuk mengembangkan ilmu hukum dan hukum, mengenal dan
peka akan masalah keadilan dan masalah sosial. Notaris dituntut memiliki idealisme, keluhuran,
martabat dan integritas moral. Namum berbagai godaan datang merayu seorang Notaris.
Meskipun demikian, Notaris yang luhur dan bermartabat tidak boleh mengorbankan
idealismenya untuk sekedar mengejar kesuksesan yang pragmatis.

Idealisme profesi adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Demi mewujudkan prinsip
kemandirian Notaris sudah saatnya memperhatikan apa yang menjadi kewajiban dan
kewenangannya. Apabila memang itu sudah menyangkut kewenangannya dalam pembuatan akta
seperti yang diinginkan para penghadap maka perlu memperhtikan tiga hal yang paling utama
dalam proses pembuatan akta otentik, yaitu

1. Tahap sebelum pembuatan akta

Dalam tahap sebelum pembuatan akta, apabila seorang klien menghadap seorang Notaris
untuk dimintakan membuat suatu akta yang berkenan dengan kepentingan si klien, maka Notaris
harus mencari dasar kebenaran formil dan kebenaran material. Dimana kebenaran formil artinya
pembuatan akta Notaris hanya mengkonstatir apa yang dilihat, didengar atau apa yang dialami
sendiri atau sesuai dengan apa yang diberitahukan atau disampaikan oleh para pihak kepada
Notaris, baik berupa keterangan-keterangan maupun dokumen-dokumen hukum lainnya seperti
kartu identitas diri (KTP). Kartu susunan keluarga maupun sertipikat sebagai dasar pembuatan
akta. Sedangkan kebenaran material adalah mencari dan menemukan fakta hukum bahwa apa
yang diberitahukan atau disampaikan oleh para pihak kepada Notaris baik berupa keterangan-
keterangan maupun dokumen hukum adalah benar-benar dan sesuai dengan fakta hukum yang
ada. Apa yang disampaikan kepada Notaris itu mengandung kebenaran, sedangkan fakta
kebohongan yang disampaikan oleh penghadap bukan kewenangan Notaris, karena akta Notaris
tidak menjamin bahwa pihak-pihak berkata benar, tetapi yang dijamin olek akta Notaris adalah
pihak-pihak berkata benar seperti yang tertuang dalam akta. Apabila kebenaran formil dan
kebenaran material tidak terpenuhi maka hal inilah yang bisa menimbulkan terkendalanya akta
yang akan di buat di hadapan Notaris tersebut.

2. Tahap Pembuatan Akta

Dalam tahap pembuatan akta, Notaris harus memperhatikan kebenaran formil dan
kebenaran material, apabila kedua hal ini sudah terpenuhi, maka Notarismenuliskannya kedalam
bentuk akta dengan memperhatikan seluruh mekanisme penulisan akta yang benar sesuai yang
diatur dalam Undang-Undang jabatan Notaris.

3. Tahap Setelah Pembuatan Akta

Dalam tahap sesudah akta sudah selesai dibuat penulisannya, Notaris diharapkan mengecek
ulang supaya tidak ada penulisan yang salah atau kejanggalan yang timbul dalam penulisan
tersebut. Apabila hal ini sudah selesai maka Notaris wajib membacakan akta itu dihadapan
penghadap dan dihadiri oleh saksi-saksi. Apabila hal itu sudah dilakukan dan ada kesepakan
dengan seluruh penghadap maka akta segera ditandatangani sebagaimana yang diperintahkan
undang-Undang Jabatan Notaris.

Dan sesudah penanda tanganan maka Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan,
atau memberitahukan isi akta, grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta kepada orang yang
berkepentingan langsung kepada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Agar Notaris tidak terjebak dalam kasus
hukum, karena Disatu sisi Notaris diminta menjaga idealismenya sebagai pejabat umum, namun
di sisi lain Notaris kelilingi oleh kehidupan materialisme gemerlap yang merobohkan benteng
nurani. Akibatnya ada sebagian oknum Notaris yang mempraktikan falsafah berdagang daripada
menjalankan perannya sebagai pejabat umum. Mereka proaktif turun kepasar mendatangi klien,
menawarkan jasa, melakukan negosiasi honor, dan melakukan perikatan layaknya seorang
pebisnis pada umumnya. Dalam beberapa kasus bahkan ada Notaris yang membanting honor dan
memberikan pendapat negative terhadap rekan sejawatnya hanya untuk mendapatkan “hak
konsesi” akta dari sebuah perusahaan.
Persaingan yang sengit mendorong setiap Notaris melakukan “strategi jemput bola”
karena jika mereka hanya menunggu klien datang ke kantor, mereka akan kalah bersaing dengan
Notaris lain yang lebih agresif “menggarap pasar”. Fenomena ini sudah sering terjadi.

2. Wujud Kemandirian Notaris

Jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan, maka keluhuran serta martabat jabatan Notaris
harus dijaga, baik ketika menjalankan tugas jabatan maupun perilaku kehidupan Notaris sebagai
manusia secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi martabat jabatan Notaris.38
Sehingga wujud dari kemandirian Notaris itu tercermin dalam menjalankan tugas dan
jabatannya, dimana hasil dari pekerjaan Notaris itu sendiri (dalam hal pembuatan akta otentik,
atau dalam hal menjalankan kewenangannya sebagai Notaris), Notaris tersebut bekerja secara
benar dan professional sesuai dengan perintah Undang-Undang, tanpa ada pengaruh dan
paksaan, dari pihak-pihak lain.

Sehingga akta yang dibuat oleh Notaris tersebut tidak menimbulkan sengketa bagi para
pihak yang menghadap dikemudian hari, serta tidak ada timbul tuntutan hukum akibat dari
pembuatan akta itu sendiri dan tidak memberikan keuntungan untuk satu pihak saja. Memang
kewenangan Notaris itu terbatas, akan tetapi akibat dari perilaku hidup dimasyarakat
mengharuskan Notaris itu diharapkan mampu memberikan solusi dalam menjawab segala
persoalan hukum yang timbul, berdasarkan pengetahuan hukum yang dimilikinya. Sebab
berdasarkan kewenangan yang ada pada Notaris sudah saatnya untuk berada selangkah di depan
dalam mengantisipasi kemajuan zaman dan melakukan pembaharuan.

Oleh karena itu Notaris harus mampu menjadi penasihat hukum bagi setiap orang yang
datangmenghadap kepadanya demi memberikan saran dan jawaban dari persolan hukum yang
terjadi, seiring dari tujuan yang akan dicapai dari keberadaan lembaga Notariat adalah untuk
menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi masyarakat dalam lalu lintas
hukum kehidupan masyarakat. merupakan pelayanan publik dari Notaris demi kepuasan klien itu
sendiri serta tercapainya tujuan hukum. Batas Pertanggung jawaban Notaris Tanggung jawab
menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.
Oleh karena itu, seorang Notaris dapat bertanggung jawab apabila dibuktikan bahwa Notaris
tersebut bersalah. Kemampuan bertanggung jawab merupakan keadaan normalitas psikis dan
kematangan atau kecerdasan seseorang yang membawa kepada tiga kemampuan, yaitu:

a. mampu untuk mengerti nilai dan akibat-akibatnya sendiri,


b. mampu untuk menyadari bahwa perbuatan itu menurut pandangan masyarakat
tidak diperbolehkan,
c. mampu untuk menentukan nilai dalam melakukan perbuatan itu.

Seorang Notaris seharusnya mengerti tentang nilai dan akibat perbuatan hukum yang
dilakukannya, hal ini dikarenakan seorang Notaris tidak hanya mendapat pengetahuan secara
teoritis, tetapi juga secara praktis dengan kemampuan teknis maupun teoritis tersebut. Maka
seorang Notaris dipastikan memiliki kemampuan, bahkan sudah seharusnya bagi Notaris untuk
mengerti sendiri nilai dan akibat-akibat dari pembuatan akta. Hans Kelsen dalam bukunya
membagi pertanggung jawaban menjadi empat macam, yaitu :

a. pertanggung jawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab


terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri,
b. pertanggung jawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas
suatu pelanggaran yang dilakukan orang lain,
c. pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan
dengan tujuan menimbulkan kerugian,
d. pertanggung jawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab
atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.

Mengenai perbuatan melanggar hukum oleh Notaris ini selain tunduk pada ketentuan
pasal 1365 KUH Perdata, juga berlaku ketentuan pasal 1367 KUH perdata yaitu tanggung gugat
karena kesalahan yang dilakukan oleh karyawan Notaris. Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata
menyatakan: Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah

pengawasannya.
Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata menyatakan: Majikan-majikan dan mereka yang
mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab
tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka didalam
melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang itu dipakainya. Substansi pasal-pasal diatas dapat
memberikan pedoman, bahwa Notaris tidak saja bertanggung jawab atas kerugian yang
dilakukan atas kesalahannya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab atas kerugian yang
disebabkan oleh perbuatan-perbuatan hukum oleh karyawannya yang dilakukan dalam ruang
lingkup tugasnya.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi agar Notaris bertanggung gugat atas kerugian
yang disebabkan perbuatan melanggar hukum oleh karyawannya atau bawahannya adalah:

a. adanya hubungan bawahan dan atasan, dalam hal ini harus ada orang yang menentukan
kewenangan memberikan perintah (intruksi) pada yang lain, dan kewenangan ini dapat timbul
dari perjanjian kerja, dan juga dapat lahir dari hukum publik

b. tanggung jawab tersebut bergantung pada keadaan, bahwa perbuatan melanggar hukum itu
dilakukan dalam melaksanakan tugas oleh bawahan. Majikan tidak hanya bertanggung jawab
atas perbuatan melanggar hukum oleh bawahannya ketika melaksanakan tugas sudah cukup
apabila fungsi bawahan itu menciptakan kesempatan untuk melakukan perbuatan melanggar
hukum, kenyataan bahwa majikan dengan tegas melarang perbuatan yang bersangkutan, atau
bahwa perbuatan itu dilakukan diluar jam dinas tidak merupakan penghalang.

c. Untuk tanggung jawab disyaratkan adanya perbuatan melanggar hukum dan kesalahan pihak
bawahan.

d. Tanggung jawab tidak tergantung pada suatu pelanggaran norma atau kesalahan oleh majikan,
pihak yang dirugikan cukup berpegangan pada bukti perbuatan melanggar hukum oleh bawahan,
adanya hubungan atasan bawahan dan fakta bahwa tugas bawahan menciptakan kesempatan
untuk melakukan perbuatan melanggar hukum.

Berdasarkan ketentuan pasal 65 UUJN, terutama anak kalimat “meskipun protokol


Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protocol Notaris”, kalimat
ini dapat diartikan, meskipun Notaris sudah berhenti atau pension sebagai Notaris, Notaris
pengganti, Notaris pengganti khsusus, pejabat sementara Notaris masih harus bertanggung jawab
sampai meninggal dunia. Dengan kata lain, Notaris dianggap sebagai menjalankan tugas
pribadinya seumur hidup tanpa batas waktu, walaup dimana Notaris tersebut berada. Tanggung
jawab Notaris dalam Menjunjung Tinggi Kemandirian Notaris

Tanggung jawab Notaris dalam undang-undang jabatan Notaris (UUJN), dimaksudkan


sebagai keterikatan Notaris terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya. Dalam pengertian bahwa, semua perbuatan Notaris dalam menjalankan tugas
kewajibannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, termasuk dengan segala
konsikuensinya dikenakan sanksi hukum terhadap pelanggaran norma-norma hukum yang
mendasarinya. Tanggung jawab ini tidak hanya pada proses pembuatan akta otentik, sampai
dengan terwujudnya akta otentik tersebut, namun juga timbul pada saat setelah akta otentik
terbentuk, yang menimbulkan permasalahan hukum, yang disebabkan ketidak absahan akta
tersebut.

Pertanggunjawaban Notaris juga terjadi apabila Notaris melakukan penyimpangan atau


pelanggaran terhadap persyaratan pembuatan akta yang konsekuensi finalnya akta tersebut
dinyatakan tidak sah. Jadi, dalam hal akta yang diterbitkan oleh Notaris tersebut kemudian
terdegradasi menjadi akta di bawah tangan, yang disebabkan oleh kesalahan Notaris akibat
pelanggaran persyaratan dalam pembuatannya, maka tetap menjadi tanggung jawab Notaris.
Maka dapat dikatakan bahwa Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan tugas
jabatannya mengemban amanah yang berasal dari dua sumber yaitu:

a. Anggota masyarakat yang menjadi klien Notaris itu menghendaki agar Notaris membuat akta
otentik bagi yang berkepentingan itu dengan secara tersirat menurut kalimat “penuhilah syarat
formal untuk keabsahan sebagai akta otentik”.

b. Amanah berupa perintah dan undang-undang secara tidak langsung kepada Notaris, agar untuk
perbuatan hukum tertentu dituangkan dan dinyatakan dengan akta otentik, hal ini mengandung
makna bahwa Notaris terikat dan berkewajiban untuk mentaati peraturan yang mensyaratkan
untuk sahnya sebagai akta otentik. Berdasarkan hal tersebut, maka Notaris dalam menjalankan
tugas jabatannya dituntut bekerja secara benar dan professional, sehingga produk Notaris berupa
akta otentik dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada para pihak yang
membutuhkannya.

Sehingga dalam menjalankan tugas jabatannya Notaris wajib bertanggung jawab kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan sumpah atau janji, yang diucapakan berdasarkan agama
masing-masing, dengan demikian artinya segala sesuatu yang dilakukan Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Tuhan.

2. Negara dan masyarakat artinya Negara telah memberikan kepercayaan untuk menjalankan
sebagai tugas Negara dalam bidang hukum perdata, yaitu dalam pembuatan alat bukti berupa
akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, kepada masyarakat yang telah percaya
bahwa Notaris mampu memformulasikan kehendaknya dalam bentuk akta Notaris dan percaya
bahwa Notaris mampu menyimpan (merahasiakan) segala keterangan atau ucapan yang

diberikan dihadapan Notaris.

AKIBAT HUKUM SERTA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NOTARIS


APABILA TERJADI PELANGGARAN PRINSIP KEMANDIRIAN NOTARIS
Jadi, aspek pertanggungjawaban Notaris timbul karena adanya kesalahan yang dilakukan di
dalam menjalankan suatu tugas jabatan dan kesalahan itu menimbulkan kerugian bagi orang lain
yang minta jasa pelayanan Notaris., artinya untuk menetapkan seorang Notaris bersalah yang
menyebabkan pergantian biaya, ganti rugi, dan bunga, disyaratkan bilamana perbuatan melawan
hukum dari Notaris tersebut dapat dipertanggungjawabkan, dan pertanggungjawaban tersebut
dapat dilihat dari sudut pandang keperdataan, administratif maupun sudut pandang hukum
pidana.

Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan sengaja
maupun tidak, pada akhirnya harus dapat dimintakan pertanggungjawaban, terlebih lagi yang
berkaitan dengan tugas dan kewajiban dari seseorang profesi hukum seperti jabatn Notaris. Pada
umumnya apabila terjadi suatu perbuatan melanggar hukum, maka yang harus digugat atau
menerima tanggung jawab adalah pihak pelaku perbuatan melawan hukum itu sendiri, artinya
dialah pihak pelaku perbuatan melawan hukum itu sendiri. Menurut Rosque Pound,
pertanggungan gugat adalah mengenai suatu kewajiban untuk meminta ganti kerugian dari
seseorang yang terhadapnya telahdilakukan suatu tindakan perugian (injury), baik oleh orang
yang pertama itu sendiri maupun oleh suatu yang ada di bawah kekuasaannya. Didalam lapangan
hukum keperdataan, sanksi merupakan tindakan hukum untuk memaksa orang menepati
perjanjian atau tindakan hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau mentaati
ketentuan undang-undang.

Setiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia selalu ada sanksi pada akhir aturan
hukum tersebut. Pencantuman sanksi dalam berbagai aturan hukum tersebut seperti merupakan
kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap aturan hukum. Seakan-akan aturan hukum yang
bersangkutan tidak bergigi atau tidak dapat ditegakkan atau tidak akan dipatuhi apabila pada
bagian akhir tidak mencantumkan sanksi. Tidak ada gunanya memberlakukan kaidah-kaidah
hukum manakala kaidah-kaidah itu tidak dapat dipaksakan melalui sanksi dan menegakkan
kaidah-kaidah dimaksud secara prosedural (hukum acara).

Hakekat sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk memberikan
penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan yang dilakukannya telah
tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dan untuk mengembalikan yang bersangkutan
agar bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan
berjalannya suatu aturan hukum. Sanksi yang ditujukan terhadap Notaris juga merupakan sebagai
penyadaran, bahwa Notaris dalam melakukan tugas jabatannya telah melanggar ketentuan-
ketentuan mengenaipelaksanaan tugas jabatan Notaris sebagaimana tercantum dalam UUJN dan
untuk mengembalikan tindakan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya untuk tertib sesuai
dengan UUJN.

Di samping itu, pemberian sanksi terhadap Notaris juga untuk melindungi masyarakat
dari tindakan Notaris yang dapat merugikan, misalnya membuat akta yang tidak melindungi hak-
hak yang bersangkutan sebagaimana yang tersebut dalam akta Notaris. Sanksi tersebut untuk
menjaga martabat lembaga Notaris sebagai lembaga kepercayaan karena apabila Notaris
melakukan pelanggaran, dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Notaris. Secara
individu sanksi terhadap Notaris merupakan suatu nestapa dan pertaruhan dalam menjalankan
tugas jabatannya, apakah masyarakat masih mau mempercayai pembuatan akta terhadap Notaris
yang bersangkutan atau tidak.
Kesalahan-kesalahan yang dilakukan Notaris tersebut memungkinkan Notaris Berurusan
dengan pertanggungjawaban secara hukum (legal responsibility) baik secara perdata,
administratif maupun pidana. Maka akibat hukum atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris
terhadap prinsip kemandirian Notaris dalam menjalankan fungsinya sebagaimana diatur dalam

UUJN ialah:

A. Sanksi Keperdataan

Sanksi keperdataan adalah sanksi yang dijatuhkan terhadap kesalahan yang, terjadi karena
wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum onrechtmatige daad. Sanksi ini berupa
penggantian biaya, ganti rugi dan bunga merupakan akibat yang akan diterima Notaris dari
gugatan para penghadap apabila akta bersangkutan hanya mempunyai pembuktian sebagai akta
dibawah tangan atau akta batal demi hukum.

Apabila Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, namun apabila
melanggar ketentuan tertentu, akan terdegradasi nilai pembutiannya menjadi mempunyai
kekutaan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, kedudukan akta Notaris yang kemudian
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan merupakan penilaian atas suatu
alat bukti. Suatu akta dibawah tangan nilai pembuktiannya mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna sepanjang para pihak mengakuinya. Penggantian biaya, ganti rugi atau bunga
dapat digugat terhadap Notaris harus dengan mendasarkan pada suatu hubungan hukum antara
Notaris dengan para pihak yang menghadap Notaris.

Apabila ada pihak yang merasa dirugikan sebagai akibat langsung dari suatu akta Notaris,
maka yang bersangkutan dapat menuntut secara perdata terhadap Notaris.69 Dengan demikian,
tuntutan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga terhadap Notaris tidak didasarkan atas
penilaian atau kedudukan suatu alat bukti yang berubah karena melanggar ketentuan-ketentuan
menurut Pasal 84 UUJN tetapi hanya dapat didasarkan pada hubungan hukum yang ada atau
yang terjadi antara Notaris dengan penghadap. Pada gugatan atas dasar wanprestasi, petitum
dalam gugatan ada lima kemungkinan yaitu:

a. gugat pemenuhan,
b. gugat ganti rugi,
c. gugat pembatalan suatu kontrak,
d. kombinasi antara pemenuhan dan ganti rugi,
e. kombinasi antara pembubaran dan ganti rugi.
Dalam hal pembuatan akta cacat hukum, maka yang dianggap paling relevan dan dirasa efektif
adalah gugatan ganti rugi. Namun dalam pengajuan gugatan ganti rugi atas wanprestasi
dipersyaratkan:

- ada kerugian yang timbul,

- ada hubungan causal atau sebab akibat antara timbulnya kerugian dan perbuatan yang
melanggar norma yang dilakukan oleh para pihak.

B. Sanksi Administratif

Di samping sanksi keperdataan yang dijatuhkan terhadap Notaris yang telah melakukan
pelanggaran hukum, terhadap Notaris tersebut dapat dijatuhkan sanksi administrasi. Mengenai
sanksi administrasi bagi Notaris yang melakukan kesalahan dapat dilihat di dalam Pasal 85
UUJN ditentukan ada lima jenis sanksi administrative yaitu:

1. teguran lisan,
2. teguran tertulis,
3. pemberhentian sementara,
4. pemberhentian dengan hormat,
5. pemberhentian tidak hormat.
Sanksi-sanksi tersebut berlakunya secara terjenjang mulai dari teguran lisan sampai
dengan pemberhentian tidak hormat. Penjatuhan sanksi-sanksi tersebut dilakukan hanya apabila
Notaris terbukti melanggar ketentuan-ketentuan pasal-pasal tertentu sebagaimana yang tersebut
dalam Pasal 85 UUJN. Dalam Pasal 85 UUJN dengan menempatkan teguran lisan pada urutan
pertama dalam pemberian sanski, merupakan suatu peringatan kepada Notaris dan majelis
pengawas yang jika tidak dipenuhi ditindaklanjuti dengan sanksi teguran tertulis. Apabila sanksi
seperti ini tidak dipatuhi juga oleh Notaris yang bersangkutan, maka dapat dijatuhi sanksi yang
berikutnya secara berjenjang. Penempatan sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis
sebagai awal untuk menjatuhkan sanksi yang selanjutnya bukan termasuk sanksi administratif.
Dalam sanksi administratif berupa paksaan pemerintah, sebelum dijatuhakan sanksi harus
didahului dengan teguran lisan dan teguran tertulis, hal ini dimaksudkan sebagai aspek prosedur
paksaan nyata.

Pelaksanaan teguran lisan maupun tertulis bertujuan untuk menguji ketepatan dan
kecermatan (akurasi) antara teguran lisan dan tertulis dengan pelanggaran yang dilakukan
berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Dalam pelaksanaan teguran lisan dan teguran tertulis
memberikan hak kepada yang diberi teguran secara lisan dan tertulis tersebut untuk membela diri
dalam suatu upayaadministrasi dalam bentuk keberatan atau banding administrasi. Dengan
demikian rumusan sanksi berupa teguran lisan dan tertulis tidak tepat dimasukkan sebagai suatu
sanksi paksaan nyata yang untuk selanjutnya jika terbukti dapat dijatuhi sanksi yang lain. Sanski
terhadap Notaris berupa pemberhentian sementara dari jabatannya merupakan tahap berikutnya
setelah penjatuhan sanksi teguran lisan dan secara tertulis.

Kedudukan sanksi berupa pemberhentian sementara dari Notaris atau skorsing


merupakan masa menunggu pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Sanksi pemberhentian
sementara Notaris dari jabatannya, dimaksudkan agar Notaris tidak melaksanakan tugas
jabatannya untuk sementara waktu sebelum sanksi berupa pemberhentian dengan hormat atau
pemberhentian tidak hormat dijatuhkan kepada Notaris. Pemberian sanksi pemberhentian
sementara ini dapat berakhir dalam bentuk pemulihan kepada Notaris untuk menjalankan tugas
jabatannya kembali atau ditindaklanjuti dengan sanksi pemberhentian dengan hormat atau
pemberhentian tidak hormat.

Pemberhentian sementara Notaris dari jabatannya berarti Notaris yang bersangkutan telah
kehilangan kewenangan untuk sementara waktu, dan Notaris yang bersangkutan tidak dapat
membuat akta apapun atau Notaris tersebut tidak dapat melaksankan tugas jabatannya. Hal ini
perlu dibatasi dengan alasan untuk menunggu hasil pemeriksaan majelis pengawas. Untuk
memberikan kepastian, maka pemberhentian sementara tersebut harus ditentukan lama
waktunya, sehingga nasib Notaris tidak digantung status quo oleh keputusann pemberhentian
sementaratersebut. Sanksi pemberhentian sementara dari jabatan Notaris merupakan paksaan
nyata, sedangkan sanksi yang berupa pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak
hormat termasuk kedalam jenis sanksi pencabutan keputusan yang menguntungkan. Penerapan
ketentuan Pasal 85 UUJN tentunya harus memperhatikan tingkat berat ringannya pelanggaran
yang dilakukan oleh Notaris, dalam arti bahwa penerapan sanksi tersebut sifatnya gradual.

C. Sanksi Pidana

Dalam praktek Notaris ditemukan kenyataan, apabila ada akta Notaris dipermasalahkan oleh para
pihak atau pihak lainnya seiring pula Notaris ditarik sebagai pihak yang turut serta melakukan
atau membantu melakukan sesuatu tindak pidana, yaitu membuat atau memberikan keterangan
palsu kedalam akta Notaris.

Hal ini pun menimbulkan kerancuan, apakah mungkin Notaris secara sengaja culpa atau
alpa bersama-sama para penghadap atau pihak membuat akta yang diniatkan sejak awal untuk
melakukan suatu tindak pidana. Dalam kaitan ini tidak berarti Notaris bersih dari hukum, tidak
dapat dihukum, atau kebal terhadap hukum, Notaris bisa dihukum pidana apabila dapat
dibuktikan di Pengadilan bahwa secara sengaja atau tidak sengaja Notaris secara bersama-sama
dengan para pihak penghadap membuat akta dengan maksud dantujuan untuk menguntungkan
pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap yang lain.

Apabila ini terbukti Notaris tersebut wajib dihukum. Dalam UUJN diatur bahwa ketika
Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, Notaris dapat
dikenai atau dijatuhi sanksi berupa sanksi perdata dan administrasi. Tetapi tidak mengatur
adanya sanksi pidana terhadap Notaris, karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris tidak mengatur sanksi pidana, maka apabila terjadi pelanggaran pidana Notaris
dapat dikenakan sanksi pidana yang terdapat dalam KUH Pidana, dengan catatan bahwa
pemidanaan terhadap Notaris tersebut dapat dilakukan dengan batasan, yaitu:

1. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek lahiriah, formal dan materil yang sengaja,
penuh kesadaran dan keinsafan, serta direncanakan bahwa akta yang akan dibuat dihadapan
Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) para penghadap dijadikan dasar untuk
melakukan suatu tindak pidana.

2. ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta dihadapan atau oleh Notaris yang
apabila diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN.
3. tindakan Notaris tersebut juga tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai
tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.

Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan


sebagaimana tersebut dilanggar, artinya disamping memenuhi rumusan pelanggaran yang
tersebut dalam UUJN, kode etik jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut
dalam KUH Pidana. Bisanya pasal-pasal yang seiring digunakan untuk menuntut Notaris dalam
pelaksanaan tugas jabatan adalah pasal-pasal yang mengatur mengenai tindak pidana pemalsuan
surat, yaitu Pasal 263, Pasal 264 dan Pasal 266 KUH Pidana. Berdasarkan Pasal-Pasal yang yang
tertera tersebut, ternyata Notaris selaku pejabat umum juga dapat dikenakan tuntutan pidana,
baik berdasarkan Pasal-Pasal tentang pemalsuan surat maupun Pasal-Pasal lain yang berkaitan
dengan tugas jabatannya sebagai Notaris, bahkan juga dijatuhi hukum pidana penjara asalkan
saja perbuatan itu memenuhi unsur-unsur dari perbuatan pidana yang tertuang dalam Pasal-Pasal
yang dituduhkan.

D. Perlindungan Hukum Terhadap Notaris

Sebagai pejabat umum yang memberikan pelayanan hukum kepadamasyarakat secara


professional, maka diperlukan aturan-aturan yang mengatur, membatasi dan juga menuntun
Notaris dalam melaksanakan jabatan sertaberperilakunya. Namun peraturan-peraturan yang ada
tersebut hendaknya bukan hanya sebagai slogan, tetapi harus dilaksanakan, dijunjung tinggi serta
ditegakkan oleh seluruh Notaris. Berkaitan dengan upaya untuk mejaga agar eksistensisme
seorang Notaris tetap ada, maka dibutuhkan suatu kerja keras dan kedisiplinan tinggi dalam
menjaga produknya yaitu suatu akta. Kedisiplinan dalam menjalankan norma hukum yang ada
yaitu UUJN menjadi hal yang paling utama karena UUJN merupakan main line atau batasan
utama mengatur tentang jabatan Notaris.

Sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun


2004 tentang Jabatan Notaris,78 bertitik tolak dari ketentuan tersebut diatas, menunjukkan
bahwa keberadaan Notaris dapat dipandang sebagai figur yang sangat penting dan dibutuhkan
oleh masyarakat, karena keterangan-keterangan yang tertuang dalam akta Notaris harus dapat
dipercaya, diandalkan, dapat memberikan jaminan sebagai alat bukti yang kuat dan dapat
memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang memerlukan dikemudian hari. Sebagai
konsekuensi dari prinsip Negara hukum yang menjamin adanya kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan, dalam lalu lintas hukum
kehidupan masyarakat diperlukan alat bukti yang dapat menentukan dengan jelas hak dan
kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.

Oleh sebab itu, akta otentik yang dibuat oleh/di hadapan Notarismenjadi alat bukti yang
terkuat dan terpenuh serta mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam
kehidupan masyarakat. Notaris sebagai pejabat umum, yang berarti bahwa kepada Notaris
diberikan dan dilengkapi dengan kewenangan atau kekuasaan umum yang menyangkut public
openbaar gezag, sebagai pejabat umum, Notaris diangkat oleh Negara, artinya Notaris
merupakan kepanjangan tangan dari Negara, Notaris menunaikan sebagai tugas Negara dibidang
hukum perdata. Negara dalam rangka memberikan perlindungan hukum dalam bidang hukum
privat kepada warga Negara telah melimpahkan sebagian wewenangnya kepada Notaris untuk
membuat akta otentik, oleh karena itu ketika menjalankan tugasnya, Notaris wajib diposisikan
sebagai pejabat umum yang mengemban tugas Negara, layaknya para hakim, jaksa, anggota
dewan, duta besar, bupati, walikota dan lain sebagainya.

Perbedaannya Notaris tidak mendapat gaji dari Negara, Notaris hanya mendapatkan
honorarium sebagai kontra prestasinya kepada masyarakat. Besarnya honorarium pun ditentukan
berdasarkan undang-undang, tidak bisa sekehendak hatinya sendiri, dengan demikian harus
diakui bahwa Notaris adalah jabatan pengabdian kepada kepentingan Negara dan masyarakat.
A. Kesimpulan

1. Kemandirian seorang Notaris tercermin dari keahlian yang dimiliki serta didukung oleh ilmu
pengetahuan, pengalaman dan memiliki ketrampilan yangtinggi serta memiliki integritas moral
yang baik. Notaris harus mengetahui batas-batas kewenangannya dan harus mentaati peraturan
hukum yang berlaku serta mengetahui batas-batas sejauh mana ia dapat bertindak apa yang boleh
dan apa yang tidak boleh dilakukan.

2. Tanggung jawab Notaris dalam undang-undang jabatan Notaris (UUJN) dan berdasarkan kode
etik Notaris dimaksudkan sebagai keterikatan Notaris terhadap ketentuan-ketentuan hukum
dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Dalam pengertian bahwa, semua perbuatan Notaris
dalam menjalankan tugas kewajibannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,
termasuk dengan segala konsikuensinya dikenakan sanksi hukum terhadap pelanggaran norma-
norma hukum yang mendasarinya. Tanggung jawab ini tidak hanya pada proses pembuatan akta
otentik, sampai dengan terwujudnya akta otentik tersebut, namun juga timbul pada saat setelah
akta otentik terbentuk, yang menimbulkan permasalahan hukum, yang disebabkan ketidak
absahan akta tersebut. Pertanggunjawaban Notaris juga terjadi apabila Notaris melakukan
penyimpangan atau pelanggaran terhadap persyaratan pembuatan akta yang konsekuensi finalnya
akta tersebut dinyatakan tidak sah. Jadi, dalam hal akta yang diterbitkan oleh Notaris tersebut
kemudian terdegradasi menjadi akta di bawah tangan, yang disebabkan oleh kesalahan Notaris
akibat pelanggaran persyaratan dalam pembuatannya, maka tetap menjadi tanggung jawab
Notaris.

3 Kesalahan-kesalahan yang dilakukan Notaris tersebut memungkinkan Notaris Berurusan


dengan pertanggungjawaban secara hukum (legal responsibility) baik secara perdata,
administratif maupun pidana. Maka akibat hukum atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris
terhadap prinsip kemandirian Notaris dalam menjalankan fungsinya sebagaimana diatur dalam
UUJN. karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tidak mengatur
sanksi pidana, maka apabila terjadi pelanggaran pidana Notaris dapat dikenakan sanksi pidana
yang terdapat dalam KUH Pidana, sementara sanksi administratif tertuang dalam pasal 85 UUJN
dan sanksi perdata tertuang didalam pasal 84 UUJN. Disamping sanksi –sanksi yang dikenakan
terhadap Notaris, tapi dalam hal ini Notaris dapat perlindungan hukum juga. Perlindungan yang
diberikan oleh hukum yaitu perlindungan atas hak Notaris yang merupakan hasil transformasi
kepentingan yang dilakukan melalui proses legislasi dalam lembaga pembentuk hukum atau
parlemen, sehingga hak Notaris dapat dihormati , dilindungi dan dipatuhi. Agar perlindungan
hukum terhadap Notaris dapat dijalankan secara efektif, maka perlu disediakan upaya hukum,
yang meliputi upaya hukum non yudisial, yaitu dengan melakukan hal-hal yang oleh aturan
dibenarkan untuk dilakukan maupun upaya hukum dengan melalui jalur yudisial atau melalui
konsekuensi finalnya akta tersebut dinyatakan tidak sah. Jadi, dalam hal akta yang diterbitkan
oleh Notaris tersebut kemudian terdegradasi menjadi akta di bawah tangan, yang disebabkan
oleh kesalahan Notaris akibat pelanggaran persyaratan dalam pembuatannya, maka tetap menjadi
tanggung jawab Notaris.

3 Kesalahan-kesalahan yang dilakukan Notaris tersebut memungkinkan Notaris Berurusan


dengan pertanggungjawaban secara hukum (legal responsibility) baik secara perdata,
administratif maupun pidana. Maka akibat hukum atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris
terhadap prinsip kemandirian Notaris dalam menjalankan fungsinya sebagaimana diatur dalam
UUJN. karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tidak mengatur
sanksi pidana, maka apabila terjadi pelanggaran pidana Notaris dapat dikenakan sanksi pidana
yang terdapat dalam KUH Pidana, sementara sanksi administratif tertuang dalam pasal 85 UUJN
dan sanksi perdata tertuang didalam pasal 84 UUJN. Disamping sanksi –sanksi yang dikenakan
terhadap Notaris, tapi dalam hal ini Notaris dapat perlindungan hukum juga. Perlindungan yang
diberikan oleh hukum yaitu perlindungan atas hak Notaris yang merupakan hasil transformasi
kepentingan yang dilakukan melalui proses legislasi dalam lembaga pembentuk hukum atau
parlemen, sehingga hak Notaris dapat dihormati , dilindungi dan dipatuhi. Agar perlindungan
hukum terhadap Notaris dapat dijalankan secara efektif, maka perlu disediakan upaya hukum,
yang meliputi upaya hukum non yudisial, yaitu dengan melakukan hal-hal yang oleh aturan
dibenarkan untuk dilakukan maupun upaya hukum dengan melalui jalur yudisial atau melalui

Anda mungkin juga menyukai