Anda di halaman 1dari 14

LEARNING OBJECTIVE

SKENARIO VI: NEOPLASMA


“Susah BAB”

DISUSUN OLEH:
NAMA : DILA AUFYA UTAMI
NIM : N10120038
KELOMPOK : 3 (TIGA)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
Modul 6 : Neoplasma

“Susah BAB”

Tn. A berusia 65 tahun diantar oleh anaknya ke Poliklinik Bedah RS Tadulako dengan
keluhan BAB tidak lancer sejak satu minggu yang lalu. Awalnya pasien pernah BAB darah
segar, kemudian diikuti BAB dengan kotoran yang keras seperti kotoran kambing pada
minggu lalu. Sejak saat itu pasien merasakan hal yang sama setiap kali BAB dan keluhan
seperti ini baru pertama kali dirasakan oleh Tn.A. Selain itu menurut keluarga, pasien juga
merasakan nyeri perut yang hilang timbul disertai mual sejak satu bulan yang lalu. Keluhan
ini semakin mengganggu karena pasien merasa lemas dan mengalami penurunan berat badan
sehingga pasien datang memeriksakan diri ke dokter. Riwayat penyakit lain disangkal.
Riwayat keluar benjolan pada saat BAB juga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah:
120/80mmhg, Nadi: 88x/menit, frekuensi napas 24x/menit, suhu tubuh 36,8 derajat celcius
serta conjunctiva anemis. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan auskultasi peristaltik usus
yang meningkat dan nyeri tekan pada kuadran bawah abdomen. Setelah itu dokter
menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan USG abdomen dan hasilnya didapatkan massa di
regio illiaca sinistra. Dokter menganjurkan kepada pasien untuk rawat inap di rumah sakit
agar dilakukan pemeriksaan yang lebih lengkap serta pemberian tatalaksana pada pasien
tersebut sesuai dengan diagnosis pastinya.

LEARNING OBJECTIVE
1. Mahasiswa mampu menjelaskan tatalaksana kegawatdaruratan karsinoma kolorektal
Jawab:
a) Obstruksi akibat kanker kolorektal
Ileus obstruktif merupakan kegawatan yang paling tersering di jumpai pada kasus
keganasan kolorektal. Ileus obstruksi merupakan suatu penyumbatan mekanis baik total
atau parsial pada usus yang akan menganggu atau menghambat pasase cairan, gas
maupun makanan. Penyumbatan ini dapat terjadi pada setiap titik sepanjang traktus
gastrointestinal dan gejala klinis yang muncul tergantung pada tingkat obstruksi yang
terjadi. Obstruksi menyebabkan dilatasi usus bagian proksimal dan kolapsnya usus
bagian distal. Obstruksi yang disebabkan oleh tumor umunya adalah obstruksi sederhana
yang jarang menyebabkan strangulasi.Total angka kejadian obstruksi dari kanker
kolorektal terjadi 8-10 %, 60 % terjadi pada usia tua. Duapertiga terjadi pada kolon kiri
dan sepertiga di kolon kanan (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
 Gambaran klinis
Gambaran klinis dapat berupa nyeri kolik abdomen, distensi, perubahan tingkat
kesadaran, kemudian baru diikuti dengan muntah feculent (muntahan kental dan
berbau busuk bercampur feses), pasien tampak dehidrasi dan sampai timbul
syok/renjatan ditandai dengan akral dingin, kulit kering dan tekanan darah
menurun. Pada pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan bising usus meningkat
atau tidak ditemukan bising usus pada kasus obstruksi lama. Pemeriksaan colok
dubur dapat dilakukan untuk mengetahui letak tumor, apakah di rektum atau di
kolon Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
 Diagnosa
Secara keseluruhan, pemeriksaan foto polos mempunyai sensitivitas 84 % dan
spesifitas 73 % dalam diagnosis ileus obstruksi .Standar pemeriksaan foto polos
abdomen adalah serial yang terdiri dari 3 jenis foto yaitu: foto abdomen supine
AP, abdomen tegak AP dan foto toraks tegak. Pada pasien yang tidak kooperatif,
pemeriksaan foto polos abdominal minimal dilakukan dua posisi yaitu pada posisi
supine yaitu anteroposterior (AP) dan tegak (AP) hal hal yang harus diperhatikan
pada pemerisaan foto polos abdominal adalah adanya pelebaran usus, adanya
fluid level patologis, penebalan dinding usus dan distribusi udara (Komite
Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
Gambaran radiologis obstruksi usus besar bergantung pada kompetensi katup ileosekal.
Terdapat beberapa tipe obstruksi kolon yaitu tipe obstruksi dimana katup ileosekal masih
kompeten. Pada keadaan ini dapat terlihat berupa dilatasi kolon tipis tanpa adanya
distensi usus halus. Bila obstruksi terus berlangsung maka dapat menyebabkan katup
ileosekal tidak kompeten, sehingga akan terjadi distensi usus halus. Pada keadaan awal
dari inkompetensi katup ileosekal menunjukkan diameter sekum dan kolon asendens
terdistensi maksimal dibandingkan kolon bagian distal disertai adanya udara pada usus
halus. Bila obstruksi berlangsung lama udara pada sekum dan kolon asendens berangsur
berkurang, dan udara masuk ke dalam usus halus dan mengisi ke lebih banyak ke usus
halus. Pada keadaan ini menyerupai obstruksi usus halus (Komite Penanggulangan
Kanker Nasional, 2017).
Gambaran radiologis dari ileus obstruksi usus besar adalah kolon yang terdistensi
terletak pada abdomen bagian perifer dan dapat dibedakan dari usus halus yang terletak
pada sentral abdominal dengan adanya gambaran haustra. Dilatasi sekum yang melebihi
9 cm dan dilatasi bagian koloksin lain yang melebihi 6 cm dianggap abnormal yang
Bagian usus yang terletak distal dari obstruksi akan kolaps dan bagian rektum tidak terisi
oleh udara (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
Identifikasi kolon pada sonografi seringkali sulit karena kolon dipenuhi dengan gas dan
feses. Penyebab obstruksi kolon dapat diidentifikasi. Adanya massa kolon atau
intususepsi ileosekal dapat di perlihatkan pada pemeriksaan ultrasonografi. Gambaran
yang dapat terlihat pada intususepsi adalah adanya lingkaran konsentris seperti sosis
(Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
Diagnosa banding ileus obstruksi adalah ileus paralitik Pada ileus paralitik biasanya gas
tidak terkumpul (terlokalisir) disatu bagian namun terdapat gambaran udara di seluruh
bagian usus (baik usus halus maupun usus besar) atau sama sekali tidak terdapat
gambaran gas (gasless) di seluruh bagian usus. Namun demikian gambaran ini tidak
definitif. karena dapat disebabkan oleh obstruksi usus besar dengan inkompetensi valve
ileosekal atau juga didapatkan pada obstruksi usus halus pada tahap awal. Pada ileus
paralitik lumen usus berdilatasi sesuai dengan proporsinya masing-masing, sehingga
gambaran kolon tetap lebih besar dari pada gambaran usus halus (Komite
Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
Pemeriksaan CT scan mempunyai sensitivitas dan adalah 96 % dan 93 %. Penggunaan
CT dinilai lebih menguntungkan dibanding kontras enema terutama pada pasien usia tua
dan pada pasien dengan keadaan umum yang kurang baik. CT biasanya dilakukan
dengan pemberian kontras intravena. Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan level
obstruksi, penyebab obstruksi dan adanya komplikasi yang dapat terjadi seperti
strangulasi, perforasi, pneumatosis intestinal. Gambaran dari CT scan Abdomen
menunjukan adanya obstruksi dan terdeteksi adanya tumor primer. Bila bukan
merupakan obstruksi total dan kondisi umum memungkinkan, dapat dilakukan
kolonoskopi dan biopsi (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
Pasien diperiksa laboratorium berupa ureum, kreatinin, elektrolit dan analisa gas darah.
Gambaran foto thorax memperlihatkan apakah ada metastase paru. Pasien biasanya
dehidrasi, maka perlu dilakukan penanganan preoperatif (Komite Penanggulangan
Kanker Nasional, 2017).
 Penanganan preoperatif
Penilaian preoperatif dan penanganan harus hati-hati dan cepat untuk
menghindari terlambatnya penanganan intervensi operasi yang dapat
menyebabkan perubahan status kesadaran atau perubahan tanda-tanda vital.
Pasien dipuasakan dilakukan pemasangan infus, nasogastrik tube (NGT), kateter
urin dan dilakukan pengawasan intake dan output cairan. Bila terdapat asidosis
metabolik, hipo- atau hiperglikemia, dan ketidakseimbangan elektrolit harus
dikoreksi. Antibiotik harus diberikan (Komite Penanggulangan Kanker Nasional,
2017).

b) Perforasi dari kanker kolorektal


Insiden terjadinya perforasi kanker kolorektal 2,3-2,5%, ditandai dengan adanya
peritonitis.Perforasi kolon merupakan kegawatdaruratan dimana terjadi kebocoran kolon
sehingga isi kolon masuk ke rongga peritoneum dan menimbulkan peritonitis baik lokal
maupun difus (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
 Gambaran klinis
Gejala berupa nyeri seluruh perut yang terus-menerus, tekanan darah menurun,
akral dingin, perubahan kesadaran. Dari anamnesa ada riwayat diare lama yang
berubah menjadi konstipasi, penurunan berat badan, ditemukan darah dan lendir
dalam feses/tinja. Pada pemeriksaan klinis menunjukan pasien sepsis, adanya
defans muskular. Pada kasus lanjut memperlihatkan abdomen kembung, tanpa
adanya peristaltik, dan perubahan status generalis yang dapat berupa tanda syok.
Pada kasus abses intraperitoneal, ditemukan tanda peritonitis lokal pada palpasi
di sekitar tumor. Bila terjadi perforasi akan menimbulkan abses retroperitoneal.
Pasien biasanya dalam keadaan sepsis dan terdapat emphisema subkutis dan
selulitis Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
 Diagnosis
Pada foto abdomen kasus perforasi intraabdomen tampak adanya
pneumoperitoneum. Pneumoperitoneum dapat terjadi pada kasus ileus obstruks
akibat adanya iskemia. Gambaran yang dapat ditemukan pada pneumoperitoneum
adalah adanya udara ekstralumen yang berbentuk bulan sabit yang berada
dibawah hemidiafragma. Gambaran ini dapat ditemukan bila foto polos abdomen
AP dilakukan dalam keadaan tegak. Gambaran lain yang dapat ditemukan pada
pneumoperitoneum adalah foto polos gambaran rigler sign (dinding usus menjadi
lebih jelas dan dapat ditemukan pada keadaan pengambilan posisi supine) Komite
Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
 Penanganan preoperatif
Penanganan preoperatif harus cepat dilakukan untuk menghindari perburukan
akibat terlambatnya operasi. Pasien dipuasakan, dilakukan pemasangan infus,
nasogastrik tube (NGT), kateter urin, dimonitor intake dan output cairan.
Asidosis metabolik, hipo- atau hiperglikemia,dan ketidakseimbangan elektrolit
harus dikoreksi. Pemeriksaan EKG, laboratorium darah dan kimia, analisa gas
darah (AGD), foto thorax, juga pemberian antibiotik Komite Penanggulangan
Kanker Nasional, 2017).

c) Perdarahan kanker kolorektal


Perdarahan kanker kolorektal ditandai dengan adanya melena yang berasal dari kolon
kanan atau rectorrhagia berupa darah segar , khususnya berasal dari recto-sigmoid
Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
 Gambaran klinis
Pasien buang air besar disertai adanya darah yang berwarna hitam atau merah
segar. Gejala diawali dengan gangguan buang air besar, perubahan pola defekasi
(diare-konstipasi), penurunan berat badan dalam beberapa bulan dan perubahan
kondisi umum. Dapat juga disertai gejala nyeri kolik.Untuk pasien dengan kanker
di rectosigmoid memperlihatkan adanya tenesmus, lendir dalam feses/tinja.
Pasien biasanya pucat dan lemah, menunjukan adanya anemia akut atau kronik
Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).
 Diagnosis
Pada kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah, kolonoskopi dilakukan untuk
mengetahui sumber asal perdarahannya dan sekaligus dilakukan biopsi untuk
mengetahui diagnosa histopatologi. CT scan untuk mengetahui lokasi perdarahan
di abdomen, massa abdomen dan ekstensi dari massa tumor. Technisium 99
scintigafi Red Blood Cell (TC99 RBC) dapat dipercaya 100% dan sensitifitasnya
91%, untuk menegakkan sumber perdarahan. TC99 RBC dikerjakan bila dengan
CT Scan tidak ditemukan sumber perdarahan Komite Penanggulangan Kanker
Nasional, 2017).
 Pemeriksaan preoperatif
Pemeriksaan laboratorium darah, koreksi anemia dengan transfusi dengan pack
red cell (PRC). Demikian pula elektrolit harus dimonitor dan dikoreksi.
Komplikasi perdarahan masif dari kanker kolorektal umumnya jarang, biasanya
lebih sering ditemukan berupa occult bleeding dan anemia kronik Komite
Penanggulangan Kanker Nasional, 2017).

[SUMBER]
Komite Penanggulangan Kanker Nasional. 2017. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran : Kanker Kolorektal. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan pencegahan karsinoma kolorektal


Jawab:
Silsilah riwayat keluarga generasi ketiga, kerabat darah, dari pasien CRC dapat
mengidentifikasi mereka yang berisiko sindrom herediter yang tidak dikenali dan
selanjutnya menawarkan skrining awal dan agresif pada risiko korban sendiri dan
anggota keluarga. Untuk semua pasien CRC selama dan setelah menyelesaikan
pengobatan, diskusi tentang perubahan gaya hidup, termasuk mengikuti diet sehat,
mendapatkan dan mempertahankan berat badan ideal, membangun rutinitas olahraga
aktif, meminimalkan konsumsi alkohol dan berhenti merokok, harus didorong. Pasien
CRC harus diskrining secara teratur untuk identifikasi awal gejala stres psikososial dan
menawarkan intervensi pencegahan dini yang akan meningkatkan kualitas hidup dan
mengurangi penderitaan (Boiles, 2021).
Sebagian besar kasus kanker kolorektal berpotensi dapat dicegah dengan deteksi
dini/screening. Deteksi dini kanker kolorektal dapat dilakukan pada populasi yang
memiliki risiko sedang-tinggi seperti usia 50 tahun atau lebih, tanpa memiliki risiko lain.
Pertama, tes screening seperti sigmoidoskopi fleksibel, kolonoskopi atau computed
tomographic (CT) kolonografi dapat secara langsung memvisualisasikan polip atau
kanker. Kedua, dengan mendeteksi gejala sisa, misalnya perdarahan yang dideteksi oleh
fecal occult blood test (FOBT). Secara internasional, sebagian besar program skrining
kanker kolorektal berbasis populasi menggunakan tes feses (FOBT atau dengan
imunokimia, fecal immunochemical test [FIT]) karena murah, banyak tersedia, aman,
dan dapat dikirim melalui pos. Selanjutnya, diagnosis kanker kolorektal dapat ditegakkan
secara bertahap, antara lain melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium, baik dari laboratorium klinik maupun
patologi anatomi. Selanjutnya pemeriksaan penunjang berupa pencitraan seperti foto
polos atau dengan kontras (barium enema), kolonoskopi, CT-scan, magnetic resonance
imaging (MRI), dan transrectal ultrasound juga diperlukan dalam menegakkan diagnosis
penyakit ini. Terlepas dari kemajuan diagnostik dan terapeutik, kekambuhan tumor, dan
metastasis adalah dua faktor penting yang memengaruhi tingkat kelangsungan hidup
pasien kanker kolorektal. Hampir 50% pasien kanker kolorektal akan mengalami
metastasis, baik saat presentasi atau selama masa tindak lanjut. Setelah transformasi
ganas, mayoritas kanker kolorektal awal dapat disembuhkan, tetapi, kelangsungan hidup
5 tahun menurun pada stadium tumor yang lebih parah. Modalitas pengobatan untuk
kanker kolorektal secara umum meliputi kemoterapi, terapi radiasi, terapi target dan
operasi. Pilihan pengobatan bergantung pada stadium penyakit. Saat ini, metode
pengobatan utama kanker kolorektal adalah reseksi bedah. Pada tahap awal penyakit
(stadium 0 atau I), pembedahan digunakan tanpa perlu pengobatan lebih lanjut. Namun,
kekambuhan kanker menjadi hal umum dengan diperkirakan setengah dari pasien akan
mengalami kekambuhan dalam 3 tahun pertama pasca operasi. Untuk stadium l-II,
pilihan pengobatan gold standard adalah reseksi kanker kolorektal bersama dengan
limfadenektomi yang tepat. Pasien dengan penyakit stadium IV membutuhkan
kemoterapi atau terapi target yang dikombinasikan dengan pembedahan (Miftahussurur,
2020).

[SUMBER]
Boiles, A. R., and Cagir, B. 2021. Colon Cancer. 1st ed. Treasure Island: StatPearls
Miftahussurur, M., Rezkitha, Y.A. 2020. Aspek Diagnosis dan Terapi Kanker Kolorektal.
Jawa Timur: Airlangga University Press

3. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi dan faktor risiko penyakit keganasan sistem
pencernaan
Jawab:
1. Kanker kolorektal
Etiologi kanker kolorektal hingga saat ini masih belum diketahui. Penelitian saat ini
menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki korelasi terbesar untuk kanker
kolorektal. Mutasi dari gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) adalah penyebab
Familial Adenomatous polyposis (FAP), yang mempengaruhi individu membawa
resiko hampir 100% mengembangkan kanker usus besar pada usia 40 tahun.14
Banyak faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker kolorektal,
diantaranya adalah : a. Diet tinggi lemak, rendah serat. Salah satu faktor risiko
meningkatnya angka kejadian karsinoma kolorektal adalah perubahan diet pada
masyarakat. Diet rendah serat dan tinggi lemak diduga meningkatkan risiko
karsinoma kolorektal. Sejumlah penelitian epidemiologi menunjukkan diet tinggi
serat berkolerasi negatif dengan risiko kanker kolorektal, Usia lebih dari 50 tahun,
Riwayat keluarga satu tingkat generasi dengan riwayat kanker kolorektal mempunyai
resiko lebih besar 3 kali lipat, Familial polyposis coli, Gardner syndrome, dan Turcot
syndrome. Pada semua pasien ini tanpa dilakukan kolektomi dapat berkembang
menjadi kanker rectum, Resiko sedikit meningkat pada pasien Juvenile polyposis
syndrome, Peutz-Jeghers syndrome dan Muir syndrome, Terjadi pada 50 % pasien
kanker kolorektal herediter nonpolyposis, Inflammatory bowel disease, Kolitis
Ulseratif (resiko 30 % setelah berumur 25 tahun), Crohn disease berisiko 4 sampai 10
kali lipat (Sayuti, 2019).
2. Chron’s Desease
Penyakit crohn (crohn’s disease) merupakan npenyakit yang dapat melibatkan semua
bagian sistem pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan menyebabkan tiga pola
penyakit yaitu penyakit inflamasi, striktur, dan fistula. Penyakit sering menyebabkan
terjadinya komplikasi anorektal seperti fistula dan abses. Penyakit ini jarang terjadi,
tetapi dapat melibatkan bagian saluran pencernaan yang lebih proksimal, seperti
mulut, lidah, esofagus, lambung dan duodenum (Avesina, 2017).
3. Karsinoma gaster
Menghadapi risiko ini tidak banyak yang bisa dilakukan dan insiden lesiprekusor-nya
(gastritis athropi, polip adenoma gaster) adalah rendah. Selain faktor intake makanan
dan faktor genetik di atas, infeksi Helicobacter pylori saat ini diyakini juga berkaitan
dengan karsinoma gaster. Faktor-faktor lain yang saat ini patut diduga berhubungan
dengan karsinoma gaster di antaranya adalah gastritis athropi kronis, gastropathy
hyperthropic (Metenier’s disease), polip gaster, status sosio-ekonomi yang rendah,
dan obesitas. Saat ini endoskopi diyakini sebagai metode diagnosis yang sensitif dan
spesifik pada karsinoma gaster (Arjawa, 2020)
4. Karsinoma pankreas
Usia lanjut, merokok, genetik merupakan faktor risiko mayor kanker pankreas,
sedangkan alcohol, diet tinggi lemak adalah faktor risiko minor. Risiko kanker
pankreas 2,5-3,6 kali pada perokok dibanding bukan perokok. Nitrosamin dalam
tembakau diper-kirakan sebagai agen kausatif dalam patogenesis terjadinya kanker.
Obesitas, diabetes mellitus, pankreatitis kronik juga menjadi faktor risiko kanker
pancreas (Bamahry et al, 2018).

[SUMBER]
Avesina, N. A., & Iskandar, C. S. 2017. Penyakit Crohn’s pada Laki -laki Usia 55 Tahun.
Majority. Vol 6 : 4–5. Diakses 12 Januari 2022. Dari : https://juke.kedokteran.unila.ac.id
Arjawa, I. B. K. 2020. Diagnosis Adenokarsinoma Gaster: Sebuah Laporan Kasus. Jurnal
Medica Udayana. Vol 1(1). Diakses 12 Januari 2022. Dari:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/
Bamahry et al. 2018. Terapi Nutrisi Penyakit Kanker Pankreas. Jurnal kedokteran Umi. Vol
1(2). Diakses 12 Januari 2022. Dari: https://jurnal.fk.umi.ac.id/index.php/
Sayuti, M., & Nouva, N. 2019. Kanker Kolorektal. Averrous: Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan Malikussaleh. Vol 5(2): 76-88. Diakses 12 Januari 2021. Dari:
https://ojs.unimal.ac.id/averrous/article/view/2082

4. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan penunjang penyakit keganasan sistem


pencernaan
Jawab:
Pemeriksaan penunjang pada saluran cerna dapat dilakukan:
Pemeriksaan laboratorium klinis
Pemeriksaan ini dapat berupa pemeriksaan darah, Hb, elektrolit, dan pemeriksaan tinja
yang merupakan pemeriksaan rutin. Anemia dan hipokalemia kemungkinan ditemukan
oleh karena adanya perdarahan kecil. Perdarahan tersembunyi dapat dilihat dari
pemeriksaan tinja (Sayuti, 2019).
Pemeriksaan laboratorium patologi anatomi
Pemeriksaan Laboratorium Patologi Anatomi pada kanker keganasan saluran cerna
adalah terhadap bahan yang berasal dari tindakan biopsi saat kolonoskopi maupun
reseksi usus. Hasil pemeriksaan ini adalah hasil histopatologi yang merupakan diagnosa
definitif. Dari pemeriksaan histopatologi inilah dapat diperoleh karakteristik berbagai
jenis kanker yang terjadi pada saluran cerna tersebut (Sayuti, 2019).
Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan yaitu foto polos abdomen atau
menggunakan kontras. Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai double
kontras barium enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang
berukuran >1 cm. Teknik ini jika digunakan bersama-sama sigmoidoskopi, merupakan
cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak
dapat mentoleransi kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan jangka panjang
pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi (Sayuti,
2019). Computerised Tomography (CT) scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI),
Endoscopic Ultrasound (EUS) merupakan bagian dari teknik pencitraan yang digunakan
untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi teknik ini
bukan merupakan skrining tes (Sayuti, 2019).
Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan
rektum. Prosedur kolonoskopi dilakukan saluran pencernaan dengan menggunakan alat
kolonoskop, yaitu selang lentur berdiameter kurang lebih 1,5 cm dan dilengkapi dengan
kamera (Sayuti, 2019).
Endoskopi
Endoskopi adalah suatu prosedur diagnostik medis invasif minimal yang dapat
digunakan untuk menilai permukaan dalam dari suatu organ dengan memasukkan suatu
selang/pipa ke dalam tubuh. Biasanya peralatan ini dibuat dari bahan plastik fleksibel
yang pada salah satu ujungnya dipasang suatu sumber cahaya dan teleskop mini (Drake,
2012). Pada bidang kedokteran abdomen dan tractus gastrointestinalis, endoskop
digunakan untuk menilai esophagus, gaster, duodenum, dan bagian proximal intestinum
tenue (Drake, 2012).

(Drake, 2012).
[SUMBER]
Drake, R.L., Vogl, W., Mitchell, A.M.W. 2012. Gray’s Basic Anatomy. Philadelphia:
Elsevier
Sayuti, M., Nouva. Kanker Kolorektal. Jurnal Averrous. Vol 5(2). Diakses 12 Januari 2022.
Dari: https://ojs.unimal.ac.id/averrous

5. Mahasiswa mampu menjelaskan TNM kanker berdasarkan staging keganasan


Jawab:
Metode untuk mengukur kemungkinan agresivitas neoplasma secara klinis dan
luas serta penyebaran neoplasma pada seorang pasien diperlukan untuk memprediksi
prognosis yang akurat dan untuk membandingkan hasil akhir berbagai protokol
pengobatan. Derajat keganasan kanker dinilai berdasarkan pada derajat diferensiasi dari
sel tumor dan, pada beberapa kanker, jumlah mitosis dan adanya gambaran arsitektur
tertentu. Derajat keganasan diterapkan pada tiap jenis keganasan, umumnya dibagi dalam
dua kategori (derajat rendah dan tinggi) sampai empat kategori. Kriteria untuk menilai
derajat keganasan suatu tumor yang berbeda-beda untuk masing-masing jenis tumor yang
berbeda sehingga tidak akan dibahas secara jauh sel tumor menyerupai atau tidak
menyerupai sel normalnya. Walaupun derajat keganasan secara histologik bermanfaat,
korelasi antara gambaran histologik dan sifat biologis kurang sempurna. Untuk
mengenali masalah ini dan menghindari pengukuran palsu, secara praktis/dalam praktik
sehari-hari digunakan dalam bentuk deskripsi untuk suatu neoplasma tertentu, misalnya
berdiferensiasi baik, adenokarsinoma lambung yang menyekresi musin, atau
adeokarsinoma pankreas berdiferensiasi buruk (Kumar, 2019).
Stadium kanker padat berdasarkan ukuran lesi primer, jauh penyebaran ke
kelenjar getah bening regional dan ada/tidak penyebaran hematogen. Sistem stadium
yang umum digunakan ialah American Joint Committee on Cancer Staging. Sistem ini
menggunakan klasifikasi yang disebut sistem TNM, T untuk tumor primer, N untuk
kelenjar getah bening regional yang terlibat, dan M untuk metastasis. Stadium TNM
bervariasi untuk bentuk spesifik dari kanker, namun terdapat prinsip umum. Lesi primer
ditandai sebagai T1 sampai T4 berdasarkan peningkaan ukurannya. T0 menunjukkan lesi
in situ. N0 berarti tidak ada keterlibatan kelenjar getah bening , sedangkan N1 sampai N3
untuk peningkatan jumlah keterlibatan kelenjar dan ranger dari kelenjar getah bening.
M0 berarti tidak ada metastasis, sedang M1 atau kadang M2 menunjukkan adanya
metastasis dan perkiraan jumlah metastasis (Kumar, 2019).
Tabel 3. Stadium dan Prognosis KKR (Setiati, 2017)

Stadium Deskripsi Bertahan

Dukes TNM Derajat histopatologi 5 tahun (%)

A T1N0M0 I Kanker terbatas >90


pada
mukoa/submucosa

B1 T2N0M0 I Kanker mencapai 85


muskularis

B1 T3N0M0 II Kanker cenderung 70-80


masuk atau
melewati lapisan
serosa

C TxN1M0 III Tumor melibatkan 35-65


KGB regional

D TxNxM1 IV Metastasis 5

[SUMBER]
Kumar, V., Abdul, K. A., Jon. C. A. 2019. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta : EGC.
Setiati, S., et al. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing.

6. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan farmakologi, nonfarmakologi, edukasi,


rehabilitasi, dan pemberian nutrisi penyakit keganasan sistem pencernaan
Jawab:
Farmakologi
Pasien kanker yang mengalami anoreksia memerlukan terapi multimodal
a. Progestin Menurut studi meta-analisis MA bermanfaat dalam meningkatkan
selera makan dan meningkatkan BB pada kanker kaheksia, namun tidak
memberikan efek dalam peningkatan massa otot dan kualitas hidup pasien.18,19
Dosis optimal penggunaan MA adalah sebesar 480–800 mg/hari. Penggunaan
dimulai dengan dosis kecil, dan ditingkatkan bertahap apabila selama dua minggu
tidak memberikan efek optimal.
b. Kortikosteroid, merupakan zat oreksigenik yang paling banyak digunakan.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid pada pasien
kaheksi dapat meningkatkan selera makan dan kualitas hidup pasien.
c. Siproheptadin, merupakan antagonis reseptor 5-HT, yang dapat memperbaiki
selera makan dan meningkatkan berat badan pasien dengan tumor karsinoid. Efek
samping yang sering timbul adalah mengantuk dan pusing. Umumnya digunakan
pada pasien anak dengan kaheksia kanker, dan tidak direkomendasikan pada
pasien dewasa.
d. Antiemetik, Berikan anti emetik 5-HT3 antagonis (ondansetron) 8 mg atau 0,15
mg/kg BB (i.v) atau 16 mg (p.o). Jika keluhan menetap ditambahkan
deksametason. Pertimbangkan pemberian antiemetik intravena secara kontinyu
jika keluhan masih berlanjut. Penanganan antiemetic dilakukan berdasarkan
penyebabnya
(Kemenkes, 2018).
Nonfarmakologi
Berupa aktivitas fisik yang direkomendasikan untuk mempertahankan atau meningkatkan
aktivitas fisik pada pasien kanker selama dan setelah pengobatan untuk membantu
pendekatan rehabilitasi medik dapat diberikan sedini mungkin sejak sebelum pengobatan
definitif diberikan dan dapat dilakukan pada berbagai tingkat tahapan & pengobatan
penyakit yang disesuaikan dengan tujuan penanganan rehabilitasi kanker → preventif,
restorasi, suportif atau paliatif (Kemenkes, 2018).
Rehabilitasi dan Pemberian nutrisi
Terapi suportif yang dilakukan pada pasien kanker keganasan sistem pencernaan
terutama adalah dukungan nutrisi dan rehabilitasi medis pascaoperasi. Selama menjalani
terapi kanker perlu dipastikan bahwa pasien mendapat nutrisi adekuat. Karena risiko
penurunan berat badan, disarankan suplementasi asam lemak omega-3, asupan makan
adekuat, serta kontrol massa otot dan berat badan. Terapi rehabilitasi medis
meliputi penanggulangan nyeri, latihan pernafasan, latihan kardiopulmonal, tata laksana
gangguan defekasi dan buang air kecil, serta adaptasi aktivitas sehari-hari (Kemenkes,
2018).

[SUMBER]
KEMENKES. 2018. Panduan Kanker Kolorektal. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai