DI PANTAI KASTELA
KOTE TERNATE
TUGAS
05192211014
NPM : 05192211014
Asisten Koordinator :
Komposisi Nilai:
a) Nilai Laporan :
b) Nilai Ujian Praktikum :
c) Nilai Akhir :
d) Kualifikasi : Lulus/Tidak Lulus
Ternate…….……2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan
banyak nikmat sehingga kami dapat menyusun laporan praktikum biologi ini dengan baik.
Laporan ini berisi tentang uraian hasil riset mengenai “STUDI KOMUNITAS PEMANFAATAN
SUMBERDAYA PERIKANAN”.
Laporan ini kami susun secara cepat dengan bantuan dan dukungan berbagai pihak diantaranya;
bapak Salim Abubakar S.PI,.M.SI selaku dosen mata kuliah Biologi Murni, Bapak Supyan
S.PI,.M.SI selaku kepala lab Biologi Murni dan Kak Dede Ansar selaku asisten praktikum. Oleh
karena itu kami sampaikan terima kasih atas waktu, tenaga dan pikirannya yang telah diberikan.
Dalam penyusunan laporan ini, kami menyadari bahwa hasil laporan praktikum ini masih jauh
dari kata sempurna.
Sehingga kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sekalian. Akhir kata Semoga laporan praktikum ini dapat memberikan manfaat untuk
kelompok kami khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya.
Ternate,…..November 2023
Penyusun
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAH.............................................................................................................................2
KATA PENGANTAR................................................................................................................................3
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................4
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................................................6
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................................................................7
I. PENDAHULUAN..............................................................................................................................8
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................8
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................9
1.3 Tujuan Penelitian.........................................................................................................................9
1.4 Manfaat Praktikum....................................................................................................................10
II. TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................................................11
2.1 Pengertian Lamun......................................................................................................................11
2.2 Morfologi Lamun.......................................................................................................................12
2.3 Klasifikasi Dan Jenis-Jenis Lamun............................................................................................17
2.4 Pola Penyebaran........................................................................................................................26
2.5 Parameter Lingkungan...............................................................................................................27
III. METODOLOGI PENILITAN....................................................................................................28
3.1 Tempat Dan Waktu Praktikum...................................................................................................28
3.2 Alat Dan Bahan.........................................................................................................................28
3.3 Metode Pengambilan Data.........................................................................................................28
3.4 Metode Analisa Data..................................................................................................................29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................................................35
4.1 Deskripsi Lokasi Praktikum.......................................................................................................35
4.2 Komposisi Jenis.........................................................................................................................35
4.3 Hasil Parameter Lingkungan......................................................................................................36
4.4 Struktur Komunitas....................................................................................................................36
V. PENUTUP........................................................................................................................................38
5.1 Kesimpulan................................................................................................................................38
5.2 Saran..........................................................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................39
LAMPIRAN.............................................................................................................................................41
DAFTAR GAMBAR
2. Batang
Batang lamun berbentuk silinder dan tumbuh menjalar di bawah permukaan
tanah/substrat disebut dengan rhizoma. Meskipun rhizoma tumbuh secara horisontal,
beberapa spesies memiliki rhizoma yang tumbuh vertikal. Rhizoma memiliki buku-buku
(node) yang mengandung jaringan meristem yang berfungsi untuk membentuk daun dan akar.
Buku/node yang satu dengan yang lain dipisahkan oleh ruas-ruas (internode). Selain
berfungsi sebagai tempat tumbuhnya daun dan akar, rhizoma juga berfungsi sebagai alat
perkembangbiakan secara aseksual (Mckenzie dan Yoshida, 2009). Rhizoma lamun
ditunjukkan seperti gambar berikut ini.
b. Tulang Daun
Tulang daun memiliki pola, arah dan letak yang berbeda-beda pada lembaran daun
sehingga dapat digunakan untuk identifikasi. Tulang daun bisa menyilang
(membentuk garis tegak lurus dengan panjang daun), sejajar (membentuk garis
sejajar searah panjang daun), ditengah (memiliki tulang daun utama yang terletak
persis ditengah-tengah daun), dan intramarginal (mengelilingi sisi dalam tepian
daun). Berikut ini adalah variasi pola, arah dan posisi tulang daun pada lembaran
daun (Mckenzie dan Yoshida, 2009).
Gambar 4. Pola posisi dan letak daun lamun (Mckenzie dan Yoshida, 2009)
c. Bentuk Tepi Daun
Tepi daun bisa bergerigi (Serrated), halus (smooth), atau menggulung ke dalam
(Inrolled) (Mckenzie dan Yoshida, 2009).
d. Pelepah/Pembungkus Daun
Pelepah berfungsi untuk melindungi daun muda yang sedang tumbuh. Ketika daun
sudah mati, pelepah akan tertinggal membentuk serat-serat pada rhizome
(Mckenzie dan Yoshida, 2009). Pelepah lamun ditunjukkan seperti gambar berikut.
e. Pelekat Daun
Daun lamun dapat melekat langsung ke rhizoma atau dari rhizoma yang tumbuh
tegak atau dari tangkai daun (petiole) (Lanyon 1986). Seperti dilustrasikan pada
gambar berikut.
A B C
Gambar 7. Berbagai posisi pelekatan daun lamun. A. daun tumbuh langsung dari rhizoma, B.
daun pada rhizome yang tumbuh tegak, C. daun yang memiliki petiloe (Lanyon, 1986)
4. Bunga
Bunga berfungsi sebagai alat perkembangbiakan generatif. Struktur bunga pada lamun
biasanya lebih sederhana dibandingkan dengan bunga tumbuhan darat Bagian bunga lamun
umumnya terdiri dari perianth (mahkota dan kelopak tidak dapat dibedakan) benang sari,
putik, dan tangkai bunga (Kuo dan den Hartog, 2006).
Benang sari adalah alat kelamin jantan sedangkan putik adalah alat kelamin betina.
Benang sari dapat dibedakan lagi atas tangkai sari dan kepala sari sedangkan putik terdiri atas
ovarium (bakal buah) dan kepala putik. Bunga jantan adalah bunga yang hanya memiliki alat
kelamin jantan (benang sari) sedangkan bunga betina adalah bunga yang hanya memiliki alat
kelamin betina (putik) saja. Berikut ini adalah struktur bunga jantan dan bunga betina pada
lamun (Kuo dan den Hartog, 2006).
A B
Gambar 8. A. Bunga betina, B. Bunga jantan (kuo dan den Hertog, 2006)
5. Buah
Setelah proses pembuahan, ovarium berkembang menjadi buah. Pada lamun, struktur
dan perkembangan buah tergantung dari struktur pembungaan. Kelompok Posidoniaceae
memiliki daging buah lunak dan berair sedangkan kelompok Cymodoceae (Cymodocea dan
Haludule) memiliki lapisan buah yang keras. Di dalam buah kemungkinan terdapat satu biji
atau beberapa biji tergantung dari spesies lamun (Kuo dan den Hartog, 2006). Beberapa
bentuk buah lamun ditunjukkan seperti pada gambar berikut:
A B C
2. Cimodocea rotundata
Lamun ini termasuk ke dalam Familia Cymodoceaceae. Leaf sheat berkembang dengan
baik (1,5 - 5,5 cm). Membentuk batang tegak di tiap buku dengan daun berjumlah 2 – 7 daun
per batang. Panjang daun sekitar 7 - 15 cm dan lebar daun 0,2 - 0,4 cm. Jumlah vena (tulang
daun) sekitar 7 - 15 buah dengan posisi longitudinal. Daun sedikit melengkung dengan ujung
daun membulat (rotundus) atau membentuk lekukan jantung (Lanyon, 1986).
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Liliopsida
Order : Alismatales
Family : Cymodoceaceae
Genus : Cymodocea
Spesies : Cymodocea rotundata
3. Enhalus acorodies
Lamun ini termasuk ke dalam Familia Hydrocharitaceae. Enhalus memiliki daun
panjang menyerupai pita (P = 30-150 cm; L = 1,25,1,75 cm) dengan ujung daun membulat.
Daun tebal dan kuat berwarna hijau gelap. Rhizomanya besar dan tebal (paling tipis 1 cm)
memiliki serabut-serabut hitam. Buah berukuran 4-6 cm untuk diameter (Lanyon, 1986).
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Liliopsida
Order : Hydrocharitales
Family : Hydrocharitaceae
Genus : Enhalus
Spesies : Enhalus acoroides
4. Haludule pinifolia
Lamun ini termasuk ke dalam Familia Cymodoceaceae. H. pinifolia memiliki ukuran
paling kecil dalam genus Halodule. Panjang daun kurang dari 20 cm dan lebar daun kurang
lebih 0,25 mm. Ujung daun agak membulat, bergerigi dan terbagi atas tiga titik. Central vein
yang berwarna agak gelap membelah di ujung daun menjadi dua (Lanyon, 1986).
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Liliopsida
Order : Alismatales
Family : Cymodoceaceae
Genus : Halodule
Spesies : Halodule pinifolia
Gambar 13. Morfologi Halodule pinifolia
5. Haludule uninervis
Lamun ini termasuk ke dalam Familia Cymodoceaceae. Ukuran daun lebih besar
dibandingkan H. Pinifolia. Lebar daun 0,25 – 0,5 mm. Struktur daun hampir sama dengan H.
Pinifolia tetapi ujung daunnya berbeda dimana ujung daun selalu berakhir dengan tiga titik
dan vena sentral tidak membelah menjadi dua seperti H. pinifolia (Lanyon, 1986).
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Liliopsida
Order : Alismatales
Family : Cymodoceaceae
Genus : Halodule
Spesies : Halodule uninervis
Gambar 14. Morfologi Halodule uninervis
6. Halophila decipiens
Lamun ini termasuk ke dalam Familia Hydrocharitaceae. Daun berbentuk elips dengan
panjang 1 - 2,5 cm dan lebar 0,05 cm. Daun muncul dari buku secara berpasangan. Tulang
daun tengah terlihat menyolok. Memiliki 6-9 pasang cross vein (Lanyon, 1986).
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Liliopsida
Order : Alismatales
Family : Hydrocharitaceae
Genus : Halophila
Spesies : Halophila decipiens
Gambar 15. Morfologi Halophila decipiens
7. Halophila ovalis
Lamun ini termasuk ke dalam Familia Hydrocharitaceae. Daun berbentuk oval.
Panjang daun 1-4 cm dan lebar 0,5-2 cm. Memiliki 10-25 pasang tulang daun yang saling
menyilang (cross vein). Cross vein membentuk sudut 45-60 derajat. Selain cross vein, pada
H. ovalis juga memiliki vena intramarginal. Rhizoma tipis dan halus (Lanyon, 1986).
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Liliopsida
Order : Alismatales
Family : Hydrocharitaceae
Genus : Halophila
Spesies : Halophila ovalis
Gambar 16. Morfologi Halophila ovalis
8. Halophila minor
Lamun ini termasuk ke dalam Familia Hydrocharitaceae. Daun memiliki petiole. Daun
berbentuk oval dengan ukuran yg lebih kecil dari H. ovalis dimana lebar daun kurang dari 0,5
cm dan panjang berkisar 0.5- 1.5 cm. Memiliki cross vein kurang dari 10 pasang. Rhizoma
tipis dan halus (Lanyon, 1986).
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Liliopsida
Order : Alismatales
Family : Hydrocharitaceae
Genus : Halophila
Spesies : Halophila minor
Gambar 17. Morfologi Halophila minor
9. Halophila spinulosa
Lamun ini termasuk ke dalam Familia Hydrocharitaceae. Memiliki tunas lateral tegak
dengan panjang mencapai 15 cm. Tiap tunas lateral berisi 10-20 pasang daun. Daunnya
berbentuk lonjong dengan panjang 1,5 - 2,5 cm dan lebar 0,3 - 0,5 cm. Tepi daun bergerigi.
H. spinulosa memiliki bentuk yang menyerupai tanaman paku (fern like) (Lanyon, 1986).
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Liliopsida
Order : Alismatales
Family : Hydrocharitaceae
Genus : Halophila
Spesies : Halophila spinulosa
Gambar 18. Morfologi Halophila spinulosa
I d = n x ∑ X i −∑ Xi
2
¿¿
Keterangan:
Id = Index morisita
n = Jumlah kuadrat pengambilan jenis ke-i
∑xi =Jumlah individu pada kuadrat jenis ke-i
∑xi 2 =Jumlah kuadrat total individu jenis ke-i
Dengan ketentuan:
Id=1, pola sebaran acak
Id<1, pola sebaran seragam
Id>1, pola sebaran mengelompok
Uji lanjut dilakukan dengan perbandingan nilai indeks morisita yang dibakukan (Id)
dengan konstanta +0,5 berdasarkan nilai-nilai pada berkas kepercayaan 95%.
Prosedur pengujian sebagai berikut:
Penetapan 2 titik signifikan (tingkat nyata) yaitu:
X 0,975−n+ ∑ Xi
2
= 0,025.
Perhitungan indeks morisita yang di standarisasikan dengan ketentuan sebagai berikut:
s
H , =−∑ ¿ ∈ ¿
i :1 N N
Keterangan:
H = Keanekaragaman jenis
Ni = Jumlah individu Jenis-i
N = Jumlah seluruh individu
Dengan kriteria:
,
H <1 = Keanekaragaman Jenis rendah
1 < H, < 3 = Keanekaragaman Jenis sedang
,
H >3 = Keanekaragaman Jenis tinggi
4. Dominasi jenis
Untuk menghitung indeks dominasi digunakan formula, sebagai berikut:
2
C=∑ ¿
N( )
Keterangan:
ni = Jumlah individu tiap jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
Dengan kriteria:
Nilai C berkisar 0-1.
Jika C mendekati 0 bearti tidak ada spesies yang mendominasi dan apabila nilai C
mendekati 1 bearti adanya salah 1 spesies yang mendominasi.
5. Kemaratan jenis
,
H
E= H
max
Keterangan:
E = Indeks kemerataan
,
H = Keanekaragaman jenis
H max = Ln s
S = jumlah taksa
Dengan kriteria:
> 0,81 = Penyebaran jenis sangat merata
0,61 - 0,80 = Penyebaran jenis lebih merata.
0,41 – 0,60 = Penyebaran jenis merata.
0,21 – 0,40 = Penyebaran jenis cukup merata.
< 0,21 = Penyebaran jenis tidak merata.
6. Kesamaan komunitas
pengukuran kesamaan komunitas dengan menggunakan koefisisen kesamaan binary
yaitu di dasarkan skala nominal pada data ada dan tidak ada spesies dalam komunitas yang di
bandingkan. Jika ada di beri 1 dan jika tidak ada di beri tanda 0. Dalam analisis kesamaan
binary di gunakan tabel kontingensi 2x2.
Habitat A
Habitat B jumlah
Ada Tidak ada
Ada A b a+b
Tidak ada C d c+d
Jumlah a+c b+d N
Gambar 24. Table rumus analisis kesamaan komunitas
Keterangan:
a = jumlah spesies yang sama dan ada di A maupun B
b = jumlah spesies yang tidak ada di A, tapi ada di B
c = jumlah spesies yang ada di A, tidak ada di B
d = jumlah spesies yang ada A maupun di B
Koefisies kesamaan Jaccard
a
SJ ( AB)=
(a +b+c )
7. Asosiasi antar jenis organisme
Tahap analisis uji statistic dan kecenderungan asosiasi 2 spesies yaitu:
a. Penyusunan pasangan spesies dengan bantua tabel kontingensi 2x2
Spesies B
Spesies A jumlah
Ada Tidak ada
Ada A b a+b
Tidak ada C d c+d
Jumlah a+c b+d N
Gambar 25. Table rumus analisis Asosiasi antar jenis Organisme
Keterangan:
a = jumlah kuadran yang terdapat kedua spesies.
b = jumlah kuadran yang terdapat spesies A, tetapi spesies B.
c = jumlah kuadran yang terdapat spesies B, tetapi spesies A.
d = jumlah kuadaran yang kedua spesies tidak terdapat N = jumlah total kuadaran.
b. Menyusun hipotesis
H 0 = kedua spesies tidak berasosiasi
H 1 = kedua spesies saling berasosiasi
c. Analisis statistic
N > 30 = X 2hit = N ¿ ¿
N < 30 = X 2 = ¿ ¿
Dengan derajat bebas (r - 1) (c -1) atau (- 1) (kolom - 1) = (2 - 1) (2 - 1) = 1 dan tingkat
kepercayaan 5% atau 1%.
Kaidah pengambilan keputusan:
2
Jika X 2hit < X (a ;db=1) terima H 0
2
Jika X 2hit < X (a ;db=1) tolak H 0
Penentuan tipe asosiasi dengan menggunakan koefisien asosiasi (v) yaitu:
(ad−bc)
V=
√(a+ b)(c +b)(a+ c)(b +d )
Jika V bernilai positif, maka kedua spesies berasosiasi.
Jika V bernilai negative, maka kedua spesies berasosiasi negative.
Pola kekayaan spesies
¿
S =s ( n−1
n )
k
Keterangan:
S = estimasi jumlah spesies
s = jumlah spesies total yang ada dalam n kuadran (sampel)
n = jumlah total kuadran.
k = jumlah spesies unik
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum suhu permukaan tampak lebih tinggi di siang hari dibandingkan dengan
malam hari. Hal ini dikarenakan penyinaran matahari di siang hari menyebabkan air laut
menyerap banyak panas sehingga suhu air naik. Namun demikian hasil pengukuran suhu
masih dibawah baku mutu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk kehidupan boita. Dengan demikian
nilai suhu yang terukur menunjukkan bahwa suhu di lokasi penelitian masih mendukung
untuk kehidupan lamun. Secara umum lamun menghendaki suhu yang berkisar antara 20 oC
– 30 oC, dengan optimum untuk fotosintesis pada kisaran 28 oC – 30 oC (Lessy, M. R., &
Ramili, Y. 2018). Hasil pengukuran suhu menggunakan alat thermometer di pantai kastela
mendapatkan nilai 30 oC.
Hasil pengukuran salinitas pada penelitian ini mendapatkan nilai 7. Salinitas juga
banyak dipengaruhi oleh perubahan suhu permukaan dan pola arus yang berkembang di
perairan lokasi studi. Pergerakan arus pasang surut yang terbentuk di lokasi studi akan
bergantian membawa massa air masuk dan keluar ke perairan lepas, sehingga salinitas juga
akan terpengaruh.
Derajat keasaman (pH) merupakan ukuran tentang nilai kosentrasi ion hidrogen
sehingga menunjukkan apakah larutan itu bersifat asam atau basa dalam reaksinya. Derajat
keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap organisme perairan
sehingga dipergunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan.
Kisaran pH yang optimal untuk air laut antara 7,5-8,5. Kisaran pH yang baik untuk
lamun ialah pada saat pH air laut 7,5-8,5 , karena pada saat kondisi pH berada dikisaran
tersebut maka ion bikarbonat yang dibutuhkan oleh lamun untuk fotosintesis dalam
keadaan melimpah (Phillip dan Menez, 1988). Hasil penelitian ini mendapatkan nilai 7. Nilai
tersebut masih memungkinkan untuk kehidupan organisme laut dan merupakan kisaran
optimum untuk pertumbuhan lamun.
Oksigen terlarut (DO) pada lokasi penelitian masih mendukung pertumbuhan lamun.
Hasil pengukuran oksigen terlarut memperlihatkan nilai 2,82 mg/1. Nilai tersebut masih
sesuai dengan nilai baku mutu lingkungan untuk kehidupan biota laut.
4.4 Struktur Komunitas
4.4.1 Kepadatan
X
D=
A
Keterangan:
D = Kepadatan setiap jenis (Ind/m2)
X = Jumlah individu tiap jenis (Ind/m2)
A = Luar areal yang terukur dengan kuadrant (m2)
Penyelesaian:
I. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Azkab, M. H. (1999). Struktur dan Fungsi Pada Komunitas Lamun. Jakarta; Balitbang Biologi
Laut, Puslitbang Oseanologi. Volume XXV, Nomor 3, Halaman 1-7.
Gray, C.A., McElligoot, D. J., & Chick, R. C. (1996). Intra and inter estuary differences in
assemblages of fish associated with shallow seagrass and bare sand. Marine Freshwater
Res., (47), 723-735.
Hemminga, M.A. and Duarte, C.M. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge University Press,
Cambridge
Kawaroe M, Indrajaya, Happy SI. 2005. Pemetaan Bioekologi Padang Lamun (Seagrass) Di
Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Pesisir & Lautan 6: 31- 41.
Kawaroe Mujizat dkk. 2016. Ekosistem Padang Lamun. Edisi 2. PT Penerbit IPB Press. Bogor.
Kuo J.J., den Hartog, C. 2006. Seagrass morphology, anatomy, and ultrastructure in Seagrasses:
Biology, Ecology and Conservation. Netherlands: Springer Verlag.
Lanyon J. 1986. Seagrass of the Great Barrier Reef. Queensland: Nadicprint Services Pty. Ltd
Lanyon J. 1986. Seagrass of the Great Barrier Reef. Queensland: Nadicprint Services Pty. Ltd
Lessy, M. R., & Ramili, Y. (2018). Restorasi lamun; studi transplantasi lamun Enhalus acaroides
di perairan pantai Kastela, Kota Ternate. Jurnal Ilmu Kelautan Kepulauan, 1(1).
McKenzie LJ, Yoshida RL. 2009. Seagrass-watch: proceeding of a workshop for monitoring
seagrass habitats in indonesia. The Nature Conservancy, Coral Triangle Center.
McKenzie, L.J. and R.L. Yoshida. 2009. Seagrass-Watch: Proceeding of workshop for
monitoring seagrass habitats in Indonesia. The Nature Conservancy, Coral Triangle
Center, Sanur, Bali. 9th May 2009. SeagrassWatch HQ, Cairns. 56 p.
Mtwana Nordlund, Lina, Et Al. "Seagrass Ecosystem Services And Their Variability Across
Genera And Geographical Regions." Plos One 11.10 (2016): E0163091.
Pham, Huu Tri, Et Al. Study On The Variation Of Seagrass Population In Coastal Waters Of
Khanh Hoa Province, Vietnam. 2006.
Pioneer, I.R., Walker, & Coles, R.G. (1989). Regional studier seagrass of tropical Australia.
Biology of Seagrass: a treatise on the Biology of seagrass with special reference to the
Australian region (pp.279-303).A.W.D. Larkum,A.J.McComb & S.A. Shepard (Eds.).
Elsevier Amsterdam.
Rahmawati, S. dan Rasyidin, A. 2012.Komunitas Lamun di Perairan Ternate, Tidore dan
sekitarnya.Dalam Giyanto (Ed) Ekosistem Pesisir Ternate, Tidore dan Sekitarnya,
Provinsi Maluku Utara. Pusat Penelitian dan Oseanografi LIPI. Jakarta. 48-90. Hal
Rustam, Agustin, et al. "Dinamika dissolved inorganic carbon (DIC) di ekosistem lamun Pulau
Pari." (2015).
Subur, R., F. Yulianda, S.B. Susilo, dan A. Fachrudin. 2011. Kapasitas adaptif ekosistem lamun
(Seagrass) di gugus Pulau Guraici Kabupaten Halmahera Selatan. J. AgriSains,
12(3):207-215.
Tjitrosoepomo, G., (2007), Morfologi Tumbuhan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Unsworth, Richard KF, et al. "Indonesia's globally significant seagrass meadows are under
widespread threat." Science of the Total Environment 634 (2018): 279-286.
Phillips, R. C., & Menez, E. G. (1988). Seagrass. Smithsonian Contribution to The Marine
Science No. 34. Smithsonian Institution Pres, Wshington DC.
Fahruddin, M, Suriyadin, A., Murtawan, H., Abdurachman, M. H., Setyono, B. D. H., Saputra,
A., & Ilyas, A. P. (2023). Struktur Komunitas Lamun di Perairan Ketapang, Lombok
Barat. Journal of Marine Research, 12(1), 61-70.
Copertino, M. S., Creed, J. C., Lanari, M. O., Magalhães, K., Barros, K., Lana, P. C., ... & Horta,
P. A. (2016). Seagrass and submerged aquatic vegetation (VAS) habitats off the coast of
Brazil: state of knowledge, conservation and main threats. Brazilian Journal of
Oceanography, 64, 53-80.
Zulkifli, E. 2003. Kandungan Zat Hara Dalam Air Poros dan Air Permukaan Padang Lamun
Bintan Timur. Jurnal Natur Indonesia, 5(2).139-144 Hal.
LAMPIRAN