Anda di halaman 1dari 25

BAB I

KONSEP HARTA GONO-GINI DALAM PERKAWINAN

Seputar masalah harta gono-gini masih tabu dimata masyarakat karena masyarakat
masih memandang sebelah mata masalah harta gono gini. Pasangan suami istri biasaanya
baru mempersoalkan pembagian harta gono-gini setelah adanya pertengkaran yang
berakhir perceraian dipngadilan. Terkadang hubungan yang dulu baik suami istri tetapi kalau
setelah adanya persengketaan harta gono gini hubunganya menjadi rusak sampai-sampai
bermusuhan.

Dalam bab ini dibahas beberapapperseolan yang menyangkut konsep harta gono-
gini dalam perkawinan. Bab ini merupakan penghantar untuk memahami perspektif hukum
positif dan hukum islam tentang harta gono-gini, kita perlu memahami terlebih dahulu
definisi harta gono-gini dan bagaimana dasar hukumnya menurut peraturan yang berlaku di
Indonesian.

A. Definisi Harta Gono-gini

Istilah “gono-gini” merupakan istilah hukum yang sudah populer di masyarakat.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:330), istilah yang digunakan adalah “gana-gini”
yang secara hukum artinya, “harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga
sehinggamenjadi hak berdua suami dan istri”.

Sebenarnya, istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal dalam
peraturan perundangan-undangan di tanah air, baik dalam UU No 1 Tahun 1974 tantang
perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum
Islam (KHI), adalah harta bersama. Hanya istilah gono gini lebih populer dibandingkan
dengan istilah yang resmi digunakan dalam bahasa hukum konvensional.

Konsep dan istilah “gono-gini” sebenarnya diambil dari tradisi jawa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2001:330) mendefinisikan kata “gana-gini” dalam tradisi jawa istilah
“gana-gini”sebagai “anak yang hanya dua bersaudara, laki-laki dan perempuan (dari satu
ayah satuibu)”. Kemudian dikembangakan sebagai konsep tentang persatuan antara laki-
laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan.
B.Realita Harta Gono-gini

Kita mungkin pernah mendengarkan kisah perkawinan artis kondang Mick Jagger
dengan Jery Hall yang pernah dinobatkan sebagai pasangan paling romantic pada decade
1990-an. Bahkan, perkawinan mereka dilakukan di pulau Dewata (Bali) dengan adat Bali
pula. Namun apa yang terjadi? Perkawinan mereka tidak berujung lama. Mereka akhirnya
bercerai. Tragisnya, setelah bercerai mereka saling memperebutkan harta gono-gini.
Berdasarkan cerita diatas, kita perlu mengatakan bahwa isu harta gono gini

Contoh kasus I

Kasus perceraian artis Dewi Hughes dengan mantan suaminya, Afin, yang pernah
menjadi berita besar di media massa merupakan salah satu contoh kasus yang menarik.
Gugatan cerai Hughes dikabulkan oleh Pengadilan Agama (PA) Jakarta Selatan. PA
menetspkan bahwa pembagian harta gono-gini atau harta bersama yang dikumpulkan
bersama yang dikumpulkan suami istri ketika terikat perkawinan adalah 50:50 aas ketetapan
itu, Hughes naik banding karena menurut harta yang dianggap Afin sebenarnya harta milik
Hughes sendiri. Selain itu, hughes selama perkwinan merasa lebih bekerja keras, sedangkan
Afin hanya bertindak sebagai manajer Hughes beberapa saat menikah. Menurut peraturan
yang berlaku, manajer berhak sepuluh persen (10%) dari honor yang diperoleh klien
(kompas,27 Juni 2005).

Contoh kasus diatasmenunjukan betapa rumitnya urusan pembagian harta gono-


gini. Masing-masing pihak ngotot ingin mempertahankan apa yang dianggap menjadi
haknya. Meskipun demikian, hakim pengadilan agama yang tidak mau mendengarkan alasan
Hughes tetap bersikukuh dengan isi pasal 97 KHI bahwa,”janda atau duda cerai hidup
masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjanperkawianan” yang oleh sebagian orang dianggap tidak mendukung keadilan
jender. Maksudnya, pembagian harta gono-gini 50:50 belum tentu dianggap adil karena
perlu juga memperhatikan siapa yang berkontrobusi lebih besar terhadap harta gono-gini
dan siapa yang sebaliknya.

Dan, yang jelas proses pembagaian harta gono-gini juga perlu dilakukan dengan cara
yang elegen, dengan kepala dingin, dan tidak perlu dengan cara emosional. Kalangan
perempuan banyak dirugikan dalam hal pembagian gono-gini karana posisi mereka lemah
dalam hubungan perkawian. Untuk itu kita perlu cermati realita ini lebih seksama.

C. Dasar Hukum Harta Gono-gini

Pada dasarnya tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara
suami dan istri (harta gono-gini). Konsep harta gono-gini pada awaknya berasal dari adat
istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh
Hukum Islam dan Hukum positif yang berlaku di Negara kita. Sehingga, dapat dikatakan ada
kemungkinan telah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri
(alghelegemeenschap van goedreen) dalam perkawianmerelaka.

Dasar hukum tetntang harta gono-gini dapat ditelusuri melalaui Undang-Undang dan
peraturan berikut :

a. UU Perkawinan pasal 35 ayat 1, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta


gono-gini (harta bersama) adalah “Harta benda yang diperoleh selama masa
perkawinan”. Artinya harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan
tidak disebut sebagai harta gono-gini.
b. KUHPer pasal 119, disebutkan bahwa “Sejak saat dilangsungnya perkawinan, maka
menurut Hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh
tentang hal itu tidak diadaan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian
perkawinan.tidak boleh ditiafakan atau di ubah dengan suatu persatuan antara
suami istri”.
c. KHI pasal 85, disebutkan bahwa “Adanyaharat bersama dalam perkawinan itu tidak
menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”. Pasal ini
sudah menyebutkan adanya harta gono-gini dalam perkawinan. Dengan kata lain,
KHI mendukung adanaya persatuan harta dalam perkawian (gono-gini). Meskipun
sudah bersatu menutup kemungkinan adanya sejumlah harta milik masing-masing
pasangan.
d. Pada KHI Pasal 86 ayat 1 dan ayat 2, kembali dinyatakan bahwa, “pada dasarnya
tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan”(ayat
1). Pada ayat 2 lebih lanjut ditegaskan bahwa pada dasarnya harta istri tetap menjadi
hak istri dan dikuasai penuh olehnya. Demikian juga sebaliknya, harta suami tetap
menjadi hak suami dan dikuasai oleh suami sepenuhnya.

Harta gono-gini mencangkup segala bentuk active dan passive selama masa
perkawinan. Pasangan calon suami istri yang akan menikah diperbolehkan mentukan dalam
perjanjian perkawinan bahwa harta perolehan menentukan dalam perjanjian perkawinan
bahwa harta perolehan dan harta bawaan merupakan harta gono-gini. Hal ini diatuar dalam
KHI Pasal 49 ayat 1 “perjanjian perkawinan harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik
yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang di peroleh masing-masing
selama perkawinan”.

Pasangan suami istri tersebut juga diperbolehkan menentukan dalam perjanjian


perwakilan bahwa yang tidak termaksud dalam harta gono-gini adalah harta pribadi yang
dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, seperti dalam perolehan. Hal ini diatur dalam
KHI pasal 49 ayat 2, “Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga
diperjanjkan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan
dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh
selama perkawian atau sebaliknya”.

D.Harta gono-gini menurut Hukum Adat

Sebagaimana telah dikemukakan dalam definisi harta gono-gini bahwa istilah


“Gono-gini” memang berasal dari hukum adat di Tanah Air. Rupanya didaerah istilah lain
juga yang berbeda, yaitu hareutasihareukat (di Aceh); suarang (Minangkabau, Sumatra
Barat); Guna-kaya (Sunda, Jawa Barat); druwegabro (Bali); dan barang perpantangan
(Kalimanan).

Bagaiman Hukum adat di Indonesia memandang Harta Gono-gini? Hampir seluruh


Hukum adat menyatakan bahwa tidak semua harta gono-gini benda yang dimiliki suami dan
istri merupakan kesatuan harta kekayaan (gono-gini). Yang termaksud ke dalam harta benda
yang diperoleh secara bersama sejak terjadinya ikatan perkawinan.

Adapun Harta masing-masing yang diperoleh sebelum perkawinan atau harta


warisan yang diperoleh selama masa perkawinan tetap merupakan harta kekayaan masing-
masing (Ismail Muhammad Syah, 1965: 16).
Dengan demikian, bias dikatakan bahwa pada dasarnya tidak ada kontradiksi antar
Hukum positif, hukum Islam, dan hukum adat yang umumnya berlaku di Indonesia. Seperti
halnya hukum positif dan hukum islam, hukum adat memandang bahwa harta gono-gini
adalah harta yang diperoleh selama perkawian saja. Sementara itu, di Aceh, pembagian
harta kekayaan kepada harta bawaan dan hareutaseuhareukat bermakna sangat penting,
baik ketika terjadi perceraian maupun pada saat pembagian warisan jika salah satu
meninggal dunia (Ismail Mammad Syah, 1965: 17-18).

Meskipun pembagian harta gono-gini di berbagai daerah boleh dikatakan hamper


sama, perlu pula dibedakan berdasarkan konteks budaya local masyarakat. Sebagai contoh,
berdasarkan hukum adat yang bersifat patrilinier (seperti hukum adat Batak, Sumatra Utara)
harta gono-gini cenderung dianggap tidak ada. Artinya, jika terjadi perceraian, seluruh harta
dikembalikan kepada suaminya(www.hukumonlaine.com). Demikian halnya jika didasarkan
adat padangnya, Sumatra Barat), jika terjadi perceraian, seluruh harta dikembalikan kepada
istrinya.

E.Klasifikasi Harta Benda dalam Perkawinan

Ikatan perkawinan mengondisikan adanya harta gono-gini antara suami dan istri,
sebagaimana tertuang dalam UU Perkawinan pasal 35 ayat 1. Namun, bukan berarti dalam
perkawinan yang diakui hanya harta gono-gini. Sebab, berdasarkan KHI pasal 85 dinyatakan
bahwa ”Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami atau istri”.

Harta benda dalam perkawinan ada tiga macam sebagai berikut.

a. Harta Gono-gini

sebagaimana telah dijelaskan, harta gono-gini dalam perkawinan adalah ”Harta benda
yang diperoleh selama masa perkawinan”. Berdasarkan KHI pasal 92 ayat 1, harta gono-gini
bias berupa benda berwujud dan tidak berwujud.

1. Benda berwujud, yakni bennda bergerak, benda tidak bergerak, dan surat-surat
berharga (ayat2).
2. Benda tidak berwujud, yaitu hak dan kewajiban (ayat 3).
Suami istri harus menjaga harta gono-gini dengan penuh amanah, sebagaimana
diatur dalam KHI pasal 89, “Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri,
maupun harta Sendiri” dan pasal 90, “Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama
maupun harta suami yang ada padanya”. Dengan kata laen, harta gono-gini merupakan hak
bersama yang oleh masing-masing pihak boleh dipergunakan asalkan mendapatkan izin dari
pasanganya. Dengan demikan, perlu ditegaskan lagi bahwa harta gono-gini merupakan
harta yang diperoleh secara bersama oleh pasangan suami istri.

b. Harta Bawaan

Harta bawaan adalah “Harta benda milik masing-masing suami dan istri yang
diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan dan hadiah”.

Tentang macam harta ini, UU Perkawinan Pasal 35 ayat 2 mengatur. “Harta bawaan
masing-masing suami dan istri serta dan benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau lain”. Berdasarkan ketentuan ini, suami dan istri berhak memiliki sepenuhnya
harta bawaannya masing-masing, asalkan tidak ditentykan lain dalam perjanjian
perkawinan. Pernyataan yang sama juga diperkuat dalam KHI pasal 87 ayat 1.

Harta bawan bukan termaksud dalam klasifikasi harta gono-gini. Suami istri berhak
mempergunakan harta bawaanya masing-masing dan juga dapat melakukan perbuatan
hukum terhadapnya. Darasnya adalah UU Pekawinan Pasal36 ayat 2, “Mengenai harta
bawaan masing-masing, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya”.

c. Harta Perolehan

harta perolehan adalah “Harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh
masing-masing pasangan (suami istri) setelah terjadinya ikatan perkawinan”. Harta ini
umunya hibah, hadiah, dan sedekah. Harta ini tidak diperoleh melalui usaha bersama
mereka berdua selama terjadinya perkawinan. Bedanya dengan harta bawaan yang
diperoleh sebelum masa perkawinan, harta macam ini diperoleh setelah masa perkawinan.

Seperti halnya bawaan, harta ini juga menjadi milik pribadi masing-masing
pasanagan, baik suami maupun istri, sepanjang tidak ditentukan hal laen dalam perjanjian
perkawinan. Dasarnya adalah KHI pasal 87 ayat 2, “Suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah,
hadiah, atau lainya”. Kesimpulanya, harta gono-gini jelas berbeda dengan harta bawaan dan
harta perolehan. Yang hanya boleh disebut dengan harta gono-gini adalah harta yang
diperoleh secara bersama-sama, baik oleh suami maupun istri, sejak perkawinan mereka
mulai dilangsungkan.

F. Sifat dan Luas Harta Gono-gini

Harta atau barang-barang tertentu yang diperoleh suami / istri dengan Cuma-Cuma
(omniet) karena perwarisan secara testamentair, secara legaat/hadiah, tidak bias dianggap
sebagai harta gono-gini. Hal ini diatur dalam KUHPer pasal 120, “Berkenan dengan soal
keuntungan, maka harta bersamaan itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-
barang tak bergerak suami istri itu, baik yang ada maupun yang aka nada, juga barang-
barang yang mereka perolehan Cuma-Cuma, kecuali jika dalam hal terakhir ini yang
mewariskan atau yng menentukan kebaliknya dengan tegas”.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang yang berlaku, ada dua contoh kebersamaan


harta terbatas, yaitu kebersamaan untung dan rugi (gemeenschap van winst en verlies)
serta kebersamaan hasil dan pendapatan (gemeenschap van vrunchten en inkonmsten).
KUHPer pasal 164 mengatur, “Perjanjian, bahwa antara suami istri hanya aka nada
gabungan penghasilan dan pendapatan saja, mengandung arti secara diam-diam bahwa
tiada gabungan harta bersama secara menyeluruh menurut Undang-Undang dan tiada
gabungan keuntungan dan kerugisan”. Di samping dua contoh itu, sebenarnya calon suami
istri bias menciptakan kebersamaan harta kekayaan terbatas lainya. Dengan adanya
perjanjian kebersamaan harta kekayaan terbatas, maka ada tiga macam harta benda dalam
perkawinan.

a. Harta kekayaan milik pribadi suami


b. Harta kekayaan milik pribadi istri
c. Kebersamaan harta kekayaan suami istri

Contoh kasus
Apabila dua orang (A dan B) bersama-sama membeli sebidang tanah, tanah tersebut
menjadi

Hak milik bersama A dan B. masing-masing A atau B diperbolehkan menjual bagianya


kepada orang lain dan masing-masing berhak menurut pemecahan dan pembagian
(sheindingen deling) di muka pengadilan atau dapat menjual lelang seluruh tanah dengan
maksud agar pendapatan dari lelang tersebut bisa dibagi dua.

Menurut R. SeotojoPrawirohamidjojo dan MartalenaPohan (2000: 63), ketentuan


tersebut berlaku jika ada syaratnya, yaitu bahwa mereka (A dan B) tidak bisa menjual bagian
dari kebersamaan harta atau menurut pemecahan dan pembagian (sheinding en deling)
sebelum ketentuan harta gono-gininya bubar. Artinya, kebersamaan harta kekayaan yang
terakit“(gebondenmedeeigendom), sedangkan hak milik bersama antara A dan B atas
sebidang tanah disebut dengan milik bersama yang bebas (vrijemedeeigendom)”.

G. Pembubaran Harta Gono-gini

Persatuan harta kenyataan dalam sebuah perkawinan (harta gono-gini) dibatasi oleh
sejumlah sebab atau faktor yang melatarbelakanginya. Ketentuan bubarnya harta gono-gini
diatur dalam KUHPer pasal 126, Harta gono-gini bubar hukum.

a. Karena kematian
b. Karena perkawinan atas izin hakim setelah suami atau istri tidak ada
c. Karena perceraian
d. Karena pisah meja dan ranjang
e. Kareana pemisahan harta

Berdasarkan ketentuan di atas, sebab-sebab poin a-c mengandung


pegertianbubarnya harta gono-gini yang terkait dengan “pembubaran perkawinan”.
Sebagaimana disyaratkan dalam KUHPer pasal 199 bahwa, perkawinan bubar.

a. Oleh kematian
b. Oleh tidak hadirnya si suami atau si istri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh
perkawinan baru istrinya atau suaminya, sesuatu dengan ketentuan-ketentuan
bagian 5 bab XVIII
c. Oleh keputusan hakim setelah pisah meja atau ranjang dan pendaftaran persyaratan
pemutusan perkawinan itu dalam daftar-daftar catatan sipil, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan bagian 2 bab ini.
d. Oleh perceraian, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian 3 bab ni.

Tentang sebab ini, KUHPer pasal 186 mengatur bahwa istri berhak mengajukan
tuntutan kepada hakim akan pemisahan harta kekayaan, tetapi dengan alas an-alasan
sebagai berikut.

a. Jika suami, dengan kelakuan buruk yang nyata,memboroskan barang-barang dari


gabungan harta bersama dan membiarkan rumah tangga terancam bahaya
kehancuran
b. Jika karena kekacau-balauan dan keburukan pengurusan harta kekayaan si suami,
jaminan untuk harta perkawinan istri serta untuk apa yang menurut hukum menjadi
hak istri akan hilang, atau jika karena kelalaian besar dalam pengurusan harta
perkawinan si istri harta itu berada dalam keadaan bahaya.

Untuk sebab poin e di atas, ada ketentuan yang menyebutkan bahwa pemisahan
harta kekayaan atas dasar pemufakatan sendiri “dilarang”. KUHPer pasal 187 juga menatur
bahwa atas pemisahan harta kekayaan harus diumumkan secara terang-terangan. Para
pihak yang berpiutang kepada si suami berhak mencampurkan diri dalam perkara, untuk
menentang tuntutan pemisahan itu (pasal 188 KUHPer).

Dengan bubarnya kebersamaan harta gono-gini dalam suatu perkawinan, bukan


harta itu bisa dibagi bagitu saja. Ada tahapan yang perlu dilakukan sebelumnya dilakukan
proses pembagian. Proses pembagianya sendiri bisa memakan waktu yang cukup lama.
Bahkan ada pihak yang sengaja tidak segera melakukan proses pemecahan dan pembagian
(scheiding en deling) terhadap harta gono-gini.

Untuk itu, berdasarkan KUHPer pasal 127, istri atau suami yang terlama harus
membuat daftar bsrang-barang dalam waktu tiga bulan setelah meninggalnya suami/istri,
“setelah salah seorang dari suami/istri meninggal, maka jika ditinggalkan anak yang masih
dibawa umur, pihak yang hidup terlama wajib untuk mengadakan pendaftaran harta bulan.
Pendaftaran harta bersama itu boleh dilakukan di bawah tangan, tetapi harus di hadiri oleh
wali pengawas. Jika harta bersama itu tidak diadakan, gabungan harta bersama
berlangsung terus untuk keuntungan si anak yang masih di bawah umur, dan sekali-kali
tidak boleh merungikannya”. Bubarnya harta gono-gini memiliki konsenkuensi terhadap
pembangian harta tersebut secara adil. KUHPer pasal 128 ayat 1, “setelah bubarnya harta
bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para
ahli waris barang itu”.

Berdasarkan ketentuan ini, harta gono-gini dapat dibagi dengan memperhatikan dari
mana asal barang-barang itu. Yang pasti, masing-masing pihak mendapatkan 50% dari harta
gono-gini. Sementara itu utang-utang yang merupakan dari kebersamaan harta kekayaan
dipikul secara bersama dengan jumlah 50%. Pada ayat 2 pasal yang sama disebutkan bahwa,
“ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Bab XVII buku kedua, mengenai pemisahan
harta peninggalan, berlaku pembagian harta bersama menurut undang-undang”.

Artinya, pemisahan dan pembagian harta gono-gini mengikuti ketentuan-ketentuan


yang berlaku mengenai pembagian hukum waris, baik yang formal maupun material.
BAB II

KETENTUAN HUKUM POSITIF TENTANG HARTA GONO GINI

A.Ketentuan Umum Hukum Harta Gono-Gini

Ketentuan umum dibagian ini merupakan pengembangan dari dasar hukum positif
tentang harta gono-gini, yaitu bagaimana memperlakukan harta gono-gini sebelum harta ini
dibagi.ketentuan umum ini mencakup pengaturan hukum bagi suami istri yang masih
memiliki hubungan perkawinan terhadap harta gono-gini mereka.

a.Pengurusan harta gono-gini

Menurut KUHPer, suami sendirilah yang berhak mengurus harta gono-gini, termasuk
berwenang melakukan berbagai perbuatan terhadap harta tersebut.dasar dari ketentuan ini
adalah karena suami adalah kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas semua
kebutuhan yang mencakup kebutuhan rumah tangga termasuk mengurus harta gono-gini
tersebut.

Ketentuan tersebut diatur dalam KUHPer pasal 124 ayat 1, “hanya suami saja yang
boleh mengurus harta bersama itu, dia boleh menjualnya, memindah-tangankanya dan
membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam pasal 140”,
akan tetapi suami tidak boleh mengurus harta bersama tersebut tanpa persetujuan sang
istri sebagaimana dimaksud dalam pasal 140 ayat pasal 2 dan 3.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditegaskan bahwa wewenang atau kekuasaan


suami begitu besar terhadap pengurusan harta gono-gini akan tetapi kekuasaan tersebut
dibatasi oleh dua hal.

1.Dibatasi oleh undang-undang

Kekuasaan suami dalam mengurus harta gono-gini dibatasi oleh undang-undang, hal
ini diatur dalam pasal 124 ayat 3, “Dia tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah
antara mereka yang sama-sama masih hidup, baik barang tak bergerak maupun
keseluruhanya atau suatu bagian atau jumlah tertentu dari barang-barang bergerak,jika
bukan pada anak-anak yang lahir dari perkawinan untuk memberi suatu kedudukan”.
Artinya suami tidak boleh menghibahkan (schenking) terhadap (1) harta tidak bergerak dari
harta bersama,dan (2) benda-benda bergerak dari kebersamaan harta seluruhnya maupun
untuk bagian tertentu.

2.Dibatasi dengan Kesepakatan Suami-Istri dalam Perjanjian Perkawinan

Dalam perjanjian perkawinan dapat ditentukan suami tanpa bantuan istri tidak dapat
memindahtangankan atau membebani (1)benda-benda bergerak, dan (2) surat pendaftaran
dalam buku besar perutangan umum, surat-surat berharga lain, piutang-piutang atas nama
( benda-benda bergerak atas nama ).

a.Hak istri dalam harta bersama

Istri diperbolehkan membebani atau memindahtangankan barang-barang persatuan


dengan kondisi sebagaimana ditentukan dalam KUHPer pasal 125.

Istri juga mempunyai hak untuk melepaskan bagiannya dalam kebersamaan harta kekayaan
perkawinan.

1. Istri tidak berhak lagi atas bagiannya dari aktiva harta bersama, kecuali hak
atas pakaian, selimut, sprei. Sesuai KUHPer pasal 132 ayat 1.
2. Istri dibatasi kewajibannya dalam hal membayar hutang harta bersama. Batas
waktu pelepasan yang ditentukan ialah sebulan setelah terjadinya pembubaran
atas kebersamaan harta.

c.Penggunaan harta Bersama

Ada 2 macam hak dalam harta bersama, yaitu : hak milik dan hak guna. Suami-istri
sama-sama berhak atas harta bersama dan penggunaannya dengan syarat harus mendapat
persetujuan dari salah 1 pihak jika salah 1 pihak hendak menggunakannya.

d.Harta bersama dalam perkawinan poligami

ketentuan hukum terhadap perkawinan poligami KUHPer pasal 180 mengatur bahwa
“juga dalam perkawinan kedua dan berikutnya, menurut hukum ada harta benda menyuluruh
antara suami istri jika perjanjian kawin tidak diadakan lain”. Artinya ketentuan tentang harta
gono gini juga berlaku untuk perkawinan poligami, asalkan tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan yang dibuat pasangan suami istri tersebut.serta dalam UU Perkawinan
th. 1974 pasal 65 ayat 1, dengan isi :

1. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama bagi semua istri dan anaknya
2. Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang
telah ada sebelum perkawinan istri kedua atau berikutnya itu terjadi
3. Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta gono-gini yang terjadi sejak
perkawinan masing-masing

B.Pembagian Harta Gono-Gini

Pada umumnya harta tersebut dibagi dua sama rata antara suami dan istri. Seperti diatur
dalam pasal 128 KUHPer yang menyatakan “setelah bubarnya persatuan maka harta benda
kesatuan dibagi dua antara suami istri atau antara para ahli waris mereka masing-masing,
dengan memperdulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya”.akan
tetapi Harta yang dibagi hanya sebatas harta yang diperoleh selama perkawinan bukan
termasuk harta bawaan atau harta perolehan yang berupa warisan, hibah, maupun hadiah
terhadap masing-masing. Apabila terjadi perselisihan maka perselisihan tersebut diselesaikan
di muka pengadilan sebagaimana diatur dalam KHI pasal 88.Pembagian harta bersama hanya
dapat dilakukan ketika telah terjadi gugatan perceraian. Ketentuan tentang penbagian harta
bersama didasarkan pada kondisi yang menyertai hubungan suatu perkawinan seperti yang
akan dijelaskan :

a.Cerai Mati

Cerai mati biasnya dipahami sebagai bentuk perpisahan hubungan suami istri karena
meninggalnya suami/istri. Pembagian harta dalam cerai mati ini adalah 50:50, ketentuan i ni
diatur dalam KHI pasal 96 ayat 1 “apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Akan tetapi status kematian harus jelas
terlebih dahulu agar pembagian harta ini menjadi jelas, apabila hanya hilang pembagian ini
harus ditangguhkan terlebih dahulu sampai adanya ketentuan tentang kematian dirinya secara
hukum melalui PA , ketentuan ini diatur dalam KHI pasa 96 ayat 2.

b.Cerai Hidup

Putusnya hubungan perkawinan antara suami istri karena perceraian diantara mereka.
Sedangkan untuk pembagian harta ditentukan berdasarkan ketentuan hukum masing-masing.
Maksudnya ialah mencangkup hukum agama, hukum adat, dan sebagainya. Pembagian harta
bersama dalam umat islam diselesaikan berdasarkan KHI pasal 97, yang mengatur bahwa
janda atau duda cerai hidup berhak memperoleh seperdua dari harta bersama sepanjang
belum ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Sedangkan bbagi non-muslim ditentukan berdasarkan KUHPer pasal 128 yang menyatakan
bahwa setelah terjadinya perceraian, harta bersama dibagi dua antara suami dan istri dengan
tidak memperdulikan darimana harta tersebut berasal.

c.Perkawinan Poligami

Pembagian harta dalam hal ini pada dasarnya sama dengan istri sebelumnya akan
tetapi bagian harta istri selanjutnya hanya sebatas harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung denganya bukan harta yang diperoleh dengan istri pertam/sebelumnya. Selama
tidak ada kesepakatan dalam perjanjian perkawinan tersebut.

C.Aspek keadilan Dalam Harta Gono-Gini

Pembagian harta ini harus didasrkan pada aspek keadilan untuk semua pihak yang
terkait, keadilan tersebut mencakup pada pengertian bahwa pembagian tidak
mendiskriminasikan salah satu pihak. Kepentingan masing-masing harus diakomodasi aslkan
sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya.

D.Kiat Menghitung Harta Gono-Gini

Sebagaimana dikutip dari www.kontan-online.com, ada 6 kiat strategis mengenai


pembagian harta gono-gini, yakni:

a. Langkah awal : seluruh harta keluarga perlu diinventarisasikan dan dipisahkan


mana yangmerupakan harta bersama (gono-gini), harta bawaan, dan harta
perolehan. Caranya misalnya ialah dengan mengklasifikasikan surat-surat
berharga berdasarkan tanggal diperolehnya, dengan begitu dapat ditentukan
apakah termasuk dalam harta bersama (yang diperoleh saat terjadi perkawinan)
atau harta bawaan atau perolehan.
b. Langkah kedua ialah mendata asset-aset tersebut secara lengkap. Yang meliputi
harta bergerak (mobil, sepeda motor, atau kendaraan lain) dan harta yang tidak
bergerak (tanah, bangunan, sawah, kebun, tempat usaha, atau asset property
lainnya yang berupa perhiasan, lukisan, koleksi benda antic, dan perabotan
rummah tangga).
c. Menginventarisasikan asuransi dan asset investasi yang dimiliki, yang khususnya
berbentuk portofolio keuangan, tabungan, deposito, rekening valas di bank,
obligasi, reksadana, hal ini guna menghindari adanya penggelapan yang dilakukan
oleh salah satu pihak.
d. Setelah asset dihitung, kemudian dilakukan pendataan hutang keluarga.
e. Jika terdapat asset keluarga seperti rumah atau mobil yang masih dalam bentuk
kredit dan salah satu bersikeras untuk menguasai asset kredit tersebut, sebaiknya
pasangan yang lainnya mendatangi bank tempat mengambil kredit guna mengurus
bagaimana penjaminannya dikarenakan terjadinya perceraian. Karena biasanya
kreditur meminta persetujuan dari keduanya ketika akan mengajukan kredit.
Sehingga dalam pengurusan perceraian juga penting mengenai penjaminan
tersebut gua kepengurusan pertanggungjawaban.
f. Setelah seluruh asset dikurangi hutang-hutang keluarga kemudian harta yang
tersisa dibagi dua.
BAB III

HARTA GONO-GINI DALAM PERSPEKTIF HUKUM

Dalam bab ini akan dibahas pandangan islam mengenai harta gono-gini ini.Ada yang
memandang bahwa harta gono-gini tersebut diperbolehkan dan ada juga yang memandang
sebaliknya. Konsep harta gono-gini ini tidak ada pada masa fiqhislam klasik, karena wilayah
ini belum tersentuh, dalam kajian fiqh dulu terdapat 2 bahasan, yakni mengenai masalah
pengaturan nafkah dan hukum waris. Pembahasan mengenai harta bersama ini muncul pada
masa modern.

A.Pandangan Umum

a.Pandangan Umum

Secara umum islam tidak memandang adanya harta gono gini. Hukum islam pada umumnya
memandang adanya keterpisahan harta antara harta suami maupun istri.

Hasil istri ialah milik istri sedangkan hasil suami ialah milik suami. Harta gono-gini
bersal dari warisan orang jawa. Konsep islam tersebut bertujuan agar tidak terjadi
perselisihan apabila diakhir terjadi perebutan setelah adanya perceraian.

b.Pemetaan Pandangan

Pemeteen pandangan ini memudahkan kita memahami bagaimana kaitan antara


konsep syirkah dan harta gono-gini itu sendiri.

MohdIdrisRamulyomembgi pandangan tersebut atas2 kelompok, yakni:

1. Kelompok ysng memandang tidak adanya harta gono-gini dalam lembaga islam
kecuali dengan konsep syirkah.
Kelompok ini tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami dan
istri. Syirkah itu sendiri memiliki arti kongsi, kerjasama, atau persekutuan.
2. Kelompok yang memandang adanya harta gono-gini dalam islam Kelompok ini
disamping mengakui ketentuan dalam UU Perkawinan juga memandang bahwa
ketentuan tersebut sesuai dengan aspirasi hukum islam. Harta yang dimaksud
ialah harta yang diperoleh selama perkawinan. Sesungguhnya harta bersama
atau gono-gini dapat ditelusuri dalam hukum Islam maupun berdasarkan
kehendak atau aspirasi hukum Islam itu sendiri. Artinya ialah argumentasi
tentang harta gono-gini tidak dikenal dalamIslam dapat dimentahkan. Karena hal
tersebut dapat diperoleh dari ijtihad yang sungguh-sungguh.

c.Batasan Harta Istri

Batasannya ialah, harta-harta yang telah diperoleh oleh Istri sebelum masa perkawinan
merupakan harta milik istri. Misalnya ialah, warisan, hadiah, hibah, pemberian orang tua,
dan mahar yang diberikan oleh suami saat menikah. Dan juga yang merupakan harta
bawaan dan harta perolehan. Jika dalam pencampuran harta kekayaan bersama, istri juga
membantu perekonomian keluarga dengan ikut bekerja, maka untuk pembagian harta
kekayaan melihat pada besar kecilnya saham yang dihasilkan oleh masing-masing.

Dalam Islam, selain berhak atas hartanya sendiri Istri juga berhak atas harta gono-gini,
sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 32, “Bagi para laki-laki terdapat bagian
dari yang mereka usahakan dan para perempuan terdapat juga bagian dari apa yang mereka
usahakan.”

Artinya baik suami atau istri berhak mendapatkan harta gono-gini dari masa perkawinan
mereka. Masalah pembagian harta bersama ini sangat sensitive, perlunyasikap keterbukaan
dari masing-masing pasangan akan membuat permasalahan yang dihadapi sedikit ringan.

B.Konsep Syirkah dan Harta Gono-Gini

Mengingat konsep harta gono-gini tidak terdapat dalam rujukan Al-quran dan Hadist,
kita dapat melakukan qiyas (perbandingan) dengan konsep fiqh yang sudah ada mengenai
syirkah. Kaitan antara harta gono-gini dengan syirkah dapat dipahami sebagai “harta yang
diperoleh baik sendiri-sendiri maupun bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama.

b.Pengertian Syirkah

Syirkah secara etimologys berarti suatu bentuk percampuran 1 atau lebih sehingga
tidak dapat dibedakan lagi antara yang 1 dengan yang lain. Dalam penertiansyara’,
syirkahadalah suatu akadantara 2 pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan suatu
usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan bersama.

c.Macam-Macam Syirkah

Ada banyak pendapat ulama tentang macam-macam syirkah. Ini akan dibahas melalui sudut
pandang masing-masing emapt ulama fikih klasik, yaitu imam hanafi, imam maliki, imam
syfi’i, dan imam hambali (sumber dari isma’il muhammad syah, 1965: 21-35 ),syirkah
menurut ulama hanafiah ada 2 macam yaitu :

1. Syirkahinan
Yaitu suatu bentuk perkongsian antara 2 orang atau lebih yang masing-
masing anggotanya memberikan modal dan melakukan kegiatan usaha
secara bersama-sama.
2. Syirkahabdan
Yaitu suatu bentuk perkongsian yang masing-masing anggotanya hanya
melakukan kegiatan usaha, tetapi tidak memberikan modal.
3. Syirkahmudharabah
Yaitu suatu benntuk perkongsian dengan ketentuan bahwa salah 1pihak
melakukan kegiatan usaha, tetapi pihak yang lain memeberikan modal.

4. Syirkahmufawadhah
Yaitu suatu bentuk perkongsian dengan 2 pihak anggota (missal A dan B)
yang melakukan kegiatan usaha, sedangkan pihak lainnya (pihak C)
memberikan modal.
5. Syirkahwujuh
Yaitu bentuk perkongsian yang menggabungkan semua macam syirkahdiatas.

c.Bentuk Syirkah Dalam Harta Gono-Gini

Harta gono-gini jika dikaitkan dengan bentuk syirkah tersebut bermacam-macam


tergantung dari para pasangan menjalani kehidupan rumah tangganya khususnya mengenai
pengurusan harta bersama mereka.
C.Pembagian Harta Gono-Gini Secara Adil

Pembagian secara adil dapat dengan jalan musyawarah asalkan benar-benar


dilakukan dengan adil. Sebagaimana diatur dalam KHI pasal 97, “janda atau duda cerai hidup
masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dari
perjanjian perkawinan”.
BAB IV

PERJANJIAN PERKAWINAN

A.Seputar perjanjian perkawinan

Perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) dilakukan sebelum atau menjelang


perkawinan. Adanya perjanjian membuat hubungan suami-istri menjadi aman karena jika
terjadi suatu keretakan. Namun tidak semua memandang pentingnya perjanjian perkawinan
tersebut. Perjanjian perkawinan pada dasarnya berhukumkanmubah, maksudnya boleh,
boleh dilakukan maupun tidak dilakukan, tidak wajib dan tidak diharamkan.

Jika suatu perkawinan tidak disertai dengan perjanjian perkawinan itu sah-sah saja. Karena
pada dasarnya perjanjian perkawinan tidak diwajibkan.

a.Definisi perjanjian perkawinan

Secara umum, perjanjian perkawinan berisikan tentang pengaturan harta kekayaan suami
istri. SoetojoPrawirohamidjojo dan MarthalenaPohan (2000: 74) menjelaskan bahwa
pembuatan perjanjian perkawinan adalah untuk mengatur akibat-akibat perkawinan
menyangkut harta kekayaan.

Isi perjanjian perkawinan itu sendiri bermacam-macam, tergantung pada kepentingan calon
suami dan calon istriterhadap masa depan rumah tangga mereka, asalkan tidak menyalahi
kaidah hukum, agama, dan kesusilaan. Hakikatnya perkawinan itu sendiri merupakan suatu
bentuk perjanjian, karena ketika pasangan pengantin akan menikah mereka diikat dengan
perjanjian suci tersebut.

b.Tujuan Perjanjian perkawinan

Ada 6 poin tujuan dibentuknya perjanjian perkawinan.

- Membatasi atau meniadakan sama sekali kebersamaan harta kekayaan


menurut undang-undang. Artinya kebersamaan harta suami-istri sifatnya
terbatas.
- Mengatur pemberian hadiah dari suami kepada istri atau sebaliknya
- Membatasi kekuasaan suami terhadap barang-barang kebersamaan yang
ditentukan oleh KUHPer pasal 124 ayat 2, sehingga tanpa bantuan istrinya
suami tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat
memutus
- Mengatur penberian testamen dari suami untuk istri atau sebaliknya,
atau sebagai hibah timbale balik
- Mengatur pemberian hadiah pihak ketiga kepada suami atau istri
- Mengatur testamen dari pihak ketiga kepada suami atau istri

A.Manfaat perjanjian perkawinan

a. Untuk melindungi secara hukum harta bawaan masing-masing pihak


b. Untuk mengamankan aset dan kondisi ekonomi keluarga, dapat dikatakan
sebagai “sekoci” saat badai laut datang ketika masih diatas perahu yang
berlayar
c. Bagi kaum perempuan, hak-hak dan keadilan kaum perempuan (istri) dapat
terlindungi

C.Peraturan mengenai Perjanjian Perkawinan

a. Dasar hukum
Terdapat dalam :
 Dalam UU Perkawinan, pasal 29 ayat 1
 Dalam PP No. 9 th. 1975 (Pelaksanaan UU No. 1 th 1974), pasal 12 huruf h
 KUHPer pasal 139
 KHI pasal 47 ayat 1

b.Masa Berlakunya Perjanjian Perkawinan

Dalam UU Perkawinan pasal 29 ayat 3 mengatur bahwa, “ Perjanjian tersebut mulai berlaku
sejak perkawinan berlangsung”.
Begitu pula dalam KUHPer pasal 147 ayat 2 bahwa, “perjanjian mulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan”.

Dalam KHI pasal 50 ayat 1, “perjanjian perkawinan mengenai harta , mengikat kepada para
pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkannya perkawinan dihadapan
Pegawai Pencatat Nikah”.

c.Syarat perjanjian perkawinan

Syarat perjanjian perkawinan ialah :

1. Dibuat dengan akta notaries


2. Dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan
Apabila perjanjian tersebut dibuat setelah terjadinya akad nikah, maka
status hukumnya menjadi tidak jelas lagi. Dibuatnya perjanjian sebelum
perkawinan ialah dengan maksud agar dapat diketahui kejelasan status
dan isi dari perjanjiandapat diterapkan dalam perkawinan saat
mengarungi bahtera rumah tangga.

d.Isi perjanjian perkawinan

Isi perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan calon suami atau istri tersebut bebas,
tergantung pada kepentingan, kesepakatan antara kedua belah pihak.

Adapun antara lain isi perjanjian mencakup :

a.Pemisahan harta kekayaan murni

Intinya kedua belah pihak sepakat untuk memisahkan segala macam harta, utang, dan
penghasilan yang mereka peroleh, baik sebelum maupun sesudah perkawinan. Jika terjadi
perceraian, maka tidak ada pembagian harta gono-gini lagi.

a.Pemisahan harta bawaan

Kedua belah pihak hanya saling menperjanjikan macam harta bawaan saja, yaitu hart, uang,
dan penghasilan yang mereka dapat sebelum perkawinan. Jika terjadi perceraian yang
dibagi hanya harta yang meliputi hartagono-gini.
b.Persatuan harta kekayaan

Memuat mengenai percampuran harta kekayaan yang mencangkup harta gono-gini, harta
bawaan, dan harta perolehan.

Adapun dalam KUHPermencangkup 4 macam :

a. Persatuan harta kekayaan secara bulat


Perjanjian berisi harta bersama (persatuan bulat), asal tidak menyimpang dari
tata susila yang baik dan tata tertib umum.

b. Tidak ada sama sekali persatuan harta kekayaan


Sebagaimana diatur dalam KUHPer pasal 140 ayat 2 dan pasal 145
c. Persatuan hasil dan pendapatan
Persatuan hanya meliputi hasil dan pendapatan saja, tidak termasuk persatuan
untung rugi.
d. Persatuan untung-rugi
Segala untung-rugi dipikul bersama-sama. Jika terjadi perceraian, terdapat
keuntungan harus dibagi dua begitupun dengan kerugian yang diderita harus
dibagi sama rata.

Namun, dalam kebebasan membuat isi perjanjian perkawinan ada batasan-batasan yang
harus diperhatikan oleh kedua pihak. Batasan-batasan tersebut antaralainialah :

1. Tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam KUHPer pasal 1335,


perjanjian yang dibuat tidak boleh karena adanya sebab-sebab palsu atau
terlarang.
2. Tidak boleh melepaskan hak atas peninggalan orang-orang yang sedarah.
(KUHPer pasal 141),
3. Tidak boleh memuat ketentuan yang mengatur bahwa salah satu akan
menanggung utang lebih besar dari bagiannya dalam laba persatuan,
(KUHPer pasal 142)
4. Tidak boleh hanya berupa kata-kata yang menyebutkan bahwa harta
perkawinan mereka diatur oleh undang-undang asing atau adat istiadat
masyarakat setempat, (KUHPer pasal 143)

Tidak boleh menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dalam KUHPer pasal 140
ayat 1.
Tugas Resume
Hukum Harta Perkawinan

Dosen Pengajar : Karti Asmiati SH, MH

Nama : Muh. Nur Ali Mustofa


Fakultas : Hukum
Semester :V

Anda mungkin juga menyukai