Seputar masalah harta gono-gini masih tabu dimata masyarakat karena masyarakat
masih memandang sebelah mata masalah harta gono gini. Pasangan suami istri biasaanya
baru mempersoalkan pembagian harta gono-gini setelah adanya pertengkaran yang
berakhir perceraian dipngadilan. Terkadang hubungan yang dulu baik suami istri tetapi kalau
setelah adanya persengketaan harta gono gini hubunganya menjadi rusak sampai-sampai
bermusuhan.
Dalam bab ini dibahas beberapapperseolan yang menyangkut konsep harta gono-
gini dalam perkawinan. Bab ini merupakan penghantar untuk memahami perspektif hukum
positif dan hukum islam tentang harta gono-gini, kita perlu memahami terlebih dahulu
definisi harta gono-gini dan bagaimana dasar hukumnya menurut peraturan yang berlaku di
Indonesian.
Sebenarnya, istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal dalam
peraturan perundangan-undangan di tanah air, baik dalam UU No 1 Tahun 1974 tantang
perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum
Islam (KHI), adalah harta bersama. Hanya istilah gono gini lebih populer dibandingkan
dengan istilah yang resmi digunakan dalam bahasa hukum konvensional.
Konsep dan istilah “gono-gini” sebenarnya diambil dari tradisi jawa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2001:330) mendefinisikan kata “gana-gini” dalam tradisi jawa istilah
“gana-gini”sebagai “anak yang hanya dua bersaudara, laki-laki dan perempuan (dari satu
ayah satuibu)”. Kemudian dikembangakan sebagai konsep tentang persatuan antara laki-
laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan.
B.Realita Harta Gono-gini
Kita mungkin pernah mendengarkan kisah perkawinan artis kondang Mick Jagger
dengan Jery Hall yang pernah dinobatkan sebagai pasangan paling romantic pada decade
1990-an. Bahkan, perkawinan mereka dilakukan di pulau Dewata (Bali) dengan adat Bali
pula. Namun apa yang terjadi? Perkawinan mereka tidak berujung lama. Mereka akhirnya
bercerai. Tragisnya, setelah bercerai mereka saling memperebutkan harta gono-gini.
Berdasarkan cerita diatas, kita perlu mengatakan bahwa isu harta gono gini
Contoh kasus I
Kasus perceraian artis Dewi Hughes dengan mantan suaminya, Afin, yang pernah
menjadi berita besar di media massa merupakan salah satu contoh kasus yang menarik.
Gugatan cerai Hughes dikabulkan oleh Pengadilan Agama (PA) Jakarta Selatan. PA
menetspkan bahwa pembagian harta gono-gini atau harta bersama yang dikumpulkan
bersama yang dikumpulkan suami istri ketika terikat perkawinan adalah 50:50 aas ketetapan
itu, Hughes naik banding karena menurut harta yang dianggap Afin sebenarnya harta milik
Hughes sendiri. Selain itu, hughes selama perkwinan merasa lebih bekerja keras, sedangkan
Afin hanya bertindak sebagai manajer Hughes beberapa saat menikah. Menurut peraturan
yang berlaku, manajer berhak sepuluh persen (10%) dari honor yang diperoleh klien
(kompas,27 Juni 2005).
Dan, yang jelas proses pembagaian harta gono-gini juga perlu dilakukan dengan cara
yang elegen, dengan kepala dingin, dan tidak perlu dengan cara emosional. Kalangan
perempuan banyak dirugikan dalam hal pembagian gono-gini karana posisi mereka lemah
dalam hubungan perkawian. Untuk itu kita perlu cermati realita ini lebih seksama.
Pada dasarnya tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara
suami dan istri (harta gono-gini). Konsep harta gono-gini pada awaknya berasal dari adat
istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh
Hukum Islam dan Hukum positif yang berlaku di Negara kita. Sehingga, dapat dikatakan ada
kemungkinan telah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri
(alghelegemeenschap van goedreen) dalam perkawianmerelaka.
Dasar hukum tetntang harta gono-gini dapat ditelusuri melalaui Undang-Undang dan
peraturan berikut :
Harta gono-gini mencangkup segala bentuk active dan passive selama masa
perkawinan. Pasangan calon suami istri yang akan menikah diperbolehkan mentukan dalam
perjanjian perkawinan bahwa harta perolehan menentukan dalam perjanjian perkawinan
bahwa harta perolehan dan harta bawaan merupakan harta gono-gini. Hal ini diatuar dalam
KHI Pasal 49 ayat 1 “perjanjian perkawinan harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik
yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang di peroleh masing-masing
selama perkawinan”.
Ikatan perkawinan mengondisikan adanya harta gono-gini antara suami dan istri,
sebagaimana tertuang dalam UU Perkawinan pasal 35 ayat 1. Namun, bukan berarti dalam
perkawinan yang diakui hanya harta gono-gini. Sebab, berdasarkan KHI pasal 85 dinyatakan
bahwa ”Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami atau istri”.
a. Harta Gono-gini
sebagaimana telah dijelaskan, harta gono-gini dalam perkawinan adalah ”Harta benda
yang diperoleh selama masa perkawinan”. Berdasarkan KHI pasal 92 ayat 1, harta gono-gini
bias berupa benda berwujud dan tidak berwujud.
1. Benda berwujud, yakni bennda bergerak, benda tidak bergerak, dan surat-surat
berharga (ayat2).
2. Benda tidak berwujud, yaitu hak dan kewajiban (ayat 3).
Suami istri harus menjaga harta gono-gini dengan penuh amanah, sebagaimana
diatur dalam KHI pasal 89, “Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri,
maupun harta Sendiri” dan pasal 90, “Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama
maupun harta suami yang ada padanya”. Dengan kata laen, harta gono-gini merupakan hak
bersama yang oleh masing-masing pihak boleh dipergunakan asalkan mendapatkan izin dari
pasanganya. Dengan demikan, perlu ditegaskan lagi bahwa harta gono-gini merupakan
harta yang diperoleh secara bersama oleh pasangan suami istri.
b. Harta Bawaan
Harta bawaan adalah “Harta benda milik masing-masing suami dan istri yang
diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan dan hadiah”.
Tentang macam harta ini, UU Perkawinan Pasal 35 ayat 2 mengatur. “Harta bawaan
masing-masing suami dan istri serta dan benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau lain”. Berdasarkan ketentuan ini, suami dan istri berhak memiliki sepenuhnya
harta bawaannya masing-masing, asalkan tidak ditentykan lain dalam perjanjian
perkawinan. Pernyataan yang sama juga diperkuat dalam KHI pasal 87 ayat 1.
Harta bawan bukan termaksud dalam klasifikasi harta gono-gini. Suami istri berhak
mempergunakan harta bawaanya masing-masing dan juga dapat melakukan perbuatan
hukum terhadapnya. Darasnya adalah UU Pekawinan Pasal36 ayat 2, “Mengenai harta
bawaan masing-masing, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya”.
c. Harta Perolehan
harta perolehan adalah “Harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh
masing-masing pasangan (suami istri) setelah terjadinya ikatan perkawinan”. Harta ini
umunya hibah, hadiah, dan sedekah. Harta ini tidak diperoleh melalui usaha bersama
mereka berdua selama terjadinya perkawinan. Bedanya dengan harta bawaan yang
diperoleh sebelum masa perkawinan, harta macam ini diperoleh setelah masa perkawinan.
Seperti halnya bawaan, harta ini juga menjadi milik pribadi masing-masing
pasanagan, baik suami maupun istri, sepanjang tidak ditentukan hal laen dalam perjanjian
perkawinan. Dasarnya adalah KHI pasal 87 ayat 2, “Suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah,
hadiah, atau lainya”. Kesimpulanya, harta gono-gini jelas berbeda dengan harta bawaan dan
harta perolehan. Yang hanya boleh disebut dengan harta gono-gini adalah harta yang
diperoleh secara bersama-sama, baik oleh suami maupun istri, sejak perkawinan mereka
mulai dilangsungkan.
Harta atau barang-barang tertentu yang diperoleh suami / istri dengan Cuma-Cuma
(omniet) karena perwarisan secara testamentair, secara legaat/hadiah, tidak bias dianggap
sebagai harta gono-gini. Hal ini diatur dalam KUHPer pasal 120, “Berkenan dengan soal
keuntungan, maka harta bersamaan itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-
barang tak bergerak suami istri itu, baik yang ada maupun yang aka nada, juga barang-
barang yang mereka perolehan Cuma-Cuma, kecuali jika dalam hal terakhir ini yang
mewariskan atau yng menentukan kebaliknya dengan tegas”.
Contoh kasus
Apabila dua orang (A dan B) bersama-sama membeli sebidang tanah, tanah tersebut
menjadi
Persatuan harta kenyataan dalam sebuah perkawinan (harta gono-gini) dibatasi oleh
sejumlah sebab atau faktor yang melatarbelakanginya. Ketentuan bubarnya harta gono-gini
diatur dalam KUHPer pasal 126, Harta gono-gini bubar hukum.
a. Karena kematian
b. Karena perkawinan atas izin hakim setelah suami atau istri tidak ada
c. Karena perceraian
d. Karena pisah meja dan ranjang
e. Kareana pemisahan harta
a. Oleh kematian
b. Oleh tidak hadirnya si suami atau si istri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh
perkawinan baru istrinya atau suaminya, sesuatu dengan ketentuan-ketentuan
bagian 5 bab XVIII
c. Oleh keputusan hakim setelah pisah meja atau ranjang dan pendaftaran persyaratan
pemutusan perkawinan itu dalam daftar-daftar catatan sipil, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan bagian 2 bab ini.
d. Oleh perceraian, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian 3 bab ni.
Tentang sebab ini, KUHPer pasal 186 mengatur bahwa istri berhak mengajukan
tuntutan kepada hakim akan pemisahan harta kekayaan, tetapi dengan alas an-alasan
sebagai berikut.
Untuk sebab poin e di atas, ada ketentuan yang menyebutkan bahwa pemisahan
harta kekayaan atas dasar pemufakatan sendiri “dilarang”. KUHPer pasal 187 juga menatur
bahwa atas pemisahan harta kekayaan harus diumumkan secara terang-terangan. Para
pihak yang berpiutang kepada si suami berhak mencampurkan diri dalam perkara, untuk
menentang tuntutan pemisahan itu (pasal 188 KUHPer).
Untuk itu, berdasarkan KUHPer pasal 127, istri atau suami yang terlama harus
membuat daftar bsrang-barang dalam waktu tiga bulan setelah meninggalnya suami/istri,
“setelah salah seorang dari suami/istri meninggal, maka jika ditinggalkan anak yang masih
dibawa umur, pihak yang hidup terlama wajib untuk mengadakan pendaftaran harta bulan.
Pendaftaran harta bersama itu boleh dilakukan di bawah tangan, tetapi harus di hadiri oleh
wali pengawas. Jika harta bersama itu tidak diadakan, gabungan harta bersama
berlangsung terus untuk keuntungan si anak yang masih di bawah umur, dan sekali-kali
tidak boleh merungikannya”. Bubarnya harta gono-gini memiliki konsenkuensi terhadap
pembangian harta tersebut secara adil. KUHPer pasal 128 ayat 1, “setelah bubarnya harta
bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para
ahli waris barang itu”.
Berdasarkan ketentuan ini, harta gono-gini dapat dibagi dengan memperhatikan dari
mana asal barang-barang itu. Yang pasti, masing-masing pihak mendapatkan 50% dari harta
gono-gini. Sementara itu utang-utang yang merupakan dari kebersamaan harta kekayaan
dipikul secara bersama dengan jumlah 50%. Pada ayat 2 pasal yang sama disebutkan bahwa,
“ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Bab XVII buku kedua, mengenai pemisahan
harta peninggalan, berlaku pembagian harta bersama menurut undang-undang”.
Ketentuan umum dibagian ini merupakan pengembangan dari dasar hukum positif
tentang harta gono-gini, yaitu bagaimana memperlakukan harta gono-gini sebelum harta ini
dibagi.ketentuan umum ini mencakup pengaturan hukum bagi suami istri yang masih
memiliki hubungan perkawinan terhadap harta gono-gini mereka.
Menurut KUHPer, suami sendirilah yang berhak mengurus harta gono-gini, termasuk
berwenang melakukan berbagai perbuatan terhadap harta tersebut.dasar dari ketentuan ini
adalah karena suami adalah kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas semua
kebutuhan yang mencakup kebutuhan rumah tangga termasuk mengurus harta gono-gini
tersebut.
Ketentuan tersebut diatur dalam KUHPer pasal 124 ayat 1, “hanya suami saja yang
boleh mengurus harta bersama itu, dia boleh menjualnya, memindah-tangankanya dan
membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam pasal 140”,
akan tetapi suami tidak boleh mengurus harta bersama tersebut tanpa persetujuan sang
istri sebagaimana dimaksud dalam pasal 140 ayat pasal 2 dan 3.
Kekuasaan suami dalam mengurus harta gono-gini dibatasi oleh undang-undang, hal
ini diatur dalam pasal 124 ayat 3, “Dia tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah
antara mereka yang sama-sama masih hidup, baik barang tak bergerak maupun
keseluruhanya atau suatu bagian atau jumlah tertentu dari barang-barang bergerak,jika
bukan pada anak-anak yang lahir dari perkawinan untuk memberi suatu kedudukan”.
Artinya suami tidak boleh menghibahkan (schenking) terhadap (1) harta tidak bergerak dari
harta bersama,dan (2) benda-benda bergerak dari kebersamaan harta seluruhnya maupun
untuk bagian tertentu.
Dalam perjanjian perkawinan dapat ditentukan suami tanpa bantuan istri tidak dapat
memindahtangankan atau membebani (1)benda-benda bergerak, dan (2) surat pendaftaran
dalam buku besar perutangan umum, surat-surat berharga lain, piutang-piutang atas nama
( benda-benda bergerak atas nama ).
Istri juga mempunyai hak untuk melepaskan bagiannya dalam kebersamaan harta kekayaan
perkawinan.
1. Istri tidak berhak lagi atas bagiannya dari aktiva harta bersama, kecuali hak
atas pakaian, selimut, sprei. Sesuai KUHPer pasal 132 ayat 1.
2. Istri dibatasi kewajibannya dalam hal membayar hutang harta bersama. Batas
waktu pelepasan yang ditentukan ialah sebulan setelah terjadinya pembubaran
atas kebersamaan harta.
Ada 2 macam hak dalam harta bersama, yaitu : hak milik dan hak guna. Suami-istri
sama-sama berhak atas harta bersama dan penggunaannya dengan syarat harus mendapat
persetujuan dari salah 1 pihak jika salah 1 pihak hendak menggunakannya.
ketentuan hukum terhadap perkawinan poligami KUHPer pasal 180 mengatur bahwa
“juga dalam perkawinan kedua dan berikutnya, menurut hukum ada harta benda menyuluruh
antara suami istri jika perjanjian kawin tidak diadakan lain”. Artinya ketentuan tentang harta
gono gini juga berlaku untuk perkawinan poligami, asalkan tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan yang dibuat pasangan suami istri tersebut.serta dalam UU Perkawinan
th. 1974 pasal 65 ayat 1, dengan isi :
1. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama bagi semua istri dan anaknya
2. Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang
telah ada sebelum perkawinan istri kedua atau berikutnya itu terjadi
3. Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta gono-gini yang terjadi sejak
perkawinan masing-masing
Pada umumnya harta tersebut dibagi dua sama rata antara suami dan istri. Seperti diatur
dalam pasal 128 KUHPer yang menyatakan “setelah bubarnya persatuan maka harta benda
kesatuan dibagi dua antara suami istri atau antara para ahli waris mereka masing-masing,
dengan memperdulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya”.akan
tetapi Harta yang dibagi hanya sebatas harta yang diperoleh selama perkawinan bukan
termasuk harta bawaan atau harta perolehan yang berupa warisan, hibah, maupun hadiah
terhadap masing-masing. Apabila terjadi perselisihan maka perselisihan tersebut diselesaikan
di muka pengadilan sebagaimana diatur dalam KHI pasal 88.Pembagian harta bersama hanya
dapat dilakukan ketika telah terjadi gugatan perceraian. Ketentuan tentang penbagian harta
bersama didasarkan pada kondisi yang menyertai hubungan suatu perkawinan seperti yang
akan dijelaskan :
a.Cerai Mati
Cerai mati biasnya dipahami sebagai bentuk perpisahan hubungan suami istri karena
meninggalnya suami/istri. Pembagian harta dalam cerai mati ini adalah 50:50, ketentuan i ni
diatur dalam KHI pasal 96 ayat 1 “apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Akan tetapi status kematian harus jelas
terlebih dahulu agar pembagian harta ini menjadi jelas, apabila hanya hilang pembagian ini
harus ditangguhkan terlebih dahulu sampai adanya ketentuan tentang kematian dirinya secara
hukum melalui PA , ketentuan ini diatur dalam KHI pasa 96 ayat 2.
b.Cerai Hidup
Putusnya hubungan perkawinan antara suami istri karena perceraian diantara mereka.
Sedangkan untuk pembagian harta ditentukan berdasarkan ketentuan hukum masing-masing.
Maksudnya ialah mencangkup hukum agama, hukum adat, dan sebagainya. Pembagian harta
bersama dalam umat islam diselesaikan berdasarkan KHI pasal 97, yang mengatur bahwa
janda atau duda cerai hidup berhak memperoleh seperdua dari harta bersama sepanjang
belum ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Sedangkan bbagi non-muslim ditentukan berdasarkan KUHPer pasal 128 yang menyatakan
bahwa setelah terjadinya perceraian, harta bersama dibagi dua antara suami dan istri dengan
tidak memperdulikan darimana harta tersebut berasal.
c.Perkawinan Poligami
Pembagian harta dalam hal ini pada dasarnya sama dengan istri sebelumnya akan
tetapi bagian harta istri selanjutnya hanya sebatas harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung denganya bukan harta yang diperoleh dengan istri pertam/sebelumnya. Selama
tidak ada kesepakatan dalam perjanjian perkawinan tersebut.
Pembagian harta ini harus didasrkan pada aspek keadilan untuk semua pihak yang
terkait, keadilan tersebut mencakup pada pengertian bahwa pembagian tidak
mendiskriminasikan salah satu pihak. Kepentingan masing-masing harus diakomodasi aslkan
sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Dalam bab ini akan dibahas pandangan islam mengenai harta gono-gini ini.Ada yang
memandang bahwa harta gono-gini tersebut diperbolehkan dan ada juga yang memandang
sebaliknya. Konsep harta gono-gini ini tidak ada pada masa fiqhislam klasik, karena wilayah
ini belum tersentuh, dalam kajian fiqh dulu terdapat 2 bahasan, yakni mengenai masalah
pengaturan nafkah dan hukum waris. Pembahasan mengenai harta bersama ini muncul pada
masa modern.
A.Pandangan Umum
a.Pandangan Umum
Secara umum islam tidak memandang adanya harta gono gini. Hukum islam pada umumnya
memandang adanya keterpisahan harta antara harta suami maupun istri.
Hasil istri ialah milik istri sedangkan hasil suami ialah milik suami. Harta gono-gini
bersal dari warisan orang jawa. Konsep islam tersebut bertujuan agar tidak terjadi
perselisihan apabila diakhir terjadi perebutan setelah adanya perceraian.
b.Pemetaan Pandangan
1. Kelompok ysng memandang tidak adanya harta gono-gini dalam lembaga islam
kecuali dengan konsep syirkah.
Kelompok ini tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami dan
istri. Syirkah itu sendiri memiliki arti kongsi, kerjasama, atau persekutuan.
2. Kelompok yang memandang adanya harta gono-gini dalam islam Kelompok ini
disamping mengakui ketentuan dalam UU Perkawinan juga memandang bahwa
ketentuan tersebut sesuai dengan aspirasi hukum islam. Harta yang dimaksud
ialah harta yang diperoleh selama perkawinan. Sesungguhnya harta bersama
atau gono-gini dapat ditelusuri dalam hukum Islam maupun berdasarkan
kehendak atau aspirasi hukum Islam itu sendiri. Artinya ialah argumentasi
tentang harta gono-gini tidak dikenal dalamIslam dapat dimentahkan. Karena hal
tersebut dapat diperoleh dari ijtihad yang sungguh-sungguh.
Batasannya ialah, harta-harta yang telah diperoleh oleh Istri sebelum masa perkawinan
merupakan harta milik istri. Misalnya ialah, warisan, hadiah, hibah, pemberian orang tua,
dan mahar yang diberikan oleh suami saat menikah. Dan juga yang merupakan harta
bawaan dan harta perolehan. Jika dalam pencampuran harta kekayaan bersama, istri juga
membantu perekonomian keluarga dengan ikut bekerja, maka untuk pembagian harta
kekayaan melihat pada besar kecilnya saham yang dihasilkan oleh masing-masing.
Dalam Islam, selain berhak atas hartanya sendiri Istri juga berhak atas harta gono-gini,
sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 32, “Bagi para laki-laki terdapat bagian
dari yang mereka usahakan dan para perempuan terdapat juga bagian dari apa yang mereka
usahakan.”
Artinya baik suami atau istri berhak mendapatkan harta gono-gini dari masa perkawinan
mereka. Masalah pembagian harta bersama ini sangat sensitive, perlunyasikap keterbukaan
dari masing-masing pasangan akan membuat permasalahan yang dihadapi sedikit ringan.
Mengingat konsep harta gono-gini tidak terdapat dalam rujukan Al-quran dan Hadist,
kita dapat melakukan qiyas (perbandingan) dengan konsep fiqh yang sudah ada mengenai
syirkah. Kaitan antara harta gono-gini dengan syirkah dapat dipahami sebagai “harta yang
diperoleh baik sendiri-sendiri maupun bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama.
b.Pengertian Syirkah
Syirkah secara etimologys berarti suatu bentuk percampuran 1 atau lebih sehingga
tidak dapat dibedakan lagi antara yang 1 dengan yang lain. Dalam penertiansyara’,
syirkahadalah suatu akadantara 2 pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan suatu
usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan bersama.
c.Macam-Macam Syirkah
Ada banyak pendapat ulama tentang macam-macam syirkah. Ini akan dibahas melalui sudut
pandang masing-masing emapt ulama fikih klasik, yaitu imam hanafi, imam maliki, imam
syfi’i, dan imam hambali (sumber dari isma’il muhammad syah, 1965: 21-35 ),syirkah
menurut ulama hanafiah ada 2 macam yaitu :
1. Syirkahinan
Yaitu suatu bentuk perkongsian antara 2 orang atau lebih yang masing-
masing anggotanya memberikan modal dan melakukan kegiatan usaha
secara bersama-sama.
2. Syirkahabdan
Yaitu suatu bentuk perkongsian yang masing-masing anggotanya hanya
melakukan kegiatan usaha, tetapi tidak memberikan modal.
3. Syirkahmudharabah
Yaitu suatu benntuk perkongsian dengan ketentuan bahwa salah 1pihak
melakukan kegiatan usaha, tetapi pihak yang lain memeberikan modal.
4. Syirkahmufawadhah
Yaitu suatu bentuk perkongsian dengan 2 pihak anggota (missal A dan B)
yang melakukan kegiatan usaha, sedangkan pihak lainnya (pihak C)
memberikan modal.
5. Syirkahwujuh
Yaitu bentuk perkongsian yang menggabungkan semua macam syirkahdiatas.
PERJANJIAN PERKAWINAN
Jika suatu perkawinan tidak disertai dengan perjanjian perkawinan itu sah-sah saja. Karena
pada dasarnya perjanjian perkawinan tidak diwajibkan.
Secara umum, perjanjian perkawinan berisikan tentang pengaturan harta kekayaan suami
istri. SoetojoPrawirohamidjojo dan MarthalenaPohan (2000: 74) menjelaskan bahwa
pembuatan perjanjian perkawinan adalah untuk mengatur akibat-akibat perkawinan
menyangkut harta kekayaan.
Isi perjanjian perkawinan itu sendiri bermacam-macam, tergantung pada kepentingan calon
suami dan calon istriterhadap masa depan rumah tangga mereka, asalkan tidak menyalahi
kaidah hukum, agama, dan kesusilaan. Hakikatnya perkawinan itu sendiri merupakan suatu
bentuk perjanjian, karena ketika pasangan pengantin akan menikah mereka diikat dengan
perjanjian suci tersebut.
a. Dasar hukum
Terdapat dalam :
Dalam UU Perkawinan, pasal 29 ayat 1
Dalam PP No. 9 th. 1975 (Pelaksanaan UU No. 1 th 1974), pasal 12 huruf h
KUHPer pasal 139
KHI pasal 47 ayat 1
Dalam UU Perkawinan pasal 29 ayat 3 mengatur bahwa, “ Perjanjian tersebut mulai berlaku
sejak perkawinan berlangsung”.
Begitu pula dalam KUHPer pasal 147 ayat 2 bahwa, “perjanjian mulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan”.
Dalam KHI pasal 50 ayat 1, “perjanjian perkawinan mengenai harta , mengikat kepada para
pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkannya perkawinan dihadapan
Pegawai Pencatat Nikah”.
Isi perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan calon suami atau istri tersebut bebas,
tergantung pada kepentingan, kesepakatan antara kedua belah pihak.
Intinya kedua belah pihak sepakat untuk memisahkan segala macam harta, utang, dan
penghasilan yang mereka peroleh, baik sebelum maupun sesudah perkawinan. Jika terjadi
perceraian, maka tidak ada pembagian harta gono-gini lagi.
Kedua belah pihak hanya saling menperjanjikan macam harta bawaan saja, yaitu hart, uang,
dan penghasilan yang mereka dapat sebelum perkawinan. Jika terjadi perceraian yang
dibagi hanya harta yang meliputi hartagono-gini.
b.Persatuan harta kekayaan
Memuat mengenai percampuran harta kekayaan yang mencangkup harta gono-gini, harta
bawaan, dan harta perolehan.
Namun, dalam kebebasan membuat isi perjanjian perkawinan ada batasan-batasan yang
harus diperhatikan oleh kedua pihak. Batasan-batasan tersebut antaralainialah :
Tidak boleh menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dalam KUHPer pasal 140
ayat 1.
Tugas Resume
Hukum Harta Perkawinan