Anda di halaman 1dari 8

KAJIAN TENTANG PENUNDAAN EKSEKUSI MATI BERDASARKAN

INSTRUMEN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

Oleh:
Dhani Kristanto Utomo, Siti Muslimah, Handoyo Leksono
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
e-mail: dhanikristantoutomo@gmail.com, she_teauns@yahoo.co.id, handoyoleksono@staff.
uns.ac.id

Abstract
This research purposed to get a legal argumentation related of the prolonged delays in the execution
according to instruments of international human rights law. The question will be answered based
on the norms and principles of international human right slaw. The sources of this research are
internationalconventions, doctrine, customaryinternationallaw, publications, andnationallaw in Indonesia.
The legal sources collected by library research. The result show that the prolonged delays in the execution
may violate Article 14 paragraph (3)c and Article 7 of the Covenant on Civil and Political Rights. There
are so many countries, included Indonesia, have violated those articles.
Keywords: prolonged delays in the execution, International human rights law.

A. Pendahuluan 12 Februari 2017). PBB telah membuat berbagai


aturan, prinsip dan norma yang berkaitan dengan
Penerapan hukuman mati telah ada
perlindungan terhadap terpidana mati di negara-
sejak lama. Beberapa dari para pemikir abad
negara yang masih menerapkan hukuman mati.
pertengahan, seperti Thomas Hobbes dan John
Adanya Hak atas Peradilan yang Adil (fairtrial)
Locke, mengakui bahwa penerapan hukuman
dan perlindungan yang menjamin hak-hak tertentu
mati adalah sah secara hukum (Schabas, 2002:4).
terpidana mati, mulai dari tahap penyidikan hingga
Salah satu dari para pemikir yang pertama kali
tahap pelaksanaan putusan selesai, merupakan
menentang penerapan hukuman mati ialah
contoh perlindungan terhadap terpidana mati
CesareBeccaria, seorang kriminolog dari Italia.
(Schabas, 2002: 101).
Ia menyatakan bahwa hukuman mati harus
dihapuskan karena tidak berperikemanusiaan Limapuluh delapan negara yang masih
dan tidak efektif. menerapkan pidana mati mendapatkan beberapa
masalah baru. Salah satu masalah tersebut
Gerakan untuk mempertahankan hukuman
ialah adanya penundaan eksekusi mati. Hal ini
mati dan menghapus hukuman mati terus-
mengakibatkan terpidana mati harus menunggu
menerus mengalami pasang surut dalam setiap
pelaksanaan putusan dalam waktu yang tidak
perkembangan jaman. Pada abad ke-20,
semestinya. Beberapa ahli menyatakan, terdapat
penerapan hukuman mati kembali terjadi secara
penyiksaan fisik dan mental ketika terpidana mati
besar-besaran hingga Perang Dunia II usai.
berada dalam waktu yang lama (Effendy, 1991:68).
Setelah Perang Dunia II, muncul konsensus baru
Terpidana mati juga harus menerima hukuman
antarnegara yang diprakarsai oleh United Nations
ganda (double punishment) dengan menunggu
atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Salah
waktu pelaksanaan putusan dan menjalani pidana
satu isunya terkait dengan penghapusan hukuman
penjara.
mati. Konsensus-konsensus tersebut menjadi
doktrin yang kini dikenal sebagai hukum hak asasi Isu terkait penundaan eksekusi mati ini
manusia internasional modern (kontemporer). kemudian berkembang hingga menjadi bahan
penelitian dan perbincangan dalam dimensi
Hingga saat ini, terdapat 140 negara telah
internasional. Penundaan eksekusi mati juga
menghapus hukuman mati (abolitionist countries)
mendapat tempat dalam dimensi nasional. Sampai
secara hukum ataupun praktik dan 58 negara
saat ini, terdapat lebih kurang 115 terpidana mati
masih menerapkan pidana mati (retentionist
yang sedang menunggu pelaksanaan hukuman
c o u n t r i e s ) ( h t t p s : / / w w w. a m n e s t y. o r g / e n /
mati oleh Jaksa Agung di Indonesia. Sebagian
documents/act50/3831/2016/en/, diakses tanggal

32 Belli ac Pacis. Vol. 2. No. 2 Desember 2016


Dhani Kristanto Utomo, Siti Muslimah, Handoyo Leksono: Kajian tentang Penundaan Eksekusi Mati...

besar terpidana mati telah menunggu lebih dari interpretasi dan analisis isi atas instrumen-
10 tahun dalam menunggu pelaksanaan eksekusi instrumen, prinsip-prinsip serta norma-norma
tersebut (Napitupulu, dkk., 2015: 9). hukum hak asasi manusia internasional.
Berkaitan dengan instrumen hukum hak
asasi manusia internasional, penundaan eksekusi C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
mati bersinggungan langsung dengan Universal
Declarationof Human Rights atau Deklarasi 1. Penundaan eksekusi mati menurut
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun instrumen hukum hak asasi manusia
1948, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak internasional
Sipil dan Politik (KIHSP) tahun 1966, serta Pada awalnya, penerapan hukuman
Convention Against Torture and other Cruel, mati bertujuan agar masyarakat di suatu
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment negara takut melakukan tindakan-tindakan
atau Konvensi Menentang Penyiksaan dan yang mengakibatkan dirinya dapat dihukum
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, mati (Prakoso, 1987: 25-28). Namun dari
Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat tujuan tersebut, terdapat masalah yang
tahun 1984. Konvensi Menentang Penyiksaan belum banyak disadari berkaitan dengan
menjadi salah satu instrumen hukum yang kondisi maupun hak-hak terbatas yang
digunakan mengingat beberapa ahli yang tetap diperoleh oleh para terpidana mati.
memandang bahwa terdapat unsur penyiksaan Penundaan eksekusi mati akan selalu ada
pada terpidana mati yang mengalami penundaan ketika suatu negara masih menerapkan
eksekusi mati. Peneliti juga akan mengindentifikasi hukuman mati sebagai salah satu bentuk
dan membahas masalah yang berkaitan dengan hukumannya. Meski belum ada definisi tetap
penundaan eksekusi mati yang dialami oleh mengenai konsep penundaan eksekusi
negara yang masih menerapkan hukuman mati. mati, namun telah banyak penelitian terkait
Peneliti mengambil negara Indonesia sebagai isu ini. Sebagian besar dari para peneliti
contoh dan bahan penelitian, karena Indonesia tersebut mengawali penelitiannya tentang
masih menerapkan hukuman mati dan telah perkembangan dan pembahasan terkait
meratifikasi cukup banyak perjanjian internasional. penundaan eksekusi mati melalui kasus
Soering v. United Kingdom oleh European
Court of Human Rights (Pengadilan Hak
B. Metode Penelitian Asasi Manusia Eropa) pada tahun 1989.
Jenis penelitian hukum ini termasuk penelitian Kasus ini menjadi bersejarah karena konsep
hukum normatif. Bahan-bahan hukum yang mengenai penundaan eksekusi mati masuk
digunakan adalah bahan hukum primer dan dalam gugatan dan diperhitungkan oleh
sekunder. Bahan hukum primer meliputi instrumen pengadilan yang mengadili pelanggaran-
hukum internasional. Sedangkan, bahan hukum pelanggaran terhadap hak asasi manusia
sekunder meliputi publikasi tentang penundaan tersebut. Kasus ini kemudian juga dianggap
eksekusi mati. Pengumpulan bahan hukum penting karena menjadi landasan baru bagi
dilakukan dengan studi kepustakaan. banyak pengadilan nasional, regional dan
Penelitian hukum normatif merupakan internasional dalam menyelesaikan kasus-
penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji kasus yang berkaitan dengan penundaan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau eksekusi mati.
diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum Dalam dimensi internasional, negara-
tertentu (Soerjono dan Abdurahman, 2003: 56). negara memiliki Perserikatan Bangsa-
Berdasarkan bahan hukum yang diperoleh dari Bangsa (PBB) untuk menyelesaikan
studi kepustakaan, dilakukan indentifikasi dan kasus-kasus internasional, secara khusus
klasifikasi sesuai dengan kebutuhan. Penelitian terkait penundaan eksekusi mati. PBB
ini bertujuan untuk menemukan instrumen tentu membutuhkan instrumen hukum
hukum hak asasi manusia internasional yang hak asasi manusia internasional sebagai
berkaitan dengan penundaan eksekusi mati landasan hukumnya. Hukum hak asasi
serta memberikan argumentasi terkait hal-hal manusia internasional yang utama terdiri
apa saja yang menyebabkan suatu negara dari perjanjian-perjanjian (treaties) dan
melakukan penundaan eksekusi mati dan kebiasaan-kebiasaan (customs), deklarasi
melanggar instrumen hukum yang berkaitan. (declarations), pedoman (guidelines) dan
Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka prinsip-prinsip (principles) (Office of the High
bahan hukum dianalisis dengan menggunakan Commissioner for Human Rights dan United

Belli ac Pacis. Vol. 2. No. 2 Desember 2016 33


Nations Staff College Project, 2000: 3-4). belum memiliki aturan terkait rentang waktu
Untuk mengetahui instrumen hukum hak asasi yang harus ditempuh oleh terpidana mati
manusia internasional yang bersinggungan dalam proses peradilan. Kedua, penundaan
langsung dengan penundaan eksekusi mati, eksekusi mati tersebut dapat terjadi meski
perlu melihat pada instrumen yang berkaitan suatu negara telah memiliki aturan terkait
dengan hukuman mati terlebih dahulu. rentang waktu. Keadaan tersebut biasa terjadi
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak ketika aturan yang sudah ada tidak jelas dan
Sipil dan Politik (KIHSP) mengandung hak- spesifik, sehingga terdapat celah hukum yang
hak demokratis yang esensial dan memiliki kerap merugikan terpidana mati.
sifat agar seluruh hak yang tercantum Dalam rejim hak asasi manusia
di dalamnya dapat segera diwujudkan internasional, negara-negara yang telah
(Smith, dkk., 2008: 92-93). Berkaitan dengan mengikatkan diri dengan perjanjian
hukuman mati, KIHSP memberi suatu internasional (treaty) telah menginternasionali-
pengendalian prosedural (procedural control) sasi individu sebagai subjek hukum dalam
yang termaktub dalam Pasal 6 Ayat (2) hukum internasional. Negara merupakan
KIHSP: pemangku kewajiban (duty bearer), sedangkan
Di negara-negara yang belum individu adalah pemangku hak (claim holders)
menghapuskan hukuman mati, putusan (Smith, dkk., 2008: 94). Para terpidana mati
hukuman mati hanya dapat dijatuhkan yang mendapat penundaan eksekusi mati
terhadap beberapa kejahatan yang oleh negara yang telah mengikatkan diri
paling serius sesuai dengan hukum yang pada perjanjian internasional, khususnya
berlaku pada saat dilakukannya kejahatan KIHSP, perlu menjadi sorotan. Hal ini guna
tersebut, dan tidak bertentangan dengan melihat bagaimana fungsi negara sebagai
ketentuan Kovenan dan Konvensi pemangku kewajiban dan terpidana mati
tentang Pencegahan dan Penghukuman sebagai pemangku hak-hak yang telah diatur
Kejahatan Genosida. Hukuman ini dalam KIHSP.
hanya dapat dilaksanakan atas dasar PBB mengeluarkan sebuah panduan
keputusan akhir yang dijatuhkan oleh berjudul Safeguards Guaranteeing Protection
suatu pengadilan yang berwenang. of the Rights of Those Facing the Death
Pasal tersebut menyatakan bahwa Penalty (Perlindungan bagi Mereka yang
hukuman mati hanya dapat dilaksanakan Menghadapi Pidana Mati) melaui Resolusi
atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan Dewan Ekonomi Sosial (Economic and Social
oleh suatu pengadilan yang berwenang (final Council) PBB 1984/50 pada tnggal 25 Mei
judgment rendered by a competent court). 1984. Panduan ini berisi standar minimum
Pengadilan yang berwenang harus memenuhi pembatasan praktik pidana mati. Paragraf
syarat-syarat internasional yang biasa ke-5 Jaminan ini menyatakan:
disebut dengan perlindungan prosedural pidana mati hanya bisa dijatuhkan sesuai
(procedural safeguards). Syarat-syarat dengan keputusan hukum yang final lewat
internasional berkaitan dengan pengadilan sebuah pengadilan yang berwenang
yang berwenang terdapat dalam Pasal yang menjamin seluruh prinsip peradilan
14 KIHSP (Schabas, 2002: 101). Dalam yang adil, paling tidak sesuai dengan
banyak peristiwa, beberapa negara yang Pasal 14 Kovenan Internasional Hak Sipil
masih menerapkan hukuman mati kerap lalai dan Politik, termasuk pada setiap kasus
atau justru dengan sengaja tidak memberi yang diancam pidana mati, seorang
perlindungan prosedural bagi para terpidana terdakwa harus disediakan pembelaan
mati. Padahal, ketika hak-hak terpidana mati hukum yang memadai.
dibatasi, mereka harus mendapatkan jaminan Sebelumnya telah dinyatakan bahwa
perlindungan prosedural guna menjaga Pasal 14 KIHSP menyatakan syarat-syarat
terpidana mati tetap mendapat hak-hak. internasional berkaitan dengan pengadilan
Penundaan eksekusi mati menjadi salah satu yang berwenang (competentcourt). Secara
masalah yang lahir dari adanya kelalaian khusus, Pasal 14 ayat (3) KIHSP berisi hal-hal
maupun kesengajaan terhadap pemenuhan yang berkaitan dengan “jaminan prosedural
perlindungan prosedural. yang tersedia bagi orang yang didakwa
Berdasarkan kasus-kasus terdahulu, melakukan tindak pidana” (procedural
penundaan eksekusi mati dapat terjadi karena guarantees available to persons charged with
dua hal. Hal pertama ialah ketika suatu negara criminal offence). Peneliti kemudian mencari

34 Belli ac Pacis. Vol. 2. No. 2 Desember 2016


Dhani Kristanto Utomo, Siti Muslimah, Handoyo Leksono: Kajian tentang Penundaan Eksekusi Mati...

aturan yang lebih spesifik dalam Pasal 14 hukuman (mati) berhak atas peninjauan
ayat (3) KIHSP untuk menemukan aturan kembali (banding) terhadap putusannya
yang berkaitan dengan penundaan eksekusi atau hukumannya oleh pengadilan yang
mati. Pasal 14 ayat (3c) KIHSP menyatakan lebih tinggi, tanpa penundaan yang tidak
bahwa “dalam menentukan tindak pidana semestinya. Penundaan eksekusi mati
yang dituduhkan padanya, setiap orang dalam tahap ini melanggar Pasal 14 ayat
berhak atas jaminan… dalam persamaan (3c) KIHSP. Secara keseluruhan maupun
yang penuh untuk diadili tanpa penundaan sebagian, peningkatan dalam satu hak akan
yang tidak semestinya”. mempermudah peningkatan hak lainnya
Perserikatan Bangsa-Bangsa (Nurkhoiron, 2013: 39-41). Prinsip saling
(PBB) memiliki badan dan mekanisme bergantung dan berkaitan (interdependence
pemantauan hak asasi manusia. Sistem and interrelation) merupakan salah satu dari
pemantauan tersebut terbagi ke dalam dua prinsip-prinsip pokok hak asasi manusia yang
mekanisme, yaitu Mekanisme berdasarkan terdapat dalam pembahasan ini.
piagam (Charter-based mechanism) dan Kemudian berkaitan dengan tahap
Mekanisme berdasarkan perjanjian (Treaty- kedua, ketika penundaan eksekusi mati
based mechanism). Ada sepuluh badan terjadi sewaktu terpidana mati telah
perjanjian hak asasi manusia yang memantau memperoleh putusan hukuman mati yang
pelaksanaan perjanjian hak asasi manusia telah berkekuatan hukum tetap. Peneliti
internasional inti (http://www.ohchr.org/EN/ mencoba melihat lebih dalam terkait Pasal
HRBodies/Pages/HumanRightsBodies. 14 ayat (3c) KIHSP. Berdasarkan Paragraf
aspx, diakses 29 Januari 2017). Melihat isu ke-10 Komentar Umum (General Comment)
penundaan eksekusi mati berkaitan dengan dari Komite Hak Asasi Manusia:
Pasal 14 ayat (3c) KIHSP, penelitian ini Sub-ayat (3c) menentukan bahwa
menggunakan mekanisme berdasarkan terdakwa harus diadili tanpa penundaan
perjanjian dan menganalisis komunikasi/ yang tidak semestinya. Jaminan ini
pandangan dari Human Rights Committee tidak hanya berkaitan dengan waktu
(CCPR) atau Komite Hak Asasi Manusia. pelaksanaan pengadilan, tetapi juga
Berdasarkan pembagian waktunya, dengan waktu di mana pengadilan
penundaan eksekusi mati dapat terjadi harus berakhir dan putusan dihasilkan;
pada 2 (dua) tahap dalam proses peradilan semua tahap harus dilakukan “tanpa
pidana. Pertama, ketika terpidana telah penundaan yang tidak semestinya”.
memperoleh putusan hukuman mati dan Untuk membuat hak ini menjadi efektif,
kemudian mengajukan upaya hukum maka harus tersedia suatu prosedur
ataupun permohonan pengampunan. Kedua, guna menjamin bahwa pengadilan dapat
penundaan eksekusi mati dapat terjadi berlangsung “tanpa penundaan yang
ketika terpidana mati telah menjalani proses tidak semestinya”, baik di tahap pertama
peradilan dan memperoleh putusan hukuman maupun pada saat banding.
mati yang telah berkekuatan hukum tetap. Terdapat kalimat dari Komentar di atas
Berkaitan dengan Tahap pertama, yang menyatakan bahwa “semua tahap
Komite Hak Asasi Manusia menyampaikan harus dilakukan tanpa penundaan yang tidak
pandangannya bahwa, “article 14, paragraph semestinya”. Jika melakukan interpretasi
(3c), and article 14, paragraph (5), are to berkaitan dengan kalimat ini, frasa “semua
be read together, so that the right to review tahap” dapat diartikan sebagai “semua tahap
of conviction and sentence must be made dalam proses peradilan pidana”. Proses
available without unduedelay” (Earl Prattand peradilan pidana terdiri dari 3 (tiga) tahap,
Ivan Morgan v. Jamaica [Nos. 210/1986 yaitu Tahap sebelum persidangan (pre-
and 225/1987], Paragraph 13.3 UN Doc. trialstage), tahap persidangan (trialstage) dan
A/44/40 222 [1989]). Pasal 14 ayat (5) tahap sesudah persidangan (post-trialstage).
KIHSP menyebutkan, “Setiap orang yang Adapun tahap sesudah persidangan biasanya
dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan mencakup pelaksanaan putusan. Dalam hal
kembali (banding) terhadap keputusannya terdapat penundaan dalam pelaksanaan
atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih putusan eksekusi mati, ada dugaan pelang-
tinggi, sesuai dengan hukum”. Jika Pasal 14 garan hak dalam Pasal 14 ayat (3c) KIHSP.
ayat (3c) dan Pasal 14 ayat (5) harus dibaca Peneliti menyatakan hal di atas baru
bersamaan, maka setiap orang yang dijatuhi sebagai dugaan karena tidak semua kasus

Belli ac Pacis. Vol. 2. No. 2 Desember 2016 35


yang berkaitan dengan putusan hukuman a. Perbuatan mengakibatkan kesengsaraan
mati yang telah berkekuatan hukum tetap secara fisik ataupun mental
dapat dilakukan eksekusi secepat mungkin b. Adanya “restu” atau sikap diam dari
begitu saja. Hal ini tidak sejalan dengan pejabat yang berwenang
semangat PBB yang memiliki tujuan untuk c. Penderitaan merupakan akibat dari
mengurangi penerapan hukuman mati. perbuatan yang disengaja
Penyelesaian yang tepat dari keadaan ini
Peneliti kemudian berusaha membagi
ialah dengan memberi aturan yang jelas
tingkat kesengsaraan fisik ataupun mental
terkait batas waktu.
pada terpidana mati yang mengalami
Terdapat diskursus yang berkembang penundaan eksekusi mati menjadi dua
bahwa penundaan eksekusi mati juga kategori, yaitu penundaan eksekusi mati
merupakan penyiksaan mental ataupun yang masuk dalam kategori “penyiksaan” dan
fisik. Hal ini menjadi penting jika mengaitkan penundaan eksekusi mati yang masuk dalam
dengan Pasal 7 KIHSP. Pasal tersebut kategori “perlakuan atau hukuman lain yang
menyatakan “tidak seorang pun yang dapat kejam, tidak manusiawi atau merendahkan
dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau martabat”. Amnesty International dan
hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi Councilforthe Development of Social Science
atau merendahkan martabat…”. Pelarangan Research in Africa membedakan kedua jenis
penyiksaan merupakan jus cogens dan tidak kesengsaraan tersebut sebagai berikut.
dapat dikurangi dalam keadaan apapun a. Berkaitan dengan tingkat keparahan
(non-derogable). Hal ini yang membuat PBB dari rasa sakit atau penderitaan yang
membuat konvensi yang membahas khusus ditimbulkan. Penyiksaan merupakan
mengenai satu hak tunggal yang tercantum bentuk yang lebih buruk dan juga
dalam DUHAM dan KIHSP, yaitu Convention disengaja dari perlakuan atau hukuman
Against Torture and Other Cruel, Inhuman lain yang kejam, tidak manusiawi
or Degrading Treatment or Punishment atau merendahkan martabat. Tingkat
atau Konvensi Menentang Penyiksaan dan keparahan dari rasa sakit ditentukan oleh
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang faktor-faktor seperti: durasi rasa sakit
Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan atau penderitaan tersebut dirasakan,
Martabat Manusia (selanjutnya disebut keadaan kesehatan fisik korban sebelum
Konvensi Menentang Penyiksaan). Agar lebih rasa sakit atau penderitaan diberikan,
lengkap mengenai pengertian penyiksaan usia dan jenis kelamin korban, dan
yang terdapat dalam Pasal 7 KIHSP, penelitian sebagainya.
ini perlu melihat Pasal 1 ayat (1) Konvensi
b. Penyiksaan selalu merupakan tindakan
Menentang Penyiksaan:
yang disengaja dan memiliki tujuan-
… Penyiksaan berarti setiap perbuatan tujuan tertentu dengan memberikan
yang dilakukan dengan sengaja, sehingga penderitaan yang hebat. Sedangkan
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan perlakuan atau hukuman lain yang kejam,
yang hebat, baik jasmani maupun tidak manusiawi atau merendahkan
rohani, yang dengan sengaja dilakukan martabat kemungkinan besar terjadi
pada seseorang untuk memperoleh karena kelalaian (Amnesty International
pengakuan atau keterangan dari orang itu dan Council for the Development of
atau dari orang ketiga, atau untuk suatu Social Science Research in Africa, 2000:
alasan yang didasarkan pada setiap 11-13).
bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit
atau penderitaan tersebut ditimbulkan Menurut pandangan Komite Hak Asasi
oleh, atas hasutan dari atau, dengan Manusia berkaitan dengan penundaan
persetujuan, atau sepengetahuan pejabat eksekusi mati dan hak bebas dari penyiksaan
publik atau orang lain yang bertindak atau perlakuan atau hukuman lain yang
dalam kapasitas resmi. Hal ini tidak kejam, tidak manusiawi atau merendahkan
meluputi rasa sakit atau penderitaan yang martabat, “…In principle prolonged judicial
semata-mata timbul dari, melekat pada, proceedings do not per seconstitute cruel,
atau tambahan dari sanksi yang resmi. inhuman or degrading treatment even if
they can be a source of mental strain for the
Berdasarkan pengertian di atas, convicted prisoners. However, the situation
Penyiksaan dapat dibagi menjadi 3 unsur, could be otherwise in cases involving
yaitu capital punishment and anassessment of

36 Belli ac Pacis. Vol. 2. No. 2 Desember 2016


Dhani Kristanto Utomo, Siti Muslimah, Handoyo Leksono: Kajian tentang Penundaan Eksekusi Mati...

the circumstances of each case would be b. Permintaan Peninjauan Kembali (PK);


necessary...” (Earl Prattand Ivan Morgan c. Pemeriksaan permintaan PK sebelum
v. Jamaica [Nos. 210/1986 and 225/1987], dikirim ke Mahkamah Agung (MA);
Paragraph 13.3 UN Doc. A/44/40 222 [1989]). d. Pengiriman permintaan PK kepada MA;
Proses peradilan yang berkepanjangan e. Pemeriksaan permintaan PK oleh MA.
menyangkut hukuman mati dapat melanggar
Pasal 7 KIHSP dengan melakukan penilaian Selain upaya-upaya hukum di atas,
terhadap karakteristik setiap kasus. Jika dilihat terdapat upaya permohonan pengampunan
dari unsur-unsur yang ada pada penyiksaan yang biasa disebut dengan grasi. Menurut
atau perlakuan atau hukuman lain yang Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan 2010 tentang perubahan atas Undang-
martabat, salah satu unsur yang penting ialah Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi,
adanya kesengsaraan fisik ataupun mental. pengertian grasi ialah “pengampunan berupa
perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan pidana kepada
2. Penundaan eksekusi mati berdasarkan terpidana yang diberikan oleh Presiden”.
instrumen hukum hak asasi manusia
internasional dalam dimensi internasional Penundaan eksekusi mati di Indonesia
dan nasional dapat terjadi ketika putusan telah berkekuatan
hukum tetap maupun belum berkekuatan
Dalam Pasal 28 I Undang-Undang hukum tetap. Dalam hal putusan telah
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berkekuatan hukum tetap, Jaksa Penuntut
(UUD 1945), menyatakan bahwa hak untuk Umum (atau Kejaksaan Agung [Kejagung])
hidup merupakan hak asasi yang tidak dapat harus segera menjalankan putusan
dikurangi dalam keadaan apapun. Namun, pengadilan tersebut. Namun jika pihak Jaksa
pembatasan tetap ada pada Pasal 28 J. Penuntut Umum belum juga memutuskan
Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap pelaksanaan hukuman mati, maka eksekusi
orang wajib menghormati hak asasi orang tersebut tidak dapat dilaksanakan. Terpidana
lain dan wajib tunduk pada pembatasan mati harus menunggu selama rentang
yang ditetapkan oleh undang-undang untuk waktu tersebut. Sedangkan dalam hal
menjamin pengakuan serta penghormatan putusan belum berkekuatan hukum tetap,
hak dan kebebasan orang lain. Contoh pelaksanaan pidana mati tidak dapat
pembatasan tersebut ialah dengan berlakunya dilakukan ketika terpidana mati masih
pidana mati. mengajukan upaya hukum atau permohonan
Sistem peradilan di Indonesia pengampunan. Pelaksanaan putusan dapat
memberikan kesempatan bagi para terpidana dijalankan jika sudah berkekuatan hukum
untuk melakukan upaya hukum ketika putusan tetap (http://www.hukumonline.com/klinik/
pengadilan tingkat pertama atau tingkat detail/lt53df2c 50e4980/alasan-alasan-
sebelumnya dianggap tidak mencerminkan penundaan-eksekusi-hukuman-mati, diakses
keadilan dan kepastian hukum Menurut tanggal 9 Januari 2017).
Pasal 1 butir 12 Kitab Undang-Undang Praktik nyata dari penundaan eksekusi
Hukum Acara Pidana (KUHAP), upaya hukum mati yang terjadi di Indonesia dapat melihat
ialah “hak terdakwa atau Penuntut Umum Kasus Zainal Abidin bin Mahmud Badaruddin
untuk tidak menerima putusan pengadilan dan Sugianto alias Sugik. Zainal Abidin
yang berupa perlawanan atau banding atau merupakan salah satu “korban” ketiadaan
kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan aturan mengenai batas waktu terkait
permohonan peninjauan kembali dalam hal Pemeriksaan permintaan Peninjauan Kembali
serta menurut cara yang diatur dalam undang- (PK) oleh Mahkamah Agung (MA). Zainal
undang ini”. Adapun Banding dan Kasasi harus menunggu selama 10 tahun (2005-
merupakan upaya hukum biasa, sedangkan 2010) agar permohonan PK diperiksa dan
Peninjauan Kembali (PK) merupakan upaya diputus oleh MA. Tidak ada kewajiban bagi
hukum luar biasa. MA untuk sesegera mungkin memeriksa
Meski Indonesia telah memiliki aturan permintaan PK dari terpidana mati. Ketua
hukum terkait upaya hukum, penulis Mahkamah Agung menyatakan, berkas PK
mendapatkan ada batas waktu yang belum Zainal Abidin ‘terselip’ selama 10 tahun.
diatur secara spesifik ketika: MA menolak PK dan menyatakan Zainal
a. Hakim ketika memeriksa perkara Banding Abidin dapat dieksekusi. Zainal Abidin telah
maupun Kasasi; dieksekusi mati dalam Gelombang II pada

Belli ac Pacis. Vol. 2. No. 2 Desember 2016 37


hari Rabu, 29 April 2015. D. Simpulan dan Saran
Dalam kasus Sugik, bukan ketiadaan Penundaan eksekusi mati melanggar
aturan mengenai batas waktu yang Pasal 7 dan Pasal 14 ayat (3c) Kovenan
menyebabkan Sugik berada dalam Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
penundaan eksekusi mati, namun kelalaian (KIHSP) dengan tetap memperhatikan
pihak-pihak yang berkepentingan ketika Sugik karakteristik setiap kasus. Penundaan
mengajukan permohonan pengampunan eksekusi mati yang berkaitan dengan Pasal 14
(grasi). Sugik harus menunggu selama 15 ayat (3c) KIHSP dapat terpenuhi ketika putusan
tahun (2000-2015) untuk mendapat jawaban pengadilan belum maupun telah berkekuatan
grasi dari Presiden. Sugik juga menderita sakit hukum tetap. Sedangkan, penundaan
jiwa oleh karena epilepsi yang dideritanya. Hal eksekusi mati yang berkaitan dengan Pasal
ini diketahui ketika Sugik dianggap mengalami 7 KIHSP dapat terpenuhi ketika penundaan
gangguan mental atau sakit jiwa pada 2016. tersebut mengakibatkan kesengsaraan fisik
Dokter Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) ataupun mental. Kesengsaraan fisik ataupun
Kelas I Surabaya dan dokter kejiwaan Rumah mental dapat dibagi menjadi dua kategori,
Sakit (RS) Bhayangkara Polda Jatim memiliki yaitu “penyiksaan” dan “perlakuan atau
vonis yang sama, Sugik menderita epilepsi penghukuman yang kejam, tidak manusiawi,
yang membuat jiwanya terganggu. Sugik atau merendahkan martabat”. Penundaan
masih mendekam dalam tahanan khusus eksekusi mati juga terjadi di Indonesia.
terpidana mati di Lembaga Permasyarakatan Indonesia diduga melanggar Pasal 14 ayat
(Lapas) Porong, Surabaya hingga hari ini. (3c) dan Pasal 7 Kovenan Internasional
Berdasarkan Pasal 2 Draft articles on tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Hal
Responsibility of States for Internationally ini terbukti dengan melihat beberapa contoh
Wrongful Acts 2001, tindakan berbuat atau kasus yang ada. Umumnya, penundaan
tidak berbuat dari negara dapat merupakan tersebut terjadi dalam waktu pemeriksaan
“tindakan tidak sah secara internasional” dan penyampaian hasil pemeriksaan upaya
apabila mengandung dua unsur, yaitu hukum maupun pengampunan.
perbuatan yang dapat diatribusikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
kepada suatu negara berdasarkan hukum melalui organ-organ ataupun badan-badan
internasional dan pelanggaran terhadap yang ada di dalamnya, harus lebih giat dalam
suatu kewajiban internasional. Indonesia melakukan promosi yang secara khusus
dapat memenuhi kedua unsur tersebut. berkaitan dengan penundaan eksekusi mati.
Perbuatan ataupun kelalaian aparat penegak Negara-negara anggota perlu mengerti
hukum dapat diatribusikan kepada negara. pentingnya isu penundaan eksekusi mati dan
Pelanggaran terhadap kewajiban internasional mampu menginternalisasi ke dalam aturan
juga dapat terpenuhi karena Indonesia nasional masing-masing. Negara Indonesia
telah meratifikasi instrumen-instrumen dan negara-negara lain selaku masyarakat
internasional yang merupakan salah satu internasional harus memiliki komitmen
bentuk perjanjian internasional yang harus dalam perlindungan, penghormatan, dan
disepakati. Tentunya, untuk membuktikan pemenuhan hak-hak terpidana mati. Negara-
ada atau tidaknya pelanggaran harus melihat negara memerlukan aturan yang lebih jelas
kasus demi kasus secara komprehensif. terkait batas waktu.

38 Belli ac Pacis. Vol. 2. No. 2 Desember 2016


Dhani Kristanto Utomo, Siti Muslimah, Handoyo Leksono: Kajian tentang Penundaan Eksekusi Mati...

Daftar Pustaka

Amnesty International. Abolitionist and Retentionist Countries. https://www.amne sty.org/en/documents/


act50/3831/2016/en/ [9 Juli 2016]
Amnesty International dan Council for the Development of Social Science Research in Africa. 2000.
Monitoring and Investigating Torture, Cruel, Inhuman or Degrading Treatment, and Prison
Conditions. Basford: RussellPress
Djoko Prakoso. 1987. Masalah Pidana Mati (Tanya Jawab). Jakarta: Bina Aksara
Erasmus A. T. Napitupulu, dkk. 2015 Gambaran Umum Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia. Jakarta:
Institute for Criminal Justice Reform
HukumOnline.com. Alasan-Alasan Penundaan Eksekusi Hukuman Mati. http://w ww.hukumonline.com/
klinik/detail/lt53df2c50e4980/a%20lasan-alasan-pen undaan-eksekusi-hukuman-mati [9 Januari
2017]
M. Nurkhoiron, dkk. 2013. Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia: Sebuah Panduan. Jakarta: Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia
Office oftheHighCommissionerfor Human Rights. Human RightsBodies. http://www.ohchr.org/EN/
HRBodies/Pages/HumanRightsBodies.aspx [29 Januari 2017]
Office oftheHighCommissionerfor Human Rights dan United NationsStaffCollege Project. 2000. Human
Rights: A Basic Handbookfor UN Staff. New York City: United Nations
Rhona K. M. Smith, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Islam Indonesia
Rusli Effendi, Achmad Ali, Poppy Andi Lolo. 1991. Teori Hukum. Ujung Pandang: Hasanuddin
UniversityPress
SoerjonoSoekanto dan Abdurrahman. 2003. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta
William A. Schabas. 2002. The Abolition of the Death Penalty in International Law. Cambridge:
CambridgeUniversityPress

Belli ac Pacis. Vol. 2. No. 2 Desember 2016 39

Anda mungkin juga menyukai