Oleh:
Dhani Kristanto Utomo, Siti Muslimah, Handoyo Leksono
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
e-mail: dhanikristantoutomo@gmail.com, she_teauns@yahoo.co.id, handoyoleksono@staff.
uns.ac.id
Abstract
This research purposed to get a legal argumentation related of the prolonged delays in the execution
according to instruments of international human rights law. The question will be answered based
on the norms and principles of international human right slaw. The sources of this research are
internationalconventions, doctrine, customaryinternationallaw, publications, andnationallaw in Indonesia.
The legal sources collected by library research. The result show that the prolonged delays in the execution
may violate Article 14 paragraph (3)c and Article 7 of the Covenant on Civil and Political Rights. There
are so many countries, included Indonesia, have violated those articles.
Keywords: prolonged delays in the execution, International human rights law.
besar terpidana mati telah menunggu lebih dari interpretasi dan analisis isi atas instrumen-
10 tahun dalam menunggu pelaksanaan eksekusi instrumen, prinsip-prinsip serta norma-norma
tersebut (Napitupulu, dkk., 2015: 9). hukum hak asasi manusia internasional.
Berkaitan dengan instrumen hukum hak
asasi manusia internasional, penundaan eksekusi C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
mati bersinggungan langsung dengan Universal
Declarationof Human Rights atau Deklarasi 1. Penundaan eksekusi mati menurut
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun instrumen hukum hak asasi manusia
1948, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak internasional
Sipil dan Politik (KIHSP) tahun 1966, serta Pada awalnya, penerapan hukuman
Convention Against Torture and other Cruel, mati bertujuan agar masyarakat di suatu
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment negara takut melakukan tindakan-tindakan
atau Konvensi Menentang Penyiksaan dan yang mengakibatkan dirinya dapat dihukum
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, mati (Prakoso, 1987: 25-28). Namun dari
Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat tujuan tersebut, terdapat masalah yang
tahun 1984. Konvensi Menentang Penyiksaan belum banyak disadari berkaitan dengan
menjadi salah satu instrumen hukum yang kondisi maupun hak-hak terbatas yang
digunakan mengingat beberapa ahli yang tetap diperoleh oleh para terpidana mati.
memandang bahwa terdapat unsur penyiksaan Penundaan eksekusi mati akan selalu ada
pada terpidana mati yang mengalami penundaan ketika suatu negara masih menerapkan
eksekusi mati. Peneliti juga akan mengindentifikasi hukuman mati sebagai salah satu bentuk
dan membahas masalah yang berkaitan dengan hukumannya. Meski belum ada definisi tetap
penundaan eksekusi mati yang dialami oleh mengenai konsep penundaan eksekusi
negara yang masih menerapkan hukuman mati. mati, namun telah banyak penelitian terkait
Peneliti mengambil negara Indonesia sebagai isu ini. Sebagian besar dari para peneliti
contoh dan bahan penelitian, karena Indonesia tersebut mengawali penelitiannya tentang
masih menerapkan hukuman mati dan telah perkembangan dan pembahasan terkait
meratifikasi cukup banyak perjanjian internasional. penundaan eksekusi mati melalui kasus
Soering v. United Kingdom oleh European
Court of Human Rights (Pengadilan Hak
B. Metode Penelitian Asasi Manusia Eropa) pada tahun 1989.
Jenis penelitian hukum ini termasuk penelitian Kasus ini menjadi bersejarah karena konsep
hukum normatif. Bahan-bahan hukum yang mengenai penundaan eksekusi mati masuk
digunakan adalah bahan hukum primer dan dalam gugatan dan diperhitungkan oleh
sekunder. Bahan hukum primer meliputi instrumen pengadilan yang mengadili pelanggaran-
hukum internasional. Sedangkan, bahan hukum pelanggaran terhadap hak asasi manusia
sekunder meliputi publikasi tentang penundaan tersebut. Kasus ini kemudian juga dianggap
eksekusi mati. Pengumpulan bahan hukum penting karena menjadi landasan baru bagi
dilakukan dengan studi kepustakaan. banyak pengadilan nasional, regional dan
Penelitian hukum normatif merupakan internasional dalam menyelesaikan kasus-
penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji kasus yang berkaitan dengan penundaan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau eksekusi mati.
diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum Dalam dimensi internasional, negara-
tertentu (Soerjono dan Abdurahman, 2003: 56). negara memiliki Perserikatan Bangsa-
Berdasarkan bahan hukum yang diperoleh dari Bangsa (PBB) untuk menyelesaikan
studi kepustakaan, dilakukan indentifikasi dan kasus-kasus internasional, secara khusus
klasifikasi sesuai dengan kebutuhan. Penelitian terkait penundaan eksekusi mati. PBB
ini bertujuan untuk menemukan instrumen tentu membutuhkan instrumen hukum
hukum hak asasi manusia internasional yang hak asasi manusia internasional sebagai
berkaitan dengan penundaan eksekusi mati landasan hukumnya. Hukum hak asasi
serta memberikan argumentasi terkait hal-hal manusia internasional yang utama terdiri
apa saja yang menyebabkan suatu negara dari perjanjian-perjanjian (treaties) dan
melakukan penundaan eksekusi mati dan kebiasaan-kebiasaan (customs), deklarasi
melanggar instrumen hukum yang berkaitan. (declarations), pedoman (guidelines) dan
Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka prinsip-prinsip (principles) (Office of the High
bahan hukum dianalisis dengan menggunakan Commissioner for Human Rights dan United
aturan yang lebih spesifik dalam Pasal 14 hukuman (mati) berhak atas peninjauan
ayat (3) KIHSP untuk menemukan aturan kembali (banding) terhadap putusannya
yang berkaitan dengan penundaan eksekusi atau hukumannya oleh pengadilan yang
mati. Pasal 14 ayat (3c) KIHSP menyatakan lebih tinggi, tanpa penundaan yang tidak
bahwa “dalam menentukan tindak pidana semestinya. Penundaan eksekusi mati
yang dituduhkan padanya, setiap orang dalam tahap ini melanggar Pasal 14 ayat
berhak atas jaminan… dalam persamaan (3c) KIHSP. Secara keseluruhan maupun
yang penuh untuk diadili tanpa penundaan sebagian, peningkatan dalam satu hak akan
yang tidak semestinya”. mempermudah peningkatan hak lainnya
Perserikatan Bangsa-Bangsa (Nurkhoiron, 2013: 39-41). Prinsip saling
(PBB) memiliki badan dan mekanisme bergantung dan berkaitan (interdependence
pemantauan hak asasi manusia. Sistem and interrelation) merupakan salah satu dari
pemantauan tersebut terbagi ke dalam dua prinsip-prinsip pokok hak asasi manusia yang
mekanisme, yaitu Mekanisme berdasarkan terdapat dalam pembahasan ini.
piagam (Charter-based mechanism) dan Kemudian berkaitan dengan tahap
Mekanisme berdasarkan perjanjian (Treaty- kedua, ketika penundaan eksekusi mati
based mechanism). Ada sepuluh badan terjadi sewaktu terpidana mati telah
perjanjian hak asasi manusia yang memantau memperoleh putusan hukuman mati yang
pelaksanaan perjanjian hak asasi manusia telah berkekuatan hukum tetap. Peneliti
internasional inti (http://www.ohchr.org/EN/ mencoba melihat lebih dalam terkait Pasal
HRBodies/Pages/HumanRightsBodies. 14 ayat (3c) KIHSP. Berdasarkan Paragraf
aspx, diakses 29 Januari 2017). Melihat isu ke-10 Komentar Umum (General Comment)
penundaan eksekusi mati berkaitan dengan dari Komite Hak Asasi Manusia:
Pasal 14 ayat (3c) KIHSP, penelitian ini Sub-ayat (3c) menentukan bahwa
menggunakan mekanisme berdasarkan terdakwa harus diadili tanpa penundaan
perjanjian dan menganalisis komunikasi/ yang tidak semestinya. Jaminan ini
pandangan dari Human Rights Committee tidak hanya berkaitan dengan waktu
(CCPR) atau Komite Hak Asasi Manusia. pelaksanaan pengadilan, tetapi juga
Berdasarkan pembagian waktunya, dengan waktu di mana pengadilan
penundaan eksekusi mati dapat terjadi harus berakhir dan putusan dihasilkan;
pada 2 (dua) tahap dalam proses peradilan semua tahap harus dilakukan “tanpa
pidana. Pertama, ketika terpidana telah penundaan yang tidak semestinya”.
memperoleh putusan hukuman mati dan Untuk membuat hak ini menjadi efektif,
kemudian mengajukan upaya hukum maka harus tersedia suatu prosedur
ataupun permohonan pengampunan. Kedua, guna menjamin bahwa pengadilan dapat
penundaan eksekusi mati dapat terjadi berlangsung “tanpa penundaan yang
ketika terpidana mati telah menjalani proses tidak semestinya”, baik di tahap pertama
peradilan dan memperoleh putusan hukuman maupun pada saat banding.
mati yang telah berkekuatan hukum tetap. Terdapat kalimat dari Komentar di atas
Berkaitan dengan Tahap pertama, yang menyatakan bahwa “semua tahap
Komite Hak Asasi Manusia menyampaikan harus dilakukan tanpa penundaan yang tidak
pandangannya bahwa, “article 14, paragraph semestinya”. Jika melakukan interpretasi
(3c), and article 14, paragraph (5), are to berkaitan dengan kalimat ini, frasa “semua
be read together, so that the right to review tahap” dapat diartikan sebagai “semua tahap
of conviction and sentence must be made dalam proses peradilan pidana”. Proses
available without unduedelay” (Earl Prattand peradilan pidana terdiri dari 3 (tiga) tahap,
Ivan Morgan v. Jamaica [Nos. 210/1986 yaitu Tahap sebelum persidangan (pre-
and 225/1987], Paragraph 13.3 UN Doc. trialstage), tahap persidangan (trialstage) dan
A/44/40 222 [1989]). Pasal 14 ayat (5) tahap sesudah persidangan (post-trialstage).
KIHSP menyebutkan, “Setiap orang yang Adapun tahap sesudah persidangan biasanya
dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan mencakup pelaksanaan putusan. Dalam hal
kembali (banding) terhadap keputusannya terdapat penundaan dalam pelaksanaan
atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih putusan eksekusi mati, ada dugaan pelang-
tinggi, sesuai dengan hukum”. Jika Pasal 14 garan hak dalam Pasal 14 ayat (3c) KIHSP.
ayat (3c) dan Pasal 14 ayat (5) harus dibaca Peneliti menyatakan hal di atas baru
bersamaan, maka setiap orang yang dijatuhi sebagai dugaan karena tidak semua kasus
Daftar Pustaka