Anda di halaman 1dari 76

Lembaga ADB

Seri Makalah Penelitian


No 71

Januari 2006

Pemulihan Pasca-Tsunami:
Masalah dan Tantangan di Sri Lanka

Sisira Jayasuriya, Paul Steele dan Dushni Weerakoon


bekerja sama dengan
Malathy Knight-John dan Nisha Arunatilake

Kata Pengantar oleh Thee Kian Wie

Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia


oleh Emmy Quinn
ADB INSTITUTE RESEARCH PAPER 71

ACKNOWLEDGEMENTS

Para penulis mengucapkan terima kasih kepada Saman Kelegama, Direktur Eksekutif, IPS,
dan Peter McCawley, Toru Tatara, Toshiki Kanamori dan staf ADBI yang lain atas
dorongan, bantuan dan tanggapan mereka.Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada
para peserta seminar IPS dan ADBI atas sumbangan mereka pada seminar tersebut. Atas
sumbangan yang diberikan pada penyerahan Laporan kepada Perdana Menteri Sri Lanka
di Kolombo pada tanggal 1 Desember 2005 para penulis juga mengucapkan terima kasih.
Asha Gunawardana, Dinusha Dharmaratne dan Jayanthi Thennakoon memberikan
bantuan penelitian yang berharga.
Penelitian ini tidak mungkin dilakukan tanpa bantuan para keluarga yang mengalami
bencana tsunami, pejabat pemerintah yang banyak jumlahnya, organisasi-organisasi
sektor swasta, anggota LSM-LSM dan kerabat kerja di IPS. Pandangan yang dinyatakan
dalam laporan ini adalah di luar tanggung jawab mereka. Demikian pula mereka tidak
bertanggung jawab atas kesalahan dalam laporan ini, atau jika ada hal-hal yang lalai
dicantumkan.

Additional copies of the paper are available free from the Asian Development Bank Institute, 8th Floor, Kasumigaseki
Building, 3-2-5 Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo 100-6008, Japan. Attention: Publications. Also online at www.adbi.org
Copyright © 2006 Asian Development Bank Institute. All rights reserved. Produced by ADBI Publishing.

The Research Paper Series primarily disseminates selected work in progress to facilitate an exchange of ideas
within the Institute’s constituencies and the wider academic and policy communities. The findings,
interpretations, and conclusions are the author’s own and are not necessarily endorsed by the Asian
Development Bank Institute. They should not be attributed to the Asian Development Bank, its Boards, or any of
its member countries. They are published under the responsibility of the Dean of the ADB Institute. The Institute
does not guarantee the accuracy or reasonableness of the contents herein and accepts no responsibility
whatsoever for any consequences of its use. The term “country”, as used in the context of the ADB, refers to a
member of the ADB and does not imply any view on the part of the Institute as to sovereignty or independent
status. Names of countries or economies mentioned in this series are chosen by the authors, in the exercise of
their academic freedom, and the Institute is in no way responsible for such usage.

II
KATA PENGANTAR

Oleh Thee Kian Wie


Saya menyambut gembira kesediaan Lembaga ADB (Bank Pembangunan Asia) untuk
menyediakan laporan yang amat baik ini dalam edisi Bahasa Indonesia. Laporan ini
mengungkapkan hal-hal yang perlu diamalkan sehubungan dengan pengalaman Sri Lanka
sewaktu dilanda gelombang tsunami, serta upaya negara tersebut untuk membangun kembali
pasca-tsunami.

Perbandingan lintas-negara perlu senantiasa ditanggapi dengan hati-hati. Meskipun demikian


ternyata banyak di antara masalah-masalah yang dialami oleh Sri Lanka yang serupa dengan
masalah yang timbul di Indonesia.
• Bantuan luar negeri mula-mula tampak lebih dari cukup untuk menutup segenap biaya
rekonstruksi. Akan tetapi segeralah timbul masalah yang bertalian dengan persediaan dana
bantuan, pencairan dana kredit, pembagian dana, koordinasi upaya rekonstruksi, dan salah-
urus dalam pengelolaan dana.
• Upaya rekonstruksi tersendat dan kurang merata serta terpusat di kawasan-kawasan tertentu,
sedangkan ada kawasan-kawasan lain yang sama sekali tidak tersentuh oleh upaya tersebut.
• Di kalangan badan-badan bantuan, baik yang asing maupun yang domestik, muncullah
ketimpangan yang menonjol dalam hal koordinasi. Upaya mencari keseimbangan antara
kepentingan politik dan upaya menyediakan bantuan kemanusiaan untuk orang-orang yang
membutuhkannya menghadapi berbagai masalah, lagi pula sangat peka.
• Koordinasi dan pelaksanaan upaya rekonstruksi terhambat oleh keengganan sejumlah LSM
asing untuk bekerja sama dengan badan perwakilan pemerintah. Ada pula LSM yang bersaing
secara tidak sehat dengan badan-badan lain.
• Tata cara penyediaan dana bantuan, termasuk prosedur dan mekanisme penyediaan dana, perlu
ditinjau kembali agar tanggapan menjadi lebih cepat dan lebih efektif. Sangatlah mendesak
perlunya menanggulangi masalah yang muncul sehubungan dengan penggunaan dan
pertanggungjawaban dana bantuan.

Saran-saran praktis yang dikemukakan dalam Laporan ini meliputi sejumlah masalah, di
antaranya: penyediaan uang tunai untuk menopang kemampuan keluarga untuk mengusahakan
sumber pendapatan sendiri; bantuan untuk pembangunan kembali rumah yang hilang atau rusak;
penyediaan surat kepemilikan rumah baru; peraturan mengenai zona penyangga (buffer zone);
sistem peringatan dini dan sistem penanggulangan bencana; koordinasi kegiatan yang didukung
bantuan para donor; serta masalah perumusan kembali kebijakan makro-ekonomi.

Mudah-mudahan temuan-temuan, kesimpulan-kesimpulan dan saran-saran tindak yang disajikan


dalam laporan ini bermanfaat pula bagi para pejabat pemerintah Indonesia, khususnya Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias, serta badan-badan donor asing dan LSM
Indonesia dan asing yang kini tengah berupaya keras untuk merehabilitasi dan membangun
kembali Aceh dan Nias. Dengan demikian akan terkonfirmasi sejauh mana Laporan ini
mengandung pelajaran yang dapat diterapkan di Indonesia, dan akan terungkap pula pemecahan
yang muncul dari lingkungan Indonesia itu sendiri, sehingga dari bencana yang mengenaskan
ini akan terpetik sesuatu yang berguna untuk jangka waktu panjang.

III
DAFTAR ISI

Acknowledgements II

Kata Pengantar oleh Thee Kian Wie III

Daftar Isi IV

Ringkasan Eksekutif 1

1. Pengantar 5
2. Latar Belakang 7
3. Tsunami: Dampak dan Tanggapan Segera 10
3.1 Upaya Pemberian Bantuan Segera: Suatu Keberhasilan 13
4. Penilaian Dampak 14
4.1 Dampak pada PDB 16
4.2 Pengeluaran Keuangan dan Harapan 17
5. Kerusakan dan Pemulihan: Sebuah Tinjauan 18
5.1 Bantuan Internasional untuk Upaya Pemulihan 19
5.2 Koordinasi dan Pembagian Bantuan 19
5.3 Koordinasi Bantuan dengan Badan-Badan Donor dan LSM 20
5.4 Koordinasi Bantuan di Daerah yang Dikuasai LTTE 21
5.5 Masalah Mata Pencaharian 22
5.5.1 Perikanan 26
5.5.2 Pariwisata 29
5.5.3 Hibah Uang Tunai 30
5.5.4 Usaha Mikro dan Microfinance 32
6. Membangun Kembali Aset Tetap dan Prasarana 36
6.1 Perumahan 37
6.2 Perumahan dan Zona Penyangga 37
6.3 Pelaksanaan Program Perumahan 41
7. Masalah yang Timbul 44
7.1 Bantuan: Janji dan Pemenuhannya 44
7.2 Pemanfaatan Bantuan 45
7.3 Kenaikan Biaya dan Memadai Tidaknya Pendanaan 47

IV
8. Bantuan, Kenaikan Biaya dan ‘Penyakit Belanda’: Pengaruh dan
Implikasinya 49
8.1 Nilai Tukar dan Penggantian Aset tetap 52
8.2 Menutup Jurang Pendanaan yang sedang Timbul 53
8.3 Kebijakan Fiskal dan Moneter 54
9. Beberapa Pelajaran dan Rekomendasi 55
9.1 Meninjau Kembali Hibah Uang Tunai sebagai Bantuan Mata
Pencaharian bagi Keluarga Korban Bencana Tsunami 56
9.2 Meninjau Kembali Bantuan Uang Tunai untuk
Perbaikan/Pembangunan Kembali Rumah 56
9.3 Menentukan Si Penerima Rumah dan Sertifikat Kepemilikan
Rumah Baru 57
9.4 Peraturan mengenai Zona Penyangga 57
9.5 Sistem Peringatan Dini dan Sistem Pengelolaan Bencana 58
9.6 Koordinasi Bantuan 63
9.7 Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pengucuran Bantuan 63
9.8 Kebijakan Makro-Ekonomi 64

Acuan 66

V
Tabel dan Gambar

Tabel 1. Pilihan Sejumlah Indikator Makro-Ekonomi: 2000–2005 9


Tabel 2. Perkiraan Kerugian dan Penilaian Kebutuhan untuk
Rekonstruksi dan Pembangunan Kembali (AS$ juta) 16
Tabel 3. Bantuan Donor untuk Kegiatan Rekonstruksi Pasca-Tsunami 19
Tabel 4. Perumahan yang Dibangun Donor: Status Sekarang
(September 2005) 43
Tabel 5. Angsuran Bantuan untuk Perumahan yang Dibangun Pemilik:
Status (November 2005) 44
Tabel 6. Kenaikan Biaya: Pembangunan Perumahan 48
Tabel 7. Indikator Terpilih Keuangan Negara 54

Gambar 1. Jumlah korban jiwa Tsunami yang dilaporkan 12


Gambar 2. Kurs Nominal (AS$ per Rs) 18

Lampiran

Tabel A-1. Patokan Jalur Setback yang Dianjurkan 68


Tabel A-2. Komitmen, Pengucuran dan Pemanfaatan Bantuan Luar
Negeri menurut Jenis 69
Tabel A-3. Harga Bahan Bangunan Utama 69

Gambar A-1. Laju Inflasi dan Suku Bunga 70

VI
Ringkasan Eksekutif

1. Di Sri Lanka gelombang tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 menelan
korban jiwa lebih dari 30.000 orang, hampir satu juta orang kehilangan tempat tinggal
dan diperkirakan 150.000 orang kehilangan mata pencaharian utamanya. Aset prasarana
dan modal mengalami kerusakan besar (diperkirakan sekitar AS$1 milyar (4,5% dari
PDB)) khususnya dalam sektor pariwisata dan perikanan. Kebutuhan keuangan jangka
menengah diperkirakan sebesar kira-kira AS$1,5–1,6 milyar (7,5 persen dari PDB).
PDB diperkirakan akan turun sebanyak 0,5–1,0%.

2. Sepanjang sejarahnya Sri Lanka belum pernah mengalami bencana seperti itu. Oleh
karena itu negara ini sama sekali tidak siap menghadapi bencana tsunami. Namun
dengan tanggapan masyarakat yang begitu besar, diikuti oleh tindakan pemerintah dan
dunia internasional, Sri Lanka dapat melaksanakan upaya bantuan awal, yang dalam
keadaan demikian dapat dikatakan berhasil.

3. Bantuan dari luar yang dijanjikan – seluruhnya berjumlah AS$2.2 milyar selama 2–
3 tahun mendatang – tampaknya lebih dari cukup untuk menutup ongkos rekonstruksi
seluruhnya. Akan tetapi telah timbul masalah dalam hal pengucuran bantuan,
penyediaan fasilitas kredit, pembagian dana, koordinasi kegiatan rekonstruksi, dan salah
kelola dana. Jelaslah bahwa upaya membangun kembali menghadapi tantangan-
tantangan yang rumit dan sulit pada tahap awalnya.

4. Tidak ada yang lebih penting bagi sebuah rumah tangga daripada rumahnya.
Rekonstruksi dan perbaikan tempat tinggal terhalang karena adanya zona bebas
bangunan yang ditetapkan sebagai zona penyangga sepanjang pantai (‘no-build’ coastal
buffer zone), pengurangan pengucuran bantuan dan kenaikan harga. Rekontruksi
berjalan lambat, tidak merata, dan terpusat di kawasan selatan dan tenggara, meskipun
daerah yang mengalami kerusakan paling parah terdapat di bagian timur dan timur laut.

5. Pengeluaran biaya untuk rekonstruksi menyebabkan suatu jenis ‘Penyakit Belanda’


(Dutch Disease) yang tercermin pada meningkatnya biaya pembangunan yang terjadi
dengan cepat (ada yang naik sebesar 40–60%). Inflasi keseluruhan, yang terutama
disebabkan oleh faktor kebijakan dan faktor-faktor eksternal, makin melaju. Laju inflasi
ini mungkin akan bertambah karena pengeluaran untuk pemilihan umum, harga minyak
yang tinggi dan pengeluaran negara yang belum lama ini dijanjikan akan ditambah. Hal
ini membawa implikasi bahwa akan diperlukan tambahan dana yang besar untuk
sepenuhnya mencapai target pembangunan dalam sektor perumahan swasta dan dalam
pembangunan prasarana umum. Ini berarti pula akan ada kekurangan dana yang besar.
Pemerintah tidak mempunyai banyak pilihan untuk menutup kekurangan dana ini.
Akibatnya keluarga miskin dan rekonstruksi prasarana umum kemungkinan akan
terpukul.

6. Laporan penulis mengangkat masalah dalam bidang-bidang berikut dan memberikan


beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan upaya merumuskan kebijakan baru:
pemberian uang tunai untuk keperluan hidup kepada keluarga; bantuan untuk

1
membangun kembali rumah; sertifikat kepemilikan rumah baru; peraturan mengenai
zona penyangga; sistem peringatan dini dan pengelolaan bencana; koordinasi kegiatan-
kegiatan yang dibantu oleh donor dan masalah-masalah yang menuntut kebijakan
makro-ekonomi yang lain.

7. Hibah bulanan sebesar Rs 5.000 (AS$50) – jumlah yang tidak banyak dan di bawah
garis kemiskinan untuk suatu rumah tangga – semula diharapkan akan diberikan selama
enam bulan kepada semua keluarga yang mengalami kerugian akibat bencana. Akan
tetapi jangka waktu 6 bulan ini telah dikurangi menjadi empat bulan dan cakupannya
diperkecil dengan memperketat peraturan yang menentukan siapa yang berhak
menerima. Hal ini tidak adil dan membawa akibat buruk. Hibah sebaiknya diberikan
selama enam bulan kepada semua keluarga yang terkena bencana dengan menggunakan
dana dari donor yang diperuntukkan bagi bantuan mata pencaharian.

8. Hibah uang tunai untuk membangun kembali dan memperbaiki rumah jelas tidak
cukup mengingat kenaikan harga yang terjadi. Penulis menyarankan agar hibah ini
ditinjau kembali dan ditingkatkan, paling tidak untuk keluarga miskin, dengan
menggunakan dana dari donor yang diperuntukkan bagi tujuan ini.

9. Berhak tidaknya memperoleh rumah baru hendaknya ditentukan berdasarkan kriteria


yang jelas dan dengan cara yang transparan. Sertifikat kepemilikan sebaiknya diberikan
kepada suami dan istri bersama, kecuali dalam hal keluarga orang tua tunggal, dengan
mengadakan perubahan seperlunya pada undang-undang yang sekarang berlaku. Batas
waktu yang berlaku bagi penjualan rumah kepada orang yang bukan anggota keluarga
sebaiknya dikurangi untuk memperkecil ketidak-efisienan pasar dan transaksi gelap.

10. Zona penyangga untuk melindungi lingkungan pantai dan memperkecil dampak
bahaya alam di masa mendatang itu pada hakekatnya bermanfaat, dan konsep dasarnya
sebaiknya dipertahankan. Namun demikian, batas zona sebaiknya ditentukan melalui
proses yang transparan dan berdasarkan konsultasi. Dasar pemikiran ilmiah dan
ekonomi yang melandasi penentuan batas-batas zona hendaknya dijelaskan, dan
peraturan haruslah digabungkan dengan sistem yang berdasarkan insentif dengan
berpedoman pada pengalaman dari dunia internasional.

11. Pemulihan mata pencaharian haruslah dipusatkan pada sektor-sektor penting yang
telah terkena bencana seperti perikanan, pariwisata dan usaha menengah untuk
mewujudkan peningkatan kesejahteraan bagi golongan miskin. Pada tingkat lokal,
rencana pemulihan ekonomi harus dilaksanakan dengan mendahulukan keluarga miskin
dan dengan pimpinan dari pemerintah lokal dan masukan dari LSM. Untuk
meningkatkan kesejahteraan pada tingkat nasional maupun tingkat lokal dalam bidang
ekonomi diperlukan pendekatan luas dengan belajar dari, dan berdasarkan pada,
pengalaman masa lalu dalam mengurangi kemiskinan di Sri Lanka. Di samping itu
pemulihan mata pencaharian perlu ditempatkan dalam konteks politik, ekonomi dan
sosial yang lebih luas. Dibandingkan dengan tantangan kelembagaan, dana tidak begitu
menjadi hambatan dalam mengatasi kecurigaan dan persepsi negatif di antara pihak-

2
pihak utama yang berkepentingan. Kedua hal ini dapat diatasi dengan menggunakan
pengetahuan yang lebih baik mengenai permintaan akan mata pencaharian dan
persediaan kegiatan mata pencaharian, dan memberikan suara yang lebih besar kepada
keluarga-keluarga yang terkena bencana. Di samping itu masalah kecurigaan dan
persepsi negatif tersebut juga dapat diatasi dengan memperkuat kapasitas pemerintah
lokal, keluarga yang terkena bencana, LSM dan organisasi yang bertumpu pada
masyarakat (CBO) untuk merencanakan, melaksanakan dan memantau program-
program pemulihan mata pencaharian dan meningkatkan penggunaan keuangan-mikro
sebagai alat untuk mengurangi kemiskinan.

12. Bencana tsunami, gempa bumi Pakistan-India, perubahan iklim, dan pendapat-
pendapat para ilmuwan semuanya menunjukkan dengan jelas bahwa kita perlu lebih
siap menghadapi bencana alam. Berdasar pada Undang-Undang Pengelolaan Bencana
Sri Lanka (Sri Lanka Disaster Management Act) (yang diajukan kepada Parlemen pada
bulan Februari 2005), haruslah dirumuskan suatu sistem pengelolaan bencana yang
didasarkan pada pemikiran ilmiah yang kuat dan secara keuangan layak yang disiapkan
untuk menghadapi bermacam-macam bahaya yang mungkin melanda. Sri Lanka tidak
mampu memiliki bermacam-macam sistem peringatan khusus untuk menanggulangi
kejadian yang kecil kemungkinannya untuk benar-benar terjadi. Perlu diadakan
penyelidikan khusus untuk mengetahui sumber dana yang mungkin dapat dimanfaatkan
untuk menanggulangi bencana mendadak, di antaranya asuransi dan pasokan cadangan
dana.

13. Koordinasi yang kurang baik antara badan-badan dalam dan luar negeri telah
menimbulkan masalah serius, di samping masalah peka bagaimana menjaga
keseimbangan antara pertimbangan politik dan bantuan kemanusiaan kepada mereka
yang memerlukannya. Ada beberapa LSM internasional yang segan bekerja sama
dengan lembaga-lembaga pemerintah. Koordinasi dan pelaksanaan terhambat pula
dengan sikap dan tindakan bersaing dengan badan-badan. Cara menggunakan bantuan,
termasuk prosedur dan mekanismenya, sebaiknya ditinjau kembali untuk meningkatkan
tanggapan yang cepat dan efektif.

14. Masalah penggunaan dan akuntabilitas bantuan yang disoroti oleh Departemen
Auditor Jenderal haruslah segera ditangani. Namun, meskipun terdapat kelemahan-
kelemahan dan ketidak-efisienan ini, harus pula diakui kekuatan dan sumbangan positif
dari lembaga-lembaga pemerintah. Upaya untuk menyisihkan lembaga-lembaga
pemerintah dengan menggantungkan diri terutama pada LSM-LSM dapat membawa
akibat buruk, dan mempersulit koordinasi upaya rekonstruksi. Harus diambil suatu
pendekatan yang seimbang untuk meningkatkan koordinasi di antara kelompok-
kelompok donor, pemerintah dan masyarakat.

15. Keseluruhan keadaan dan kebijakan pengelolaan makro-ekonomi itu penting sekali
agar upaya rekonstruksi berhasil. Gelombang tsunami melanda pada saat negara
mengalami ketimpangan makro-ekonomi yang serius, dan secara paradoksal bencana
tersebut membantu menyelubunginya untuk sementara waktu. Akan tetapi saat ini

3
masalah tersebut timbul kembali, mendorong inflasi, menurunkan nilai nyata dana
bantuan, mengekang kapasitas keuangan pemerintah, dan membawa pengaruh negatif
pada kegiatan rekonstruksi. Tekanan pada nilai mata uang Sri Lanka menimbulkan
godaan untuk menopang nilai mata uang tersebut dengan menggunakan devisa bantuan
tsunami dan menunda kegiatan rekonstruksi. Hal ini akan mewujudkan stabilitas jangka
pendek dengan mengorbankan rekonstruksi, pembangunan dan keadilan, sementara
pada jangka panjang ketimpangan makro-ekonomi diperparah. Ketimpangan makro-
ekonomi yang lebih luas sebaiknya ditangani secara langsung dengan menargetkan
sumbernya; dana bantuan tsunami sebaiknya digunakan semata-mata untuk tujuan
rekonstruksi.

4
Pemulihan Pasca-Tsunami:
Masalah dan Tantangan di Sri Lanka

Sisira Jayasuriya, Paul Steele dan Dushi Weerakoon


bekerja sama dengan
Malathy Knight-John dan Nisha Arunatilake

1. Pengantar

Pada tanggal 26 Desember 2004 Sri Lanka dilanda gelombang tsunami yang disebabkan
oleh gempa bumi raksasa yang terjadi di lepas pantai sekitar 1.500 km jauhnya di lepas
pantai Sumatra barat laut. Gempa yang berukuran 9,0 pada skala Richter tersebut
tercatat sebagai salah satu gempa yang terbesar yang pernah terjadi di laut. Gempa ini
terjadi karena lempeng tektonis India dan Birma bergerak sepanjang garis temunya. 1
Lebih dari 1.000 km kerak bumi tiba-tiba terlonjak, dan lempeng Birma bergerak sejauh
kira-kira 13 m di atas lempeng India yang mendesak dari bawah. Desakan ini dengan
cepat mengangkat dasar laut. Lautan yang dalam dan terbuka sepanjang 1.500 km di
teluk Bengali memungkinkan gelombang laut bertambah lajunya dan membentuk
dinding air raksasa yang semakin meninggi saat gelombang memasuki perairan dangkal
sepanjang garis pantai.
Gempa terjadi pada tanggal 26 Desember pada pukul 6.58 pagi waktu Sri
Lanka. Gelombang besar pertama melanda pantai timur pada pukul 8.35 pagi. Segera
sesudah itu gelombang dengan tinggi beberapa meter menghantam bagian-bagian lain
pantai tersebut. Dalam waktu singkat lebih dari 30.000 orang telah tewas, dan beberapa
ratus ribu lainnya kehilangan tempat tinggal. Di samping itu beribu-ribu rumah dan
gedung lain, rel kereta api, jembatan, jaringan komunikasi dan prasarana serta aset lain
mengalami kerusakan besar.
Sri Lanka sama sekali tidak siap menghadapi gelombang tsunami itu. Negara
ini mengalami musim kemarau panjang secara periodik, banjir, tanah longsor dan
kadang-kadang badai. Akan tetapi sepanjang sejarahnya negara ini belum pernah
dilanda gelombang tsunami, atau bahkan bencana alam lain apa pun dengan skala dan
ukuran seperti ini. Bahkan gelombang tsunami akibat letusan Gunung Krakatau pada

1
“Gempa bumi yang terjadi tidak jauh dari permukaan dasar laut merupakan penyebab terjadinya
kebanyakan gelombang tsunami meskipun kadang-kadang tanah longsor yang dipicu oleh kejadian
seismik yang lebih kecil berpotensi menyebabkan gelombang yang membawa korban jiwa. Gempa bumi
yang kuat menyebabkan perpindahan kerak. Jika hal ini terjadi di bawah air, gerakan kerak ini
mengganggu sejumlah besar air seperti kayuh raksasa dan riak bergerak ke semua arah dengan kecepatan
600–800 kilometer per jam, yaitu dengan kecepatan yang sebanding dengan pesawat terbang komersial.
Di lautan terbuka, riak ini tidak terlihat. Akan tetapi segera sesudah riak tersebut mencapai perairan yang
lebih dangkal, kecepatannya berkurang dan mulai membentuk puncak. Gelombang yang terbentuk disebut
“tsunami”. Secara ilmiah, gelombang tsunami dikatakan sebagai sederetan gelombang laut dengan
panjang gelombang yang sangat panjang yang disebabkan oleh berpindahnya air secara tiba-tiba karena
gempa bumi, tanah longsor, atau nendatan bawah laut, yang biasanya disebabkan oleh gempa besar
berukuran 7,5 atau lebih.” (http://asc-india.or/menu/waves.htm)

5
tahun 1883 pun telah kehilangan sebagian besar kekuatannya pada saat mencapai Sri
Lanka, dan hanya membawa dampak yang hampir tidak berarti pada pantai timur tanpa
mencatat korban jiwa. Meskipun getaran bumi kecil tidak jarang terjadi, selama tiga
abad negara ini belum pernah mengalami gempa besar.2 Sri Lanka tidak memiliki sistem
peringatan bahaya domestik yang efektif, dan tidak menganggap perlu menjadi bagian
dari sistem peringatan dini internasional, seperti Sistem Peringatan Tsunami (Tsunami
Warning System – TWS) di kawasan Pasifik (dengan 26 negara anggota).
Jumlah korban jiwa dan kerusakan akibat gelombang tsunami merupakan
kejutan besar bagi Sri Lanka. Segera sesudah terjadi bencana tsunami ini, masyarakat
Sri Lanka memberikan tanggapan bukan hanya dengan perasaan terkejut, duka dan
ngeri, tetapi juga dengan curahan rasa perikemanusiaan dan ketabahan yang melampaui
batas-batas ras dan kepercayaan. Pada hari-hari berikutnya, dengan dukungan yang
datang dari organisasi-organisasi internasional, mereka berhasil memastikan bahwa
korban yang masih hidup mendapat makanan, pakaian dan tempat berlindung, yang
luka-luka diberi perawatan medis, dan beribu-ribu jenazah dikremasikan atau dikubur.
Dapatlah dimaklumi bahwa upaya ini kadang-kadang diikuti kebingungan bahkan
kekacauan. Meskipun demikian tidak dapat diragukan bahwa Sri Lanka boleh merasa
bangga akan tanggapannya terhadap tantangan yang pertama timbul dari dampak
gelombang tsunami.
Kehancuran luas yang disebabkan oleh gelombang tsunami di Sri Lanka
maupun di tempat-tempat lain di Asia menarik perhatian dunia dan menimbulkan
gelombang rasa simpati dan dukungan. Untunglah banyak daerah pantai ini terkenal
sebagai tempat tujuan wisata. Perhatian media dunia mungkin diperbesar oleh
kenyataan bahwa banyak wisatawan dari barat terperangkap dalam tragedi ini. Belum
pernah media internasional memberikan liputan yang begitu luas pada suatu bencana
alam yang terutama melanda sekelompok negara-negara berkembang. Bantuan pada
tingkat pemerintah dan non-pemerintah – baik yang segera maupun yang dijanjikan
untuk masa mendatang – juga belum pernah sebesar bantuan sesudah bencana tsunami.
Untuk Sri Lanka, seperti untuk negara-negara lain yang terkena bencana dan yang siap
menerima bantuan dari luar negeri, bantuan dari luar negeri yang dijanjikan tampak
lebih dari cukup untuk digunakan sebagai bantuan darurat kepada semua korban
maupun untuk menutup biaya rekonstruksi, dan, untuk beberapa waktu, menciptakan
suasana mendekati euforia pada tingkat nasional. Namun, setelah bulan-bulan berlalu,
maka mulai menjadi jelaslah bahwa di antara bantuan kemanusiaan darurat dan
pelaksanaan tugas-tugas rekonstruksi raksasa timbullah sederetan tantangan yang
beragam dan, dalam banyak hal, lebih rumit.
Trauma, kedukaan dan penderitaan sehubungan dengan kematian anggota
keluarga, saudara dan teman, hancurnya rumah-rumah, pengungsian, hilangnya mata
pencaharian, simpanan serta milik berharga semuanya tidak ada yang dapat diukur.
Tugas membangun kembali kehidupan yang hancur merupakan tugas yang sukar dan
sulit yang memerlukan bantuan material maupun non-material serta strategi dengan
banyak segi dan pendekatan yang beraneka ragam. Akan tetapi yang menjadi pusat
2
Catatan sejarah menunjukkan terjadinya gempa besar pada tahun 1615 yang menyebabkan banyak
kerusakan dan korban jiwa. (http://www.lankalibrary.com/geo/portu/earthquake.htm)

6
perhatian di sini terutama adalah masalah-masalah ekonomi yang berkaitan dengan
rekonstruksi dan pemulihan pasca-tsunami, yang mencerminkan keterbatasan karena
waktu, sumber daya dan keahlian penulis. Laporan ini didasarkan pada sejumlah
penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Kebijakan Sri Lanka (Institute of Policy
Studies of Sri Lanka) bekerja sama dengan Pusat Penelitian Ekonomi Asia (Asian
Economics Centre) di Universitas Melbourne, dengan limpahan bantuan keuangan dari
Lembaga Bank Pembangunan Asia (ADBI). Harapan penulis ialah bahwa laporan ini
akan memberikan sumbangan pada pembahasan dan perdebatan mengenai kebijakan
yang tepat untuk upaya rekonstruksi jangka menengah dengan menyajikan analisis
mengenai beberapa dari masalah terpenting dari sudut pandang Sri Lanka.3

2. Latar Belakang

Gelombang tsunami melanda pada saat makro-ekonomi Sri Lanka mengalami tekanan
di beberapa front. Hal ini menimbulkan kembali kecemasan bahwa ekonomi akan
terpuruk ke dalam krisis seperti yang terjadi pada tahun 2001 ketika ekonomi menyusut
sebesar 1,5 persen (Tabel 1). Beberapa masalah yang menyebabkan krisis tahun 2001
tengah muncul kembali.
Krisis tahun 2001 terutama disebabkan oleh kebijakan domestik dan
lingkungan politik yang cepat memburuk dalam konteks menumpuknya ketimpangan
makro-ekonomi. Hal ini diperparah oleh lebih rendahnya jumlah ekspor karena keadaan
ekonomi dunia yang sedang mengalami depresi serta merosotnya hasil pertanian akibat
cuaca buruk. Keadaan ini kemudian berbalik arah berkat serangkaian prakarsa kebijakan
politik dan ekonomi. Diupayakannya persetujuan gencatan senjata (CFA) dengan
kelompok Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE) dilihat sebagai langkah pertama
menuju penyelesaian konflik etnis yang telah berlarut-larut. Prospek akan terciptanya
perdamaian yang akan bertahan lama dan serangkaian reformasi riil dalam bidang
ekonomi – termasuk pengapungan nilai mata uang – sampai tingkat tertentu berhasil
memperoleh dukungan donor dan memperbarui kepercayaan para investor. PDB
tumbuh kembali dengan angka tahunan sebesar 6 persen pada tahun 2003, upaya
konsolidasi keuangan berhasil terus mengurangi defisit anggaran belanja dari 10,8
persen menjadi 8 persen pada tahun 2001, sedangkan inflasi mencapai angka yang
lumayan, yaitu dari 14,2 persen menjadi 6,3 persen pada tahun 2003. Masyarakat bisnis
dan investor merasa agak gelisah mengenai arah kebijakan di bawah pemerintahan baru
yang dipilih pada bulan April 2004. Programnya, yang menyatakan ‘pertumbuhan
dengan keadilan’ sebagai tujuannya, dan yang sangat menekankan pembangunan
ekonomi pedesaan, dipandang bersifat populis dan intervensionis.
Pertumbuhan ekonomi mulai mengendur sejak triwulan kedua tahun 2004 dan
tahun itu berakhir dengan angka pertumbuhan sebesar 5,4 persen. Ketidak-pastian yang
berkaitan dengan pemilihan umum dan tidak adanya kebijakan sesudahnya pastilah ikut
menyebabkan mundurnya kegiatan ekonomi. Beberapa kelemahan kebijakan dan
lambatnya reformasi juga ikut menyebabkan kurang gemilangnya kinerja yang dicapai.

3
Athukorala dan Resosudarmo (2005) menyajikan pembahasan awal tentang beberapa dari masalah
kebijakan yang berkaitan dengan rekonstruksi tsunami di Indonesia dan Sri Lanka.

7
Hal yang sangat jelas merupakan akibat dari pengelolaan makro-ekonomi yang
melemah pada tahun 2004, dan yang paling berpotensi menyebabkan destabilisasi
makro-ekonomi, adalah adanya tekanan inflasi yang terus-menerus meningkat sejak
pertengahan tahun itu. Tekanan inflasi dipacu di berbagai front, dan untuk sebagian
disebabkan oleh kebijakan keuangan pemerintah. Defisit anggaran belanja sebesar 8,2
persen dari PDB pada tahun 2004 jauh melebihi yang ditargetkan. Sebagai akibat
langsung dari kebijakan campur tangan, terjadi peningkatan tajam dalam pengeluaran
rutin (85 persen untuk membayar upah dan gaji, bunga, serta transfer dan subsidi,
masing-masing dengan jumlah yang secara proporsional sama). Transfer dan subsidi
meningkat dari 4 persen dari PDB pada tahun 2003 menjadi 5,2 persen pada tahun 2004
karena biaya subsidi naik. Meskipun defisit keuangan dapat dikekang dengan
mengurangi pengeluaran modal, besarnya pinjaman pemerintah untuk menutup defisit
menyebabkan kredit terus bertambah, dan kredit kepada pemerintah meningkat sebesar
20 persen pada tahun 2004.
Biaya impor minyak yang melonjak mengakibatkan defisit akun transaksi
berjalan neraca pembayaran (BOP) membengkak dari 0,4 persen pada tahun 2003
menjadi lebih dari 3,3 persen dari PDB. Ini diikuti dengan melambatnya pemasukan
modal. Pemasukan modal jangka panjang kepada pemerintah (yang terutama terdiri atas
pinjaman lunak luar negeri) menurun sebesar AS$130 juta. Pinjaman luar negeri oleh
sektor bank komersial sangat meningkat pada tahun 2004 dan memperbesar utang
swasta luar negeri. Nilai mata uang mengalami depresiasi sebesar 8,5 persen terhadap
dolar AS meskipun telah dilakukan upaya untuk menunjang kurs mata uang. Hal ini ikut
menyebabkan menurunnya cadangan resmi bruto dari AS$2,3 milyar pada awal tahun
2004 menjadi AS$1,9 milyar pada bulan November.

8
Tabel 1. Pilihan Sejumlah Indikator Makro-Ekonomi: 2000–2005
PERHITUNGAN 2000 2001 2002 2003 2004 2005a
PENDAPATAN NASIONAL
PDB AS$ milyar 15,7 15,1 16,4 18,2 19,4 ---
Laju Pertumbuhan PDB % 6,0 –1,5 4,0 6,0 5,4 5,6
Pertanian % 1,8 –3,4 2,5 1,6 –0,7 0,0
Industri Manufaktur % 7,5 –2,1 1,0 5,5 5,2 6,8
Jasa % 7,0 –0,5 6,1 7,9 7,6 6,9

Investasi % dari PDB 28,0 22,0 21,2 22,1 25,0 27,0


Tabungan % dari PDB 17,4 15,8 14,4 15,9 15,9 ---
SEKTOR LUAR
Ekspor AS$ juta 5522 4817 4699 5133 5757 6375
Impor AS$ juta 7320 5974 6105 6672 8000 9174
Neraca Perdagangan % dari PDB –10,7 –7,3 –8,5 –8,4 –11,2 –11,9
Saldo transaksi berjalan % dari PDB –6,4 –1,4 –1,4 –0,4 –3,3 –4,3
Investasi asing langsung (FDI) % dari PDB 1,0 0,5 1,1 0,9 1,1
Jumlah cadangan resmi AS$ juta 1049 1338 1700 2329 2196 2404

Jumlah kedatangan wisatawan


mancanegara ’000 orang 400414 3367944 3931744 500642 5662022 ---
VARIABEL FISKAL
Pengeluaran Pemerintah % dari PDB 26,7 27,5 25,4 23,7 23,5 24,9
Penerimaan Pemerintah % dari PDB 16,8 16,7 16,5 15,7 15,4 16,4
Neraca fiskal % dari PDB –9,9 –10,8 –8,9 –8,0 –8,2 –8,5
Utang Pemerintah % dari PDB 96,9 103,2 105,4 105,8 105,5 ---
HARGA DAN UANG
Laju inflasi % 6,2 14,2 9,6 6,3 7,6 ---
Suku bungab % 9,89 10,78 7,47 5,27 5,31 ---
Broad money (M2) % perubahan 12,9 13,6 13,4 15,3 19,6 15,0
Nilai tukar mata uang (kurs) Rs/AS$ 80,06 93,16 96,73 96,74 104,61 ---
ASPIc 1985=100 447,6 621,0 815,1 1062,1 1506,9 ---
Catatan: a. Sementara.
b. Suku bunga rata-rata deposito berbobot bank perdagangan.
c. All share price index (Indeks keseluruhan harga saham).
Sumber: Bank Sentral Sri Lanka, Laporan Tahunan, berbagai nomor; dan GOSL (2005), “Budget 2006:
Statement under the Fiscal Management [Responsibility] Act No. 3 of 2003”, November 2005
(for 2005 provisional estimates). {Anggaran Belanja 2006: Pernyataan menurut Undang-
Undang No 3 Tahun 2003 mengenai Pengelolaan (Tangung Jawab) Fiskal (untuk perhitungan
sementara).}

9
Perkembangan domestik maupun luar negeri ini mengakibatkan meningkatnya
laju inflasi sejak pertengahan tahun 2004, dan suku bunga riil berubah menjadi negatif.
Mulailah timbul gejala-gejala ekonomi gelembung: pertumbuhan kredit kepada sektor
swasta yang meningkat tajam hingga melebihi 20 persen, dengan pertambahan
pengeluaran untuk konsumsi yang diperkirakan sebesar 40 persen. Bursa saham
Kolombo mengalami boom tanpa didukung oleh indikator dasar-dasar perekomian yang
utama. Dengan terhentinya proses perdamaian dan ditangguhkannya prakarsa
swastanisasi, maka mulai bertambahlah keprihatinan mengenai kemampuan pemerintah
untuk mengurangi defisit fiskal. Pasar mulai gelisah karena mulai sadar bahwa
ketimpangan dasar dalam perekonomian meningkat. Walaupun pembayaran eksternal
agak membaik pada bulan Desember 2004, depresiasi nilai rupee makin melaju. Pada
tanggal 17 Desember 2004 nilai mata uang jatuh menjadi Rs 105 untuk satu dolar AS,
nilai yang paling rendah dalam sejarah.
Demikianlah gelombang tsunami melanda pada saat keadaan ekonomi suram.
Jika tidak ada tanggapan kebijakan ekonomi yang efektif, maka benar-benar ada
kemungkinan bahwa ekonomi akan terjerumus ke dalam krisis. Tsunami mengalihkan
perhatian dari ketimpangan ini tetapi tidak menghapuskannya. Sejalan dengan upaya
kita untuk menjajaki masalah-masalah yang berkaitan dengan pemulihan pasca-tsunami
dan kebijakan-kebijakan yang terkait, pentinglah untuk menekankan bahwa pemulihan
pasca-tsunami yang berhasil itu tidak dapat dilepaskan dari penyelesaian masalah
ketimpangan struktural yang asasi ini.

3. Tsunami: Dampak dan Tanggapan Segera

Gelombang tsunami membawa dampak yang belum pernah dialami sebelumnya.


Menurut angka-angka terakhir yang dapat diperoleh (DCS, 2005), korban jiwa
diperkirakan melebihi 36.000 orang (30.957 orang dinyatakan meninggal dan 5.644
orang lagi dinyatakan hilang). Sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak-
anak. Jumlah orang yang kehilangan tempat tinggal diperkirakan sebanyak 800.000
orang. Dalam hal jumlah orang yang meninggal dan hilang, hanyalah Indonesia yang
lebih besar (126.804 orang meninggal, 93.458 orang hilang, 474.619 orang kehilangan
tempat tinggal). Jumlah korban di Sri Lanka lebih besar daripada jumlah korban di India
(10.749 orang hilang; 6.913 orang luka-luka), dan Thailand (lebih dari 5.000 orang
meninggal dan 3.000 orang hilang). 4 Berpuluh-puluh ribu rumah rusak atau hancur
(termasuk banyak rumah nelayan). Dua puluh lima hotel di pantai rusak berat, dan 6 lagi
sama sekali hanyut. Lebih dari 240 sekolah hancur atau mengalami kerusakan berat.
Beberapa rumah sakit, jaringan telekomunikasi, jaringan rel kereta di pantai, dsb., juga
mengalami kerusakan.
Dampak gelombang tsunami tidak merata di semua tempat. Sebagian besar dari
daerah pesisir di Propinsi Utara, Timur dan Selatan dan beberapa bagian dari Propinsi
Barat rusak berat. Kerusakan yang sangat parah khususnya terjadi di Propinsi Utara dan
Timur. Dua per tiga dari jumlah korban jiwa dan 60 persen dari mereka yang kehilangan

4
ADB (http://www.adb.org/media/Articles/2005/6618_tsunami_impact_Indonesia, diakses 10/09/05);
angka-angka untuk Thailand berasal dari sumber-sumber IMF.

10
tempat tinggal adalah penduduk kedua propinsi tersebut (Gambar 1). Parahnya bencana
tsunami di Propinsi Utara dan Timur memperburuk masalah yang diakibatkan oleh
konflik yang telah berlangsung selama dua karena sebagian besar dari 360.000 orang
yang kehilangan rumah tinggal di kedua propinsi ini.5
Gelombang tsunami melanda pada hari libur – hari Minggu sesudah Hari Natal,
yang kebetulan juga hari Bulan Purnama (hari besar keagamaan bagi sebagian besar
masyarakat Buddhis). Kebanyakan kantor pemerintah tutup atau hanya dengan staf
sedikit. Tanggapan mula-mula datang dari kelompok-kelompok masyarakat. Ini segera
disusul dengan prakarsa pemerintah yang diorganisir oleh Perdana Menteri – yang
daerah elektoratnya sendiri, Hambantota, mengalami kerusakan cukup besar. Presiden,
yang pada saat itu sedang berlibur di London, segera kembali ke Sri Lanka dan
memimpin seluruh kebijakan pemerintah dalam menghadapi bencana tsunami.
Selanjutnya, Menteri-Menteri lain yang bertanggung jawab atas sektor-sektor penting
yang mengalami kerusakan (perikanan, pariwisata) juga kembali dari luar negeri dan
mengambil lagi tanggung jawab memimpin kementerian masing-masing.

5
Di Propinsi Utara dan Timur, angka kematian anak-anak rata-rata dua kali lipat angka kematian anak-
anak di daerah lain, angka kematian ibu melahirkan tiga kali lipat, dan hampir 50 persen dari anak-anak
kurang berat badannya.

11
Gambar 1. Jumlah korban jiwa Tsunami yang dilaporkan

Sumber: Departemen Sensus dan Statistik (www.statistics.gov.lk)

12
Segera sesudah terjadi bencana tsunami, Kementerian Keamanan Rakyat,
Hukum dan Ketertiban Umum (Ministry of Public Security, Law and Order) mendirikan
pusat operasi, Pusat Operasi Nasional (Centre for National Operations – CNO), untuk
menangani penanggulangan, dan Sekretaris Kementerian ditunjuk sebagai Komisaris
Jenderal untuk Jasa-Jasa Esensial guna mengatur koordinasi badan-badan pemerintah
yang terlibat dalam upaya penyelamatan jiwa dan pemberian bantuan. Dibentuk tiga
Satuan Tugas – Satuan Tugas bidang Penyelamatan dan Pemberian Bantuan (Task
Force for Rescue and Relief – TAFRER), Satuan Tugas bidang Logistik, Hukum dan
Ketertiban (Task Force for Logistics, Law and Order – TAFLOL), Satuan Tugas bidang
Pembangunan Kembali Negara (Task Force for Rebuilding the Nation – TAFREN)
untuk menangani aspek-aspek khusus upaya pemberian bantuan. Sejak awal sekali ada
keprihatinan mengenai bagaimana bantuan dapat disalurkan ke daerah-daerah yang
dikuasai oleh LTTE. Akan tetapi tampaknya bantuan pokok memang benar-benar
sampai kepada korban bencana selama tahap-tahap awal upaya pemberian bantuan.

3.1 Upaya Pemberian Bantuan Segera: Suatu Keberhasilan

Walaupun terjadi kesulitan dan sedikit kekacauan dalam mengorganisir bantuan,


lembaga-lembaga Sri Lanka menanggapi bencana tsunami dengan cukup baik
mengingat negara ini belum pernah mengalami bencana seperti itu. Dalam waktu satu
hari dikerahkan bantuan medis, makanan dan bantuan darurat lain yang perlu. Sekolah,
gedung-gedung umum dan rumah ibadah serta tenda-tenda disediakan sebagai tempat
berlindung sementara bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal. Golongan-golongan
masyarakat bekerja sama tanpa mempedulikan batas-batas yang telah memisahkan
mereka selama berpuluh-puluh tahun. Organisasi-organisasi sektor umum dan swasta
bekerja sama dan mengorganisir upaya pemberian bantuan pada berbagai tingkat.
Dalam keadaan darurat ini Sri Lanka memetik hasil investasinya dalam bidang
kesehatan masyarakat pada masa lalu: sistem kesehatan masyarakat yang luas
cakupannya dan kesadaran masyarakat akan praktek-praktek dasar dalam hal sanitasi
dan kebersihan memastikan tidak ada penyakit yang berjangkit.
Setelah diambil langkah-langkah bantuan dan rehabilitasi segera dengan
menyediakan makanan, tempat berlindung, pakaian, air bersih, dan fasilitas sanitasi dan
medis bagi para keluarga korban bencana, maka perlulah ditanggapi kebutuhan
masyarakat untuk mengatasi trauma dan mulai membangun kembali kehidupan mereka.
Yang menjadi prioritas utama adalah membangun kembali sekurang-kurangnya fasilitas
pendidikan dasar untuk anak-anak korban bencana. Menjelang pertengahan tahun, 85
persen dari anak-anak di daerah bencana telah kembali bersekolah. Termasuk dalam
bantuan yang diberikan adalah uang untuk menutup kebutuhan segera. Uang ganti rugi
sebanyak Rs 15.000 (AS$150) ditawarkan kepada para korban untuk keperluan
penguburan; program bantuan mata pencaharian termasuk pemberian uang tunai
sebanyak Rs 375 (AS$3,75) dan rangsum untuk setiap anggota unit keluarga setiap
minggu, dan uang sebanyak Rs 2.500 (AS$25) untuk alat-alat dapur. Langkah-langkah

13
awal ini sebagian besar berhasil, meskipun terjadi beberapa masalah karena kurangnya
koordinasi.6
Dalam keadaan demikian, penilaian berikut atas tanggapan awal terhadap
bencana tsunami tampaknya menggambarkan situasi tersebut dengan tepat. Penilaian ini
disajikan pada pertemuan donor yang diadakan di Sri Lanka pada bulan Mei 2005 yang
lalu:
“Dalam bulan-bulan sesudah terjadi bencana, banyak yang telah dicapai.
Menurut konsensus umum, bantuan darurat sangat berhasil dalam memenuhi
kebutuhan segera dari para korban. Kedermawanan, baik dari perseorangan
maupun lembaga-lembaga, dicurahkan dalam jumlah yang belum pernah
terjadi sebelumnya. Untuk keluarga disediakan tempat tinggal, makanan
dibagi-bagikan, bantuan medis disediakan, dan anak-anak piatu dirawat. Jasa
umum utama seperti pendidikan, listrik dan keamanan segera dipulihkan ke
tingkat mendekati keadaan pra-tsunami.
Akibatnya, wabah dan kematian yang diduga akan timbul sesudah bencana
tidak pernah terjadi. Dengan demikian, cepatnya proses penstabilan
penduduk yang mengalami trauma telah memungkinkan dialihkannya
perhatian pada tantangan yang, dalam banyak seginya, lebih sulit dan rumit,
yaitu membantu daerah-daerah bencana menjadi normal kembali, dan
menolong keluarga korban membangun lagi kehidupannya.”7
Namun demikian, mengerjakan tahap rekonstruksi dan pemulihan yang
berikutnya mungkin sekali akan lebih rumit dan sulit. Tantangan-tantangan ini akan
dibahas dalam bagian-bagian berikut.

4. Penilaian Dampak

Guna mengembangkan suatu strategi rekonstruksi, perlulah diadakan penilaian atas


kerusakan yang terjadi. Dalam hal ini, Sri Lanka beruntung karena penilaian dini
dilakukan menjelang akhir bulan Janari 2005 melalui upaya patungan antara Bank
Pembanguan Asia (ADB), Bank Kerja Sama Internasional, Jepang (JBBC), dan Bank
Dunia (WB): “Sri Lanka 2005 Post-Tsunami Recovery Program – Preliminary Damage
and Needs Assessment” (Program Pemulihan Pasca-Tsunami Sri Lanka 2005 –
Penilaian Pendahuluan terhadap Kerusakan dan Kebutuhan).8 Laporan ini memberikan
gambaran tentang kerusakan aset dan kerugian ekonomi yang dialami dalam setiap
sektor yang terkena bencana, dan memberikan perkiraan umum mengenai meningkatnya
kebutuhan akan dana.

6
Misalnya, meskipun rangsum makanan pada umumnya tersedia, ada masalah dalam hal tersedianya jenis
dan mutu yang memadai di beberapa tempat; timbul keluhan mengenai diberlakukannya peraturan yang
berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain dalam hal pembagian rangsum dan bantuan uang (Sida,
DFID dan GTZ, 2005).
7
http://www.erd.gov.lk/devforum/Executive%20summary%20final.htm
8
Dapat dilihat di: http://www.adb.org/Tsunami/sri-lanka-assessment.asp

14
Menurut penilaian yang dilakukan oleh ADB-JBIC-WB Sri Lanka telah
mengalami kerusakan aset sebesar kira-kira AS$1 milyar (4,5 persen dari PDB), dan
kebutuhan dana jangka menengah (termasuk bantuan segera) diperkirakan sekitar
AS$1,5–1,6 milyar (7,5 persen dari PDB. Sektor yang membutuhkan dana terbesar
adalah sektor perumahan. 9 Aset swasta mengalami kerusakan cukup besar (AS$700
juta), di samping kerusakan pada prasarana umum dan aset-aset lain. Merosotnya
produksi dalam sektor perikanan dan pariwisata – yang rusak berat – diperkirakan
masing-masing sebesar AS$200 juta dan AS$130 juta. Pusat-pusat industri, pertanian
dan metropolitan yang penting relatif tidak menderita kerusakan. Kerusakan aset tetap
terutama terjadi dalam sektor pariwisata dan perikanan, yang masing-masing hanya
menghasilkan sekitar 1,5–2,0 persen dari PDB.
Angka yang menunjukkan besarnya jumlah dana yang diperlukan ini
mendekati jumlah yang diperkirakan pemerintah sendiri yaitu sebesar AS$1,8 milyar,
yang diajukan pada bulan Februari 2005, walaupun terdapat selisih cukup besar dalam
perkiraan kerusakan pada tingkat sektor (GOSL, 2005a).10 Kemudian pada bulan Mei
2005, Pemerintah Sri Lanka memperkirakan kebutuhan akan investasi seluruhnya telah
naik menjadi AS$2 milyar (GOSL, 2005b) (Tabel 2). Perbedaaan perkiraan ini
mencerminkan rencana yang lebih besar dan berjangka panjang dari pemerintah,
sedangkan penilaian donor sebagian besar terarah pada pemulihan keadaan pra-tsunami.

9
Perbedaan besar antara kebutuhan pemulihan menyeluruh dan kerusakan dalam beberapa sektor
disebabkan oleh kenyataan bahwa strategi pemulihan untuk sektor-sektor ini menitik-beratkan target
pembangunan jangka panjang dan bukan sekadar perbaikan.
10
GOSL (2005), “Post Tsunami Recovery and Reconstruction Strategy” (Strategi Pemulihan dan
Rekonstruksi Pasca-Tsunami), Mei 2005.

15
Tabel 2. Perkiraan Kerugian dan Penilaian Kebutuhan untuk
Rekonstruksi dan Pembangunan Kembali (AS$ juta)
Sektor ADB/JBIC/WB* Pemerintah
Kerugian Kebutuhan Sri Lanka**
Perumahan 306–341 437–487 400
Jalan 60 200 210
Air dan Sanitasi 42 117 190
Sarana Perkereta-apian 15 130 77
Pendidikan 26 45 90
Kesehatan 60 84 100
Pertanian 3 4 10
Perikanan 97 118 250
Pariwisata 250 130 58
Listrik 10 67–77 –
Lingkungan 10 18 30
Kesejahteraan Sosial – 30 20
Sektor-sektor tidak terhitung 90 150
Telekomunikasi (Perikanan dan pedesaan) – – 60
Pembangunan Pelabuhan – – 32
Pengembangan Industri – – 34
Pengembangan Usaha – – 55
Prasarana Peraturan dan Administrasi – – 38
Microfinance/kredit UKM – – 150
Jumlah 970–1000 1500–1600 1769
Sumber: *ADB, JBIC, Bank Dunia (2005); ** GOSL (2005b).

4.1 Dampak pada PDB

Menurut ukuran PDB, dampak bencana tsunami pada hasil jangka pendek Sri Lanka
diharapkan akan terbatas – pada waktu laporan ini disusun (September 2005)
diperkirakan bahwa PDB 2005 akan turun sebesar 0,5–1,0 persen. Dampak yang relatif
kecil ini tampak agak mengherankan mengingat besarnya kerugian dalam aset maupun
jumlah korban manusia. Hal ini sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa hanya
sebagian kecil dari perekonomian yang terkena bencana. Alasan lain adalah bahwa
dampak pada PDB berjalan hanya mengukur kerugian jasa dari aset tetap dan sumber
daya manusia yang hancur selama tahun yang sedang berjalan. Dampak keseluruhan
bencana tsunami pada pendapatan nasional tentu saja jauh lebih besar, karena
merupakan jumlah kumulatif kerugian tahunan yang terjadi di masa mendatang yang
disebabkan oleh hilangnya aset-aset yang telah hancur. Pada masa-masa mendatang
dampak bencana akan bervariasi sesuai dengan berhasil tidaknya upaya menggantikan
aset yang hilang dan upaya mewujudkan rehabilitasi.
Selanjutnya, pengeluaran untuk pemberian bantuan akan segera membawa
akibat positif pada PDB yang berjalan. Keluarga yang terkena bencana telah mendapat
manfaat dari kiriman bantuan dari keluarga, teman, organisasi kemasyarakatan, dsb.,

16
untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yang segera, sehingga secara keseluruhan
pengeluaran mereka tidak akan banyak berkurang. Sebenarnya cukup banyak dari
modal luar negeri yang masuk pada awal 2005 adalah transfer pribadi baik dari
masyarakat Sri Lanka yang tinggal di luar negeri maupun dana yang dikumpulkan dari
sumbangan perseorangan kepada keluarga dan daerah yang terkena bencana. Di
samping itu, ada keluarga korban yang ‘melancarkan’ pengeluaran konsumsinya jika
mereka mempunyai tabungan atau akses ke pasar kredit. Pengeluaran uang yang
disebabkan oleh bencana tsunami ini secara keseluruhan akan mengurangi kemerosotan
jumlah pengeluaran keluarga.11

4.2 Pengeluaran Keuangan dan Harapan

Jika membahas dampak segera bencana tsunami pada ekonomi, dan pengaruh
pengeluaran yang mungkin sekali terjadi, pentinglah untuk memasukkan perubahan
dalam apa yang diharapkan masyarakat sebagai faktor yang berpengaruh. Keputusan
untuk membelanjakan dan menabung sangat dipengaruhi oleh harapan mengenai
pendapatan pada masa depan dan kebutuhan dana untuk keperluan berbelanja. Harapan
akan segala macam pendapatan di masa mendatang dapat menurun secara tajam sebagai
akibat bencana alam besar yang menghancurkan aset dan barang-barang konsumen
tahan lama. Dengan kata lain, keseluruhan kekayaan yang tersedia untuk membeli
barang konsumsi selama masa hidup seseorang akan berkurang banyaknya. Apabila
tingkat kekayaan seseorang berkurang, tanggapan yang biasa diberikan adalah
mengurangi pengeluaran untuk menyesuaikan diri dengan tingkat kekayaannya yang
lebih rendah. Sebaliknya, jika penurunan pendapatan masa kini diduga tidak akan
‘permanen’, maka orang akan mengambil dari tabungannya atau meminjam untuk
mempertahankan tingkat konsumsinya.12
Dalam kasus Sri Lanka, harapan orang sangat dipengaruhi oleh tanggapan
mula-mula dari masyarakat internasional yang menjanjikan pertolongan besar dalam
bentuk pemasukan bantuan dan pengurangan utang kepada masyarakat dan negara-
negara korban tsunami. Dampak janji-janji ini pada masyarakat Sri Lanka bersifat
segera dan nyata. Terlihat dengan nyata orang lebih bersemangat dan merasa lebih
optimis mengenai masa mendatang. Perasaan optimis ini lebih diperkuat lagi oleh
harapan akan tercapainya perdamaian abadi di negara ini atas dasar solidaritas
masyarakat tanpa mengenal batas-batas etnis yang timbul segera sesudah terjadi
bencana tsunami.
Pertanda yang paling jelas adanya suasana optimisme mendekati eforiasetelah
bencana tsunami dapat dilihat dalam pasar devisa (dan kemudian di pasar saham
Kolombo). Mata uang rupee yang sudah lama mengalami depresiasi sekarang
mengalami apresiasi tajam (Gambar 2) – suatu reaksi yang tampak aneh dan tidak

11
Memang tidaklah mustahil – setidak-tidaknya pada prinsipnya – bahwa PDB jangka pendek bahkan
akan meningkat segera sesudah terjadi bencana besar.
12
Tingkah laku seperti ini dikenal dengan istilah ‘melancarkan konsumsi’ (consumption smoothing)
sebagaimana tersirat dalam ‘hipotesa pendapatan tetap’ (permanent income hypothesis) sehubungan
dengan tingkah laku konsumen.

17
terduga, tetapi dapat dimengerti dalam konteks timbulnya harapan. Sebenarnya,
seandainya tidak ada intervensi dari Bank Sentral, kemungkinan apresiasi bahkan akan
lebih jelas lagi. Masalah ini akan dibahas secara lebih terperinci di bagian lain.

Gambar 2. Kurs Nominal (AS$ per Rs)

0,0104

0,0102

0,01

0,0098

0,0096

0,0094

0,0092

0,009
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu. Sep. Okt. Nov. Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu. Sep. Okt.

2004 2005

AS$ per Rs

Sumber: Bank Sentral Sri Lanka, Monthly Economic Indicators (Indikator Ekonomi Bulanan),
berbagai nomor.

5. Kerusakan dan Pemulihan: Sebuah Tinjauan

Tugas pemulihan jangka menengah melibatkan rehabilitasi dan rekonstruksi aset-aset


tetap (baik swasta maupun umum). Di samping itu tugas ini juga meliputi pemasokan
bahan dan bantuan kelembagaan yang perlu bagi keluarga untuk melakukan kegiatan
ekonomi guna membangun kembali mata pencahariannya. Ini tidak hanya melibatkan
rekonstruksi prasarana fisik dan penggantian aset, tetapi juga pembentukan kembali
pasar dan jaringan sosial. Seperti yang sudah disebutkan, bantuan dari dalam dan luar
negeri memungkinkan negara berhasil memberikan bantuan segera. Aset-aset yang
rusak perlu diganti untuk mencapai pemulihan sepenuhnya, dan bantuan yang
diperlukan untuk hal ini diperkirakan mendekati AS$2 milyar. Jumlah ini jumlah yang
besar sekali bagi Sri Lanka tetapi relatif kecil jika dibandingkan dengan tingkat bantuan
yang diberikan kepada korban bencana alam apabila terjadi di negara-negara maju.

18
5.1 Bantuan Internasional untuk Upaya Pemulihan

Tanggapan terhadap permintaan bantuan dari Sri Lanka mendapat tanggapan positif
sekali pada pertemuan donor internasional di Sri Lanka pada bulan Mei 2005. Bantuan
berjumlah AS$2,2 milyar dijanjikan selama jangka waktu 2–3 tahun – sekitar AS$700
juta setiap tahun. LSM dan organisasi-organisasi sektor swasta menjanjikan AS$853
juta, dan selebihnya dijanjikan oleh donor-donor dan pemerintah multilateral (untuk
perincian, lihat Tabel 3). Sebenarnya, bantuan dari luar yang dijanjikan ini – untuk
digunakan sebagai bantuan terus-menerus di samping untuk menutup biaya rekonstruksi
– melebihi jumlah yang diminta oleh pemerintah. Nampaknya tugas yang dihadapi oleh
yang berwewenang di Sri Lanka adalah bagaimana mengelola dana yang akan mengalir
masuk untuk upaya pemulihan, dan bukan bagaimana mengumpulkan dana yang
diperlukan. Keterbatasan dana untuk upaya pemulihan nampaknya sudah tidak ada lagi.

Tabel 3. Bantuan Donor untuk Kegiatan Rekonstruksi Pasca-Tsunami


Donor Bantuan yang dijanjikan
(AS$ juta)
Donor Bilateral 745
Badan-Badan Multilateral 631
LSM/Sektor Swasta 853
Jumlah 2229
Sumber: Cooray (2005)

5.2 Koordinasi dan Pembagian Bantuan

Yang merupakan masalah utama adalah mengkoordinasikan upaya bantuan dan


rekonstruksi. Di Sri Lanka diperlukan koordinasi di antara tiga kelompok. Pertama,
kegiatan berbagai unsur pemerintah perlu dikoordinasikan – baik yang bersifat lintas
sektor maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah lokal. Kedua, kegiatan berbagai
badan dan LSM perlu dikoordinasikan – sesudah terjadi bencana tsunami sekitar 180
LSM dan berbagai badan membanjiri Sri Lanka untuk beroperasi. Ketiga, diperlukan
koordinasi dengan LTTE yang menguasai beberapa bagian negara yang mengalami
kerusakan berat akibat gelombang tsunami.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sebagai bagian dari tanggapan
segera terhadap bencana tsunami pemerintah mendirikan Pusat Operasi Nasional (CNO)
di Kolombo untuk menangani upaya bantuan, dan tiga satuan tugas guna menangani
aspek-aspek khusus upaya bantuan tersebut. Sesudah satu bulan, ketika masa operasi
bantuan segera telah berakhir, TAFRER dan TAFLOL digabungkan menjadi satu
kesatuan – yaitu Satuan Tugas Bantuan (TAFOR) – untuk melaksanakan semua
tindakan bantuan. Dengan dibentuknya TAFOR maka operasi CNO dikurangi. Pada
bulan Februari, CNO dibubarkan dan para pejabat kembali ke tugas kementerian semula.
Dua Satuan Tugas Khusus, yaitu TAFOR (Satuan Tugas Bantuan) dan TAFREN
(Satuan Tugas Pembangunan Kembali Negara) mengambil alih tugas-tugas CNO. Pada
awal bulan Maret, didirikan Pusat Sektor Non-Pemerintah (Centre for Non-
Governmental Sectors – CNGS) oleh Kementerian Keuangan dan Perencanaan untuk

19
mengkoordinasikan kegiatan LSM-LSM. Dengan selesainya sebagian besar
pembangunan perumahan sementara, TAFOR diharapkan akan dibubarkan dan tugas-
tugasnya dialihkan ke Kementerian-Kementerian yang bersangkutan.
Pada tingkat lokal, peranan utama dalam memberikan bantuan kepada korban
bencana dipegang oleh Sekretaris Distrik (juga dikenal dengan sebutan kolonialnya
“Government Agent” – Agen Pemerintah) dan di bawahnya Sekretaris Divisi (atau
“Assistant Government Agent” – Pembantu Agen Pemerintah) serta grama niladhari. Di
banyak Distrik yang terkena bencana, dibentuk berbagai Panitia koordinator yang
meliputi bidang-bidang penting – mula-mula berkaitan dengan masalah-masalah
bantuan dan kemudian berkenaan dengan masalah-masalah rekonstruksi seperti
perumahan dan mata pencaharian. Akan tetapi sifat hubungan yang sebenarnya antara
tingkat lokal dan pusat seringkali tidak jelas – wewenang Panitia tingkat lokal untuk
membuat keputusan yang berarti itu terbatas. Pada tingkat lokal, peranan badan-badan
yang terpilih seperti Dewan Propinsi (Provincial Councils) dan pradeshya sabhas
sangat terbatas pada tahun pertama. Hal ini sekarang dapat menimbulkan kesulitan
mengingat bahwa mereka mempunyai tanggung jawab hukum dalam beberapa bidang
penting, seperti fasilitas umum setempat (listrik, air, dsb) yang diperlukan untuk daerah
perumahan baru.
Di pusat, TAFREN mempunyai peranan utama mengawasi pembangunan
kembali prasarana di daerah-daerah penting dan secara keseluruhan bertanggungjawab
atas dilaksanakannya program pemulihan pasca-tsunami. Meskipun TAFREN sebagai
satuan tugas dengan wewenang luas merupakan pilihan yang masuk akal untuk
mengkoordinasikan rekonstruksi pasca-tsunami, TAFREN itu sendiri kurang menjaga
hubungan dengan kementerian-kementerian yang bersangkutan (satuan tugas ini
didominasi oleh perwakilan sektor swasta). Hal ini menghambat kemampuannya untuk
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan di antara badan-badan pemerintah secara efisien.
Dibaginya rekonstruksi ke dalam sektor-sektor – seperti perumahan, air dan sanitasi –
pada gilirannya menimbulkan masalah koordinasi, misalnya, kepastian bahwa unit-unit
perumahan yang dibangun dapat mengakses air, sanitasi dan listrik yang diperlukan.
Ada pandangan bahwa TAFREN makin berupaya menjadi pemantau badan-badan
dengan tugas sendiri-sendiri, di samping berupaya berfungsi sebagai one-stop-shop,
tetapi peranan dan kemampuannya untuk mencapai tujuan ini tetap kurang jelas.
Dengan terpilihnya Presiden baru pada bulan November 2005, diambil keputusan untuk
menggabungkan TAFREN, TAFOR dan TAFLOL menjadi Dinas Rekonstruksi dan
Pembangunan (Authority of Reconstruction and Development) awal bulan Desember
2005. Penggabungan ini harus dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Parlemen.

5.3 Koordinasi Bantuan dengan Badan-Badan Donor dan LSM

Kelompok kedua yang kegiatannya perlu dikoordinasikan adalah LSM-LSM. Sejak dulu
Sri Lanka berpengalaman bekerja dengan badan-badan donor yang utama, dan beberapa
LSM internasional (INGO) telah lama beroperasi di negara ini. Bahkan sebelum
bencana tsunami Sri Lanka telah menyambut baik langkah-langkah menuju koordinasi
donor dalam konteks program-program rekonstruksi yang didanai oleh donor dan
berkaitan dengan konflik. Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank
Kerja Sama Internasional, Jepang (Japan Bank for International Cooperation – JBIC)

20
telah menjalin kemitraan. Hal ini memungkinkan dilakukannya penilaian tingkat awal
terhadap kebutuhan yang sangat berguna segera sesudah terjadi bencana tsunami. Akan
tetapi koordinasi dengan badan-badan donor dan LSM menjadi masalah yang jauh lebih
rumit karena begitu banyaknya LSM internasional yang membanjir sesudah terjadi
bencana tsunami (belum lagi perseorangan dan kelompok-kelompok kecil yang datang
dalam jumlah besar) serta praktek-praktek yang mereka lakukan.
Di antara LSM-LSM – baik internasional maupun domestik yang menerima
dana dari luar – ada yang menguasai dana-dana dalam jumlah besar. Karena mereka
tidak menghadapi masalah sumber dana, maka mereka tidak merasakan adanya insentif
untuk meningkatkan koordinasi. Bahkan ada yang secara terbuka memusuhi aksi apa
pun dari pemerintah yang tampak ‘mengendalikan’ kemandiriannya. LSM sangat
berbeda-beda dalam hal pengalaman, keterampilan dan gaya operasinya. Banyak LSM
yang kurang berpengalaman dan kurang berpengetahuan lokal, dan karena ingin cepat-
cepat membelanjakan uangnya mereka mengabaikan keadaan setempat dan kebutuhan
masyarakat.
Di samping itu keberadaan sejumlah besar donor/LSM kadang-kadang
menimbulkan persaingan. Di beberapa tempat telah berkembang kecurigaan yang
mendalam antara LSM setempat (yang telah bertahun-tahun bekerja di daerah tersebut)
dan beberapa LSM internasional dan badan-badan yang datang untuk memberikan
bantuan kepada korban tsunami. LSM-LSM Sri Lanka menyatakan keluhannya bahwa
mereka telah ‘didesak keluar’ oleh beberapa LSM internasional yang lebih besar dengan
dana lebih besar pula, yang telah ‘mencuri’ staf dan sumber daya dari LSM setempat.
Tentu saja ada LSM internasional dan badan-badan yang lebih berkeahlian dalam
membantu korban bencana alam besar (seperti penyediaan tempat-tempat berlindung
sementara dan bantuan lain), tetapi LSM domestik (dan LSM internasional yang telah
lama beroperasi di Sri Lanka) biasanya jauh lebih memahami keadaan dan kepekaan
setempat. Ditingkatkannya interaksi, hubungan dan koordinasi di antara mereka akan
bermanfaat bagi keseluruhan upaya pemberian bantuan dan rekonstruksi. Berdasarkan
pengamatan lapangan kurangnya koordinasi telah menyebabkan terjadinya banyak
kasus pembagian bantuan yang tidak semestinya. Pada bulan-bulan terakhir ini, telah
diterapkan mekanisme untuk meningkatkan koordinasi kegiatan donor, termasuk LSM-
LSM, pada tingkat daerah maupun setempat melalui pertemuan dan konsultasi yang
diadakan secara teratur oleh para petugas administratif. Belum dapat diketahui sampai
di mana kegiatan ini dapat dianggap efektif.

5.4 Koordinasi Bantuan di Daerah yang Dikuasai LTTE

Kelompok ketiga yang kegiatannya perlu dikoordinasikan adalah LTTE. Hal ini
merupakan masalah yang paling sulit dan paling banyak menimbulkan perdebatan.
Pembahasan untuk menentukan suatu mekanisme pembagian bantuan dimulai segera
sesudah terjadi gelombang tsunami dan sekarang masih berlangsung. Solidaritas
spontan yang mempersatukan masyarakat segera sesudah terjadi bencana tsunami
menghidupkan kembali harapan bahwa pada akhirnya akan memudarlah pertikaian etnis
yang telah membawa kerugian besar bagi negara pada tahun-tahun terakhir ini. Akan
tetapi persetujuan yang dapat diterima oleh kedua pihak dalam hal pembagian bantuan

21
agar bantuan dapat masuk ke daerah yang dikuasai oleh LTTE ternyata masih sulit
dicapai.
Pada satu pihak, ada unsur-unsur di dalam pemerintahan dan banyak kelompok
masyarakat mayoritas yang telah menentang persetujuan apa pun yang tampak
memberikan pengakuan de facto kepada LTTE sebagai kuasa administratif di daerah
yang dikuasainya. Sebaliknya, LTTE tidak bersedia menerima persetujuan yang
mengurangi kekuasaannya. Setelah diadakan perundingan yang berlarut-larut, maka
pada bulan Juni 2005 ditandatanganilah MoU yang menjelaskan persetujuan mengenai
pembagian bantuan antara Pemerintah Sri Lanka dan LTTE, Struktur Pengelolaan
Operasi Pasca-Tsunami (the Post Tsunami Operation Management Structure – P-
TOMS). Hal ini dirancang sebagai suatu mekanisme untuk membagikan bantuan di
daerah-daerah yang dikuasai oleh LTTE di Propinsi Utara dan Timur negara ini.
Persetujuan P-TOMS membayangkan dibentuknya Dana Regional untuk
memungkinkan donor menyalurkan dana tsunami langsung ke Propinsi Utara dan Timur.
Suatu badan multilateral (mungkin Bank Dunia) akan ditunjuk sebagai pengawas
(custodian) dana tersebut. Akan tetapi persetujuan ini langsung mendapat tentangan luas
dari dalam masyarakat Sinhala. Ketika diajukan ke pengadilan melalui petisi hak-hak
azasi, Mahkamah Agung memutuskan pada bulan Juli 2005, bahwa persetujuan tersebut
tidak bertentangan dengan konstitusi. Akan tetapi ada beberapa unsur yang
ditangguhkan oleh Mahkamah Agung sampai ada penjelasan, khususnya tentang Dana
Regional dan mengenai lokasi panitia regional di kawasan Kilinochchi yang dikuasai
oleh pemberontak. Di samping itu, banyak dari donor utama yang sedianya mendukung
gagasan mekanisme patungan untuk membagi bantuan antara Pemerintah Sri Lanka dan
LTTE akhirnya menolak menyalurkan bantuan langsung ke Dana Regional segera
sesudah MoU tersebut ditandatangani. Mereka menyatakan bahwa LTTE tetap dianggap
sebagai ‘organisasi teroris terlarang’ di negara mereka. Penandatanganan persetujuan P-
TOMS menyebabkan Pemerintah kehilangan suara mayoritasnya di Parlemen ketika
salah satu partai pendukung pemerintah, Janatha Vimukthi Peramuna (JVP),
meninggalkan pihak koalisi pemerintah. Sesudah pemilihan presiden pada bulan
November, dengan terpilihnya Presiden baru yang secara terbuka menentang
persetujuan tersebut, maka P-TOMS sekarang tersingkir dari daftar pokok kebijakan.

5.5 Masalah Mata Pencaharian

Hilangnya jiwa dan prasarana (aset-aset yang berkaitan dengan mata pencaharian,
rumah tinggal, prasarana sosial dan modal) di sepanjang dua per tiga garis pantai –
tingkat kemiskinan di banyak distrik di garis pantai ini lebih tinggi daripada tingkat
nasional – menyebabkan sejumlah besar penduduk jatuh miskin. Bagi distrik-distrik
yang menjadi korban bencana di bagian Utara dan Timur, stres yang diakibatkan
tsunami memperberat lagi beban marginalisasi yang sebelumnya sudah ada sebagai
akibat konflik yang berlangsung selama dua dasawarsa. Diperkirakan sekitar 150.000
orang kehilangan sumber penghasilan utamanya sebagai akibat gelombang tsunami.
Setelah satu tahun sebagian besar dari mereka telah mempunyai lagi suatu bentuk mata
pencaharian, tetapi:

22
• penghasilan mereka umumnya lebih rendah daripada penghasilan pra-tsunami
• banyak yang sudah miskin sebelum bencana tsunami
• ada yang “terperosok ke dalam celah” – misalnya lebih dari 20.000 orang diperkirakan
sakit dan luka-luka sesudah bencana tsunami. Juga ada yang menderita trauma berat
sehingga tidak dapat bekerja, dan ada yang perlu merawat orang lain.

Belum pernah ada tanggapan sebesar tanggapan yang diberikan sesudah


bencana tsunami. Uang dalam jumlah besar tersedia dari berbagai sumber untuk
pemulihan mata pencaharian. Meskipun uang ini telah memungkinkan cepat digantinya
aset-aset yang hilang, timbulnya konflik tidak dapat dihindarkan. Ada bahaya bahwa
sementara modal fisik cepat diganti, hal ini dilakukan dengan cara-cara yang
mengurangi modal sosial di suatu daerah, sehingga dengan demikian mempertajam
ketegangan dan persaingan yang sudah ada. Jadi “membangun kembali lebih baik
daripada sebelumnya” (“building back better”) merupakan konsep yang sulit dan sama
sekali tidak terjamin dapat dicapai. Bahkan ada beberapa bukti awal yang menunjukkan
bahwa banjir dana itu telah mempertajam ketegangan di banyak daerah, dan dalam
beberapa kasus ada bahaya akan menciptakan lebih banyak keburukan daripada
kebaikan. Ada tujuh rekomendasi penting untuk menghadapi beberapa tantangan ini:
i. Belajar dari pengalaman masa lalu dalam mengurangi kemiskinan di Sri
Lanka dan mempergunakan pengalaman itu sebagai landasan. Sejak
kemerdekaan pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya telah
mencoba berbagai program untuk mengatasi kemiskinan di Sri Lanka. Namun
terdapat suatu “paradoks pengurangan kemiskinan di Sri Lanka” yaitu di Sri
Lanka sekitar seperempat penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan
walaupun indikator sosial relatif baik. Program-program pengurangan
kemiskinan yang saat ini sedang dilaksanakan perlu dipahami dan dinilai untuk
meningkatkan intervensi mata pencaharian pasca-tsunami, menghindari
kesalahan lama dan menggunakan apa yang terbukti berhasil sebagai landasan.
ii. Menempatkan pemulihan mata pencaharian dalam konteks politik, ekonomi,
sosial dan ekonomi yang lebih luas. Untuk “membangun kembali lebih baik
daripada sebelumnya”, perlu dipahami dengan lebih mendalam apa yang
menyebabkan orang tetap miskin sebelum bencana tsunami. Keadaan setempat
juga perlu dipahami supaya intervensi jangan memperburuk ketegangan dan
konflik yang sudah ada. Intervensi mikro juga perlu ditempatkan dalam
konteks perubahan ekonomi yang lebih luas dan tantangan-tantangan
pemulihan pasca-tsunami yang lain. Masalah-masalah ini ada yang dapat
ditangani sekurang-kurangnya oleh beberapa pihak yang berkepentingan.
Penting bagi semua pihak untuk memahami konteks yang lebih luas untuk
menghindari intervensi yang terlalu ambisius, gagal atau, yang paling buruk,
membuat keadaan lebih buruk daripada sebelum bencana tsunami. Satu contoh
sederhana adalah peningkatan persediaan mesin jahit dan, dalam beberapa
kasus, perahu. Di beberapa daerah, peningkatan persediaan ini berpotensi

23
membuat kegiatan-kegiatan dalam bidang ini kurang menguntungkan
dibandingkan dengan keadaan sebelum tsunami.
iii. Mengatasi kecurigaan dan persepsi negatif di antara pihak-pihak utama yang
berkepentingan. Tantangan pemulihan pasca-tsunami biasanya bukan
kekurangan uang secara keseluruhan, tetapi terlalu banyak uang yang dapat
mengakibatkan kesulitan dalam lingkungan lembaga-lembaga, persaingan dan
korupsi. Di antara berbagai pihak yang berkepentingan banyak yang
menunjukkan kecurigaan dan persepsi negatif terhadap pemain-pemain penting
lain – LSM-LSM internasional, LSM-LSM Sri Lanka, organisasi-organisasi
yang bertumpu pada masyarakat, serta masyarakat madani. Hal ini hanya dapat
diatasi dengan berupaya memahami persepsi pihak lain dan bagaimana
persepsi negatif dapat diatasi. Penting untuk tidak terlalu memikirkan
kegagalan masa lalu – misalnya berupaya menentukan siapa yang menyuap
siapa – tetapi bergerak maju dengan melibatkan semua pihak yang
berkepentingan dalam proses belajar bersama.
iv. Menggunakan pengetahuan yang lebih baik mengenai permintaan dan pasokan
dalam hal kegiatan mata pencaharian, dan memberikan suara yang lebih besar
pada keluarga korban. Penting untuk mengumpulkan dan menggunakan
informasi pada tingkat lokal dan pusat. Informasi diperlukan untuk
mengidentifikasi siapa yang berhak menerima dan apa yang telah diberikan,
untuk menyusun rencana dan memantau kemajuan. Informasi pada tingkat
lokal diperlukan untuk mengembangkan rencana pemulihan lokal, sedangkan
informasi pada tingkat pusat untuk mengikuti kemajuan di seluruh negara dan
memungkinkan perencanaan intervensi. Juga penting sekali untuk menentukan
absahnya data pemulihan mata pencaharian tingkat makro dengan mengacu
pada data tingkat mikro – ada kalanya gambaran dari data makro itu positif,
sedangkan keadaan pada tingkat bawah ternyata tidak begitu positif.
v. Menggunakan kesempatan yang timbul hanya sekali dalam satu generasi untuk
meningkatkan sektor-sektor penting yang terkena bencana tsunami. Dengan
adanya dana besar yang mengalir masuk untuk rekonstruksi setelah bencana
tsunami, pada tingkat nasional perlu dikembangkan dan dilaksanakan strategi
untuk meningkatkan sektor-sektor yang terkena bencana, yaitu perikanan,
pariwisata dan usaha kecil dan menengah. Sektor pariwisata dan perikanan
telah mengembangkan strategi yang demikian, tetapi baru saat ini mulai
dilaksanakan. Perlulah untuk tetap memusatkan perhatian pada wawasan
jangka panjang tanpa menjadi macet karena menghadapi krisis secara ad hoc.
vi. Pihak-pihak utama yang berkepentingan perlu didorong melaksanakan rencana
patungan untuk membangun ekonomi semua keluarga di Distrik-Distrik yang
terkena bencana tsunami. Tanggapan terhadap bencana tsunami saat ini
memasuki tahap ketiga dalam hal mata pencaharian dan penghasilan. Pertama,
ada bantuan darurat (hibah uang tunai, uang tunai untuk upah, dsb), kemudian
penggantian aset-aset yang hilang dan sekarang, tahap ketiga, pemulihan
ekonomi. Ini juga memberikan kesempatan untuk melepaskan diri dari retorika

24
koordinasi dan bergerak ke arah pembuatan dan pelaksanaan rencana patungan
yang sebenarnya. Banyak keluhan telah timbul mengenai koordinasi yang
kurang baik dalam masalah mata pencaharian, tetapi hasil pelaksanaan
koordinasi ternyata masih saling berbeda. Sekarang sudah mulai diadakan
pertemuan secara teratur untuk membahas masalah pencaharian yang mulai
pada tingkat sekretaris Distrik dan Divisi – tetapi absensi masih menjadi
masalah (kadang-kadang dari pemerintah, kadang-kadang dari LSM-LSM) dan
seringkali mereka hanya berbagi informasi. Yang menjadi tantangan dalam
menempuh tahap berikutnya ialah untuk bertindak lebih lanjut yaitu benar-
benar membuat dan melaksanakan rencana patungan. Hal ini juga akan
memberikan peluang untuk memperluas fokus sehingga tidak hanya terpusat
pada keluarga-keluarga yang terkena bencana, tetapi meluas ke segenap
penduduk Distrik, termasuk keluarga-keluarga miskin lainnya. Pentargetan
pada keluarga korban tsunami itu sering perlu karena keterbatasan dana. Oleh
karena itu timbulnya konflik dengan keluarga-keluarga yang bukan korban
tetapi miskin tidak dapat dihindarkan. Setelah aset-aset yang hilang diganti,
upaya dialihkan pada pelatihan, kredit mikro, pengembangan usaha dan
penyediaan prasarana yang lebih baik, dan semuanya ini perlu disediakan
kepada semua penduduk Distrik-Distrik yang terkena bencana tsunami.
Perluasan yang demikian tidak hanya akan memastikan berkurangnya
kemiskinan secara keseluruhan, tetapi juga akan membatasi ketegangan yang
telah berkembang sebagai akibat fokus yang sempit yang tertuju pada
penggantian aset-aset yang hilang di banyak daerah.
vii. Meningkatkan kapasitas pemerintah lokal, keluarga korban, LSM-LSM dan
organisasi-organisasi yang bertumpu pada masyarakat untuk merencanakan,
melaksanakan dan memantau program-program pemulihan mata pencaharian.
Sekretaris-sekretaris divisi sekarang mulai mengambil peranan yang lebih aktif
dalam penyusunan dan pelaksanaan rencana program mata pencaharian.
Kemungkinan besar peranan mereka ini akan meningkat sejalan dengan
terpulihnya ekonomi. Kapasitas pada sekretaris-sekretaris divisi dan badan-
badan yang dipilih seperti pradeshya sabhas perlu didukung. Kantor-kantor
Sekretaris Divisi sekarang akan dilengkapi dengan sarjana-sarjana yang
perhatiannya terpusat pada masalah pemulihan mata pencaharian. Kapasitas
organisasi yang bertumpu pada masyarakat, seperti koperasi perikanan, juga
perlu mendapat dukungan. Meskipun organisasi ini telah mengalami campur
tangan politik dan ada yang dikuasai oleh kaum elite, persoalannya yang utama
adalah kurang giatnya memajukan kepentingan sendiri, serta kurangnya
keterampilan dasar dalam mengelola tata buku, dsb.

Banyak perempuan terperangkap dalam pekerjaan dengan gaji relatif rendah


dibandingkan dengan laki-laki. Program-program LSM mungkin membantu perempuan
mendapat penghasilan dari jenis-jenis pekerjaan yang menurut tradisi merupakan
pekerjaan perempuan. Akan tetapi perempuan perlu dibantu untuk mendobrak stereotip
gender dan menciptakan kesempatan baru yang lebih beragam supaya mereka dapat
memperoleh penghasilan dan tingkat pendapatan yang setara dengan laki-laki.

25
Dua per tiga dari korban jiwa tsunami dan 60 persen dari mereka yang mula-
mula kehilangan tempat tinggal terdapat di bagian utara dan timur Sri Lanka. Upaya
untuk memulihkan mata pencaharian di bagian utara dan timur harus mengatasi bukan
saja dampak bencana tsunami, tetapi juga warisan konflik yang sudah lama berlangsung.
Prasarana (jalan dan pelabuhan) di bagian utara dan timur kurang dikembangkan,
fasilitas kredit mikro dan sektor perbankan lebih terbatas dan tingkat penghasilan
biasanya lebih rendah. Untuk mengatasi ketidak-samaan struktural ini diperlukan suatu
paket investasi jangka panjang.
Dalam memusatkan perhatian pada mata pencaharian, janganlah dilupakan
bahwa banyak yang masih tidak dapat bekerja karena sakit atau memikul tanggung
jawab sebagai pengasuh orang lain. Untuk mereka ini perlu disediakan langkah-langkah
perlindungan sosial.
Dalam upaya memecahkan masalah kemiskinan, pentinglah untuk mengerti
apa yang memberikan motivasi kepada golongan-golongan yang lebih berkuasa dan
lebih kaya yang mendominasi beberapa bidang mata pencaharian. Apakah yang menjadi
kepentingan mereka dan perbaikan mata pencaharian apa yang akan mereka terima dan
apa yang akan mereka tentang? Dalam hal ini peranan advokasi penting untuk menarik
perhatian pada masalah-masalah ini. Misalnya penerima keuntungan terbesar dari
pekerja sabut kelapa dengan bayaran rendah adalah beberapa dari perusahaan ekspor
besar terandal. Walaupun sektor swasta telah giat pada tahap bantuan mengembalikan
mata pencaharian, hal ini perlu diperluas dengan mengupayakan peningkatan tanggung
jawab sosial perusahaan dalam upaya pemulihan mata pencaharian jangka panjang.
Bagian-bagian berikut meninjau perkembangan di sektor-sektor utama yang
terkena bencana maupun program-program utama bantuan mata pencaharian yang telah
diterapkan.

5.5.1 Perikanan

Sektor yang paling parah terkena bencana tsunami adalah sektor perikanan.
Diperkirakan bahwa sekurang-kurangnya 4.870 orang telah meninggal, sedangkan
sepertiga dari keluarga yang mengalami bencana bekerja dalam bidang penangkapan
ikan atau yang berkaitan dengan perikanan (103.000 orang dalam sektor perikanan
kehilangan tempat tinggal dan 16.500 dari rumahnya hancur, dan 13.300 mengalami
kerusakan). Di beberapa daerah angka-angka ini lebih tinggi. Misalnya, di bagian utara
distrik Jaffna angka tersebut mendekati 90 persen. Menurut perkiraan 24.192 perahu
dan sebanyak satu juta jaring mengalami kerusakan atau hancur. Pada bulan Juni 2005,
jumlah perahu yang diperbaiki atau diganti berjumlah 21.656 (TAFREN, 2005).13
Masalah yang telah timbul dalam sektor perikanan menonjolkan sejumlah
masalah rumit dalam menyediakan bantuan mata pencaharian yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dalam keadaan sulit pasca-bencana. Istilah ‘masyarakat nelayan’
sulit diartikan dengan tepat dalam menangani masalah mata pencaharian. Rumah tangga
nelayan sangat berbeda-beda, baik secara horisontal maupun vertikal. Ada yang menjadi

13
TAFREN (2005), “Rebuilding Sri Lanka: Post-Tsunami Reconstruction and Rehabilitation”
(Membangun Kembali Sri Lanka: Rekonstruksi dan Rehabilitasi Pasca-Tsunami) Juni 2005.

26
pedagang borongan tingkat lokal dan regional, ada yang menjadi pedagang eceran lokal,
dan ada juga yang bekerja dalam pemrosesan ikan. Pekerjaan menangkap ikan juga
menuntut jasa pendukung, khususnya jasa yang disediakan oleh perorangan yang
memperbaiki dan memasok perlengkapan. Yang terakhir, mereka yang menjadi nelayan
berasal dari tempat dan kelompok budaya yang berbeda-beda.
Bantuan untuk mengganti perahu yang rusak datang dari donor-donor yang
banyak jumlahnya yang melihat kapasitas perahu untuk mendatangkan penghasilan.
Jumlah perahu sekarang sudah mendekati jumlah pra-tsunami. Namun, karena industri
perikanan menggunakan berbagai jenis perahu, teknik dan praktek penangkapan ikan,
termasuk penggunaan jaring yang sangat berbeda-beda jenisnya, maka perahu-perahu
nelayan yang telah disediakan tidak selalu memenuhi persyaratan dari masyarakat. Hal
ini mencerminkan kurangnya dialog dengan para nelayan yang mengalami bencana dan
koordinasi buruk di antara badan-badan donor dalam membeli dan membagikan perahu
serta peralatan. Ada pekerja perikanan dan orang lain yang sekarang telah beruntung
menerima pemberian perahu, tetapi ada yang lain yang sebelum tsunami memiliki
perahu tetapi sampai sekarang belum menerima penggantinya. Dalam kasus-kasus lain
perahu yang diberikan tidak sesuai dengan jenis usaha penangkapan ikan sehingga tidak
dapat digunakan. Ada perahu yang mutu perbaikannya tidak memadai karena dikerjakan
dengan tergesa-gesa, dan langkanya jaring dan mesin juga merupakan masalah.
Penggantian perahu nelayan di beberapa lokasi tidak terkoordinasi. Sebagai
akibatnya jumlah perahu kecil lebih besar daripada jumlah pra-tsunami, dan hal ini
dapat mengakibatkan penangkapan ikan secara berlebih-lebihan. Umumnya, perahu
kecil paling cepat diperbaiki dan diganti. Di seluruh negara, lebih dari 80 persen dari
perahu kecil telah diperbaiki, sedangkan perahu yang lebih mahal dengan berat 3,5 ton
dan dapat digunakan berhari-hari baru 60–70 persen yang sudah diganti. Namun
demikian, upaya penggantian perahu tidak dilaksanakan dengan merata. Di daerah-
daerah bagian selatan seperti Kalutara, Hambantota dan Galle, demikian juga di
Trincomalee di bagian timur, jumlah perahu tradisional sudah melebihi jumlah sebelum
tsunami. Data juga menunjukkan bahwa LSM-LSM berniat untuk terus menyediakan
perahu yang di beberapa tempat dapat berakibat penangkapan ikan meningkat dua kali
lipat. Kemungkinan ini terutama terdapat di daerah-daerah pesisir di dekat pantai di
mana penangkapan ikan sudah dilakukan secara berlebihan sebelum tsunami. Akibatnya,
sekarang dilakukan upaya untuk mengurangi pemberian perahu kecil. Ada LSM yang
tanggap; LSM Sewa Lanka membatalkan pesanan perahu tradisional sebanyak 2.000
buah.
Akan tetapi persediaan jaring dan mesin masih merupakan masalah. Walaupun
penggantian perahu pada umumnya berjalan cepat, diperkirakan hanya 50 persen
sekarang dapat digunakan karena kekurangan jaring dan mesin. Diperkirakan bahwa
sekitar 1.700 mesin telah diperbaiki. Meskipun telah dipesan 6.000 mesin lagi,
menjelang akhir Juni 2005 baru 450 buah yang sudah datang. Dalam hal jaring, sudah
dipesan 46.000 – kebanyakan dari pemasok internasional – tetapi para pemasok hanya
dapat menyediakan separonya karena lonjakan permintaan sesudah tsunami.
Setelah mengalami penurunan tajam sesudah bencana tsunami, permintaan
domestik akan ikan telah membaik – sebelumnya konsumen merasa segan makan ikan
yang diduga telah makan mayat yang hanyut ke laut – dan saluran pasar tampak kembali

27
hidup dengan marak.14 Meskipun banyak korban jiwa, tampaknya hasil perikanan akan
mencapai tingkat pra-tsunami (kalau tidak bahkan melebihi) segera sesudah peralatan
diganti dan kerusakan pada pelabuhan perikanan kecil dan besar diperbaiki. Apakah
pemulihan sektor perikanan dapat bersinambung jelas tergantung pada cepat lambatnya
prasarana sektor ini dipulihkan.
Untuk benar-benar “membangun kembali lebih baik daripada sebelumnya”,
tantangan jangka panjang adalah mengatasi banyak kelemahan industri yang sudah ada
sebelum terjadi bencana tsunami. Penjajakan terhadap pandangan nelayan pada masa
lalu menunjukkan bahwa terdapat prioritas yang sangat berbeda-beda. Namun ada
beberapa masalah umum yang menonjol:
• Prasarana perikanan dan alat-alat penangkapan ikan
− Kurangnya investasi untuk prasarana perikanan (misalnya pelabuhan, tempat
penyimpanan dingin) di kawasan timur dan utara dibandingkan dengan di
kawasan selatan
− Meningkatkan desain perahu yang dapat beroperasi selama berhari-hari
− Kerugian pasca-panen ikan dan kurangnya fasilitas penyimpanan di perahu
• Pengelolaan perikanan
− Pembatasan khusus berkaitan dengan konflik di kawasan utara dan timur
dengan membatasi kekuatan mesin yang diijinkan
− Di antara pemilik kapal besar terdapat keprihatinan akibat menyusupnya kapal
asing ke perairan Sri Lanka. Hal ini benar-benar merupakan keprihatinan
karena, bertentangan dengan persepsi banyak orang, di Sri Lanka, seperti di
kebanyakan kawasan pesisir tropis, perikanan relatif kurang produktif.
Perikanan itu lebih produktif di kawasan yang beriklim sedang di mana
pertemuan arus air laut membentuk perairan campuran yang meningkatkan
produktivitas ikan.
− Masalah peralatan penangkap ikan gelap
− Penangkapan ikan secara berlebih-lebihan merupakan sumber keprihatinan
utama di pesisir selatan dan barat (di kawasan utara dan timur hal ini tidak
begitu menjadi masalah)
• Kelemahan kelembagaan lain
− Kelemahan dalam menyelenggarakan koperasi perikanan
− Meningkatkan syarat kerja bagi pekerja perikanan
− Melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan yang lebih berkuasa dalam
mengelola perikanan (misalnya tengkulak ikan)

14
Keseganan konsumen untuk makan ikan segera sesudah terjadi tsunami juga terlihat di tempat-tempat
lain yang terkena bencana seperti Indonesia.

28
− Lebih banyak dukungan dari LSM-LSM kepada Kementerian Perikanan dalam
upayanya untuk mengatur dan mengelola perikanan
• Akses kesempatan non-perikanan
− Kurangnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan kejuruan
khususnya bagi kaum muda

Kementerian Perikanan telah mengembangkan suatu rencana strategi untuk


industri yang akan memecahkan banyak dari masalah ini. Akan tetapi, seperti seringkali
terjadi, untuk melaksanakan rencana tersebut diperlukan dana, dan kelompok-kelompok
politik, administrasi serta LSM yang kompeten.

5.5.2 Pariwisata

Pada saat industri pariwisata di Sri Lanka mulai hidup kembali segera sesudah diadakan
persetujuan gencatan senjata, industri yang nasibnya naik-turun ini mengalami pukulan
lagi dalam bentuk gelombang tsunami. Sekitar separo dari 105 hotel besar dan kecil di
daerah yang terkena bencana – yang merupakan jantung “wisata pantai” – mengalami
kerusakan sebagian dan 8 hotel rusak seluruhnya. Sekitar seperempat (52 dari 242 hotel
yang terdaftar) di negara ini terkena. Dalam hal kamar, menjelang akhir bulan Februari
2005, kira-kira 3.500 dari 13.000 kamar di hotel-hotel ukuran menengah dan besar
belum dapat dihuni.
Kebanyakan usaha wisata menengah dan besar mempunyai asuransi untuk
bencana alam termasuk gempa bumi, dan ini ditafsirkan mencakup bencana tsunami.
Diperkirakan bahwa, sesudah bencana tsunami, santunan asuransi yang dibayarkan
berjumlah AS$150 juta, sebagian besar dibayarkan kepada industri hotel. Dengan
demikian diduga ada sejumlah hotel yang mampu menutup setidaknya sebagian dari
ongkos rekonstruksinya. Akan tetapi kebanyakan pengusaha hotel tidak mempunyai
asuransi untuk beberapa jenis dampak bencana seperti pembatalan pesanan kamar, dsb.,
dan harus menanggung kerugian ini sepenuhnya. Sejak bencana tsunami, perusahaan
asuransi menawarkan asuransi tsunami sebagai bagian dari asuransi terhadap bencana
alam. Hal ini telah menyebabkan ongkos asuransi meningkat kira-kira sebesar sepertiga,
dari 0,1 persen menjadi kira-kira 0,13 persen dari nilai aset. Untuk hotel yang berukuran
menengah dengan nilai sebesar sekitar AS$3 juta, hal ini berarti kenaikan premi sebesar
kira-kira AS$900, sedangkan untuk hotel yang bernilai sekitar AS$15 juta kenaikan
premium itu sebesar AS$4.500. Meskipun kenaikan itu signifikan, tetapi tampaknya
tidak terlalu memberatkan.
Bencana tsunami mungkin membawa dampak jangka menengah yang lebih
besar pada jumlah kedatangan wisatawan dan tingkat penghunian. Pada tahun 2004
sektor pariwisata mengalami masa gemilang dengan jumlah kedatangan sebanyak
566.000 orang. Kedatangan wisatawan diharapkan akan mencapai 600.000 pada tahun
2005 dengan kedatangan sebanyak 150.000 orang pada 3 bulan pertama tahun itu.
Perkiraan ini sekarang telah diubah menjadi 425.000 kedatangan pada tahun 2005 dan
575.000 pada tahun 2006 – meskipun ada yang mengatakan angka-angka ini terlalu
optimis. Sekitar 40 persen penghunian malam oleh tamu dari luar negeri di Sri Lanka

29
adalah di sepanjang pantai di pesisir bagian selatan dan timur pulau. Tingkat
penghunian di beberapa hotel yang tidak mengalami kerusakan di daerah-daerah yang
terkena bencana saat ini tinggi karena wisatawan digantikan oleh pekerja pemberi
bantuan, dsb., paling tidak untuk sementara waktu, sedangkan tingkat penghunian di
hotel-hotel di pantai dan tidak terkena tsunami di bawah 10 persen. Tingkat penghunian
di hotel-hotel di pedalaman juga rendah karena menurunnya jumlah kedatangan
wisatawan. Akan tetapi hotel-hotel di Kolombo penuh dengan pebisnis dan pengunjung
yang urusannya berkaitan dengan tsunami.
Untuk industri wisata pantai di pesisir, seperti halnya dengan industri
perikanan, gelombang tsunami dapat memberikan kesempatan untuk membangun
kembali industri tersebut dengan cara yang lebih bersinambungan. Rekonstruksi
sebagian besar hotel sudah dimulai. Kementerian Pariwisata membantu sektor
pariwisata dengan kampanye “Bangkitlah Kembali Sri Lanka” (Bounce Back Sri Lanka)
yang menggabungkan hubungan masyarakat dengan bantuan untuk membangun fasilitas
wisata pantai “kelas dunia”. Industri ini juga memperoleh hak impor bebas cukai untuk
peralatan yang diperlukan untuk rekonstruksi, dan Bank Sentral menyediakan fasilitas
pinjaman untuk usaha kecil dan menengah (UKM) yang meliputi industri pariwisata.
Lancarnya pembangunan sejumlah hotel mewah menunjukkan adanya sikap positif
jangka panjang. Badan Pariwisata telah mengambil langkah-langkah untuk menawarkan
Zona-Zona Wisata baru di mana tanah dan prasarana akan disediakan. Badan Pariwisata
bertujuan membangun 15 zona wisata dengan biaya masing-masing sebesar AS$12 juta
yang didanai oleh donor.
Namun demikian, bagi orang-orang yang terkena bencana yang memperoleh
penghasilannya baik secara langsung maupun tidak langsung dari industri pariwisata
ada masalah mendesak dalam hal mata pencaharian. Jika bencana tsunami terbukti
mengakibatkan penurunan jumlah kedatangan wisatawan, maka dengan rekonstruksi
yang cepat pun, pemulihan pada sektor pariwisata mungkin akan berjalan lamban.
Meskipun banyak pegawai hotel mungkin mendapatkan kembali pekerjaannya segera
sesudah hotelnya dibangun kembali, untuk sementara mereka tidak mempunyai mata
pencaharian alternatif. Keadaan ini sama atau bahkan lebih buruk untuk banyak usaha
kecil yang melayani wisatawan (misalnya usaha kerajinan tangan seperti membuat
renda).

5.5.3 Hibah Uang Tunai

Bantuan uang tunai segera itu penting sekali untuk keluarga, terutama keluarga yang
telah kehilangan anggota, rumah, aset lain dan pekerjaan. Oleh karena itu hibah uang
tunai sebanyak Rs 5.000 (AS$50) setiap bulan, dan rangsum yang terdiri dari makanan
dan uang tunai sebanyak Rs 375 (AS$3,75) merupakan bagian dari paket bantuan yang
mendapat sambutan baik. Menjelang akhir bulan Juni 2005, hampir semua penerima
bantuan yang memenuhi persyaratan, yaitu 880.000 orang, dilaporkan menerima uang
tunai sebanyak Rs 375 (AS$3,75) dan rangsum makanan (TAFREN, 2005).15 Dalam hal

15
TAFREN (2005), “Rebuilding Sri Lanka: Post-tsunami Reconstruction and Rehabilitation”
(Membangun Kembali Sri Lanka: Rekonstruksi dan Rehabilitasi Pasca-Tsunami), Juni 2005.

30
bantuan bulanan sebanyak Rs 5.000, semua keluarga yang diidentifikasi terkena
bencana tampaknya telah menerima dua kali pembayaran pertama, pada bulan Januari
dan Februari atau beberapa waktu sesudah itu. Di tempat-tempat yang tidak dapat
dijangkau oleh bank negara, seperti Propinsi Utara, penyediaan bantuan ditangani
dengan cara lain. Tampaknya rencana bantuan ini terbukti sangat efektif dalam
menjangkau penduduk yang terkena bencana, dengan membantu orang yang tidak
banyak berhubungan dengan sektor keuangan resmi. Bahkan ada orang yang membuka
tabungan deposito (yang merupakan syarat untuk menerima dana).
Namun, sesudah dua kali pembayaran Kementerian Keuangan memerintahkan
agar Sekretaris Divisi meninjau kembali daftar mereka yang memenuhi persyaratan
untuk menerima bantuan, dengan tujuan agar jumlah keluarga penerima bantuan
dikurangi. Kadang-kadang kriteria untuk menentukan siapa yang memenuhi persyaratan
diubah, surat edaran yang dikirimkan berbeda-beda isinya, dan informasi lengkap tidak
diumumkan secara terbuka bagi khalayak umum. Sebagian besar keluarga yang terkena
bencana tsunami tidak sepenuhnya tahu akan kriteria baru. Surat edaran dari pemerintah
yang mengumumkan kriteria yang sudah ditinjau kembali tampaknya sangat luas
cakupannya, dan memberikan cukup banyak kebebasanbertindak kepada petugas
pemerintah lokal. Akibatnya terjadi penafsiran yang sangat berbeda-beda, keterlambatan,
dan menumpuknya permohonan peninjauan kembali keputusan. Menurut wawancara
dengan pihak-pihak yang berkepentingan, di antaranya keluarga yang terkena bencana
maupun pejabat pemerintah, keluarga yang mempunyai ‘penghasilan tetap’ tidak lagi
memenuhi persyaratan. Atas dasar surat edaran pemerintah yang berubah-ubah
dibuatlah daftar baru dari mereka yang berhak menerima bantuan dan ini memakan
waktu beberapa bulan. Hal ini telah menambah pula kebingungan dan kekacauan,
ketidak-pastian dan kemarahan di antara keluarga korban.
Saat ini masalah pembayaran ini belum begitu jelas. Menurut TAFREN,
menjelang akhir bulan Juni 2005 pembayaran dilakukan kepada 234.000 orang yang
berhak menerimanya (TAFREN, 2005). 16 Menurut angka-angka dari Departemen
Sensus dan Statistik pembayaran pertama dilakukan kepada 250.844 keluarga, yang
kedua kepada 131.752 keluarga dan yang ketiga hanya kepada 165.000 keluarga.
Pembagian ini sedang di-audit untuk memeriksa pengelolaan keuangan maupun untuk
memastikan bahwa uang benar-benar sampai ke tangan korban tsunami yang
sesungguhnya. Bank Dunia mengharapkan progam ini akan diperpanjang selama dua
bulan lagi – selama empat bulan seluruhnya – sebelum dihapus setahap demi setahap.
Mempersempit cakupan bantuan supaya bantuan tersebut hanya disediakan
untuk mereka yang ‘benar-benar membutuhkan’ mungkin tampak adil, tetapi dalam
prakteknya pentargetan yang begitu sempit mungkin lebih merugikan daripada
menguntungkan. Dalam menilai perubahan yang diadakan terhadap program ini,
hendaknya diperhatikan bahwa pasca-tsunami, keluarga dengan penghasilan tetap pun
telah banyak kehilangan kekayaannya dalam bentuk rumah dan harta milik, dan mereka
kekurangan uang. Untuk memenuhi banyak kebutuhan mendesak, besar kemungkinan
mereka akan terjerumus ke dalam pinjaman dari sektor informal yang menarik bunga
16
TAFREN (2005), “Rebuilding Sri Lanka: Post Tsunami Reconstruction and Rehabilitation”
(Membangun Kembali Sri Lanka: Rekonstruksi dan Rehabilitasi Pasca Tsunami) Juni 2005.

31
tinggi. Barangkali yang paling penting ialah bahwa keputusan untuk menghapuskan dari
daftar penerima bantuan mereka yang mempunyai penghasilan tetap sesudah dua kali
pembayaran bulanan telah menimbulkan akibat sebaliknya. Dalam kenyataan hal ini
merugikan bukan hanya mereka yang tetap memegang pekerjaan lama tetapi, yang
mungkin lebih penting, juga mereka yang berhasil memperoleh pekerjaan teratur
sesudah bencana tsunami. Jika bantuan donor tersedia untuk program ini – dan sulit
untuk dimengertimengapa tidak ada dana mengingat bantuan yang dijanjikan pada bulan
Mei 2005 tengah dipenuhi – maka pengurangan bantuan sulit untuk dibenarkan,
mengingat bahwa memberikan penghasilan kepada keluarga korban itu jelas perlu.
Tambahan lagi, karena hibah uang tunai ini disetor ke rekening bank, maka biaya sistem
ini sangatlah hemat (cost effective) jika dibandingkan dengan biaya transaksi banyak
lagi proyek mata pencaharian tsunami yang sering kehilangan sebanyak 30 persen untuk
biaya administrasi.
Di sejumlah lokasi, LSM-LSM internasional yang besar telah memulai
program “upah untuk kerja” (cash for work) seperti menyingkirkan reruntuhan dan
membangun kembali tempat berlindung sementara. Upah harian yang ditawarkan adalah
Rs 300–350 (AS$3,00–3,50) untuk laki-laki dan perempuan. Jumlah ini mendekati upah
harian rata-rata yang sampai akhir-akhir ini berlaku bagi laki-laki, tetapi lebih tinggi
daripada upah yang biasanya dibayarkan kepada perempuan. (Perlu dicatat dengan
adanya inflasi, upah dan tarip ini mungkin cepat akan kehilangan daya tariknya.)
Manfaat program “upah untuk kerja” adalah bahwa progam ini memungkinkan mereka
yang terkena bencana memperoleh pekerjaan dan pada saat yang sama memecahkan
masalah kurangnya tenaga untuk menyingkirkan reruntuhan dan membangun tempat-
tempat berlindung sementara. Akan tetapi pendekatan ini terbatas manfaatnya. Dalam
praktek, progam ini sebagian besar menguntungkan mereka yang sehat dan kuat
badannya, terutama laki-laki. Yang tua, yang muda, yang sakit dan yang menderita
cacat serta mereka yang harus merawat orang lain (biasanya orang perempuan yang sulit
meninggalkan tanggungannya) sulit untuk memperoleh manfaat dari pendekatan seperti
itu. Ada LSM lokal yang tidak begitu suka pada program “upah untuk kerja” karena
dianggap merusak shramadana (gift of labour), yaitu kebiasaan bekerja secara sukarela
demi kepentingan masyarakat. Ada pula LSM yang tidak cukup anggarannya untuk
membayar upah sebanyak yang ditentukan.

5.5.4 Usaha Mikro dan Microfinance

Banyak keluarga korban yang bergerak dalam usaha mikro. Diperkirakan bahwa
sebanyak 25.000 usaha mikro tersebut mengalami kerusakan. Di samping itu, sekitar
15.000 orang yang jiwanya selamat dari bencana tsunami adalah wiraswasta atau
bekerja dalam sektor informal seperti pemrosesan makanan, pembuatan barang-barang
dari sabut kelapa, tukang kayu, penyadap nira aren untuk pembuatan tuak, dan penjahit.
Banyak dari pekerja ini membutuhkan dana untuk mengganti aset yang hilang atau
rusak seperti peralatan dan persediaan barang. Meskipun bidang perikanan telah banyak
menerima bantuan, tetapi jelas bahwa banyak kegiatan mata pencaharian lain kurang
mendapat perhatian. Seringkali kegiatan seperti merenda dan membuat barang-barang
dari sabut kelapa itu lebih penting bagi perempuan sehingga pemulihannya yang lebih
lambat dapat berdampak pada keluarga-keluarga yang dikepalai oleh perempuan (yaitu

32
kira-kira seperenam dari keluarga yang terkena bencana). Di beberapa tempat telah
timbul ketegangan antara nelayan dan kelompok-kelompok dengan mata pencaharian
lain, karena dalam kelompok-kelompok tersebut ada yang merasa industri perikanan
telah diberi perhatian lebih besar.
Sesudah satu tahun, banyak usahawan mikro telah mendapatkan kembali
perlengkapannya yang hilang, dan pekerja bangunan yang terampil memperoleh
manfaat dari boom yang dialami dalam bidang konstruksi. Akan tetapi di beberapa
tempat perempuan yang berwiraswasta (misalnya dalam bidang sabut kelapa, menjahit,
membuat tali, menenun, dsb) menghadapi persaingan dan pasaran yang sudah jenuh
sehingga penghasilannya menurun sampai ke bawah tingkat pra-tsunami. Toko tidak
boleh dibangun di zona penyangga dan tidak dapat mengakses kredit dari program-
program pemerintah yang ada. Mungkin tantangan yang terbesar adalah bagaimana
“membangun kembali lebih baik daripada sebelumnya”. Banyak pengusaha mikro –
yang membuat produk (misalnya sabut kelapa, tali, karpet, tikar, membuat makanan)
atau berjualan di warung-warung, dsb. sudah miskin sebelum tsunami. Yang menjadi
tantangan ialah membantu mereka mengentaskan diri dari kemiskinan. Akan tetapi
dengan sekadar membagikan kembali aset secara lebih luas (misalnya mesin jahit,
mesin sabut) keadaan mungkin menjadi lebih buruk daripada sebelumnya.17 Keperluan
yang mendesak adalah mengalihkan titik berat dari segi produksi ke permintaan pasar:
• Mengidentifikasi dan mengembangkan kegiatan ekonomi padat karya dan yang
melayani permintaan di pasaran lokal dan/atau dapat bersaing dalam pasar
internasional, misalnya beberapa contoh usaha yang menjanjikan dalam bidang
pariwisata yang bertumpu pada masyarakat lokal telah dimulai
• Meningkatkan nilai tambah dari kegiatan nilai rendah yang sekarang dilakukan –
misalnya dengan menyediakan bantuan dan pelatihan untuk meningkatkan mutu
desain produk
• Mendorong sektor informal untuk mengembangkan organisasi produsen guna
berunding dengan perantara/tengkulak atau kartel dengan tujuan memperoleh bagian
yang lebih besar dari harga eceran terakhir, dan manfaat-manfaat lain (misalnya kredit
mikro), dan juga dukungan advokasi. Misalnya, sebuah LSM di Galle telah
mengorganisasi penjual jalanan menjadi perserikatan untuk mendesak yang
berwewenang guna memperoleh tempat tetap untuk warung mereka dan mereka telah
memulai program kredit mikro; yang lain telah mengorganisasi koperasi pemasaran
sabut kelapa.

17
Bagian ini terutama didasarkan pada makalah yang disajikan oleh Kaml Kapadia pada lokakarya
“Reviving livelihoods after the tsunami: identifying gaps in existing programmes” (Menghidupkan
kembali mata pencaharian sesudah tsunami: mengidentifikasi kelemahan-kelemahan dalam program-
program yang ada).

33
• Mengadakan hubungan dengan sektor swasta lokal maupun internasional dan
meningkatkan penelitian pasar. Misalnya, beberapa LSM telah bekerja dengan
pembeli industri garmen untuk menjual pakaian yang dihasilkan oleh keluarga-
keluarga yang terkena bencana tsunami.

Walaupun perahu, jaring dan perlengkapan lain (disediakan melalui badan


bantuan) merupakan unsur pokok dalam pemulihan kegiatan perikanan, bagi banyak
usaha kreditlah yang merupakan masukan yang paling penting. Masalah yang dihadapi
oleh masyarakat miskin dalam mengakses kredit sektor formal sudah umum diketahui.
Meskipun microfinance sudah banyak yang memanfaatkannya, tetapi kebanyakan
program pra-tsunami memusatkan perhatian pada penyediaan pinjaman kecil. Hal ini
membantu mengurangi keadaan ekonomi mereka yang rawan tetapi belum sepenuhnya
berhasil mengentaskan penduduk dari kemiskinan. Sebelum terjadi bencana tsunami
banyak keluarga yang sudah mempunyai utang. Kesulitan seperti itu diperburuk pada
waktu masyarakat dilanda bencana alam yang merusak aset-aset kecil yang mungkin
mereka miliki. Dengan demikian hilanglah barang milik yang mungkin mereka gunakan
sebagai agunan untuk pinjaman (collateral). Berkurang pula orang yang dapat bertindak
sebagai penjamin, sementara keperluan untuk memperoleh kredit meningkat tajam.
Dapat tidaknya usaha-usaha mikro pulih kembali tergantung pada tersedianya
microfinance.18
Perlu ada keseimbangan yang dijagadengan bijaksana antara perlunya
“budaya” melunasi utang, dan perlunya bersikap realistis mengenai pinjaman dengan
suku bunga rendah. Akan tetapi yang tampaknya menjadi kendala utama adalah bukan
suku bunga itu sendiri, tetapi kemampuan untuk dengan cepat dan mudah mengakses
dana pada saat diperlukan. Dalam jangka lebih panjang, sedang diadakan pembahasan
mengenai kemungkinan ditingkatkannya peranan pemerintah dalam mengawasi kredit
mikro, dan kemungkinan diadakannya undang-undang untuk mengatur industri kredit
mikro.
Sejumlah program saat ini sedang dilaksanakan untuk menangani kebutuhan
akan microfinance pasca-tsunami. Sebelum terjadi bencana tsunami, sektor
microfinance di Sri Lanka relatif cukup baik, termasuk bank komersial dan bank
pedesaan yang melayani pelanggan kecil (misalnya Cooperative Rural Banks dan
Regional Development Banks). Di samping itu juga ada organisasi-organisasi yang
menggunakan pendekatan “akar rumput” (grassroots) pada microfinance di mana suatu
kelompok menyelenggarakan dana kredit berputar (misalnya Sanasa, Sarvodya SEEDs).
Untuk mendukung budaya melunasi utang yang kuat, sebagian besar organisasi
microfinance didorong untuk tidak mengubah kredit menjadi hibah. Apabila hibah
diperlukan, misalnya untuk perumahan dan makanan, hibah tersebut lebih baik
disediakan bukan oleh organisasi microfinance, tetapi melalui mekanisme kelembagaan
lain.

18
Potensi peranan microfinance dalam keadaan seperti itu didokumentasikan dalam tulisan-tulisan yang
makin banyak jumlahnya. Lihat, misalnya, Mathison (2003) dan ILO (2005).

34
Walaupun banyak yang berminat memberikan pinjaman baru, masalah yang
mendesak adalah bagaimana menangani pinjaman lama. Pada umumnya, masing-
masing bank dan lembaga microfinance bebas untuk merundingkan masalah ini atas
dasar kasus demi kasus, karena merekalah yang paling mengetahui kebutuhan dan
kemampuan kliennya untuk melunasi utang. Umumnya, organisasi microfinance hanya
menghapus utang jika terjadi kematian atau cacat seumur hidup, tetapi banyak
organisasi yang mengakui bahwa bencana tsunami bukanlah penyebab tunggakan yang
disengaja. Namun demikian, ada keprihatinan bahwa peminjam menghadapi risiko yang
tidak terduga sebelumnya, di antaranya musim kemarau panjang, banjir atau pergolakan
politik dan risiko politik. Dalam hubungan ini, ada organisasi microfinance yang lebih
senang menghindari penggunaan bencana tsunami sebagai preseden untuk menghapus
pinjaman. Yang lebih disukai adalah menjadwalkan kembali pelunasan pinjaman supaya
klien mempunyai waktu untuk kembali pada arus kas positif. Pinjaman bahkan dapat
diberikan untuk mengganti aset-aset yang hilang dan untuk meningkatkan penghasilan
di masa mendatang. Dalam jangka panjang hal ini bermanfaat bagi klien, karena
penghapusan pinjaman akan mempersulit upaya memperoleh kredit di masa yang akan
datang.
Bank Sentral telah melaksanakan program microfinance (Susahana) melalui
dua bank dagang milik pemerintah. Pinjaman Susahana disediakan tanpa keharusan
membayar kembali pada tahun pertama dan suku bunga ditetapkan 6 persen sesudah
jangka waktu satu tahun tersebut. The National Development Trust Fund (NDTF) juga
memberikan tawaran yang sama melalui organisasi-organisasi mitranya. Menjelang
akhir bulan Juni 2005, 4.154 orang pemohon telah menerima Rs 1.940 juta (AS$19 juta)
melalui program Susahana bank-bank milik negara, dan 4.437 orang lagi telah
menerima Rs 158 juta (AS$1,58 juta) melalui program NDTF. Menjelang bulan
November 14.000 orang pemohon telah menerima hibah dari program Susahana dan
NDTF yang semuanya berjumlah Rs 3,7 milyar (AS$37 juta).
Menurut pernyataan Susahana, program ini juga bertujuan menjangkau
usahawan mikro. Meskipun disangkal oleh Susahana, program ini ternyata diatur
sedemikian rupa sehingga sangat sulit bagi usahawan kecil yang terkena bencana
tsunami untuk memperoleh akses. Persyaratan untuk memperoleh akses sangat berat.
Informasi yang diteruskan kepada mereka yang tinggal di perkemahan mula-mula
terbatas, demikian juga formulir permohonan. Penjamin yang diperlukan diharuskan
mempunyai penghasilan tetap di atas tingkat tertentu. Pemohon diharuskan juga
memberikan jaminan tambahan dan tanah di zona penyangga tidak dapat digunakan
untuk jaminan tersebut. Belum jelas bagaimana hal ini dapat berubah mengingat baru-
baru ini diumumkan perubahan pada peraturan mengenai bangunan di zona penyangga.
Pinjaman hanya akan diberikan kepada usaha yang terdaftar sebelum terjadi bencana
tsunami, sehingga tidak ada peluang bagi banyak usaha kecil yang tidak terdaftar –
banyak perusahaan kecil ternyata tidak terdaftar. Oleh karena itu, orang tidak mencari
mata pencaharian baru dalam menanggapi keadaan yang telah berubah sebagai akibat
bencana tsunami, misalnya kematian pencari nafkah utama, cacat atau tugas baru

35
merawat anggota keluarga. Persyaratan program Susahana perlu segera ditinjau kembali
agar program ini dapat menjangkau usahawan-usahawan mikro yang lebih miskin.19
Bank Pembangunan Asia (ADB) telah mendukung program besar microfinance
untuk Sri Lanka yang bekerja melalui organisasi-organisasi pada tingkat “akar rumput”
(grassroots). Pada dasarnya program ini berkemampuan untuk mengatasi keterbatasan
program Susahana. Pada bulan Februari program ini mengumumkan akan
menggunakan AS$7 juta untuk menjangkau masyarakat-masyarakat yang terkena
bencana tsunami. Dalam penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis laporan ini,
penulis tidak dapat menentukan jangkauan yang sebenarnya dan keefektifan program ini.
Akan tetapi jelas bahwa suatu program microfinance yang berhasil akan memenuhi
kebutuhan mendesak, terutama dalam memenuhi kebutuhan keuangan usaha-usaha
mikro yang terkena bencana tsunami untuk membangun kembali mata pencahariannya.

6. Membangun Kembali Aset Tetap dan Prasarana

Rehabilitasi perumahan dan prasarana yang rusak merupakan inti program pembelajaan
modal yang terkait dengan pemulihan pasca-tsunami. Pendanaan dari donor dipandang
sangat penting untuk tugas ini. Oleh karena itu pada pertemuan para donor pada bulan
Mei 2005 diajukan permintaan dana untuk memenuhi keperluan yang telah diketahui.
Pembangunan prasarana umum diharapkan akan didanai seluruhnya oleh donor-donor
luar negeri dengan badan-badan multilateral maupun negara-negara tertentu yang
menyetujui pendanaan proyek-proyek tertentu. Hubungan komunikasi dan transpor
yang utama telah diperbaiki, setidak-tidaknya untuk sementara waktu. Namun dalam
banyak kasus gedung-gedung umum dan prasarana lain, seperti jembatan, masih harus
diperbaiki secara keseluruhan atau dibangun kembali secara pemanen, terutama di
sebelah Utara dan Timur negara.
Bantuan keuangan luar negeri juga diharapkan akan mendanai tempat tinggal
baru yang menurut rencana diperuntukkan bagi keluarga-keluarga yang terkena bencana
dan yang telah dibuatkan rencana rumah baru; LSM-LSM (termasuk beberapa LSM
lokal) dan perusahaan swasta diharapkan akan menyumbang cukup banyak dalam upaya
ini.
Dalam kedua kasus di atas, nyata-tidaknya kemajuan akan tergantung tidak
hanya pada bantuan yang dijanjikan – apakah bantuan itu benar-benar menjadi
kenyataan – tetapi juga sampai di mana dana mampu membiayai ongkos rehabilitasi,
dan pembangunan kembali, yang sesungguhnya. Seperti yang akan dibahas kemudian,
sampai di mana rekonstruksi ini dapat berhasil dilaksanakan dengan baik mungkin
sekali akan menjadi tanda tanya besar karena meningkatnya biaya dan tekanan fiskal.

19
Juga diperlukan jasa non-keuangan untuk membantu yang miskin mengembangkan keterampilan baru
dan akses pasar supaya mereka dapat memanfaatkan microfinance. Mereka yang belum menjadi anggota
perserikatan kredit berputar mungkin mengalami masalah dalam mengakses kredit.

36
6.1 Perumahan

Penilaian terhadap kebutuhan yang dilakukan baik oleh ADB-JBIC-WB maupun oleh
Pemerintah Sri Lanka yang disajikan kepada para donor pada bulan Mei 2005
mengidentifikasi kerusakan pada perumahan sebagai kelompok kerusakan terbesar pada
aset fisik (Tabel 2). Wawancara lapangan yang dilakukan oleh IPS dan organisasi-
organisasi lain telah menunjukkan bahwa perumahan dipandang sebagai hal yang paling
dikhawatirkan oleh keluarga-keluarga yang kehilangan tempat tinggal, dan cita-cita
utama mereka adalah memperoleh kembali tempat berlindung yang permanen dan
memadai. Di bawah ini masalah perumahan dibahas secara terperinci karena masalah ini
sangat penting. Dalam analisis penulis, tersorotnya masalah perumahan memunculkan
beberapa pertimbangan penting berkaitan dengan disusunnya kebijakan.

6.2 Perumahan dan Zona Penyangga

Sejak permulaan sekali, masalah perumahan dipengaruhi oleh pengumuman pemerintah


yang dikeluarkan segera sesudah terjadi bencana tsunami. Menurut pengumuman
tersebut pemerintah akan menentukan zona penyangga yang tidak boleh diberi
bangunan (‘no-build’ buffer zone) selebar 200 meter sepanjang pantai utara dan timur
dan 100 meter di pantai-pantai lain negara ini. Diumumkan bahwa penduduk di zona ini
tidak akan diijinkan membangun kembali bangunan yang rusak atau hancur. Dikatakan
bahwa lebarnya zona yang lebih besar di sebelah utara dan timur dapat dibenarkan
karena di kawasan tersebut air laut naik lebih jauh ke pantai dan risiko dilanda badai
lebih besar. Di daerah-daerah yang dikuasai oleh LTTE, berita mula-mula menyebutkan
bahwa di kawasan ini akan ditentukan zona penyangga yang sama – atau bahkan lebih
lebar. 20 Pemerintah berjanji bahwa bagi mereka yang rumahnya terletak di zona
penyangga dan mengalami kerusakan, akan disediakan rumah baru yang dibangun di
tanah yang akan diperoleh untuk tujuan ini dan yang cukup dekat dengan rumah lama.
Di zona penyangga yang dibebaskan dari bangunan, pedoman TAFREN
tanggal 15 Maret 2005 menyatakan bahwa pemerintah “akan mengidentifikasi tanah
yang terdekat dengan desa yang terkena bencana dan akan menyediakan rumah bagi
keluarga-keluarga yang terkena bencana. Proses relokasi akan diupayakan agar sedapat-
dapatnya masyarakat tetap utuh”. Menurut pedoman, bantuan akan diatur sebagai
berikut:

20
Zona penyangga dan ‘set back’ keduanya merupakan cara untuk menciptakan ruang antara zona yang
ditempati bangunan dan pantai. Zona ini tidak mengurangi akibat bahaya seperti gelombang tsunami
tetapi dirancang untuk menjauhkan penduduk dari daerah bahaya. Zona seperti ini memfasilitasi
pelestarian eko-sistem dengan membatasi jenis-jenis tertentu kegiatan manusia. Zona tersebut mungkin
membawa akibat bermanfaat bagi kerusakan gelombang. Setback pantai diartikan “suatu jarak yang
ditentukan dari laut ke arah suatu ciri pantai, seperti sederetan tumbuhan tetap, dan di dalam jarak ini
dilarang mengadakan pembangunan apa pun, atau dilarang melakukan jenis pembangunan yang tertentu”
(“Coastal Zone Management Plan Sri Lanka 2004”: Coast Conservation Department, Government of Sri
Lanka). (Rencana Pengelolaan Zona Pantai, Sri Lanka, 2004: Departemen Pelestarian Pantai, Pemerintah
Sri Lanka). Untuk pembahasan mengenai zona penyangga di negara-negara berkembang, lihat Ebregt dan
De Greve (2000).

37
• Tidak akan diijinkan membangun kembali rumah (yang sebagian atau seluruhnya
mengalami kerusakan) di dalam zona penyangga.
• Bagi semua keluarga yang terkena bencana akan disediakan rumah yang akan
dibangun dengan bantuan donor di tanah yang ditentukan oleh negara. Keluarga tidak
akan diminta untuk menunjukkan kepemilikan tanah. (Tekanan oleh penulis)
• Rumah yang baru akan dibangun sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh UDA
dan akan berlantai seluas 500 kaki persegi dan akan dilengkapi dengan listrik, air
ledeng, sanitasi dan fasilitas pembuangan air.
• Rumah yang diusulkan untuk dibangun di kampung-kampung perkotaan dan di
pedesaan akan memiliki fasilitas seperti jalan, rekreasi, dsb.

Pemilik rumah yang mengalami kerusakan akan diperbolehkan tetap memiliki


tanahnya untuk keperluan pertanian dan akan diberi tawaran tanah gratis dan rumah
gratis di tempat lain. Rumah yang tidak mengalami kerusakan dan hotel (kalaupun
mengalami kerusakan) akan diijinkan tetap berada di zona penyangga. Bagi penduduk
di zona penyangga, pemerintah berencana membantu bukan hanya pemilik tanah, tetapi
semua penduduk (termasuk mereka yang melanggar batas-batas zona) dengan
perumahan. Untuk rencana ini diperlukan sekitar 50.000 rumah permanen.
Bagi mereka yang rumahnya mengalami kerusakan dan terletak di luar zona
penyangga, pemerintah akan menyediakan hibah dan pinjaman untuk membangun
kembali rumahnya di tempat yang sama. Hibah ini disediakan melalui bank negara
dengan dana yang berasal dari badan-badan donor. Menurut pedoman TAFREN tanggal
15 Mei 2005, kriteria berikut berlaku bagi keluarga di luar zona penyangga:
Semua rumah tangga di luar zona penyangga yang terkena bencana dan dapat
menunjukkan kepemilikan tanah berhak menerima hibah dari negara. Rumah
tangga yang tidak mempunyai sertifikat kepemilikan tanah tidak berhak
menerima bantuan ini.
Kerusakan ditaksir dengan mengikuti sistem poin, dan dinilai oleh Panitia
Verifikasi (Verification Committee).21 Jika kerusakan rumah melebihi 40 persen, hibah
sebesar Rs 250.000 (AS$2.500) diberikan dalam 4 kali angsuran yang didasarkan pada
kemajuan yang dicapai. Jika kerusakan rumah di bawah 40 persen, maka disediakan
hibah sebesar Rs 100.000 (AS$1.000) yang dibayarkan dalam 2 tahap.22
Zona penyangga adalah pendekatan yang banyak digunakan untuk tujuan
pelestarian dalam berbagai konteks. Konsep zona penyangga merupakan tindakan reaksi

21
Di samping itu, keluarga yang telah berhasil menggunakan hibah berhak mengajukan permohonan
pinjaman konsesi sebesar Rs 500.000 dari kedua bank dagang milik negara.
22
Sejak menjadi jelas bahwa ada ketidak-adilan dalam menyediakan jumlah uang yang sama untuk
membangun kembali rumah dengan jendela pecah dibandingkan dengan rumah yang mengalami
kerusakan lebih besar (meskipun kerusakannya di bawah 40 persen), maka sedang dipertimbangkan suatu
sistem baru yang membayarkan Rs 50.000 (AS$500) satu kali bayar bagi mereka yang kerusakan
rumahnya di bawah 20 poin menurut penilaian sistem verifikasi kerusakan.

38
terhadap kerusakan luas yang diderita masyarakat yang tinggal di dekat pantai.
Pendekatan ini tidak hanya menyoroti ancaman bahaya bagi mereka yang tinggal di
dekat laut tetapi juga mengarahkan perhatian pada banyaknya orang yang, pada
dasarnya, menduduki tanah secara ilegal atau tinggal di rumah yang dibangun
bertentangan dengan hukum. Yang mungkin menjadi alasan utama bagi pemerintah
untuk menentukan zona penyangga adalah pandangan bahwa jika terjadi bencana serupa
(gelombang tsunami lagi atau badai) yang mengakibatkan banyak korban jiwa atau
kerusakan rumah yang sudah dibangun kembali, pemerintah pastilah akan dipersalahkan
jika tidak ada daerah bebas bangunan yang ditetapkan.
Akan tetapi mungkin ada pertimbangan lain yang berperan juga. Undang-
Undang Pelestarian Pantai (Coast Conservation Act) (1981, di-amandemen pada tahun
1988) melarang siapa pun melakukan “kegiatan pembangunan” (termasuk akuakultur)
di dalam zona kecuali orang tersebut diberi wewenang dengan surat ijin dari Direktur
Pelestarian Pantai. Menurut Undang-Undang tersebut, ijin tidak dapat dikeluarkan jika
kegiatan akan membawa akibat buruk pada stabilitas, produktivitas dan mutu
lingkungan zona pantai. Namun Undang-Undang ini belum pernah ditegakkan dengan
ketat. Tampaknya inilah saatnya untuk akhirnya mulai melaksanakan langkah-langkah
pelestarian pantai yang juga memastikan bahwa sejumlah besar orang akan dipindahkan
dari tempat di mana mereka mudah mengalami kerusakan karena gelombang. Kepala
Departemen Pelestarian Pantai (the Coastal Conservation Department – CCD),
misalnya, dilaporkan telah berjanji bahwa mulai sekarang CCD akan melaksanakan
peraturan zona penyangga secara ketat dan tidak akan ada pembangunan baru atau
pembangunan kembali yang akan diijinkan. Beliau menegaskan bahwa banyak rumah di
sepanjang pantai, yang dihancurkan gelombang tsunami, adalah ilegal.23
Sejak awal sekali, zona penyangga merupakan masalah politik yang
kontroversial dan menimbulkan cukup banyak tentangan dari kelompok-kelompok
masyarakat dan bisnis. Batas-batas zona ditentukan tanpa perundingan sebelumnya
dengan masyarakat dan tidak sesuai dengan wilayah kerusakan akibat gelombang
tsunami. Batas-batas zona tidak ditentukan dengan mempertimbangkan ciri-ciri
topografi dan ciri-ciri tanah lain yang relevan yang akan berpengaruh pada risiko
bahaya. Dengan demikian dasar pemikiran untuk menetapkan batas 100 dan 200 meter
tampaknya sewenang-wenang. Pemerintah membela diri dengan menyatakan bahwa
pemerintah perlu bertindak dengan cepat sebelum orang pindah kembali ke zona, dan
pendekatan seragam merupakan cara yang paling adil dan tercepat. Juga ada ketidak-
puasan bahwa peraturan itu hanya berlaku bagi penduduk yang rumahnya mengalami
kerusakan, tetapi tidak berlaku untuk usaha-usaha pariwisata yang diijinkan
membangun kembali. Lagi pula keluarga yang rumahnya tidak mengalami kerusakan
diijinkan tetap tinggal di rumahnya. Malahan pesisisr sepanjang Galle Road di Kolombo
– salah satu jalur yang paling padat penduduknya – termasuk dalam zona penyangga.
Jika dasar pemikiran untuk zona penyangga itu keselamatan umum, maka peraturan
mengenai zona penyangga sebaiknya diterapkan secara seragam pada semua bangunan.
Walaupun demikian, pendapat tersebut mungkin dapat dibantah karena tidaklah masuk

23
Daily News, 02/02/05

39
akal untuk merobohkan rumah yang tidak rusak sedangkan masyarakat sangat
membutuhkan rumah. Juga tidaklah masuk akal untuk berupaya memindahkan sejumlah
besar orang yang sudah mempunyai rumah yang layak huni.
Apa pun segi baik yang terdapat dalam alasan pemerintah – memang konsep
zona penyangga untuk pengelolaan eko-sistem cukup dapat dipertanggungjawabkan –
cara diskriminatif dalam melaksanakan peraturan bebas pembangunan pasti akan
menimbulkan ketidak-puasan dan membangkitkan kecurigaan akan kemungkinan
adanya udang di balik batu. Walaupun banyak korban bencana tsunami, khususnya
mereka yang rumahnya mengalami kerusakan berat karena gelombang tsunami dan
kehilangan anggota keluarga, tidak bergairah membangun kembali di tempat yang
sama,24 tetapi mereka merasa khawatir kalau-kalau mereka akan dipindahkan jauh dari
tempat mereka bekerja atau dari tempat usahanya, dan mereka cemas pula akan
kemungkinan kehilangan tanah miliknya karena diambil oleh orang lain (seperti usaha
pariwisata yang dapat membangun kembali). Banyak korban tsunami bekerja sebagai
nelayan yang perlu menyimpan perahu dan bekalnya di dekat pantai sedangkan ada
kegiatan menangkap ikan yang memerlukan partisipasi masyarakat – seperti menarik
jaring besar (Ma Del). Di daerah-daerah perkotaan yang berpenduduk padat, relokasi
bangunan-bangunan yang berkaitan dengan usaha ke daerah pedalaman dapat memakan
biaya tinggi.
Keprihatinan masyarakat dinyatakan dalam lingkungan politik. Partai oposisi
yang terbesar, Partai Persatuan Nasional (the United National Party – UNP),
menyatakan bahwa partai ini menentang pembatasan yang diterapkan pada warga yang
ingin membangun kembali rumahnya yang mengalami kerusakan tsunami di dalam
kawasan penyangga. Meskipun demikian, sampai akhir-akhir ini para pemimpin senior
pemerintahan terus menegaskan komitmen mereka yang kuat untuk mempertahankan
batas-batas zona penyangga. Akan tetapi, sejalan dengan meningkatnya tekanan politik,
timbul tanda-tanda bahwa komitmen pemerintah mungkin tidak sekuat yang
didengungkan. Di beberapa tempat di pantai timur, menjelang awal bulan Agustus
kebijakan ini telah diperlonggar, meskipun tidak ada pengumuman terbuka. Menjelang
akhir bulan Agustus pemerintah tidak lagi kaku dalam melaksanakan pembatasan zona
penyangga, dan kebijakan yang lebih longgar muncul yang mengijinkan keluarga di
dalam zona penyangga memperbaiki atau membangun kembali rumahnya jika mereka
memilih untuk melakukannya. Batas-batas yang baru menunjukkan cukup banyak
keragaman setempat sepanjang daerah-daerah pesisir (lihat Lampiran Tabel A-1).
Kebijakan pemerintah mengenai zona penyangga telah mengalami perubahan,
tetapi dampak perubahan-perubahan ini untuk strategi rekonstruksi rumah dan
kebutuhan dana masih perlu diuraikan. Jika perbaikan atau pembangunan kembali
rumah di dalam zona penyangga tidak didukung bantuan keuangan dari pemerintah
(atau dari dana bantuan yang disalurkan melalui pemerintah), implikasi keuangan untuk
program pembangunan rumah masyarakat akan tergantung pada keputusan apakah

24
Dalam kenyataan, survei yang dilakukan oleh IPS menunjukkan bahwa tiga per empat dari keluarga di
dalam daerah yang ditunjuk sebagai zona penyangga tidak ingin membangun kembali di tempat yang
sama (IPS, 2005).

40
keluarga-keluarga tersebut memenuhi persyaratan untuk menerima rumah alternatif
yang baru.

6.3 Pelaksanaan Program Perumahan

Program perumahan untuk masyarakat korban bencana tsunami di Sri Lanka telah
mengalami kemajuan. Menjelang pertengahan bulan Juni 2005 jumlah orang yang tidak
bertempat tinggal berkurang dari sekitar 800.000 segera sesudah terjadi bencana
tsunami menjadi 516.000 orang. Orang telah kembali ke rumah masing-masing (banyak
yang pulang walaupun rumahnya hancur atau mengalami kerusakan) dan namanya
dicoret dari daftar statistik. Pada tahap awal sebanyak 169.000 orang yang ditempatkan
di gedung-gedung sekolah dan tenda-tenda sebagian besar telah dipindahkan ke tempat
berlindung sementara (sebagai jembatan antara akomodasi darurat dan perumahan
permanen). Tempat berlindung sementara hanya disediakan bagi keluarga-keluarga
yang tinggal di zona penyangga dan terkena bencana. Menjelang akhir bulan Agustus
2005, TAFREN memperkirakan bahwa sekitar 52.383 tempat berlindung sementara
telah dibangun sejak bulan Februari 2005 di 492 lokasi. Tempat berlindung ini dihuni
oleh sekitar 250.000 orang yang kehilangan tempat tinggal karena gelombang tsunami.
Sebanyak 55.000 tempat berlindung seperti ini diharapkan telah selesai dibangun
menjelang akhir bulan September 2005. Dengan demikian program pembangunan
rumah sementara akan selesai, dan target ini tampaknya akan dapat dicapai. Tempat-
tempat berlindung seperti ini makin perlu dan penting untuk dirawat karena
pembangunan rumah permanen mengalami keterlambatan. Pemerintah Sri Lanka
bersama dengan badan-badan donor dan LSM-LSM telah menyetujui suatu rencana
yang memerinci tugas dan tanggung jawab memelihara tempat-tempat tersebut selama
1–2 tahun mendatang.
Perkiraan awal menunjukkan rumah yang sebagian atau seluruhnya mengalami
kerusakan semuanya berjumlah sekitar 113.000. Pada akhir bulan Agustus 2005
Departemen Sensus dan Statistik meninjau kembali angka ini dan memperkirakan
bahwa gelombang tsunami telah menghancurkan lebih dari 77.561 rumah (menurut
angka tersebut rumah yang mengalami kerusakan seluruhnya berjumlah 41.393 unit dan
yang mengalami kerusakan sebagian sebanyak 36.168 unit).25 Dari 77.500 rumah yang
mengalami kerusakan, hampir 50.000 diperkirakan terletak di zona penyangga yang
ditetapkan oleh Pemerintah Sri Lanka. Ini berarti keluarga-keluarga ini perlu
dipindahkan ke rumah baru.
Unit pemerintah yang diberi tugas ini adalah Unit Rekonstruksi Perumahan
Tsunami (the Tsunami Housing Reconstruction Unit – THRU) yang bernaung di bawah
Dinas Pembangunan Perkotaan (the Urban Development Authority – UDA). THRU
telah menandatangani MoU dengan donor yang telah menawarkan untuk membangun
rumah (LSM internasional dan nasional dan beberapa perusahaan swasta). MoU
menyatakan bahwa “donor akan memikul biaya pembangunan unit-unit perumahan
yang diperkirakan berjumlah sekitar Rs 400.000 untuk setiap jenis unit perumahan

25
Angka yang menunjukkan jumlah rumah yang hancur berbeda-beda. Misalnya, perkiraan lain oleh
Pemerintah Sri Lanka menyatakan rumah yang hancur berjumlah lebih dari 99.000 (GOSL (2005b)).

41
berlantai satu dan berdiri sendiri, termasuk biaya fasilitas utama seperti air, listrik dan
pembuangan kotoran di dalam rumah”.26 MoU juga menyatakan bahwa luas rumah tidak
boleh kurang dari 500 kaki persegi dengan dua kamar tidur, kamar duduk, dapur dan
kamar kecil; dan pembangunannya harus sesuai dengan pedoman perencanaan,
perincian desain dan standar yang ditentukan oleh UDA. Donor harus mempekerjakan
kontraktor yang terdaftar pada Lembaga Pengembangan, Pelatihan dan Pembangunan
(the Institute for Construction Training and Development – ICTAD) atau badan
pembangunan pemerintah lain. Jenis perumahan pra-bangun tergantung pada tanah yang
tersedia. Jalannya rekonstruksi yang relatif lambat dalam bidang pembangunan
perumahan sebagian disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan pemerolehan
tanah yang sesuai untuk relokasi.
Survei yang diadakan oleh IPS menunjukkan bahwa jika ada tanah yang cukup,
kebanyakan keluarga akan memilih rumah berlantai satu, berdiri sendiri dan dibangun di
bidang tanah dengan luas sekitar 252 meter persegi (10 perches) (IPS, 2005). Untuk
menanggulangi semakin menyusutnya tanah yang tersedia terdapat sejumlah usul
penanggulangan yang dapat diurut sebagai berikut menurut daya tariknya: (i) rumah
berlantai satu dengan kebun sendiri-sendiri; (ii) rumah petak berlantai dua dengan
kebun sendiri-sendiri (town-houses); dan (iii) jika terpaksa, kondominium (hanya lantai
pertama dan dua lantai lagi, atau lantai pertama dan tiga lantai lagi). Donor harus
membangun rumah sesuai dengan pedoman UDA dan perencanaan tempat (site) yang
dikeluarkan oleh Dinas Pembangunan Perumahan Nasional (the National Housing
Development Authority – NHDA) dan UDA. Akan tetapi banyak perencanaan disiapkan
oleh arsitek yang datang dari Kolombo tanpa berkonsultasi dengan pengguna. Ini
mungkin menimbulkan masalah ruang yang tidak mencukupi, dan desain yang tidak
tepat, serta tidak cocok untuk keadaan dan persyaratan lokal.
Menurut data yang dikeluarkan oleh THRU menjelang bulan September 2005
berdasarkan MoU para donor telah diberi tugas untuk membangun sebanyak 29.697 unit
perumahan di 482 tempat yang lokasinya berbeda-beda (Tabel 4). Rumah yang
mengalami kerusakan dan unit perumahan yang harus dibangun oleh para donor sangat
berbeda-beda jumlahnya. Misalnya, meskipun Hambantota telah menandatangani MoU
untuk pembangunan unit perumahan hampir empat kali jumlah rumah yang rusak,
Ampara telah menandatangani persetujuan untuk unit perumahan yang jumlahnya
kurang dari separo yang diperlukan. Demikian pula cepatnya pembangunan rumah itu
sangat berbeda-beda. Menjelang bulan September 2005, telah diselesaikan rumah
sebanyak 2.566, sedangkan pembangunan sebanyak 3.945 lagi masih berjalan (angka
yang demikian tidak meliputi kegiatan pembukaan tanah, dsb. yang sedang berjalan
untuk kira-kira 27.110 unit). Dari jumlah rumah ini, 990 terdapat di Hambantota,
sedangkan hanya 31 rumah telah selesai di Ampara.

26
MoU THRU untuk ‘Donor’ Perumahan (dapat diperoleh dari Dinas Pembangunan Perkotaan).

42
Tabel 4. Perumahan yang Dibangun Donor: Status Sekarang (September 2005)
Distrik Jumlah Rumah MoU yang Status Pembangunan
Rusak Ditandatangani (Jumlah Unit)
(Jumlah rumah) Masih Berjalan Selesai
Ampara 8435 3781 3342 54
Batticaloa 4426 3625 2052 43
Kolombo 5150 928 756 08
Galle 5196 3660 3050 539
Gampaha 690 268 390 0
Hambantota 1057 3693 4519 1548
Jaffna 4551 2878 4009 69
Kalutara 4275 2375 1697 141
Kilinochchi 288 43 1187 0
Matara 2316 2952 2363 24
Mullaitivu 3011 700 0 0
Puttalam 56 0 56 56
Trincomalee 5737 4794 3689 84
Jumlah 41738 29697 27110 2566
Sumber: TAFREN (2005), “Tsunami Housing Reconstruction Programme” (Program
Rekonstruksi Perumahan Tsunami), September 2005.

Perbaikan dan pembangunan kembali di daerah yang ditetapkan sebagai daerah


‘di luar zona penyangga’ juga memperoleh bantuan keuangan. Menjelang bulan
November 2005, sebanyak 22.700 rumah tangga telah menerima pembayaran angsuran
pertama dari Rs 50.000 (AS$500) untuk membangun kembali rumah yang mengalami
kerusakan seluruhnya dan 31.920 untuk memperbaiki rumah yang mengalami kerusakan
sebagian (Tabel 5). Bahwa keluarga dalam jumlah yang relatif besar telah menerima
angsuran pertama telah disambut gembira oleh Bank Dunia sebagai indikator
keberhasilannya:
“Uang, apakah dari Bank atau donor lain, diharapkan akan mengalir dengan
lancar kepada sekitar 34.000 rumah yang berada di luar setback zona
penyangga.”27
Namun perlu dicatat bahwa hanya sedikit sekali keluarga yang telah menerima
angsuran lagi sejak angsuran pertama itu. Jalannya program ini pada tahap berikutnya
masih terlalu dini untuk dinilai. Akan tetapi seperti yang akan dibahas di bagian lain,
laporan ini banyaknya keluarga yang telah menerima angsuran pertama itu belum tentu
menjadi indikator yang baik mengenai berhasil tidaknya program ini dalam jangka
waktu yang lebih panjang.

27
Situs web Bank Dunia (diakses 0/09/05)

43
Tabel 5. Angsuran Bantuan untuk Perumahan yang Dibangun Pemilik:
Status (November 2005)
Rumah Rusak Total Rumah Rusak Sebagian
(AS$2.500) (AS$1.000)
Pertama Ke-2 Ke-3 Ke-4 Pertama Ke-2
Ampara 4963 492 0 0 11068 318
Batticaloa 10448 1591 604 70 5332 512
Galle 2112 153 45 15 5697 166
Hambantota 209 74 31 10 980 693
Jaffna 33 20 6 0 518 482
Kalutara 543 234 21 1 2583 1271
Matara 707 515 227 102 3987 3196
Trincomalee 1127 760 417 249 1709 742
Kolombo 12 12 10 7 15 9
Jumlah 22700 3851 1361 454 31920 7413
Sumber: TAFREN (2005), “Owner Build Housing”, November 2005.

7. Masalah yang Timbul

Optimisme akan kemampuan negara untuk dapat berhasil pulih kembali dari bencana
tsunami didasarkan pada janji yang dibuat pada pertemuan donor pada bulan Mei 2005
yang lalu, yang tampak lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pendanaan. Dalam
hubungan ini, ada tiga pertanyaan penting.
• Sampai di manakah janji tersebut akan dipenuhi seluruhnya?
• Dapatkah negara memanfaatkan bantuan luar negeri yang demikian besarnya secara
efektif?
• Apakah bantuan dari luar akan cukup untuk mendanai program rekonstruksi, dan jika
tidak, pilihan apa sajakah yang tersedia untuk mengumpulkan dana yang diperlukan?

7.1 Bantuan: Janji dan Pemenuhannya

Pertanyaan pertama dengan tegas dapat dijawab “Kecil Kemungkinannya”. Jawaban ini
didasarkan pada pengalaman bencana alam yang terjadi di negara-negara berkembang
pada masa lalu. Karena bermacam-macam alasan, janji yang dibuat pada waktu terjadi
bencana hampir tidak pernah seluruhnya dipenuhi.28 Seperti yang dikatakan oleh Benson
dan Clay (2004, hal. 60), “...pada akhirnya bantuan dari luar yang berkaitan dengan

28
Lihat, misalnya, Foreman dan Patrick (penyunting) (2000). Cuny (1983) untuk tinjauan kembali atas
masalah ini, yang mengatakan bahwa hal ini bukanlah fenomena baru. Untuk beberapa aspek ekonomi
politik, lihat juga bala-Bertrand, J.M., (1993) The Political Economy of Large Natural Disasters: With
Special Reference to Developing Countries (Ekonomi Politik Bencana Alam Besar: Dengan Acuan
Khusus pada Negara-Negara Berkembang), Oxford, Inggris; Clarendon Press.

44
bencana mungkin tidak merupakan dana tambahan tetapi malahan menggantikan dana
untuk pembangunan”. Setelah terjadi bencana besar, timbul jurang yang dalam antara
janji dan pengucuran bantuan yang sesungguhnya walaupun janji tersebut dibuat oleh
para donor dengan iktikad baik. Hal ini mungkin diakibatkan oleh kesulitan pada
pengelolaan – seperti kesulitan prosedur, keterlambatan dalam memperoleh dana,
kurangnya mitra keuangan lokal, dsb.; dapat pula disebabkan oleh masalah-masalah
baru yang mengubah fokus politik dan mengalihkan perhatian para donor. Bantuan
tambahan dari luar yang pemberiannya berdampak pada tahun pertama, belum tentu
terus diberikan sebagai bantuan tambahan pada tahun-tahun berikutnya. Untuk
menanggulangi suatu bencana secara darurat tentu diperlukan dana bantuan tambahan
yang sifatnya darurat pula. Tetapi upaya rehabilitasi sering juga dapat didanai dengan
mengalihkan dana bantuan yang sudah ada (regular) dari satu tujuan ke tujuan lain. Hal
yang demikian seringkali lebih efektif daripada upaya menambah banyaknya dana
bantuan yang diberikan. Dengan demikian jumlah komitmen bantuan dapat meningkat
pada tahun terjadinya bencana besar, namun jumlah itu cenderung menurun setelah
krisis dan kembali sesuai dengan kecenderungan jangka panjang bantuan yang masuk.
Bantuan bilateral yang masuk mungkin sekali ada yang diberikan dengan ‘ikatan’.
Bantuan ini dapat digunakan untuk membeli bermacam-macam barang dan jasa: produk
makanan, telekomunikasi, transpor dan petunjuk teknis yang harus dibeli dari negara
donor. Hal ini diperkirakan akan mengurangi nilai bantuan kepada negara penerima
sebesar 25–40 persen karena negara donor tidak selalu merupakan sumber yang paling
murah untuk jasa-jasa tersebut.29
Namun melihat banyaknya janji yang telah diubah menjadi komitmen nyata
oleh para donor utama (multilateral dan pemerintah), maka kasus Sri Lanka mungkin
sekali akan merupakan perkecualian. Meskipun demikian, hendaknya dicatat bahwa
sepertiga dari janji dana bantuan yang dibuat pada pertemuan para donor pada bulan
Mei 2005 berasal dari sumber-sumber non-pemerintah, yang sumber dananya sendiri
tidak selalu dapat diandalkan. Sudah terlihat tanda-tanda akan timbul masalah.
Meskipun 384 LSM yang terdaftar pada Departemen Pelayanan Sosial telah sepakat
untuk menyediakan dana sebanyak AS$1.321 juta untuk membangun kembali aset yang
hancur karena gelombang tsunami, namun ada LSM yang tidak jadi menandatangani
MoU, dan bahkan ada yang telah menandatangani MoU tetapi gagal untuk memulai
pekerjaan (GOSL, 2005c). Mengingat seringnya bencana melanda dunia dewasa ini –
baik bencana alam maupun musibah buatan manusia – kiranya akan bijaksanalah untuk
bersiap-siap menghadapi melesetnya perhitungan dalam bidang ini.

7.2 Pemanfaatan Bantuan

Dalam hal kemampuan memanfaatkan bantuan, kinerja Sri Lanka di masa lalu
menimbulkan keprihatinan serius. Pengelolaan dan pemanfaatan bantuan secara efektif
dapat menimbulkan kesulitan bagi negara-negara berkembang dalam keadaan sebaik-
baiknya sekalipun, tetapi masalah ini berlipat ganda sulitnya jika setelah terjadi bencana

29
Misalnya, dari 506 kendaraan yang diimpor untuk pekerjaan tsunami, 290 dilepaskan untuk LSM-LSM
(GOSL, 2005c).

45
alam bantuan yang mengalir masuk besar jumlahnya. Sri Lanka, seperti banyak negara
berkembang, telah bergulat dengan masalah tidak mampunya negara memanfaatkan
dana bantuan secara efektif.30 Angka pemanfaatan bantuan (diukur dengan perbandingan
pengucuran bantuan: bantuan yang dikucurkan sebagai bagian dari jumlah kumulatif
bantuan yang tidak dikucurkan) menunjukkan pemanfaatan bantuan yang relatif rendah
yaitu sekitar 13–15 persen menjelang akhir tahun 1990-an (IPS, 2001). Menjelang tahun
2003, sedikit demi sedikit terjadi peningkatan angka pemanfaatan hingga mencapai
perbandingan pengucuran yang cukup baik yaitu sekitar 20–22 persen, meskipun jumlah
sisa yang belum dikucurkan (CUB) masih tetap berjumlah sekitar AS$2,5–3,0 milyar
(Lampiran Tabel A-2).
Banyak yang telah disebutkan sebagai alasan terjadinya tingkat pemanfaatan
bantuan yang rendah: campur tangan politik dalam hal perencanaan, pelaksanaan dan
pengalokasian dana; staf dan masalah-masalah terkait dalam pengelolaan proyek;
lambatnya pelaksanaan (termasuk kemacetan prasarana, prosedur pembelian yang rumit
dan mahal). Di samping itu persyaratan yang berlebih-lebihan yang dibebankan oleh
para donor dipandang sebagai hambatan utama (IPS, 2001). Tersedianya dana imbangan
(dana lokal dengan apropriasi) juga menjadi faktor penting. Kalaupun telah dibuat
alokasi anggaran, kadang-kadang uang tidak tersedia pada saat dibutuhkan. Dalam hal
bencana, ada beberapa faktor yang lebih memperburuk lagi kemampuan memanfaatkan
dana-dana luar negeri. Hancurnya prasarana, hilangnya catatan umum, dan sangat
banyaknya donor dan program dapat menimbulkan jaringan transaksi bantuan yang
rumit yang sulit untuk dikelola baik oleh donor maupun penerima bantuan.
Tentu saja kegagalan di masa lalu belum tentu menjadi pedoman yang
menunjukkan apa yang akan terjadi dalam keadaan dewasa ini. Akan tetapi kegagalan
itu ada memberikan peringatan bahwa, kecuali ada upaya bersama untuk mencapai
target dan mempertahankan fokus, maka selalu ada potensi akan terjadi kemelesetan di
dalam negeri. Laporan sementara yang disusun oleh Departemen Auditor Jenderal
(Auditor General) telah mendapatkan bahwa komitmen bantuan sebesar AS$1.168 juta
untuk membangun kembali enam sektor utama, menjelang akhir bulan Juli 2005 baru
dikucurkan sebanyak AS$158 juta (atau angka pemanfaatan hanya sebesar 13,5
persen). 31 Peranan TAFREN dalam mengatur upaya pembangunan kembali,
kepentingan-kepentingan politik yang menggerakkan program, dan tekanan kuat dari
para donor, mungkin membantu meningkatkan tingkat pemanfaatan bantuan dan
memungkinkan negara mencapai kinerja yang jauh lebih baik dalam memanfaatkan
bantuan tsunami secara efektif.

30
Yang dimaksudkan dengan “tidak mampunya negara menggunakan dana bantuan” adalah selisih antara
komitmen dana bantuan dan banyaknya dana yang dalam kenyataan dibelanjakan dalam suatu jangka
waktu.
31
GOSL (2005), “Interim Report of the Auditor General on the Rehabilitation of the Losses and Damages
Caused to Sri Lanka by the Tsunami” (Laporan Sementara dari Auditor Umum mengenai Rehabilitasi
Kerugian dan Kerusakan yang Disebabkan oleh Tsunami di Sri Lanka), September 2005.

46
7.3 Kenaikan Biaya dan Memadai Tidaknya Pendanaan

Dana yang dibutuhkan untuk membangun kembali rumah dan kegiatan lain dalam
bidang pembangunan, termasuk prasarana umum, mula-mula diperkirakan atas dasar
biaya dan harga yang berlaku segera setelah terjadi bencana tsunami. Akan tetapi
sekarang ada bukti-bukti jelas bahwa ongkos pembangunan dan harga bahan-bahan
(seperti pasir sungai) telah meningkat dengan cepat pada bulan-bulan terakhir ini.
Hal ini tentu saja tidak mengherankan. Banyaknya pembangunan yang
direncanakan itu beberapa kali lipat dari apa yang biasanya dilakukan dalam satu tahun,
dan secara dramatis meningkatkan permintaan akan tenaga dan bahan-bahan. 32 Data
yang diperoleh pada penghujung bulan Agustus dari perusahaan dan organisasi-
organisasi dalam bidang pembangunan rumah dan dari wawancara lapangan IPS
menunjukkan bahwa biaya total pembangunan sebuah rumah keluarga yang terkena
bencana tsunami telah meningkat dari yang mula-mula diperkirakan sebesar Rs 400.000
menjadi Rs 550.000 atau dalam beberapa kasus lebih tinggi lagi, dan terus meningkat
(Tabel 6). Wawancara lapangan menunjukkan bahwa kenaikan ini terutama disebabkan
oleh upah yang lebih tinggi untuk tenaga terampil (seperti tukang kayu, tukang cat dan
tukang batu). Di beberapa tempat upah untuk tenaga terampil telah naik menjadi dua
kali lipat. Harga bahan-bahan bangunan tertentu juga naik, tetapi kenaikan harga untuk
bahan-bahan yang dapat diimpor jauh lebih rendah daripada kenaikan biaya
pembangunan secara keseluruhan (lihat Lampiran Tabel A-3).

32
Perkiraan permintaan tambahan akan rumah berbeda-beda, tetapi semuanya menunjukkan kenaikan
besar dalam permintaan untuk tenaga dan bahan-bahan bangunan yang sedikit tersedia (Lihat TAFREN
(2005), “Rebuilding Sri Lanka: Post Tsunami Reconstruction and Rehabilitation” (Membangun Kembali
Sri Lanka: Rekonstruksi dan Rehabilitasi Pasca Tsunami), Juni 2005. Menurut Kamar Industri
Pembangunan seperti yang dilaporkan dalam Daily Mirror, Februari 21, 2005, diperkirakan bahwa akan
diperlukan sekurang-kurangnya 100.000 orang pekerja tambahan; ini termasuk sekitar 13.000 orang
tukang batu, 2.000 orang tukang kayu, 2.500 orang tukang cat dan hampir 54.000 orang tenaga buruh
biasa.

47
Tabel 6. Kenaikan Biaya: Pembangunan Perumahan
Luas Unit Perkiraan Perkiraan
%
Donor (kaki Mula-Mula Sekarang Keterangan
perubahan
persegi) (Rs) (Rs)
Palang 600 625.000 1.000.000 76 Rumah dengan fasilitas
Merah (Maret) prasarana dasar (listrik,
persediaan air, sanitasi untuk
setiap rumah, jalan, dsb.).
Tri Star 550 200.000 260.000 30 Biaya hanya untuk bahan-bahan
Apparel (Mei) bangunan, semua masukan lain
Exports ditanggung oleh perusahaan
mereka sendiri.
Gift for 500 400.000 400.000 – Kontrak diambil 3 bulan yang
Givers (Mei) lalu. Kontraktor mengalami
kesulitan menyelesaikan rumah.
Menurut mereka, tidak mungkin
membangun di masa depan
dengan laju pembangunan ini.
Pembangunan rumah dilakukan
di Pothuvil
CARE 550 450.000 850.000 89 Jaffna
International (Maret) 600.000 33 Hambantota
550.000– 22–44 Semua daerah lain (rumah
650.000 dengan beberapa prasarana
dasar)
Aitken 550 450.000 > 500.000 >11 Dengan prasarana dasar (dengan
Spence Co. (Maret) listrik tetapi tidak ada
Ltd. persediaan air)
World 500 550.000 700.000 27 Dengan prasarana dasar
Vision (Maret)
Lanka
CARITAS 500 500.000 650.000 30 Rumah sederhana (tidak
Sri Lanka (Mei) menyebutkan prasarana)
Lodestar > 500 > 800.000 60 Rumah bertingkat dua dibangun
di luar zona penyangga
Sarvodaya 500 500.000 650.000 30 Hanya dengan beberapa fasilitas
Movement (Mei) prasarana dasar
Forut 550 500.000 550.000 10 Hanya untuk rumah (tidak
Institute (April) dengan prasarana dasar)
Sumber: Survei IPS, Agustus 2005.

Perlu diperhatikan bahwa kenaikan biaya ini telah terjadi pada permulaan
program pembangunan. Sebenarnya, kegiatan membangun rumah masih pada tahap
awal. Apa yang ditunjukkan oleh angka-angka ini ialah bahwa jika pembangunan benar-
benar berjalan seperti yang dibayangkan pada tahap rekonstruksi, biaya pembangunan
rumah mungkin sekali akan meningkat dengan lebih tajam lagi. Kenaikan dalam biaya
pembangunan rumah merupakan indikator yang berguna (walaupun belum tentu tepat
sekali) mengenai besarnya kenaikan biaya yang akan dialami dalam bidang
pembangunan lain, termasuk biaya rehabilitasi prasarana umum.

48
Semua kelompok dan organisasi yang melakukan kegiatan pembangunan –
keluarga yang berupaya memperbaiki atau membangun kembali rumah, donor yang
telah membuat komitmen untuk membangun rumah, dan pemerintah yang menghadapi
tugas membangun kembali prasarana umum – harus menerima kenyataan naiknya biaya
ini. Selanjutnya, banyaknya permintaan akan barang-barang dan jasa dalam sektor
pembangunan mula-mula akan mengakibatkan inflasi ‘setempat’ (localized inflation),
tetapi kemudian pasti akan menjalar ke seluruh perekonomian dan akan menimbulkan
inflasi yang lebih luas. Inflasi selama 8 bulan pertama tahun 2005 telah meningkat
hingga 12,7 persen, jauh di atas angka untuk jangka waktu yang sama pada tahun
sebelumnya.33 Hal ini menimbulkan pertanyaan:
Berapakah dana tambahan yang diperlukan untuk menutup biaya riil
pembangunan, dan dari mana dana ini akan diperoleh?

8. Bantuan, Kenaikan Biaya dan ‘Penyakit Belanda’: Pengaruh dan


Implikasinya

Kenaikan biaya yang terlihat dalam industri pembangunan jelas disebabkan oleh
kenaikan permintaan akan bahan dan jasa pembangunan pada tahap dimulainya kegiatan
pembangunan. Kenaikan seperti itu dapat diduga akan terjadi terlepas dari apakah
kegiatan pembangunan yang baru itu didanai oleh sumber-sumber luar negeri atau
domestik. Akan tetapi kenaikan harga ini berdampak besar pada mampu tidaknya upaya
rekonstruksi dibiayai oleh dana luar negeri yang tersedia (atau dijanjikan). Mengingat
pentingnya dana luar negeri dalam upaya rekonstruksi di Sri Lanka, dalam bagian
berikut penulis pertama-tama menyoroti hubungan antara pemanfaatan bantuan luar
negeri dan kenaikan biaya pembangunan, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan
mengenai implikasinya pada masalah-masalah pendanaan domestik.
Kenaikan laju inflasi dalam negeri seringkali terlihat pada waktu banyak dana
dari luar negeri mengalir masuk. Kenaikan harga ini menyebabkan berkurangnya
profitabilitas industri yang tidak dapat menaikkan harga untuk menutup dampak inflasi
ini. Hal ini dapat membawa pengaruh negatif pada kinerja negara dalam bidang ekspor.
Fenomena ini dikenal dengan istilah Penyakit Belanda, istilah yang diciptakan untuk
menggambarkan industri di Negeri Belanda yang mengalami penyusutan akibat
besarnya pendapatan yang masuk setelah ditemukan sumber minyak di Laut Utara
(North Sea Oil) pada penghujung tahun 1970-an. Ini merupakan fenomena umum di
mana meningkatnya permintaan dalam salah satu sektor ekonomi – karena alasan apa
pun – mengakibatkan melonjaknya harga bahan produksi karena besarnya persaingan

33
Yang berwewenang dalam bidang moneter lambat menanggapi gejala ini dengan menaikkan suku
bunga karena khawatir akan memperlambat lagi momentum pertumbuhan. Baru pada bulan November
2004 tinggi suku bunga dinaikkan sebanyak 50 angka dasar (basis points). Pada bulan Mei 2005 diadakan
kenaikan kecil lagi sebanyak 25 angka dasar dan pada bulan Juni 2005 terjadi penyesuaian yang lebih
tepat sebanyak 50 angka dasar. Penyesuaian yang terakhir tersebut tidak mengubah kenyataan, Sri Lanka
telah mengalami suku bunga riil yang negatif sejak paro kedua tahun 2004.

49
untuk memperoleh bahan produksi tersebut.34 Kenaikan biaya yang terlihat dalam sektor
pembangunan mencerminkan pengaruh Penyakit Belanda ini yang ada kaitannya
dengan diserapnya pemasukan modal ke dalam perekonomian. Akan tetapi ada
beberapa ciri khas yang berkaitan dengan fenomena ini dalam hubungannya dengan
masuknya bantuan untuk mendanai penggantian aset sebagai bagian dari upaya
rekonstruksi. Ciri-ciri tersebut membawa sejumlah pertimbangan penting bagi upaya
menyusun kebijakan dalam bidang perekonomian.
Makin besar kenaikan harga dan upah sebagai tanggapan terhadap
bertambahnya permintaan untuk kegiatan pembangunan, maka makin sulit untuk
meningkatkan persediaan (yaitu jika pasokan relatif tidak elastis). Ini, misalnya, adalah
sebab terjadinya kenaikan tajam dalam upah untuk pekerja terampil bidang
pembangunan seperti tukang kayu, yang keterampilannya tidak dapat diperoleh dengan
mudah oleh pekerja lain. Jika faktor-faktor tersebut dapat diimpor dari pasar dunia yang
lebih besar – ada bahan-bahan bangunan yang termasuk dalam kategori ini – maka
persediaannya cenderung lebih elastis dan kenaikan harga yang diakibatkannya dapat
dikurangi. Tetapi banyak faktor, khususnya tenaga kerja, yang harus disediakan dari
sumber-sumber domestik (non-traded), karena untuk bermacam-macam alasan, tidak
dapat dibeli dari pasar internasional. (Tentu saja tenaga kerja terampil dapat
didatangkan dari negara lain, dan telah disarankan agar kekurangan tenaga kerja
terampil pada sektor pembangunan di Sri Lanka sebaiknya diatasi dengan
mendatangkan tenaga kerja dari India. Apakah dari segi politik hal ini layak masih
belum diketahui.) Dengan cara menawarkan imbalan yang tinggilah – upah, harga yang
lebih tinggi – suatu sektor tertentu dapat menarik sumber-sumber daya tambahan. Oleh
karena hal ini cenderung meningkatkan biaya di semua sektor yang juga menggunakan
faktor-faktor tersebut, maka akan terjadi dampak negatif pada profitabilitasnya, dan
sektor-sektor lain akan menyusut. Kadang-kadang penghasilan tinggi yang diperoleh
para pemilik faktor sumber daya tersebut menaikkan permintaan akan barang dan jasa-
jasa tertentu. Industri-industri tersebut kemudian mengalami dampak positif pada
kemampuannya untuk menutup biaya melalui kenaikan harga jika persediaan mereka
tidak elastis. Biasanya persediaan mereka memang demikian jika tidak diperdagangkan
secara internasional (non-traded). Biasanya barang yang masuk ke dalam perdagangan
internasional tidak mengalami kenaikan harga untuk tujuan menutup biaya, karena
barang tersebut diimpor kurang lebih dengan harga dunia yang ditetapkan dari luar.
Penjualan barang seperti inilah yang paling parah terpukul. Turunnya profitabilitas
relatif dari industri-industri yang dapat diperdagangkan merupakan ‘apresiasi kurs riil’
baku yang merupakan akibat yang perlu dan tidak dapat dihindarkan dari penyerapan
modal luar negeri oleh perekonomian domestik. Dalam jangka pendek dampak ini dapat
diperkecil melalui intervensi pasar valuta asing, tetapi tidak dapat dihindarkan
sepenuhnya.

34
Pada umumnya pada waktu negara menyerap arus modal yang besar, negara tersebut berkecenderungan
mengalami Penyakit Belanda dengan tingkat yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena untuk
beberapa sektor dan industri, meskipun pengeluaran meningkat, keuntungan cenderung bertambah karena
kenaikan harga hasil industrinya, sedangkan sektor yang lain hanya mengalami kenaikan biaya. (Lihat
Corden dan Neary, 1982, dan Corden, 1984 untuk uraian model analisis dasar.)

50
Inflasi (‘setempat’) biaya domestik (dengan laju yang lebih cepat daripada
inflasi rata-rata dalam ekonomi) akan menjalar ke seluruh perekonomian, karena arus
bantuan meningkatkan pengeluaran pada faktor-faktor yang non-tradeable. Pada
dasarnya, hal ini adalah akibat pengeluaran tambahan yang dibiayai oleh dana luar
negeri dan tidak dapat dihindarkan. Akan tetapi, dalam hal penggantian aset tetap yang
didanai oleh bantuan negeri, ada beberapa aspek khusus yang belum cukup dibahas
dalam tulisan-tulisan analisis yang menjadi acuan pokok (lihat, misalnya, tinjauan
kembali dalam Freeman, Keen dan Mani (2003), dan Benson dan Clay (2004)).
Rehabilitasi atau penggantian aset tetap yang hancur karena gelombang
tsunami akan menghasilkan pendapatan nyata segera sesudah selesai, yaitu manfaatnya
baru akan terasa di masa depan. Akan tetapi seperti yang terlihat dalam sektor
perumahan, penggantian aset tetap perlu menggunakan bukan saja bahan-bahan yang
dapat diimpor tetapi juga faktor-faktor produksi domestik. Jika semua faktor itu
tradeable secara internasional, dan dapat diimpor dengan harga dunia yang pasti,
permintaan tambahan akan faktor tidak akan membawa kenaikan harga atau biaya.
Namun umumnya tidak demikian halnya, dan pasti tidak demikian halnya dalam bidang
konstruksi. Oleh karena persediaan faktor yang non-tradeable, seperti tenaga kerja
terampil, dalam jangka pendek tidak elastis, maka harganya meningkat sejalan dengan
meningkatnya permintaan. Jelaslah bahwa makin cepat kegiatan pembangunan berjalan
(entah didanai oleh sumber-sumber luar negeri atau domestik) makin besarlah kenaikan
harga dan biaya, karena persediaan faktor-faktor non-tradeable lebih rendah dalam
jangka pendek daripada dalam jangka panjang. Dalam hal pekerja terampil, misalnya,
banyaknya tenaga terampil akan bertambah selama jangka waktu yang lebih lama. Di
samping itu, pekerja lain kemungkinan dapat memperoleh keterampilan sehingga
dengan demikian memperbesar stok tenaga kerja terampil seluruhnya.
Dari sudut pandang nasional, penghasilan lebih tinggi yang diperoleh faktor-
faktor yang disediakan secara tetap (tidak elastis), seperti tenaga kerja terampil, dapat
ditafsirkan sebagai pembagian kembali penghasilan. Dengan cara demikian bagian dari
dana bantuan meningkatkan penghasilan faktor-faktor tersebut dengan mengorbankan
penggantian aset tetap. Maka tidak mengherankan bahwa rekonstruksi pasca-tsunami
merupakan sumber keuntungan bagi beberapa golongan dalam masyarakat. Dalam
jangka lebih panjang pengeluaran lebih besar oleh keluarga yang memperoleh
penghasilan lebih tinggi ini akan cenderung menaikkan harga di seluruh perekonomian,
dan dengan demikian menekan keuntungan dalam industri ekspor dan impor yang
bersaing. Sebaliknya, tersedianya jasa-jasa dari prasarana yang dibangun kembali dan
aset-aset lain pada waktu mendatang akan membawa dampak pengimbang pada harga
dan dengan demikian akan memfasilitasi peningkatan pasokan. Maka investasi dalam
aset domestik mula-mula cenderung memaksakan apresiasi kurs riil, tetapi hal ini
diikuti oleh daya saing internasional yang lebih baik segera setelah aset-aset tetap
mulai menghasilkan jasa yang digunakan dalam industri-industri yang dapat
diperdagangkan (tradeable).
Apa implikasi semuanya ini untuk penggantian aset tetap dengan bantuan luar
negeri?

51
8.1 Nilai Tukar dan Penggantian Aset tetap

Untuk mudahnya, andaikata saja bahwa masukan yang tradeable (diimpor) dan
masukan domestik (non-tradeable) diperlukan dalam proporsi yang tetap untuk
keperluan mengganti aset yang hilang atau rusak. Dengan harga dunia yang ditetapkan
untuk barang-barang yang diimpor, suatu unit mata uang asing akan cukup untuk
membeli sejumlah tertentu masukan yang diimpor, terlepas dari kurs negara penerima.35
Tetapi jumlah masukan domestik non-tradeable yang dapat dibeli dengan unit mata
uang asing tergantung pada kurs nominal dan harga domestik dalam mata uang
domestik.
Jika kurs nominal itu tetap, maka implikasinya ialah bahwa jumlah aset tetap
yang dapat diganti untuk suatu unit tertentu bantuan luar negeri itu lebih sedikit, sesuai
dengan makin tingginya kenaikan biaya domestik. Jika modal yang masuk itu
mengakibatkan apresiasi kurs nominal, maka gejala ini makin terasa karena masukan
domestik yang dapat dibeli dengan suatu unit mata uang asing itu berkurang.
Jelaslah bahwa kebijakan kurs yang ditetapkan oleh negara menjadi penting di
sini. Khususnya, kebijakan yang bertujuan menunjang kurs nominal dengan ‘berlayar
menentang arah angin’ dalam pasar valuta asing sangat mempersulit program
pendanaan rehabilitasi/rekonstruksi dengan bantuan luar negeri yang tertentu jumlahnya.
Sebaliknya, kenaikan harga dan ongkos-ongkos domestik dapat dikurangi dengan
liberalisasi perdagangan, yang cenderung mengurangi harga barang-barang yang
tradeable dan barang-barang intermediate yang diimpor.
Jika penggantian aset tetap dapat diupayakan dalam jangka waktu yang lebih
panjang, kenaikan permintaan selama jangka waktu tertentu akan lebih rendah, pasokan
faktor menjadi lebih elastis, dan kenaikan biaya akan lebih rendah sesuai dengan
keadaan tersebut. Dalam keadaan yang demikian, suatu jumlah tertentu dana luar negeri
dapat digunakan untuk mengganti lebih banyak aset tetap domestik. Akan tetapi
penggantian modal yang berjalan lebih lambat mempengaruhi biaya karena menunda
terciptanya jasa yang dihasilkan oleh aset tetap tersebut. Yang terbaik ialah mencapai
keseimbangan antara biaya tinggi yang harus dibayar untuk mewujudkan penggantian
aset tetap yang lebih cepat, dan kerugian yang disebabkan oleh hilangnya jasa sebagai
akibat penggantian yang tertunda. Di samping itu, suatu rumusan program rekonstruksi
harus mempertimbangkan biaya dan manfaat berbeda-beda sehubungan dengan proyek-
proyek rehabilitasi yang berbeda-beda pula, supaya prioritas dapat ditentukan atas dasar
pertimbangan ekonomis yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun pertimbangan
penting dalam hubungan dengan proyek-proyek yang didanai oleh bantuan luar negeri
adalah bahwa, jika dana tersebut tidak diperoleh dan dimanfaatkan dengan cepat, maka
dana tersebut akan ditarik kembali oleh para donor karena berubahnya prioritas mereka.
Selanjutnya, dari segi ekonomi politik dalam negeri pun, keterlambatan rekonstruksi
dapat mengakibatkan berubahnya prioritas yang merugikan kelompok yang paling parah
terkena bencana. Dengan kata lain, keterlambatan dalam rekonstruksi mungkin
berdampak berat terutama pada kelompok yang paling miskin dan dari segi politik
35
Yang menjadi asumsi ialah bahwa negara penerima adalah negara ‘kecil’ dalam pasar dunia, sehingga
transaki internasionalnya tidak membawa dampak penting pada harga pasar dunia.

52
paling lemah. Masalah ini sangat penting karena, seperti yang dibahas dalam bagian
berikut, timbul suatu jurang dalam pendanaan yang mungkin akan mengharuskan
pencatuan dana yang tersedia.

8.2 Menutup Jurang Pendanaan yang sedang Timbul

Masalah mendesak bagi upaya rekonstruksi di Sri Lanka berhubungan dengan


kemampuan keluarga dan pemerintah untuk mencapai target penggantian aset tetap
dengan jumlah bantuan luar negeri yang tersedia. Bagi keluarga yang terkena bencana
tsunami, khususnya keluarga miskin, naiknya biaya sangat mempersulit tugas
rekonstruksi. Mengingat kenaikan biaya sebesar 30–40 persen atau lebih, hibah uang
tunai yang ditetapkan sebesar Rs 250.000 (AS$2.500) untuk rumah yang mengalami
kerusakan seluruhnya, misalnya, sangatlah tidak mencukupi. Sejalan dengan
meningkatnya ongkos-ongkos, nilai nyata angsuran dana bantuan berikutnya akan
makin menurun. Jika skenario yang sama diperluas ke program rekonstruksi prasarana
umum, maka tidak dapat dihindarkan timbulnya jurang dalam pendanaan.
Bagaimana menghadapi jurang pendanaan ini? Kebanyakan keluarga yang
lebih kaya dan memiliki tabungan dan/atau akses kredit murah akan mengambil uang
tabungan atau mengurangi konsumsi guna menutup pengeluaran tambahan yang perlu.
Namun perlu dicatat bahwa hal ini menunjukkan bahwa keluarga mendanai penggantian
aset dengan mengorbankan pengeluaran untuk jenis keperluan lain. Dengan kata lain,
sebagian besar beban rehabilitasi akan ditanggung sendiri oleh keluarga, dan beban ini
terus bertambah. Hal ini menunjukkan bahwa tabungan keluarga yang telah terkumpul
akan berkurang. Yang terjadi dalam kenyataan adalah upaya menabung akan diganti
dengan pengeluaran konsumsi. Dengan demikian di Sri Lanka mungkin akan terjadi
penurunan angka tabungan yang pada tahun-tahun terakhir ini sebesar 16 persen dari
PDB dan tidak berubah.
Keadaan jauh lebih sulit bagi keluarga miskin yang tidak mempunyai tabungan
maupun akses kredit murah (dan kapasitas untuk membayar kembali). Di atas telah
disebutkan optimisme yang dinyatakan oleh Bank Dunia tentang jalannya program
pembangunan kembali dalam sektor ini. Menurut studi lapangan yang dilakukan oleh
IPS, sejumlah besar keluarga miskin yang terkena bencana tsunami telah menghabiskan
angsuran pertama uang hibah (Rs 50.000 – $500) untuk memenuhi kebutuhan mendesak,
termasuk pembayaran pinjaman yang belum lunas. Oleh karena itu mereka mengalami
kesulitan untuk membuat kemajuan dalam tugas-tugas konstruksi yang perlu
diselesaikan supaya berhak menerima angsuran berikutnya. Mengingat kenaikan biaya
yang cepat, akan sulit sekali bagi keluarga-keluarga yang miskin ini untuk
merehabilitasi rumah dan aset-aset lain yang mengalami kerusakan tanpa bantuan
tambahan yang cukup besar.
Dalam hal pengeluaran untuk prasarana umum, ceritanya sama. Perlu diingat
bahwa bagian terbesar dari dana rekonstruksi diharapkan berasal dari bantuan luar
negeri. Jika donor luar negeri (termasuk LSM-LSM) telah membuat komitmen untuk
membangun kembali aset prasarana tertentu, maka mereka perlu mencari dana
tambahan jika mereka akan memenuhi komitmen tersebut. Jika – seperti yang mungkin
sekali terjadi – komitmen seperti itu kurang lebih tidak dapat berubah karena terikat
pada nilai tukar mata uang asing, maka apa yang dapat dibiayai dengan dana tersebut

53
akan berkurang dan meninggalkan jurang yang harus ditutup oleh pemerintah dengan
dana dari sumber lain. Sangatlah optimis untuk mengharapkan bahwa akan masuk
bantuan donor tambahan yang cukup besar di masa yang akan datang, karena perhatian
para donor akan beralih ke bencana lain dan masalah-masalah lain. Maka tidak dapat
diragukan bahwa akan ada keharusan pada pemerintah untuk menambah dana
rehabilitasi.

8.3 Kebijakan Fiskal dan Moneter

Masalah yang diuraikan di atas menonjolkan masalah kemampuan pemerintah untuk


memenuhi sasaran pendanaan yang baru ini. Target fiskal untuk tahun 2005 telah
ditinjau kembali sesudah terjadi bencana tsunami untuk memperhitungkan pengeluaran
tambahan yang cukup tinggi (Tabel 7). Setelah direvisi maka diduga pengeluaran modal
diharapkan akan mengalami kenaikan dan defisit keseluruhan akan meningkat dari
target pra-tsunami sebesar 7,6 persen dari PDB menjadi 9,6 persen. Kementerian
Keuangan tetap menyatakan bahwa rekonstruksi pasca-tsunami tidak akan membawa
pengaruh pada anggaran belanja (budget netral) karena keperluan dana banyak yang
akan dipenuhi oleh komitmen donor. Namun kenyataannya mungkin sekali akan
berbeda jika perkiraan semula yang dibuat oleh Kementerian Keuangan tidak
memperhitungkan kenaikan biaya sebagai faktor yang berpengaruh. Jika terjadi
kekurangan, maka pilihan pemerintah sangat terbatas, khususnya karena tekanan pada
neraca fiskal akibat biaya pemilihan umum dan kenaikan biaya subsidi bahan bakar.
Pembahasan di atas mengenai hubungan antara nilai tukar valuta asing dan
kemampuan membiayai proyek-proyek rehabilitasi dengan dana dari luar negeri juga
memunculkan beberapa implikasi untuk kebijakan nilai tukar. Jelas bahwa pemasukan
dana dari luar negeri – baik kiriman dana oleh perseorangan maupun dana dari donor –
dan penghapusan utang telah memungkinkan cadangan devisa tetap sehat, meskipun
harga minyak melonjak dan biaya impor minyak membengkak sehingga defisit
perdagangan membesar pula. Pada gilirannya hal ini memberikan peluang kepada yang
berwewenang dalam bidang moneter untuk lebih banyak mengatur pasar devisa.

Tabel 7. Indikator Terpilih Keuangan Negara


Sebagai % dari PDB 2004 2005a 2005b 2006c
Penerimaan 15,3 17,1 16,4 17,8
Pengeluaran sekarang 19,2 18,4 18,5 18,6
Investasi negara 4,8 6,3 5,0 6,6
Jumlah pengeluaran 23,5 24,6 23,5 25,1
Defisit anggaran –8,2 –7,5 –7,1 –7,3
Pembiayaan domestik 5,8 4,6 4,9 4,4
Bantuan luar negeri 2,3 2,6 2,2 2,8
Pengeluaran tsunami – – 1,4 1,8
Investasi negara dengan pengeluaran tsunami – – 5,7 8,3
Defisit anggaran dengan pengeluaran tsunami – – 8,5 9,1
Catatan: a. Perkiraan yang dianggarkan; b. Perkiraan setelah ditinjau kembali; c. Perkiraan sementara.
Sumber: GOSL, Pidato Anggaran Belanja 2006.

54
Ada masalah kebijakan yang sulit yang memerlukan pemikiran dan analisis
yang cermat. Kenaikan biaya dalam sektor pembangunan belum menjalar sepenuhnya
ke sektor-sektor ekonomi lain, termasuk sektor-sektor ekspor (dan lebih jauh lagi
sektor-sektor yang tradeable lainnya). Dalam hal ini, kurs riil untuk sektor
pembangunan telah mengalami apresiasi lebih tinggi daripada kurs riil untuk
perekonomian seluruhnya. Dengan demikian tekanan pada sektor-sektor bidang ekspor
yang bersumber langsung pada kegiatan rekonstruksi tsunami pada masa mendatang
akan lebih besar daripada sekarang. Sebaliknya, terlepas dari pengeluaran tsunami,
faktor-faktor lain seperti harga minyak yang tinggi dan pengeluaran pemerintah yang
diduga akan bertambah memperburuk ketimpangan sektor eksternal.
Walaupun Bank Sentral harus melakukan intervensi segera setelah terjadi
bencana tsunami guna memperkecil apresiasi mata uang, keadaan ini tidak berlangsung
lama. Pada bulan-bulan terakhir ini rupee mendapat tekanan ke bawah yang cukup kuat
di pasar mata uang asing. Pastilah ada godaan untuk memperlambat pengeluaran
rekonstruksi tsunami dan menggunakan cadangan devisa yang ada untuk menopang
rupee – melalui intervensi langsung dari Bank Sentral di pasar mata uang asing atau
melalui intervensi bank dagang milik pemerintah. Akhir-akhir ini IMF memperingatkan
akan bahaya intervensi dalam pasar devisa untuk tujuan mencegah depresiasi rupee, dan
sulit untuk menganggap bahwa kurs Rs/AS$ yang terlihat stabil didorong sepenuhnya
oleh kekuatan pasar. 36 Pada suatu saat yang berwenang dalam bidang moneter akan
dipaksa menghadapi implikasi kebijakan kurs yang sekarang berlaku untuk masalah
rehabilitasi jangka panjang pasca-tsunami. Pada dasarnya, ketidak-mampuan untuk
sepenuhnya mendanai rehabilitasi aset berarti bahwa Sri Lanka akhirnya akan memiliki
aset-aset dasar yang kurang bermutu dibandingkan dengan sebelum tsunami. Jika dana
tidak dialihkan dari pengeluaran untuk konsumsi, ketimpangan makro-ekonomi segera
negara itu mungkin dapat diatasi dengan memenuhi keperluan konsumsi berjalan
dengan mengorbankan penggantian aset-aset dasar. Akan tetapi hal ini berarti
mengorbankan prospek pertumbuhan jangka panjang.

9. Beberapa Pelajaran dan Rekomendasi

Tinjauan penulis atas pengalaman Sri Lanka dalam menghadapi tsunami dan masa
sesudahnya, telah menyoroti beberapa masalah baik jangka pendek maupun jangka
panjang yang perlu ditangani oleh pembuat kebijakan. Beberapa aspek dari pengalaman
Sri Lanka juga mengandung pelajaran dengan relevansi yang lebih luas untuk
pemerintah dan badan-badan donor di negara-negara berkembang yang bergelut dengan
masalah yang sama. Dalam bagian ini, penulis menyajikan sejumlah kesimpulan dan
rekomendasi yang berkaitan dengan masalah-masalah berikut:

36
Di Sri Lanka, yang berwenang dapat melakukan intervensi di pasar devisa tidak hanya secara langsung
melalui transaksi Bank Sentral, tetapi juga dengan menggunakan sumber daya kedua bank dagang milik
negara yang mendominasi sektor perbankan dagang.

55
1. Pembayaran uang tunai yang berkaitan dengan mata pencaharian kepada
keluarga
2. Bantuan untuk membangun kembali rumah
3. Sertifikat kepemilikan untuk rumah baru
4. Peraturan zona penyangga
5. Sistem peringatan dini dan sistem pengelolaan bencana
6. Koordinasi kegiatan yang dibantu donor
7. Masalah kebijakan makro-ekonomi

9.1 Meninjau Kembali Hibah Uang Tunai sebagai Bantuan Mata Pencaharian bagi
Keluarga Korban Bencana Tsunami

Dikuranginya hibah yang sebesar Rs 5.000 (AS$50) bagi keluarga yang terkena bencana
tsunami dan peraturan untuk menentukan berhak tidaknya suatu keluarga menerima
hibah ternyata tidak adil dan tidak mendorong keluarga tersebut untuk kembali mencari
penghasilan tetap. Harus ditekankan bahwa jumlah Rs 5.000 untuk sebuah keluarga
menurut ukuran Sri Lanka pun bukanlah jumlah yang besar. Jumlah ini juga harus
dilihat dalam hubungannya dengan garis kemiskinan yang berlaku di Sri Lanka, yang
pada bulan Mei 2004 adalah Rs 1.526 per kapita setiap bulan. Besarnya bencana,
lajunya kenaikan harga, banyaknya biaya sehubungan dengan pentargetan yang sempit,
dan munculnya insentif yang tidak terduga serta tidak masuk akal sebagai akibat
peraturan yang baru itu, semuanya membenarkan diberikannya hibah kepada semua
keluarga selama sekurang-kurangnya empat bulan, dan akan lebih baik lagi jika
diberikan selama enam bulan seperti yang banyak diharapkan sebelumnya.
Memperpanjang masa pemberian hibah akan sedikit mengurangi penderitaan yang
dihadapi oleh keluarga yang terkena bencana. Hal ini juga akan merupakan cara yang
mudah dan transparan untuk menyalurkan dana dari donor kepada semua keluarga yang
terkena bencana.

9.2 Meninjau Kembali Bantuan Uang Tunai untuk Perbaikan/Pembangunan


Kembali Rumah

Karena biaya pembangunan rumah mengalami kenaikan seperti yang diuraikan di atas,
maka jelaslah bahwa jumlah bantuan yang diberikan kepada keluarga korban tsunami
untuk keperluan perbaikan dan pembangunan kembali rumah tidak memadai dan akan
cepat berkurang lagi dalam nilai riilnya. Ada pendapat bahwa jika biaya perbaikan dan
pembangunan kembali rumah tidak seluruhnya ditanggung, maka keluarga akan ikut
menyumbang untuk menutup ongkos tersebut. Akan tetapi ini berarti bahwa keluarga
yang paling miskin (dan tinggal di luar zona penyangga) dan tidak memenuhi
persyaratan untuk menerima perumahan baru akan mengalami banyak kesulitan
membangun kembali rumahnya tanpa terjerumus ke dalam lembah utang yang dalam.
Dengan demikian mereka akan lebih menderita dan akan masuk ke dalam perangkap

56
utang dan kemiskinan jangka panjang. Keadaan seperti ini akan memperparah
ketegangan sosial. Walaupun hal ini juga jelas akan menambah beban fiskal pemerintah,
meninjau kembali dan menambah jumlah bantuan uang tunai yang diberikan sebaiknya
dianggap sebagai masalah mendesak.

9.3 Menentukan Si Penerima Rumah dan Sertifikat Kepemilikan Rumah Baru

Di beberapa tempat cara menentukan siapa yang berhak menerima hibah perumahan
telah menimbulkan ketidak-puasan. Proses ini dapat diperbaiki dengan meningkatkan
transparansi. Daftar penerima rumah sebaiknya disusun oleh pemerintah setelah
berkonsultasi dengan donor, dipasang di tempat-tempat umum dan penduduk
diperbolehkan naik banding.
Survei yang dilakukan oleh IPS (IPS, 2005) menunjukkan bahwa keluarga
yang berharap akan menerima rumah baru tidak jelas mengenai sertifikat
kepemilikannya. Jelaslah bahwa perlu diambil keputusan segera. Berdasarkan Undang-
Undang Tanah Negara (State Lands Act) sertifikat dapat diberikan kepada kepala
keluarga laki-laki. Penjualan rumah ke luar keluarga juga mungkin sekali dibatasi,
seperti halnya dengan alokasi tanah (dan rumah) kepada penduduk baru dalam program
kawasan hunian irigasi. Pembatasan seperti ini dalam jual-beli tanah, meskipun
bermaksud baik, mempunyai kelemahan serius. Sebagai akibat kelemahan ini terjadilah
penggunaan tanah yang tidak efisien dan transaksi tanah gelap yang diketahui banyak
terjadi dalam praktek. Jika pembatasan seperti ini dikenakan untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya penjualan yang tidak diinginkan yang dilakukan karena
kesulitan mendesak, bagaimanapun juga pembatasan seperti itu sebaiknya berlaku untuk
jangka waktu yang relatif pendek, dan serah terima ke luar keluarga sesudah, katakan 10
tahun, sebaiknya diijinkan.
Penulis berpendapat bahwa serah terima sertifikat kepemilikan juga merupakan
kesempatan untuk melaksanakan kesetaraan gender. Pada waktu rumah dialokasikan,
sertifikat yang jelas sebaiknya diserahkan kepada suami-istri bersama, kecuali dalam hal
keluarga orang tua tunggal. Untuk melaksanakan hal ini mungkin perlu diadakan
perubahan pada undang-undang yang sekarang berlaku. Sertifikat kepemilikan bersama
atas nama suami dan istri mungkin sekali akan mencegah terjadinya penjualan tanah
yang dilakukan karena utang yang disebabkan oleh judi dan minum berlebih-lebihan
yang dilakukan oleh kepala keluarga.

9.4 Peraturan mengenai Zona Penyangga

Konsep zona penyangga untuk melindungi lingkungan pantai dan memperkecil dampak
bahaya alam di masa depan pada hakekatnya bermanfaat. Akan tetapi kenyataan
menunjukkan bahwa upaya untuk melaksanakan sistem yang kaku dan bersifat agak
diskriminatif telah mengalami kegagalan. Oleh karena itu sejumlah masalah yang
berkaitan dengan hal itu perlu diperiksa dan dipikirkan dengan lebih cermat agar dapat
dikembangkan menjadi suatu sistem menyeluruh. Dipandang dari sudut pelestarian
maupun keamanan umum, tidaklah perlu membuang keseluruhan pendekatan tersebut.
Hal yang demikian juga akan menimbulkan kekacauan pada program pembangunan
rumah alternatif yang saat ini sedang berjalan.

57
Proses penyusunan strategi baru, termasuk perincian batas-batas Zona
Penyangga, bagaimanapun juga sebaiknya dilakukan secara transparan dan berdasarkan
konsultasi. Dasar-dasar pemikiran ilmiah dan ekonomi untuk tindakan-tindakan tertentu
sebaiknya dijelaskan. Dalam merumuskan strategi pengelolaan pantai yang efektif,
potensi untuk menggabungkan peraturan dengan sistem yang memberikan insentif
kepada warga untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan dan bahaya sebaiknya
diselidiki supaya jangan terlalu tergantung pada peraturan yang bersifat membatasi saja,
yang seringkali sulit dilaksanakan dan memakan biaya tinggi. Sudah banyak
pengalaman internasional yang menunjukkan bahwa pendekatan yang menggunakan
peraturan bersama-sama dengan insentif yang bertumpu pada masyarakat itu jauh lebih
efektif. Di Sri Lanka pun, perlindungan terumbu karang, misalnya, ternyata paling
efektif di tempat-tempat di mana industri wisata lokal mempunyai perhatian untuk
melindunginya, dan kerusakan tsunami di tempat-tempat tersebut ternyata lebih rendah.

9.5 Sistem Peringatan Dini dan Sistem Pengelolaan Bencana

Dengan terjadinya gelombang tsunami yang tidak diduga-duga tiba-tiba tampak jelas
tidak adanya sistem peringatan yang memadai, serta tidak adanya mekanisme
administratif dan kemasyarakatan yang tepat untuk menghadapi bencana alam di Sri
Lanka. Dalam hal ini gelombang tsunami tersebut merupakan tanda peringatan bagi
negara ini. Pengalaman dunia internasional menunjukkan bahwa investasi dalam sistem
pengelolaan dan informasi bencana alam itu membawa manfaat yang berharga.37 Sejak
waktu itu telah banyak pembahasan tentang macam-macam bahaya yang dihadapi oleh
Sri Lanka dan tentang jenis sistem peringatan dini dan pengelolaan bencana terkait.
Menurut catatan sejarah, akhir-akhir ini belum pernah terjadi bencana besar seperti ini
di Sri Lanka. Akan tetapi ada beberapa faktor yang menunjukkan bahwa risiko bencana
alam di negara ini mungkin meningkat. Hal ini diduga akan terjadi karena hubungannya
dengan bukti-bukti global yang menunjukkan bahwa “...sebagai akibat perubahan iklim
dan meningkatnya konsentrasi penduduk dunia di daerah-daerah rawan – bencana alam
pada tahun-tahun mendatang akan bertambah sering, lebih dahsyat dan lebih mahal”
(Freeman, Keen dan Mani, 2003: hal. 3).
Yang sangat relevan untuk Sri Lanka adalah timbulnya konsensus ilmiah yang
menyatakan bahwa di kawasan geografis di mana Sri Lanka terletak dapat diramalkan
akan terjadi peningkatan kegiatan seismik sebagai akibat retaknya lempeng tektonik
tempat Sri Lanka berada. Walaupun letak Sri Lanka tidak di dekat ke-12 atau 13 batas
lempengan utama yang rawan gempa, negara ini terletak pada lempengan yang
terbentang dari Australia sampai India. Tampaknya lempengan ini retak dan terbukalah
celah antara lempengan “Australia” dan “India”. Ada ilmuwan yang berpendapat bahwa
hal ini akan membentuk batas lempengan baru melintasi Samudera India Selatan. 38
Gempa bumi yang melanda Pakistan dan beberapa bagian dari India pada bulan Oktober
2005 menjadi peringatan akan potensi bencana sebagai akibat gempa bumi besar (yang
mungkin juga menimbulkan gelombang tsunami di tempat yang lebih dekat ke Sri
37
Lihat Benson dan Clay (2004)
38
http://www.recoverlanka.net/background/hazards.html

58
Lanka, dan kali ini mungkin melanda bagian Barat yang berpenduduk lebih padat). Para
ilmuwan Sri Lanka juga telah memperingatkan akan potensi terjadinya gempa bumi
dahsyat. Di samping itu peningkatan kegiatan seismik telah direkam pada hari-hari
menjelang terjadinya gelombang tsunami yang lalu. Juga ada kemungkinan bahwa
perubahan yang berkaitan dengan bertambahnya suhu global akan meningkatkan
potensi kegiatan badai. Oleh karena hal-hal di atas maka ada alasan untuk lebih
menekankan perlunya kesiapan untuk menghadapi bencana alam. Sejumlah bendungan
besar yang rawan gempa dan gerakan bumi juga merupakan risiko.
Dalam hubungan ini, apa yang diperlukan bukanlah suatu sistem peringatan
yang terpusat hanya pada gelombang tsunami – yaitu yang didasarkan pada satu macam
peristiwa dengan probabilitas terjadinya iturendah – tetapi suatu sistem yang
dimaksudkan untuk menghadapi bermacam-macam bahaya. Negara berkembang dengan
keuangan yang sangat terbatas tidak mampu memiliki bermacam-macam sistem
peringatan khusus. Dengan bantuan dari dunia internasional, telah diambil langkah-
langkah untuk menghubungkan Sri Lanka dengan sistem peringatan tanda bahaya
regional. Walaupun Undang-Undang Pengelolaan Bencana Sri Lanka (Sri Lanka
Disaster Management Act) (diajukan ke Parlemen pada bulan Februari 2005)
merupakan langkah pertama yang bermanfaat, masih harus dirumuskan sistem
pengelolaan bencana menyeluruh yang mempunyai dasar ilmiah kuat dengan biaya yang
terjangkau oleh negara ini.39
Ada masalah-masalah lagi berjangka lebih panjang yang perlu diselidiki,
seperti bagaimana negara berkembang seperti Sri Lanka dapat mempersiapkan diri
untuk mengatasi masalah-masalah pendanaan yang timbul dari risiko bencana dengan
probabilitas rendah. Sehubungan dengan pendanaan tersebut ada berbagai pilihan, di
antaranya membeli asuransi di pasar asuransi global ataukah menyisihkan cadangan
untuk memenuhi kebutuhan seperti itu. Telah diketahui bahwa negara cenderung
“enggan mengalihkan sumber daya ke pembelian asuransi dan enggan pula mengambil
langkah-langkah untuk mencegah supaya dampak bencana tidak begitu terasa, terutama
jika kejadiannya cukup rendah probabilitasnya sehingga beban yang timbul akibat
persiapan yang kurang dapat dialihkan ke salah satu pemerintah di masa depan”.40

39
Pembahasan terperinci mengenai persyaratan sistem peringatan dini oleh Rohan Samarajiwa dan
Ayesha Zainudeen (LIRNEasia), Malathy Knight-John (IPS) bersama Peter Anderson (Simon Fraser
University, Canada) dapat dibaca di http://www.lirneasia.net/wp-content/news-sl.pdf
40
Freeman, Keen dan Mani (2003: hal.24). Mereka kemudian menunjukkan bahwa keengganan ini akan
meningkat jika donor diharapkan akan menanggung sebagian dari biaya jika terjadi bencana. Terdapat
banyak tulisan yang makin bertambah jumlahnya mengenai masalah-masalah ekonomi yang berkaitan
dengan pengelolaan risiko bencana, setelah ada sumbangan tulisan ilmiah yang berpengaruh dari Dacy
dan Kunreuther. (1969). Lihat juga Kunreuther dan Roth Sr. (1998). Beberapa tulisan yang relevan untuk
negara-negara berkembang ditinjau dan dibahas dalam Freeman, Paul K., Michael Keen dan
Muthukumara Mani (2003) dan Benson dan Clay (2004).

59
Boks 1. Rekomendasi untuk Desain Sistem Peringatan Dini untuk
Segala Jenis Bahaya yang Efektif untuk Tingkat Nasional

• Peringatan umum adalah suatu sistem, bukan teknologi. Identifikasi, deteksi dan
penilaian atas risiko yang timbul dari suatu bahaya, serta identifikasi kerawanan
penduduk berisiko yang dilakukan dengan tepat, dan akhirnya penyampaian
informasi kepada penduduk yang terancam dengan cara yang jelas dan
memberikan cukup waktu sehingga mereka dapat mengambil langkah-langkah
untuk mencegah akibat negatif: unsur-unsur inilah yang merupakan sistem
peringatan umum. Peringatan memungkinkan orang bertindak untuk mencegah
bahaya menjadi bencana. Peringatan umum yang efektif menyelamatkan jiwa,
mengurangi kerugian ekonomi, mengurangi trauma dan gangguan dalam
masyarakat dan menanamkan keyakinan diri dan rasa aman pada masyarakat
umum. Hal ini merupakan komponen penting dari dasar ekonomi yang kuat.
• Peringatan yang efektif hanyalah merupakan salah satu bagian penting dari sistem
pengelolaan bahaya menyeluruh yang meliputi pengurangan, kesiapan, tanggapan
dan pemulihan. Yang gagal pada waktu gelombang tsunami 2004 di Samudera
India adalah tanda peringatan, yaitu unsur terpenting dari keseluruhan sistem
pengelolaan bahaya. Unsur peringatan perlu segera diperkuat agar Sri Lanka
memperoleh manfaat dari peningkatan sistem pendeteksi bahaya regional yang
diusulkan dan memperkecil kerugian yang mungkin timbul dari bahaya lokal.
• Pautan dengan sistem pendeteksi lokal, regional dan internasional sangat penting
sekali untuk sistem peringatan yang efektif. Untuk bahaya lokal seperti banjir dan
tanah longsor, harus ada hubungan yang mulus antara sistem pendeteksi bahaya
dan Sistem Peringatan Dini. Orang tidak hanya menerima peringatan dari para
ahli, tetapi juga merupakan sumber informasi pendeteksian dan pemantauan
bahaya yang perlu dimanfaatkan. Sistem peringatan dini tanpa pendidikan,
perencanaan dan tindakan cepat itu bukanlah yang terbaik.
• Inti tugas pemerintah adalah melindungi warganya sebaik-baiknya. Akan tetapi di
banyak negara berkembang, kemampuan pemerintah untuk bertindak terhambat
oleh klaim-klaim yang saling mendahului terhadap sumber daya yang kurang,
belum lagi masalah kapasitas dan budaya organsisasi yang bermasalah.
Pemerintah tidak dapat menanggung segalanya sendiri; semua sektor masyarakat
harus ikut menyumbang.
• Sebagai contoh, sektor swasta dapat menawarkan sumber daya pelengkap dan
prasarana yang diperlukan (misalnya, jaringan telekomunikasi dan jaringan
penyiaran) yang dibutuhkan untuk menyebar-luaskan peringatan; masyarakat
umum menyediakan prasarana umum pada tingkat “akar rumput” (grassroots).
Penggunaan sarana yang sudah ada bukan hanya cost-effective, tetapi juga
memastikan bahwa sistem itu langgeng dan dirawat. Biaya yang ditanggung
pemerintah untuk mengembangkan sistem peringatan tingkat nasional jauh lebih
rendah jika pihak-pihak lain yang berkepentingan ikut menyumbang perawatan,
pengelolaan dan jasa penyelenggaraan. Juga penting bahwa kinerja fungsi-fungsi
penting yang terkait dengan sistem peringatan dini itu diawasi dengan baik; hal
ini hanya dapat dilakukan jika banyak pihak mengambil bagian.

60
• Sri Lanka sebaiknya memilih pendekatan ‘semua-bahaya’: komponen pendeteksi
mungkin berbeda untuk setiap jenis bahaya (banjir, badai, kebakaran, gempa,
epidemi, dsb), dan diwujudkan secara berbeda-beda dengan keahliannya sendiri-
sendiri, tetapi sistem peringatan tersebut dapat memberikan peringatan untuk
semua jenis bahaya. Unsur penting dalam sistem ini adalah bentuk pesan
peringatan yang disepakati oleh semua pihak untuk semua jenis bahaya, seperti
yang tercantum dalam Protokol Peringatan Umum (Common Alerting Protocol –
CAP) yang berlaku pada tingkat internasional. Suatu sistem umum yang dapat
memberikan peringatan untuk semua jenis bahaya tidak hanya merupakan
penggunaan sumber daya yang sangat baik, tetapi juga mengatasi masalah yang
seringkali terjadi, yaitu sistem tidak dirawat dengan baik karena jarang
digunakan. Sistem peringatan umum juga penting dari segi pemanfaatannya.
Karena sifatnya yang umum, maka para penerima lebih mudah memahami pesan
peringatannya.
• Industri telekomunikasi dan penyiaran elektronik memainkan peranan penting
dalam menyebar-luaskan peringatan. Tindakan pemerintah untuk mengatur
supaya ada sumbangan maksimal dari jaringan komunikasi ini sebaiknya diatur
melalui upaya bersama dari para pelaksanadan difasilitasi oleh pihak pengatur.
Pemerintah sebaiknya juga bekerja sama dengan industri penyiaran elektronik
agar ada kepastian bahwa peringatan dini disiarkan pada tingkat lokal maupun
nasional secara efektif.
• Sistem peringatan dini benar-benar merupakan barang umum yang tidak akan
cukup disediakan oleh pihak swasta. Dengan demikian tanggung jawab
penyediaannya jatuh pada pemerintah. Jika pemerintah mengambil tanggung
jawab ini setelah terjadi gelombang tsunami, maka pemerintah sebaiknya
memilih desain yang meliputi kondisi yang memungkinkan Sistem Peringatan
Dini Nasional itu beroperasi dengan daya kerja yang setinggi-tingginya. Kondisi
ini meliputi tenaga ahli yang sesuai, peralatan yang tepat, dana yang memadai,
pencegahan terjadinya campur tangan politik sehari-hari, transparansi dan
akuntabilitas. Undang-Undang Komisi Kemudahan Umum Sri Lanka (the Public
Utilities Commission of Sri Lanka Act) No. 35, tahun 2002, memberikan titik
tolak yang baik.
• Jika pemerintah tidak berkeinginan mendirikan badan baru yang terpusat semata-
mata pada peringatan, maka pemerintah mungkin dapat menggabungkan para ahli
peringatan bahaya dari organisasi-organisasi pendeteksi dan pemantau bahaya
yang sudah ada bersama-sama dengan para ahli komunikasi bahaya dalam suatu
badan baru. Oleh karena organisasi-organisasi yang sekarang ada mempunyai
bermacama-macam fungsi dengan susunan personalia yang mungkin bukan yang
paling baik untuk suatu badan yang moderendan berorientasi pada kinerja, maka
ada baiknya untuk membangun badan baru sebagai organisasi yang bergerak
dalam bidang baru dengan fokus yang jelas.

61
• Selain kemungkinan dibinanya sistem yang diselenggarakan sepenuhnya oleh
pemerintah, ada pula kemungkinan untuk mengembangkan sistem gabungan di
mana pemerintah menyediakan informasi peringatan bahaya berikut dana,
sedangkan operasi sehari-hari sistem itu diserahkan kepada organisasi-organisasi
kemasyarakatan, sebagaimana dilakukan di Bangladesh. Berhasil tidaknya sistem
gabungan pemerintah-swasta ini tergantung pada organisasi-organisasi
masyarakat yang dilibatkan. Badan-badan itu harus dianggap handal serta mampu
mengeluarkan peringatan yang dianggap sebagai peringatan resmi oleh
masyarakat yang bersangkutan karena disebar-luaskan melalui jaringan yang
telah lama dikenal dan dipercaya oleh masyarakat itu.
• Peringatan bahaya seringkali didasarkan pada informasi dan penilaian yang tidak
lengkap. Dalam banyak masyarakat, keputusan terakhir mengenai peringatan dan
terutama dalam hal evakuasi diambil oleh penguasa politik, atas dasar nasihat dari
para ahli yang independen dan profesional. Di Mauritius, keputusan terakhir
diambil oleh tenaga profesional yang mengepalai badan peringatan bahaya.
Sehubungan dengan masalah ini, sebelum merumuskan kebijakan di Sri Lanka,
berbagai pendapat perlu dipertimbangkan dengan memperhatikan lingkungan
politik dan administratif di Sri Lanka.
• Jika pemerintah menyediakan peringatan, secara langsung ataupun melalui
kemitraan umum-swasta, dan ternyata hal ini bermasalah, maka alternatifnya
ialah melalui sektor swasta, yang menggabungkan peringatan dengan usaha
swasta. Akan tetapi berbeda dengan penyediaan dari pemerintah yang dengan
mudah memungkinkan pendekatan yang meliputi setiap macam bahaya,
penyediaan oleh sektor non-pemerintah cenderung tidak menyeluruh. Ada
beberapa bentuk peringatan non-pemerintah, yang walaupun disediakan dengan
jujur, mungkin harus dilindungi dengan tanggungan asuransi atas ganti rugi oleh
pemerintah.
• Pemecahan yang tepat dan dapat dilaksanakan bagi Sri Lanka mungkin sekali
berbentuk upaya campuran. Yang ideal ialah Sistem Peringatan Dini Nasional
dengan pimpinan pemerintah bersama dengan komponen pelengkap oleh sektor
swasta dan masyarakat madani dengan memanfaatkan kelebihan masing-masing.
Tindakan segera untuk mendirikan Sistem Peringatan Dini Nasional yang efektif
akan menjadi monumen yang terbaik yang dapat kita bangun untuk mengenang
40.000 jiwa yang hanyut karena tidak adanya kewaspadaan dan tidak adanya
tanda peringatan dalam menit-menit sebelum tsunami melanda.

Sumber: Disadur dari Ringkasan Eksekutif laporan: “National Early Warning System: Sri Lanka –
A Participatory Concept Paper for the Design of an Effective All-Hazard Public Warning
System” (Sistem Peringatan Dini Nasional: Sri Lanka – Kertas Kerja Konsep untuk
Berpartisipasi dalam Perencanaan Sistem Peringatan Umum yang Efektif untuk Segala
Macam Bahaya), http://www.lirneasia.net/projects/national-early-warning-system.

62
9.6 Koordinasi Bantuan

Koordinasi yang kurang baik di antara badan-badan dan kelompok yang terlibat dalam
upaya pemberian bantuan kepada korban tsunami telah timbul sebagai rintangan yang
serius dalam lingkungan pasca-tsunami. Sejak bencana tsunami, proses pengambilan
keputusan yang lamban telah dikecam karena dianggap menghambat pemberian bantuan
kepada yang membutuhkannya, sedangkan koordinasi yang kurang baik mengakibatkan
beberapa bantuan menjadi kurang efektif. Pembentukan TAFREN sebagai satu-satunya
badan koordinator merupakan langkah yang disambut baik. Akan tetapi timbul keraguan
mengenai susunannya, hubungannya dengan badan-badan bawahan, dan keefektifannya
secara keseluruhan. Karena adanya keraguan ini maka telah dibentuk badan baru di
bawah Kementerian Pengelolaan Bencana (Ministry of Disaster Management), sebuah
kementerian baru yang dibentuk sesudah pemilihan umum bulan November 2005 dan
dikepalai oleh Perdana Menteri.
Keengganan LSM-LSM internasional tertentu untuk berhubungan dengan
jajaran administratif pemerintah (dan tingkah-laku mereka yang ingin ‘bersaing’ dengan
LSM-LSM lokal) juga merupakan masalah besar yang merintangi koordinasi di Sri
Lanka.
Mekanisme pengucuran bantuan menimbulkan kontroversi lebih lanjut
sehubungan dengan konflik yang terjadi di bagian Utara dan bagian Timur negara. Yang
menjadi tugas sulit tetapi tidak dapat dihindarkan adalah mencari keseimbangan antara
kenyataan politik dan kepentingan kemanusiaan. Sejumlah kegagalan di Sri Lanka
menonjolkan baik perlunya fasilitasi dan bantuan internasional maupun keterbatasan
yang ada pada keduanya. Masalah ini tidak hanya menjadi sumber keprihatinan untuk
Sri Lanka, akan tetapi sebaiknya dibahas juga oleh para donor dan LSM-LSM. Masalah
ini kembali mengarahkan perhatian pada perlunya meneliti kembali modalitas
pembelanjaan bantuan, termasuk prosedur dan mekanisme, sehingga bantuan dapat
disediakan dengan cepat sebagai tanggapan terhadap bencana-bencana.

9.7 Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pengucuran Bantuan

Transparansi dan akuntabilitas dalam pengucuran bantuan jelas merupakan hal yang
diinginkan, tetapi dalam praktek bukanlah tugas yang mudah. Pada tahap segera
sesudah terjadi bencana alam, bantuan kemanusiaan mau tidak mau harus didahulukan
daripada mekanisme akuntabilitas bantuan yang resmi. Hal ini dapat membuka jalan
menuju ke berbagai bentuk korupsi. Penyelewengan yang cukup besar dalam
pembagian barang-barang bantuan, dalam pengelolaan barang-barang bantuan yang
diterima, pengelolaan dana, pembayaran bantuan uang tunai, dsb., yang disoroti dalam
laporan sementara dari Departemen Auditor Jenderal harus segera diatasi dan mereka
yang dengan sengaja melakukan salah kelola haruslah dimintai
pertangggungjawabannya (GOSL, 2005c).
Pemerintah donor maupun beberapa badan internasional dipengaruhi oleh
pandangan bahwa pemerintah negara-negara berkembang itu terlalu korup dan/atau
tidak efisien untuk diberi kepercayaan membagikan dana bantuan secara efisien. Oleh
karena itu mereka mencari cara yang lebih efisien untuk menyampaikan bantuan, dan
LSM seringkali mendapat kepercayaan untuk tugas tersebut. Tidaklah jelas apakah ini

63
selalu merupakan jalan yang lebih efisien di setiap negara berkembang. Sampai di mana
korupsi domestik menyebabkan kebocoran haruslah dibandingkan dengan ongkos
tambahan yang tinggi dari LSM internasional. Haruslah dipertimbangkan apakah
kerugian akibat bocornya dana dalam lingkungan domestik itu lebih besar daripada
kerugian akibat ongkos administrasi LSM yang tinggi serta kenyataan bahwa LSM-
LSM tidak selalu menghayati situasi di lapangan. Selanjutnya, dengan dukungan
keuangan dari donor-donor besar, maka LSM internasional tergoda untuk terlalu
mandiri dalam tindakannya dan melepaskan diri dari sistem administratif pemerintah.
Hal ini akan mempersulit tugas mengkoordinasi upaya bantuan dan rekonstruksi yang
memang sudah sulit. Ada kalanya hal ini dapat mengakibatkan ketegangan besar antara
LSM internasional dan organisasi-organisasi lokal. Harus diakui bahwa perwakilan
pemerintah lokal, meskipun mempunyai kelemahan, baik nyata maupun hanya dalam
pandangan, seringkali dapat dan ada memainkan peranan positif dalam keadaan bencana.
Yang perlu diupayakan adalah pendekatan seimbang yang mengakui perbedaan
signifikan antara perwakilan-perwakilan pemerintahan lokal di negara-negara
berkembang. Upaya untuk sama sekali menyisihkan perwakilan-perwakilan
pemerintahan lokal yang didasarkan pada sikap ‘satu ukuran pas untuk semua’ dapat
berakibat buruk dalam banyak keadaan.

9.8 Kebijakan Makro-Ekonomi

Pengelolaan makro-ekonomi dalam situasi pasca-tsunami akan menjadi penting untuk


pemulihan jangka menengah ekonomi Sri Lanka. Ironisnya, bencana tsunami itu sendiri
mendatangkan sedikit kestabilan pada ekonomi yang sedang kembang kempis di bawah
ketimpangan makro-ekonomi. Terlihat dengan jelas bahwa masuknya modal asing
secara mendadak untuk membantu korban dan mendukung upaya rekonstruksi telah
menghindarkan krisis mata uang yang sedang meningkat.
Namun, ada beberapa masalah penting yang timbul. Pertama, meningkatnya
ongkos-ongkos pembangunan jauh di atas yang semula diperkirakan pasti akan
menimbulkan kurangnya dana, sehingga mempersulit tugas rekonstruksi dan
memperberat beban pengeluaran fiskal pemerintah. Kedua, proses rekonstruksi itu
sendiri lebih memperparah ketimpangan makro-ekonomi, dan menaikkan kerugian
finansial akibat kebijakan yang salah. Ketiga, keberhasilan upaya rekonstruksi tidak
dapat dilepaskan dari keadaan dan kebijakan makro-ekonomi secara keseluruhan.
Khususnya penulis mencatat bahwa tekanan inflasi yang timbul dari kebijakan
yang tidak berkaitan dengan rekonstruksi tsunami akan berdampak negatif pada upaya
rekonstruksi. Hal ini akan terjadi karena nilai riil sumbangan donor akan turun dan
kapasitas fiskal pemerintah untuk menutup kekurangan dana akan berkurang.
Mengingat kepekaan masyarakat terhadap inflasi yang melaju (dan hal ini dapat
dipahami) ada desakan dalam lingkungan politik untuk mencegah terjadinya depresiasi
kurs. Seperti yang telah dibahas, jika perkembangan sektor eksternal menekan kurs ke
bawah, mungkin sekali akan timbul godaan untuk menggunakan cadangan devisa untuk
mempertahankan kurs nominal dengan tujuan mengendalikan inflasi dalam jangka
pendek. Tersirat dalam tindakan yang demikian ialah tertundanya kegiatan rekonstruksi
yang memang sejak semula didanai oleh dana asing. Kebijakan seperti itu tidak hanya
akan memperparah ketimpangan lain, tetapi akan menambah ongkos upaya rekonstruksi.

64
Oleh karena setelah beberapa waktu perhatian akan beralih dari korban tsunami, maka
khususnya keluarga yang paling miskinlah yang mungkin sekali akan menjadi pihak
yang dirugikan karena penundaan tersebut. Rekonstruksi pasca-tsunami sebaiknya tetap
menjadi pokok yang asasi dan berprioritas tinggi baik dari sudut pertumbuhan ekonomi
maupun ditegakkannya keadilan. Dana tsunami sebaiknya digunakan semata-mata
untuk tujuan yang dimaksudkan, dan ketimpangan makro-ekonomi yang lebih luas
sebaiknya diatasi dengan menargetkan sumber-sumber yang langsung menimbulkannya.
Penulis berharap bahwa pembahasan dan saran-saran dalam laporan ini akan
memberikan sumbangan yang berguna bagi proses perumusan kebijakan, dan akan
membantu Sri Lanka pulih dari kerusakan yang disebabkan oleh gelombang tsunami
sehingga lebih mampu berjalan terus mengikuti jalur pertumbuhan yang adil dan
bersinambung.

65
Acuan

ADB, JBIC dan WB (2005), “Sri Lanka 2005 Post-Tsunami Recovery Program:
Preliminary Damage and Needs Assessment”, Januari 2005.

Athukorala, Prema-Chandra dan Budy P. Resosudarmo (akan terbit), “The Indian Ocean
Tsunami: Economic Impact, Disaster Management and Lessons”, Asian
Economic Papers.

Benson, Charlotte dan Edward J. Clay (2004), Understanding the Economic and
Financial Impacts of Natural Disasters, Disaster Risk Management Series No. 4,
The World Bank, Washington D.C.

Cooray, S. (2005), “Donor Support, Pledges, Commitments and Expenditure”, Sri


Lanka Development Forum: Background Papers.

Corden, W.M. (1984), “Booming Sector and Dutch Disease Economics: Survey and
Consolidation”, Oxford Economic Papers, 36(2): 359–80

Corden, W. Max dan Peter J. Neary (1982), “Booming Sectors and De-industrialisation
in a Small Open Economy”, Economic Journal, 92 (825–48)

Cuny, Frederick C. (1983), Disasters and Development, New York: Oxford University
Press.

Dacy, Douglas C., dan Howard Kunreuther. (1969), The Economics of Natural
Disasters: Implications for Federal Policy, New York, NY; The Free Press.

Ebregt, Arthur dan Pol De Greve (2000), Buffer Zones and their Management: Policy
and Best Practices for terrestrial ecosystems in developing countries, National
Reference System for Nature Management, International Agricultural Centre,
Wageningen, Belanda.

Freeman, Paul K., Michael Keen dan Muthukumara Mani (2003), “ Dealing with
Increasing Risk of Natural Disasters: Challenges and Options”, IMF Working
Paper WP/03/197, IMF, Washington D.C.

GOSL (2005a), ‘Rebuilding Sri Lanka: Action Plan”, Februari 2005.

GOSL (2005b), “Post Tsunami Recovery and Reconstruction Strategy”, Mei 2005.

GOSL (2005c), “Interim Report of the Auditor General on the Rehabilitation of the
Losses and Damages Caused to Sri Lanka by the Tsunami”, September 2005.

ILO (2005), “Livelihood and Employment Creation: Microfinance”, International


Labour Organization, Geneva.

IPS (2001), “Aid and Aid Under-Utilization” in Sri Lanka State of the Economy: 2001,
Institute of Policy Studies, Kolombo.

IPS (2005), “Listening to those who Lost: Survey and Analysis of Rebuilding and
Relocation of Tsunami Affected Households in Sri Lanka”, Agustus 2005.

66
IPS (2005), “Tsunami: Policy Issues, Lessons and Challenges” in Sri Lanka State of the
Economy: 2005, Institute of Policy Studies, Kolombo.

IPS (2005) Livelihoods post tsunami: build back better? Lokakarya 1–2 Desember 2005
diselenggarakan oleh Institute of Policy Studies di BMICH, Kolombo.

Kunreuther, Howard, and Richard J. Roth Sr. (1998) Paying the Price: The Status and
Role of Insurance against Natural Disasters in the United States, Washington,
D.C.

Mathison, S. (2003), “Microfinance and Disaster Management”, Foundation for


Development and Cooperation, Australia.

Sida, DFID and GTZ, 2005, Hambantota Verification Mission, 13–15 Februari.

Steele, P. (2005), “Phoenix from the Ashes? Economic Policy Challenges and
Opportunities for Post-Tsunami Sri Lanka”, Kertas Kerja No. 7, Institute of
Policy Studies, Colombo.
TAFREN (2005), “Rebuilding Sri Lanka: Post Tsunami Reconstruction and
Rehabilitation”, Juni 2005.

67
Lampiran

Tabel A-1. Patokan Jalur Setback yang Dianjurkan

Distrik Sekretariat Divisi Divisi Grama Niladhari Setback yang Dianjurkan


Kolombo Thimbirigasyaya 55 m
Dehiwela 55 m
Ratmalana 45 m
Moratuwa Angulana(W) sampai 45 m
Egodauyana (S)
Kalutara Panadura Sagara Pedesa to 45 m
Molligoda
Kalutara Pohoddaramulla to 35 m
Kalamulla 60 m
Beruwela Maggona (H) 40 m
Beruwela Mradana 60 m
Galle Bentota Angagoda to Warahena 40 m
Randombe (H)
Balapitiya Ambalangoda Police 45 m
Ambalangoda Station area (H) 45 m
Narigama
Thiranagama
Hikkaduwa Patuwatha 35 m

Closenberg (H)
Rumassala (H)
Galle Unawatuna to Pihilagoda 25 m
(H)
Habaraduwa 40 m
Matara Weligama Kapparatota (H) 35 m
Mirissa (H)
Devinuwara Nilwella (H) 35 m
Wavwa (H)
Dickwella Waththegama North to 35 m
Dodampahala Central
Browns Hill, Eliyakanda
Matara (H) 25 m
Hambantota Tangalle Goyambokka (H) 35 m/60 m (tergantung pada
tempat)
Hambantota Pallemalala 60 m
Ampara Potuvil Arugam Bay 50 m
Kalmunai 65 m
Batticaloa Kaththankudi 80 m
Trincomalee Muthur
Kinniya 50 m
Kuchchaweli
Kadawathsathara
Jaffna Maruthankemy 100 m
Point Pedro
Sumber: Oktober 2005, siaran pers pemerintah

68
Tabel A-2. Komitmen, Pengucuran dan Pemanfaatan
Bantuan Luar Negeri menurut Jenis

1998 1999 2000 2001 2002 2003


Pinjaman
Komitmen (AS$ juta) 607 640 351 687 779 914
Pengucuran (AS$ juta) 579 358 338 451 495 559
Pemanfaatan 25,1 16,0 13,9 20,3 20,1 20,5
Hibah
Komitmen (AS$ juta) 128 71 96 67 111 144
Pengucuran (AS$ juta) 114 108 83 83 74 82
Pemanfaatan 42,8 41,6 45,5 41,6 40,6 38,2
Jumlah
Komitmen (AS$ juta) 735 711 447 754 890 1058
Pengucuran (AS$ juta) 693 466 421 534 569 641
Pemanfaatan 23,5 18,6 16,1 22,1 21,5 21,7

CUB (AS$ juta) 2499 2614 2420 2650 2952


Sumber: Departemen Sumber Daya Luar, Foreign Aid Reviews, berbagai nomor.

Tabel A-3. Harga Bahan Bangunan Utama

%
kenaikan
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu.
Jan.–
Agu.
Bahan Ukuran Rs Rs Rs Rs Rs Rs Rs Rs
Semen kantong 50 kg 472,00 472,00 481,55 493,40 508,40 508,40 512,00 512,00 8
Pasir sungai 1 kubus 3625,00 3625,00 3625,00 3700,00 3850,00 3875,00 4100,00 4200,00 16
Kerikil 1 kubus 4200,00 4200,00 4250,00 4250,00 4625,00 4625,00 4750,00 4750,00 13
Batu pasir 1 kubus 3125,00 3125,00 3125,00 3375,00 3375,00 3625,00 4200,00 4400,00 41
Serbuk batu 1 kubus 3700,00 3750,00 4000,00 4200,00 4200,00 4250,00 4300,00 4375,00 18
Semen blok 1 blok. 22,00 22,00 22,00 23,00 23,00 25,00 25,00 26,00 15
Baja 10 mm 1 potong – – 254,00 254,00 250,43 295,00 295,00 295,00 16*
Baja 12 mm 1 potong – – 364,00 364,00 356,52 417,00 471,00 417,00 15*
6 mm
gulungan 1 kg – – 63,00 63,00 62,61 72,00 72,00 72,00 14*
1 kg kawat
pengikat 1 kg – – 82,61 82,61 82,61 96,00 97,00 97,00 18*
Genting 1000 – – 15500,00 15500,00 15500,00 15400,00 16400,00 16400,00 6

Catatan: Kenaikan dengan tanda * untuk Maret–Agustus


Sumber: Solidial Ladstar Rehabilitation Trust, komunikasi pribadi.

69
Gambar A-1. Laju Inflasi dan Suku Bunga

18,0

16,0

14,0

12,0

10,0
Persen

8,0

6,0

4,0

2,0

0,0
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu. Sep. Okt. Nov. Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu. Sep.
2004 2005
Inflasi AWDR AWPR

Catatan: Inflasi = Perubahan Titik-ke-Titik dalam Indeks Harga Konsumen Kolombo;


AWDR= Average Weighted Deposit Rate; AWPR= Average Weighted Prime Lending
Rate.
Sumber: Bank Sentral Sri Lanka, Indikator Ekonomi Bulanan, berbagai nomor.

70

Anda mungkin juga menyukai