Anda di halaman 1dari 15

TUGAS CURRENT ISSUE

“Isu terkait obat dan alat kesehatan”

Dosen Pengampu :

Zulmi Rahmayanti S.K.M., M.K.M

Kelompok 6 :

Nur Rahma WN10523032

Wulan Ramadhani WN10523055

Zahra WN10523056

Randa Sakinah WN10523057

FAKULTAS KESEHATAN

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI KESEHATAN

UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas segala nikmat
dan rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat terususun sampai selesai.

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas kuliah Current Issue dengan tema “Isu
terkait obat dan alat kesehatan” dari dosen pengampu.

Kami menyadari di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat banyak kekurangan
dan batasan pengetahuan dan kemampuan dalam penulisan makalah ini, maka kami sangat
mengharapkan sebuah kritik dan saran yang membangun, untuk perbaikan makalah selanjutnya.

Akhir kata kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
berpartisipasi membantu menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberi
manfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca maupun saya selaku penyusun.
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumah sakit adalah salah satu sarana penyelenggaraan pelayanan kesehatan, dituntut untuk
mampu memberikan pelayanan yang baik dan bermutu.Untuk dapat terlaksananya manajemen
rumah sakit yang efektif dan efesien diperlukan infrastruktur yang memadai.Menyadari bahwa
rumah sakit merupakan organisasi yang kompleks maka harus dikelola dengan sedemikian rupa
sehingga mampu memberikan pelayanan yang baik.

Mengingat obat dan alat kesehatan merupakan salah satu bagian penting dalam terlaksananya
proses kesehatan, maka pada instalasi farmasi rumah sakit pendistribusian obat dan alat
kesehatan perlu dilakukan secara baik dan merata. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan obat-
obatan dan alat kesehatan yang diperlukan oleh pasien rumah sakit serta meningkatkan mutu
pelayanan rumah sakit dalam melakukan pendistribusian obat-obatan dan alat kesehatan.

Distribusi yaitu proses penyerahan obat-obatan mulai dari sediaan disiapkan oleh instalasi
farmasi rumah sakit sampai obat diserahkan kepada pelayan kesehatan untuk diberikan kepada
pasien. Adapun alat kesehatan yaitu sebagai indikator penunjang dalam penggunaan obat oleh
pasien.

Distribusi besar sekali peranannya dalam pelaksanaan kesehatan pasien rumah sakit karena
dengan terlaksananya proses disribusi yang baik maka obat-obatan dan alat kesehatan akan
tersampaikan kepada pasien secara tepat waktu dan dapat langsung digunakan tanpa harus
menunggu lama. Oleh karena itu harus terealisasikan dengan perencanaan manajemen yang
matang dalam proses distribusi tersebut.

Masalah-masalah yang sering terjadi di rumah sakit apabila obat-obatan datang terlambat tiba
di depo-depo obat rumah sakit.Tidak hanya karyawan yang merasa rugi tetapi pasien-pasien
yang mebutuhkan obat-obatan lebih dirugikan lagi karena harus menunggu obat yang datangnya
terlambat. Selain itu jika obat yang dibutuhkan tidak ada atau sedang kosong maka pasien harus
membelinya di apotek luar, itu lebih memprihatinkan jika benar-benar sedang dibutuhkan maka
akan berakibat patal bagi pasien. Oleh karena itu distribusi di rumah sakit harus ditingkatkan lagi
demi menunjang kesehatan para pasien-pasien rumah sakit.

Dengan demikian pengelolaan obat harus diproses secara professional, terorganisir dan
terencana. Terutama dalam proses pendistribusian obat-obatan dan alat kesehatan sehingga tidak
terjadi hal-hal yang dapat menghabat pelayanan rumah sakit terhadap pasien dan mutu pelayanan
akan menigkat jika rumah sakit memberikan kepuasan kepada masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana kebijakan harga obat mempengaruhi aksebilitas pasien terhadap
perawatan yang mereka butuhkan?
b. Apa tantangan utama dalam pengembangan obat yang terjangkau namun efektif?
c. Apa dampak dari kurangnya akses terhadap alat Kesehatan berkualitas bagi
system perawatan Kesehatan?
d. Apa tantangan utama dalam pengembangan alat Kesehatan yang inovatif namun
terjangkau?

1.3 Tujuan penulisan


a. Untuk mengetahui kebijakan harga obat mempengaruhi aksebilitas pasien
terhadap perawatan yang dibutuhkan.
b. Untuk mengetahui tantangan utama dalam pengembangan obat yang terjangkau
namun efektif.
c. Untuk mengetahui dampak dari kurangnya akses terhadap alat Kesehatan
berkualitas bagi system perawatan Kesehatan.
d. Untuk mengetahui tantangan dalam pengembangan alat Kesehatan yang inovatif
namun terjangkau.
BAB II

PEMBAHASAN

a. kebijakan harga obat mempengaruhi aksebilitas pasien terhadap perawatan yang


dibutuhkan.
Kebijakan harga obat dapat sangat memengaruhi aksesibilitas pasien terhadap perawatan
yang mereka perlukan. Harga yang tinggi bisa membuat obat sulit dijangkau bagi banyak
orang, sementara harga yang lebih rendah bisa memudahkan aksesibilitasnya. Hal ini
dapat memengaruhi seberapa baik pasien dapat mengakses dan mematuhi perawatan yang
mereka butuhkan.
Masalah harga obat sangat erat kaitannya dengan akses masyarakat terhadap obat. Harga
obat yang tinggi dapat berdampak rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan, karena kontribusi obat dalam pelayanan kesehatan besar. Penelitian mengenai
harga obat telah beberapa kali dilakukan, dan selalu memperlihatkan gambaran bahwa
harga obat di Indonesia cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan Badan Litbang DepKes
dan WHO dan HAI pada tahun 2004 yang lalu bahkan menunjukkan bahwa harga obat di
Indonesia untuk seluruh sektor (publik dan swasta) mayoritas di atas standar harga
International. Selama tahun 2006 dilakukan lagi studi harga obat yang lebih
komprehensif untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingginya harga
obat. Tujuan umum dari studi ini adalah mengembangkan model perhitungan harga obat
yang rasional. Untuk itu, variabel yang mungkin berpengaruh terhadap harga obat dinilai,
yaitu harga beli obat, komponen harga obat, ketersediaan, sistem pengadaan, dan jarak.
Untuk menilai variabel tersebut dilakukan pengambilan sampel pada fasilitas kesehatan,
yaitu: dinas kesehatan, puskesmas, rumah sakit, apotek dan distributor secara kuantitatif
dan kualitatif. Survei dilakukan secara nasional mulai dari Pusat (DKI Jakarta), Indonesia
Barat (Riau), Indonesia Tengah (Kalimantan Selatan), dan Papua (Indonesia Timur).
Dilakukan juga kajian terhadap kebijakan harga obat yang sudah ada. Ternyata basil studi
memperlihatkan bahwa sistem pengadaan dan jarak tidak berpengaruh terhadap harga dan
ketersediaan obat. Harga obat di pusat tidak lebih rendah daripada bagian lain Indonesia,
demikian juga ketersediaan obat di pusat tidak lebih baik di pusat dari bagian lain. Sistem
pengadaan obat (tender dan nontender) juga tidak berpengaruh terhadap harga obat.
Komitmen pemerintah daerah terhadap kesehatan berpengaruh dalam hal ketersediaan
dan kecukupan obat. Papua yang APBDnya terendah dibandingkan Indonesia bagian lain
ternyata kecukupan obatnya tertinggi, hal ini karena belanja kesehatan terhadap
APBDnya juga paling tinggi. Akan tetapi basil studi menunjukkan bahwa pengadaan obat
PKD sektor publik masih kurang efisien, hal ini terlihat dari harga pengadaan obat untuk
puskesmas relatif lebih tinggi dari harga pengadaan obat untuk apotek dan rumah sakit.
Faktor pajak dan diskon ternyata merupakan komponen obat yang sangat berpengaruh
terhadap harga obat. Studi ini merekomendasikan model obat dari sisi demand dan sisi
supply, antara lain perhitungan harga tender obat untuk sektor pemerintah sebaiknya di
bawah harga patokan dari Departemen Kesehatan, penghapusan pajak dan diskon dari
perhitungan harga obat, adanya pengaturan dari pemerintah mengenai selisih harga beli
dan harga jual eceran, dan penetapan harga obat branded yang mengacu kepada standard
harga international, serta rekomendasi lain yaitu pentingnya kontrol kualitas terhadap
pengadaan obat publik dan perlunya strategi advokasi penghapusan yang focused yang
melibatkan partisipasi Masyarakat.
b. tantangan utama dalam pengembangan obat yang terjangkau namun efektif
Tantangan besar dalam pengembangan obat yang terjangkau dan efektif meliputi biaya
riset dan pengembangan yang tinggi, regulasi yang ketat, serta upaya untuk memastikan
ketersediaan dan aksesibilitas bagi semua orang yang membutuhkan.
Biaya riset dan pengembangan yang tinggi adalah karena proses pengembangan obat
memerlukan waktu yang lama dan investasi besar dalam penelitian, uji klinis, serta
pengujian untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya sebelum bisa dipasarkan.
Regulasi yang ketat juga diperlukan untuk memastikan obat yang diperkenalkan aman
digunakan bagi masyarakat. Proses ini seringkali memakan waktu dan biaya
yang signifikan.
Sulitnya Menemukan Obat Baru di Indonesia Sejarah penemuan obat sebenarnya dimulai
dari hal yang tidak disengaja Ketika Alexander Fleming sedang melakukan penelitian
terhadap bakteri Staphylococcus. Ketika penelitiannya telah selesai, ia meninggalkan
laboratorium dan lupa membersihkan cawan petri yang berisi bakteri tersebut. Sehingga,
saat kembali untuk melanjutkan penelitian Fleming melihat cawan petri yang berisikan
bakteri terkontaminasi oleh jamur yang menyebabkan perkembangan bakteri menjadi
terhambat, jamur itu adalah jamur Penicillium chrysogenum.
Proses penemuan obat baru Penemuan dan pengembangan obat terus menerus dilakukan
untuk terus menghasilkan produk produk yang bermanfaat di dunia kesehatan. Tahapan
yang dilakukan dalam penemuan dan pengembangan obat yaitu penseleksian target kerja
obat, dilanjutkan dengan penentuan senyawa kemudian memprediksi kinerja senyawa
berdasarkan struktur kimia (in silico), lalu dilanjutkan dengan pengujian pra klinis (in
vitro dan in vivo) dan uji klinis untuk melihat respon obat terhadap tubuh manusia. Jika
tahapan pengujian telah dilalui tahapan registrasi merupakan tahapan akhir untuk
mendapatkan ijin edar dari pihak yang berwenang demi memperkuat pernyataan
keamanan obat. Penentuan target atau sasaran tempat kerja obat Target obat biasanya
berupa sel, protein, gen, ataupun biofarmasetik. Suatu target obat yang baik adalah target
yang dapat menyeleksi beberapa kandidat molekul obat yang secara aktif dapat
berinteraksi dengan target sehingga dapat digunakan sebagai obat yang efektif.
1. Skrining senyawa obat
Skrining dilakukan untuk mengidentifikasi senyawa yang akan bekerja di target
yang akan diobati. Penentuan senyawa ini dapat dilakukan dengan melakukan
sintesis ataupun isolasi dari senyawa yang dimaksud. Hasil dari prosedur skrining
ini disebut sebagai senyawa utama, yaitu merupakan kandidat utama untuk obat
baru.
2. Optimasi senyawa secara komputasi
Selanjutnya dilakukan pendekatan senyawa secara komputasi (in silico). Salah
satunya yaitu penambatan molekul secara kimiawi.
3. Pendekatan secara kimiawi
komputasi dapat digunakan untuk memprediksi aktivitas struktur, interaksi yang
terjadi antara struktur dengan molekul target atau antara sesama molekul obat.
Formulasi senyawa obat Setelah mendapatkan senyawa obat yang sesuai, dibuat
rancangan formula agar obat dapat dihantarkan dengan baik pada target obat.
Sediaan tablet merupakan sediaan yang paling populer karena mudah dalam
penanganannya dan cenderung lebih ekonomis. Namun kini mulai bermunculan
teknologi penghantaran obat tertarget dalam bentuk inhalasi khususnya untuk
gangguan saluran pernapasan. Contohnya rifampin. Dari awal ditemukan,
rifampin diformulasikan menjadi tablet. Kemudian seiring dengan perkembangan
teknologi, rifampin kini telah mulai diformulasikan menjadi bentuk inhalasi.
Berdasarkan penelitian Mizoe dkk bahwa sediaan rifampin-mannitol efektif dalam
menghantarkan obat ke paru-paru.
4. Uji pra klinis dan uji klinis
Uji pra klinis dan uji klinis merupakan tahapan yang penting dalam penemuan dan
pengembangan obat. Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk kandidat obat,
dari uji ini diperoleh informasi tentang efek farmakologi, profil farmakokinetik
dan toksisitas dari kandidat obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik
adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ
terisolasi (in vitro), selanjutnya pengujian praklinis dilakukan pada hewan utuh
(in vivo).
Hewan yang biasa digunakan adalah hewan dengan galur tertentu dari mencit,
tikus,
kelinci, marmot, hamster, anjing, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan
obat. Hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan
efek toksik pada dosis pengobatan atau obat tersebut aman digunakan. Untuk itu
pengujian secara in vitro dilakukan untuk menentukan khasiat obat Pada pengujian in
vitro kita dapat memprediksi afinitas dan selektifitas dari zat yang dimaksudkan untuk
bekerja dengan reseptor target, dapat juga terlihat mekanisme aksi dari senyawa tersebut.
Selanjutnya pengujian In vivo dilakukan menggunakan hewan uji. Tujuan utama dari
eksperimen in vivo adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang sistem biologis
dilihat dari perilaku hewan uji. Uji toksisitas juga dapat terlihat pada saat pengujian
menggunakan hewan uji, untuk melihat adanya gambaran reaksi biokimia, fisiologik dan
patologik pada manusia terhadap suatu sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat
digunakan secara mutlak untuk membuktikan keamanan suatu bahan/ sediaan pada
manusia, namun dapat memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu
identifikasi efek toksik bila terjadi pemaparan pada manusia.
Faktor-faktor yang menentukan hasil uji toksisitas secara in vivo dapat dipercaya adalah
pemilihan spesies hewan uji, galur dan jumlah hewan, cara pemberian sediaan uji,
pemilihan dosis uji, efek samping sediaan uji, teknik dan prosedur pengujian termasuk
cara penanganan hewan selama percobaan.
Setelah kandidat obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan
percobaan maka selanjutnya dilakukan uji klinik (diuji pada manusia). Uji pada manusia
harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik. Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :
1. Fase I , kandidat obat diuji pada sukarelawan sehat 25-50 orang untuk mengetahui
apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada
fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil
farmakokinetik obat pada manusia.
2. Fase II, kandidat obat diuji pada pasien tertentu 100-200 orang, diamati efikasi pada
penyakit yang diobati. obat memiliki efek yang potensial dengan efek samping rendah
atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas
bentuk sediaan obat.
3. Fase III melibatkan kelompok besar pasien sekitar ribuan orang, di sini obat yang
dikembangkan dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang
sudah diketahui. Keputusan diberikan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia
keputusan hasil pengujian dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan,
dengam melampirkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan
indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk
produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui
control kualitas.
4. Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran ( post
marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai
usia dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai
terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil
studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan
jika membahayakan.

Penemuan dan pengembangan obat terus menerus dilakukan untuk terus


menghasilkan
produk produk yang bermanfaat di dunia kesehatan. Tahapan yang dilakukan dalam
penemuan dan pengembangan obat cukup panjang hingga diedarkan di tingkat
konsumen.
Selain itu, faktor biaya menjadi kendala industri farmasi di Indonesia melakukan riset
sampai ditemukan obat baru hingga dipasarkan, tidak heran impor bahan baku farmasi
masih diatas angka 90%.
c. dampak dari kurangnya akses terhadap alat Kesehatan berkualitas bagi system
perawatan Kesehatan
Kurangnya akses terhadap alat kesehatan berkualitas dapat berdampak serius pada sistem
perawatan kesehatan. Ini bisa menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan kematian
karena diagnosa yang terlambat atau tidak akurat, memperpanjang waktu pemulihan,
meningkatkan risiko infeksi, dan membebani sistem kesehatan dengan biaya yang lebih
tinggi dalam jangka panjang karena perawatan yang lebih intensif.
Akses kesehatan merupakan bentuk dari pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh
masyarakat. Akses kesehatan seringkali hanya dilihat dari sudut pandang penyedi
layanan, sementara akses dari sisi masyarakat sebagai pengguna kurang terperhatikan.
Penelitian tentang akses pelayanan kesehatan dari perspektif pengguna dirasakan masih
sangat kurang. Penelitian tentang akses pelayanan kesehatan dari sisi pengguna masih
kurang. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dari segi akses memerlukan perspektif
yang komprehensif dari dua sisi yang berbeda. Tujuan dari review artikel ini adalah untuk
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam mengakses fasilitas
kesehatan. Desain metode yang digunakan merupakan review artikel, hasil data yang
diperoleh berdasarkan kumpulan dari penelitian terkait. Metode pecarian sumbe
dilakukan dengan menggunakan kata kunci “akses kesehatan”, “pelayanan kesehatan”
dan “fasilitas kesehatan” yang dilakukan pada bulan Desember 2020. Kriteria inklusi
artikel yang digunakan yaitu artikel tahun 2011-2020 dan bertujuan mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi akses fasilitas kesehatan. Kriteria eksklusi penelitian ini yaitu
review artikel, artikel yang tidak menyediakan full text atau hanya menyediakan abstrak
dan hasil
skripsi, tesis, disertasi. Pencarian dari database menghasilkan 73 artikel, dimana hanya
terdapat 5 artikel yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil review artikel menunjukkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi akses kesehatan antara lain jenis kelamin,
waktu tempuh, lokasi tempat tinggal, biaya transportasi, persepsi masyarakat tentang
kesehatan, pendapatan, pendidikan, pengetahuan.
d. tantangan utama dalam pengembangan alat Kesehatan yang inovatif namun
terjangkau
Salah satu tantangan utama dalam pengembangan alat kesehatan yang inovatif namun
terjangkau adalah menciptakan teknologi yang efektif tanpa mengorbankan kualitas atau
keamanan. Selain itu, menyesuaikan biaya produksi agar tetap terjangkau bagi konsumen
juga menjadi hal yang penting dalam proses pengembangan.
Revolusi teknologi di bidang kesehatan yang telah dicapai sampai saat ini merupakan
ciri yang bermakna dalam kehidupan modern. Walaupun demikian kekuatan teknologi
harus dimanfaatkan secara hati-hati dan penuh tanggungjawab, untuk menjamin bahwa
kita menerapkan secara efisien dan manusiawi. Penggunaan teknologi kesehatan yang
tepat melibatkan tidak hanya penguasaan ilmu pengetahuan, peralatan teknik atau mesin
dan konsep-konsep tetapi juga untuk mengetahui masalah-masalah ekonomi, etika dan
moral (Raymond, 1998)Manusia yang dikaruniai akal dan budi akan selalalu berusaha
dalam menemukan dan menggunakan teknologi untuk mengeksploatasi alam dalam
kehidupannya. Perkembangan dalam menemukan dan mengunakan teknologi yang
diperoleh melalui ilmu pengetahuan sejalan dengan perkembangan kebudayaan manusia
dengan ruang dan waktunya.
Globalisasi dan Kecenderungan-Kecenderungan Teknologi Kesehatan yang akan datang
Pengaruh globalisasi dan kebijakan-kebijakan dibidang ekonomi, teknologi, kebudayaan
dan lingkungan hidup telah menjadi isu perdebatan yang melibatkan baik negara-negara
maju dan negara-negara berkembang. Globalisasi dan sifat-sifat multidimensi yang
komplek telah berpengaruh pada kehidupan manusia dalam segala aspek termasuk bidang
kesehatan, misalnya pelayanan-pelayanan kesehatan, persoalan keuangan dan atau secara
tidak langsung pendapatan, pemerataan, lingkungan, dan kondisi kehidupan. Dampak
globalisasi terhadap sektor kesehatan masih sulit dinilai, ada beberapa jawaban
kontradiksi
tergantung dari sudut pandang yang dikemukakan masing-masing orang, ahli ekonomi
biasanya menekankan bahwa perdagangan bebas : “meningkatakan kesejahteraan
ekonomis dan dengan demikian meningkatkan derajat kesehatan“, dan perdagangan di
bidang pelayanan kesehatan memberikan peluang-peluang ekonomi bagi Negara-Negara
berkembang, namun banyak yang masih bersikap ragu dan skeptis tentang pernyataan
tersebut, yang bertentangan dengan pendapat ini menyatakan bahwa kondisi kesehatan
dinegara berkembang berdasarkan beberapa indicator seperti angka kematian bayi,
harapan hidup penduduk atau life expectancy tidak meningkat seperti yang diharapkan di
era globalisasi (Semin et al, 2007). Teknologi medis termasuk teknologi kesehatan
merupakan salah satu teknologi yang paling terpengaruh akibat dari peraturan-peraturan
global baik di
negara maju maupun di negara-negara berkembang. Pada umumnya diakui bahwa
liberalisasi import dan stimulasi eksport berpengaruh pada perdagangan internasional dan
produksi domestik teknologi kesehatan, namun demikian dapat dikatakan bahwa negara
berkembang lebih banyak mengalami kesulitan dalam perdagangan, alih teknologi dan
penggunaan teknologi kesehatan. Hal ini disebabkan oleh masalah-masalah kesehatan di
dalam negeri, keterbatasan sumber-sumber daya khususnya sumber daya manusia,
material dan ketidakcukupan dalam produksi teknologi kesehatan atau medis.
Sebagaimana dikatakan oleh Malkin, (2008) bahwa 95% kebutuhan teknologi kesehatan
yang digunakan oleh rumah sakit-rumah sakit di negara berkembang di import dari luar
negeri. Sebagai ilustrasi disini dikemukakan hasil penelitian analisis kecenderungan yang
dilakukan oleh Semin et al, (2007) tentang import teknologi medis dan eksport teknologi
medis di negara berkembang Turki yang mempunyai pendapatan lebih dari USD 200
milyar per tahun. Dalam penelitian tersebut teknologi medis diklasifikasi menjadi 3
golongan utama : (1) Perbekalan medis atau medical supplies misalnya benang jahit
untuk operasi, prostesis, macam-macam kateter, film X-ray, macam-macam perban dan
sebagainya. (2) peralatan medis atau medical devices misalnya alat-alat laboratorium
klinik, alat-alat bedah, mikroskop, CT-Scan, MRI (Magnetic Resonance Imaging), USG
(Ultrasonografi), EKG ( Elektro Kardiografi), elektroterapi, alat pengukur tekanan darah
dan sebagainya (3) bahan-bahan kimia medis (medical chemical), seperti bahan obat,
vaksin, reagen diagnostic.
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan
Kebijakan harga obat dapat sangat memengaruhi aksesibilitas pasien terhadap
perawatan yang mereka perlukan. Harga yang tinggi bisa membuat obat sulit
dijangkau bagi banyak orang, sementara harga yang lebih rendah bisa memudahkan
aksesibilitasnya. Hal ini dapat memengaruhi seberapa baik pasien dapat mengakses
dan mematuhi perawatan yang mereka butuhkan.
Tantangan besar dalam pengembangan obat yang terjangkau dan efektif meliputi
biaya riset dan pengembangan yang tinggi, regulasi yang ketat, serta upaya untuk
memastikan ketersediaan dan aksesibilitas bagi semua orang yang membutuhkan.

b. Penulis menyadari bahawa makalah ini memiliki banyak kesalahan dan sangat jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis akan terus memperbaiki makalah ini
dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan nantinya, dan
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun tentang
pembahasan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Lumbanraja, L. M., & Sjaaf, A. C. (2023). EFEKTIVITAS PENERAPAN TRANSPARANSI


HARGA PELAYANAN RUMAH SAKIT DALAM MEMBERIKAN SINYAL INFORMASI
KEPADA PASIEN DAN RUMAH SAKIT. Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796
(online), 4(3), 222-232.

Widowati, L., Sampurno, O. D., Siswoyo, H., Sasanti, R., Nurhayati, N., & Delima, D. (2020).
Kajian Kebijakan Pemanfaatan Obat Tradisional Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pada Era
Jaminan Kesehatan Nasional. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 23(4), 246-255.

Suharmiati, L. A., & Astuti, W. D. (2013). Review Kebijakan tentang pelayanan kesehatan
puskesmas di daerah terpencil perbatasan. Bul Penelit Sist Kesehat, 16(2), 109-116.

Alfarizi, M., & Zalika, Z. (2023). Isu Persaingan Industri Pelayanan Kesehatan Indonesia:
Tantangan dan “Perisai” Pengawasan KPPU. Jurnal Persaingan Usaha, 3(1), 5-18.

Anda mungkin juga menyukai