Anda di halaman 1dari 12

TEOLOGI PASTORAL

DOSEN : PDT. DR. LINDA P. RATAG, M. Th., MAICS

NAMA

CHRISTINE SARAH KALIGIS

NIM

20230213039

PASCASARJANA FAKULTAS TEOLOGI

PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI KRISTEN PROTESTAN

TOMOHON

NOVEMBER 2023
PENDAHULUAN

Pertumbuhan pesat dalam dunia pekerjaan dan tuntutan yang semakin meningkat di
lingkungan kerja modern telah memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan
spiritual banyak individu. Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh sebagian jemaat
adalah fenomena workaholism, di mana kecenderungan untuk terus-menerus terlibat dalam
pekerjaan dapat merampas perhatian dan waktu yang seharusnya diberikan untuk ibadah dan
pertumbuhan rohaniah. Pelayanan pastoral kepada workaholic yang melupakan ibadah di
jemaat menjadi semakin penting dalam merespon dinamika ini.

Workaholism, sebagai bentuk perilaku adiksi terhadap pekerjaan, bukan hanya sekadar
fenomena psikologis, tetapi juga memiliki dampak yang mendalam pada dimensi spiritual
individu. Banyak workaholic merasa terjebak dalam siklus tanpa akhir dari tugas dan
tanggung jawab pekerjaan, mengorbankan waktu yang seharusnya mereka habiskan untuk
memperkuat hubungan mereka dengan Tuhan melalui ibadah dan refleksi rohaniah.

Pelayanan pastoral hadir sebagai tanggapan terhadap krisis spiritual ini, mengakui perlunya
pendekatan yang holistik untuk membimbing dan menyelamatkan individu dari jerat
workaholism. Dalam konteks ini, pemahaman mendalam terhadap dinamika pekerjaan,
teologi ibadah, dan psikologi spiritual menjadi landasan kunci untuk membentuk pelayanan
pastoral yang efektif.

Pentingnya mengeksplorasi akar penyebab workaholism, termasuk tekanan eksternal di


tempat kerja, kebutuhan untuk pengakuan, dan tantangan kehidupan pribadi, menjadi dasar
untuk merancang pendekatan pastoral yang relevan. Selain itu, pelayanan ini harus mencakup
strategi konkret untuk membantu workaholic mengidentifikasi dan mengatasi prioritas
spiritual, merestrukturisasi waktu mereka, dan membangun kembali fondasi kehidupan
rohaniah mereka.

Dengan memahami konteks ini secara mendalam, pelayanan pastoral dapat menjadi jembatan
yang menghubungkan dunia kerja yang sibuk dengan panggilan rohaniah individu,
menciptakan kesempatan untuk transformasi dan pemulihan yang sejati. Pendahuluan ini
membuka jalan untuk eksplorasi lebih lanjut dalam pelayanan pastoral kepada workaholic,
yang diharapkan dapat membawa pemulihan, pertobatan, dan pembaharuan spiritual di
tengah-tengah jemaat yang terpengaruh.

ISI

PELAYANAN PASTORAL

Pelayanan Pastoral merupakan sebuah kegiatan kehidupan gereja. Hal ini merupakan
komunikasi firman Tuhan kepada manusia, baik secara pribadi maupun kelompok dalam
ibadah. Pelayanan Pastoral adalah pelayanan yang dijalankan oleh gereja atau jemaat dalam
arti umum dan oleh pastor secara khusus.1

Terlaksananya pelayanan pastoral di suatu gereja dengan baik dapat meningkatkan potensi
jemaat bagi mengembangkan pelayanan yang membuat jemaat menjadi aktif dalam ibadah
dan pelayanan di gereja. Gereja dapat menghadirkan damai sejahtera Allah bagi dunia
melalui tindakan pemberdayaan jemaat. Gereja memperoleh mandat dari Allah untuk
melayani orang-orang miskin, menyampaikan kabar baik dan pembebasan kepada orang-
orang yang tertindas, membawa penglihatan akan masa depan kepada orang-orang buta dan
terbelenggu oleh kekuasaan dunia.2 Setiap orang percaya kepada Kristus tentu beribadah
kepada Allah. Jermia Djadi mengatakan pengertian iba dah sebagai : Jemaat sebagai umat
Allah berkumpul untuk berbakti kepada Allah dan untuk mendengarkan firman-Nya. Ibadah
merupakan suatu wujud ketaatan orang percaya kepada Allah dan syukur orangpercaya atas
apa yang ditetapkan sebagai suatu keharusan untuk pertumbuhan rohani dan untuk berbakti
kepada Allah, sebagai umat kepada-Nya.3

Pelayanan pastoral yang membuka ruang dan melibatkan kolaborasi dengan komunitas
(anggota jemaat) yang hadir di dalam tugas dan pelayanan pendeta menandai relasi
Trinitarian melalui relasi yang terjalin antar-sesama pelayan Allah di dalam gerak komunitas

1
Abineno, Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 10.
2
Agustin Adelbert Sitompul dkk, Gereja dan Kontekstualisasi (Jakarta: Sinar Harapan,1998), 234-235
3
Jermia Djadi, “Pengajaran Tentang Ibadah Berdasarkan Surat Ibrani 10:19-25 Dan Implikasinya Dalam
Kehidupan Orang percaya Masa Kini,” Jurnal Jaffray 11, no. 1 (April 2013): 38, diakses 11 januari 2024,
https://ojs.sttjaffray.ac.id/JJV71/article/view/67.
iman sebagai komunitas yang melayani.4 Pelayanan pastoral kontekstual merupakan
cerminan dari apa yang dilakukan Tuhan Yesus sendiri begitu juga dijelaskan dalam Alkitab.
Alkitab memberikan kesaksian bahwa Tuhan Yesus adalah gembala bagi umat-Nya. Sebagai
Gembala, Tuhan Yesus senantiasa melayani, menyatukan, menyejukkan, menjaga, menuntun
dan menghibur umat-Nya. Seperti yang dikatakan firman Tuhan dalam Yes 40:11, Maz 23,
Yeh 34. Kemudian pelayanan pastoral dipercayakan kepada pemimpin-pemimpin bangsa
Israel (Yeh. 34:2).5

Teologi Pastoral didefenisikan sebagai cabang atau bidang pengetahuan dengan penyelidikan
teologis yang mengarahkan perspektif pengembalaan kepada semua kegiatan dan fungsi
gereja dan pendeta, dan kemudian menarik kesimpulan-kesimpulan teologis dari refleksi pada
pengamatan-pengamatan ini.6 Hampir senada dengan pencarian model pelayanan pastoral
yang relevan di dalam konteks tersebut, Besly Messakh, pengajar teologi pastoral di Sekolah
Tinggi Filsafat Teologi Jakarta, dengan mengutip Clebsch dan Jaekle mengatakan bahwa
pelayanan pastoral yang subjeknya merupakan orang-orang yang bermasalah tidak hanya
terbatas dilakukan para pendeta, tetapi juga oleh orang-orang Kristenyang representatif. Hal
ini asalkan sejalan dengan fungsi pemulihan, topangan, bimbingan, dan pendamaian. Menurut
Messakh, orang-orang seperti ini bisa saja seorang penatua, pelayan, pendeta, majelis, bishop,
diaken, dan orang lainnya yang mampu melaksanakan tugas tersebut.7

Sejak pelayanan pastoral didefinisikan sebagai tugas dan tanggung jawab pendeta, gereja-
gereja sebagai wadah pelayanan pastoral mengorganisasi pelayanannya dengan penekanan
kepada pelayanan seorang pendeta. Hal ini membangun paradigma bahwa pelayanan pastoral
adalah suatu pelayanan pendeta terhadap jemaat yang bermasalah dan perlu solusi atas
masalahnya. Pusat pelayanan ini adalah pendeta, dan objek pelayanan ini adalah jemaat. 8 Di
dalam istilah Charles Gerkin, teolog pastoral, seorang pendeta seakanakan terseret ke dalam
arus pelayanan terhadap masalah anggota jemaat, sehingga yang didekati hanyalah literatur-

4
Kwon, Soo-Young, “Codependence and Interdependence: Cross-Cultural Reappraisal of Boundaries,” Journal
Pastoral Psychology 50, no. 1 (Juli 2001): 52, diakses 11 januari 2024,
https://link.springer.com/article/10.1023/A:1010495016418.
5
Soryadi & Bambang Wiku Hermanto, “Konsep Tentang Sikap Pelayanan Gembala Sidang dan Keterlibatan
Jemaat dalam Pelayanan,” Veritas Lux Mea: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 1, no. 1 (Desember 2019)
6
Tjaard G. Hommes & Gerrit Singgih, Teologi dan Praksis Pastoral (Yogyakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), 79.
7
Besly Messakh, “Menuju Pelayanan Pastoral yang Relevan dan Kontekstual,” Jurnal Theologia in Loco 1, no. 1
(April 2018)
8
Alvian Apriano, “Pelayanan Bersama Komunitas Sebagai Model Pelayanan Pastoral Berbasis Paradigma
Komunal-Kontekstual dalam Teologi Pastoral,” Kurios: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 4, no. 2
(Oktober 2018)
literatur psikologis-psikoterapis sendirian, tanpa berkolaborasi dengan another living human
document atas permasalahan yang tengah dialami oleh jemaatnya.9

Di sisi yang lain, Scott Douglas, pemerhati pendampingan pastoral, mengutarakan bahwa
pendeta di dalam proses pengorganisasian jemaatnya, rentan dengan pelbagai aktivitas yang
dapat membuatnya kehilangan fungsi pengawasan. Padahal, fungsi inilah yang membuat
pelayanan pastoral menunjukkan relevansi dan implikasinya di dalam kehidupan ministerial.
Douglas melihat ada peluang untuk menambal fungsi pengawasan yang rentan itu dengan
memperlengkapi anggota jemaat for the work of ministry.10

Yesus berkata bahwa Ia adalah gembala yang baik. Dalam Yohanes 10:11, 14 dikatakan
bahwa “Akulah gembala yang baik. gembala benar adalah gembala yang baik, yang rela
mengorbankan dirinya bila dibutuhkan,” Gembala yang baik adalah juga Anak Domba Allah.
Unsur inilah yang membedakan uraian Yesus mengenai tema pengembalaan ini dari akar
pokoknya dalam Perjanjian Lama. “Ciri yang unik dari pengambaran Yohanes mengenai
gembala adalah kesediaan-Nya untuk mati bagi domba-domba-Nya. Di sinilah Yesus
membuktikan klaim-Nya bahwa Ia adalah Gembala yang baik (atau “Mulia”), yang tidak
seperti orang upahan.11 Seiring dengan hal di atas Tuhan Yesus juga memeberi perintah untuk
mengembalakan, seperti yang dikatakan dalam Yohanes 21:15-19 dan I Petrus 5:1-7,
“Gembalakanlah domba-domba-Ku.” William Barclay dalam hal ini mengatakan bahwa
Paulus menerima kehormatan dan tugas yang indah untuk menjadi gembala domba-domba
Kristus. Kita dapat memberi makan domba-domba Kristus dengan makanan firman Allah.
Dari ayat-ayat di atas dapat ditemukan bahwa pelayanan pastoral. 12

WORKAHOLIC

dalam tulisannya yang berjudul Globalisasi dan Tantangan Industri Perbankan menyebutkan
bahwa, perkembangan teknologi dan globalisasi telah membawa perubahan mendasar dalam
setiap elemen kehidupan, tak terkecuali dunia bisnis perbankan. Penentuan target-target
dalam jangka waktu tertentu, tuntutan kerja, beban kerja, lingkungan, dan kondisi internal diri

9
Charles V. Gerkin, Konseling Pastoral dalam Transisi, terj. Adji Sutama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 9-11.
10
Douglas Scott, “Developing Leaders for Pastoral Ministry,” Journal of Applied Christian Leadership 8. no. 2
(Oktober 2014)
11
Bruce Milne, The Message of John (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2010), 213.
12
William Barclay, Memahami Alkitab Setiap Hari Yohanes Pasal 8-12 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 444.
individu mempengaruhi individu untuk memiliki kecenderungan untuk bekerja secara
berlebihan dan mengalami ketergantungan terhadap pekerjaannya atau yang biasa dikenal
dengan istilah workaholic. mendefinisikan tentang workaholic, yaitupola perilaku dalam
bekerja yang ditandai dengan penggunaan waktu yang lebih lama dalam bekerja, tuntutan
pekerjaan yang berlebihan, dan mengesampingkan sebagian besar aktivitas di bidang
kehidupan lain selain bekerja. Persaingan dunia perbankan yang sangat ketat seakan membuat
individu yang bekerja di dalamnya harus bekerja dengan sangat keras bahkan secara
berlebihan. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Coombs, yang menyebutkan bahwa “Anda
harus gila kerja untuk bertahan di dunia kerja”13

Sehingga workaholism atau kecanduan terhadap pekerjaan mungkin dapat dikatakan sebagai
“the best – dressed problem” pada milenium ini. Individu workaholic atau individu yang
berlebihan dalam bekerja tidak dianggap sebagai individu yang mengalami masalah dalam
bekerja tetapi justru dianggap sebagai individu yang mampu bekerja dengan baik dan seorang
pekerja keras. Masyarakat cenderung menganggap individu workaholic sebagai individu yang
bekerja dengan giat dan patut dijadikan sebagai contoh. Kondisi tersebut mempengaruhi
individu untuk memiliki kecenderungan bekerja secara berlebihan. Kecenderungan
berperilaku dikenal dengan istilah intensi.

mengatakan bahwa intensi berperilaku adalah niat untuk mencoba menampilkan suatu
perilaku yang pasti. Intensi ini jugalah yang nantinya bisa digunakan sebagai prediktor untuk
mengetahui seberapa besar kecenderungan yang dimiliki oleh individu untuk mengalami
ketergantungan terhadap pekerjaannya atau menjadi seorang workaholic. Pekerjaan dalam
kondisi persaingan yang tinggi di industri perbankan juga memiliki kemungkinan untuk
mengalami kecenderungan perilaku gila kerja atau workaholic. Pendapat serupa juga
dikemukakan oleh Buelens & Poelmansyang menyebutkan bahwa individu yang bekerja
dalam ranah perbankan dan asuransi (banking and 4 insurance) mewakili perilaku individu
workaholic.14

Workaholic merujuk pada individu yang memiliki kecenderungan untuk bekerja secara
berlebihan, melebihi batas wajar yang diterima dalam lingkungan pekerjaan. Istilah ini
merupakan kombinasi dari kata "work" (kerja) dan "holic" (adiksi), mencerminkan sifat
adiksi atau ketergantungan terhadap pekerjaan. Seorang workaholic tidak hanya bekerja
13
Sitompul, Z. 2010. Globalisasi dan Tantangan Industri Perbankan. Jakarta : UI Press.
14
Buelens, M., Poelmans, S. A. Y. 2004. Enriching the Spence and Robbins’ Typology of Workaholism :
Demographic, Motivational and Organizational Correlates. Journal of Organization Change Management. No.
17. Vol 5. h. 440- 458.
keras, tetapi juga cenderung mengorbankan waktu dan energi yang seharusnya dialokasikan
untuk kebutuhan pribadi, keluarga, dan kehidupan rohaniah.

Obsesi terhadap Pekerjaan:

Workaholic memiliki obsesi yang berlebihan terhadap pekerjaan. Mereka mungkin sulit
untuk memisahkan diri dari tugas-tugas pekerjaan, bahkan di luar jam kerja resmi. Pekerjaan
menjadi fokus utama dalam hidup mereka, seringkali mengalahkan aspek-aspek lain yang
seharusnya mendapat perhatian.

Ketergantungan Emosional pada Pekerjaan:

Workaholic cenderung mengaitkan nilai diri mereka dengan kinerja pekerjaan. Keberhasilan
di tempat kerja menjadi penentu utama kebahagiaan dan harga diri mereka. Ketergantungan
emosional ini dapat menyebabkan stres dan kecemasan jika mereka menghadapi tantangan
atau kegagalan di lingkungan pekerjaan.

Kurangnya Keseimbangan Hidup:

Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sulit bagi workaholic. Mereka
mungkin menelantarkan aspek-aspek lain dalam hidup, seperti waktu bersama keluarga,
rekreasi, atau aktivitas rohaniah, karena terlalu terfokus pada pekerjaan.

Rasa Kewajiban yang Berlebihan:

Workaholic sering merasa kewajiban yang berlebihan terhadap pekerjaan, bahkan jika itu
melebihi kapasitas fisik dan mental mereka. Mereka mungkin mengalami kesulitan
mengatakan "tidak" terhadap tugas tambahan atau proyek-pekerjaan baru.

Dampak pada Kesehatan:

Keterlibatan yang berlebihan dalam pekerjaan dapat memiliki dampak negatif pada kesehatan
fisik dan mental. Workaholic rentan terhadap kelelahan, stres kronis, gangguan tidur, dan
bahkan risiko masalah kesehatan serius.

Kurangnya Batasan Waktu:

Workaholic cenderung sulit menentukan batasan waktu antara pekerjaan dan waktu pribadi.
Mereka mungkin terus bekerja bahkan di luar jam kantor, menggunakan teknologi untuk
tetap terhubung dengan pekerjaan.
Kurangnya Kepuasan:

Meskipun mungkin mencapai kesuksesan profesional, workaholic sering kali mengalami


kurangnya kepuasan hidup secara keseluruhan. Pencapaian di tempat kerja tidak selalu
diimbangi dengan kebahagiaan dan kesejahteraan pribadi.

Workaholism bukan hanya tentang jumlah jam kerja yang panjang, tetapi juga melibatkan
aspek psikologis yang mendalam, termasuk motivasi, kebutuhan akan validasi, dan ketakutan
terhadap kegagalan. Pemahaman yang mendalam tentang workaholic penting untuk
membantu mereka menemukan keseimbangan yang sehat dalam kehidupan mereka.

PENGERTIN GEREJA

Gereja adalah persekutuan orang-orang kudus, yaitu persekutuan orang-orang yang menjadi
suci kembali di hadapan Allah oleh karena perbuatan Tuhan Yesus Kristus. 15 Gereja
merupakan umat Allah yang harus diusahakan supaya anggota-anggota gereja dapat hidup
sesuai dengan perintah-perintah Allah dan yang melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap jemaat adalah Majelis gereja.16

Kitab Perjanjian Baru menggambarkan Gereja dengan bermacam-macam gambaran seperti,


sebagai bait Allah, sebagai bait Roh Kudus, sebagai bangunan Allah, dan sebagai kawanan
domba Allah. Gereja itu adalah suatu kesatuan, yang para anggotanya benar-benar saling
kait-mengkait secara harmonis.17 Gereja menurut rasul Paulus adalah tubuh Kristus, artinya
bahwa gereja adalah persekutuan dari orang-orang yang diikat oleh iman bersama, dalam
kasih bersama terhadap penyembahan bersama kepada Kristus.18

PENGERTIAN PENDETA

Pendeta dikenal sebagai pelayan firman yang terpanggil dan sudah terdidik secara teologis,
pendeta melakukan banyak tugas yang diketahui sebagai fungsi-fungsi pastoral. Fungsi-
fungsi ini sudah termasuk memimpin kebaktian, berkhotbah, melayani sakramen, melayani
kelompok dan individu serta mewakili jemaat untuk gereja dan dunia.19
15
R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia), 217
16
J.L.Ch. Abineno, Pembangunan Jemaat, Tata Gereja dan Jabatan Gereja (BPK : Gunung Mulia), 46
17
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia), 370
18
J.L.Ch. Abineno, Sekitar Theologi Praktika 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 9
19
Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008),7
Adapun tugas yang dilakukan oleh pendeta sebagaimana diatur dalam Tata Gereja GMIM
ialah sebagai berikut :

1. Bertanggung jawab atas pemberitaan Firman Allah dan pelayanan sakramen-sakramen.

2. Bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas jemaat sebagaimana tercantum dalam peraturan
tentang jemaat bab II pasal 3.

3. Melaksanakan pelayanan sakramen-sakramen.

4. Melaksanakan pelayanan katekisasi

5. Melaksanakan pelayanan diakonia dalam segala bentuk.

6. Memperlengkapi para pelayan khusus lainnya agar mampu memperlengkapi anggota-


anggota jemaat dan Bersama-sama dengan pelayan khusus lainnya memperlengkapi sesama
anggota jemaat agar dewasa dalam iman.

7. Bersama-sama dengan komisi pelayanan kategorial dan komisi lainnya bertanggung jawab
dalam pelayanan sesuai bidang masing-masing

8. Melaksanakan tugas lainnya yang dipercayakan oleh badan pekerja majelis sinode.20

PENGERTIAN GURU AGAMA

Guru agama dikenal dengan jabatan pengajar dalam perjanjian baru. Mereka bekerja tidak
seperti rasul atau penginjil, melainkan mengajar jemaat agar pendiriannya makin teguh dan
menolak semua ajaran sesat.21 Istilah lain yang sama dengan itu ialah katekheti, mereka
bertugas untuk mengasuh jemaat, mendidik, dan mengarahkan jemaat. Menjadi seorang guru
agama atau pengajar harus memiliki kemampuan, tanggung jawab dan kesabaran yang besar.

Tugas Guru Agama dalam Tata Gereja GMIM ialah :

1. Melaksanakan Pendidikan dan pengajaran mengenai iman, ajaran, dan pengakuan gereja di
sekolah-sekolah.

2. Melaksanakan tugas lainnya yang dipercayakan oleh badan pekerja majelis sinode.

20
BPMS GMIM, Tata Gereja 2016 (Tomohon: BPMS GMIM, 2016), 105
21
M.H Bolkestein, Asas-asas hukum gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976), 93
PENUTUP

Dalam mengakhiri refleksi mengenai pelayanan pastoral kepada workaholic yang melupakan
ibadah di jemaat, kita dapat menyimpulkan bahwa upaya ini memerlukan kesadaran
mendalam terhadap kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh individu yang terjerat dalam
perangkap workaholism. Pelayanan pastoral menjadi jembatan penting untuk merangkul,
membimbing, dan membawa pertobatan kepada mereka yang mungkin kehilangan
keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan rohaniah.

Melalui pendekatan yang holistik, pelayanan pastoral dapat memberikan dukungan spiritual
yang dibutuhkan, membantu workaholic untuk menggali akar penyebab yang mendorong
perilaku bekerja berlebihan, dan mengembangkan strategi konkret untuk menghadapi
tantangan tersebut. Penekanan pada keseimbangan antara pekerjaan dan ibadah menjadi
pondasi utama, menciptakan ruang untuk pertumbuhan rohaniah dan pembaharuan dalam
hubungan mereka dengan Tuhan.

Pentingnya mendengarkan, memahami, dan merespons secara empatik terhadap perjuangan


individu menjadi landasan bagi pelayanan pastoral yang efektif. Dengan memberikan
panduan teologis, konseling spiritual, dan dukungan praktis, gereja dapat berfungsi sebagai
tempat penyembuhan dan pemulihan bagi workaholic yang mungkin merasa terpencil dalam
rutinitas pekerjaan mereka.

Dalam merangkum, pelayanan pastoral kepada workaholic bukan hanya tentang menggeser
prioritas, tetapi juga tentang membantu mereka menemukan makna dan tujuan sejati dalam
hidup. Sebuah panggilan untuk mengembalikan kehadiran Tuhan ke dalam pusat kehidupan
mereka, membangun fondasi keimanan yang kokoh, dan memastikan bahwa pekerjaan tidak
menggantikan tempat yang seharusnya diisi oleh ibadah dan hubungan dengan Tuhan.

Sebagaimana yang diyakini oleh banyak pelayan pastoral, transformasi sejati bukan hanya
tentang mengubah jadwal atau kebiasaan, tetapi juga tentang mendalam ke dalam hati dan
jiwa seseorang. Pelayanan pastoral kepada workaholic menawarkan jalan menuju pemulihan
yang menyeluruh, memungkinkan mereka kembali memimpin kehidupan yang seimbang dan
bermakna, penuh dengan kasih dan pengabdian kepada Tuhan dan sesama.

DAFTAR PUSTAKA

Abineno, Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993),
10.
Agustin Adelbert Sitompul dkk, Gereja dan Kontekstualisasi (Jakarta: Sinar Harapan,1998),
234-235

Alvian Apriano, “Pelayanan Bersama Komunitas Sebagai Model Pelayanan Pastoral Berbasis
Paradigma Komunal-Kontekstual dalam Teologi Pastoral,” Kurios: Jurnal Teologi dan
Pendidikan Agama Kristen.

Besly Messakh, “Menuju Pelayanan Pastoral yang Relevan dan Kontekstual,” Jurnal
Theologia in Loco 1, no. 1 (April 2018)

Bruce Milne, The Message of John (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2010

Charles V. Gerkin, Konseling Pastoral dalam Transisi, terj. Adji Sutama (Yogyakarta:
Kanisius, 1992)

Douglas Scott, “Developing Leaders for Pastoral Ministry,” Journal of Applied Christian
Leadership

Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008)

Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia).

J.L.Ch. Abineno, Pembangunan Jemaat, Tata Gereja dan Jabatan Gereja (BPK : Gunung
Mulia).

M.H Bolkestein, Asas-asas hukum gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976

R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia),

Sitompul, Z. 2010. Globalisasi dan Tantangan Industri Perbankan. Jakarta : UI Press.

Soryadi & Bambang Wiku Hermanto, “Konsep Tentang Sikap Pelayanan Gembala Sidang
dan Keterlibatan Jemaat dalam Pelayanan,” Veritas Lux Mea: Jurnal Teologi dan Pendidikan

Tjaard G. Hommes & Gerrit Singgih, Teologi dan Praksis Pastoral (Yogyakarta: BPK
Gunung Mulia, 1992).

William Barclay, Memahami Alkitab Setiap Hari Yohanes Pasal 8-12 (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1996),

Anda mungkin juga menyukai