Anda di halaman 1dari 14

TUGAS AKHIR MODUL 3 PROFESIONAL

NAMA : WA ODE JUNIATI


NPM : 19200518710205
LPTK : Universitas Halu Oleo

Buatlah ringkasan proses produksi bahan kimia yang melibatkan reaksi kesetimbangan
termasuk metode optimasi yang dilakukan, antara lain: industri pembuatan asam sulfat,
asam nitrat, amoniak, urea, syn-gas, kapur (CaCO 3) dan etanol dari reaksi etena dengan
air.
Jawab
1. Pembuatan Asam Sulfat dengan Proses Kontak
Proses kontak adalah salah satu proses pembuatan asam sulfat (H2SO4). Secara
sederhana ada tiga tahap pembuatan asam sulfat melalui proses ini yaitu :
a. Membuat sulfur dioksida (SO2)
b. Mengubah sulfur dioksida menjadi sulfur trioksida (SO3) melalui reaksi
kesetimbangan.
c. Mengubah sulfur trioksida menjadi asam sulfat (H2SO4).
a. Membuat Sulfur Dioksida
Sulfur dioksida bisa kita buat dengan dua cara. Pertama yaitu membakar belerang dalam
udara maka belerang nya akan bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida.
Reaksi yang terjadi:
S(s) + O2(g) ==> SO2(g)
Cara kedua adalah dengan memanaskan biji besi seperti pirit yang mengandung belerang
dalam udara. Mereka akan bereaksi menghasilkan sulfur dioksida.
Reaksinya.
4FeS2 + 11O2 ==> 2Fe2O3 + 8O2
Setelah kita punya SO2 langkah selanjutnya adalah membuat SO3.
b. Membuat Sulfur trioksida
Pada pangkah kedua ini kita akan mereaksikan SO2 dengan O2 untuk menghasilkan SO3.
Reaksi pembentukan SO3 ini adalah reaksi setimbang yang reversible.
2SO2 + O2 <====> 2SO3
skema pembuatan dan kondisi lingkungannya seperti berikut :
SO2 + O2. <===> SO3 pada suhu 400 - 450 dengan VSO2 : VO2 = 1: 1. tekanan = 1 -
2 atm Katalis V2O5
Karena reaksinya dalam bentuk setimbang, maka kita bisa mengubah kondisi lingkungan
sehingga hasil SO3 yang didapatkan akan lebih maksimal.
c. Perbandingan jumlah SO2 dan O2.
SO2 dan O2 yang akan direaksikan untuk membentuk SO3 memiliki perbandingan
volume yang sama.
Hukum Avogadro mengatakan bahwa gas gas yang volumenya sama akan mengandung
junlah molekul yang sama. Oleh karena itulah kita membuat volume reaksinya dengan
perbandingan sama.
Persamaan reaksi yang terjadi sebagai berikut :
2SO2 + O2 <====> 2SO3
Berdasarkan prinsip kesetimbangan Le Chatelier, jika kita menambah jumlah oksigen
dalam reaksi setimbang maka kesetimbangn akan bergeser kearah SO3. Artinya jika kita
memperbanyak jumlah O2 dalam reaksi maka jumlah SO3 yang dihasilkan juga akan
banyak.
Kenapa tidak jumlah SO2 yang diperbanyak? Nah jawabannya ada pada biaya pembuatan
yang akan semakin mahal. SO2 harus dibuat dalam satu proses lagi sementara O2 bisa
diambil dari udara. Menambah jumlah O2 yang ada dari udara akan jauh lebih murah dan
mudah dibandingkan SO2.
Nah kalau begitu kita tambah saja jumlah O2 sebanyak banyaknya agar SO3 yang
dihasilkan semakin melimpah. Benarkah demikian?
Jawabannya tentu tidak. Walaupun kita bisa mengubah keadaan untuk memperbanyak
produksi SO3, tetapi ia punya jumlah maksimal untuk diproduksi. Ingatkan kalian bahwa
reaksi diatas berlangsung dengan menggunakan katalis V2O5. Jika O2 yang kita gunakan
terlalu banyak, maka ia tidak akan terikat pada katalis untuk bereaksi dengan SO2
membentuk SO3. Kebanyakan molekul O2 nya akan terbuang sia sia saja. Jadi kita tidak
boleh serakah juga ya.
d. Mengatur Suhu
Reaksi pembentukan SO3 dari SO2 dan O2 adalah eksotermik dengan perubahan entalpi
negatif.
2SO2 + O2 <==> 2SO3. Eksotermik
Menurut prinsip Le Chatelier, jika kita ingin kesetimbangan begeser kearah pembentukan
SO3 lebih banyak pada reaksi eksotermik maka kita perlu menurunkan suhu reaksi. Jadi
reaksi ini berlangsung pada suhu yang realtif rendah agar SO3 yang diproduksi lebih
banyak. Untuk reaksi diatas suhu yang digunakan adalah sekitar 400 – 450 oC. Wah bukan
suhu yang rendah juga. Tapi mungkin lebih rendah dibandingkan reaksi reaksi lainnya.
Nah setelah kita menurunkan suhu reaksi maka akan ada efek samping yang kita
dapatkan. Apa itu? Laju reaksi pada suhu yang rendah akan semakin lambat. Artinya jika
kita ingin mendapatkan SO3 dalam jumlah yang banyak dengan menambah O2 dan
menurunkan suhu ternyata reaksi menjadi lambat dan produksi SO3 tentu berkurang. Nah
bagaimana mengatasi masalah ini.

Ahli kimka tentu sudah menemukan jawabannya yaitu dengan membuat SO2 dan O2nya
dalam keadaan gas sehingga lebih mudah menempel pada katalis untuk terjadinya reaksi.
e. Mengatur tekanan
2SO2 + O2 <===> 2SO3
Pada reaksi setimbang menurut prinsip Le Chatelier, jika kita menaikkan tekanan maka
kesetimbangan akan bergeser kearah koefisien reaksi yang lebih kecil. Dan sebaliknya
jika kitaenurunkan tekanan mama kesetimbangan bergeser kearah koefisien terbesar.
Pada reaksi diatas, jumlah koefisien kiri adalah 3 dan kanan adalah 2. Jadi jika kita
menaikkan tekanan maka kesetimbangan akan bergeser ke arah SO3. Tekanan yang besar
juga akan menaikkan laju reaksinya. Artinya jumlahnya akan semakin banyak diproduksi.
Nah itu menurut teori yang ada. Namun secara industri tekanan tidak terlalu berpengaruh
pada proses pembuatan SO3. Pada suhu rendah saja reaksi akan membentuk SO3 sekitar
99,5 %. Jadi pada proses industri tekanan tidak dinaikkan.
f. Pengaruh Katalis
Jika kita mengkaji pengaruh katalis terhadap kesetimbangan, jawabannya adalah tidak
ada. Jadi katalis tidak akan menggeser arah kesetimbangan.
Lalu apa yang dipengaruhi oleh katalis. Jawabannya adalah laju reaksi. Katalis adalah zat
yang menurunkan energi aktivasi yaitu energi minimum yang dibutuhkan oleh suatu zat
untuk bereaksi. Jika nilainya rendah maka zat yang akan bereaksi akan semakin banyak.
Pada reaksi pembentukan SO3 digunakan katalis V2O5 yang akan mempercepat laju
reaksi SO2 dan O2 menjadi SO3 sehingga dalam waktu singkat produksi SO3 akan
banyak.
g. Membuat H2SO4
Setelah SO3 terbentuk, maka langkah selanjutnya adalah mengubahnya menjadi asam
sulfat dengan cara mereaksikannya dengan air.
Tapi SO3 nya tidak dapat langsung dialirkan ke air karena reaksinya berbahaya
menghasilkan asap yang beracun.
Untuk itu agar lebih aman, langkah pertama melarutkan SO3 dalam adam sulfat pekat
membentuk senyawa yang disebut dengan oleum.
SO3 + H2SO4 ==> H2S2O7
Kemudian zat ini baru kita reaksikan dengan air menghasilkan asam sulfat.
H2S2O7 + H2O ==> 2H2SO4
2. Proses Pembuatan Asam Nitrat
Secara komersial asam nitrat dibuat dengan cara oksidasi ammonia. Pada proses Ostwald,
ammonia dan udara berlebih dialirkan melaluti katalis platina – rhodium pada suhu
sekitar
9500oC. Mula – mula digunakan pemanas listrik, tetapi setelah terjadi reaksi, reaksi ini
akan terus berlangsung.
4 NH3 (g) + 5 O2 (g) → 4 NO (g) + 6 H2O (g) H o = - 906 kJ mol -1
Setelah itu gas NO didinginkan sampai 1500C kemudian dicampur dengan udara untuk
menghasilkan Nitrogen dioksida
2 NO (g) + O2 (g) → 2 NO2 (g) H o = - 113 kJ mol -1
Sisa Nitrogen dioksida dan udara dialirkan ke dasar menara kemudian disemprotkan air
pada suhu kira – kira 800C
4 NO2 (g) + O2 (g) + 2 H2O (l) → 4 HNO3 (aq)
Larutan yang diperoleh mengandung 70% massa asam nitrat dan merupakan campuran
yang mempunyai titik didih konstan (120oC). HNO3 yang murni tidak berwarna dan
mendidih pada 86 oC
Proses Ostwald ialah proses kimia untuk pembuatan asam nitrat (HNO3). Wilhelm
Ostwald mengembangkan proses ini, dan mematenkan pada tahun 1902. Proses Ostwald
process merupakan andalan industri kimia modern, dan proses ini
menghasilkan bahan baku utama untuk kebanyakan tipe umum produksi pupuk. Secara
historis dan secara praktis, proses Ostwald berkaitan erat dengan proses Haber, yang
menghasilkan bahan baku yang diperlukan, ammonia (NH3).
Ammonia diubah menjadi asam nitrat dalam dua tahapan. Ammonia dioksidasi (dalam
arti “dibakar”) melalui pemanasan dengan oksigen dengan adanya katalis seperti platinum
dengan 10% rhodium, untuk membentuk oksida nitrat dan air. Langkah ini sangat
eksotermis, sehingga sumber panas berguna sekali untuk dimulai:
4 NH3 (g) + 5 O2 (g) → 4 NO (g) + 6 H2O (g) (ΔH = −905.2 kJ)
Tahap dua melibatkan dua reaksi dan dilakukan dalam peralatan absorpsi yang
mengandung air. Oksida nitrat awalnya dioksidasi lagi untuk menghasilkan nitrogen
dioksida: Gas ini kemudian mudah diserap oleh air, menghasilkan produk yang
diinginkan (asam nitrat, meskipun dalam bentuk encer), sekaligus mengurangi sebagian
kembali ke oksida nitrat:
2 NO (g) + O2 (g) → 2 NO2 (g) (ΔH = −114 kJ/mol)
3 NO2 (g) + H2O (l) → 2 HNO3 (aq) + NO (g) (ΔH = −117 kJ/mol)
NO didaur-ulang, dan asam dipekatkan sampai kekuatan yang diperlukan melalui
penyulingan. Alternatifnya, bila tahap akhir dilakukan dalam udara:
4 NO2 (g) + O2 (g) + 2 H2O (l) → 4 HNO3 (aq)
Kondisi khas untuk tahap pertama, yang berkontribusi pada hasil keseluruhan sekitar
98%, adalah:
Tekanan antara 4 dan 10 atmosfer (sekitar 400-1010 kPa atau 60-145 psig) dan; Suhu
sekitar 500 K (kira-kira 217 oC atau 422,6 oF).\
Sebuah komplikasi yang perlu dipertimbangkan melibatkan reaksi-samping pada
langkah pertama yang mengalihkan oksida nitrat kembali
ke N2:
4 NH3 + 6 NO → 5 N2 + 6 H2O
Ini adalah sebuah reaksi sekunder yang diminimalisir oleh pengurangan waktu campuran
gas yang berada dalam kontak dengan katalis.
3. Proses Pembuatan Pupuk Urea
Pupuk urea yang dikenal dengan rumus kimianya NH2CONH2 pertama kali dibuat secara
sintetis oleh Frederich Wohler pada tahun 1928 dengan mereaksikan garam Cyanat
dengan Ammonium Hydroxide. Penemuan Wohler ini merupakan pembuktian pertama
kali bahwa zat organik dapat diperoleh dari zat an-organik
Saat ini pupuk urea merupakan kebutuhan pokok bagi para petani di Indonesia, karena
dalam senyawa pupuk urea terdapat unsur Nitrogen (N2) sekitar 46% yang merupakan
makanan bagi tanaman seperti padi, palawija dan sejenisnya.
Pupuk urea yang diproduksi dipabrik merupakan hasil reaksi antara Karbon Dioksida
( CO2) dengan Amoniak (NH3) sedangkan kedua senyawa ini berasal dari bahan baku
gas alam, air dan udara. Untuk pembuatan Amoniak, salah satu proses yang banyak
digunakan di Indonesia adalah proses Kellog (KBR) sedangkan Amoniak yang dihasilkan
tersebut direaksikan dengan CO2 menggunakan proses Toyo (Total Recycle atau ACES).
Untuk proses pembuatan Amoniak umumnya terdiri dari tiga tahapan yaitu : Feed
Treating, Purifikasi dan Produksi
a. Feed Treating
Gas alam sebagai bahan baku sebelum diproses, terlebih dahulu dibersihkan
(beberapa tahap) dari kotoran – kotoran padat, maupun senyawa kimia (Sulfur dan
Gugus Mercaptan), kadar air, CO2.
Setelah melalui beberapa tahap pemisahan, selanjutnya akan diproses di Unit
Reforming (Primary Reformer dan Secondary Reformer) dengan menambahkan
steam dan udara dengan persamaan reaksi :
CH4 + H2O <===> CO + 3H2 (Endotermis)
CO + H2O <===> CO2 + H2 (Eksotermis)
Setelah keluar dari Secondary Reformer gas CO yang masih ada dikonversikan
menjadi CO2 di unit CO Shift Converter dengan reaksi :
CO + H2 O <===> CO2 + H2 (Eksotermis)
b. Purifikasi
Pemisahan CO2
Gas CO2 yang terbentuk selanjutnya akan dipisahkan dengan penyerapan
menggunakan larutan dengan unsur utama K2CO3 atau dengan larutan DEA di unit
CO2 Absorber. Gas CO2 yang sudah diserap oleh larutan penyerap lalu dipisahkan
dengan pemanasan menggunakan steam di unit CO2 Stripper. Gas CO2 ini
selanjutnya dikirim kepabrik urea untuk dijadikan bahan baku sedangkan larutan
penyerap akan digunakan kembali.
Methanasi
Sisa gas CO dan CO2 yang keluar dari Absorber selanjutnya dikonversi menjadi
Methane (CH4) di unit Methanator karena kedua senyawa ini dapat merusak katalis di
unit Ammonia Converter. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
CO + 3H2 <====> CH4 + H20 (Eksotermis)
CO2 + 4H2 <===> CH4 + 2H2O (Eksotermis)
Tujuan proses methanasi ini untuk mengkonversikan unsur CO & CO2 menjadi unsur
Methan, karena unsur CO dan CO2 dapat merusak katalis di unit Ammonia
Converter.
c. Produksi
Kompresi Gas Sintesa.
Gas yang keluar dari proses Methanasi yang dapat disebut sebagai gas sintesa hanya
mempunyai tekanan lebih kurang 25 – 27 kg/cm2, sedangkan untuk reaksi
pembentukan Amoniak akan dilakukan pada tekanan sekitar 150 kg/cm2 sehingga
perlu dinaikkan tekanannya dengan menggunakan Kompresor.
Synthesa Amoniak.
Gas sintesa yang keluar dari methanator mempunyai unsur : H2 dan N2, selanjutnya
direaksikan di unit Ammonia Converter sebagai berikut :

N2 + H2 <===> 2NH3 (Eksotermis)


Amoniak yang dihasilkan selanjutnya didinginkan dan dipisahkan dari gas yang tidak
terkonversi kemudian dikirim kepabrik amoniak atau bisa juga disimpan dalam
Tangki.
Untuk Proses pembuatan urea terbagi atas empat seksi yaitu : Sintesa,
Dekomposisi/Purifikasi, Recovery dan Kristalisasi
1.) Seksi Sintesa
Pada seksi ini urea diproduksi dari hasil reaksi antara CO2 (gas) dengan NH3
(cair) dalam reaktor urea dengan tekanan antara 175 – 250 kg/cm2. CO2 dan NH3
direaksikan dalam reaktor ini akan menghasilkan ammonium karbamat (reaksi
eksoterm) dan kemudian diikuti oleh dehidrasi dari Ammonium Karbamat
membentuk urea.
2NH3 + CO2 < ===> NH2 COONH4 + Q
NH2COONH4 <===> NH2CONH2 + H2O – Q
(Ammonium Karbamat) (Urea)
2.) Seksi Purifikasi (Dekomposisi)
Seksi ini bertujuan untuk memisahkan urea dari hasil reaksi di Reaktor
Urea yaitu Urea, Air, Biuret, Ammonium Karbamat dan ekses amoniak, Semua
ekses amoniak dan Ammonium Karbamat dipisahkan sebagai gas dari larutan
Urea dalam High Pressure Decomposer (HPD), Low Pressure Decomposer (LPD)
dan Gas Separator. Prinsip proses dari Seksi Dekomposisi ini adalah memanaskan
dan menurun kan tekanan, sehingga Ammonium Karbamat terurai menjadi gas
NH3 dan CO2 menurut reaksi sebagai berikut :
NH2COONH4 <===> 2NH3 + CO2
(Ammonium Karbamat) (Amoniak)
3.) Seksi Recovery
Pada seksi ini, gabungan gas NH3 dan CO2 dari Seksi Dekomposisi
diserap dengan air dan larutan urea, kemudian larutan dikembalikan ke Reaktor.
Amoniak berlebih dimurnikan dalam High Pressure Absorber dan dikembalikan
secara terpisah ke Reaktor melalui Ammonia Condenser, Ammonia Reservoir
dan Liquid Ammonia Feed Pump, serta Ammonia Preheater.
4.) Seksi Kristalisasi dan Pembutiran
Larutan Urea setelah dipisahkan dari karbamat di Seksi Dekomposisi,
divakumkan dengan Crystalizer kemudian kristal Urea dipisahkan oleh
Centrifuge. Kristal urea dikeringkan hingga mengandung air kurang dari 0,3%
dengan udara panas kemudian dikirim ke priling Tower melalui Fuidizing Dryer.
Selanjutnya kristal urea dilelehkan di Melter dan mengalir melalui distributor.
Selanjutnya untuk mendapatkan Urea dalam bentuk butiran kecil, keras dan padat
maka kristal Urea yang dilelehkan ini dialirkan melalui nozel – nozel kecil pada
bagian atas Prilling Tower sedangkan pada bagian bawahnya dihembuskan udara
dingin sehingga lelehan Urea yang jatuh dari atas akan membeku menjadi butiran
urea keras dan padat saat sampai di bawah.
4. Pembuatan Gas Sintesis
Proses pembuatan gas sintesis terdiri dari: proses steam reforming, oksidasi
parsial, CO2 reforming, dan autothermal reforming.
a. Steam reforming
Gas alam sekarang menjadi bahan baku dominan dengan steam reforming
sebagai metode dasar yang digunakan industri dalam pembuatan gas sintesis (dan
hidrogen). Steam reforming merupakan reaksi endotermis antara gas alam (metana)
dengan steam menghasilkan hidrogen dan karbon monoksida, yang disebut juga gas
sintesis (syngas).

CH4 + H2O  CO + 3H2 H298 = +206 kJmol-1 (2-1)

Secara tipikal, reaksi ini berlangsung pada suhu antara 700 dan 850C,
tekanan antara 3 dan 25 bar, dan menggunakan katalis berbasis Ni. Karena steam
reforming gas alam memiliki rasio H 2/CO tinggi (stoikhiometri H2/CO = 3), maka
reaksi ini bisa dikatakan ideal untuk mendapatkan aliran gas hidrogen dengan
kemurnian tinggi dari produk syngas (Fidalgo & Menéndez, 2013).
Steam reforming, yaitu reaksi antara gas alam (metana) dengan steam yang
bersifat sangat endotermis (206 kJ/mol), menghasilkan karbon monoksida (CO) dan
hidrogenatau sebutan lain water gas(H2).

CH4 + H2O  CO + 3H2 H298 = +206 kJmol-1 (2-1)


Selanjutnya, dalam meningkatkan konsentrasi H 2 dalam campuran produk,
steam ditambahkan sehingga terjadi reaksi water gas shift/WGS (2)
(en.wikipedia.org). Dalam industri, penyesuaian rasio H2/CO berdasarkan reaksi
WGS.

CO + H2O  CO2 + H2 H298 = -41 kJmol-1 (2-2)


Kelemahan reaksi steam reforming ini, ialah adanya penggabungan reaksi
WGS sebagai penyesuaian rasio H2/CO akan menambah banyak biaya dan proses
keseluruhan menjadi lebih mahal. Selain itu, agar konversi metana lebih besar
membutuhkan lebih banyak panas/energi. Panas/energi yang tersedia berasal dari
pembakaran feedstock gas alam yang baru masuk ( 25%) atau dari pembakaran gas
buang (purge gas) (Barelli et al., 2008; Ogden, 1999)(dalam Fidalgo & Menéndez,
2013). Oleh karena itu, terdapat pengurangan jumlah CO 2 yang besar, antara 0,35
hingga 0,42 m3 CO2 per m3 H2 terproduksi, disebabkan oleh baik reaksi maupun
kebutuhan panas/energi (Muradov, 1998)(dalam Fidalgo & Menéndez, 2013).
Secara umum, proses steam reforming dapat digambarkan dalam blok diagram berikut
:
CO2

Gambar 2.1 Blok Diagram Steam Reforming


(Wasserstoff Linde Engineering.html)
Feed yang berupa gas alam akan melalui feed pre-treatment yang berupa
penghilangan debu dan partikel berat lainnya, penghilangan sulfur, dan penghilangan
merkuri. Lalu masuk ke tahap steam reforming, dimana pada tahap ini dibagi menjadi
2 yaitu primary reforming dan secondary reforming. Setelah mengalami proses
reforming, konsentrasi H2 akan ditingkatkan dalam CO-shift conversion namun hasil
samping dari CO-shift conversion ini adalah CO 2 sehingga harus dihilangkan melalui
adsorpsi.

b. CO2 reforming (Dry reforming)


Dry reforming merupakan reaksi antara gas alam (metana) dan CO 2 dengan
bantuan katalis, rasio H2/CO pada produk syngas yang didapat sebesar 1 (Rostrup-
Nielsen, 1984; Lercher et al., 1999)(dalam Neiva & Gama, 2010). Rasio ini
disarankan untuk pembuatan hidrokarbon fraksi lebih tinggi lewat reaksi Fischer-
Tropsch, dan memungkinkan dalam produksi turunan hidrokarbon teroksidasi, yang
mengeliminasi kebutuhan penyesuaian rasio H 2/CO dalam reaksi Water Gas Shift
(Fidalgo & Menéndez, 2013).
CH4 + CO2 2CO + 2H2 H298 = +247 kJmol-1 (2-3)
Reaksi ini ideal apabila produk syngas digunakan sebagai bahan baku untuk
menghasilkan bahan bakar cair penting yang membutuhkan H 2 dan CO.Namun, reaksi
ini termasuk mahal karena sifat reaksinya endotermis, sehingga membutuhkan banyak
energi. Selain itu, kerugian utama dry reforming terletak pada pembentukan secara
signifikan zat padat karbon (coke) yang terdeposisi pada permukaan katalis (sisi
aktif), sehingga dapat mereduksi umur katalis, yang disebabkan adanya gas CO 2
sebagai input (Rostrup-Nielsen, 1984; Chen et al., 2008; Lercher et al., 1999) (dalam
Neiva & Gama, 2010).
Secara umum, proses CO2 reforming dapat dilihat pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Proses CO2 Reforming (Dry Reforming)


(http://www.htcenergy.com/hydrogen/techPlatformCDRM.htm)
Dari gambar 2.2 dapat dilihat bahwa feed yang berupa gas alam akan masuk
ke dalam reakror reformer bersamaan dengan CO 2. Hasilnya yaitu CO dan H2. Sama
seperti steam reforming, untuk meningkatkan konsentrasi H2, hasil dari reformer akan
masuk ke tahap CO-shift conversion dan hasil sampingnya adalah CO 2. CO2 yang
dihasilkan ini akan dikembalikan ke reaktor reformer untuk meningkatkan efisiensi.
c. Oksidasi parsial
Proses oksidasi parsial dari gas metana merupakan reaksi katalitik di mana
metana bereaksi langsung dengan oksigen dengan adanya katalis, dan produk syngas
yang dihasilkan memiliki rasio H2/CO baik, yaitu 2.
CH4 + ½O2 CO + 2H2 (2-4)
Reaksi ini bersifat eksotermis, sehingga lebih ekonomis dibandingkan dengan
steam reforming dan dry reforming, karena membutuhkan sedikit energi termal.
Namun, proses ini merupakan proses mahal karena harus bereaksi dengan oksigen
murni. Selain itu, proses reaksi ini bersifat bahaya karena gas metana (CH 4) bereaksi
dengan oksigen (O2) dapat menyebabkan ledakan apabila reaksi tidak diberi perhatian
penting (Peña et al., 1996) (dalam Neiva & Gama, 2010).
Secara umum, proses oksidasi parsial dapat dilihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Blok
diagram
Oksidasi
Parsial CO2

(http://
www.linde_engineering.com/en/process_plants/hydrogen_and_synthesis_gas_plants/
gas_generation/partial_oxidation/index.html)
Berdasarkan gambar 2.3 dapat dilihat bahwa proses oksidasi parsial hampir
sama dengan steam reforming ataupun dry reforming. Tahap oksidasi parsial
dilakukan dengan mengontakkan feed yang berupa gas alam yang telah mengalami
feed pre-treatment dengan oksigen. Lalu ketahap CO-shift untuk meningkatkan
konsentrasi H2. Setelah itu akan masuk ke tahap acid gas removal untuk mengurangi
kandungan CO2 dan sisa sulfur. Tahap terakhir yaitu adsorpsi untuk menghilangkan
kandungan CO2 yang tersisa.
d. Autothermal Reforming
Reaksi autothermal reforming pada metana merupakan gabungan dari dua
reaksi: steam reforming dan oksidasi parsial. Oleh karena itu, pada reaksi steam
reforming, zat-zat juga dikontakkan dengan aliran gas oksigen, dengan adanya katalis
(Armor, 1999). Maka, proses ini melibatkan tiga zat (CH4, H2O, dan O2).
Proses autothermal reforming dirancang untuk menghemat energi, karena
sumber energi termal yang dibutuhkan berasal dari reaksi oksidasi parsial metana
tersebut. Jadi proses membutuhkan energi termal yang juga dihasilkan, yang disebut
dengan autotermal (Ayabe et al., 2003; Wilhem et al., 2001) (dalam Neiva & Gama,
2010).
Dalam pembuatan syngas, nilai rasio H2/CO syngas merupakan fungsi dari
fraksi reaktan gas yang dimasukkan ke input proses. Maka, rasio H 2/CO bisa bernilai
1 atau 2 (Palm, 2002) (dalam Neiva & Gama, 2010).
Secara umum, proses autothermal reforming dapat dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Proses


Autothermal
Reforming
(http://www.jgc.com/en/02_business/99_sbr/01_tech_innovation/01gas/aatg.html)
Berdasarkan gambar 2.4 dapat terlihat bahwa autothermal reforming
merupakan gabungan antara steam reforming dan oksidasi parsial. Hal ini dapat
terlihat pada bagian reaktor dimana feed berupa gas alam yang telah mengalami
desulfurizer dikontakkan dengan steam dan oksigen. Didalam reaktor tersebut
terdapat katalis yang sama seperti dengan katalis steam reforming untuk mempercepat
reaksi.
5. Proses Pengolahan Kapur (CaCO3)

Urutan pengolahan batu gamping (CaCO3) :


a. Transportasi dari tambang ke penggilingan, biasanya dengan kereta api industri.
b. Penghancuran dan pengaturan besar butil dalam pemecahan rahang atau giratori.
c. Pengayaan untuk memisahkanberbagai ukuran (misalnya, batuan 10 sampai 20 cm
berarti bahwa batuan yang ukurannya lebih kecil dari 10 cm dan lebih besar dari 20
cm telah dikeluarkan).
d. Batu-batu besar diangkut dengan gerobak ke tanur vertikal (shaft kiln).
e. Batu-batu kecil dibawa ke tanur putar (rotary kiln).
f. Batu-batu halus ke pulverisor (penggilingan halus) untuk membuat batu gamping
serbuk utnuk pertanian dan keperluan lain.
g. Batu gamping dibakar menurut ukuran masing-masing, di dalam tanur vertikal untuk
membuat gamping bongkahan, atau di dalam tanur putar horizontal untuk membuat
gamping serbuk
h. Dilakukan pengemasan terhadap hasil produksi tersebut (CaO).

6. Pembuatan Etanol
Etanol diproduksi oleh hidrasi katalitik langsung etena dengan adanya uap,
menggunakan asam fosfat teradsorpsi pada permukaan padat (silika) sebagai katalis
dalam fix bed reactor. Reaksi ini reversibel dan eksotermik:

Dari persamaan kesetimbangan, dapat dilihat bahwa konversi bahan baku untuk
ethanol disukai oleh suhu rendah, tekanan tinggi dan konsentrasi uap tinggi. Untuk
mencapai laju reaksi diterima, suhu 500 K digunakan dengan adanya katalis.
Meningkatkan tekanan mendorong reaksi ke sisi produk, tetapi juga menyebabkan
polimerisasi etena. Tekanan yang lebih tinggi juga berarti peningkatan biaya modal dan
operasional. Dalam prakteknya, proses ini umumnya dioperasikan di bawah tekanan 60-
70 atm.

Gambar 2.Pemurnian etanol dengan destilasi, kotoran yang mudah menguap


misalnya etoksi etana dihilangkan dalam kolom 1 dan 2, campuran azeotrop
(alkohol 95 %) diproduksi di kolom 3, pengotor dengan titik didih tinggi lainya,
misalnya butanol di keluarkan dari destilasi fraksional (Gb.Sasol)
Konversi etena lebih tinggi dapat diperoleh dengan menggunakan air berlebih
(steam). Tapi pada tekanan tinggi katalis mengambil air, aktivitas turun dan larut. Rasio
mol air: etena sekitar 0,6: 1 yang biasa digunakan.
Perawatan teratur dilaksanakan untuk meminimalkan emisi etanol dari pabrik,
bersama-sama dengan sejumlah kecil oleh-produk yang dihasilkan, terutama etanal
(asetaldehida) dan dietil eter. Pekerjaan yang cukup sedang dilakukan untuk
meningkatkan katalis sehingga suhu tungku dapat dikurangi. Ini berarti bahwa lebih
sedikit bahan bakar akan digunakan untuk memanaskan tungku, dan posisi
kesetimbangan akan ‘bergeser’ untuk mendukung produk. Dengan kondisi di atas,
konversi sekitar 5% per lulus diperoleh. Untuk mendapatkan hasil 95% tercapai, eten
yang tidak bereaksi dipisahkan dari produk cair dan daur ulang.
Produk tersebut mengandung proporsi yang tinggi air dan suling untuk
menghasilkan 95% (b/b) larutan etanol.
a. Produksi etanol murni\

1.) Distilasi
Distilasi lanjut dari larutan 95% etanol dalam air tidak meningkatkan
kemurnian, tetapi akan menghasilkan azeotrop (campuran dengan titik didih konstan).
Hal ini dapat diatasi dengan menambahkan senyawa ketiga (misalnya benzena) yang
‘memecah’ azeotrop tetapi cara ini memerlukan distilasi lagi dan lebih banyak
membutuhkan energi.
2.) Tekanan ayunan adsorpsi
Sebuah saringan molekul zeolit sedang semakin digunakan untuk
menghilangkan air untuk memproduksi etanol murni dengan proses yang dikenal
sebagai tekanan ayunan absorpsi.
Campuran etanol dan air dilewatkan melalui kolom yang berisi pelet dari
saringan molekul 3 A (yaitu pori-pori memiliki diameter 3 angstrom,3×10 -10 m atau 0,3
nm)
Gambar 3 Pemurnian etanol dengan adsorpsi tekanan ayunan menggunakan zeolit.

Meskipun kedua etanol dan air bersifat polar, hanya molekul air (diameter 0,28
nm) mampu melewati pori-pori dengan diameter molekul etanol terlalu besar (0,44 nm).
Sehingga molekul air masuk melalui pori-pori dan terjebak di kandang zeolit. Etanol
melewati kolom dan dikumpulkan.
Dalam satu metode, yang biasanya digunakan, campuran etanol-air dilewatkan
melalui kolom dalam fase gas pada sekitar 420 K, di bawah tekanan (4 atm) (Gambar 3
dan 4). Uap air melewati pori-pori dan diserap sebagai cairan dan di perangkap.

Gambar 4. Pemurnian etanol dengan menggunakan saringan molekuler. bagian


dasar saringan diisi dengan zeolit. Etanol telah dihasilkan dari biomassa (Gandum).
(Foto : Ensus)

Istilah ‘ayunan’ digunakan karena dua kolom digunakan secara paralel. Pada
Gambar 3 kolom tangan kiri sedang digunakan untuk mengeringkan etanol sementara
yang lain, tangan kanan satunya sedang digunakan untuk memperbaiki zeolit.
Dalam metode kedua, solusi cair dari etanol dan air dilewatkan melalui kolom
zeolit dan etanol murni dikumpulkan. Setelah beberapa jam, bed dikeringkan dan
dipanaskan sampai lebih dari 500 K menggunakan aliran dipanaskan nitrogen. Air
dikeluarkan. Teknik ini disebut thermal (atau suhu) ayunan adsorpsi.

Anda mungkin juga menyukai