Anda di halaman 1dari 9

PROCEEDING

1stInternational Conference on Morality (InCoMora) 2020;


Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Majapahit (UNIM) Mojokerto
January 29 – 30, 2020

KONSTRUKSI AWAL MODERNISME ISLAM:


TELAAH ATAS PEMIKIRAN MUHAMMAD IBN ABD AL-WAHHAB,
MUHAMMAD ALI PASHA, DAN AL-TAHTAWI

Ach. Shodiqil Hafil


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri
as.hafil@iainkediri.ac.id

Abstrak

Pada abad ke-19, muncul tantangan baru bagi umat dan para tokoh Islam di saat
semakin maraknya kolonialisme Eropa di sebagian besar negara Islam.
Tantangan tersebut merefleksikan persoalan internal umat Islam yang
memerlukan konstruksi epitemologi modernisme namun tetap berpegang teguh
terhadap prinsip ajaran Islam. Untuk itu gerakan modernisme Islam dianggap
memiliki implikasi penting terhadap pelaksanaan ajaran sosial Islam. Karenanya
tulisan ini berupaya mengkaji bagaimana konstruksi awal modernisme Islam
secara historisitasnya berdasarkan pemikiran Muhammad ibn Abd al-Wahhab,
Muhammad Ali Pasha, dan al-Tahtawi sebagai tokoh reformis Islam yang
mengawal terbukanya pintu ijtihad dalam rangka menghadapi modernisme
Barat. Dari kajian tersebut didapatkan bahwa modernisme hendaknya tetap
melalui proses filtrasi dengan sikap kritis dan obyektif agar umat Islam tidak
terjebak dalam modernisasi itu sendiri. Gagasan bahwa semangat ijtihad dan
pembaharuan (tajdid) dalam Islam harus tetap berfungsi secara dinamis dapat
diterima dengan tetap berpijak pada dasar agama yang benar. Sehingga akhirnya
ide modernisme dan semangat keagamaan bisa ditempatkan secara imbang,
proporsional, dan bisa dipadu-padankan dalam rangka menuju kemajuan Islam.
Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Muhammad Ali Pasha, dan al-Tahtawi dalam
hal ini berperan signifikan sebagai lokomotif yang menarik gerbong
modernisme Islam dengan membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya namun tetap
menjaga nilai dasar ajaran Islam yang prinsipil dan fundamental.
Kata kunci: Modernisme Islam, Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Muhammad Ali
Pasha, al-Tahtawi.

175 | PROSIDING
1st
International Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
PROCEEDING
1stInternational Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Majapahit (UNIM) Mojokerto
January 29 – 30, 2020

A. Pendahuluan
Modernisme dalam budaya Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk
merubah paham-paham agar diselaraskan dengan suasana baru yang dihasilkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. (Harun Nasution, 1991) Pada mulanya, modernisme ini merambah
dunia Barat hingga pikiran dan aliran ini memasuki ranah agama yang mempunyai tujuan untuk
menyesuaikan ajaran-ajaran agama dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern hingga akhirnya timbul
pemikiran sekularisme di kalangan Barat. Hal ini pun kemudian merambah ke dunia Islam setelah begitu
lama mengalami masa stagnasi dan kemunduran.
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul tantangan baru bagi umat dan para tokoh Islam di
saat semakin merambahnya kolonialisme Eropa di sebagian besar negara Islam. Bagi para pemikir muslim
saat itu, Islam merupakan sumber inspirasi dalam menjawab tantangan sosial-politik yang disebabkan oleh
modernisasi. Mereka yakin bahwa umat Islam bisa hidup di dunia modern tanpa harus meninggalkan ajaran
Islam yang prinsipil, meskipun saat itu dampak budaya Barat modern terhadap dunia Islam yang disertai
dengan hegemoni politik dan ekonomi Barat sangat terasa pengaruhnya.
Salah satu tantangan yang problematik dalam menghadapi masa modern tersebut adalah
bagaimana menghilangkan inferioritas umat Islam dalam menghadapi Barat, sementara tantangan politik
mendorong terpusatnya upaya untuk membebaskan diri dari penjajahan Barat. Tantangan inilah yang
kemudian mendorong gerakan-gerakan modern Islam yang mencoba menggali solusi sosial-politik terhadap
persoalan yang dihadapi umat Islam berdasarkan perspektif keagamaan. Dalam konteks abad ke-19 dan awal
abad ke-20, persoalan ini merefleksikan persoalan internal umat Islam yang memerlukan reformasi internal
namun tetap berpegang teguh terhadap prinsip ajaran Islam. Dengan demikian gerakan modernisme Islam
akan memiliki implikasi penting terhadap pelaksanaan ajaran sosial Islam. Hal tersebut sekaligus
menegaskan bahwa kekuatan ajaran Islam sebenarnya terletak pada prinsip yang memungkinkan
pemeluknya untuk berasimilasi dengan unsur budaya baru serta menjawab tantangan perkembangan
modern dan pembaharuan. Untuk itu gerakan medernisasi Islam lahir karena tantangan perkembangan yang
dihadapi sebagai sebuah kecenderungan akademik-intelektual.
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, Islam menghadapi berbagai macam tantangan. Menurut
Achmad Jainuri ada empat tantangan yang harus dihadapi umat Islam saat itu. Pertama, tantangan politik
bagaimana membebaskan diri dari kolonialisme Barat. Kedua, tantangan kultural, yakni masuknya nilai-nilai
baru akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat. Ketiga, tantangan sosial-ekonomi, yakni
bagaimana memberantas kemiskinan dan kebodohan umat. Keempat, tantangan keagamaan, yakni bagaimana
meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta men-support umat untuk bisa memahami ajaran agama
secara mandiri. Jawaban terhadap tantangan terakhir inilah yang disebut dengan “demokratisasi agama”.
(Achmad Jainuri, 2004)
Tantangan-tantangan seperti inilah yang menstimulus kaum cendekia modernis Islam untuk
merumuskan gagasan dan pikiran yang kemudian menjadi orientasi ideologis berbagai ragam gerakan Islam
di era modern. Di antaranya adalah mindset keagamaan, mindset mengenai dunia, sikap terhadap dunia Barat,
sikap terhadap pencapaian masa lalu, korelasi antara agama dan akal, korelasi agama dan negara, serta isu-isu
kontemporer lainnya. Pandangan tersebut lahir karena Islam adalah dasar bagi semua aspek kehidupan
manusia di dunia yang dipandang–dengan universalitasnya—selalu sesuai dengan tuntutan dan semangat
perkembangan zaman, dan sebuah masyarakat yang sedang mengalami proses modernisasi harus mampu
menerima perubahan. Oleh karena itu perubahan merupakan sebuah keniscayaan selama praktik kehidupan
tidak merefleksikan semangat ajaran agama yang sesungguhnya. Secara historis, kejayaan yang dicapai umat
Islam pada masa lalu sebagai hasil peradaban yang sangat tinggi dapat dibanggakan. Namun kebanggaan ini
tidak harus menjadikan umat Islam larut dalam romantisme sejarah, tetapi bagaimana semua itu bisa
menumbuhkan semangat yang sama untuk menghadapi perkembangan kontemporer dan yang akan datang.
Perubahan yang merefleksikan proses revivalisme, puritanisme, atau reislamisasi juga merupakan
implikasi dari upaya mengembangkan mindset yang benar tentang praktik-praktik keagamaan dan upaya yang
diarahkan untuk mempurifikasi kepercayaan dan ritual Islam dari pengaruh-pengaruh yang menyimpang.
Misalnya gerakan Wahhabiy yang muncul di Semenanjung Arabia pada abad ke-18 secara radikal dan tanpa
mengenal kompromi membersihkan semua pengaruh di luar Islam-murni dalam ibadah amaliyah dan
praktik takhayul-bid’ah yang biasanya berkaitan dengan praktik ajaran tasawuf popular.
Zaman kebangkitan umat Islam mulai timbul saat memasuki abad ke-19 yang kemudian disebut
sebagai periode modern. Periode ini ditandai dengan jatuhnya Mesir ke tangan Barat yang kemudian
membuat umat Islam menyadari adanya peradaban baru yang lebih maju dan akan menjadi ancaman bagi
Islam bila tidak diantisipasi dengan mempelajari perkembangan modern tersebut. Karenanya pemuka-

176 | PROSIDING
1st
International Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
PROCEEDING
1stInternational Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Majapahit (UNIM) Mojokerto
January 29 – 30, 2020

pemuka Islam saat itu berpikir bagaimana kembali meningkatkan kekuatan Islam hingga lahirlah ide-ide
pembaharuan dalam Islam.
Demikianlah kiranya perlu dikaji dalam tulisan ini konstruksi perkembangan Islam modern yang digagas
para tokoh pembaharu Islam dari awal modernisme Islam di belahan Arabia pada abad ke-18 dengan
Muhammad ibn Abd al-Wahhab sebagai tokoh sentralnya hingga awal perkembangan Mesir modern pada
abad ke-19 dengan Muhammad Ali Pasha dan al-Tahtawi sebagai pembaharu awal.

B. Gerakan dan Pemikiran Muhammad ibn Abd al-Wahhab


Modernisme yang merambah dunia Islam tidak bisa terlepas dari peranan sebuah gerakan
pembaharuan di bidang agama yang berawal di kawasan Arabia pada abad ke-18. Gerakan inilah yang
nantinya juga mempengaruhi pemikiran pembaharuan di abad setelahnya, yaitu abad ke-19 saat Prancis
mulai menguasai wilayah Mesir. Gerakan keagamaan di Arabia ini dimotori oleh ulama asal Nejd yang
bernama Muhammad ibn Abd al-Wahhab.
Pemikiran Muhammad ibn Abd al-Wahhab sama sekali tidak terkait dengan faktor politik, tetapi
sebagai reaksi terhadap fenomena keagamaan yang mulai merusak kemurnian paham tauhid di kalangan
umat Islam. Salah satu sebabnya adalah ajaran dan aliran tarekat yang semenjak abad ke-13 tersebar luas di
dunia Islam. Pada saat itu ajaran tarekat dan tasawuf memang sedang marak dan sangat mempengaruhi
akidah umat Islam. Sehingga di antara dampaknya adalah permohonan doa yang tidak lagi langsung kepada
Tuhan melainkan melalui wali atau mursyid tarekat yang dianggap lebih dekat dengan Tuhan dan bisa
memperoleh rahmatNya, karena bagi mereka Tuhan tidak dapat didekati kecuali dengan perantara.
Selain itu, ada pula adanya paham animisme yang juga mempengaruhi akidah umat Islam.
Muhammad ibn Abd al-Wahhab sendiri pernah mendapati beberapa orang yang berziarah ke sebuah pohon
yang dianggap memiliki kekuatan magis. Di tempat itu para peziarah memanjatkan beberapa permohonan
yang ingin dicapainya. Lantas oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab ritual tersebut digolongkan dalam
perbuatan syirik atau politeisme yang merupakan dosa terbesar yang tidak terampuni, sebagaimana
firmanNya:
                    
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar. (Al-Nisa’: 48).
Dalam Islam penyekutuan Tuhan yang disebut syirik ini terbagi menjadi dua macam. Yaitu, al-syirk
al-akbar dan al-syirk al-asghar. Syirik akbar adalah syirik besar yang nyata seperti beribadah kepada selain
Allah, mengharap ampunan dari selainNya, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan syirik asghar
adalah syirik kecil yang tidak tampak, misalnya bersumpah kepada selain Allah, beribadah atau berbuat
kebaikan bukan semata karena Allah, melainkan karena ingin dipuji orang lain (riya’), dan sebagainya.
Seiring berjalannya waktu banyak masyarakat yang bergabung dalam gerakan yang dipimpin oleh
Muhammad ibn Abd al-Wahhab ini, dan oleh lawan-lawannya para pengikutnya dijuluki dengan kaum
Wahhabiy. Namun kaum Wahhabiy sendiri menyebut kelompoknya sebagai Ahl al-Tauhid atau al-Muwahhidun
karena pemikiran dan gerakannya yang terfokus pada pemurnian tauhid. (Ali Mufrodi, 2010)
Tauhid memang merupakan ajaran paling fundamental dalam Islam. Karenanya aliran Wahhabiy ini
tidak segan-segan bertindak radikal untuk menghadapi kemusyrikan. Bagi mereka yang berhak disembah
hanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Jika ada yang menyembah selain kepadaNya, maka ia disebut musyrik
dan boleh dibunuh. Pada saat itu beberapa umat Islam juga meminta pertolongan langsung selain kepada
Allah, misalnya kepada seorang syaikh, waliy atau dari kekuatan gaib. Orang yang seperti itu juga disebut
musyrik, sebagaimana juga orang yang bernazar kepada selain Allah, tidak percaya qada’ dan qadar,
mengamalkan ajaran selain dari al-Quran dan al-Sunnah, dan semua perbuatan bid’ah yang menjerumuskan
seseorang kepada kesesatan. Untuk menghadapi masalah kemusyrikan ini umat Islam harus kembali kepada
ajaran Islam yang pure, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw beserta para sahabat dan
tabi’in. Praktik-praktik, amalan-amalan, atau kepercayaan-kepercayaan sesudah abad ke-3 hijriyah bukanlah
ajaran asli dari Islam yang harus ditinggalkan, termasuk taqlid terhadap ulama setelah abad ke-3 hijriyah,
karena pendapat mereka bukan merupakan sumber ajaran Islam. Sumber ajaran Islam yang asli bagi mereka
hanyalah al-Quran dan al-Sunnah yang untuk memahaminya diperlukan ijtihad, karena bagi mereka pintu
ijtihad masih terbuka. (Nasution, 1984)
Salah satu upaya yang dilakukan gerakan Wahhabiy ini adalah menyerang kota Karbala yang
notabene menjadi kiblat kaum Syi’ah karena terdapat kuburan Husein ibn Ali ibn Abi Thalib. Selain itu
mereka juga menyerang Madinah. Kubbah yang berada di atas kuburan-kuburan di sana dihancurkan dan
177 | PROSIDING
1st
International Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
PROCEEDING
1stInternational Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Majapahit (UNIM) Mojokerto
January 29 – 30, 2020

hiasan-hiasan yang ada di kuburan Nabi Muhammad Saw dirusak. Setelah itu mereka ke Makkah lalu
merusak kiswah yang menutupi Kakbah. Semua itu bagi mereka adalah bid’ah. Bahkan selain bertindak
keras melarang minuman keras dan berjudi, kalangan Wahhabiy juga melarang merokok.
Muhammad ibn Abd al-Wahhab adalah seorang yang gigih mewujudkan pemikirannya dalam
mempurifikasi ajaran Islam. Ajaran-ajaran tauhid yang dibangunnya semakin menyebar luas, dari yang
semula hanya di Nejd Arabia Tengah, kemudian meluas ke seluruh Jazirah Arab, bahkan ke luar wilayah
Arabia. Meskipun pada tahun 1787 Muhammad ibn Abd al-Wahhab wafat, namun pemikiran dan ajarannya
tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahhabiyyah.
Meski awalnya tidak ada kaitannya dengan politik, namun tidak bisa dipungkiri lagi gerakan ini
akhirnya menjadi kokoh dengan kekuatan politik yang digagas oleh Muhammad ibn Sa’ud. Karena
dukungan politik dari Muhammad ibn Sa’ud itulah akhirnya gerakan Wahhabiy ini menjadi kuat dan berhasil
menyebar luas.
Muhammad ibn Sa’ud adalah kepala sebuah pemerintahan kesukuan kecil di Arabia Utara yang
sebenarnya sejak tahun 1745 sudah menjalin hubungan dengan Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang
menganut mazhab fiqh Imam Ahmad ibn Hanbal dan mazhab pemikiran Ibnu Taimiyah. Dengan masuknya
Muhammad ibn Sa’ud ke dalam golongan Wahhabiy, akhirnya Wahhabisme menjadi ideologi agama yang
menyatukan kesukuan di Arabia. Selain itu bersatunya agama dan politik ini kemudian melahirkan sebuah
negara besar Kerajaan Saudi Arabia yang tetap eksis sampai sekarang. Mereka menjadi pimpinan spiritual
dan juga sebagai pimpinan dunia Arabia Tengah yang pada tahun 1773 sampai akhirnya mampu menduduki
Riyad dan menjadikannya sebagai ibu kota mereka. Bahkan pada tahun 1803 mereka mampu merebut
Makkah, meski akhirnya pada tahun 1812, Makkah dan Madinah berhasil dikuasai oleh Muhammad Ali,
Gubernur Mesir yang diutus oleh Turki Usmani, dan kekuatan Sa’udi akhirnya lumpuh pada tahun 1818
karena serangan Muhammad Ali yang mengutus anaknya, Ibrahim Pasha, untuk menghancurkan Dar’iyah
yang menjadi pusat gerakan Wahhabiy. Selama abad ke-19, keluarga Sa’udi mengalami kemunduran dan
hanya bertahan sebagai kesultanan suku kecil di wilayah pinggiran Arabia, hingga kemudian bangkit kembali
pada abad ke-20, yakni pada tahun 1902, saat Abd al-Aziz ibn Sa’ud kembali merebut kekuasaan atas Riyad
dan memproklamirkan dirinya sebagai imam Wahhabiy dan mendirikan kembali kerajaan Sa’udi. (Ira M,
1999). Kemudian pada tahun 1925, Abd al-Aziz ibn Sa’ud berhasil menaklukkan Hijaz dan rakyat negeri
tersebut mengangkatnya sebagai Raja atau Malik. Demikianlah akhirnya rezim Sa’udi dibangun di atas
kombinasi yang kental antara kekuatan agama dan politik.
Transformasi modern Saudi Arabia dimulai dengan ditemukannya sumber minyak yang berlimpah
di Arabia pada tahun 1936 dan mengadakan kerjasama dengan Amerika untuk mengeksploitasi hasil minyak
itu dengan nama Aramco (Arabian American Company). Produksi minyak inilah yang menjadi modal
pembangunan secara besar-besaran pada saat terjadinya revolusi harga minyak tahun 1973, dan pada tahun
1977 anggaran pembangunan Saudi Arabia mencapai USD 40 triliun. Implikasi dari program pembangunan
ini adalah pengembangan infrastruktur industrial, pembangunan sejumlah kota, dan sebagainya.
Namun demikian di tengah perubahan yang pesat ini negara Saudi Arabia tetap mempertahankan
otoritas keagamaan dan politik tradisionalnya. Satu hal yang sama pentingnya adalah komitmen terhadap
Islam, sehingga tampaknya masyarakat Saudi tidak terpengaruh oleh sekularisme dan liberalisme seperti
yang terjadi di Barat.
Pada tahun 1953, Raja Abd al-Aziz ibn Sa’ud—yang tidak seketat kaum Wahhabiy periode pertama
dalam menerapkan ajaran Islam sehingga merokok tidak lagi dilarang—akhirnya meninggal dunia dan
digantikan oleh anaknya, Sa’ud ibn Abd al-Aziz yang akhirnya diturunkan pada tahun 1964 karena tidak
sebijaksana ayahnya. Tahta sebagai raja itu pun diambil alih oleh adiknya, Faisal ibn Abd al-Aziz, yang
mampu memerintah dengan bijaksana, banyak mendermakan hartanya untuk kepentingan umat Islam, dan
untuk membiayai perang Israel, ia terkenal dengan embargo minyaknya. Tapi sangat disayangkan ketika
akhirnya ia mati terbunuh karena ditembak kemenakannya sendiri pada tahun 1975.
Posisi raja akhirnya digantikan oleh adiknya yang lain lagi, yaitu Khalid ibn Abd al-Aziz, yang
memerintah sampai tahun 1982 yang wafat karena sakit. Kemudian setelah itu digantikan oleh Fahd ibn
Abd al-Aziz sampai akhir hayatnya yang wafat juga pada Agustus 2005 dan digantikan oleh Abdullah ibn
Abd al-Aziz. Pada tahun 2015, Abdullah ibn Abd al-Aziz wafat dan digantikan oleh Salman ibn Abd al-Aziz
sampai sekarang.
Demikianlah implikasi dari reformisme dan revitalisme Wahhabiy yang mengambil posisi ekstrem
dalam penolakan keyakinan atau pemujaan terhadap para waliy yang dinilai sebagai bentuk syirik (politeisme),
dan juga menolak model teologi sufi yang bersifat pantheistik dan penuh dengan ritual magis. Bagi kaum
Wahhabiy, al-Quran dan al-Sunnah adalah satu-satunya otoritas Muslim yang paling valid. Namun demikian
gerakan puritanisme Islam ini dianggap terlalu revolusioner karena gagasan-gagasan yang dikemukakannya,
178 | PROSIDING
1st
International Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
PROCEEDING
1stInternational Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Majapahit (UNIM) Mojokerto
January 29 – 30, 2020

dilihat menurut ukuran zamannya, terlalu radikal. Walaupun dipengaruhi oleh pemikiran revitalis Ibnu
Taimiyah, namun gerakan Wahhabiy ini tidak sepenuhnya merupakan duplikat dari pemikiran Ibnu
Taimiyah. Jika Ibnu Taimiyah menyerang sufisme, maka serangannya tidak bersifat frontal, berhubung ada
nilai-nilai sufisme yang masih diakomodir oleh Ibnu Taimiyah. Sebaliknya, gerakan Wahhabiy menyerang
sufisme tanpa ampun, sekalipun harus kita akui bahwa Wahhabiy berhasil membabat bid’ah, khurafat, dan
takhayul yang merajalela di dunia Islam pada masa lalu. (Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, 1995).
Inilah yang disebut oleh Fazlur Rahman sebagai revivalisme pra-modernisme yang sangat berjasa dalam
memberantas penyelewengan spiritualitas yang berusia seribu tahun ini dan mengajak kaum Muslimin
kembali kepada sumber ajaran Islam yang murni. (Fazlur Rahman, 1985)
C. Modernisme Islam di Mesir
1. Ekspedisi Napoleon (1798-1801)
Ekspansi Barat ke pusat dunia Islam di Timur Tengah pertama kali dilakukan oleh Prancis yang sedang
bersaing dengan Inggris karena sudah terlebih dahulu menguasai India. Prancis merasa perlu memutuskan
hubungan diplomasi antara Inggris di Barat dan India di Timur dengan menguasai Mesir yang dapat dijadikan
pintu gerbang menuju India. Selain itu Prancis ingin memperluas pasaran baru untuk hasil industrinya dan
juga ingin mengikuti jejak Alexander Macedonia yang pernah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India.
Untuk mewujudkan cita-citanya dalam rangka membangun imperium besar, tempat strategis yang perlu
dikuasai adalah Mesir. (Nasution, 1986)
Sejak ditaklukkan oleh Sultan Salim di tahun 1517, secara administratif Mesir berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Turki Usmani, namun pada realitanya Mesir berada di bawah kekuasaan kaum Mamluk,
meskipun sultan-sultan dari Turki Usmani tetap mengirimkan seorang pasha atau gubernurnya ke Mesir tapi
tidak lebih dari sekedar seorang diplomat. Akan tetapi pada perkembangannya, baik Turki Usmani maupun
kaum Mamluk yang kemudian menolak untuk tunduk ke Turki Usmani, ternyata keduanya sama-sama
lemah. Sehingga Napoleon dengan mudah menduduki dan menguasai Mesir pada tahun 1798. Namun
keberadaan Napoleon di Mesir tidak lama, karena pada tahun 1799 dia harus segera kembali ke Prancis.
Kemudian ekspedisi selanjutnya dipimpin oleh Jenderal Kleber yang bertahan di Mesir sampai tahun 1801.
(Samsul Munir Amin, 2010)
Keberadaan ekspedisi Prancis yang dibawa Napoleon ke Mesir ternyata cukup banyak berjasa terhadap
perkembangan dunia Islam selanjutnya, karena Napoleon datang ke Mesir dengan membawa sekelompok
ilmuwan, para ahli di berbagai bidang, literatur ilmiah modern sebanyak satu perpustakaan, sebuah
laboratorium ilmiah dan mesin cetak dengan jenis Arab, Latin, dan Yunani. (Fatah Syukur, 2010). Dari
sinilah secara gradual, Mesir mengalami kemajuan di bidang pengetahuan dan teknologi.
Namun selain kemajuan di bidang materi, Napoleon juga menelurkan ide-ide dan gagasan-gagasan
baru yang dihasilkan dari revolusi Prancis dan nantinya banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran di
Mesir. Di antaranya adalah sistem pemerintahan republik yang menerapkan Kepala Negara harus dipilih
untuk waktu tertentu, mengikuti Undang-undang Dasar dan bisa dijatuhkan oleh parlemen. Sistem seperti
ini tentu sangat bertolak belakang dengan sistem pemerintahan monarki absolut Raja-raja Islam sebelumnya,
sehingga masih cukup sulit untuk langsung diterapkan di Mesir. Ide lainnya adalah persamaan kedudukan
(egalitarianisme) dan ide kebangsaan (nasionalisme). Meskipun ide-ide ini belum mempunyai pengaruh yang
nyata bagi umat Islam di Mesir saat itu, tapi akhirnya dalam perkembangan interaksi dengan Barat di abad
ke-19 dan ke-20 gagasan-gagasan itu semakin jelas dan mulai diaplikasikan. Bagaimanapun, ekspedisi
Napoleon telah menyadarkan umat Islam di Mesir akan kelemahan dan kemunduran mereka saat itu.

2. Pemerintahan Muhammad Ali Pasha (1765-1849)


Muhammad Ali adalah seorang keturunan Turki yang lahir di Kawalla, Yunani, pada tahun 1765
dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. Ia memulai karirnya dari seorang pemungut pajak yang karena
kecerdasannya diangkat sebagai menantu seorang Gubernur sehingga karirnya semakin cemerlang karirnya
dengan dimasukkannya ia ke dalam dinas militer dan begitu cepat ia diangkat menjadi perwira. Tidak lama
kemudian karena keberaniannya melawan pasukan Prancis di Mesir, ia pun diangkat menjadi kolonel.
Setelah keluarnya Prancis dari Mesir pada tahun 1801, terdapat kekosongan kekuasaan politik (vacuum of
power) di Mesir, di sinilah awal Muhammad Ali memainkan peran yang sangat cerdik dengan mencegah
kembalinya kaum Mamluk yang ingin menguasai Mesir lagi dan juga mencegah kembalinya pendudukan
Turki Usmani yang pada saat itu sudah mengirimkan gubernurnya. Usaha Muhammad Ali membuahkan
hasil yang gemilang, hal itu karena ia mendapat simpati dari rakyat Mesir. Akhirnya ia pun mengangkat
dirinya menjadi Pasha (gubernur) yang baru dan dengan terpaksa diakui oleh Sultan Usmani pada tahun
1805. Setelah berkuasa di Mesir, program utama yang segera ia lakukan adalah menyingkirkan pihak-pihak
yang dimungkinkan berbahaya bagi kekuasaannya, terutama kaum Mamluk. Sehingga lahir inisiatif untuk
179 | PROSIDING
1st
International Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
PROCEEDING
1stInternational Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Majapahit (UNIM) Mojokerto
January 29 – 30, 2020

memusnahkan kaum Mamluk sampai habis yang akhirnya benar-benar tidak memiliki kekuatan lagi pada
tahun 1811.
Muhammad Ali Pasha memerintah dengan otoriter, dan sebagaimana raja-raja sebelumnya, ia
berprinsip bahwa kekuasaannya hanya akan besar dengan kekuatan militer. Namun demikian, ia berbeda
dengan raja-raja lainnya karena ia memiliki pemikiran bahwa di balik kekuatan militer harus ada kekuatan
ekonomi yang akan menopang stabilitas negara. Jadi baginya ada dua hal penting, yaitu kemajuan militer dan
kemajuan ekonomi, yang untuk mewujudkannya membutuhkan ilmu-ilmu modern seperti yang ada di
Eropa. Dalam usahanya ini Muhammad Ali Pasha merampas kekayaan orang-orang Mamluk dan harta-
harta orang kaya di Mesir, sehingga semua kekayaan berada di bawah kekuasaannya. Ia juga menyadari
bahwa Mesir adalah negeri pertanian. Untuk meningkatkan hasil pertanian, selain memperbaiki irigasi yang
lama dan membuat irigasi yang baru, ia mendatangkan ahli pertanian dari Eropa.
Meskipun Muhammad Ali Pasha adalah seorang yang buta huruf karena tidak pernah memiliki
kesempatan untuk sekolah di masa kecilnya, tapi ia menyadari pentingnya kemajuan di bidang lainnya, maka
dari itu ia juga mendirikan kementerian pendidikan, sekolah militer, sekolah teknik, dan sekolah kedokteran
yang guru-gurunya didatangkan dari Barat. Tentu selain itu dikirim pula sebagian dari siswa-siswa untuk
belajar ke Barat, hingga kemudian didirikan penampungan khusus di Paris untuk para pelajar ini. Namun
bagitu Muhammad Ali Pasha rupanya juga membatasi para pelajar yang dikirimnya untuk belajar di Barat. Ia
tidak ingin para pelajar itu belajar lebih intens melebihi dari yang diperlukan. Karenanya para pelajar itu
senantiasa diawasi dengan ketat sehingga tidak memiliki keleluasaan untuk bergerak di Eropa. Tetapi karena
kemampuannya dalam bahasa Prancis yang cukup mumpuni, para pelajar itu pun akhirnya juga sempat
membaca karya-karya Barat yang berdampak pada lahirnya ide-ide dan gagasan-gagasan baru mengenai
demokrasi, parlemen, konstitusi, pemerintahan republik, kemerdekaan berpikir, patriotisme, nasionalisme,
dan sebagainya.
Pada akhirnya para pelajar ini menjadi jalur transformasi intelektual dari dunia Barat ke dunia Islam
di Mesir. Sehingga kemudian dilakukan transliterasi dari karya-karya asing ke dalam bahasa Arab yang
puncaknya pada tahun 1836 didirikan Sekolah Penerjemahan. Namun demikian, upaya-upaya penerjemahan
ini tentu tidak seperti penerjemahan di abad ke-9 yang dikenal dengan abad kemajuan Islam karena kondisi
dan situasinya berbeda. Bahkan menurut Harun Nasution, perkembangan dan kemajuan Islam sekarang
hanya mampu naik sedikit, sedangkan Barat juga terus meningkat, sehingga perbedaan antara kedua
kebudayaan ini tetap seperti pada masa seratus tahun yang lalu.

3. Pemerintahan Mesir Pasca Muhammad Ali Pasha


Muhammad Ali Pasha berkuasa hingga tahun 1848 yang kemudian digantikan oleh anaknya,
Ibrahim Pasha, dan keturunannya berkuasa di Mesir hingga tahun 1953, yakni pada masa pemerintahan Raja
Farouq yang kemudian di-impeachment. Perkembangan politik di Mesir mulai memanas saat terjadinya unjuk
rasa besar-besaran pada tahun 1879 dan dilanjutkan dengan terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh
para perwira tentara di bawah pimpinan Ahmad Urabi pada tahun 1882 terhadap Inggris yang terlalu banyak
campur tangan di Mesir. Namun sangat disayangkan, pemberontakan itu justru berakibat dikuasainya Mesir
oleh Inggris dan secara resmi dijadikan jajahan Inggris pada tahun 1914.
Negeri yang dikenal dengan Piramidanya ini akhirnya dinyatakan merdeka dari Inggris pada tahun
1922. Namun demikian, Inggris masih memainkan peran campur tangannya di Mesir, terutama dalam bidang
pertahanan, sampai akhirnya sekelompok perwira berhasil memproklamirkan kemerdekaan Mesir pada tahun
1952, lalu mengubah Mesir menjadi sebuah negara republik. Setelah itu Mesir dipimpin oleh Muhammad
Naguib hingga tahun 1956, saat digeser oleh Gamal Abdul Nasser yang dipengaruhi oleh teori-teori sosialis
lewat Presiden Tito dari Yugoslavia. Setelah Nasser wafat pada tahun 1970, negeri lembah Nil ini dipimpin
oleh Anwar Sadat yang kemudian wafat dengan mengenaskan pada tahun 1981 karena tembakan yang
bertubi-tubi di tubuhnya oleh kelompok radikal. Setelah itu Mesir dipimpin oleh Husni Mubarak yang
berkuasa selama 30 tahun dan baru digulingkan pada tanggal 12 Februari 2011. (Dedi Supriyadi, 2008)

D. Konstruksi Pemikiran Al-Tahtawi (1801-1873)


Nama lengkapnya adalah Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi. Ia lahir pada tahun 1801 di Tahta, kota
yang terletak di Mesir bagian selatan, dan meninggal di Cairo pada tahun 1873. Al-Tahtawi bisa disebut
sebagai pembawa pemikiran pembaharuan yang sangat besar pengaruhnya di abad ke-19 di Mesir. Ia
menjalani pendidikannya di Al-Azhar Cairo sejak umur 16 tahun dan selesai pada tahun 1822. Syekh al-
Attar, salah seorang ulama di Al-Azhar yang seringkali berhubungan dengan para ahli ilmu pengetahuan
Prancis, menjadikannya murid kesayangan karena kesungguh-sungguhannya dalam belajar dan pikirannya
yang tajam.
180 | PROSIDING
1st
International Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
PROCEEDING
1stInternational Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Majapahit (UNIM) Mojokerto
January 29 – 30, 2020

Setelah lulus dari Al-Azhar dan mengajar di sana selama dua tahun, Al-Tahtawi kemudian diangkat
sebagai imam tentara di tahun 1824. Berselang dua tahun kemudian ia termasuk pelajar yang dikirim oleh
Muhammad Ali Pasha ke Prancis untuk menuntut ilmu. Selama 5 tahun di Prancis ia banyak belajar bahasa
Prancis hingga dapat menguasainya dan berhasil menerjemahkan 12 buku dan risalah. Selain itu ia juga suka
membaca buku-buku berbagai bidang ilmu dalam bahasa Prancis. Ia dengan sengaja mempelajari semua
bidang ilmu dan tidak mengkhususkan kepada ilmu tertentu karena salah satu tujuannya adalah
menerjemahkan berbagai bidang ilmu pengetahuan tersebut ke dalam bahasa Arab nantinya. Keahliannya
dalam penerjemahan terlihat saat ujian terakhirnya di Paris ia menyerahkan 12 buku yang sudah ia
terjemahkan kepada panitia ujian yang kemudian berpendapat bahwa ia cukup ahli dalam penerjemahan.
Karirnya di bidang bahasa dan penerjemahan ia mulai dengan menjadi guru bahasa Prancis dan
penerjemah di Sekolah Kedokteran pasca kembalinya ke Mesir. Setelah itu ia ditugaskan untuk memotori
penerjemahan buku-buku tentang ilmu teknik dan kemiliteran di Sekolah Artileri. Kemudian di tahun 1836,
penguasa Mesir, Muhammad Ali Pasha, mendirikan fasilitas pendidikan berupa Sekolah Penerjemahan yang
selanjutnya berubah nama menjadi Sekolah Bahasa-bahasa Asing. Di sinilah kemudian al-Tahtawi diberi
amanah untuk menjadi kepala sekolah. Di sekolah tersebut diajarkan berbagai macam bahasa, seperti bahasa
Arab, Prancis, Turki, Itali, dan juga ilmu-ilmu teknik, sejarah, dan ilmu bumi. Selain bekerja sebagai guru, al-
Tahtawi juga mengoreksi buku-buku yang sudah diterjemahkan murid-muridnya, dan diperkirakan 1000
buku sudah diterjemahkan sekolah ini ke dalam bahasa Arab.
Namun karirnya ternyata tidak selamanya berjalan mulus, karena setelah wafatnya Muhammad Ali
Pasha, lalu kepemimpinan dilanjutkan oleh penerusnya (Abbas), al-Tahtawi dipindahkan ke Sudan dan
menjadi kepala sekolah dasar di sana. Baru setelah Abbas wafat pada tahun 1854, dan diganti oleh Said,
pasha yang baru, ia dipanggil kembali ke Mesir untuk menjadi kepala Sekolah Militer. Setelah itu ia menjadi
pimpinan Badan Penerjemahan Undang-undang Prancis yang didirikan oleh Khedewi Islam tahun 1863.
Sampai sejauh ini jelaslah bahwa al-Tahtawi banyak terlibat dalam aktivitas penerjemahan dan mengepalai
sekolah-sekolah. Bagi al-Tahtawi, penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan modern ke dalam bahasa
Arab sangatlah penting dalam rangka transformasi intelektual untuk menuju kemajuan Islam.
Di antara aktivitas pemikirannya adalah mengepalai sebuah majalah resmi yang difasilitasi oleh Muhammad
Ali Pasha yang bernama “al-Waqai’ al-Misriyah”. Selain mengenai kabar-kabar resmi negara, majalah ini juga
seringkali memuat pemikiran-pemikiran tentang pengetahuan modern yang berkembang di dunia Barat,
seperti teori-teori politik, pemerintahan, demokrasi, otokrasi, aristokrasi, monarki, dan sebagainya. Ada
kalanya juga memberi penjelasan tentang pemerintahan dan konstitusi Prancis yang berlandaskan keadilan
dan kerakyatan. Tentu hal ini cukup mempengaruhi pembaca sehingga bisa menilai bahwa pemerintahan
yang dipimpin Muhammad Ali Pasha saat itu adalah pemerintahan yang otoriter dan penuh dengan
kesewenang-wenangan.
Namun al-Tahtawi tentu tidak ingin menyinggung perasaan Muhammad Ali Pasha, untuk itu ia
seringkai memujinya dalam beberapa tulisan yang menyatakan bahwa pemerintahannya selama ini membawa
kepada kemajuan dan kebaikan bagi rakyat Mesir. Ia juga menambahkan bahwa teori-teori Barat itu tidak
berlandaskan ajaran al-Quran maupun al-Sunnah.
Selanjutnya al-Tahtawi juga mengarang sejumlah buku. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. ‫تلخيص االبريز يف تلخيص باريز‬
2. ‫مناهج األلباب املصرية يف مناهج اآلداب العصرية‬
3. ‫املرشد األمني للبنات و للبنني‬
4. ‫القول السديد يف االجتهاد والتقليد‬
5. ‫أنوار توفيق اجلليل يف أخبار مصر وتوفيق بين إمساعيل‬

Buku pertama, “Intisari dari Kesimpulan tentang Paris”, berisikan tulisan-tulisan Al-Tahtawi tentang kesan-
kesannya selama dalam perjalanan menuju Paris, selama belajar di Paris, dan saat kembali ke Mesir. Tulisan-
tulisan tersebut tidak hanya sekedar menceritakan perjalanannya, namun yang terpenting adalah bahwa
kemajuan di dunia Barat telah begitu pesatnya, baik dari segi keilmuan, teknologi, kebudayaan, konstitusi,
sistem pemerintahan, seputar Revolusi Prancis pada tahun 1789 dan sebagainya. Muhammad Ali Pasha
menganggap buku ini penting untuk dipelajari, karenanya ia menganjurkan para pegawainya untuk membaca
buku tersebut.
Buku kedua, “Jalan bagi Orang Mesir untuk Mengetahui Literatur Modern”, menjelaskan
bagaimana pentingnya kemajuan ekonomi. Al-Tahtawi mengutip juga pendapat para ekonom Barat bahwa
Mesir sangat potensial di bidang ekonomi. Ia juga memuji langkah-langkah Muhammad Ali Pasha yang

181 | PROSIDING
1st
International Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
PROCEEDING
1stInternational Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Majapahit (UNIM) Mojokerto
January 29 – 30, 2020

banyak memperhatikan masalah ekonomi. Dengan memajukan ekonomi, kehidupan dunia akan lebih
sejahtera, dan hal ini merupakan terobosan baru dalam Islam mengingat sebelumnya tradisi Islam tidak
terlalu memperhatikan masalah kepentingan duniawi. Untuk itu ia juga menjelaskan bahwa pemerintahan
yang baik akan dapat memajukan ekonomi suatu negara.
Dalam buku ketiga, “Petunjuk bagi Pendidikan Putra dan Putri”, al-Tahtawi menjelaskan tentang
pentingnya pendidikan. Anak-anak perempuan mesti memperoleh pendidikan yang sama dengan anak laki-
laki. Menurutnya perempuan juga harus berpendidikan agar bisa menjadi istri yang baik bagi suaminya dan
menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya. Pendidikan merupakan hal yang penting untuk membentuk
kepribadian yang berbudi luhur dan menanamkan jiwa patriotisme (hubbul watan). Patriotisme inilah yang
akan menjadi dasar untuk mewujudkan suatu masyarakat yang berperadaban tinggi.
Patriotisme atau nasionalisme adalah konsep baru yang seringkali diangkat ke permukaan oleh al-
Tahtawi lewat tulisan-tulisannya. Ia kerap kali menyebut kata wathan dalam tulisannya. Wathan yang
dimaksud di sini adalah Mesir. Dalam buku lainnya tentang sejarah Mesir, ia bahkan mengelu-elukan dan
memuji Fir’aun yang dianggap berhasil mengangkat peradaban Mesir dan menuju kemajuan ekonomi di
zamannya. Menurutnya Mesir modern adalah kelanjutan dari Mesir zaman Fir’aun. Mesir modern memang
Islam, tapi tidak semua rakyat Mesir beragama Islam, untuk itu harus diberi kemerdekaan beragama.
Al-Tahtawi juga berpendapat bahwa kaum Ulama pun juga harus tahu ilmu-ilmu modern agar
mereka dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan-kebutuhan modern. Pemikiran seperti itu sebenarnya
mengindikasikan bahwa ijtihad yang telah tertutup pintunya sejak abad ke-11, sebenarnya tetap terbuka.
Hanya saja al-Tahtawi tidak dapat dengan jelas dan terang-terangan menyatakan hal ini dalam tulisannya
karena ia menyadari masyarakat Islam pada saat itu masih terlalu radikal. Dalam bukunya yang keempat di
atas, ia hanya mengemukakan syarat-syarat ijtihad dan macam-macamnya.
Selain itu al-Tahtawi juga cukup kritis terhadap pemikiran orang-orang Barat yang tidak percaya
qada’ dan qadar. Menurutnya setiap manusia harus percaya qada’ dan qadar, tetapi di samping itu harus pula
berusaha. Akhirnya dari pemikiran Al-Tahtawi ini lahir sebuah ide dinamisme yang menembus sikap statis
yang umum dialami umat Islam saat itu.

E. Penutup
Dinamika sosial yang dibawa oleh arus modernisasi telah menimbulkan perubahan-perubahan pola pandang
umat Islam, baik dalam memahami agama maupun dalam korelasinya dengan realitas sosial. Dinamika sosial
yang demikian telah melahirkan upaya-upaya sintetik baru antara Islam dan modernitas sebagai salah satu
agenda permasalahan penting yang dihadapi umat Islam.
Untuk itu wawasan dan pengetahuan tentang proses transformasi ide-ide modernisme dari dunia
Barat ke dalam dunia Islam yang sebelumnya telah diawali oleh gerakan-gerakan puritanisme Wahhabiy yang
dicetuskan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab pada abad ke-18 menjadi sangat penting untuk dikaji dan
dipelajari kembali agar nantinya dapat dipetik ide-ide baru. Namun demikian bagaimanapun bentuk
modernisme itu hendaknya tetap melalui proses filtrasi dengan sikap kritis dan obyektif agar kita tidak
terjebak dalam modernisasi itu sendiri.
Ide bahwa semangat ijtihad dan pembaharuan (tajdid) dalam Islam harus tetap berfungsi secara
dinamis dapat diterima dengan tetap berpijak pada dasar agama yang benar. Sehingga akhirnya ide
modernisme dan tradisionalisme bisa ditempatkan secara seimbang dan proporsional. Penulis sendiri yakin
bahwa semangat modernisme dan semangat keagamaan adalah satu hal yang bisa dipadu padankan dalam
rangka menuju kemajuan Islam. Di sinilah kemudian Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Muhammad Ali
Pasha, dan al-Tahtawi memainkan peran signifikannya sebagai lokomotif yang menarik gerbong
modernisme Islam dengan membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya namun tetap menjaga nilai dasar ajaran
Islam yang prinsipil dan fundamental.

BIBLIOGRAFI

Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010.


Bakri, Syamsul. Peta Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011.
Esposito, Jhon L., Jhon J. Donohue. Islam dan Pembaharuan; Ensiklopedi Masalah-masalah. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995.
Jainuri, Achmad. Ideologi Kaum Reformis. Surabaya: LPAM, 2002.
182 | PROSIDING
1st
International Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
PROCEEDING
1stInternational Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin
Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Majapahit (UNIM) Mojokerto
January 29 – 30, 2020

Jainuri, Achmad. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya: LPAM, 2004.


Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Surabaya: Anika Bahagia, 2010.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1994.
Partanto, Pius A., M. Dahlan Al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994.
Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual. Bandung: Penerbit Pustaka, 1985.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Syukur, Fatah, NC. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010.

183 | PROSIDING
1st
International Conference on Morality (InCoMora) 2020;
Dignity and Rahmatan Li al-Alamin

Anda mungkin juga menyukai