Anda di halaman 1dari 4

KASUS PEMBERIAN GANTI KERUGIAN DENGAN ANALISIS VIKTIMOLOGI

“Kasus KDRT yang Dilakukan oleh Rizky Billar kepada Lesti Kejora”
A. Kronologi Kasus
Menurut laporan, peristiwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi di Jalan Gaharu III di
Cilandak, Jakarta Selatan, sekitar pukul 13.51 WIB dan 09.47 WIB pada Kamis (29/9).

"Sejak korban dan tersangka (Rizky) adalah suami istri, terdakwa diketahui
berselingkuh di belakang korban," kata Direktur Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra
Zulpan dalam keterangannya kepada TIME.

Usai kejadian KDRT, Lesti meminta untuk dipulangkan ke rumah orang tuanya.
Namun, permintaan itu hanya menyulut emosi Rizky, hingga sang suami melakukan aksi
kekerasan.

Beberapa kekerasan yang dilakukan Rizky adalah mencekik Lesti Kejora dan
memukulnya di ranjang. Tak berhenti sampai di situ, Rizky pun menarik tangan Lesti ke arah
kamar mandi sebelum membantingnya ke lantai. Lesti kemudian melaporkan Rizky yang
bernomor registrasi LP/B/2348/IX/2022/SPKT/POLRES METRO JAKARTA
SELATAN/POLDA METRO JAYA.

Ia melaporkan Rizky dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang


Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Rizki Billar resmi ditahan polisi sebagai tersangka kasus kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) terhadap istrinya, Lesti Kejora. Rizky ditahan penyidik Satreskrim Polres
Metro Jakarta Selatan usai menjalani serangkaian proses pemeriksaan dari kemarin hingga
hari ini, Kamis (13/10).

B. Pembahasan
Pemahaman penulis terhadap alasan terjadinya korban dan peranan korban dalam
memicu terjadinya kejahatan
Rumah tangga yang awalnya merupakan otoritas tertutup seolah saat ini terbuka
dengan masuknya otoritas publik, sering kesadaran masyarakat bahwa didalam rumah
tanggapun banyak menyimpan perkara hukum yang belum terungkap. Kerapkali
lembaga perlindungan saksi dan korban yang hanya melindungi perkara pidana yang
sudah “viral” atau yang terjadi dengan para pihak adalah tokoh public. Seperti yang
terjadi pada kasus KDRT yang dilakukan oleh Rizki Billar kepada Lesti Kejora.
Menurut saya, KDRT yang terjadi pada Lesti Kejora disebabkan karena Lesti
Kejora telah mengetahui perselingkuhan suaminya yaitu Rizki Billar dengan
perempuan lain. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh Lesti Kejora adalah
kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga.
Lesti Kejora mengambil sikap diam atas kekerasan yang dialaminya. Hal ini
dikarenakan mereka tidak mau terjadi peristiwa yang lebih parah lagi dan tidak
menghendaki permasalahan semakin berlarut-larut. Selain bersikap diam, Lesti Kejora
bersikap melawan terhadap suami atas kekerasan yang menimpanya. Perlawanan
tersebut sebagai upaya perlindungan atas serangan suami yang mengakibatkan luka
fisik maupun nonfisik.
Bentuk penderitaan korban
Adapun bentuk-bentuk penderitaan yang dialami oleh Lesti Kejora yaitu Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang merupakan perbuatan terhadap pasangan yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
atau penelantaran rumah tangga. Adapun bentuk KDRT yang dialami oleh Lesti Kejora
yaitu pertama, kekerasan fisik seperti ditampar, dijambak, ditempeleng, diinjak-injak.
Kedua, kekerasan psikis seperti caci maki, ancaman. Ketiga, kekerasan seksual.
Keempat, penelantaran rumah tangga.
Potensi korban mendapatkan ganti rugi/ restitusi dengan mendasar pada peraturan
perundan-undangan yang mengatur pemberian ganri rugi bagi korban tindak pidana
Pemidanaan KDRT cenderung relatif ringan, karena hanya melihat kondisi fisik
korban, tanpa melihat rasa sakit (psikologis) korban, dan berapa lama korban
menderita. Dalam putusannya, hakim biasanya tidak memerintahkan korban untuk
diberikan hak berupa ganti rugi atau ganti rugi materiil atas kekerasan yang dialaminya.
Viktimologi dalam kompensasi/restitusi berpendapat bahwa salah satu tujuan
pengaturan kompensasi adalah untuk memajukan keadilan dan kesejahteraan korban
kejahatan.
Pelaksanaan peraturan ganti kerugian yang baik itu memberikan kemungkinan
kepada pihak korban untuk secara leluasa ikut serta menyatakan pendapatnya, demikian
sesuai Pasal 98 ayat (1): Jika suatu perbuatan yang didakwakan dalam pemeriksaaan
perkara pidana menimbulkan kerugian orang lain, maka hakim ketua atas permintaan
orang itu dapat menetapkan penggabungan perkara gugatan ganti rugi kepada perkara
pidana itu, namun hal ini menjadi relatif terbatasi oleh ketentuan selanjutnya pada Pasal
98 (2) yang hanya dapat diajukan paling lambat sebelum penuntut umum mengajukan
tuntutan pidana (dalam hal penuntut umum tidak hadir), maka jika penuntut umum
hadir, berakhir pula kesempatan mengajukan tuntutan ganti kerugian.
Korban kejahatan mengalam viktimisasi sekunder yang disebabkan oleh reaksi
formal terhadap kejahatan oleh otoritas sistem peradilan pidana. Perumusan yang lebih
konkret tentang perlindungan korban berpedoman dari Pasal 66 KUHP huruf d, yaitu:
ganti kerugian ketentuan ini sama dengan restitusi dalam perundang-undangan aturan
lain yang mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban. Lebih lanjut pasal 94 ayat
(1) menyatakan, putusan pengadilan dapat mewajibkan terpidana agar melaksanakan
pembayaran ganti kerugian pada korban/ ahli waris sebagai pidana tambahan seperti
yang diatur Pasal 66. Kemudian Pasal 94 (2) mengatur pembayaran ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, maka berlaku ketentuan
pelaksanaan pidana denda sebagaimana dalam Pasal 81 s/d Pasal 83 secara mutatis
mutandis.
Menurut pendapat saya, dalam kasus KDRT seharusnya pemberian ganti kerugian
tidak harus dibatasi waktu (terintegrasi/otomatis), sistem yang disederhanakan misalnya
cukup sepanjang belum diputus dapat dimohonkan secara lisan maupun tertulis dimuka
sidang, hal ini mendasarkan pada fakta yang banyak terjadi bahwa korban KDRT
umunya menderita fisik, kemudian juga masih terbatasnya pendidikan maupun
informasi yang didapat kaum perempuan dalam pengaturan/hak memperoleh ganti
kerugian. Biasanya dalam memperoleh ganti kerugian sulit dilakukan karena
sehubungan dengan relasi personal sebagai suami isteri yang memiliki harta bersama
(pencampuran harta). Seorang Hakim mengatakan ganti kerugian hanya bisa diberikan
dalam tindak pidana umum sedangkan dalam KDRT membutuhkan proses
penghitungan dan pembuktian yang lebih rumit.

C. Kesimpulan
Berdasarkan pada analisis kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa KDRT yang terjadi
pada Lesti Kejora disebabkan karena Lesti Kejora telah mengetahui perselingkuhan suaminya
yaitu Rizki Billar dengan perempuan lain. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh Lesti
Kejora adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah
tangga. Adapun potensi korban dalam mendapatkan ganti rugi/ restitusi dengan mendasar
pada peraturan perundan-undangan yang mengatur pemberian ganri rugi bagi korban tindak
pidana yaitu terdapat pada Pasal 66 KUHP huruf d, yaitu: ganti kerugian ketentuan ini sama
dengan restitusi dalam perundang-undangan aturan lain yang mengatur mengenai
perlindungan saksi dan korban. Lebih lanjut pasal 94 ayat (1) menyatakan, putusan
pengadilan dapat mewajibkan terpidana agar melaksanakan pembayaran ganti kerugian pada
korban/ ahli waris sebagai pidana tambahan seperti yang diatur Pasal 66. Kemudian Pasal 94
(2) mengatur pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan,
maka berlaku ketentuan pelaksanaan pidana denda sebagaimana dalam Pasal 81 s/d Pasal 83
secara mutatis mutandis.

Anda mungkin juga menyukai