Anda di halaman 1dari 18

REVIEW BUKU

BERISLAM SECARA MODERAT


AJARAN & POLITIK MODERASI DALAM BERAGAMA
Karya: KhoirulAnwar,M.Ag.

TUGAS MATA KULIAH


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DOSEN: Drs. DARYONO,M.S.I.

OLEH:
NAMA : Rio Antowijaya
NIT : 21.57.1068
PRODI/ KELAS : Nautika/C

POLITEKNIK BUMI AKPELNI


SEMARANG
2022
BAB I

Saya menyetujui konsep moderasi beragama dalam islam karena menurut saya moderasi
beragama itu sangat penting. Istilah ini terdiri dari keprihatinan para pemeluk agama atau berbagai
aksi kekerasan yang mengatas namakan atau menggunakan dasar ajaran agama. Dari fenomena
kekerasan atas nama agama, orang-orang yang memiliki pemahaman inklusif, rendah hati, dan
komprehensif atas agamanya memandang bahwa beragama dengan melegalkan kekerasan
bagiandari cara beragama. Dari sinilah kemudian muncul istilah “Moderasi dalam beragama” yang
berarti keharusan bijaksana dalam berfikir, bersikap, dan bertindak dalam menjalankan ajaran
Islam.
Saya tidak menyetujui konsep ini karena moderasi ini menekankan pada sikap, maka bentuk
moderasi ini pun bisa berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya, karena pihak-pihak yang
berhadapan dan persoalan-persoalan yang dihadapi tidak sama antara disatu negara dengan lainnya.
Menurut Khoirul Anwar moderasi beragama merupakan istilah yang lahir dari keprihatinan
para pemeluk agama atas berbagai aksi kekerasan yang mengatas namakan atau menggunakan dasar
ajaran agama. Pengeboman atau pembunuhan terhadap pemeluk agama yang berbeda, menjarah,
atau mendiskriminasi seseorang karena memiliki paham keagamaan tertentu merupakan bagian dari
aksi kekerasan yang menggunakan dalih ajaran agama. Salah satu faktor perilaku kekerasan atas
nama agama antara lain memiliki tafsir atau paham keagamaan yang tidak utuh, eksklusif, dan
merasa paling benar. Segala hal yang berbeda dengannya dianggap sebagai penyelewengan,
kesesatan, bahkan menjadi musuh atas keyakinannya.
Dari fenomena kekerasan atas nama agama, orang-orang yang memiliki pemahaman inklusif,
rendah hati, dan komprehensif atas agamanya memandang bahwa beragama dengan melegalkan
kekerasan bagian dari cara beragama yang salah dan keluar dari ajaran agama itu
sendiri(ghuluwwfial-din). Dari sinilah kemudian muncul istilah perlunya “moderasi dalam
beragama” yang berarti keharusan bijaksana dalam berfikir, bersikap, dan bertindak dalam
menjalankan ajaran agama.
Istilah moderasi beragama dengan arti kritik atas keberislaman yang ekstrem baru muncul
belakangan, namun sebagaimana akan terlihat dalam tulisan dibawah ini, dalam praktiknya
moderasi beragama sudah dilakukan dan diserukan sejak masa Nabi Muhammad SAW dan
sahabatnya. Bab ini akan menjelaskan tentang pengertian moderasi beragama menurut bahasa dan
istilah, landasan normative dari Al-Quran dan Hadis, prinsip-prinsipnya, serta praktik moderasi
beragama yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya.
Pengertian Moderasi Beragama
Istilah moderasi beragama tersusun dari dua kata, yaitu moderasi dan beragama. Istilah ini
menunjukkan makna cara berpikir, sikap, dan praktik menjalankan ajaran agama yang tidak
mengandung kekerasan serta menghindari sikap kasar dan berlebihan. Pengertian ini berdasarkan
pada tiga hal. Pertama, penggunaan kata moderasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
yang diartikan dengan pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Kedua, penggunaan
kata moderasi yang dalam Bahasa Arab diistilahkan dengan wasat dan derivasinya yang tersusun
dari tiga huruf, yaitu wawu, sin dan ta’ di dalam al-Quran dan hadis. Ketiga, prinsip ajaran Islam
yang dalam tulisan ini akan dikaji dalam pembahasan prinsip moderasi beragama.
Kata moderat yang menjadi asal kata dari moderasi dalam KBBI diartikan dengan selalu
menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem dan berkecenderungan ke arah dimensi
atau jalan tengah. Penggunaan kata ini dicontohkan dengan seseorang yang mempertimbangkan
pandangan pihak lain. Dengan demikian, kata moderat bukan semata-mata berarti tengah dalam
pengertian bebas nilai, melainkan mensyaratkan adanya kebaikan di dalamnya.
Dalam bahasa Arab, kata wasat memiliki beberapa makna. Jika dijadikan sebagai nama (al-
ism) maka artinya “sesuatu yang berada di antara dua pinggir atau tengah” (mabainatarafaihi).
Sedangkan jika dijadikan sebagai kata sifat maka maknanya “yang paling utama dan baik”
(afdalwakhiyar), juga memiliki arti “adil” (al-adl). Jadi, kata wasat dalam Bahasa Arab bisa berarti
“tengah”, “utama”, “baik” dan “adil”. Dalam percakapan sehari-hari seperti dalam pertandingan
olahraga atau ada dua pihak yang sedang bertikai sering muncul istilah sebagai “penengah” atau
wasit dalam bahasa Arab, kata ini menunjukkan arti tidak sekadar orang yang menengahi di antara
dua pihak yang bertanding atau bertengkar, melainkan penengah harus berbuat baik dan adil.
Dalam al-Quran dan hadis kata wasat juga digunakan untuk bahasanya (lughatan), yaitu
tengah, utama, adil, dan baik. Dalam QS. Al-Baqarah 143 disebutkan :
“Dan demikian kami telah menjadikan kalian (umat Islam), sebagai umat yang baik dan adil
(Wasat) agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW)
menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.”
Al-Tabari (w.923M) dalam karya tafsirnya, Jami’ al-Bayanfi Ta’wilal-Quran, menafsirkan
kata wasat andalah mayat diatas dengan makna baik (al-khiyar) dan adil (al-‘adl), yakni umat Islam
dijadikan oleh Allah sebagai umat yang baik dan adil. Kedua makna ini, baik dan adil, pada
dasarnya tidak berbeda karena adil bagian dari kebaikan. Menurut Ibn Kasir alasan umat Islam
disebut sebagai umat yang baik (khiyaral-umam) karena semua umat manusia mengakui kebaikan
dan keutamaan umat Islam. Ibn Kasir menafsirkan kata wasatan dengan yang terbaik (al-
khiyarwaal-ajwad) dan adil. Makna adil berdasarkan pada hadis yang diceritakan Abu Sa'id al-
Khudriy yang berisi Nabi Muhammad SAW mengartikan kata wasat dengan makna adil.
Menyikapi perbedaan para mufasir yang sebagian memberikan makna wasat dengan arti baik
(al-khiyar) dan sebagian lain menafsirkannya dengan adil (al-adl), Abu Ishaq al-Zajaj menyatakan :
Dua kata itu, baik (al-khiyar) dan adil (al-adl) berbeda dalam kata saja, tapi maknanya sama, karena
adil itu baik dan baik itu adil.
Kata wasat dengan arti tengah, baik, utama, dan adil juga digunakan Nabi Muhammad SAW.
Diinformasikan oleh Jabirbin Abdullah, suatu ketika Rasulullah SAW duduk Bersama sahabat-
sahabatnya, lalu Rasul SAW membuat lima garis, dua garis, berada disebelah kanan, satu garis
ditengah (al-khat,al-ausat), dua garis lagi berada disebelah kiri. Sembari menunjuk kedua garis
sebelah kanan dan kiri, Rasululah bersabda bahwa garis-garis tersebut menjadi jalan setan (hazihi
sabil al-syaitan). Sedangkan untuk garis yang berada di tengah (al-ausat) Rasulullah mengatakan ini
jalan Allah (haza sabilullah), lalu Rasul membaca QS. Al-An'am :
“Sesungguhnya (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yanglain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu
dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertaqwa”.
Moderasi beragama didalam Islam atau al-wasatiyahfi al-Islam meniscaya akan pemahaman
dan pengalaman agama yang berpegang teguh pada prinsip yang mengandung kebaikan bagi umat
manusia secara keseluruhan.
Lawan kata dari moderasi beragama adalah ekstrem atau dalam Bahasa Arab disebut dengan
ghuluww (melampaui batas), tasyaddud (keras), atau tatarruf (ekstrem). Ekstrem dalam beragama
digunakan untuk menunjukkan makna cara beragama yang melampaui ketentuan syariat atau
bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Larangan bersikap ekstrem dalam beragama juga
disampaikan Nabi Muhammad SAW dalam berbagai hadisnya, antara lain hadis yang diriwayatkan
Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi SAW bersabda :
“Wahai umat manusia sekalian, waspadalah berlebihan dalam beragama. Sesungguhnya ekstrem
atau keterlaluan dalam beragama telah membinasakan

Prinsip Moderasi Beragama


Moderasi dalam beragama yang meniscayakan mengandung kebaikan bagi umat manusia di
dalamnya terdapat prinsip yang menjadi standar dan pembala dari cara-cara beragama lainnya yang
melampaui batas atau ekstrem (ghuluww fi al-din).
Pertama; Kemanusiaan
Kemanusiaan, humanitarianisme, atau dalam bahasa Arab disebut al-insaniyyah memiliki arti cukup
luas, yakni rasa cinta kasih dan memperlakukan dengan baik kepada sesame manusia apapun
agama, budaya, ras, suku, warna kulit, asal kebangsaan maupun jenis kelaminnya.

Kedua; Persaudaraan
Dengan adanya kesadaran persaudaraan sesame manusia, maka moderasi beragama dapat
terlaksana.

Ketiga; Keadilan
Adil yang dimaksud disini yaitu memperlakukan manusia apapun agama, suku, ras, dan jenis
kelaminnya secara setara (al-musawah), dalam QS. Al-Ma'idah 8 Allah berfirman :
“Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan”.

Moderasi Beragama Nabi Muhammad SAW dan Sahabatnya


Moderasi beragama seperti yang diuraikan dalam pengertiannya diatas pada intinya adalah
menjalankan agama dengan baik (al-akhiyar). Menjalankan agama dengan baik selalu berpegang
pada prinsip kemanusiaan, persaudaraan,dan keadilan. Hal ini selain dijelaskan didalam al-Quran
dan hadis, juga dipraktikkan Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya yang di kemudian hari praktik
berislam ini menjadi teladan atau sumber beragama bagi generasi umat Islam setelahnya.
umat sebelum kalian”.
BAB III

Saya menyetujui moderasi dalam Hubungan Agama dan Budaya karena berisi tentang
kebudayaan dalam percakapan keseharian yang sering diartikan dengan “Sesuatu Yang Indah”,
seperti candi, tarian, seni rupa, seni suara, kesasteraan, dan filsafat.
Saya tidak menyetujui konsep ini karena diselesaikan melalui kajian hubungan antara agama
dan budaya. Jika agama dan budaya dua hal yang terpisah, maka akan saling terkait dan berkelindan
atau justru saling bertentangan.
Menurut Khoirul Anwar salah satu yang memicu lahirnya istilah Islam murni atau pemurnian
tauhid yaitu adanya dugaan terhadap praktik berislam yang tidak sesuai dengan praktik beragama
Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya. Sedangkan praktik berislam Nabi SAW dan sahabatnya
dianggap bersih dari kebudayaan di mana agama Islam itu dipraktikkan.

Pengertian Budaya
Istilah budaya atau kebudayaan dalam percakapan keseharian sering diartikan dengan sesuatu
yang indah, seperti candi, tarian, seni rupa, seni suara, kesasteraan dan filsafat. Pengertian seperti
ini memberikan pemahaman bahwa kebudayaan pada intinya adalah kreasi yang memiliki
keindahan dari manusia. Dalam kajian antropologi, ilmu yang mengkaji tentang kebudayaan,
budaya didefinisikan dengan seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.
Dalam Bahasa Arab, kebudayaan disebut dengan saqafah, istilah yang secara bahasa (lughah)
salah satunya bermakna cepat dalam belajar (sur’ahal-ta’allum). Sedangkan dalam penggunaan
istilahnya memiliki pengertian sebagaimana kebudayaan dalam kajian antropologi. Dalam
pengertian yang agak panjang, saqafah disefinisakan dengan kemajuan dalam berfikir (al-ruqiyfi al-
afkar al-nazariyyah) yang meliputi undang-undang politik, sejarah, akhlak, jalan hidup, dan yang
lainnya.
Islam sebagai agama yang membudaya, dalam arti bertalian erat dengan praktik-praktik yang
dilakukan masyarakat Arab pra Islam, bukan berarti Islam bagian dari kebudayaan Arab atau
membawa ajaran yang sama dengan aktivitas masyarakat Arab praIslam. Islam datang
memodifikasi praktik yang sebagian sudah dikenali di dalam masyarakat dengan cara menegaskan,
mengganti, atau menciptakan kebudayaan baru yang berdasarkan padanilai kebutuhan, kenabian,
dan kemanusiaan.

Pertama; Ketuhanan
Sejumlah ritual didalam masyarakat Arab praIslam banyak yang mengandung kesyirikan.
Misalnya menyembah berhala dengan keyakinan bahwa berhala itu sebagai tuhan sekutu Allah.

Kedua; Kenabian
Dalam masyarakat Arab praIslam, ada banyak orang mengaku sebagai Nabi. Masing- masing
diantara mereka lebih menggunakan dan mengutamakan kabilahnya dan membawa misi yang
tertuju pada wilayah tertentu atau lokal.

Ketiga; Kemanusiaan
Dalam masyarakat praIslam atau disebut dengan jahiliyah, terdapat banyak praktik kebudayaan
yang di dalamnya mengandung kekerasan, bahkan merendahkan kemanusiaan.

Berdasarkan uraian diatas mengantarkan pada kesimpulan, meski agama dan budaya sulit
dipisahkan, tapi jika dipertegas perbedaannya, maka terletak pada sifat kebenaran yang
dikandungnya, yakni agama memiliki kebenaran mutlak dan absolut, sedangkan budaya
kebenarannya parsial dan temporal. Islam dating menggunakan kebudayaan disatu sisi,dan
meresponnya di sisi lain. Dari proses demikian, lahirlah kebudayaan baru yang disebutnya dengan
budaya Islam, yaitu kebudayaan yang didalamnya terdapat nilai ketahui dan, kenabian, dan
kemanusiaan.

Budaya dalam Pandangan Islam


Mengingat pentingnya kebudayaan bagi keberlangsungan agama, meski tidak semua
kebudayaan dapat diterima, Islam sangat menghargai keberagaman budaya atau tradisi yang
dimiliki masyarakat. Kendati Islam sebagai agama bertalian erat dengan kebudayaan dan menerima
berbagai tradisi atau kebiasaan yang dilakukan masyarakat, namun seperti disinggung di atas, tidak
semua kebudayaan dan tradisi diterima Islam. Uraian diatas juga mengantarkan pada kesimpulan
bahwa hubungan agama dan budaya dalam Islam ada tiga macam.

Pertama;
Berlawanan Yakni Islam menolak kebudayaan atau tradisi yang berkembang di dalam masyarakat,
seperti kebiasaan menyembah berhala karena bertentangan dengan tauhid.

Kedua;
Menerima dengan memodifikasi, mengadopsi, dan mengadaptasi. Contohnya, arsitektur rumah
ibadah selain Islam, seperti candi dan pura yang secara bentuk bangunan diterima tapi
pemanfaatannya digunakan untuk salat atau dijadikan masjid.
Ketiga;
Menciptakan kebudayaan baru, seperti orang-orang pulang atau istirahat dari tempat bekerjanya
ketika waktu salat tiba, buka puasa atau sahur Bersama pada bulan Ramadhan, membersihkan
masjid, rumah, dan lain-lain ketika hendak memasuki bulan Ramadhan, halal bihalal atau
silaturahmi pada hari raya Idul Fitri, dan yang lainnya.

Jalan Tengah Agama dan Budaya


Melalui penjelasan di atas, sikap moderat dalam memandang hubungan agama dan budaya
menjadi mudah dipahami. Islam bukan bagian dari kebudayaan, tapi Islam juga tidak anti budaya.
Absolut dan universal Islam maksudnya ada didalam kebenaran ajaran dan kebudayaan yang
digunakan di dalam formulasi atau pembentukan Islam awal yang berasal dari wahyu. Kebudayaan
Arab yang dijadikan media dalam perwujudan wahyu menjadi bagian tak terpisahkan dari agama,
yakni orang Islam dimana saja harus menggunakan kitab suci al-Quran yang berbahasa Arab.
Demikian juga dengan ajaran yang dibawa al-Quran dan sunah, seperti gerakan dan waktu salat, tata
cara puasa Ramadan, haji, dan yang lainnya. Di manapun umat Islam berada, ia wajib menjalankan
perintah-perintah dalam ajaran Islam dengan ketentuan sebagaimana yang telah diformulasikan
Nabi Muhammad SAW yang kemudian diperjelas para sahabat, pengikutnya, dan para ulama
generasi setelahnya.
Adapun hal-hal lain yang bukan menjadi prinsip di dalam ibadah, seperti berkaitan dengan
bagaimana memberi tahu kepada banyak orang bahwa waktu salat atau puasa telah tiba,model dan
pakaian warna apa yang digunakan ketika salat, kendaraan yang seperti apa yang akan digunakan
untuk menuju ke Makkah dan Mdinah dalam pelaksanaan ibadah haji, dan lain-lain disesuaikan
dengan kebudayaan yang dimiliki masing-masing masyarakat Islam.
Contoh lain wujud moderasi dalam hubungan agama dan budaya dalam rumah ibadah,
misalnya membuat masjid atau musala dengan arsitektur apasaja yang terpenting tempatnya suci.
Dalam bidang pemerintahan atau tata negara, Islam mempersilakan dikelola dengan sistem apa saja
berdasarkan kebudayaan masyarakatnya, yang terpentingdan ini yang menjadi ajaran Islam, dapat
mewujudkan kehidupan yang sejahtera dan menjunjung tinggi kemanusiaan (masalih li al-‘ibad).
Dalam bidang ekonomi, sosial, teknologi dan yang lainnya, Islam juga mengakui
keberagaman kebudayaan umatnya, sehingga dibebaskan untuk menggunakan sistem apa saja yang
terpenting di dalamnya mengandung kemaslahatan bagi manusia atau tidak melanggar
kemanusiaan, tidak mencerai-beraikan persaudaraan, dan tidak menghilangkan keadilan.

Kesimpulan
Penjelasan diatas mengantarkan pada kesimpulan ini, moderasi Islam dalam memperlakukan
kebudayaanya itu dengan cara mengapresiasinya. Kebudayaan local diterima sepanjang tidak
bertentangan dengan konsep ketuhanan, kenabian, dan kemanusiaan. Islam tidak antipasti terhadap
budaya, karena agama yang pertama kali diterima masyarakat Arab ini sedari awal sudah
berdialektika dengan kebudayaan setempat. Dengan demikian, istilah Islam Murni atau pemurnian
tauhid dengan diartikan sebagai Islam yang terbebas dari berbagai kebudayaan local menjadi
bermasala.
Kendati Islam sebagai agama memiliki sifat universal, sedangkan budaya bersifat lokal dan
partikular, tapi keduanya bisa Bersatu (imtizaj). Universal Islam terdapat pada ajaran-ajarannya
yang dapat dipraktikkan semua umat manusia dengan beragam budaya serta nilai yang
dikandungnya yang selalu kontekstual dan relevan di sepanjang zaman, yakni menjunjung tinggi
kemanusiaan, persaudaraan, dan keadilan
BAB V

Saya menyetujui Moderasi dalam syariat karena berisi tentang pengertian Syariat dan Fikih.
Yang mana para Ulama menyebutkan hukum Allah diberi nama syariat karena menyerupai sumber
air, yaitu dapat menghidupkan jiwa dan akal sebagaimana sumber air dapat menghidupkan tubuh.
Saya tidak setuju dengan konsep ini karena dibatasi pada uraian tentang syariat yang meliputi
pengertian, isu penerapan syariat, dan Negara Islam. Gagasan penerapan syariat yang diusung
beberapa kelompok Islam dalam tatanan praktisnya tidak mendapatkan simpati dari masyarakat
luas, bahkan banyak dari Umat Islam sendiri yang sangat keberatan. Hal ini semata-mata bukan
karena istilah yang menggunakan bahasa agama, bahkan justru melahirkan kekerasan dan
diskriminasi atas nama agama.
Menurut Khoirul Anwar, Muhammad‘ Abidal-Jabiri, pemikir asal Maroko, dalam salah satu
karyanya, Al-Din waal-Daulah waTatbiq al-Syari’ah, mengatakan ada pergeseran isu politik yang
bernaung di bawah agama yang dilakukan kelompok-kelompok ekstrem di dalam Islam. Pada masa
Islam awal khususnya setelah masa al-khulafa’al-rasyidun, kelompok ekstrem membawa isunya
kepersoalan akidah, yakni tentang hubungan Dzat Allah dengan sifat-sifat-Nya, determinisme (al-
jabr), indeterminisme (al-ikhtiyar), keadilan Tuhan, dan yang lainnya. Sedangkan kelompok
ekstrem kontemporer membawa isunya ke penerapan syariat Islam (tatbiq al-syari’ah).
Gerakan-gerakan Islam saat ini banyak menyerukan keharusan menerapkan hokum syariat
dalam ekonomi, sosial, maupun politik. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor dan sejarah yang
sangat panjang, yakni berkaitan dengan penjajahan yang berdampak pada perasaan kalah,
terbelakang, terzalimi, dan lain-lain.

Tulisan dalam bab ini akan membatasi pada uraian tentang syariat, dan negara Islam.

Pengertian Syariat dan Fikih


Secara bahasa, syariat artinya sumber air (al-mawadil’ al-lati yunhadaru ila al-ma’i minha).
Sedangkan secara istilah yaitu agama yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya
(masyara’aAllahli‘ibadihiminal-din). Para ulama menyebutkan, hukum Allah diberi nama syariat
karena menyerupai sumber air, yaitu dapat menghidupkan jiwa dan akal sebagaimana sumber air
dapat menghidupkan tubuh.
Abdul Karim Zaidan dalam bukunya, al-Madkhallidirasahal-syari’ahal-islamiyah,
menjelaskan bahwa istilah al-syariah, al-din, dan al-millah memiliki makna sama,yaitu hukum yang
diberikan Allah kepada hamba-Nya. Syariat disebut din karena didalamnya mengandung perintah
ketundukan dan kepatuhan kepada Allah.
Menurut Zaidan, makna dasar Islam yaitu pasrah dan patuh kepada Allah. Dalam perjalanan
sejarahnya, istilah ini kelmudian digunakan untuk menyebut pesan atau agama yang diturunkan
kepada utusan Allah, yakni al-Quran dan sunah. Dengan demikian, syariat Islam artinya hukum
Allah yang diberikan kepada hamba-Nya melalui al-Quran dan sunah Nabi Muhammad SAW.
Sebagai produk pemikiran, fikih terbuka untuk dikritik dan dibenarkan. Pemikir lain boleh
mengkritik atau membenarkannya. Dalam membahas perbedaan syariat dan fikih, Abdullah Saeed
memberikan tiga catatan.
Pertama, istilah fikih yang awalnya sebagai aktivitas mental, yakni pemahaman, berubah
menjadi pemahaman yang lebih konkrit, yaitu pemahaman atau pengetahuan yang didapatkan
melalui pengujian terhadap perintah dan larangan Allah yang terdapat di dalam al-Quran.
Kedua, syariat berbeda dengan fikih. Syariat adalah keseluruhan perintah dan larangan yang
terdapat didalam al-Quran, sedangkan fikih digunakan untuk menunjukkan aturan khusus yang
dihasilkan melalui pemahaman dan interpretasi terhadap materi syariat atau sumber-sumber lain,
yakni sunah, ijmak, kias, istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, dan yang lainnya.
Ketiga, istilah syariat dalam perkembangannya sering dipertukarkan dengan fikih. Syariat
bukan lagi bermakna perintah dan larangan yang terdapat didalam al-Quran dan sunah, melainkan
hasil pemaknaan terhadapnya yang dijelaskan didalam fikih untuk diterapkan dalam kehidupan
sehari- hari.

Isu Penerapan Syariat


Maksud dari istilah syariat yang digunakan sebagian umat Islam dalam gerakan politik yang
mengusung penerapan syariat (tatbiq al-syariah) dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik atau
bernegara, tidak lepas dari uraian pengertian syariat diatas, yakni syariat dalam arti fikih atau
pemahaman atas hukum Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Gerakan politik untuk memperjuangkan hal diatas pada dasarnya sah-sah saja, namun ada
beberapa persoalan yang harus diperhatikan. Pertama, banyak negara, termasuk negara-negara
dengan penduduk mayoritas muslim telah meratifikasi konvensi-konvensi internasional tentang
HAM seperti Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(Conνentionto Eliminate All Formof Discriminationagaints Women/CEDAW), Konvenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Syariat dalam arti fikih atau pemahaman terhadap
hukum-hukum Allah yang terdapat didalam al-Quran dan sunah sudah pasti berbeda-beda, dan ini
menjadi watak dalam hukum Islam. Para pakar teori hukum Islam merumuskan maqasid al-syariah
berbeda-beda,ada yang membaginya menjadi empat, lima, enam, dan seterusnya. Tapi pada
prinsipnya semuanya sepakat bahwa tujun syariat atau maqasid al-syariah yaitu untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia. Bentuk tujuan-tujuan itu sebagai berikut.
Pertama;
Untuk menjaga agama (hifz al-din). Syariat Islam diturunkan untuk memelihara agama dengan
maksud menjaga hal yang paling mendasar,yaitu iman kepada Allah.

Kedua;
Menjaga jiwa (hifzal-nafs), yaitu memelihara hak hidup manusia secara umum, apapun agama, dan
suknya. Menjaga hak hidup meliputi larangan membunuh, menyakiti, atau melakukan tindakan
yang membahayakan diri sendiri atau orang lain, perintah untuk berobat, menjaga kesehatan,
menolong seseorang yang terancam bahaya,dan yang lain-lain.

Ketiga;
Menjaga pikiran (hifz al-‘aql),yaitu memelihara akal pikiran dari hal-hal yang merusak atau
mengganggunya, seperti minum arak, mengkonsumsi narkoba, melarang berpikir, dan hal-hal lainya
yang dapat menjadika nakal pikiran rusak atau tidak berfungsi (al-ma’naal-salbi), juga menjaga akal
dalam arti mendayagunakannya (al-ma’naal-ijabi) seperti keharusan belajar atau mencari ilmu,
berpikirrasional, menerima berbagai kebenaran ilmiah, melakukan penelitian, dan hal-hal lainnya
yang menjadi perwujudan dari penggunaan dan pemanfaatan akal pikiran dalam berbagai
bentuknya.

Keempat;
Menjaga keturunan (hifzal-nasl), yaitu menjaga hak reproduksi, keselamatan dan kesehatan janin,
menjaga nasab anak ke ayahnya, keharusan menciptakan lingkungan sehat bagi anak supaya dapat
berkembang dengan baik (al-tufulah), menjaga keharmonisan keluarga (al-usrah), dan lain-lain.

Kelima;
Menjaga kehormatan (hifzal-‘ird), artinya menjaga reputasi seseorang dari berbagai tuduhan
negative atau pencemaran nama baik, dan menjaga kehormatannya sebagai manusia atau yang
sekarang dikenal dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

Keenam;
Menjaga harta (hifz al-mal), artinya melindungi harta benda dalam pengertiannya yang luas, seperti
larangan mencuri, menipu, menimbun barang yang sedang dibutuhkan masyarakat, merampas, dan
segala tindakan lainnya yang dapat merugikan hak milik seseorang juga manjaga harta dalam
pengertian perintah untuk memelihara dan mengembangkannya, seperti menjaga hak cipta (hifz al-
huquq wa al-milkiyyat), menjaga perekonomian dari krisis daninflasi, mengurangi angka
pengangguran, dan yang lainnya.
Kesimpulan
Syariat Islam yang menjadi isu perjuangan kelompok ekstrem menemukan ketidakjelasannya ketika
dihadapkan pada kondisi nyata di lapangan. Pasalnya, syariat dalam arti semua hokum yang ada
didalam al-Quran dan sunnah berupa teks yang jumlahnya terbatas, sementara realitas tidak
terbatas. Di sisi lain, hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Quran jika dipahami tanpa
menggunakan berbagai ilmu bantu, maka akan sulit dimengerti, bahkan jika dipaksakan maka akan
menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang melesat jauh dari tradisi keislaman itu sendiri.
BAB VII

Saya menyetujui Toleransi dalam beragama karena berisi tentang pengertian dan batasan
toleransi dalam Islam. Toleransi dalam beragama dengan pengertian diatas meniscayakan
penghargaan terhadap berbagaip raktik keagamaan dalam satu agama dan penghormatan terhadap
banyak agama dalam satu masyarakat, serta pluralitas agama dalam masyarakat.
Saya tidak menyetujui konsep ini karena sebagian memahami toleransi sebagai pergumulan
keyakinan dan agama-agama tanpa batas, yakni menganggap semua sama. Pemahaman demikian
muncul tuduhan bahwa toleransi tidak lebih dari istilah mencampuradukkan keyakinan, paham, atau
ritual agama-agama, dengan umat agama lain. Dampak bekerjasama dan memberikan haknya, tapi
dengan orang-orang seagama yang berbeda mazhab melakukan penindasan dan jauh dari
kerukunan.
Menurut Khoirul Anwar sebagian memaknainya sebagai pembiaran atas keyakinan atau
agama yang berbeda. Pemahaman seperti ini kerap melahirkan sikap beragama tanpa
mempertimbangkan keberadaan pemeluk keyakinan atau agama lain. Orang yang menganut agama
tertentu hanya memikirkan dirinya sendiri, yang terpenting ia bisa menjalankan agamanya dengan
bebas, mendirikan rumah ibadah sebanyak-banyaknya, menyelenggarakan kegiatan-kegiatan
keagamaan dimana saja, menggunakan pengeras suara semaunya, dan lain-lain, tanpa
memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi atau hak yang dimiliki pemeluk agama lain.
Sebagian memahami toleransi sebagai pergumulan keyakinan dan agama-agama tanpa batas, yakni
menganggap semua agama sama. Pemahaman demikian memunculkan tuduhan bahwa toleransi
tidak lebih dari istilah mencampuradukkan keyakinan, paham, atau ritual agama-agama. Di sisi lain,
ada juga yang memahami toleransi dalam beragama sebagai kerukunan antar umat beragama, tapi
tidak dengan inter umat beragama. Dengan umat agama lain dapat bekerjasama dan memberikan
haknya, tapi dengan orang-orang seagama yang berbeda mazhab melakukan penindasan dan jauh
dari kerukunan.

Pengertian dan Batasan Toleransi dalam Islam


Toleransi atau dalam bahasa Arab disebut tasamuh secara bahasa berarti memberi dengan
kemurahan hati (a’ta‘ankaramwasakha). Jika kata tasamuh dikaitkan dengan agama, yakni toleransi
dalam beragama (al-tasamuh fi al-tadayyun) maka berarti :
Tidak melampaui batas atau ekstrem di dalam beragama, dan menempuh jalan kemudahan
dalam beragama, yakni jalan yang terbaik, serta menghormati hak minoritas pemeluk agama dalam
menjalankan keyakinannya tanpa melakukan pembatasan atau penekanan kepadanya.
Dalam Islam, hubungan antar manusia, apapun agama, suku, dan budayanya, hukum asalnya
adalahdamaiataual-salam. Perang dalam Islam dilakukan untuk mengembalikan kondisi sosialyang
sedang terjadi konflik ke dalam keadaan semula, yaitu damai. Islam memerintahkan supaya
pemeluknya menjadijuru damaidalam setiap pertikaian atau perselisihan, baikitu pertikaianantar
individu maupun kelompok. Hal ini seperti ditegaskan dalam QS. Al-Nisa 114 serta beberapa Hadis
Nabi Muhammad SAW.
Dalam hadis lain diriwayatkan, Nabi MuhammadSAW bersabda :paling utama-utamanya
sedekah adalah mendamaikan orang yang bermusuhan (inna afdal al-sadaqah islah zat al-bain).
Suatu ketika penduduk Qubabertikai. Diantara mereka saling melempar batu. Ketika Nabi SAW
mendengar kabar itu, Nabi segera mengajak para sahabat untuk mendamaikannya.
Sedangkan dalam hadis, kata yang terbentuk dari lafaz samh sudah digunakan, namun untuk
menunjukkan makna secara kebahasannya (lughatan), yakni memberikan kemudahan dalam
berinteraksi (al-tarkhis fi al-ta’amul), seperti dalam hadis Nabi Muhammad SAW :
“Allah mengasihi seseorang yang memberikan kemudahan ketika membeli, menjual, dan
menuntut”.

Toleransi Antar Mazhab dalam Islam


Makna toleransi dalam beragama tidak hanya berlaku dalam hubungan antarumat beragama,
tapi berlaku juga dalam menyikapi keberagaman mazhab atau pendapat di dalam saw agama. Islam
sebagai agama hanya satu, tapi pemahaman terhadapnya banyak sekali yang dalam perjalanan
sejarah telah membentuk berbagai mazhab. Misalnya, dalam bidang hukum atau fikih ada mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali, Zaidi, Tsauri, dan lain-lain. Dalam bidang akidah ada mazhab
Mu'tazilah, Asya'ariyah, Maturidiyyah, Salafiyyah, Murji'ah, dan lain-lain.
Di dalam sekte-sekte itu juga ada banyak mazhab atau pandangan keislaman yang berbeda-
beda. Perihal sekte-sekte didalam Islam para ulama kerap mengaitkannya dengan hadis Nabi
Muhammad SAW yang menyatakan bahwa umatnya kelakakan terpecah menjadi 73 kelompok
(firqah), semuanya akan masuk keneraka kecuali satu golongan. Hal ini yang menjelaskan tentang
hal ini redaksinya berbeda-beda, antara lain:
“Umat Yahudi terpecah menjadi 7l golongan, sedangkan umat Nasrani terpecah kedalam 72
kelompok. Umatku kelak akan terpecah menjadi 73 golongan”.
Redaksi hadis lainnya yaitu:
“Sesungguhnya Bani Israil terpecah ke dalam 7l kelompok, sedangkan umatku kelak akan terpecah
menjadi 72 golongan, semuanya masuk ke neraka kecuali satu, yaitu kelompok mayoritas (al-
jama’ah)”.

Toleransi Antar Umat Beragama


Toleransi sebagai ajaran Islam bersumber dari al-Quran dan hadis. Dalam beberapa ayat al-
Quran dijelaskan, umat Islam harus berbuat adil kepada siapapun seperti dalam QS.AI-
Mumtahanah 8, QS.Al-Nahl 90, QS.Al-Ma'idah 8, dan QS.Al-An'am 152. Toleransi bukan
membenarkan keyakinan atau agama yang berbeda, melainkan sehagai bentuk menjalin hubungan
yang baik diantara sesame manusia (mu'amalahhial-matrilf). Dalam QS.Luqman 14-15 dijelaskan,
manusia harus bersyukur kepada Allah dan kedua orang tuanya. Jika kedua orang tua
memerintahkan menyekutukan Allah atau syirik, maka anak tidak boleh mengikutinya, namun
harus tetap berbuat balk kepadanya (wa sahibhuma fi al-dunya ma’rufa).
Melalui QS. Luqman 14-15 di atas setidaknya ada dua hal yang hendak ditegaskan dalam
tulisan ini. Pertama, perintah kedua orangtua wajib diikuti kecuali jika memerintahkan
menyekutukan Tuhan. Hal ini menegaskan bahwa beragama tidak boleh ada unsur paksaan
sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah 256. Kedua, QS. Luqman 14-15 dan beberapa ayat
yang telah disebutkan, menegaskan bahwa perbedaan agama dan keyakinan tidak boleh menjadi
penghalang seorangmuslimuntuk berbuatbaik danberlaku adil kepada siapapun (an tabarruhum wa
tuqsitu ilaihim). Artinya, toleransi atau tasamuh adalah "sikap dan cara pandang seorang muslim
dalam menghadapi keberagaman agama dan keyakinan" berada di dalam kerangka perintah untuk
berbuat baik dan berlaku adil kepada siapapun.

Kesimpulan
Toleransi beragama dalam Islam masuk dalam wilayah hubungan antar manusia atau
muamalah, yakni memberikan hak atas kebebasan menjalankan agama kepada pemeluk agama lain.
Hal ini berdasarkan kerangka berpikir sebagai berikut:

Pertama;
Al-Quran menegaskan bahwa yang memberikan petunjuk (hidayah) dalam arti penerimaannya
bukan menjadi wilayah manusia, tapi bagian dari kekuasaan Tuhan.

Kedua;
Perbedaan yang terjadi di antara umat manusia, termasuk di dalamnya perbedaan agama, bagian
dari fakta yang tidak bisa dihindari dalam sejarah umat manusia.

Ketiga;
Manusia dengan segala perbedaannya memiliki hak yang sama untuk dimuliakan. Berdasarkan cara
pandang diatas, maka toleransi menjadi keharusan didalam memandang dan memperlakukan
keberagaman. Toleransi tidak berkaitan dengan akidah atau kepercayaan dalam arti sebagai bentuk
pembenaran agama yang berbeda, melainkan bagian dari interaksi social yang berarti pembenaran
dan penghargaan kepada seseorang untuk memeluk agama apapun karena itu menjadi haknya.

DAFTAR PUSTAKA

--------, Al-Syafi'i :Hayatuhu wa'Asruhu waAra'uhu waFiqhuhu, Beirut: Daral-Fikral- Arabi, 1978.
--------, Khatam al-Nabiyyin Sallallah 'Alaihi wa Sallam, Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1425H.
--------,Nazariyahal-Harbfial-Islam, Kairo: Dirasat Islamiyyah, 2008.
--------,Usulal-Fiqh,Mesir: Daral-Fikral-'Arabi,t.t.
Abd al-Karim, Khalil. Al-juzur al-Tarikhiyyah li al-Syari'ah al-Islamiyyah, Kairo: Sina li al- Nasyr;
cet. I, 1990.
Abdul Bakhit, Muhammad dan Syalasy, Fahad. Al-Mafhumal-Wasatilial-Da'wahwa
Asaruhu'alaWahdahal-Mujtama'al-Watani: Dirasah Mu'asirah, journal of Tikrit University for
Humanities, vol. VII, Nomor 26, 2019.
Abu Abdillah, Ibn Majah. Sunan Ibn Majah, Kairo: Dar Ihyaal-Kutubal-Arabiyah,t.t.
Abu Yusuf, Ya'qubbin Sufyan. Al-Ma'rifahwaal-tarikh, Beirut: Mu'assasahal-Risalah, cet.II,1981.
Abu Zahrah, Muhammad. Al-Da'Wahilaal-Islam: Tarikhuhafi Ahdal-Nabiywaal- Sahabah wa al-
Mutalahiqah wa Ma Yajibu al-An, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, cet. I, 1992.
Abu Zaid, Nasr Hamid. Mafhumal-Nass: Dirasatfi'ulumal-Qur'an, Mesir: Al-Hai'ahal- Misriyyah al
Ammah li al-Kitab, 1990.
Adnan Amal, Tattfik dan Panggabean, Samsu Rizal. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga
Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, cet. I, 2004.

Anda mungkin juga menyukai