Anda di halaman 1dari 12

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Troponin I
Troponin merupakan biomarker yang sangat sensitif dan spesifik pada nekrosis
miokardium serta telah digunakan untuk mendiagnosis infark miokard akut. Troponin
merupakan protein yang terdapat pada filamen tipis aparatus regulator otot bergaris.
troponin I (TnI) sendiri bekerja menghambat aktivasi ATPase aktomiosin. TnI memiliki
tiga isoform yaitu satu isoform jantung dan dua isofornm otot skelet (Dauhan, 2018).
Pemeriksaan hs-TnI (high sensitivity troponin I) adalah tes diagnostik untuk
mendeteksi kelainan gangguan jantung dengan cedera minimal pada otot jantung.
Tingginya kadar hs-TnI, yang dapat mendeteksi adanya nekrosis otot jantung yang lebih
rendah, yang bersirkulasi telah dikaitkan dengan prevalensi aterosklerosis koroner
obstrukstif dan dengan kejadian efek samping kardiovaskular pada pasien CAD (coronary
artery disease) stabil atau pada populasi umum dan lansia (Iriana et al., 2019).
Smeltzer et al. (2010) menjelaskan bahwa nilai normal troponin I < 0.04 ng/mL.
Sedangkan menurut Morton et al. (2013), nilai cTnI > 0,1 ng/mL menandakan adanya
nekrosis miokard. Kadar troponin pada penderita iskemia miokard meningkat dalam 3-12
jam setelah awal timbulnya nyeri dada, mencapai puncak pada 24-48 jam, dan kembali ke
nilai normal dalam 5-14 hari (Udjianti, 2010). Kadar troponin dapat tidak terdeteksi pada
6 jam pertama setelah nyeri dada. Kadar troponin perlu diukur pertama kali saat penderita
datang ke pelayanan kesehatan dan diulangi 10-12 jam kemudian (Aini, 2019).
Troponin I hanya pertanda terhadap jejas miokardium, tidak ditemukan pada otot
skeletal, sehingga sangat spesifik terhadap kerusakan jaringan miokardium. Troponin I
meningkat pada kondisi-kondisi seperti miokarditis, kontusio jantung, dan pasca
pembedahan jantung serta memiliki spesifisitas yang tinggi (99%). Kekurangan cTnI
adalah lama dalam serum sehingga kurang dapat mendeteksi adanya re-infark. Di
samping itu, peningkatan dalam serum yang lama ini berguna untuk mendeteksi
kerusakan miokardium jika pasien masuk rumah sakit beberapa hari setelah onset
kerusakan miokardium terjadi (Iriana et al., 2019).

4
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5

2. COVID-19
Berawal pada bulan Desember 2019 tepatnya pada tanggal 29 Desember 2019, ditemukan
lima kasus pertama pasien pneumonia di Kota Wuhan Provinsi Hubei, China. Lima orang
tersebut dirawat dirumah sakit dengan acute respiratory distress syndrome dan satu
diantaranya meninggal dunia (Levani et al., 2021).
Perkembangan COVID-19 di Indonesia sejak 20 Maret 2020 hingga 6 Agustus 2021
seperti tergambar dalam grafik berikut.

Gambar 2.1 Perkembangan Kasus COVID-19 mulai masuk Indonesia (20 Maret 2020) hingga
6 Agustus 2021 (Google kata kunci: COVID-19, 2021)

Dari Gambar di atas menunjukkan kasus COVID-19 sejak masuk di Indonesia (20 Mei
2020 sebanyak 58 kasus baru) selalu mengalami peningkatan hingga puncaknya 1 Februari
2021 (total 10,994 kasus baru). Setelah itu kasus COVID-19 mulai menurun akan tetapi mulai
pertengahan bulan Mei 2021 naik kembali hingga puncaknya pada tanggal 25 Juli (total 44,721
kasus baru).
Data lebih lengkap perkembangan angka kasus COVID-19 tersebut dan yang seperti
disajikan pada tabel 1 berikut.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6

Tabel 2.1 Perkembangan COVID-19 di Indonesia


Kasus baru Meninggal
Waktu Rata-rata / 7 Rata-rata / 7
Kasus baru Meninggal
hari hari
20 Maret 2020 21 21 0 0
2 Juli 2020 1,624 1,315 53 52
7 Oktober 2020 4,538 4,101 98 105
12 Januari 2021 10,047 9,602 302 219
19 April 2021 4,952 5,354 143 130
25 Juli 2021 44,721 50,039 1,266 1,386
6 Agustus 2021 35,764 33,875 1,635 1,671

Coronavirus termasuk virus yang menyerang saluran pernapasan. Virus yang


berhubungan dengan infeksi pada saluran pernapasan akan menggunakan sel epitel dan
mukosa saluran napas sebagai target awal dan menyebabkan infeksi pada saluran
pernapasan atau kerusakan organ. Virus corona merupakan virus RNA rantai tunggal dan
rantai positif yang masuk keluarga coronaviridae yang dibagi menjadi subfamili menurut
serotip dan genotip karakteristik yang meliputi a, β, γ dan δ. Coronavirus jenis baru atau
SARS-CoV2 penyebab Covid-19 dapat diklasifikasikan dalam kelompok betacoronavirus
yang menyerupai SARS-CoV dan MERS-CoV tetapi tidak sama persis (Wang et al.,
2020).
Coronavirus sensitif terhadap panas, dengan suhu 56 derajat celcius selama 30 menit
dinding lipid dapat dihancurkan. Alkohol 75%, klorin mengandung desinfektan, asam
peroksiasetat dan klorform juga dapat melarutkan lipid coronavirus (Wang et al., 2020).
Covid-19 pada manusia menyerang saluran pernapasan khususnya pada sel yang
melapisi alveoli. Covid-19 mempunyai glikoprotein pada enveloped spike atau protein S.
Untuk dapat meninfeksi “manusia” protein S virus akan berikatan dengan reseptor ACE-2
pada plasma membrane sel tubuh manusia. Di dalam sel, virus ini akan menduplikasi
materi genetik dan protein yang dibutuhkan dan akan membentuk virion baru di
permukaan sel. Sama halnya SARS-CoV setelah masuk ke dalam sel selanjutnya virus ini
akan mengeluarkan genom RNA ke dalam sitoplasma dan golgi sel kemudian akan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

ditranslasikan membentuk dua lipoprotein dan protein struktural untuk dapat bereplikasi
(Zhang et al., 2020).
Faktor virus dan pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-CoV. Efek sitopatik
virus dan kemampuannya mengalahkan respons imun menentukan keparahan infeksi.
Disregulasi sistem imun kemudian berperan dalam kerusakan jaringan pada infeksi
SARS-CoV-2. Respons imun yang tidak adekuat menyebabkan replikasi virus dan
kerusakan jaringan. Di sisi lain, respons imun yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan (Susilo et al., 2020).
Saat ini, penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi sumber
transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Transmisi SARS-CoV-2 dari
pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk atau bersin. Selain itu,
telah diteliti bahwa SARS-CoV-2 dapat viabel pada aerosol (dihasilkan melalui nebulizer)
selama setidaknya 3 jam. WHO memperkirakan reproductive number (R0) COVID-19
sebesar 1.4 hingga 2.5. Namun, studi lain memperkirakan R0 sebesar 3.28 (Liu et al.,
2020).
Disamping menyerang sistem pernapasan, SARS-CoV-2 juga terbukti menginfeksi
saluran cerna berdasarkan hasil biopsi pada sel epitel gaster, duodenum, dan rektum.
Studi lain di Singapura menemukan pencemaran lingkungan yang ekstensif pada kamar
dan toilet pasien COVID-19 dengan gejala ringan. Virus dapat dideteksi di gagang pintu,
dudukan toilet, tombol lampu, jendela, lemari, hingga kipas ventilasi, namun tidak pada
sampel udara (Kampf et al., 2020).
Menurut WHO, faktor risiko COVID-19 ada beberapa macam sebagai berikut:
a. Obesitas
Obesitas meningkatkan risiko menjadi outcome yang lebih parah akibat COVID-19. Studi
di Perancis oleh Simonnet et al. (2020) menunjukkan kemungkinan terkena COVID-19
yang parah adalah tujuh kali lebih tinggi pada pasien dengan obesitas. Mempromosikan
diet sehat untuk mempertahankan Kesejahteraan gizi lebih penting dari sebelumnya dalam
perang melawan COVID-19.
b. Merokok
Hasil suatu penelitian meta-analisis oleh Alqohtani et al. (2020) bahwa perokok 1.5 kali
lebih mungkin mengalami keparahan komplikasi dari COVID-19 daripada yang bukan
perokok, dan memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi akibat COVID-19.
c. Konsumsi Alkohol
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

Menurut WHO (2020), alkohol dapat merusak kemampuan tubuh untuk melawan infeksi
seperti COVID-19. Bahkan satu sesi minum berat dapat secara terukur mengurangi fungsi
kekebalan tubuh. Keracunan juga dapat mengganggu dengan mengambil tindakan
pencegahan terhadap penularan.
d. Tidak Melakukan Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik memberikan beberapa manfaat kesehatan jangka pendek dan jangka
panjang, termasuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh, serta menurunkan stres dan
kecemasan (Nieman et al., 2019). Aktivitas fisik juga dikaitkan dengan pencegahan
penyakit jantung, hipertensi, diabetes dan obesitas, yang merupakan faktor risiko
keparahan penyakit COVID-19.
e. Polusi Udara
Liang et al. (2020) telah memperkirakan adanya hubungan antara paparan polusi udara
dan kematian akibat COVID-19. Polusi udara membahayakan fungsi paru-paru, yang
meningkatkan risiko kerentanan terhadap infeksi pernapasan, termasuk COVID-19.
f. Diabetes
Sebuah systematic review dari Roncon et al. (2020) menunjukkan bahwa penderita
diabetes mencapai tiga kali lebih mungkin untuk memiliki gejala yang parah atau
meninggal karena COVID-19, dan situasi ini kemungkinan akan lebih buruk bagi orang-
orang dengan diabetes yang tidak terkontrol.
g. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
Sebuah penelitian meta-analisis dari Wang et al. (2020) menunjukkan bahwa hipertensi,
penyakit kardiovaskular dan pembuluh darah dapat meningkatkan kemungkinan COVID-
19 yang lebih parah dengan nilai 2.3, 2.9 dan 3.9 kali, masing-masingnya. Meta-analisis
lain juga menunjukkan bahwa hipertensi meningkatkan risiko kematian akibat COVID-19
sebesar 3.5 kali.
h. Penyakit Sistem Pernapasan
Dalam penelitian Alqohtani et al. (2020), pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) berada pada peningkatan risiko komplikasi yang lebih parah atau meningkatkan
risiko kematian dari COVID-19. Sebuah studi di Inggris menunjukkan bahwa kehadiran
penyakit pernapasan, termasuk asma, dapat meningkatkan risiko kematian pasien dari
COVID-19.
i. Kanker
Pasien kanker lebih mungkin mengalami COVID-19 yang lebih parah. Di Wuhan, China,
menunjukkan bahwa tingkat kematian akibat COVID-19 meningkat secara signifikan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

pada pasien dengan kanker dan sangat tinggi di antara mereka yang memiliki kanker
darah.
Menurut Susilo et al. (2020), penyakit komorbid COVID-19 dapat berupa hipertensi,
diabetes melitus, jenis kelamin laki-laki, perokok aktif, pasien yang rutin mengkonsumsi
ACE-I atau ARB, memiliki penyakit hati kronik, penderita HIV dengan gangguan
pernapasan. Tidak mengherankan, mereka yang berusia lebih tua termasuk di antara
mereka yang berisiko lebih besar, meskipun juga menonjol adalah individu dengan
penyakit kardiovaskular (yaitu pasien dengan penyakit arteri koroner, gagal jantung, dan
atrial fibrilasi) dan bahkan pasien dengan faktor risiko kardiovaskular (diabetes mellitus
dan hipertensi). Patofisiologi yang terkait dengan peningkatan risiko ini mungkin terkait
dengan peran reseptor enzim pengubah angiotensin manusia 2 sebagai pintu masuk sel
oleh SARS-CoV-2. Namun, apakah peningkatan risiko itu karena penyakit kardiovaskular
itu sendiri atau obat yang digunakan untuk mengobatinya pada awalnya tidak jelas
(Chapman et al., 2020).
Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien
COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam satu lingkungan
namun tidak kontak dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko rendah. Tenaga
medis merupakan salah satu populasi yang berisiko tinggi tertular. Di Italia, sekitar 9%
kasus COVID-19 adalah tenaga medis (Chapman et al., 2020).

Tabel 2.2 Klasifikasi Keparahan Pasien COVID-19 Berdasarkan Gejalanya


Classification Classification Criteria
Asymptomatic Asymptomatic or body temperature < 37.5 C
Mild Body temperature > 37.5 C but O2 supply not required
Moderate O2 supply via nasal or venturi mask required
Severe High-flow O2 supply or mechanical ventilation required
Sumber: WHO, 2020

Menurut buku diagnosis dan tatalaksana Covid-19 di Indonesia yang disusun oleh
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2020 dalam Levani et al. (2020),
tatalaksana untuk pasien coronavirus disease 2019 dibagi menjadi tatalaksana orang tanpa
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

gejala (OTG), orang dengan gejala ringan, sedang, dan berat, adapun penjelasan dari
ketiganya sebagai berikut:

1. Orang tanpa Gejala (OTG)


Untuk orang tanpa gejala, isolasi mandiri di rumah selama 14 hari dan dipantau oleh
Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer (FKTP) melalui telepon. Jika terdapat penyakit
penyerta (komorbid), lanjutkan mengonsumsi obat-obatan yang telah rutin dikonsumsi.
Jika obat rutin pasien adalah Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dan ACE-inhibitor
(ACE-I), harap berkonsultasi pada dokter spesialis dalam dan dokter spesialis jantung.
Dianjurkan meminum vitamin C, B, E, dan Zink selama 14 hari.
Berbagai pilihan vitamin C yang dapat dipilih yaitu vitamin C tablet isap (500mg per
12 jam oral selama 30 hari), dan vitamin C tablet non acid (500mg per 6-8 jam oral untuk
14 hari).
2. Orang dengan gejala ringan
Untuk pasien dengan gejala ringan, melakukan isolasi mandiri di rumah selama 14 hari
dan ditangani serta dikontrol oleh FKTP (puskesmas) selama 14 hari sebagai pasien rawat
jalan. Untuk pilihan terapi yang dapat digunakan pada orang gejala ringan, yaitu:
a. Minum multivitamin berupa vitmin C,B,E, dan Zink.
b. Vitamin C tablet isap 500 mg per 12 jam oral selama 30 hari.
c. Klorokuin fosfat 500mg per 12 jam oral untuk lima hari / Hidroksiklorokuin (sediaan
200mg) 400mg per 24 jam per oral dalam 5 hari.
d. Azitromisin 500mg per 24 jam per oral untuk 5 hari alternatif menggunakan
levofloxacin 750mg per 24 jam selama 5 hari.
e. Simptomatik bila demam beri paracetamol.
f. Antivirus berupa oseltamivir 75 mg per 12 jam pe oral atau favipiravir 600 mg per 12
jam per oral dalam waktu 5 hari.
3. Orang dengan gejala sedang
Harus dirujuk ke rumah sakit rujukan COVID-19 dan diisolasi selama 14 hari. Untuk
pilihan terapi yang dapat digunakan pada orang gejala sedang, yaitu:
a. Konsumsi vitamin C 200-400 mg per 8 jam (100 cc NaCl 0,9%) habis 1 jam (drip
intravena).
b. Klorokuin fosfat 500 mg per 12 jam oral selama 5-7 hari / Hidroksiklorokuin (sediaan
200 mg) sebanyak 400 mg per 12 jam per oral dilanjutkan 400 mg per 24 jam per oral
dalam 5-7 hari.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

c. Azitromisin 500 mg per 24 jam per intravena atau peroral dalam 5-7 hari alternatif
menggunakan levofloxacin 750 mg per 24 jam per intrravena atau peroral dalam
waktu 5-7 hari.
d. Simtomatis bila demam beri paracetamol.
e. Antivirus berupa oseltamivir 75 mg per 12 jam oral atau favipiravir (sedian 200 mg)
dengan loading dose 1600 mg per 12 jam per oral pada hari pertama dan dilanjutkan
2x600 mg pada hari ke 2-5.
4. Orang dengan gejala berat
Harus isolasi diri di rumah sakit rujukan serta dirawat secara kohorting (ruang isolasi).
Untuk pilihan terapi yang digunakan pada orang dengan gejala berat adalah:
a. Klorokuin fosfat 500 mg per 12 jam per oral pada hari ke 1-3 selanjutnya 250 mg per
12 jam per oral pada hari ke 4-10 atau hidroksiklorokuin 400 mg per 24 jam per oral
dalam 5 hari dan control EKG setiap 3 hari sekali.
b. Azitromisin 500 mg per 24 jam dalam 5 hari atau levofloxacin 750 mg per 24 jam per
iv dalam 5 hari.
c. Jika terjadi sepsis, pemberian antibiotik disesuaikan dengan kondisi klinisnya serta
fokus pada infeksi dan faktor risiko pasien.
d. Antivirus menggunakan oseltamivir 75 mg per 12 jam per oral atau favipiravir
(sediaan 200 mg) dengan loading dose 1600 mg per 12 jam per oral pada hari pertama
dan dilanjutkan dengan 2 x 600 mg pada hari ke 2-5.
e. Konsumsi vitamin C dosis 200-400 mg per 8 jam (100 cc NaCl 0,9%) dan habis
dalam waktu 1 jam (drip intravena).
f. Vitamin B1 1 ampul per 24 jam per iv.
g. Hydroxycortison 100 mg per 24 jam per iv pada 3 hari pertama.
h. Meneruskan obat-obatan penyakit penyerta (komorbid) dan obat komplikasi (jika
terjadi komplikasi).

3. Mortalitas pasien COVID-19


Tingkat kematian COVID-19 atau case fatality rate (CFR) mencapai 1.4% hingga 2.3%
(WHO, 2021). Daripada mendorong penghindaran pengujian troponin, kita harus
memanfaatkan keterlibatan yang tidak diketahui dari komunitas kardiovaskular yang
disebabkan oleh COVID-19 untuk lebih memahami kegunaan biomarker penting ini dan
untuk mendidik dokter tentang interpretasi dan implikasinya terhadap prognosis dan
pengambilan keputusan klinis (Chapman et al., 2020).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

Dengan infeksi COVID-19, tingkat kematian tertinggi pada pasien yang lebih tua
(14.8% pada mereka yang berusia> 80 tahun) dan pada pasien dengan riwayat penyakit
kardiovaskular yang mendasarinya. Dalam studi kohort 191 pasien dengan COVID-19
yang dikonfirmasi berdasarkan deteksi RNA SARS-CoV-2, odds ratio univariate untuk
kematian ketika konsentrasi troponin I jantung sensitivitas tinggi berada di atas batas
referensi atas persentil ke-99 adalah 80.1 (CI 95% = 10.3 hingga 620.4; p < 0.001) Ini
lebih tinggi daripada odds ratio yang diamati untuk semua biomarker lain yang diuji,
termasuk D-dimer dan jumlah limfosit meningkat pada 1 dari 5 pasien yang diikuti
(Chapman et al., 2020).
Pada pasien yang sangat tidak sehat, ketidakseimbangan suplai-permintaan oksigen
tidak mempengaruhi miokardium secara eksklusif dan kemungkinan terjadi pada tingkat
seluler di sebagian besar sistem organ. Namun, sensitivitas pengujian troponin jantung
yang memastikannya sebagai salah satu indikator paling awal dan paling tepat dari
disfungsi organ akhir. Tes troponin jantung dapat mendorong inisiasi awal tindakan untuk
meningkatkan oksigenasi dan perfusi jaringan (Uriel et al., 2020).
Tes troponin jantung pada pasien COVID-19 dapat meningkatkan kebutuhan
konsultasi kardiologi dan pengujian hilir, termasuk ekokardiografi dan angiografi di
samping tempat tidur. Namun, pengenalan troponin normal atau sedikit meningkat
sebaliknya dapat mengurangi kebutuhan pencitraan jantung dan meminimalkan risiko
pajanan pada staf fisiologi jantung (Uriel et al., 2020).
Peningkatan ringan troponin dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian, dengan
rasio hazard yang disesuaikan 1.75 (CI 95% = 1.37 hingga 2.24), sementara tingkat
troponin yang lebih tinggi meningkatkan risiko kematian lebih lanjut, dengan rasio
bahaya 3.03 (CI 95% = 2.42 hingga 3.80) (Uriel et al., 2020).

B. Penelitian Relevan
1. Risk Factors Associated With Clinical Outcomes in 323 Coronavirus Disease 2019
(COVID-19) Hospitalized Patients in Wuhan, China
Penelitian Ling Hu et al. (2020) merupakan penelitian dengan desain studi retrospective
review tentang faktor risiko dan outcome-nya pada pasien yang dirawat inap di Tianyou
Hospital di Wuhan, China. Persamaan dengan penelitian ini adalah salah satu variabel
yang diteliti adalah level troponin I dengan nilai meningkat > 0.04 ng/mL. Perbedaan
dengan penelitian ini adalah desain studi yang digunakan adalah retrospective review,
sedangkan penelitian ini menggunakan desain cohort study.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

2. The peak levels of highly sensitive troponin I predicts in-hospital mortality in COVID-
19 patients with cardiac injury: a retrospective study
Penelitian Yaxin Wang et al. (2021) merupakan penelitian dengan desain studi
retrospective review tentang hubungan antara level troponin I dan mortalitas pasien
COVID-19 dengan cedera miokard di dua rumah sakit di China, yaitu Wuhan Jinyintan
Hospital dan Union Hospital. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel yang
diteliti adalah level troponin I. Perbedaan dengan penelitian ini adalah desain studi yang
digunakan adalah retrospective review, sedangkan penelitian ini menggunakan desain
cohort study.
3. Prognostic Value of Elevated Cardiac Troponin I in Hospitalized COVID-19 Patients
Penelitian Priyank Shah et al. (2020) merupakan penelitian case series study yang
membahas tentang apakah troponin I merupakan salah satu prediktor independen dari
hasil klinis dan apakah nilai yang lebih tinggi dapat dikaitkan dengan hasil klinis yang
lebih buruk pada pasien COVID-19 dengan data yang diambil dari Phoebe Putney Health
System (PPHS), Georgia. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel yang diteliti
adalah level troponin I. Perbedaan dengan penelitian ini adalah desain studi yang
digunakan adalah case series study, sedangkan penelitian ini menggunakan desain cohort
study.
4. Characterization of Myocardial Injury in Patients With COVID-19
Penelitian Giustino et al. (2020) merupakan penelitian retrospective cohort study yang
ingin mengkarakterisasi kelainan ekokardiografi yang terkait dengan cedera miokard dan
dampak prognostik mereka pada pasien dengan COVID-19 di 7 rumah sakit di New York
(Amerika Serikat) dan Milan (Italia). Persamaan dengan penelitian ini adalah salah satu
variabel yang diteliti untuk mengetahui cedera miokard adalah level troponin I. Perbedaan
dengan penelitian ini adalah parameter pengukuran cardiac injury yang digunakan selain
troponin I.
5. Elevated cardiac troponin I as a predictor of outcomes in COVID-19 hospitalizations:
a meta-analysis
Penelitian Malik et al. (2020) merupakan penelitian tinjauan sistematis dan meta-analisis
tentang mengevaluasi hubungan tingkat troponin I yang meningkat dengan hasil pada
pasien yang dirawat di rumah sakit COVID-19. Persamaan dengan penelitian ini adalah
pada metode penelitian yaitu meta-analisis. Perbedaan dengan penelitian ini adalah subjek
penelitian pada pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

6. Predictive Factor for COVID-19 Worsening: Insights for High-Sensitivity Troponin


and D-Dimer and Correlation with Right Ventricular Afterload
Penelitian Goudot et al. (2020) merupakan penelitian prospective cohort study yang
bertujuan untuk menganalisis aspek biologis dan klinis pasien COVID-19 dan kaitannya
dengan kriteria masuk ruang ICU. Persamaan dengan penelitian ini adalah salah satu
variabel yang diteliti adalah level troponin I dan menggunakan desain penelitian cohort
study. Perbedaan dengan penelitian Goudot et al. adalah penelitian ini hanya sampai uji
bivariat dan tidak menggunakan uji multivariat, sedangkan penelitian ini menggunakan
uji multivariat.
7. Is it all in the heart? Myocardial injury as major predictor of mortality among
hospitalized COVID-19 patients
Penelitian Harmouch et al. (2021) merupakan penelitian retrospective cohort study yang
ingin mengidentifikasi prediktor independen dari mortalitas pasien COVID-19.
Persamaan dengan penelitian ini adalah salah satu variabel yang diteliti adalah level
troponin I dan menggunakan desain penelitian cohort study. Perbedaan dengan penelitian
Harmouch et al. adalah menggunakan nilai signifikansi p<0.1 sedangkan penelitian ini
menggunakan nilai signifikansi p<0.05.
8. Predictors of mortality for patients with COVID-19 pneumonia caused by SARS-CoV-
2: a prospective cohort study
Penelitian Du et al. (2020) merupakan penelitian prospective cohort study yang bertujuan
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan mortalitas pasien akibat
COVID-19. Persamaan dengan penelitian ini adalah salah satu variabel yang diteliti
adalah level troponin I dan menggunakan desain penelitian cohort study. Perbedaan
dengan penelitian Du et al. penentuan pasien COVID-19 menggunakan pemeriksaan RT-
PCR atau secara klinis, sedangkan penelitian ini menggunakan pemeriksaan RT-PCR.

C. Kebaruan Penelitian
Penelitian ini memiliki kebaruan karena menggunakan desain penelitian meta-analisis
yang menggabungkan hasil penelitian data primer sehingga diharapkan mampu
menganalisis secara lebih luas dan akurat bagaimana hubungan level troponin I dengan
mortalitas pada pasien COVID-19.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

D. Kerangka Berpikir

1. Obesitas
Mekanisme:
2. Merokok
3. Konsumsi Alkohol 1. Inflamasi
COVID-19 2. Badai Sitokin
4. Tidak Melakukan Aktivitas
Fisik 3. Mikro/makrotrombus
5. Polusi Udara 4. Invasi virus secara
6. Diabetes langsung
7. Penyakit Jantung dan 5. Ketidakseimbangan
Komorbid
Pembuluh Darah supply-demand
8. Penyakit Sistem
Pernapasan
9. Kanker
10. Penyakit Hati Coronary Troponin I
11. Konsumsi ACE-I atau Artery Disease tinggi
ARB

Mortalitas
Pasien COVID-
19

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir

E. Hipotesis
Hipotesis diambil setelah melakukan perumusan masalah penelitian dan menelaah
tinjauan pustaka. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan level troponin I
dengan mortalitas pada pasien COVID-19. Level troponin I yang lebih dari normal dapat
meningkatkan terjadinya mortalitas pada pasien COVID-19.

Anda mungkin juga menyukai