Anda di halaman 1dari 329

PELAYANAN PUBLIK

SEKTOR PENDIDIKAN
Implementasi Program Manajemen Berbasis Sekolah
Berorientasi Pelayanan Publik

Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.

i
Gena Pratama Pustaka
Copyright © 2016

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN


Implementasi Program Manajemen Berbasis Sekolah
Berorientasi Pelayanan Publik

Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.

Editor: Mohammad Jauhar, S.Pd.


Desain Cover: Sudarmaji, S.Pd.
Setting: Nurfitriya, S.T.

Hak Penerbitan ada pada © Gena Pratama Pustaka 2016


Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip, memperbanyak dan menerjemahkan sebagian
atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
Penerbit Prestasi Pustakaraya – Jakarta – Indonesia

ii
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN
Implementasi Program Manajemen Berbasis Sekolah
Berorientasi Pelayanan Publik

Ukuran : 16cm x 24cm

ISBN:
Halaman: xiv +
Cetakan Pertama:

Offering for Dear,


Ayahanda Sam Hardojo (Alm) sebagai Guru SPG
Ibunda Sri Muhartini (Alm) sebagai Guru SD
Isteriku Tercinta Sri Purborini
Ananda Tersayang Johan Syahputra

iii
Kata Sambutan
Pertama-tama saya sampaikan selamat dan sukses atas
diterbitkannya buku ‘Pelayanan Publik Sektor Pendidikan : Implementasi
Manajemen Berbasis Sekolah Berorientasi Pelayanan Publik’.
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah berorientasi Pelayanan
Publik, yang disingkat MBS-BPP ini sungguh merupakan suatu upaya dan
terobosan agar pelayanan publik di sektor pendidikan, khususnya sekolah
sebagai pihak penyedia layanan dapat benar-benar dirasakan oleh para pihak
pengguna layanan sekolah, yang dalam hal ini khususnya para siswa, para
orang tua serta masyarakat secara luas.
Sesuai dengan Undang-Undang 25/2009, tentang Pelayanan Publik,
yang mana sekolah sebagai unit layanan wajib juga memberikan pelayanan
sesuai standard pelayanan publik yang berlaku, serta wajib mengikut
sertakan secara aktif masyarakat sebagai pihak penerima layanan.
Penerapan MBS-BPP di beberapa kabupaten/kota mitra Program KINERJA-
USAID menunjukkan bahwa dengan diikut sertakannya pihak pengguna
layanan pada seluruh proses guna meningkatkan pelayanan publik melalui
survey pengaduan hingga penyiapan Janji Perbaikan Pelayanan dan
Rekomendasi Teknis, yang diintegrasikan dalam perencanaan sekolah,
mampu menghasilkan berbagai inovasi sekolah dalam mewujudkan
perbaikan pelayanan publik, yang dilaksanakan secara partisipatif dengan
pihak komite sekolah, orang tua siswa, dunia usaha serta masyarakat sekitar
sekolah.
Keberhasilan Program KINERJA USAID dalam memfasilitasi
penerapan MBS-BPP, selanjutnya dilanjutkan oleh pihak Asian Development
Bank (ADB) yang saat ini memfasilitasi beberapa kabupaten/kota di Jawa
Timur untuk melanjutkan Program KINERJA ini.
Dengan diterbitkannya buku ini saya berharap pelayanan publik di
sektor pendidikan dapat diterapkan secara optimal di berbagai daerah di
Indonesia, serta akan mampu memunculkan berbagai inovasi dan terobosan
guna peningkatan pelayanan yang semakin baik, dan pada akhirnya dapat
menghasilkan siswa-siswi generasi penerus bangsa yang berkualitas baik

iv
secara akademis maupun perilaku dan sikap hidup yang menunjukkan
kepribadian yang membanggakan.
Semoga pendekatan Sound Governance yang diaplikasikan pada
MBS-BPP ini dapat semakin dikembangkan dan diaplikasikan secara meluas.

Malang, Januari 2017

Dina Limanto
East Java Provincial Coordinator
KINERJA Program

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha


Kuasa atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
buku yang merupakan intisari dari disertasi, ketika penulis lulus program
doktor dengan minat Ilmu Administrasi Publik di Pascasarjana Fakultas Ilmu
Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang pada tahun 2016.
Penyelesaian buku ini berkat kerja bersama dari seluruh pihak, karena itu
penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga atas itu semua
kepada yang terhormat:

Rektor Universitas Brawijaya, yang telah memberikan kesempatan


kepada penulis untuk mengikuti program doktor; Dekan beserta Dosen Staf
Pengajar Program Doktor Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya
yang telah banyak memberikan bantuan administrasi, akademis maupun
akses informasi selama menempuh program doktor Ilmu Administrasi,
Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya; Direktur Pascasarjana
Prof. Dr. Abdul Hakim, M.S beserta staf yang telah membantu dalam
memperlancar urusan administrasi beasiswa program doktor;

Ketua Program Doktor Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu


Administrasi, Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Sumartono, M.S, yang telah
banyak berjasa dalam memberikan motivasi dalam penyelesaian program
doktor; Prof. Dr. Bambang Supriyono, M.S, selaku Promotor; Dr. M.R Khairul
Muluk, M.Si. dan Dr. Tjahjanulin, M.S selaku Ko-Promotor dan sekaligus
penguji disertasi; Tim Penguji Disertasi: Prof. Dr. Abdul Hakim, M.S, Drs.
Andy Fefta Wijaya, MDA, Ph.D., Dr. M. Makmur, M.S, Dr. Siti Rochmah,
M.Si., Prof. Dr. Yatim Riyanto, M.Pd.,(Dosen Universitas Negeri Surabaya)
dan Dr. Falih Soeaidy, M.Si.(Dosen Universitas Airlangga) yang telah
memberikan masukan yang konstruktif untuk penyempurnaan disertasi.

Koordinator Kopertis Wilayah VII Surabaya, yang telah mengizinkan


penulis untuk menempuh pendidikan Strata 3 di Fakultas Ilmu Administrasi,
Universitas Brawijaya; Drs. H. LH Pranoto, M.M selaku Ketua Yayasan
Pawyatan Daha Kediri beserta staf telah memberikan dukungan moril

vi
maupun materiil dan Drs. H. Saiful Bahri, M.Si. selaku Rektor Universitas
Pawyatan Daha Kediri beserta staf yang telah memberikan motivasi serta
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi lanjut
program doktor di Pascasarjana Universitas Brawijaya.

Walikota Probolinggo beserta staf dan Kepala Dinas Pendidikan


Kota Probolinggo beserta staf atas diizinkannya penulis untuk melakukan
penelitian; Pimpinan dan anggota DPRD, Dewan Pendidikan dan Forum
Peduli Pelayanan Publik (FP3), Jurnalis Warga Kota Probolinggo yang telah
bersedia untuk menjadi informan; Seluruh Kepala Sekolah Dasar beserta
Komite Sekolah dan Paguyuban Kelas yang telah bersedia untuk menjadi
informan, khususnya informan kunci, yatu: Bapak Joni Kuswanto, S.Pd., M.M
selaku Komite SMPN 9, Ibu Dra. Subaidah, M.M, selaku Kepala SMPN 9,
Ibu Rukmini, S.Pd. selaku Kepala SDN Tisnonegaran 1 Kota Probolinggo,
Ibu Arlin Suprapti, S.Pd. selaku Kepala Sekolah, Ibu Tini Susiyowati sebagai
Tenaga Kependidikan, dan Ibu Prawitasari sebagai Pengurus Paguyuban
Kelas SDN Kanigaran 5 Kota Probolinggo.

Mrs. Elke Rapp selaku Chief of Party Kinerja – USAID dan Ir. Dina Limanto
selaku Provincial Coordinator East Java Kinerja – USAID yang telah
memberikan masukkan terkait dengan materi MBS-BPP kepada penulis; Ibu
Nurfitriya, S.T. dan Bapak Mohammad Jauhar, S.Pd. yang membantu dalam
penyempurnaan setting buku; serta seluruh pihak yang tidak mungkin penulis
sebut nama satu per satu yang telah membantu baik dalam penyelesaian
penelitian maupun penulisan buku ini.

Akhir kata semoga buku ini bermanfaat bagi perbaikan pelayanan dan mutu
pendidikan di Indonesia.

Surabaya, Januari 2017

Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.

vii
RINGKASAN

Penyelenggaraan Pelayanan Pendidikan terutama pendidikan dasar


merupakan pelayanan dasar yang wajib dilakukan oleh Pemerintah (Daerah)
di seluruh Indonesia. Buku ini hadir karena mendapat inspirasi dari disertasi
penulis dengan judul: ”Penyelenggaraan Pelayanan Pendidikan dengan
perspektif sound governance,” di Kota Probolinggo. Penelitian ini dilakukan
bertujuan untuk membumikan konsep sound governance dari Farazmand
(2004) pada tingkat lokal yaitu di Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur,
maka hasil dari penelitian ini telah ”memodifikasi” konsep tersebut, menjadi
konsep sound local governance. Sedangkan konsep sound local governance
ini berdasarkan studi tentang Manajemen Berbasis Sekolah Berorientasi
Pelayanan Publik atau disingkat MBS-BPP.

Buku ini memuat temuan penelitian yaitu: pertama, adanya suatu


interaksi antar aktor (pemerintah, privat, masyarakat dan global) secara
dinamis pada pelaksanaan program MBS-BPP dengan peran masing-masing
yang saling mendukung dalam upaya perbaikan pelayanan publik pendidikan;
Kedua, seluruh tahapan pelaksanaan program MBS-BPP terjadi interaksi
secara dinamis dan saling mendukung dari seluruh dimensi sound
governance, sehingga sekolah dapat memperbaiki pelayanan pendidikan
secara berkelanjutan. Ketiga, sekolah pada pelaksanaan program MBS-BPP
ini menghadapi kendala internal, yaitu: rendahnya komitmen kepala sekolah,
guru, tenaga kependidikan, komite sekolah dan paguyuban kelas;
kekurangpahaman terhadap program, sumbangan masyarakat, dan kegiatan
ekstra kurikuler; kekurangpedulian orang tua/wali siswa terhadap kebutuhan
sekolah; kekurangterbukaan informasi sekolah, maka sekolah dapat
melaksanakan program MBS-BPP untuk memperbaiki pelayanan pendidikan.
Keempat, sekolah pada pelaksanaan program MBS-BPP ini mengahadapi
tantangan eksternal, yaitu: kurangnya komitmen Dinas Pendidikan, seringnya
kebijakan mutasi kepala sekolah, kurangnya pemahaman terhadap kebijakan
pendidikan gratis, dan hubungan hierarkhi yang rigid antara national
governance dengan local governance, maka sekolah dapat melaksanakan

viii
program MBS-BPP untuk memperbaiki pelayanan pendidikan; Kelima,
sekolah telah melakukan inovasi kebijakan dan administrasi dalam
pelaksanaan program MBS-BPP, sehingga sekolah dapat memperbaiki
pelayanan pendidikan.

Berdasarkan temuan penelitian dapat disimpulkan bahwa keempat


aktor ada interaksi yang dinamis dan saling mendukung dalam pelaksanaan
program MBS-BPP. Pada tahapan pelaksanaan program MBS-BPP sekolah
dapat memadukan seluruh dimensi sound governance, meskipun
menghadapi beberapa kendala internal dan tantangan eksternal, serta di
dalam rangka menghadapi perubahan dunia pendidikan yang begitu cepat,
maka sekolah berupaya melakukan inovasi kebijakan dan administrasi
pelayanan pendidikan secara terus menerus, sehingga ada jaminan
pelayanan pendidikan secara berkelanjutan.

Kata kunci:sound governance, peran aktor, manajemen berbasis sekolah


berorientasi pelayanan publik, perbaikan pelayanan
pendidikan berkelanjutan.

ix
KATA PENGANTAR

Manajemen Berbasis Sekolah atau MBS merupakan salah satu


indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM) pendidikan dasar tepatnya
indikator ke-13 pelayanan pendidikan dasar oleh satuan pendidikan yang
dituangkan dalam pasal 2 ayat (2) huruf b angka 13 Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2010 tentang
Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota, yang
bunyinya: “Setiap satuan pendidikan menerapkan prinsip-prinsip manajemen
berbasis sekolah (MBS).”

Mengapa nama MBS berubah menjadi Manajemen Berbasis


Sekolah-Beorientasi Pelayanan Publik (MBS-BPP)? Karena tahun 2011-
2015 Pemerintah Probolinggo telah menandatangani MoU dengan United
States Agency for International Development (USAID) dalam rangka bantuan
teknis (technical assistance) dengan nama programnya adalah KINERJA,
untuk penguatan pihak penyedia layanan (supply side) dan pihak pengguna
layanan (demand side) di sektor pendidikan dasar. Oleh karena ini adalah
menyangkut persoalan pelayanan publik, maka peraturan yang dirujuk adalah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan
Keputusan Menteri Negara Pendayaan Aparatur Negara Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik.

Namun demikian secara teknis KINERJA menggunakan acuan


Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13 tahun
2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan
Partisipasi Masyarakat. Dengan demikian akhirnya nama MBS menjadi nama
MBS-BPP, karena menyesuaikan sifat bantuan teknis tersebut yang
mengedepankan perbaikan pelayanan publik atau improving public service.

Pelaksanaan program MBS-BPP yang diberlakukan ke seluruh


sekolah dasar di Kota Probolinggo ini didekati dengan perspektif sound local
governance sebagai hasil modifikasi dari konsep sound governance dari
Farazmand (2004). Sebagaimana pendapat Farazmand (2004) yang

x
memperkenalkan sound governance ini bahwa sound governance (SG)
merupakan alternatif praktik governance di mana selama ini negara donor luar
negeri membawa bendera good governance (GG). Perbedaan SG dan GG,
kalau dari aspek aktor bahwa GG memiliki 3 aktor, yaitu aktor state, privat
dan civil society, dan SG di samping ketiga aktor GG tersebut ditambah satu
aktor lagi yaitu aktor internasional/global.

Bagaimana dengan perbedaan antara MBS dengan MBS-BPP?


Perbedaan yang mendasar bahwa MBS-BPP ini di samping prinsip-prinsip
MBS yang berlaku sekarang ini, maka program MBS-BPP ini diperlukan
adanya survei pengaduan dan pembuatan janji perbaikan pelayanan serta
rekomendasi teknis, dan selanjutnya dilakukan kegiatan monitoring dan
evaluasi atas janji perbaikan pelayanan dan kegiatan terakhir adalah reformasi
janji perbaikan pelayanan.

Secara garis besar buku ini terdiri dari beberapa bab dengan
penjelasan singkat sebagai berikut:

Bab pertama merupakan uraian penjelasan tentang latar belakang


masalah pendidikan dasar mulai dari level internasional, nasional sampai
dengan lokal, perumusan masalah dan tujuan buku ini yang terkait dengan
peran aktor, pelaksanaan program MBS-BPP dan manfaat buku ini, baik bagi
pengembangan teori maupun kebutuhan praktik.

Bab kedua berisikan ringkasan kajian beberapa teori yaitu yang


menyangkut tentang teori: good governance dan sound governance,
governance level dan local governance, sound governance pada level lokal,
aktor governance, pelayanan publik, desentralisasi pendidikan, penelitian
terdahulu, dan kerangka konseptual.

Bab ketiga adalah tentang kondisi sosial yang memaparkan tentang


gambaran umum, rencana strategis Dinas Pendidikan, profil pendidikan,
kebijakan program MBS-BPP pada satuan pendidikan, dan karakteristik
sekolah yang melaksanakan program MBS-BPP.

xi
Bab keempat ini menyajikan hasil penelitian tentang peran aktor,
pelaksanaan program MBS-BPP, temuan, tantangan dan kendala, inovasi
kebijakan dan administrasi dalam bentuk perbaikan pelayanan, dan existing
model. Selanjutnya dilakukan pembahasan hasil penelitian tersebut,
penyusunan proposisi, dan recommended model.

Bab kelima sebagai bab penutup memaparkan konseptualisasi dari


seluruh temuan penelitian, dan berikut implikasinya terhadap teoretik, praktik,
normatif, serta memaparkan beberapa saran konstruktif kepada Pemerintah
Kota Probolinggo guna perbaikan pelayanan pendidikan.

Demikian pengantar buku ”Pelayanan Publik Sektor Pendidikan


dalam Perspektif Sound Local Governance,” berdasarkan studi tentang
pelaksanaan program Manajemen Berbasis Sekolah – Berorientasi
Pelayanan Publik di sekolah-sekolah dasar di Kota Probolinggo. Semoga
buku ini dapat diterima oleh masyarakat, khususnya Pemerintah Daerah
berikut Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, Pegawas Sekolah, anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota,
pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan,
wartawan dan jurnalis warga serta pengajar dan mahasiswa yang tertarik di
dalam kajian pelayanan publik pada sektor pendidikan. Para donatur luar
negeri sebagai aktor global, seperti USAID, AusAID, World Bank, Asian
Development Bank, UNDP-PBB dan donatur lainnya, dapat memetik
pelajaran dari membaca buku ini, agar pelaksanaan program yang sejenis
atau masih relevan dengan program MBS-BPP dapat dipersiapkan jauh-jauh
sebelumnya, agar pelaksanaan Bantuan Teknis (Technical Assistance) dapat
berjalan sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

xii
Akhir kata saya menyadari bahwa buku yang sederhana ini masih
jauh dari kesempurnaan dan oleh karena itu saya menerima dengan lapang
dada atas saran yang konstruktif dari pembaca yang budiman. Kiranya
semoga buku ini dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu administrasi
publik dan perbaikan pelayanan serta mutu pendidikan di tanah air secara
berkelanjutan sesuai dengan program Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu
Sustainable Development Goals (SDG’s) periode 2016-2030, khususnya
tujuan (goal) yang keempat yaitu pendidikan yang bermutu (quality
education).

Malang, Januari 2017

Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.

xiii
DAFTAR ISI

halaman

Halaman Judul ................................ i

Ucapan Terima Kasih .......................... iii

Ringkasan .................................... v

Kata Pengantar ............................... vi

Daftar Isi ................................... ix

Daftar Tabel ................................. x

Daftar Gambar ................................ xi

Daftar Lampiran .............................. xii

Glossary ..................................... xiii

Daftar Singkatan ............................. xvi

Bab 1 PENDAHULUAN ........................... 1

A. Latar Belakang ................................... 1

B. Permasalahan ...................... 22

Bab 2 KONSEPTUALISASI……...................... 24

A. Sound Governance ……................ 24

B. Local Governance .................. 29

xiv
C. Kebijakan Publik dan Barang Publik 39

D. Pembangunan Kemitraan ............. 46

E. Aktor Governance .................. 57

F. Sound Governance pada Level Lokal 63

G. Desentralisasi Pendidikan ......... 69

H. Pelayanan Publik .................. 94

I. Inovasi Kebijakan dan Administrasi. 87

Bab 3 PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN..... 100

A. Peran Aktor ....................... 101

B. Pelaksanaan Program MBS-BPP ....... 135

Kendala Internal pada Pelaksanaan Program


C.
MBS-BPP................................
172
Tantangan Eksternal pada Pelaksanaan Program
D.
MBS-BPP................................
181
Inovasi Kebijakan dan Administrasi pada
E.
Pelayanan Pendidikan.......... 196
F. Pelayanan Publik Sektor Pendidikan. 207

Bab 4 PENUTUP ............................... 258

DAFTAR PUSTAKA .............................. 260

LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................ 267

xv
DAFTAR TABEL

halaman
Tabel 1. Anggaran Belanja Negara dan Anggaran Fungsi
Pendidikan Tahun Anggaran 2014-2015
........................... 2
Tabel 2. Elemen Kunci Citizen-Centered Governance
.......................... 30
Tabel 3. Peran Pemerintahan Lokal di Bawah Visi Baru Local
Governance .......... 33
Tabel 4. Karakteristik Model partisipasi Warga 48
Tabel 5. Matrik SWOT ......................... 82
Tabel 6. Innovation and Improvement in Different Conceptions
of Governance and Public Improvement .............. 95
Tabel 7. Daftar Nama Sekolah Mitra Kinerja-USAID
............................... 101
Tabel 8. Daftar Kegiatan Peningkatan Kapasitas Pelaksanaan
Program MBS-BPP oleh Aktor Global
........................ 102
Tabel 9. Daftar SOP SDN Tisnonegaran 1 ....... 153
Tabel 10. Instrumen Monitoring Janji Perbaikan Pelayanan
........................... 142
Tabel 11. Matrik Fokus dan Temuan Penelitian Pelaksanaan
Program MBS-BPP …………….... 143
Tabel 12. Ringkasan Hasil Penelitian Penyelenggaraan
Pelayanan Pendidikan dalam Perspektif Sound
Governance ... 154
Tabel 13. Matrik Rumusan Masalah Penelitian, Fokus, Temuan,
Proposisi, Implikasi Teoritis, dan Implikasi Praktik ..... 156
Tabel 14. Instrumen Monitoring Janji Perbaikan Pelayanan
........................... 156

xvi
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 1. Model Elit ......................... 40

Gambar 2. Bentuk Governance Hybrid ........... 49

Gambar 3. Elemen Manajemen Stratejik ......... 78

Gambar 4. Model Manajemen Stratejik .......... 79

Gambar 5. Analisis SWOT ...................... 81

Gambar 6. Inovasi (Innovation) dan Perbaikan (improvement)


...................... 93
Gambar 7. Kerangka Kerja hubungan Inovasi dengan Masa
Depan ……………………………………... 94
Gambar 8. Siklus Tahapan Pelaksanaan Program MBS-BPP
dalam Perspektif Sound Governance
......................... 100
Gambar 9. Kapling Paguyuban Wali Murid Kelas 4 SDN
Kanigaran 5 ................... 126
Gambar 10. Kapling Paguyuban Wali Murid Kelas 2 SDN
Kanigaran 5 .................... 127
Gambar 11. Contoh Pengaduan Orang Tua dan Siswa 137

Gambar 12. Pengolahan Pengaduan ............... 138

Gambar 13. Para Siswa Sedang Mengisi Angket…….. 139

Gambar 14. Indeks Pengaduan Masyarakat ........ 141

xvii
Gambar 15. Dokumen RKAS SDN Tisnonegaran 1 Kota
Probolinggo ........................ 152
Gambar 16. Gazebo Partisipasi PT Kutai Timber Indonesia
.......................... 157
Gambar 17 Publikasi Prestasi Siswa Mingguan SDN Sukabumi
6 Kota Probolinggo .... 160
Gambar 18 Kalender Akademik SDN Tisnonegaran 1 Kota
Probolinggo ................... 161
Gambar 19 Papan Informasi SDN Tisnonegaran 1 Kota
Probolinggo........................ 162
Gambar 20 Bank Sampah SDN Tisnonegaran 1 Kota
Probolinggo......................... 163
Gambar 21 Bak Sampah untuk Proses Kompos di SDN
Kanigaran 5 .................... 164
Gambar 22 Jadwal Piket Kavling Paguyuban Kelas VI di SDN
Kanigaran 5 Kota Probolinggo ........................
165
Gambar 23 Kegiatan Paguyuban Kelas untuk Lingkungan
Sekolah yang Indah di SDN Kanigaran 5 Kota
Probolinggo .......
165
Gambar 24 Kegiatan Paguyuban Kelas untuk Lingkungan
Sekolah yang Nyaman di SDN Kanigaran 5 Kota
Probolinggo ... 166
Gambar 25 Buku Tata Tertib dan Komunikasi Orang Tua Siswa
dengan Sekolah di SMPN 9 Kota Probolinggo
............ 199
Gambar 26 Existing Model Pelaksanaan Program MBS-BPP
dalam Perspektif Sound Governance
......................... 206
Gambar 27 Recommended Model Pelaksanaan Program MBS-
BPP dalam Perspektif Sound Governance
................... 257

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. 29 Sekolah Lokasi Survei dan 12 Sekolah Fokus

Lampiran 2. Contoh Angket Survei Pengaduan Masyarakat

Lampiran 3. Contoh Tabel Analisis Sebab Akibat Hasil Survei


Pengaduan

Lampiran 4. Contoh Janji Perbaikan Pelayanan

Lampiran 5. Contoh Rekomendasi Teknis

Lampiran 6. Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 8 Tahun


2015 tentang Sistem Penyelenggaraan Pelayanan
Pendidikan

Lampiran 7. Mars MBS-BPP

xix
GLOSSARY
Aktor Privat : adalah aktor swasta atau aktor perusahaan
Costing : adalah perhitungan biaya program dan
kegiatan
Evaluasi : adalah kegiatan setelah berakhirnya kegiatan
monitoring pemenuhan janji perbaikan
pelayanan. Evaluasi ini dilakukan setelah
terlebih dulu diselenggarakan lokakarya hasil
monitoring.
Forum CSR : adalah sebuah wadah untuk menampung
dana Corporate Social Responsibility (CSR)
dari perusahaan dan selanjutnya disalurkan
bagi sekolah yang membutuhkan, yang telah
dituangkan dalam suatu Surat Keputusan
Walikota Probolinggo
Good Governance : adalah suatu fungsi akuntabilitas dan sebagai
suatu penyelenggaraan manajemen
pembangunan yang solid dan bertanggung
jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi
dan pasar yang efisien, penghindaran salah
alokasi dana investasi dan pencegahan
korupsi baik secara politik maupun
administratif, menjalankan disiplin anggaran
serta penciptaan kerangka hukum dan politik
bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Governance : adalah penggunaan kewenangan administrasi,
ekonomi dan politik untuk mengelola suatu
masalah publik atau disebut lain sebagai tata
kelola kepemerintahan. Sebagai kompleksitas
mekanisme, proses, hubungan, dan
kelembagaan melalui mana warga dan
kelompok mengartikulasi kepentingan mereka,
penggunaan hak dan kewajiban mereka dan
menengahi perbedaan-perbedaan mereka.

xx
Governability : adalah menyangkut kompleksitas, dinamika
dan keberagaman dari sistem sosial-politik
yang memerlukan karakteristik tertentu dari
proses penyesuaian antara kebutuhan dan
kapasitas.
Governing : adalah menunjukkan fungsi governance oleh
aktor siapa saja atau kewenangan atau
institusi, termasuk salah satunya Lembaga
Swadaya Masyarakat, mengingat governance
terdiri dari: proses, struktur, nilai, manajemen
kebijakan, administrasi.
Jurnalis Warga : adalah seseorang secara bebas (freelance)
dan sukarela yang pekerjaannya meliput
seperti wartawan terhadap kegiatan yang
dilakukan oleh sekolah-sekolah dan/atau
Dinas Pendidikan, dengan cara mengunggah
(upload) ke media sosial (medsos). Hal ini
bertujuan untuk menyebarkan berita atau
praktik baik oleh satu atau beberapa sekolah,
agar semua dapat mengetahui dan alasan lain
karena media mainstream (koran) jarang
sekali memberitakan dengan alasan tidak
menguntungkan secara bisnis.
Komite Sekolah : adalah badan mandiri yang mewadahi
peranserta masyarakat dalam rangka
meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi
pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan,
baik pada pendidikan pra sekolah, jalur
pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan
luar sekolah.
Laporan Triwulan : adalah laporan kinerja kegiatan dan keuangan
yang disusun oleh setiap sekolah setiap 3
(tiga) bulan sekali dan diserahkan ke Dinas
Pendidikan.

xxi
MBS-BPP : adalah salah satu standar pelayanan minimal
yang prinsip-prinsipnya wajib dilakukan oleh
satuan pendidikan di mana sekolah diberi
otonomi dalam pengelolaan sekolah dan
sebagai penyedia pelayanan pendidikan di
satuan pendidikan.
Monitoring : adalah kegiatan pemantauan terhadap
pemenuhan janji perbaikan pelayanan yang
dilakukan oleh sekolah, dengan tujuan untuk
mengetahui sejauhmana pemenuhan janji
tersebut, apakah sesuai dengan rencana atau
tidak.
Paguyuban Kelas : adalah himpunan atas dasar sukarela yang
terdiri dari orang tua/wali siswa dalam suatu
kelas tertentu, yang membantu sekolah dan
komite sekolah di dalam pengembangan
sekolah.
Rekomendasi : adalah usulan yang mendesak untuk
dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari
kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap
pemenuhan janji perbaikan pelayanan.
Satuan Pendidikan : adalah kelompok layanan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan pada jalur
formal, nonformal, dan informal pada setiap
jenjang, dan jenis pendidikan.
Soundness : adalah karakteristik governance dengan
kualitas yang super dalam: fungsi, struktur,
proses, nilai, dimensi, dan unsur penting
dalam governing dan administrasi.
Sound Governance : adalah merefleksikan keduanya governing dan
fungsi administratif dengan kinerja
organisasional yang sehat dan manajerial yang
tidak hanya sekarang dan pemeliharaan
kompeten, tetapi juga antisipatif, responsif,
akuntabel dan transparan, dan koreksi diri;

xxii
oleh karena itu berorientasi strategis dan
jangka panjang sebaik operasional jangka
pendek.
Stakeholders : adalah pemangku kepentingan atau individu
atau kelompok sosial yang memiliki
kepentingan dan perhatian pada bidang
tertentu.
Workplan : Rencana Kerja Tahunan

xxiii
DAFTAR SINGKATAN

ADEKSI : Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia


ADKASI : Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APEC : Asia – Pacific Economic Cooperation
APEKSI : Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia
APKASI : Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh
Indonesia
APPSI : Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh
Indonesia
ASEAN : Association of Southeast Asian Nations
AusAID : Australia Agency for International
Development
BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BOS : Bantuan Operasional Sekolah
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
CSR : Corporate Social Responsibility
DIKBUD : Pendidikan dan Kebudayaan
DIKDASMEN : Pendidikan Dasar dan Menengah
DIRDARIM : Direktur Dana Perimbangan
DIRFASDARIM : Direktur Fasilitas Dana Perimbangan
DIRJEN : Direktur Jenderal
DIRPEM : Direktur Pembinaan
DIRPEN : Direktur Pendidikan
DPA-PPKD : Dokumen Pelaksanaan Anggaran - Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
EDS : Evaluasi Diri Sekolah
EFA : Education for All
FGD : Focus Group Discussion
FP3 : Forum Peduli Pelayanan Publik

xxiv
ILO : International Labour Organization
IMF : International Monetary Fund
IPM : Indeks Pengaduan Masyarakat
JATIM : Jawa Timur
JPP dan RT : Janji Perbaikan Pelayanan dan Rekomendasi
Teknis
JW : Jurnalis Warga
KEMDAGRI : Kementerian Dalam Negeri
KEMDIKBUD : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
KEMENKEU : Kementerian Keuangan
KEMENKO PMK : Kementerian Koordinator Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan
LPSS : Local Public Service Specialist (East Java
Kinerja USAID)
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MADING : Majalah Dinding
MBS-BPP : Manajemen Berbasis Sekolah – Berorientasi
Pelayanan Publik
MENTERI PPN : Menteri Perencanaan Pembangunan Negara
MI : Madrasah Ibtidaiyah
MONEV : Monitoring dan Evaluasi
MoU : Memorandum of Understanding atau Nota
Kesepahaman
MSF : Multi Stakeholders Forum (Forum Multi Pihak
Pemangku Kepentingan)
MTs : Madrasah Tsanawiyah
MUSRENBANGKEL : Musyawarah Rencana Pembangunan
Kelurahan
PC : Provincial Coordinator (East Java Kinerja
USAID)
PEMKOT : Pemerintah Kota
PERDA : Peraturan Daerah
PERMENDIKBUD : Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan
PERMENDIKNAS : Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

xxv
PT : Perguruan Tinggi
PUG : Pengarustamaan Gender
PUSDATIK : Pusat Data dan Statistik
RKS : Rencana Kerja Sekolah
RKAS : Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah
RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah
SATPAM : Satuan Pengamanan
SD/N : Sekolah Dasar/Negeri
SEKDIRJEN : Sekretaris Direktorat Jenderal
SK : Surat Keputusan
SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah
SLG : Sound Local Governance
SMP/N : Sekolah Menengah Pertama/Negeri
SNP : Standar Nasional Pendidikan
SOP : Standar Operasional Prosedur
SPM : Standar Pelayanan Minimal
SPP : Standar Pelayanan Publik
STTA : Short Term Technical Assistance
SWOT : Strengths, Weakness, Opportunity, Threats
ToT : Training of Trainer
TPS : Tim Pengembang Sekolah
TU : Tata Usaha
UNDP : United Nations Development Programme
UNESCO : United Nations Educational, Scientific, and
Cultural Organization
UNICEF : United Nations Emergency Chilfren’s Fund
UPT : Unit Pelayanan Teknis
USAID : United States Agency for International
Development
WB : World Bank
WFO : World Food Organization
WHO : World Health Organization
WTO : World Trade Organization

xxvi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan pelayanan pendidikan telah menjadi masalah global
atau internasional, di mana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah
menempatkan pendidikan, terutama pendidikan dasar menjadi tujuan (goal)
sebagaimana telah dicanangkan dalam Pertemuan Internasional di Dakar,
Senegal, Perancis tanggal, 26-28 April 2000, di mana 189 negara
membicarakan tujuan pendidikan yang dikenal dengan Millennium
Development Goals (MDG’s), khususnya pendidikan dasar universal
(MDG2) dan kesetaraan gender (MDG3) pada pendidikan tahun 2015. Hal
ini membuktikan bahwa permasalahan pendidikan dasar (primary education)
menjadi permasalah global dan perlu mendapatkan pelayanan yang memadai
yang wajib dilakukan oleh setiap negara di dunia.
Komunitas internasional pada pertemuan di Dakar tersebut
menyampaikan 6 (enam) komitmen kolektif yang terkait dengan Education for
All (EFA), yaitu: (1) peningkatan pembiayaan eksternal untuk pendidikan,
khususnya pendidikan dasar; (2) memastikan prediksi yang lebih besar dalam
aliran bantuan eksternal; (3) memfasilitasi lebih efektif koordinasi donor; (4)
memperkuat pendekatan sektor yang luas; (5) memberikan bantuan utang
sebelumnya, lebih luas dan lebih panjang dan/atau penghapusan utang untuk
pengurangan kemiskinan, dengan komitmen yang kuat untuk pendidikan
dasar; (6) melakukan monitoring lebih efektif dan teratur kemajuan menuju
tujuan dan target EFA, termasuk penilaian secara periodik (UNESCO, 2000:
9).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, ada beberapa pertanyaan
yang dapat dapat dialamatkan ke permasalahan pelayanan publik sektor
pendidikan tersebut, yaitu: (1) apa yang terjadi dengan cita-cita pelayanan
publik dan kapan kita berhenti mendengar tentang mereka; (2) bagaimana
memiliki perubahan dalam filosofi manajemen dan teori tentang peran yang
tepat dan identitas pemerintah diubah bagaimana tindakan, berpikir dan
berperilaku pegawai negeri; (3) apakah nilai-nilai pelayanan publik, terutama

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 1


yang memberikan hal yang terkait dengan martabat, keberanian, dan
komitmen, telah hilang dalam proses? (4) bagaimana kita dapat menemukan
kembali dan menegaskan mereka? (Denhardt dan Denhardt, 2003: xii).
Pokok permasalahan pelayanan pendidikan di negara-negara di
dunia, termasuk Negara Indonesia adalah terutama pada komitmen
pemerintah untuk peduli pada sektor pendidikan. Di negara Indonesia
anggaran pemerintah semakin besar, namun masih agak kesulitan untuk
belanja modal, sehingga terkesan kurang peduli karena anggaran pendidikan
lebih banyak untuk pembayaran gaji dan tunjangan pegawai serta bantuan-
bantuan lain, seperti: Bantuan Siswa Miskin (BSM), Beasiswa Prestasi,
Belanja Operasional Pendidikan (BOP), Belanja Operasional Sekolah
(BOS), dan lain-lain sebagainya.
Tabel 1. Anggaran Belanja Negara dan Anggaran Fungsi Pendidikan Tahun
Anggaran 2014 – 2015 (dalam Milyar Rp)

Komponen Anggaran Tahun 2014 Tahun 2015


Pendidikan

A. Belanja Pemerintah 130.279,57 154.236,30


Pusat

B. Transfer ke Daerah 238.619,49 254.895,50

Total Anggaran Fungsi 368.899,06 409.131,80


Pendidikan

Prosentase 20,00 % 20,06 %


Total Belanja Negara 1.842.495,00 2.039.483,60
Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2015

Memperhatikan tabel 1 di atas, menunjukkan bahwa anggaran


fungsi pendidikan meningkat dari tahun anggaran 2014 ke tahun anggaran
2015 dan demikian pula prosentase mengalami peningkatan dari 20,00 %
(2014) menjadi 20,06 % (2015). Menurut sumber dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, 2015) bahwa dari pagu tahun

2 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


anggaran 2015 sebesar Rp 46,80 T dibagi menjadi 3 alokasi anggaran, yaitu:
(1) kegiatan anggaran mengikat sebesar 75,35 %; (2) prioritas nasional
sebesar 22,69 %; dan (3) manajemen (non gaji) sebesar 1,96 % (koordinasi,
monev dan pengawasan). Data alokasi anggaran pada Kemdikbud tersebut
menunjukkan bahwa anggaran belanja yang non program masih
mendominasi, sehingga untuk peningkatan pelayanan dan mutu pendidikan
masih perlu diupayakan anggaran dari luar APBN.
Pelaksanaan program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ini pada
satuan pendidikan dasar baik negeri dan swasta mendapat dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diteruskan
dengan skema Dana Dekonsentrasi Provinsi. Titik berat dari penggunaan
dana BOS, adalah untuk pencapaian target Standar Nasional Pendidikan
(SNP) yang terdiri dari 8 (delapan) standar, yaitu: isi, proses, kompetensi
lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan (Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 jo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013
tentang Standar Nasional Pendidikan). Di samping untuk mencapai target
kedelapan standar tersebut, dana BOS untuk memenuhi target SPM
Pendidikan Dasar (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun
2010), sehingga secara bersama-sama akan diupayakan pencapaian target
SPM dan SNP dengan menggunakan BOS.
Bagaimana kondisi penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar?
Pelayanan pendidikan oleh sekolah dasar semata-mata terjebak pada
kegiatan untuk mencapai target SPM dan SNP dengan dana operasional dari
BOS. Hal ini sesuai dengan ketentuan bahwa indikator pelayanan pendidikan
yang baik adalah semakin tingginya pencapaian target SPM dan SNP. Kota
Probolinggo sebagai sebagai contoh, telah mencapai target SPM yaitu rata-
rata 80,5 % dan pencapaian target SNP rata-rata 75 % (sumber Dinas
Pendidikan Kota Probolinggo, 2015). Oleh karena itu, pencapaian keluaran
(output) untuk mencapai target SPM lebih penting daripada proses
pelayanan sekolah kepada siswa dan orang tua/wali siswa.
Kondisi di atas, membawa implikasi terhadap kurang kepedulian
sekolah pada pengaduan dari para siswa maupun orang tua/wali siswa.
Misalnya, seringkali siswa mengadu bahwa ruang kelas panas, namun kurang

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 3


mendapat tanggapan atau tidak segera dibelikan kipas angin oleh sekolah
dan guru tidak memeriksa hasil pekerjaan rumah siswa dan inipun sudah
disampaikan ke kepala sekolah juga belum ada perubahan yaitu untuk
memeriksa hasil pekerjaan rumah.
Konsekuensi dari kondisi empirik di atas yaitu sekolah terjebak pada
kegiatan untuk mencapai target SPM dan SNP serta ketidakpedulian
terhadap pengaduan siswa dan orang tua/wali siswa, maka mengakibatkan
sekolah kurang menjadi lembaga penyedia layanan pendidikan kepada
masyarakat sebagai pengguna layanan pendidikan. Penyebab dari kurang
peduli terhadap pengaduan siswa dan orang tua/wali siswa, karena sekolah
tidak ada peraturan atau ketentuan dari pemerintah kota Probolinggo,
sebagaimana yang disampaikan oleh RKM Kepala SDN Tisnonegaran 1 dan
END Kepala SDN Sukabumi 1, bahwa keduanya menyatakan bahwa sekolah
melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk pelaksanaan penggunaan dana
BOS dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Mereka menyatakan seharusnya Pemerintah Kota Probolinggo menyusun
suatu peraturan yang mengatur tentang pelayanan pendidikan, agar sekolah
berani untuk memperbaiki pelayanan pendidikan melalui partisipasi
masyarakat.
Kebijakan pemerintah terkait dengan pelayanan publik berbasis
pengaduan telah ada, namun pada saat ini masih hanya berlaku untuk instansi
publik, seperti dinas, badan dan kantor Pemerintah Daerah. Mengapa
sekolah sebagai penyedia pelayanan belum mendapat perhatian dalam
bentuk kebijakan sekolah sebagai penyedia pelayanan pendidikan oleh
pemerintah, pemerintah provinsi bahkan pemerintah kabupaten/kota? Dari
sisi regulasi ada kesenjangan realitas (reality gap) atau terjadi normatif gap.
Hal ini dapat dilihat yaitu dengan adanya beberapa peraturan yang terkait
dengan pelayanan publik berbasis pengaduan, yaitu: kebijakan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, yaitu: Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 11
Tahun 2005 yang telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Gubernur Jawa
Timur Nomor 87 Tahun 2011 tentang Kode Etik Pelaksana Pelayanan Publik.
Sedangkan regulasi dari Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur

4 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Negara masih bersifat pedoman yaitu dengan diterbitkan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pedoman
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat.
Berdasarkan kondisi regulasi tentang pelayanan publik tersebut di atas,
menunjukkan bahwa belum adanya suatu regulasi secara khusus tentang
pelayanan publik pada tingkat satuan pendidikan, baik di tingkat pemerintah
pusat, pemerintah provinsi dan peraturan daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 yang telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, belum memuat secara
eksplisit mengatur tentang penerapan prinsip-prinsip Manajemen Berbasis
Sekolah - Berorientasi Pelayanan Publik (MBS-BPP).
Penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar, seperti yang terjadi
di Kota Probolinggo sebelum tahun 2011, setiap satuan pendidikan dasar
menerapkan prinsip-prinsip MBS, sebagaimana yang tercantum dalam pasal
2 huruf b angka 13, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun
2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar. Padahal sekolah
merupakan ujung tombak sebagai satuan pendidikan secara bersama-sama
dengan Pemerintah Kota melalui Dinas Pendidikan yang bertanggung jawab
terhadap pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) di mana sekolah
bertanggung jawab pada level satuan pendidikan dan Dinas Pendidikan pada
level kabupaten/kota (Permendiknas No. 15 Tahun 2010 tentang SPM
Pendidikan Dasar).
Dalam ranah governance sebagaimana yang dikemukakan oleh Guy
Peters (Bevir, 2011) bahwa dalam pandangan kontemporer, kata governance
adalah didefinisikan keterkaitan antar aktor, mungkin antara aktor dalam
sektor publik dan aktor yang datang dari luar, apakah dari pasar atau
masyarakat sipil. Ketiga aktor ini juga berperan dalam antar hubungan
masyarakat sipil, negara dan ekonomi pasar (Rhodes; Kooiman dalam Pierre,
2000). Perkembangan selanjutnya, ketiga aktor tersebut ditambah satu aktor
lagi oleh Farazmand (2004) yaitu adanya aktor global atau internasional,
sebagai alternatif dari konsep good governance yang pertama kali
dipopulerkan oleh United Nations Development Program (UNDP).
Penerapan MBS oleh satuan pendidikan seperti yang dilakukan di
Kota Probolinggo bahwa sampai dengan tahun 2011, menurut Kepala Dinas

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 5


Pendidikan Kota Probolinggo saat itu, belum beorientasi pelayanan publik,
meskipun secara normatif telah diatur tentang pelayanan publik khususnya
masalah pengelolaan pengaduan (complaint management). Sejauh ini
pelaksanaan program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Kota
Probolinggo pada Tahun 2011, dilakukan oleh satuan pendidikan dasar atau
sekolah telah melibatkan masyarakat melalui Komite Sekolah dan Paguyuban
Kelas, sehingga terlihat tingkat pencapaian target Standar Pelayanan Minimal
(SPM) cukup baik mendekati rata-rata 90 % dan namun dalam pencapaian
target nasional untuk Standar Nasional Pendidikan (SNP) masing-masing
sekolah sangat beragam tingkat pencapaiannya, padahal SNP merupakan
indikator peningkatan kualitas pendidikan.
Pada pertengahan tahun 2011, dengan masuknya aktor
global/internasional yaitu United States Agency for International Development
(USAID) dengan program KINERJA dengan periode pendampingan teknis
(technical assistance) selama 5 (lima) tahun (2011-2015). Program KINERJA
ini mengacu pada Peraturan Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13
Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
dengan Partisipasi Masyarakat dan program yang untuk didampingi adalah
penerapan Manajemen Berbasis Sekolah Berorientasi Pelayanan Publik atau
disingkat MBS-BPP. Adapun kegiatan dari program KINERJA USAID ini,
antara lain: lokakarya, pendampingan teknis, pertemuan antar provinsi dan
nasional, termasuk menyediakan fasilitator, laboratorium MBS-BPP dan
Klinik MBS-BPP.
Melihat permasalahan manajemen berbasis sekolah yang belum
berorientasi pelayanan publik sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala
Dinas Pendidikan Kota Probolinggo tersebut di atas dan dengan adanya
pendampingan teknis (Technical Assistance) dari USAID dengan program
penerapan MBS-BPP, maka penulis tertarik untuk menerbitkan buku tentang
kegiatan pendampingan teknis tersebut, sehingga menjadi best practice
untuk praktik MBS-BPP daerah lainnya di seluruh Indonesia dan perlu
diketahui bahwa pelaksanaan program MBS-BPP ini, adalah sebagai upaya
di dalam perbaikan pelayanan publik yang dilakukan oleh sekolah.
Di samping indikator pencapaian target SPM dan SNP, respons
terhadap pengaduan siswa dan atau orang tua/wali siswa, hal ini dapat dilihat
dari sisi proses pelayanan pendidikan dari sekolah yang telah sungguh-

6 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


sungguh menerapkan MBS-BPP. Kondisi ini menunjukkan bahwa untuk
siapa responsif pelayanan publik. Namun demikian, ternyata di Kota
Probolinggo lebih memfokuskan kepada penerapan prinsip-prinsip
manajemen yang tidak berorientasi pada pelayanan publik, sehingga kurang
peduli pada pengaduan masyarakat selaku pengguna pelayanan sekolah.
Pelaksanaan program MBS-BPP ini terdiri dari lima tahapan dan
telah teridentifikasikan beberapa kesenjangan antara yang seharusnya
dengan kondisi senyatanya, sebagai berikut:
Tahap Pertama, survei Pengaduan Masyarakat dan penyusunan janji
perbaikan pelayanan dan penyusunan rekomendasi teknis yang ditujukan ke
Dinas Pendidikan atau Satuan Kerja Perangkat Daerah lainnya atau ke
lembaga lain di luar instansi pemerintah.
Berdasarkan pernyataan Kepala Bidang Pendidikan Dasar Kota Probolinggo
(ASN, 2014) bahwa ada beberapa sekolah yang sebagian besar sekolah
swasta belum mampu melaksanakan survei pengaduan, karena adanya
beberapa alasan sebagai berikut:
(1) Komitmen kepala sekolah relatif rendah;
(2) Kapasitas sumber daya manusia kurang;
(3) Kekurangan dana; dan
(4) Fasilitator MBS-BPP relatif kurang aktif.

Sebelum dilakukan survei pengaduan masyarakat dilakukan


penyusunan angket dengan melibatkan beberapa unsur dengan prinsip
keterwakilan, di mana perbandingannya adalah untuk penyedia layanan
(pihak sekolah) sebesar 20 % - 30 % dan untuk keterwakilan pengguna
layanan (orang tua siswa dan siswa) sebesar 80 % - 70 %. Dalam praktik,
ternyata ada kelompok sekolah tertentu, komite sekolah dan orang tua siswa
aktif. Namun sebaliknya, jika komite sekolah dan orang tua kurang aktif, maka
perbandingan tersebut di atas, tidak terpenuhi. Dengan demikian apabila
tidak terpenuhi, maka akan mengurangi derajat keterwakilan dalam
pengambilan keputusan bersama. Kondisi ini berimplikasi pada kualitas
pengaduan, janji perbaikan pelayanan dan rekomendasi teknis yang disusun.
Pelaksana survei pengaduan seharusnya dari pihak yang
independen, agar lebih obyektif, namun kenyataannya seluruh sekolah

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 7


melakukan survei sendiri. Pihak sekolah kurang menjalin kerjasama atau
bermitra dengan lembaga independen seperti bekerjasama dengan
semacam Forum Peduli Pelayanan Publik (FP3) yang ada di tingkat lokal.
Kegiatan selanjutnya adalah pengelolaan pengaduan yang diambil
dari angket untuk menyusun Indeks Pengaduan Masyarakat (IPM). Persoalan
muncul ketika menyusun janji perbaikan pelayanan atas dasar IPM dan
penyusunan rekomendasi teknis, karena pengguna layanan tidak dilibatkan
secara langsung.
Berdasarkan pernyataan Kepala Bidang Pendidikan Dasar (ASN,
2015) dan Pengawas Sekolah (KSD, 2015) bahwa sebagian besar sekolah
tidak menyusun Rekomendasi Teknis (RT) ini, karena beberapa alas an yaitu:
(1) tidak mampu menyusun; dan (2) tidak ada keinginan untuk menyusun,
karena pernah menyusun akan tetapi tidak pernah ada tanggapan.

Tahap Kedua, penyusunan perencanaan dan penganggaran sekolah. Dalam


proses penyusunan Rencana Kerja Sekolah (RKS) dan Rencana Kerja dan
Anggaran Sekolah (RKAS) diperlukan data Indeks Pengaduan Masyarakat
(IPM), analisis gap SPM dan Evaluasi Diri Sekolah (EDS). Pada saat analisis
gap SPM dan EDS pihak sekolah tidak melibatkan pengguna layanan, namun
pada saat penyusunan RKS, RKAS dan Standar Operasional Prosedur
(SOP) pihak sekolah melibatkan pengguna layanan yang dalam hal ini diwakili
oleh Komite Sekolah dan ada sekolah yang juga melibatkan wakil dari
Paguyuban Kelas. Hal ini tergantung pihak sekolah apakah melibatkan
perwakilan dari pengguna layanan atau tidak.

Tahap ketiga, pemenuhan janji perbaikan pelayanan. Pada tahap ini masing-
masing sekolah pada umumnya memilih janji perbaikan pelayanan yang tidak
membutuhkan dana yang relatif besar tetapi yang segera terlihat, seperti guru
wajib memeriksa pekerjaan rumah siswa, kamar mandi kurang bersih dan
sebagainya. Janji untuk perbaikan tempat parkir atau pengadaan kipas angin
di ruang kelas, pada umumnya segera terpenuhi. Pengajuan Rekomendasi
Teknis (RT) kepada Dinas Pendidikan atau perusahaan swasta pada
umumnya kurang direspon. Misalnya rekomendasi teknis tentang
pembangunan fisik perbaikan gorong-gorong untuk mengatasi luapan air
ketika hujan deras.

8 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Tahap Keempat, adalah kegiatan monitoring dan evaluasi. Kegiatan ini pada
umumnya menurut Kepala Bidang Pendidikan Dasar Kota Probolinggo (ASN,
2015) langkah yang kurang mendapat perhatian oleh sekolah, pengawas
sekolah dan masyarakat yang diwakili oleh komite sekolah dan paguyuban
kelas. Implikasi dari kondisi ini adalah mempengaruhi tingkat kualitas
pemenuhan janji perbaikan pelayanan dan pelayanan pendidikan.

Tahap Kelima, Reformasi Janji Perbaikan Pelayanan (JPP) dan Rekomendasi


Teknis (RT). Pada umumnya langkah ini pengguna layanan relatif kurang
memperhatikan atau peduli, dan pada umumnya penyedia layanan atau
sekolah-sekolah merevisi janji perbaikan pelayanan melalui survei ulang.
Ada beberapa temuan penelitian tentang MBS dari negara
Indonesia dan luar negara Indonesia yang tidak berorientasi pada pelayanan
publik, yaitu:
Temuan Santibanez, et al., (2013) di negara Mexico di mana
sekolah yang menerapkan MBS memiliki dampak positif, terutama dalam hal
penyediaan dana untuk kebutuhan sekolah, materi dan infrastruktur.
Sedangkan Abadzi (2013) menemukan bahwa Komite Sekolah kekurangan
waktu dan sumberdaya untuk membuat keputusan yang baik dan mereka
juga kurang berpengalaman untuk memahami kondisi sekolah yang
berkualitas, guna mengevaluasi sekolah khususnya dalam pemberian
pelayanan kepada orang tua siswa dan siswa itu sendiri. Namun demikian,
Komite Sekolah tetap berupaya untuk membuatkan keputusan guna
membantu sekolah di dalam pelayanan dan bahkan perbaikan pelayanan
khususnya bagi warga miskin.
Penelitian tentang MBS di negara Iran yang terkait dengan prestasi
akademik dilakukan oleh Moradi, et al., (2012). Ia menemukan bahwa suatu
karakteristik MBS dapat diantisipasi untuk memperbaiki pencapaian
akademik siswa dan hasil sekolah lainnya, karena itu masyarakat setempat
mengklaim pemantauan lebih dekat terhadap staf sekolah, penilaian siswa
yang lebih baik, pengamatan lebih dekat kesesuaian antara kebutuhan
sekolah dan kebijakan, dan lebih efektif dalam menggunakan sumber daya.
Pada penelitian di Indonesia dilakukan oleh Bandur (2012) tepatnya
di Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), ini terkait dengan
satuan pendidikan berhasil menemukan bahwa dengan adanya pemberian

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 9


kewenangan pada pengambilan keputusan di tingkat sekolah, menjadikan
sistem manajemen sekolah publik memiliki kinerja lebih menonjol dalam
sebagian besar negara-negara di dunia. Ada kencenderungan global dalam
pengembangan MBS di Indonesia yaitu adanya sebuah penekanan pada
bagaimana MBS berkreatif, bermitra dalam proses pengambilan keputusan
secara partisipatif pada tingkat sekolah.
Penelitian tentang MBS juga telah dilakukan oleh Initiatives for
Governance Innovation-IGI (2012) di dua sekolah Kota Probolinggo, yaitu
SDN Kebonsari Kulon 2 dan SDN Sumbertaman 1. Adapun temuannya
adalah bahwa penerapan MBS berorientasi pelayanan publik ini pada
hakekatnya membutuhkan waktu yang cukup panjang dan berliku-liku.
Secara garis besar, proses pelembagaan program tersebut dapat dibedakan
atas 2 (dua) jenis, yaitu: pelembagaan secara internal dan pelembagaan
secara eksternal.
Ada beberapa tantangan pelembagaan MBS berorientasi pelayanan publik,
antara lain: (1) menjaga kesinambungan komunikasi dan koordinasi dengan
Dinas Pendidikan untuk menjamin keberlanjutan penerapan MBS
berorientasi pelayanan publik; (2) mensinergikan antara penerapan MBS
berorientasi pelayanan publik dengan pemenuhan kebutuhan fasilitas
sekolah; (3) Dinas Pendidikan perlu mengambil sikap dalam menghadapi
persaingan antar sekolah terutama sekolah yang berdekatan.
Penelitian MBS berikut dilakukan oleh Malaklolunthu dan
Shamsudin (2011) di negara Malaysia dan temuannya adalah bahwa
keberhasilan implementasi untuk memperkenalkan gugus sekolah
membutuhkan tiga jenis pendekatan, yaitu: (1) pembelajaran dan reorientasi
mental pada sebagian komunitas sekolah untuk mengakomodasi konsep baru
MBS; (2) pemberian kekuatan pengambilan keputusan secara otonom pada
administrasi sekolah untuk membuat keputusan di wilayahnya seperti
rekruitmen guru dan seleksi siswa untuk hasil yang efektif; dan (3)
pengembangan kepemimpinan yang transformasional kepala sekolah untuk
memimpin perubahan.
Penelitian tentang MBS yang dilakukan oleh Heyward, et al., (2011)
di negara Indonesia khususnya implementasi program Decentralized Basic
Education (DBE) dari Research Triangle Institute (RTI) yang disponsori oleh
USAID, telah menemukan bahwa implementasi MBS telah memberikan

10 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


dampak pada partisipasi komunitas secara keseluruhan pada sekolah dan
madrasah, pelatihan pada tingkat gugus sekolah, pelatihan sambil berjalan
dilakukan mentoring, bekerja melalui sistem lokal, berdasarkan kebijakan
program, menyediakan pendampingan teknis daripada dana, program yang
dapat dikelola dan terjangkau bagi mitra lokal dan pengembangan komitmen
pada level lokal dan provinsi.
Selanjutnya penelitian tentang MBS di negara Australia, dilakukan
pula oleh Kimber dan Ehrich (2010) dan telah menemukan bahwa ada
kecenderungan menuju defisit demokratis di negara Australia, meskipun tidak
seperti yang terjadi di Negara Inggris. Peneliti berargumentasi bahwa prinsip
demokratis pada sekolah publik di negara Australia telah ditemukan sedang
terkikis oleh praktik pasar dan manajerial. Implikasi praktis temuan ini bahwa
pembuat kebijakan dan pelaksana diuji dengan cara lain terhadap
pemahaman MBS dan dampaknya pada guru dan siswa. Temuan ini
menawarkan untuk cara reorientasi praktis dari yang berbasis eksklusif
manajerial menuju berbasis sektor publik.
Rodall dan Martin (2009) dalam penelitian MBS di negara Mexico,
telah menemukan bahwa beberapa komunitas sekolah dalam kolaborasi
dengan organisasi non-pemerintah dan jaringan kelompok yang diciptakan
bermacam-macam untuk mengembangkan proyek-proyek pendidikan. New
Public Management diuji dan ditemukan keinginan, beberapa pendekatan
governance menyediakan lebih banyak peluang untuk secara esensi
menciptakan suatu perubahan hubungan yang baru antara pemerintah dan
masyarakat sipil, dan dalam masyarakat sipil, di pendidikan warga.
Penelitian MBS oleh Cheung dan Kan (2009) di Negara Hong Kong
telah menemukan beberapa hal yaitu: (1) ketika guru secara umum
menyenangi bekerja bersama masyarakat (seperti orang tua siswa, alumni
dan anggota komunitas lokal) untuk perbaikan sekolah, mereka mensyaratkan
tentang registrasi Komite Manajemen Sekolah sebagai Komite Manajemen
yang Berbadan Hukum, karena ada implikasi hukum sebagai sebuah Komite;
(2) Para Guru melihat Komite Manajemen yang Berbadan Hukum sebagai
suatu alat administratif untuk memperbaiki manajemen sekolah, lebih dari itu
sebagai suatu cara tingkatkan hasil pembelajaran siswa; (3) Para guru ragu-
ragu tentang penempatan sebagai pimpinan guru untuk beban kerja yang
tidak terduga dan pertanggungjawaban hukum yang terlibat; dan (4) Guru

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 11


pada umumnya tidak banyak kesukaan, termasuk keterwakilan dari publik dan
registrasi Komite Manajemen Sekolah sebagai Komite Manajemen yang
Berbadan Hukum.
Selanjutnya penelitian MBS di negara Israel, dilakukan oleh Mizel
(2009) dan telah menemukan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
dapat dijalankan masyarakat tradisional untuk memperoleh keuntungan dari
manajemen sekolahnya sendiri, perubahan pendidikan lebih luas semacam
ini harus diperkenalkan secara bertahap, dalam cara suatu perubahan yang
sensitif bersifat kultural.
Pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan, dalam penelitian yang dilakukan oleh Farazmand (2012) telah
menemukan adanya hubungan governance-citizen dan memperdebatkan
‘sound governance’ dan keterlibatan warga dalam administrasi publik melalui
kolaboratif organisasi. Secara khusus: (1) memperdebatkan suatu konsep
baru ‘sound governance’ dengan dimensi dan karakteristik kunci; (2)
menyediakan suatu imperatif dengan rasional untuk mengikutsertakan warga
dalam ‘governance’ dan ‘governing’ dalam abad ke-21; dan (3) menawarkan
alternatif bentuk-bentuk pengembangan kemitraan (partnership) dan
kerjasama (collaborative) untuk mengikutsertakan warga, mempertinggi
‘governance’ dan memaksimalkan partisipasi warga dalam administrasi
publik.
Dari beberapa penelitian MBS di beberapa tempat di atas, posisi isi
buku ini (state of the art) apabila dimasukkan ke dalam peta penelitian tentang
MBS, maka signifikannya adalah bagaimana penerapan MBS-BPP seperti
yang dilakukan di Kota Probolinggo ini dapat dilihat dari peran keempat aktor
(pemerintah, masyarakat sipil, swasta dan global atau internasional) dan
kesembilan dimensi (proses, struktur, kognisi dan nilai, organisasi dan
institusi, manajemen dan kinerja, kebijakan, sektor kekuatan
global/internasional, dan etika, akuntabilitas dan transparansi) dari sound
governance. Sedangkan level governance menurut Farazmand (2004)
meliputi: lokal, nasional, regional dan internasional/global, dan oleh karena itu
dalam buku ini dipergunakan perspektif sound governance untuk melihat
fenomena MBS-BPP pada level lokal, yaitu Kota Probolinggo.
Perspektif sound governance untuk memahami fenomena
pelaksanaan program MBS-BPP di satuan pendidikan dasar di Kota

12 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Probolinggo ada ada beberapa permasalahan yang muncul sebagaimana
diuraikan di atas ketika pelaksanaan program MBS-BPP ini.
Pada tahapan pertama pelaksanaan MBS-BPP, apabila dilihat dari
sound governance pada level lokal aktor yang terlibat dalam survei
(perencanaan dan pelaksanaan) adalah kepala sekolah, guru dan tenaga
kependidikan sebagai aktor pemerintahan; Komite Sekolah, Paguyuban
Kelas, dan siswa adalah sebagai aktor masyarakat; LPSS berperan sebagai
aktor global sebagai penasehat maupun mengontrol kualitas survei; namun
untuk aktor swasta belum terlibat dalam proses ini. Nilai kebersamaan dalam
tanggung jawab bersama pilar governance menjadi masalah bagi peran
swasta dan ini yang seperti yang dinyatakan oleh Ketua Forum CSR Kota
Probolinggo bahwa swasta menunggu usulan apa yang dari pihak sekolah.
Jadi swasta memiliki program dan kegiatan sendiri, dan apabila usulan dari
pihak sekolah tidak sesuai dengan program dan kegiatan yang telah
ditetapkan oleh pihak swasta, kemungkinan dikabulkan relatif kecil
peluangnya.
Pada tahapan kedua ini bahwa hasil pelaksanan survei pengaduan
sebagai wahana untuk mengetahui Indeks Pengaduan Masyarakat (IPM)
terhadap pelayanan sekolah di mana telah melibatkan siswa dan orang tua
siswa dan selanjutnya keluaran survei tersebut menjadi input yang sangat
penting bersamaan dengan analisis gap SPM dan Evaluasi Diri Sekolah
(EDS) dalam rangka penyusunan Rencana Kegiatan Sekolah (RKS) sebagai
rencana jangka menengah (4 tahun) dan Rencana Kegiatan dan Anggaran
Sekolah (RKAS) sebagai rencana pendek (1 tahun) di sekolah. Selain itu hasil
survei menjadi input utama dalam merumuskan janji perbaikan pelayanan dan
rekomendasi perbaikan pelayanan sekolah.
Pada tahapan ketiga, yaitu pada saat pemenuhan janji perbaikan
pelayanan, kepala sekolah dan TPS berupaya untuk memenuhi janji
perbaikan pelayanan dengan jadwal yang telah ditentukan di dalam dokumen
janji perbaikan pelayanan yang ditempel di papan informasi. Namun demikian,
masih ada masalah karena sebagian besar sekolah tidak dipasang di papan
informasi. Pada umumnya ada maksimal sekitar 25 janji perbaikan pelayanan
yang disusun berdasarkan pengaduan pengguna pelayanan dan terutama
yang janji untuk transparansi penggunaan dana BOS atau dana partisipatif
dari orang tua/wali siswa, sebagian besar belum dilakukan. Belum ada

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 13


kebijakan dari Pemerintah Daerah atau melalui Dinas Pendidikan yang
mengharuskan wajib ditempel di atas penggunaan dana oleh sekolah,
sehingga para kepala sekolah tidak merasa terbeban untuk publikasi
penggunaan dana. Setiap akhir semester sekolah wajib menyampaikan
laporan kegiatan maupun laporan keuangan, tetapi tidak satupun diperiksa
oleh Dinas Pendidikan melalui Bidang Pendidikan Dasar. Efek dari kondisi
ini, sekolah terkesan hanya formalitas untuk menyampaikan laporan kinerja
dan laporan keuangan.
Pada umumnya sekolah belum semua menyusun rekomendasi
teknis, yang mana dapat muncul di pengaduan pengguna pelayanan, namun
sekolah merasa keberatan untuk memenuhi karena keterbatasan dana. Ada
sekolah yang memiliki jaringan dengan para aktor di perusahaan (swasta)
atau di dinas pemerintah, sehingga dapat bantuan, terutama yang bersifat
pembangunan fisik, seperti pembangunan gorong-gorong, pembuatan
biopori, pembuatan kompos dan lain-lain sebagainya, sedangkan sekolah lain
yang tidak memiliki jaringan, tidak dapat bantuan sama sekali. Faktor internal
yang dominan mengapa sekolah tidak membuat rekomendasi teknis, karena
sekolah tersebut tidak memiliki kemampuan untuk menyusun sebuah
rekomendasi teknis dan proposal permintaan bantuan. Sedangkan faktor
eksternal adalah Dinas Pendidikan kurang perhatian dan kurang kreatif di
dalam menjalin kerjasama dengan dunia usaha melalui pemanfaatan
Corporate Social Responsibility (CSR).
Pada tahapan keempat, yaitu pelaksanaan monitoring dan evaluasi
(monev) pemenuhan janji perbaikan pelayanan. Pelaksanaan monev
dilakukan oleh para Pengawas Sekolah yang diberi tugas oleh Dinas
Pendidikan, namun dalam faktanya kurang memegang prinsip-prinsip
manajemen kinerja. Hal terbukti bahwa para Pengawas Sekolah di dalam
melakukan tugas pengawasan tidak menggunakan alat bantu monev (tools of
monev), sehingga para Pengawas ketika selesai melakukan tugas pembinaan
dan supervisi hanya terbatas konsultasi dan mencari data kemajuan sekolah,
tanpa mengevaluasi apakah pelaksanaan MBS-BPP telah memenuhi janji
perbaikan pelayanan. Intervensi dari bantuan teknis aktor global/internasional
sebenarnya memberikan alat bantu monev dan telah membentuk semacam
forum multi pihak atau Multi Stakeholders Forum (MSF) yang beranggotakan
dari berbagai unsur tokoh masyarakat yang peduli pendidikan dan bersifat

14 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


sukarela serta jurnalis warga (JW) yang membuat berita di media sosial atau
di website milik Pemerintah Kota Probolinggo atau Blog JW. Aktor dunia
usaha dalam tahapan monev ini praktis kurang berkontribusi, sehingga salah
satu aktor sound local governance kurang menjadi penopang dalam tahapan
ini. Pelaksana monev pada tahap ini masih kurang independen, karena masih
didominasi oleh aktor pemerintah, dan meskipun aktor masyarakat yang
diwakili oleh Komite Sekolah telah melakukan monev, namun kurang
menerapkan prinsip-prinsip manajemen kinerja yang baik.
Pada tahapan kelima, yaitu tahap reformasi janji perbaikan
pelayanan. Reformasi janji perbaikan pelayanan kurang menjadi mekanisme
umpan balik secara otomatis atau telah melembaga (instutisionalized) untuk
menindaklanjuti hasil dari kegiatan monev, sehingga dapat menjadi bahan
untuk menyusun kembali Janji Perbaikan Pelayanan yang baru. Hampir
sebagian besar sekolah tidak melakukan survei pengaduan ulang setiap
semester. Hal ini menyebabkan perbaikan pelayanan kurang mendapatkan
kontrol dari pihak eksternal, sehingga berakibat agak kesulitan dalam
mengukur kinerja organisasi sekolah.
Sehubungan dengan peran keempat aktor sound governance di
Kota Probolinggo tersebut di atas, maka aktor dari dunia usaha (swasta) lah
yang kurang terlibat di dalamnya, di samping kurangnya aktor pemerintah
yang diwakili oleh Dinas Pendidikan. Pilar governance dari swasta atau dunia
usaha di Kota Probolinggo masih kurang sinergi, karena pihak perusahaan
memiliki rencana strategis sendiri untuk CSR tersebut. Fakta membuktikan
bahwa pihak perusahaan yang bergabung dalam Forum Corporate Social
Responsibility atau disingkat Forum CSR telah memberikan dana ke
beberapa sekolah. Berdasarkan data sekunder dari Kantor Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Probolinggo bahwa
dana yang terkumpul melalui kegiatan CSR adalah tahun 2010 sebesar Rp
76,137,000, tahun 2011 sebesar Rp 824,397,200, tahun 2012 sebesar Rp
714,947,500 dan pada tahun 2013 sebesar Rp 295,700,000. Dengan
demikian selama periode 2010 – 2013 dana CSR terkumpul sebesar Rp
1,911,181,700 dan yang dialokasikan ke sekolah yang terkait dengan
program MBS-BPP hanya sebesar Rp 19,295,000 atau 1 % dari seluruh
CSR.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 15


Pilar governance selanjutnya adalah pemerintahan Kota
Probolinggo. Peran aktor pemerintahan dapat dilihat pada alokasi anggaran
atau belanja program urusan wajib untuk sektor pendidikan pada tahun 2014
di Kota Probolinggo sebesar 5,84 % (Rp 24,589,715,407.00) dari total
belanja program sebesar Rp 420,757,161,647.85. Selanjutnya dari belanja
program sektor pendidikan sebesar Rp 24,589,715,407.00 tersebut, sesuai
dengan sasaran penelitian ini yaitu pendidikan dasar (SD/MI & SMP/MTs)
belanja program sebesar Rp 6,330,922,175.00 atau 25,74 % dari belanja
program Rp 24,589,715,407.00
Apabila kondisi belanja program pendidikan sebagaimana yang diuraikan di
atas dan berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 perubahan keempat,
disebutkan bahwa anggaran untuk sektor pendidikan sekurang-kurangnya 20
% dari total belanja progam APBN/APBD, maka alokasi anggaran sebesar
5,84 % tersebut masih sangat kurang sekali.
Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah sebagaimana yang
terdapat di Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS, perlu dikaitkan dengan
kerangka pelayanan publik pendidikan. Peraturan untuk mengkaitkan
pelaksanaan dana BOS dengan pelayanan publik secara normatif mengacu
pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13
Tahun 2009 tentang ”Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
dengan Partisipasi Masyarakat.” Menurut Ketua Dewan Pendidikan Kota
Probolinggo (Bapak Abd. Aziz, 2015) bahwa di dalam pelaksanaan program
Manajemen Berbasis Sekolah-Berorientasi Pelayanan Publik, mengalami
tantangan yang cukup berarti, karena kultur sekolah yang terbiasa
mementingkan manajerial yang relatif kaku akan dirubah menjadi pelayanan
masyarakat masih perlu perjuangan sungguh-sungguh dan melibatkan
stakeholders. Masyarakat di sini adalah Komite Sekolah dan Paguyuban
Orang Tua/Wali Siswa serta siswa.
Menurut pendapat Kepala Bidang Pendidikan Dasar, Dinas
Pendidikan Kota Probolinggo (2015) bahwa penyelenggaraan pelayanan
pendidikan di Kota Probolinggo melalui penerapan program MBS-BPP di
seluruh sekolah dasar sebagai penyedia layanan, masih kurang optimal di
dalam penyediaan layanan kepada masyarakat sebagai pengguna layanan.
Hal ini berdasarkan data bahwa dari sejumlah sekolah pendidikan dasar
sejumlah 182 (SD & SMP) yang telah melaporkan penerapan MBS-BPP

16 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


adalah sebanyak 52 sekolah dari 182 sekolah atau 28 % (sumber: Bidang
Pendidikan Dasar, Dinas Pendidikan Kota Probolinggo, 2014).

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas bahwa
pelaksanaan program MBS-BPP untuk tujuan pencapaian target SPM, SNP
dan perbaikan pelayanan pendidikan, pihak sekolah selaku aktor pemerintah
melibatkan aktor masyarakat yang diwakili oleh Komite Sekolah, aktor swasta
(perusahaan) serta aktor global yang diwakili oleh Provincial Coordinator
East Java - Kinerja USAID. Pelibatan komite sekolah dalam pelaksanaan
program MBS-BPP, khususnya penyusunan dan penganggaran, menurut
Pengawas Sekolah Bapak KSD ada beberapa sekolah dalam melibatkan
komite sekolah tersebut kurang optimal. Di samping itu, pada tataran
pelaksanaan dan pertanggungjawaban program kegiatan dan keuangan,
komite sekolah dilibatkan, meskipun setiap sekolah ada perbedaan tingkat
keterlibatan komite sekolah. Hubungan antara sekolah sebagai penyedia
layanan dengan orang tua siswa dan/atau siswa sebagai pengguna layanan
terbatas, dan segala pengaduan dari orang tua siswa dan/atau siswa sering
diabaikan, sehingga pengaduan tersebut tidak diakomodasi dalam
penyusunan perencanaan dan penganggaran sekolah.
Kebijakan pemerintah tentang pembatasan penggunaan dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), mengakibatkan pihak sekolah
kekurangan dana untuk perbaikan pelayanan pendidikan. Di sisi lain,
pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) mengambil kebijakan agar
sekolah tidak memungut dana kepada orang tua/wali siswa.
Oleh karena itu berdasarkan identifikasi permasalahan di atas,
dapat dirumuskan tiga hal, yang terkait dengan pelaksanaan program MBS-
BPP, yaitu: (1) peran aktor pada pelaksanaan program; (2) pelaksanaan
program itu sendiri; (3) kendala internal apa sajakah pada pelaksanaan
program; (4) tantangan eksternal apa sajakah pada pelaksanaan program;
dan (5) inovasi kebijakan dan administrasi pelayanan pendidikan pada
pelaksanaan program.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 17


BAB 2
KONSEPTUALISASI

A. Sound Governance
1. Definisi
Governance sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi,
dan administrasi untuk mengelola urusan suatu negara. Ini adalah mekanisme
yang kompleks, proses, hubungan, dan institusi dimana warga dan kelompok
mengartikulasikan kepentingan mereka, melaksanakan hak dan kewajibannya
dan menengahi perbedaan mereka. Menurut definisi dari United Nations
Development Programme (UNDP), "melampaui pemerintahan negara untuk
memasukkan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta,
karena semua yang terlibat dalam kegiatan yang paling mempromosikan
pembangunan manusia yang berkelanjutan". (UNDP dalam Farazmand,
2004: 6-7)
Memperhatikan definisi tersebut di atas dapat diidentifikasikan tiga
komponen kunci pemerintahan, yaitu: (1) negara dan lembaga-lembaganya;
(2) organisasi masyarakat sipil yang secara tradisional ditinggalkan dalam
sistem pemerintahan masa lalu; dan (3) sektor swasta yang seharusnya tidak
terlibat dalam proses pemerintahan atau dinamika.
Dari sini terlihat bahwa telah terjadi transformasi konseptual dari
tradisional konsep pemerintah (government) dan pemerintahan (governance)
menjadi pemerintahan yang baik (good governance). Di sisi lain, Peters dalam
Farazmand (2004:8) menawarkan analisis yang jelas yaitu penjelasan konsep
pemerintahan dan administrasi publik di empat model governance (market
model, participatory model, flexible government, deregulatory government)
dengan fungsi struktural dan manajerial yang sesuai. Kemudian membuat
semacam perbedaan dengan memahami makna yang lebih luas dari konsep
governance, masing-masing dengan kekuatan dan kelemahan. Di samping
itu, Frederickson dalam Farazmand (2004:8) menguraikan literatur terbaru
dari "administrasi publik sebagai governance" dan menjelaskan keuntungan
dan masalah yang terkait dengan penerapan tata kelola sebagai administrasi
publik atau sebaliknya. Pilihannya adalah untuk konsep administrasi publik,

18 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


meskipun ia mengakui di mana masalah muncul dan bagaimana tata istilah
dapat membantu dalam melayani dan menyelamatkan administrasi publik.
Kekurangan dengan konsep "good governance", seperti yang
didefinisikan oleh UNDP berasal dari bahwa interaksi hanya tiga kekuatan
atau elemen yaitu, interaksi antara negara, masyarakat sipil, dan sektor
swasta. Interaksi ketiganya mengabaikan mungkin kekuatan yang paling
penting yang mempengaruhi governance dalam mengembangkan dan
kurang majunya suatu negara, yaitu struktur kekuatan internasional/global.
Struktur kekuasaan internasional atau global selama hampir satu abad
mendominasi politik dan ekonomi dari negara-negara berkembang dan
kurang berkembang. Oleh karena itu, sound governance harus memiliki
empat komponen atau dimensi bersama-sama Farazmand (2004: 10)

2. Dasar Pemikiran dan Karakteristik


Konsep sound governance (tata kelola kepemerintahan yang
tangguh/sehat) sebagai alternatif terhadap good governance (tata kelola
kepemerintahan yang baik), ada beberapa alasan. Pertama, itu lebih
komprehensif daripada konsep lain yang ditinjau sebelumnya, dan termasuk
elemen global atau internasional yang penting dari pemerintahan. Kedua, hal
itu juga mencakup normatif serta fitur teknis dan rasional good governance.
Ketiga, memiliki karakteristik kualitas governance yang lebih unggul daripada
good governance dan sehat. Keempat, sound governance sesuai dengan
nilai-nilai konstitusi dan responsif terhadap norma-norma internasional,
aturan, dan rezim. Kelima, konsep sound governance memiliki asal kuno di
kerajaan Persia negara dunia pertama dengan sistem administrasi yang
sangat efisien dan efektif. (Farazmand, 2004:10-11)
Dengan demikian konsep governance di sini berarti suatu proses
partisipatif yang mengatur urusan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara,
negara, atau masyarakat lokal melalui struktur dan nilai-nilai yang
mencerminkan masyarakat. Sehubungan dengan kondisi di atas maka
negaralah yang memungkinkan, sehingga membutuhkan kerangka
konstitusional, masyarakat sipil, sektor swasta, dan struktur kelembagaan
internasional/global dalam rangka mewujudkan proses partisipatif untuk
memecahkan masalah publik. Oleh karena itu governance bersifat inklusif
dan memperkenalkan partisipasi dan interaksi dalam lingkungan nasional dan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 19


internasional yang semakin kompleks (complex), beragam (diverse), dan
dinamis (dynamic).
Konsep sound governance dapat digunakan untuk menunjukkan
suatu sistem pemerintahan yang tidak hanya kekuatan di dalam negeri dan
hampir tanpa cacat secara ekonomi/finansial, politik, demokratis,
konstitusional, administratif, manajerial, dan etis, namun juga mendapatkan
dukungan internasional/global serta interaksi dengan negara-bangsa lainnya
dan pemerintah mereka.
Di dalam mengkaji lebih dalam terhadap sound governance,
diperlukan sudut pandang yang komprehensif dan saling ketergantungan
satu sama lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut Farazmand (2004: 13)
mengajukan beberapa dimensi yang saling mendukung sehingga merupakan
satu kesatuan dalam bentuk dimensi-dimensi sound governance, seperti
diuraikan di bawah ini.

3. Dimensi
Sound Governance memiliki beberapa komponen atau dimensi,
yaitu (Farazmand, 2004: 12-18):
(1) Proses
Sound governance melibatkan suatu proses governing dengan
interaksi semua elemen atau pemangku kepentingan, baik proses internal
maupun eksternal.

(2) Struktur
Struktur adalah tubuh dari unsur-unsur konstitutif, aktor, aturan,
peraturan, prosedur, kerangka kerja pengambilan keputusan, dan
sumber-sumber kewenangan yang menyetujui atau melegitimasi proses
governance. Perwujudan struktural ini dibentuk dan beroperasi baik
secara vertikal dan horizontal dan dipengaruhi oleh banyak faktor internal
dan eksternal, lokal dan kekuatan internasional.

20 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


(3) Kognisi dan Nilai
Dimensi kognitif atau nilai mewakili keunikan atau sistem nilai
yang menyimpang dari proses atau struktur governance. Sedangkan
derajat keragaman, kompleksitas, dan intensitas dalam proses
governance dari pemerintahan adalah rendah dengan interaksi minimal.
Perubahan struktural yang diperlukan untuk membebaskan mereka dari
manipulasi eksternal.
Nilai-nilai normatif kejujuran, keadilan, integritas, keterwakilan, tanggap,
tanggung jawab, toleransi, dan persamaan di depan hukum bagi semua
warga negara tanpa memandang warna kulit, ras, etnis, gender, usia
membentuk perekat yang menempel pada suatu sistem sound
governance, guna menjaga semua dimensi lain bersama-sama dengan
cara yang solid.

(4) Konstitusi
Dimensi yang paling penting dari governance dan sound
governance adalah konstitusi dari sistem pemerintahan dan governance.
Konstitusi merupakan dokumen pembimbing dan mendasar yang
berfungsi sebagai cetak biru governance. Ini adalah masalah khas
"formalisme" atau dualitas dalam proses pemerintahan di seluruh dunia
yang sangat dipengaruhi atau didikte oleh eksternal struktur kekuasaan
global. Formalisme terjadi ketika aturan formal dan peraturan yang
digantikan oleh norma-norma informal bagi perilaku dalam politik,
pemerintahan, dan administrasi untuk melayani tujuan-tujuan tertentu,
tetapi mereka diterapkan secara ”kaku” ketika berhadapan dengan lawan
atau penantang sistem mereka.

(5) Organisasi dan Institusi


Dimensi sound governance berikutnya adalah organisasi dan
institusi. Hal ini terkait dengan seberapa baik institusi-institusi ini
beroperasi dalam koordinasi dengan institusi lainnya. Struktur dan proses
governance sebaik dimensi kebijakan tergantung pada institusi
governance, dan karena tanpa institusi ini maka tidak ada sound
governance.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 21


(6) Manajemen dan Kinerja
Dimensi manajerial dan kinerja sound governance terkait secara
langsung dengan sound governance. Mereka adalah bagian integral dari
keseluruhan sistem. Tapi hanya kinerja tidak cukup, melainkan harus
menghasilkan hasil yang diinginkan dan dimaksudkan, hasil yang
diterjemahkan ke dalam legitimasi sistem dan institusi. Dimensi
manajemen adalah perekat, transmisi operasi dari sistem yang harus
menghasilkan hasil yang diharapkan. Manajemen harus diberitahu oleh
pengetahuan terbaru, teknologi, kapasitas, sumber daya, dan
keterampilan, penting yang perlu terus diperbarui. Tanpa pengetahuan
tersebut di atas akan menderita dari ketidakmampuan, kinerja yang
buruk, pemborosan dan duplikasi, biro-patologi, dan kurangnya
legitimasi.

(7) Kebijakan
Dimensi kebijakan sound governance, memberikan pedoman,
arah dan kemudi kepada elemen atau dimensi proses, struktur, dan
manajemen. Dua jenis kebijakan menurut sound governance adalah:
pertama, adalah kebijakan eksternal untuk organisasi governance secara
individu, dan itu bersumber dari otoritas legislatif dan politik atau hukum
yang mewakili kehendak rakyat. Ini semacam panduan kebijakan dan
memberikan arah ke lembaga governance dan organisasi untuk
mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan. Kedua, adalah kebijakan
internal untuk institusi dan organisasi governance secara individual;
kebijakan organisasi, pedoman serangkaian pengarahan peran yang
mendefinisikan dan menentukan aturan, peraturan, prosedur, dan nilai-
nilai yang digunakan untuk mengelola kinerja organisasi menuju misi dan
tujuan-tujuan sound governance yang diinginkan. Bersama-sama,
kebijakan internal dan eksternal berfungsi sebagai pengarah mekanisme
dari kinerja organisasi dalam sound governance.

(8) Sektor
Dimensi sektoral sound governance adalah fitur sektoral yang
juga mewujudkan semua dimensi lain yang diuraikan di atas. Dimensi
sektoral governance penting karena mereka terfokus pada sektor-sektor

22 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


tertentu seperti industri, pertanian, pedesaan, perkotaan, penelitian
ilmiah, dan pengembangan, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan
area lainnya. Dimensi sektoral governance memerlukan partisipasi
langsung warga, manajemen, dan pengetahuan dan keterampilan dalam
kinerja organisasi publik. Keperluan tersebut membutuhkan suatu
koordinasi lintas sektoral dan lintas organisasional, kerjasama, dan
berbagi pengetahuan dan informasi.

(9) Kekuatan Internasional/Global


Kekuatan internasional/global dapat menimbulkan pengaruh
bagi negara di dunia dan semakin ditarik ke dalam –dengan sukarela atau
tidak- kelompok rejim yang berkembang, baik yang menunjukkan
intoleransi menuju perilaku governance yang dipertimbangkan secara
tradisional sebelumnya dan tradisional dianggap normal dan internal
untuk pemerintah yang berdaulat serta kesepakatan bersama antar
organisasi internasional. Contoh: PBB dan organisasi lainnya semacam
ILO, WFO, WHO, WB, IMF, WTO dan lain-lainnya.
Sound governance dapat diterapkan dalam negara-negara
berkembang dengan beberapa derajat kesuksesan dan keefektifan.
Penentuan sendiri adalah hak yang tidak dapat dicabut dari warga,
sehingga sound governance dapat memperjuangkan secara terus
menerus dan partisipasi masyarakat dalam iklim governance dan politik,
sehingga adminisitrasi dan governance yang partisipatif dapat menjamin
kesehatan sistem.

(10) Etika, Akuntabilitas, dan Transparansi


Suatu penampilan kunci dari sound governance adalah fondasi
prinsipnya pada nilai-nilai etika, persyaratan akuntabilitas, dan
transparansi struktur dan nilai-nilai. Prinsip pokok sound governance ini
memeriksa terhadap penyimpangan potensial dan korupsi dari sistem
sebaik berhadapan dengan prinsip-prinsip yang tidak jelas dari efisiensi
dan ekonomi dalam proses administrasi dan manajemen.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 23


B. Local Governance
Pengertian local governance menurut Sah dan Sah (2006: 1-2)
adalah sebagai berikut:
Pemerintahan daerah merupakan konsep yang luas dan
didefinisikan sebagai perumusan dan pelaksanaan tindakan kolektif di
tingkat lokal. Dengan demikian, hal itu meliputi peran langsung dan
tidak langsung dari lembaga-lembaga formal pemerintah daerah dan
hierarki pemerintahan, serta peran norma-norma informal, jaringan,
organisasi masyarakat, dan asosiasi lingkungan dalam mengejar
tindakan kolektif dengan mendefinisikan kerangka kerja untuk
interaksi warga negara-warga negara dan warga negara-negara,
pengambilan keputusan kolektif, dan pemberian layanan publik lokal.
Local governance, oleh karena itu, termasuk beragam sasaran, hidup,
bekerja, dan lingkungan dipelihara oleh pemerintahan sendiri
masyarakat. Good local governance bukan hanya tentang
menyediakan berbagai layanan lokal tetapi juga memelihara
kehidupan dan penduduk, menciptakan ruang bagi peran serta
demokrasi dan dialog sipil, mendukung pemerintah daerah yang
dipimpin pasar dan lingkungan yang berkelanjutan, dan fasilitasi hasil
yang memperkaya kualitas hidup warga.

Dalam rangka untuk mengintegrasikan kerangka kerja governance


yang berpusat pada warga (citizen-centered governance) diperlukan
reformasi institusi dan reformasi institusi local governance itu sendiri
memerlukan persetujuan prinsip-prinsip dasar, yaitu: (1) responsive
governance; (2) responsible governance; dan (3) accountable governance.
Kerangka local governance yang telah masuk ke dalam prinsip-prinsip
tersebut dinamakan Citizen-Centered Governance.
Perbedaan yang tajam penampilan dari citizen-centered governance
adalah sebagai berikut:
a. Citizen empowerment through a rights-based approach (direct
democracy provision, citizen’s charter);
b. Buttom-up accountability for results;
c. Evaluation of government performance as the fasilitator of a network
of providers by citizens as governors, taxpayers, and consumers of
public services.

24 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Kerangka kerja yang menekankan reformasi institusi yang
memperkuat peran warga negara sebagai prinsipal dan mencipta insentif
agen pemerintahan untuk memenuhi mandat mereka, dapat dilihat tabel 2
berikut ini.

Tabel 2. Elemen Kunci Citizen-Centered Governance


Responsive Governance Responsible Accountable
Governance Governance
1. Memiliki subsidi dan Mengikuti proses yang Kejelasan dalam:
aturan rumah seharusnya: 1. Peraturan
tangga 1. Prinsip dari pemerintah daerah
2. Memiliki ketentuan kompetensi pada atas hak warga untuk
demokrasi umumnya atau lebih mengetahui
langsung dari itu governance 2. Rancangan anggaran
3. Memiliki prioritas komunitas dan laporan kinerja
anggaran sesuai 2. Prosedur tahunan diposting di
dengan preferensi berdasarkan hukum internet
warga 3. Perencanaan induk 3. Semua keputusan,
4. Menentukan dan lokal dan termasuk biaya
memenuhi standar penganggaran konsesi, diposting di
untuk akses ke 4. Penzonaan dengan internet
layanan lokal hukum dan regulasi 4. Audit kinerja value for
5. Meningkatkan hasil 5. Mandat yang didanai money oleh pihak
sosial independen
6. Menawarkan 5. Informasi terbuka dan
keamanan jiwa penilaian publik
dan harta benda
7. Menawarkan
tempat tinggal dan
makanan untuk
semua
8. Memiliki udara
bersih, air bersih,
dan sanitasi
9. Memiliki lingkungan
bebas kebisingan
dan dilestarikan
10. Menawarkan
kemudahan
perjalanan dan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 25


jalan bebas
lubang
11. Memiliki sekolah
dasar yang dapat
ditempuh dengan
berjalan kaki
12. Memiliki mobil
pemadam
kebakaran dan
ambulans yang
responsif
13. Memiliki
perpustakaan dan
akses internet
14. Memiliki taman,
program rekreasi
dan fasilitas
Kehati-hatian fiskal: Bekerja untuk
1. Pelaksanaan memperkuat suara
anggaran yang warga:
berimbang 1. Piagam warga
2. Aturan untuk pinjaman 2. Standar pelayanan
3. Modal Proyek baru 3. Persyaratan untuk
khusus untuk biaya pilihan dan suara
pemeliharaan dan warga
bagaimana hutang 4. Hak yang sama
dapat dibayar kembali 5. Penyebab hilangnya
4. Aturan fiskal yang program pemerintah
konservatif untuk 6. Keadilan- dan
memastikan keluaran berbasis
tingkat utang yang keuangan antar
berkelanjutan pemerintahan
5. Modal utama bagi 7. Penganggaran
proyek yang tunduk kinerja (output)
pada referendum berorientasi warga
6. Pemeliharaan 8. Biaya dan outputs
kekayaan bersih pemberian
7. Laporan keuangan pelayanan
teraudit (audited) 9. Kartu penilaian
warga untuk kinerja
secara komersial

26 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


pemberian
pelayanan
10. Anggaran, kontrak,
dan laporan kinerja
dipertahankan pada
pertemuan terbuka
di balai pertemuan
11. Semua dokumen
diperuntukan untuk
warga
12. Proses terbuka
untuk tawaran
kontrak
13. Wajib referendum
pada proyek-proyek
besar
14. Langkah yang
diambil sehingga
setidaknya 50
persen dari pemilih
yang berhak memilih
15. Papan warga untuk
penyediaan kartu
penilaian dan umpan
balik terhadap
kinerja pelayanan
publik
16. Ketentuan untuk
inisiatif dan recall
pejabat publik
17. Peraturan tentang
hak-hak wajib pajak

Mendapatkan
kepercayaan:
1. Profesionalisme dan
integritas staf
2. Perlindungan
terhadap
penyimpangan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 27


3. Penyesuaian proses
dan e-governance
4. keluhan dan tindakan
umpan balik
5. Administrasi pajak
yang jujur dan adil
6. Ketat sesuai dengan
standar pelayanan
7. Anggaran
pengeluaran yang
warga tahu dan
laporan kinerja
pemberian pelayanan
8. Partisipatif dalam
perencanaan dan
penganggaran

Bekerja lebih baik dan


biaya minimal:

1. Semua tugas
dilakukan pengujian
pelayanan alternatif -
-- yaitu, penyediaan
kompetitif yang
melibatkan penyedia
pemerintah dan
entitas di luar
pemerintah
2. Pembiayaan yang
menciptakan insentif
untuk kompetisi dan
inovasi
3. Perbandingan
evaluasi penyedia
layanan
4. Sektor publik
sebagai pembeli
melalui kontrak

28 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


kinerja tetapi belum
tentu penyedia
layanan
5. Fleksibilitas
manajerial, tetapi
akuntabilitas
untuk hasil
6. Tidak ada janji
selamanya atau
berubah-ubah
7. Spesialisasi tugas
8. Alokasi anggaran
dan kontrak kinerja
berbasis output
9. Biaya berbasis
kegiatan
10. Biaya untuk
penggunaan modal
11. Accrual Accounting
12. Benchmarking
dengan yang terbaik
13. Biaya administrasi
umum dikenakan
untuk pengawasan
publik
14. Batas-batas manfaat
keseimbangan dan
biaya dari skala dan
cakupan ekonomi,
eksternalitas, dan
pengambilan
keputusan
15. Batas konsisten
dengan
kesinambungan
fiskal.
Sumber: Sah dan Sah (2006: 22-23)

Kerangka kerja yang digambarkan pada tabel 2 di atas, memiliki


implikasi penting untuk mereformasi struktur pemerintahan. Mandat top-
down pada pemerintahan lokal ditempatkan kembali pada mandat bottom-up.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 29


Pemerintah lokal tradisional yang bersifat kapasitas teknis, sudah tidak
relevan dengan kerangka kerja di atas dan oleh karena itu lebih penting
penguatan kelembagaan sebagai pembeli pelayanan dan sebagai fasilitator
dari aliansi, kemitraan, asosiasi, klub, dan jaringan untuk pengembangan
modal sosial (social capital) dan perbaikan hasil sosial (social outcomes).
Visi baru local governance disajikan pada tabel 3, sebagai
argumentasi peran kepemimpinan oleh pemerintahan lokal dalam suatu
sistem yang bertingkat, multiorder, dan multicentered.

Tabel 3. Peran Pemerintahan Lokal di bawah Visi Baru Local Governance


20th Century: Old View 21st Century: New View
(Pandangan Lama Abad (Pandangan Baru Abad ke-21)
ke-20)
Didasarkan pada Didasarkan pada subsidiaritas dan aturan
pemerintah residuality dan rumah tangga
lokal sebagai bangsal
negara
Didasarkan pada prinsip Didasarkan pada komunitas governance
ultra vires
Difokuskan pada Difokuskan pada warga berpusat
pemerintah governance lokal
Adalah agen pemerintah Utama bagi warga dan pemimpin dan
pusat gatekeeper untuk aturan bersama

Apakah responsif dan Responsif dan bertanggung jawab kepada


bertanggung jawab pemilih lokal; mengasumsikan peran
kepada tingkat yang lebih kepemimpinan dalam meningkatkan
tinggi pemerintah governance lokal
Penyedia langsung adalah Pembeli layanan lokal
layanan lokal
Difokuskan pada Fasilitator jaringan mekanisme governance
penyediaan in-house lokal, koordinator penyedia dari pemerintah
dan badan di luar pemerintah, mediator
konflik, dan pengembang modal sosial
Difokuskan pada Difokuskan pada terang benderang di
kerahasiaan dalam, praktik governance yang transparan
Memiliki kontrol input Mengakui hasil (output)
Tergantung internal Difokuskan pada eksternal dan kompetitif,
praktisi berupaya pada kerangka kerja
penyediaan pelayanan alternatif

30 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Tertutup dan lambat Terbuka, cepat, dan fleksibel
Intoleransi untuk risiko Inovatif, pengambil risiko terbatas
Tergantung pada arahan Otonom dalam perpajakan, belanja,
pusat pengaturan, dan keputusan administratif
Diarahkan oleh aturan Memiliki fleksibilitas manajerial dan
akuntabilitas untuk hasil
Birokrasi dan teknokratis Partisipatif; bekerja untuk memperkuat
suara warga dan pilihan melalui ketentuan
demokrasi langsung, piagam warga, dan
penganggaran kinerja
Koersif Difokuskan pada mendapatkan
kepercayaan, menciptakan ruang dialog
sipil, melayani warga, dan perbaikan hasil
sosial
Fiskal tidak bertanggung Fiskal berhati-hati; bekerja lebih baik dan
jawab biaya rendah

Eksklusif dengan Inklusif dan partisipatif


dominasi elit
Mengatasi kegagalan Mengatasi kegagalan pasar dan pemerintah
pasar
Terkotak dalam sistem Terhubung dalam dunia global dan lokal
terpusat
Sumber: Sah dan Sah, 2006: 43-44

Keterlibatan Masyarakat dalam Local Governance


Paradigma konsep local governance merupakan terobosan bagi
penyelenggara pemerintahan dalam membuat kebijakan. Sebagai pihak yang
terkena dampak atau terpengaruh oleh kebijakan, masyarakat merupakan
elemen penting bagi kebijakan. Masyarakat dapat menjadi kelompok
kepentingan maupun kelompok penekan. Di sini masyarakat adalah pihak
yang dapat memunculkan permasalahan, maupun menerima bentuk dan
dampak kebijakan. Sesuatu hal yang diterima masyarakat memiliki
konsekuensi. Penempatan masyarakat dalam kebijakan ini merupakan
subyek dan obyek kebijakan. Pemerintah bukan aktor tunggal kebijakan.
Pemerintah tidak dapat berdiri sendiri menentukan kebijakan dan dalam
proses kebijakan, masyarakat dapat terlibat dalam beberapa proses.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 31


Pertama, proses analisis isi kebijakan. Analisis isi kebijakan
menyangkut alternatif yang direkomendasikan atas pertimbangan evaluasi
kebijakan sebelumnya, adanya nilai-nilai yang menjadi permasalahan, adanya
kerangka analisis atas teori dimana hal ini dilakukan oleh kalangan akademisi,
terdapat kritik oleh pihak tertentu. Alternatif kebijakan yang diberikan
mencakup deskripsi secara menyeluruh. Alternatif-alternatif yang diberikan
dapat berupa rekomendasi setelah diuji sebagai pilihan relevan dalam sebuah
kasus. Peran kelompok kepentingan dan penekan yang terlibat semakin
besar ketika tahapan kebijakan telah mencapai proses ini Hal ini disebabkan
perjuangan kepentingan akan segera diproses untuk diimplementasikan.
Kedua, Monitoring dan evaluasi kebijakan Monitoring dan evaluasi
kebijakan. Masyarakat dapat memberikan analisis kinerja kebijakan yang
dilaksanakan, mempertimbangkan substansi kinerja yang mencapai target
yang dirumuskan dan mengetahui dampak yang dihasilkan. Melalui
monitoring dan evaluasi yang dilakukan masyarakat, pemerintah akan
mengetahui dan mempersiapkan strategi untuk proses kebijakan selanjutnya.
Ketiga, informan kebijakan. Analisis kebijakan memberikan
informasi kebijakan kepada pemangku kepentingan, maupun pihak-pihak
yang tertarik terlibat dalam suatu kebijakan. Informasi yang diberikan dapat
berupa hasil penelitian. Terdapat timbal balik pelaksaan kebijakan melibatkan
non government. Disinilah menunjukkan kebijakan bukan bersifat top down.
Kebijakan melibatkan masyarakat sebagai pihak yang tertarik.
Pemerintah dan masyarakat memiliki hubungan ketergantungan
untuk memproduksi kebijakan, di mana terdapat kesetaraan dalam hubungan
mereka. Dalam rangka untuk mempertahankan hubungan dan untuk menjaga
sistem tersebut dibutuhkan kemitraan yang sehat, dalam arti perlunya
menjaga transparansi untuk mengidentifikasi substansi kebijakan. Setiap
pihak yang terlibat dalam kebijakan harus mampu mempertanggung-
jawabkan peran, tugas dan fungsinya. Oleh karena itu, dibutuhkan pula
kesepakatan aturan yang menjaga segala pola dan konsekuensi pihak yang
terlibat, dengan maksud untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.

Keterlibatan Swasta dalam Local Governance


Swasta sebagai pihak yang berorientasi kepada pasar memiliki andil
peran yang penting. Pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan tidak

32 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


lepas bermitra dengan swasta. Bahkan keberadaan swasta dalam kondisi
tertentu dapat terselenggara mandiri tanpa harus diintervensi oleh
pemerintah. Swasta adalah bagian dari masyarakat yang ikut memiliki
kepentingan terhadap produk kebijakan yang mampu bermitra dengan
pemerintah. Dan swasta adalah pihak yang mampu bermitra dengan
pemerintah.
Keberadaan swasta dalam local governance merupakan pihak yang
tidak dapat diabaikan. Kebijakan pemerintah dalam hal alokasi distribusi
kebijakan dan kesejahteraan turut bersentuhan dengan peran swasta. Hal ini
berkaitan erat dengan peran pemerintah sebagai badan yang menghasilkan
kebijakan; pemerintah tidak menghasilkan suatu bentuk barang atau layanan
jasa, walaupun terdapat potensi mampu menjadi pihak yang memproduksi
hal tersebut.
Kemampuan pemerintah menghasilkan produk kebijakan belum
tentu selaras dengan kemampuan pemerintah melaksanakannya.
Terdapatnya keterbatasan tersebut dapat melibatkan swasta sebagai
pelaksana. Swasta dalam perkembangannya mampu mendampingi
masyarakat dalam kebijakan pemerintah. Implementasi kebijakan dapat pula
menempatkan swasta memberikan layanan jasa maupun produksi barang
dan jasa kepada masyarakat. Pemerintah pada posisi ini sebagai pengawas
dan mengontrol.
Dalam perkembangannya, keberadaan swasta dianggap semakin
penting dalam pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Bahkan peran
pemerintah dapat diambil alih oleh swasta. Swasta kembali memenuhi
kebutuhan masyarakat. Pasar mampu hadir sebagai tandingan peran
pemerintah. Swasta merupakan representasi dari aktivitas civil society. Akan
tetapi perlu ditegaskan kembali bahwa keberadaan swasta diantara
masyarakat tidak dapat lepas dari kebijakan pemerintah. Kebijakan publik
yang mengikat turut mempengaruhi interaksi yang ada di masyarakat.
Pencapaian hasil maksimal dalam pemenuhan kebutuhan dalam interaksi
masyarakat dengan swasta membutuhkan legitimasi kebijakan. Tidak dapat
dipungkiri keberadaan swasta sebagai salah satu pihak yang mempengaruhi
pasar memiliki kepentingan dalam kebijakan. Swasta sebagai representasi
masyarakat harus mendapatkan kepastian tetap terjaganya hubungan yang
saling menguntungkan dengan keterlibatan masyarakat dan pemerintah.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 33


Pembahasan berikutnya adalah yang terkait dengan perhatian
pemerintah pusat atau nasional terhadap pemerintahan level lokal, sebagai
konsekuensi dari kebijakan desentralisasi yang menitikberatkan pada
pelayanan publik di daerah.
Sehubungan dengan hal di atas, Grindle (2007:1-12) telah
melakukan studi desentralisasi dari perspektif konsekuensi lokal. Selama
studi telah menjelajahi beragam kegiatan pejabat publik karena mereka
berusaha untuk mengelola berbagai tugas di tengah-tengah tekanan yang
saling bertentangan dan harapan baru bagi pemerintah daerah. Ini
mengeksplorasi bagaimana, mengapa, dan kapan pemerintahan lokal yang
lebih baik muncul --- atau --- tidak dan implikasi dari perubahan struktural
untuk mencapai kepentingan publik.
Ketika pemerintah daerah dituntut dengan tanggung jawab baru dan
dilengkapi dengan sumber daya baru, bagaimana kebijakan baru dan agenda
program yang ditetapkan dan dilaksanakan? Bagaimana pemerintahan
daerah dipengaruhi oleh dinamika persaingan politik, kapasitas para
pemimpin untuk memobilisasi sumber daya untuk perubahan, modernisasi
administrasi publik, tuntutan dan partisipasi masyarakat sipil?
Temuan dari hasil studi Grindle adalah penjelasan tentang
perubahan yang kompleks terkaitan dengan desentralisasi dan
demokratisasi. Bersama-sama, kedua proses tersebut meningkatnya
persaingan dan yang pada gilirannya memberikan peluang yang lebih besar
untuk sirkulasi kepemimpinan politik. Dengan perubahan dalam
kepemimpinan politik datang kesempatan untuk memulai perbaikan dalam
pengelolaan urusan kota.
Good Governance, tidak sesederhana suatu fungsi dari struktur
hubungan antar pemerintah. Hal ini, sebaliknya, merupakan konsekuensi dari
peluang dan sumber daya yang baru, dampak motivasi kepemimpinan dan
pilihan, pengaruh sejarah sipil, dan efek dari lembaga yang membatasi dan
memfasilitasi inovasi.
Temuan penelitian yang relevan dengan banyak negara lain yang
telah mengalami konsekuensi dari perubahan struktur yang dihasilkan dalam
pemerintahan dan ingin memahami dampaknya terhadap kualitas local
governance dan demokrasi.

34 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Grindle menggunakan konsep desentralisasi untuk merujuk kepada
mekanisme formal dan informal dan aturan yang mengalokasikan wewenang
dan sumber daya ke bawah di antara tingkat pemerintahan yang berbeda.
Grindle sangat tertarik (sebagai lawan regional, provinsi, atau negara bagian)
pemerintah tingkat lokal dan bagaimana mereka telah merespon dengan
tanggung jawab baru dan harapan. Penelitian yang dilaporkan di sini
menegaskan bahwa desentralisasi adalah proses yang terbentang dari waktu
ke waktu, lebih penting, ini bukan sebuah proses linear atau satu yang selalu
menghasilkan hasil yang sama. Desentralisasi dapat berarti kemajuan menuju
perbaikan governance dan demokrasi maupun penurunan kondisi
kesejahteraan lokal.
Setidaknya empat hipotesis telah dikemukakan untuk menjelaskan
mengapa pemerintah lokal mungkin merespon secara berbeda terhadap
peluang baru. Hipotesis ini berpusat pada persaingan politik, kewirausahaan
sektor publik, modernisasi sektor publik, dan aktivitas masyarakat sipil.
Masing-masing memberikan penjelasan yang berbeda dari faktor-faktor yang
mendorong dan mencegah praktik-praktik governance dalam konteks negara
yang sedang berkembang. Karena sebuah proses yang berlangsung di
langkah yang berbeda yang berada di negara yang berbeda pula. Studi ini
menyoroti kondisi di mana beberapa hipotesis memberikan penjelasan lebih
kuat daripada yang lain.
Grindle (2007: 180-181) mengemukakan bahwa good governance
adalah suatu fungsi akuntabilitas. Sedangkan di pemerintah federal Meksiko
dan pemerintah negara bagian bersikeras, mungkin terlalu, pada akuntabilitas
pemerintah daerah, masyarakat sipil lokal bukanlah kekuatan vital untuk
tujuan yang sama. Secara khusus, warga secara pokok memperhatikan
pemerintah daerah sebagai sumber infrastruktur fisik dan tanggapan
terhadap kebutuhan individu. Mereka kurang terlibat dalam administrasi dan
mengharapkan layanan yang berkualitas baik dan responsif. Tentu saja itu
membantu bahwa beberapa pemerintah daerah memprakarsai mekanisme
sendiri untuk mendengarkan kebutuhan dan keluhan warga. Dengan waktu,
mekanisme seperti itu bisa mendorong lebih banyak dari "budaya
akuntabilitas" di tingkat lokal. Perbaikan masa depan governance, lebih
berfokus pada penguatan hubungan antara kepuasan warga dan
akuntabilitas lokal. Di Meksiko, para pejabat publik yang dirangsang untuk

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 35


lebih memperhatikan kinerja jika mereka khawatir tentang masa depan partai
politik mereka atau jika mereka mencari tingkat jabatan yang lebih tinggi.
Kinerja yang baik di kantor tidak memungkinkan mereka untuk terus di kantor,
bagaimanapun, dan warga tidak langsung dapat mendukung atau menolak
kepemimpinan mereka untuk masa depan.
Selain itu, membuat informasi lebih tersedia pada hak dan kewajiban
warga negara dan pada ekspektasi mereka harus memiliki untuk layanan
tertentu, melembagakan mekanisme umpan balik, memberikan lebih banyak
kesempatan untuk bersama dan musyawarah pengambilan keputusan, dan
menempatkan sumber daya di tangan dewan pengawasan warga antara
beberapa mekanisme yang bisa membantu memperpendek rantai antara aksi
dan akuntabilitas. Menekankan hak warga negara untuk memiliki kehidupan
yang aman dan produktif bisa membantu mengatasi bias terhadap hubungan
sempit ekstraktif dengan pemerintah. Di Meksiko, beberapa pemerintah
daerah yang membuka ruang partisipasi yang lebih besar dalam pengambilan
keputusan, karena ini menjadi faktor penting dalam memperkuat masyarakat
sipil, namun, ruang ini harus dipertahankan selama lebih dari periode tiga
tahun. Mereka juga harus menjadi bagian dari harapan warga tentang
hubungan mereka dengan pemerintah.

C. Kebijakan Publik dan Barang Publik (Public Goods)


Permasalahan publik membutuhkan suatu pemecahan yang lebih
partisipatif, karena semakin maju satu masyarakat maka semakin besar pula
tuntutan yang dialamatkan ke pemerintah dan ini sebagai akibat dari pengaruh
global serta adanya gelombang demokratisasi di dunia. Pemecahan masalah
publik terhadap tuntutan akan barang publik - seperti pendidikan,
membutuhkan kebijakan publik yang partisipatif pula.
Pemecahan masalah haruslah menggunakan suatu kebijakan publik,
sebagaimana Howlett dan Ramesh (1995: 7) mendefinisikan bahwa
kebijakan publik adalah suatu fenomena yang kompleks yang terdiri dari
sejumlah keputusan yang disusun oleh sejumlah individu dan organisasi.
Sehubungan dengan kebijakan publik, Dye (1978: 6) menyatakan
bahwa kebijakan publik untuk tujuan-tujuan politik yaitu untuk menjamin
kebijakan yang benar untuk pencapaian tujuan yang benar pula. Selanjutnya,

36 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


terkait bagaimana suatu kebijakan sebagai preferensi elit akan diberlakukan
atau mengalir dan diterima oleh masyarakat, maka Dye (1978: 26)
menawarkan suatu model elit yang secara visual dapat dilihat pada Gambar
1 di bawah ini.

Elit

Policy Direction

Officials and
Administrator
s
Policy Execution

Mass

Gambar 1: Model Elit

Memperhatikan gambar 1 di atas dapat dijelaskan bahwa elit


politik merumuskan suatu arahan kebijakan (policy direction) kepada pejabat
publik dan administrator yang berada di bawahnya. Kemudian pejabat publik
dan administrator tersebut melaksanakan kebijakan (policy execution) untuk
masyarakat (mass).
Dari kedua definisi tersebut di atas, terlihat ada perbedaan yang
tajam antara konsep dari Dye dengan model elitnya di mana lebih cenderung
ditekankan pada para elit dalam perumusan kebijakan, sedangkan Howlett
dan Ramesh lebih melibatkan banyak pihak dalam merumuskan kebijakan.
Sehubungan dengan itu, dalam rangka pengambilan kebijakan publik yang
lebih demokratis, Howlett dan Ramesh (1995: 11-15) menawarkan tahapan
siklus kebijakan yang terdiri dari: (1) Agenda-Setting; (2) Policy Formulation;
(3) Decision-Making; (4) Policy Implementation; dan (5) Policy Evaluation.
Selanjutnya mereka mengidentifikasi 4 (empat) hal yang terkait
dengan studi kebijakan publik, yaitu:

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 37


Pertama, menyediakan pengantar umum ke arah kebijakan publik sebagai
suatu disiplin.
Kedua, menggambarkan parameter kelembagaan dalam mana kebijakan
dibuat oleh aktor-aktor sesungguhnya yang membuat kebijakan
tersebut, dan instrumen aktor memiliki penyelesaian untuk
implementasi kebijakan.
Ketiga, skema pengkonseptualan proses kebijakan menurut tingkat
analisis.
Keempat,konteks hubungan antara gagasan, kepentingan, dan kelembagaan
dalam pembuatan kebijakan publik.

Konsep barang publik (public goods) dari UNDP (United Nations


Development Programme) yang dikutip oleh Inge Kaul (Andersen dan
Lindsnaes, 2009: 166) menyatakan bahwa UNDP telah mengungkapkan
kembali tentang catatan atas barang publik (public goods) dari bidang
ekonomi dan telah membantu mentransformasikannya ke dalam suatu
kerangka yang di alamatkan pada problem global melalui ketentuan barang
publik global (global public goods). Kemudian Andersen dan Lindsnaes
(2009: 167-168) mengacu pada Forum Permanen UN pada kekuatan dalam
masyarakat, bahwa beberapa tujuan pada Standar Internasional dengan
mengabaikan, seperti contoh, hak-hak asasi manusia bertugas untuk
menyediakan secara bebas pendidikan dasar dan akses untuk keamanan
harta benda. Lebih jauh Inge Kaul memperkenalkan barang publik global
yang kurang mendapat perhatian yaitu Millennium Development Goals
(MDGs). MDGs ini terkait dengan tujuan-tujuan (goals) yaitu: kemiskinan dan
kelaparan; pendidikan dasar; kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan; kematian anak; kesehatan ibu; HIV/AIDS, malaria dan penyakit
lainnya; kelestarian hidup; dan kemitraan global untuk pembangunan.
Lemieux (2012) mendefinisikan bahwa barang publik (public goods)
sebagai barang dan jasa yang dapat dikonsumsi bersama-sama dan
sekaligus oleh masyarakat secara luas. Kemudian Stanfield (2012)
menyatakan bahwa barang publik (public goods) memiliki 2 (dua)
karakteristik, yaitu: (1) non-excludable (tidak seorangpun dapat dipisahkan

38 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


secara efektif dari penggunaan barang); dan (2) non-rivalrous (konsumsi oleh
satu orang tidak dapat dikurangi sebagaimana adanya dengan orang lain).
Pendapat lain tentang barang publik adalah Olson (2002) yang
berpendapat bahwa penentuan barang kolektif atau publik adalah fungsi
mendasar bagi organisasi pada umumnya. Suatu negara dan seluruh
organisasi menyediakan barang publik (public goods) bagi warganya; dan
ada bentuk organisasi lainnya yang menyediakan barang kolektif (collective
goods) bagi anggotanya.
Kaul (2003: 3-4) mendefinisikan barang publik (public goods)
sebagai barang yang berada di domain publik, semuanya untuk konsumsi.
Dalam fakta ada 3 (tiga) jenis barang dalam domain publik, yaitu:
▪ Barang yang tidak dapat dibuat secara terpisah (Goods that cannot be
made excludable), karena pengerjaannya akan sangat mahal atau tidak
mungkin. Misalnya penghangatan suhu dengan sinar X matahari.
▪ Barang yang dibuat publik secara bebas dengan desain (Goods that
have deliberately been made public by design). Misalnya: sistem hukum
negara, rambu jalan, pendidikan dasar untuk semua (basic education for
all).
▪ Barang publik dengan kelalaian (Goods that are public by default).
Misalnya: kasus pencemaran udara, kriminal dan kekerasan, atau
penyalit yang dapat ditularkan, di mana kita telah mengetahui bagaimana
mengurangi, tetapi sering diikuti tanpa dicek.

Lebih jauh bahwa barang publik ini juga dapat dalam skala global,
dengan demikian barang publik global adalah barang yang berada dalam
domain publik global. Misalnya alat komunikasi dengan menggunakan satelit,
transportasi pesawat terbang dan sebagainya.
Suatu tujuan yang kompleks dari suatu organisasi akan tercapai
apabila ada pengaturan sistem penyelenggaraan seluruh kegiatan dan
kemudian adanya umpan balik atas pelaksanaan kegiatan tersebut untuk
memperbaiki keputusan yang telah diambil demi perbaikan kinerja organisasi
tersebut.
Apabila pemahaman tentang sistem tersebut di atas diterapkan
dalam bidang pendidikan dengan mengacu pada pendapat Soguel dan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 39


Jaccard (Ed) dalam bukunya: ”Governance and Performance of Education
Systems” (2008: 1-10) akan menyadari pentingnya sistem pendidikan,
karena sistem pendidikan mewakili suatu belanja publik yang besar, diperkuat
tuntutan sosial untuk reformasi kebijakan (policy reform). Lebih jauh
dikatakan sektor publik dan sistem pendidikan memiliki karakteristik mereka
sendiri di mana membuat seluruh problem lebih kompleks. Salah satu dari
karakteristik adalah keberagaman stakeholders eksternal (orang tua peserta
didik, politikus, kelompok pedagang, perusahaan swasta) dan kepentingan
internal (tenaga pendidik, tenaga kependidikan).
Peningkatan penekanan pada sistem pendidikan untuk perbaikan
kinerja, diperlukan suatu kebijakan, yaitu: (1) perubahan governance sistem
pendidikan; (2) monitoring dan evaluasi kinerja, (3) penjelasan dan
pengendalian biaya sistem pendidikan; dan (4) strategi untuk mendorong
kinerja dan keadilan.
Sebagaimana yang telah diuraikan tentang kebijakan publik bahwa
ada perbedaan yang tajam antara Dye dengan model elitnya di mana
cenderung lebih ditekankan pada para elit dalam perumusan kebijakan,
sedangkan Howlett dan Ramesh lebih melibatkan banyak pihak. Oleh karena
itu, terkait dengan perhatian terhadap nilai-nilai demokratis dalam
pengambilan kebijakan publik, Howlett dan Ramesh (1995: 11-15)
menawarkan tahapan siklus kebijakan yang merupakan sistem governance
dalam konsep yang diajukan oleh Farazmand (2004). Tahapan siklus
kebijakan terdiri dari: (1) Agenda-Setting; (2) Policy Formulation; (3)
Decision-Making; (4) Policy Implementation; dan (5) Policy Evaluation.
Selanjutnya tawaran Howlett dan Ramesh yang sesuai dengan sistem
governance adalah adanya parameter kelembagaan dalam mana kebijakan
dibuat oleh aktor-aktor sesungguhnya yang membuat kebijakan tersebut, dan
instrumen aktor memiliki penyelesaian untuk implementasi kebijakan, serta
skema pengkonseptualan proses kebijakan menurut tingkat analisis dan
konteks hubungan antara gagasan, kepentingan, dan kelembagaan dalam
pembuatan kebijakan publik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
siklus kebijakan adalah merupakan sistem governance.
Pembahasan mengenai siklus kebijakan ini, Farazman (2004: 15-
16) mengkaitkan dengan dimensi kebijakan dalam konsep sound governance
di mana dikatakan bahwa dimensi kebijakan (policy dimention) dapat

40 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


meningkatkan atau bahkan melemahkan sistem governance. Hal ini
tergantung dari baik dan buruknya mulai dari proses ide atau gagasan,
perumusan, pengesahan, implementasi sampai dengan evaluasi kebijakan.
Kemudian masih terkait dengan dimensi kebijakan di dalam governance,
maka dikemukakan pula bahwa kebijakan governance di mana mewakili
filosofi ekonomi dan politik sistem governance. Mengapa? Oleh karena
beberapa tindakan dan tidak ada tindakan kebijakan, akan membawa
konsekuensi bagi kelompok atau kelas sosial ekonomi yang berbeda dalam
masyarakat. Sound governance meletakkan seluruh faktor-faktor ini
(kelompok atau kelas sosial yang berbeda) ke dalam pertimbangan dan
cenderung untuk memelihara keseimbangan kepentingan yang dinamis dan
hasil potensial yang melayani keduanya yaitu: kepentingan-kepentingan
nasional pada umumnya.
Teisman et. al, (2009: 1-3) mengemukakan governance adalah
suatu masalah yang kompleks, sehingga perlu didekati dengan konsep
sistem. Governance dapat menghasilkan suatu hasil yang berbeda secara
substansial dari harapan pada awalnya. Untuk memahami lembaga,
prosedur, dan dokumen dalam penentuan stabilitas dan dapat diramalkan
keluaran dan hasil, maka interaksi ganda antara proses governance dan
lingkungannya, perlu dikaji lebih lanjut. Teisman melihat adanya kedinamisan
dari berbagai aspek dari sistem governance atau dengan kata lain berupaya
memahami kedinamisan dari evolusi perspektif ilmu administrasi publik.
Langkah awal adalah pengamatan terhadap sistem governance dan jaringan
yang seringkali menyatakan perubahan yang mana membuat mereka
kesulitan untuk menganalisis, apalagi mengelola. Stabilitas sistem
governance nampaknya pengecualian daripada aturan. Selanjutnya, suatu
pendekatan governance atau pengaturan organisasional diterapkan dalam
dua konteks yang berbeda dapat menghasilkan hasil yang sangat berbeda.
Yang sama berlaku untuk manajemen, yaitu upaya untuk
mempengaruhi sistem yang kompleks selalu dihadapi oleh dinamika lokal dari
organisasi itu sendiri dan pengaruh perkembangan di sistem lain. Fenomena
ini harus dianalisis untuk memahami dinamika dan hasil dari governance,
sehingga memungkinkan manajer publik untuk mempengaruhi lingkungan
kompleks mereka dengan cara yang disengaja dan cerdas. Dalam sistem

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 41


governance terdapat banyak pengambilan keputusan dan dalam sistem yang
kompleks suatu keputusan dibuat oleh agen atau aktor tunggal.
Selanjutnya Teisman (2009: 5-8) menyatakan ada 2 (dua) tantangan
yang dihadapi oleh sistem governance, yaitu: (1) suatu sistem governance
harus dipahami sebagai suatu keseluruhan tanpa pemisahan bagian satu
dengan yang bagian lainnya, sementara itu mungkin masih berbeda dari yang
diharapkan dari jumlah bagian-bagian ini; (2) hubungan antara bagian-bagian
harus dikaji, asumsi bahwa hubungan adalah bersama, muncul dan dinamis,
dipandu oleh kapasitas mengorganisir diri dari setiap bagian dan dinamika
tak terduga dari evolusi bersama mereka. Unsur-unsur dasar sistem adalah
agen dan aktor. Aktor-aktor dapat berupa individu, kelompok formal dan
informal dan kelompok organisasi. Selanjutnya dikatakan bahwa sistem
governance adalah dinamis dan proses governance adalah terus
berlangsung dan tidak jelas batas-batas awal dan akhir.
Selanjutnya untuk mengetahui laporan kemajuan (progress report)
implementasi kebijakan, maka dilakukan monitoring dan evaluasi (monev),
dengan langkah-langkah sebagai berikut: mempersiapkan/merencanakan
monev; memperjelas tujuan dan stakeholders; menentukan kebutuhan
informasi dan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan monev;
mengembangkan indikator-indikator; menentukan sumber-sumber informasi
dan mendesain instrumen-instrumen pengumpulan data; perencanaan untuk
menganalisa data dan menggunakan hasil-hasil; menyelesaikan dan uji coba
sistem monev; dan menyelenggarakan self-assessment tahunan dan evaluasi
berkala (Tjoetra, 2008: 4-6). Sedangkan kerangka dasar penyusunan
instrumen monev terdiri dari beberapa variabel, yaitu: arah kebijakan;
sasaran; instrumen monev yang terdiri dari: kebutuhan data, metode
pengumpulan data, sumber data; dan teknik analisis (Muktiali, 2009: 16).

D. Pembangunan Kemitraan
Partisipasi dari sisi demokrasi, Muluk (2010) menyatakan bahwa
partisipasi sebagai nilai dasar demokrasi menjadi perhatian penting dalam
administrasi publik yang demokratis. Pada dasarnya, gagasan partisipasi
dalam administrasi publik mencakup dua ranah, yakni manajemen partisipatif
dan partisipasi masyarakat dalam administrasi publik. Lebih jauh Schacter
(Callahan, 2007: 153-154) mengemukakan bahwa banyak teori partisipasi

42 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


secara langsung tertarik pada model kolaborasi, ketika yang lain tertarik
keterlibatan secara tidak langsung. Demokrasi langsung menganjurkan
bahwa warga adalah pemilik pemerintah dan oleh karena itu akan dilibatkan
dalam keputusan negara.
Memperhatikan uraian tentang makna partisipasi tersebut di atas,
maka pada era demokrasi ini, partisipasi dalam arti keterlibatan warga secara
aktif merupakan suatu keharusan. Suatu keharusan tersebut, telah diperkuat
Barber (Callahan, 2007: 155) dengan mengatakan teoritisi partisipatori
berargumen bahwa partisipasi warga secara langsung tidak hanya mengarah
untuk pembuatan keputusan yang lebih baik, tetapi juga stabilitas fasilitas
sosial dengan pengembangan suatu rasa komunitas, peningkatan pembuatan
keputusan secara kolektif dan pengenalan penerimaan dan respek terhadap
proses governance.
Sehubungan dengan model partisipasi yaitu kolaborasi, Callahan
(2007: 161-166) mengingatkan bahwa pada struktur yang kaku dan otoriter
administrasi publik tentunya membatasi partisipasi yang penuh dan potensial
dan kolaborasi memberikan tempat dan menguatkan peran administrator
sebagai keahlian. Bagaimanapun, kelihatan dan kondisi pemerintah sedang
berubah dalam banyak wilayah dari otoritatif, model kontrol dan komando
birokrasi menuju jaringan kerjasama secara horizontal antara publik, swasta,
dan organisasi nonprofit, di mana menciptakan peluang-peluang bagi warga
untuk memainkan lebih banyak peran aktif dalam membentuk kebijakan publik
dan kerangka solusi.
Dengan partisipasi kolaboratif, publik mempunyai peluang untuk
mempengaruhi keduanya yaitu proses dan hasil (outcome). Sedangkan
kolaboratif governance tidak harus menyetujui dalam setiap situasi;
bagaimanapun, advokat berargumentasi peluang bagi warga untuk
kolaborasi akan selalu eksis. Pengetahuan bahwa peluang dan kemampuan
untuk mempengaruhi proses dan keradaan hasil dapat mengarah untuk
positif, kepercayaan hubungan antara warga, pejabat dipilih, dan
administrator publik. Idealnya, keputusan kelompok akan mencerminkan apa
yang terbaik kelompok dan bukan seorang individu. Kolaboratif governance
memerlukan manajer publik untuk membagi kekuasaan dan melepaskan
beberapa kontrol mereka terhadap proses dan hasil (outcome).

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 43


Ada beberapa tahapan secara berjenjang dari Arnstein (Callahan,
2007: 175), dari atas ke bawah, yaitu:
▪ Kewenangan warga atas keputusan atau kewenangan yang
didelegasikan
▪ Keputusan dinegosiasikan
▪ Kemitraan yang terbagi dalam pembuatan keputusan
▪ Peluang untuk menawarkan saran
▪ Peluang untuk mengembangkan kepercayaan diri
▪ Peluang bagi warga mendukung program yang telah direncanakan

Untuk mengetahui bagaimana karakteristik model partisipasi warga


dengan kelompok aktif, transisi dan pasif pada uraian berikut disajikan
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Callahan (2007: 178) dalam
bentuk seperti pada tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Karakteristik Model Partisipasi Warga


Aktif Transisi Pasif
Kontrol warga Kontrol terbagi Kontrol Agensi
Parameter identifikasi Parameter identifikasi Parameter identifikasi
warga Agensi Agensi
Proaktif, terbuka Luas, proses terbuka Proses tertutup
Keputusan Keputusan konsensus Keputusan Agensi
konsensus
Peran warga dominan Peran warga Warga reaktif untuk
penasehat usulan
Warga mengartikulasi Administrator Administrator
kebijakan mengartikulasi mengartikulasi
kebijakan kebijakan
Agensi melayani Administrator sebagai Agensi hanya sebagai
sebagai konsultan staf dan partisipan partisipan
Warga berproses Partisipan sebagai Partisipasi sebagai
sendiri tujuan proses sebuah formalitas
Warga datang saat Warga datang saat Warga datang saat
mulai proses tengah proses akhir proses
Sumber: Callagan, 2007:178

44 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Hendrikse dan Windsperger (2008:1) menyatakan bahwa situasi
dengan problem kepentingan bersama memerlukan koordinasi dengan
beberapa mekanisme, ketika organisasi pemangku kepentingan
(stakeholders) memiliki potensi untuk mengendalikan pemahaman yang
terbatas dalam cara untuk memproduksi hasil yang tidak mungkin untuk
dicapai dengan satu orang.
Selanjutnya terkait dengan jaringan governance konseptualisasi
yang berkarakter lain dikemukakan oleh Meuleman (2008: 21-44) telah
memperkenalkan bentuk governance hasil cangkokan (hybrid forms of
governance) yang terkait dengan jaringan (network).

Gambar 2. Bentuk Governance Hybrid


Dari model tersebut pada gambar: 2 di atas, yang dikemukakan
Meuleman ada 6 (enam) bentuk governance hybrids yang sering disebut
yaitu:
- Oligopolies;
Suatu oligopoli adalah suatu pasar dikarakteristikan oleh sejumlah
organisasi kecil yang merealisasikan secara bebas dalam penentuan
harga dan keluaran (output) kebijakan. Tingkah laku oligopoli
didasarkan pada kepentingan sendiri (otonomi, di mana menujukkan
governance pasar), tetapi faktanya bahwa aktor-aktor merealisasikan
ketergantungan mereka, membuat mereka bertingkah laku dengan
lebih banyak empati dan moderat daripada lebih bersifat pasar terbuka.
Hal ini mengarahkan mereka untuk mempertimbangkan satu sama lain
seperti aktor-aktor melakukan dalam suatu pendekatan jaringan
(network approach).

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 45


- Public Private Partnership (PPP);
Sebuah kemitraan publik swasta (public private partnership) adalah
suatu non-hierarkhi sistem governance dalam mana bentuk aktor publik
dan swasta sebuah usaha bersama yang melayani tujuan kebijakan
tertentu, semacam pelayanan publik atau pembangunan infrastruktur.

- Chain Management;
Chain management atau manajemen berantai adalah suatu bentuk
governance yang mirip governance jaringan. Aktor-aktor dalam rantai
adalah saling tergantung, karena saling ketergantungan secara
fungsional dalam proses yang terkait. Governance berantai berbeda
dari governance jaringan: suatu jaringan didefinisikan dengan
hubungan sosial, suatu rantai hanya dengan hubungan fungsional.

- The Open Method Coordination (OMC);


Pendekatan ini dikarakteristikan sebagai suatu pendekatan yang lunak
dibandingkan dengan governance hirarkhi dan kumpulan praktik-
praktik yang diambil dari pemikiran governance pasar semacam
pembandingan (benchmarking), penentuan target (target-setting),
rekan peninjau (peer reviewing). OMC dapat juga dilihat sebagai suatu
bentuk governance jaringan: hal ini dilakukan pada keterkaitan kedua
aktor publik dan swasta dalam penentuan kebijakan bersama.

- Self-regulation dan self-organisation;


Self-regulation memberikan perspektif sistem administratif-politik dan
self-organisation memberikan perspektif organisasi kemasyarakatan.

- Bazaar Governance.
Bazaar governance dikarakteristikan dengan tingkat kontrol (hierarkhi)
rendah, intensitas insentif (pasar) lemah dan suatu jaringan yang tidak
dibangun berdasarkan kepercayaan: anggota komunitas jarang
mengenal satu sama lain dan mungkin masuk atau keluar jaringan tidak
tercatat.

46 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Bentuk governance ini menilai rendah pada penampilan kunci dari
seluruh 3 (tiga) gaya governance khas yang ideal (kewenangan,
kepercayaan dan harga) tetapi kelihatan pada hakekatnya, campuran
governance (co-creation) dan governance pasar (otonomi individual).

Keenam bentuk governance hybrid di atas adalah campuran yang


sungguh-sungguh dari governance hirarkhi, jaringan dan pasar.
Governance hierarkhi (perspektif Weberian) ditunjukkan dengan fungsi-
fungsi keamanan, paksaan dan regulasi, governance pasar (perspektif NPM)
ditunjukkan dengan karakteristik efisiensi insentif pasar dan governance
jaringan ditunjukkan dengan adanya kohesi sosial dan kekuatan komunitas
(perspektif demokratik).
Pada bagian yang membahas jaringan ini akan lebih menekankan
pada governance jaringan. Di dalam sistem demokratik terbuka, jaringan
memegang peran penting. Di dalam jaringan di mana aktor-aktor yang
berbeda kepentingan tawar menawar adalah perbedaan yang mendasar.
Governance jaringan dapat didefinisikan sebagai manajemen jaringan yang
kompleks, terdiri dari banyak aktor yang berbeda dari nasional, regional dan
pemerintah lokal, dari kelompok politik dan dari kelompok sosial (penekan,
kelompok kepentingan dan aksi, lembaga kemasyarakatan, organisasi bisnis
dan privat).
Klijin dan Koppenjan (Meuleman, 2008: 33) mengemukakan 5
karakteristik governance jaringan:
- Saling ketergantungan aktor di mana mengarah ke hubungan
keberlanjutan di antara mereka;
- Dalam arah interaksi, peraturan dibentuk untuk mengatur perilaku
aktor.
- Proses kebijakan adalah kompleks dan semuanya tidak mudah ditebak,
karena bermacam-macam aktor, persepsi dan strategis;
- Kebijakan adalah hasil interaksi yang kompleks antara aktor-aktor yang
berpartisipasi dalam permainan yang nyata dalam suatu jaringan;
- Kerjasama jaringan bukan tanpa masalah dan membutuhkan proses
dan manajemen konflik, dan pengurangan risiko.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 47


Sedangkan Considine (Meuleman, 2008: 33) mengemukakan
bahwa ada 3 (tiga) domain dalam governance jaringan, yaitu: (1) jaringan
interorganisasi (inter-organisational networks) - terkait organisasi publik dan
swasta; (2) jaringan inter aktor (inter-actor networks) - terkait pemimpin dan
penasehat; dan (3) jaringan inter agensi (inter-agency networks) - terkait
berbagai macam agensi dalam penyedia pelayanan.
Pada akhirnya Considine sampai pada kesimpulan bahwa tipe
governance jaringan yang ideal secara langsung merupakan sejumlah
interaksi dalam rangka pembuatan kebijakan, jaringan informal semacam
jaringan keahlian dalam administrasi publik dan perjanjian.
Farazmand (2004: 77-78) menyatakan bahwa salah satu
perkembangan yang paling penting dalam politik kontemporer dan
administrasi adalah pembangunan kemitraan yang efektif bagi sound
governance.
Oleh karena itu, gagasan tentang governance dan pembangunan
kemitraan untuk sound governance telah berubah secara signifikan dalam era
globalisasi kapitalisme. Konsep governance sekarang sedang diubah untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan global yang baru, karena ada banyak
paradoks yang dihadapi negara-bangsa dan pemerintah di seluruh dunia.
Selanjutnya uraian di bawah ini dideskripsikan tentang: konsep
kemitraan, prasyarat untuk membangun kemitraan, bentuk dan tingkatan
kemitraan governance, hambatan untuk membangun kemitraan, dan strategi
dan model bangunan kemitraan (Farazmand, 2004: 81-95).
Kemitraan menyiratkan upaya bersama dan sukarela untuk
mencapai sasaran bersama. Dalam konteks sound governance, kemitraan
sangat penting dan membutuhkan partisipasi sejati dari para pemangku
kepentingan, yang berarti semua warga negara yang memiliki saham dalam
proses pemerintahan. Peran utama negara sangat penting untuk mendorong
dan membangun kemitraan bermakna antara berbagai sektor masyarakat di
semua tingkatan karena banyak negara kurang kuat, sektor swasta dan
organisasi sipil yang independen.
Oleh karena itu inti dari kemitraan yang efektif adalah pembagian
kekuasaan, tanggung jawab, dan prestasi. Ini adalah ide yang mulia dicita-
citakan oleh banyak peradaban. Hal ini juga merupakan tanggung jawab

48 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


negara untuk menyediakan lingkungan yang mendukung dan
memberdayakan warga negara untuk memainkan peran kemitraan yang
efektif dalam proses governance.
Kemitraan melibatkan penyatuan dan pertukaran pengetahuan,
informasi, dan pengalaman antara dan di antara para mitra. Konsep kemitraan
berbasis pemerintahan, partisipatif diakui bahwa keahlian, inisiatif, tanggung
jawab, dan akuntabilitas secara luas bersama seluruh masyarakat. Selain itu,
konsep kemitraan berbasis governance menyiratkan lingkungan belajar di
mana pengalaman di seluruh dunia dibagi dan bahkan terkait untuk
merangsang respon, keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas, inovasi,
kompetensi, efisiensi, dan efektivitas.
Kemitraan governance penting untuk sejumlah alasan:
1) Kemitraan mempromosikan kreativitas, inovasi, sinergi, kemampuan
kuat untuk mengatasi masalah besar, partisipasi, dan tanggung jawab.
2) Kemitraan ini penting karena meningkatnya saling ketergantungan dan
keterkaitan antara masyarakat, negara-bangsa, budaya, pemerintah,
dan organisasi non-pemerintah sipil.
3) Globalisasi dan isu global telah menciptakan kebutuhan yang tangguh
dalam membangun kemitraan global untuk semua tingkat governance.
Ada banyak kondisi untuk membangun dan mempertahankan
kemitraan yang sukses dan efektif dalam pemerintahan di semua tingkat.
Kondisi ini memberikan kerangka yang berguna untuk menggambarkan
kasus-kasus aktual kemitraan, khususnya public-private partnership (PPP),
serta untuk meresepkan kemitraan potensial. Dua set kondisi yaitu: (1)
primer, kondisi awal; dan (2) kondisi proses.
Primer, kondisi awal dalam dua bentuk: saling ketergantungan dan
konvergensi tujuan dan akomodasi atau rekonsiliasi tujuan.
Saling ketergantungan berarti bahwa tidak ada satu pihak manapun yang
mampu memunculkan dan melaksanakan ide, kebijakan, dan program sendiri
dan semua pihak berbagi informasi, teknologi, dan keuangan dan sumber
daya organisasi untuk saling ketergantungan, saling melengkapi untuk lebih
menyatu dan sinergis hasil. Pertemuan kondisi saling ketergantungan adalah
penting, tetapi tidak cukup untuk kemitraan yang efektif.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 49


Konvergensi berarti bahwa sasaran dari perbagai pihak yang
berbeda dalam suatu kemitraan harus terhubung sehingga pemahaman,
konsensus, dan kerjasama dapat diikuti. Ini berarti bahwa, setidaknya,
sasaran para pihak tidak bertentangan. Pada tingkat terendah, kondisi
akomodasi atau rekonsiliasi harus dipenuhi. Akomodasi berarti kesediaan
untuk bekerja dengan orang lain dengan perbedaan dan secara terbatas.
Akomodasi tidak memerlukan kompatibilitas atau konvergensi sasaran, tetapi
tidak perlu saling mengklaim, pengakuan dari kebutuhan untuk rekonsiliasi,
setidaknya pada sementara waktu. Oleh karena itu, rekonsiliasi berarti
bergabungnya titik perbedaan dan berbeda tujuan untuk kepentingan
bersama. Ini tidak menghapus perbedaan, tetapi ternyata mereka ke titik-titik
yang tidak relevan ke titik-titik interaksi. Kondisi ganda seperti akomodasi dan
rekonsiliasi membawa pelbagai pihak lebih dekat mengenai masalah-masalah
kepentingan bersama.
Kondisi proses untuk membangun dan mempertahankan
kemitraan yang efektif dalam governance, yaitu:
1) Saling percaya dan itikad baik dalam kemitraan.
2) Pengakuan keterbatasan masing-masing pihak.
3) Klarifikasi, tujuan dan strategi.
4) Pentahapan tujuan proyek kemitraan pada rincian diverifikasi dan
terukur.
5) Membuat peraturan konflik dan mekanisme resolusi konflik.
6) Fokus pada isu, masalah, dan tujuan / sasaran kemitraan.
7) Mengidentifikasi dan memahami isu dan prosedur hukum.
8) Perlindungan kepentingan dan hak-hak pihak ketiga.
9) Dukungan yang memadai dan fasilitas kontrol yang meningkatkan
kemitraan.
10) Koordinasi internal dan eksternal melalui proses formal dan informal,
11) Perencanaan yang tepat dan memadai.

Kesebelas kondisi di atas, dalam praktik tidak semudah yang


diperkirakan, sehingga diperlukan kesepahaman antar aktor yang berniat
untuk membangun kemitraan.

50 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Dalam kemitraan governance, beberapa tantangan dengan mudah
dapat diubah menjadi peluang untuk membentuk dan kegiatan bersama.
Kendala muncul dalam berbagai bentuk, yaitu:
1) Ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan menjadi hambatan untuk
membangun kemitraan, karena melibatkan berbagai isu politik.
Kurangnya saling menghormati dan pengakuan merupakan kendala
lain.
2) Kesenjangan. Kesenjangan kondisi dari pihak yang bermitra dapat
menjadi kendala untuk kemitraan, terutama kesenjangan yang
menyangkut kapasitas.
3) Dominasi. Adanya dominasi pada salah satu pihak dengan pihak-pihak
yang bermitra dapat menjadi kendala dalam menjalin kemitraan.
4) Ekspektasi yang tinggi. Kendala lain dalam kemitraan yang efektif
adalah harapan yang lebih tinggi dari kemitraan, karena dapat membuat
masalah ketergantungan, yaitu ketika tanggung jawab dipindahkan ke
pihak yang lebih lemah atau ketika pihak lemah mengembangkan
harapan palsu bahwa pihak yang lebih kuat harus membawa beban ini.
5) Kondisi Potensial. Kendala kondisi potensial untuk membangun
kemitraan adalah kondisi lingkungan, mulai dari politik dan ideologis
untuk spektrum ekonomi dan sosial. Ini salah satu masalah utama yang
membawa pihak yang bermitra ke dalam kondisi yang bersifat
pragmatis.
6) Kendala Budaya dan Agama. Budaya dan agama dapat menyebabkan
hambatan utama untuk kemitraan yang efektif di semua tingkat
governance.
7) Perbedaan Etnis dan Ras. Perbedaan etnis dan ras dapat menimbulkan
hambatan serius adalah faktor yang seharusnya tidak dan tidak boleh
diremehkan. Rasisme dan etnis adalah dua fitur yang paling hina dan
amat nyata dari peradaban modern.

E. Aktor Governance
Pembahasan tentang aktor tidak terlepas dari pembahasan tentang
level governance, dimulai dari level lokal, nasional, regional sampai dengan
level global. Demikian pula, level aktor governance dapat dimulai dari aktor
lokal, nasional, regional sampai dengan aktor global. Yang termasuk aktor

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 51


global misalnya seperti PBB dan lembaga afiliasinya seperti UNESCO,
UNICEF, WHO, UNDP dan lain-lainnya serta organisasi internasional seperti
World Bank, IMF, USAID, AusAID, Komisi Eropa dan lain-lain sebagainya.
Sedangkan yang termasuk aktor regional seperti ASEAN, APEC dan lain-lain
sebagainya. Kelompok aktor nasional adalah yang terkait dengan Lembaga
Kementerian dan lembaga non kementerian, seperti misalnya APEKSI,
APKASI, ADKASI, ADEKSI, APPSI dan lain-lain sebagainya. Sedangkan
kelompok aktor lokal mulai dari tingkat provinsi seperti Gubernur dan
Bupati/Walikota beserta jajarannya serta beberapa lembaga yang menjadi
cabang tingkat nasional dan/atau lembaga yang mandiri.
Organisasi internasional merupakan aktor global, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Kappen (1999: 3-6) bahwa International non-
governmental organization (INGOs) merupakan aktor global, seperti
Greenpeace yang bergerak pada penyelamatan dari perusakan lingkungan
dan Multi-National Corporations (MNCs) seperti Katzenstein dan Tsujinaka
sebagai aliansi perusahaan raksasa dari negara Amerika Serikat dengan
negara Jepang, yang mempengaruhi kebijakan ekonomi di negara-negara
seluruh dunia telah menjadi aktor internasional. Selanjutnya pendapat
Forsythe dan Flanagan (2007: 1-5) bahwa The International Committee of
the Red Cross (ICRC) menjadi aktor internasional yang bergerak di bidang
hukum dan martabat kemanusiaan.
Sehubungan dengan peran aktor, Tabak (2015: 35-38)
mengemukakan bahwa pada saat ini para ahli telah memusatkan perhatian
teorinya tentang hal antara individual dan kolektif, sehingga diskursus bidang
ini didominasi oleh dikotomi seperti individual/kolektif, khusus/umum,
lokal/global, teknologi/sosial. Aktor adalah terdiri dari beberapa agen,
kolektif atau individual yang dapat digabung atau tidak digabung dengan
aktor-aktor lain sesuai dengan komponen jaringannya. Selanjutnya, fokus
antara interaksi lokal dan struktur sosial memiliki 3 (tiga) konsekuensi penting,
yaitu: (1) jaringan tidak menggambarkan makro sosial, tetapi menunjukkan
penjumlahan interaksi melalui berbagai jenis perangkat, bentuk dokumen
catatan kejadian dan formula, menuju ke dalam sesuatu yang sangat lokal,
sangat praktis, dan lokus yang sangat kecil (Latour, 1999a: 17 dalam Tabak,
2015); (2) tindakan dengan subyektivitas, dengan intensitas dan dengan
moralitas; (3) aktor tidak main peran agensi maupun jaringan peran struktur

52 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


sosial, tetapi lebih hanya penjumlahan lokal di mana memproduksi totalitas
lokal lain atau lokalitas total. Jaringan adalah suatu konsep untuk mendesain
hubungan daripada struktur, dan suatu entitas adalah suatu aktor hanya
dalam relasi dengan entitas lainnya.
Sehubungan dengan jaringan aktor, Fenwick dan Edwards (Ed)
(2012: xxi) dengan mengacu pada Actor Network Theory (ANT) telah
menganalisis tantangan yaitu asumsi pondasi konsepsi pembangunan dan
pembelajaran pendidikan tertentu, agensi, identitas, pengetahuan dan
pengajaran, kebijakan dan praktik. Implikasi dari hasil analisis tersebut
sebagaimana Fenwick (2012: 97) menyatakan bahwa ada cenderung untuk
memfokuskan pada aktor yang sangat kuat, mensederhanakan seluruh
fenomena, sehingga dapat dilipat ke dalam suatu ontologi jaringan, dan
sekaligus untuk memahami ke lokasi di mana aktor berada.
Pembahasan berikutnya dikhususkan pada aktor internasional atau
global, sebagaimana yang dikemukakan oleh Oestreich (Ed), 2012: 1) bahwa
organisasi internasional dapat bermakna, aktor yang bebas (independent)
dalam hubungan internasional. Organisasi internasional ini seperti World
Trade Organization (WTO) mengatur tentang perselisihan perdagangan, the
North Atlantic Treaty Organization (NATO) membuat keputusan tentang
kebijakan militer, the United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) yang mengatur tentang kultur, ilmu pengetahuan,
pendidikan termasuk kota-kota indah untuk situs warisan dunia. Semua aktor
global tersebut bekerja dengan kreatif yang dapat mempengaruhi politik
dunia (kebijakan negara-negara seluruh dunia) sebagai tempat norma sosial
dan ekspektasi.
Isu global yang dapat disebut adalah tentang migrasi, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Cruset (2012: 4) dari sebuah perspektif
transnasional, membantu untuk memahami problem migran dalam konteks
globalisasi. Sedangkan isu global lain yaitu tentang kesejahteraan sosial Ervik
et al, (2009: 1- 2) mengemukakan bahwa gagasan-gagasan kebijakan
kesejahteraan sosial yang dilakukan oleh aktor internasional dan nasional,
menunjukan adanya banyak aspek globalisasi dan integrasi ekonomi yang
telah ditingkatkan untuk menguatkan aspek kebijakan sosial internasional dan
transnasional. Arus barang, jasa modal dan pekerja, bentuk-bentuk migrasi
yang lain dan perubahan demografis, semua membawa konsekuensi bagi

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 53


kebijakan sosial nasional, dan menciptakan tantangan kelembagaan pada
umumnya.
Isu global lainnya dapat disebutkan misalnya korporasi internasional
(Baer: 2013), teknologi (Donze dan Nishimura: 2014), masyarakat
internasional modern (Hofmann: 2008), governance internasional dan
masyarakat sipil (Armstrong, Bello dan Spini: 2011), keamanan internasional
(Krahmann: 2005).
Memperhatikan uraian tentang pengertian, peran, dan jaringan aktor
dan level governance di atas, serta memperhatikan skala isu, maka jenis aktor
dapat dikelompokkan menjadi aktor lokal, nasional, regional dan global.
Pembahasan selanjutnya tentang keterkaitan aktor dengan proses
pembuatan kebijakan publik, Howlett dan Ramesh (1995: 52-59) menyatakan
bahwa tidak dapat meniadakan peran aktor. Sedangkan yang dimaksud aktor
adalah individu atau kelompok. Aktor yang terlibat dalam wilayah kebijakan
yang khusus dapat ditunjukkan secara kolektif oleh suatu subsistem
kebijakan. Ada lima kategori aktor kebijakan: pejabat yang dipilih, pejabat
yang ditunjuk, kelompok kepentingan, organisasi penelitian, dan media
massa. Namun demikian prinsip negara berdasar hukum dan demokrasi
memerlukan keterlibatan aktor perusahaan (privat) yang tertarik dengan
problem kolektif (Knoepfel et al, 2007: 46), tetapi aktor perusahaan tersebut
tipikelnya organisasi top-down dan di bawah kontrol pemiliknya, sehingga
keterlibatannya tidak aktif (Scharpf, 1997: 56).
Pembahasan lebih lanjut tentang aktor kebijakan, Hermans dan
Cunningham dalam Thissen dan Walker (2013: 190-192) menyatakan bahwa
kompleksitas multi-aktor dapat ditemukan dalam konteks penyusunan
kebijakan, tetapi juga dalam domain sistem untuk kebijakan. Mereka juga
menyampaikan perlu membedakan 3 (tiga) istilah seperti: pembuat kebijakan
(policy makers), aktor kebijakan (policy actors), dan aktor sistem (system
actors). Ada empat properti aktor sistem untuk menolong kita membedakan
hal ini, yaitu: (1) Aktor sistem memiliki perilaku yang mana sebagai individu
tidak tercatat dan tidak terlihat oleh aktor lain (focus) dan memiliki sedikit
kemampuan untuk menjadikan perubahan kebijakan yang berarti (agency);
(2) Sistem aktor sebagai kelompok harus memiliki kemampuan secara
substansial untuk mempengaruhi sistem dan mereka tidak sepenuhnya
masuk dalam model sistem (secara signifikan);(3) Aktor sistem, karena itu,

54 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


dapat merubah hasil dari kepentingan secara signifikan, tanpa mereka sendiri
dapat mengarahkan sistem menuju pilihan terakhir. Ketika aktor sistem akan
mempengaruhi hasil, mereka tidak dapat mengkoordinasikan secara strategis
akan diidentifikasikan sebagai anggota arena kebijakan yang juga memiliki
sebuah peran dalam sistem (mereka adalah keduanya aktor sistem dan aktor
kebijakan). Aktor sistem adalah juga antara pemangku kepentingan
(stakeholders) untuk sesuatu isu kebijakan yang spesifik.
Sistem dan aktor sistem pada umumnya terdiri dari beberapa
properti. Sistem, seperti aktor sistem tidak dapat merubah kebijakan, tidak
dapat mengkoordinasi secara strategis, dan harus mengangkat suatu
komponen domain sistem yang signifikan atau lebih baik menghilangkan dari
model sistem. Sistem, seperti aktor kebijakan harus fokus: kekuatan sistem
harus dapat dicatat dan dilakukan oleh yang lain. Tanpa fokus, komponen
sistem lebih baik akan dihilangkan dari model sistem. Ketika sistem, aktor
sistem, dan aktor kebijakan pada umumnya memiliki beberapa properti, ada
satu properti yang aktor pembeda sangat tajam dari sistem yaitu: ada maksud
atau intensionalitas (intentionality). Semua bentuk aktor suatu intensitas,
bahkan jika mereka tidak menjadikan sangat berguna, niat mereka pada
sistem atau dengan kata lain sistem tidak ada intensitas (niat atau maksud).
Suatu faktor eksternal sebagai suatu topik untuk permodelan aktor
berhak mendapatkan perhatian. Komponen kerangka kerja analisis kebijakan
ini dipergunakan secara langsung untuk lima elemen pembeda, ada beberapa
yang memerlukan pemodelan aktor. Pertama dan yang pokok, komponen
kerangka kerja ini, dipergunakan bagi permodelan ketidaktentuan
mempengaruhi sistem. Kedua, komponen ini dipergunakan untuk mewakili
masukan (inputs) untuk sistem yang lintas batas sistem. Ketiga, komponen
ini dipergunakan untuk mewakili kekuatan sebagai pelaksana yang muncul
dari dalam sistem. Keempat, komponen ini dipergunakan untuk mewakili
pilihan-pilihan para aktor, pembuatan pilihan kebijakan pada domain sistem
yang tumpang tindih dengan sebagian yang lain. Kelima, komponen ini
dipergunakan untuk mewakili pilihan-pilihan tindakan sosial yang muncul
dalam sistem.
Dua elemen terakhir ini – aktor kebijakan dengan tumpang tindih
domain, dan tindakan sosial yang muncul – adalah dihubungan dengan aktor,
dan mungkin, karena itu, dijelaskan secara tuntas melalui penggunaan model

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 55


aktor. Bagaimanapun juga elemen-elemen ini mewakili pilihan-pilihan aktor
secara intensional, tidak tindakan secara alamiah. Pemodelan mereka
sebagai kekuatan sistem, bukan kekuatan aktor, mungkin menyesatkan.
Meskipun ini cocok untuk model komponen kerangka kerja ini sebagai aktor
sistem, tidak lah mereka mewakili ketidakpastian secara substansial
perhatian pada kerja sistem.
Selanjutnya Chocran dan Malone (1995: 1-2) menyatakan bahwa
kebijakan publik terdiri dari keputusan politik guna implementasi program
untuk mencapai tujuan masyarakat. Keputusan-keputusan ini menunjukkan
penuh harapan suatu konsensus nilai. Ketika dianalisis, kebijakan publik
terdiri dari suatu rencana aksi atau program dan suatu pernyataan sasaran,
dalam kata lain, suatu peta dan suatu tempat tujuan.

F. Sound Governance pada Level Lokal


Farazmand (2004: 18) telah menyatakan bahwa local governance
di bawah model sound governance atau dengan kata lain sound governance
pada level lokal menuntut partisipasi warga aktif, melalui keterlibatan
langsung atau tidak langsung, kerjasama dalam pemberian pelayanan,
produksi bersama, dan kerjasama di dalam pengelolaan (co-management).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa sound governance pada level lokal
adalah praktik governance yang melibatkan partisipasi masyarakat baik
secara langsung maupun tidak langsung; pengelolaan dan pemberian
pelayanan kepada masyarakat dengan cara kerjasama antar pihak yang
berkepentingan.
Dimensi sound governance yang tidak ada di level lokal adalah
dimensi konstitusi. Istilah konstitusi sendiri menurut KBBI QT Media
mengandung arti segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan
(Undang-undang Dasar) atau Undang-undang suatu negara. Sedangkan
menurut wikipedia yang dimaksud konstitusi atau Undang-undang Dasar
(bahasa Latin: constitutio) adalah dalam negara sebuah norma sistem politik
dan hukum bentukan pada pemerintahan negara---biasanya dikodifikasikan
sebagai dokumen tertulis. Hukum ini tidak mengatur hal-hal yang terperinci,
melainkan hanya menjabarkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi
peraturan-peraturan lainnya. (https://id.wikipedia.org/wiki/Konstitusi).
Berdasarkan uraian tentang masalah dimensi konstitusi dari sound

56 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


governance tersebut, menegaskan bahwa dimensi konstitusi berada pada
posisi level national governance. Dengan demikian, hanya dimensi konstitusi
tidak dapat untuk melihat penyelenggaraan pelayanan pendidikan di level
lokal.
Berdasarkan pemahaman sound governance pada level lokal
sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa kriteria
sound governance pada level lokal untuk melihat proses pelayanan publik
yaitu:
(1) Adanya keempat aktor governance, yaitu: pemerintah, privat,
masyarakat, global;
Keempat aktor tersebut berinteraksi dengan mengedepankan berbagai
peran, sehingga mereka saling mendukung satu sama lain dalam
pelayanan publik.
(2) Adanya dimensi-dimensi: proses, struktur, kognisi dan nilai, organisasi
dan institusi, manajemen dan kinerja, kebijakan, sektor, kekuatan global,
etika, akuntabilitas dan transparansi;
Beberapa dimensi tersebut saling mendukung satu dengan yang lain
dalam pelayanan publik.
(3) Menuntut partisipasi aktif warga, melalui keterlibatan langsung atau tidak
langsung;
Oleh karena perlunya partisipasi aktif warga dalam pelayanan publik,
maka warga dapat menentukan sendiri, apakah terlibat langsung
ataupun tidak langsung. Hal ini dapat dipahami oleh semua warga yang
terlibat, karena pada umumnya mereka telah memiliki pekerjaan sendiri-
sendiri yang perlu mendapat perhatian pula.
(4) Adanya kerjasama dalam pemberian pelayanan;
Kerjasama ini yang dimaksud adalah saling mendukung dan interaksi
antar aktor yang terlibat dalam penyedia pelayanan untuk memberikan
pelayanan kepada pengguna pelayanan.
(5) Adanya produksi bersama;
Produksi bersama mulai dari perencanaan, proses produksi pelayanan
antara penyedia pelayanan dengan pengguna pelayanan dalam rangka
pelayanan publik tertentu.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 57


(6) Kerjasama di dalam pengelolaan (co-management);
Kerjasama ini dimaksudkan bahwa antar aktor terlibat di dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, reformasi
pelaksanaan pelayanan publik.
(7) Adanya inovasi kebijakan dan administrasi.
Inovasi kebijakan dalam governance pelayanan publik adalah penting
untuk adaptasi dan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan dunia
yang cepat dalam era globalisasi. Selanjutnya, dibutuhkan inovasi dalam
proses administratif dan struktur untuk organisasi dan manajemen suatu
sistem governance dan untuk pelaksanaan yang efektif dari kebijakan
inovatif pelayanan publik yang telah ditetapkan.

G. Desentralisasi Pendidikan
Seiring dengan gelombang demokrasi di dunia, maka telah terjadi
tuntutan dari masyarakat terhadap penyediaan pelayanan publik. Adapun
makna dari kondisi ini adalah munculnya kebutuhan akan desentralisasi
pelayanan publik, sehingga pengambilan keputusan akan semakin cepat dan
tepat sasaran. Hal ini merambah juga pada bidang pendidikan sebagai
barang publik yang menuntut pemerintah menyediakan pelayanan pendidikan
secara baik bagi warga. Sebagai perbandingan dipilih negara China yang
mana sedang mengejar pertumbuhan ekonomi, namun tidak meninggalkan
sektor pendidikan. Kinglun Ngok (2007: 142) bahwa reformasi yang
berorientasi pasar dan pengejaran pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam
era ekonomi yang mengglobal berdampak secara signifikan terhadap
pembangunan dan kebijakan pendidikan di China. Peran negara lemah dalam
penyediaan pendidikan dan kesenjangan antara desa dan kota adalah kunci
kebijakan pendidikan China menyusul reformasi ekonomi dan kebijakan pintu
terbuka. Kesimpulannya bahwa pembangunan yang seimbang dan sama
dalam pendidikan di China membawa negara kembali ke dalam sektor
pendidikan.
Wong dalam Bjork (2006: 55) mengemukakan bahwa negara
secara bertahap mendelegasikan tanggungjawab fiskal dalam pendidikan
untuk individu dan komunitas lokal. Dalam arti bahwa dengan adanya
desentralisasi pendidikan memungkinkan negara mentransfer
tanggungjawab fiskal dan tugas manajemen untuk bawahan stakeholders

58 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


pendidikan dengan hibah. Namun, dalam praktik masih terjadi kendala fiskal,
di mana masing-masing daerah tidak sama dalam perkembangan daerah
(lihat Behrman, Deolalikar dan Soon, 2002: 38).
Menurut Wong dalam Bjork (2006: 55) bahwa otonomi sekolah
terbatas, karena sekolah dikontrol dengan sistem kuota, kurikulum standar
dan sistem penilaian. Negara memperkenalkan kebijakan desentralisasi tanpa
melepas kontrol, sehingga tidak ada perubahan ideologi dalam manajemen
sekolah.
Pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia dalam bentuk
transfer kewenangan kepada level lokal, terutama kepada sekolah-sekolah
dengan alasan bahwa di sekolah terdapat banyak sumberdaya manusia yang
terlatih. Namun demikian, langkah berikutnya kadang-kadang harus
menunggu pengarahan dari atasan (Bjork, 2006: 143-144), sehingga
desentralisasi pendidikan dengan sistem sentralisasi menjadikan penyediaan
pelayanan kurang efektif (Behrman, Deolalikar, Soon, 2002: 38).
Lebih jauh Bjork (2006: 144) mengemukakan bahwa desentralisasi sekolah-
sekolah pada hakikatnya suatu gerakan untuk mendemokratisasikan mereka.
Efek desentralisasi pendidikan ketika praktik partisipasi di sekolah-sekolah
tetap konstan. Stakeholders tingkat satuan pendidikan dan pejabat
pemerintah, jarang memperhatikan bagaimana untuk mencapai sasaran
desentralisasi pendidikan. Oleh karena itu perlunya peran baru dan
tanggungjawab dalam suatu sistem pendidikan yang didesentralisasikan
yang dipergunakan untuk pelayanan yang lebih baik.
Selanjutnya masih terkait dengan desentralisasi pendidikan,
Behrman, Deolalikar, dan Soon (2002: 38) menyatakan bahwa elemen
desentralisasi dalam sistem pendidikan, meliputi: penyerahan kewenangan
dan tanggungjawab kepada sekolah dari level pusat ke level lokal, keuangan
lokal sekolah ditingkatkan, desentralisasi fungsi sekolah, reformasi struktur
insentif sekolah dan guru. Pada realitasnya, desentralisasi di negara
berkembang kurang sukses disebabkan oleh ukuran desentralisasi yang tidak
lengkap dan kurang pahamnya aparatur pemerintahan tentang kondisi
ekonomi dan kelembagaan. Namun demikian disadari bahwa desentralisasi
pendidikan adalah suatu proses yang berevolusi dan panjang untuk
memperbaiki kualitas pendidikan, efisiensi dan keadilan (Winkler dan
Gershberg, 2003: 2-3; Supriyadi, 2009: 11). Lebih jauh Maikish dan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 59


Gershberg (2008: 30) menegaskan bahwa desentralisasi pendidikan
mengambil pertanggungjawaban ke tangan kewenangan pendidikan lokal
akan memperbaiki kualitas pendidikan dengan perbaikan pengambilan
keputusan dan pengalokasian kebutuhan sumber-sumber untuk dieksplorasi.
Ada prasyarat untuk melakukan desentralisasi pendidikan,
sebagaimana yang dikemukakan Naidoo (2002: 21-22) di mana
desentralisasi pendidikan belum tentu menyebabkan governance yang lebih
baik atau lebih efisien dalam alokasi sumber daya atau pelayanan. Hal ini
disebabkan belum ada penilaian secara merit terhadap desentralisasi
pendidikan, kapasitas kelembagaan lemah, dan lembaga belum demokratis.
Sedangkan sasaran desentralisasi pendidikan, sebagaimana yang
dikemukakan Alisjahbana (2000:10), desentralisasi pendidikan yang efektif
tidak hanya melibatkan proses pemberian kewenangan dan pendanaan yang
lebih besar dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi desentralisasi
juga harus menyentuh kebijakan-kebijakan: organisasi dan proses belajar-
mengajar, manajemen guru, struktur dan perencanaan di tingkat sekolah, dan
sumber-sumber pendanaan sekolah.
Sehubungan dengan hubungan desentralisasi pendidikan dan
pelayanan publik Galiani, Gertler dan Schargrodsky, (2008: 1)
mengemukakan bahwa desentralisasi pelayanan publik adalah penampilan
besar dari inovasi kelembagaan. Dukungan desentralisasi membawa
keputusan dari tertutup menjadi terbuka untuk warga, sehingga mengurangi
informasi yang asimetris dan memperbaiki akuntabilitas.
Winkler dan Gershberg, (2003: 2-3) Desentralisasi pendidikan
dapat:
1. mewujudkan penguatan pengambilan keputusan riil sekolah atau komite
sekolah secara signifikan untuk peningkatan partisipasi orang tua dalam
sekolah dan pada level tinggi perkumpulan (asosiasi) orang tua dan
komunitas sehingga kinerja sekolah dapat diperbaiki. Kondisi ini akan
meningkatkan ketrampilan baru dalam kepemimpinan dan manajemen
guru dan komunitas.
2. mewujudkan efisiensi dan efektivitas dalam penyediaan pelayanan.
3. mewujudkan akuntabilitas, karena memerlukan rancangan yang jelas
terhadap wewenang dan tanggungjawab, transparan dan informasi

60 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


dapat dipahami atas hasil keduanya pendidikan dan pengelolaan
keuangan.
4. memperdayakan orang tua dan perbaikan kinerja sekolah, sehingga
desentralisasi sekolah dan komite sekolah atau komunitas lokal dapat
memperdayakan orang tua dan memperbaiki kinerja sekolah.

Namun demikian yang menjadi kendala dalam pelaksanaan


desentralisasi pendidikan adalah karena adanya kesenjangan kapasitas untuk
mengelola pendidikan.
Titik berat dalam desentralisasi di sektor pendidikan adalah dengan
diberikan kewenangan kepada pemimpin komunitas, orang tua, guru dan
administrator sekolah. Aktor lokal telah didorong untuk mempertajam
kebijakan dan praktik di dalam sekolah (Bjork, 2006: 143). Selanjutnya Wong
dalam Bjork (2006: 55) menyatakan bahwa hubungan interpersonal antar
guru dan pandangan atas pergeseran kebijakan mempertajam implementasi
dan efek dari desentralisasi kebijakan pendidikan, sehingga desentralisasi
manajemen guru adalah kritis untuk penciptaan akuntabilitas dan realisasi
keuntungan desentralisasi secara potensial (Winkler dan Gershberg, 2003:
3).

H. Pelayanan Publik
Pemerintah lokal dalam mempertanggungjawabkan sumber daya
masyarakat, perlu meningkat kualitas layanan publik. Kualitas layanan publik
dalam hal ini Zeithaml, Parasuraman dan Berry (1997:133-134), menyatakan
kualitas pelayanan didasarkan dimensi sebagai berikut :
1) Tangibles (Bukti langsung) yaitu kelengkapan pelayanan yang bisa
dilihat/dirasakan secara langsung oleh pelanggan seperti ruangan,
fasilitas, sarana prasarana, penampilan petugas.
2) Reability (Keandalan) yaitu kemampuan melayani sesuai dengan
keinginan pelanggan, diantaranya kecepatan, ketepatan,
kemampuan dan kesigapan pelayanan.
3) Responsiveness (Daya tanggap) yaitu kemampuan dan
ketanggapan dalam memberikan pelayanan seperti ketanggapan
terhadap keluhan pelanggan, kemampuan memberikan informasi

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 61


dengan bahasa yang dapat dipahami dan mengutamakan
kepentingan pelanggan.
4) Assurance (Jaminan) yaitu pengetahuan dan kesopanan dari para
pegawai dan kemampuan mereka untuk menerima kepercayaan dan
kerahasiaan.
5) Empathy (Empati) yaitu tercermin dari perhatian terhadap keinginan
pelanggan dan kemudahan untuk dihubungi.

Selanjutnya terkait dengan pelayanan publik di negara demokrasi,


Lenvine (1990 : 188) dalam Dwiyanto (2006:144) menyatakan ada tiga
indikator, yaitu:
(1). Responsiveness adalah daya tanggap penyedia layanan terhadap
harapan, keinginan, aspirasi maupun tuntutan pengguna layanan.
(2). Responsibility yaitu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh
proses pemberian pelayanan publik itu dilakukan sesuai prinsip-
prinsip atau ketentuan administrasi dan organisasi yang benar dan
telah ditetapkan.
(3). Accountability yaitu ukuran yang menunjukkan seberapa besar
proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan
stakeholders dan norma-norma yang berkembang dalam
masyarakat.

Pelayanan publik ditinjau dari New Public Management (NPM),


Hood (1991) dalam Frederickson (2003:12) yang menyatakan pelayanan
publik akan efektif apabila prinsip pelayanan publik mendasarkan keadilan
dalam birokrasi pemerintah yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak yang
sama dalam pelayanan publik dan walaupun ada kesenjangan hak dan
kewajiban harus tetap ditegakkan bagi setiap individu/ kelompok/ masyarakat
tanpa harus membedakan agama, ras, suku, dan lain-lain. Pelayanan publik
harus diberikan sama bagi setiap warga masyarakat tanpa diskriminasi dan
dilakukan secara proporsional.
Akuntabilitas harus menjadi perspektif bagi birokrasi dalam
mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi sebagai
pelayan publik. Jabbra dan Vedi (1989: 5-7) mengemukakan perspektif
akuntabilitas, yaitu:

62 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


1. Administrative/Organizational Accountability
2. Legal Accountability
3. Political Accountability
4. Professional Accountability
5. Moral Accountability

Administrative/organizational accountability(akuntabilitas
administrasi/organisasi) adalah hubungan hierarki antara pusat
pertanggunjawaban dengan organisasi-organisasi di bawahnya. Pada
umumnya, jelas batas-batasnya, baik dalam bentuk hubungan formal maupun
dalam bentuk jaringan informal.
Legal accountability (akuntablitas hukum) adalah apabila
akuntabilitas birokrasi bergantung pada sarana kontrol internal, akuntabiltas
legal dalam proses legislatif dan yudikatif. Hal ini dapat dicapai baik oleh
tindakan pengadilan atau oleh judicial review dari suatu tindakan administratif
di mana organisasi atau pejabat yang bertanggung jawab untuk tidak
mengikuti maksud legislatif atau kewajiban hukum. Sementara kekuasaan
legislatif atau kehakiman untuk menghukum pemerintah sebagai bentuk
pertanggungjawaban hukum.
Political accountability (akuntabilitas politik) adalah legitimasi suatu
program publik, dan yang pada akhirnya dapat masuk ke dalam organisasi
yang bertanggung jawab terhadap program publik tersebut, adalah masalah
akuntabilitas politik. Administrator kewenangannya terbatas dalam sistem
pemerintahan demokratis, mengenali kekuasaan kewenangan politik untuk
mengatur, seperangkat prioritas, redistribusi sumber-sumber, dan
memastikan pemenuhan sesuai dengan pesanan. Akuntabilitas politik, dalam
beberapa kasus, menggolongkan akuntabilitas organisasi atau administratif,
terutama karena politik yang dipilih berasumsi bertanggungjawab secara
politik dan hukum.
Professional accountability (akuntabilitas profesi) adalah
profesionalisme dalam organisasi sektor publik yang dilatih menjadi
profesional dalam pelayanan publik. Akuntabilitas profesional menuntut
profesional dalam pelayanan publik harus menyeimbangkan kode etik profesi
mereka dengan konteks yang lebih besar untuk melindungi kepentingan
publik.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 63


Moral Accountability (akuntabilitas moral) adalah penerimaan
secara luas bahwa pemerintah seharusnya secara legal dan moral,
bertanggung jawab atas tindakan mereka. Akuntabilitas moral, yang
menggolongkan administrasi, hukum, dimensi politik dan profesional, ke
dalam suatu pertanggungjawaban moral atas tindakan pemerintah.
Wallace dan Fertig dalam Hartley at al (2008: 257-258) menyatakan
bahwa perbaikan pelayanan publik (improving public services) berarti
keberhasilan implementasi perubahan yang lebih baik. Para profesional
formal dalam pengawasan kelompok stakeholders yang bermacam-macam
berkontribusi untuk governance pelayanan (service governance). Membuat
perubahan yang terprogram dan kompleks adalah pokok dari perbaikan
pelayanan publik.
Secara khusus, Wallace dan Fertig mengajukan sebuah
pertanyaan: bagaimana mungkin sebuah konsepsi awal perubahan
pendidikan yang kompleks dan terkait kerangka perencanaan praktis, berasal
dari penelitian induktif satu contoh dari perubahan pendidikan yang
kompleks, disempurnakan untuk memperluas penerapan mereka untuk
perubahan lain dalam pengaturan pelayanan publik yang berbeda? Tujuannya
adalah untuk membangun menuju dasar kuat untuk penelitian masa depan,
dan dengan demikian secara kuat untuk panduan praktis pada
pengembangan kapasitas secara umum untuk mengelola perubahan yang
kompleks dan terprogram. Selanjutnya dikemukakan bahwa perubahan
pelayanan publik adalah jelas dengan sendirinya menjadi lebih kompleks,
karena banyak pemerintah Barat (Western) terlibat dalam reformasi.
Pada akhirnya Wallace dan Fertig (Hartley at al., 2008: 274-275)
memperkenalkan keberhasilan perubahan untuk perbaikan pelayanan publik.
Tidak ada perubahan, tidak ada perbaikan (no change, no improvement).
Setelah dilakukan dialog dengan beberapa praktisi senior, maka sampai pada
perlunya perubahan kapasitas, yaitu:
(1) memperluas kesadaran sistemik untuk menginformasikan kepada
pengambilan keputusan melalui informasi kualitatif bersama dan
berdampingan dengan data kinerja, tentang dampak dari inisiatif pada
penanganan kapasitas praktisi.

64 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


(2) mengidentifikasi dan mendukung pengembangan mereka dalam posisi
untuk bertindak sebagai pemimpin atau pengatur gerak perubahan
berdasarkan pada tingkat administrasi yang berbeda.
(3) memperkenalkan peran terhubung untuk lintas rentang batas tingkat
administratif dan antara pelayanan publik.
(4) berfokus dukungan pelatihan mengatasi yang efektif terhadap kerancuan
dan pengelolaan perubahan yang terbatas.
(5) komplementer mengambil risiko melalui menggabungkan setiap top-
down 'rendah kepercayaan' target dan aturan pengukuran dengan
bottom-up 'tinggi kepercayaan’ dorongan untuk bereksperimen dan
mengembangkan strategi mengatasi lokal, dalam batas-batas yang luas.
(6) mendorong perubahan yang muncul melalui inovasi lokal untuk
perbaikan inkremental antara pelayanan dan organisasi administratif
yang sensitif terhadap keadaan lokal yang bersyarat.

Masih terkait dengan reformasi pelayanan Skelcher (Hartley, 2008:


27) menyatakan bahwa reformasi pelayanan publik menciptakan suatu
diversitas (keragaman) yang lebih besar dalam pengaturan governance bagi
pembuatan dan penerbitan (delivery) kebijakan publik.
Wallace et al., (2007: 3) mengemukakan bahwa untuk reorganisasi
sekolah perlu menyediakan sumber-sumber ide yang pokok bagi konsep
yang muncul dari perubahan pendidikan yang kompleks mewujudkan
karakteristik kompleksitas dengan manajemen implikasi.
Sehubungan dengan perbaikan pelayanan publik Thomas (Wallace
et al., 2007: 116) menyatakan bahwa kompleksitas reformasi pelayanan
publik dihubungkan dengan kemajemukan kepentingan yang
mempermainkan sebagian dalam pembuatan keputusan kebijakan dan
memobilisasi implementasi aktivitas. Saling mempengaruhi dari governance
dan kepemimpinan pengambil risiko diekpresikan oleh politikus dan pelayan
publik (pegawai negeri) senior dalam bentuk kerangka praktik operasional
untuk implementasi perubahan. Selanjutnya, Wallace et al., (2007: 133)
mengemukakan bahwa perubahan teknis adalah lebih mudah dicapai
daripada penyisiran perubahan kebijakan yang melibatkan jaringan yang
kompleks dari institusi-institusi dan aktor-aktor. Governance pasti melibatkan
politik dan kekuasaan. Melibatkan atas pertimbangan kepercayaan publik dan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 65


keyakinan, keterwakilan, daya tanggap, etika, legitimasi dan akuntabilitas.
Selanjutnya dikemukakan bahwa kepemimpinan perubahan disebarkan
secara meningkat dan kolektif, mencerminkan fakta bahwa aktor-aktor
pemerintah memimpin perubahan tidak melalui perintah dan kontrol tetapi
atas dasar pengaruh, negosiasi dan persuasi. Keterampilan kepemimpinan
diperlukan dalam lingkungan governance yang baru tidak manajerial yang
ketat. Mereka lebih politik, membawa stakeholders secara bersama untuk
mengejar tujuan umum dalam suatu situasi saling ketergantungan yang
meningkat.
Sehubungan dengan pemberdayaan organisasi Horton et al.,
(2003: 19-24) mengemukakan bahwa kapasitas organisasi adalah
potensinya untuk melakukan, yaitu kemampuan untuk keberhasilan
penerapan keterampilannya dan sumber daya untuk mencapai tujuannya dan
kepuasan memenuhi harapan stakeholdersnya. Selanjutnya, dikemukakan
pula kinerja adalah kemampuan suatu organisasi untuk mencapai tujuannya
dan mencapai seluruh misinya. Kinerja organisasi dapat diekspresikan dalam
istilah 4 (empat) indikator kunci: keefektivan, efisiensi, relevan, dan
kesinambungan keuangan. Selanjutnya, dikemukakan pula tentang bentuk
dasar kapasitas organisasional ditentukan oleh sumber daya dan manajemen.
Sumberdaya semacam: infrastruktur, teknologi, keuangan, dan pegawai dan
selanjutnya lebih jauh bahwa sumber daya organisasi termasuk personel,
fasilitas kendaraan, perlengkapan, dan pendanaan. Sedangkan manajemen
yang termasuk adalah aktivitas termasuk perencanaan, penentuan tujuan,
penetapan tangung jawab, pengarahan, alokasi sumber daya, motivasi, dan
supervisi anggota organisasi, dan pemeliharaan hubungan dengan
stakeholders. Aktivitas yang bermacam-macam dapat dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) , yaitu: kepemimpinan, pengelolaan proses dan program, dan
jaringan dan lembaga yang terkait. Sedangkan kepemimpinan yang strategis
adalah kapasitas untuk penilaian dan interpretasi kebutuhan dan peluang di
luar organisasi, untuk menstabilan arah, untuk pengaruh dan menselaraskan
lainnya menuju suatu tujuan umum, untuk memotivasi mereka dan komitmen
mereka untuk tindakan, dan untuk membuat mereka responsif terhadap
kinerja mereka.
Fetterman dan Wandersman (2005: 29-38) mengemukakan bahwa
evaluasi pemberdayaan (empowerment) menyangkut beberapa nilai dan

66 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


metode pendekatan lain untuk evaluasi termasuk evaluasi yang tradisional
dan evaluasi pemberdayaan yang relatif tertutup – kolaboratif, partisipatori,
dan evaluasi yang difokuskan pada manfaat. Bagaimanapun juga, itu satu
himpunan prinsip –prinsip evaluasi pemberdayaan yang perlu
dipertimbangkan. Masing-masing prinsip memiliki istilah tersendiri. Sejumlah
prinsip tidak mencerminkan beberapa bentuk hirarki atau prioritisasi satu
dengan yang lainnya, namun semua prinsip tersebut diharapkan menjadi
pedoman bagi evaluator pemberdayaan (empowerment evaluator). Prinsip-
prinsip itu adalah: improvement, community ownership, inclusion, democratic
participation, social justice, community knowledge, evidence-based
strategies, capacity building, organizational learning, dan accountability.
Kemudian Alsop et al., (2006: 10-11) dengan mengacu pada
pendapat Giddens menekankan hubungan antara agensi dan struktur.
Kerangka analitiknya digunakan untuk memperlakukan pemberdayaan yang
bergantung pada hubungan tersebut. Agensi didefinisikan sebagai
kemampuan suatu aktor atau kelompok untuk membuat pilihan yang penuh
tujuan. – ini membuat aktor dapat membayangkan dan memilih opsi yang
bertujuan. Lebih jauh, aktor-aktor dengan rendahnya tingkat aset psikologis
juga cenderung untuk membuat pilihan yang dapat membangun atau
memperkuat aset lain yang dari dasar agensi mereka.
Alsop juga membahas peluang struktur (opportunity structur).
Seorang aktor mungkin dapat memilih opsi, tetapi realisasi efektif pada pilihan
tarsebut akan tergantung lebih besar pada konteks institusional dengan mana
aktor hidup dan bekerja. Peluang struktur terdiri institusi-institusi ini yang
mengatur perilaku masyarakat dan yang mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan pilihan yang mereka buat. Institusi adalah aturan main (rule of the
game). Institusi dapat formal dan informal. Institusi formal termasuk satu
perangkat peraturan, hukum, dan kerangka kerja regulatori yang mengatur
operasi proses politik, pelayanan publik, organisasi privat, dan pasar. Yang
termasuk institusi informal adalah aturan tidak resmi bahwa insentif struktur
dan mengatur hubungan dengan organisasi-organisasi semacam birokrasi,
perusahaan, atau industri, sebaik praktik kultur informal, sistem nilai, dan
norma perilaku yang beroperasi dalam rumah tangga atau antar kelompok
sosial atau komunitas. Sedangkan untuk meningkatkan di agensi, melalui

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 67


akumulasi aset seperti pendidikan dan interaksi antara agensi dan peluang
struktur dapat dijelaskan dengan adanya tingkat pemberdayaan.
Hardina et. al, (2007: 3-18) berkaitan dengan pemberdayaan
mengemukakan perlunya suatu pendekatan yang bertujuan untuk
memastikan bahwa pendapatan warga dan lainnya rendah yang dan lain-
lain yang mengalami diskriminasi menerima akses untuk pelayanan yang
berkualitas. Tujuan pendekatan pemberdayaan (empowerment approach)
adalah untuk menolong warga mengatasi perasaan ketidakberdayaan dengan
memperoleh kekuasaan. Perlu dicatat bahwa pemberdayaan dalam
organisasi melibatkan redistribusi sumber daya semacam wewenang
pembuatan keputusan atau barang dan jasa. Pegawai juga memperoleh
kekuasaan melalui partisipasi dalam pembuatan keputusan organisasional
dan dengan advokasi untuk perbaikan dalam pelayanan dan kebijakan
organisasional. Kemudian keterampilan dasar bagi manajer yang berorientasi
pemberdayaan bahwa manajer harus terampil dalam bidang: penentuan
tujuan, perencanaan program, pengelolaan sumberdaya manusia dan alam,
pelatihan pegawai, dan evaluasi pelayanan. Manajer harus dapat berinteraksi
dengan berbagai macam kelompok konstituen dengan organisasi (klien, staf,
dan sukarelawan) dan eksternal kepada organisasi (penyandang dana,
regulasi pemerintah, komunitas tempat tinggal, pemimpin lokal, dan agensi-
agensi lainnya yang memberikan pelayanan pelengkap atau bersaing).
Sehubungan dengan adanya kendala dalam perbaikan pelayanan
publik, maka diperlukan pemahaman tentang manajemen stratejik seperti
yang dikemukakan oleh Dirgantoro (2007: 1-9) bahwa berpikir stratejik, ada
2 (dua) faktor yang menjadi pertimbangan, yaitu: faktor-faktor secara
langsung akan memberikan pengaruh (direct considerable factors) dan
faktor-faktor yang secara tidak langsung memberikan pengaruh atau menjadi
masukan dalam berpikir. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berpikir
strategis adalah bagaimana mengidentifikasikan kondisi yang memberikan
keuntungan terbaik untuk membantu memenangkan persaingan. Kemudian
didefinisikan tentang manajemen stratejik yaitu proses berkesinambungan
yang membuat organisasi secara keseluruhan dapat selalu responsif
terhadap perubahan–perubahan di dalam lingkungannya baik yang bersifat
internal maupun eksternal. Ketiga elemen yang membentuk manajemen

68 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


stratejik sebagai yang dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini (Dirgantoro,
2007: 10).

ANALISA PENETAPAN
LINGKUNGAN ➢ VISI
➢ INTERNAL ➢ MISI
➢ EKSTERNAL ➢ OBJECTIVE

Gambar 3. Elemen Manajemen Stratejik


(Dirgantoro, 2007: 10)

Terlihat pada gambar 3 bahwa ada tiga elemen manajemen stratejik


yaitu:
(1) analisa lingkungan yang terdiri dari lingkungan internal dan eksternal;
(2) penetapan visi, misi, sasaran (objective); dan
(3) Strategi.

Dengan demikian apabila seseorang atau kelompok orang akan


menyusun perencanaan stratejik maka yang pertama kali ditinjau adalah
kondisi lingkungan yang melingkupi organisasi. Lingkungan internal di dalam
organisasi dan lingkungan eksternal di luar organisasi. Kemudian penetapan
visi, misi dan sasaran dan akhirnya menyusun strategi untuk mencapai
sasaran yang telah ditetapkan.
Selanjutnya, terkait dengan elemen manajemen stratejik, maka perlu
disajikan suatu model atau kerangka tentang manajemen stratejik di mana
secara visual dapat dilihat pada gambar 4 di bawah ini (Dirgantoro
mengambil contoh sebuah perusahaan).

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 69


Gambar 4 Model Manajemen Stratejik
Dirgantoro, 2007: 11)

Model manajemen stratejik ini memberikan suatu kerangka berpikir


yang mudah di dalam memahami bagaimana manajemen stratejik bekerja.
Model ini dibentuk oleh ketiga elemen dasar manajemen stratejik, yaitu
analisis lingkungan, penetapan visi, misi, dan sasaran serta strategi. Ketiga
elemen tersebut ditambah dengan komponen-komponen lain, sehingga
membentuk suatu model manajemen stratejik.
Analisis lingkungan perlu dilakukan karena untuk melihat
kemungkinan ada peluang (opportunity) yang dapat muncul dan
kemungkinan ada ancaman (threat) yang dapat terjadi karena adanya
perubahan di lingkungan organisasi. Analisis juga dilakukan terhadap
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki atau yang ada di dalam organisasi
untuk melihat seberapa besar organisasi dapat memanfaatkan peluang yang
ada atau antisipasi ancaman dan tantangan yang muncul.

70 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Selanjutnya menetapkan visi yang bertujuan untuk memberikan arah
tentang akan menjadi apa atau seperti apa organisasi di masa yang akan
datang atau pandangan ke depan tentang organisasi. Visi perlu dijabarkan
dengan misi dengan melakukan suatu tindakan, sehingga visi dapat terwujud.
Sasaran (objectives) perlu ditetapkan, sehingga target pencapaian misi dapat
terukur, spesifik, dapat dicapai, reliabel, dan dalam jangka waktu tertentu.
Setelah visi, misi dan sasaran di tentukan, kemudian elemen terakhir
dari manajemen stratejik adalah strategi. Strategi mengandung dua
komponen yaitu (Dirgantoro, 2007: 13) future intentions atau jangka panjang
dan competitive advantage atau keunggulan bersaing. Oleh karena itu, pada
model manajemen stratejik ada tiga tahapan, yaitu: formulasi, implementasi
dan pengendalian strategi. Untuk organisasi bisnis operasi internasional
harus terus dimonitor dengan ketat selama proses analisis lingkungan.
Selanjutnya, perlu dicermati pula tanggung jawab sosial yang merupakan
suatu tingkatan di mana pimpinan dari suatu organisasi melakukan aktivitas
yang melindungi dan memberikan peningkatan kepada kehidupan
masyarakat dengan berpatokan kepada kepentingan ekonomi dan teknik
organisasi. Yang terakhir adalah fungsi-fungsi di dalam organisasi perlu pula
mendapatkan perhatian, seperti: keuangan, pemasaran, produksi dan
operasi yang lain.
Rangkuti (2003: 19) di bawah ini memaparkan analisis SWOT
(strengths, weakness, opportunity, threats) terkait dengan analisis
lingkungan internal dan eksternal dalam manajemen stratejik, seperti gambar
5 di bawah ini.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 71


PELUANG

3. Mendukung strategi 1. Mendukung strategi


turn-around agresif

KELEMAHAN KEKUATAN

4. Mendukung strategi 2. Mendukung strategi


defensif diversifikasi

ANCAMAN

Gambar 5 Analisis SWOT

Keterangan:
Kuadran 1 : ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan.
Organisasi tersebut memiliki peluang dan kekuatan
sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi
yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung
kebijakan pertumbuhan yang agresif (Growth Oriented
Strategy).
Kuadran 2 : meskipun menghadapi berbagai ancaman, organisasi ini
masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang
harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara
strategi diversifikasi (produk/pasar).
Kuadran 3 : organisasi menghadapi peluang pasar yang sangat besar.
Tetapi di lain pihak, ia menghadapi beberapa
kendala/kelemahan internal. Fokus strategi organisasi ini
adalah meminimalkan masalah-masalah internal organisasi,
sehingga dapat merebut peluang yang lebih baik.

72 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Kuadran 4 : Ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan,
organisasi tersebut menghadapi berbagai ancaman dan
kelemahan internal.

Tabel 5. Matrik SWOT


ISFAS STRENGTH (S) WEAKNESSES (W)
Faktor-faktor Faktor-faktor
kekuatan internal kelemahan internal
ESFAS
OPPORTUNIES (O) STRATEGI SO STRATEGI WO

Faktor peluang eksternal Ciptakan strategi Ciptakan strategi yang


yang menggunakan meminimalkan
kekuatan untuk kelemahan untuk
memanfaatkan memanfaatkan
peluang peluang

THREATS (T) STRATEGI ST STRATEGI WT

Faktor ancaman eksternal Ciptakan strategi Ciptakan strategi yang


yang menggunakan meminimalkan
kekuatan untuk kelemahan dan
mengatasi ancaman menghindari ancaman
Sumber: Rangkuti, 2003: 31
Keterangan:
ISFAS : Internal Strategic Factor Analysis Summary
ESFAS: External Strategic Factor Analysis Summary

Pada organisasi pendidikan Somantri (2014: 19) mengemukakan


bahwa proses penyusun rencana strategis pendidikan dalam tiga tahap,
yaitu: (1) diagnosis; (2) perencanaan, dan (3) penyusunan dokumen rencana.
Tahap diagnosis dimulai dengan pengumpulan berbagai informasi
perencanaan sebagai bahan kajian. Kajian lingkungan internal bertujuan
untuk memahami kekuatan-kekuatan (strenghts) dan kelemahan-kelemahan
(weakness) dalam pengelolaan pendidikan. Sementara kajian lingkungan
eksternal bertujuan untuk mengungkap peluang-peluang (opportunities) dan
tantangan-tantangan (threats) dalam penyelenggaraan pendidikan.
Selanjutnya, Somantri (2014:30), mengemukakan yang terkait dengan
analisis posisi sistem pendidikan perlu memperhatikan indikator kriteria
penilaian tentang kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada pada

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 73


organisasi. Keempat faktor tersebut bermakna bahwa: (1) kekuatan adalah
keberhasilan atau arah kecenderungan yang mendekati kriteria (ideal) yang
diharapkan atau keuntungan-keuntungan yang positif dan dirasakan oleh
stakeholders; (2) faktor kelemahan adalah hambatan-hambatan utama yang
dipandang dapat menghambat pencapaian prestasi yang diharapkan; (3)
faktor peluang adalah bakal keuntungan atau dapat dipandang akan
menunjang pencapaian prestasi atau kinerja yang diharapkan, bila mampu
memanfaatkan atau memberdayakannya; serta (4) faktor ancaman atau
situasi dan kondisi berkaitan dengan masalah yang diantisipasi akan
menimbulkan hambatan.
Morden (2007: 26-29) melakukan analisis kekuatan dan kelemahan
dengan menggunakan indikator yang digunakan sebagai kriteria untuk
membuat keputusan mendasar tentang posisi dan kondisi organisasi.
Kekuatan dan kelemahan suatu organisasi diindentifikasi dengan wilayah
fungsional (functional area) atau isu kunci (key issue). Morden juga
menyatakan bahwa kriteria kekuatan dan kelemahan diidentifikasi dan
dianalisis atas basis wilayah fungsional pokok yang ditemukan di beberapa
perusahaan, pelayanan, pemeliharaan kesehatan, organisasi publik atau non-
profit.
Apabila digunakan wilayah fungsional, sebagai contohnya:
(1) Pemasaran
Variabel-variabel yang terkait dengan posisi pasar dan luas pemasaran,
reputasi dalam komunitas persepsi pasien atau pelanggan, status
sebagai pemimpin pasar atau pengikut dan lain sebagainya.

(2) Keuangan
Variabel-variabel yang terkait dengan keuntungan relatif, kembali modal,
pendapatan setiap titik, arus kas, efisiensi relatif atas penggunaan aset,
struktur keuangan (pemilik atau pinjaman), keterampilan manajemen
keuangan dan kompetensi.

(3) Operasional
Variabel-variabel yang terkait dengan bentuk, lokasi, umur, dan
produktivitas aset operasional, fleksibelitas operasional, tingkat sukses
dalam pengobatan pasien, kapasitas daya tanggap yang yang cepat atau

74 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


keperluan yang dalam waktu (just-in-time), kualitas dan reliabilitas
keluaran (output), hubungan dengan pemasok, biaya keefektifan (cost-
effectiveness), jenis dan penggunaan informasi dan teknologi
komunikasi (ICT) atau sistem informasi manajemen (MIS).

(4) Teknologi
Variabel-variabel yang terkait bentuk dan kerumitan teknologi,
kemampuan untuk mengelola perubahan teknologi, tingkat kompetensi
teknologi demi tujuan efisiensi atau keuntungan kompetitif, kebutuhan
untuk keberlanjutan investasi dalam inovasi, riset dan pengembangan,
dan pengembangan produk baru.

(5) Sumber Daya Manusia


Variabel-variabel yang terkait jenis pegawai, kompetensi, kualitas dan
produktivitas, kemudahan perekrutan dan penyimpanan, ketrampilan staf
dan fleksibilitas; pendidikan pegawai, pelatihan dan pengalaman; sikap
dan kultur pegawai; pengharapan; histori hubungan kerja dan sikap
terhadap manajemen; tingkat orientasi pelayanan pelanggan; kapasitas
untuk tanggap, perubahan dan kreativitas; keefektivitasan biaya (cost-
effectiveness);

(6) Proses dan Sistem


Variabel-variabel yang terkait jenis dan kerumitan proses dan sistem;
fleksibilitas dan kecepatan operasi; kapasitas untuk proses pararel;
kemampuan pelayanan dan keefektivan biaya (cost-effectiveness);
jaringan eksternal dan ketergantungan; tampilan teknologi informasi dan
informasi.

(7) Kepemimpinan dan Manajemen


Variabel-variabel yang terkait kedalaman pengalaman kepemimpinan dan
ketrampilan manajemen; kualitas pelatihan manajemen dan
pengembangan; tingkat orientasi pelayanan dan pelanggan; sikap
menuju inovasi dan perubahan; kelayakan dan efektivitas gaya dan kultur
manajemen; kapasitas untuk pengetahuan dan manajemen teknologi;
kapabilitas lintas kultur.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 75


Apabila menggunakan isu kunci, sebagai contohnya, misalnya:
(1) Kapabilitas dan kapasitas.
(2) Struktur kepemilikan dan proses formulasi strategi.
(3) Kepemilikan ketrampilan khusus; dan kompetensi inti dan berbeda.
(4) Karakter berbasis pengetahuan.
(5) Kualitas entrepreneur dalam organisasi.
(6) Kualitas dan karakter manajemen risiko.
(7) Kepemilikan penjualan produk yang unik dan khusus.
(8) Tawaran kualitas, reliabilitas, pelayanan dan nilai uang (value for
money).
(9) Skala operasional atau masa kritis (critical mass). Kelangsungan hidup
operasional sering tergantung pada pencapaian suatu ukuran
operasional minimum untuk contoh alasan skala ekonomi; atau suatu
biaya tetap beban berat, overhead, atau riset dan pengembangan.
Sebagai contoh yang baik adalah pemeliharaan kesehatan dan sektor
otomotif.
(10) Kapasitas untuk pengembangan dan mengelola aktivitas global atau
internasional.

Setelah kekuatan dan kelemahan dari organisasi sebagai


lingkungan internal, maka Morden (2007: 103-104) juga mengemukakan
lingkungan eksternal organisasi yaitu peluang dan ancaman. Kemudian
Morden juga menyatakan bahwa seorang perencana strategis dan
pembuatan keputusan membutuhkan untuk memperlakukan suatu organisasi
sebagai suatu sistem terbuka yang dipengaruhi oleh kondisi riil lingkungan
eksternal. Pengaruh lingkungan eksternal ini dapat bersifat positif
(pendukung) atau negatif (penghambat). Pada waktu yang sama mungkin itu
muncul sebagai peluang (opportunities) eksternal, atau mungkin berwujud
ancaman (threats) eksternal. Sehubungan dengan peluang (opportunities)
dikarakteristikan sebagai tampilan lingkungan eksternal dalam mana suatu
organisasi beroperasi mungkin hadir peluang di mana organisasi ini mungkin
untuk mengambil keuntungan dan dengan ancaman (threats)
dikarakteristikan dengan tampilnya dalam lingkungan eksternal yang dengan
hadirnya bermacam-macam ancaman untuk melanjutkan operasi kegiatan
tertentu. Lebih buruk lagi, mereka mungkin menimbulkan ancaman bagi
kelangsungan hidup organisasi itu sendiri.

76 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Memperhatikan beberapa pendapat tentang lingkungan internal dan
eksternal suatu organisasi di atas, maka seorang perencana atau pembuat
keputusan harus memperhatikan faktor lingkungan internal baik sebagai
faktor kekuatan atau sebagai faktor pendukung maupun sebagai faktor
kelemahan atau faktor penghambat serta memperhatikan pula terhadap
lingkungan eksternal baik sebagai faktor peluang atau faktor pendukung
maupun faktor ancaman atau faktor penghambat, sebelum membuat
perencanaan dan keputusan yang strategis. Secara ringkas, bahwa dalam
rangka penyusunan kebijakan atau keputusan strategis, harus
memperhatikan faktor lingkungan internal dan eksternal.

I. Inovasi Kebijakan dan Administrasi


1. Pengertian Inovasi
Inovasi seperti hal yang baru (novelty) dalam tindakan (Altschuler
dan Zegans, 1997) dan tidak hanya suatu gagasan baru, tetapi suatu praktik
baru (Mulgan dan Albury, 2003) dalam Jean Hartley, Jean (2005: 27).
Sedangan Jean Hartley (2005: 27) dalam jurnal yang berjudul: ”Innovation in
Governance and Public Services: Past and Present,“ menyatakan bahwa
inovasi termasuk reinvensi atau adaptasi untuk konteks, lokasi atau periode
waktu yang lain dan pelayanan publik juga membutuhkan inovasi governance.
Sedangkan yang terkait dengan inovasi administrasi, Chan dan
Chow (2007: 494) menyatakan bahwa inovasi administrasi harus berusaha
untuk mengembangkan, model multidimensi, multilevel berbagi inovasi yang
tidak hanya berfokus pada keseimbangan partikularisme dan universalisme
administrasi tetapi juga pada pemahaman aturan dasar konstitusional dan
institusional dari berbagai negara.
Konseptualisasi inovasi secara lebih luas sebagai pelaksanaan
(bukan sebagai satu tindakan adopsi saja) menuntun kita untuk bertanya
apakah faktor-faktor mempertahankan dan mendukung inovasi dan apakah
perubahan ini dari waktu ke waktu. Kedekatan antara reinvention dan e-
government meningkatkan kemungkinan bahwa modernisasi lembaga negara
lebih umum memfasilitasi inovasi (Tolbert et al., 2008: 558-559). Terkait
dengan reformasi kelembagaan Kearney dan Bowman dalam Tolbert et al.,
(2008: 559) berpendapat perlunya mempertahankan inovasi lintas bidang
kebijakan dan adanya alasan kuat untuk lebih mengeksplorasi hubungan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 77


antara reformasi kelembagaan yang luas dan inovasi kebijakan (Tolbert et
al., 2008: 559).
Kualitas adalah bahan mendasar dalam inovasi sehingga tidak harus
dikesampingkan, meskipun mungkin ada fluktuasi popularitasnya (Kim, 2009:
419) dan ada dampak yang signifikan kepemimpinan transformasional pada
inovasi organisasional (Khan et al., 2009: 678). Bidang kepemimpinan dan
inovasi organisasi dengan memberikan dukungan untuk peran moderat dari
ukuran organisasi dalam hubungan antara kepemimpinan transformasional
dan inovasi organisasi dan menunjukkan bahwa aspek kepemimpinan
transformasional yang berkorelasi penting dari inovasi organisasi (Khan et al.,
2009: 683), sedangkan inovasi sebagai kreasi konseptual, barang, jasa, dan
proses baru yang berdampak pada pembangunan (Schumpeter dalam Khan
et al., 2009: 680).
Menurut Farazmand (2004:19-20), inovasi adalah kunci sound
governance serta inovasi dalam kebijakan dan administrasi adalah pusat
sound governance. Tanpa inovasi kebijakan dan administrasi, pemerintahan
akan jatuh ke pembusukan dan ketidakefektifan, kehilangan kemampuan
untuk memerintah, dan menjadi sasaran kritik dan kegagalan. Inovasi harus
dilakukan secara terus-menerus dalam proses kebijakan dan administrasi,
struktur, dan sistem nilai, sedangkan sasaran inovasi adalah dalam teknologi,
pengembangan sumber daya, sistem komunikasi, organisasi dan
manajemen, pelatihan dan pengembangan, riset, dan sejumlah daerah lain
sangat penting untuk kesehatan governance dan administrasi.
Inovasi kebijakan dalam governance adalah penting untuk adaptasi
dan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan dunia yang cepat di bawah
globalisasi dan penting juga pembangunan dan peningkatan kapasitas untuk
memerintah dan untuk kesehatan governance atau sound governance.
Kegagalan untuk inovasi bermakna kegagalan adaptasi, pengembangan
kapasitas, dan memerintah secara efektif
Secara sama, inovasi dalam proses administratif dan struktur adalah
penting untuk organisasi dan manajemen suatu sistem governance dan untuk
implementasi yang efektif dari kebijakan inovatif. Tanpa inovasi dan adaptif
administratif atau sistem manajerial, kebijakan inovatif mengalami kegagalan.
Kebijakan inovatif kekurangan makna tanpa organisasi dan kapasitas untuk
pelaksanaannya serta dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tanpa

78 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


pelaksanaan dan administrasi yang sehat, tidak ada governance yang sehat
atau sound governance.
Inovasi kebijakan dan administrasi adalah kunci sound governance,
khususnya dalam era globalisasi dan perubahan yang cepat. Keduanya
inovasi kebijakan dan administatif terdiri dari banyak manajerial,
kelembagaan, organisasional, kultural, dan inovasi teknologis untuk maksud
adaptasi dan kreatif dan ide baru yang akan mengubah proses dan struktur
governance. Komponen-komponen inovasi kebijakan dan administratif
tersebut akan secara langsung membantu pengembangan dan penambahan
kapasitas manajerial, administratif, dan governance tidak hanya untuk
pemeliharaan kinerja yang tinggi tetapi juga dalam maksud antisipasi
terhadap munculnya tantangan di era globalisasi.

2. Bentuk Inovasi
Bentuk-bentuk inovasi menurut Clark et al., (2008: 4) adalah sebagai berikut:
a. Production innovation, pengenalan barang dan jasa yang baru atau yang
merupakan perbaikan yang signifikan atas pendahulunya.
b. Process innovation, pengenalan barang dan jasa yang baru atau yang
merupakan perbaikan yang signifikan atas pendahulunya.
c. Organisational innovation, aplikasi suatu metode atau pengaturan
organisasi yang baru.

Sedangkan bentuk inovasi dalam sektor publik terdiri dari (Clark et al., 2008:
5):
a. New or improved service: sebagai contoh pemeliharaan berbasis rumah
untuk orang tua.
b. Process innovation: suatu perubahan dalam pembuatan produk atau
pelayanan.
c. Administrative innovation: sebagai contoh penggunaan suatu instrumen
kebijakan baru yang mungkin akibat dari perubahan kebijakan.
d. System innovation: suatu sistem baru atau perubahan mendasar dari
sistem yang ada, misalnya dengan pembentukan organisasi baru atau
pola-pola baru kerjasama dan interaksi.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 79


e. Conceptual innovation: suatu perubahan dalam pandangan aktor-aktor;
semacam perubahan disertai dengan penggunaan konsep-konsep baru,
misalnya pengelolaan air atau mobilitas penyewaan terpadu.
f. Radical change of rationality: yang berarti bahwa pandangan dunia atau
matriks mental karyawan dari suatu organisasi sedang bergeser.
Bentuk inovasi yang mirip pendapat Clark et al., di atas adalah
seperti yang dikemukakan oleh Hartley (2005: 28) yaitu terdiri dari:
a. Product innovation --- produk baru (contoh instrumentasi baru dalam
rumah sakit)
b. Service innovation ---cara baru dalam mana pelayanan disediakan untuk
pengguna (sebagai contoh on-line tax forms)
c. Process innovation---cara baru dalam mana proses organisasional
didesain (sebagai contoh reorganisasi administratif ke dalam proses
front- and back-office; proses mapping leading untuk pendekatan baru)
d. Position innovation---konteks atau pengguna baru (sebagai contoh
Connexions Service untuk penduduk usia muda)
e. Strategic innovation---maksud dan tujuan baru dari organisasi (sebagai
contoh community policing, foundation hospitals)
f. Governance innovation---bentuk baru keterlibatan warga, dan
kelembagaan demokratis (sebagai contoh forum warga/area forums;
penyerahan sebagian tugas pemerintah ke warga/devolved government)
g. Rhetorical innovation---bahasa dan konsep baru (sebagai contoh konsep
Congestion Charging for London, atau a carbon tax)

Inovasi terjadi karena adanya pengarah dari faktor di luar organisasi


atau dipicu oleh beberapa hal, yaitu (Clark et al., 2008: 5-6):
a. Political push (dorongan politik)
b. Pressures for economy and improved efficiency (tekanan ekonomi dan
peningkatan efisiensi).
c. Pressures for improved service quality (tekanan untuk kualitas layanan
yang lebih baik).

Sedangkan hambatan untuk inovasi sektor publik (Clark et al., 2008: 6-7)
yaitu:
a. Bureaucratic culture (budaya birokrasi)

80 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


b. Risk aversion (keengganan risiko)
c. Heritage and legacy (warisan dan hak milik)
d. Pace and scale of change (kecepatan dan skala perubahan)
e. Absence of a capacity for organizational learning - at all levels (tidak
adanya kapasitas untuk pembelajaran organisasi - pada seluruh
tingkatan)

Adapun yang menjadi kendala dalam pembelajaran di sektor publik


adalah Clark et al., (2008: 8):
a. Keengganan untuk kegagalan, dan diperburuk oleh proses politik yang
menggunakan kegagalan untuk mencetak poin daripada belajar dari
pengalaman.
b. Praduga keseragaman dalam pelayanan publik.
c. Asumsi dibagi antara pegawai negeri dan menteri yang perintah dan
kontrol adalah cara yang benar untuk menjalankan kekuasaan.
d. Evaluasi yang terbatas terhadap impak, dan sumber-sumber dari nilai
tambah, dari kebijakan dan langkah-langkah sebelumnya.
e. Kurangnya waktu untuk melakukan apa pun selain mengatasi
peristiwa/kejadian.
f. Sebuah tradisi kerahasiaan digunakan untuk menahan umpan balik dan
pembelajaran.
g. Dominasi ketegangan dan negosiasi antar departemen, membuat kinerja
pengguna akhir secara efektif untuk pertimbangan lain.
h. Hilangnya integritas profesional dan otonomi di bawah pisau efisiensi
dalam pembuatan kebijakan, dan ketahanan dan perlindungan
kepentingan pribadi oleh beberapa badan-badan profesional dan
perantara.

3. Inovasi Dengan atau Tanpa Perbaikan


Ada perbedaan penting dalam inovasi antara sektor privat dan
publik. Dalam sektor privat inovasi yang sukses sering dipandang sebagai
kebajikan dalam dirinya sendiri, sebagai sarana untuk memastikan daya saing
di pasar baru atau untuk menghidupkan kembali pasar lesu. Namun, di dalam
pelayanan publik, inovasi adalah dibenarkan hanya mana meningkatkan nilai
masyarakat dalam kualitas, efisiensi atau kesesuaian untuk tujuan governance

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 81


atau pelayanan. Selain itu, di sektor publik setidaknya, inovasi (innovation)
dan perbaikan (improvement) perlu dilihat sebagai konsep berbeda dan tidak
kabur ke dalam satu kalimat kebijakan.
Oleh karena itu berguna untuk mempertimbangkan beberapa
kemungkinan hubungan antara inovasi (innovation) dan perbaikan
(improvement). Ini ditunjukkan pada gambar 6 di bawah ini. Analisis ini
didasarkan pada organisasi, tetapi sama mungkin untuk menerapkan ini ke
daerah-daerah pelayanan, unit bisnis, atau kemitraan (partnership).

Gambar 6. Inovasi (innovation) dan Perbaikan (Improvement)

Keterangan:
Kotak 1: sebuah organisasi tidak memiliki perbaikan dan inovasi.
Kotak 2: ada perbaikan tetapi tanpa inovasi.
Kotak 3: organisasi terlibat dalam inovasi tetapi tidak ada hasil
perbaikan.
Kotak 4: sebuah organisasi terlibat dalam keduanya inovasi dan perbaikan
nyata baik dalam keluaran dan maupun hasil.

Selanjutnya terkait dengan kerangka kerja untuk menghubungkan


inovasi dengan masa depan, Berkhout et al., (2007) yang dikutip oleh Duin

82 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


dan Graaf (2010: 30) sebagaimana yang dapat dilihat pada gambar 7 di
bawah ini.

Gambar 7. Kerangka Kerja hubungan Inovasi dengan


Masa Depan

Gambar 7 di atas menunjukkan adanya 3 interaksi antara


kepemimpinan (leadership) suatu organisasi dengan:
(1) Visi masa depan (vision of the future)
(2) Strategi masa transisi (transition-path)
(3) Pelaksanaan model proses inovasi (process-model)

Ketiga interaksi tersebut di atas merupakan sebuah proses inovasi


yang bergerak di dalam suatu lingkungan, yaitu: (1) ambisi internal (internal
ambitions), di mana inovasi tergantung pada kondisi ambisi internal dari para
anggota suatu organisasi; dan (2) tren eksternal (external trends), di mana
inovasi tergantung pada kondisi kecenderungan-kecenderungan yang
menjadi kendala dalam proses inovasi untuk masa depan organisasi.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 83


4. Inovasi dalam Pelayanan Publik
Secara garis besar perbedaan konsep antara governance dan manajemen
publik menimbulkan implikasi pada peran para pembuatan kebijakan (policy
makers), pengelola dan masyarakat dalam inovasi, secara lebih terperinci
dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6. Innovation and Improvement in Different Conceptions of


Governance and Public Management

Traditional New Networked


Public Public Management Governance
Administra-tion

Innovation Some large- Innovation in Innovation at both


scale, national organizational form central and local
and universal more than content levels
innovations

Improvement Large step- Improvements in Aiming for both


change manegerial process transformational
improvements and systems. and continuous
initially, but less Customer focus improvement in
capability for produces quality front-line services
continuos improvements in some
improvement services

Role of Policy- Commnanders Announcers/commissi Leaders and


Makers oners interpreters

Role of Public- Clerks and Efficiency and market Explorers


Managers martyrs maximizers

Role of the Clients Customers Co-producers


Population

Sumber: Hartley (2005: 29)

Memperhatikan tabel di atas bahwa pendekatan administrasi publik


sebagian besar berdasarkan pendekatan legislatif, birokrasi dan peraturan
untuk ketentuan pelayanan publik.

84 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Kekuasaan dan kewenangan terletak pada pemerintah, dan penyediaan
pelayanan kesejahteraan dan peraturan diasumsikan berasal dari negara,
melalui wakil-wakil yang terpilih. Keduanya politisi nasional dan lokal memiliki
peran sentral dalam inovasi sebagai pengembangan suatu kerangka
kebijakan baru yang radikal, dan membangun dukungan antara warga dan
partai mereka untuk diberlakukannya inovasi-inovasi di dalam legislasi atau
penyusunan peraturan perundang-undangan.
Perubahan dengan skala besar, dan sumber daya legislatif,
keuangan dan staf dikerahkan, dengan maksud perubahan itu terang sejak
awal. Dalam banyak kasus, perbaikan tersebar luas dan terang secara
obyektif bagi berbagai kalangan pemangku kepentingan. Bagaimanapun
juga, implementasi top-down bermaksud bahwa kapasitas untuk perbaikan
dan adaptasi secara kontinyu adalah terbatas.
Peran pembuat kebijakan pada pendekatan administrasi publik ini
untuk inovasi adalah bertindak sebagai komandan - menciptakan undang-
undang dan kemudian mendukung untuk perubahan secara keseluruhan,
sementara asumsi bahwa rincian pekerjaan pelaksanaan akan dilakukan oleh
pejabat. Pendapat Moore (1995) dalam bukunya yang berjudul: ”Creating
Public Value: Strategic Management in Government” yang dikutip oleh
Hartley (2005: 30) bahwa para manajer publik, bekerja dengan bentuk
organisasional dari suatu birokrasi, bertindak baik sebagai ”clerks” (pejabat
tanpa ekspresi melaksanakan kemauan politik) atau ”martyrs” (memegang
pandangan pribadi tentang kearifan atau perlunya suatu tindakan tetapi terus
menerapkan keputusan politik tanpa komentar). Oleh karena itu bagi
penduduk, dominasi inovasi politik dan profesional memperlakukan
pengguna layanan sebagai klien, dan boleh dikatakan dengan sedikit
pelayanan.
Suatu pendekatan yang berbeda untuk inovasi dari New Public
Management (NPM) yang dikembangkan oleh negara Inggris dan Selandia
Baru (New Zealand). Didukung oleh suatu serangkain asumsi yang berbeda
dalam ekonomi neo-liberal dan suatu bentuk khusus dari teori manajemen,
inovasi muncul melalui pendekatan ini memfokuskan secara khusus pada
bentuk-bentuk organisasional dan proses. Inovasi radikal secara politik pada
saat itu dan diciptakan dengan mempertimbangan restrukturisasi tetapi bisa
dikatakan bahwa elemen inovasi adalah terutama tentang bentuk

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 85


organisasional dan proses bisnis. Sejauh mana mereka membawa perbaikan
yang dilombakan. Sebagai contoh fokus pelanggan (customers) telah
membawa perbaikan dalam beberapa pelayanan di mana memperlakukan
pengguna sebagai pelanggan telah membantu, tetapi di lain hal telah
mengaburkan sifat hubungan yang lebih kolektif.
Pendekatan selanjutnya adalah networked governance di mana
peran negara untuk mengarahkan tindakan dalam sistem sosial yang
kompleks daripada hanya mengkontrol melalui jenjang atau mekanisme
pasar. Pendapat Newman (2001) dalam bukunya yang berjudul:
”Modernizing Governance: New Labour, Policy and Society” yang dikutip
Hartley (2005: 30) menyatakan hasil analisis pemerintahan sejak 1997
menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran ke lebih bentuk-bentuk
governance jaringan, sebagai alternatif untuk negara dan pasar, dan
beberapa bukti yang lebih dirahkan dan governance komunitas, meskipun
tidak tanpa ketegangan antara sentralisasi dan desentralisasi, dan jaringan
dan hirarki.
Inovasi di bawah governance jaringan merevitalisasi peran
kepemimpinan pembuat kebijakan dalam menerjemahkan ide-ide baru ke
dalam bentuk-bentuk tindakan baru. Pada saat yang sama masyarakat
dipandang memiliki peran yang lebih besar sebagai penyedia pelayanan
bersama (co-producer) dan inovasi.
Pemahaman tentang inovasi pelayanan publik, lebih jauh Siddiquee
(2007: 81) mengemukakan bahwa inovasi pelayanan publik dan transfer
kebijakan sebagai suatu strategi untuk perbaikan governance dan
peningkatan kualitas pelayanan. Meskipun ada keuntungan di beberapa
wilayah sebagai hasil inovasi dan perubahan governance publik (public
governance), Malaysia secara kontinyu masih menderita dengan adanya
sejumlah problem dan tantangan yang tinggi terkait dengan korupsi,
inefisiensi, komplikasi prosedural dalam persyaratan pelayanan dan
kurangnya profesionalisme.
Kemudian Siddiquee (2007: 90-91) menyatakan bahwa
peningkatan governance harus dilihat sebagai proses yang
berkesinambungan yang membutuhkan lebih banyak arahan, belajar dan
belajar kembali. Bahan yang paling penting untuk sukses dalam hal tersebut
adalah komitmen dari mereka yang terlibat untuk membuat perbedaan. Hal

86 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


ini mendorong untuk dicatat bahwa komitmen tersebut, di Malaysia baik di
tingkat politik dan administrasi tetap cukup tinggi.

5. Inovasi Kebijakan dan Administrasi


Farazmand (2004: 19) mengemukakan bahwa inovasi adalah kunci
untuk sound governance dan inovasi dalam kebijakan dan administrasi adalah
pusat untuk sound governance yang baik. Tanpa inovasi kebijakan dan
administratif, governance jatuh ke dalam pembusukan dan tidak efektif,
kehilangan kapasitas untuk memerintah, dan menjadi target kritik dan
kegagalan. Sound governance meminta inovasi terus-menerus dalam proses
kebijakan dan administrasi, struktur, dan sistem nilai. Inovasi dalam teknologi,
pengembangan sumber daya, sistem komunikasi, organisasi dan
manajemen, pelatihan dan pengembangan, riset, dan sejumlah daerah lain
sangat penting untuk kesehatan governance dan administrasi.
Kemudian Farazmand (2004: 20) mengemukakan bahwa inovasi
kebijakan dalam governance adalah penting untuk adaptasi dan penyesuaian
terhadap perubahan lingkungan dunia yang cepat di bawah globalisasi.
Penting juga pembangunan dan peningkatan kapasitas untuk memerintah
dan untuk kesehatan governance. Kegagalan untuk inovasi bermakna
kegagalan adaptasi, pengembangan kapasitas, dan memerintah secara
efektif. Dengan cara yang sama, inovasi dalam proses administratif dan
struktur adalah penting untuk organisasi dan manajemen suatu sistem
governance dan untuk pelaksanaan yang efektif dari kebijakan inovatif. Tanpa
inovasi dan adaptif administratif atau sistem manajerial, kebijakan inovatif
akan mengalami kegagalan. Kebijakan inovatif kekurangan makna tanpa
organisasi dan kapasitas untuk pelaksanaannya. Tanpa pelaksanaan dan
administrasi yang sehat, tidak ada governance yang sehat. Inovasi kebijakan
dan administrasi adalah kunci sound governance, khususnya dalam era
globalisasi dan perubahan yang cepat. Keduanya, inovasi kebijakan dan
administatif terdiri dari banyak manajerial, kelembagaan, organisasional,
kultural, dan inovasi teknologis untuk maksud adaptasi dan kreatif dan ide
baru yang akan mengubah proses dan struktur governance.
Komponen-komponen inovasi kebijakan dan administratif tersebut
akan secara langsung membantu pengembangan dan penambahan
kapasitas manajerial, administratif, dan governance tidak hanya untuk

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 87


pemeliharaan kinerja yang tinggi tetapi juga dalam maksud antisipasi
terhadap munculnya tantangan di era globalisasi.

88 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


BAB 3
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN

Pelayanan publik sektor pendidikan secara bertahap adalah sebagai


berikut: (1) survei pengaduan, penyusunan Indeks Pengaduan Masyarakat
(IPM), Janji Perbaikan Pelayanan dan Rekomendasi Teknis (JPP dan RT); (2)
penyusunan perencanaan dan penganggaran sekolah; (3) pemenuhan JPP
dan RT; (4) Monitoring dan Evaluasi; dan (5) reformasi JPP dan RT. Secara
visual dapat dilihat pada gambar 11 di bawah ini.

Gambar 8
Siklus Tahapan Pelaksanaan Program MBS-BPP
dalam Perspektif Sound Governance

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 89


A. Peran Aktor
Pada awalnya aktor global bermitra dengan 20 sekolah dasar
sebagai proyek percontohan pada tahun 2012, yaitu seperti pada tabel 7 di
bawah ini.
Tabel 7. Daftar Nama Sekolah Mitra Kinerja-USAID
No. Nama Sekolah Mitra Kecamatan

1. SDN Kanigaran 5

2. SDN Curahgrinting 1

3. SDN Tisnonegaran 1 Kanigaran

4. SDN Sumberwetan 1

5. SDN Kebonsari Kulon 2

6. SDN Sukoharjo 4

7. SDN Kareng Lor 2

8. SDN Sumber Wetan 1

9. SDN Jrebeng Kulon 2 Kedopok

10. SDN Kedopok 1

11. SDN Jrebeng Wetan

12. SDN Kedunggaleng 1

13. SDN Pakistaji 1

14. SDN Kedungasem 3

15. SDN Jrebeng Kidul Wonoasih

16. SDN Wonoasih 2

17. SDN Sumbertaman 1

18. SMPN 6 Kedopok

19. SMPN 8 Wonoasih

20. MTs. Negeri Kanigaran

Sumber: SK Kepala Dinas Pendidikan Kota Probolinggo


No. 421.2/37.a/KEP/425.103/2011

90 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Pada akhir tahun 2013 aktor global memperluas sekolah replikasi
program MBS-BPP sebanyak 129 sekolah dasar (negeri & swasta) dengan
melakukan kegiatan penguatan kapasitas dalam rangka pelaksanaan
program tersebut yang dituangkan dalam SK Kepala Dinas Pendidikan No.
412.2/47.a/KEP/425.103/2013 dan SK Kepala Dinas Pendidikan No.
421.2/152/KEP/425.103/2013.
Peran aktor global dalam pelaksanaan program MBS-BPP dalam
perspektif sound governance dapat dilihat pada tabel 8 di bawah ini.
Tabel 8. Daftar Kegiatan Peningkatan Kapasitas Pelaksana Program MBS-
BPP oleh Aktor Global
No. Nama Kegiatan Tanggal Peserta
1. Lokakarya Survei 1 Januari Stakeholders pendidikan
Pengaduan 2012
2. ToT bagi Fasiltator 1-2 Pebruari Fasilitator MBS-BPP,
2012 Tim Teknis, Bappeda,
stakeholders Sekolah
Mitra
3. Lokakarya Penerapan SPM 8-9 Pebruari 20 Sekolah Mitra,
Pendidikan 2012 stakeholders sekolah
4. Pelaksanaan Survei 27 Pebruari 20 Sekolah Mitra,
Pengaduan s/d 6 Maret stakeholders sekolah
2012
5. Lokakarya Mini Penguatan 5-6 Maret Tim Fasilitator
Fasilitator 2012
6. Pelatihan MBS-BPP bagi 15-16 Maret Stakeholders Sekolah
Stakeholders 2012 Mitra
7. Pelatihan Jurnalis Warga 21-22 Maret JW dari sekolah, Pemkot
(JW) 2012 dan wartawan
8. Lokakarya Analisis Hasil 17-18 April 20 Sekolah Mitra, Dinas
Survei Pengaduan 2012 Pendidikan, Bagian
Organisasi, Bappeda
9. Lokakarya Pendampingan 25-26 Juni 20 Sekolah Mitra, UPTD,
Identifikasi Pencapaian SPM 2012 Pengawas Sekolah,
Satuan Pendidikan Dinas Pendidikan,
Bagian Organisasi

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 91


10. Lokakarya Penyusunan 16-17 Juli 20 Sekolah Mitra, UPTD,
Program, Kegiatan dan 2012 Pengawas Sekolah,
Costing SPM Pendidikan Dinas Pendidikan,
Bagian Organisasi
11. Lokakarya Finalisasi RKS 10-14 Kepala sekolah, guru,
September komite sekolah
2012
12. Pendampingan Penyusunan 11 Oktober Kepala sekolah, guru,
SOP sekolah 2012 komite sekolah

13. Penandatanganan Janji 15 Oktober Sekretaris Kota, Asisten


Perbaikan Pelayanan dan 2012 Setwilkot, Dinas
Rekomendasi Kota Pendidikan, Bag.
Probolinggo Organisasi, Kepala
Sekolah, komite sekolah
14. Lokakarya Penerapan MBS- 19-20 Kepala Sekolah, komite
BPP Nopember sekolah, MSF, Dinas
2012 Pendidikan, Bappeda,
Bag. Organisasi
15. Rembug Komite Sekolah 19 Desember Seluruh Komite sekolah
Kota Probolinggo 2012
16. Lokakarya Service Standard 20-21 Stakeholders bidang
Kota Probolinggo Pebruari 2013 pendidikan
17. Penguatan MSF 22 Juli 2013 MSF Tingkat Kota
Probolinggo
18. FGD Pemetaan MSF Kota 10 Januari MSF Pendidikan Kota
Probolinggo 2014 Probolinggo
19. FGD Pemetaan PUG pada 11 Januari Dinas Pendidikan,
SKPD Pendidikan 2014 Bappeda
20. Pembentukan Forum CSR 21 Januari Sekolah, Dinas
2014 Pendidikan, Bappeda,
stakeholders pendidikan
21. ToT MBS-BPP 4-5 Pebruari Kepala sekolah,
2014 pengawas sekolah, UPT,
Dinas Pendidikan
22. Lokakarya Peran Serta 10 Maret Seluruh perusahaan di
Dunia Usaha dalam 2014 Kota Probolinggo, MSF,
Pelayanan Publik PT, Pemkot.

92 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


23. Partisipasi Aktif MSF dalam 17 Maret MSF, Bappeda,
Forum SKPD 2014 stakeholders pendidikan
24. Partisipatif MSF dalam 19 Maret MSF, Media, Dunia
Musrenbang RPJMD 2014 Usaha, Ormas, SKPD
25. On Job Training MBS-BPP 29-30 April Fasilitator MBS-BPP
Tematik Survei Pengaduan 2014
26. Lokalatih Monev 8-9 Mei 2014 MSF, JW, UPT
27. Lokakarya Pemenuhan Janji 15-16 Mei MSF, JW, Dinas
Perbaikan Pelayanan 2014 Pendidikan, pengawas
sekolah, UPT
28. Finalisasi Penyusunan 22 Mei 2014 MSF, JW
Instrumen Monev
29. Pelaksanaan Monev 9-17 Juni MSF, JW, pengawas
2014 sekolah, UPT
30. Sosialisasi MBS-BPP bagi 9 Juni 2014 Seluruh kepala sekolah
119 Sekolah Replikasi SD & SMP di Kota
Program Probolinggo
31. On Job Training MBS-BPP 10-11 Juni Fasilitator MBS-BPP
Tematik Perencanaan dan 2014
Penganggaran Sekolah

32. Lokakarya Evaluasi Hasil 4 Juli 2014 MSF, JW, pengawas


Monev sekolah, Dinas
Pendidikan
33. Penguatan Fasiltator MBS- 19 Agustus Fasilitator MBS-BPP
BPP 2014
34. Lokalatih Advokasi MSF 18-19 MSF
September
2014
35. Lokakarya Penguatan 25 September Fasilitator MBS-BPP
Strategi Pendampingan 2014
Replikasi MBS-BPP
36. Monev Pelaksanaan 8 Oktober MSF, JW, Dinas
Rekomendasi Teknis 2014 Pendidikan
Perbaikan Pelayanan
37. FGD Pengembangan 14 Oktober MSF, JW
Mekanisme Kerja MSF 2014

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 93


38. FGD Penyusunan Concept 15 & 18 MSF, JW, Bappeda
Paper Monev Rekomendasi Oktober 2014
Teknis Perbaikan Pelayanan
39. Penguatan Fasilitator MBS- 24 Oktober Fasilitator MBS-BPP
BPP untuk Pendampingan 2014
Sekolah Replikasi Program
40. Publikasi Hasil Monev Janji 19 Nopember Kepala Sekolah, MSF
Perbaikan Pelayanan dan 2014
Rekomendasi Teknis
41. Lokakarya Peningkatan 19 Nopember Kepala Sekolah Mitra
Kapasitas Komite Sekolah 2014 Kinerja-USAID, Dewan
dan Kepala Sekolah Mitra Pendidikan, MSF
Kinerja-USAID
42. Lokalatih Manajemen 20-21 MSF
Kelembagaan MSF Nopember
2014
43. Konsolidasi MSF Mengenai 30 Nopember MSF
FP3 2014
44. FGD Penyusunan Indikator 2 Desember Kepala sekolah, Dinas
PUG Bidang Pelayanan 2014 Pendidikan, MSF
Pendidikan
45. Lokakarya Keberlanjutan 11 Desember Kepala sekolah, komite
Peningkatan Pelayanan 2014 sekolah, pengawas
Publik Bidang Pendidikan sekolah, Dinas
Pendidikan, DPRD,
Bappeda, Dewan
Pendidikan, MSF, JW
46. Penyelenggaraan MBS-BPP 18 Desember Kepala sekolah, komite
AWards 2014 sekolah, pengawas
sekolah, Dinas
Pendidikan, DPRD,
Bappeda, Dewan
Pendidikan, MSF, JW
Sumber: Kantor Kinerja-USAID Provinsi Jatim, 2015
Memperhatikan tabel 8 di atas secara ringkas peran aktor global
ditinjau dari kategori kegiatan adalah sebagai berikut:
1) Melakukan kegiatan lokakarya yang terdiri dari: survei pengaduan,
penerapan SPM Pendidikan; penguatan fasilitator MBS-BPP; analisis
hasil survei pengaduan; identifikasi pencapaian SPM satuan
pendidikan; penyusunan program, kegiatan dan costing SPM

94 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Pendidikan; penyusunan RKS dan RKAS; penerapan MBS-BPP,
Service Standard; peran serta dunia usaha dalam pelayanan publik;
monitoring dan evaluasi; pemenuhan janji perbaikan pelayanan;
penyusunan instrumen monitoring dan evaluasi; evaluasi hasil
monitoring dan evaluasi; strategi pendampingan replikasi MBS-BPP
bagi fasilitator; peningkatan kapasitas komite sekolah dan kepala
sekolah mitra; keberlanjutan peningkatan pelayanan publik bidang
pendidikan.
2) Melakukan kegiatan lokalatih yang meliputi: monitoring dan evaluasi;
advokasi MSF; dan manajemen kelembagaan MSF; dan bagi
stakeholders.
3) Melakukan kegiatan Training of Trainer (ToT) yaitu: pelaksanaan
program MBS-BPP bagi fasiltator sekolah mitra dan sekolah replikasi.
4) Melakukan On Job Training (OJT) yaitu dengan tematik survei
pengaduan dan penyusunan perencanaan dan penganggaran sekolah.
5) Melakukan kegiatan pelatihan MBS-BPP bagi stakeholders.
6) Melakukan kegiatan penguatan yaitu: bagi MSF dan fasilitator MBS-
BPP.
7) Melakukan pendampingan yaitu: pelaksanaan survei pengaduan;
penyusunan SOP sekolah; penandatanganan janji perbaikan pelayanan
dan rekomendasi Kota Probolinggo; pembentukan Forum CSR;
partisipasi aktif MSF dalam Forum SKPD; partisipasi MSF dalam
Musrenbang RPJMD; pelaksanaan Monev; Monev pelaksanaan
rekomendasi teknis perbaikan pelayanan; publikasi hasil monev janji
perbaikan pelayanan dan rekomendasi teknis. Di samping itu, ada
beberapa kegiatan pendampingan secara informal yang dilakukan oleh
LPSS.
8) Melakukan kegiatan sosialisasi MBS-BPP bagi 119 sekolah replikasi
program.
9) Melakukan kegiatan memfasilitasi “Rembug” komite sekolah;
konsolidasi MSF dalam pembentukan Forum Peduli Pelayanan Publik
(FP3).

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 95


10) Melakukan kegiatan FGD yang dengan fokus: pemetaan MSF Kota
Probolinggo; pemetaan PUG pada SKPD Pendidikan; pengembangan
mekanisme kerja MSF; penyusunan Concept Paper monev
rekomendasi teknis perbaikan pelayanan; dan Penyusunan Indikator
PUG Bidang Pelayanan Pendidikan.
11) Melakukan kegiatan Penyelenggaraan MBS-BPP Awards.

Di samping itu, kegiatan yang dilakukan di kota Probolinggo dan


kabupaten/kota lain di Provinsi Jawa Timur beberapa fasilitator MBS-BPP
mengikuti kegiatan lokakarya dan pertemuan tingkat nasional bersama mitra
program Kinerja-USAID dari provinsi lain di Indonesia (Provinsi Aceh,
Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Papua)
Berdasarkan tabel 8 di atas di mana ke-46 kegiatan di atas, terkait
dengan peningkatan kapasitas bagi kepala sekolah, guru, komite sekolah,
organisasi kemasyarakatan, Multi Stakeholders Forum (MSF) Bidang
Pendidikan dan Jurnalis Warga (JW), pengawas sekolah, UPT, Dinas
Pendidikan, Bappeda, Bagian Organisasi Pemkot Kota Probolinggo, DPRD
dan Dewan Pendidikan, maka dapat dinyatakan bahwa peran aktor global
tersebut sangat strategis dan prioritas di dalam peningkatan kapasitas
pelaksana program MBS-BPP di Kota Probolinggo.
Peran aktor global pada sekolah mitra (20 sekolah) pada tahun
2012 mendanai semua kegiatan, namun untuk sekolah replikasi (119
sekolah) pada tahun 2013-2015 aktor global hanya menyediakan
sumberdaya manusia yaitu menyediakan tenaga ahli Short Term Technical
Assistance (STTA) atau tenaga ahli paruh waktu.
Memperhatikan beberapa kegiatan aktor global tersebut di atas dan
berdasarkan pengamatan penulis, bahwa aktor global tidak terlibat proses
secara langsung, tetapi hanya memberikan peningkatan kapasitas bagi aktor
pemerintah dan masyarakat serta perusahaan, dan hanya melakukan
pendampingan. Model Strategi ini dilakukan oleh aktor global agar ada
transfromasi pengetahuan (knowledge transformation) kepada aktor lainnya.
Hal ini penulis konfirmasikan kepada DL selaku aktor global, yang
mengemukakan:

96 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Kami telah memberikan banyak kegiatan di dalam rangka
peningkatan kapasitas dalam pelaksanaan program MBS-BPP ini,
termasuk menyediakan STTA. Seluruh sekolah mitra sebanyak 20
telah kami dukung dana sepenuhnya, namun mulai tahun 2013 –
2015 kami hanya mendukung dalam bentuk penyediaan tenaga ahli
STTA. Kami berharap Dinas Pendidikan dapat mengambil alih
dalam pendanaan operasional pelaksanaan program MBS-BPP.
Kami melihat pula bahwa ada beberapa sekolah yang belajar
bersama dengan dikoordinir oleh kepala sekolah SDN
Tisnonegaran 1. Hal ini menunjukkan adanya komitmen yang tinggi
dari beberapa kepala sekolah yang peduli pada program MBS-BPP.
Kami senang bahwa nantinya sebelumnya program Kinerja-USAID
berakhir pada bulan Juni 2015, banyak sekolah yang telah
melaksanakan program MBS-BPP dengan baik, seperti SDN
Tisnonegaran 1 membantu sekolah lain agar dapat melaksanakan
program dengan baik pula.

Pernyataan dari DL ini penulis konfirmasikan kepada RKM selaku


kepala sekolah SDN Tisnonegaran 1 yang menyatakan:
Saya sebagai fasilitator MBS-BPP dan sekarang sudah tidak
didukung dana dari Kinerja-USAID untuk pelaksanaan program
MBS-BPP, maka bersama fasilitator lainnya dengan mengajak
sekolah binaan lainnya mengadakan belajar bersama untuk
memperdalam pemahaman program ini. Hasilnya cukup
menggembirakan ada kemajuan pemahaman dan pelaksanaannya.
Kinerja USAID hanya memberi fasilitas STTA bernama FB.

Dari hasil wawancara di atas dapat dimaknai bahwa meskipun aktor


global hanya mendukung dalam bentuk sumberdaya tenaga ahli yaitu STTA,
beberapa sekolah masih ada yang mempunyai komitmen untuk tetap belajar
melaksanakan program MBS-BPP.
Sehubungan dengan kegiatan peningkatan kapasitas pelaksanaan
MBS-BPP aktor global DL selaku Provincial Coordinator Kinerja USAID
sebagai berikut menambahkan penjelasan sebagai berikut:
Peran saya selaku provincial coordinator Kinerja USAID adalah
memberikan pendampingan teknis dengan memberikan pelatihan
untuk peningkatan kapasitas, termasuk melakukan lokakarya
pengelolaan pengaduan dan survei pengaduan serta penyusunan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 97


indeks pengaduan masyarakat dan penyusunan janji perbaikan
pelayanan bagi pemangku kepentingan sekolah. Kami tidak terlibat
langsung atau ikut berproses, namun tetap siap untuk konsultasi
terkait dengan pelaksanaan program MBS-BPP di Kota
Probolinggo. Di kota Probolinggo kami memberikan tenaga untuk
tempat konsultasi terkait dengan pelaksanaan program MBS-BPP
ini, yaitu LPSS atau Local Public Service Specialist.
Pendampingan ini kami sebenarnya mulai tahun 2012 dengan
bermitra 20 sekolah dan salah satu sekolah tersebut yaitu SDN
Kebonsari Kulon 2 dijadikan laboratorium MBS-BPP. Demikian pula
di kantor Dinas Pendidikan Kota Probolinggo didirikan Klinik
Pendidikan yang berfungsi sebagai pusat informasi pendidikan dan
pusat pengembangan inovasi pelayanan pendidikan. Dalam Klinik
Pendidikan tersebut disediakan formulir pengaduan terhadap
pelayanan pendidikan dan disediakan Tim Fasilitataor MBS-BPP
yang juga telah kami latih dalam paket On Job Training (OJT)
langsung di lapangan yaitu di SDN Wonoasih 1. Dengan demikian
pada saat ini kami melaksanakan semacam program replikasi dari
20 sekolah mitra ke seluruh sekolah dasar di Kota Probolinggo
untuk melaksanakan program MBS-BPP ini.

Memperhatikan hasil wawancara dengan DL selaku PC Kinerja-


USAID di Provinsi Jawa Timur mempunyai makna bahwa peran aktor global
adalah sebagai fasilitator penguatan kapasitas pelaksana program MBS-
BPP.
Selanjutnya di bawah ini disajikan data peran aktor dalam tahapan
pelaksanaan program MBS-BPP.

a) Tahap pertama: survei pengaduan masyarakat, penyusunan IPM dan


janji perbaikan pelayanan serta rekomendasi teknis
Pada tahap pertama ini meliputi beberapa kegiatan yaitu: (1)
lokakarya mekainisme pengelolaan pengaduan masyarakat; (2) survei
pengaduan masyarakat; (3) penyusunan Indeks Pengaduan Masyarakat
(IPM); (4) lokakarya analisis penyebab pengaduan dan rencana perbaikan
pelayanan (solusi); (5) penandatangan janji perbaikan pelayanan dan
rekomendasi teknis. Waktu yang dibutuhkan selama 3 (tiga) hari efektif. Hari
pertama adalah lokakarya pengelolaan pengaduan dengan keluaran (outputs)
sebuah angket dan hari kedua adalah pelaksanaan survei pengaduan dengan

98 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


responden para siswa di sekolah. Sedangkan pada hari ketiga adalah: (1)
tabulasi hasil survei baik dari angket yang telah diisi oleh siswa maupun orang
tua/orang tua siswa; (2) penyusunan indeks pengaduan masyarakat dan
dilanjutkan dengan kegiatan lokakarya analisis penyebab pengaduan dan
rencana perbaikan pelayanan atau solusi; (3) penyusunan janji perbaikan
pelayanan dan rekomendasi teknis.
Kegiatan pada tahap pertama ini merupakan kegiatan yang paling
berat bagi sekolah dan komite sekolah beserta orang tua/orang tua siswa
daripada keempat tahap berikutnya. Selanjutnya di bawah ini akan disajikan
lebih terinci dari kegiatan tahap pertama pelaksanaan program MBS-BPP.
Sebelum dilakukan survei, menurut buku pedoman pelaksanaan
program MBS-BPP yang difasilitasi oleh aktor global perlu ada kegiatan
lokakarya pengelolaan pengaduan. Berdasarkan pengamatan tidak terlihat
aktor perusahaan yang hadir dalam acara lokakarya tersebut, hal ini seperti
yang dikatakan oleh YS salah satu anggota Forum CSR, sebagai berikut:
Kami memang tidak diundang untuk lokakarya pengelolaan
pengaduan oleh sekolah, justru yang seringkali adalah pihak sekolah
mengajukan proposal untuk minta bantuan, dan karena seringkali
tidak ada waktu untuk menghadiri undangan dari sekolah.

Kondisi nyata di atas memang tidak dapat dihindari oleh sebuah


perusahaan, di mana mereka sangat ketat dalam hal pemanfaat waktu dalam
rangka efisiensi. Selanjutnya untuk memperkuat pemahaman tentang apa
yang dihadapi oleh perusahaan yang terkait dengan masalah waktu, maka
DL selaku aktor global menyatakan sebagai berikut:
Sebenarnya program kami memberikan advis kepada pihak sekolah
untuk mengundang para pemangku kepentingan, termasuk
perusahaan agar dilibatkan dalam setiap tahapan pelaksanaan
program MBS-BPP, namun menurut pihak sekolah seringkali
perusahaan diundang ke sekolah untuk ikut terlibat dalam
perencanaan program dan kegiatan, jarang hadir. Saya memaklumi
mungkin karena kesibukan kerja atau kurang waktu atau mungkin
mereka menganggap undangan sekolah tersebut kurang relevan
dengan kegiatan perusahaan.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 99


Sehubungan dengan hal tersebut di atas, penulis menkonfirmasi ke
RKM selaku Kepala Sekolah SDN Tisnonegaran 1, yang menyatakan sebagai
berikut:
Saya pernah mengundang beberapa perusahaan untuk ikut di
dalam kegiatan sekolah terutama dalam lokakarya pengelolaan
pengaduan, jarang hadir dan oleh karena itu sampai sekarang
sekolah kami tidak mengundang hadir ke sekolah. Saya hanya
membuat proposal ke perusahaan tersebut, agar perusahaan
tersebut bersedia untuk menyumbang sapras sekolah, sesuai
dengan pengaduan yang tercantum dalam rumusan “janji perbaikan
pelayanan,” hasil lokakarya dan survei pengaduan.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, telah memberikan


pemahaman bahwa aktor perusahaan pada umumnya jarang memenuhi
undangan yang dianggap kurang relevan dengan kegiatan perusahaan atau
perusahaan kurang memahami tentang CSR perusahaan yang pada akhir-
akhir ini menjadi bahan pembicaraan umum dan meluas baik di media cetak
dan elektronik.
Dalam rangka untuk peningkatan kapasitas TPS di mana pada
umumnya dipimpin oleh kepala sekolah atau wakil kepala sekolah, aktor
global telah menyelenggarakan lokakarya tentang survei pengaduan
(complaint survey) dengan menghadirkan narasumber (HMN) dari
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, dengan jumlah peserta
sebanyak 29 (dua puluh sembilan) fasilitator MBS-BPP yang berasal dari
unsur: kepala sekolah, pengawas sekolah, komite sekolah, dan staf Dinas
Pendidikan Kota Probolinggo.
Dalam pelaksanaan lokakarya pengelolaan pengaduan bahwa
komposisi peserta yang adil apabila ditinjau dari dimensi nilai yaitu antara
aktor penyedia pelayanan dan aktor pengguna pelayanan dengan rasio 30%
: 70% dan diperlukan nilai integritas untuk pemilihan peserta lokakarya
pengelolaan pengaduan adalah orang-orang yang mempunyai integritas
tinggi. Permasalahan komposisi peserta lokakarya ini telah diakomodasi oleh
Kepala Sekolah dan TPS.

100 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Permasalahan komposisi asal peserta agar memenuhi dimensi
kognisi dan nilai, maka Kepala SDN Tisnonegaran 1, RKM mengemukakan
sebagai berikut:
Komposisi antara penyedia pelayanan dan pengguna pelayanan,
saya tentukan mendekati rasio yang ditentukan di Buku Pedoman
MBS-BPP yaitu kalau di buku pedoman ditentukan 30% : 70%,
maka di sekolah kami perbandingannya adalah 40% : 60%.

Komposisi di atas menunjukkan keberpihakan sekolah terhadap


masyarakat untuk berperan aktif pada kegiatan sekolah dan pernyataan RKM
ini dibenarkan oleh Sekretaris Komite SDN Tisnonegaran 1, YN sebagai
berikut:
Saya selaku sekretaris komite dan ketua paguyuban kelas berupaya
untuk mengundang orang tua siswa, dan perlu melihat situasi dan
kondisi agar yang hadir sesuai dengan harapan minimal 60 % dari
seluruh peserta lokakarya pengelolaan pengaduan. Saya sendiri
menjadi pengurus KADIN Kota Probolinggo juga pandai-pandai
mengatur waktu apabila ada undangan dari sekolah dan juga
apabila ada pertemuan komite sekolah atau paguyuban kelas.

Hasil wawancara tersebut menunjukkan bagaimana upaya


kerjasama antara aktor sekolah dan komite sekolah agar dapat melaksanakan
lokakarya pengelolaan pengaduan. Kemudian setelah seluruh aktor yang
terlibat lokakarya hadir dalam acara lokakarya, kegiatan yang pertama adalah
TPS sebagai aktor pemerintah memegang peran sebagai ketua
penyelenggara lokakarya pengelolaan pengaduan dan aktor masyarakat
dalam hal ini orang tua/wali siswa berperan sebagai pengusul aduan. Apabila
ditinjau dari dimensi organisasi dan institusi, maka peran sebagai ketua
penyelenggara dapat dilihat yaitu bagaimana TPS sebagai organisator untuk
mengatur peran beberapa aktor yang terlibat, sehingga perilaku para aktor
sesuai dengan maksud diselenggarakan lokakarya.
Peran aktor sekolah dan orang tua/wali siswa dan siswa
menyampaikan pengaduan dan kemudian oleh TPS dikelompokkan sesuai
kategori yang kemudian akan dirumuskan menjadi suatu pernyataan yang

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 101


dimuat dalam sebuah angket. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh
END Kepala SDN Sukabumi 1 sebagai berikut:
Saya koordinasikan langsung lokakarya pengelolaan pengaduan,
karena yang paham kondisi sekolah sehari-hari adalah kepala
sekolah dan kebetulan saya menjadi ketua TPS, sehingga lebih
mudah untuk memimpin jalannya lokakarya. Lokakarya ini harus
menghasilkan angket yang akan dijadikan instrumen untuk survei
pengaduan.

Hal ini kemudian saya konfirmasikan kepada DDK selaku orang tua
siswa dan sekaligus pengurus paguyuban kelas SDN Sukabumi 1, sebagai
berikut:
Mengenai TPS memang beberapa sekolah menetapkan kepala
sekolah sebagai ketua TPS, tetapi ada pula yang menjadi ketua
adalah wakil kepala sekolah. Saya sebagai pengurus paguyuban
sekolah lebih baik memang kepala sekolah yang menjadi ketua TPS
agar lebih terarah dan dapat langsung diputuskan apabila menemui
jalan buntu dalam mengambil keputusan, karena kepala sekolah
sebagai pemimpin tertinggi di sekolah.

Berbeda dari yang disampaikan oleh END dan DDK, maka SBD
Kepala SMPN 9, mengemukakan sebagai berikut:
Sehubungan dengan TPS di SMPN 9 saya serahkan kepada wakil
kepala sekolah, karena di sekolah ini saya membudayakan
desentralisasi terbatas, terutama jabatan yang tidak diatur dengan
jelas oleh peraturan yang berlaku, didelegasikan kepada bawahan
saya, terutama wakil kepala sekolah. Peran saya masih penting
selaku kepala sekolah, ketika TPS akan memutuskan sesuatu
inovasi pelayanan pendidikan yang memungkinkan melibatkan pihak
luar, seperti menerima sumbangan sukarela dari masyarakat untuk
menambah sapras ruang kelas, untuk hal ini saya perlu ikut campur.

Keberadaan TPS ini sangat strategis untuk pengembangan


pelayanan pendidikan di sekolah dan sekitar 93,10 % dari seluruh sekolah
dasar telah memiliki TPS yang berkualitas. Berdasarkan dari hasil wawancara
dan survei di atas, menunjukkan bahwa tidak ada masalah apakah TPS

102 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


dipimpin kepala sekolah atau wakil kepala sekolah, yang penting apabila
ditinjau dari dimensi organisasi dan institusi bahwa TPS merupakan
organisasi yang solid dan memiliki mekanisme kerja yang jelas dan
berorientasi pada hasil (outcomes).
Sedangkan peran aktor masyarakat dalam lokakarya pengelolaan
pengaduan sebagaimana yang dikemukakan oleh MRY, anggota paguyuban
kelas SDN Kanigaran 5, sebagai berikut:
Dalam lokakarya pengelolaan pengaduan saya selaku anggota
paguyuban kelas mengadu kepada sekolah tentang ruangan kelas
yang panas, karena sekolah ini menghadap ke Barat dan angin
kurang dapat masuk. Sebenarnya banyak yang akan saya usulkan,
namun melihat anggaran sekolah yang relatif minim, saya menahan
diri saja.

Penulis mengkonfirmasi kepada anggota paguyuban kelas yang lain


yaitu RN dari SMPN 9, sebagai berikut:
Pengaduan yang saya ajukan terutama untuk melengkapi LCD
proyektor, karena akan membantu siswa di dalam memahami materi
yang disampaikan guru. Saya sebenarnya juga mau mengadukan
tentang kamar mandi/WC yang bau tidak enak. Di samping bau,
sekolah ini masih kekurangan jumlah kamar mandi/WC, karena
tidak sebanding dengan jumlah siswa dan paling tidak menambah 6
kamar mandi/WC terlebih dahulu dari kebutuhan 10 buah.

Permasalahan peran aktor masyarakat dalam lokakarya pengelolaan


pengaduan ini penulis konfirmasikan kepada Pengurus Komite SMPN 9, JK
sebagai berikut:
Sebagai pengurus komite sekolah saya mengajukan aduan tentang
banyaknya kursi di ruang kelas yang banyak coretan tipex sehingga
dapat mengganggu konsentrasi belajar siswa. Di samping itu, peran
komite sebagai aktor masyarakat wajib peduli terhadap ruang kelas
pada bagian halaman belakang di sekolah yang perlu direhab,
karena dapat membahayakan para siswa yang sedang belajar.

Hal ini masih terkait dengan pengaduan mengenai ruang kelas yang
panas, penulis mengkonfirmasi ke siswa KR dari SDN Kanigaran 5, ia
mengemukakan bahwa:

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 103


Saya merasakan panas di ruang kelas saya, karena kipas angin yang
ada sekarang masih kurang memadai. Akibat dari ruang kelas yang
panas ini, suasana belajar menjadi tidak konsentrasi, karena
berurusan dengan keringat. Kalau di ruang paling pojok selatan
masih lumayan karena dekat pohon, tetapi ruang kelas yang tepat di
tengah akan terasa panas.
Selanjutnya, yang masih terkait dengan pengaduan para siswa AY
siswa dari SDN Wonoasih 1, menyatakan:
Saya telah mengadukan tentang ruang kelas yang panas pada saat
siang hari dan tidak nyaman ketika menerima pelajaran, karena
ruang kelas panas sehingga keluar keringat yang mengganggu
konsentrasi belajar.

Berkaitan dengan jenis pengaduan yang diajukan dalam


pengelolaan pengaduan oleh TT selaku Education Specialist Kinerja USAID,
menyatakan:
Perkembangan Kota Probolinggo relatif baik dalam pelaksanaan
program MBS-BPP, hanya saja perlu dilakukan sosialisasi tentang
jenis aduan, karena sedapat mungkin untuk mengajukan pengaduan
yang mengarah pada Standar Nasional Pendidikan atau SNP. Oleh
karena itu berdasarkan pengamatan sepintas bahwa sebaiknya
mulai dipikirkan untuk memberikan sosialisasi kepada warga
masyarakat tentang SNP ini.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut bahwa peran aktor


masyarakat dalam lokakarya pengelolaan pengaduan adalah memberikan
pengaduan sesuai dengan kebutuhan yang mendesak, karena dapat
mempengaruhi kenyamanan belajar dan selanjutnya dapat mempengaruhi
prestasi belajar siswa.
Setelah dilakukan lokakarya pengelolaan pengaduan maka
dilanjutkan dengan bagaimana aktor berperan dalam kegiatan survei
pengaduan masyarakat. Dari dimensi struktur bahwa kegiatan ini dilakukan
oleh beberapa aktor, yaitu terdiri dari: sekolah, komite sekolah, paguyuban
kelas, dan siswa.
Sehubungan dengan adanya peran aktor sekolah dalam survei
pengaduan, guru SDN Tisnonegaran 1, NHY menyatakan sebagai berikut:

104 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Dalam survei pengaduan masyarakat pihak sekolah berperan
sebagai fasilitator dalam pelaksanaan survei, yaitu dengan jalan
membagikan angket ke siswa sebanyak 2 buah, satu untuk diisi
siswa di kelas dan yang satunya dibawa pulang untuk diisi oleh
orang tua atau orang tua siswa. Setelah itu peran berikutnya adalah
kegiatan tabulasi bersama siswa dan kemudian mengundang
perwakilan orang tua atau orang tua siswa untuk menyusun indeks
pengaduan masyarakat, dan melibatkan orang tua atau orang tua
siswa menentukan faktor penyebab pengaduan dan solusinya guna
merumuskan janji perbaikan pelayanan.

Kondisi di atas terkait dengan survei pengaduan juga dilakukan di


SMPN 9, sebagaimana yang dikemukakan oleh guru SMPN 9, EM dan NR
menyatakan sebagai berikut:
Kegiatan survei pengaduan masyarakat yang dilakukan oleh sekolah
kami yang berperan sebagai fasilitator adalah TPS, termasuk
tabulasi dan penyusunan indeks pengaduan masyarakat. untuk
melakukan survei pengaduan dengan telah melibatkan kepala
sekolah, guru, perwakilan komite sekolah, perwakilan paguyuban
kelas, perwakilan siswa kelas IV, V, dan kelas VI.

Lebih jauh dan yang masih terkait dengan keberadaan aktor yang
terlibat survei pengaduan tersebut, Sekretaris Komite Sekolah, SDN
Tisnonegaran 1, YN menyatakan sebagai berikut:
Komite sekolah dan paguyuban sekolah pada saat dilakukan survei
pengaduan masyarakat oleh berperan sebagai responden untuk
mengisi angket pengaduan. Angket pengaduan di bawa oleh para
siswa ketika pulang dari sekolah, karena siswa yang telah mengisi
angket pengaduan masing-masing diberi satu angket untuk diisi
oleh orang tua di rumah.

Sehubungan dengan pengisian angket survei pengaduan tersebut


penulis mengkonfirmasi tentang peran siswa pada kegiatan survei
pengaduan ini kepada siswa SDN Tisnonegaran 1, NVL sebagaimana yang
ia katakan sebagai berikut:
Saya pertama kali diberi angket 2 lembar, yang satu untuk diisi saya
sendiri dan satu lembar untuk orang tua saya. Saya mengisi angket
setelah ibu guru memberikan cara mengisi angket tersebut. Diberi
tahu oleh bu guru bahwa pilihan harus jujur sesuai dengan keadaan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 105


sebenarnya, karena kata ibu guru ini untuk perbaikan pelayanan
sekolah. Saya isi dengan mencocokan pernyataan di angket dengan
kondisi nyata di sekolah.

Setelah selesai survei dilanjutkan dengan tabulasi untuk disusun


indeks pengaduan masyarakat atau IKM. Konfirmasi untuk hal yang tersebut
di atas, penulis mewancarai NHY selaku guru SDN Tisnonegaran 1, dengan
hasil sebagai berikut:
Angket yang telah diisi oleh siswa dan orang tua, selanjutnya
disusun indeks pengaduan masyarakat dalam bentuk grafik oleh
TPS dan orang tua siswa, agar memudahkan pengaduan mana
yang terbesar sampai yang terkecil, sehingga dapat dicari penyebab
pengaduan dan berikut solusinya.

Memperhatikan hasil wawancara di atas tentang survei pengaduan


bahwa aktor sekolah atau TPS memegang peran di dalam mengkoordinir
mulai kegiatan penyiapan angket, memberi petunjuk pengisian angket kepada
para siswa, termasuk penjelasan yang harus disampaikan kepada orang tua
atau orang tua siswa sampai dengan pengumpulan angket yang telah diisi.
Sedangkan para siswa dalam mengisi angket berdasarkan kondisi nyata
sekolah, termasuk peran siswa di dalam menjelaskan kepada orang tua/wali
siswa bagaimana cara mengisi angket tersebut.
Setelah disusun indeks pengaduan masyarakat, maka kegiatan
selanjutnya adalah lokakarya analisis penyebab pengaduan dan rencana
perbaikan pelayanan atau solusi.
Pada kegiatan lokakarya ini peran aktor TPS seperti pada saat lokakarya
pengelolaan pengaduan sebelumnya, sebagai mana yang dikemukakan
RKM, Kepala SDN Tisnonegaran 1, sebagai berikut:
Saya mengundang kembali para orang tua siswa yang terlibat dalam
lokakarya pengelolaan pengaduan untuk berpartisipasi dalam
lokakarya analisis penyebab pengaduan dan rencana perbaikan
pelayanan atau solusi. Peran sekolah adalah sebagai fasilitator dan
koordinator dalam penentuan faktor penyebab pengaduan dan
sekaligus menjadi peserta diskusi bersama orang tua siswa untuk
menentukan faktor penyebab pengaduan dan sekaligus
menentukan rencana perbaikan pelayanan atau solusi. Solusi ini
dibagi menjadi dua, yaitu yang bersifat internal atau eksternal.
Nantinya yang internal dapat dilakukan oleh sekolah dengan

106 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


menyusun janji perbaikan pelayanan dan yang eksternal dijadikan
bahan untuk menyusun rekomendasi teknis.

Pendapat RKM di atas penulis korfirmasi kepada anggota


paguyuban kelas ADR, SDN Tisnonegaran 1 dan ia mengatakan sebagai
berikut:
Pada kegiatan lokakarya analisis penyebab pengaduan saya selaku
orang tua siswa merasa dihargai karena mendapat kesempatan
untuk berpartisipasi dalam kegiatan sekolah di mana anak saya
menuntut ilmu. Hanya saja saya merasa bahwa pihak sekolah telah
banyak memberikan pendidikan yang baik bagi anak saya, maka
saya hadir atas undangan sekolah ini. Saya sempatkan waktu demi
sekolah ini. Saya selalu mendukung sekolah, apabila semua upaya
untuk kebaikan para siswa. Peran paguyuban kelas dala hal ini
memberikan masukan untuk mengidentifikasi faktor penyebab
pengaduan dan sekaligus apa solusinya terkait dengan penyebab
pengaduan serta saya sebagai orang tua siswa berkerjasama
dengan sekolah untuk merumuskan atau mencapai kesepakatan
melalui musyawarah tentang janji perbaikan pelayanan dan
membantu memberikan masukan untuk rekomendasi teknis.

Kemudian masih terkait dengan pelaksanaan tahap pertama pada


hari ketiga, penulis mewawancarai END, Kepala SDN Sukabumi 1,
mengatakan sebagai berikut:
Saya mengundang kembali hari berikutnya setelah kemarin kegiatan
tabulasi dan penyusunan indeks pengaduan masyarakat kepada
para orang tua siswa untuk memberikan masukan tentang penyebab
pengaduan untuk dijadikan bahan penyusunan janji perbaikan
pelayanan dan rekomendasi teknis.

Memperhatikan hasil wawancara di atas, bahwa antara pihak


sekolah dan para orang tua siswa secara bersama-sama melakukan peran
masing-masing, di mana sekolah selaku fasilitator dan koordinator sekaligus
sebagai mitra para orang tua siswa untuk merumuskan faktor penyebab
pengaduan dan solusi serta menyusun janji perbaikan pelayanan dan
rekomendasi teknis.
Berdasarkan pengamatan setelah seluruh angket diisi baik oleh
siswa dan orang tua atau wali siswa sehari sebelumnya, maka kegiatan
selanjutnya adalah merekap hasil isian angket tersebut dan sekaligus disusun

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 107


dalam tabel excel untuk disajikan dalam bentuk grafik atau yang disebut
Indeks Pengaduan Masyarakat (IPM). Berdasarkan IPM ini maka dilakukan
lokakarya analisis penyebab pengaduan dan rencana perbaikan pelayanan
(solusi). Dalam Lokakarya ini aktor sekolah berperan sebagai koordinator,
fasilitator, dan sekaligus peserta, sedangkan aktor orang tua dan komite
sekolah sebagai peserta.
Pengamatan terhadap kegiatan survei pengaduan masyarakat,
sebagaimana yang dilakukan di SDN Tisnonegaran 1, terlihat TPS
memfasilitasi kegiatan survei dan didampingi oleh aktor global (DL).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh DL:
Bahwa selaku PC bersama LPSS (DJK) memberikan
pendampingan untuk kegiatan survei yang dilakukan oleh sekolah
dengan berpedoman pada modul MBS-BPP yang telah disusun
oleh Tim Kinerja-USAID, dengan maksud agar kualitas hasil survei
tetap terjaga.

Dalam pelaksanaan survei pengaduan masyarakat yang berperan


sebagai aktor pemerintah atau aktor sekolah adalah salah satu anggota TPS
yang ditunjuk oleh Kepala Sekolah untuk melaksanakan lokakarya
pengelolaan pengaduan, mulai dari penyusunan angket, melaksanakan
survei, penyusunan IPM sampai dengan penyusunan janji perbaikan
pelayanan dan rekomendasi teknis. Sedangkan aktor masyarakat atau komite
sekolah, paguyuban kelas termasuk siswa berperan sebagai pihak yang
mengajukan pengaduan dan memberikan masukan pada saat perumusan
janji perbaikan pelayanan. Sedangkan aktor global berperan sebagai
fasilitator dan memberikan advokasi untuk kualitas proses.
Dalam proses survei pengaduan ketiga aktor tersebut berinteraksi
ketika ada kegiatan penyusunan angket, sesuai dengan perannya masing-
masing aktor. Kepala Sekolah dan beberapa guru serta TPS mengundang
rapat untuk rencana persiapan melakukan survei pengaduan. Kemudian,
Kepala Sekolah mengundang aktor masyarakat yaitu para anggota komite
sekolah dan perwakilan paguyuban kelas, termasuk perwakilan para siswa
yang duduk di kelas IV, V dan VI.
Selanjutnya, Kepala Sekolah mendelegasikan kepada salah satu
anggota TPS untuk menjadi koordinator pelaksanaan survei ini. Koordinator
ini bertugas juga untuk memfasilitasi penyusunan angket, pengumpulan data

108 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


sampai analisis dan penyusunan Indeks Pengaduan Masyarakat (IPM).
Kepala Sekolah akan mencabut mandat koordinator tersebut, dan diambil alih
oleh Kepala Sekolah ketika memimpin perumusan Janji Perbaikan Pelayanan
(JPP) bersama aktor masyarakat.
Pada sesi kegiatan ini aktor masyarakat masih terlibat di dalamnya
dan memberikan masukan-masukan dan penyempurnaan JPP. Pada sesi
penyusunan Rekomendasi Teknis, hanya aktor Kepala Sekolah dan dibantu
TPS saja yang melakukan penyusunan. Peran aktor pemerintah yang diwakili
para Kepala Sekolah relatif dominan di dalam pengambilan keputusan
tentang pengaduan yang mana dapat dimasukkan ke dalam JPP. Pada akhir
tahap ini, aktor Kepala Sekolah dan Ketua Komite membubuhkan tanda
tangan pada JPP yang selanjutnya dimintakan tanda tangan Ketua Dewan
Pendidikan (sebagai aktor masyarakat) dan Kepala Dinas Pendidikan (selaku
aktor pemerintah daerah). Sedangkan peran aktor global adalah memfasilitasi
dalam bentuk penyediaan modul, penasehat dan pengendali kualitas standar
hasil survei pengaduan, penyusunan IPM, penyusunan JPP dan RT.
Sedangkan aktor perusahaan tidak terlibat dalam proses ini, karena memang
tidak diundang oleh pihak aktor sekolah.

b) Tahap kedua: penyusunan perencanaan dan penganggaran sekolah


Pada tahap kedua ini terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu:
(1) memasukkan janji perbaikan pelayanan ke dalam daftar panjang, bersama
analisis gap SPM, dan EDS; (2) prioritisasi program dan kegiatan, sehingga
menjadi daftar pendek; (3) melakukan costing, sehingga program dan
kegiatan yang masuk dalam daftar pendek mendapat alokasi anggaran; (4)
program dan kegiatan dalam daftar pendek, dibagi menjadi 4 tahun secara
sistemastis menjadi RKS, kemudian program dan kegiatan per tahun
dimasukkan ke dalam RKAS.
Struktur aktor pada tahap kedua ini, adalah aktor pemerintah yang
diwakili oleh Kepala Sekolah dan guru, aktor masyarakat diwakili oleh komite
sekolah dan paguyuban kelas, sedangkan aktor global sebagai pendamping
adalah PC dan LPSS. Interaksi dalam bentuk kerjasama antar aktor terjadi
karena adanya kepentingan bersama untuk perbaikan pelayanan pendidikan.
Berdasarkan pengamatan peran aktor kepala sekolah adalah
memimpin langsung penyusunan Rencana Kerja Sekolah (RKS) dan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 109


Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS). Kepala sekolah bersama
aktor komite sekolah dan paguyuban kelas memasukkan IPM hasil survei
pengaduan masyarakat, analisis gap SPM dan EDS ke dalam RKS dan
RKAS.
Aktor pemerintah lainnya sebagai struktur eksternal yaitu Kepala
Dinas Pendidikan Kota Probolinggo, EDR pada saat sambutan pada suatu
acara: Sosialisasi Manajemen Berbasis Sekolah-Berorientasi Pelayanan
Publik bagi seluruh sekolah dasar di Kota Probolinggo (9 Juni 2014),
memberikan motivasi kepada seluruh Kepala Sekolah dan Ketua Komite
Sekolah di Kota Probolinggo, bertempat di aula Dinas Pendidikan Kota
Probolinggo, menyatakan (penulis mengambil sebagian sambutan), seperti di
bawah ini:
Saudara-saudara para Kepala Sekolah SD/MI dan SMP/MTs. seluruh
Kota Probolinggo, pada kesempatan ini saya sampaikan bahwa
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) telah lama kita
laksanakan, seiring dengan diterbitkan Permendiknas Nomor 15 Tahun
2010. Kita juga tahu bahwa seluruh sekolah mendapat dana Bantuan
Operasional Sekolah atau disingkat BOS. Kalau kita mengandalkan
atau tergantung kepada dana BOS tersebut, kita akan mengalami
kesulitan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Besarnya
pemberian dana BOS per sekolah berdasarkan jumlah siswa di
sekolah tersebut. Hal ini menimbulkan kecemburuan bagi sekolah di
pinggiran yang kekurangan siswa, dan yang jelas sekolah tersebut
akan mendapatkan dana BOS juga kecil. Kita telah berupaya untuk
mengajukan dana BOS Daerah Berformula ke Pemerintah Kota,
namun sampai sekarang masih belum disetujui. Sebenarnya BOS
Daerah Berformula dari sumber APBD itu, memenuhi rasa keadilan
karena menggunakan 3 variabel dan tidak dengan jumlah siswa saja.
Pada hari ini saya canangkan untuk seluruh sekolah dasar menerapkan
prinsip-prinsip MBS-Berorientasi Pelayanan Publik atau disingkat
MBS-BPP. Dengan MBS-BPP kita tidak perlu ragu untuk melibatkan
masyarakat berpartisipasi dalam meningkat kualitas pendidikan. Peran
Komite Sekolah dan Paguyuban Kelas di sini menjadi mitra strategis
sekolah untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan dalam
rangka peningkatan kualitas pendidikan dasar kita.

Makna sambutan Kepala Dinas Pendidikan tersebut adalah untuk


peningkatan kualitas pendidikan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan
oleh karena itu dengan pelaksanaan program MBS-BPP ini, maka

110 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


kekurangan biaya dapat dimusyawarahkan antara sekolah, komite sekolah
dan paguyuban kelas.
Permasalahan kekurangan pembiayaan untuk kegiatan sekolah ini,
dikemukakan oleh aktor masyarakat yaitu ketua paguyuban dan sekaligus
pengurus komite sekolah SDN Sukabumi 1, DDK, sebagai berikut:
Komite selalu mendukung. keuangan dari komite, diurus sendiri.
Pihak sekolah hanya menyampaikan program. Komite sampaikan ke
orang tua siswa. Sekolah tidak memaksa. Asalkan untuk putra-putra
kami silakan (kata asli: “monggo”), tidak keberatan. Sukarela,
orang tua siswa yang mampu, menutup kekurangan dana.
Paguyuban mengurus sendiri tentang kegiatan gebyak seni. Ada
orang tua siswa yang dibebaskan dari sumbangan sukarela, justru
tidak mau, bahkan menyatakan: ”tolong diterima meskipun hanya 5
ribu rupiah, karena sekolah telah banyak membantu saya.”
Permintaan orang tua siswa tersebut terpaksa saya terima,
meskipun orang tua siswa bernama PTR sebagai anak yatim, karena
ingin menyumbang, karena orang tua siswa tersebut merasakan
sudah banyak disumbang oleh pihak sekolah. Pengelolaan uang
dikelola oleh sendiri setiap kelas. Misalnya untuk uang komputer dan
guru komputer dari luar harus bayar. Bagi yang ikut ”silakan,” tidak
ikut juga tidak apa-apa. Mengisi fomulir dulu. Bayar tidak bayar
tetap semua siswa ikut. Hanya untuk ekstra komputer dan gebyar
seni kami menabung. Paguyuban titip ke guru kelas. Hal ini sama
dengan rekreasi. Ada tabungan dengan nama: ”Tabungan Rekreasi
dan Gebyar Seni.” Ada yang menabung Rp 5.000, Rp 7.500, dan
Rp 9.000 per anak. Penyampaian program dan untuk
pertanggungjawaban disampaikan ke rapat orang tua siswa. Orang
tua siswa yg menghitung sendiri. Menabung dari kelas 1.

Berdasarkan kedua wawancara tersebut di atas, mengandung


makna bahwa sekolah dapat menerima sumbangan sukarela dari masyarakat,
di luar dana BOS yang berasal dari pemerintah pusat. Sumbangan tersebut
dikumpulkan, dipergunakan, dan dipertanggungjawabkan sendiri oleh aktor
komite sekolah dan paguyuban kelas, serta dilaporkan di dalam pertemuan
orang tua siswa.
Peran aktor kepala sekolah dalam penyusunan perencanaan
sekolah atau RKS adalah pengambil keputusan atas masukan yang berasal
dari guru yang tergabung dalam TPS, dan komite sekolah dan paguyuban

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 111


kelas. Sehubungan dengan peran kepala sekolah ini, penulis mewawancarai
RKM selaku Kepala Sekolah SDN Tisnonegaran 1, sebagai berikut:
Dalam penyusunan RKS dan RKAS peran guru yang tergabung
dalam TPS adalah menganalisis gap IPM dan EDS. Kemudian
perang komite sekolah dan perwakilan anggota paguyuban kelas
memberikan masukkan ketika hasil survei pengaduan yang telah
menjadi janji perbaikan pelayanan digabung menjadi satu dengan
analisis gap SPM dan EDS sehingga merupakan daftar panjang
program dan kegiatan. Kemudian, dilakukan prioritisasi program
dan kegiatan yang masuk dalam daftar panjang, menjadi daftar
pendek. Setelah itu, dilakukan costing, sehingga program dan
kegiatan mendapat plafon anggaran masing-masing. Pada akhir
pembahasan penyusunan RKS dan RKAS, atas persetujuan
bersama, maka saya selaku kepala sekolah yang mengambil
keputusan terakhir.

Kegiatan yang dilakukan oleh SDN Tisnonegaran 1, penulis konfirmasikan


kepada MSK selaku kepala SDN Sukabumi 6, sebagai berikut:
Dalam penyusunan RKS dan RKAS saya selaku kepala sekolah
berperan sebagai fasiltator dan sekaligus pengarah dan mengambil
keputusan hasil rapat. Sedangkan guru bersama komite dan
paguyuban kelas membahas daftar panjang yang berasal dari janji
perbaikan pelayanan, gap SPM dan EDS. Kemudian mereka
menentukan daftar pendek yang merupakan program dan kegiatan
prioritas yang akan menjadi masukan dalam penyusunan RKS dan
RKAS.

Bagaimana peran guru dalam tahap kedua yaitu dalam penyusunan


perencanaan dan penganggaran sekolah, penulis mewancarai seorang guru
DW dari SDN Sukabumi 6 sebagai berikut:
Pihak sekolah mengundang komite sekolah dan paguyuban untuk
memberikan masukan terkait dengan penyusunan RKS dan RKAS.
Dalam hal ini sekolah berperan penyedia dokumen yang terkait
dengan IPM, janji perbaikan pelayanan, analisis gap SPM, dan EDS,
sedangkan komite dan dan paguyuban diminta untuk membahas
bersama pihak sekolah untuk menentukan program dan kegiatan
termasuk melakukan prioritisasi. Selanjutnya komite dan paguyuban
masih diminta untuk memberikan masukan tentang perhitungan
biaya kegiatan, dan pada akhirnya program dan kegiatan tersebut
dimasukkan ke dokumen RKS dan RKAS.

112 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Sehubungan dengan peran komite sekolah, maka penulis
mewancarai anggota komite sekolah WHY dari SDN Sukabumi 6 sebagai
berikut:
Kalau komite sekolah dalam penyusunan perencanaan dan
penganggaran sekolah adalah memberikan masukan tentang
kegiatan apa saja, berdasarkan pengaduan yang ada di dalam
indeks pengaduan masyarakat dan janji perbaikan pelayanan.
Komite bersama paguyuban kelas juga memberikan masukan
terhadap penentuan prioritas program, kegiatan, dan menghitung
anggarannya serta dimasukkan ke RKS dan RKAS. Setelah RKS
dan RKAS disusun bersama antara pihak sekolah dan komite
sekolah beserta paguyuban diminta untuk menandatangani
dokumen RKS dan RKAS tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, maka dapat


disimpulkan bahwa seluruh aktor memegang peran masing-masing, yaitu
kepala sekolah sebagai fasilitator dan pengambil keputusan terakhir, guru
dan komite sekolah serta paguyuban kelas sebagai pemberi masukan untuk
penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran sekolah.
Proses interaksi antar aktor yang terlibat dalam penyusunan
perencanaan dan penganggaran sekolah, berdasarkan pengamatan aktor
kepala sekolah lebih dominan dalam pengambilan keputusan, sedangkan
guru, komite sekolah, dan paguyuban kelas berperan sebagai pembahas
prioritisasi program dan kegiatan, di mana program dan kegiatan tersebut
berdasarkan JPP, sedangkan usulan program dan kegiatan berdasarkan gap
SPM dan EDS, diusulkan oleh sekolah.
Berdasarkan pengamatan terhadap sumber pendapatan sekolah
yang dipergunakan untuk menyusun anggaran sekolah atau RKAS, ada dana
partisipatif dari masyarakat yang seluruhnya dikelola sendiri oleh komite
sekolah dan paguyuban kelas, kepala sekolah hanya menerima bantuan
tersebut.
Sehubungan dengan dana partisipatif ini, aktor eksternal masyarakat yang
diwakili oleh media massa, pernah mengklarifikasi atau menanyakan kepada
salah satu sekolah dan hal ini disampaikan oleh wartawan yang bernama BG
terkait dengan “diduga” ada penyalahgunaan dengan menarik iuran untuk
MBS-BPP sebagai berikut:

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 113


Saya bertanya: ”Mengapa sekolah ini menarik iuran untuk pembelian
sarana dan prasarana, khan sudah ada dana BOS?” Jawaban dari
kepala sekolah, bahwa pembelian sarana dan prasarana tersebut,
karena sekolah sudah ber MBS-BPP.

Sehubungan dengan istilah “menarik iuran” ini dengan tegas


disampaikan oleh aktor Kepala SDN Sukabumi 1, END, sebagai berikut:
Masyarakat telah menerima pemahaman yang keliru tentang istilah
“menarik iuran” ini, karena seingat saya beberapa kepala sekolah
yang saya datangi bahwa uang yang berasal dari masyarakat itu
untuk keperluan personal, seperti seragam, buku suplemen dan
sejenisnya. Banyak orang tua siswa yang mendesak sekolah untuk
membantu pengadaan kebutuhan personal tersebut, dengan alasan
tidak ada waktu dan sulit carinya. Oleh karena itu, niat untuk
membantu orang tua siswa, dipersepsikan oleh teman-teman
wartawan yang salah yaitu menarik iuran dari masyarakat. Saya
pernah menyarankan kepada para wartawan, bahwa kalau ada
permasalahan tentang sekolah, tolong datang ke sekolah langsung,
biar saya jelaskan secara komplit. Akhirnya wartawan tersebut
paham dan tidak menanyakan kembali.

Memperhatikan hasil wawancara di atas, sekolah salah memahami


tujuan dari program MBS-BPP yaitu sebagai sarana untuk memperbaiki
pelayanan pendidikan dengan melibatkan masyarakat dalam arti segala
kebutuhan sekolah direncanakan dan dibahas antara sekolah dengan komite
sekolah dan paguyuban kelas. Dengan persepsi yang salah oleh sekolah
tentang tujuan program MBS-BPP, maka sekolah dengan bebas menarik
iuran kepada orang tua siswa.
Berdasakan pengamatan bahwa aktor global pada tahap ini
berperan sebagai pendamping kegiatan costing atau perhitungan anggaran
atas program dan kegiatan yang diusulkan oleh aktor pemerintah dan
masyarakat.
Sehubungan dengan peran aktor global ini penulis mewancarai
Provincial Coordinator Kinerja USAID, DL dan hasilnya sebagai berikut:
Kami dalam kegiatan tahap dua ini mendampingi sekolah untuk
melakukan costing agar sekolah dapat menghitung biaya program
dan kegiatan. Dalam pendampingan ini kami menyediakan LPSS

114 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


yang berada di kota Probolinggo, karena pelatihan costing telah
dilakukan tahun yang lalu. Jadi kami pada tahun ini hanya sebatas
melakukan pendampingan saja.

Berdasarkan pengamatan pada tahap kedua ini, aktor perusahaan


belum berperan, karena pihak sekolah tidak mengundang aktor perusahaan
untuk secara bersama-sama menyusun perencanaan dan penganggaran
sekolah. Pada umumnya sekolah hanya mengajukan proposal kepada aktor
perusahaan tersebut dan terlihat juga pihak sekolah tidak melibatkan aktor
eksternal yaitu dari kelurahan setempat dengan maksud membawa
perencanaan sekolah ke dalam Musyawarah Rencana Pembangunan
Kelurahan (Musrenbangkel).
Sehubungan dengan belum berperannya perusahaan dalam tahap
kedua ini, penulis mewawancarai AMN, sebagai pengusaha PAI dan sebagai
anggota Forum CSR Kota Probolinggo, sebagai berikut:
Saya sebagai pengusaha tentunya waktu adalah uang dan
kesempatan yang perlu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk
mencari keuntungan. Namun demikian, saya peduli terhadap bidang
pendidikan, sehingga apabila ada proposal masuk saya bersedia
membantu pendanaan sesuai dengan kemampuan uang
perusahaan. Sedangkan mengenai undangan dari sekolah untuk
ikut berpartisipasi dalam rapat-rapat sekolah jarang saya bisa hadir.
Tetapi saya jarang atau dapat dikatakan hampir tidak pernah
mendapatkan undangan rapat untuk berpartisipasi dalam usaha
pengembangan sekolah. Saya sering membantu sekolah dalam
bentuk sumbangan buku tulis dan perlengkapan sekolah, tetapi
tidak terlalu banyak. Jadi perusahaan kami tidak terlibat secara
langsung untuk pembahasan dalam rapat-rapat sekolah.

c) Tahap ketiga: pemenuhan janji perbaikan pelayanan dan rekomendasi


teknis
Struktur aktor pada tahap ini adalah aktor kepala sekolah bersama
TPS dengan kerjasama dengan aktor komite sekolah dan paguyuban kelas.
Kedua aktor tersebut berupaya memenuhi janji perbaikan pelayanan.
Sedangkan aktor global memberikan advokasi kepada kedua aktor lain dan
aktor perusahaan melalui forum CSR memberikan dukungan dalam bentuk
barang dalam pemenuhan janji tersebut. Beberapa Kepala Sekolah
memonitor rekomendasi teknis yang telah disampaikan ke pihak lain.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 115


Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala SDN Sukabumi
1, END sebagai seorang aktor yang sering berinteraksi dengan aktor
masyarakat yang dalam hal ini komite sekolah dan paguyuban kelas, sebagai
berikut:
Pada saat acara pertemuan rutin dengan komite sekolah dan
paguyuban kelas, saya sampaikan hasil evaluasi pelaksanaan
program semester sebelumnya dan program semester yang akan
datang. Di tengah-tengah pertemuan ada orang tua siswa
menanyakan kepada saya, tentang mengapa SDN Sukabumi 1 tidak
ada alat musik band. Kemudian saya jelaskan bahwa dana BOS
tidak boleh dibelanjakan di luar ketentuan dari Kementerian
Keuangan, termasuk untuk pengadaan alat musik. Dana BOS untuk
belanja operasional sekolah bukan untuk belanja modal. Namun
saya terkejut, jarak satu minggu ada alat musik di sekolah dan
ternyata ada beberapa orang tua siswa patungan membelikan alat
musik tersebut, tetapi yang membelikan bukan yang bertanya ketika
rapat tersebut. Kuncinya bahwa kami pihak sekolah tidak memaksa
dan hanya menyampaikan program dengan dana dari BOS, perkara
sumbangan dari orang tua siswa sudah ada yang mengurus yaitu
komite sekolah dan paguyuban kelas.

Partisipasi aktif aktor orang tua siswa ini merupakan perwujudan


kepedulian yang cukup tinggi, sehingga mereka sangat aktif membantu
sekolah demi peningkatan kecerdasan anaknya dan sekaligus membantu
meringankan beban sekolah dan orang tua siswa yang lain.
Kepedulian aktor orang tua siswa yang terhimpun di paguyuban kelas
ini, sebagai ”praktik baik” (best practice) sebagaimana yang diuraikan berikut
ini. Berkat keahlian aktor ARL sebagai Kepala SDN Kanigaran 5 untuk
berinteraksi dengan aktor masyarakat baik secara formal maupun non-formal
dapat menumbuhkan kepedulian orang tua siswa terhadap perbaikan
pelayanan pendidikan dan berikut pernyataannya (dan photo kegiatan):
Saya memang suka berdiskusi dan berbincang-bincang ringan
dengan para orang tua siswa yang sedang menjemput anaknya di
sekolah ini. Pertemuan non-formal ini biasanya berlanjut dengan
pertemuan formal dalam pertemuan komite sekolah dan orang tua
siswa yang terhimpun dalam paguyuban kelas. Sumbangan dua kipas
angin baru-baru ini berkat sumbangan dari orang tua siswa. Di
samping itu, ada semacam kesepakatan dari para anggota

116 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


paguyuban kelas tersebut untuk meluangkan waktu sore hari guna
membenahi fasilitas umum sekolah.

Gambar 9. Kapling Paguyuban Orang Tua Siswa Kelas 4


SDNKanigaran 5

Gambar 10. Kapling Paguyuban Orang tua


Siswa Kelas 2 SDN Kanigaran
5
Pada tahap ini aktor global memberikan bantuan teknis dalam bentuk
pengembangan kapasitas untuk membuka hubungan pihak lain termasuk ke
aktor perusahaan. Sedangkan aktor perusahaan dalam tahap ini berperan
sebagai pemberi fasilitas umum, yang pada umumnya dalam bentuk gazebo,
biopori, bak sampah dan teknologi kompos sederhana, termasuk bank
sampah.
Sehubungan dengan peran aktor perusahaan, GTT selaku anggota Forum
CSR Kota Probolinggo, menyatakan sebagai berikut:

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 117


Banyak perusahaan yang tidak di ekpos ketika memberikan bantuan ke
sekolah, maka perlu Forum sebagai jembatan. Program pemerintah
dan program perusahaan harus sinkron. Sudah dapat bantuan mungkin
dapat lagi. Memang kewajiban setiap perusahaan untuk Bina
Lingkungan perusahaan di daerah sekitarnya. Etikanya meskipun tidak
dilarang untuk memberikan ke sekolah yang berada agak jauh, tetapi
lebih baik sekolah disekitarnya, nanti apabila sudah teratasi, baru ke
luar daerah lain. Satuan kerja atau SKPD punya program, dalam satu
tahun, sehingga dapat disinkronkan dengan program tahunan
perusahaan. Saya tidak tahu kalau ada mekanisme penganggaran.
Misalnya di PU (”maksudnya Dinas Pekerjaan Umum” dari penulis)
punya program apa, diarahkan ke mana, ke pertanian atau lainnya.
Pemetaan itu penting, yang kosong wajib diisi. Saya tidak ingin
direpotkan dengan urusan birokrasi, karena akan mengganggu
pekerjaan. Jadi kapan kerjanya kalau harus mengikuti birokrasi.
Kendalanya untuk menata atau mengkoordinasikan dana CSR ini
bahwa di Kota Probolinggo rata-rata perusahaan dikelola oleh pribadi,
sehingga mereka tidak tertib di administratif dan akibatnya sulit untuk
menyisihkan sebagai keuntungan untuk dana CSR. Bahkan ada
perusahaan besar seperti PO Akas, mereka tidak mau diekspos
apabila menyumbang ke sekolah-sekolah.

Memperhatikan wawancara dengan anggota Forum CSR tersebut


di atas menunjukkan bahwa perusahaan perlu informasi mengenai program
dan kegiatan dari pemerintah dan secara implisit juga dari sekolah, sehingga
mereka dapat menyalurkan dana CSR ke sekolah-sekolah berdasarkan
program dan kegiatan yang diusulkan.
Menanggapi pernyataan GTT di atas, Kepala SDN Sukabumi 6,
MSK menyatakan bahwa:
Sekolah kami mendapatkan sumbangan pembuatan kompos dari
orang tua siswa yang kebetulan sangat peduli dengan sekolah kami.
Memang, seandainya program pemerintah daerah disinkronkan
dengan program CSR itu lebih baik dan lebih efektif. Saya
merasakan sebagaimana yang dirasakan oleh beberapa kepala
sekolah bahwa kita kurang mampu menyusun proposal sebagai
rekomendasi teknis yang diajukan baik ke Dinas Pendidikan maupun
ke perusahaan, di samping kami disibukkan dengan kegiatan belajar
mengajar yang menyita perhatian dan waktu.

118 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Berdasarkan hasil wawancara di atas, menunjukkan pentingnya
aktor pemerintah membangun komunikasi dengan aktor perusahaan, untuk
mendukung peningkatan kualitas pelayanan pendidikan di Kota Probolinggo.
Di samping itu, ada beberapa sekolah yang masih kurang kapasitasnya dalam
penyusunan proposal program yang akan diajukan ke pihak lain, baik instansi
pemerintah maupun swasta.

d) Tahap keempat: monitoring dan evaluasi pemenuhan janji perbaikan


pelayanan dan rekomendasi teknis
Struktur aktor dalam tahap keempat ini, berdasarkan pengamatan
bahwa aktor pemerintah yang terlibat adalah para aktor Pengawas Sekolah.
Pengawas Sekolah melakukan monitoring pelaksanaan program MBS-BPP
minimal 1 bulan sekali tanpa menggunakan instrumen monitoring yang
khusus dan hanya menggunakan buku supervisi, dan mencatat tingkat
kemajuan pelaksanaan program MBS-BPP.
Kondisi tersebut di atas ditegaskan pula oleh aktor Pengawas
Sekolah, KSD, sebagai berikut:
Kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan minimal 1 bulan sekali
dan saya ada lima sekolah yang harus dimonev. Saya membuat
check list sendiri yang sederhana yang berisi data kegiatan sekolah
yang dilakukan selama satu bulan. Jadi saya tidak menggunakan alat
khusus monev yang biasa dipergunakan oleh USAID yang
diperkenalkan dalam program pendampingan kinerja di Kota
Probolinggo.

Hal ini juga dipertegas oleh aktor dari sekolah, yaitu Kepala SDN
Sukabumi 1, END sebagai berikut:
Peran pengawas sekolah masih kurang, karena datang ke sekolah
menanyakan kegiatan apa yang telah dilakukan oleh sekolah selama
ini dan dilanjutkan melihat sekitar sekolah. Kalau monev di intern
kami sederhana, apabila orang tua siswa bertanya tentang salah
satu janji perbaikan pelayanan yang belum terpenuhi, maka saya
diskusikan langsung dan menjelaskan mengapa janji belum
dipenuhi, sehingga orang tua siswa tersebut benar-benar paham.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 119


Berdasarkan hasil wawancara di atas, menunjukkan bahwa aktor
eksternal yang melakukan monev kurang kapasitasnya, sehingga
pengendalian pelaksanaan janji perbaikan pelayanan kurang efektif.
Aktor pengawas sekolah dan aktor komite sekolah beserta
paguyuban kelas melakukan monev tidak menggunakan instrumen monev
yang baku, dan sebaliknya aktor Multi Stakeholders Forum (MSF)
menggunakan instrumen baku. Sehubungan dengan hal ini penulis
mewawancarai VD selaku ketua MSF dengan hasil sebagai berikut:
MSF dalam kegiatan monev berperan sebagai pelaksana dan
evaluator terhadap pemenuhan janji perbaikan pelayanan yang
dilakukan oleh pihak sekolah. Para anggota MSF berperan sebagai
surveior dengan menggunakan instrumen baku yang telah
dikembangkan oleh Kinerja USAID, kita sebar ke seluruh sekolah
untuk melihat bagaimana sekolah telah memenuhi janji perbaikan
pelayanan. Kemudian berdasarkan hasil monitoring tersebut, peran
MSF adalah mengevaluasi seberapa jauh janji perbaikan pelayanan
dipenuhi oleh sekolah. Perlu saya tambahkan bahwa evaluasi
tersebut melalui lokakarya dengan mengundang aktor-aktor lain
sebagai pemangku kepentingan bidang pendidikan, yaitu dari
unsur-unsur kepala sekolah, komite sekolah, paguyuban kelas yang
menjadi target monev, dinas pendidikan, UPT, pengawas sekolah,
dan dewan pendidikan. Peran selanjutnya adalah menyusun
rekomendasi yang diserahkan kepada dinas pendidikan dan sekolah
target monev.

Demikian pula Jurnalis Warga (JW) telah berpartisipasi pada


kegiatan monev yang dilakukan oleh MSF, dari mulai survei sampai dengan
penyusunan rekomendasi kepada dinas pendidikan dan sekolah target
monev. Sehubungan dengan hal ini penulis mewawancarai Jurnalis Warga,
SM dengan hasil sebagai berikut:
Saya mengikuti kegiatan survei dalam rangka monev terhadap janji
perbaikan pelayanan oleh sekolah-sekolah. Peran saya di samping
sebagai surveior, juga pembahas hasil monitoring tersebut, sambil
saya menyusun berita terhadap kegiatan monev ini. Seluruh
kegiatan monev terhadap janji perbaikan pelayanan ini saya upload
ke media sosial atau medsos. Mengapa ke media sosial, karena
apabila dimasukkan ke koran atau media cetak, jarang diterima dan
juga perlu biaya yang tidak sedikit. Di medsos juga saya bersama

120 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


JW dari kota membuat blog khusus JW. Dengan cara ini maka dapat
disebarkan kegiatan yang baik sebagai best practice tentang
program MBS-BPP ini, sehingga sekolah lain dapat melakukan
replikasi.

Sehubungan dengan kegiatan tahap keempat ini, untuk peran aktor


perusahaan belum kelihatan dan oleh karena itu penulis mengkonfirmasi
kepada pengusaha, AG yang tergabung dalam Forum CSR, sebagai berikut:
Saya sejak awal tidak berperan dalam kegiatan yang dilakukan oleh
sekolah yang terkait dengan program MBS-BPP. Saya mendengar
tentang pelaksanaan program MBS-BPP ini melalui perbincangan
di forum CSR. Forum CSR sendiri baru dibentuk awal Januari tahun
2014, sehingga masih belum berfungsi sebagaimana mestinya.
Saya sebagai salah satu pengurus masih terus mencari bentuk
mekanisme kerja yang melibatkan seluruh pihak yang terlibat.
Perusahaan saya bergerak di perhotelan yaitu hotel Bromo View.
Selama ini forum CSR masih berusaha menciptakan mekanisme
kerja yang sesuai dengan visi misi perusahaan dan diharapkan juga
sinkron dengan aturan yang berlaku di pemerintah kota maupun
sekolah-sekolah. Selama ini beberapa perusahaan memberikan
bantuan dalam bentuk peralatan sekolah dan beasiswa. Jadi masih
tidak terkait dengan pelayanan publik di sekolah. Dan terus terang
saya masih kurang paham betul tentang program MBS-BPP, tetapi
saya mendukung program itu dan tahun depan, saya selaku salah
satu pengurus forum CSR akan mensinkronkan antara program
MBS-BPP dengan program forum CSR. Saya dengar melalui
Bappeda akan dibuat semacam peraturan daerah tentang CSR dan
oleh karena itu baik apabila benar-benar kota Probolinggo memiliki
perda tersebut, agar semua pihak memiliki peran masing-masing
untuk membantu sekolah dalam melaksanakan program MBS-BPP
dan di perda tersebut saya berharap tidak hanya sektor pendidikan
saja melainkan bidang-bidang lain seperti lingkungan hidup,
kesehatan dan sebagainya. Apabila benar-benar telah sinkron
antara program MBS-BPP dan forum CSR, maka saya akan
melakukan monitoring dan sekaligus mengevaluasi, karena forum
CSR telah mengeluarkan dana yang berasal dari perusahaan-
perusahaan untuk membantu atau berpartisipasi dalam program
MBS-BPP dan berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan
kepada perusahaan masing-masing.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 121


e) Tahap kelima: reformasi janji perbaikan pelayanan dan rekomendasi
teknis
Reformasi JPP untuk mengetahui perubahan pengaduan
masyarakat yang baru/lama struktur aktor dalam reformasi JPP adalah aktor
Kepala Sekolah dan TPS yang melakukan survei ulang pengaduan
masyarakat tersebut dipergunakan untuk memperbaiki sejauh mana
pemenuhan janji telah dilakukan dengan baik dan hasil survei ulang tersebut
untuk memperbaiki janji perbaikan pelayanan. Aktor masyarakat memberikan
masukan terhadap reformasi janji perbaikan pelayanan, aktor global dalam
tahap ini memfasilitasi untuk pendampingan perbaikan yang akan dibagikan
ke pengguna pelayanan orang tua siswa, dan aktor perusahaan pada tahap
ini tidak mengambil peran.
Ada dua aktor kunci dari pemerintah yang dominan dalam reformasi
JPP. Kedua aktor kunci dalam reformasi JPP adalah RKM pada saat tahun
2012 menjadi Kepala Sekolah SDN Kebonsari Kulon 2 Kota Probolinggo dan
pada tahun 2015 dimutasi menjadi Kepala Sekolah SDN Tisnonegaran 1.
Aktor ini telah menjadikan SDN Kebonsari Kulon 2, menjadi Laboratorium
program MBS-BPP dengan technical assistance oleh aktor global yakni
USAID. Ketika dimutasi menjadi Kepala Sekolah Tisnonegaran 1 pada
pertengahan tahun 2014, RKM gigih untuk menjadikan SDN Tisnonegaran 1
seperti SDN Kebonsari Kulon 2. Dalam kurun waktu kurang lebih 6 bulan
telah membuahkan hasil yaitu SDN Tisnonegaran 1 menjadi juara 1 dalam
acara MBS-BPP Awards pada akhir tahun 2014 dan pada saat ini sekolah
tersebut telah menjadi rujukan oleh sekolah-sekolah lain dan bahkan RKM
telah menjadi narasumber program MBS-BPP tingkat nasional.
Bagaimanakah komitmennya Kepala SDN Tisnonegaran 1, RKM untuk
pelaksanaan program MBS-BPP, seperti yang dikatakan sebagai berikut:
Menjadi juara satu pelaksanaan program MBS-BPP ini ceritanya
panjang, seperti ketika saya menjadi Kepala Sekolah SDN
Kebonsari Kulon 2, saya mendapat tantangan yang cukup berat.
Mengapa? Karena program baru, saya secara terus menerus
memberikan pemahaman kepada guru dan TU dan saya sampaikan
kepada mereka kenapa kalau program MBS-BPP ini dinilai baik
untuk memperbaiki pelayanan kepada orang tua siswa dan siswa,
tidak kita lakukan? Akhirnya, mereka dapat menerima dan
melaksanakan, termasuk komite dan paguyuban ikut serta aktif.
Pengalaman tersebut juga saya lakukan sama di SDN Tisnonegaran

122 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


1 ini, yang akhirnya mendapat penghargaan MBS-BPP Awards.
Berdasarkan pengalaman tersebut, saya merasa selalu ingin
memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat, sehingga perlu
direformasi JPP tersebut dengan melakukan survei pengaduan
ulang setiap semester dengan maksud agar selalu ada perbaikan
pelayanan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu peran saya dalam
reformasi JPP ini adalah motivator dan fasilitator sehingga semua
pihak yang terlibat dalam perbaikan pelayanan dapat termotivasi
untuk selalu memperbaiki bersama terhadap pelayanan pendidikan
di sekolah.

Wawancara dengan RKM tersebut mengandung maksud bahwa


komitmen yang tinggi dari Kepala Sekolah dalam memberikan pemahaman
dan mengorganisasikan stakeholders, akan dapat mencapai target yaitu
pelaksanaan program MBS-BPP dengan baik. Aktor ini juga transparan
dalam mengelola keuangan baik yang berasal dari dana BOS maupun
penggunaan keuangan dari partisipasi masyarakat.
Pernyataan RKM tentang reformasi janji perbaikan pelayanan
didukung oleh aktor masyarakat yang diwakili Sekretaris Komite SDN
Tisnonegaran 1, YN sebagai berikut:
Komite sangat mendukung setiap kebijakan, asalkan memang
benar-benar untuk kebaikan anak-anak kami. Peran komite dan
paguyuban sangat dibutuhkan untuk memecahkan persoalan yang
dihadapi sekolah untuk mencerdaskan anak-anak kami.

Sehubungan dengan reformasi JPP dan RT hal di atas, penulis


mewancarai DL selaku aktor global sebagai berikut:
Peran swasta atau dunia usaha dalam kegiatan reformasi janji
perbaikan pelayanan dan rekomendasi teknis, saya berpendapat
bahwa aktor swasta, dunia usaha, pingin lihat bukti, sehingga ada
kecenderungan perusahaan enggan terlibat apabila tidak ada bukti.
Sedangkan yang terkait dengan reformasi yang harus dilakukan oleh
sekolah adalah bahwa reformasi perubahan pelayanan sekolah,
berdampak pada siswa yang merasa menerima perubahan
pelayanan yang baik dari sekolah. Adapun peran kami selaku aktor
global dalam tahap reformasi janji perbaikan pelayanan dan
rekomendasi teknis ini adalah pendampingan yang dilakukan oleh
LPSS yang berkantor di Bappeda Pemkot Probolinggo.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 123


Pendampingan yang dilakukan LPSS adalah dengan cara
memberikan advokasi dalam hal mapping terhadap janji dan
pemenuhan janji perbaikan pelayanan untuk mengetahui janji mana
yang telah dipenuhi dan yang belum terpenuhi. Selanjutnya peran
kami mendampingi sekolah dalam mereviu angket pengaduan yang
baru, di mana berisi janji yang belum terpenuhi dan hasil survei ulang
terhadap pengaduan siswa dan orang tua siswa. Teknis survei,
lokakarya pengelolaan pengaduan, lokakarya analisis penyebab
pengaduan, indeks pengaduan masyarakat sampai dengan
penyusunan janji perbaikan pelayanan dan rekomendasi teknis,
sama dengan tahap pertama program MBS-BPP ini.

Sedangkan peran perusahaan dalam reformasi JPP dan RT ini


penulis mewawancarai AG anggota forum CSR sebagai berikut:
Peran perusahaan dalam keterlibatan kegiatan sekolah seperti
kegiatan survei ulang untuk perbaikan janji perbaikan pelayanan
maupun rekomendasi teknis, praktis tidak ada, karena saya belum
pernah di undang ke sekolah terkait dengan kegiatan tersebut. Hal
ini perlu dirumuskan dalam suatu mekanisme kerja sehingga pihak
perusahaan akan secara otomatis berkewajiban untuk bersama
pihak lain memberikan masukan untuk reformasi janji perbaikan
pelayanan ataupun rekomendasi teknis.

Berdasarkan pengamatan ada aktor kunci (key actor) yang lain yaitu
JK. Pada tahun 2012 aktor ini menjadi Sekretaris Komite Sekolah di SDN
Kebonsari Kulon 2 yang ketika itu yang menjadi Kepala Sekolah adalah RKM.
JK sebagai aktor masyarakat memiliki jaringan yang luas di Kota Probolinggo
mulai dari pemerintah kota, DPRD dan Forum CSR dan juga menjadi anggota
Forum Peduli Pelayanan Publik (FP3) Kota Probolinggo dan Fasilitator
program MBS-BPP.
Hasil pengamatan di atas penulis konfirmasikan kepada JK selaku
pengurus komite sekolah SMPN 9, sebagai berikut:
Peran saya sebagai pengurus komite sekolah adalah inisiator
bagaimana komite sekolah sebagai wakil dari seluruh orang tua
siswa dalam berhubungan dengan pihak sekolah. Saya
bekerjasama dengan ibu RKM selaku Kepala SDN Kebonsari Kulon
2 untuk menjadikan SD ini menjadi laboratorium MBS-BPP. Saya di
samping menjadi komite sekolah juga menjadi anggota dewan
pendidikan, sehingga saya memiliki jaringan dengan pihak di luar

124 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


SDN Kebonsari Kulon 2. Selain itu sekarang saya menjadi guru BP
di SMKN 3 Kota Probolinggo dan juga menjadi ketua komite SMPN
9. Di luar lingkungan sekolah saya menjalin hubungan informal
dengan anggota DPRD Kota Probolinggo. Saya merasakan kerja
sebagai komite sekolah dengan menjadi anggota beberapa
organisasi dan menjalin hubungan dengan beberapa pejabat
pemkot dan DPRD, menjadi lebih mudah di dalam mendiskusikan
dan mensukseskan pelaksanaan program MBS-BPP mulai tahap
pertama yaitu survei pengaduan sampai dengan tahap kelima
reformasi janji perbaikan pelayanan dan rekomendasi teknis.

Berdasarkan pengamatan penulis seorang komite sekolah dari


SMPN 9 dan sekaligus anggota Dewan Pendidikan Kota Probolinggo, JK
telah menjadi aktor yang mempunya jejaring yang luas sampai ke Dinas
Pendidikan dan kalangan Ketua Komisi DPRD Kota Probolinggo, telah
berhasil mendorong DPRD Kota Probolinggo menggunakan Hak Inisiatif
dengan menerbitkan suatu peraturan daerah yaitu Peraturan Daerah Nomor
8 Tahun 2015 tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan atau disingkat
Perda SP3, Perda SP3 adalah masukan dari hasil evaluasi pelaksanaan
program MBS-BPP dan merupakan penjamin keberlanjutan program MBS-
BPP di Kota Probolinggo. (Lihat Lampiran)

B. Pelaksanaan Program MBS-BPP


a) Tahap pertama: survei pengaduan masyarakat, penyusunan IPM dan
janji perbaikan pelayanan serta rekomendasi teknis
Tahap pertama terlihat adanya prosedur pelaksanaan survei
pengaduan masyarakat dan prosedur pengelolaan pengaduan masyakat
sampai penyusunan Indeks Pengaduan Masyarakat (IPM) serta prosedur
penyusunan janji perbaikan pelayanan dan penyusunan rekomendasi teknis.
Dalam rangka pelaksanaan prinsip-prinsip program Manajemen
Berbasis Sekolah - Berorientasi Pelayanan Publik (MBS-BPP) di Kota
Probolinggo, maka langkah pertama yang wajib dilakukan oleh setiap satuan
pendidikan adalah membentuk Tim Pengembangan Sekolah (TPS).
Keanggotaan TPS adalah terdiri dari: Kepala Sekolah, Dewan Guru, Komite
Sekolah dan Paguyuban Kelas.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 125


Berdasarakan hasil survei bahwa Indeks TPS yang paling kecil
adalah SDN Kebonsari Wetan 1, kondisi ini disebabkan oleh karena Kepala
Sekolah SDN Kebonsari Wetan 1 kurang melibatkan stakeholders, dalam
proses pembentukan TPS. Sedangkan, SDN Kareng Lor 2 memiliki skor
rendah karena komite sekolah dan paguyuban kelas kurang optimal dalam
berpartisipasi sebagai anggota TPS. Penyebab dari kurang aktifnya komite
sekolah dan paguyuban kelas adalah sebagian besar orang tua siswa mata
pencahariannya sebagai petani dan pedagang di mana berangkat kerja pagi
hari dan pulang malam hari. Namun demikian, secara umum sebagian besar
sekolah telah membentuk TPS yang representatif dan komite sekolah dan
paguyuban kelas aktif terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh sekolah.
Di samping pengelolaan pengaduan melalui lokakarya, namun
sebagian besar sekolah telah menyediakan menyediakan kotak pengaduan di
mana kotak pegaduan merupakan persyaratan untuk pelaksanaan program
MBS-BPP dan sekaligus untuk menunjukkan responsivitas sekolah sebagai
penyedia pelayanan. Posisi atau letak kotak pengaduan ditempatkan pada
posisi strategis dan dijamin privasinya, ada yang meletakkan kotak
pengaduan ditempatkan di samping ruang guru atau kepala sekolah atau
kantin sekolah.
Ada pula sekolah seperti SDK MD tidak menggunakan kotak
pengaduan, tetapi dengan cara sekolah menyediakan buku tulis di ruang Tata
Usaha, siswa atau orang tua siswa tinggal menulis di sebuah buku tulis.
Menurut pengakuan Kepala Sekolah, MRS, sebagai berikut: ”Hal ini tidak
menjadi masalah bagi siswa yang bersangkutan, karena di sekolah tersebut
telah dibudayakan untuk terbuka dan kritis.”
Kondisi di atas, berbeda keadaannya di SDN Sukabumi 1, END
yang menyatakan:
Di samping disediakan kotak pengaduan, kami bersedia menerima
pengaduan langsung secara verbal maupun tertulis dan pegawai
Tata Usaha dapat merekap dengan diketik ulang yang pada saat
rapat dengan guru, Komite Sekolah dan Paguyuban Sekolah akan
kami sampaikan.

Sebaliknya, berdasarkan survei SDN Kedunggaleng 1 dan SMPN 8


yang terendah karena kotak pengaduan yang terlalu dekat dengan ruang
guru, sehingga orang tua/orang tua siswa dan para siswa yang akan

126 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


memasukkan ke dalam kotak pengaduan akan mengurungkan niatnya karena
takut ketahuan apabila memasukkan surat pengaduan. Kotak pengaduan di
beberapa sekolah ada yang di dalam ruangan dekat ruang perpustakaan
sekolah dan dekat ruang Tata Usaha, sehingga tidak mendapat perhatian
terutama para siswa. Sekolah yang mendapat penilaian tertinggi,
menempatkan kotak pengaduan di lorong dan representatif tidak terlihat atau
agak tersembunyi, sehingga para orang tua/orang tua dan siswa lebih bebas
untuk memasukkan surat pengaduan.
Pada proses awal tahap pertama ini TPS mengundang beberapa
orang untuk berpartisipasi dalam lokakarya pengelolaan pengaduan. Para
calon peserta lokakarya tersebut memenuhi persyaratan dengan komposisi
sebagai berikut:
1. Sekitar 20 % - 30 % dari peserta lokakarya adalah dari kepala
sekolah, para guru dan tenaga kependidikan atau TU sebagai
penyedia pelayanan.
2. Sekitar 80 % - 70 % dari peserta lokakarya terdiri dari masyarakat
pengguna pelayanan.

Kemudian proses berikutnya adalah pengarahan TPS tentang


pelaksanaan lokakarya pengelolaan pengaduan yang terdiri dari pengajuan
usulan pengaduan, penyusunan angket, pengumpulan data, penyusunan
Indeks Pengaduan Masyarakat (IPM), penyusunan janji perbaikan pelayanan
sampai dengan penyusunan rekomendasi teknis.
Berdasarkan pengamatan para peserta lokakarya mengajukan
beberapa pengaduan pada kertas metaplan, umumnya setiap peserta diberi
kesempatan untuk menulis lima pengaduan di kertas metaplan di mana
masing-masing metaplan hanya satu pengaduan saja, agar dapat
dikelompokkan menurut kategori-kategori, yang mirip atau hampir sama
maksudnya dijadikan satu pengaduan. Dalam rangka efisiensi diupayakan
seluruh kategori diperiksa kembali, apakah diperlukan penambahan kategori
lagi, dengan melihat metaplan yang belum dikategorikan. Setelah itu kategori
tersebut dirubah menjadi sebuah pernyataan pengaduan dan dituangkan
dalam sebuah angket.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 127


Gambar 11. Contoh Pengaduan Orang Tua dan Siswa

Memperhatian gambar 11 di atas, setiap pengguna pelayanan


secara demokratis untuk mengambil keputusan menulis pengaduan atas
pelayanan dengan tulisan sederhana tetapi langsung mengarah kepada
pokok aduan kepada pihak sekolah sebagai penyedia pelayanan.

Gambar 12. Pengolahan Pengaduan

Hasil pengamatan sebagaimana pada gambar 12 di atas,


menunjukkan para pengguna pelayanan sedang mengolah pengaduan yang
diusulkan oleh pengguna pelayanan dengan jalan dikelompokkan menurut
kategori, dan selanjutnya disusun menjadi pernyataan pengaduan dalam
bentuk angket.
Berdasarkan pengamatan bahwa pelaksana survei dilakukan oleh
TPS bekerjasama dengan komite sekolah. Sehubungan dengan hal tersebut

128 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


penulis mengkonfirmasikan kepada Kepala SDN Tisnonegaran 1, RKM,
sebagai berikut:
Saya sebenarnya mau meminta bantuan pada MSF, karena faktor
biaya yang tidak mencukupi, saya putuskan yang melakukan survei
adalah TPS. Tetapi saya di masa mendatang akan bekerjasama
dengan MSF untuk melakukan survei agar lebih independen atau
bebas dari konflik kepentingan, sehingga didapatkan suatu
kumpulan pengaduan, baik dari siswa maupun orang tua siswa.

Memperhatikan hasil wawancara di atas, dimaksudkan bahwa


apabila survei pengaduan dilakukan oleh pihak independen, maka akan
terhindar dari konflik kepentingan yang ada di sekolah.

Kemudian kegiatan berikutnya adalah melakukan survei, sebagai berikut:


- Angket diisi oleh siswa di dalam kelas yang dilakukan oleh TPS.
- Setelah diisi langsung dilakukan tabulasi, dengan pertimbangan ada
jaminan angket diisi dengan benar. Cara ini dilakukan karena apabila
siswa tidak memahami apa yang dimaksud pada angket dapat
langsung ditanyakan kepada TPS.
- Setelah ditabulasi pada kelas tertentu, kemudian digabung menjadi
satu untuk ditabulasi induk.
- Pengerjaan tabulasi induk ini perlu dikerjakan secara cermat agar tidak
ada tabulasi yang berasal dari kelas ada yang belum masuk, karena hal
ini untuk menjaga agar tidak bias pengaduan yang sebenarnya.
- Kemudian setelah tabulasi induk selesai disusunlah grafik Indeks
Pengaduan Masyarakat dan dipasang di papan informasi (mading).
- Setelah selesai penyusunan Indeks Pengaduan Masyarakat, maka
disusunlah janji perbaikan pelayanan dan rekomendasi teknis secara
partisipatif, yaitu pihak sekolah melibatkan para orang tua/orang tua
siswa dan siswa.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 129


Gambar 13. Para siswa sedang mengisi angket

Memperhatikan gambar 13 di atas, para siswa selaku pengguna


pelayanan, sedang mengisi angket untuk menyampaikan pengaduan
berdasarkan pengelolaan pengaduan yang tertuang di dalam angket. Nilai
kejujuran dijunjung tinggi dan obyektif karena suasana seperti ujian dan dijaga
oleh petugas survei.
Pada proses berikutnya setelah data terkumpul dari para siswa,
dengan tetap menggunakan ruang kelas sebentar mulai dilakukan tabulasi.
Proses tabulasi ini dengan mengacungkan tangan bagi jawaban tertentu,
sehingga tanpa menggunakan komputer dapat dihitung dengan cepat dan
biaya minimal. Kemudian proses berikutnya petugas survei melakukan
analisis dengan menggunakan tabel frekuensi untuk menghitung jumlah
jawaban masing pernyataan yang dijawab oleh para pengguna pelayanan.
Sedangkan untuk angket yang diisi oleh orang tua siswa dibawa
pulang oleh siswa untuk diisi di rumah dan besok harus terkumpul kembali
untuk ditabulasi serta diolah seperti angket yang diisi para siswa sehari
sebelumnya. Indeks Pengaduan Masyarakat (IPK) sebagaimana pada
gambar 14 di bawah.
Memperhatikan gambar 14 di bawah dapat dimaknai sebagai
berikut:
1) Frekuensi yang tertinggi adalah pernyataan: ”Guru hendaknya lebih
perhatian dan dekat dengan siswa,” yaitu: 165, dalam arti guru di SDN

130 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Tisnonegaran 1 ada kecenderungan guru kurang perhatian kepada
siswa.

2) Frekuensi yang berkisar 150 an, seperti pernyataan: ”Perencanaan biaya


perpisahan harus lebih efisien,” dalam arti orang tua/orang tua siswa
merasa jumlah biaya perpisahan dianggap relatif besar.

3) Frekuensi yang berkisar 120 an, seperti pernyataan: ”Nilai siswa perlu
diberitahukan secara tertulis kepada orang tua/orang tua siswa,” dalam
arti orang tua/orang tua siswa ingin mengetahui perkembangan nilai
anaknya di sekolah.

4) Frekuensi yang berkisar 110 an, seperti pernyataan: ”Di dalam kelas
terasa panas, karena kipas anginnya perlu ditambah,” dalam arti siswa
merasa tidak nyaman karena ruangan panas, terutama setelah jam 10
pagi.

5) Frekuensi yang terendah yaitu 54, dengan pernyataan: ” Kartu


Paguyuban sering terlambat dibagikan, sehingga tidak mengetahui
perkembangan informasi,” dalam arti orang tua/orang tua siswa perlu
informasi kontinyu.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 131


132 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.
Memperhatikan uraian di atas, terlihat bahwa dari 34 pernyataan,
ternyata disepakati hanya 10 pernyataan oleh pengguna dan penyedia
pelayanan untuk dirumuskan menjadi janji perbaikan pelayanan dan
rekomendasi teknis, atas pertimbangan tenaga, waktu dan dana.
Berdasarkan pengamatan penulis bahwa pengaduan yang berasal
dari pengguna pelayanan pada umumnya cukup banyak dan oleh karena itu
penyedia pelayanan kemudian menyusun prioritisasi untuk setiap tahun,
sehingga penyedia pelayanan mendahulukan suatu pengaduan yang
sekiranya dapat segera dipenuhi, agar ada perubahan meskipun relatif
sedikit.
Hal ini penulis konfirmasikan kepada SM, Kepala SDN Wonoasih 1,
sebagai berikut:
Melihat banyak dan ragamnya pengaduan yang diajukan oleh siswa
dan para orang tua siswa, sebenarnya ada yang salah persepsi. Hal
ini seperti pengaduan atap kelas rusak, padahal memang lubang
atap ruang kelas tersebut terbuka tutupnya yang belum
dikembalikan lagi. Namun demikian sebagian besar memang sesuai
dengan keadaan. Saya bersama guru menyusun janji perbaikan
pelayanan berdasarkan hasil survei pengaduan dan pengaduan
yang tidak mungkin dipenuhi oleh sekolah, seperti pembangunan
ruang perpustakaan, kami menyusun rekomendasi teknis ke Dinas
Pendidikan Kota. Sebenarnya beberapa bulan yang lalu, Dinas
Pendidikan telah survei ke sekolah kami dan akan diajukan
pembangunan melalui Dana Alokasi Khusus atau DAK dari
Pemerintah Pusat.

Sedangkan yang terkait penyusunan janji perbaikan pelayanan


penulis konfirmasikan kepada RKM Kepala SDN Tisnonegaran 1:
Pihak sekolah dalam menyusun janji perbaikan pelayanan atau JPP
tidak semua pengaduan yang tercantum pada IPM dimasukkan
semua ke dalam JPP. Pengaduan yang mudah dan tidak perlu biaya
segera kita penuhi, seperti, -”guru hendaknya lebih perhatian dan
dekat dengan siswa”- atau –”perlu diadakan sosialisasi program
sekolah”-. Sedangkan pengaduan seperti, -”meja dan kursi di dalam
kelas kurang layak”- atau –”ruang UKS kurang ventilasi,” perlu
dimasukkan ke dalam rekomendasi teknis, karena memerlukan
biaya yang relatif besar.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 133


Memperhatikan hasil wawancara di atas, diperlukan satu
pemahaman dan persepsi yang sama antara penyedia dan pengguna
layanan, terhadap jenis pengaduan, agar tujuan untuk memperbaiki
pelayanan dapat tercapai sesuai dengan harapan semua pihak.
Berdasarkan pengamatan ada beberapa sekolah juga mengajukan
rekomendasi teknis ke dinas lain seperti yang dilakukan oleh Kepala SDN
Sukabumi 6, mengajukan rekomendasi teknis ke Dinas Lingkungan Hidup
untuk membangun biopori agar pada musim penghujan tidak becek. Hal ini
menunjukkan bahwa kepala sekolah telah memperhatikan pengaduan dan
inovatif untuk memenuhi janji perbaikan pelayanan kepada pengguna
pelayanan. Inisiatif dan inovatif dari kepala sekolah apabila pengaduan dari
pengguna pelayanan, dan sekolah tidak mampu untuk memenuhi, maka
sekolah membuat dan merumuskan suatu “Rekomendasi Teknis, dan
selanjutnya disampaikan ke Dinas Pendidikan atau SKPD lainnya atau ke
pihak dunia usaha. Namun ada beberapa sekolah yang tidak tahu dan tidak
mampu untuk membuat proposal ke instansi pemerintah maupun ke instansi
swasta. Pengaduan siswa yang tidak mampu dipenuhi oleh pihak sekolah,
sekolah menyusun rekomendasi teknis ke orang tua untuk meminta bantuan
sarana dan prasarana sekolah yang besar biayanya. (Contoh Rekomendasi
Teknis dari SDN Tisnonegaran 1, pada lampiran 4)
Ada beberapa sekolah hampir 50 % dari lokasi penulisan ini yang
mengalami kesulitan di dalam jejaring dengan instansi, baik negeri maupun
swasta, yang mana hal ini terjadi karena pihak sekolah terutama kepala
sekolah relatif kurang berinisiatif untuk mengirim rekomendasi teknis ke
instansi tersebut dan juga ada sekolah yang menyatakan bahwa belum tahu
bagaimana cara untuk mengirim rekomendasi teknis, terutama ke SKPD di
luar Dinas Pendidikan maupun dunia usaha.
Sekolah mengalami kesulitan di dalam menyusun rekomendasi
teknis dan jejaring seperti yang dialami oleh MRS, kepala SDK MD yang
berhasil penulis wawancarai, sebagai berikut:
Sekolah kami telah berupaya menyusun rekomendasi teknis, namun
sedikit mengalami kesulitan untuk menyusunnya. Setelah sekolah
kami selesai menyusun rekomendasi teknis, karena sekolah ini
belum pernah menjalin hubungan dengan pihak lain, sehingga
rekomendasi teknis kami serahkan ke yayasan, namun sampai
sekarang belum ada tindak lanjutnya. Kami mau belajar ke sekolah

134 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


ibu RKM yang telah berhasil menjalin jejaring dengan perusahaan
dan instansi pemerintah.

Berdasarkan pengamatan bahwa dalam setiap angket survei


pengaduan, memiliki jumlah pernyataan yang berbeda-beda, misalnya ada
yang lebih dari 35 pernyataan pengaduan di dalam angket, ada yang hanya
25 pernyataan pengaduan dan sebagainya. Hal ini disebabkan atau
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sekolah masing-masing dan secara riil
para siswa dan orang tua siswa berbeda persepsinya antara sekolah yang
satu dengan sekolah yang lainnya.
Berdasarkan survei dari 29 sekolah sebagai lokasi penulisan ini,
bahwa seluruh sekolah telah melakukan survei pengaduan, dengan berbagai
cara. Ada 2 (dua) sekolah yang mendapat skor 50 yaitu SDN Kareng Lor 2
dan SDN Pakistaji 1 di mana kedua sekolah tersebut berada di perbatasan
Kota Probolinggo dengan Kabupaten Probolinggo. Kedua sekolah ini, latar
belakang ekonomi para orang tua siswa berasal dari keluarga yang kurang
mampu, sehingga partisipasi terhadap kegiatan survei pengaduan relatif
kurang.
Berdasarkan pengamatan terlihat adanya nilai integritas atau
kejujuran dari para siswa dan orang tua siswa di dalam mengisi angket
pengaduan masyarakat, sehingga dapat dirumuskan janji perbaikan
pelayanan sesuai dengan kondisi senyatanya. Dengan adanya kualitas
rumusan janji perbaikan pelayanan yang dilakukan secara bersama (co-
production), maka dapat menimbulkan rasa tanggung jawab untuk dikelola
bersama (co-management) pelayanan pendidikan tersebut.
Di samping itu, terlihat bahwa ada koordinasi antara institusi sekolah
dengan institusi komite sekolah dan paguyuban kelas di dalam melakukan
survei pengaduan masyarakat. Kerjasama ini dilanjutkan dengan menyusun
bersama IPM, janji perbaikan pelayanan dan sampai dengan menyusun
rekomendasi teknis. Jumlah yang pihak yang terlibat dalam pembuatan
angket untuk survei pengaduan masyarakat adalah sedikit yaitu tidak lebih 15
orang denga komposisi 30 % dari penyedia pelayanan dan 70 % pengguna
pelayanan. Kemudian angket hanya 1 halaman dan jumlah pernyataan
pengaduan hanya maksimal 35 item. Pembuatan angket secara bersama
tersebut hanya diperlukan setengah hari dan pengisian angket oleh siswa di

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 135


kelas, itupun hanya untuk kelas IV, V dan VI, sedangkan angket untuk orang
tua siswa dibawa oleh siswa sendiri. Angket yang telah diisi oleh orang tua
siswa dikumpulkan bersama angket yang telah diisi siswa dan itupun tidak
lebih 100 angket. Kegiatan tabulasi dilakukan di kelas oleh TPS dibantu oleh
siswa. Dengan demikian mulai pembuatan angket dan IPM, waktu yang
diperlukan adalah hanya 2 hari.

b) Tahap kedua: penyusunan perencanaan dan penganggaran sekolah


Prosedur penyusunan perencanaan dan penganggaran sekolah
dimulai dengan memasukkan janji perbaikan pelayanan, analisis gap SPM
dan Evaluasi Diri Sekolah (EDS) ke dalam daftar panjang (long list), dan
kemudian dimasukkan ke daftar pendek (short list) dengan cara memasukkan
program dan kegiatan yang diambil dari daftar panjang sesuai dengan 8
(delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP). Setelah itu, dilakukan
perhitungan biaya per kegiatan (costing) untuk direkap menjadi total belanja
sekolah, dan sumber pendapatan sekolah bersumber dari dana BOS dan
dana partisipasi masyarakat secara sukarela.
Setelah dilakukan tahap pertama pelaksanaan program MBS-BPP
yang ditandai dengan penyusunan Indeks Pengaduan Masyarakat dan
penyusunan Janji Perbaikan Pelayanan serta Rekomendasi Teknis, maka
tahap kedua adalah mencari gap (kesenjangan) antara target dan realisasi
SPM (Standar Pelayanan Minimal), gap antara target dan realisasi Standar
Nasional Pendidikan atau lebih dikenal dengan EDS (Evaluasi Diri Sekolah),
serta penyusunan RKS (Rencana Kerja Sekolah), dan RKAS (Rencana Kerja
dan Anggaran Sekolah). Ke-29 sekolah sebagai lokasi penulisan, bahwa
sekolah telah melakukan analisis Gap SPM, EDS, dan penyusunan RKS, dan
RKAS.
Berdasarkan survei ke-29 sekolah lokasi penulisan telah melakukan
sub tahapan yang kompleks dalam penyusunan perencanaan dan
penganggaran sekolah secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:
1) Setiap sekolah melakukan analisis gap SPM terhadap ke-13 indikator.
Setelah terlihat gapnya, akan diketahui kebutuhan untuk memenuhi
standar tersebut. Pemenuhan indikator SPM yang tersebut dimasukkan
ke RKS.

136 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


2) Setiap sekolah melakukan Evaluasi Diri Sekolah atau pemenuhan 8
Standar Nasional Pendidikan, yaitu standar: isi, proses, kompetensi
lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan.
Setelah terlihat gapnya, maka standar yang belum tercapai target
dimasukkan ke RKS.
3) Rencana kegiatan pemenuhan janji yang tercantum pada Janji Perbaikan
Pelayanan dari hasil survei pengaduan, bersama dengan gap SPM
dimapping ke capaian 8 Standar Nasional Pendidikan yang termuat
dalam EDS. Program dan kegiatan yang berdasarkan target yang belum
terpenuhi dikelompokkan menjadi daftar panjang (long list) dan
selanjutnya disusun skala prioritas dan dimasukkan ke dalam RKS.
Pada saat menyusun RKS, pihak sekolah membahas dengan masyarakat
yang dalam hal ini diwakili oleh komite sekolah dan anggota paguyuban
kelas. Setelah dokumen RKS disetujui, maka perlu dibuat halaman
pengesahan yang ditandatangani oleh Kepala Sekolah, Komite Sekolah,
dan mengetahui Dewan Pendidikan dan Kepala Dinas Pendidikan.
4) Oleh karena RKS merupakan rencana kerja sekolah selama 4 tahun,
maka sekolah menjabarkan menjadi program dan kerja 1 tahun, yaitu
dengan jalan menyusun RKAS.
Pada saat penyusunan RKAS prosesnya sama dengan penyusunan
RKS, di mana disusun dengan mengikutsertakan masyarakat sebagai
wujud penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Berdasarkan data survei bahwa partisipasi komite sekolah ada 3
(tiga) sekolah yang sangat aktif komite sekolahnya, yaitu SDN Tisnonegaran
1, SDN Sukabumi 1, dan sekolah swasta adalah SDK Mater Dei, dalam
penyusunan RKS dan RKAS. Hal ini sebagaimana pernyataan dari Kepala
SDN Tisnonegaran 1, RKM sebagai berikut:
Komite sekolah di SDN Tisnonegaran 1 berasal dari daerah kota
dan kebanyakan berasal dari beberapa pejabat Pemkot
Probolinggo. Mereka rata-rata banyak waktu dan sangat peduli
kepada kemajuan anak-anaknya , sehingga secara tidak langsung
berimbas pula kepada sekolah kami. Setiap kami mengundang
anggota komite, hampir seluruhnya hadir. Kami pada setiap
kesempatan rapat sekolah termasuk untuk penyusunan RKS dan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 137


RKAS, mereka sangat aktif. Hal ini mungkin mereka para orang tua
siswa itu menginginkan anaknya memiliki prestasi yang tinggi,
maklum sebagian besar para pejabat Pemkot Probolinggo. Ini perlu
diingat karena Kantor Pemkot Probolinggo khan di sebelah kanan
sekolah ini, tinggal menyeberang sudah sampai. Kami bersyukur
memiliki anggota komite sekolah yang seperti ini, sehingga realisasi
target SPM dan target SNP lebih tinggi daripada sekolah yang lain
di kota ini.

Berbeda sekolah, berbeda cara komite sekolah berpartisipasi dalam


penyusunan RKS dan RKAS, sebagaimana hal ini disampaikan oleh Kepala
SDN Sukabumi 1, END sebagai berikut:
Pada prinsipnya saya tidak memaksakan komite sekolah, namun
komite sekolah saya, memiliki kiat untuk melibatkan diri dalam
penyusunan RKS dan RKAS, karena kebanyakan anggota komite
bekerja di swasta. Setiap saya kasih undangan rapat termasuk
dalam rangka penyusunan RKS dan RKAS, mereka meluangkan
waktu sedemikian rupa sehingga dapat hadir, meskipun kadang-
kadang ada yang terpaksa meninggalkan rapat. Tetapi sering pula
diwakilkan anggota komite sekolah lainnya.

Bagaimana dengan penuturan Kepala SDK MD, MRS tentang


komite sekolahnya, adalah sebagai berikut:
SDK MD tidak mengunakan istilah komite sekolah untuk mewadahi
partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan
penganggaran sekolah. Namanya Forkom saja yaitu kepanjangan
dari Forum Komunikasi orang tua siswa. Forkom pasti hadir,
meskipun pada siang hari, dan berusaha untuk hadir, kalau ada
undangan dari sekolah. Mengapa? Karena mereka sangat peduli
pada prestasi anak-anaknya yang dititipkan ke SDK Mater Dei.
Mereka anggota Forkom memberikan usulan kegiatan baik pada
saat penyusunan RKS maupun penyusunan RKAS, namun tanpa
diminta mereka juga menyediakan dana apabila dirasa dari program
yang dipilih oleh forum rapat, masih perlu dana tambahan. Mereka
saling berebut untuk berpartisipasi, namun saya selaku Kepala
Sekolah tetap menyampaikan pembatasan-pembatasan, karena
kami juga harus berkonsultasi dengan pihak yayasan sebagai
penyelenggara pendidikan termasuk SDK MD ini.

138 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Memperhatikan hasil wawancara Kepala SDN Tisnonegaran 1,
Kepala SDN Sukabumi 1, Kepala SDK Mater Dei, dapat dimaknai bahwa:
1) Komite Sekolah meluang waktu untuk berpartisipasi dalam penyusunan
RKS dan RKAS.
2) Komite Sekolah peduli terhadap prestasi akademik siswa.
3) Komite Sekolah mempunyai tingkat kehadiran dalam rapat yang tinggi
4) Tingkat kehadiran tinggi dan aktif dapat membantu penyelesaian
penyusunan RKS dan RKAS.
5) Dampak dari keaktifan komite sekolah dapat mempercepat capaian
target SPM dan SNP.
6) Komite Sekolah aktif berdasarkan sukarela (tidak dibayar), meskipun
dapat membantu sekolah dalam menutup kekurangan dana dengan
sukarela.

Berdasarkan survei Paguyuban Kelas yang aktif dan partisipatif


dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran sekolah. Paguyuban
Kelas yang kurang aktif di SDN Pakistaji 1, karena sebagian besar orang tua
siswa adalah berprofesi sebagai petani dan pedagang, sehingga mereka
lebih disibukkan oleh pekerjaan mencari penghasilan. Letak geografis
sekolah ini di pinggir kota dan di daerah pertanian, yang menjadi berbeda
apabila sekolah yang berada di kota Probolinggo,
Sehubungan dengan partisipasi komite sekolah dan paguyuban
kelas dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran sekolah, maka di
bawah ini dikemukakan pernyataan HR selaku Kepala Sekolah SDN Pakistaji
1, sebagai berikut:
Saya kurang lebih satu tahun menjadi kepala sekolah ini, dan saya
telah memberikan penjelasan kepada para orang tua siswa, baik
secara langsung maupun melalui rapat-rapat komite sekolah dan
paguyuban kelas. Saya memaklumi bahwa sebagian besar
pekerjaan orang tua siswa adalah petani dan pedagang, sehingga
waktu untuk berpartisipasi dalam penyusunan perencanaan dan
penganggaran sekolah relatif kurang ada waktu dan biasanya hanya
beberapa orang tua siswa yang bersedia, namun itupun sedikit
dipaksa-paksa.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 139


Partisipasi paguyuban kelas di wilayah tengah kota dalam
penyusunan perencanaan dan penganggaran agak berbeda apabila
dibandingkan dengan sekolah yang berada di pinggir kota, sebagaimana
penulis melakukan wawancara dengan NR, guru SMPN 9, dengan hasil
sebagai berikut:
Partisipasi paguyuban kelas pada sekolah di wilayah perkotaan
seperti di SMPN 9 ini sangat tinggi, karena komitmen yang tinggi.
Hal ini dibuktikan ketika sekolah menyampaikan program untuk
rehabilitasi ruang kelas, di forum rapat sekolah bersama paguyuban
kelas. Hasil rapat adalah bahwa secara sukarela para orang tua
siswa untuk berpartisipasi dalam bentuk dana untuk merehabilitasi
ruang belajar siswa. Dalam waktu tidak terlalu lama kurang lebih
satu bulan sudah terkumpul sebesar dana yang dibutuhkan untuk
merehabilitasi ruang belajar tersebut. Kuncinya adalah sekolah
memberikan berbagai program dan kegiatan dan kebutuhan sekolah
dengan transparan dan semua mulai perencanaan, pelaksanaan,
pertanggungjawaban semuanya dilakukan oleh pengurus
paguyuban sendiri, sekolah hanya menerima jadi dan tidak ikut
campur dan tugas sekolah adalah memberikan laporan ke dinas
pendidikan.

Memperhatikan hasil wawancara di atas, menunjukkan bahwa ada


perbedaan tingkat partisipasi orang tua siswa dari sekolah wilayah pinggir
kota dengan tengah kota, di mana apabila sekolah di pinggir kota orang tua
siswa cenderung kurang partisipatif dibandingkan yang berasal dari sekolah
tengah kota. Berdasarakan pengamatan, faktor penyebab adalah orang tua
siswa pada sekolah pinggir kota sebagian besar adalah pedagang dan petani
di mana pekerjaannya tidak dapat ditinggal sewaktu-waktu karena jenis
pekerjaan ini membutuhkan perhatian setiap saat.
Pengamatan terhadap ke-29 sekolah sebagai lokasi penulisan, di
mana perencanaan dan penganggaran sekolah disinergikan dengan
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan (Musrenbangkel) hanya
SDN Sukoharjo 4. Mengapa hanya sekolah ini karena letaknya satu kompleks
dengan Kantor Kelurahan Sukoharjo, sehingga mudah berkomunikasi dan
saling mengenal dengan baik antara Kepala Sekolah SDN Sukoharjo 4
dengan Kepala Kelurahan Sukoharjo.
Sinergitas program dan kegiatan antara kelurahan dan sekolah
tersebut, karena telah melakukan koordinasi jauh-jauh sebelumnya dilakukan

140 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Musrenbangkel agar dapat terdaftar menjadi usulan kegiatan. Hal ini
sebagaimana yang dinyatakan oleh Kepala SDN Sukoharjo 4, SKR sebagai
berikut:
Kami sering diundang ketika ada acara Musrenbangkel, namun
sebelumnya ada koordinasi dulu apa saja yang sekolah butuhkan.
Kebetulan tahun lalu sekolah kami mau paving halaman sekolah,
gayung bersambut pihak desa juga akan memaving halaman kantor
yang kebetulan berhimpitan dengan halaman sekolah kami.

Kegiatan tahap kedua terlihat adanya kegiatan penyusunan RKS


dan RKAS yang berdasarkan IPM, analisis gap SPM dan EDS. Kegiatan
bersama penyusunan RKS dan RKAS antara pihak sekolah dan komite
sekolah beserta paguyuban kelas dilakukan hanya 1 hari. Namun semua telah
dipersiapkan jauh hari, yaitu formulir isian daftar panjang dan daftar pendek
program dan kegiatan. Daftar capaian kinerja tahun lalu telah disiapkan,
sehingga tinggal memasukkan program dan kegiatan yang berasal dari ketiga
dokumen tersebut ditambah program dan kegiatan yang belum tercapai 100
% pada tahun sebelumnya.
Seluruh dokumen perencanaan dan penganggaran sekolah yang
telah disahkan menjadi dokumen publik, sehingga pihak sekolah perlu
menyediakan petugas pelayanan untuk memberikan informasi terkait dengan
dokumen perencanaan dan penganggaran secara lengkap, karena apabila
dipublikasikan di papan informasi tidak cukup tempatnya. Sehubungan
dengan hal tersebut berdasarkan hasil survei ke-29 sekolah terlihat hanya 14
sekolah (48,27 %) menyediakan pelayanan informasi sekolah, dan banyak
sekolah belum menyediakan petugas pelayanan informasi sekolah. Hal ini
menunjukkan bahwa secara realitas masih kurang ada perhatian dari Dinas
Pendidikan atas petugas pelayanan ini, karena Dinas Pendidikan yang
berwenang untuk merekrut tenaga tersebut.
Petugas pelayanan sebagaimana yang diuraikan di atas, penulis
mengkonfirmasi kepada RKM, selaku kepala SDN Tisnonegaran 1, sebagai
berikut:
Petugas pelayanan sekolah di sekolah saya dengan cara ditunjuk
dari salah satu guru, sehingga pada saat guru tersebut mengajar,
biasanya ditangani sementara oleh tenaga kependidikan yang ada.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 141


Petugas khusus untuk pelayanan informasi memang belum ada dan
seringkali hal ini saya sampaikan ke Dinas Pendidikan pentingnya
petugas pelayanan informasi sekolah. Petugas pelayanan informasi
sekolah bertugas untuk memberikan informasi kepada masyarakat
terkait dengan seluruh kegiatan sekolah maupun laporan keuangan
yang mungkin tidak paham yang mana laporan keuangan tersebut
telah ditempel di papan informasi.

Kemudian penulis melakukan wawancara dengan kepala sekolah


lain untuk konfirmasi tentang petugas pelayanan informasi yaitu, MSK kepala
SDN Sukabumi 6, sebagai berikut:
Sehubungan dengan petugas pelayanan informasi sekolah saya
tidak menyediakan tenaga khusus dan tempat meja dan kursi saya
letakkan di ruang tamu agar mudah menemui. Tugas pokok dari
pelayanan informasi adalah memberikan penjelasan yang terkait
dengan dokumen kegiatan atau yang terkait dengan penggunaan
dana, baik dari dana BOS maupun dana partisipasi masyarakat
secara sukarela. Sedangkan petugasnya saya tunjuk dari salah satu
guru, hanya saja dia bertugas saat istirahat tidak mengajar. Apabila
pada saat petugas sedang mengajar dan saya selaku kepala
sekolah berada di sekolah, maka biasanya saya temui sendiri.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat simpulkan bahwa


sekolah telah menyediakan petugas pelayanan informasi yang ditunjuk dari
salah satu guru dan tugasnya adalah memberikan informasi yang terkait
dengan pelaksanaan program kegiatan dan pertanggungjawaban keuangan.
Berdasarkan pengamatan di sekolah memang disediakan meja kursi untuk
petugas pelayanan informasi, tetapi tidak pernah diduduki oleh petugas
tersebut.
Sekolah mempunyai tanggung jawab dan etika untuk menerapkan
prinsip akuntabilitas dan transparansi, sehingga hasil perencanaan dan
penganggaran sekolah perlu dipublikasikan baik dengan memanfaatkan
petugas pelayanan informasi maupun papan informasi. Papan informasi
diperlukan untuk menempelkan KRS dan RKAS sebagai hasil dari kegiatan
tahap kedua, pertanggungjawaban penggunaan dana BOS dan dana
partisipatif lain dari hibah instansi lain dan/atau dana partisipatif masyarakat.

142 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Penerapan prinsip etika, transparansi dan akuntabilitas seluruh
sekolah yang dilakukan oleh penyedia pelayanan dengan menyampaikan
informasi pendidikan, maka diperlukan fasilitas umum dalam bentuk papan
informasi yang representatif dan terjangkau oleh pengguna pelayanan yaitu
siswa dan orang tua siswa serta pihak-pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan survei ke-29 sekolah, SDN Kebonsari Wetan 1, menggunakan
sebuah papan tripleks dan diletakan atau disandarkan ke dinding sekolah,
dan yang tidak papan informasi adalah SDN Kareng Lor 2.

Dari ke-29 sekolah sebagai lokasi penulisan, yang mempublikasikan


perencanaan dan penganggaran sekolah ada sekitar 5 sekolah (17,24 %)
yang tidak mempublikasikan dokumen perencanaan (RKS) dan
penganggaran sekolah (RKAS). Mereka beberapa alasan yang dikemukakan
oleh beberapa sekolah, seperti yang terjadi di MTs bahwa alasan yang
dikemukakan karena ada pihak lain yang menyalahgunakan untuk tujuan yang
menyimpang dari program dan kegiatan sekolah, sehingga dengan alasan
tersebut sengaja tidak dipublikasikan.
Contoh sampul dokumen RKAS yang disediakan oleh sekolah di meja
petugas pelayanan informasi dapat dilihat pada gambar 15 di bawah ini.

Gambar 15. Dokumen RKAS SDN Tisnonegaran 1


Kota Probolinggo

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 143


c) Tahap ketiga: pemenuhan janji perbaikan pelayanan dan rekomendasi
teknis
Tahap ketiga pelaksanaan program MBS-BPP adalah pemenuhan
janji yang termuat di dalam dokumen Janji Perbaikan Pelayanan (JPP) dan
Rekomendasi Teknis (RT) untuk pengaduan yang tidak mungkin dipenuhi
oleh sekolah karena membutuhkan biaya yang relatif besar dan bukan
kewenangan sekolah. Dalam pemenuhan janji perbaikan pelayanan harus ada
jaminan tepat waktu dan terukur, sehingga diperlukan Standard Operation
Procedure atau disingkat SOP. Dalam penyusunan SOP melibatkan banyak
pihak dan sangat beragam di setiap sekolah-sekolah, sehingga penyusunan
SOP merupakan hasil kesepakatan bersama antara pengguna pelayanan dan
penyedia pelayanan.
Dalam rangka untuk menjamin penyediaan pelayanan kepada
masyarakat yang pasti dan terukur, maka pihak sekolah berkewajiban untuk
menyusun SOP. Contoh judul SOP seperti yang tercantum pada tabel 9 di
bawah ini.
Tabel 9. Daftar SOP SDN Tisnonegaran 1
No. SOP
1 Surat Masuk
2 Surat Keluar
3 Mutasi Masuk Peserta Didik
4 Rencana Kerja Jangka Menengah (RKJM)
5 Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS)
6 Penerimaan Peserta Didik Baru (P2DB)
7 Kegiatan Belajar dan Mengajar (KBM)
8 Ekstrakurikuler
9 Kegiatan Keagamaan
10 Perpustakaan
11 Jumat Bersih
12 Lingkungan Hidup
13 Ujian Sekolah
14 Ujian Semester
15 Usaha Kesehatan Sekolah
16 Kelulusan
Sumber: Data Lapangan, 2015

144 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Dalam penyusunan SOP ini semua guru dan karyawan dilibatkan
secara penuh, karena sudah merupakan komitmen dari sekolah untuk lebih
meningkatkan pelayanan melalui melalui pelayanan yang terukur, sehingga
ada kepastian berapa waktu yang disediakan untuk melakukan kegiatan
pelayanan. SOP secara periodik disempurnakan, karena disesuaikan dengan
beberapa masukan dalam bentuk pengaduan dan juga karena adanya
perubahan peraturan.
Sekolah yang melaksanakan program MBS-BPP diwajibkan untuk
menyusun SOP, SPP dan Kode Etik, sebagai mengatur tata cara atau urutan
pekerjaan dan tata pergaulan yang mengatur warga sekolah atau untuk
mengatur tata krama yang berisi hak dan kewajiban antara pengguna layanan
dan penyedia layanan.
Berdasarkan hasil survei bahwa SDN Tisnonegaran 1 telah memiliki
SOP, SPP dan kode etik relatif terlengkap dan SDN Pakistaji 1 memiliki relatif
paling sedikit jumlah SOP, SPP dan kode etik. Dengan adanya SOP, SPP
dan kode etik sekolah dapat diukur kinerja organisasi dan kepatuhan
terhadap nilai dan norma yang berlaku di lingkungan sekolah. Namun dalam
realitas, sebagian besar tidak dipasang dengan model baner, padahal
dengan model baner tersebut, dapat dilihat oleh baik penyedia pelayanan
maupun pengguna pelayanan setiap saat. Dengan dipasang dalam bentuk
baner, maka setiap warga sekolah dapat memahami perilaku apa yang wajib
dilakukan di dalam lingkungan sekolah. Menurut pengamatan bahwa SOP,
SPP dan kode etik tersebut dipasang di tembok yang sering dilewati oleh
warga sekolah, termasuk orang tua siswa.
Selanjutnya yang terkait dengan pemenuhan JPP, maka penulis
mewancarai kepala SDN Tisnonegaran 1, RKM yang menyatakan sebagai
berikut:
Memang saya melihat guru di sekolah saya masih kurang perhatian
atau kurang dekat dengan para siswa. Hal ini sesuai dengan janji
perbaikan pelayanan nomor 1, yaitu ”guru hendaknya lebih
perhatian dan dekat dengan siswa.” Sekitar 4 hari yang lalu,
tepatnya hari Jum’at seluruh guru saya kumpulkan untuk saya beri
pengarahan agar lebih memperhatikan siswa, baik dengan
komunikasi pada saat di dalam kelas atau jam istirahat atau pada
saat kegiatan ekstrakurikuler.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 145


Tapi memang guru agak banyak dituntut oleh Kurikulum 13 untuk
mengerjakan tugas-tugas administratif, sehingga kurang perhatian
terhadap siswa. Namun demikian para guru berkomitmen untuk
meluang waktu meskipun tidak lama untuk lebih memperhatikan
para siswa.

Pendapat dari RKM tentang pemenuhan JPP di atas, penulis


konfirmasi kepada NHY, selaku guru pada SDN Tisnonegaran 1 menyatakan
bahwa:
Saya memang merasa agak kurang perhatian kepada siswa, setelah
sekolah ini melaksanakan kurikulum 13, di mana setiap guru wajib
menilai siswa secara kualitatif, dan tugas-tugas lain yang terkait,
sehingga waktu banyak tersita untuk urusan administratif. Namun,
kepala sekolah telah mengumpulkan para guru terkait dengan
pengaduan siswa yang dituangkan dalam JPP tersebut, dengan
mengajak para guru, meskipun sebentar untuk meluangkan waktu
sebentar untuk berkomunikasi dengan para siswa. Ini merupakan
kewajiban saya sebagai guru termasuk teman guru lainnya untuk
memenuhi janji perbaikan pelayanan yang telah dirumuskan
bersama antara pihak sekolah dengan orang tua siswa.

Memperhatikan hasil wawancara di atas, maka dapat maknai bahwa


siswa sebagai pengguna layanan merasakan suasana sekolah yang
cenderung mekanistis sebagai akibat penerapan Kurikulum 13, yang banyak
menyita waktu sehingga terkesan berkurangnya komunikasi antara guru dan
siswa atau antara penyedia layanan dengan pengguna layanan.
Di samping itu, berdasarkan survei dan pengamatan bahwa secara
umum kepala sekolah masih kurang perhatian, terhadap perpustakaan
sekolah, karena koleksi buku dan petugas perpustakaan masih dirangkap
oleh guru kelas, padahal perpustakaan ini pegang peranan penting dalam
transformasi IPTEKS dan pada gilirannya akan dapat mendukung dalam
proses belajar dan mengajar dalam rangka untuk meningkatkan mutu lulusan
peserta didik.
Permasalahan koleksi buku dan petugas perpustakaan, terutama di SD
(bukan SMP), karena untuk SD tidak disediakan tenaga kependidikan,
sehingga sekolah-sekolah mengandalkan tenaga honorer. Berdasarkan
pengamatan sekolah memanfaatkan tenaga guru untuk melayani di

146 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


perpustakaan daripada tenaga honorer, karena tenaga honorer bekerja
membantu kepala sekolah untuk urusan administrasi sekolah.
Berdasarkan survei dan pengamatan ke-29 sekolah lokasi
penulisan, bahwa sebagian besar 96,54 % kondisi peturasan atau toilet layak
dari sisi kesehatan, sehingga lingkungan menjadi sehat dan nyaman. Dengan
demikian sebagian besar pengaduan masyarakat terhadap peturasan atau
toilet yang telah memenuhi standar kesehatan, telah dipenuhi oleh sekolah.
Dalam memenuhi janji perbaikan pelayanan dilakukan dengan rasa
keadilan dan tanggung jawab, tanpa memandang asal keluarga, dan jenis
kelamin. Kepala SDN Sukabumi 1, END telah menunjukkan nilai responsif
atau daya tanggap, sebagaimana yang dituturkan sebagai berikut:
Pengaduan tidak harus melalui kotak pengaduan atau hasil survei
pengaduan, tetapi langsung kepada saya selaku Kepala Sekolah.
Beberapa minggu yang lalu ada beberapa anak mengadu bahwa perlu
dibelikan bola untuk tenis meja. Saya memang mengambil kebijakan jam
istirahat saya perpanjang sampai 30 menit, sehingga para siswa
memanfaatkan waktu tersebut untuk bermain tenis meja, saya langsung
respons dengan membelikan bola tenis tersebut.

Berdasarkan pengamatan sekitar 90% sekolah mengalami kesulitan


untuk bermitra dengan pihak luar sekolah, baik bermitra dengan instansi
pemerintah maupun instansi swasta. Faktor penyebab yang dominan adalah
rendahnya kapasitas atau kurangnya pemberdayaan yang dilakukan oleh
Dinas Pendidikan, sehingga Dinas Pendidikan berkewajiban untuk
meningkatkan kapasitas sekolah untuk menjalin kerjasama dengan instansi
swasta dan menyusun rekomendasi teknis dalam rangka pemenuhan janji
perbaikan pelayanan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala SDK MD, MRS
sebagai berikut:
SDK Mater Dei telah menyusun rekomendasi teknis khususnya
untuk mengatasi banjir ketika musim penghujan. Saya sebenarnya
telah disarankan untuk mengajukan ke Dinas PU. Namun beberapa
hari yang lalu bersama guru dan forum orang tua siswa, -kami tidak
menggunakan nama komite sekolah sebagaimana sekolah negeri
atau swasta yang lain, karena kebijakan yayasan kami- , telah
menyusun surat permohonan bantuan kepada Dinas PU untuk

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 147


mengatasi banjir di sekolah kami. Namun, kami tidak tahu
bagaimana menyampaikannya.

Hal ini berbeda dengan Kepala SDN Tisnonegaran 1, RKM yang


mengemukakan sebagai berikut:
Saya telah biasa membuat surat permintaan bantuan ke pihak lain,
seperti Dinas Lingkungan Hidup untuk bantuan biopori dari Dinas
PU, ketika saya menjadi kepala sekolah Kebonsari Kulon 2, sebelum
saya pindah ke SDN Tisnonegaran 1 ini. Saya baru saja
mendapatkan bantuan gazebo dari Kutai Timber Indonesia, atas
permohonan satu bulan yang lalu. Sekarang saya letakkan di depan
kanan halaman sekolah dan sekarang bisa dimanfaatkan siswa-
siswa untuk istirahat atau ketika menunggu jemputan.

Memperhatikan hasil wawancara di atas mengandung arti bahwa


SDK MD masih belum memiliki kapasitas untuk membuka jaringan dan
pengetahuan (kognitif) untuk membuat dan menyampaikan proposal dalam
rangka memenuhi pengaduan oleh siswa. Sebaliknya, Kepala Sekolah SDN
Tisnonegeran 1, mempunyai inovasi, kreativitas, dan kapasitas untuk
membuat proposal dan untuk membuka jaringan dan berhubungan dengan
pihak luar, sehingga kebutuhan sekolah atas pengaduan dari siswa segera
terpenuhi. Hal ini perlu diinformasikan bahwa Kepala Sekolah ini memiliki
hubungan informal dengan orang-orang kunci yang berada di instansi.

Gambar 16. Gazebo Partisipasi PT Kutai Timber Indonesia

148 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Gazebo sebagaimana pada gambar 16 di atas, merupakan
partisipasi PT Kutai Timber Indonesia kepada SDN Tisnonegaran 1, di mana
kepala sekolah, RKM telah berupaya menjalin jaringan dengan perusahaan
tersebut. Berdasarkan pengamatan penulis, gazebo tersebut sering
digunakan siswa untuk segala aktivitas, misalnya untuk istirahat jam pelajaran,
orang tua siswa yang sedang menunggu siswa dan aktivitas siswa lainnya.
Berdasarkan data lapangan dari ke-29 sekolah sebagai lokasi
penulisan, ternyata ada yang membuat kontrak kinerja pelayanan dengan
Pengambil Kebijakan dalam hal ini Dinas Pendidikan Kota Probolinggo.
Adapun yang membuat kontrak kinerja sebanyak 19 sekolah atau sebesar
65,51 % dari jumlah total sekolah.
Berdasarkan pengakuan RKM sebagai Kepala SDN Tisnonegaran
1 sebagai berikut:
Dulu awal-awal tahun 2012 ada sebanyak 20 sekolah yang
diwajibkan membuat kontrak kinerja dengan Dinas Pendidikan Kota
Probolinggo. Sedangkan mulai tahun 2013 sampai sekarang tidak
lagi diwajibkan untuk membuat kontrak kinerja lagi. Sebenarnya
menurut saya setiap sekolah wajib membuat kontrak kinerja, karena
MBS-BPP merupakan salah satu dan penting sebagai indikator
SPM. Apalagi sekarang mulai tahun 2013 semua sekolah yang
termasuk pendidikan dasar di Kota Probolinggo diwajibkan
menerapkan MBS-BPP.

Sehubungan dengan kontrak kinerja dengan Dinas Pendidikan, dan


hal ini terjadi sebaliknya bahwa SMPN 9 Kota Probolinggo tidak membuat
kontrak kinerja dengan Dinas Pendidikan, berikut hasil wawancara dengan
SBD selaku kepala sekolah SMPN 9 sebagai berikut:
SMPN 9 ini termasuk sekolah replikasi program MBS-BPP,
sehingga sekolah kami tidak diwajibkan untuk membuat kontrak
kinerja dengan Dinas Pendidikan. Namun demikian, tahun depan
sekolah kami akan memberanikan diri membuat kontrak kinerja
dengan dinas dalam rangka memenuhi janji perbaikan pelayanan
dan sekaligus memperbaiki pelayanan pendidikan bagi orang tua
siswa dan para siswa itu sendiri. Dengan membuat kontrak kinerja
dengan dinas, sekolah kami merasa tertantang atau termotivasi
untuk selalu berinovasi dalam pelayanan pendidikan.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 149


Mencermati kedua hasil wawancara tersebut di atas, maka dapat
dimaknai bahwa kontrak kinerja bermaksud untuk mengikat sekolah-sekolah
memiliki komitmen untuk melaksanaan program MBS-BPP, karena
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh sekolah-sekolah. Namun
demikian, lebih jauh lagi dan penting adalah bahwa dengan sekolah membuat
kontrak kinerja dengan Dinas Pendidikan, maka sekolah tersebut akan
terdorong untuk membuat inovasi pelayanan pendidikan.
Berdasarkan survei terhadap ke-29 sekolah lokasi penulisan ada 10
sekolah yang tidak membuat kontrak kinerja dengan Dinas Pendidikan. Hal
ini membuktikan bahwa setiap sekolah memiliki kekuatan, kelemahan, dan
menghadapi tantangan dan peluang yang berbeda sekolah satu dan sekolah
yang lainnya dalam pencapaian kinerja.
Berdasarkan hasil survei pemenuhan janji untuk publikasi prestasi
sekolah dari ke-29 sekolah lokasi penulisan terdapat 65,52 % yang telah
dengan baik mempublikasikan prestasi sekolah dan 34,48 % cukup baik.
Publikasi prestasi ini penting untuk memberikan motivasi kepada peserta
didik yang lain agar siswa mempunyai kebanggaan dengan prestasi sekolah
dan dapat memotivasi siswa untuk juga berprestasi .
Kemudian yang terkait dengan pemenuhan janji pelayanan untuk
publikasi wali kelas, berdasarkan survei dan pengamatan ke-29 sekolah
lokasi penulisan, terlihat ada 20 sekolah (68,96 %) yang telah ada publikasi
Wali Kelas. Adapun tujuan publikasi Wali Kelas adalah agar siswa dan orang
tua siswa dapat berkomunikasi dengan Wali Kelas, untuk antisipasi apabila
ada keterlambatan jam pulang sekolah, karena kebijakan sekolah, sehingga
orang tua siswa dapat menghubungi Wali Kelas tersebut melalui telepon.
Sedangkan untuk pemenuhan janji publikasi prestasi siswa
mingguan, berdasarkan survei dan pengamatan dari ke-29 sekolah lokasi
survei, yang mempublikasikan siswa berprestasi mingguan sebesar 58,62
%. Sekolah yang belum mempublikasikan prestasi siswa mingguan adalah
sebesar 41,38 %. Manfaat dari publikasi mingguan prestasi siswa ini adalah
untuk memberikan motivasi siswa berlomba memperoleh nilai yang baik
setiap ada ulangan mingguan.
Adapun contoh publikasi prestasi siswa mingguan dapat dilihat
pada gambar 17 di bawah ini dari SDN Sukabumi 6 Kota Probolinggo.

150 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Gambar 17. Publikasi Prestasi Siswa Mingguan
SDN Sukabumi 6 Kota Probolinggo

Sehubungan dengan publikasi prestasi siswa mingguan ini penulis


mewawancarai DW, salah satu guru SDN Sukabumi 6 yang menyatakan:
Saya setiap minggu atau dua minggu sekali melakukan ulangan
dengan mengambil waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit,
agar para siswa terpacu untuk setiap hari belajar di rumah, kecuali
hari minggu atau hari libur. Dengan memberikan ulangan walaupun
sebentar, hal ini telah menjadi budaya bagi para siswa yang selalu
siap untuk menghadapi pelajaran, karena terus berkesinambungan
pemahaman terhadap mata pelajaran. Oleh karena itu setiap hari
pertama atau senin saya memberi tanda bintang di papan publikasi
prestasi siswa mingguan yang diletakkan di samping pintu kelas,
bagi yang mendapat nilai ulangan 100.

Memperhatikan hasil wawancara di atas, menunjukkan adanya


perhatian guru terhadap prestasi siswa dengan jalan mempublikasikan
prestasi mereka, sehingga siswa yang nilai ulangan kurang baik, akan
termotivasi untuk belajar lebih giat lagi atau semacam ada kompetisi yang
sehat dan fair di antara para siswa.
Sedangkan untuk memenuhi janji perbaikan pelayanan untuk
publikasi kalender akademik, berdasarkan survei dan pengamatan dari ke-
29, terlihat semua telah melaksanakan publikasi kalender akademik, namun
perbedaannya hanyalah pada penampilan, ada yang dicetak, dan ada dalam
bentuk baner (lihat gambar 18 di bawah). Tujuan dari publikasi kalender

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 151


akademik ini untuk mempersiapkan lebih baik agar seluruh siswa dapat
mengatur agenda setiap harinya, terutama untuk persiapan menghadapi
ujian-ujian.

Gambar 18. Publikasi Kalender Akademik


SDN Tisnonegaran 1 Kota Probolinggo
Dengan adanya kalender akademik seperti gambar 18 di atas, maka
setiap warga sekolah, baik kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan
terutama orang tua siswa akan merencanakan pendampingan terhadap
anaknya dan para siswa juga dapat merencanakan kegiatan pembelajaran,
sehingga dapat berdampak pada prestasi siswa.
Sehubungan dengan pemenuhan janji pelayanan untuk publikasi
kalender akademik, maka penulis melakukan wawancara dengan ADR selaku
orang tua siswa SDN Tisnonegaran 1 dan mengatakan:
Saya selaku orang tua di mana anak saya sekarang belajar di SD
Tisnonegaran 1 ini mendapat informasi yang pasti sebagaimana
yang tercantum pada kalender akademik, sehingga saya dapat
mengantisipasi khususnya dalam mengawasi anak saya agar belajar
lebih giat lagi ketika menjelang ujian sekolah. Dengan kalender
akademik dipasang di tembok dalam bentuk baner yang relatif
besar, maka setiap warga sekolah akan selalu dapat melihat dan
selalu ingat kapan masuk sekolah, libur sekolah dan kegiatan ujian-
ujian sekolah.

152 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Pemenuhan janji pelayanan akan publikasi penggunaan dana BOS,
maka berdasarkan survei dan pengamatan pada ke-29 sekolah lokasi
penulisan bahwa sebagian besar (89,65 %) sekolah telah mempublikasikan
penggunaan dana BOS, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh RKM,
kepala SDN Tisnonegaran 1:
Seluruh penggunaan dan pertanggungjawabandana BOS telah
diketahui oleh komite sekolah termasuk paguyuban kelas. Sekolah
kami telah menyediakan papan informasi yang dipasang di tempat
strategis yaitu mudah dijangkau dan mudah dilihat oleh orang.
Papan informasi kami lindungi dengan kaca, agar tidak mudah lepas
atau diambil orang yang tidak bertanggungjawab.

Dalam hal publikasi penggunaan dan pertanggungjawaban dana


BOS ini, penulis melakukan konfirmasi kepada END, kepala SDN Sukabumi
1. END mengatakan:
Publikasi penggunaan dan pertanggungjawaban dana BOS saya
tempelkan di papan informasi di dekat pagar halaman sekolah,
sehingga setiap orang dapat melihat setiap saat tanpa menunggu
pagar sekolah dibuka. Dengan demikian prinsip transparansi kita
penuhi untuk memperoleh kepercayaan masyarakat terhadap
program kerja sekolah ini, baik yang didanai oleh BOS maupun dari
partisipasi masyarakat.

Papan informasi yang standar adalah dilindungi oleh kaca seperti


pada gambar 19 di bawah ini, yang ada di SDN Tisnonegaran 1.

Gambar 19. Papan Informasi SDN Tisnonegaran 1

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 153


Pada gambar 19 di atas, menunjukkan papan informasi SDN
Tisnonegaran 1 yang terbuat dari papan dan dilindungi dengan kaca, dan
ditempelkan di tembok sebelah samping ruang kepala sekolah yang
kebetulan di tepi jalan utama yang sering dilewati oleh para siswa, guru, dan
orang tua siswa. Pengumuman penggunaan dana BOS yang dilakukan oleh
sekolah SDN Tisnonegaran 1 tersebut ditandatangani oleh Kepala Sekolah
dan Ketua Komite Sekolah, serta dapat dibaca oleh masyarakat sebagai bukti
adanya usaha sekolah untuk penerapan prinsip-prinsip transparansi dan
akuntabilitas dalam penggunaan dana.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara di atas, dapat
dimaknai bahwa dalam rangka penerapan transparansi dan akuntabilitas
penggunaan dana yang berasal dari dana BOS dan partisipasi masyarakat,
secara etika sekolah perlu mengumumkan dalam papan informasi yang
mudah terjangkau atau dilihat oleh masyarakat.
Sehubungan dengan pemenuhan janji perbaikan pelayanan
terhadap pengaduan tentang penyediaan tempat sampah yang terpilah, maka
penulis melakukan wawancara dengan RKM, selaku kepala SDN
Tisnonegaran 1 yang menyatakan:
Pemenuhan janji perbaikan pelayanan untuk bank sampah kami
bekerjasama dengan para orang tua siswa dalam pembiayaannya,
namun pihak sekolah lebih banyak dana jika dibandingkan dari
partisipasi orang tua siswa. Hal ini merupakan bentuk kerjasama
antara pihak sekolah dengan orang tua siswa, termasuk dari salah
satu orang tua siswa menghubungkan pembeli sampah plastik dan
hasil dari penjualan sampah plastik tersebut dijadikan dana komite
sekolah dan paguyuban.

Gambar 20. Bank Sampah SDN Tisnonegaran 1

154 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh penulis di SDN
Kanigaran 5, sampah yang organik (non plastik) diproses menjadi kompos
untuk pupuk tanaman yang dikelola oleh paguyuban kelas. Pada gambar 21
di bawah ini contoh sarana pembuatan kompos dari sampah organik.
Sedangkan untuk sampah plastik dikumpulkan di salah sudut sekolah di mana
setiap bulan dijual ke pengepul untuk diuangkan dan dipergunakan untuk
dana tambahan terhadap kegiatan sekolah. Di SDN Kanigaran 5 untuk
menjamin sekolah tetap dalam keadaan bersih, telah dibentuk ”polisi hijau”
yang anggotanya direkrut dari para siswa dan menggunakan seragam
berwarna hijau.

Gambar 21. Bak Sampah untuk Proses Kompos


di SDN Kanigaran 5

Menurut pengamatan dan hasil wawancara bahwa bank sampah ini


merupakan perwujudan partisipasi masyarakat pada kegiatan sekolah untuk
pemenuhan janji pelayanan pengadaan fasiltas umum sekolah untuk
menampung sampah. Di samping itu, sampah yang organik (non plastik)
dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuatan kompos sebagai pupuk
tanaman di sekolah yang dikelola oleh paguyuban kelas.
Kegiatan lain terkait dengan pemenuhan janji pelayanan akan
lingkungan sekolah yang indah dan nyaman, penulis melakukan wawancara
dengan ARL, kepala SDN Kanigaran 5 yang menyatakan:
Pihak sekolah telah kerjasama dengan paguyuban sekolah untuk
memenuhi janji perbaikan pelayanan khususnya untuk menciptakan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 155


lingkungan sekolah yang indah dan nyaman. Saya selaku kepala
sekolah dan dibantu oleh tenaga kependidikan mengumpulkan
orang tua siswa yang bergabung dalam paguyuban kelas untuk
diajak rapat untuk membahas tentang lingkungan sekolah yang
indah dan nyaman. Hasilnya disepakati untuk dana berasal dari
paguyuban kelas dan juga ditetapkan piket untuk anggota
paguyuban kelas.

Contoh jadwal piket anggota paguyuban kelas dapat dilihat pada


gambar 22 di bawah ini.

Gambar 22. Jadwal Piket Kavling Paguyuban Kelas VI


di SDN Kanigaran 5 Kota Probolinggo

156 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Gambar 23. Kegiatan Paguyuban Kelas untuk Lingkungan Sekolah yang
Indah di SDN Kanigaran 5 Kota Probolinggo

Gambar 24. Kegiatan Paguyuban Kelas untuk Lingkungan Sekolah yang


Nyaman di SDN Kanigaran 5 Kota Probolinggo

Sehubungan dengan kegiatan paguyuban yang membantu sekolah,


penulis melakukan wawancara dengan PWS, selaku anggota paguyuban
kelas 4 SDN Kanigaran 5 yang mengatakan:

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 157


Saya merasa senang dapat membantu SDN Kanigaran 5 ini dan
kebetulan anak saya sekarang duduk di kelas 4 dan 1. Jadi anak
saya keduanya sekolah di SD Kanigaran 5. Kegiatan orang tua
siswa di sekolah ini cenderung bebas tapi produktif. Misalnya,
setiap selesai jam pelajaran atau sebelum waktunya pulang ada
beberapa orang tua siswa menyapu kelas masing-masing dan
kavling taman di halaman sekolah. Sebenarnya anggota paguyuban
kelas ini oleh kepala sekolah diperbolehkan untuk sore hari datang
ke sekolah untuk merawat kavling per kelas di halamana sekolah.
Saya dan orang tua siswa yang lain dan tergabung dalam
paguyuban kelas selalu mendukung apa yang sekolah butuhkan
untuk membantu sekolah memenuhi janji perbaikan pelayanan,
sebatas kemampuan tenaga, dana, dan waktu.

Pernyataan PWS di atas mengandung maksud bahwa orang tua


siswa sangat mendukung apa yang menjadi kebutuhan sekolah untuk
memenuhi janji perbaikan pelayanan lingkungan yang indah dan nyaman,
karena semua akan kembali ke anaknya juga dalam bentuk pelayanan yang
baik kepada anaknya tersebut.
Sehubungan dengan pernyataan PWS tersebut di atas, penulis
konfirmasi kepada TN, selaku tenaga kependidikan SDN Kanigaran 5:
Saya bersama kepala sekolah memberi fasilitasi kepada para orang
tua siswa yang tergabung dalam paguyuban kelas untuk
mengadakan rapat paguyuban kelas. Hasil dari rapat tersebut
menjadi kesepakatan untuk menyusun piket membersihkan kavling
per kelas. Para anggota paguyuban membuat perencanaan dan
pelaksanaan sendiri, dan kepala sekolah hanya diberitahu saja,
sehingga seluruh pertanggungjawaban penggunaan dana
partisipasi orang tua siswa murni dikelola oleh para orang tua siswa
atau paguyuban kelas.

Dalam memenuhi janji perbaikan pelayanan dilakukan secara


responsif, kreatif dan inovatif. Kepala SDN Sukabumi 1, END telah
menunjukkan nilai responsif atau daya tanggap, sebagaimana yang dituturkan
sebagai berikut:
Pengaduan tidak harus melalui kotak pengaduan atau hasil survei
pengaduan, tetapi langsung kepada saya selaku Kepala Sekolah.
Beberapa minggu yang lalu ada beberapa anak mengadu bahwa perlu

158 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


dibelikan bola untuk tenis meja. Saya memang mengambil kebijakan jam
istirahat saya perpanjang sampai 30 menit, sehingga para siswa
memanfaatkan waktu tersebut untuk bermain tenis meja, saya langsung
respons dengan membelikan bola tenis tersebut.

Memperhatikan hasil wawancara di atas, dapat dimaknai bahwa


kebutuhan pelayanan pendidikan dapat didukung dana, waktu, dan tenaga,
oleh anggota paguyuban kelas, asalkan diberi kebebasan untuk mengelola
sendiri keuangan mereka.

d) Tahap keempat: monitoring dan evaluasi pemenuhan janji perbaikan


pelayanan
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi ini dilakukan Forum Peduli
Pelayanan Publik (FP3) dengan menggunakan instrumen baku untuk
melakukan monitoring terhadap pemenuhan janji perbaikan pelayanan yang
dilakukan oleh beberapa sekolah sebagai sasaran monitoring. Kegiatan
monitoring selama 2 hari dan dilanjutkan lokakarya sehari dengan
mengundang stakeholders untuk mengevaluasi hasil monitoring dan
merumuskan sebuah rekomendasi yang disampaikan kepada Dinas
Pendidikan Kota Probolinggo dan sekolah sasaran.
FP3 ini merupakan transformasi dari Multi Stakeholders Forum yang
dibentuk oleh program KINERJA-USAID yang salah satu fungsinya adalah
melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pemenuhan janji perbaikan
pelayanan yang dilakukan oleh sekolah-sekolah. FP3 dalam melakukan
monitoring menggunakan sebuah instrumen seperti pada tabel 10 di bawah
ini.
Tabel 10. Instrumen Monitoring Janji Perbaikan Pelayanan
Kabupaten/Kota

Unit Pelayanan
Nama Pemantau
Tanggal Pengisian
Formulir

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 159


Kegiat-an Tindak Lanjut
Yang Yang Diperlu-
No Pernyata- Janji Status Realisasi
Sudah kan
an Perbaik-an Janji Pelayanan
Dilaku-kan
Pengadu- Pelayan-an
an
Sudah Belum

1 2 3 4 5 6 7

Memperhatikan tabel 10 perlu penjelasan singkat terkait dengan


maksud penggunaan instrumen tersebut secara berturut-turut dari atas ke
bawah, yaitu:
1) Diisi nama kabupaten/kota
2) Diisi nama sekolah yang dimonitor
3) Diisi nama petugas pemantau
4) Diisi tanggal pengisian formulir
5) Diisi nomor urut
6) Diisi seluruh pernyataan pengaduan sesuai dengan janji perbaikan
pelayanan yang telah dipublikasikan.
7) Diisi dengan janji perbaikan pelayanan yang telah dipublikasikan.
8) Diisi status realisasi janji pelayanan, dipilih kolom sudah atau belum
sesuaikan dengan kenyataan.
9) Diisi kegiatan yang sudah dilakukan terkait dengan pemenuhan janji
perbaikan pelayanan.
10) Diisi tindak lanjut yang diperlukan, agar janji perbaikan dapat dipenuhi.

160 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Instrumen monitoring yang tersebut di atas dibawa oleh petugas
monitoring dan diisi sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, agar dapat
diantisipasi tindakan apa yang harus dilakukan untuk menjamin pemenuhan
janji.
Kegiatan monitoring dan evaluasi atau monev adalah kegiatan yang
dilakukan oleh pihak di luar sekolah, untuk menjamin apakah janji perbaikan
pelayanan, maka penulis melakukan wawancara kepada DVD selaku Ketua
Forum Peduli Pelayanan Publik (FP3) Kota Probolinggo yang demikian
pernyataannya:
Kami sebagai Ketua Forum Peduli Pelayanan Publik di Kota
Probolinggo berinisiatif, dengan bekerjasama pihak sekolah telah
melakukan monitoring dan evaluasi pemenuhan janji perbaikan
perbaikan pelayanan. Kami bersama beberapa teman berbagi
menjadi beberapa kelompok telah melakukan monitoring dan
evaluasi ke beberapa sekolah baik yang berada di tengah kota
maupun di pinggir kota, untuk mengetahui sejauhmana penyedia
pelayanan memenuhi janjinya sebagaimana yang dipublikasikan
tentang “Janji Perbaikan Pelayanan.”
Hasil turun ke lapangan telah kami lokakaryakan dengan
mengundang para stakeholders dan hasilnya kami sampaikan
kepada stakeholders dalam bidang pendidikan di Kota Probolinggo.
Pada saat itu, jurnalis warga juga dilibatkan dengan tujuan hasil
monitoring dapat diupload ke media sosial, agar dapat terjangkau
dan dilihat secara luas, terutama dapat dilihat oleh stakeholders
bidang pendidikan.
Kami juga menyampaikan hasil monev dan rekomendasi perbaikan
pelayanan yang belum terpenuhi dan pentingnya survei pengaduan
sebagai mekanisme rutin SKPD, supaya juga diawasi oleh DPRD.
Di samping itu, kami rekomendasikan bahwa concept paper
mengenai optimalisasi peran komite sekolah & konsep paper survei
pengaduan menjadi sebuah mekanisme rutin bagi SKPD.

Jurnalis warga dalam tahap monitoring dan evaluasi ini membantu


FP3 dan oleh karena itu penulis melakukan wawancara dengan SM, selaku
jurnalis warga yang mengatakan:
Saya selaku jurnalis warga berpartisipasi dalam monitoring
pemenuhan janji perbaikan pelayanan di sekolah-sekolah. Informasi

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 161


yang terkait dengan kegiatan monitoring saya upload ke media
sosial, karena berita seperti kegiatan monitoring ini maksud nya
adalah monitoring pemenuhan janji perbaikan pelayanan tidak
menarik bagi media mainstream seperti koran dan televisi. Oleh
karena itu saya sebagai jurnalis warga berkewajiban untuk
sampaikan berita atau informasi praktik baik seperti kegiatan
monitoring melalui media massa kepada stakeholders atau
masyarakat luas.

Mencermati hasil wawancara di atas dan berdasarkan pengamatan,


maka dapat dinyatakan bahwa Forum Peduli Pelayanan Publik telah
melakukan dengan sukarela untuk melakukan monitoring ke sekolah-sekolah
tentang pemenuhan janji perbaikan pelayanan. Hasil monitoring tersebut
dianalisis dan dilokakaryakan dengan mengundang stakeholders bidang
pendidikan, termasuk penyedia layanan dan pengguna layanan. Hasil
lokakarya telah disampaikan ke Dinas Pendidikan dan penyedia layanan serta
membuat concept paper ke DPRD sebagai lembaga pengawas jalannya
pemerintah daerah.
Selanjutnya, di bawah ini pernyataan anggota Dewan Pendidikan,
JK terkait dengan monitoring dan evaluasi pemenuhan janji perbaikan
pelayanan yang dilakukan oleh FP3, sebagai berikut:
Dewan Pendidikan sebagaimana telah kami lakukan sebagai
kegiatan rutin setiap bulan sekali untuk melakukan monitoring dan
evaluasi serta sekaligus memberikan masukan secara langsung
kepada Walikota Probolinggo dan Dinas Pendidikan. Kami tidak
menggunakan instrumen khusus, tetapi kami memonitor langsung
ke lapangan dan memberikan saran pendapat ke sekolah sebagai
penyedia pelayanan.

Memperhatikan hasil wawancara di atas, bahwa Dewan Pendidikan


juga berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap janji perbaikan
pelayanan oleh sekolah-sekolah. Kemudian hasil pengawasan yang dilakukan
oleh Dewan Pendidikan dilaporkan ke Walikota, Dinas Pendidikan, dan
sekolah-sekolah.
Sehubungan dengan kegiatan monev, salah satu Pengawas
Sekolah yaitu KSD telah menyatakan sebagai berikut:

162 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Saya melakukan monitoring dan sekaligus supervisi, sehingga
ketika saya mendapatkan sekolah di bawah binaan saya, ada
sesuatu yang kurang pas dalam pemenuhan janji perbaikan
pelayanan, saya langsung memberikan masukan, sehingga tidak
berlarut-larut. Saya melakukan monitoring dan supervisi tidak
menggunakan instrumen khusus. Hasil dari fungsi seorang
pengawas dilaporkan ke Dinas Pendidikan.

Selanjutnya, masih terkait dengan kegiatan monitoring dan evaluasi


ini MS sebagai salah satu pejabat UPT Kecamatan, mengemukakan sebagai
berikut:
Pada beberapa hari yang lalu saya telah melakukan kegiatan
monitoring ke beberapa sekolah yang menjadi wilayah kerja kami di
Kecamatan Kanigaran. Pada umumnya sekolah masih belum
terbiasa untuk menjalin kerjasama dengan pihak lain, seperti dengan
perusahaan-perusahaan yang berada di Kota Probolinggo. Namun
kemarin sudah saya berikan cara untuk berhubungan dengan
perusahaan maupun mengajukan proposal ke Dinas PU atau ke
Badan Lingkungan Hidup.

Dari beberapa hasil wawancara tersebut di atas, bermakna bahwa


monitoring yang dilakukan baik oleh Pengawas Sekolah maupun UPTD tidak
menggunakan instrumen khusus seperti yang dilakukan oleh Forum Peduli
Pelayanan Publik, sehingga tidak menjadi pegangan bagi sekolah yang
belajar pelaksanaan MBS-BPP. Di samping itu, sekolah tidak diberi pelatihan
khusus cara membuat proposal yang baik.

e) Tahap kelima: reformasi janji perbaikan pelayanan dan rekomendasi


teknis
Setelah dilaksanakan monitoring dan evaluasi atas pemenuhan janji
perbaikan pelayanan, maka penyedia pelayanan melakukan reformasi janji
perbaikan pelayanan dan rekomendasi teknis. Tujuan dari reformasi adalah
agar janji perbaikan pelayanan yang belum terlaksana atau rekomendasi
teknis yang ada perubahan, sehingga dari hasil survei pengaduan
masyarakat ulang dapat dimasukkan ke JPP baru, sehingga pelayanan publik
semakin meningkatkan kualitas akademik para siswa.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 163


Berdasarkan pengamatan pada kegiatan ini juga melibatkan
pengguna pelayanan, agar semua pelayanan menjadi tanggungjawab
bersama antara penyedia layanan dan pengguna layanan. Hal ini
sebagaimana yang dikemukakan oleh kepala SDK Mater Dei, MRS, sebagai
berikut:
Kami terpaksa mereformasi janji perbaikan pelayanan perpustakaan
dari sistem terbuka dirubah manjadi tertutup karena kekurangan
petugas yang semula dikerjakan oleh beberapa orang sekarang
tinggal satu, sehingga dengan sistem tertutup pelayanan
perpustakaan tetap baik. Informasi ini dari hasil monitoring dari
Forkom, bukan Komite Sekolah seperti sekolah lain.

Kondisi pelayanan perpustakaan yang dialami oleh MRS, juga


dialami oleh kepala SDN Sukabumi 1, END dengan menyatakan sebagai
berikut:
Pada saat survei pengaduan kami berjanji akan menyediakan
seorang petugas satpam, namun hasil monitoring komite sekolah,
bahwa ternyata tidak mampu untuk menggaji seorang satpam dan
diputuskan dalam rapat antara sekolah dan komite bahwa kita perlu
memanfaatkan petugas perpustakaan. Ini terpaksa, karena pada
saat pulang sudah tidak ada pelayanan perpustakaan. Jadi kami
hanya pada saat pulang sekolah memerlukan petugas untuk
menyeberangkan anak-anak.

Memperhatikan kedua wawancara di atas, bahwa sekolah terpaksa


mereformasi janji perbaikan pelayanan, karena keterbatasan sumber daya
manusia. Sekolah SDN Sukabumi, END ini sangat responsif terhadap
pengaduan oleh pengguna pelayanan, sehingga memanfaatkan tenaga yang
ada.
Berdasarkan pengamatan terlihat bahwa reformasi janji perbaikan
pelayanan tidak harus melakukan survei ulang, tetapi langsung mendapat
respon dari kepala sekolah ketika ada pengaduan yang masuk. Dengan
demikian pelayanan sekolah untuk merespons pengaduan dari pengguna
pelayanan lebih cepat, efisien, dan efektif.

C. Kendala Internal pada Pelaksanaan Program MBS-BPP

164 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Dalam setiap pelaksanaan program apapun kadangkala
menghadapi suatu kendala, sehingga untuk menyikapi kendala tersebut,
diperlukan sebuah solusi agar pelaksanaan program mengalami kesuksesan.
Demikian pula dalam pelaksanaan program MBS-BPP, ditemui ada beberapa
kendala internal yang dihadapi, sehingga apabila kendala tersebut dibiarkan,
maka akan berdampak pada perbaikan pelayanan pendidikan.
Adapun kendala internal yang dimaksud adalah terdiri dari:
1) rendahnya komitmen guru dan tenaga kependidikan terhadap pelaksanaan
program; 2) kurangnya pemahaman program; 3) kurangnya pemahaman
makna sumbangan; 4) kurangnya kepedulian orang tua siswa terhadap
kebutuhan sekolah; 5) kurangnya pemahaman tentang kegiatan ekstra
kurikuler; dan 6) kurangnya keterbukaan informasi. Kendala internal yang
dimaksud dapat dilihat pada uraian di bawah ini.

1) Rendahnya komitmen guru dan tenaga kependidikan terhadap


pelaksanaan program
Pelaksanaan program MBS-BPP termasuk baru karena
diperkenalkan di Kota Probolinggo mulai tahun 2011. Perhatian penulis
terhadap program MBS-BPP baru mulai akhir Agustus tahun 2013.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Standar Pelayanan Minimal pada Pendidikan Dasar pada pasal 2 ayat (2)
setiap satuan pendidikan dasar wajib menerapkan Manajemen Berbasis
Sekolah (tanpa kata-kata: ”Berorientasi Pelayanan Publik”). Desentralisasi
pendidikan baik secara teori maupun praktik, bahwa pemerintah telah
memberikan kepercayaan penuh atau telah memberikan otonomi ke sekolah
untuk mengelola pelayanan publik pendidikan berbasis sekolah. Namun pada
kenyataannya yang menjadi kendala adalah kapasitas kelembagaan dan
sumber daya manusia sekolah masih perlu ditingkatkan secara signifikan
(lihat Naidoo, 2002: 21-22 dan Alisjahbana, 2000: 10).
Sehubungan dengan kendala komitmen, JK selaku Ketua Komite
Sekolah SMPN 9, menyatakan sebagai berikut:
Komitmen di antara aktor guru dan tenaga kependidikan di sekolah
kami perlu diperkuat, sehingga pelaksanaan program MBS-BPP
akan lebih efektif. Komitmen yang dimaksudkan adalah kerjasama

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 165


antar aktor di internal sekolah untuk bersama-sama mensukseskan
pelaksanaan program MBS-BPP.

Permasalahan komitmen ini juga dirasakan oleh kepala SDN


Tisnonegaran 1, RKM dengan menyatakan sebagai berikut:
Pada awal-awal pelaksanaan program MBS-BPP pada tahun 2011
dan sekarang sudah tiga tahun saya merasakan bahwa para guru
kurang ada motivasi untuk mensukseskan program MBS-BPP.
Memang di SD ini telah berjalan program MBS-BPP, tetapi
sebenarnya masih dapat ditingkatkan lagi. Alasan karena menjadi
guru kelas yang sibuk mengajar, sebenarnya bukan alasan yang
rasional. Saya saja menjadi kepala sekolah juga sibuk, tetapi
karena sudah menjadi tanggung jawab saya untuk melaksanakan
program MBS-BPP ini, saya tetap menjalankan program ini,
meskipun saya kadang-kadang menekan pada guru-guru agar
membantu saya untuk mensukseskan program MBS-BPP.
Kuncinya ada di komitmen para guru dan tentunya komite sekolah
yang menjadi mitra kerja dalam keberhasilan program.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, maka dapat disimpulan


bahwa rendahnya komitmen atau janji untuk tetap mendukung atau
melaksanakan program MBS-BPP disebabkan tidak adanya mekanisme
komunikasi yang jelas antar aktor guru, TU, komite sekolah dan paguyuban
kelas. Di samping itu, aktor kepala sekolah kurang mampu memberikan
motivasi kepada aktor guru, tenaga kependidikan dan komite sekolah beserta
paguyuban kelas.

2) Kurangnya pemahaman program


Berdasarkan pengamatan penulis bahwa tingkat keberhasilan suatu
program baru, seperti program MBS-BPP ini terletak atau tergantung pada
apakah stakeholders atau para aktor yang terlibat pelaksanaan program
tersebut dapat memahami program secara mendalam dan substantif atau
tidak.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Kabid Pendidikan Dasar,
ASN, mengemukakan bahwa:
Dinas Pendidikan telah membekali para fasilitator MBS-BPP
dengan dukungan LPSS, sebanyak 30 fasilitator untuk melatih

166 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


seluruh sekolah dasar di Kota Probolinggo. Namun, menurut
informasi dari pengawas sekolah ternyata ada sekitar 25 % sekolah
yang masih perlu ditingkatkan pemahamanan terhadap program
MBS-BPP, agar sekolah secara benar dapat memperbaiki atau
melakukan inovasi dalam pelayanan pendidikan kepada masyarakat.

Hal ini ditegaskan pula oleh JK baik sebagai komite sekolah SMPN
9 maupun fasilitator MBS-BPP, sebagai berikut:
Saya sebagai fasilitator MBS-BPP telah keliling ke seluruh sekolah
yang menjadi binaan saya. Apa yang saya dapatkan walaupun
sering saya datang ke sekolah-sekolah tersebut, namun masih juga
sekitar 20 % kepala sekolah belum paham benar tentang program
MBS-BPP. Hal ini disebabkan kepala sekolah atau guru disibukan
oleh kegiatan mengajar atau periksa tugas-tugas siswa, sehingga
kurang perhatian pada program ini. Pemahaman program menjadi
kunci untuk keberhasilan pelaksanaan program MBS-BPP.

Memperhatikan kedua hasil wawancara tersebut di atas, dapat


disimpulkan bahwa kendala internal dalam pelaksanaan program MBS-BPP
tergantung pada pendalaman program tersebut oleh para stakeholders
bidang pendidikan dasar. Dengan adanya pemahaman secara mendalam
program antara pihak-pihak yang terlibat, maka seluruh tindakan stakeholders
dapat bersinergi dan terintegrasi.

3) Kurangnya pemahaman makna sumbangan


Pada setiap sekolah, terutama saat penerimaan siswa baru, akan
tersebar isu tentang “sumbangan” yang harus disiapkan oleh orang tua
siswa. Menurut pengamatan penulis bahwa sekolah sebenarnya ingin
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang terbaik. Namun demikian,
karena dalam masyarakat telah tersebar ”isu sumbangan” tersebut, maka
sekolah tidak berani menawarkan program inovasi. Konsekuensinya program
MBS-BPP yang menghendaki peningkatan pelayanan publik dengan
partisipasi masyarakat tidak tersentuh atau diabaikan oleh sekolah-sekolah,
karena dengan alasan sekolah tidak akan berinovasi dalam pelayanan
pendidikan dan kegiatan sekolah hanya dibiayai dengan dana BOS.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 167


Sehubungan dengan kendala internal tersebut di atas, maka penulis
konfirmasikan kepada kepala SDN Sukabumi 1, END yang menyatakan agak
keras sebagai berikut:
Permasalahan sumbangan untuk sekolah biasanya muncul pada
saat penerimaan siswa baru. Orang tua siswa yang tidak datang
sendiri untuk mendaftarkan anaknya ke SD Negeri Sukabumi 1,
dan menurut info dari orang tua siswa yang anaknya kelas 2,
ditanya oleh calon orang tua siswa yang mau daftar di sekolah ini,
menanyakan: ”ke Sukabumi 1 kena berapa?” Ini pertanyaan yang
seringkali kami dengar pada saat penerimaan siswa baru.
Pembiayaan pendidikan ini menurut peraturan ada 3, yaitu biaya
untuk operasional, investasi dan biaya personal. Biaya operasional
kami sudah ada dari dana BOS Pusat, sedangkan biaya investasi
ini mengandalkan dana alokasi khusus yang harus diusulkan ke
Dinas Pendidikan dan selanjutnya diajukan ke Pemda untuk
diteruskan ke Menteri Keuangan Pusat. Kalau BOS pasti dapat
setiap tahun, tetapi kalau DAK tidak tentu dapat.
Biaya personal inilah yang menjadikan permasalahan setiap awal
ajaran baru. Pada mulanya kami tidak mau terima kehendak orang
tua siswa untuk membelikan seragam sekolah dan kaos olah raga
yang khas SDN Sukabumi 1, tetapi karena mereka takut tidak bisa
sama dengan ketentuan pihak sekolah, maka diserahkan ke
sekolah untuk membelikannya. Sedangkan seragam merah putih
dan pramuka memang orang tua siswa membeli sendiri, karena
banyak dijual di toko. Pada umumnya yang menjadi sumber
masalah dari orang tua siswa yang tidak hadir ketika ada
pengarahan dari sekolah kami. Apalagi orang tua siswa sengaja
menyampaikan ke wartawan, jadilah ribut. Kami pernah
menjelaskan ke wartawan yang kebetulan datang ke sekolah kami
dan dia menanyakan soal sumbangan. Kami jelaskan duduk
persoalannya tentang jenis-jenis biaya pendidikan secara
mendalam, akhirnya paham. Oleh karena itu, pihak manapun
apabila tidak paham dunia pendidikan datang saja ke sekolah-
sekolah di manapun, nanti akan ada penjelasan yang kurang lebih
sama dengan penjelasan kami ini. Masih ada jenis sumbangan dari
orang tua siswa, biasanya dalam bentuk barang dan itupun secara
sukarela dan kami menerima asalkan untuk meningkatkan
pelayanan pendidikan siswa, misalnya kipas angin, LCD dan
sebagainya.

168 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Permasalahan makna sumbangan ini Pengurus Paguyuban Kelas
SDN Sukabumi 1, DDK menyatakan sebagai berikut:
Saya selaku pengurus paguyuban seringkali ditanya oleh orang
tua siswa yang kebetulan sama-sama menjemput anak di sekolah
ini. Saya dicurhati tentang bagaimana apabila sudah diputuskan
dalam rapat komite sekolah tentang besarnya biaya untuk
pelajaran tambahan komputer, orang tua siswa tersebut tidak
mampu. Kemudian saya sampaikan bahwa paguyuban kelas dan
komite sekolah akan tetap berusaha untuk membebaskan biaya
tersebut, asalkan menyampaikan sendiri ke pengurus.
Berdasarkan pengalaman, anak dari orang tua siswa yang
kurang mampu tersebut tetap mengikuti pelajaran tambahan.
Saya dan orang tua siswa yang lain yang sudah lama di sekolah
ini sudah paham bahwa sumbangan bersifat sukarela dan semua
anak dapat mengikuti pelajaran tambahan di mana anak-anak
yang berasal dari orang tua siswa yang tidak mampu dibebaskan
dari iuran.

Berdasarkan pengamatan, kendala itu tetap ada dan


kekurangpahaman orang tua siswa, yaitu adanya persepsi yang salah apabila
keputusan komite sekolah tersebut telah diarahkan oleh kepala sekolah. Hal
inilah yang menjadi tanggung jawab semua pengurus komite sekolah dan
paguyuban kelas untuk mengkomunikasikan sejelas-jelasnya kepada orang
tua siswa dalam berbagai kesempatan agar tercipta suasana pendidikan yang
baik. Oleh karena memberikan pemahaman kepada pihak lain relatif tidak
mudah, maka perlu pendekatan secara personal.
Penegasan makna sumbangan berasal dari Sekretaris Komite
Sekolah SDN Tisnonegaran 1, YN menyatakan sebagai berikut:
Di SD Tisnonegaran 1 ini telah kompak anggota paguyuban kelas
dan komite sekolah, karena ketika kepala sekolah menyampaikan
program kerja yang telah disepakati antara pihak sekolah dan
komite sekolah ini ada kekurangan dana, maka saya bersama
anggota komite sekolah dan paguyuban kelas mengadakan rapat
tersendiri untuk membahas kekurangan dana, terutama untuk
kegiatan ekstra kurikuler. Kami menentukan sendiri besarnya
sumbangan dan kemudian kami sampaikan pada rapat dengan
perwakilan orang tua siswa dan sekaligus menentukan nama
siswa yang perlu dibebaskan dari iuran.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 169


Memperhatikan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa
sumbangan dari orang tua siswa adalah bentuk partisipasi masyarakat yang
bersifat sukarela dan saling mendukung antar orang tua siswa, sehingga
semua siswa dapat mengikuti kegiatan, terutama kegiatan ekstra kurikuler.
Dengan demikian bagi orang tua siswa yang ”kurang mampu” tidak
dibebankan untuk sumbangan kegiatan tersebut.

4) Kurangnya kepedulian orang tua/orang tua siswa terhadap kebutuhan


sekolah
Berdasarkan pengamatan pihak sekolah mengalami kesulitan untuk
menghadirkan pawa orang tua siswa, sebagaimana yang disyaratkan dalam
program MBS-BPP bahwa sebanyak mungkin melibatkan masyarakat dalam
pelaksanaan program MBS-BPP. Kendala yang klasik adalah karena takut
dikenakan sumbangan dan secara riil bagi orang tua siswa profesi sebagai
pedagang akan kesulitan untuk meninggalkan barang dagangannya, kecuali
apabila ada yang menggantikan tidak ada masalah.
Sehubungan dengan kendala internal tentang tingkat kehadiran
orang tua siswa, DW sebagai guru di SDN Sukabumi 6, menyatakan:
Pihak sekolah pernah mengundang orang tua siswa, tapi tidak
semuanya hadir. Pada saat itu ibu kepala sekolah menyampaikan
bahwa undangan kepada orang tua siswa ke sekolah tidak selalu
masalah sumbangan, tetapi ada informasi penting, seperti
penerimaan dana bantuan, beasiswa atau informasi lain yang
terkait dengan perkembangan siswa. Komite sekolah pernah
pula menyampaikan hal yang sama pada saat rapat anggota
komite sekolah dan paguyuban kelas. Namun orang tua siswa
yang hadir hanya orang-orang itu saja. Hal ini berbeda apabila di
dalam undangan ada tulisan perihal penerimaan bantuan
keuangan, orang tua siswa pasti semuanya hadir.

Permasalahan ketidakhadiran orang tua siswa ini juga dinyatakan


oleh kepala SDN Jrebeng Kulon 2, YAN sebagai berikut:
Setiap kami undang para orang tua siswa yang hadir tidak sesuai
dengan harapan, dengan alasan mencari uang atau bertani.
Kebanyakan para orang tua siswa berasal dari warga kurang
mampu secara ekonomi. Namun, demikian kalau undangan
menerima dana, pasti yang hadir. Kami memaklumi kalau yang

170 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


jadikan kendala adalah masalah ekonomi, tetapi kami juga
dituntut untuk melibatkan sebanyak mungkin orang tua siswa
agar setiap kebijakan berdasarkan rapat bersama dengan orang
tua siswa.

Hasil wawancara di atas, menunjukkan bahwa orang tua siswa


kurang perhatian terhadap sekolah dan semuanya diserahkan kepada pihak
sekolah. Kondisi ini akan mengurangi nilai integritas dan tanggung jawab
orang tua terhadap perkembangan sekolah anak.

5) Kurangnya pemahaman tentang kegiatan ekstra kurikuler


Berdasarkan pengamatan pada beberapa sekolah pada akhir-akhir
ini berlomba untuk membuka kegiatan ekstra kurikuler. Para orang tua siswa
yang berasal dari keluarga kurang mampu akan merasa rendah diri ketika
tidak mampu untuk membayar biaya kagiatan ekstra kurikuler, seperti kursus
komputer, Bahasa Inggris dan sebagainya. Padahal pihak sekolah dan komite
sekolah seperti yang dilakukan oleh SDN Sukabumi 1 ada keputusan
bersama antara kepala sekolah dan komite sekolah bahwa bagi keluarga
yang kurang mampu untuk membayar biaya akan dibebaskan, namun
kadang-kadang ada yang tidak mau dibebaskan karena merasa sekolah telah
banyak membantu keluarga tersebut. Kegiatan ekstra ini merupakan wujud
dari pelayanan pendidikan, dan apabila ada beberapa orang tua siswa yang
keberatan ini akan menjadi kendala untuk pelayanan peningkatan pendidikan.
Kendalanya adalah memberikan pemahaman bahwa kegiatan ekstra
membutuhkan biaya dan bagaimanapun juga untuk kepentingan siswa
sendiri.
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Kepala SDN Tisnonegaran 1, RKM
sebagai berikut:
Sekolah kami telah sepakat antara pihak sekolah dengan komite
sekolah bahwa membuka kegiatan ekstra kurikuler komputer.
Hasil kesepakatan antara pihak sekolah dengan komite sekolah
bahwa sistem pembayaran proporsional artinya yang kurang
mampu dibantu oleh orang tua siswa yang mampu, sehingga
semua siswa dapat mengikuti kegiatan ekstra tersebut. Kendala
memang agak berat awalnya, karena beberapa orang tua siswa
merasa keberatan bahwa karena sudah ada dana BOS. Sekolah
terpaksa mendatangkan instruktur dari luar dan harus ada biaya.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 171


Pernyataan RKM dapat dukungan dari Sekretaris Komite Sekolah
SDN Tisnonegaran 1, YN yang menyatakan sebagai berikut:
Dalam rapat komite sekolah dan paguyuban kelas sebagai tindak
lanjut dari hasil kesepakatan dengan pihak sekolah, memang ada
beberapa orang tua siswa yang sedikit keberatan, terutama bagi
orang tua siswa yang berasal dari golongan kurang mampu. Namun
kami sebagai pengurus komite sekolah dan sekaligus anggota
paguyuban kelas, menjelaskan secara terperinci tentang biaya
instruktur. Hasil rapat disepakati kegiatan ekstra tetap jalan dengan
catatan bagi yang orang tua siswa yang kurang mampu dapat
membayar sebagian dan bahkan dibebaskan. Kami seluruh
pengurus komite sekolah dan paguyuban kelas merasa menjadi
keluarga besar di mana wajib saling membantu. Alasan lain, semua
biaya itu akan membantu anak kami mencapai prestasi akademik.

Memperhatikan hasil wawancara di atas, menunjukkan bahwa


kebutuhan kegiatan ekstra kurikuler menjadi tren dan di lain pihak perlu biaya
yang seringkali menjadi kendala dalam peningkatan pelayanan pendidikan
melalui pelaksanaan program MBS-BPP.

6) Kurangnya keterbukaan informasi


Berdasarkan pengamatan bahwa sekolah yang kurang transparan,
maka juga merupakan suatu kendala bagi keberhasilan pelaksanaan program
MBS-BPP, karena trasparansi merupakan prinsip yang menjadi persyaratan
keberhasilan program ini. Dengan keterbukaan informasi, terutama yang ada
hubungan dengan keuangan, maka akan meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap sekolah. Dengan adanya kepercayaan yang meningkat,
akan meningkatkan partisipasi masyarakat dan dengan meningkatnya
partisipasi masyarakat akan mendukung keberhasilan pelaksanaan program
MBS-BPP.
Ketua FP3 DVD Kota Probolinggo menyatakan sebagai berikut:
Berdasarkan hasil monev yang kami lakukan bahwa ada beberapa
sekolah yang masih masih belum mempublikasikan RKS,RKAS dan
pertanggungjawaban penggunaan keuangan terutama dana
partisipasi yang berasal dari masyarakat. Apabila kami tanyakan
dengan alasan masih ada revisi atau masih dibawa kepala sekolah
dan alasan lainnya.

172 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Kondisi yang kurang transparan juga tidak luput dari pengamatan
jurnalis warga Kota Probolinggo, SM yaitu sebagai berikut:
Ketika saya sedang mencari berita di beberapa sekolah, dan saya
menanyakan tentang mengapa tidak publikasi di madding tentang
RKS, RKAS dan laporan penggunaan keuangan, maka kebanyakan
sekolah memberikan jawaban bahwa masih dibahas oleh kepala
sekolah dengan komite sekolah.

Berdasarkan wawancara di atas, menunjukkan bahwa keterbukaan


informasi merupakan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan program
MBS-BPP. Dengan kurang terbukanya informasi terutama tentang RKS,
RKAS dan laporan keuangan, berakibat akan mempengaruhi tingkat
partisipasi orang tua siswa kepada sekolah. Hasil pengamatan penulis
laporan penggunaan keuangan ada, tetapi melalui komite sekolah, dan
karena hubungan komite sekolah dengan orang tua siswa kurang harmonis,
maka pada umumnya komite sekolah bersifaf agak tertutup.
D. Tantangan Eksternal pada Pelaksanaan Program MBS-BPP
1) Komitmen Dinas Pendidikan
Berdasarkan pengamatan dan analisis dokumen bahwa komitmen
Dinas Pendidikan relatif apabila ditinjau dari alokasi Tahun Anggaran 2014,
pembinaan kelembagaan Manajemen Berbasis Sekolah-Berorientasi
Pelayanan Publik hanya sebesar 3,66 % dari total alokasi anggaran untuk
Bidang Pendidikan Dasar sebesar Rp 6.330.922.175,00. Ini membawa
konsekuensi bahwa kegiatan pembinaan kelembagaan program MBS-BPP
kurang tertangani dengan optimal, sehingga untuk menuju kemandirian
sekolah kurang cepat.
Hal ini penulis konfirmasikan kepada ARL, selaku kepala SDN
Kanigaran 5 yang menyatakan:
Sekolah kami akhir-akhir ini ditanya oleh dinas pendidikan, terkait
perkembangan sekolah secara fisik sangat menonjol dalam waktu
yang relatif singkat dibandingkan dengan kedua sekolah lain yang
berada satu kawasan. Saya merasakan dinas pendidikan kurang
memperhatikan sekolah kami, terutama masalah bangunan fisik,
seperti kamar mandi, kami hanya punya dua, padahal siswa SD
Kanigaran 5 ini sekitar kurang lebih 200 siswa. Saya sudah

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 173


mengajukan rekomendasi teknis dengan minta tambahan kamar
mandi kepada dinas masih belum ada jawaban. Dalam rangka
memenuhi janji perbaikan pelayanan untuk pengaduan lingkungan
sekolah yang indah dan nyaman saja, saya minta partisipasi dari
orang tua siswa yang tergabung dalam paguyuban kelas. Hal ini
menunjukkan bahwa dinas kurang komitmen untuk pelembagaan
program MBS-BPP ini.

Sehubungan dengan kurangnya komitmen Dinas Pendidikan ini


penulis melakukan wawancara dengan kepada SBD, selaku kepala SMPN 9
mengemukakan sebagai berikut:
Dalam rekomendasi teknis sekolah kami telah mengajukan untuk
merehab dua ruangan yang sekarang dalam kondisi kurang layak
untuk belajar. Namun sampai sekarang belum ada tanggapan dari
dinas pendidikan. Padahal ruangan tersebut bagian dari
pelaksanaan program MBS-BPP yaitu memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Hal ini sebenarnya telah direspon oleh komite
sekolah bersama paguyuban kelas, dan sekarang telah terkumpul
sedemikian rupa sehingga dana siap untuk merehabilitasi kedua
ruang tersebut. Pihak sekolah tidak ikut campur dalam hal
pengumpulan dana tersebut, namun setelah itu sekolah kami
menerima surat dari dinas pendidikan agar ditunda dulu dalam arti
tidak boleh untuk merehab ruangan, dan kami kembalikan ke komite
sekolah dan paguyuban kelas juga tidak mau menerima. Akhirnya
uang tersebut dititipkan di rekening kepala sekolah. Oleh karena itu
menurut kami kejadian tersebut, membutuhkan komitmen dinas
untuk mencari jalan keluar dalam penyediaan dana untuk merab
ruang kelas kami.

Memperhatikan hasil wawancara di atas, dapat dimaknai bahwa


komitmen dinas pendidikan dianggap kurang, karena kurang mendukung
sepenuhnya terhadap sekolah yang telah berupaya untuk memperbaiki
pelayanan kepada masyarakat, meskipun melalui partisipasi masyarakat.

2) Mutasi Kepala Sekolah


Pemahaman program MBS-BPP ini memerlukan waktu yang relatif
panjang, dan posisi kepala sekolah adalah sangat menentukan dalam
pengelolaan, apalagi dengan melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah-
Berorientasi Pelayanan Publik (MBS-BPP). Dengan program MBS-BPP ini

174 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


otonomi sekolah sangat kuat dan dituntut untuk memperbaiki pelayanan
pendidikan di sekolah, meskipun ada peraturan yang membatasi kerja kepala
sekolah.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis, Dinas Pendidikan seringkali
mutasi kepala sekolah relatif cepat, misalnya baru 2 tahun kepala sekolah
sudah dipindah ke sekolah lain. Masa kerja kepala sekolah berdasarkan
Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai
Kepala Sekolah/Madrasah pada pasal 10:
- ayat (1) berbunyi: ”Kepala sekolah/madrasah diberi 1 (satu) kali
masa tugas selama 4 (empat) tahun.”
- ayat (2) berbunyi: ”Masa tugas kepala sekolah/madrasah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk 1
(satu) kali masa tugas apabila memiliki prestasi kerja minimal baik
berdasarkan penilaian kinerja.”

Pemahaman kedua ayat tersebut apabila dibandingkan dengan


fakta bahwa dinas pendidikan mutasi kepala sekolah kurang dari 4 (empat)
tahun, ada yang baru menjabat 2 tahun telah dimutasi dari sekolah asal.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dinas pendidikan mengambil
risiko bahwa program kepala sekolah yang dibuat oleh kepala sekolah
terhadulu belum ada jaminan dilaksanakan dengan baik oleh kepala sekolah
yang menggantikannya.
Hal ini juga menjadi alasan mengapa pelaksanaan program MBS-BPP
menghadapi tantangan yaitu seringnya dilakukan mutasi kepala sekolah,
sehingga berdampak pada tingkat keberhasilan pelaksanaan program
tersebut.
Kondisi di atas penulis konfirmasikan kepada RKM, selaku kepala
SDN Tisnonegaran 1 yang mengatakan:
Kami selalu kepala sekolah merasa berat untuk melaksanakan
program MBS-BPP karena membutuhkan kemampuan melakukan
koordinasi, motivasi dan pengarahan kepada para guru, tenaga TU,
komite sekolah, paguyuban kelas dan stakeholders lainnya. Saya
menjadi kepala sekolah SDN Tisnonegaran 1 ini baru 1 tahun dan
kepala sekolah yang saya ganti belum paham benar apa itu program
MBS-BPP sudah dipindah, akhirnya berdampak pada masa

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 175


kepemimpinan saya sebagai kepala sekolah, sehingga saya harus
mulai dari bawah menata guru, tenaga kependidikan, membangun
hubungan dengan komite sekolah dan paguyuban kelas. SDN
Tisnonegaran 1 dulu sebagai sekolah mitra Kinerja USAID, tetapi
akhirnya sudah tidak memperhatikan atau tidak melaksanakan
program MBS-BPP tersebut, karena pergantian kepala sekolah
oleh dinas pendidikan tidak melihat apakah sekolah tersebut telah
benar-benar melaksanakan program MNBS-BPP secara baik atau
belum.

Sehubungan dengan masalah mutasi kepala sekolah ini, penulis


juga melakukan wawancara kepada ARL, selaku kepala SDN Kanigaran 5
yang mengatakan:
Sekolah dasar Kanigaran 5 ini merupakan salah satu sekolah mitra
kinerja USAID. Kepala sekolah sebelum saya telah dimutasi ke
sekolah lain, sehingga sekolah ini setelah ditinggal kepala sekolah
yang ikut program kinerja USAID, praktis tidak atau setengah hati
melaksanakan program MBS-BPP. Setelah saya masuk menjadi
kepala sekolah dasar Kanigaran 5 ini, saya mulai secara bertahap
melaksanakan program dan sekarang sekolah ini mulai berbenah
diri dan dapat mengalahkan kedua sekolah dasar di lingkungan
dengan indikator semakin banyak siswa yang bersekolah di sekolah
ini.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, maka dapat


disimpulkan bahwa mutasi kepala sekolah yang dalam waktu singkat kurang
dari 2 atau 4 tahun, akan dapat mengganggu kesuksesan pelaksanaan
program MBS-BPP.

3) Pemahaman pendidikan gratis oleh Masyarakat


Masyarakat telah mempersepsikan bahwa pendidan gratis, berarti
sekolah tidak diperbolehkan untuk menerima sumbangan dalam uang atau
barang. Dengan salah persepsi ini, maka sekolah menjadi serba salah, di satu
pihak dituntut untuk meningkatkan pelayanan kepada orang tua siswa dan
siswa, dan di pihak lain sekolah tidak boleh menerima sumbangan sukarela
dari masyarakat. Tantangan ini agak sulit dipecahkan, karena di masyarakat
sudah terlanjur bahwa sekolah telah mendapat dan BOS, maka sekolah tidak
boleh menerima sumbangan sukarela dari masyrakat.

176 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Penyelenggaraan pelayanan pendidikan dilakukan oleh satuan
pendidikan yaitu sekolah yang merupakan unit penyedia layanan untuk
melayani masyarakat yaitu sebagai pengguna layanan, yang dalam hal ini
diwakili oleh komite sekolah dan paguyuban kelas.
Berdasarkan pengamatan penulis bahwa sekolah dalam memenuhi
kebutuhan akan pelayanan sekolah sangat tergantung kepada dana Bantuan
Operasional Sekolah atau disingkat BOS. Hal pernah dikatakan oleh salah
satu Kepala SDN Jrebeng Kulon 2, YAN yang kebetulan di pinggir kota,
sebagai berikut:
Saya hanya mendapatkan dana dari BOS untuk membiayai semua
program dan kegiatan. Di sini masyarakatnya memiliki pendapatan
yang relatif rendah. Jadi sekolah ini tidak berani memungut iuran dari
orang tua siswa. Peruntukan dana BOS sangat terbatas dengan
ada tiga belas larangan penggunaan dana BOS.

Hal ini juga dibenarkan oleh seorang Kepala SDN Sumbertaman 1,


STY, yang menyatakan bahwa:
Kalau kita mau mengikuti kebutuhan sekolah yang diadukan oleh
siswa dan orang tua siswa, dana BOS tidak cukup. Malahan ada
yang usul untuk membangun Mushola juga. Usulan tentang
pembangunan Mushola sudah saya ajukan ke Kantor Dinas
PendidIkan, namun sampai sekarang belum disetujui. Hal ini pernah
saya usulkan ke Komite Sekolah untuk menggalang dana dari orang
tua siswa, namun tidak direspons karena kondisi sosial ekonomi
orang tua siswa kategori “kurang mampu secara ekonomi.”

Berdasarkan dari penyataan kedua kepala sekolah tersebut di atas,


menunjukkan bahwa dana BOS yang merupakan dana APBN yang ditransfer
ke rekening kepala sekolah masing-masing, ternyata hanya untuk menopang
sebagian kebutuhan operasional sekolah, terutama yang terkait dengan
proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
Pelaksanaan program MBS-BPP ini sangat dinamis, karena di satu
pihak sekolah ingin meningkatkan kualitas pelayanan dan pendidikan, di mana
membutuhkan dana yang relatif tinggi. Namun di pihak lain, seperti DPRD
menginginkan pendidikan “gratis.”

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 177


Kondisi di atas seperti yang dinyatakan oleh Ketua Komisi C
(Pembangunan) DPRD Kota Probolinggo, AGS:
DPRD menekan agar pendidikan di Kota Probolinggo gratis, karena
sudah ada dana BOS. Saya tahu bahwa sekolah masih belum ada
transparansi dalam penggunaan dana BOS. Tapi ada catatan,
sebagaimana yang pernah dilakukan studi banding di Kota Blitar 3
tahun yang lalu, bahwa sekolah gratis itu tidak ada. Hal ini pernah
saya tanyakan kepada beberapa orang tua siswa, karena masih ada
tarikan seperti seragam, darmawisata, lomba tari dan lain-lain
sebagainya. Sebenarnya kita perlu ada semacam peraturan daerah
dan peraturan Walikota untuk mengatur penyelenggaraan
pendidikan di Kota Probolinggo, agar jelas dan pasti apakah boleh
atau tidak memungut atau menarik kepada orang tua siswa, karena
ada dana BOS.

Selanjutnya, AM sebagai Ketua Komisi A (Sosial) DPRD Kota


Probolinggo menyatakan terkait dengan pembiayaan sekolah, sebagai
berikut:
Saya setuju kalau ada peraturan daerah untuk mengatur
penyelenggaraan pendidikan, karena kita menginginkan Kota
Probolinggo sebagai Kota Pendidikan seperti pada waktu dulu, di
mana Kota Probolinggo sebagai kota tujuan untuk menempuh
pendidikan daerah sekitarnya. Saya sudah beritahu kepada Kepala
Dinas Pendidikan, apakah perlu realokasi anggaran Dinas Pendidikan,
tapi tidak mau, karena sekolah telah mendapat dana BOS dan sekolah
dapat mengajukan dana alokasi khusus untuk merehab atau
membangun ruangan kelas atau ruangan lainnya ke pemerintah pusat
melalui Walikota.

Memperhatikan pendapat Ketua Komisi A dan C DPRD Kota


Probolinggo tersebut, dapat disimpulkan yaitu ada anggapan masyarakat
bahwa pendidikan gratis membawa konsekuensi sekolah tidak diperbolehkan
untuk menerima dana partisipasi masyarakat untuk meningkatkan pelayanan
dan mutu pendidikan.

4) Interaksi tingkat governance lokal dengan governance nasional


Interaksi governance lokal dengan governance nasional
berdasarkan pengamatan penulis, dapat dilihat dengan kerjasama secara

178 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


hirarki, di mana governance nasional memberikan peraturan yang bersifat
mengendalikan mulai dari pemerintah pusat ke pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota sampai dengan satuan pendidikan atau sekolah. Koordinasi
mulai dari pemerintah pusat sampai dengan satuan pendidikan atau sekolah
ini, berdampak pada menjadikan sekolah tidak secara bebas untuk
menggunakan dana BOS. Hal ini penulis konfirmasi kepada RKM, selaku
kepala SDN Tisnonegaran 1, dan dikemukakan sebagai berikut:
Dana BOS yang kami terima selama ini hanya cukup untuk kegiatan
langsung operasional, agar sekolah dapat melayani masyarakat secara
standar, maksudnya apabila acara lomba-lomba yang diselenggarakan
baik oleh pemerintah pusat, provinsi maupun pemerintah daerah,
sekolah kami tidak semuanya kami mengirim peserta karena
keterbatasan waktu. Selain itu, untuk kegiatan ekstra kurikuler seperti
untuk kebutuhan instruktur komputer atau pelatih pramuka kami
tawarkan ke komite sekolah termasuk kami sampaikan pula kepada
paguyuban kelas, agar dicari jalan keluarnya. Kami tidak boleh
memungut dana dari masyarakat. Baru-baru ini sekolah kami menerima
sumbangan 10 kursi elephan merah dari orang tua siswa.

Penulis mengamati di SDN Tisnonegaran 1, ternyata telah ada 10


kursi berwarna merah merek elephant yang masih ditumpuk di ruang tamu
dalam kondisi masih dililit plastik dan menurut RKM akan dipergunakan untuk
kursi laboratorium komputer di lantai 2.
Selanjutnya penulis juga melakukan wawancara dengan END,
selaku kepala SDN Sukabumi 1, dengan hasil sebagai berikut:
Kalau hanya memenuhi kegiatan operasional sekolah sehari-hari dana
BOS relatif cukup, namun kalau sekolah dituntut untuk meningkatkan
pelayanan dan peningkatan mutu akademik siswa, termasuk sarana
seperti alat-alat musik. Sekolah saya baru saja mendapat sumbangan
alat musik gitar dan drum dari paguyuban kelas. Sumbangan alat-alat
musik ini merupakan sumbangan bukan kehendak sekolah atau
semacam sekolah menyebarkan surat ke orang tua siswa, ini murni
sumbangan sukarela dari beberapa orang tua siswa saja. Kembali ke
masalah penggunaan dana BOS tadi bahwa sekolah terus terang tidak
cukup untuk peningkatan mutu pendidikan yang dituntut oleh
masyarakat, sehingga sekolah kami tidak menutup diri atau dapat
menerima sumbangan sukarela dari pihak manapun termasuk dari
orang tua siswa.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 179


Berbeda kondisi yang ada di SDN Sumbertaman 1 bukti tidak
cukupnya dana BOS untuk peningkatan pelayanan masyarakat, penulis
melakukan wawancara dengan STY selaku kepala SDN Sumbertaman 1
yang menyatakan:
Dana BOS ini diterima oleh sekolah setiap tahun dan kami rasakan
masih kurang untuk melengkapi sarana dan prasarana pelayanan
pendidikan. Kekurangan dana akan terasa ketika ada pengaduan dari
orang tua siswa untuk menambah fasilitas kamar mandi, perpustakaan
kurang lengkap, mushola tidak ada dan lain-lainnya. Pengalaman
beberapa tahun yang lalu, sekolah kami menerima pengaduan tentang
halaman yang becek, ketika musim penghujan, sehingga sekolah
bersama komite sekolah mengadakan rapat dengan hasil setiap
minggu sekali anak-anak membawa 1 paving pada setiap hari sabtu.
Adapun pengadaan material yang lainnya seperti semen dan pasir
termasuk tukang adalah inisiatif komite sekolah dengan kerjasama
paguyuban kelas. Dari gerakan ini, akhirnya sekolah dapat mempaving
halaman sekolah kami.

Memperhatikan hasil wawancara beberapa kepala sekolah tersebut


di atas, dapat disimpulkan bahwa dana BOS yang diterima oleh sekolah yang
dipergunakan untuk menjalankan pelayanan masyarakat di bidang
pendiidkan, pada umumnya relatif belum mencukupi. Oleh karena itu sekolah
melakukakn inovasi pelayanan kepada masyarakat dengan partisipasi
masyarakat dengan jalan menerima sumbangan yang bersifat sukarela dan
tidak mengikat.
Ketidakleluasaan kepala sekolah dalam inovasi pelayanan
pendidikan, karena ada pembatasan dari pemerintah pusat dan sekolah tidak
mendapat bantuan dana BOS dari APBD atau seringkali disingkat BOSDA.
Sehubungan dengan uraian tersebut di atas, penulis menganalisis
dokumen dalam bentuk Permendikbud No. 161 Tahun 2014 tentang
Petunjuk Teknis Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana
Bantuan Operasional Sekolah Tahun Anggaran 2015, maka terdapat 13 item
pembelanjaan dan 15 larangan penggunaan dana BOS. Oleh sebab itu,
kedua hal tersebut menjadi tantangan bagi sekolah untuk dapat mencari
solusi dengan memperkuat yang menjadi titik kelemahan internal sekolah
dalam mensiasati kondisi ini dengan inovasi, dengan tetap memperhatikan
peraturan yang berlaku. Selanjutnya uraian berikutnya penulis menganalisis

180 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


dokumen yang terkait dengan peraturan national governance yang
membatasi ruang gerak atau tindakan local governance.
Adapun item pembelanjaan yang diperbolehkan adalah terdiri dari:
1) Pengembangan perpustakaan;
2) Kegiatan penerimaan peserta didik baru;
3) Kegiatan pembelajaran dan ekstrakurikuler;
4) Kegiatan ulangan dan ujian;
5) Pembelian bahan habis pakai;
6) Langganan daya dan jasa;
7) Perawatan sekolah/rehab ringan dan sanitasi sekolah;
8) Pembayaran honorarium bulanan;
9) Pengembangan profesi guru dan tenaga kependidikan;
10) Membantu peserta didik miskin;
11) Pembiayaan pengelolaan sekolah;
12) Pembelian dan perawatan perangkat komputer; dan
13) Biaya lain, apabila seluruh komponen biaya 1 s/d 12 di atas telah
terpenuhi pembiayaannya, yaitu untuk biaya: peralatan pendidikan yang
mendukung kurikukum, mesin ketik, peralatan UKS dan obat-obatan,
dan penanggulangan dampak darurat bencana.
Penggunaan dana BOS harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1) Prioritas utama penggunaan dana BOS adalah untuk kegiatan
operasional satuan pendidikan;
2) Bagi satuan pendidikan yang telah menerima DAK, tidak diperkenankan
menggunakan dana BOS untuk peruntukan yang sama. Sebaliknya, jika
dana BOS tidak mencukupi untuk pembelanjaan yang diperbolehkan (13
item pembelanjaan), maka satuan pendidikan dapat mempertimbangkan
sumber pendapatan lain yang diterima oleh satuan pendidikan, yaitu
pendapatan hibah (misalnya DAK) dan pendapatan satuan pendidikan
lainnya yang sah dengan tetap memperhatikan peraturan terkait;
3) Biaya transportasi dan uang lelah guru PNS yang bertugas di luar
kewajiban jam mengajar harus mengikuti batas kewajaran yang
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah;

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 181


4) Bunga Bank/Jasa Giro akibat adanya dana di rekening satuan
pendidikan menjadi milik satuan pendidikan dan digunakan untuk
keperluan satuan pendidikan.

Selain 13 item pembiayaan dan 4 hal yang perlu diperhatikan,


satuan pendidikan atau sekolah, harus memperhatikan 15 larangan
penggunaan dana BOS, yaitu:
1) Disimpan dengan maksud dibungakan;
2) Dipinjamkan kepada pihak lain;
3) Membeli software/perangkat lunak untuk pelaporan keuangan BOS
atau software sejenis;
4) Membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas satuan pendidikan dan
memerlukan biaya besar;
5) Membayar iuran kegiatan yang diselenggarakan oleh UPTD
Kecamatan/Kabupaten/Kota/Provinsi/Pusat, atau pihak lainnya,
kecuali untuk menanggung biaya peserta didik/guru yang ikut serta
dalam kegiatan tersebut;
6) Membayar bonus dan transportasi rutin untuk guru;
7) Membeli pakaian/seragam/sepatu bagi guru/peserta didik untuk
kepentingan pribadi, kecuali bagai peserta didik miskin yang tidak
mendapatkan bantuan dari sumber lain;
8) Digunakan untuk rehabilitasi sedang dan berat;
9) Membangun gedung/ruangan guru;
10) Membeli Lembar Kerja Siswa (LKS) dan bahan/peralatan yang tidak
mendukung proses pembelajaran;
11) Menanamkan saham;
12) Membiayai kegiatan yang telah dibiayai dari sumber dana pemerintah
pusat atau pemerintah daerah secara penuh/wajar;
13) Membiayai kegiatan penunjang yang tidak ada kaitannya dengan
operasi satuan pendidikan;
14) Membiayai kegiatan dalam rangka mengikuti pelatihan/sosialisasi/
pendampingan terkait program BOS/perpajakan program BOS yang
diselenggarakan lembaga di luar SKPD Pendidikan
Provinsi/Kabupaten/Kota dan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan;

182 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


15) Membayar honorarium kepada guru dan tenaga kependidikan atas
tugas/kegiatan yang sudah merupakan tugas pokok dan fungsi yang
telah diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku, termasuk
pembayaran honorarium bagi panitia untuk kegiatan-kegiatan yang
sudah menjadi tupoksi satuan pendidikan/guru.
Sekolah dalam menjalankan pelayanan pendidikan dibiayai oleh
dana BOS APBN atau dari dana pemerintah pusat, sehingga wajib
memperhatian 13 item pembiayaan, 4 hal yang harus diperhatikan dan 15
larangan penggunaan dan BOS. Oleh sebab itu sekolah tidak mampu atau
terikat di dalam inovasi pelayanan pendidikan hanya sebatas untuk
operasional sekolah. Namun demikian, dalam Permendikbud No. 161 Tahun
2014 ini sekolah masih dimungkinkan untuk memperoleh pendapatan sekolah
yang sah dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku.
Apabila ditinjau dari aspek organisasi pelaksana Permendikbud No.
161 Tahun 2014, organisasi pelaksana BOS meliputi Tim Pengarah dan Tim
Manajemen BOS Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Tim Manajemen
BOS sekolah.
Tim Pengarah Pusat terdiri dari 5 (lima) Menteri, yaitu Menteri
Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri
PPN/Kepala Bappenas, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri
Keuangan, dan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan Tim Pengarah Tingkat
Provinsi adalah Gubernur dan Wakil Gubernur dan Tingkat Kabupaten/Kota
adalah Bupati/Orang tuakota dan Wakil Bupati/Orang tuakota.
Tim Manajemen BOS terdiri dari: Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota
dan Sekolah. Secara garis besar tugas dan tanggung jawab Tim Manajemen
BOS adalah sebagai berikut:
1) Tim Manajemen BOS Pusat:
a) Menyusun rancangan program;
b) Melakukan kompilasi data jumlah peserta didik tiap satuan
pendidikan dengan Tim Dapodikdasmen;
c) Menyusun dan menyiapkan peraturan yang terkait dengan
pelaksanaan program BOS;
d) Menyalurkan dana BOS dari Kas Umum Negara ke Kas Umum
Daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku;

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 183


e) Merencanakan dan melakukan sosialisasi program;
f) Menyediakan media informasi BOS melalui situs resmi
Kemendikbud;
g) Melatih/memberikan sosialisasi kepada Tim manajemen BOS
Provinsi/Kabupaten/Kota;
h) Merencanakan dan melaksanakan monitoring dan evaluasi;
i) Memberikan pelayanan dan penanganan pengaduan masyarakat;
j) Memonitor perkembangan penyelesaian penanganan pengaduan
yang dilakukan oleh Tim Manajemen BOS Provinsi/Kabupaten/
Kota;
k) Menyusun laporan pelaksanaan BOS, termasuk laporan keuangan
hasil penyaluran dana BOS ke satuan pendidikan;
l) Memantau laporan penyaluran dana BOS dari bank penyalur ke
satuan pendidikan.

2) Tim Manajeman Provinsi:


a) Mempersiapkan DPA-PPKD berdasarkan alokasi dana BOS yang
ditetapkan oleh Pusat;
b) Membuat dan menandatangani perjanjian kerjasama dengan Bank
Penyalur dana BOS yang telah ditunjuk dengan mencantumkan hak
dan kewajiban masing-masing pihak;
c) Melakukan kompilasi data jumlah peserta didik di tiap satuan
pendidikan dari Dapodikdasmen;
d) Menyiapkan Naskah Perjanjian Hibah (NPH) antara Provinsi dengan
Satuan Pendidikan yang dilampiri dengan alokasi dana BOS tiap
Satuan Pendidikan berdasarkan Dapodikdasmen;
e) Kepala SKPD Pendidikan Provinsi sebagai penanggung jawab Tim
Manajemen BOS Provinsi menandatangani NPH atas nama
Gubernur;
f) Melakukan pencairan dan penyaluran dana BOS ke satuan
pendidikan tepat waktu sesuai dengan jumlah peserta didik di tiap
satuan pendidikan;
g) Memerintah Bank Penyalur yang ditunjuk untuk melaporkan hasil
penyaluran dana ke Monev Online Kemdikbud;

184 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


h) Melakukan monitoring laporan penyaluran dana BOS dari Bank
Penyalur ke satuan pendidikan yang dikirim ke Sistem Monev Online
Kemdikbud;
i) Melakukan koordinasi/ sosialisasi/ pelatihan kepada Tim
Manajemen BOS Kabupaten/Kota;
j) Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program BOS di
satuan pendidikan;
k) Melakukan pelayanan dan penanganan pengaduan masyarakat;
l) Mengupayakan penambahan dana untuk satuan pendidikan dan
untuk manajemen program BOS dari sumber APBD;
m) Membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan ke Tim
Manajemen BOS Pusat paling lambat pada tanggal 20 Januari tahun
berikutnya;
n) Mengumpulkan dan merekapitulasi laporan penggunaan dana BOS
dari Tim Manajemen BOS Kabupaten/Kota, selanjutnya dikirim ke
pusat (Formulir BOS-K8) paling lambat pada tanggal 20 Januari
tahun berikutnya;
o) Membuat dan menyampaikan Laporan Realisasi Penyaluran dana
BOS tiap triwulan (Formulir BOS-K9) untuk daerah non terpencil
dan tiap semester (Formulir BOS-K9a) untuk daerah terpencil ke
Tim Manajemen BOS Pusat.

3) Tim Manajemen Kabupaten/Kota:


a) Melatih, membimbing dan mendorong satuan pendidikan untuk
memasukkan data pokok pendidikan dalam sistem pendataan yang
telah disediakan oleh Kemdikbud;
b) Melakukan monitoring perkembangan pemasukan/updating data
yang dilakukan oleh satuan pendidikan secara online;
c) Memverifikasi kelengkapan data (jumlah peserta didik dan nomor
rekening) di satuan pendidikan yang diragukan tingkat akurasinya.
Selanjutnya meminta satuan pendidikan untuk melakukan perbaikan
data melalui sistem Dapodikdasmen;
d) Kepala SKPD Pendidikan Kabupaten/Kota sebagai penanggung
jawab Tim Manajemen BOS Kabupaten/Kota menandatangani
Naskah Perjanjian Hibah (NPH) mewakili satuan pendidikan dasar;

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 185


e) Memberikan sosialisasi/pelatihan kepada satuan pendidikan,
Komite Sekolah dan masyarakat tentang program BOS termasuk
melalui pemberdayaan pengawas sekolah;
f) Mengupayakan penambahan dana untuk satuan pendiidkan dan
untuk manajemen program BOS dari sumber APBD;
g) Melakukan pembinaan terhadap satuan pendidikan dalam
pengelolaan dan pelaporan dana BOS;
h) Memantau pelaporan pertanggungjawaban penggunaan dana
BOS, baik yang secara offline maupun yang secara online oleh
satuan pendidikan;
i) Menegur dan memerintahkan satuan pendidikan yang belum
membuat laporan;
j) Mengumpulkan dan merekapitulasi laporan realisasi penggunaan
dana BOS dari satuan pendidikan, selanjutnya melaporkan kepada
Kepala SKPD Pendidikan Provinsi paling lambat 10 Januari tahun
berikutnya;
k) Melakukan monitoring pelaksanaan program BOS di satuan
pendidikan termasuk dengan memberdayakan pengawas sekolah
sebagai Tim Monitoring Kabupaten/Kota;
l) Memberikan pelayanan dan penanganan pengaduan masyarakat;
m) Memverifikasi sekolah kecil yang memenuhi syarat untuk diusulkan
ke Tim BOS Provinsi agar memperoleh alokasi dana BOS minimal.

4) Tim Manajemen Sekolah:


a) Mengisi, mengirim dan meng-update data pokok pendidikan
(Formulir BOS-01A, BOS-01B, BOS-01C, BOS-01D, dan BOS-
01E) secara lengkap ke dalam sistem yang telah disediakan oleh
Kemdikbud;
b) Memastikan data yang masuk dalam Depodikdasmen sesuai
dengan kondisi riil di satuan pendidikan;
c) Memverifikasi jumlah dana yang diterima dengan data peserta didik
yang ada;
d) Mengumumkan besar dana yang diterima dan dikelola oleh satuan
pendidikan dan rencana penggunaan dana BOS (RKAS) di papan

186 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


pengumuman sekolah yang ditandatangani oleh Kepala Sekolah,
Bendahara dan Ketua Komite Sekolah (Formulir BOS-03);
e) Mengumumkan penggunaan dana BOS di papan pengumuman
(Formulir BOS-04, atau Formulir BOS-K3 dan BOS-07);
f) Menginformasikan secara tertulis rekapitulasi penerimaan dan
penggunaan dana BOS kepada orang tua peserta didik dan satuan
pendidikan pada saat penerimaan rapor;
g) Bertanggung jawab secara formal dan meterial atas penggunaan
dana BOS yang diterima;
h) Membuat dan menandatangani form register penutupan kas dan
berita acara pemeriksaan kas (BOS-K7B dan BOS-K7C);
i) Membuat laporan realisasi penggunaan dana BOS triwulanan
(Formulir BOS-K7 dan BOS-K7A) di tiap akhir triwulan sebagai
bentuk pertanggungjawaban penggunaan dana dan disimpan di
satuan pendidikan untuk keperluan monitoring dan audit;
j) Memasukkan data penggunaan dana BOS setiap triwulan ke dalam
sistem online melalui www.bos.kemdikbud.go.id;
k) Membuat laporan tahunan yang merupakan kompilasi dari laporan
penggunaan dana BOS tiap triwulan untuk diserahkan ke SKPD
Pendidikan Kabupaten/Kota paling lambat tanggal 5 Januari tahun
berikutnya;
l) Melakukan pembukuan secara tertib (Formulir BOS-K3, BOS-K4,
BOS-K5 dan BOS-K6);
m) Memberikan pelayanan dan penanganan pengaduan masyarakat;
n) Memasang spanduk di satuan pendidikan terkait kebijakan
pendidikan bebas pungutan (Formulir BOS-05), terutama
menjelang dan selama masa penerimaan peserta didik baru;
o) Bagi satuan pendidikan negeri, wajib melaporkan hasil pembelian
barang investasi dari dana BOS ke SKPD Pendidikan
Kabupaten/Kota;
p) Menandatangani surat pernyataan tanggung jawab yang
menyatakan bahwa BOS yang diterima telah digunakan sesuai NPH
BOS (Lampiran Format BOS-K7).

Memperhatikan analisis dokumen Permendikbud No. 161 tahun


2014 di atas yang terkait dengan 13 item pembiayaan, 4 hal yang perlu

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 187


mendapat perhatian dan 15 larangan penggunaan dana BOS serta tinjauan
organisasi pelaksana BOS, maka dapat disimpulkan bahwa sekolah telah
dibatasi dalam penggunaan dana BOS dan dilarang memungut dana kepada
masyarakat. Hal inilah yang dikeluhkan oleh kepala sekolah, di mana di salah
satu pihak tidak boleh memungut dana masyarakat, dan pihak lain sekolah
dituntut untuk meningkatkan pelayanan dan mutu pendidikan.
Selanjutnya penulis menganalisis dokumen lain yaitu Permendikbud
No. 44 tahun 2012 tentang: ”Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan
pada Satuan Pendidikan Dasar,” maka terdapat ada 2 (dua) istilah yang
berbeda dan juga menjadi perhatian para kepala sekolah untuk pelayanan
pendidikan, yaitu: (1) pungutan, dan (2) sumbangan.
Pasal 1 ayat 2 berbunyi:
”Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang
dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal
dari peserta didik atau orang tua/wali siswa secara langsung yang
bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu
pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar.”

Pasal 1 ayat 3 berbunyi:


”Sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang
dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik atau orang
tua/wali siswa perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan
pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orang tua/wali
siswa secara langsung yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak
mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik
jumlah maupun jangka waktu pemberiannya.”

Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada ke-29 sekolah yang


menjadi lokasi penulisan, seluruh sekolah dalam menyikapi kedua peraturan
Mendikbud tersebut di atas, tidak berani memungut baik dalam bentuk uang
dan/atau barang, tetapi menerima sumbangan hanya dalam bentuk barang
dari komite sekolah dan paguyuban kelas serta dari masyarakat dan
perusahaan. Fakta di SMPN 9 yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, di
mana sekolah tersebut menerima dalam bentuk uang dari masyarakat untuk
rehabilitasi ruangan, maka oleh pihak Dinas Pendidikan diminta untuk

188 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


mengembalikan ke komite sekolah dan paguyuban kelas. Namun demikian,
pihak komite sekolah dan paguyuban kelas tidak mau menerima kembali dana
yang telah terkumpul tersebut dan dana tersebut masih disimpan oleh
sekolah. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis konfirmasi kepada kepala
sekolah SMPN 9, dengan melakukan wawancara dengan SBD yang
mengemukakan:
Pada awalnya sekolah menerima pengaduan dari para siswa bahwa
ruangan kelas tidak nyaman untuk belajar. Selanjutnya pangaduan
tersebut oleh pihak sekolah disampaikan dalam rapat antara sekolah,
komite sekolah beserta perwakilan paguyuban kelas dan akhirnya
disepakati untuk mengumpulkan dana sukarela untuk merehabilitasi
ruang kelas. Setelah dana terkumpul sebagaimana telah disepakati
bersama, ruang kelas tersebut akan direhabilitasi. Namun demikian
ketika akan mulai merehabilitasi ruang kelas, dilarang oleh Dinas
Pendidikan dan diminta untuk mengembalikan kepada komite sekolah.

Selanjutnya penulis melakukan konfirmasi terkait dengan


sumbangan uang dari komite sekolah dan paguyuban kelas SMPN 9 tersebut
kepada Kepala Bidang Pendidikan Dasar, Dinas Pendidikan Kota
Probolinggo, ASN. ASN mengatakan:
Permasalahan sumbangan dalam bentuk uang seperti kasus di SMPN
9, pihak Dinas Pendidikan dengan tegas tidak setuju karena tidak
sesuai dengan ketentuan dalam peraturan Mendikbud nomor 161
tahun 2014 yaitu tidak boleh memungut uang dari masyarakat.

Sehubungan dengan hal di atas penulis melakukan konfirmasi kepada


Ketua komite sekolah SMPN 9, JK yang mengemukakan:
Komite sekolah memang telah sepakat dengan orang tua siswa untuk
mengumpulkan dana sukarela untuk merabilitasi ruang kelas dan
setelah terkumpul kami serahkan kepada sekolah. Namun akhirnya
dikembalikan oleh sekolah dengan alasan dinas pendidikan tidak
meperbolehkan karena melanggar ketentuan yang berlaku. Sekarang
dana tersebut kami simpan di rekening komite sekolah dan
penggunaannya akan dibicarakan kembali dengan para orang tua
siswa.

Memperhatikan hasil wawancara tersebut di atas, dapat


disimpulkan bahwa interaksi sekolah dan komite sekolah beserta paguyuban
kelas dalam bentuk kerjasama untuk memperbaiki pelayanan publik, namun

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 189


demikian harus memperhatikan peraturan yang berlaku dan sedangkan Dinas
Pendidikan telah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan
pemerintah pusat.
Sehubungan dengan uraian tentang interaksi tingkat governance lokal
dengan governance nasional di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
interaksi bersifat koordinatif-hirarki dalam arti governance lokal melaksanakan
kebijakan governance nasional dan sekaligus menjadi pembatas governance
lokal di dalam melakukan inovasi pelayanan publik.

E. Inovasi Kebijakan dan Administrasi pada Pelayanan Pendidikan


Perbaikan pelayanan pendidikan yang dilakukan oleh sekolah yaitu
melalui inovasi kebijakan sekolah dan administrasi untuk melaksanakan
kebijakan sekolah tersebut. Uraian di bawah ini adalah contoh beberapa
inovasi kebijakan dan administrasi sekolah yaitu:
1) Kebijakan Pembinaan Siswa
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kebijakan pembinaan
siswa SMPN 9 Kota Probolinggo, terlihat bahwa perilaku para siswa sangat
tertib, baik ketika masuk sekolah, waktu istirahat dan waktu ibadah siang hari
di mushola. Sehubungan dengan kebijakan sekolah tersebut, penulis
melakukan wawancara kepada kepala SMPN 9, SBD dan ia mengatakan:
Pada awalnya yaitu tahun lalu ketika saya menjadi kepala sekolah
SMPN 9 ini, kondisi perilaku para siswa terkesan kurang tertib. Setelah
saya memberikan teladan dalam kedisiplinan dan ketertiban selalku
kepala sekolah, maka saya mulai memikirkan bagaimana mengubah
perilaku para siswa untuk tertib dan disiplin. Kemudian saya kumpulkan
para guru dan tenaga kependidikan untuk mencari masukan terkait
dengan perilaku para siswa tersebut. Berikutnya hasil dari rapat
dengan para guru, saya sampaikan kepada komite sekolah dan
perwakilan paguyuban kelas dalam forum rapat antara sekolah dan
komite sekolah. Pada rapat tersebut saya, guru, komite sekolah dan
paguyuban kelas sepakat untuk menyusun bersama kebijakan tentang
pembinaan siswa.

Dalam hubungan dengan kebijakan pembinaan siswa tersebut,


maka penulis melakukan wawancara dengan salah satu orang tua siswa, RN
dengan mengatakan:

190 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Pihak sekolah telah merespon pengaduan dari orang tua siswa, karena
sebelum kebijakan tersebut sering kejadian yaitu siswa kurang tertib
dalam mengikuti kegiatan di dalam sekolah, misalnya saat mau sholat
dhuhur, seringkali masih berada di kantin atau di depan kelas, dan
masuk ke sekolah atau kelas sering terlambat atau kurang disiplin. Oleh
karena itu saya bersama orang tua siswa lainnya diundang oleh sekolah
untuk membahas tentang peraturan atau kebijakan untuk
mendisiplinkan para siswa.

Memperhatikan hasil wawancara tersebut di atas, dapat


disimpulkan bahwa inovasi kebijakan disusun secara bersama antara sekolah
dengan orang tua siswa ini merupakan pemenuhan terhadap pengaduan
orang tua siswa, karena pada kepemimpinan kepala sekolah yang lalu tidak
mendapat perhatian, sehingga sekolah menghadapi kondisi yang kurang
tertib.
Selanjutnya, setelah inovasi kebijakan sekolah diambil untuk
menghadapi suatu kondisi sekolah yang semakin kurang tertib, maka untuk
melaksanakan inovasi kebijakan tersebut, pihak sekolah melakukan tindakan
yang sebagaimana yang dikemukakan oleh kepala SMPN 9 Kota
Probolinggo, SBD, sebagai berikut:
Saya selaku kepala sekolah yang baru menjabat satu tahun, sangat
tertantang untuk membenahi sekolah ini, karena di samping saya
mendapat bekal pelatihan kepala sekolah juga mengikuti program
Kinerja USAID yang membekali untuk pengelolaan MBS berorientasi
pelayanan publik. Kebijakan pembinaan siswa didorong oleh
pengaduan dari orang tua siswa yaitu anaknya kurang tertib di sekolah.
Orang tua mengetahui kondisi anaknya dari melihat sendiri di sekolah
dan hasil rapat antara sekolah dan komite beserta paguyuban kelas.
Agar kebijakan ini dapat dioperasionalkan maka saya mengundang
para guru, tenaga kependidikan bersama komite sekolah untuk rapat.
Hasil rapat menghasilkan konsep buku di mana di dalam buku tersebut
berisikan tata tertib perilaku siswa di sekolah, berita acara dalam
bentuk tabel yang isinya terdiri dari hari dan tanggal kejadian pemberian
penghargaan untuk tindakan yang dianggap baik oleh guru dan
hukuman untuk tindakan siswa yang melanggar tata tertib tersebut.
Berita acara tersebut wajib ditandatangani oleh guru dan orang tua/wali
siswa dan harapan saya para siswa semakin tertib dalam tindaknya dan
kondisi sekolah menjadi kondusif dan nyaman untuk belajar, yang pada
akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 191


Sehubungan dengan kebijakan sekolah tersebut orang tua siswa
RN dari SMPN 9, mengatakan:
Dengan adanya buku tata tertib dan komunikasi orang tua dengan
sekolah ini, saya setiap hari dapat minta buku tersebut, karena dengan
buku tata tertib ini saya dapat mengetahui perilaku anak saya di
sekolah. Saya tinggal tanda tangan apabila ada penghargaan maupun
hukuman dalam buku tersebut, termasuk sholat dhuhur di mushola
sekolah.

Berikutnya penulis konfirmasi kepada Guru SMPN 9, EM yang


mengemukakan sebagai berikut:
Kebijakan pembinaan siswa dalam pelaksanaannya menjadi tanggung
jawab antara sekolah dan orang tua siswa, karena dengan kemitraan
dalam bentuk kerjasama ini, beban kerja sekolah lebih ringan jika
dibandingkan dengan menjadi tanggung jawab sekolah sendirian.
Kebijakan pembinaan siswa tersebut diberi nama buku tata tertib dan
komunikasi orang tua siswa dengan sekolah itu dibagikan ke seluruh
siswa dan dibawa setiap hari oleh siswa, sehingga setiap ada hal yang
terkait dengan perilaku siswa direkam di buku tersebut. Sedangkan
orang tua/wali siswa dan guru wajib menandatangani berita acara yang
termuat di buku tata tertib dan komunikasi orang tua siswa dengan
sekolah.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara tersebut di atas,


dapat dimaknai bahwa kebijakan pembinaan siswa untuk mengubah perilaku
siswa yang pada awalnya cenderung tidak tertib dan seringkali melanggar
peraturan sekolah. Dalam pelaksanaan inovasi kebijakan tersebut diperlukan
suatu mekanisme di mana setiap pelanggaran maupun penghargaan prestasi
diketahui oleh pihak sekolah, orang tua siswa dan siswa itu sendiri.
Mekanisme pembinaan siswa agar efektif, sekolah mencetak buku
pengendali yang dinamakan Buku Tata Tertib dan Komunikasi Orang Tua
dengan sekolah.

192 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Secara visual dapat dilihat sampul luar, seperti pada gambar 25 di
bawah ini.

Gambar 25. Buku Tata Tertib & Komunikasi Orang Tua Siswa dengan Sekolah di
SMPN 9 Kota Probolinggo. (Sebelah kiri Kepala Sekolah dan kanan
Walikota Probolinggo)
2) Kebijakan Supervisi Pembelajaran di Kelas
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap inovasi kebijakan supervisi
pembelajaran di kelas di SMPN 9 didukung oleh beberapa guru sebagai
pengawas pembelajaran. Kepala sekolah mengeluarkan surat keputusan
tentang pengawas pembelajaran. Pengawas ini berjumlah 12 orang termasuk
Kepala Sekolah. Kesebelas pengawas harus masuk ke dalam kelas,
meskipun ada pelajaran tetap masuk karena tidak mengganggu. Pengawas
akan duduk di kursi paling belakang, dan mengamati guru selama mengajar,
sambil mengisi check list yang berisi 10 aspek yang diamati. Hasil
pengamatan ini akan dibawa ke rapat pengawas yang dipimpin oleh Kepala
Sekolah dan hasilnya akan dibawa di rapat seluruh guru. Namun demikian,
khusus terkait dengan masalah personal, maka kepala sekolah akan
memanggil secara pribadi dan sedangkan kasus yang bersifat umum akan
disampaikan langsung tanpa menyebut sebuah nama orang yang
bersangkutan.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 193


Sehubungan dengan adanya kebijakan supervisi pembelajaran di
kelas pada SMPN 9 Kota Probolinggo, penulis melakukan wawancara
dengan kepala sekolah SMPN 9, SBD yang mengemukakan sebagai berikut:
Saya sebagai kepala sekolah merespons terhadap pengaduan dari
orang tua siswa, yang menghendaki prestasi anakny meningkat. Perlu
diketahui bahwa latar belakang orang tua siswa adalah dari golongan
masyarakat menengah ke bawah seperti sebagai profesi sopir, tukang
kayu, pembantu rumah tangga dan sebagainya, sehingga mereka tidak
banyak uang untuk membiayai les di bimbingan belajar di luar sekolah.
Oleh karena itu, para orang tua siswa mengharapkan sekolah
membekali anaknya dengan pembelajaran yang cukup agar dapat nilai
ujian yang baik. Pengaduan ini masuk akal juga, karena faktor biaya
menjadi penghambat bagi orang tua siswa yang ingin anaknya
mengikuti les tambahan di luar sekolah. Akhirnya, saya selaku kepala
sekolah yang bertanggung jawab terhadap prestasi siswa,
sebagaimana yang menjadi bahan pengaduan orang tua yang ditujukan
ke sekolah, maka saya segera mengundang seluruh guru, komite
sekolah, dan perwakilan paguyuban kelas untuk membahas
pengaduan orang tua siswa tersebut. Hasil dari rapat tersebut sepakat
bahwa sekolah perlu meningkatkan kinerja para guru, agar prestasi
belajar para siswa meningkat. Oleh karena itu, berdasarkan beberapa
masukan baik dari guru maupun komite sekolah, maka saya
memutuskan untuk mengambil kebijakan sebagai solusi terhadap
pokok pengaduan orang tua siswa tersebut, yaitu kebijakan supervisi
pembelajaran di kelas.

Berikut penulis konfirmasi ke orang tua siswa SMPN 9, RN untuk


mengetahui lebih lanjut tentang pelaksanaan kebijakan supervisi
pembelajaran di kelas, penulis melakukan wawancara RN yang menyatakan:
Dengan adanya kebijakan supervisi pembelajaran tersebut, saya selaku
orang tua merasa senang karena kegiatan belajar di kelas menjadi lebih
baik dan saya mengharapkan dapat mebekali anak saya untuk
menempuh ujian dengan penuh keyakinan dan saya tidak perlu
mengeluarkan uang untuk les mata ujian sekolah.

Kemudian dilanjutkan dengan wawancara dengan guru SMPN 9,


EM dan ia mengatakan:
Saya sebagai guru sekaligus menjadi pengawas pembelajaran,
mengangap bahwa kebijakan supervisi pembelajaran memang penting

194 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


untuk meningkatkan kinerja guru dan seklaigus untuk meningkat
prestasi siswa. Saya menyadari bahwa pengaduan orang tua siswa
tentang keinginan agar anaknya mencapai prestasi yang baik, tanpa
memberikan tambahan les bimbingan belajar di luar sekolah, pihak
sekolah harus menyikapi dengan arif bijaksana. Kebijakan supervisi
pembelajaran di kelas adalah jawaban dan pemenuhan janji perbaikan
pelayanan kepada orang tua siswa yang dilakukan oleh sekolah.

Berdasarkan hasil wawancara baik dari pihak sekolah maupun


masyarakat tentang kebijakan supervisi pembalajaran di kelas tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kebijakan yang telah diambil sekolah secara partisipatif
dengan melibatkan komite sekolah beserta orang tua siswa, disebabkan oleh
adanya pengaduan dari orang tua siswa yaitu tentang perlunya perbaikan
pembelajaran agar prestasi siswa dapat meningkat tanpa tambahan
bimbingan belajar ke luar sekolah dengan alasan tingkat sosial ekonomi orang
tua siswa yang relatif rendah.
Bagaimana pelaksanaan kebijakan supervisi pembelajaran di kelas
ini, maka penulis mengkonfirmasikan hal ini kepada SBD, selaku kepala
SMPN 9 Kota Probolinggo. SBD mengatakan:
Dalam rangka mekanisme pelaksanaan kebijakan supervisi
pembelajaran di kelas ini, saya mengangkat sebelas orang guru untuk
supervisi pembelajaran di kelas dan saya menjadi koordinator Tim
Supervisi ini. Jadwal supervisi minimal setiap bulan dilakukan minimal
satu kali supervisi. Secara periodik tiga bulan sekali saya mengadakan
rapat evaluasi dengan para supervisor. Setiap supervisor wajib
menyampaikan hasil supervisi pembelajaran di kelas dalam forum rapat
evaluasi. Hasil evaluasi dibagi menjadi dua, yaitu kategori yang terkait
dengan kinerja guru dan kedua yang terkait dengan permasalahan non
guru. Kategori kinerja guru adalah pelaksanaan pembelajaran yang ada
hubungan dengan cara mengajar, penguasaan materi dan lain-lainnya,
sedangkan kategori non guru adalah yang ada hubungannya dengan
materi pelajaran, suasana pembelajaran, sarana dan prasarana yang
digunakan oleh guru dan lain-lain sebagainya. Jika yang terjadi
menyangkut masalah guru, maka guru yang bersangkutan saya panggil
sendiri empat mata, agar kewibawaan guru yang bersangkutan tidak
jatuh di depan para guru, dan yang termasuk permasalahan yang
menyangkut non guru, saya sampaikan secara umum di depan rapat
guru. Apabila ada yang perlu disampaikan kepada orang tua siswa,
maka pihak sekolah akan mengundang komite sekolah dan perwakilan
paguyuban kelas.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 195


Bagaimana pendapat guru terkait dengan pelaksanaan kebijakan
supervisi pembelajaran di kelas, penulis melakukan wawancara dengan
seorang guru SMPN 9, EM. EM mengatakan:
Sebelum saya melakukan supervisi, dipersiapkan dulu ceklis dengan
10 item yang harus diisi berdasarkan data lapangan atau di kelas.
Setiap kelas ada bangku dan kursi di belakang untuk tempat kerja
supervisor. Saya sebagai guru sekaligus menjadi supervisor
pembelajaran, pada awalnya saya agak tidak enak dengan sesama
guru, akan tetapi karena ini tugas dari sekolah, maka saya melakukan
dengan penuh tanggungjawab dan obyektif. Hasil dari supervisi ini
akan disampaikan dalam forum rapat evaluasi hasil supervisi
pembelajaran di kelas yang dipimpin oleh kepala sekolah selaku
koordinator tim. Sedangkan tindak lanjut dari hasil rapat tersebut,
kepala sekolah yang akan melakukan perbaikan baik untuk kinerja guru
maupun melengkapi sarana dan prasarana yang diperlukan sesuai
dengan kemampuan keuangan sekolah dan/atau partisipasi dari orang
tua siswa. Dan bahkan akan direkomendasikan kepada dinas
pendidikan untuk pelatihan guru atau pengadaan sarana dan
prasarana.

3) Kebijakan Pembiayaan Kegiatan Ekstra Kurikuler


Berdasarkan hasil pengamatan terhadap inovasi kebijakan
pembiayaan kegiatan ekstra kurikuler di SDN Sukabumi 1 Kota Probolinggo,
berapa guru mengerjakan buku yang diberi nama: ”Buku Tabungan Rekreasi
dan Gebyar Seni SDN Sukabumi 1.” Setiap siswa memiliki buku tersebut dan
setiap bulan rutin menabung sedikit demi sedikit, sehingga suatu saat tiba
untuk kegiatan gebyar seni dan juga rekreasi maka tinggal menggunakannya.
Dengan demikian, sekolah melakukan inovasi kebijakan sekolah tersebut,
karena secara mendadak mengumpulkan uang untuk rekreasi atau kegiatan
ekstra kurikuler gebyar seni, tidaklah mungkin karena memerlukan biaya
relatif besar. Inovasi kebijakan tersebut untuk menjawab terhadap pengaduan
tentang adanya pengumpulan dana untuk rekreasi dan pentas seni yang
memberatkan orang tua siswa. Di samping itu, sekolah ingin memberikan
pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, sehingga sekolah memfasilitasi
kegiatan rekreasi tersebut dengan alasan bahwa pada umumnya setiap
sekolah akan melakukan rekreasi setiap liburan sekolah atau lulus sekolah.
Sedangkan gebyar seni ini pada umumnya diselenggarakan oleh Pemerintah
Daerah setiap tanggal 17 Agustus.

196 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Sehubungan dengan hasil pengamatan di atas terhadap kebijakan
pembiayaan kegiatan ekstra kurikuler, penulis melakukan wawancara dengan
kepala SDN Sukabumi 1, END. END mengatakan:
Pada awalnya ada pengaduan dari orang tua siswa bahwa agak
keberatan apabila ada sumbangan sukarela untuk kegiatan ekstra
kurikuler, yaitu kegiatan rekreasi dan gebyar seni. Saya sebagai
sekolah memahami atas pengaduan dari orang tua siswa tersebut,
karena setiap tahun ada rekreasi dan gebyar seni. Dilema terjadi karena
ada kegiatan rutin, di satu pihak perlu ada kegiatan rekreasi dan gebyar
seni, di lain pihak perlu dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, dalam
pertemuan antara pihak sekolah dengan komite sekolah dan
paguyuban kelas, maka berdasarkan beberapa masukan dari guru,
komite dan paguyuban, maka saya putuskan untuk mengambil
kebijakan tentang pembiayaan kegiatan ekstra kurikuler, yaitu Rp
5.000,-; Rp 7.500,- atau Rp 9.000,- per anak/bulan tergantung kondisi
dan kemampuan keuangan para orang tua siswa. Agar kebijakan ini
dapat terlaksana dengan tertib, maka diputuskan bahwa sekolah
membuat semacam buku yang kita beri nama: ”Buku Tabungan
Rekreasi dan Gebyar Seni.” Di samping itu, pengumpulan uang
dilakukan oleh orang tua kelas masing-masing kelas, dan untuk
transparansi dan akuntabilitas setiap pertemuan rutin dengan orang
tua, maka orang tua siswa dapat menghitung sendiri dan dicocokan
dengan catatan orang tua kelas, agar terjadi saling percaya antara
orang tua kelas dan orang tua siswa. Perlu saya sampaikan bahwa
menabung ini dilakukan sejak siswa kelas satu.

Konfirmasi terhadap hasil wawancara dengan kepala sekolah, maka


penulis melakukan wawancara dengan Guru SDN Sukabumi 1, LLK yang
menyatakan:
Saya di samping sebagai guru kelas, diberi tugas tambahan oleh
kepala sekolah untuk mencatat tabungan siswa di buku tabungan
rekreasi dan gebyar seni. Tugas ini merupakan bentuk kepedulian
sekolah akan kegiatan ekstra kurikuler dan sekaligus pihak sekolah
sebagai penyedia pelayanan wajib memberikan pelayanan kepada
pengguna pelayanan yaitu orang tua siswa dan siswa. Sebagian besar
siswa menabung lima ribu rupiah setiap bulannya. Rekapitulasi jumlah
tabungan selalu disampaikan ke forum rapat antara orang tua kelas dan
orang tua siswa, dan pada saat itu orang tua diperbolehkan untuk
mencocokan jumlah uang di tabungan dengan catatan orang tua. Di
sini pihak sekolah sudah transparan di mana para orang tua dapat
mengetahui berapa besar jumlah tabungan anaknya.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 197


Kemudian untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan
pembiayaan kegiatan ekstra kurikuler tersebut di atas, maka penulis
melakukan wawancara dengan orang tua siswa SDN Sukabumi 1, DDK dan
ia mengatakan:
Pengaduan dari para orang tua siswa termasuk saya, terkait dengan
kebutuhan dana yang kalau mendadak dirasakah agak memberatkan
orang tua siswa. Kebutuhan dana yang dimaksud adalah yang rutin itu
biaya rekreasi dan biasanya gebyar seni, terutama menjelang hari ulang
tahun kemerdekaan republik Indonesia. Akhirnya sekolah merespons
melalui rapat bersama dengan komite sekolah serta perwakilan
paguyuban kelas, dengan diterbitkannya kebijakan pembiayaan
kegiatan ekstra kurikuler. Mekanisme untuk menjalankan kebijakan
tersebut, bahwa sekolah menyediakan buku tabungan rekreasi dan
gebyar seni dan para siswa diminta menabung boleh Rp 5.000,- atau
Rp 7.500 atau Rp 9.000. Seperti anak saya, rutin setiap bulan
menabung ke orang tua kelasnya sendiri.

Berdasarkan uraian pengamatan dan hasil wawancara yang terkait


dengan inovasi kebijakan pembiayaan kegiatan ekstra kurikuler yang
dilakukan oleh sekolah SDN Sukabumi 1 Kota Probolinggo, maka dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu inovasi kebijakan disusun
atas dasar pengaduan dari orang tua siswa yang menurut pendapatan
mereka kebijakan selama ini relatif memberatkan, karena adanya faktor
kondisi sosial-ekenomi orang tua siswa yang berasal dari golongan
menengah ke bawah. Kemudian untuk melaksanakan kebijakan tersebut
perlu diatur suatu mekanisme kerja dan instrumennya serta prosedur yang
baku agar kebijakan tersebut dapat dicapai seoptimal mungkin dan sesuai
dengan maksud dari inovasi kebijakan tersebut. Dalam pelaksanaan
kebijakan sedapat mungkin melibatkan seluruh unsur pemangku kepentingan
di bidang pendidikan.
Berdasarkan uraian tentang peran aktor, pelaksanaan program
MBS-BPP, kendalan internal, tantangan eksternal dan inovasi kebijakan dan
administrasi pelayanan publik sektor pendidikan, dapat dilihat model eksisting
pada gambar 26 berikut ini.

198 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 199
Penjelasan model eksisting pelaksanaan program MBS-BPP di
Kota Probolinggo, sebagai berikut:
1) Pelaksanaan program MBS-BPP mengacu pada UU No. 25/2009, UU
No. 23/2014, , Perda Jatim No. 11/2005 jo No. 8/2011 tentang
Pelayanan Publik, dan khususnya pada Permenpan No. 13/2009 tentang
Peningkatan Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat.
2) Peran aktor pada pelaksanaan program MBS-BPP dilihat dari perspektif
sound governance.
3) Selanjutnya setelah mendeskripsikan peran aktor pada pelaksanaan
program MBS-BPP, melihat tahapan pelaksanaan program MBS-BPP
dalam perspektif sound governance.
4) Pada pelaksanaan program MBS-BPP dalam perspektif sound
governance akan menghadapi beberapa kendala internal dan tantangan
eksternal.
5) Interaksi antar aktor, pelaksanaan program MBS-BPP, kendala internal,
dan tantangan eksternal dapat berdampak pada besar kecilnya tingkat
perbaikan pelayanan publik (improving public service). Oleh karena itu,
sekolah bersama stakeholders bidang pendidikan berupaya melakukan
inovasi kebijakan dan agar kebijakan tersebut dapat dilaksanakan sesuai
dengan maksud diambilnya kebijakan tersebut, maka sekolah
mengadministrasikan kebijakan tersebut dengan pengorganisasian yang
efektif dan mekanisme kerja yang menjamin perbaikan pelayanan dan
mutu pendidikan.

F. Pelayanan Publik Sektor Pendidikan


Berdasarkan uraian tentang pelaksanaan program BMS-BPP di
atas, maka selanjutnya melihat bagaimana tingkat pelayanan publik sektor
pendidikan. Sebagaimana pula yang dikemukakan oleh Farazmand (2004),
bahwa pada realitasnya 10 dimensi tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri,
melainkan diperlukan sudut pandang yang komprehensif dan saling
ketergantungan satu sama lainnya, dan saling mendukung sehingga
merupakan satu kesatuan dalam bentuk dimensi-dimensi sound governance
tersebut.
Oleh karena perspektif sound governance dilaksanakan pada level
lokal, maka pembahasan selanjutnya merujuk pada pendapat Farazmand

200 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


(2004: 18) di mana ia mengemukakan bahwa local governance di bawah
model sound governance atau dengan kata lain sound governance pada level
lokal menuntut partisipasi warga aktif, melalui keterlibatan langsung atau tidak
langsung, kerjasama dalam pemberian pelayanan, produksi bersama, dan
kerjasama di dalam pengelolaan (co-management).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa sound governance pada level lokal
adalah praktik governance yang melibatkan partisipasi masyarakat baik
secara langsung maupun tidak langsung; pengelolaan dan pemberian
pelayanan kepada masyarakat dengan cara kerjasama antar pihak yang
berkepentingan.
Dimensi sound governance yang tidak ada di level lokal adalah
dimensi konstitusi. Istilah konstitusi sendiri menurut KBBI QT Media
mengandung arti segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan
(Undang-undang Dasar) atau Undang-undang suatu negara. Sedangkan
menurut wikipedia yang dimaksud konstitusi atau Undang-undang Dasar
(bahasa Latin: constitutio) Berdasarkan uraian tentang masalah dimensi
konstitusi dari sound governance tersebut, menegaskan bahwa dimensi
konstitusi berada pada posisi level national governance.
Ada beberapa kriteria sound governance pada level lokal untuk
melihat proses pelayanan publik yaitu:
(1) Adanya keempat aktor governance, yaitu: pemerintah, privat,
masyarakat, global;
Keempat aktor tersebut berinteraksi dengan mengedepankan berbagai
peran, sehingga mereka saling mendukung satu sama lain dalam
pelayanan publik.
(2) Adanya dimensi-dimensi: proses, struktur, kognisi dan nilai, organisasi
dan institusi, manajemen dan kinerja, kebijakan, sektor, kekuatan global,
etika, akuntabilitas dan transparansi;
Beberapa dimensi tersebut saling mendukung satu dengan yang lain
dalam pelayanan publik.
(3) Menuntut partisipasi aktif warga, melalui keterlibatan langsung atau tidak
langsung;

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 201


Oleh karena perlunya partisipasi aktif warga dalam pelayanan publik,
maka warga dapat menentukan sendiri, apakah terlibat langsung
ataupun tidak langsung. Hal ini dapat dipahami oleh semua warga yang
terlibat, karena pada umumnya mereka telah memiliki pekerjaan sendiri-
sendiri yang perlu mendapat perhatian pula.
(4) Adanya kerjasama dalam pemberian pelayanan;
Kerjasama ini yang dimaksud adalah saling mendukung dan interaksi
antar aktor yang terlibat dalam penyedia pelayanan untuk memberikan
pelayanan kepada pengguna pelayanan.
(5) Adanya produksi bersama;
Produksi bersama mulai dari perencanaan, proses produksi pelayanan
antara penyedia pelayanan dengan pengguna pelayanan dalam rangka
pelayanan publik tertentu.
(6) Kerjasama di dalam pengelolaan (co-management);
Kerjasama ini dimaksudkan bahwa antar aktor terlibat di dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, reformasi
pelaksanaan pelayanan publik.
(7) Adanya inovasi kebijakan dan administrasi.
Inovasi kebijakan dalam governance pelayanan publik adalah penting
untuk adaptasi dan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan dunia
yang cepat dalam era globalisasi. Selanjutnya, dibutuhkan inovasi dalam
proses administratif dan struktur untuk organisasi dan manajemen suatu
sistem governance dan untuk pelaksanaan yang efektif dari kebijakan
inovatif pelayanan publik yang telah ditetapkan.

Berdasarkan uraian di atas tentang: -peran aktor, pelaksanaan


program, kendala internal, dan tantangan eksternal serta inovasi kebijakan
dan administrasi di atas dan kemudian peran aktor dan pelaksanaan program
MBS-BPP dalam 5 (lima) tahapan, yaitu: (a) tahap pertama: survei
pengaduan masyarakat, penyusunan IPM dan janji perbaikan pelayanan serta
rekomendasi teknis; (b) tahap kedua: penyusunan perencanaan dan
penganggaran sekolah; (c) tahap ketiga: pemenuhan janji perbaikan
pelayanan dan rekomendasi teknis; (d) tahap keempat: monitoring dan

202 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


evaluasi pemenuhan janji perbaikan pelayanan; dan (e) tahap kelima:
reformasi janji perbaikan pelayanan dan rekomendasi teknis-, akan dianalisis
dengan menggunakan dimensi sound governance dari Farazmand (2004).
Kelima tahapan tersebut hasil pengembangan dari Peraturan Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan
Kualitas Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat. Sedangkan
kendala internal dan tantangan eksternal yang dihadapi di pada pelaksanaan
program MBS-BPP dianalisis dengan beberapa dimensi sound governance
dan analisis SWOT khususnya kelemahan (weakness) atau kendala internal
dan tantangan (threats) ekternal, sedangkan inovasi kebijakan dan
administrasi, dianalisis dengan menggunakan perspektif sound governance.

1. Peran Aktor dalam Pelayanan Publik Sektor Pendidikan


Sebelum pembahasan lebih lanjut tentang peran aktor pada
pelaksanaan program MBS-BPP dalam perspektif sound governance,
berikut ini ringkasan kajian tentang aktor governance.
Sehubungan dengan peran aktor, Tabak (2015: 35-38)
mengemukakan bahwa pada saat ini para ahli telah memusatkan perhatian
teorinya tentang hal antara individual dan kolektif, sehingga diskursus bidang
ini didominasi oleh dikotomi seperti individual/kolektif, khusus/umum,
lokal/global, teknologi/sosial. Aktor adalah terdiri dari beberapa agen,
kolektif atau individual yang dapat digabung atau tidak digabung dengan
aktor-aktor lain sesuai dengan komponen jaringannya. Selanjutnya, fokus
antara interaksi lokal dan struktur sosial memiliki 3 (tiga) konsekuensi penting,
yaitu: (1) jaringan tidak menggambarkan makro sosial, tetapi menunjukkan
penjumlahan interaksi melalui berbagai jenis perangkat, bentuk dokumen
catatan kejadian dan formula, menuju ke dalam sesuatu yang sangat lokal,
sangat praktis, dan lokus yang sangat kecil (Latour, 1999a: 17 dalam Tabak,
2015); (2) tindakan dengan subyektivitas, dengan intensitas dan dengan
moralitas; (3) aktor tidak main peran agensi maupun jaringan peran struktur
sosial, tetapi lebih hanya penjumlahan lokal di mana memproduksi totalitas
lokal lain atau lokalitas total. Jaringan adalah suatu konsep untuk mendesain
hubungan daripada struktur, dan suatu entitas adalah suatu aktor hanya
dalam relasi dengan entitas lainnya.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 203


Sehubungan dengan jaringan aktor, Fenwick dan Edwards (Ed)
(2012: xxi) dengan mengacu pada Actor Network Theory (ANT) telah
menganalisis tantangan yaitu asumsi pondasi konsepsi pembangunan dan
pembelajaran pendidikan tertentu, agensi, identitas, pengetahuan dan
pengajaran, kebijakan dan praktik. Implikasi dari hasil analisis tersebut
sebagaimana Fenwick (2012: 97) menyatakan bahwa ada cenderung untuk
memfokuskan pada aktor yang sangat kuat, mensederhanakan seluruh
fenomena, sehingga dapat dilipat ke dalam suatu ontologi jaringan, dan
sekaligus untuk memahami ke lokasi di mana aktor berada.
Pembahasan berikutnya dikhususkan pada aktor internasional atau
global, sebagaimana yang dikemukakan oleh Oestreich (Ed), 2012: 1) bahwa
organisasi internasional dapat bermakna, aktor yang bebas (independent)
dalam hubungan internasional. Semua aktor global tersebut bekerja dengan
kreatif yang dapat mempengaruhi politik dunia (kebijakan negara-negara
seluruh dunia) sebagai tempat norma sosial dan ekspektasi.
Sedangkan isu global lain yaitu tentang kesejahteraan sosial Ervik
et al., (2009: 1- 2) mengemukakan bahwa gagasan-gagasan kebijakan
kesejahteraan sosial yang dilakukan oleh aktor internasional dan nasional,
menunjukan adanya banyak aspek globalisasi dan integrasi ekonomi yang
telah ditingkatkan untuk menguatkan aspek kebijakan sosial internasional dan
transnasional. Arus barang, jasa modal dan pekerja, bentuk-bentuk migrasi
yang lain dan perubahan demografis, semua membawa konsekuensi bagi
kebijakan sosial nasional, dan menciptakan tantangan kelembagaan pada
umumnya.
Memperhatikan uraian tentang pengertian, peran, dan jaringan aktor
dan level governance di atas, serta memperhatikan skala isu, maka jenis aktor
dapat dikelompokkan menjadi aktor lokal, nasional, regional dan global.
Pembahasan selanjutnya tentang keterkaitan aktor dengan proses
pembuatan kebijakan publik, Howlett dan Ramesh (1995: 52-59) menyatakan
bahwa tidak dapat meniadakan peran aktor. Sedangkan yang dimaksud aktor
adalah individu atau kelompok. Aktor yang terlibat dalam wilayah kebijakan
yang khusus dapat ditunjukkan secara kolektif oleh suatu subsistem
kebijakan. Ada lima kategori aktor kebijakan: pejabat yang dipilih, pejabat
yang ditunjuk, kelompok kepentingan, organisasi penulisan, dan media
massa. Namun demikian prinsip negara berdasar hukum dan demokrasi

204 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


memerlukan keterlibatan aktor perusahaan (privat) yang tertarik dengan
problem kolektif (Knoepfel at al, 2007: 46), tetapi aktor perusahaan tersebut
tipikelnya organisasi top-down dan di bawah kontrol pemiliknya, sehingga
keterlibatannya tidak aktif (Scharpf, 1997: 56).
Pembahasan lebih lanjut tentang aktor kebijakan, Hermans dan
Cunningham dalam Thissen dan Walker (2013: 190-192) menyatakan bahwa
kompleksitas multi-aktor dapat ditemukan dalam konteks penyusunan
kebijakan, tetapi juga dalam domain sistem untuk kebijakan.
Dua elemen terakhir ini – aktor kebijakan dengan tumpang tindih
domain, dan tindakan sosial yang muncul – adalah dihubungan dengan aktor,
dan mungkin, karena itu, dijelaskan secara tuntas melalui penggunaan model
aktor. Bagaimanapun juga elemen-elemen ini mewakili pilihan-pilihan aktor
secara intensional, tidak tindakan secara alamiah. Pemodelan mereka
sebagai kekuatan sistem, bukan kekuatan aktor, mungkin menyesatkan.
Meskipun ini cocok untuk model komponen kerangka kerja ini sebagai aktor
sistem, tidak lah mereka mewakili ketidakpastian secara substansial
perhatian pada kerja sistem.
Dalam perspektif sound governance bahwa dimensi struktur adalah
badan yang terdiri dari unsur-unsur, yaitu: konstitutif, aktor, aturan, peraturan,
prosedur, kerangka kerja pengambilan keputusan, dan sumber-sumber
kewenangan yang menyetujui atau melegitimasi proses governance. Dimensi
struktur ini berfungsi sebagai pengarah dimensi proses (Farazmand, 2004).
Berdasarkan definisi struktur di atas, perlu mendapat perhatian bahwa aktor
merupakan salah satu unsur dari badan atau struktur, namun ada pendapat
bahwa aktor dapat berwujud person dan organisasi/badan (Kappen, 1999:3-
6; Forsythe dan Flanagan, 2007: 1-5; Howlett dan Ramesh, 1995: 52-59).
Demikian pula dalam penulisan ini aktor dapat dipahami tidak hanya person
dan badan, tetapi lebih cenderung pada pemahaman aktor sebagai person.
Penjelasan selanjutnya adalah, bahwa sekolah, komite sekolah, dan
paguyuban kelas adalah badan, sedangkan kepala sekolah, ketua komite
sekolah, dan ketua paguyuban dipahami sebagai person.
Temuan penulisan ini adalah: (1) peran aktor sekolah adalah
sebagai koordinator, fasilitator, dan pengambil keputusan terakhir serta
membuka jaringan kerja (networking) dengan pihak lain; (2) peran aktor
masyarakat sebagai pemberi masukan dan partisipan, pemberi persetujuan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 205


dan pengesahan dokumen hasil kesepakatan bersama antar aktor, serta
pengelola dana partisipasi masyarakat dan penyelenggara monev terhadap
pelaksanaan janji perbaikan pelayanan. Ada aktor komite sekolah yang
menjadi anggota lintas organisasi dan lintas sektor adalah sangat efektif untuk
mempengaruhi kebijakan internal sekolah. Paguyuban kelas sebagai aktor
dari kelompok informal membantu sekolah dengan berpartisipasi secara aktif
memperbaiki pelayanan pendidikan atas dasar kepentingan bersama (co-
interest) antara aktor masyarakat sebagai pengguna pelayanan, dengan aktor
sekolah sebagai penyedia pelayanan. Aktor komite sekolah yang menjadi
anggota lintas organisasi dan lintas sektor adalah sangat efektif untuk
mempengaruhi kebijakan internal sekolah. Paguyuban kelas sebagai aktor
dari kelompok informal membantu sekolah dengan berpartisipasi secara aktif
memperbaiki pelayanan pendidikan atas dasar kepentingan bersama (co-
interest) antara aktor masyarakat sebagai pengguna pelayanan, dengan aktor
sekolah sebagai penyedia pelayanan; (3) peran aktor privat sebagai
pendukung dalam pengadaan fasilitas perbaikan pelayanan sekolah; dan (4)
peran aktor global sebagai fasilitator dalam bentuk bantuan teknis untuk
perbaikan pelayanan sekolah.
Uraian tentang temuan penulisan di atas, apabila dilihat dengan
perpektif sound governance khususnya ditinjau dari dimensi struktur, terlihat
adanya sistem governance dalam pelaksanaan program MBS-BPP di mana
melibatkan keempat aktor utama, yaitu aktor sekolah, aktor masyarakat, privat
(perusahaan) dan aktor global.
Selanjutnya uraian di bawah ini akan dijelaskan tentang
pembahasan peran aktor secara lebih terperinci pada pelaksanaan program
MBS-BPP.

a. Peran Aktor Sekolah


Apabila ditinjau dari dimensi struktural aktor sekolah ini terdiri dari
kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan. Ketiga aktor sekolah tersebut
yang paling dominan adalah kepala sekolah, yaitu peran aktor kepala sekolah
sebagai koordinator, fasilitator, pengambil keputusan tertinggi pada tingkat
sekolah dan sebagai penghubung atau pembuka jaringan (networking)
dengan pihak lain. Peran kepala sekolah yang paling menonjol inilah menjadi
modal sosial untuk melakukan perbaikan pelayanan dan mutu pendidikan.

206 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Peran kepala sekolah ini sebagai aktor sangat kuat (Fenwick, 2012: 97),
apabila dapat menumbuhkan kekuatan daya inovatif para kepala sekolah,
maka kepala sekolah tersebut akan mampu untuk memperbaiki pelayanan
pendidikan. Posisi strategis dan sangat kuat dari kepala sekolah juga diatur
dalam Permendiknas No. 13/2007 tentang Standar Kepala Sekolah, yaitu
setiap kepala sekolah harus memiliki beberapa kompetensi, yaitu:
kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial. Di samping itu
apabila ditinjau dari dimensi proses, peran aktor kepala sekolah sangat kuat
dalam interaksi antar aktor dalam pelaksanaan program MBS-BPP, karena
segala keputusan terakhir berada di tangannya.
Peran aktor sekolah sebagai koordinator dan fasilitator serta
pengambil keputusan apabila ditinjau dari dimensi struktural telah
menggunakan prosedur dan kerangka kerja pengambilan keputusan,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Farazmand (2004: 13). Dalam dimensi
organisasi dan kinerja secara lebih terperinci kepala sekolah sebagai
koordinator bagian dari aktor sekolah telah mengorganisir guru, tenaga
kependidikan sebagai bagian lain aktor sekolah, dan komite sekolah serta
paguyuban kelas sebagai bagian dari aktor masyarakat. Aktor sekolah telah
mendorong aktor masyarakat berperan aktif dalam kegiatan sekolah. Dalam
melakukan koordinasi aktor sekolah atas kesadaran dan mendasarkan pada
nilai-nilai: representasi, toleran, dan responsibilitas serta dapat menyatukan
berbagai kepentingan aktor lain, sebagai penghubung aktor lain untuk
pelayanan pendidikan sesuai yang diharapkan. Dimensi kebijakan terlihat
ketika aktor sekolah mengkoordinasi kegiatan dalam rangka penyusunan
kebijakan internal bersama dengan aktor masyarakat. Dimensi sektoralnya
terlihat ketika aktor sekolah menghubungkan semua aktor dari berbagai
bidang, termasuk aktor perusahaan dan memberikan kesempatan kepada
aktor lain untuk berpartisipasi dalam perbaikan pelayanan.
Dari dimensi struktur dan proses serta manajemen dan kinerja,
peran aktor sekolah sebagai fasilitator adalah menentukan prosedur dalam
setiap tahapan pelaksanaan program MBS-BPP dengan atas kesadaran akan
beberapa nilai-nilai, yaitu kejujuran, keadilan dan integritas. Di samping itu
aktor sekolah telah berkomitmen untuk menghasilkan produk bersama
dengan aktor lainnya dengan adanya pelayanan pendidikan di sekolah. Aktor
sekolah juga telah berhasil memfasilitasi aktor lain untuk berpartisipasi dalam

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 207


perbaikan pelayanan, di mana sekolah memberikan kebebasan aktor
masyarakat yang diperankan oleh paguyuban kelas. Kemudian dari dimensi
etika, akuntabilitas dan transparansi aktor sekolah memfasilitasi aktor lain
untuk mengakses dokumen sekolah dan aktor sekolah telah mempublikasikan
dokumen perencanaan dan penganggaran sekolah di papan informasi.
Dari dimensi proses, kognisi dan nilai serta kebijakan bahwa peran
aktor sekolah sebagai pengambil keputusan terakhir berserta pengesahan
dokumen, terlihat pada setiap tahapan pelaksanaan program MBS-BPP.
Mulai pengambil keputusan setelah mendengarkan pendapat aktor lain, yaitu
pengambil keputusan janji perbaikan pelayanan dan rekomendasi teknis,
dokumen RKA dan RKAS, serta perlu tidaknya melakukan survei ulang
pengaduan masyarakat untuk reformasi janji perbaikan pelayanan dan
rekomendasi teknis. Pengesahan terhadap dokumen kebijakan internal
setelah disepakati bersama dengan aktor masyarakat yang bersifat
partisipatif ini, atas kesadaran yang berdasarkan nilai-nilai: keadilan,
integritas, dan responsibilitas.

b. Peran Aktor Masyarakat


Berdasarkan kajian teori dan temuan penulisan peran aktor
masyarakat pada pelaksanaan program MBS-BPP, maka dapat dianalisis
sebagai berikut:
Dari dimensi kognisi dan nilai, struktural, kebijakan dan etika, akuntabilitas
dan transparansi bahwa peran aktor masyarakat sebagai pemberi masukan
dan partisipan atas kesadaran dan atas dasar nilai: kejujuran, integritas,
representatif, dan responsibilitas. Aktor komite sekolah sebagai aktor
masyarakat memberikan masukan kepada aktor sekolah yang diatur secara
formal dengan PP No.17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan. Di samping itu, aktor komite sekolah adalah pemberi masukan
dan partisipan dalam penyusunan kebijakan internal sekolah serta
menampung masukan dari berbagai kalangan kelompok masyarakat untuk
peningkatan pelayanan sekolah. Kemudian komite sekolah memberikan
masukan, diminta dan tidak diminta, secara transparan dan dapat
dipertanggungjawaban.

208 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Tinjauan dari dimensi kognisi dan nilai serta kebijakan bahwa peran
aktor masyarakat sebagai pemberi persetujuan dan pengesahan dokumen
hasil kesepakatan antar aktor atas kesadaran akan nilai-nilai: integritas dan
responsibilitas. Kesepakatan tersebut merupakan kebijakan internal yang
menjadi tanggung jawab sekolah untuk memperbaikan pelayanan sekolah
dengan rasa tanggung jawab.
Sedangkan tinjauan dari dimensi kognisi dan etika peran aktor
masyarakat sebagai pengelolaan dana partisipatif masyarakat yang dihimpun
dari orang tua siswa atas dasar kesadaran pada nilai-nilai: kejujuran,
integritas, dan responsibilitas. Selanjutnya dana yang telah dikumpulkan dari
orang tua siswa tersebut, dikelola secara mandiri oleh komite sekolah dan
dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel kepada orang tua
siswa, serta dipublikasikan pada papan informasi sekolah.
Dimensi kognisi dan nilai dapat dlihat pula pada peran aktor
masyarakat sebagai pelaksana monitoring dan evaluasi (monev) telah
melakukan dengan kesadaran pada nilai-nilai: kejujuran, integritas, dan
responsibilitas. Pelaksanaan monev dilakukan oleh Multi Stakeholders Forum
(MSF) dengan menggunakan instrumen yang baku sebagaimana yang telah
dikembangkan oleh aktor global. Sasaran monev adalah beberapa sekolah
sebagai sampel dan anggota Tim Monev berasal dari berbagai profesi atau
sektor. Sebagaimana yang telah diatur di dalam buku pedoman yang telah
difasilitasi oleh aktor global, Tim Monev melakukan monitoring terhadap
pemenuhan janji perbaikan pelayanan dan rekomendasi teknis yang juga
merupakan kebijakan internal sekolah. Selanjutnya, berdasarkan hasil dari
monev tersebut, peran aktor masyarakat berikutnya adalah sebagai
penyelenggara lokakarya hasil monev. Peran berikutnya aktor masyarakat
sebagai konseptor rekomendasi tentang saran konstruktif terhadap
pelaksanaan MBS-BPP kepada dinas pendidikan.
Temuan yang di luar teori sound governance Farazmand (2004)
adalah bahwa di Kota Probolinggo ada salah satu anggota komite sekolah
(SMPN 9) nama JK sangat aktif dalam memainkan peran sebagai aktor
Komite Sekolah dan juga aktor Dewan Pendidikan Kota Probolinggo,
sehingga dapat mendukung peran yang dijalankan selama ini. Faktor
penyebab adalah karena JK tersebut menjadi anggota lintas organisasi
(interorganizational) dan lintas sektor (intersectoral).

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 209


Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peran dua aktor yaitu sebagai
anggota Komite Sekolah SMPN 9 Kota Probolinggo, JK yang sangat aktif
melaksanakan program MBS-BPP dan Kepala Sekolah SDN Tisnonegaran
1 Kota Probolinggo, RKM sangat gigih dan ulet serta kreatif di dalam
pelaksanaan program MBS-BPP. Hal ini dibuktikan, karena telah berhasil
mengembangkan SDN Kebonsari Kulon 2 Kota Probolinggo menjadi
Laboratorium MBS-BPP. Pada tahun 2012 JK sebagai anggota Komite
Sekolah dan RKM sebagai Kepala Sekolah pada sekolah yang sama, yaitu
SDN Kebonsari Kulon 2 Kota Probolinggo. Tindakan kedua aktor tersebut di
atas, sesuai dengan pendapat Alsop at al (2006) dengan mengacu pada
Giddens tentang hubungan antara aktor (agensi) dan struktur. Penjelasannya
adalah bahwa hubungan tersebut oleh Giddens dinamakan strukturasi
(bukan strukturisasi) dalam arti kemampuan aktor untuk mempengaruhi
kebijakan yang struktural, meskipun aktor tidak di bawah lingkup struktur
tersebut. Dengan demikian hal ini menunjukkan adanya koordinasi sosial
yang lintas sektoral dan organisasional (mengesampingkan hubungan
formal).
Namun dalam kenyataannya ada komite sekolah seringkali dijadikan
formalitas untuk pengesahan keputusan sekolah dan sebaliknya ada komite
sekolah yang terlalu ikut campur terlalu dalam urusan sekolah, sehingga
menimbulkan konflik dan ketidakharmonisan hubungan kedua aktor tersebut.
Hubungan antar aktor cukup baik dalam pelaksanaan program
MBS-BPP, namun masih kurang koordinatif. Hal ini disebabkan kegiatan
aktor komite sekolah relatif padat dan tidak bisa ditinggalkan karena banyak
yang kerja pagi hingga sore hari. Kondisi tersebut di atas adalah sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Abadzi (2013) bahwa partisipasi
komite sekolah terkendala, yaitu: kekurangan waktu dan sumber daya,
kurang berpengalaman. Namun terlepas dari kendala tersebut Abadzi telah
menemukan bahwa keberadaan komite sekolah bagaimanapun juga dapat
membantu sekolah di dalam pelayanan publik. Lebih jauh Moradi et al.
(2012) dalam penelitian di Negara Iran, menemukan bahwa pelaksanaan
program MBS dapat memperbaiki prestasi akademik, monitoring staf yang
tertutup, mendekatkan kesesuaian antara keperluan sekolah dan
kebijakannya, dan lebih efektif dalam menggunakan sumber daya.

210 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Di samping adanya aktor komite sekolah yang secara formal di atur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, maka temuan lain yang merupakan kekuatan
kelompok informal, yaitu adanya peran paguyuban yang sangat efektif dalam
perbaikan pelayanan sekolah. Paguyuban kelas sebagai aktor dari kelompok
informal membantu sekolah dengan berpartisipasi secara aktif memperbaiki
pelayanan pendidikan atas dasar kepentingan bersama (co-interest) antara
aktor masyarakat sebagai pengguna pelayanan, dengan aktor sekolah
sebagai penyedia pelayanan. Kondisi ini terwujud disebabkan oleh karena
kepala sekolah yang inovatif dan komunikatif, sehingga anggota paguyuban
merasakan diperhatikan dan diberi wewenang penuh untuk mengatur ruang
kelas masing-masing, termasuk petak halaman sekolah yang telah terbagi
berdasarkan kelas masing-masing. Hubungan antara kepala sekolah dan
anggota paguyuban kelas ini atas dasar memiliki kepentingan bersama (co-
interest), di mana kepala sekolah berkepentingan pelayanan pendidikan
semakin baik dan anggota paguyuban kelas berkepentingan agar anaknya
dapat belajar dengan baik dengan lingkungan belajar di sekolah nyaman dan
indah.

c. Peran Aktor Privat


Temuan penelitian ini bahwa peran aktor privat sebagai pemberi
bantuan dalam bentuk barang untuk memperbaiki pelayanan pendidikan. Dari
dimensi kognisi dan nilai peran aktor privat melalui forum CSR dapat
membantu sekolah dalam perbaikan pelayanan pendidikan dalam bentuk
hibah barang. Namun dalam kenyataannya ditinjau dari dimensi sektoral dan
manajemen sert kinerja aktor privat ini kurang dilibatkan dan/atau kurang
melibatkan diri dalam perbaikan pelayanan pendidikan, karena beberapa hal,
yaitu:
a) Hal ini disebabkan karena aktor perusahaan tidak diatur secara jelas
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (dimensi konstitusi)
dan aktor pemerintah kurang paham dengan makna partisipasi
masyarakat, di mana tidak hanya Komite Sekolah dan Paguyuban saja,
melainkan aktor lainnya, seperti aktor perusahaan.
b) Kondisi di atas huruf a) sebagaimana yang dikemukan oleh Meuleman
(2008: 21-44) tidak adanya bentuk governance hybrids the Open

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 211


Method Coordination (OMC) di Kota Probolinggo dalam penentuan
kebijakan bersama, meskipun telah ada Forum CSR. Mengapa
demikian, karena OMC dapat dilihat sebagai suatu bentuk governance
jaringan, di mana ada keterkaitan kedua aktor yaitu aktor publik dan aktor
swasta dalam penentuan kebijakan bersama.

d. Peran Aktor Global


Temuan peran aktor global pada pelaksanaan program MBS-BPP
sebagai fasilitator untuk pendampingan teknis (technical assistance) secara
ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Melakukan kegiatan lokakarya yang terdiri dari: survei pengaduan,
penerapan SPM Pendidikan; penguatan fasilitator MBS-BPP; analisis
hasil survei pengaduan; identifikasi pencapaian SPM satuan pendidikan;
penyusunan program, kegiatan dan costing SPM Pendidikan;
penyusunan RKS dan RKAS; penerapan MBS-BPP, Service Standard;
peran serta dunia usaha dalam pelayanan publik; monitoring dan
evaluasi; pemenuhan janji perbaikan pelayanan; penyusunan instrumen
monitoring dan evaluasi; evaluasi hasil monitoring dan evaluasi; strategi
pendampingan replikasi MBS-BPP bagi fasilitator; peningkatan
kapasitas komite sekolah dan kepala sekolah mitra; keberlanjutan
peningkatan pelayanan publik bidang pendidikan.
2) Melakukan kegiatan lokalatih yang meliputi: monitoring dan evaluasi;
advokasi MSF; dan manajemen kelembagaan MSF; dan bagi
stakeholders.
3) Melakukan kegiatan Training of Trainer (ToT) yaitu: pelaksanaan
program MBS-BPP bagi fasiltator sekolah mitra dan sekolah replikasi.
4) Melakukan On Job Training (OJT) yaitu dengan tematik survei
pengaduan dan penyusunan perencanaan dan penganggaran sekolah.
5) Melakukan kegiatan pelatihan MBS-BPP bagi stakeholders.
6) Melakukan kegiatan penguatan yaitu: bagi MSF dan fasilitator MBS-
BPP.
7) Melakukan pendampingan yaitu: pelaksanaan survei pengaduan;
penyusunan SOP sekolah; penandatanganan janji perbaikan pelayanan

212 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


dan rekomendasi Kota Probolinggo; pembentukan Forum CSR;
partisipasi aktif MSF dalam Forum SKPD; partisipasi MSF dalam
Musrenbang RPJMD; pelaksanaan Monev; Monev pelaksanaan
rekomendasi teknis perbaikan pelayanan; publikasi hasil monev janji
perbaikan pelayanan dan rekomendasi teknis. Di samping itu, ada
beberapa kegiatan pendampingan secara informal yang dilakukan oleh
LPSS.
8) Melakukan kegiatan sosialisasi MBS-BPP bagi 119 sekolah replikasi
program.
9) Melakukan kegiatan memfasilitasi “Rembug” komite sekolah; konsolidasi
MSF dalam pembentukan Forum Peduli Pelayanan Publik (FP3).
10) Melakukan kegiatan FGD yang dengan fokus: pemetaan MSF Kota
Probolinggo; pemetaan PUG pada SKPD Pendidikan; pengembangan
mekanisme kerja MSF; penyusunan Concept Paper monev rekomendasi
teknis perbaikan pelayanan; dan Penyusunan Indikator PUG Bidang
Pelayanan Pendidikan.
11) Melakukan kegiatan Penyelenggaraan MBS-BPP Awards.

Aktor global (Ervik et. al,,2009:1-2) dapat bekerja ke negara-negara


di dunia untuk membantu kesejahteraan masyarakat di negara setempat, dan
dapat melalui organisasi internasional di bawah PBB (Oestreich, 2012: 1;
Cruset, 2012: 1). Namun aktor global tersebut dapat dilihat pada level lokal
yaitu di Kota Probolinggo di dalam membantu untuk perbaikan pelayanan
pendidikan, melalui organisasi internasional di bawah USAID. Peran aktor
global sebagaimana hasil temuan penulisan
Apabila dilihat dari dimensi struktur aktor global dalam fasilitasi
kegiatan lokakarya, lokalatih, pelatihan, penguatan, pendampingan,
sosialisasi, dan penyelenggaraan awards, menggunakan modul khusus untuk
MBS-BPP, prosedur penilaian, dan pedoman kunci untuk mengukur kinerja
pendampingan teknis atau performance indicator. Sedangkan apabila ditinjau
dari dimensi proses, aktor global dalam menjalankan peran sebagai fasilitator
dalam pendampingan teknis bahwa aktor global melakukan interaksi dengan
aktor sekolah, aktor masyarakat dan aktor privat. Tinjauan dari dimensi
kognisi dan nilai, aktor global dalam menjalankan peran sebagai fasilitator

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 213


dalam melakukan pendampingan teknis berdasarkan kesadaran pada nilai-
nilai: kejujuran, integritas dan responsibilitas.
Dengan tinjauan dari dimensi organisasi dan institusi dalam
menjalankan peran sebagai fasilitator aktor global pada saat pendampingan
teknis agar berjalan sesuai dengan rencana membentuk Tim Teknis pada
tingkat kota dan membentuk Tim Pengembangan Sekolah (TPS) di tingkat
sekolah dan pembentukan paguyuban kelas sebagai organisasi informal
sebagai mitra komite sekolah yang merupakan organisasi formal (PP No.
17/2010). Aktor global telah berupaya untuk membentuk laboratorium MBS-
BPP yaitu di SD Kebonsari Kulon 2 dan Klinik MBS-BPP di Kantor Dinas
Pendidikan Kota Probolinggo. Laboratorium tersebut berfungsi sebagai
tempat praktek MBS-BPP, sedangkan Klinik MBS-BPP merupakan tempat
konsultasi dan pusat pelatihan. Aktor global juga telah menyediakan spesialis
pelayanan publik lokal yaitu LPSS yang berada di Kantor Bappeda dengan
didukung oleh tenaga ahli atau STTA yang sewaktu-waktu dapat menjalankan
konsultansi di lapangan atau sekolah-sekolah atau dalam bentuk lokakarya
dan sebagainya. Pelaksanaan fasilitasi telah dengan jadwal kegiatan yang
terus diupdate yang selalu disesuaikan dengan agenda sekolah dan
pemerintah daerah.
Dalam pendampingan teknis aktor global menyusun workplan yang
memuat agenda kegiatan fasilitasi dan di dalam jadwal tersebut ditetapkan
target berdasarkan tingkat kemajuan pelaksanaan MBS-BPP di masing-
masing sekolah yang hendak dicapai beserta indikator keberhasilan. Di
samping itu dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap capaian hasil
pendampingan teknis tersebut. Kegiatan di atas merupakan sebagai kegiatan
fasilitasi program pelaksanaan MBS-BPP dari dimensi manajemen dan
kinerja. Di dalam menyusun agenda, melaksanakan kegiatan, monitoring dan
evaluasi kegiatan berdasarkan kebijakan internal yang telah diambil pada
tingkat pusat. Dengan kata lain, aktor global dalam menjalankan
pendampingan teknis program MBS-BPP dibatasi oleh kebijakan yang telah
ditetapkan oleh Kantor USAID. Jadi Provincial Coordinator program Kinerja
USAID hanya bersifat pelaksanaan kebijakan semata. Uraian di atas
memperlihatkan bahwa antara dimensi manajemen dan kinerja berkaitan
dengan dimensi kebijakan.

214 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Aktor global menjalankan peran sebagai fasiitator pendampingan
teknis melibatkan beberapa tenaga ahli seperti tenaga ahli survei pengaduan
masyarakat, ahli pendidikan, ahli standar pelayanan, ahli kebijakan, dan ahli
monev yang merupakan dimensi sektornya. Sebagai kekuatan global, aktor
global dalam menjalankan peran fasilitator tidak terlibat langsung di dalam
pelaksanaan program MBS-BPP, karena hanya memberikan peningkatan
kapasitas sumberdaya manusia aktor lainnya.
Apabila dilihat dari dimensi etika, akuntabilitas dan transparansi
yang dikaitkan dengan dimensi koginisi dan nilai maka peran aktor global
dalam pelaksanaan pendampingan teknis didukung oleh Tim Teknis yang
dipimpin oleh Bagian Organisasi Pemerintah Kota Probolinggo, kemudian
Bagian Organisasi Sekretariat Daerah melakukan koordinasi dengan Dinas
Pendidikan dan selanjutnya Dinas Pendidikan menyampaikan ke sekolah-
sekolah. Seluruh workplan tahunan setiap awal tahun diserahkan kepada
Orang tuakota, Tim Teknis dan Dinas Pendidikan untuk diteruskan ke
sekolah-sekolah sasaran. Setiap tahun aktor global melaporkan seluruh
kegiatan tahunan ke Orang tuakota.
Sehubungan dengan interaksi antar aktor, penulisan yang dilakukan
oleh Rodall dan Martin (2009) kiranya dapat dijadikan bahan perbaikan
hubungan antar aktor di Kota Probolinggo dalam pelaksanaan program MBS-
BPP. Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan sebagaimana pendapat
Muluk (2010) bahwa peran aktor dalam partisipasi mencakup 2 (dua) ranah,
yaitu manajemen partisipatif dan partisipasi masyarakat dalam administrasi
publik. Pelaksanaan program MBS-BPP yang dilakukan di Kota Probolinggo,
kurang dikelola dengan baik, sehingga kinerja rendah dan pada gilirannya
para aktor menghadapi kelangkaan (krisis) sumber daya.
Berdasarkan pada peran aktor dalam partisipasi ini, Farazmand
mengkaitkan dengan partisipasi dalam bentuk kemitraan (partnership) di
mana Farazmand telah menyatakan bahwa salah satu perkembangan yang
paling penting dalam politik kontemporer dan administrasi adalah
pembangunan kemitraan yang efektif bagi sound governance (Farazmand,
2004: 77-78).
Berdasarkan uraian pembahasan tentang peran aktor dalam
pelayanan publik sektor pendidikan, dapat dirumuskan dua proposisi sebagai
berikut:

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 215


(1) Apabila terjadi interaksi antar aktor, yaitu aktor sekolah, aktor
masyarakat, aktor privat, dan aktor global dalam menjalankan peran pada
pelaksanaan program MBS-BPP, maka sekolah dapat memperbaiki
pelayanan pendidikan.
(2) Apabila ada aktor masyarakat dalam komite sekolah yang menjadi
anggota lintas sektor dan lintas organisasional, dan aktor masyarakat
dalam paguyuban kelas diberi kebebasan dalam partisipasi pada
pelaksanaan program sekolah, maka komite sekolah dan paguyuban
kelas sekolah dapat mendukung sekolah dalam percepatan perbaikan
pelayanan pendidikan.

2. Pelayanan Pendidikan Sektor Pendidikan


a) Tahap pertama: survei pengaduan masyarakat, penyusunan IPM dan
janji perbaikan pelayanan serta rekomendasi teknis
Temuan pada tahap pertama adalah: (1) setiap sekolah membentuk
struktur organisasi Tim Pengembang Sekolah (TPS) dengan melibatkan
komite sekolah yang bersangkutan; (2) pelaksanaan survei pengaduan
melibatkan pemangku kepentingan sekolah; (3) mekanisme pengelolaan
pengaduan di samping menggunakan survei, sekolah menyediakan kotak
pengaduan atau buku pengaduan; (4) komposisi peserta lokakarya
pengelolaan pengaduan secara proporsional lebih banyak pengguna
pelayanan daripada penyedia pelayanan; (5) pengambilan keputusan tentang
pernyataan pengaduan, rencana perbaikan pelayanan, dan janji perbaikan
pelayananan dilakukan secara adil dan demokratis; dan (6) sebagian besar
sekolah memiliki kapasitas yang rendah dalam penyusunan rekomendasi
teknis dan membangun jejaring dengan pihak lain.
Beberapa dimensi sound governnace secara kesatuan pada tahap
pertama pelaksanaan program MBS-BPP ini, dari dimensi struktural terlihat
bahwa setiap sekolah membentuk Tim Pengembangan Sekolah dan
penentuan peserta lokakarya pengelolaan pengaduan, yaitu berasal dari
orang tua siswa, siswa, guru, komite sekolah, tenaga kependidikan dan
perwakilan paguyuban kelas, dengan menggunakan komposisi yang ideal di
mana jumlah pengguna pelayanan lebih besar daripada jumlah penyedia
pelayanan. Tim Pengembangan Sekolah dilihat dari dimensi organisasi dan
institusi, telah menjalankan fungsi fasilitasi dan koordinasi unrtuk penyusunan

216 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


angket survei dan pelaksanaan survei pengaduan masyarakat. Kemudian
dilanjutkan dengan pengelolaan pengaduan yang akan menghasilkan Indeks
Pengaduan Masyarakat (IKM) dan janji perbaikan pelayanan serta
rekomendasi teknis. Penyedia pelayanan menggunakan pedoman
pelaksanaan secara internal yang difasilitasi oleh lembaga internasional dan
berdasarkan petunjuk dari pemerintah dalam rangka pengelolaan pengaduan
masyarakat.
Temuan penulisan ini ditinjau dari dimensi proses menunjukkan
bahwa ada interaksi semua elemen atau pemangku kepentingan dalam
penentuan jenis pengaduan yang dimasukkan ke dalam dokumen janji
perbaikan pelayanan dan rekomendasi teknis. Sedangkan dimensi kognisi
dan nilai menunjukkan bahwa pengguna pelayanan menyampaikan
pengaduan dengan sejujur-jujurnya sesuai dengan keadaan sebenarnya dan
penyedia pelayanan dengan rasa tanggung jawab serta responsif dalam
memenuhi janji perbaikan pelayanan. Dalam penyampaian pengaduan,
pengguna pelayanan telah menyampaikan informasi apa adanya tentang hal-
hal yang telah dialami di sekolah, mulai dari lingkungan sekolah, di dalam
kelas, pelayanan oleh TU dan pengajaran oleh guru. Kemudian dari dimensi
sektoralnya terlihat bahwa penyedia pelayanan di dalam mengelola
pengaduan masyarakat, dan memenuhi janji perbaikan pelayanan melakukan
koordinasi dengan pengguna pelayanan dan membangun jaringan dengan
pihak eksternal.
Ditinjau dari dimensi etika, akuntabilitas, dan transparansi maka
penyusunan angket survei dan pelaksanaan pengelolaan pengaduan untuk
penyusunan IPM, maka seharusnya yang menyelenggarakan survei adalah
anggota kelompok masyarakat yang multi stakeholders, untuk menghindari
subyekttivitas penyelenggaraan survei pengaduan. Sedangkan dari sisi
sektoralnya pelaksanaan pada tahap pertama ini kurang mendapatkan
perhatian baik dari pihak sekolah maupun pihak Dinas Pendidikan. Sebagai
akibatnya sekolah kurang mampu atau kapasitasnya dalam menjalin
hubungan dengan pihak perusahaan (privat) dan di sinilah pentingnya setiap
sekolah membuka jaringan dengan sektor lain diluar sektor pendidikan.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 217


b) Tahap kedua: penyusunan perencanaan dan penganggaran sekolah
Temuan pada tahap kedua adalah: (1) dalam penyusunan
perencanaan dan penganggaran sekolah melibatkan pemangku kepentingan
sekolah; (2) sekolah telah menyediakan petugas pelayanan informasi yang
ditunjuk dari salah satu guru; (3) sekolah mempublikasikan perencanaan dan
penganggaran sekolah di papan informasi dan disediakan di meja petugas
pelayanan informasi; dan (4) sekolah mempublikasikan laporan
pertanggungjawaban penggunaan keuangan di papan informasi dan
disediakan di meja petugas pelayanan informasi.
Beberapa dimensi yang saling mendukung sehingga merupakan
satu kesatuan pada tahap kedua ini dapat dilihat ketika dilakukan
penyusunann perancanaan dan penganggaran sekolah yaitu dimensi
struktural dan sektoral di mana sekolah melibatkan komite sekolah dan
paguyuban yang memiliki latar belakang profesi yang berbeda-beda,
sehingga dapat memperkaya curah pendapat dan secara tidak langsung
dapat meningkatkan kualitas dokumen perencanaan dan penganggaran. Di
samping itu, pihak sekolah memelihara mekanisme kerja yang telah
melembaga dalam posedur penyusunan perencanaan dan penganggaran
sekolah berdasarkan Indeks Pengaduan Masyarakat (IPM), janji perbaikan
pelayanan, analisis gap SPM dan EDS di mana hal ini merupakan aspek dari
dimensi organisasi dan institusi sound governance.
Dimensi lain pada tahap kedua ini yaitu dimensi etika, akuntabilitas
dan transparansi, ketika sekolah menyediakan petugas pelayanan dan
memasang perencanaan sekolah atau Rencana Kerja Sekolah (RKS) dan
penganggaran sekolah atau Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS).
Di samping itu sekolah juga memasang laporan penggunaan dana BOS dan
dana partisipasi masyarakat.

c) Tahap ketiga: pemenuhan janji perbaikan pelayanan dan rekomendasi


teknis
Temuan pada tahap ketiga adalah: (1) Dalam pemenuhan janji
perbaikan pelayanan sekolah menyusun prosedur operasi standar (SOP); (2)
sekolah kurang memenuhi kebutuhan komunikasi di luar kegiatan belajar
mengajar (KBM) antara guru sebagai penyedia pelayanan dan siswa sebagai
pengguna pelayanan; (3) sekolah kurang memenuhi koleksi buku dan

218 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


petugas perpustakaan; (4) sekolah telah menyediakan sarana dan prasarana
peturasan; (5) sebagian besar sekolah kurang kapasitasnya dalam menjalin
jejaring dengan pihak lain; (6) sebagian sekolah menyusun kontrak kinerja
dengan dinas pendidikan; (7) sekolah telah mempublikasikan prestasi
sekolah, orang tua kelas, prestasi siswa setiap minggu, kalender akademik,
penggunaan dana BOS dan dana partisipasi masyarakat; (8) sekolah telah
memenuhi janji perbaikan pelayanan dengan bekerjasama dengan
masyarakat di dalam pengelolaan sampah; dan (9) sekolah bersama dengan
paguyuban kelas di dalam memenuhi janji perbaikan lingkungan sekolah.
Pada saat sekolah memenuhi janji perbaikan pelayanan pendidikan
kepada masyarakat atas dasar pengaduan, maka dari dimensi struktural
terlihat sekolah telah menetapkan prosedur pelayanan dalam bentuk SOP
atau prosedur operasional standar. Dengan SOP ini sekolah melayani
masyarakat, dengan menetapkan cara yang terukur dan standar, sehingga
masyarakat dapat merasakan kepuasan atas pelayanan sekolah tersebut.
Dari dimensi kognisi dan nilai, pelayanan dengan SOP tersebut menunjukkan
bahwa sekolah telah memberikan pelayanan dengan rasa tanggung jawab
yang tinggi demi peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Temuan penulisan pada tahap ketiga yaitu sekolah kurang
memenuhi kebutuhan komunikasi di luar kegiatan belajar mengajar (KBM)
antara guru sebagai penyedia pelayanan dan siswa sebagai pengguna
pelayanan. Temuan tersebut menunjukkan bahwa sekolah dari dimensi
proses kurang sempurna, karena guru sebagai penyedia pelayanan dalam
komunkasi dengan para siswa tidak hanya terbatas di dalam ruang kelas,
tetapi juga harus berkomunikasi dengan para siswa di luar kegiatan belajar
dan mengajar dalam ruang kelas. Dari dimensi struktur terlihat kurang toleran
dengan kurangnya komunikasi antara guru dan siswa tersebut. Dari dimensi
manajemen dan kinerja kondisi ini telah mendorong kepala sekolah untuk
mengajak para guru untuk memperbaiki perilaku tersebut, sehingga suasana
sekolah menjadi kondusif yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja
pelayanan kepada masyarakat.
Pada tahap ketiga ini, ada temuan bahwa sekolah kurang memenuhi
koleksi buku dan petugas perpustakaan. Temuan ini terkait dengan dimensi
struktural, proses, organisasi dan institusi, manajemen dan kinerja serta
kebijakan internal. Dari dimensi organisasi dan institusi terlihat bahwa sekolah

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 219


perlu membudayakan gemar membaca dan menulis bagi para siswa,
sehingga kebiasaan perilaku ini akan dibawa ketika siswa tersebut
menempuh pendidikan yang lebih tinggi hingga perguruan tinggi telah
terbiasa melakukan kegiatan membaca dan menulis. Perilaku ini perlu dikelola
atau dilembagakan sejak siswa berada dibangku sekolah dasar. Oleha
karena itu setiap guru mewajibkan siswa untuk mengerjakan tugas
terstruktur di sekolah dengan menggunakan buku-buku di perpustakaan.
Oleh karena itu koleksi buku perpustakaan secara periodik misalnya 1 (satu)
tahun sekali pihak sekolah menyisihkan anggaran untuk membeli buku-buku
koleksi yang tidak hanya terbatas pada buku wajib, tetapi juga buku-buku
referensi, agar siswa terbiasa melakukan pengayaan materi buku tersebut.
Kondisi ini apabila dibiasakaan bagi siswa akan mengembanglkan perspektif
atau wawasan yang semakin luas.
Dari dimensi managemen dan kinerja terlihat sekolah masih
kekurangan tenaga perpustakaan yang mampu untuk mengelola
perpustakaan. Pihak sekolah harus dapat merencanakan, melaksanakan dan
monitoring serta evaluasi terkait dengan pengadaan koleksi buku. Dengan
adanya koleksi buku yang tertata rapi dan jumlah judul yang meningkat setiap
tahunnya, terutama buku-buku referensi. Dari dimensi kebijakan, sekolah
harus dapat merespon kondisi kurangnya koleksi buku dan tenaga
perpustakaan. Sekolah perlu mengalokasikan anggaran untuk menambah
koleksi buku dan mengangkat petugas perpustakaan dengan mengajukan
kepada Dinas Pendidikan. Oleh karena itu untuk menjaga kesinambungan
dalam pengadaan buku koleksi perpustakaan, dari dimensi struktur dan
proses, maka pihak sekolah harus menciptakan suatu mekanisme sedemikian
rupa sehingga secara periodik sekolah menampung aspirasi dari masyarakat,
dan terutama dari petugas perpustakaan, sebagai dasar pengambilan
kebijakan internal guna menyusun rencana secara bertahap untuk
mengalokasikan anggaran pengadaan buku-buku perpustakaan.
Dalam pengadaan sarana dan prasarana peturasan sekolah ditinjau
dari dimensi struktural dan juga dimensi manajemen dan kinerja terlihat
sekolah telah berupaya mengajukan anggaran ke Dinas Pendidikan, karena
sesuai dengan aturan yang berlaku sekolah tidak boleh memungut dana dari
masyarakat untuk pembangunan fisik. Dengan keterbatasan anggaran

220 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


tersebut, pihak sekolah dengan secara bertahap menyisihkan sebagian
anggaran dana BOS atau menerima hibah dari instansi lain.
Temuan penulisan lainnya pada tahap ketiga ini adalah sebagian
sekolah menyusun kontrak kinerja dengan dinas pendidikan. Temuan ini
ditinjau dari dimensi struktural, kognisi dan nlai serta manajemen dan kinerja,
maka pihak sekolah dibatasi oleh komitmen sekolah untuk melaksanakan
MBS-BPP secara integritas untuk mencapai kinerja pelayanan pendidikan.
Sedangkan temuan bahwa sekolah telah mempublikasikan prestasi
sekolah, orang tua kelas, prestasi siswa setiap minggu, kalender akademik,
penggunaan dana BOS dan dana partisipasi masyarakat, maka sekolah telah
memenuhi dimensi etika, akuntabilitas dan transparansi. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa pihak sekolah telah terbuka untuk umum, di mana segala
informasi tentang prestasi sekolah dan siswa bersifat transparan dan
akuntabel. Selain publikasi tentang prestasi sekolah juga telah
mempublikasikan tentang orang tua kelas dan dokumen perencanaan dan
penganggaran sekolah, termasuk laporan penggunaan keuangan baik yang
berasal dari dana BOS maupun dana yang berasal dari masyarakat.
Temuan berikutnya pada tahap ketiga ini dalah sebagian besar
sekolah kurang kapasitasnya dalam menjalin jejaring dengan pihak lain. Dari
temuan ini dapat dilihat dimensi organisasi dan institusi serta sektoralnya.
Sebenarnya pihak Dinas Pendidikan dapat membantu kekurangmampuan
sekolah untuk membuka jaringan dengan pihak luar, namun pada
kenyataannya masih kurang mendukung secara penuh. Namun demikian
pada temuan penulisan ini bahwa ada anggota kominte sekolah yang telah
menjadi anggota inter-organisasional dan inter-sektoral. Anggota komite
sekolah yang telah menjadi anggota beberapa organisasi telah membantu
sekolah dalam membuka jaringan dengan pihak lain.
Temuan yang lain pada tahap ketiga ini adalah sekolah telah
memenuhi janji perbaikan pelayanan dengan bekerjasama dengan
masyarakat di dalam pengelolaan sampah dan sekolah bersama dengan
paguyuban kelas di dalam memenuhi janji perbaikan lingkungan sekolah.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa masyarakat telah berpartisipasi dalam
sekolah memperbaiki pelayanan pendidikan. Dari dimensi struktur sekolah
telah dibatasi dengan adanya peraturan bahwa sekolah tidak boleh
memungut dana dari masyarakat. Oleh karena itu, dengan dimensi proses

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 221


terlihat bahwa sekolah mengajak pada anggota paguyuban kelas untuk
membantu sekolah dalam pengelolaan sampah dan lingkungan dalam kelas
dan di luar kelas atau halaman sekolah. Organisasi informal yaitu paguyuban
kelas dengan sekarela membantu sekolah dalam pelayanan sekolah
khususnya tentang sarana dan prasarana sekolah. Dari dimensi kognisi dan
nilai, terlihat paguyubann kelas menyadari bahwa sekolah telah berbuat
banyak bagi anaknya yang menjadi siswa dari sekolah yang bersangkutan
dan karena itu tibalah saaatnya para orang tua yang tergabung dalam
paguyuban kelas untuk membalas jasa dari sekolah yang telah memberi ilmu
kepada anaknya berada di sekolah tersebut. Dengan integritas tinggi para
orang tua antusias untuk membantu sekolah atas dasar kepentingan bersama
(co-interest) untuk melakukan produksi bersama (co-production) atas
pelayanan pendidikan tersebut. Dari dimensi manajemen dan kinerja pihak
sekolah telah mengajak para orang tua untuk membicarakan bersama
bagaimana untuk memajukan sekolah tersebut. Dari dimensi kebijakan terlihat
pihak sekolah telah mengambil kebijakan berdasarkan aspirasi dari orang tua
siswa secara partisipatif dan demokrasi. Kondisi ini sekolah terdorong untuk
mengambil kebijakan internal untuk memberi kebebasan kepada orang tua
untuk berkreasi yang berhimupun dalam paguyuban kelas tersebut. Dari
dimensi etika, akuntabulitas dan transparansi terlihat pihak sekolah
menyampaikan rencana program dan kegiatan dan paguyuban kelas
merespons dengan memberikan sumbangan sukarea baik untuk sarana dan
prasarana di dalam kelas (seperti kipas angin, LCD) maupun di luar kelas
(seperti taman bunga yang asri) dan pengelolaan bank sampah yang dapat
dijadikan uang sebagai tambahan uang kas paguyuban kelas.
Pihak sekolah sebagai penyedia pelayanan wajib memenuhi dengan
rasa tanggung jawab atas segala pengaduan tersebut dengan tetap
mempertimbangkan kemampuan sekolah dan dapat berupaya untuk meminta
bantuan pada instansi pemerintah atau swasta. Penyedia pelayanan
mempublikasikan kode etik kehidupan seluruh warga sekolah, kalender
akademik, prestasi siswa, perencanaan dan penganggaran sekolah, laporan
pertanggung jawaban keuangan BOS dan dana partisipasi masyarakat.

222 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


d) Tahap keempat: monitoring dan evaluasi pemenuhan janji perbaikan
pelayanan
Temuan pada tahap keempat adalah: (1) struktur kegiatan monev
dilakukan oleh pihak eksternal yaitu dari pengawas sekolah, Dewan
Pendidikan, Forum Peduli Pelayanan Publik (FP3), dan Jurnalis Warga (JW);
(2) hasil monev terhadap pemenuhan janji perbaikan pelayanan yang
dilakukan oleh FP3 dibahas dalam lokakarya dengan mengundang
stakeholders bidang pendidikan dan hasilnya disampaikan ke Dinas
Pendidikan dan penyedia pelayanan serta membuat concept paper ke DPRD
sebagai lembaga pengawasan eksekutif; (3) Dewan Pendidikan melakukan
pengawasan terhadap janji perbaikan pelayanan oleh sekolah-sekolah. Hasil
monev Dewan Pendidikan dipertanggungjawabkan ke Orang tuakota,
dengan tembusan ke Dinas Pendidikan, dan sekolah-sekolah; dan (4) kinerja
Pengawas Sekolah maupun UPTD kurang optimal karena tidak
menggunakan instrumen khusus seperti yang dilakukan oleh FP3, sehingga
tidak menjadi masukan bagi sekolah yang belajar pelaksanaan program MBS-
BPP.
Dari dimensi struktur dan sektoral pada tahap keempat dari
pelaksanaan program MBS-BPP ini terlihat bahwa sebagai pelaksana monev
adalah Forum Peduli Pelayanan Publik (FP3). Adapun asal angoota FP3
berasal dari berbagai profesi, seperti: guru, komite sekolah, paguyuban
kelas, jurnalis warga, LSM, pengusaha, tokoh pendidikan, dan lain-lain
profesi. Masih dalam dimensi struktural bahwa FP3 dalam melaksanakan
monev menggunakan instrumen baku yang telah difasilitasi oleh aktor global.
Sebelum melakukan monev dari dimensi etika, maka FP3 mengajukan ijin
kepada Dinas Pendidikan dan beberapa sekiolah yang menjadi sampel. Dari
dimensi organisasi dan institusi maka FP3 membagi diri menjadi beberapa
kelompok, sehingga pelaksanaan monev dapat efektif dan efisien baik tenaga
, dana dan waktu. Berdasarakan mekainisme yang termuat di dalam panduan
monev dari hasil monitoring dilokakaryakan untuk mencari masukan sekaligus
verifikasi data monitoring yang terkumpul beberapa hari sebelumnya. Masih
dalam dimensi sektoralmya maka FP3 mengundang stakeholders yang
berasal dari beberapa kalangan sekolah sasaran monitoring maupun dan
profesi lain untuk membahas hasil monitoring dan sekaligus evaluasi terhadap
pemenuhan janji perbaikan pelayanan sekolah kepada masyaralat. Dari

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 223


dimensi etika, akuntabiliatas dan transparansi pihak FP3 telah menyampaikan
hasil lokakarya tersebut kepada Dinas Pendidikan, sekolah sasaran,
pengawas sekolah, dan Dewan Pendidkan serta anggota DPRD Komisi A
yang membidangi sosial.
Pada tahap monev pemenuhan janji perbaikan pelayanan tidak
menggunakan prosedur dan instrumen baku, sehingga tidak menghasilkan
data yang dapat dianalisis. Kondisi tersebut dapat menyulitkan merumuskan
rekomendasi untuk perbaikan pelayanan pendidikan. Pelaksana monev dari
aktor pemerintah adalah Pengawas Sekolah, tetapi dalam realitasnya mereka
kurang memahami dan kurang koordinasi dengan aktor masyarakat yang
tergabung di FP3, sehingga tahap monev tidak berjalan dengan semestinya.
Kondisi ini tidak sejalan dengan pendapat Farazmand (2004) yang
menyatakan bahwa dimensi struktur ini berfungsi sebagai pengarah dimensi
proses. Paling tidak monev memuat beberapa langkah, seperti:
mempersiapkan/merencanakan monev; memperjelas tujuan dan
stakeholders; menentukan kebutuhan informasi dan mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan monev; mengembangkan indikator-indikator;
menentukan sumber-sumber informasi dan mendesain instrumen-instrumen
pengumpulan data; perencanaan untuk menganalisa data dan menggunakan
hasil-hasil; menyelesaikan dan uji coba sistem monev; dan menyelenggarakan
self-assessment tahunan dan evaluasi berkala (Tjoetra, 2008: 4-6).
Sedangkan kerangka dasar penyusunan instrumen monev terdiri dari
beberapa variabel, yaitu: arah kebijakan; sasaran; instrumen monev yang
terdiri dari: kebutuhan data, metode pengumpulan data, sumber data; dan
teknik analisis (Muktiali, 2009: 16).
Pada tahap monev belum terjadi interaksi antara Pengawas Sekolah
dan elemen masyarakat atau FP3, karena dalam realitas belum ada
komunikasi dan koordinasi. Interaksi antara Pengawas Sekolah dan elemen
masyarakat atau FP3 ini penting untuk menyusun instrumen monev,
meskipun FP3 telah memiliki instrumen yang belum standar untuk kebutuhan
governance.

224 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


e) Tahap kelima: reformasi janji perbaikan pelayanan dan rekomendasi
teknis
Temuan pada tahap kelima adalah: (1) sekolah sebagai penyedia
pelayanan melakukan reformasi janji perbaikan pelayanan, untuk
mempertahankan tingkat pelayanan sebagai tanggung jawab kepada
pengguna pelayanan; dan (2) reformasi janji perbaikan pelayanan melibatkan
pengguna pelayanan, sebagai bentuk kerjasama pengelolaan (co-
management).
Temuan penulisan dari tahap kelima pelaksanaan program MBS-
BPP dari tinjauan struktur dan proses terlihat bahwa pihak sekolah
berdasarkan prosedur berkewajiban untuk melakukan survei ulang terhadap
pengaduan masyarakat, karena ada pengaduan yang telah dipenuhi dan ada
pengaduan baru yang harus diakomodasi agar sekolah tetap
mempertahankan tingkat pelayanan dan bahkan memperbaikai pelayanan
pendidikan kepada masyarakat. Dari dimensi proses dan sektoralnya terlihat
pihak sekolah bersama dengan pengguna pelayanan dalam hal ini adalah
orang tua siswa dan siswa itu sendiri, serta pihak lain dari stakeholders
bidang pendidikian berpartisipasi untuk mereformasi janji perbaikan
pelayanan pendidikan.
Dalam meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dalam proses
governance, di mana di Kota Probolinggo mengalami beberapa kendala,
maka hasil penulisan Farazmand (2012) kiranya dapat menjadikan
pembelajaran di mana temuannya adalah bahwa menyediakan secara
imperatif dengan rasional untuk mengikutsertakan warga dalam governance
dan governing; dan menawarkan alternatif bentuk-bentuk pengembangan
kemitraan (partnership), dan kerjasa kolaboratif (collaborative) untuk
mengikutsertakan warga, mempertinggi governance dan memaksimumkan
partispasi warga dalam administrasi publik.
Sehubungan dengan hubungan antar stakeholders Callagan (2007)
berpendapat bahwa keterlibatan warga secara aktif merupakan suatu
keharusan. Partisipasi warga secara langsung tidak hanya mengarah untuk
pembuatan keputusan yang lebih baik, tetapi juga stabilitas fasilitas sosial
dengan pengembangan suatu rasa komunitas, peningkatan pembuatan
keputusan secara kolektif dan pengenalan penerimaan dan respek terhadap
proses governance. Kemudian Callahan mengusulkan perlunya model

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 225


partisipasi yaitu kolaborasi, karena struktur yang kaku dan otoriter akan
membatasi partisipasi yang penuh dan kolaborasi memberikan tempat dan
menguatkan stakeholders.
Sehungangan dengan partispasi publik di atas Farazmand (2004)
berpendapat bahwa partisipasi masyarakat dalam iklim governance dan
politik serta hanya dengan adminisitrasi dan governance yang partisipatif
dapat menjamin kesehatan sistem governance.
Hubungan yang kurang koordinatif antar anggota stakeholders yang
ditemukan dalam penulisan ini, maka Hendrikse dan Windsperger (2008)
menyatakan bahwa situasi dengan problem kepentingan bersama
memerlukan koordinasi dengan beberapa mekanisme, ketika organisasi
stakeholders memiliki potensi untuk mengendalikan pemahaman yang
terbatas dalam cara untuk memproduksi hasil yang tidak mungkin untuk
dicapai dengan satu orang. Selanjutnya hal ini pada hakekatnya terkait
dengan kendala jaringan (networks) governance Meuleman (2008)
mempromosikan governance hybrid, yatu terjadinya interaksi antara
governance hirarkhi (hierarchy), jaringan (network) (Klijin dan Koppenjan;
Considine dalam Meuleman, 2008) dan pasar (market).
Kurangnya koordinatif di dalam pelaksanaan program ini telah
disadari oleh Djakapermana (2010) bahwa suatu tujuan yang kompleks dari
suatu organisasi akan tercapai apabila ada pengaturan sistem (lihat Soguel
dan Jaccard, 2008) penyelenggaraan seluruh kegiatan dan kemudian adanya
umpan balik atas pelaksanaan kegiatan tersebut untuk memperbaiki
keputusan yang telah diambil demi perbaikan kinerja organisasi tersebut.
Lebih jauh Muluk (2010) menyatakan khususnyan yang terkait dengan adanya
unsur yang membentuk suatu sistem, dapat pula berfungsi sebagai sistem.
Proses pengembangan kelembagaan MBS-BPP masih menjadi isu
yang penting dan hal ini sesuai dengan penulisan yang dilakukan oleh oleh
IGI-UGM (2012) di mana, bahwa pelembagaan program memerlukan proses
yang panjang dan berliku, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Kemudian ditemukan pula ada kurangnya komunikasi antara instansi di
atasnya (Dinas Pendidikan) dengan pihak sekolah serta persaingan antar
lembaga yang sejenis dalam bidang pendidikan.

226 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Sehubungan dengan institusi yang kurang berinteraksi satu dengan
lainnya di Kota Probolinggo dalam rangka pelaksanaan program, perlu dapat
belajar dari temuan penulisan yang dilakukan oleh Malaklolunthu dan
Shamsudin (2011) di mana perlunya memanfaatkan pendekatan gugus
sekolah di dalam proses pembelajaran dan reorientasi mental dalam
pelaksanaan program.
Temuan penulisan lain yang dapat dijadikan pembelajaran untuk
meningkatkan komitmen adalah penulisan yang dilakukan oleh Heyward at al
(2011) di mana dengan pelaksanaan program bermanfaat untuk partisipasi
komunitas secara keseluruhan pada sekolah dan pengembangan komitmen
pada tingkat lokal dan provinsi. Penyedia pelayanan menggunakan sumber
daya dan waktu secara efisien dan efektif dalam pengelolaan pengaduan
masyarakat, penyusunan perencanaan dan penganggaran sekolah, dan
dalam pemenuhan janji perbaikan pelayanan. Semua tahapan pelaksanaan
program MBS-BPP telah dilakukan penyusunan perencanaan, pedoman
pelaksanaan dan evalusi serta pelaporan, namun demikian untuk tahap
monev kurang dilakukan dengan baik. Hal ini terjadi karena selama proses
pelaksanaan program kurang adanya panduan yang standar, seperti tidak
adanya instrumen untuk melakukan monev tersebut, kecuali seperti yang
dilakukan oleh aktor FP3.
Suhubungan penggunaan manajemen dalam rangka peningkatan
kinerja berupa perbaikan pelayanan publik, Lenvine (dalam Dwiyanto, 2006),
maka pengelola program menekankan pada: responsif, bertanggung jawab
dan akuntabilitas (lihat Jabbra dan Vedi, 1989); dan Frederickson (2003)
menambahkan unsur keadilan dalam birokrasi.
Perbaikan kinerja atau perbaikan pelayanan publik ini sejalan
dengan pendapat Wallace dan Fertig (dalam Hartley at al, 2008) bahwa
perbaikan pelayanan publik (improving public services) berarti keberhasilan
organisasi dalam pelaksanaan perubahan yang lebih baik. Sedangkan yang
terkait dengan reformasi pelayanan publik, maka Skelcher (2008)
mengemukakan pendapat bahwa reformasi pelayanan publik menciptakan
suatu diversitas (keragaman) yang lebih besar dalam pengaturan governance
bagi pembuatan dan penerbitan (delivery) kebijakan publik.
Sehungan dengan manajemen sekolah di Kota Probolinggo yang
pada realitasnya seringkali terjadi konflik antara sekolah dan Komite Sekolah

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 227


terkait menajemen sekolah, kiranya dapat belajar dari temuan penulisan dari
Cheung dan Kan (2009) di mana Komite Sekolah dapat membantu
memperbaiki manajemen sekolah dan peningkatan hasil pembelajaran siswa.
Temuan ini diperkuat temuan oleh Mizel (2009) di mana dalam penulisannya
telah menemukan bahwa dengan pelaksanaan program, sekolah
memperoleh keuntungan dari manajemen sekolahnya sendiri untuk
melakukan perubahan secara bertahap dan daslam suatu perubahan yang
sensitif dan bersifat kultural.
Kebijakan eksternal dalam bentuk Peraturan Daerah Kota
Probolinggo Nomor 8 Tahun 2015 tentang Sistem Penyelenggaraan
Pelayanan Pendidikan atau disingkat Perda No. 8/2015 tentang SP3,
sehingga belum dapat dilaksanakan karena belum ada dan pada tahun 2016
masih proses konsultasi ke Gubernur terkait dengan beberapa Peraturan
Orang tuakota sebagai penjabaran Perda No. 8/2015 tersebut.
Pada saat penulisan ini bahwa pelaksanaan program MBS-BPP
berdasarkan dan kebijakan internal. Padahal sebagaimana yang pendapat
(Farazmand, 2004) bahwa dimensi kebijakan ini memberikan panduan, arah,
dan tujuan kepada dimensi proses, struktur, dan manajemen serta secara
bersama-sama, antar kebijakan internal dan eksternal berfungsi sebagai
pengarah mekanisme dari kinerja organisasi dalam sound governance.
Sehubungan dengan dimensi kebijakan, khususnya yang pada level
sekolah di Kota Probolinggo, dan yang sejalan dengan penulisan MBS oleh
Bandur (2012), di mana telah menemukan bahwa dengan pemberian
kewenangan pada tingkat sekolah, maka menjadikan sistem manajemen
sekolah lebih menunjukkan kinerja yang semakin baik.
Temuan penulisan yang sejalan dengan Bandur (2012), juga
dilakukan oleh Malaklolunthu dan Shamsudin (2011) di mana pemberian
kekuatan pengambilan keputusan secara otonom pada sekolah
mempengaruhi efektivitas pencapaian tujuan pelayanan publik, dan
menjadikan Kepala Sekolah sebagai pemimpin yang transformasional untuk
memimpin perubahan.
Sehubungan dengan dimensi kebijakan program dalam governance
di Kota Probolinggo, hasil penulisan Kimber dan Ehrich (2010) di Negara
Australia dapat dijadikan pembelajaran di mana pembuat kebijakan dan

228 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


pelaksana kebijakan dapatnya menguji kebijakan tersebut di pasar (market)
terhadap pemahaman MBS dan bagaimana dampaknya pada guru dan
siswa. Temuan ini menawarkan: “cara reorientasi praktis dari yang berbasis
ekslusif manajerial menuju berbasis sektor publik.”
Kondisi ini mengakibatkan sekolah sebagai pusat pelaksanaan
program, mengalami beban berat (heavy burdens) dalam memenuhi janji
perbaikan pelayanan dan sedangkan instansi pemerintah termasuk Dinas
Pendidikan dan perusahaan kurang komitmen untuk mendukung
pelaksanaan program tersebut. Sebenarnya pihak Pemerintah Kota
Probolinggo seharusnya memahami manfaat dengan pelaksanaan program
MBS-BPP ini, karena terbukti sebagaimana penulisan yang dilakukan oleh
Santinanez at al (2013) di Negara Mexico bahwa MBS bermanfaat untuk
menyediakan: dana untuk kebutuhan sekolah, sarana dan prasarana dan
infrastruktur.
Kekuatan global telah meningkatkan kapasitas untuk pengelolaan
pengaduan masyarakat, penyusunan janji perbaikan pelayanan, monitoring
dan evaluasi, baik kepada penyedia pelayanan maupun pengguna pelayanan.
Berdasarkan temuan di atas, kekuatan global telah memberikan
bantuan teknis dengan biaya yang tidak sedikit, namun pada kenyataannya
komitmen pejabat level atas atau pejabat struktural relatif tinggi, dengan
berjalannya waktu kurang diimbangi komitmen yang tinggi pula oleh pejabat
pada level bawah.
Dalam kenyataannya pelaksanaan program MBS-BPP, telah
menerapkan prinsip-prinsip etika, persyaratan akuntabilitas, dan kurang
sedikit transparansi. Kondisi ini yang terkait dengan ketiga prinsip
governance tersebut, kurang sejalan sebagaimana pendapat Farazmand
(2004), yaitu bahwa penampilan kunci dari sound governance adalah fondasi
prinsipnya pada nilai-nilai etika, persyaratan akuntabilitas, dan transparansi
struktur dan nilai-nilai.
Pada penulisan yang dilakukan oleh Bandur (2012) yang berjudul:
”School-Based Management Development and Partnership: Evidence from
Indonesia,” Bandur telah menemukan bahwa dengan adanya pemberian
kewenangan pada pengambilan keputusan tingkat sekolah, menjadikan
sistem manajemen sekolah, berkinerja lebih menonjol. Ada kencenderungan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 229


global dalam pengembangan MBS di Indonesia yaitu adanya sebuah
penekanan pada bagaimana MBS berkreatif, bermitra dalam proses
pengambilan keputusan secara partisipatif pada tingkat sekolah.
Penulisan lain yang dilakukan oleh Moradi et al. (2012) yang
berjudul: ”Shool-Based Management (SBM), Opportunity or Threat
(Education Systems of Iran),” telah menemukan bahwa pelaksanaan MBS
pada sekolah memiliki karakteristik yang dapat memperbaiki pencapaian
akademik siswa dan hasil sekolah lainnya, penilaian siswa yang lebih baik,
semakin dekat kesesuaian antara keperluan sekolah dan kebijakannya, dan
lebih efektif menggunakan sumberdaya. Santibanez et al. (2013) dalam
penulisan yang berjudul: ”School based management effects: Resources or
governance change? Evidence from Mexico,” telah menemukan bahwa
dengan pelaksanaan MBS memiliki dampak positif, terutama dalam hal
penyediaan dana untuk kebutuhan sekolah, material dan infrastruktur.
Kemudian Heyward et al. (2011) melakukan penulisan dengan judul:
”Implementing School-Based Management in Indonesia: Impact and Lesson
Learned,” telah menemukan adanya dampak lain dari pelaksanaan MBS ini
adalah partisipasi komunitas secara keseluruhan pada sekolah, pelatihan
pada tingkat gugus sekolah, pelatihan sambil berjalan dilakukan mentoring,
bekerja melalui sistem lokal, berdasarkan kebijakan program, menyediakan
pendampingan teknis daripada dana, program yang dapat dikelola dan
terjangkau bagi mitra lokal dan pengembangan komitmen pada level lokal dan
provinsi.
Temuan penulisan Bandur ini sejalan dengan penulisan disertasi ini,
di mana sekolah diberi kewenangan untuk mengelola sendiri atas dana yang
diterima baik dari dana BOS maupun dana partisipasi masyarakat.
Sedangkan perbedaan yang mencolok dari temuan Bandur (2012), Moradi
et al. (2012), Santibanez et al. (2013), dan Heyward et al. (2011), dengan
penulisan disertasi tentang pelaksanaan program MBS-BPP ini adalah
bahwa MBS-BPP menggunakan data survei pengaduan untuk menyusun janji
perbaikan pelayanan, perencanaan dan penganggaran sekolah.
Memperhatikan pendapat Farazmand (2004: 10-11) bahwa Sound
governance mencerminkan kedua fungsi, yaitu fungsi governance dan fungsi
administrasi, maka pelaksanaan program MBS-BPP sejalan dengan
pendapat Farazmand tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan fungsi governance

230 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


yaitu adanya kerja sama partisipatif antara aktor sekolah, aktor masyarakat
dan aktor privat, serta fungsi administrasi yang ditunjukkan dengan adanya 5
(lima) tahapan pelaksanaan MBS-BPP tersebut.
Berdasarkan uraian pembahasan tentang pelayana publik sektor
pendidikan dapat dirumuskan sebuah proposisi yaitu:”Apabila seluruh
tahapan pelaksanaan program MBS-BPP terjadi interaksi secara dinamis dan
saling mendukung dari seluruh dimensi sound governance, maka sekolah
dapat memperbaiki pelayanan pendidikan secara berkelanjutan.”

3. Kendala Internal dan Tantangan Eksternal Pelayanan Publik Sektor


Pendidikan
Sebelum pembahasan kendala internal pada pelaksanaan program
MBS-BPP dalam perspektif sound governance, maka perlu disampaikan
ringkasan terkait dengan konsep analisis SWOT. Menurut Rangkuti (2003:
19) analisis SWOT (strengths, weakness, opportunity, threats) terkait
dengan analisis lingkungan internal dan eksternal dalam manajemen stratejik.
Berdasarkan permasalahan, tujuan, dan fokus penelitian, maka
penulisan ini hanya difokuskan pada kuadran IV, yaitu perpaduan antara
kendala atau kelemahan dari lingkungan internal (weakness) dan tantangan
dari lingkungan eksternal (threats). Dari perpaduan antara antara kendala
internal dan tantangan eksternal menempati kuadran IV dari analisis SWOT,
yang merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, organisasi
tersebut menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal.
Berdasarkan matrik SWOT, dari kuadran IV ini dibutuhkan suatu strategi
yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. Pemahaman
meminimalkan dalam penulisan ini adalah merubah kelemahan menjadi
kekuatan internal dan menghindari ancaman adalah merubah ancaman
menjadi peluang.
Ringkasan teori berikutnya adalah dari pendapat Somantri (2014:
19) terkait dengan organisasi pendidikan yaitu bahwa proses penyusun
rencana strategis pendidikan dalam tiga tahap, yaitu: (1) diagnosis; (2)
perencanaan, dan (3) penyusunan dokumen rencana. Tahap diagnosis
dimulai dengan pengumpulan berbagai informasi perencanaan sebagai
bahan kajian. Kajian lingkungan internal bertujuan untuk memahami kekuatan-
kekuatan (strenghts) dan kelemahan-kelemahan (weakness) dalam

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 231


pengelolaan pendidikan. Sementara kajian lingkungan eksternal bertujuan
untuk mengungkap peluang-peluang (opportunities) dan tantangan-
tantangan (threats) dalam penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya,
Somantri (2014:30), mengemukakan perlunya memperhatikan indikator
kriteria penilaian tentang kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang
ada pada organisasi. Keempat faktor tersebut bermakna bahwa: (1) kekuatan
adalah keberhasilan atau arah kecenderungan yang mendekati kriteria (ideal)
yang diharapkan atau keuntungan-keuntungan yang positif dan dirasakan
oleh stakeholders; (2) faktor kelemahan adalah hambatan-hambatan utama
yang dipandang dapat menghambat pencapaian prestasi yang diharapkan;
(3) faktor peluang adalah bakal keuntungan atau dapat dipandang akan
menunjang pencapaian prestasi atau kinerja yang diharapkan, bila mampu
memanfaatkan atau memberdayakannya; serta (4) faktor ancaman atau
situasi dan kondisi berkaitan dengan masalah yang diantisipasi akan
menimbulkan hambatan.
Morden (2007: 26-29) melakukan analisis kekuatan dan kelemahan
dengan menggunakan indikator yang digunakan sebagai kriteria untuk
membuat keputusan mendasar tentang posisi dan kondisi organisasi.
Kekuatan dan kelemahan suatu organisasi diidentifikasi dengan wilayah
fungsional (functional area) atau isu kunci (key issue). Morden juga
menyatakan bahwa kriteria kekuatan dan kelemahan diidentifikasi dan
dianalisis atas basis wilayah fungsional pokok yang ditemukan di beberapa
perusahaan, pelayanan, pemeliharaan kesehatan, organisasi publik atau non-
profit.

(1) Kendala Internal


Sedangkan temuan kendala internal dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut:
(a) Rendahnya komitmen atau janji untuk tetap mendukung atau
melaksanakan program MBS-BPP disebabkan tidak adanya mekanisme
komunikasi yang jelas antar aktor guru, TU, komite sekolah dan
paguyuban kelas. Di samping itu, aktor kepala sekolah kurang mampu
memberikan motivasi kepada aktor guru, tenaga kependidikan dan
komite sekolah beserta paguyuban kelas.

232 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


(b) Dalam pelaksanaan program MBS-BPP tergantung pada pendalaman
program tersebut oleh para stakeholders bidang pendidikan dasar.
Dengan adanya pemahaman secara mendalam program antara pihak-
pihak yang terlibat, maka seluruh tindakan stakeholders dapat bersinergi
dan terintegrasi.
(c) Sumbangan dari orang tua/wali siswa adalah bentuk partisipasi
masyarakat yang bersifat sukarela dan saling mendukung antar orang
tua/wali siswa, sehingga semua siswa dapat mengikuti kegiatan,
terutama kegiatan ekstra kurikuler. Dengan demikian bagi orang tua/wali
siswa yang ”kurang mampu” tidak dibebankan untuk sumbangan
kegiatan tersebut.
(d) Orang tua/wali siswa kurang perhatian terhadap sekolah dan semuanya
diserahkan kepada pihak sekolah. Kondisi ini akan mengurangi nilai
integritas dan tanggung jawab orang tua/wali siswa terhadap
perkembangan sekolah anak.
(e) Kebutuhan kegiatan ekstra kurikuler menjadi tren dan di lain pihak perlu
biaya yang seringkali menjadi kendala dalam peningkatan pelayanan
pendidikan melalui pelaksanaan program MBS-BPP.
(f) Keterbukaan informasi merupakan tantangan yang dihadapi dalam
pelaksanaan program MBS-BPP. Dengan kurang terbukanya informasi
terutama tentang RKS, RKAS dan laporan keuangan, berakibat akan
mempengaruhi tingkat partisipasi orang tua/wali siswa kepada sekolah.
Hasil pengamatan penulis laporan penggunaan keuangan ada, tetapi
melalui komite sekolah, dan karena hubungan komite sekolah dengan
orang tua/wali siswa kurang harmonis, maka pada umumnya komite
sekolah bersifaf agak tertutup.

Temuan kendala internal pertama, dari kendala internal adalah


rendahnya komitmen atau janji untuk tetap mendukung atau melaksanakan
program MBS-BPP disebabkan tidak adanya mekanisme komunikasi yang
jelas antar aktor guru, TU, komite sekolah dan paguyuban kelas. Di samping
itu, aktor kepala sekolah kurang mampu memberikan motivasi kepada aktor
guru, tenaga kependidikan dan komite sekolah beserta paguyuban kelas.
Temuan ini sebagai kendala internal, ditinjau dari dimensi struktur
menunjukkan bahwa di sekolah masih perlu dikembangkan suatu mekanisme

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 233


komunikasi antar aktor di lingkungan internal sekolah, agar menumbuhkan
komitmen antar aktor internal di sekolah sebagai dimensi kognisi dan nilai
governance. Dengan adanya nilai komitmen yang dijunjung tinggi seluruh
aktor internal sekolah, maka pelaksanaan program MBS-BPP dapat berhasil
untuk memperbaiki pelayanan pendidikan.
Temuan kendala internal kedua, dalam pelaksanaan program MBS-
BPP tergantung pada pendalaman program tersebut oleh para stakeholders
bidang pendidikan dasar. Dengan adanya pemahaman secara mendalam
program antara pihak-pihak yang terlibat, maka seluruh tindakan stakeholders
dapat bersinergi dan terintegrasi. Kendala internal ini, ditinjau dari dimensi
kognisi dan nilai menunjukkan bahwa aktor global mendesain program
pendampingan teknis, sedemikian rupa membuat aktor lainnya dapat
memahami program dengan mudah dan benar.
Temuan kendala internal ketiga, adalah bahwa sumbangan dari
orang tua siswa adalah bentuk partisipasi masyarakat yang bersifat sukarela
dan saling mendukung antar orang tua siswa, sehingga semua siswa dapat
mengikuti kegiatan, terutama kegiatan ekstra kurikuler. Dengan demikian bagi
orang tua siswa yang ”kurang mampu” tidak dibebankan untuk sumbangan
kegiatan tersebut. Dari tinjauan dimensi proses dan dimensi kognisi dan nilai
terlihat antar aktor masyarakat berinteraksi dan saling memahami atas
kebutuhan anak mereka akan pelayanan sekolah, sehingga mereka dengan
sukarela memberikan sumbangan ke sekolah demi kualitas pendidikan anak-
anak mereka. Kemudian dari dimensi organisasi dan institusi terlihat
kebiasaan mereka saling mengenal kondisi sosial ekonomi mereka masing-
masing dan memahami satu dengan lainnya serta telah mengorganisir diri
dalam paguyuban kelas, sehingga apabila ada orang tua secara ekonomi
“kurang mampu,” maka dibebaskan dari sumbangan sukarela tersebut.
Temuan kendala internal keempat, orang tua/wali siswa kurang
perhatian terhadap sekolah dan semuanya diserahkan kepada pihak sekolah.
Kondisi ini akan mengurangi nilai integritas dan tanggung jawab orang
tua/wali siswa terhadap perkembangan sekolah anak. Dari dimensi proses
dan kognisi serta nilai governance, orang tua/wali siswa kurang berinteraksi
dengan pihak sekolah, sehingga permasalahan yang dihadapi oleh sekolah
dan siswa itu sendiri, kurang mendapat kepedulian dari orang tua/wali siswa.
Interaksi antara pihak sekolah dan orang tua/wali siswa ini penting untuk

234 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


belajar saling memahami pikiran dan harapan terhadap upaya perbaikan
pelayanan pendidikan di sekolah.
Temuan kendala internal kelima, kebutuhan kegiatan ekstra kurikuler
menjadi tren dan di lain pihak perlu biaya yang seringkali menjadi kendala
dalam peningkatan pelayanan pendidikan melalui pelaksanaan program
MBS-BPP. Dari dimensi struktur terlihat sekolah tidak diperbolehkan untuk
memungut dana dari masyarakat dan di sisi lain kekurangan dana kegiatan
ekstra tersebut. Namun dari dimensi proses terlihat adanya interaksi antara
pihak sekolah dan para orang tua/wali siswa dalam menghadapi tuntutan
masyarakat akan kegiatan ekstra kurikuler. Dari dimensi kognisi dan nilai
terlihat para orang tua a/wali siswa dengan kesadarannya mereka dengan
sukarela memberikan bantuan ke pihak sekolah untuk tambahan pembiayaan
kegiatan ekstra kurikuler. Seluruh kegiatan diatur oleh sekolah semikian rupa
sehingga kegiatan dapat mencapai target yang telah ditentukan bersama
antara pihak sekolah dan para orang tua/wali siswa.
Temuan kendala internal keenam, keterbukaan informasi merupakan
tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan program MBS-BPP. Dengan
kurang terbukanya informasi terutama tentang RKS, RKAS dan laporan
keuangan, berakibat akan mempengaruhi tingkat partisipasi orang tua/wali
siswa kepada sekolah. Hasil pengamatan penulis laporan penggunaan
keuangan ada, tetapi melalui komite sekolah, dan karena hubungan komite
sekolah dengan orang tua/wali siswa kurang harmonis, maka pada umumnya
komite sekolah bersifaf agak tertutup. Kendala kurang ada keterbukaan dari
dimensi etika, akuntabilitas, dan transparansi terlihat bahwa ada beberapa
sekolah masih kurang transparan terutama dalam pengelolaan keuangan,
baik dari dana BOS maupun dana dari masyarakat, sehingga menyebabkan
masyarakat kurang percaya (untrust) kepada sekolah, sehingga akan
menurunkan tingkat partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan program
MBS-BPP. Secara etika seharusnya sekolah mempublikasikan laporan
keuangan di papan informasi sekolah, karena dana BOS dan dana partisipasi
masyarakat keduanya berasal dari uang rakyat. Di samping itu, kualitas
laporan keuangan yang dipublikasikan dengan baik, akan meningkatkan
tingkat akuntabilitas sekolah.
Keenam kendala internal yang diuraikan di atas, sejalan dengan
dimensi-dimensi sound governance yang dikemukakan oleh Farazmand

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 235


(2004: 13-18) dan sebagaimana yang Somantri (2014: 19) kemukakan
bahwa faktor kelemahan adalah hambatan-hambatan utama yang dipandang
dapat menghambat pencapaian prestasi yang diharapkan. Dalam hal ini
keenam kendala (hambatan) yang merupakan kelemahan yang dihadapi oleh
sekolah di dalam melaksanakan program MBS-BPP.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan sebuah proposisi
sebagai berikut: ”Apabila seluruh stakeholders dapat mengatasi kendala
internal: rendahnya komitmen kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan,
komite sekolah dan paguyuban kelas; kekurangpahaman terhadap program,
sumbangan masyarakat, dan kegiatan ekstra kurikuler; kekurangpedulian
orang tua/wali siswa terhadap kebutuhan sekolah; kekurangterbukaan
informasi sekolah, maka sekolah dapat melaksanakan program MBS-BPP
untuk memperbaiki pelayanan pendidikan.”

(2) Tantangan Eksternal


Sedangkan temuan tantangan eksternal dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut:
1) Kurangnya komitmen dinas pendidikan terhadap sekolah yang telah
berupaya untuk memperbaiki pelayanan kepada masyarakat melalui
partisipasi masyarakat.
2) Kebijakan mutasi kepala sekolah yang dalam waktu singkat kurang dari
2 atau 4 tahun, akan dapat mengganggu kesuksesan pelaksanaan
program MBS-BPP.
3) Ada anggapan masyarakat bahwa pendidikan gratis bahwa sekolah tidak
diperbolehkan sama sekali untuk menerima dana sukarela sebagai wujud
partisipasi masyarakat untuk memperbaiki pelayanan dan mutu
pendidikan.
4) Interaksi bersifat koordinatif-hirarki dalam arti governance lokal
melaksanakan kebijakan governance nasional dan sekaligus menjadi
pembatas governance lokal di dalam melakukan inovasi pelayanan
publik.

Temuan tantangan eksternal kesatu, kurangnya komitmen dinas


pendidikan terhadap sekolah yang telah berupaya untuk memperbaiki
pelayanan kepada masyarakat melalui partisipasi masyarakat. Dari dimensi

236 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


struktur dan proses terlihat posisi sekolah di bawah Dinas Pendidikan,
sehingga sekolah tidak ada kebebasan dalam berinovasi. Namun demikian,
dari dimensi manajemen dan kinerja, terlihat bahwa meskipun sekolah
dibatasi dalam inovasi, maka sekolah berupaya untuk mengajak orang
tua/wali siswa berpartisipasi secara sukarela untuk memperbaiki pelayanan
pendidikan.
Temuan tantangan eksternal kedua, kebijakan mutasi kepala
sekolah yang dalam waktu singkat kurang dari 2 atau 4 tahun, akan dapat
mengganggu kesuksesan pelaksanaan program MBS-BPP. Dari dimensi
kebijakan dan manajemen dan kinerja terlihat bahwa seringkali kepala
sekolah yang baru sama sekali tidak memahami dengan benar konsep
program MBS-BPP, karena mereka menganggap sama dengan MBS tanpa
berorientansi pelayanan publik berbasis survei pengaduan. Kondisi tersebut
merupakan ancaman atau situasi dan kondisi berkaitan dengan masalah yang
diantisipasi akan menimbulkan hambatan dalam pelaksanaan program MBS-
BPP. Solusi yang dilakukan oleh kepala sekolah yang baru tersebut ditinjau
dari dimensi proses, kepala sekolah belajar dari kepala sekolah yang telah
sukses melaksanakan program dan/atau konsultasi dengan fasilitator yang
memang bertanggung jawab terhadap sekolah binaannya.
Temuan tantangan eksternal ketiga, ada anggapan masyarakat
bahwa pendidikan gratis berarti sekolah tidak diperbolehkan sama sekali
untuk menerima dana sukarela sebagai wujud partisipasi masyarakat untuk
memperbaiki pelayanan dan mutu pendidikan. Dimensi kognisi dan nilai
terlihat masyarakat mempunyai anggapan pendidikan gratis dan apabila
sekolah memungut dana dari masyarakat, maka orang tua/wali siswa
keberatan untuk dilakukan pemungutan uang sekolah. Padahal di sisi lain,
sekolah dituntut oleh masyarakat untuk meningkatkan kinerja pelayanan
pendidikan. Kondisi inilah dianggap oleh pihak sekolah tidak mungkin untuk
meningkatkan mutu pelayanan dan mutu pendidikan. Oleh karena itu ditinjau
dari dimensi kebijakan, terlihat sekolah telah mengambil kebijakan bahwa
untuk dana partisipasi masyarakat bersifat sukarela dan dikelola oleh komite
sekolah bersama paguyuban kelas. Kondisi akan menguntungkan apabila
orang tua/wali siswa adalah berasal dari pengusaha dan profesi lainnya yang
memiliki sumber pendapatan yang besar, karena pada umumnya dengan
sukarela akan memberikan sumbangan.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 237


Temuan tantangan eksternal keempat, interaksi bersifat koordinatif-
hirarki dalam arti governance lokal melaksanakan kebijakan national
governance dan sekaligus menjadi pembatas governance lokal di dalam
melakukan inovasi pelayanan publik. Dengan dimensi struktur terlihat sekolah
dalam mengelola dana BOS Pusat telah dibatasi oleh beberapa ketentuan
yang termuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
161 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Tahun Anggaran 2015, bertindak sebagai national governance. Dari dimensi
proses terlihat adanya interaksi antar local governance, yaitu antara
pemerintahan kota Probolinggo dengan pemerintahan Provinsi Jawa Timur,
bertindak sebagai wakil pemerintah pusat, di mana telah melakukan
monitoring dan evaluasi penggunaan dana BOS Pusat. Dari dimensi kognisi
dan nilai, dimensi manajemen dan kinerja, sektoral, dimensi etika,
akuntabilitas dan transparansi terlihat pihak sekolah telah berupaya untuk
mengatasi tantangan eksternal yang dianggap telah menghambat
pelaksanaan program MBS-BPP, maka sekolah melakukan kerjasama
dengan komite sekolah dan paguyuban kelas untuk tetap memelihara dan
bahkan meningkatkan serta memperbaiki pelayanan pendidikan. Kerjasama
untuk menghasilkan produk bersama (co-production) dalam bentuk
pelayanan pendidikan di sekolah. Di samping itu, pihak sekolah membuka
jaringan dengan pihak swasta atau privat untuk pengadaan sarana dan
prasarana sekolah. Kemudian untuk menjunjung etika dan akuntabilitas, maka
pihak sekolah mempublikasikan laporan penggunaan keuangan BOS dan
dana partisipasi masyarakat di papan informasi sekolah.
Keempat tantangan eksternal yang diuraikan di atas, sejalan dengan
dimensi-dimensi sound governance yang dikemukakan oleh Farazmand
(2004: 13-18) dan sebagaimana yang Somantri (2014: 19) kemukakan
bahwa faktor ancaman atau situasi dan kondisi berkaitan dengan masalah
yang diantisipasi akan menimbulkan hambatan.
Tantangan eksternal yang merupakan ancaman yang dihadapi oleh
sekolah di dalam melaksanakan program MBS-BPP, telah diantisipasi oleh
sekolah dengan melakukan beberapa terobosan yang tidak melanggar
peraturan yang berlaku.

238 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan sebuah proposisi
sebagai berikut: ”Apabila seluruh stakeholders bidang pendidikan dapat
mengatasi tantangan eksternal: kurangnya komitmen Dinas Pendidikan,
seringnya kebijakan mutasi kepala sekolah, kurangnya pemahaman terhadap
kebijakan pendidikan gratis, dan hubungan hierarkhi yang rigid antara
national governance dengan local governance, maka sekolah dapat
melaksanakan program MBS-BPP untuk memperbaiki pelayanan
pendidikan.”
4. Inovasi Kebijakan dan Administrasi dalam Pelayanan Publik Sektor
Pendidikan
Sebelum membahas temuan penulisan ini, maka di bawah ini
disajikan kembali ringkasan kajian teori inovasi kebijakan dan administrasi.
Inovasi seperti hal yang baru (novelty) dalam tindakan (Altschuler
dan Zegans, 1997) dan tidak hanya suatu gagasan baru, tetapi suatu praktik
baru (Mulgan dan Albury, 2003) dalam Jean Hartley, Jean (2005: 27).
Sedangan Jean Hartley (2005: 27) dalam jurnal yang berjudul: ”Innovation in
Governance and Public Services: Past and Present,“ menyatakan bahwa
inovasi termasuk reinvensi atau adaptasi untuk konteks, lokasi atau periode
waktu yang lain dan pelayanan publik juga membutuhkan inovasi governance.
Sedangkan yang terkait dengan inovasi administrasi, Chan dan
Chow (2007: 494) menyatakan bahwa inovasi administrasi harus berusaha
untuk mengembangkan, model multidimensi, multilevel berbagi inovasi yang
tidak hanya berfokus pada keseimbangan partikularisme dan universalisme
administrasi tetapi juga pada pemahaman aturan dasar konstitusional dan
institusional dari berbagai negara.
Konseptualisasi inovasi secara lebih luas sebagai pelaksanaan
(bukan sebagai satu tindakan adopsi saja) menuntun kita untuk bertanya
apakah faktor-faktor mempertahankan dan mendukung inovasi dan apakah
perubahan ini dari waktu ke waktu. Kedekatan antara reinvention dan e-
government meningkatkan kemungkinan bahwa modernisasi lembaga negara
lebih umum memfasilitasi inovasi (Tolbert et al., 2008: 558-559). Terkait
dengan reformasi kelembagaan Kearney dan Bowman dalam Tolbert et al.,
(2008: 559) berpendapat perlunya mempertahankan inovasi lintas bidang
kebijakan dan adanya alasan kuat untuk lebih mengeksplorasi hubungan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 239


antara reformasi kelembagaan yang luas dan inovasi kebijakan (Tolbert et
al., 2008: 559).
Menurut Farazmand (2004:19-20), inovasi adalah kunci sound
governance serta inovasi dalam kebijakan dan administrasi adalah pusat
sound governance. Tanpa inovasi kebijakan dan administrasi, pemerintahan
akan jatuh ke pembusukan dan ketidakefektifan, kehilangan kemampuan
untuk memerintah, dan menjadi sasaran kritik dan kegagalan. Inovasi harus
dilakukan secara terus-menerus dalam proses kebijakan dan administrasi,
struktur, dan sistem nilai, sedangkan sasaran inovasi adalah dalam teknologi,
pengembangan sumber daya, sistem komunikasi, organisasi dan
manajemen, pelatihan dan pengembangan, riset, dan sejumlah daerah lain
sangat penting untuk kesehatan governance dan administrasi.
Inovasi kebijakan dalam governance adalah penting untuk adaptasi
dan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan dunia yang cepat di bawah
globalisasi dan penting juga pembangunan dan peningkatan kapasitas untuk
memerintah dan untuk kesehatan governance atau sound governance.
Kegagalan untuk inovasi bermakna kegagalan adaptasi, pengembangan
kapasitas, dan memerintah secara efektif
Secara sama, inovasi dalam proses administratif dan struktur adalah
penting untuk organisasi dan manajemen suatu sistem governance dan untuk
pelaksanaan yang efektif dari kebijakan inovatif. Tanpa inovasi dan adaptif
administratif atau sistem manajerial, kebijakan inovatif mengalami kegagalan.
Kebijakan inovatif kekurangan makna tanpa organisasi dan kapasitas untuk
pelaksanaannya serta dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tanpa
pelaksanaan dan administrasi yang sehat, tidak ada governance yang sehat
atau sound governance.
Inovasi kebijakan dan administrasi adalah kunci sound governance,
khususnya dalam era globalisasi dan perubahan yang cepat. Keduanya
inovasi kebijakan dan administatif terdiri dari banyak manajerial,
kelembagaan, organisasional, kultural, dan inovasi teknologis untuk maksud
adaptasi dan kreatif dan ide baru yang akan mengubah proses dan struktur
governance. Komponen-komponen inovasi kebijakan dan administratif
tersebut akan secara langsung membantu pengembangan dan penambahan
kapasitas manajerial, administratif, dan governance tidak hanya untuk

240 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


pemeliharaan kinerja yang tinggi tetapi juga dalam maksud antisipasi
terhadap munculnya tantangan di era globalisasi.
Bentuk-bentuk inovasi menurut Clark et al., (2008: 4) adalah sebagai
berikut: (a) production innovation, pengenalan barang dan jasa yang baru
atau yang merupakan perbaikan yang signifikan atas pendahulunya; (b)
process innovation, mewakili implementasi dari suatu metode produksi yang
diperbaiki secara signifikan atau baru; (c) organisational innovation, aplikasi
suatu metode atau pengaturan organisasi yang baru.
Sedangkan bentuk inovasi dalam sektor publik terdiri dari (Clark et
al., 2008: 5): (a) new or improved service: sebagai contoh pemeliharaan
berbasis rumah untuk orang tua; (b) process innovation: suatu perubahan
dalam pembuatan produk atau pelayanan; (c) administrative innovation:
sebagai contoh penggunaan suatu instrumen kebijakan baru yang mungkin
akibat dari perubahan kebijakan; (d) system innovation: suatu sistem
baru atau perubahan mendasar dari sistem yang ada, misalnya dengan
pembentukan organisasi baru atau pola-pola baru kerjasama dan interaksi;
(e) conceptual innovation: suatu perubahan dalam pandangan aktor-aktor;
semacam perubahan disertai dengan penggunaan konsep-konsep baru,
misalnya pengelolaan air atau mobilitas penyewaan terpadu; dan (f) radical
change of rationality: yang berarti bahwa pandangan dunia atau matriks
mental karyawan dari suatu organisasi sedang bergeser.
Bentuk inovasi yang mirip pendapat Clark et al., di atas adalah
seperti yang dikemukakan oleh Hartley (2005: 28) yaitu terdiri dari:
a. Product innovation --- produk baru (contoh instrumentasi baru dalam
rumah sakit)
b. Service innovation ---cara baru dalam mana pelayanan disediakan untuk
pengguna (sebagai contoh on-line tax forms)
c. Process innovation---cara baru dalam mana proses organisasional
didesain (sebagai contoh reorganisasi administratif ke dalam proses
front- and back-office; proses mapping leading untuk pendekatan baru)
d. Position innovation---konteks atau pengguna baru (sebagai contoh
Connexions Service untuk penduduk usia muda)

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 241


e. Strategic innovation---maksud dan tujuan baru dari organisasi (sebagai
contoh community policing, foundation hospitals)
f. Governance innovation---bentuk baru keterlibatan warga, dan
kelembagaan demokratis (sebagai contoh forum warga/area forums;
penyerahan sebagian tugas pemerintah ke warga/devolved government)
g. Rhetorical innovation---bahasa dan konsep baru (sebagai contoh konsep
Congestion Charging for London, atau a carbon tax)

Inovasi terjadi karena adanya pengarah dari faktor di luar organisasi


atau dipicu oleh beberapa hal, yaitu (Clark et al., 2008: 5-6): (a) political push
(dorongan politik); (b) pressures for economy and improved efficiency
(tekanan ekonomi dan peningkatan efisiensi); dan (c) pressures for improved
service quality (tekanan untuk kualitas layanan yang lebih baik).
Sedangkan hambatan untuk inovasi sektor publik (Clark et al., 2008:
6-7) yaitu: (a) bureaucratic culture (budaya birokrasi); (b) risk aversion
(keengganan risiko); (c) heritage and legacy (warisan dan hak milik); (d) pace
and scale of change (kecepatan dan skala perubahan); dan (e) absence of a
capacity for organizational learning - at all levels (tidak adanya kapasitas untuk
pembelajaran organisasi - pada seluruh tingkatan).
Adapun yang menjadi kendala dalam pembelajaran di sektor publik
adalah Clark et al., (2008: 8): (a) keengganan untuk kegagalan, dan
diperburuk oleh proses politik yang menggunakan kegagalan untuk mencetak
poin daripada belajar dari pengalaman; (b) praduga keseragaman dalam
pelayanan publik; (c) asumsi dibagi antara pegawai negeri dan menteri
yang perintah dan kontrol adalah cara yang benar untuk menjalankan
kekuasaan; (d) evaluasi yang terbatas terhadap impak, dan sumber-sumber
dari nilai tambah, dari kebijakan dan langkah-langkah sebelumnya; (e)
kurangnya waktu untuk melakukan apa pun selain mengatasi
peristiwa/kejadian; (f) sebuah tradisi kerahasiaan digunakan untuk menahan
umpan balik dan pembelajaran; (g) dominasi ketegangan dan negosiasi antar
departemen, membuat kinerja pengguna akhir secara efektif untuk
pertimbangan lain; dan (h) hilangnya integritas profesional dan otonomi di
bawah pisau efisiensi dalam pembuatan kebijakan, dan ketahanan dan
perlindungan kepentingan pribadi oleh beberapa badan-badan profesional
dan perantara.

242 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Ada perbedaan penting dalam inovasi antara sektor privat dan
publik. Dalam sektor privat inovasi yang sukses sering dipandang sebagai
kebajikan dalam dirinya sendiri, sebagai sarana untuk memastikan daya saing
di pasar baru atau untuk menghidupkan kembali pasar lesu. Namun, di dalam
pelayanan publik, inovasi adalah dibenarkan hanya mana meningkatkan nilai
masyarakat dalam kualitas, efisiensi atau kesesuaian untuk tujuan governance
atau pelayanan. Selain itu, di sektor publik setidaknya, inovasi (innovation)
dan perbaikan (improvement) perlu dilihat sebagai konsep berbeda dan tidak
kabur ke dalam satu kalimat kebijakan.
Oleh karena itu berguna untuk mempertimbangkan beberapa
kemungkinan hubungan antara inovasi (innovation) dan perbaikan
(improvement). Analisis ini didasarkan pada organisasi, tetapi sama mungkin
untuk menerapkan ini ke daerah-daerah pelayanan, unit bisnis, atau kemitraan
(partnership).
Berdasarkan peran pemerintah dalam masyarakat Hartley (2005:
29) dalam model ”Traditional” Public Administration pemerintah menganggap
atau memandang masyarakat sebagai Clients, maka pemerintah mempunyai
kewajiban untuk melindungi atau memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sedangkan dalam model ”New” Public Management pemerintah
menganggap masyarakat sebagai Customers atau pelanggan, sehingga
pemerintah berkewajiban untuk memberikan pelayanan atau memuaskan
pelanggan. Sebaliknya, dalam model Networked Governance pemerintah
mengangap masyarakat sebagai Co-producers atau produsen bersama
dalam arti pemerintan bersama masyarakat untuk membuat produk pelayanan
bersama.
Inovasi di bawah governance jaringan merevitalisasi peran
kepemimpinan pembuat kebijakan dalam menerjemahkan ide-ide baru ke
dalam bentuk-bentuk tindakan baru. Pada saat yang sama masyarakat
dipandang memiliki peran yang lebih besar sebagai penyedia pelayanan
bersama (co-producer) dan inovasi.
Pemahaman tentang inovasi pelayanan publik, lebih jauh Siddiquee
(2007: 81) mengemukakan bahwa inovasi pelayanan publik dan transfer
kebijakan sebagai suatu strategi untuk perbaikan governance dan
peningkatan kualitas pelayanan. Meskipun ada keuntungan di beberapa
wilayah sebagai hasil inovasi dan perubahan governance publik (public

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 243


governance), Malaysia secara kontinyu masih menderita dengan adanya
sejumlah problem dan tantangan yang tinggi terkait dengan korupsi,
inefisiensi, komplikasi prosedural dalam persyaratan pelayanan dan
kurangnya profesionalisme.
Kemudian Siddiquee (2007: 90-91) menyatakan bahwa
peningkatan governance harus dilihat sebagai proses yang
berkesinambungan yang membutuhkan lebih banyak arahan, belajar dan
belajar kembali. Bahan yang paling penting untuk sukses dalam hal tersebut
adalah komitmen dari mereka yang terlibat untuk membuat perbedaan. Hal
ini mendorong untuk dicatat bahwa komitmen tersebut, di Malaysia baik di
tingkat politik dan administrasi tetap cukup tinggi.
Farazmand (2004: 19) mengemukakan bahwa inovasi adalah kunci
untuk sound governance dan inovasi dalam kebijakan dan administrasi adalah
pusat untuk sound governance yang baik. Tanpa inovasi kebijakan dan
administratif, governance jatuh ke dalam pembusukan dan tidak efektif,
kehilangan kapasitas untuk memerintah, dan menjadi target kritik dan
kegagalan. Sound governance meminta inovasi terus-menerus dalam proses
kebijakan dan administrasi, struktur, dan sistem nilai. Inovasi dalam teknologi,
pengembangan sumber daya, sistem komunikasi, organisasi dan
manajemen, pelatihan dan pengembangan, riset, dan sejumlah daerah lain
sangat penting untuk kesehatan governance dan administrasi.
Kemudian Farazmand (2004: 20) mengemukakan bahwa inovasi
kebijakan dalam governance adalah penting untuk adaptasi dan penyesuaian
terhadap perubahan lingkungan dunia yang cepat di bawah globalisasi.
Penting juga pembangunan dan peningkatan kapasitas untuk memerintah
dan untuk kesehatan governance. Kegagalan untuk inovasi bermakna
kegagalan adaptasi, pengembangan kapasitas, dan memerintah secara
efektif. Dengan cara yang sama, inovasi dalam proses administratif dan
struktur adalah penting untuk organisasi dan manajemen suatu sistem
governance dan untuk pelaksanaan yang efektif dari kebijakan inovatif. Tanpa
inovasi dan adaptif administratif atau sistem manajerial, kebijakan inovatif
akan mengalami kegagalan. Kebijakan inovatif kekurangan makna tanpa
organisasi dan kapasitas untuk pelaksanaannya. Tanpa pelaksanaan dan
administrasi yang sehat, tidak ada governance yang sehat. Inovasi kebijakan
dan administrasi adalah kunci sound governance, khususnya dalam era

244 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


globalisasi dan perubahan yang cepat. Keduanya, inovasi kebijakan dan
administatif terdiri dari banyak manajerial, kelembagaan, organisasional,
kultural, dan inovasi teknologis untuk maksud adaptasi dan kreatif dan ide
baru yang akan mengubah proses dan struktur governance.
Komponen-komponen inovasi kebijakan dan administratif tersebut
akan secara langsung membantu pengembangan dan penambahan
kapasitas manajerial, administratif, dan governance tidak hanya untuk
pemeliharaan kinerja yang tinggi tetapi juga dalam maksud antisipasi
terhadap munculnya tantangan di era globalisasi.
Temuan yang terkait dengan inovasi kebijakan dan administrasi
adalah sebagai berikut:
1) Inovasi kebijakan pembinaan siswa yang telah diambil oleh pihak sekolah
sebagai upaya untuk menertibkan perilaku siswa yang cenderung kurang
tertib dan dalam pelaksanaan kebijakan sekolah menciptakan buku
pengendali yang memuat segala informasi, baik tentang pelanggaran
maupun prestasi siswa yang diketahui oleh guru, orang tua siswa dan
siswa sendiri.
2) Kebijakan supervisi pembelajaran di kelas, yang telah diambil sekolah
secara partisipatif dengan melibatkan komite sekolah beserta orang tua
siswa, oleh karena adanya pengaduan dari orang tua siswa yaitu tentang
perlunya perbaikan pembelajaran agar prestasi siswa dapat meningkat
tanpa tambahan bimbingan belajar ke luar sekolah dengan alasan tingkat
sosial ekonomi orang tua siswa yang relatif rendah. Pelaksanaan
kebijakan supervisi pembelajaran di kelas, membutuhkan supervisor yang
disegani, kompeten dan obyektif dalam mengevaluasi serta menggunakan
alat evaluasi yang baku.
3) Inovasi kebijakan pembiayaan kegiatan ekstra kurikuler untuk merespons
pengaduan orang tua/wali siswa atas beban pembiayaan yang relatif
besar untuk kegiatan ekstra kurikuler. Kemudian untuk melaksanakan
kebijakan tersebut diatur suatu mekanisme kerja dan instrumennya serta
prosedur yang baku, dengan memperdayakan tenaga guru untuk
mengelola tabungan yang berasal dari para siswa.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 245


Pembahasan temuan inovasi kebijakan dan administrasi ini
sebagaimana yang diuraikan di bawah ini.
Temuan pertama, adalah inovasi kebijakan pembinaan siswa yang
telah diambil oleh pihak sekolah sebagai upaya untuk menertibkan perilaku
siswa yang cenderung kurang tertib dan dalam pelaksanaan kebijakan
sekolah menciptakan buku pengendali yang memuat segala informasi, baik
tentang pelanggaran maupun prestasi siswa yang diketahui oleh guru, orang
tua siswa dan siswa sendiri.
Masalah kebijakan perilaku siswa yang baru, di mana kebiasaan
masuk terlambat dan tidak mengikuti kegiatan ekstra kurikuler yang menjadi
kewajiban siswa di sekolah, seperti sholat berjamaah, pramuka dan
sebagainya. Hal ini sesuai dengan teori tindakan baru dari Altschuler dan
Zegans (1997) dan praktik baru dari Hartley (2005: 27) yang menyatakan
bahwa inovasi termasuk reinvensi atau adaptasi untuk konteks, lokasi atau
periode waktu yang lain dan pelayanan publik juga membutuhkan inovasi
governance.
Kebijakan sekolah untuk merubah perilaku siswa dari tidak tertib
menjadi lebih tertib dan lebih disiplin ini sesui dengan pendapat Tobert et al.,
(2008: 559) yang mengemukakan bahwa mengeksplorasi hubungan antara
reformasi kelembagaan yang luas dan inovasi kebijakan. Menurut Farazmand
(2004:19-20), tanpa inovasi dan adaptif administratif atau sistem manajerial,
kebijakan inovatif mengalami kegagalan. Kebijakan inovatif kekurangan
makna tanpa organisasi dan kapasitas untuk pelaksanaannya serta dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa tanpa pelaksanaan dan administrasi yang
sehat, tidak ada governance yang sehat atau sound governance. Temuan
penulisan ini sesuai dengan pendapat Farazmand tersebut, yaitu pihak
sekolah menciptakan buku pengendali yang memuat segala informasi, baik
tentang pelanggaran maupun prestasi siswa yang diketahui oleh guru, orang
tua siswa dan siswa sendiri. Dengan buku pengendali ini, maka kebijakan
pembinaan siswa akan efektif dan efisien yaitu mampu merubah perilaku
siswa menjadi lebih tertib karena guru, siswa dan orang tua menandatangani
berita acara yang tercatat di buku pembinaan siswa dengan judul: “Buku
Tata Tertib dan Komunikasi Orang Tua Siswa dengan Seklolah,”
sebagaimana yang diterapkan di SMP 9 Kota Probolinggo.

246 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Temuan kedua, adalah kebijakan supervisi pembelajaran di kelas
(contoh di SMPN 9 Kota Probolinggo), yang telah diambil sekolah secara
partisipatif dengan melibatkan komite sekolah beserta orang tua/wali siswa,
oleh karena adanya pengaduan dari orang tua siswa yaitu tentang perlunya
perbaikan pembelajaran agar prestasi siswa dapat meningkat tanpa
tambahan bimbingan belajar ke luar sekolah dengan alasan tingkat sosial
ekonomi orang tua siswa yang relatif rendah. Pelaksanaan kebijakan
supervisi pembelajaran di kelas, membutuhkan supervisor yang disegani,
kompeten dan obyektif dalam mengevaluasi serta menggunakan alat evaluasi
yang baku.
Kebijakan supervisi pembelajaran di kelas sesuai dengan pendapat
Farazmand (2004: 20) mengemukakan bahwa inovasi kebijakan dalam
governance adalah penting untuk adaptasi dan penyesuaian terhadap
perubahan lingkungan pendidikan yang berubah cepat. Penting juga
pembangunan dan peningkatan kapasitas untuk mengajar oleh para guru
agar dapat berkomunikasi dalam proses belajar mengajar dalam perbaikan
pelayanan di dalam kelas. Selanjutnya Farazmand menemukakan dengan
cara yang sama, inovasi dalam proses administratif dan struktur adalah
penting untuk organisasi dan manajemen suatu sistem governance dan untuk
pelaksanaan yang efektif dari kebijakan inovatif untuk pengajaran yang
menyenangkan. Sebagaimana pendapat Farazmand bahwa inovasi kebijakan
tanpa inovasi administrasi maka inovasi kebijakan akan sia-sia. Kebijakan
inovatif kekurangan makna tanpa organisasi dan kapasitas untuk
pelaksanaannya. Tanpa pelaksanaan dan administrasi yang sehat, tidak ada
governance yang sehat. Inovasi kebijakan dan administrasi adalah kunci
sound governance, khususnya dalam era globalisasi dan perubahan yang
cepat. Keduanya, inovasi kebijakan dan administatif terdiri dari banyak
manajerial, kelembagaan, organisasional, kultural, dan inovasi teknologis
untuk maksud adaptasi dan kreatif dan ide baru yang akan mengubah proses
dan struktur governance.
Temuan ini sejalan dengan pendapat Farazmand di atas, inovasi
kebijakan diikuti oleh inovasi dan adaptif administratif atau sistem manajerial,
yaitu dengan kepala sekolah menyusun kartu dalam bentuk checklist dengan
10 item yang harus diisi berdasarkan data lapangan atau di kelas. Setiap
kelas ada bangku dan kursi di belakang untuk tempat kerja supervisor.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 247


Kepala sekolah sebagai supervisor pembelajaran. Hasil dari supervisi
tersebut disampaikan dalam forum rapat evaluasi hasil supervisi
pembelajaran di kelas yang dipimpin oleh kepala sekolah selaku koordinator
tim. Sedangkan tindak lanjut dari hasil rapat tersebut, kepala sekolah yang
akan melakukan perbaikan baik untuk kinerja guru maupun melengkapi
sarana dan prasarana yang diperlukan sesuai dengan kemampuan keuangan
sekolah dan/atau partisipasi dari orang tua/wali siswa. Kemudian hasil dari
rapat tersebut akan direkomendasikan kepada dinas pendidikan, apabila
menyangkut peningkatan untuk pelatihan guru atau pengadaan sarana dan
prasarana.
Temuan bahwa ada inovasi kebijakan supervisi pembelajaran di
kelas yang dilanjutkan dengan inovasi administrasi dengan membentuk tim
supervisi dan buku pedoman supervisi. Inovasi administrasi ini sesuai dengan
pendapat Clark et al., (2008: 5) yaitu adanya administrative innovation:
sebagai contoh penggunaan suatu instrumen kebijakan baru sebagai akibat
dari perubahan kebijakan dan Hartley (2005: 28) yaitu adanya process
innovation: cara baru dalam mana proses organisasional didesain (sebagai
contoh reorganisasi administratif ke dalam proses front- and back-office;
proses mapping leading untuk pendekatan baru)
Temuan ketiga, adalah inovasi kebijakan pembiayaan kegiatan
ekstra kurikuler untuk merespons pengaduan orang tua atas beban
pembiayaan yang relatif besar untuk kegiatan ekstra kurikuler. Kemudian
untuk melaksanakan kebijakan tersebut diatur suatu mekanisme kerja dan
instrumennya serta prosedur yang baku, dengan memperdayakan tenaga
guru untuk mengelola tabungan yang berasal dari para siswa. Temuan ini
sesuai dengan pendapat Farazmand (2004: 20) bahwa inovasi kebijakan
harus dilanjutkan dengan melakukan inovasi administrasi agar inovasi
kebijakan dapat efektif dalam memecahkan permasalahan publik. Kondisi
tersebut di atas juga sesuai dengan pendapat Clark et al., (2008: 8) bahwa
ada hubungan antara inovasi (innovation) dan perbaikan (improvement) pada
organisasi pelayanan atau kemitraan (partnership). Temuan penulisan ini juga
sesuai dengan pendapat Siddiquee (2007: 81) yang mengemukakan tentang
inovasi pelayanan publik dan transfer kebijakan sebagai suatu strategi untuk
perbaikan governance dan peningkatan kualitas pelayanan. Meskipun ada

248 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


keuntungan di beberapa wilayah sebagai hasil inovasi dan perubahan
governance publik (public governance).
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan sebuah proposisi
sebagai berikut: ”Apabila sekolah melakukan inovasi kebijakan dan
administrasi dalam pelaksanaan program MBS-BPP, maka sekolah dapat
memperbaiki pelayanan pendidikan.”
Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat direkomendasi
sebuah model pelayanan publik sektor pendidikan sebagaimana yang
dijelaskan pada uraian di bawah ini. Model ini diharapakan dapat
memperbaiki pelayanan pendidikan secara berkelanjutan (sustainability)
melalui Manajemen Berbasis Sekolah-Berorientasi Pelayanan Publik (MBS-
BPP).
Pertama, Pelaksanaan program MBS-BPP mengacu pada UU No.
25/2009 tentang Pelayanan Publik, UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah, Perda Jatim No. 11/2005 jo No. 8/2011 tentang Pelayanan Publik,
dan khususnya pada Permenpan No. 13/2009 tentang Peningkatan
Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat.
Kedua, peran semua aktor dalam pelaksanaan program MBS-BPP
dapat dilihat dari perspektif sound governance.
Ketiga, selanjutnya 9 dimensi sound governance dipergunakan
untuk melihat bagaimana pelaksanaan program MBS-BPP. Survei
Pengaduan Masyarakat dilakukan oleh FP3 sebagai lembaga independen
dan untuk menjamin kelancaran pelaksanaan program MBS-BPP berjalan
sesuai dengan ketentuan yang ada, maka dilakukan monev oleh Pengawas
Sekolah, Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, Paguyuban Kelas, dan TP3.
Keempat, kendala internal dan tantangan eksternal dalam
pelaksanaan program MBS-BPP yang perlu diperhatikan adalah masalah
komitmen dari kepala sekolah, guru, Dinas Pendidikan, dan keberlanjutan
dukungan BOS Pusat dan BOS Daerah.
Kelima, hasil selama pelaksanaan program MBS-BPP adalah
sebuah inovasi kebijakan dan administrasi untuk mengantisipasi perubahan
lingkungan yang cepat, dalam bentuk perbaikan pelayanan pendidikan.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 249


Keenam, Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2015 tentang Sistem
Penyelenggaraan Pendidikan (SPP), Tambahan Lembaran Daerah Nomor 18
Tahun 2015, adalah peraturan daerah yang mengikat seluruh warga Kota
Probolinggo yang esensinya merupakan materi muatan tentang Manajemen
Berbasis Sekolah – Berorientasi Pelayanan Publik. Perda ini menjadi payung
hukum pelaksanaan program MBS-BPP dan selanjutnya segera disusun dan
disahkan beberapa Peraturan Walikota.
Ketujuh, dalam rangka menjamin keberlanjutan (sustainability)
pelaksanaan program MBS-BPP, dibutuhkan dukungan dari: (1) BOS
APBN; (2) BOSDA APBD, dan (3) Forum CSR.
Berdasarkan uraian pembahasaan yang terkait dengan penyediaan
pelayanan pendidikan di sekolah-sekolah, dapat dirumuskan sebuah
proposisi sebagai berikut: ”Apabila ada interaksi antar aktor: sekolah,
masyarakat, privat dan global; ada aktor masyarakat: anggota komite sekolah
menjadi anggota lintas organisasi dan lintas sektor serta paguyuban kelas
diberi kesempatan untuk berpartisipasi pada pelaksanaan program sekolah
baik di dalam maupun di luar kelas; sekolah dapat mengatasi kendala internal
dan tantangan eksternal; sekolah melakukan inovasi kebijakan dan
administrasi, maka sekolah dapat memperbaiki pelayanan dan mutu
pendidikan secara berkelanjutan.”

250 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Proposisi di atas atau model yang direkomendasi secara visual dapat dilihat
pada gambar 27 di bawah ini.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 251


BAB 4
PENUTUP

1. Dalam memainkan peran pada pelaksanaan program Manajemen


Berbasis Sekolah – Berorientasi Pelayanan Publik, seluruh aktor, yaitu:
sekolah, masyarakat, privat, dan global telah berinteraksi secara dinamis
dengan perannya masing-masing. Peran aktor sekolah sebagai
koordinator, fasilitator, pembuka hubungan atau jaringan (network)
dengan pihak lain, pemegang keputusan terakhir, menyetujui dan
mengesahkan dokumen publik sekolah; peran komite sekolah (institusi
formal) sebagai pemberi masukan, partisipan, menyetujui dan
mengesahkan dokumen publik sekolah dan ada anggota komite sekolah
yang menjadi anggota lintas organisasi (inter-organizational) dan lintas
sektor (inter-sectoral) dapat mempercepat dalam perbaikan pelayanan
pendidikan; Peran aktor privat sebagai pemberi dukungan dalam bentuk
pemikiran, dana dan barang selama tahapan pelaksanaan program
perbaikan pelayanan pendidikan oleh sekolah; Aktor global untuk
pengembangan kapasitas aktor lainnya dan peran aktor privat sebagai
pemberi dukungan (support) material dan keuangan kurang
menunjukkan keterlibatan dalam memperbaiki pelayanan pendidikan.
2. Seluruh tahapan pelaksanaan program Manajemen Berbasis Sekolah –
Berorientasi Pelayanan Publik (MBS-BPP) melibatkan interaksi secara
dinamis dan saling mendukung dari seluruh dimensi sound governance,
sehingga sekolah dapat memperbaiki pelayanan dan mutu pendidikan
secara berkelanjutan.
3. Kendala Internal yang dihadapi pada pelaksanaan program Manajemen
Berbasis Sekolah – Berorientasi Pelayanan Publik (MBS-BPP), yaitu:
rendahnya komitmen kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, komite
sekolah dan paguyuban kelas; kekurangpahaman terhadap program,
sumbangan masyarakat, dan kegiatan ekstra kurikuler;
kekurangpedulian orang tua/wali siswa terhadap kebutuhan sekolah;
kekurangterbukaan informasi sekolah, sehingga apabila hal-hal tersebut,
tidak dapat diatasi, dapat memperlambat pencapaian target yang telah

252 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


ditentukan dalam program MBS-BPP dalam rangka perbaikan pelayanan
pendidikan oleh sekolah.
4. Tantangan Eksternal yang dihadapi pada pelaksanaan program
Manajemen Berbasis Sekolah – Berorientasi Pelayanan Publik (MBS-
BPP), yaitu: kurangnya komitmen Dinas Pendidikan, seringnya kebijakan
mutasi kepala sekolah, kurangnya pemahaman terhadap kebijakan
pendidikan gratis, dan hubungan hierarkhi yang rigid antara national
governance dengan local governance, sehingga sekolah melakukan
terobosan yang tidak melanggar peraturan yang berlaku agar dapat
melaksanakan program MBS-BPP dalam rangka perbaikan pelayanan
pendidikan.
5. Pada pelaksanaan program Manajemen Berbasis Sekolah – Berorientasi
Pelayanan Publik (MBS-BPP) telah menghadapi berbagai kendala
internal dan tantangan eksternal dan di samping itu sekolah dituntut
untuk memperbaiki pelayanan dan mutu pendidikan, sehingga sekolah
membuat inovasi kebijakan dan agar inovasi kebijakan tersebut dapat
dilaksanakan, maka sekolah melakukan inovasi administrasi.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 253


DAFTAR PUSTAKA

Abadzi, Helen. 2013. ”School-Based Management Committees in Low-


Countries: Can They Improve Service Delivery?” Publised online:
April 12, 2013 by UNESCO IBE 2013. Prospects (2013) 43: 115-
132
Alisjahbana, Armida S. 2000. Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Pendidikan. Bandung: FE-Universitas Padjadjaran
Alsop, Ruth., Bertelsen dan Holland. 2006. Empowerment in Practice. (From
Analysis to Implementation). Washington, DC, USA: The World
Bank.
Andersen, E.A., dan B. Lindsnaes (eds.). 2009. ”Keeping Up with the
Fashion: Human Rights and Global Public Goods” Matinus
NIJHOFF Publisher. International Journal on Minority and Group
Rights 16 (2009) 165-179
Armitage, Derek, Fikret Berkes, dan Nancy Doubleday (Ed), 2007. Adaptive
Co-Management (Collaboration, Learning, and Multi-Level
Governance). Vancouver, Canada: The University of British Columbia
Press
Armstrong, David, Valeria Bello, Julie Gilson and Debora Spini. 2011. Civil
Society and International Governance (The role of non-state actors in
global and regional regulatory frameworks). London and New York:
Routledge/GARNET Series: Europe in the World
Baer, Maxim. 2013. International Corporation as Actors in Global
Governance (Evidence from 92 Top-Managers in Germany and
France). Germany: Springer VS
Baker, Susan and Katarina Eckerberg, (Ed), 2008. In Pursuit of Sustainable
Development (New governance practices at the sub-national level
in Europe). London and New York: Routledge
Bandur, Agustinus. 2012. ”School-Based Management Development and
Partnership: Evidence from Indonesia” International Journal of
Educational Development 43 (2012) 316 – 328

254 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Behrman, Jere R., Anil B. Deolalikar, dan Lee-Ying Soon. 2002. Conceptual
Issues in the Role of Education Decentralization in Promoting
Effective Schooling in Asia Developing Countries. Working Paper
Series No. 22 Economic and Research Department, ADB, Sept
2002, Manila – Filipina.
Bevir, Mark (Eds). 2011. The SAGE Handbook of Governance, First
Published. California, USA: SAGE
Bjork, Christopher (Ed), 2006. Educational Decentralization (Asian
Experiences and Conceptional Contributions). Netherlands:
Springer
Callahan, Kathe. 2007. Element of Effective Governance: Measurement,
Accountability, and Participation, First Edition. USA: Taylor &
Francis Group, LLC.
Cheung, Shereen M.C dan Flora L.F. Kan. 2009. ”Teachers’ Perceptions of
Incorporated Management Committees as a Form of School-Based
Management in Hong Kong.” Asia Pacific Education Review 10:
139-148.
Chocran, Charles L. dan Eloise F. Malone. 1995. Public Policy: Perspectives
and Choice, First Edition. USA: McGraw-Hill.
Creswell, John W. 2009. Reseach Design (Qualitative, Quantitative, and
Mixed Methods Approaches), Third Edition. California, USA:
SAGE.
Cruset, Maria Eugenia (Ed). 2012. Migration and New International Actors.
UK: Cambridge Scholars Publishing
Denhardt dan Denhardt, 2003. The New Public Service (Serving, Not
Steering), Expanded Edition. New York, USA: M.E. Sharpe, Inc.
Dirgantoro, Crown. 2007. Manajemen Stratejik, Cetakan Ketiga. Jakarta: PT
Gramedia.
Donze, Pierre Yyes and Shigehiro Nishimura. 2014. Organizing Global
Technology Flows (Institutions, Actors, and Processes). New York,
USA: Routledge

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 255


Dwiyanto, Agus. 2006. Mewujudkan Good Governance: Melalui Pelayanan
Public, Cet.I,Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Dye Thomas R., 1978. Understanding Public Policy. Third Edition. USA:
Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J.07632.
Ervik, Rune, Nanna Kildal and Even Nilssen, (Ed), 2009. The Role of
International Organizations in Social Policy (Ideas, Actors and
Impact). UK and USA: Edward Elgar Publishing Limited
Farazmand, Ali (Ed). 2004. Sound Governance (Policy and Administrative
Innovations,. First Edition. Westport, Connecticut, London:
PRAEGER.
………………………. 2012. Sound Governance: Engaging Citizens through
Collaborative Organizations, The Paper Presented at the 2012
ASPA Conference in Las Vegas, March 2-6, 2012, Public
Organization Review: Springer Science+Business Media, LLC
2012.
Fenwick, Tara dan Richard Edwards, (Ed), 2012. Researching Education
Through Actor-Network Theory. USA & UK: Wiley-Blackwell
Fetterman, David M., dan Abraham Wandersman. 2005. Empowerment
Evaluation Principles in Practice, New York, London: The Guilford
Press.
Forsythe, David P. dan Barbara Ann J. Rieffer-Flanagan, 2007. The
International Committee of the Red Cross (A neutral humanitarian
actor). London and New York: Routledge
Frederickson, H. George dan Kevin B. Smith. 2003. The Administration
Theory Primer (Essentials of Public Policy and Administration), First
Edition. USA: Westview Press.
Frederickson, H. George, 2003. New Public Administration, USA: The
University of Albama Press. Albama -USA .
Galiani, Sebastian, Paul Gertler, dan Ernesto Schargrodsky. 2008. School
Decentralization: Helping the Good Get Better, but Leaving the
Poor Behind. USA: PREAL-CINDE

256 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Grindle, Merilee S. 2007. Going Local (Decentralization, Democratization,
and the Promise of Good Governance), Princeton, New Jersey, USA:
Princeton University Press.
Hardina, Donna., Jane Middleton, Salvador Montana, dan Roger A. Simpson.
2007. An Empowering Approach to Managing Social Service
Organizations. New York, USA: Springer Publishing Company.
Hartley, Jean., Cam Donaldson dan Chris Skelcher. 2008. Managing to
Improve Public Services. New York, USA: Cambridge University
Press.
Hendrikse, George., Josef Windsperger, Mika Tuunanen, dan Gerard
Cliquet. 2008. Strategy and Governance of Networks (Cooperatives,
Franchising, and Strategic Alliances), Germany: Physica-Verlag
Heidelberg
Heyward, Mark O., Robert A Cannon dan Sarjono. 2011. ”Implementing
School-Based Management in Indonesia: Impact and Lesson
Learned.” Journal of Development Effectiveness Vol. 3, No. 3,
September 2011, 371-388
Hofmann, Claudia, 2008. Learning in Modern International Society (On the
Cognitive Problem Solving Abilities of Political Actors). Germany:
VS VERLAG
Horton, Douglas,. Anastasia Alexaki, Samuel Bennett-Lartey, Kim Noele
Brice, Dindo Campilan, Fred Carden, Jose de Souza Silva, Le
Thanh Duong, Ibrahim Khadar, Albina Maestrey Boza, Imrul Kayes
Muniruzzaman, Jocelyn Perez, Matilde Somarriba Chang, Ronnie
Vernooy, dan Jamie Watts. 2003. Evaluating Capacity Development
(Experiences from Research and Development Organizations
around the World. Netherlands: ISNAR.
Howlett, Michael dan M. Ramesh. 1995. Studying Public Policy: Policy
Cycles and Policy Subsystems, Canada: Oxford University Press.
Initiatives for Governance Innovation (IGI). 2012. Penerapan Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS), Yogyakarta: FISIPOL - UGM.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 257


Jabbra, Joseph G., dan O.P Dwivedi (Ed).1989. Public Service
Accountability (A Comparative Perspective), First Edition.
Connecticut, USA: Kumarian Press, Inc.
John, Peter. 2001. Local Governance. First Published. London, Thousand
Oaks, New Delhi: SAGE Publications
Kappen, Thomas Risse (Ed) 1999. Bringing Transnational Relations Back In
(Non-state actors, domestic structures and internastional
institutions). UK: Cambridge University Press
Kaul, Inge, at al. 2003. Providing Global Public Goods: Managing
Globalization. New York, USA: Oxford University Press.
Keskitalo, E. Carina H. (Ed), 2010. Developing Adaption Policy and Practice
in Europe: Multi-Level Governance of Climate Change. Dordrecht
Heidelberg, London and New York: Springer
Kimber, Megan dan Lisa Catherine Ehrich. 2010. ”The Democratic Deficit
and School-Based Management in Australia.” Journal of
Educational Administration, Vol. 49, No. 2, 2011, pp. 179-199
Knoepfel, Peter et al. 2007. Public Policy Analysis. UK: The Policy Press.
Krahmann, Elke. 2005. New Threats and New Actors in International
Security. New York, USA: Palgrave Macmillan
Lemieux, Pierre. 2012. The Public Debt Problem. Dalam judul terpilih:
“Producing Public Goods Privately. USA: Palgrave-Macmillan.
Maikish, Athena, Alec Gershberg. 2008. Targeting Education Funding to the
Poor: Universal Primary Education, Education Decentralization and
Local Level Outcomes in Ghana. UNESCO-UN: EFA-GMR
Malaklolunthu, Suseela dan Faizah Shamsudin. 2011. “Challenges in Shool-
Based Management: Case of a cluster school in Malaysia.”
Procedia-Social and Behavioral Science 15 (2011) 1488 – 1492.
Meuleman, Louis. 2008. Public Management and the Metagovernance of
Hierarchies, Networks and Markets. Cetakan Kesatu. Germany:
Physica-Verlag A Springer Company.

258 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Mizel, Omar. 2009. “Teamwork in Israeli Arab-Bedouin School-Based
Management.” British Journal of Educational Studies, Vol. 57, No.
3, September 2009, halaman 305-327
Moradi, Saeid., Sufean Bin Hussin, dan Nader Barzegar. 2012. “Shool-
Based Management (SBM), Opportunity or Threat (Education
Systems of Iran).” Procedia-Social and Behavioral Science 69
(2012) 2143 – 2150.
Morden, Tony. 2007. Principles of Strategic Management, Third Edition.
England & USA: Ashgate.
Muktiali, M., 2009. ”Penyusunan Instrumen Monitoring dan Evaluasi Manfaat
Program Pembangunan di Kota Semarang.” Riptek, Vol. 3, No. 2,
Tahun 2009, hal. 11-20.
Muluk, M.R.Khairul. 2009. Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintah
Daerah. Surabaya : ITS Press
--------------------------- 2010. Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan
Daerah. Malang: Lembaga Penerbitan dan Dokumentasi FIA-
UNIBRAW.
Naidoo, Jordan P. 2002. Education Decentralization in Sub-Saharan Africa
(Espoused Theories and Theories in Use. Paper presented at the
Annual Meeting of the Comparatives and International Education
Society. USA: Orlando-Florida.
Ngok, Kinglun. 2007. Chinese Education Policy in the Context of
Decentralization and Marketization: Evolution and Implications. Asia
Pacific Education Review 2007, Vol. 8, No. 1, 142-157
Oestreich, Joel E. (Ed). 2012. International Organizations as Self-Directed
Actors (A framework for analysis). London and New York:
Routledge
Olson, Mancur. 2002. The Logic of Collective Action, Twentieth Printing.
USA: Harvard University Press.
Parasuraman, Valerie A Zeithaml, dan LL Berry. 1997. Delivering Quality
Service, Balancing Perceptions and Expectations. New York: The
Free Press.

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 259


Pierre, John (ed). 2000. Debating Governance, New York, USA: Oxford
University Press Inc.
Rangkuti, Freddy. 2003. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.
Cetakan Kesepuluh. Jakarta: PT SUN.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, 2014. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
2004. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta: Sekretariat
Negara.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Jakarta : Sekretariat Negara
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang
Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, Jakarta: Sekretariat
Negara. Sekretariat Negara.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Sekretariat
Negara.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun
2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar,
Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional
Rodall, Claudia A. Santizo dan Christopher James Martin. 2009. ”School-
Based and Citizen Participation: Lesson for Public Education from
Local Educational Projects.” Journal of Educational Policy, Vol. 24,
No. 3, May 2009, 317-333.

260 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Santibanez, Lucrecia, Raul Abreu Lastra, dan Jennifer L. O’Donoghue. 2013.
”School based management effects: Resources or governance
change? Evidence from Mexico,”: Economic of Education Review
39 (2014) 97-109.
Scharpf, Fritz W., 1997. Games Real Actors Play (Actor-Centered
Institutionalism in Policy Research). USA: Westview Press.
Shah, Anwar dan Shah, Sana. 2006. Local Governance in Developing
Countries, Public Sector Governance and Accountability Serries.
Washington D.C : The World Bank.
Sloat, Amanda. 2002. Scotland in Europe: A Study of Multi-Level
Governance. Berlin and New York: Peter Lang
Somantri, Manap. 2014. Perencanaan Pendidikan, Bogor: IPB Press.
Soguel, Nils C., dan Pierre Jaccard. 2008. Governance and Performance of
Education Systems. Netherlands: Spinger.
Stanfield, James. 2012. ”Public Goods and Club Goods – Does the State
Need to Provide Libraries?” Economic Affairs (Student & Teacher
Supplement). Stephen Davies (eds), UK: Issue 2, Summer 2012
(pg 1).
Supriyadi, Ujang Didi, 2009. Pengaruh Desentralisasi Pendidikan Dasar
terhadap Kualitas Pendidikan di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali.
Jurnal Pendidikan, Volume 39, Nomor 1, Mei 2009, hal. 11-26.
Jabar: Univ Subang.
Tabak, Edin, 2015. Information Cosmopolitics (An Actor-Network Theory
Approach to Information Practices). USA: ELSEVIER
Teisman, Geert., Arwin van Buuren and Lasse Gerrits. 2009. Managing
Complex Governance Systems (Dynamics, Self-Organization and
Coevolution in Public Investments). New York, USA and London:
Routledge
Thissen, Wil A. H. dan Warren E. Walker (ed). 2013. Public Policy Analysis.
New York, USA: Springer.
Tjoetra, Afrizal., Nurdin El Jodas, Miswar Fuady, Anita T. Iskandar, Dodi
Hendrik, T. Banta Syahrizal. 2008. Panduan Pelatihan

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 261


Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi Program. Banda Aceh:
IMPACT.
United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization
(UNESCO). 2000. The Dakar framework for Action, Educational for
All: Meeting Our Collective Commitments. Dakar, Senegal, 26-28
April 2000. Perancis: the World Education Forum.
Wallace, Mike., Michael Fertig dan Eugene Schneller. 2007. Managing
Change in the Public Service, USA, UK dan Australia: Blackwell
Publishing.
Winkler, Donald R. dan Alee Ian Gershberg, 2003. Education
Decentralization in Afrika (A Review of Recent Policy and Practice).
USA: World Bank dan RTI.

262 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Lampiran 1: Sekolah Lokasi Survei dan Sekolah Fokus
Tabel
29 Sekolah Lokasi Survei

No. Nama Sekolah No. Nama Sekolah


1. SDN Curahgrinting 1 16. SDN Wonoasih 2
2. SDN Jrebeng Kidul 17. SMPN 6
3. SDN Jrebeng Kulon 2 18. SMPN 8
4. SDN Jrebeng Wetan 19. MTsN
5. SDN Kanigaran 5 20. SDK Mater Dei
6. SDN Kareng Lor 2 21. SDN Sukabumi 6
7. SDN Kebonsari Wetan 1 22. SMPN 9
8. SDN Kedopok 1 23. SDN Kanigaran 3
9. SDN Kedungasem 3 24. SDN Sukabumi 1
10. SDN Kedunggaleng 1 25. SDN Sukabumi 4
11. SDN Pakistaji 1 26. SDN Sukabumi 5
12. SDN Sukoharjo 4 27. SDN Kebonsari Kulon 8
13. SDN Sumber Wetan 1 28. SDN Wonoasih 1
14. SDN Sumbertaman 1 29. SMPN 10
15. SDN Tisnonegaran 1

Sedangkan untuk sekolah fokus yang dijadikan tempat wawancara


mendalam (indepth interview) adalah 12 sekolah dengan perincian sebagai
berikut:
Tabel
12 Sekolah Fokus
No. Nama Sekolah
1. SDN Jrebeng Kulon 2
2. SDN Kanigaran 5
3. SDN Kebonsari Wetan 1
4. SDN Pakistaji 1
5. SDN Sukoharjo 4
6. SDN Sumbertaman 1
7. SDN Tisnonegaran 1
8. SDK Mater Dei
9. SDN Sukabumi 6
10. SMPN 9
11. SDN Sukabumi 1
12. SDN Wonoasih 1

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 263


Lampiran 2: Contoh Angket Survei Pengaduan

264 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


Lampiran 3.

Contoh Tabel Analisis Sebab Akibat Hasil Survei Pengaduan

No. Pernyataan Pengaduan Penyebab Alternatif Perbaikan


Internal Eksternal

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Probolinggo,
Ketua Tim Pengembangan Sekolah,

...............................

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 265


Lampiran 4: Contoh Janji Perbaikan Pelayanan

JANJI PERBAIKAN PELAYANAN


Nomor: 422/A/425.103.4.17/2015

Masyarakat Pengguna Pelayanan SDN Tisnonegaran 1 Yang Terhormat :

Selama “Survei Pengaduan Masyarakat” yang dilaksanakan tanggal 22 Maret 2015,


sejumlah 224 responden (murid & wali murid) telah berpartisipasi mengisi dan mengembalikan
kuisioner dari sejumlah 224 kuisioner yang disebarkan. Jawaban murid dan wali murid yang
masuk telah kami olah dengan mengurutkan pengaduan-pengaduan mulai dari yang tertinggi
sampai dengan yang terendah. Hasil rekapitulasi survei pengaduan tersebut sebagaimana
dapat dilihat pada tabel Rekapitulasi Hasil Survei Pengaduan Masyarakat.

Kami berupaya menanggapi seluruh pengaduan dan kami berjanji memperbaiki pelayanan
yang terkait dengan masing-masing pengaduan tersebut, yaitu dengan upaya-upaya sebagai
berikut :

1. Untuk pengaduan “Guru hendaknya lebih perhatian dan dekat dengan murid”, kami
berjanji mulai Bulan Mei 2015 akan :
1.1 Meningkatkan perhatian pada murid
1.2 Melakukan pembinaan dan supervisi kepada guru terkait kurangnya perhatian
kepada murid
2. Untuk pengaduan tentang “Perencanaan biaya perpisahan harus lebih efisien“, kami
berjanji mulai bulan Mei 2015 akan :
1.1 Lebih cermat dalam membuat anggaran
1.2 Mengadakan seleksi dan mempertimbangkan kegiatan yang membutuhkan biaya
besar
1.3 Pengoptimalan peran panitia perpisahan
3. Untuk pengaduan “Perpustakaan kurang ventilasi dan cahaya”, kami berjanji mulai Bulan
Mei 2015 akan :
1.1 Menambah ventilasi udara dan penerangan
1.2 Membuat jadwal piket perpustakaan untuk meningkatkan kebersihan dan
kenyamanan siswa
4. Untuk pengaduan tentang “ Partisipasi pendidikan melalui musyawarah dan dapat
dipertanggung jawabkan”, kami berjanji mulai bulan Mei 2015 akan :
4.1 Selalu melibatkan wali murid dalam membahas partisipasi pendidikan
4.2 Selalu menyampaikan laporan hasil partisipasi pendidikan baik secara langsung
maupun melalui papan informasi
5. Untuk pengaduan tentang “ Perlu diadakan sosialisasi program sekolah “ , kami berjanji
mulai Mei 2015 akan,
5.1 Menyampaikan kalender pendidikan sekolah kepada wali murid setiap awal tahun
pelajaran
5.2 Melibatkan wali murid dalam merencanakan program sekolah
6. Untuk pengaduan tentang “ Musholla terlalu sempit dan perlu penambahan
perlengkapan” , kami berjanji mulai Oktober 2015 akan,
6.1 Mengadakan perbaikan dan perluasan musholla
6.2 Menambah perlengkapan musholla seperti sarung, mukena, Alqur’an, dan lainnya
7. Untuk pengaduan tentang “ Tidak ada satpam di sekolah”, kami berjanji mulai Januari
2015 akan,
7.1 Mengangkat tenaga harian satpam
7.2 Mengoptimalkan peran guru piket

266 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


8. Untuk .pengaduan tentang “Perlu pemantauan dari guru kepada siswa saat jam istirahat
dan pulang”, kami berjanji mulai Mei 2014 akan,
8.1 Meningkatkan pemantauan terhadap siswa saat jam istirahat dan pulang
8.2 Mengoptimalkan peran guru piket
9. Untuk pengaduan tentang “Guru hendaknya lebih kreatif dalam pembelajaran”, kami
berjanji mulai Mei 2015 akan,
9.1 Menyelenggarakan pelatihan untuk penguasaan model-model pembelajaran yang
menarik
9.2 Pengadaan alat peraga (media pembelajaran oleh sekolah)
9.3 Diadakan supervisi/pembinaan secara rutin oleh Kepala Sekolah dan Pengawas
10. Untuk pengaduan tentang “ Masih ada siswa yang membuang sampah sembarangan
dan tidak dipilah”, kami berjanji mulai Mei 2015 akan,
10.1 Mengadakan sosialisasi tentang pemilahan dan pengolahan sampah
10.2 Memberi sangsi bagi yang melanggar tata tertib lingkungan hidup
10.3 Mengoptimalkan peran tim adiwiyata

Problinggo, Mei 2015

Kami yang berjanji :

Kepala SDN Tisnonegaran 1


Kota Probolinggo Saksi-saksi:

HJ. RUKMINI, S.Pd IMAM SULIYONO, S.Sos., M.M


NIP. 19601105 197907 2 003 (Komite SDN Tisnonegaran 1 Probolinggo)

Drs. KH. ABDUL AZIZ, MH.


(Ketua Dewan Pendidikan Probolinggo)

Mengetahui,
Kepala Dinas Pendidikan
Kota Probolinggo

Drs. ENDRO SUROSO, M.Si


NIP. 19610702 198703 1 009

Lampiran 5: Contoh Rekomendasi Teknis


No : 422/80/425.103.4.17/2015
Lamp : 1 ( satu ) bendel
Hal : Rekomendasi Perbaikan Pelayanan Pendidikan

Kepada
Yth Walikota Probolinggo
di-
Tempat

Dengan hormat,

PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 267


Selama pelaksanaan Survei Pengaduan Masyarakat terhadap kinerja pelayanan Pendidikan
Di SDN Tisnonegaran 1 yang dilaksanakan pada tanggal 22 – 24 Maret 2015 sejumlah 224
anggota masyarakat sangat berpartisipasi mengisi dan mengembalikan kuesioner tersebut.
224 kuesioner yang disebarkan (terlampir Tabel Rekapitulasi Pengaduan Masyarakat).
Kami telah membahas dan menentukan upaya-upaya perbaikan pelayanan untuk menanggapi
pengaduan masyarakat tersebut. Dan kami telah membuat Janji Perbaikan Pelayanan dan
telah mengumumkan kepada masyarakat (terlampir).
Dalam proses analisis sebab-sebab dan alternatif penyelesaian masalah pengaduan, kami
juga mengidentifikasi beberapa sebab yang ternyata tindakan-tindakan perbaikannya berada
di luar kewenangan dan kemampuan kami di SDN Tisnonegaran 1. Oleh karena itu kami
memerlukan dukungan dan keputusan dari Bapak Walikota untuk menyelesaikan masalah
tersebut yang berada di luar kewenangan kami.
Dengan hormat kami menyampaikan beberapa sebab yang berada di luar kewenangan dan
kemampuan kami tersebut sebagai berikut :
1. Untuk pengaduan tentang ” Meja dan kursi di dalam kelas kurang layak ”, kami berjanji
mulai Juli 2015 akan,
1.1 Merekomendasikan kepada Dinas Pendidikan untuk pengadaan meja dan
kursi siswa
2. Untuk pengaduan tentang ”Ruang UKS kurang ventilasi,” kami berjanji mulai Agustus
2015 akan,
2.1 Merekomendasikan kepada Dinas Pendidikan untuk merehabilitasi Ruang UKS.
3. Untuk pengaduan tentang ”Tempat wudhlu kurang layak,” kami berjanji mulai Agustus
2015 akan,
3.1. Merekomendasikan kepada Dinas Pendidikan untuk merehabilitasi tempat
wudhlu.
Mohon kebijakan dan keputusan Bapak Walikota untuk masalah-masalah tersebut di atas.
Kami sangat senang bila mendapat kesempatan untuk membantu Bapak Walikota membahas
berbagai kemungkinan penyelesaian masalah atas pengaduan masyarakat tersebut.
Demikian kami sampaikan atas perhatian Bapak dalam mendukung upaya perbaikan
pelayanan yang sedang dan akan kami lakukan, kami sampaikan terima kasih.

Kota Probolinggo, Mei 2015


Kepala SDN Tisnonegaran 1

Hj. RUKMINI, S.Pd


NIP. 19601105 197907 2 003
Tembusan disampaikan kepada:
1.Lampiran
DPRD 6:
2.Peraturan
Dinas pendidikan
Daerah Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Sistem Penyelenggaraan
3. Dewan Pendidikan
Pendidikan (SPP)

268 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 269
270 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 271
272 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 273
274 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 275
276 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 277
278 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 279
280 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 281
282 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 283
284 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 285
286 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 287
288 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 289
290 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 291
292 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 293
294 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 295
296 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.
PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 297
Lampiran 7:

298 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.


PELAYANAN PUBLIK SEKTOR PENDIDIKAN 299
BIOGRAFI PENULIS

Dr. Djoko Siswanto Muhartono, M.Si. lahir di Banyuwangi


pada tanggal 28 April 1960, anak keempat dari 10
bersaudara dari pasangan Ayah Sam Hardojo (Alm) dan
Ibu Sri Muhartini (Alm). Pendidikan: SD Negeri
Surodakan 1 Trenggalek Lulus pada tahun 1972, Lulus
SMP Negeri 1 Trenggalek pada tahun 1975, Lulus SMA
Negeri 1 Trenggalek pada tahun 1979. Menamatkan
pendidikan Strata 1 dari Jurusan Ilmu Administrasi
Negara, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya pada tahun 1984.
Pendidikan Strata 2 dari Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Airlangga
diselesaikan pada tahun 1999. Pada tahun 2016 telah lulus Program Doktor
dengan Minat Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi,
Universitas Brawijaya. Sejak tahun 1986 sebagai Dosen Pegawai Negeri
Sipil (PNS) Dipekerjakan (DPK) Kopertis Wilayah VII di Universitas Pawyatan
Daha Kediri. Pengalaman profesional menjadi konsultan APBD, Manajemen
Keuangan Publik, Manajemen Pelayanan Publik dan Governance pada
Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah,
bergabung dengan donor luar negeri dari United States Agency for
International Development (USAID) baik melalui International County/City
Management Association (ICMA) dan Research Triangle Institute (RTI) pada
tahun 2001-2009 dan 2013-2015, World Bank tahun 2010-2012 dan
Australian Agency for International Development (AusAID) tahun 2011-2013
di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

300 Dr. Djoko S. Muhartono, M.Si.

Anda mungkin juga menyukai