Anda di halaman 1dari 446

INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH

(Studi Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan


Di Kabupaten Gowa)

DISERTASI

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Doktor

Oleh:

MUH. TANG ABDULLAH


107030101111008

PROGRAM DOKTOR ILMU ADMINISTRASI


MINAT ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
IDENTITAS TIM PENGUJI

JUDUL DISERTASI:

INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH:


(Studi Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan di Kabupaten Gowa)

Nama Mahasiswa : Muh. Tang Abdullah


NIM : 107030101111008
Program : Doktor Ilmu Administrasi
Minat : Administrasi Publik

KOMISI PROMOTOR:

Promotor : Prof.Dr. Bambang Supriyono, M.S.


Ko-Promotor 1 : Dr. M.R. Khairul Muluk, M.Si.
Ko-Promotor 2 : Dr. Tjahjanulin, M.S.

TIM DOSEN PENGUJI:

Dosen Penguji 1 : Prof. Dr. Sumartono, M.S.


Dosen Penguji 2 : Prof. Dr. Soesilo Zauhar, M.S.
Dosen Penguji 3 : Dr. Bambang Santoso Haryono, M.S.
Dosen Penguji 4 : Dr. Chairul Saleh, M.S.
Dosen Penguji 5 : Prof. Dr. Sangkala, M.A.
Dosen Penguji 6 : Dr. Falih Soeaidy, M.Si.

iii
KUPERSEMBAHKAN UNTUK:

Almamaterku Universitas Hasanuddin tempat mengabdiku


& Universitas Brawijaya tempatku menuntut Ilmu

Ayahanda Abdullah & Ibunda Hj. St. Rugayah


& Keluarga Besar Mertuaku

Isteri Tercinta Hj. Agusnawati & Ketiga Anandaku Nurul Indhira


Dewanty, Abdul Hanief Arrizaly
& Abdul Manaf Abdiwanua

“Sungguh yang Lebih Utama dari Karya ini adalah


Mempertanggungjawabkannya, tidak hanya di Dunia Akademisi
tetapi kepada Sang Khalik, Maha Berilmu, Allah SWT”

iv
RIWAYAT HIDUP

Muh. Tang Abdullah. Lahir di Elle-Bone 7 Mei 1972, anak dari ayah Abdullah
dan ibu Hj. St. Rugayah. Menikah dengan Hj. Agusnawati dan dikaruniai tiga
anak (Nurul Indhira Dewanty, Abdul Hanief Arrizaly, Abdul Manaf Abdiwanua).
Menempuh dan menyelesaikan pendidikan SD sampai dengan SMA di Kota
Makassar. Meraih Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos.) pada Jurusan Ilmu
Administrasi Fisipol Universitas Hasanuddin. Memperoleh gelar Magister
Administrasi Publik (M.AP) pada Program Magister Ilmu Administrasi Publik FIA
Universitas Brawijaya. Sejak 2010 menempuh Program Doktor (S3) Ilmu
Administrasi (Publik) FIA Universitas Brawijaya. Mulai 2004 menjadi dosen tetap
pada Jurusan Ilmu Administrasi Fisipol Universitas Hasanuddin. Artikel penulis
pernah diterbitkan oleh jurnal: Bisnis & Birokrasi-UI (2014), Masyarakat
Kebudayaan & Politik-UNAIR (2013), Spirit Publik-UNS (2011), dan Administrasi
Publik-LAN Makassar (2010).

Malang,
Mahasiswa,

Muh. Tang Abdullah


NIM. 107030101111008

vi
UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah. Ungkapan rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah


SWT karena hanya dengan kehendak dan rahmat ilmu-Nya jualah sehingga
penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini. Kesadaran diri penulis yang penuh
kekurangan dan keterbatasan mendorong untuk menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang tinggi kepada semua pihak yang telah memberikan berbagai
bantuan baik materi maupun nonmateri, masukan, kritikan, inspirasi, spirit dan
motivasi untuk menyelesaikan Disertasi ini. Oleh karena itu, ucapan terima kasih
yang tak terhingga sepatutnya penulis alamatkan kepada:
Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, M.S. sebagai Rektor Universitas Brawijaya
melalui kebijakannya telah menerima penulis sebagai mahasiswa Tugas Belajar
dan menyediakan fasilitas pendidikan yang lengkap dan suasana kampus yang
kondunsif untuk proses pembelajaran di kampus Universitas Brawijaya ini.
Prof. Dr. Abdul Hakim, M.Si. sebagai Direktur Pascasarjana Universitas
Brawijaya yang menyediakan pelayanan administratif, termasuk menyediakan
fasilitas biaya pendidikan berupa beasiswa (BPPS) untuk mendukung proses
pendidikan pada Program Doktor Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya.
Prof. Dr. Bambang Supriyono, M.S. sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya, atas segala kebijakan dan fasilitas belajar,
baik yang bersifat administratif maupun akademik, selama penulis menempuh
Tugas Belajar sebagai mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas
Brawijaya.
Prof. Dr. Sumartono, M.S. sebagai Ketua Program Doktor Ilmu Administrasi
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, atas segala kebijakan dan
pelayanan serta akses informasi dalam proses belajar mengajar selama
mengikuti Tugas Belajar pada Program Doktor Ilmu Administrasi (Publik).
Tim Promotor yang terdiri dari: Prof.Dr. Bambang Supriyono, M.S. sebagai
Promotor, dan Dr. M.R. Khairul Muluk, M.Si. sebagai Ko-Promotor 1, serta Dr.
Tjahjanulin Domai, M.S. sebagai Ko-Promotor 2, yang banyak memberikan
kontribusi yang luar biasa berupa konsultasi dan bimbingan, masukan ide, kritik
dan saran, inspirasi dan spirit akademik, serta penuh simpatik dan keramahan
selama proses pembimbingan.
Tim dosen penguji disertasi, antara lain: Prof. Dr. Sumartono, M.S., Prof.
Dr. Soesilo Zauhar, M.S., Dr. Bambang Santoso Haryono, M.S., Dr. Chairul
Saleh, M.S. Prof. Dr. Sangkala, M.A. dan Dr. Falih Soeaidy, M.Si., terima kasih
atas segala kritik, pendapat dan saran-sarannya yang sangat konstruktif dalam
menyempurnakan disertasi ini.
Seluruh Dosen Pengajar Program Doktor Ilmu Administrasi (Publik)
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya yang telah bersedia membagi
ilmu dan wawasan akademiknya serta seluruh staf administrasi yang ramah dan
tekun dalam memberikan pelayanan administrasi kepada penulis.

vii
Dr. Ichsan Yasin Limpo, SH., MH. selaku Bupati Gowa dan Pimpinan
DPRD Kabupaten Gowa, terkhusus untuk Dinas Pendidikan, UPTD Pendidikan,
Sekolah dan guru-guru serta aparatur lain yang telah memberikan bantuan dan
akses masuk ke lokasi dan situs penelitian untuk memperoleh data dan informasi
yang dibutuhkan dalam Disertasi ini.
Seluruh informan penelitian, baik dari unsur pemerintahan daerah maupun
dari luar pemerintahan daerah Kabupaten Gowa, serta berbagai pihak yang telah
memiliki kontribusi secara langsung dan tidak langsung memberi akses terhadap
data dan informasi yang relevan dengan fokus penelitian disertasi ini.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT segalanya kita berharap, semoga
kontribusi dan sumbangsih dari berbagai pihak mendapat balasan yang setimpal
dari-Nya. Amin.

Malang,
Mahasiswa,

Muh. Tang Abdullah


NIM. 107030101111008

viii
RINGKASAN

Muh. Tang Abdullah. Program Doktor Ilmu Administrasi (Publik) Universitas


Brawijaya. 2016. Inovasi Pemerintahan Daerah: Studi Inovasi Penyelenggaraan
Urusan Pendidikan di Kabupaten Gowa. Promotor: Bambang Supriyono, Ko-
Promotor 1: M.R. Khairul Muluk, Ko-Promotor 2: Tjahjanulin.

Desentralisasi memberi ruang gerak yang luas kepada daerah untuk


berkreasi dan berinovasi baik secara politik maupun administrasi. Peluang ini
dimanfaatkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Gowa untuk menjawab
kebutuhan dasar warganya yakni peningkatan akses dan kualitas pelayanan
publik dalam urusan pendidikan. Pemerintah daerah merespon tuntutan tersebut
melalui berbagai kebijakan dan program inovasi dalam urusan pendidikan.
Penggunaan konsep inovasi dalam pemerintahan daerah ini tentu relevan
dengan perkembangan mutakhir teori administrasi publik yang menempatkan
inovasi sebagai instrumen dan solusi efektif dalam mengatasi problem
masyarakat yang semakin konpleks. Secara empirikal dunia pendidikan terdapat
fenomena meliputi aksesibilitas masih rendah, biaya mahal, dan kualitas
pembelajaran juga rendah yang menyebabkan indeks pendidikan dan IPM Gowa
masih rendah pula. Fenomena tersebut menjadi alasan utama betapa pentingnya
inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan. Berdasarkan pemikiran
inilah maka penelitian ini dilakukan untuk menjawab empat rumusan masalah
dan menjelaskan fokus penelitian yakni: (1) proses pengembangan program
inovasi; (2) tipologi program inovasi yang dikembangkan; (3) kapasitas inovasi
pemerintahan daerah; dan (4) membangun model inovasi pemerintahan daerah
dalam urusan pendidikan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, data diperoleh melalui
wawancara, observasi, dan dokumentasi dengan analisis data model spiral.
Penelitian ini menghasilkan (1) proses pengembangan program inovasi urusan
pendidikan melalui proses politik (fungsi pengaturan) dan proses pengurusan
(proses manajerial) yang sudah berlangsung inovatif; (2) tipologi program inovasi
meliputi Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS), Pendidikan Gratis, Punggawa
D’Emba Education (PDEP) dan Satgas Pendidikan. Keempat program inovasi ini
adalah jenis inovasi proses pelayanan (services process innovation), bersifat
inkremental dan top down, diadopsi melalui replikasi sebagai hasil studi banding;
(3) terdapat empat unsur kapasistas inovasi yang dikaji yakni kepemimpinan
inovatif Bupati, aparatur pelaksana, anggaran, jaringan pemerintahan, dan
regulasi program. Faktanya, kapasitas inovasi sangat didominasi oleh inisiatif
kepemimpinan Bupati dan inovasi sangat tergantung pada anggaran
(APBD/APBN), sedangkan unsur kapasitas lainnya masih sangat lemah; dan (4)
berdasarkan hasil penyajian empirik ketiga fokus tersebut, disusunlah existing
model untuk memudahkan memahami fakta inovasi pemerintahan daerah dalam
urusan pendidikan.

ix
Pembahasan hasil penelitian menggunakan teori dan konsep yang relevan
dengan pengembangan inovasi disektor publik khususnya inovasi pemerintahan
sebagai alat analisis hasil penelitian. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat
disimpulkan beberapa hal, yakni pertama, proses pengembangan program
inovasi urusan pendidikan dilakukan melalui proses politik yakni perumusan
kebijakan (pengaturan) dan proses manajerial/administrasi yakni implementasi
kebijakan (pengurusan). Secara teoritis, proses perumusan dan implementasi
kebijakan program inovasi harus pula dilakukan secara inovatif. Proses
perumusan kebijakan oleh Pemda dan DPRD dalam pengembangan inovasi
harus dilakukan secara demokratis, partisipatif dan responsif dan proses
manajerial /administrasi oleh birokrasi lokal dan unit sekolah harus pula
berlangsung secara efektif, efisien dan ekonomis. Kedua, tipologi program
inovasi pemerintahan baik bersumber dari mitra internal maupun mitra eksternal
pemerintahan daerah yang diadopsi melalui strategi replikasi inovasi, sehingga
jenis program inovasi dalam pemerintahan daerah tidak selamanya mengandung
nilai temuan baru (novelty) tetapi program inovasi pemerintahan daerah harus
memiliki nilai perbaikan (improvement) terhadap pelayanan publik. Ketiga,
Program inovasi urusan pendidikan yang ditentukan oleh dominasi kapasitas
kepemimpinan Bupati dan ketersediaan anggaran (APBD/APBN) bisa
berlangsung efektif untuk jangka pendek dan jangka panjang jika didukung oleh
tersedianya kapasitas pemerintahan daerah secara komprehensif yang meliputi
kepemimpinan yang inovatif, kualitas aparatur (tim kerja), struktur dan sistem
yang kuat, dan kemampuan mengelola pengaruh eksternal (politik dan jaringan).
Pengembangan program inovasi urusan pendidikan yang efektif pada tingkat
kabupaten (mikro) harus didukung kebijakan dan program dalam urusan
pendidikan pada tingkat provinsi (meso) dan pemerintah pusat (makro).
Akhirnya, berdasarkan ketiga hasil kesimpulan analisis di atas, dirumuskan
sebuah rekomendasi penelitian yaitu pengembangan program inovasi urusan
pendidikan harus didukung oleh proses politik dan proses manajerial/administrasi
inovatif pula, program inovasi bisa bersumber dari mitra internal dan eksternal
pemerintahan melalui proses adopsi dengan strategi replikasi, pengembangan
kebijakan dan program inovasi pemerintahan daerah dapat berlangsung efektif
jangka pendek dan jangka panjang jika didukung oleh kapasitas inovasi yang
meliputi kepemimpinan yang inovatif, kualitas aparatur (tim kerja), struktur dan
sistem yang kuat, dan kemampuan mengelola pengaruh eksternal (politik dan
jaringan) serta terbingkai dalam desain kebijakan dan program inovasi secara
nasional.

Kata kunci: inovasi pemerintahan daerah, tipologi inovasi, kapasitas inovasi,


urusan pendidikan

x
SUMMARY

Muh. Tang Abdullah. Doctoral Program of Public Administration, University


of Brawijaya. 2016. Local Government Innovation: Study of Educational Affairs
Innovation in the Gowa Regency. Promotor: Bambang Supriyono, Co-Promotor
1: M.R. Khairul Muluk, Co-Promotor 2: Tjahjanulin.

Decentralization gives wide latitude to the regions to create and innovate


both political and administrative. This opportunity is exploited by the local
government of Gowa to provide the basic needs of its citizen’s namely increasing
access and quality of public services in matters of education. Local governments
respond to these demands through various policies and programs of innovation in
educational affairs. The use of the concept of innovation in local governance is
certainly relevant to the development of cutting-edge theory of public
administration as an instrument that puts innovation and effective solution to
overcome the problem of an increasingly complex society. Empirically there is the
phenomenon of education includes the accessibility is low, the cost is expensive,
and the quality of learning is also low which resulted in the index of education and
Human Development Index of Gowa too low anyway. The phenomenon is a
major reason the importance of innovation in the educational affairs of local
government. Based on this thought, this study was conducted to answer four
formulation of the problem and explain the focus of the research are: (1) the
process of developing innovation programs; (2) the types of innovations
developed programs; (3) the capacity of local government innovation; and (4)
developing innovative models of local government in matters of education.
This study applied a qualitative approach, the data obtained through
interviews, observation, and documentation with data analysis spiral model. This
research resulted in (1) the development of innovative educational affairs
programs through the political process (function setting) and the maintenance
process (managerial processes) which has not lasted innovative; (2) the types of
innovation programs include Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS),
Pendidikan Gratis, Punggawa D'Emba Education Program (PDEP) and Satgas
Pendidikan. The fourth programs of this innovation is the kind of innovation the
service process, incremental and top down, was adopted by replication as a
result of a comparative study; (3) there are four elements that assessed the
innovation capacity of the innovative leadership of the local government,
teamwork officers, budget for innovation, networking government, and regulatory
programs. In fact, innovation capacity is dominated by the Head of Regency and
innovation leadership initiative is highly dependent on the budget (APBD/APBN),
while other elements of capacity is still very weak; and (4) based on the
presentation of the third empirically that focus, composed of existing models to
make it easier to understand the facts of local government innovation in
educational affairs.
Discussion of the results of research using theories and concepts relevant
to the development of public sector innovation, especially innovation governance
as a tool of analysis of research results. Based on the analysis, we can conclude
several things, namely the firstly, the process of developing educational affairs
program innovations made through the political process of policy formulation and
the managerial / administrative is policy implementation. Theoretically, the

xi
process of policy formulation and implementation of innovation programs should
also be done in an innovative way. The process of formulation of policies by the
Government and the Parliament in the development of innovation should be done
in a democratic, participatory and responsive and the managerial / administrative
performed by local bureaucracy and operational tennis are at school should also
take place effectively, efficiently and economically. Second, type innovation
program governance both sourced from partners both internal and external
partners of local government are adopted through a replication strategy of
innovation, so that the kind of program innovation in local governance do not
always contain the value of new findings (novelty) but the innovation programs of
local government must have a value improvement to the public service. Third, the
innovative program of education affairs determined by the dominance of the
leadership capacity of Head of Regency and the availability of budget (APBD /
APBN) can be effective for short-term and long-term if supported by the local
government capacity in a comprehensive manner that includes a innovative
leadership, quality of workforce, systems/structure, and managing external
influences. Program development of effective innovation educational affairs at
the district level (micro) must be supported policies and programs in educational
affairs at the provincial level (meso) and the central government (macro).
Finally, based on the three results conclusions above analysis, formulated
a recommendation of research is the development of innovation programs
educational affairs should be supported by the political process and the process
of managerial / administrative innovative Similarly, program innovation can be
sourced from internal and external partners governance through the adoption
process with a replication strategy, policy development and innovation program of
local government can take effective short-term and long-term if it is supported by
the capacity of innovation that includes a innovative leadership, quality of
workforce, systems/structure, and managing external influences, as well as
framed in the design of policies and programs of national innovation.

Keywords : local government innovation, typology of innovation, capacity of


innovation, educational affairs

xii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, tiada kata yang paling layak selain mengucap rasa syukur
yang tak terhingga kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah Disertasi ini yang berjudul:
Inovasi Pemerintahan Daerah: Studi Inovasi Penyelenggaraan Urusan
Pendidikan di Kabupaten Gowa.
Indonesia telah memilih model desentralisasi dalam sistem pemerintahan
daerah. Model desentralisasi ini dipertegas oleh lahirnya undang-undang yang
mengatur manajemen pemerintahan daerah yaitu UU No. 32 Tahun 2004 dan
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Model desentralisasi ini
melahirkan kebijakan otonomi daerah yang seluas-luasnya kepada daerah
otonom untuk menyelenggarakan fungsi dan tugasnya, baik dalam public service
maupun public goods delivery. Kebijakan otonomi daerah ini sesungguhnya
memberi ruang yang lebar bagi daerah otonom untuk kreatif dan inovatif baik
pada aspek administrasi maupun aspek politik. Aparatur dan pejabat daerah tak
perlu lagi khawatir dalam melakukan inovasi kebijakan dan pelayanan pada
masyarakat. Oleh karena, saat ini pengembangan inovasi daerah telah diatur
dalam Bab XXI Pasal 386-390 UU No. 23 Tahun 2014 tersebut.
Sesungguhnya secara teoritik, konsep inovasi dalam konteks administrasi
publik menjadi isu utama ketika paradigma new public management (NPM)
berkembang pesat. Di mana salah satu prinsip paradigma NPM adalah
persaingan (competitiveness). Organisasi publik hanya bisa bertahan dan unggul
di era persaingan ini ketika mampu menghadirkan cara kreatif dan lebih efektif
dalam mengatasi masalah publik yang makin kompleks melalui inovasi.
Sebagaimana diketahui bahwa inovasi seharusnya menjadi inti dari seluruh
aktivitas di sektor publik. Inovasi dapat membantu meningkatkan kinerja
pelayanan dan nilai-nilai publik. Inovasi berarti meningkatkan daya tanggap
terhadap harapan warga dan kebutuhan para pengguna layanan. Juga inovasi
dapat menumbuhkan efisiensi dan mengurangi biaya.
Secara empirik sejak kebijakan otonomi daerah diterapkan, telah banyak
daerah otonom yang sukses dan berhasil dalam melakukan inovasi dalam
lingkup tugas dan kewenangan mengatur dan mengurus berbagai urusan
pemerintahan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat ke daerah. Misalnya
dalam penyelenggaraan urusan pendidikan, salah satu daerah kabupaten yang
mengembangkan program-program inovasi dalam urusan pendidikan selama ini
adalah pemerintah Kabupaten Gowa. Oleh sebab itulah, daerah ini dijadikan
lokus dari penelitian disertasi ini.
Dasar utama pemerintah Kabupaten Gowa mengembangkan kebijakan dan
program inovasi dalam urusan pendidikan adalah adanya fakta di mana
aksesibilitas masyarakat masih rendah, biaya pendidikan mahal, dan kualitas
pembelajaran juga rendah yang menyebabkan indeks pendidikan dan IPM Gowa
masih rendah pula. Kenyataan ini tentu menjadi menarik bagi penulis untuk

xiii
melakukan penelitian kualitatif dan mengembangkan kajian inovasi pemerintahan
daerah dalam urusan pendidikan ke dalam beberapa fokus penelitian antara lain:
(a) proses pengembangan program inovasi urusan pendidikan yang meliputi
proses politik dan manajerial, (b) tipologi program inovasi urusan pendidikan
yang meliputi SPAS, Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba Education, dan
Satgas Pendidikan, dan (c) juga menyajikan kapasitas inovasi pemerintah daerah
dalam urusan pendidikan. Pada akhirnya penelitian ini akan melahirkan model
existing dan model rekomendasi yang diarahkan pada pengembangan program
inovasi yang efektif, efisien, dan profesional.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah Disertasi ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Disertasi ini sungguh masih memiliki banyak kelemahan dan
keterbatasan di dalamnya. Oleh karena itu, sebagai karya ilmiah yang memiliki
kebenaran relatif, sangat terbuka untuk diperdebatkan dan menerima kritikan
serta masukan demi perbaikan dan penyempurnaan, baik secara substansi
maupun metode penelitian dan teknis penulisannya.
Namun dibalik itu semua tetap ada secuil harapan dari penulis, semoga
Disertasi ini dapat memberi informasi baru bagi para pembaca. Minimal pembaca
mengetahui bahwa pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dengan segala
kapasitasnya, telah berupaya mengembangkan program inovasi dalam urusan
pendidikan. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT segalanya kita berharap.
Semoga apa yang telah diikhtiarkan penulis menjadi bernilai amal ibadah di sisi-
Nya. Aamiin.

Malang,
Mahasiswa,

Muh. Tang Abdullah


NIM. 107030101111008

xiv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... ii
IDENTITAS TIM PENGUJI.................................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN.................................................................................iv
PERNYATAAN ORISINALITAS............................................................................. v
RIWAYAT HIDUP.................................................................................................. vi
UCAPAN TERIMA KASIH.....................................................................................vii
RINGKASAN..........................................................................................................ix
SUMMARY............................................................................................................ xi
KATA PENGANTAR............................................................................................ xiii
DAFTAR ISI..........................................................................................................xv
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xix
DAFTAR SINGKATAN..........................................................................................xx
DAFTAR ISTILAH.............................................................................................. ..xxi

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... .......1


1.1. Latar Belakang Masalah ………………………………...................1
1.2. Ruang Lingkup Penelitian...........................................................21
1.3. Rumusan Masalah Penelitian ……………………………...... ......24
1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................... ..24
1.5. Signifikansi dan Manfaat Penelitian............................................25

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................28


2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu ................................................... 28
2.2. Teori dan Perkembangan Administrasi Publik............................38
2.3. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah....................... ...........57
2.4. Manajemen Pemerintahan Daerah ............................................76
2.5. Birokrasi Pemerintahan Daerah..................................................85
2.6. Kajian Inovasi Pemerintahan Daerah ................................... ...101
2.6.1. Konsep Inovasi Dalam Administrasi Publik...................107
2.6.2. Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah......................112
2.6.3. Tipologi dan Karakteristik Inovasi................................. 121
2.6.4. Strategi dan Faktor Berpengaruh Terhadap Inovasi... ..131
2.7. Model Konseptual Penelitian.................................................... 136

BAB III. ANALISIS SOCIAL SETTING PENELITIAN ....................................141


3.1. Analisis Latar Sosial Masyarakat Kabupaten Gowa................. 141
3.2. Deskripsi Latar Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa.........144
3.3. Sumber Daya Aparatur Pemerintah Daerah ............................172
3.4. Sumber Daya Anggaran Pemerintah Daerah ............. .............175

xv
BAB IV. METODE PENELITIAN ......................................................... ...........178
4.1. Pendekatan Penelitian .............................................................178
4.2. Fokus Penelitian...................................................... .................179
4.3. Lokasi dan Situs Penelitian.......................................................181
4.4. Jenis Data Penelitian............................................................... .182
4.5. Sumber Data Penelitian ...........................................................182
4.6. Metode Pengumpulan Data .....................................................185
4.7. Instrumen Penelitian ............................................. ...................187
4.8. Teknis Analisis Data ..................................... ...........................188
4.9. Uji Keabsahan Data .................................................................190

BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………… …………..195


5.1. Penyajian Hasil Penelitian……………………………………….. 195
5.1.1. Proses Pengembangan Program Inovasi Penyeleng-
garaan Urusan Pendidikan….................................. …..195
5.1.2. Tipologi Program Inovasi Penyelenggaraan
Urusan Pendidikan………………………………………..230
5.1.3. Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam
Urusan Pendidikan……………………………..…………273
5.1.4. Model Empirik (Existing Model) Inovasi Pemerintahan
Daerah Dalam Urusan Pendidikan……………………...309
5.2. Pembahasan Hasil Penelitian…………………………………… 319
5.2.1. Proses Pengembangan Program Inovasi Penyeleng-
garaan Urusan Pendidikan……………………………. ...319
5.2.2. Tipologi Program Inovasi Penyelenggaraan
Urusan Pendidikan…………………………………... …..342
5.2.3. Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam
Urusan Pendidikan……………………………………... ..365
5.2.4. Perbandingan Hasil Kajian Disertasi ini dengan
Penelitian Terdahulu……………………………………...382
5.2.5. Model Rekomendasi (Recommended Model) Inovasi
Pemerintahan Daerah Dalam Urusan Pendidikan…… .387

BAB VI. PENUTUP………………………………………………………………....399


6.1. Kesimpulan.............................................................................. .399
6.2. Saran........................................................................................ 403
6.3. Implikasi Teoritis dan Praktis.................................................... 405
6.3.1. Implikasi Teoritis........................................................... 405
6.3.2. Implikasi Praktis............................................................ 409

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 412

xvi
DAFTAR TABEL

No. Judul Tabel Halaman

1. Matriks Persamaan dan Perbedaan Penelitian Terdahulu dan


Hasil Kajian Disertasi ini.........................................................................34
2. Category of the Definition of Public Administration................................ 39
3. Perspective on Public Administration................................................ .....40
4. Lima Model Administrasi Negara Baru...................................................41
5. Perbandingan Paradigma Bureaucratic & Post-Bureaucratic..........…...45
6. Matriks Paradigma Administrasi Publik............................................. .....48
7. Bentuk-Bentuk Desentralisasi versi Turner dan Hulme..........................65
8. An Evolutionary Analysis of Innovation in Public Administration..... ...110
9. Innovation dan Improvement in Different Conceptions of
Governance and Public Managemet.................................................... 111
10. Dimensions and Focus of Capacity-Building Initiatives........................113
11. Mintzberg's Structural Archetypes and Their Innovative
Potentials..............................................................................................118
12. The Main Feature of the Three Perspectives of Innovation................. 119
13. Karakteristik Inovasi Sektor Bisnis dan Sektor Publik........................ ..124
14. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Kabupaten Gowa Tahun 2006-2013.................................................. ..143
15. Kondisi Wilayah Kecamatan dan Jumlah Penduduk Kab. Gowa
Tahun 2012......................................................................................... .147
16. Struktur Ekonomi Kabupaten Gowa Tahun 2009-2011........................149
17. Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa.................................159
18. Keadaan Anggota DPRD Kabupaten Gowa Periode
2009/2014 & 2014/2019 menurut Partai Politik ...................................163
19. Keadaan Anggota DPRD Kabupaten Gowa Periode
2009-2014 menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin............... .164
20. Pejabat Kepala Daerah Kabupaten Gowa Sejak Tahun 1957 -
Sekarang......................................................................................... .....165
21. Unit Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Gowa..........................167
22. Keadaan Aparatur Daerah (PNS) Kabupaten Gowa Menurut
Unit Kerja dan Golongan pada Tahun 2011.........................................173
23. Keadaan Aparatur Daerah Kabupaten Gowa Menurut
Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin pada Tahun 2011.................. 174
24. Rincian Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Gowa
Tahun 2011 dan 2012.......................................................................... 176
25. Perkembangan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten
Gowa Tahun 2006 s/d 2012................................................................. 177
26. Deskripsi Fokus Penelitian................................................................... 180
27. Jumlah dan Unsur Informan Penelitian................................................ 183

xvii
28. Program, Kegiatan dan Alokasi Anggaran Urusan Pendidikan
Kabupaten Gowa Tahun 2013 ......................................... ...................209
29. Indikator Capaian Penyelenggaraan Urusan Pendidikan
Menurut Tingkatan Pendidikan Kab. Gowa Tahun 2010-2011............ 215
30. Indikator Capaian Pelayanan Urusan Pendidikan Menurut
Tingkat Sekolah Kabupaten Gowa Tahun 2010-2011......................... 219
31. Deskripsi Satuan Pendidikan Sekolah Kabupaten Gowa Tahun
2010 dan 2011..................................................................................... 224
32. Kebutuhan Biaya Pendidikan Masyarakat di Kabupaten Gowa
Tahun 2011.......................................................................................... 226
33. Alokasi Anggaran Pelaksanaan Punggawa D’Emba Education
Program (PDEP) Kabupaten Gowa Tahun 2009-2012........................ 259
34. Rencana Strategi Pembangunan Daerah dan Program Inovasi
Urusan Pendidikan Kabupaten Gowa.................................................. 330
35. Matriks Proses Pengembangan Program Inovasi Urusan
Pendidikan…………………………………………………………………..341
36. Matriks Jenis Program Inovasi Urusan Pendidikan…….……...……….364
37. Matriks Hasil Kajian Penelitian Terdahulu dan Kontribusi
Hasil Kajian Disertasi Ini …………………………………………………. 383
38. Matriks Perbandingan Praktek Inovasi Pemerintahan Daerah............ 393
39. Matriks Mengenai Fokus, Hasil, Proposisi Penelitian dan Implikasi
Teoritis..................................................................................................395

xviii
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Gambar Halaman

1. Jalur Penyerahan Urusan Pemerintahan .............................................. 71


2. Bagan Pembagian Urusan-Urusan Pemerintahan................................. 76
3. Anatomi Unsur-Unsur Pokok Birokrasi...................................................96
4. Struktur Perangkat Daerah Kabupaten............................................. .....99
5. Transformation of Policy During Implementation…………............……104
6. Model of Management Capacity and Government Innovation.......... ...116
7. Wilayah Inovasi Birokrasi Pemerintah..................................................120
8. Tipologi Inovasi Sektor Publik ......................................................... ...130
9. Faktor-faktor Penghambat Inovasi................................................... ...134
10. Model Konseptual (Conceptual Model) Penelitian............................ ...140
11. Peta Wilayah Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa................... ...148
12. Pendapatan Perkapita Kabupaten Gowa Tahun 2005-2011........... ...150
13. Struktur Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa........................... ...161
14. Teknik Analisis Data Model Spiral.................................................... ...189
15. Kerangka Umum Alur Fikir Penelitian.................................................. 194
16. Struktur Penyelenggara Urusan Pendidikan Kabupaten Gowa....... ...202
17. Kerangkan Proses Pengembangan Inovasi Urusan Pendidikan..........228
18. Salah Satu Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS)
Kelurahan Bontonompo Sungguminasa Kabupaten Gowa............. ...235
19. Kelas Multimedia Dilengkapi Dengan Teknologi Memadai
di SMP Negeri 4 Sungguminasa, Kabupaten Gowa......................... ...265
20. Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo dan Tim Ahli Program
Punggawa D’Emba Education (PDEP)............................................ ...280
21. Instruktur dan Peserta Pelatihan Program Punggawa
D’Emba Education (PDEP).................................................................. 287
22. Model Empirik (Existing Model) Inovasi Penyelenggaraan
Urusan Pendidikan........................................................................... ...318
23. Pohon Analisis Proses Pengembangan Program Inovasi
Urusan Pendidikan.............................................................................. .340
24. Pohon Analisis Jenis-jenis Program Inovasi Urusan Pendidikan....... ..363
25. Pohon Analisis Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam
Urusan Pendidikan............................................................................. ..380
26. Keterkaitan antara Leadership Support dan Institutional Capacity
untuk Pengembangan Inovasi.............................................................. 381
27. Model Rekomendasi (Recomennded Model) Inovasi
Penyelenggaraan Urusan Pendidikan.............................................. ...392

xix
DAFTAR SINGKATAN

ABA : Angka Buta Aksara


AL : Angka Lulus
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
AMH : Angka Melek Huruf
APK : Angka Partisipasi Kasar
APM : Angka Partisipasi Murni
APS : Angka Partisipasi Sekolah
BOS : Biaya Operasional Sekolah
BOSDA : Biaya Operasional Sekolah Daerah
BPS : Badan Pusat Statistik
DAK : Dana Alokasi Khusus
DAU : Dana Alokasi Umum
Dispora : Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga
DO : Drop Out
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
FIPO : Fajar Institute Pro Otonomi
HDI : Human Development Index
ICT : Information Communication and Technology
IPM : Indeks Pembangunan Manusia
IYL : Ichsan Yasin Limpo
LAKIP : Laporan Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah
LGSP : Local Government Support Program
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
LTD : Lembaga Teknis Daerah
PAD : Pendapatan Asli Daerah
PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini
PDEP : Punggawa D’Emba Education Program
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto
Perbup : Peraturan Bupati
Perda : Peraturan Daerah
PP : Peraturan Pemerintah
RKPD : Rencana Kerja Pemerintah Daerah
RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJPD : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
Satgas : Satuan Tugas
Satpol PP : Satuan Polisi Pamong Praja
SKPD : Satuan Kerja Pemerintah Daerah
SPAS : Sanggar Pendidikan Anak Saleh
UNHAS : Universitas Hasanuddin
UNM : Universitas Negeri Makassar
UPTD : Unit Pelaksana Teknis Dinas
UU : Undang-Undang

xx
DAFTAR ISTILAH

Daerah Otonom : Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai


batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat.
D’Emba : Singkatan dari Daeng Ngemba yakni nama lokal
Gowa atau gelar kehormatan diberikan pada tokoh
pemimpin lokal yang peduli pada kemajuan
daerahnya.
Desentralisasi : Penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan.
Inovasi : Proses kreatif penciptaan pengetahuan dalam
melaksanakan penemuan baru yang berbeda
dan/atau modifikasi dari yang sudah ada berupa hasil
dari perluasan ataupun peningkatan kualitas inovasi
yang sudah ada.
Inovasi Pemerintahan
Daerah : Terobosan baru jenis program/pelayanan oleh
pemerintahan daerah baik merupakan gagasan/ide
kreatif orisinal dan/atau adaptasi/modifikasi yang
memberikan manfaat bagi masyarakat baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Pemerintah Daerah : Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom.
Pemerintahan Daerah : Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya.
Pendidikan Gratis : Program pembebasan segala biaya penyelenggaraan
pendidikan bagi peserta didik/orang tua peserta didik
yang berkaitan dengan proses belajar mengajar dan
kegiatan pembangunan sekolah.
Perangkat Daerah : Unsur pembantu Kepala Daerah dan DPRD dalam
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah.
Punggawa : Bahasa Makassar yang berarti Pemimpin.
Punggawa D’Emba : Program inovasi pembelajaran revolusioner dengan
tujuan utama peningkatan kualitas guru dan

xxi
mempercepat peserta didik dalam memahami materi
pelajaran, memiliki life skill, positive mindset, dan
jiwa nasionalisme, serta nilai budaya lokal Makassar.
Sanggar Pendidikan
Anak Saleh : Program pendidikan luar sekolah (PLS) yang
menyediakan sarana pendidikan untuk anak-anak
putus sekolah, atau bagi mereka yang tidak berhasil
melanjutkan sekolah karena kekurangan biaya
Satgas Pendidikan : Program kerja sama antar Dispora dan Satpol
Pamong Praja berbentuk gugus kerja yang bertujuan
untuk memastikan kehadiran siswa/murid dan tenaga
kependidikan serta menekan angka bolos sekolah.
Urusan Pemerintahan : Kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh
kementerian negara dan penyelenggara
Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani,
memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
Urusan Pendidikan : Salah satu dari urusan pemerintahan wajib,
pelaksanaannya dilakukan oleh penyelenggara
pemerintahan daerah, terkait dengan pelayanan
dasar yakni pelayanan publik untuk memenuhi
kebutuhan dasar warga negara.

xxii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Reformasi pemerintahan daerah dengan memilih model desentralisasi

dalam sistem pemerintahan daerah dipertegas dengan terbitnya tiga UU

pemerintahan daerah dalam rentang waktu 15 tahun belakang ini. Ketiga UU

tentang pemerintahan daerah tersebut yakni UU No. 22 Tahun 1999 yang

disempurnakan menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan yang terbaru adalah UU

No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal tersebut sekaligus

menandakan sistem pemerintahan daerah di Indonesia memasuki babak baru,

yakni pergeseran dari corak penyelenggaraan pemerintahan daerah yang

sentralistik mengarah ke sistem pemerintahan daerah yang desentralistik.

Secara konseptual pilihan terhadap paradigma desentralisasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia bukanlah sekedar mengikuti

kecenderungan sebagian besar pemerintahan di dunia yang telah melakukan

perubahan paradigma dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Juga bukan

karena asumsi, desentralisasi adalah lawan sentralisasi sehingga desentralisasi

adalah obat mujarab untuk mengobati akibat buruk sentralisasi (Solihin, 2010:3).

Namun disadari bahwa desentralisasi secara konseptual memiliki banyak sisi

positif, seperti Smith (1985:18) meyakini desentralisasi dapat membawa manfaat

antara lain: (1) secara ekonomis dianggap mampu meningkatkan efisiensi,

karena desentralisasi dapat mengurangi biaya, meningkatkan output, dan human

resources dapat dimanfaatkan secara lebih efektif; (2) secara politis,

desentralisasi dapat memperkuat demokrasi dan akuntabilitas, meningkatkan

kecakapan warga dalam berpolitik, dan memperkuat integrasi nasional.

1
2

Sementara itu terdapat dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui

kebijakan desentralisasi, yaitu tujuan politik dan tujuan administratif. Menurut

Suwandi (2007:5), tujuan politik memposisikan pemerintah daerah sebagai

medium pendidikan politik bagi masyarakat ditingkat lokal dan secara agregat

akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk terwujudnya

civil society. Sedangkan tujuan administratif akan memposisikan pemerintah

daerah sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi menyediakan

pelayanan masyarakat secara efektif, efisien dan ekonomis (3Es). Memenuhi

kedua tujuan tersebut adalah keharusan bagi pemerintah daerah dalam rangka

menjaga akuntabilitas atas legitimasi yang diberikan warga kepada pemerintah

daerah untuk mengatur dan mengurus masyarakat.

Di era otonomi daerah, menurut Abdul Wahab (2002:43) daerah otonom

(provinsi, kabupaten/kota) memiliki kewenangan yang semakin luas dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Suatu daerah otonom harus berani dan

berkemampuan untuk tampil beda (the capacity to create difference) dengan

daerah lain. Otonomi daerah menyediakan ruang ”manuver politik” bagi daerah

dalam mengekspresikan kebijakan otonominya. Dalam prespektif administrasi

publik, ruang yang sangat luas untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengelola

pemerintahan daerah disebut diskresi (discretion).

Kondisi ideal dari sistem pemerintahan daerah Indonesia, baik yang telah

ditegaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 maupun penjelaskan ideal secara teori

dan konseptual tentang kebijakan desentralisasi, muaranya tentu saja adalah

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada tingkat lokal. Namun

demikian setelah lebih satu dekade otonomi daerah rupanya secara empirikal

masih bertolak belakang dengan tujuan utamanya. Hal ini disimpulkan oleh koran

Kompas (28/4/2008) memberikan fakta secara nasional bahwa capaian yang


3

diperoleh dalam meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal selama hampir satu

dekade desentralisasi dan otonomi daerah tidaklah begitu menggembirakan.

Dalam rilis koran Kompas tersebut menunjukkan bahwa kenyataannya

kualitas pelayanan dasar tidak kunjung membaik dalam bidang pendidikan,

kesehatan, dan infrastruktur dasar, meskipun dana APBD meningkat secara

tajam dibanding semasa Orde Baru. Jastifikasi atas hal tersebut, bisa dilihat

pada hasil evaluasi yang dilangsir oleh Bagian Penelitian dan Pengembangan

Kompas, yang dilakukan dengan melibatkan 1130 orang responden di 33 ibukota

provinsi se Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa (1) masih ada 52%

responden menyatakan otonomi daerah belum mampu memperbaiki

kesejahteraan masyarakt; (2) sebanyak 60% responden mengatakan bahwa

keamanan di era otonomi daerah menjadi lebih baik; (3) masalah kemiskinan dan

pengangguran menjadi masalah paling mendesak untuk diatasi pemerintah

daerah; dan (4) sebanyak 73% responden menyatakan janji-janji kepala daerah

ketika kampanye pilkada tidak dapat dipenuhi.

Kenyataan yang diuraikan di atas tidaklah sederhana, karena rupanya

tidak hanya menyangkut sumber daya manusia atau aparaturnya, tetapi juga

menyangkut dimensi struktur (structure) bahkan terkait pula dengan dimensi

budaya (culture) birokrasi pemerintahan. Kompleksitas persoalan yang dihadapi

administrasi publik tersebut, dan beragam dimensi yang dibutuhkan, serta multi-

level governance menyebabkan dituntutnya cara-cara baru penyelesaian

masalah publik yang berbeda antar tempat dan waktu. Cara baru tersebut

diyakini hanya dapat dicapai dengan adanya inovasi dalam administrasi publik

(Muluk, 2010:41). Hal demikian menunjukkan inovasi sangat dibutuhkan untuk

membangun kepemerintahan yang kokoh.


4

Secara khusus, penelitian-penelitian yang berhubungan dengan inovasi

penyelenggaraan urusan pendidikan, terutama yang dilakukan pada tingkatan

pemerintahan daerah di Indonesia, tampaknya masih jarang dilakukan. Jika pun

ada penelitian tentang inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan, seringkali

disandingkan dengan inovasi urusan pemerintahan lainnya. Oleh karena itu,

permasalahan yang ditemukan dalam inovasi urusan pendidikan bisa jadi serupa

dengan permasalahan dalam penyelenggaraan inovasi pemerintahan daerah

pada umumnya. Misalnya penelitian yang pernah dilakukan oleh Prasojo (2006)

di Jembrana, dimana penelitian tentang inovasi di sektor pendidikan dan

kesehatan disandingkan, sehingga ditemukan kendala dan hambatan

pengembangan inovasi yang sama pula.

Meskipun demikian, pada tingkatan negara terdapat beberapa peneliti di

negara lain yang pernah melakukan kajian tentang inovasi kebijakan di bidang

pendidikan. Penelitian-penelitian tersebut lebih berkaitan dengan manajemen,

proses pembelajaran, dan kurikulum pendidikan di tingkat sekolah. Misalnya,

penelitian yang pernah dilakukan oleh Ajibola (2008) di Nigeria yang fokus pada

inovasi kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan dasar. Permasalahan

yang ditemukan dari penelitian ini adalah kapasitas kurikulum tidak lagi sesuai

dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat sebagai akibat perubahan

lingkungan yang dinamis. Selain penelitian ini, terdapat pula penelitian yang

fokus pada manajemen inovasi dalam sistem pendidikan di Nigeria. Penelitian

yang dilakukan oleh Akomolafe (2011) ini mengungkap bahwa permasalahan

yang banyak dihadapi sekolah-sekolah di Nigeria saat ini adalah masalah

rendahnya budaya kreatif murid sekolah sebagai akibat dari manajemen sekolah,

kepemimpinan, dan lingkungan sekolah yang tidak mendukung. Oleh karena itu,

dibutuhkan intervensi kebijakan secara langsung dari pemerintah setempat.


5

Secara empirikal, pelembagaan inovasi pemerintahan daerah saat ini

dapat ditemukan dalam beberapa literatur. Pada tahun 2009, USAID melaporkan

adanya beberapa program inovasi manajemen pelayanan publik dilakukan oleh

beberapa pemerintahan di tingkat lokal. Program inovasi tersebut merupakan

program-program yang diasistensi oleh Local Government Support Program

(LGSP), meliputi: (1) One-stop-Service di Kabupaten Pinrang (Sulawesi Selatan)

dan Kabupaten Tebingtinggi (Sumatera Utara); (2) Citizen Charter di Kabupaten

Deli Serdang (Sumatera Utara) dan Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah); (3)

Electronic Citizen Information Service di Kabupaten Aceh Barat (Aceh); (4)

Customer Information Management System di Kota Madiun (Jawa Barat); dan (5)

Electronic Government Procurement di Provinsi Jawa Barat.

Kelima jenis program inovasi yang diasistensi oleh USAID (2009) tersebut

dinilai sukses dan berpredikat good practices, karena memenuhi beberapa hal

antara lain: (1) bentuk program sudah sukses dilakukan di negara lain (having

been previously applied in other countries); dan diadaptasi secara meluas pada

pemerintahan lokal di Indonesia (been adapted to the circumstances of local

governance in Indonesia); (2) program tersebut sudah melibatkan multi-

stakeholder, pro-customer and pro-poor orientation; (3) inovasi focus on low cost

management solutions to overcome service bottlenecks, and (4) mitra konsultasi

dengan client local government agencies.

Demikian halnya dalam INDOPOV (2006), dirilis bahwa World Bank juga

melakukan penelitian terhadap Inovasi Pelayanan Pro-Miskin: Sembilan Studi

Kasus di Indonesia. Kesembilan kasus tersebut meliputi: (1) Pembatasan Jumlah

Siswa Perkelas dan Penguatan Insentif bagi Praktisi Pendidikan di Kabupaten

Tanah Datar, Sumatra Barat; (2) Kupon Pelayanan Bidan di Kabupaten

Pemalang, Jawa Tengah; (3) Pembangunan Komunitas Belajar bagi Anak di


6

Kabupaten Polman, Sulawesi Barat; (4) Meningkatkan Transparansi Anggaran di

Kota Bandung, Jawa Barat; (5) Program Air Bersih dan Kesehatan di Kabupaten

Lumajang, Jawa Timur; (6) Reformasi Jaminan Kesehatan di Kabupaten

Jembrana, Bali; (7) Program Community Block Grant di Kota Blitar, Jawa Timur;

(8) Proses Perencanaan Partisipatif di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan; (9)

Reformasi Pegawai Negeri di Kabupaten Boalemo, Gorontalo.

Penelitian yang dilakukan oleh World Bank (2006) melalui INDOPOV,

dilakukan pada sembilan kasus tersebut di atas bertujuan mengkaji inovasi di

bidang penyediaan pelayanan publik tingkat kabupaten/kota menyusul

diterapkannya kebijakan desentralisasi. Meskipun separuh dari kasus-kasus

tersebut digagas oleh pihak luar yakni World Bank dan separuhnya lagi digagas

oleh pihak lokal (local stakeholders), namun dampaknya terbukti positif terutama

bagi kelompok warga yang menjadi sasaran.

Temuan penting dari penelitian World Bank (2006) ini adalah bahwa

inovasi di era penerapan desentralisasi menunjukkan bahwa desentralisasi dan

kepemimpinan lokal merupakan faktor kunci dalam penyediaan pelayanan publik

yang inovatif. Sebagian besar dari inovasi yang dipelajari pada studi kasus

tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan perundangan nasional dan

kebijakan yang mengalihkan kewenangan ke tingkat daerah. Beralihnya

kewenangan terutama di bidang keuangan dan administrasi, telah

memungkinkan pemimpin daerah untuk mendanai reformasi internal tanpa

bantuan donor. Kewenangan kabupaten yang lebih besar juga kemudian

mendorong para politisi di tingkat daerah, masyarakat umum, dan lembaga

donor, untuk menjadi lebih tertarik kepada isu good governance. Namun,

ternyata dampak positif inovasi-inovasi tersebut terancam ketika hukum dan


7

peraturan daerah yang menyokong inovasi tersebut masih terindikasi lemah atau

kurang menunjang.

Di beberapa daerah otonom lain pun, praktek inovasi penyelenggaraan

birokrasi pemerintahan banyak dikembangkan. Daerah otonom yang sukses

seringkali menjadi rujukan bagi beberapa daerah otonom lainnya, sebagai best

practices penerapan inovasi pemerintahan seperti Provinsi Gorontalo

(Muhammad, 2007), Kabupaten Sragen (Majalah e-Indonesia, 2007) dan

Kabupaten Jembrana (Prasojo, dkk, 2004).

Bagi pemerintah daerah pada umumnya, fenomena Provinsi Gorontalo,

Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Jembrana adalah pelajaran yang sangat

bernilai, karena pada daerah-daerah tersebut, kapasitas pemerintah daerah

dalam melakukan inovasi di daerahnya tampak berkorelasi positif dengan

dukungan masyarakat terhadap pemerintah daerah masing-masing. Adapun

bentuk dukungan masyarakat yang paling nyata adalah terpilihnya kembali

pemangku jabatan Gubernur, Bupati atau Walikota untuk periode kedua dalam

kepemimpinannya, dan hal ini merupakan refleksi dari kepuasan masyarakat

terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Dalam rubrik Kompasiana, tanggal 12 Juni 2011, juga dipublikasikan

kisah sukses sejumlah Kepala Daerah dalam menahkodai penyelenggaran

pemerintahan di daerahnya masing-masing. Hal ini menarik, karena eksistensi

kepemimpinan daerah tidak melulu soal besarnya dukungan politik dan legitimasi

semata. Lebih dari itu, beberapa daerah di tanah air sukses menapaki otonomi

daerah, karena memiliki Kepala Daerah yang visioner. Ini menunjukkan bahwa

kreativitas dan daya inovasi para pemimpin daerah sangat menentukan.

Sehingga daya kreasi dan inovasi didukung kemampuan mengelola segenap


8

potensi daerah secara optimal menjadi indikator kemajuan daerah dalam

menggapai sukses meraih kesejahteraan rakyat.

Merujuk pada beberapa fakta empirik yang dilansir di atas, tampak bahwa

pengembangan inovasi pemerintahan daerah di banyak tempat sudah

menunjukkan bukti keberhasilan yang secara umum berdampak terhadap

perbaikan kinerja pelayanan publik. Meskipun demikian pengembangan inovasi

pemerintahan daerah, tetap memiliki beberapa permasalahan dalam

pengembangannya. Beberapa permasalahan tersebut terangkum dari berbagai

pandangan pakar dan peneliti terdahulu yang diuraikan pada bagian berikut.

Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan inovasi

pemerintahan daerah, antara lain disampaikan oleh Muhammad (2007) dalam

buku yang berjudul: Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah.

Menurut Muhammad (2007:396) bahwa permasalahan pengembangan inovasi

pemerintahan daerah dapat dilihat dalam perspektif reinventing local

government. Dalam perspektif tersebut, permasalahan pengembangan inovasi

pemerintahan daerah terajut dalam delapan agenda yang perlu mendapat

perhatian serius yang meliputi: pertama, persoalan leadership. Kepemimpinan

harus menjadi pendorong perubahan. Pemimpin yang memiliki visi jelas akan

mendorong pengikutnya untuk mewujudkan visi tersebut melalui daya kreatif dan

daya inovasi yang dimilikinya. Pemimpin yang punya visi tentu tidaklah cukup

tetapi dibutuhkan pula kemauan politik, karena kepemimpinan disektor publik

bernuansa politik. Tampa kemauan politik yang kuat dari pimpinan pemerintahan

daerah hampir mustahil suatu inovasi akan berhasil. Masalah krusial tentang

kepemimpinan dalam pengembangan inovasi ini juga diungkap oleh ahli dan

peneliti lain, seperti Prasojo (2006), Muluk (2008), Said (2009), Evans (2010),

Capuno (2010), dan Akomolafe (2011).


9

Kedua, berkaitan dengan budaya organisasi. Sebagian besar organisasi

publik saat ini masih berorientasi pada budaya kelompok dan budaya hierarki,

orienntasi budaya ini cenderung menghambat inovasi. Persoalan krusial tentang

budaya inovasi pemerintahan daerah ini juga disampaikan oleh pakar dan

peneliti seperti Mulgan dan Albury (2003), Prasojo (2006), Ajibola (2008), Said

(2009), Kim (2009), Evans (2010), dan Capuno (2010). Ketiga, berkaitan dengan

persoalan insentif dan reward. Para pegawai harus diberikan ruang untuk

melakukan eksperimen dan mencari solusi baru untuk memenuhi tuntutan dan

permasalahan yang dihadapi masyarakat. Eksperimen yang berhasil harus diberi

insentif dan reward sehingga mereka termotivasi untuk terus melakukan inovasi..

Keempat, permasalahan yang berkaitan dengan kapasitas inovasi, baik

kapasitas individu maupun kapasitas sistem. Kapasitas pada tingkatan individual

dan organisasional adalah penting dan menjadi kunci bagaimana organisasi dan

orang di dalamnya itu mengelola input kreatif dalam proses inovasi. Selain

Muhammad (2007), beberapa pakar dan peneliti lain seperti Farazmand (2004),

Muluk (2008), Said (2009), Evans (2010), Capuno (2010), dan Supriyono (2011)

juga menyatakan bahwa kapasitas inovasi menjadi problem yang serius dalam

pengembangan inovasi. Kelima, persoalan inovasi yang berkaitan dengan

perspektif konsumen atau orang yang dilayani. Masalah yang sering muncul

pada aspek ini adalah tidak adanya informasi yang lengkap tentang apa

kebutuhan users yang dipunyai oleh providers sehingga sulit untuk mendorong

inovasi pelayanan publik.

Keenam, permasalahan yang terkait dengan kolaborasi yang masih

terbatas di sektor publik. Padahal kolaborasi dapat menjadi pendorong inovasi

seperti halnya di sektor swasta yang sudah biasa melakukannya. Problem

kolaborasi dalam mendukung inovasi juga dianggap krusial oleh Farazmand


10

(2004), Muluk (2008), Said (2009), Evans (2010), dan Hennala (2011). Ketujuh,

persoalan pengembangan inovasi pemerintahan daerah berikutnya berhubungan

dengan kurang keberanian untuk bereksperimen. Padahal ruang bereksperimen

suatu ide atau kebijakan dapat memberikan petunjuk bahwa hasilnya akan baik

atau buruk. Kedelapan, persoalan pengembangan inovasi pemerintahan daerah

yang terakhir adalah belum disadari akan pentingnya investasi inovasi. Padahal

investasi inovasi ini dilakukan untuk mencari terobosan-terobosan bagaimana

mengidentifikasi masalah, melihat wawasan pelanggan, pengembangan

kapasitas, dan eksperimentasi lokal.

Sementara itu, secara praktikal beberapa persoalan pengembangan

inovasi pemerintahan daerah dalam pandangan Said (2009:7) meliputi: pertama,

permasalahan utama pengembangan inovasi pemerintah daerah dalam

prakteknya seringkali sulit memulai dari mana, oleh siapa, dan kapan inovasi

dikembangkan. Inovasi birokrasi biasanya sulit dilakukan kalau tidak ada

pemimpin yang progresif, berjiwa pengabdian dalam pemerintahan dan

bermental inovatif. Oleh sebab itu begitu pimpinan tingkatan atas suatu birokrasi

tidak memiliki jiwa inovatif, maka suatu inovasi sulit terwujud. Pimpinan tingkatan

menengah tidak jarang memang memiliki inisiatif tetapi sering juga kalah dengan

resistensi pimpinan yang lebih tinggi.

Kedua, permasalahan yang terkait dengan rendahnya dukungan politik,

dana, dan teknis. Sebagaimana banyak kritik yang datang dari masyarakat

kepada birokrasi, apabila pihak eksekutif telah proaktif menjalankan perubahan

dan inovasi birokrasi, tak jarang inovasi itu mandeg karena lemahnya dukungan

politik dari fraksi-fraksi di DPRD. Institusi DPRD seringkali hanya mau segala

sesuatunya berhasil, namun tak jarang bahwa keberhasilan itu perlu dukungan

politik misalnya perlunya pengaturan dalam bentuk peraturan daerah tentang


11

program inovasi pada unit-unit tertentu, yang juga didukung dengan

penganggaran, yang disetuji oleh DPRD.

Ketiga, permasalahan yang berhubungan dengan kurangnya kerjasama

di antara satu pimpinan dengan pimpinan lainnya, pimpinan dengan mayarakat

(stakeholders) dan warga lainnya. Seringkali karena conflict of interest, sehingga

rendahnya daya serap terhadap perkembangan mutakhir dan kebutuhan

masyarakat, menjadikan pimpinan di berbagai tingkatan pemerintahan hanya

bersikap menjalankan sesuatu seperti biasanya dan apa adanya. Antar

kompartemen dalam birokrasi sendiri terjadi saling salip, saling silap, saling saing

yang kadang tidak sehat dan menjadikan organisasi birokrasi sulit untuk

berinovasi secara efektif.

Keempat, permasalahan inovasi pemerintahan daerah lainnya yakni

kurangnya orientasi kepada keutamaan pelayanan prima. Padahal sudah banyak

negara dan pemerintahan mengubah orientasi sistem pelayanan, arah

komunikasi dan best practices dalam pelayanan publik. Kalau kita mengamati

dengan seksama dan mengikuti gerak langkah dan apalagi kalau mau menjadi

bagian dari birokrasi yang birokratis, maka seumpama kita ini manajer

perusahaan multi nasional atau organisasi manajemen perbankan yang

berpengalaman, kalau kita diminta jadi camat atau lurah setahun saja maka

profesionalitas yang kita miliki boleh jadi menjadi birokratisme. Begitupula

sebaliknya seorang birokrat jika saja diminta magang di perusahaan yang sehat,

maka jiwa entreprenuer dan jiwa inovasi pasti akan tumbuh dan berkembang.

Kelima, permasalahan kondisi sistem administrasi dan kepegawaian yang

masih dilanda kejumudan berat yang tidak mendukung inovasi. Perlu reorintasi

dengan cara antara lain merekrut pegawai-pegawai muda yang memiliki

kemampuan teknis dan di rekrut secara adil yang disertai dengan usaha-usaha
12

pembentukan karakter inovatif, karena sesungguhnya ketika tugas-tugas

melayani masyarakat bisa accomplished dipenuhi dengan baik, maka pada saat

yang sama martabat sebagai birokrat akan meningkat pula.

Pengembangan inovasi pemerintahan daerah berhadapan pula dengan

persoalan legalitas yang masih berlangsung saat ini. Persoalan legalitas yang

dimaksud adalah persoalan perlindungan hukum terhadap inovasi yang

dilakukan oleh aparatur daerah. Secara nasional, Indonesia belum memiliki

peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan pejabat

publik mengambil diskresi dalam pengembangan kebijakan dan program inovatif.

Ruang yang tersedia untuk mengambil diskresi bagi aparatur daerah belum

diatur dengan jelas sementara tuntutan dan tekanan untuk mengambil tindakan

dalam menyelesaikan masalah publik di daerah menuntut aparatur daerah untuk

segera bertindak agar masalah dapat diselesaikan dengan baik.

Kondisi seperti ini tentu membuat aparatur di daerah mengalami kesulitan

untuk menanggapi dinamika politik dan ekonomi yang sangat tinggi sekarang ini.

Mereka sering mengalami kegalauan ketika dihadapkan pada tekanan untuk

mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

untuk merespon kebutuhan publik, namun pada sisi lain mereka sadar bahwa

perlindungan hukum bagi inovasi di Indonesia belum diatur dalam peraturan

perundangan yang berlaku.

Di banyak negara yang memiliki sistim administrasi publik yang maju, ada

banyak peraturan perundang-undangan yang memberi ruang yang memadai

bagi aparatur negara termasuk yang di daerah untuk mengembangkan inovasi.

Misalnya kebijakan sunset rules, rule waive, dan reinvention laboratory dibuat

untuk memberi ruang bagi aparatur pemerintah untuk mengambil diskresi dalam

rangka melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan


13

publik. Seorang aparatur negara yang melakukan inovasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik akan memperoleh

perlindungan hukum tertentu, sejauh tindakannya dilakukan untuk memenuhi

kepentingan publik, tidak didasarkan pada kepentingan sendiri, keluarga, dan

kelompok.

Rendahnya kepastian dalam penegakan hukum sering membuat para

penyelenggara pemerintahan di daerah mengalami keresahan dan ketakutan

untuk mengambil inisiatif dan diskresi dalam menyelenggarakan pemerintahan

daerah. Banyak penyelenggara pemerintahan yang mengambil ”sikap pasif” dan

kurang ”responsif” terhadap pemenuhan kepentingan publik yang berkaitan

dengan jabatannya. Mereka seringkali menjadi takut dan ragu dalam mengambil

terobosan tertentu. Kondisi seperti ini jika dibiarkan akan dapat menurunkan

kreativitas, semangat inovasi (spirit of innovation) dan keberanian mengambil

terobosan-terobosan demi kepentingan publik.

Keterpaduan pengembangan inovasi daerah secara nasional juga masih

menjadi masalah tersendiri. Seperti disinyalir oleh Taufik (2007:9) yang

berpendapat bahwa persoalan kebijakan pengembangan inovasi (policy

innovation) yang dihadapi secara nasional adalah berkaitan dengan terbatasnya

pemahaman pembuatan kebijakan (policy making) dari para pemangku

kepentingan tentang sistem inovasi. Belum ada keterpaduan pengembangan

sistem inovasi dalam pembangunan. Kebijakan inovasi yang esensinya

membutuhkan koherensi kebijakan sektoral, kebijakan nasional-daerah, dan

governance sistem inovasi tidak akan dapat efektif jika kebijakan berbagai sektor

pembangunan dan pelayanan masih bersifat parsial, terfragmentasi, tidak

konsisten dan bahkan bertentangan satu sama lainnya.


14

Persoalan lain yang ditemukan oleh peneliti terdahulu, antara lain dari

Orange, et al (2007) yang mensinyalir bahwa inovasi pemerintahan daerah

seringkali melupakan adanya faktor nilai-nilai sosial (social values) yang perlu

diperhatikan. Nilai-nilai sosial dimaksud meliputi dimensi orang, dimensi proses,

dan dimensi teknologi dalam pengembangan inovasi. Ketiga nilai sosial tersebut

haruslah menjadi koheren, sebab jika tidak demikian, inovasi akan menemui

hambatan dalam pengembangannya. Persoalan nilai dalam pengembangan

inovasi dikemukakan pula oleh Pekkarinen, et al (2011), yang menyatakan

bahwa pengembangan inovasi di organisasi sektor publik akan berhadapan

dengan terjadinya benturan antara nilai lama dan nilai baru. Benturan nilai ini

tentu saja akan menimbulkan konflik bagi masing-masing penganutnya.

Memperhatikan berbagai persoalan pengembangan inovasi pemerintahan

daerah yang meliputi banyak dimensi, tampak bahwa pengembangan inovasi

pemerintahan daerah masih dilanda persoalan yang cukup kompleks.

Kompleksitas persoalan pengembangan inovasi pemerintahan daerah yang

bersumber dari beberapa pandangan di atas, dapat diklasifikasi dalam beberapa

aspek yakni: (1) lemahnya political will dan komitmen kepemimpinan yang

mendorong tumbuhnya inovasi termasuk ketergantungan yang terlalu tinggi

terhadap figur pemimpin tertentu; (2) budaya yang resisten terhadap inovasi

(cultur of innovation) yang tercipta dalam setiap organisasi publik; (3) proses

inovasi yang tidak berjalan efektif, termasuk strategi pelibatan stakeholders lain

yang belum terlaksana dan benturan nilai-nilai dalam pengembangan inovasi; (4)

lemahnya kapasitas kelembagaan birokrasi pemerintahan untuk berinovasi; (5)

belum adanya legalitas yang menjadi payung hukum terhadap praktek inovasi;

dan (6) masalah keberlanjutan program inovasi seringkali tidak terjadi; serta (7)
15

belum terpadunya kebijakan pengembangan inovasi pemerintahan daerah dan

nasional.

Dalam konteks penelitian ini, memahami arti penting inovasi

pemerintahan daerah dapat dilihat dari beberapa perspektif, yakni perspektif

teoritik, normatik, dan empirik. Dalam perspektif teoritik atau konseptual, lebih

awal ditegaskan bahwa penggunaan istilah inovasi (innovation) berbeda dengan

istilah reformasi (reform). Meskipun secara maknawi istilah inovasi dan reformasi

mengandung arti yang sama yakni perubahan menuju ke arah yang lebih baik,

dan Caiden (1991:155) menyatakan bahwa ”reform is an innovation”, reformasi

adalah suatu inovasi. Namun, dalam perkembangannya inovasi memiliki makna

yang berbeda dengan reformasi.

Inovasi selalu memiliki makna kebaruan (novelty). Sifat kebaruan ini

mengandung dua aspek yaitu terciptanya nilai (value) yang baru dan kedua

terdapat pengetahuan (knowledge) yang baru. Suatu produk, proses, atau

metode organisasi dikatakan inovatif bila menimbulkan nilai yang baru.

Kehadiran produk, proses atau metode tersebut memunculkan sesuatu yang

lebih berharga, atau lebih valuable bagi pihak-pihak lain. Sering kali nilai itu

adalah bersifat ekonomik, seperti dalam kasus inovasi di organisasi bisnis. Tetapi

dalam kasus inovasi pemerintahan daerah, menurut Orange, et al., (2007) nilai

sosial harus menjadi pusat perhatian penting.

Arti penting pengembangan inovasi bagi organisasi sektor publik, seperti

inovasi pemerintahan daerah dalam kajian ini menjadi perhatian serius dari

Mulgan dan Albury (2003:2). Hal tersebut dapat disimak dalam pernyataannya

seperti berikut:

“Innovation should be a core activity of the public sector: it helps public


services to improve performance and increase public value; respond to the
16

expectations of citizens and adapt to the needs of users; increase service


efficiency and minimise costs.”

Makna dari apa yang dinyatakan oleh Mulgan dan Albury di atas, bahwa

inovasi seharusnya menjadi inti dari seluruh aktivitas di sektor publik. Inovasi

dapat membantu meningkatkan kinerja pelayanan dan nilai-nilai publik. Inovasi

berarti meningkatkan daya tanggap terhadap harapan warga dan kebutuhan para

pengguna layanan. Juga inovasi dapat menumbuhkan efisiensi dan mengurangi

biaya.

Mulgan dan Albury (2003) juga menyebutkan beberapa alasan mengapa

sektor publik harus melakukan inovasi. Beberapa alasan tersebut meliputi: (1)

inovasi dilakukan untuk merespon secara lebih efektif perubahan dalam

kebutuhan dan ekspektasi publik yang terus meningkat; (2) untuk memasukkan

unsur biaya dan untuk meningkatkan efisiensi; (3) untuk memperbaiki

penyelenggaraan pelayanan publik, termasuk dibagian-bagian di masa lalu

hanya mengalami sedikit kemajuan; (4) untuk mengkapitalisasikan penggunaan

ICT secara penuh, karena hal ini telah terbukti meningkatkan efisiensi dan

efektivitas dalam penyelenggaraan pelayanan.

Farazmand (2004:20) pun mengakui pentingnya inovasi sektor publik dan

diungkap dalam salah satu bukunya berjudul: Sound Governance: Policy and

Administrative Innovations, tentang arti penting suatu inovasi sebagai berikut:

“Innovation is key to sound governance, and innovation in policy and


administration is central to sound governance as well. Without innovations,
governance falls into decay and ineffectiveness, loses capacity to govern,
and become a target of critism and failure. Sound governance demands
continuous innovations in policy and governance processes, structures and
values system. Policy innovations in governance are essential to the
adaptation and adjustment to the rapidly changing environment of the world
under globalization.”

Berdasarkan pandangan Farazmand, dapat dipahami bahwa inovasi

merupakan faktor kunci untuk sound governance. Faktor inovasi, baik inovasi
17

aspek kebijakan maupun inovasi aspek administrasi adalah pusat dari sound

governance. Tanpa inovasi, pemerintahan akan terjebak dalam kerusakan dan

ketidakefektifan, pemerintah akan kehilangan kemampuan untuk memerintah

dan selalu menjadi sasaran dari krisis dan kegagalan. Oleh karena itu, sound

governance membutuhkan inovasi yang berlangsung secara terus menerus

dalam kebijakan dan proses, struktur dan sistem nilai pemerintahan. Inovasi

kebijakan (policy innovations) adalah dasar beradaptasi dan menyesuaikan

dengan perubahan lingkungan yang cepat akibat globalisasi.

Menelusuri literatur kajian inovasi dalam perkembangan pemikiran

administrasi publik, tampaknya konsep inovasi sudah mulai dikenal sebelum era

berkembangnya paradigma new public managament. Menurut Vigoda-Gadot, et

al (2005) bahwa pada dasarnya konsep inovasi sudah ada di era pemikiran

classic public administration. Walaupun pemahaman inovasi di era pemikiran

administrasi klasik tersebut, inovasi masih dipahami dalam pengertian yang

terbatas. Inovasi hanya dimaknai sebatas mekanisme internal organisasi. Inovasi

sangat didominasi oleh top menajer sehingga inovasi lebih bersifat top down dan

hanya bertujuan mempertahankan kekuasaan.

Selanjutnya Borins (2001b:14) mengemukakan bahwa perkembangan

inovasi disektor organisasi dan manajemen publik secara global didorong oleh

beberapa kondisi. Beberapa kondisi global yang dimaksud terangkum dalam lima

kelompok antara lain; (1) tuntutan political system meliputi hak melalui amanat

pemilihan (election), legislasi, dan tekanan dari para politisi; (2) munculnya new

leadership yakni pemimpin yang membawa ide-ide dan konsep-konep baru, bisa

berasal dari eksternal atau internal organisasi tersebut; (3) adanya crisis yang

didefinisikan sebagai kegagalan mengantisipasi masalah publik yang terjadi saat

ini dan yang mungkin terjadi di masa yang datang; (4) internal problems yakni
18

kegagalan merespon perubahan lingkungan, ketidakmampuan menuangkan

permintaan publik kedalam suatu program, kendala sumberdaya, dan kegagalan

dalam mengkoordinasi berbagai kebijakan; dan (5) munculnya new opportunities,

seperti terciptanya berbagai jenis teknologi baru yang mempengaruhi pola hidup

masyarakat.

Dalam konteks ini, inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang

menjadi obyek penelitian adalah terbatas pada inovasi yang berhubungan

dengan urusan pendidikan. Jadi penelitian ini tidak akan meneliti seluruh urusan

pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah otonom, tetapi hanya

menyangkut kewenangan mengatur dan mengurus urusan pendidikan pada

daerah otonom kabupaten. Di mana kewenangan tersebut di atur pada pasal 14

ayat (1) point (f), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

pasal 7 ayat (2) point (a), PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan menjadi penting untuk dikaji

secara ilmiah, karena pelayanan pendidikan merupakan salah satu kebutuhan

dasar masyarakat dan menjadi variabel utama dalam mengukur Human

Development Index (HDI) suatu negara atau daerah (Suwandi, 2010:55).

Sehingga keberhasilan pemerintah daerah dalam mengelola urusan pendidikan

juga menjadi variabel penting untuk mewujudkan hakekat dari kebijakan

desentralisasi yaitu kesejahteraan rakyat di daerah.

Fenomena dunia pendidikan Kabupaten Gowa yang menjadi masalah

utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah sehingga menjadi penting untuk

melakukan program-program yang inovatif meliputi 3 masalah utama yakni (1)

masih lemahnya aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan pendidikan; (2)


19

masih tingginya biaya sekolah yang dirasakan oleh masyarakat; dan (3) masih

rendahnya kualitas pendidikan terutama yang berhubungan dengan kualitas

proses pembelajaran di sekolah-sekolah.

Ketiga masalah utama di atas yakni aksesibiitas lemah, biaya pendidikan

tinggi, dan kualitas pembelajaran masih rendah pada akhirnya berdampak

terhadap terhadap beberapa hal yaitu pertama, tingginya angka buta aksara

(ABA) Kabupaten Gowa, yakni ABA pada tahun 2005 terdapat 22%, tahun 2010

terdapat 18,09%, dan tahun 2013 terdapat 16,39%. Sejak tahun 2005 sampai

2013 ABA Kabupaten Gowa memang menunjukkan angka yang cenderung

menurun tetapi daerah ini tetap selalu menjadi penyumbang terhadap tingginya

ABA di Sulawesi Selatan. Kedua, indeks pendidikan dan indeks pembangunan

manusis (IPM) yang masih rendah meskipun sudah ada kecenderugan

peningkatan. Indeks pendidikan Kabupaten Gowa tahun 2010 hanya 69,79 dan

tahun 2013 menjadi 71,78, sementara indeks pembangunan manusia (IPM) pada

tahun 2005 yakni 67,42 peringkat 16. Pada tahun 2010 meningkat menjadi 70,67

peringkat 15 dan tahun 2013 yakni 72,12 peringkat 15 dari 24 kabupaten/kota di

Sulsel.

Dalam konteks penelitian yang telah dilakukan, perlu diterangkan bahwa

Kabupaten Gowa adalah salah satu daerah otonom yang telah melakukan

berbagai kebijakan dan program inovasi dalam penyelenggaraan urusan

pendidikan. Kini di Kabupaten Gowa telah terdapat beberapa terobosan dalam

bidang pendidikan yang dilakukan sepanjang lima tahun terakhir. Beberapa

kebijakan dan program yang bersifat inovasi dalam pelayanan bidang pendidikan

tersebut meliputi: (a) mengembangkan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS)

menjadi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD); (b) mengembangkan kebijakan

pembebasan biaya sekolah yang dikemas dalam bentuk program pendidikan


20

gratis dan wajib belajar; (c) mengembangkan program Punggawa D’Emba

Education Program (PDEB); dan (d) membentuk Satuan Polisi (Satgas)

Pendidikan di semua jenjang pendidikan (SD, SMP dan SMA).

Kebijakan dan program inovasi di bidang pendidikan yang telah dilakukan

oleh pemerintah Kabupaten Gowa, sebenarnya mulai dirintis sejak tahun 2006.

Oleh karena dinilai berhasil dalam membangunan dan memberikan pelayanan

pendidikan melalui kebijakan dan program inovasi tersebut, maka beberapa

tahun berikutnya Kabupaten Gowa mendapat beberapa penghargaan dari

pemerintah. Penghargaan tersebut antara lain: (1) Satya Lencana Pendidikan

Tahun 2007; (2) Aksara Anugrah Pratama Tahun 2005; (3) Aksara Anugrah

Madya Tahun 2006; dan (4) Aksara Anugrah Utama Tahun 2007. Selain

beberapa penghargaan tersebut, pada tahun 2010 Fajar Institute Pro Otonomi

(FIPO) Sulsel memberi Otonomi Award kepada pemerintah Kabupaten Gowa

karena dinilai sukses dalam program inovasi di bidang pendidikan.

Memperhatikan kenyataan mengenai kebijakan dan inovasi program yang

telah dijalankan di Kabupaten Gowa tersebut di atas, menunjukkan bahwa

daerah ini telah menjalankan kewenangannya dalam mengatur dan mengurus

urusan pendidikan. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa dibalik keberhasilan

dan berbagai penghargaan yang diterimanya, persoalan pelayanan pendidikan

sudah tidak ada lagi.

Fakta menunjukkan hal yang kontradiksi, yaitu bahwa ternyata tingkat

buta aksara di Sulawesi Selatan ternyata masih cukup tinggi (Fajar, 10/9/2011).

Dari data yang dirilis Kemendiknas pada tanggal 9 September 2011, tercatat

total angka buta aksara di daerah Sulawesi Selatan mencapai 520.247 orang.

Peringkat tertinggi angka buta aksara di luar pulau Jawa. Salah satu daerah

menyumbang angka buta aksara terbesar adalah Kabupaten Gowa, yakni


21

sebesar 36.196 orang, selain daerah lainnya seperti Kabupaten Bone (74.841),

Jeneponto (41.591) dan Bulukumba (38.355).

Berdasarkan atas berbagai pandangan para ahli yang menegaskan arti

penting inovasi pemerintahan daerah, hasil penelitian para peneliti terdahulu

yang menunjukkan beragam permasalahan dalam praktek pengembangan

inovasi pemerintahan daerah, dan adanya fakta inovasi penyelenggaraan urusan

pendidikan di Kabupaten Gowa menjadi daya tarik bagi penulis untuk melakukan

kajian mendalam dengan topik: Inovasi Pemerintahan Daerah (Studi Inovasi

Penyelenggaraan Urusan Pendidikan di Kabupaten Gowa).

1.2 Ruang Lingkup Penelitian

Desentralisasi pada hakekatnya mengandung dua elemen pokok yang

bertalian, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara

hukum untuk menangani bidang-bidang (urusan) tertentu, baik yang dirinci

maupun yang dirumuskan secara umum. Kedua elemen pokok desentralisasi

tersebut kemudian melahirkan local government. Dalam konteks ini, local

government dapat dimaknai dalam pengertian organ, fungsi dan daerah otonom.

Dalam pengertian organ, local government berarti pemerintah daerah, yakni

DPRD (council) dan kepala daerah (mayor), di mana rekrutmen pejabatnya

didasarkan pada pemilihan (elected officials). Dalam pengertian fungsi, local

govenment bermakna pemerintahan daerah yang diselenggarakan oleh

pemerintah daerah. Sedangkan makna dalam pengertian daerah otonom yakni

bahwa pembentukan daerah otonom yang secara simultan merupakan kelahiran

status otonomi berdasarkan atas aspirasi dan kondisi obyektif masyarakat yang

berada dalam wilayah tertentu (Hoessein, 2000:10 & Muluk, 2007:9).


22

Oleh karena itu, konteks penelitian inovasi pemerintahan daerah ini akan

dipusatkan pada penyelenggaraan kewenangan mengatur (policy formulation

function) dan mengurus (policy implementation function) urusan pendidikan yang

telah dilimpahkan kepada daerah otonom. Kewenangan tersebut di atur pada

pasal 14 ayat (1) point (f), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

dan pasal 7 ayat (2) point (a), PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Lokus penelitian tentang inovasi pemerintahan daerah ini ditentukan pada

daerah otonom Kabupaten Gowa. Obyek penelitian berada pada

penyelenggaran kewenangan fungsi mengatur (policy formulation function) oleh

DPRD dan Kepala Daerah dan kewenangan fungsi mengurus (policy

implementation function) dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan Perangkat

Daerah (birokrasi daerah otonom). Dalam pelaksanan fungsi mengurus

mengenai urusan pendidikan ini, perangkat daerah yang terkait adalah Dinas

Pendidikan dan UPT penyelenggara urusan pendidikan dalam lingkup

pemerintahan Kabupaten Gowa.

Penelitian ini merupakan ranah studi inovasi dalam organisasi. Oleh

karena itu untuk memahami bagaimana kajian inovasi dalam organisasi

pemerintahan daerah akan mengacu pada pandangan Wilson (1989) tentang

birokrasi pemerintahan. Menurut Wilson (1989:27-27) bahwa birokrasi

pemerintahan dalam perspektif organisasi dapat dianalisis dalam tiga tingkatan

yaitu: (1) tingkatan operasional (operators level); (2) tingkatan manajerial

(managers level); dan (3) tingkatan eksekutif (executives level).

Untuk mendukung perspektif birokrasi pemerintahan menurut Wilson

dalam studi inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan di Kabupaten


23

Gowa, digunakan pula pendekatan institutional arrangements dari Bromley

(1989:32) yang juga membagi tiga tingkatan dalam proses kebijakan yaitu policy

level, organizational level, maupun terutama pada operational level dengan

pattern of interactions-nya.

Pada teori Bromley tersebut, dijelaskan bahwa pada tingkat kebijakan,

pernyataan-pernyataan umum tentang wujud nyata dari harapkan diformulasikan.

Pada tingkat organisasional, implementasi dari harapan tersebut dicapai dengan

pembentukan organisasi-organisasi dan aturan-aturan dan undang-undang yang

menentukan bagaimana organisasi-organisasi tersebut bekerja, serta apa yang

akan dilakukan organisasi-organisasi tersebut dalam bentuk program. Aturan-

aturan dan undang-undang yang menghubungkan tingkat kebijakan dan tingkat

organisasional ini disebut pengaturan institusional (institutional arrangements).

Selanjutnya pada tingkat operasional, unit-unit bekerja terkait langsung

dengan masyarakat. Pilihan-pilihan yang ada di tingkat operasional ini ditentukan

oleh pengaturan institusional di tingkat kebijakan dan di tingkat organisasional.

Perilaku-perilaku di tingkat operasional (pola-pola interaksi) memberi hasil

(outcome) yang akan dinilai oleh masyarakat sebagai hal yang baik atau

sebaliknya (assessment). Apa yang dirasakan dan dinilai baik atau buruk oleh

masyarakat akan memberikan respon melalui jalur politik dan berusaha

mempengaruhi kebijakan dengan input-input dari mereka.

Berdasarkan pada perspektif birokrasi pemerintahan yang dikembangkan

oleh Wilson dan perspektif tingkatan proses kebijakan oleh Bromley tersebut,

maka inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan baik pada tingkatan kebijakan,

tingkatan manajerial, maupun inovasi pada tingkatan operasional semuanya

berada dalam ruang lingkup pelaksanaan kewenangan mengatur (policy

formulation) dan mengurus (policy implementation) urusan pendidikan di


24

Kabupaten Gowa. Di samping studi inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan

ini dilihat dari perspektif birokrasi pemerintahan, juga akan didalami dari

perspektif tipologi-tipologi dan derajat inovasi yang sedang dikembangkan.

Termasuk juga sejauhmana kapasitas inovasi (innovation capacity) yang dimiliki

oleh pemerintahan Kabupaten Gowa dalam mendorong terwujudnya inovasi

penyelenggaraan urusan pendidikan yang efektif.

1.3 Rumusan Masalah Penelitian

Mengacu pada alur pemikiran latar belakang dan ruang lingkup penelitian

yang diuraikan, maka dirumuskan beberapa masalah penelitian yang bertujuan

untuk mempertajam kajian dalam penelitian ini. Beberapa rumusan masalah

penelitian tersebut meliputi:

(1) Bagaimanakah proses pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan?

(2) Bagaimanakah tipologi program inovasi pemerintahan daerah dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan?

(3) Bagaimanakah kapasitas inovasi pemerintahan daerah dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan?

(4) Bagaimanakah model empirik (existing model) dan model rekomendasi

(recommended model) inovasi pemerintahan daerah Kabupaten Gowa

dalam penyelenggaraan urusan pendidikan?

1.4 Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah penelitian, maka kajian pada penelitian

ini diarahkan untuk menjawab tiga tujuan penelitian yaitu:


25

(1) Mendeskripsikan dan menganalisis proses pengembangan inovasi

pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan.

(2) Mendeskripsikan dan menganalisis tipologi program inovasi pemerintahan

daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan.

(3) Mendeskripsikan dan menganalisis kapasitas inovasi pemerintahan daerah

dalam penyelenggaraan urusan pendidikan.

(4) Membangun model empirik (existing model) dan model rekomendasi

(recommended model) inovasi pemerintahan daerah Kabupaten Gowa

dalam penyelenggaraan urusan pendidikan.

1.5 Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Pada awalnya kajian inovasi hanya populer di kalangan organisasi sektor

bisnis. Namun seiring merebaknya paradigma new public management yang

banyak mengadopsi nilai-nilai sektor bisnis, maka konsep inovasi ini pun menjadi

salah satu alternatif (new solutions) dan strategi baru dalam menghadapi

kompleksitas persoalan masyarakat. Kehadiran inovasi dalam organisasi sektor

publik dianggap mampu mengatasi segala keterbatasan yang terdapat pada

organisasi sektor publik terkait dengan tugas dan fungsinya dalam penyediaan

public services dan public goods bagi masyarakat, baik pada level nasional

maupun level lokal.

Kajian tentang inovasi pada penelitian ini tentu saja memilik beberapa

perbedaan dengan kajian-kajian inovasi yang sudah dilakukan oleh pihak lain.

Beberapa perbedaan tersebut, antara lain: pertama, kajian inovasi pada

penelitian ini dilakukan pada organisasi sektor publik, berbeda dengan kajian

inovasi lainnya yang kebanyakan dilakukan pada organisasi sektor bisnis.

Kedua, lokus kajian inovasi ini berada pada daerah otonom kabupaten yang
26

memiliki kewenangan mengatur dan mengurus urusan pendidikan. Sehingga

dengan demikian obyek kajian ini adalah inovasi dalam mengatur dan mengurus

urusan pendidikan di Kabupaten Gowa.

Ketiga, kajian ini berusaha untuk melihat inovasi dalam birokrasi

pemerintahan daerah secara terintegrasi mulai dari inovasi pada tingkatan

kebijakan (eksekutif), tingkatan manajerial (organisasional), dan inovasi pada

tingkatan operasional. Berbeda dengan kajian yang sudah dilaksanakan oleh

pihak lain, umumnya masih bersifat parsial berkenaan dengan aspek tertentu

saja. Misalnya kajian mengenai kepemimpinan yang inovatif, inovasi pada aspek

pelayanan, budaya inovasi, dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat

baik secara akademik maupun secara pragmatis. Secara akademik, kajian ini

dimaksudkan untuk meninjau penerapan konsep inovasi pada organisasi sektor

publik, khususnya inovasi pada daerah otonom kabupaten dalam mengatur dan

mengurus urusan pendidikan yang telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat.

Untuk itu, kajian dimaksudkan untuk mengelaborasi penerapan konsep inovasi

ke dalam birokrasi pemerintahan.

Di mana birokrasi pemerintahan menurut James Q. Wilson (1989)

meliputi tingkatan eksekutif, tingkatan manajer, dan tingkatan operasional. Selain

itu, kajian inovasi ini juga diarahkan untuk menggali jenis-jenis inovasi yang

dikembangkan dan kecenderungan derajat inovasi yang sudah berlangsung,

serta mengkaji kemampuan inovasi (capacity innovation) yang dimiliki oleh

pemerintah daerah. Melalui penggunaan metode analisis kualitatif, harapan

utama dari hasil kajian ini adalah memberi pengayaan dalam pengembangan

kajian ilmu administrasi publik, khususnya menyangkut isu-isu mutakhir

mengenai inovasi pemerintahan daerah.


27

Manfaat pragmatis, secara umum hasil-hasil kajian ini dapat memberi

kontribusi pemikiran dan bahan pertimbangan bagi daerah otonom Kabupaten

Gowa dalam mengatur dan mengurus urusan pendidikan yang menjadi

wewenangnya. Secara khusus, hasil-hasil kajian ini menjadi masukan bagi

DPRD, pemerintah daerah, dan stakeholders yang terkait dalam pengembangan

inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan, baik pada tingkatan kebijakan,

tingkatan manajerial (organisasi), maupun pada tingkatan operasional birokrasi

pemerintahan Kabupaten Gowa. Manfaat lain dari hasil penelitian ini adalah

dapat menjadi referensi tambahan atau rujukan bagi peneliti-peneliti lain,

terutama bagi peneliti yang berminat meneliti topik tentang inovasi pada sektor

publik terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.


28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bagian pertama tinjauan pustaka ini adalah perspektif empirikal dengan

menampilkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu

baik yang dilakukan oleh peneliti dalam negeri maupun dilakukan peneliti

dibeberapa negara lain. Kemudian bagian kedua yakni perspektif teorikal dengan

menguraikan sejumlah teori dan konsep dalam kajian ilmu administrasi publik

menurut berbagai perspektif, model, dan paradigma. Selanjutnya meninjau

beragam pandangan mengenai teori desentralisasi, local government, birokrasi,

dan teori inovasi pemerintahan daerah dalam berbagai perspektif.

2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang ditampilkan pada bagian ini bertujuan untuk

membandingkan penelitian yang akan dilakukan dengan sejumlah penelitian

pernah dilaksanakan oleh orang atau pihak lain. Hal-hal yang ditekankan pada

penelitian terdahulu, meliputi: konsep yang digunakan; pendekatan dan metode

penelitian; hasil penelitian dan relevansinya dengan penelitian yang akan

dilakukan.

(1) Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan (2006), melakukan kajian inovasi pro

masyarakat miskin melalui program bebas iuran sekolah sebagai bentuk

inovasi urusan pendidikan di Kabupaten Jembrana. Penelitiannya berjudul:

Bebas Iuran Sekolah dan Jaminan Kesehatan Jembrana: Inovasi Pro

Masyarakat Miskin di Kabupaten Jembrana. Penelitian ini menggunakan

metode kualitatif dengan strategi wawancara mendalam, FGD dan kajian

dokumentasi. Konsep yang digunakan meliputi inovasi program, best


29

practices, kepemimpinan, keberlanjutan, dan kesetaraan gender. Hasil

kajian ini menunjukkan adanya dominasi peran bupati dalam program

inovasi, karena memiliki politicall will dan commitment yang tinggi.

Melibatkan organisasi lokal, program efisiensi dan efektivitas di semua

sektor dan memunculkan perubahan budaya birokrasi.

(2) Fadel Muhammad (2007), meneliti disertasi tentang Signifikansi Peran

Kapasitas Manajemen Kewirausahaan terhadap Kinerja Pemerintah

Daerah: Studi Kasus Gorontalo, kemudian dikembangkan menjadi sebuah

buku berjudul “Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah”.

Fokus penelitian adalah pentingnya penguatan kapasitas manajemen

pemerintah daerah dan pemanfaatan faktor endowment daerah. Melalui

metode penelitian kualitatif dan kuantitatif, penerapan konsep New Public

Mamanagent, Reinventing Government, dan Entrepreneurship Government

mengungkap bahwa inovasi pemerintah daerah harus berbasis penguatan

kapasitas manajemen pemerintah daerah. Penguatan kapasitas

manajemen melalui reformasi tata kelola keuangan, pengembangan

organisasi matriks, penerapan mobile government, kebijakan tunjangan

kinerja daerah, dan penilaian kinerja individu. Inovasi yang berkaitan

dengan pemanfaatan faktor endowment daerah dan dengan lingkungan

makro didorong memalui kebijakan yang memudahkan investasi.

(3) Graham Orange, Tony Elliman, Ah Lian Kor, dan Rana Tassabehji (2007)

melakukan studi inovasi pemerintahan daerah dalam kaitan

pengembangan public values. Penelitian ini dituangkan dalam artikel Local

Government and Social or Innovation Values. Metode penelitian ini

merupakan penelitian pustaka dan dokumentasi, penelitian ini juga

mengembangkan model nilai inovasi pemerintahan daerah yang berdasar


30

tiga dimensi yang saling berkorelasi. Ketiga dimensi nilai inovasi tersebut

meliputi people dimension, process dimension, dan technology dimension.

Sehingga dalam mengukur nilai publik suatu inovasi pemerintahan daerah

harus didasarkan pada ketiga dimensi secara terintegrasi dan holistik.

(4) M.A. Ajibola (2008), melakukan penelitian mengenai inovasi kebijakan

sistem pendidikan di Nigeria. Inovasi kebijakan sistem pendidikan ini fokus

pada kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan tingkat dasar.

Rangkuman penelitian telah dituangkan dalam artikel berjudul: Innovation

and Curriculum Development for Basic Education in Nigeria: Policy

Priorities and Challenges of Practice and Implementation. Kajian penelitian

mengungkap pentingnya renovasi kurikulum yang realistik dan berpusat

pada anak (child-centered). Kebijakan kurikulum yang menganut prinsip

quality dan relevance. Prinsip quality berkaitan dengan kapasitas kurikulum

dalam mendorong munculnya kepercayaan diri dan kemampuan anak didik

dalam menyelesaikan masalah. Prinsip relevance berkaitan dengan model

sistem kurikulum sekolah yang fleksibel dan adaptif terhadap perubahan

global. Merekomendasikan agar pemerintah Nigeria mengembangkan

kebijakan pendidikan berparadigma inter-disciplinary courses, openended

systems, inter-generational and inter-professional relationships, multi-

culturalism and sustainability pada semua tingkatan dan satuan pendidikan.

(5) Pan Suk Kim (2009) berjudul: Quality as a Reflection of Innovation? Quality

Management in the Korean Government. Menggunakan konsep inovasi,

Quality Management, Reform, dan Total Quality Management serta metode

penelitian pendekatan studi pustaka. Hasil penelitian yaitu bahwa kualitas

manajerial menjadi unsur utama dari inovasi, sehingga tidak bisa diabaikan

walaupun berfluktuasi. Kualitas manajemen (inovasi) di Korea dipengaruhi


31

oleh praktek di Jepang dan Amerika dan pengaruh manajemen Eropa tidak

begitu nampak dalam praktek.

(6) Mark Evans (2010), melakukan kajian tentang kapasitas inovasi

pemerintahan daerah terhadap delapan studi kasus yang berbeda. Hasil

kajian Evans kemudian dirangkum dalam tulisan “Building the Capacity for

Local Government Innovationm: Case studies from the Australian, New

Zaeland, and British contexts”. Kedelapan kasus tersebut menerapkan

tipologi inovasi meliputi strategic innovation, product innovation, service

innovation, dan governance innovation dan derajat inovasi yang dibedakan

berdasarkan tujuh perspektif yaitu place, novelty, significance, utility,

effectiveness, longevity, dan transferability. Melalui metode FGD dengan

manajer senior pemerintah daerah terungkap beberapa pelajaran penting

bagi pengembangan kapasitas inovasi pemerintah daerah yaitu (a)

kapasitas mengetahui adanya kesenjangan metode dan pemberian

pelayanan; (b) kapasitas membangun kemitraan dengan stakeholders yang

memiliki sumberdaya; (c) kapasitas bertindak dalam kerangka kebijakan

legislatif dan memanfaatkan situasi politik secara tepat; (d) munculnya

pemimpin yang memiliki agenda reformasi untuk inovasi; (e) dukungan dari

pemimpin politik dan menajemen senior; (f) kolaborasi lintas-departemen

dan unit pelayanan melalui komunikasi yang efektif; (g) keterlibatan warga

lokal; dan (h) tersedianya teknologi baru yang mendukung pelaksanaan

program inovasi.

(7) Joseph J. Capuno (2010), mengkaji pentingnya posisi para pemimpin

daerah sebagai penggerak utama inovasi pemerintahan di daerahnya

masing-masing. Hasil kajiannya dimuat dalam artikel berjudul: Leadership

and Innovation under Decentralization: A Case Study of Selected Local


32

Governments in the Philippines. Melalui metode observasi dan survei

terhadap 209 program inovatif serta FGD terhadap 48 manajer

pemerintahan daerah di Filipina dirumuskan beberapa kesimpulan, antara

lain: (a) di era desentralisasi yang sudah berlangsung 20 tahun,

pemerintah daerah berhasil melakukan inovasi dalam berbagai sektor; (b)

pemimpin daerah yang masih berkuasa (incumbent mayors) menjadi

pendorong utama lahirnya ide dan suksesnya pelaksanaan program

inovasi di daerahnya; (c) pemimpin yang berhasil mengembangkan inovasi

sangat tergantung pada situasi lingkungan (sumber daya alam),

pengetahuan, pengalaman, dan insentif yang diterima; (d) jangkauan

inovasi daerah yang luas dan bervariasi bermanfaat langsung pada

konstituen; (e) faktor kritis lain selain faktor kepemimpinan adalah faktor

kelembagaan meliputi kapasitas fiskal daerah, kualitas birokrasi daerah,

aparatur yang profesional, dan pelibatan sektor swasta.

(8) Comfort Olufunke Akomolafe (2011), topik penelitian tentang manajemen

inovasi dalam sistem pendidikan di Nigeria yang dituangkan dalam artikel

berjudul: Managing Innovations in Education System in Nigeria: A Focus on

Creating and Sustenance of Culture in Innovation. Oleh karena terdapat

kebutuhan sistem pendidikan sekolah yang harus memiliki budaya dinamis

dan berorientasi kedepan, maka fokus kajian pada proses penciptaan dan

pengembangan budaya inovasi sekolah. Melalui metode studi literatur dan

observasi langsung, Akomolafe menyimpulkan bahwa (a) pengembangan

budaya inovasi sekolah adalah upaya meningkatkan kualitas sekolah dan

mempertahankan produktivitas dan efisiensi yang sudah dicapai; (b)

inovasi membutuhkan pembangunan tidak hanya untuk membentuk

individu yang kreatif saja tetapi juga menciptakan lingkungan inovatif yang
33

berkelanjutan; (c) pemimpin di sekolah harus menciptakan budaya inovasi;

dan (d) budaya inovasi di sekolah wujud sistem pendidikan yang

transformatif.

(9) Lea Hennala, Satu Parjanen dan Tuomo Uotila (2011), meneliti tentang

proses inovasi pelayanan publik yang melibatkan multi-aktor. Penelitiannya

berjudul: Challenges of Multi-Actor Involvement in the Public Sector Front-

End Innovation Processes Constructing an Open Innovation Model for

Developing Well-Being Services. Menggunakan konsep inovasi, organisasi

sektor publik dan stakeholders dengan constructive research approach dan

kombinasi analisis kuantitatif dan kualitatif menghasilkan suatu model

inovasi terbuka (the open innovation model). Model inovasi terbuka ini

mengakui terutama masuknya informasi dari luar dan pengetahuan dari

pengguna layanan yang berpotensi menghasilkan wawasan baru dan

bernilai tambah terhadap proses pengembangan inovasi.

(10) Satu Pekkarinen, Tomi Tura., Lea Hennala & Vesa Harmaakorpi. 2011.

Berjudul: Clashes as Potential for Innovation in Public Service Sector

Reform. Menggunakan konsep inovasi dan reformasi sektor publik dengan

metode penelitian kualitatif (studi kasus dan konten analisis). Hasil

penelitiannya adalah mengungkap beragam tekanan yang mempengaruhi

tingkatan inovasi dan diwujudkan sebagai benturan (clashes) dan menjadi

saling bertolak belakang (controversies) antara cara berfikir yang lama dan

cara yang baru. Tetapi benturan tersebut dapat menjadi dasar yang kuat

(platform) bagi inovasi untuk dianalisis dan difasilitasi secara terbuka.

(11) Daniel Adetoritse Tonwe (2011), melakukan kajian terhadap institusi

pemerintahan daerah. Hasil kajian ini kemudian dituangkan dalam tulisan

berjudul: Conceptualizing Local Government from a Multi-Dimensional


34

Perspective. Melalui studi pustaka, dalam kajian tersebut menjelaskan

bahwa pemahaman yang mendalam terhadap local government sebagai

institusi harus dimaknai dari multi-dimensional perspective. Makna multi-

dimensional perspective dari institusi local government meliputi social

dimension, economic dimension, geographic dimension, legal dimension,

dan administrative dimension.

Berikut ini disajikan matriks ringkasan dari kajian terhadap beberap

penelitian terdahulu. Pada Tabel 1 berikut ini berisi sumber penelitian, hasil

penelitian, metode dan konsep yang digunakan pada setiap kajian. Pada tabel

berikut ini pula dikemukakan bagaimana peta pebedaan dan persamaan dari

masing-masing penelitian terdahulu jika disandingkan dengan hasil kajian yang

dilakukan dalam disertasi ini. Berdasarkan hasil pemetaan tedapat beberapa

persamaan yang menonjol antara lain tentang kapasitas kepemimpinan kepala

daerah (bupati) yang sangat berperan penting dalam mendorong pengembangan

inovasi. Selain itu, kapasitas individual aparatur juga menjadi faktor penting

dalam kesuksesan pelaksanaan program-program inovasi di bidang pendidikan.

Tabel 1: Matriks Persamaan dan Perbedaan Penelitian Terdahulu dan


Hasil Kajian Disertasi ini

Penulis, Tahun Hasil Kajian


No. Persamaan Perbedaan
& Judul Terdahulu Disertasi Ini
1. Eko Prasojo & Dominasi peran Bupati Peran Bupati sebagai Mengungkap Berbeda karena
Teguh Kurniawan dalam program inovasi, kepala pemerintahan bagaimana peran hasil penelitian ini
(2006), krn memiliki political will daerah sangat dominan kepemimpinan tidak mengkaji hal-
dan commitment yang karena memiliki political (Bupati) yg hal yg terkait
Bebas Iuran tinggi. Pelaksanaan will & komitmen tinggi, memiliki polical program efisiensi,
Sekolah dan JKJ: program inovatif pelibatan organisasi lokal will & komitmen efektivitas di
Inovasi Pro melibatkan organisasi dan program inovatif yang tinggi dominan & semua sektor.
Masyarakat Miskin lokal, program efisiensi & berkelanjutan. strategis dlm Anggaran besar
di Kabupaten efektivitas di semua Besarnya anggaran pengembangan (APBD/APBN)
Jembrana. sektor & memunculkan (APBD/APBN) yg tersedia program inovasi. untuk program
perubahan budaya sangat mendukung inovasi sangat
birokrasi. Program program inovasi berpengaruh
inovatif yang
berkelanjutan.
35

Penulis, Tahun Hasil Kajian


No. Persamaan Perbedaan
& Judul Terdahulu Disertasi Ini
2. Fadel Muhammad Inovasi penguatan Upaya peningkatan kapa- Peningkatan Berbeda karena
(2007) kapasitas manajemen sitas inovasi di mana kapasitas inovasi hasil penelitian ini
pemerintahan yakni tersedia kepemimpinan pemerintahan tidak mengkaji
Signifikansi Peran reformasi tatakelola inovatif, kualitas timkerja daerah baik reformasi tata-
Kapasitas keuangan, organisasi (aparatur), anggaran, individu/ aparatur kelola keuang-an,
Manajemen matriks, mobile regulasi dan membangun maupun penliaian kinerja
Kewirausahaan government, TKD, relasi atau networking organisasi & individu, TKD, &
terhadap Kinerja penilaian kinerja secara ekternal yang kelembagaan program yang
Pemda: Studi individu.Inovasi relasi mendukung program (regulasi & berkaitan
Kasus Gorontalo faktor endowment daerah inovasi dalam urusan system) dalam investasi.
dengan lingkungan pendidikan mendorong Metode kuantitatif
makro melalui kebijakan program inovasi tidak dilakukan
kemudahan investasi

3. Graham Orange, Pengembangkan model Pengembangan program Model nilai inovasi Berbeda pada
Tony Elliman, Ah nilai-nilai inovasi inovasi melalui proses yang didasarkan fokus penelitian
Lian Kor, & Rana pemerintahan daerah politik (mengatur) & pada tiga dimensi tentang kapasitas
Tassabehji (2007) yang berdasar tiga proses manajerial yakni dimensi inovasi pemerin-
dimensi yang saling (mengurus). Tipologi people, process & tahan daerah
Local Government berkorelasi. Ketiga program inovasi technology jadi dalam pengem-
and Social or dimensi nilai inovasi Punggawa D’Emba fokus perhatian yg bangan program
Innovation Values tersebut meliputi people Education yg berbasis sama dalam inovasi
dimension, process teknologi informasi (audio mengembangkan .
dimension, dan visual). Replikasi program program inovasi
technology dimension. inovasi tetap melihat urusan pendidikan
Ketiga dimensi judi kebutuhan nilai-nilai
ukuran nilai publik (social masyarakat lokal (local
values) inovasi. social values)

4. M.A. Ajibola (2008) Renovasi kurikulum Tipologi program inovasi Memiliki hasil ka- Berbeda pada
realistik & berpusat child- SPAS, Punggawa jian yg sama obyek kajian di
Innovation and centered. Kebijakan D’Emba Education, fokus pada mana disertasi ini
Curriculum kurikulum yang Pendidikan Gratis & kurikulum yg tidak hanya fokus
Development for menganut prinsip quality Satgas Pendi-dikan berpusat pada pada level pendi-
Basic Education in (mendorong kepercayaan dikembangkan utk anak, kebijakan dikan dasar tapi
Nigeria: Policy diri & kemampuan anak mengurangi lemahnya yang menganut juga pendidikan
Priorities and didik menyelesaikan aksesibilitas masyarakat, prinsip kualitas, menengah
Challenges of masalah dan prinsip mengangkat kualitas model kurikulum
Practice and relevance (model sistem pembelajaran yg berbasis fleksibel & adaftif,
Implementation kurikulum sekolah pada anak & guru dgn salah satunya
fleksibel & adaptif. metode audio visual. melalui program
Paradigma inter- Porgram inovasi ini inovasi Punggawa
disciplinary, openended, replikasi & incremental, D’Emba
inter-generational and serta adanya partisipasi Education
inter-professional, multi- masyarakat lokal (desa)
culturalism&sustainability

5. Pan Suk Kim Kualitas manajemen Pengembangan program Pada dasarnya Tidak hanya fokus
(2009) sebagai refleksi dari inovasi melalui proses memiliki kesama- pada proses
inovasi. Kualitas politik (mengatur) peru- an hasil kajian manajerial yg
Quality as a manajerial adalah unsur musan Perda oleh KDH & terutama bahwa berkualitas tetapi
Reflection of utama inovasi, sehingga DPRD dan proses inovasi / kualitas juga fokus pada
Innovation? Quality tidak bisa diabaikan manajerial (mengurus) manajerial sangat kapasitas inovasi
of Management in walaupun berfluktuasi. yakni impelementasi terkait dgn proses pemda.
the Korean Kualitas manajemen Perda) dilaksanakan KDH manjerial dalam Penelitian ini
Government. (inovasi) di Korea & birokrasi (perangkat implementasi kualitatif dgn studi
dipengaruhi oleh praktek daerah). Proses manajrial kebijkan pengem- lapangan, berbeda
manajemen di Jepang inilah harus berkualitas bangan program dgn studi pustaka
dan Amerika. dlm mengembngkn inovasi yg menggunakan
program inovasi teknik komparasi
36

Penulis, Tahun Hasil Kajian


No. Persamaan Perbedaan
& Judul Terdahulu Disertasi Ini
6. Mark Evans (2010) Membangun kapasitas Pengembangan kapasitas Mendukung upaya Perbedaannya
inovasi pemerintah pemerintahan daerah pengembangan terutama pada
Building the daerah yaitu (a) tahap dalam berinovasi melalui kapasitas inovasi tersedianya
Capacity for Local mengetahui kesenjangan tersedianya: pemda terutama anggaran yg besar
Government pelayanan; (b) kemitraan (a) kepemimpinan Bupati berkaitan utk program
Innovation: Case stakeholders pemilik inovatif; (b) tim kerja kepemimpinan inovas; pelibatan
Studies from the sumberdaya; (c) bertin- (aparatur) yang inovatif, bertindak pihak stakeholder
Australian, New dak dalam kerangka berkualitas; (c) anggaran dalam kerangka belum maksimal.
Zaeland, and legislatif & situasi politik yg tersedia; (d) struktur & legislatif & situasi Metode yang
British Context. yg tepat; (d) pemimpin system yg mendukung politik yg tepat, digunakan dlm
dgm agenda reformasi inovasi; (e) kemampuan dukungan dari penelitian ini
utk inovasi; (e) dukungan mengelola pengaruh pemimpin politik, bukan studi
pemimpin politik & ma- eksternal (jaringan kolaborasi lintas pustaka tetapi
najemen senior; (f) internal/eksternal) departemen, studi lapangan
melakukan kolaborasi pemerintahan pelibatan warga
lintas-departemen & unit- loka & tersedianya
unit pelayanan; (g) keter- teknologi baru
libatan warga lokal; & (h)
tersedianya teknologi
yang baru.

7. Joseph J. Capuno Hasil kajian yaitu: (a) di Pengembangan inovasi Mendukung & Berbeda pada
(2010) era desentralisasi, pemerintahan daerah dlm relevan penelitian metode di mana
pemerintah daerah urusan pendidikan dikaji ini, yg dilakukan penelitian ini tidak
Leadership and berhasil berinovasi; (b) dalam konteks kebijakan kajian dlm konteks menggunakan
Innovation under pemimpin (incumbent desentralisasi. desentralisasi, regresi (statsitik)
Decentralization: mayors) pendorong Proses pengembangan pemimpin incum- hanya data
A Case Study of utama ide dan sukses program inovasi melalui bent pendorong kualitatif yg
Selected Local program inovasi; (c) proses politik (mengatur) utama ide & diperoleh dari
Governments in the pemimpin berhasil oleh KDH & DPRD dan sukses program wawancara,
Philippines tergantung lingkungan, proses manajerial oleh inovasi, termasuk observasi &
pengetahuan, KDH & perangkatnya. faktor kritis ttg dokumentasi
pengalaman & insentif; Tipologi inovasi kapasitas fiscal
(d) jangkauan inovasi direplikasi & incremental, daerah, aparat
luas & bermanfaat dan bermanfaat nyata birokrasi &
langsung konstituen; (e) untuk jangka panjang. stakeholders
faktor kritis lain, adalah Kapasitas kepemimpinan
kelembagaan meliputi & anggaran sangat
kapasitas fiskal daerah, dominan dlm suksesnya
kualitas birokrasi daerah, program inovasi
aparatur profesional, &
stakeholers.

8. Comfort Olufunke Pendidikan sekolah Pengembangan program Pengembangan Berbeda di mana


Akomolafe (2011) harus berbudaya dinamis inovasi Punggawa program inovasi kajian ini tidak
& berorientasi kedepan, D’Emba Education dalam konteks mengkaji peran
Managing maka perlu proses: (a) berbasi teknologi pembelajaran di pemimpin sekolah
Innovations in upaya meningkatkan informasi (audio visual) sekolah-sekolah dan pembentukan
Education System kualitas, produktivitas yang berorientasi pada yg bertujuan budaya inovasi di
in Nigeria: A Focus efisiensi; (b) butuh pem- penciptaan kualitas meningkatkan sekolah.
on Creating and bang-unan tidak hanya proses pembelajaran, kualitas & Metode penelitian
Sustainance of individu kreatif tetapi juga membentuk produktivitas, ini bukan survey
Culture in inovasi berkelanjutan; (c) individu/murid yang membangun tetapi studi
Innovation pemimpin sekolah adalah kreatif, pemimpin /guru inovidu / murid & lapangan melalui
pencipta budaya inovasi; disekolah berinovasi guru yg kreatif dlm wawancara,
dan (d) budaya inovasi terkait dgn metode proses belajar observasi &
disekolah wujud sistem bekajar mengajar mengajar. dokumentasi
pendidikan transformatif.
37

Hasil Kajian
Penulis, Tahun
No. Persamaan Perbedaan
& Judul Terdahulu Disertasi Ini
9. Lea Hennala, Satu Keterlibatan multi-aktor Pengembangan program Model pengem- Multi-aktor pada
Parjanen & Tuomo dalam proses inovasi inovasi dalam urusan bangan program kajian ini disebut
Uotila (2011) sektor publik. pendidikan didasarkan inovasi terbuka, jaringan internal &
Hasil kajian melahirkan pada studi banding di terutama hasil eksternal peme-
Challenges of model inovasi yg disebut daerah/Negara yg sudah penelitian ini yg rintahan.
Multi-Actor Model Inovasi Terbuka sukses berinovasi. berkait dgn Tidak mengguna-
Involvement in the (the open innovation Program inovasi adalah jaringan eksternal, kan kombinasi
Public Sector model). Masuknya replikasi & incremental pelibatan pihak kualitatif/kuantitatif,
Front-End informasi dari luar dan dgn bermitra dgn pihak ketiga (ahli) dalam penelitian hanya
Innovation pengetahuan dari ketiga (mitra ahli) yang pengem-bangan memakai
Processes pengguna layanan memiliki pengetahuan & program inovasi pendekatan
Constructing an berpotensi menghasilkan skill terutama pada Punggawa kualitatif
Open Innovation wawasan baru dan program Punggawa D’Emba
Model for bernilai tambah dalam D’Emba Education. Education
Developing Well- proses pengembangan
Being Services inovasi.

10. Tomi Tura, Satu Potensi konflik dalam Pengembangan inovasi Mendukung Benturan antara
Pekkarinen, Lea inovasi pelayanan publik. pemerintahan daerah dlm konsep inovasi nilai-nilai lama &
Hennala & Vesa Mengungkap beragam urusan pendidikan lebih pelayanan publik cara berfikir lama
Harmaakorpi tekanan yg memengaruhi pada inovasi pelayanan tapi tidak fokus dengan nilai baru
(2011) derajat inovasi & publik berkaitan dengan pada potensi & metode baru
diwujudkan sebagai pelayanan dasar. konflik di mana di ditemukan.
Clashes as benturan (clashes) & Pengembangan program dalamnya, juga Metode penelitian
Potential for menjadi saling bertolak inovasi urusan pendidikan mendukung ini kualitatif tetapi
Innovation in Public belakang antara berfikir tidak mengalami benturan bagaimana beralih tidak menerapkan
Service Sector cara lama & cara baru. baik konsep maupun dari cara lama ke konten analisis.
Reform Tetapi benturan tersebut teknis operasinya karena cara baru yg
dapat menjadi dasar didasarkan pd masalah difasilitasi secara
yang kuat bagi inovasi dan kebutuhan dasar terbuka
untuk dianalisis dan masyarakat.
difasilitasi secara
terbuka.

11. Daniel Adetoritse Pemahaman local Pengembangan inovasi Melihat hasil Berbeda pada
Tonwe government sebagai pemerintahan daerah kajian ini dapat dimensi economic
(2011) institusi harus urusan pendidikan dilaku- dipahami bahwa & geographic yang
dimaknai dari multi- kan melalui proses politik konteks pengem- tidak dijadikan
Conceptualizing (mengatur) & proses bangan inovasi dasar analisis
dimensional
Local Government manajerial / administrasi. pemerintahan fokus pada
from a Multi- perspective. Makna Tipologi inovasi yakni daerah masih dlm penelitian ini.
Dimensional multi-dimensional SPAS, Punggawa kerangka local
Perspective perspective dari D’Emba Education, government yg
institusi local Pendidikan Gratis, & dipahami dalam
government meliputi Satgas Pendidikan. perspektif yang
lima dimensi: social, Kapasitas pemerintahan multi dimensional
economic, geographic, daerah dlm berinovasi (social, legal &
legal, dan (kepemimpinan inovatif & administrative)
anggaran besar) utk
administrative
program inovasi.

Sumber: Diolah dari hasil kajian penelitian terdahulu dan hasil kajian disertasi ini
(2015)
38

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu

sebagaimana yang ditampilkan, maka diperoleh beberapa kesimpulan penting

yang dianggap relevan dengan kajian yang akan dilakukan. Beberapa

kesimpulan penting dari kajian terdahulu meliputi: pertama, bahwa kajian inovasi

pemerintahan daerah pada umumnya bisa dikaji dari beragam perspektif.

Beragam perspektif dimaksud yang terdapat pada penelitian terdahulu yaitu (a)

tipologi dan derajat inovasi; (b) nilai dan budaya inovasi; (c) kapasitas inovasi; (d)

kelembagaan; (e) kepemimpinan dan dukungan politik; dan (f) pelibatan aktor

selain pemerintah (swasta dan masyarakat) dalam pengembangan inovasi.

Kedua, kajian inovasi penyelenggaran pemerintahan yang berkaitan

dengan bidang pendidikan masih lebih ditekankan pada inovasi manajemen

sekolah, inovasi proses pembelajaran, dan inovasi kurikulum. Ketiga, kajian

terdahulu juga menunjukkan bahwa penelitian inovasi di sektor publik pada

umumnya tidak hanya dilakukan dengan menggunakan metode analisis

kuantitatif tetapi juga dapat menggunakan metode analisis kualitatif.

2.2. Teori dan Perkembangan Administrasi Publik

Salah satu asumsi dasar dalam mengkaji administrasi publik adalah

”administration is a unitary process that can be studied uniformly, at the

municipal administration, state administration, and federal administration”.

Asumsi dasar ini ditulis oleh White (1926) dalam artikelnya yang berjudul

”Introduction to the Study of Public Administration” sebagaimana disunting oleh

Shafritz, et al (2004:56). Makna yang terkandung dalam asumsi dasar tersebut

adalah bahwa mempelajari disiplin ilmu administrasi publik berarti mengkaji

administrasi publik sebagai satu kesatuan proses, tidak hanya pada tingkatan
39

federal dan tingkatan negara tetapi juga menyangkut administrasi pada tingkatan

lokal (misalnya municipal).

Dalam pandangan Shafritz & Russel (1999) dalam bukunya ”Introducing

Public Administration” bahwa memahami administrasi publik (public

administration) tidak bisa hanya melalui satu definisi saja, karena masing-masing

peminat administrasi publik memiliki perspektif yang berbeda sehingga

menyimpulkan definisi yang berbeda pula. Oleh karena itu, Shafritz & Russel

(1999:5-28) mengembangkan pemahaman terhadap administrasi publik dalam

empat kategorisasi atau perspektif yang meliputi: (1) political perspective, (2)

legal perspective, (3) managerial perspective, dan (4) occupational perspective.

Keempat kategorisasi atau perspektif dari administrasi publik tersebut terurai

yang dapata dipahami seperti pada tabel bagian berikut ini.

Tabel 2. Category of the definition of public administration

No. Category/Perspective Definitions of Public Administration


1. Political As what government does?; Both direct and indirect; A phase
in the public policy; Implementing the public interest; and Doing
collectively that which cannot be so well done.

2. Legal As law in action; Regulation; The King’s largesse; and Theft.

3. Managerial As the executive function in government; Management


specialty; Mickey mouse; Art, not science-or-Vice versa.

4. Occupational As an occupational category; An essay contest; Idealism in


action; An academic field; and a profession.

Sumber: Shafritz & Russel (1999:5-30)

Pada Tabel 2 diperlihatkan kategorisasi definisi administrasi publik yang

dapat dipahami dalam empat perspektif yakni: pertama, dari perspektif politik

melihat administrasi publik sebagai ”what government does” baik langsung

maupun tidak langsung, suatu tahapan siklus pembuatan kebijakan publik,


40

implementasi kepentingan publik, dan sebagai kegiatan yang dilakukan secara

kolektif karena tidak dapat dikerjakan secara individual.

Kedua, perspektif legal (hukum), administrasi publik dipandang sebagai

penerapan hukum (law in action), regulasi, kegiatan pemberian sesuatu dari

penguasa atau ”raja” kepada rakyatnya (King’s Largesse), dan sebagai bentuk

”theft” yakni tindakan mengambil sebagian harta orang kaya untuk dibagikan ke

yang miskin secara legal dalam bentuk UU perpajakan (tax regulation), dimana

pihak-pihak yang dirugikan harus tunduk dan mentaatinya.

Tabel 3. Perspective on Public Administration

Perspective
Characteristic Traditional
NPM Politics Law
Management
Values Economy, Cost-effectiveness, Representation, Constitutional
efficiency, responsiveness to responsiveness, integrity,
effectiveness cutomers accountability procedural due
process, robust
substantive rights,
equel protection,
equity
Organizational Ideal-typical Competitive, Organizational Adjudicatory
structure bureaucracy firmlike pluralism (adversary)
View of individual Impersonal case, Customer Member of group Individual and/or
rational actor member of class,
reasonable person
Cognitive approach Rational-scientific Theory, Agreement and Inductive case
observation, public opinion, analysis, deductive
measurement, debate legal analysis,
experimentation normative
reasoning,
adversary process
Budgeting Rational (cost- Performance- Incremental Rights funding
benefit) based market- (distribution of
driven benefit and
burdens
Decision making Rational- Decentralized, Incremental Precedential
comprehensive cost-minimizing mudding trough incrementalism
Govermental Executin Executin Legislation Adjudication
function
characterized by

Sumber: Rosembloom & Kravchuk (2005:37)


41

Ketiga, perspektif manajerial, administrasi publik adalah fungsi eksekutif

dalam pemerintahan, sebagai bentuk spesialisasi dalam manajemen (bagaimana

mencapai hasil melalui orang lain), sebagai ”mikey mouse” simbol dari mal-

administrative seperti perilaku red tape, inefficiency, korupsi, kolusi, dll, sebagai

seni misalnya judgement dan common sense seorang administrator kadang lebih

menentukan dibanding ilmu yang dimilikinya.

Keempat, perspektif okupasi atau jabatan, bahwa administrasi publik

dapat dipahami sebagai bentuk profesi tertentu, gambaran tentang program atau

proyek tertentu yang dibiayai dan dilaksanakan pemerintah, sebagai penerapan

idealisme dimana orang-orang ingin mewujudkan impiannya, dan sebagai bidang

akademik yang akan terus mempelajari seni dan ilmu manajemen untuk

diterapkan di sektor publik.

Kajian dan pemahaman terhadap administrasi publik dapat pula dilihat

dari eksistensi model yang dikembangkan oleh para ahli administrasi publik.

Dalam konteks perkembangan administrasi publik, terdapat model ”administrasi

negara baru” atau ”new public administration” yang dikembangkan oleh

Frederickson (1988:28) meliputi: (1) bureaucracy (classic), (2) neo-bureaucracy,

(3) institution, (4) human relation, dan (5) public choice model, yang dapat

disimak pada tabel berikut ini.

Tabel 4. Lima Model Administrasi Negara Baru

Teori & Fokus Empiris Nilai Yang


Ciri-Ciri
Teoritisi (Unit Analisis) Dimaksimumkan
Model Organisasi Struktur, hirarki, pengendalian, Efisiensi
Birokrasi otoritas, dikotomi, kebijakan- Ekonomi
Klasik Kelompok Produksi administrasi, rantai perintah, Efektivitas
Taylor Instansi Pemerintah kesatuan perintah, rentangan
Wilson Biro (bureau) pengendalian, pengangkatan
Weber Kelompok Kerja atas kemampuan, sentralisasi
Gulick, Urwick
42

Teori & Fokus Empiris Nilai Yang Akan


Ciri-Ciri
Teoritisi (Unit Analisis) Dimaksimumkan
Model Keputusan Positivis-logis, penelitian Rasionalitas
Neobirokrasi operasi, analisa sistem, Efisiensi
Simon, Cyert sibernetika, ilmu manajemen, Ekonomi
March, Gore produktivitas

Model Institusi Keputusan (rasional) Empiris, positivis, birokrasi Ilmu


Limbloom Keputusan (tambahan) adalah cerminan kebudayaan, “Analisa yang netral
J. Tompson Perilaku organisasi pola-pola perilaku birokrasi tentang perilaku
(sistem terbuka) yang memusatkan perhatian organisasi”
Crozier Perilaku organisasi pada kelangsungan, Inkrementalisme
Downs Perilaku individu dan kompetisi, teknologi, Pluralisme
organisasi rasionalitas, inkrementalisme, Kritik
Mosher Biro dan profesi kekuasaan
Etzioni Perbandingan perilaku
organisasi (kekuasaan)
Blau Perilaku organisasi
(pertukaran)
Riggs Organisasi dan kebudayaan
V. Thompson Perilaku organisasi
Selznick Perilaku organisasi
(organismis)

Model Individu dan kelompok kerja Hubungan antar pribadi dan Kepuasan pekerja
Hubungan antar kelompok, komunikasi,
Kemanusiaan sanksi, motivasi, perubahan,
McGregor Hubungan latihan, pembagian otoritas, Perkembangan
pengawas/pekerja kebenaran prosedur, pribadi
Likert Daya guna konsensus Harga diri individu
pengawas/pekerja
Bennis Perubahan perilaku
Argyris Perubahan perilaku

Model Pilihan Hubungan organisasi/klien Antibirokrasi, penerapan Pilihan atau


Publik dan distribusi barang-barang logika ekonomi pada masalah- kehendak warga
masyarakat umum masalah distribusi pelayanan negara
Desentralisasi struktur yang publik, amat analisis, Kesempatan
Ostrom tumpang tindih pengibaratan pasar, kontrak- mempergunakan
Sektor publik sebagai pasar kontrak, kekecilan, pelayanan yang
Buchanan, desentralisasi, tawar-menawar sama
Tullock Besarnya kelompok klien persaingan
Olson dan distribusi pelayanan
publik
Distribusi
Kepemimpinan dan distribusi
Mitchell barang
Froclich,
Oppenheimer, Perjanjian pelaksanaan
Young
Niskanan

Sumber: Frederickson (1988:28)


43

Sementara itu Frederickson & Smith (2003) dalam bukunya yang

berjudul: The Public Administration Theory Primer memperkenalkan paradigma

terkait dengan teori politik birokrasi dalam kajian administrasi publik, yaitu

Allison’s Paradigm of Bureaucraticy Politics. Paradigma Allison ini berangkat dari

pemikiran bahwa teori politik birokrasi berusaha menjelaskan peranan dari

administrasi dan birokrasi dalam pembuatan kebijakan. Kerangka ini secara

khusus menolak adanya dikotomi politik-administrasi yang mendasari lahirnya

teori kontrol birokrasi. Beragam studi telah menegaskan bahwa birokrasi dan

para birokrat secara rutin mengalokasikan nilai-nilai dan memutuskan siapa

memperoleh apa, bahwa birokrasi secara logis melakukan apa yang disebut

Meier (1993) sebagai “politics of the first order”. Dengan demikian teori politik

birokrasi jika diamati secara empiris (praktek) sebagaimana telah lama dikatakan

oleh Waldo (1948) dalam karyanya “The Administrative State”, administrasi

bukanlah aktivitas teknis semata dan netral nilai dimana dapat dipisahkan dari

politik, namun administrasi adalah politik sebagaimana dikutip oleh Frederickson

& Smith (2003:43).

Paradigma politik birokrasi dituangkan oleh Allison (1971) dalam karyanya

“Essence of Decision”, yang direvisi bersama Morton Halperin satu tahun

berikutnya. Fokus dari tulisan essence of decision adalah yang menjadi usaha

pertama secara serius dan komprehensif yakni membangun kerangka kerja

tawar-menawar dan negosiasi dalam pengambilan keputusan. Melalui

pertanyaan besar tentang pemicu utama dari kebijakan demokratis yakni why do

governments do what they do? In other words, how is policy made, and who

determines or influence it? Allison (1971) memberikan jawaban melalui tiga

model teoritisasi sebagaimana dikutip oleh Frederickson dan Smith (2003:49).

Ketiga model teoritisasi Allison meliputi: pertama, model the actor rational (model
44

aktor rasional) atau Model I (the classical model). Model I ini menjelaskan bahwa

keputusan pemerintah dipahami sebagai hasil dari single actor dalam membuat

keputusan untuk kepentingan strategis mereka sendiri.

Kedua, model yang didasari oleh paradigma proses organisasional (the

organizational process paradigm) atau Model II. Model II ini mengakui bahwa

terdapat berbagai aktor yang harus terlibat dalam pengambilan keputusan, dan

proses pengambilan keputusan sangat terstruktur melalui standart operational

procedural (SOP) yang disepakati.

Ketiga, model politik birokrasi (the bureaucratic politics paradigm) atau

Model III. Model politik birokrasi atau paradigma politik birokrasi Allison ini

didasari oleh beberapa asumsi, antara lain: (1) Cabang eksekutif terbentuk dari

bermacam-macam organisasi dan individu, yang masing-masing memiliki

sasaran dan agenda yang berbeda-beda, serta aktor-aktor tersebut membawa

isu-isu tertentu yang menarik perhatian dengan motivasi dan kepentingan

masing-masing; (2) Tidak ada aktor dalam cabang eksekutif tersebut yang

mampu bertindak sendiri-sendiri atau sepihak; (3) Keputusan akhir adalah akibat

dari politik (political resultant) dengan kata lain apa yang diputuskan pemerintah

adalah hasil dari proses tawar-menawar atau kompromi dari proses politik; (4)

Terdapat perbedaan antara policy-making dengan pelaksanaannya.

Perkembangan pemikiran administrasi publik dapat juga dipahami melalui

berbagai paradigma yang dipelopori oleh para ahli administrasi publik. Misalnya

Barzelay & Armajani (1992:533) mengungkapkan mengenai paradigma post-

bureaucratic sebagai antitesa dari paradigma bureaucratic. Pada paradigma

birokrasi menekankan kepentingan publik, efisiensi, administrasi, dan kontrol,

sementara paradigma post-birokratik menekankan hasil yang berguna pada

masyarakat, kualitas dan nilai, produk, keterikatan terhadap norma. Jika


45

paradigma birokratik mengutamakan fungsi, otoritas dan struktur, maka

paradigma post-birokratik menekankan pada misi, pelayanan dan hasil akhir

(outcome). Bila paradigma birokratik menilai biaya, menekankan tanggungjawab

(reponsibility), maka paradigma post-birokratik menekankan pemberian nilai

(bagi masyarakat), membangun akutabilitas dan memperkuat hubungan kerja.

Tabel 5. Perbandingan Paradigma Bureaucratic dan Post-Bureaucratic

Bureaucratic Paradigm Post-Bureaucratic Paradigm


Public interest Results citizens value
Efficiency Quality and value
Administration Product
Control Winning adherence to norms
Specify functions, authority, and Identify mission, services, customers, and
structure outcomes
Justify costs Deliver value

Enforce responsibility Building accountability


Strengthen working relationship
Follow rules and procedures Understand and apply norms
Identify and solve problems
Continuously improve processes

Operate administrative systems Separate service from control


Built support for norms
Expand customers choice
Encourage collective action
Provide incentives
Measure and analysis results
Enrich feedback

Sumber: Barzelay & Armajani (1992:538)

Jika paradigma birokratik mengutamakan ketaatan pada aturan dan

prosedur, maka paradigma post-birokratik menekankan pemahaman dan

penerapan norma-norma, identifikasi dan pemecahan masalah, serta proses

perbaikan yang berkesinambungan. Terakhir, apabila paradigma birokratik

mengutamakan beroperasinya sistem-sistem administrasi, maka paradigma post-

birokratik menekankan pemisahan antara pelayanan dengan kontrol,


46

membangun dukungan terhadap norma-norma, memperluas pilihan pelanggan,

mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, mengukur dan menganalisis

hasil, dan memperkaya umpan balik.

Pandangan Denhardt dan Denhardt (2003) dalam bukunya ”The New

Public Services: Serving Not Steering” mengungkapkan bahwa terdapat tiga

paradigma atau perspektif dalam memahami pemikiran administrasi publik.

Ketiga perspektif yang dimaksud yakni old public administration, new public

management, dan new public services. Demikian halnya Bovaird dan Loffler

(2003), juga mengemukakan pandangan yang mirip dengan padangan Denhardt

dan Denhardt tersebut. Oleh Bovaird dan Loffler (2003) menyimpulkan bahwa

public administration, public management, dan public governance adalah tiga

pendekatan yang dapat digunakan dalam kajian-kajian administrasi publik.

Menurut Denhard dan Denhard (2003) bahwa perspektif awal adalah old

public administration merupakan perspektif klasik yang berkembang sejak

munculnya tulisan Wilson (1887) yang berjudul “the study of administration”.

Perspektif klasik atau tradisional tersebut bisa dilihat dalam Saleh & Muluk

(2006:231), yang mengemukakan adanya beberapa pakar yang termasuk

proponen pandangan dalam tradisional ini. Di mana pada prinsipnya terdapat

dua gagasan utama perspektif ini, yakni (1) menyangkut pemisahan politik dan

administrasi, dan (2) administrasi publik seharusnya berusaha sekeras mungkin

untuk mencapai efisiensi dalam pelaksanaan tugasnya. Efisiensi ini dapat dicapai

melalui struktur organisasi yang terpadu dan bersifat hierarkis. Gagasan ini terus

berkembang melalui para pakar seperti (Taylor, 1923) dengan “scientific

management”, White (1926) dan (Willoughby,1927) yang mengembangkan

struktur organisasi yang sangat efisien, dan terakhir adalah pandangan (Gullick &

Urwick, 1937) yang sangat terkenal dengan akronimnya POSDCORB


47

Dengan mengacu pada dua gagasan utama tersebut, perspektif ini

menaruh perhatian pada fokus pemerintahan pada penyediaan layanan secara

langsung kepada masyarakat melalui badan-badan publik. Perspektif ini

berpandangan bahwa organisasi publik beroperasi paling efisien sebagai suatu

sistem tertutup sehingga keterlibatan warga negara dalam pemerintahan

dibatasi. Perspektif ini berpandangan pula bahwa peran utama administrator

publik dibatasi dengan tegas dalam bidang perencanaan, pengorganisasian,

pengelolaan pegawai, pengarahan, pengkoordinasian, pelaporan, dan

penganggaran.

Perspektif administrasi publik kedua adalah new public management,

yang pada dasarnya berusaha menggunakan pendekatan sektor swasta dan

bisnis ke dalam sektor publik. Perspektif new public management sering

disingkat dengan NPM ini, berbasis pada teori pilihan publik (public choice

theory), dukungan intelektual bagi perspektif ini berasal dari aliran kebijakan

publik (public policy schools) dan gerakan manajerialis (managerialism

movement). Aliran kebijakan publik dalam beberapa dekade memiliki akar yang

cukup kuat dalam ilmu ekonomi, sehingga analisis kebijakan dan para ahli yang

menggeluti evaluasi kebijakan terlatih dengan konsep market economics, costs

and benefit, dan rational models of choice. Selanjutnya aliran ini mulai

mengalihkan perhatiannya pada implementasi kebijakan, yang selanjutnya

mereka sebut public management, yang sebenarnya sinonim dengan public

administration (Denhardt & Denhardt 2003:12).

Dukungan intelektual dari managerialism movement berakar dari

pandangan bahwa keberhasilan sektor bisnis dan publik bergantung pada

kualitas dan profesionalisme para manajernya. Kemudian dapat dicapai melalui

produktivitas yang lebih besar, dan produktivitas ini dapat ditingkatkan melalui
48

disiplin yan ditegakkan oleh para manajer yang berorientasi efisiensi dan

produktivitas. Untuk memainkan peran penting ini, manajer harus diberi ”the

freedom to manage” dan bahkan ”the right to manage” (Denhardt & Denhardt,

2003).

Tabel 6. Matriks Paradigma Administrasi Publik

Old Public New Public


Aspek New Public Service
Administration Management
Dasar teoritis & Teori politik Teori ekonomi Teori demokrasi
fondasi
epistimologi
Rasionalitas & Rasionalitas synoptic Teknis & rasionalitas Rasionalitas strategis
model perilaku (administrative man) ekonomi (economic man) atau rasional formal
manusia (politik, ekonomi, &
organisasi)
Konsep Kepentingan publik Kepentingan publik Kepentingan publik
kepentingan publik secara politis mewakili agregasi adalah hasil dialog
dijelaskan & kepentingan individu berbagai nilai
diekspresikan dalam
aturan hukum
Responsivitas Clients & constituents Customer Citizen’s
birokrasi publik
Peran pemerintah Rowing Steering Serving
Pencapaian tujuan Badan pemerintah Organisasi privat & Koalisi antarorganisasi
nonprofit publik, nonprofit & privat
Akuntabilitas Hierarki administratif Bekerja sesuai dengan Multiaspek akuntabilitas
dengan jenjang yang kehendak pasar hukum, nilai-nilai,
tegas (keinginan pelanggan) komunitas, norma politik,
standar profesional
Diskresi Diskresi terbatas Diskresi diberikan secara Diskresi dibutuhkan tapi
luas dibatasi &
bertanggungjawab
Struktur organisasi Birokratik yang Desentralisasi organisasi Struktur kolaboratif
ditandai dengan dengan kontrol utama dengan kepemilikan yang
otoritas top-down berada pada para agen berbagi secara internal &
eksternal
Asumsi terhadap Gaji & keuntungan, Semangat entrepreneur Pelayanan publik dengan
motivasi pegawai & proteksi keinginan melayani
administrator masyarakat

Sumber: Denhardt dan Denhardt (2003:28)

Menurut Sumartono (2007:10), perspektif NPM dalam prakteknya,

sebagai gerakan manajerialis mempunyai pengaruh besar dalam reformasi


49

administrasi publik di berbagai negara maju, seperti Selandia Baru, Australia,

Inggris, dan Amerika Serikat. Di Inggris, reformasi administrasi publik dijalankan

sejak masa PM Margaret Thatcher. Di Amerika Serikat, gerakan ini mendapat

dukungan dan komitmen dari Al Gore, wakil presiden Amerika Serikat pada

tahun 1993, dengan konsepnya “work better and cost less” (Al Gore, 1993:22).

Kemudian dipopulerkan oleh Osborne dan Gaebler (1992) melalui karyanya

”reinventing government”. Gerakan ini menyebar keseluruh dunia sehingga

menjadi inspirasi utama di banyak negara dalam mereformasi administrasi publik

baik dengan melakukan privatisasi gaya Inggris ataupun gerakan

mewirausahakan birokrasi gaya Amerika Serikat.

Perspektif NPM ini menekankan pada penggunaan mekanisme dan

terminologi pasar (market based) yang memandang hubungan antara badan-

badan publik (pusat dan daerah) dengan pelanggannya (masyarakat) sebagai

layaknya transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli. Warga masyarakata

sebagai penerima manfaat ditempatkan sebagai costumer atau consumen.

Peran manajer publik berubah karena ditantang untuk selalu menemukan cara-

cara baru dan inovatif dalam mencapai tujuan atau menswastakan berbagai

fungsi yang semula dijalankan oleh pemerintah termasuk penyediaan barang

publik (public goods) dan pelayanan publik (public services).

Fungsi manajer publik untuk mengarahkan bukannya mengayuh (steering

not rowing), yang bermakna bahwa beban pelayanan publik tidak dijalankan

sendiri tetapi sebisa mungkin didorong untuk dijalankan oleh pihak lain melalui

mekanisme pasar. Dengan demikian manajer publik memusatkan perhatian pada

akuntabilitas pada pelanggan dan kinerja tinggi, restrukturisasi badan-badan

publik, mendefinisi ulang misi organisasi, menyederhanakan proses administrasi,

dan mendesentralisasi pembuatan keputusan.


50

Pemahaman yang lebih utuh tentang perspektif NPM ini dapat dilihat dari

pengalaman Amerika Serikat sebagaimana tertuang dalam sepuluh prinsip

reinventing government, karya Osborne dan Gaebler (1992). Inti dari prinsip-

prinsip tersebut sebagai berikut:

(1) Catalystic government: steering rather than rowing. Pemerintahan

entrepreneur berfungsi memisahkan pembuatan/penetapan keputusan

(steering) dengan peran pemberian pelayanan (rowing). Tugas-tugas

operasional harus dilakukan oleh staf pelaksana yang diberi kewenangan

untuk itu dan para pimpinan yang tidak dibebani tugas-tugas operasional

agar mereka dapat menjalankan tugas utamanya membuat keptusan.

(2) Community-owned government: empowering rather than serving.

Pemeritahan entrepreneur harus bekerjasama dengan atau melalu

masyarakat yaitu dengan memberdayakan masyarakat untuk

mengendalikan lingkungan dan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri

dantidak lagi menggantungkan pemberian pelayanan kepada birokrat atau

petugas profesional.

(3) Competitive government: injecting competition into service delivery.

Pemerintahan entrepreneur di dalam berperan sebagai penyedia

pelayanan harus dilakukan secara konpetitif misalnya harus lebih murah

dan lebih cepat agar pelanggan merasa puas. Monopoli pemerintah tidak

lagi tepat dan hanya dengan pemberian pelayanan yang kompetitif maka

pemerintahan akan lebih efisien, mendorong inovasi (innovation) dan

merevitalisasi lembaga-lembaga publik.

(4) Mission-driven government: transforming rule-driven organizatitions.

Pemerintah lebih mengutamakan perwujudan misi atau tujuan daripada

peran pengaturan, yang memiliki beberapa keunggulan yaitu lebih efisien,


51

lebih efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel dan lebih bersemangat tinggi

untuk mewujudkan misi dan tujuannya.

(5) Result oriented government: funding outcome, not inputs. Pemerintahan

lebih berorientasi pada hasil. Semua peningkatan dan penambahan

sumber-sumber harus diperhitungkan lebih matang agar hasil benar-benar

dapat dicapai, tidak sekedar memboroskan sumber-sumber secara

membabi buta.

(6) Customer-driven: meeting the needs of customer, not the bureaucracy.

Pemerintahan menciptakan sistem pelayanan yang ”ramah pelanggan” dan

sesuai dengan sebesar mungkin keinginan pelanggan secara holistik.

Sehingga pemerintah sebagai pemberi pelayanan selalu peka terhadap

kebutuhan dan keinginan pengguna pelayanan.

(7) Enterprising government: earning rather than spending. Pemerintahan

didorong untuk menggunakan prinsip-prinsip kewirausahawan yang

condong berusaha meningkatkan terus pendapatan yang kemudian bisa

ditabung untuk menambah investasi dengan cara lebih berorintasi pada

keuntungan melalui penggunaan teknik-teknik manajemen yang lebih

rasional.

(8) Anticipatory government: prevention rather than cure. Pemerintahan

diharuskan lebih preventif daripada kuratif antisipatif dan proaktif daripada

reaktif, berpandangan kedepan dalam proses pembuatan keptusan,

mengembangkan arah dan tujuan yang lebih strategis dan dinilai sangat

urgen.

(9) Decentralized government: from hierarchy to participation and team work.

Pemerintahan lebih mengedepankan desentralisasi karena lebih

memberikan kesempatan atau pemberdayaan yang dibawah untuk


52

mengembangkan kemampuannya, meningkatkan semangat kerja, lebih

mempunyai komitmen yang tinggi terhadap tugas dan organisasinya

daripada pemerintahan yang sentralistik.

(10) Market oriented government: leveraging change through the market.

Pemerintahan entrepreneur lebih berorientasi pada pasar daripada strategi

birokrasi yang bergaya komando. Sasarannya adalah menyusun dan

menstruktur pasar sedemikian rupa dengan mendesain ulang peraturan-

peraturan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan publik.

Walaupun kesepuluh prinsip pemerintahan entrepreneur tersebut telah

diterapkan secara luas diberbagai negara, tetapi pandangan Islamy (2003:53)

menganggap konsep tersebut mempunyai dua kelemahan besar, yaitu (1)

hubungan transaksional antara penyedia pelayanan dan pengguna pelayanan di

organisasi publik cenderung lebih kompleks dibandingkan dengan yang dihadapi

oleh pelanggan di pasar biasa atau normal; dan (2) para pelanggan di organisasi

publik tidak hanya sebagai ”konsumen” tetapi mereka juga adalah warga negara

yang tentu saja memiliki implikasi yang unik dalam proses transaksi tersebut.

Mengacu pada sepuluh prinsip tersebut, dimana diantaranya adalah

bahwa dalam perspektif new public management dianjurkan agar mengadopsi

nilai kompetisi dari sektor bisnis ke dalam manajemen sektor publik. Salah satu

konsep yang berbasis keunggulan berkompetisi adalah konsep inovasi, di mana

konsep ini lebih akrab dibahas dan dikembangkan di sektor bisnis.

Perspektif NPM, seperti halnya perspektif old public administration, tidak

hanya membawa teknik administrasi baru namun juga seperangkat nilai tertentu.

Masalahnya terletak pada nilai-nilai yang dikedepankan tersebut seperti efisiensi,

rasionalitas, produktivitas dan bisnis karena dapat bertentangan dengan nilai-

nilai kepentingan publik dan demokrasi. Jika pemerintahan dijalankan seperti


53

halnya bisnis dan pemerintah berperan mengarahkan tujuan pelayanan publik

maka pertanyaannya adalah siapakah sebenarnya pemilik dari kepentingan

publik dan pelayanan publik? Atas dasar pemikiran tersebut Denhardt dan

Denhardt memberikan kritik terhadap perspektif new public management

sebagaimana yang tertuang dalam kalimat “in our rush to steer, perhaps we are

forgetting who owns the boat.” (Denhardt dan Denhardt, 2003:23).

Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa pemilik kepentingan publik yang

sebenarnya adalah masyarakat maka para administrator publik seharusnya

memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan

warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan

publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang

dikedepankan, dan peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru

administrasi publik yang disebut sebagai new public service. Warga negara

seharusnya ditempatkan di depan, dan penekanan tidak seharusnya

membedakan antara mengarahkan dan mengayuh tetapi lebih pada bagaiamana

membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan responsivitas.

Pada intinya, perspektif baru ini merupakan “a set of idea about the role of public

administration in the governance system that place public service, democratic

governance, and civic engagement at the center.” (Denhardt dan denhardt,

2003:24).

Pemahaman lebih jauh mengenai perspektif new public service ini dapat

disimak dari tujuh dasar pengembangan pelayanan publik (Denhardt dan

Denhardt, 2003:42-43), yakni:

(1) Serve rather than steer. Meningkatnya peran birokrat yang dapat

membantu dan mengarahkan masyarakat untuk mengartikulasikan dan

saling membagi nilai daripada melakukan kontrol terhadap masyarakat.


54

Peran pemerintah bukan hanya sekedar membuat ketentuan dan

kebijakan, lebih dari itu bertindak dan melakukan negosiasi, fasilitasi dan

menjadi jembatan dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam

masyarakat (jika perlu bahkan melalui kerjasama antara sektor privat,

masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat).

(2) Kepentingan publik adalah tujuan, bukan hanya sekedar produk.

Administrator publik harus dapat membangun kepentingan publik.

Tujuannya bukan untuk menemukan solusi yang cepat melalui pilihan dan

preferensi individu, tetapi lebih dari itu harus menghasilkan shared interest

dan shared responsibility dalam masyarakat.

(3) Berfikir strategik dan bertindak demokratik. Kebijakan dan program akan

mencapai hasil yang efektif dan bertanggung jawab apabila dilakukan

melalui usaha-usaha kolektif dan proses yang kolaboratif antara

pemerintah dan masyarakat.

(4) Melayani masyarakat bukan pelanggan. Kepentingan publik merupakan

hasil dialog tentang shared values, bukan hanya merupakan agregasi

kepentingan individu. Karena itu, administrator publik bukan hanya bekerja

dalam rangka memberikan pelayanan kepada pelanggan, tetapi lebih

banyak berfokus pada upaya untuk membangun kepercayaan dan relasi

yang kolaboratif dengan dan diantara masyarakat.

(5) Akuntabilitas tidaklah sederhana. Administrator publik haruslah

memberikan perhatian lebih kepada masyarakat bukan hanya sebagai

pelanggan dalam sebuah pasar. Administrator publik harus berorientasi

pada hukum dan konstitusi, nilai-nilai komunitas, norma-norma politik,

standar profesional dan kepentingan masyarakat.


55

(6) Menghargai masyarakat dan bukan hanya produktivitas. Organisasi publik

dan jaringannya akan bekerja dalam jangka waktu yang panjang, jika ada

penghargaan yang tinggi terhadap proses yang kolaboratif dan nilai

kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan kepada

semua orang.

(7) Menghargai masyarakat dan pelayanan publik yang lebih tinggi daripada

kewirausahaan. Kepentingan publik dapat dikembangkan secara lebih baik

oleh administrator publik dan masyarakat daripada dilakukan oleh seorang

wirausaha. Karena sesungguhnya uang publik yang digunakan untuk

melayani masyarakat berasal dari uang yang dipungut dari masyarakat.

Pergeseran paradigma administrasi publik sebagaimana dipahami yakni

old public administration, new public management, dan new public service yang

dijelaskan oleh Denhardt dan Denhardt (2003), dapat juga dipahami melalui

pendapat Benington dan Hartley (2001) seperti dikutip Meehan (2003:6), bahwa

pemikiran administrasi publik telah bergeser dari traditional public administration

dan new public management ke model citizen-centered governance. Dimana

model citizen-centered governance oleh Denhardt dan Denhardt (2003)

disamakan dengan perspektif new public service dan networked governance oleh

Hartley (2005) serta post-managerial avenues oleh Vigoda-Gadot (2005). Baik

perspektif citizen-centered governance, new public service, networked

governance maupun perspektif post-managerial avenues pada prinsipnya

menempatkan masyarakat sipil (citizens) sebagai penentu strategi dari kebijakan

publik, serta penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan dengan

mengoptimalkan jejaring (network) dan kemitraan (partnership) dengan pihak di

luar pemerintah.
56

Pemahaman administrasi publik melalui citizen-centered model lebih

khusus dapat dipahami melalui kajian teori governance. Menurut Stoker (1998)

pemikir administrasi publik, dalam salah satu papernya yang dipublikasi oleh

UNESCO berjudul ”Governance as Theory: Five Propositions” menguraikan lima

proposisi dari governance sebagai sebuah teori yaitu:

(1) Governance refers to a set of institutions and actors that are drawn from but

also beyond governance;

(2) Governance identifies the blurring of boundaries and responsibilities for

tackling social and economic issues;

(3) Governance identifies the power dependence involved in the relationships

between institutions involved in collective action;

(4) Governance is about autonomus self-governing networks of actors;

(5) Governance recognizes the capacity to get things done which does not rest

on the power of government to command or use its authority. It sees

government as able to use new tools and techniques to steer and guide.

Melalui proposisi tersebut dapat dipahami bahwa makna governance

itu merujuk pada institusi dan aktor yang tidak hanya pemerintah, kaburnya

batas-batas dan tanggung jawab dalam mengatasi isu sosial dan ekonomi, dan

adanya ketergantungan dalam hubungan antara institusi yang terlibat dalam aksi

kolektif. Governance juga berkaitan dengan self-governing yang otonom dari

aktor-aktor lainnya dan memperbaiki sesuatu tidak perlu tergantung kekuasaan

pemerintah melalui perintah dan kewenangannya (Stoker, 1998:18).

Pandangan governance dari Stoker memiliki substansi yang relatif

sama dengan pendapat Rhodes (2007:3), bahwa ciri dari governance adalah

organisasi networks yang mana di dalamnya ada tuntutan pasar untuk saling
57

bertukar sumber daya sebagaimana akan dijelaskan berikut ini. Lebih lanjut

diuraikan karakteristik organisasi networks dalam teori governance, antara lain:

(1) Interdependensi antara organisasi. Konsep governance mencakup lingkup

yang lebih luas daripada konsep government, yang meliputi aktor-aktor

selain pemerintah seperti sektor swasta (private sector) dan masyarakat

madani (civil society);

(2) Interaksi terus-menerus antar organisasi yang terlibat dalam networks

dalam rangka pertukaran sumber daya dan negosiasi dalam berbagi

sumber daya;

(3) Interaksi seperti halnya permainan yang diikat dalam kepercayaan dan

negosiasi yang ditetapkan dan disetujui oleh masing-masing organisasi;

(4) Tidak ada kewenangan yang mutlak, networks mempunyai derajat yang

signifikan dengan otonomi setiap organisasi. Networks tidak bertanggung

jawab langsung (accountable) kepada pemerintah (negara) mereka

mengatur dirinya sendiri tetapi negara dapat mengaturnya secara tidak

langsung dan tidak sepenuhnya.

2.3. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah

Menurut Bank Dunia seperti yang dikutip oleh Wasistiono (2010:32)

bahwa dari dua puluh negara yang menjadi mitrakerja dalam desentralisasi,

Indonesia termasuk negara yang melaksanakan ”dentuman besar desentralisasi”

atau ”big bang decentralization”. Dikatakan melaksanakan dentuman besar atau

bahkan revolusi desentralisasi, karena melakukan transfer kewenangan dan

tanggung jawab publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dengan

dimensi yang sangat luas. Ini tampak dari luasnya urusan pemerintahan yang

dilaksanakan oleh daerah otonom sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun


58

2004 tentang Pemerintahan Daerah dan ditindaklanjuti melalui PP No. 38 Tahun

2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Secara teoritis dan empiris, setiap organisasi termasuk negara, selalu

menganut asas sentralisasi sejak kelahirannya sampai akhir hayatnya. Namun,

organisasi yang besar dan sangat rumit tidak mungkin hanya diselenggarakan

dengan asas sentralisasi. Sekiranya hanya dianut asas tersebut, niscaya

penyelenggaraan berbagai fungsi yang dimiliki oleh organisasi tersebut tidak

sepenuhnya efektif. Oleh karena itu, diperlukan juga asas desentralisasi.

Menurut Hoessein (2009: 102) kedua asas tersebut (sentralisasi dan

desentralisasi) tidak dikotomis, tetapi berupa kontinuum. Organisasi yang besar

dapat memilih salah satu diantara dua alternatif tersebut. Tetapi organisasi

negara yang besar harus memilih alternatif yang ketiga: sentralisasi dan

desentralisasi bagi organisasi negara. Sentralisasi berperan untuk menciptakan

keseragaman dalam penyelenggaraan berbagai fungsi organisasi, sedangkan

desentralisasi berperan menciptakan keberagaman dalam penyelenggaraan

berbagai fungsi sesuai dengan keberagaman kondisi masyarakat.

Selanjutnya Hoessein (2009) juga menyatakan bahwa penyelenggaraan

asas desentralisasi selalu oleh asas sentralisasi. Dalam tataran organisasi

negara dibedakan penyelenggara desentralisasi dalam negara kesatuan dan

negara federal. Dalam negara kesatuan, desentralisasi diselenggarakan oleh

pemerintah (pusat), sedangkan dalam negara federal, desentralisasi

diselenggarakan oleh (pemerintah) negara bagian.

Mengkaji desentralisasi pada dasarnya harus dipahami bahwa tidak ada

teori tunggal tentang desentralisasi. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Smith

(1985:18) yang menggunakan istilah decentralization in theory dan bukan theory


59

of decentralization yang menjadi judul bab dua dalam salah satu bukunya. Bab

ini lebih pada penafsiran teori-teori sosial terhadap desentralisasi, bukan

membahas secara khusus mengenai teori desentralisasi. Perspektif teori-teori

sosial yang dibahas oleh Smith meliputi liberal democracy theory, public choice

theory (economic interpretation), dan Marxist theory.

Teori demokrasi liberal (liberal democracy theory) memberikan dukungan

bagi desentralisasi karena mampu mendukung demokrasi pada dua tingkatan.

Pertama, memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi nasional

karena local government itu mampu menjadi sarana pendidikan politik rakyat dan

memberikan pelatihan bagi kepemimpinan politik, serta mendukung penciptaan

stabilitas politik. Lebih jelasnya pendapat Hoessein yang dikutip oleh Muluk

(2007:2), mengungkapkan bahwa dalam konsep otonomi terkandung kebebasan

untuk berprakarsa dalam mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat

yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung dari pemerintah pusat.

Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi sangatlah erat.

Kedua, konsep local government mampu memberikan manfaat bagi

masyarakat setempat (locality). Penjelasan Hoessein seperti yang dikutip oleh

Muluk (2007:2), mengingatkan bahwa local government dan local autonomy tidak

dicerna sebagai daerah atau pemerintah setempat tetapi merupakan masyarakat

setempat. Urusan dan kepentingan yang menjadi perhatian keduanya bersifat

lokalitas karena basis politiknya adalah lokalitas bukan bangsa.

Penafsiran teori pilihan publik (public choice theory) tentang

desentralisasi menunjukkan adanya dukungan ahli ekonomi. Dalam teori ini, para

ahli menganggap bahwa desentralisasi merupakan media yang penting guna

meningkatkan kesejahteraan pribadi. Dalam economic interpretation mengenai


60

teori pilihan publik, desentralisasi dimaknai secara instrumental atau medium

penting dalam meningkatkan kesejahteraan pribadi melalui pilihan publik.

Menurut perspektif ini, manfaat yang dapat dipetik dari local government,

yaitu pertama, adanya daya tanggap publik (pemerintah daerah) terhadap

preferensi individual (public responsiveness to individual preferences). Kedua,

local government memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan akan

barang-barang publik (demand for public goods). Desentralisasi meningkatkan

unit-unit pemerintahan dan derajat spesialisasi fungsinya sehingga meningkatkan

kemampuan pemerintah dalam memenuhi permintaan publik. Hal ini untuk

mengatasi kesulitan dalam mengetahui preferensi masyarakat, karena adanya

relasi yang rumit antara barang, harga, pajak, pemilihan dan preferensi politik,

partisipasi, dan kepemimpinan.

Ketiga, desentralisasi mampu memberikan kepuasan yang lebih baik

dalam menyediakan penawaran barang-barang publik (supply of public goods).

Terdapat banyak persoalan jika penyediaan pelayanan dan barang publik

diselenggarakan secara tersentralisasi. Semakin besar organisasinya maka

semakin besar pula kecenderungan untuk memberi pelayanan. Semakin

monopolistis suatu pemerintah maka semakin kecil insentif dan inovatifnya.

Berdasarkan teori, yurisdiksi yang terfragmentasi akan memberikan kepuasan

kepada konsumen daripada kewenangan yang terkonsolidasi. Desentralisasi

akan memberikan peluang antaryurisdiksi yang berbeda untuk bersaing dalam

memberikan kepuasan kepada publik atas penyediaan barang dan layanan.

Desentralisasi dalam perspektif Marxist, ditafsirkan bahwa desentralisasi

mengakibatkan adanya negara pada tingkat lokal. Para pendukung perspektif ini,

menempatkan desentralisasi sebagai objek dialektika hubungan antarsusunan

pemerintahan dan menuduh bahwa desentralisasi tidak mampu menciptakan


61

kondisi demokratis di tingkat lokal karena terhambat oleh faktor ekonomi, politik,

dan ekologi. Pandangan Marxist tampaknya masih cenderung melihat negara

sebagai satu kesatuan dan tidak perlu dipisah-pisah antarwilayah geografisnya.

Adapun alasan-alasan ketidakpercayaan kelompak Marxist terhadap

desentralisasi, antara lain karena (1) desentralisasi akan melahirkan akumulasi

modal pada tingkat lokal; (2) desentralisasi akan memengaruhi konsumsi kolektif

sehingga akan dipolitisasi; (3) lembaga perwakilan dalam demokrasi lokal tetap

dikuasai oleh kaum kapitalis; (4) pemerintah lokal hanya menjadi perpenjangan

tangan pemerintah pusat dalam menjaga kepentingan monopoly capital; (5)

adanya rintangan politik, ekonomi, dan ekologis yang menyebabkan kegagalan

demokrasi lokal. Untuk itu kelima rintangan atau kelemahan desentralisasi ini,

hanya dapat diatasi oleh sentralisasi yang bertujuan untuk redistribusi dan

keadilan.

Desentralisasi dalam konteks penataan organisasi perangkat daerah,

tampaknya harus dimaknai dalam perspektif liberal democracy dan economic

interpretation. Di mana dalam menata organisasi perangkat daerah harus

berbasis locality. Menurut perspektif demokrasi liberal, upaya-upaya dalam

mengatur kelembagaan pemerintah daerah harus didasari oleh prakarsa atas

aspirasi masyarakat lokal (local choice dan local voice). Sehingga pengaturan

terhadap kelembagaan pemerintah daerah tetap dalam kerangka membangun

local democracy.

Kemudian dalam perspektif economic interpretation, individu senantiasa

berusaha meningkatkan kesejahteraan pribadinya melalui pilihan yang rasional.

Olehnya itu, penataan organisasi perangkat daerah harus diarahkan dalam

rangka menciptakan local government yang memiliki daya tanggap terhadap

preferensi individu, memiliki kemampuan dalam memenuhi permintaan akan


62

barang dan pelayanan, dan juga diarahkan pada penciptaan local government

yang mampu memberikan kepuasan yang lebih dalam menyediakan penawaran

barang-barang publik dan pelayanan.

Secara konseptual, desentralisasi dipandang oleh pakar administrasi

publik sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Menurut Fesler

dan Leemans seperti dikutip dalam Hoessein (2000:12), memaparkan bahwa

tujuan-tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi merupakan nilai-nilai dari

komunitas politik yang dapat berupa kesatuan bangsa (national unity),

pemerintahan demokrasi (democratic government), kemandirian sebagai

penjelmaan dari otonomi, efisiensi administrasi, dan pembangunan sosial

ekonomi. Tujuan tersebut biasanya tercantum dalam kebijakan nasional,

peraturan perundang-undangan dan/atau pernyataan politik para elit nasional

mengenai desentralisasi dan otonomi daerah.

Mengingat beragamnya tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi,

maka tiap negara kerapkali membuat skala prioritas tujuan desentralisasi. Oleh

karena itu, terdapat variasi mengenai skala prioritas antarnegara dan bahkan

antar kurun waktu dalam suatu negara sebagai hasil kekuatan-kekuatan yang

berpengaruh. Hasil kajian lintas negara oleh Hoessein (2000:14) dijelaskan

bahwa pemilihan skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi di berbagai

negara acapkali berpasangan dengan kesatuan bangsa, sedangkan pemilihan

skala prioritas tujuan desentralisasi pada demokrasi berpasangan dengan

kemandirian.

Demikian hanya, Halligan dan Aulich seperti dikutip Hoessein (2000:12)

mengajukan dua model pemerintahan daerah, yakni: (1) model local democracy

yang menekankan pada nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai lokal (democratic and

locallity values); (2) model efisiensi struktural (structural efficiency) yang


63

menekankan pentingnya pemberian pelayanan secara efisien kepada

masyarakat lokal (efficient distribution of services to local communities).

Kedua model pemerintahan tersebut, dijelaskan oleh Hoessein (2000:13)

model demokrasi yang menurutnya mempunyai sejumlah nilai, yakni:

(1) Pemerintahan daerah didasarkan atas kepercayaan adanya nilai dalam

penyebaran kekuasaan dan keterlibatan berbagai pengambil keputusan

didaerah;

(2) Pandangan mengenai kekuatan dalam keanekaragaman sebagai tanggap

terhadap kemajemukan tuntutan;

(3) Pemerintahan daerah bersifat lokal yang dapat memfasilitasi akses dan

tanggap masyarakat setempat, karena pemerintahan tersebut dekat

dengan masyarakat;

(4) Penyebaran kekuasaan merupakan nilai yang fundamental dan

pemerintahan daerah yang terdiri atas lembaga-lembaga yang didasarkan

atas pemilihan dapat mewakili penyebaran kekuasaan politik yang absah

dalam masyarakat.

Demikian halnya model efisiensi struktural, Hoessein (2000:14)

mengungkap analisisnya terhadap konsekuensi yang lebih rinci dari pemilihan

skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi terhadap struktur dan proses

pemerintahan daerah, yakni:

(1) Terjadi kecenderungan untuk memangkas susunan daerah otonom;

(2) Terjadi kecenderungan mengorbankan demokrasi dengan cara membatasi

peran dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai lembaga

pembuat kebijakan dan lembaga kontrol;

(3) Kecenderungan keengganan pusat untuk menyerahkan wewenang dan

diskresi yang lebih besar kepada daerah otonom;


64

(4) Kecenderungan mengutamakan dekonsentrasi daripada desentralisasi;

(5) Terjadi semacam paradoks, di satu sisi efisiensi memerlukan wilayah dari

daerah otonom yang luas untuk memungkinkan tersedianya sumber daya

yang lebih mendukung bagi roda pemerintahan daerah, namun pada sisi

lain daerah otonom yang berwilayah luas dikhawatirkan berpotensi menjadi

gerakan separatisme.

Pendapat yang sejalan dengan dua model pemerintahan daerah di atas,

dikemukakan oleh James Manor seperti dikutip oleh Ratnawati (2003:79). James

Manor berpendapat bahwa ada dua perbedaan besar cara pandang terhadap

desentralisasi, yakni: Pertama cara pandang administratif yang lebih

mengedepankan persepsi ”pusat” memiliki asumsi antara lain: (1) kemajemukan

ditingkat lokal menuntut pendekatan yang fleksibel terhadap wilayah yang

berbeda dan desentralisasi yang demokratik dapat menfasilitasi perencanaan

yang efektif dan sekaligus implementasinya ditingkat lokal; (2) desentralisasi

yang demokratik merupakan saluran patronase untuk mendapatkan dukungan

politik kepada rejim yang berkuasa di tingkat pusat maupun lokal; (3) untuk

mencegah ketidakpuasan regional dan gerakan separatis, pemberian otonomi

perlu dilakukan; (4) tanggung jawab pemberian pelayanan (sumber-sumber

pendapatan) dapat dialihkan ke bawah melalui desentralisasi untuk meringankan

beban pemerintah pusat.

Kedua, cara pandang demokratik yang melihat kekuatan lokal sebagai

positive resources untuk pencapaian tujuan bersama. Rincian cara pandang

kedua ini, antara lain: (1) masyarakat grass roots yang memahami kekhususan

daerahnya seharusnya memiliki kontrol nyata atas bagaimana kebijakan negara

diformulasikan dan dilaksanakan; (2) dukungan kepada rejim dari grass roots

paling baik digerakkan melalui mekanisme pertanggungjawaban dan pemerintah


65

seharusnya bertanggung jawab atau dekat pada masyarakat lokal; (3)

kemajemukan geografis budaya dapat diakomodasi melalui desentralisasi

demokratik; (4) jasa pelayanan yang dibiayai lokal lebih efektif disediakan ketika

masyarakat lokal dapat mempengaruhi proses.

Adapun bentuk-bentuk desentralisasi menurut Turner dan Hulme

(1997:153), dapat dibedakan atas dasar pelimpahan (basis of delegation) dan

sifat pelimpahan (nature of delegation) suatu kewenangan. Secara lengkap,

bentuk desentralisasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 bagian berikut ini.

Tabel 7. Bentuk-Bentuk Desentralisasi versi Turner dan Hulme

Basis for Delegation


Nature of Delegation
Territorial Functional
Within formal political Devolution (political decentralization, Interest group
structures local government, democratic
decentralization) Representation

Within public Deconcentration (administrative Establishment of


administrative decentralization, field administration) parastatals
or parastatal structures and guangos

From state sector to Privatization of devolved Privatization of national


private sector functions (deregulation, functions (divestiture,
contracting out, voucher deregulation, economic
schemes) liberalization)

Sumber: Turner & Hulme (1997:153)

Dalam perspektif Rondinelli dan Cheema (1983:13-16) menguraikan

dasar pemikiran (rationale) atau alasan-alasan rasional lahirnya pilihan atas

kebijakan desentralisasi, antara lain:

(1) Desentralisasi dapat mengatasi keterbatasan pemerintah pusat dalam hal

menyusun dan menyesuaikan rencana serta program pembangunan


66

dengan kebutuhan-kebutuhan wilayah lokal dan kelompok yang

heterogen.

(2) Mampu memotong sejumlah besar red tape dan prosedur yang rumit

sebagai karakteristik perencanaan dan manajemen yang terpusat dan

adanya over concentration kekuasaan serta sumber-sumber di pusat.

(3) Hubungan yang lebih dekat antara pejabat pemerintahan lokal dan

masyarakat setempat, memungkinkan keduanya untuk mendapatkan

informasi yang lebih baik guna memformulasi perencanaan atau program

yang lebih realistik dan efektif.

(4) Desentralisasi menjadi penetrasi politik dan administrasi, karena

dukungan elit lokal dan masyarakat seringkali lemah terhadap rencana

pembangunan nasional.

(5) Dalam pembuatan keputusan dan alokasi sumber-sumber, desentralisasi

memungkinkan keterwakilan yang lebih besar dari bermacam-macam

kelompok politik, agama, etnis, dan suku.

(6) Desentralisasi memberikan kesempatan kepada pejabat-pejabat

setempat untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan manajerial dan

teknis. Dengan desentralisasi juga dapat meningkatkan kemampuan

pejabat-pejabat tersebut untuk menangani urusan-urusan yang biasanya

tidak ditangani secara baik oleh departemen pusat, seperti pemeliharaan

jalan dan infrastruktur yang jauh dari ibukota negara.

(7) Efisiensi dari pemerintah pusat meningkat karena membebaskan pejabat-

pejabat pusat dari tugas-tugas rutin, di mana tugas-tugas tersebut bisa

dilaksanakan secara lebih efektif oleh petugas lapangan atau pejabat-

pejabat lokal.
67

(8) Desentralisasi memungkinkan koordinasi yang lebih efektif antara

pemerintah pusat, pemerintah lokal, dan organisasi nonpemerintah

(NGO) untuk lebih fleksibel, inovatif dan kreatif dalam membuat

kebijakan-kebijakan dan program-program baru dengan melokalisir pada

tempat-tempat tertentu.

(9) Desentralisasi dapat melembagakan partisipasi masyarakat dalam

perencanaan dan manajemen pembangunan secara umum, serta struktur

pemerintahan yang terdesentralisasi memfasilitasi pertukaran informasi

tentang kebutuhan-kebutuhan lokal.

(10) Menjadi alternatif pembuatan keputusan, karena pemerintah pusat

seringkali tidak sensitif terhadap kebutuhan kelompok masyarakat miskin.

(11) Menghasilkan fleksibel, inovatif dan kreatif dalam pemerintahan. Unit-unit

pemerintahan dapat secara leluasa melakukan inovasi dan

bereksperimen dalam berbagai kebijakan dan program.

(12) Desentralisasi memungkinkan fungsi-fungsi manajemen dan

perencanaan pembangunan dapat lebih efektif dilakukan oleh masyarakat

lokal sendiri.

(13) Desentralisasi dapat meningkatkan stabilitas politik, karena kelompok-

kelompok masyarakat (stakeholders) yang berbeda-beda dapat terlibat

secara langsung dalam pembuatan keputusan.

(14) Desentralisasi dapat meningkatkan sejumlah efisiensi dalam penyediaan

pelayanan dan barang publik (public goods and services).

Kemudian Rondinelli dan Cheema (1983:18-25) juga mengidentifikasi

adanya empat jenis desentralisasi sebagai berikut:


68

(1) Dekonsentrasi (deconsentration), yaitu penyerahan sejumlah kewenangan

atau tanggung jawab administrasi kepada tingkatan yang lebih rendah

dalam kementerian atau badan pemerintah;

(2) Delegasi (delegation to semi-autonomous or parastatal organizations),

yaitu transfer tanggung jawab untuk fungsi-fungsi secara rinci yang

digambarkan pada organisasi-organisasi di luar struktur birokratis yang

reguler dan hanya secara tidak langsung dikendalikan oleh pemerintah

pusat;

(3) Devolusi (devolution), yaitu pembentukan dan penguatan unit-unit

pemerintahan sub-nasional dengan aktivitas yang secara substansial

berada di luar kontrol pemerintah pusat; dan

(4) Privatisasi (transfer of functions from government to non-government

institutions), yaitu memberikan semua tanggung jawab atas fungsi-fungsi

kepada organisasi non pemerintah (NGO) atau perusahaan swasta yang

independen dari pemerintah.

Pandangan lainnya menurut Rondinelli dan Cheema (1983:22), bahwa

desentralisasi dalam bentuk yang murni (devolution) mempunyai karakteristik

mendasar, sebagai berikut:

(1) Unit-unit pemerintahan setempat bersifat otonom, mandiri, dan jelas-jelas

sebagai unit pemerintahan bertingkat yang terpisah dari pusat. Pusat

melakukan sedikit atau tanpa kontrol langsung oleh pusat terhadap unit-unit

tersebut;

(2) Pemerintah daerah mempunyai batas-batas geografis yang jelas dan diakui

secara hukum di mana mereka menggunakan kekuasaan dan menjalankan

fungsi-fungsi publik;
69

(3) Pemerintah daerah mempunyai status dan kekuasaan mengamankan

sumber-sumber untuk menjalankan fungsi-fungsinya;

(4) Implikasi desentralisasi adalah kebutuhan mengembangkan pemerintahan

lokal sebagai institusi, yang dilihat warga setempat sebagai organisasi yang

memberikan pelayanan dan sebagai unit pemerintahan yang mempunyai

pengaruh;

(5) Dengan desetralisasi berarti ada hubungan timbal balik, saling

menguntungkan dan hubungan yang terkoordinasikan antara pemerintah

pusat dengan pemerintahan daerah.

Pemerintahan daerah (local government) menurut United Nations yang

dikutip oleh Meenakshisundaram dalam Jha dan Mathur (1999:58) adalah suatu

sub-devisi politik pada suatu bangsa (dalam suatu negara federal di AS), yang

dibentuk atas hukum dan memiliki kewenangan penuh atas urusan lokal

termasuk dalam menarik pajak dan penggunaan tenaga kerja lokal untuk tujuan

tertentu dan pejabat pemerintahan ditentukan melalui pemilihan.

Muthalib dan Khan (1982:2-18), menjelaskan secara komprehensif

pemahaman tentang arti dari konsep local government. Dinyatakan bahwa

secara konseptual local government harus dimaknai secara multi-dimensional.

Makna multi-dimensional tersebut meliputi: (1) dimensi sosial (social dimension);

(2) dimensi ekonomi (economic dimension); (3) dimensi geografis (geografic

dimension); (4) dimensi hukum (legal dimension); (5) dimensi politik (political

dimension); dan (6) dimensi administasi (administrative dimension).

Terkait dengan hal tersebut, Muthalib dan Khan (1982:29-51) juga

mengemukakan kebutuhan terhadap pembangunan desentralisasi (need for

decentralised development). Kebutuhan terhadap pembangunan desentralisasi

bersinggunngan dengan adanya empat fungsi yang dimilikinya, yakni (1)


70

pembangunan desentralisasi akan meningkatkan partisipasi warga lokal; (2)

mempercepat pembangunan ekonomi lokal; (3) terjadinya transformasi sosial di

tingkat lokal; dan (4) pembangunan desentralisasi menciptakan pemerataan

hasil-hasil pembangunan.

Selanjutnya, menurut Meenakshisundaram seperti dikutip oleh Jha dan

Mathur (1999:60) menguraikan beberapa peran pemerintahan daerah (the role of

local government) yang dapat ditemukan dalam sistem pemerintahan yang

terdesentralisasi. Peran pemerintahan daerah yang dimaksud, sebagai berikut:

(1) Menjadi senjata efektif dalam menghadapi tekanan lokal dengan

menampung dan mengartikulasikan kepentingan lokal, menjadi media

pendidikan politik bagi masyarakat yang merasakan langsung pelaksanaan

fungsi pemerintahan;

(2) Karena kedekatannya secara lokasi, dalam hal penyediaan pelayanan jasa

dapat berlangsung lebih efisien;

(3) Perencanaan dapat lebih baik karena lebih mengetahui kondisi lokalnya,

dengan penggunaan tenaga lokal yang lebih efisien pula;

(4) Pejabat pemerintah bertanggung jawab lebih baik karena hubungan

dengan publik lebih dekat;

(5) Pemerintah daerah dapat menjadi medium komunikasi efektif antara pusat

dengan masyarakat lokal terkait dengan program pemerintah pusat di

daerah.

Pada hakekatnya desentralisasi adalah mengotonomikan suatu

masyarakat yang berada dalam teritorial tertentu. Sesuai dengan arahan

konstitusi pengotonomian tersebut dilakukan dengan menjadikan masyarakat

tersebut sebagai provinsi, kabupaten dan kota. Di samping itu desentralisasi juga

merupakan penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan bagi provinsi,


71

kebupaten dan kota. Dalam kerangka hukum selama ini pengertian

desentralisasi hanya menonjolkan aspek penyerahan urusan pemerintahan saja

(Hoessein, 2005:66).

Pada Gambar 1 diperlihatkan bahwa desentralisasi yang terjadi hanya

berupa penyerahan wewenang yang menjadi kompetensi pemerintah (presiden

dan para menteri). Jadi pada dasarnya desentralisasi hanya bersumber dari

presiden dan para menteri. Tidak ada penyerahan wewenang dari lembaga-

lembaga tinggi negara lain. Tidak ada yang bersumber dari institusi MA, kecuali

untuk kasus provinsi Nangruh Aceh Darussalam, tidak ada penyerahan

wewenang dari DPR apalagi MPR.

MPR

BPK DPR MK MA

P
PEMERINTAH

MENTERI

DESENTRALISASI

ELECTED POLICY DAERAH


DPRD OFFICIALS MAKER OTONOM

PENGATURAN KDH

APPOINTED
PENGAWASAN
OFFICIALS
BIROKRASI
DAERAH
(PERANGKAT
POLICY DAERAH)
PENGURUSAN EXECUTIVE

Gambar 1. Jalur Penyerahan Urusan Pemerintahan


Sumber: Hoessein, et al. (2005:66)
72

Bahwasanya selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang

sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya

dekonsentrasi. Tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan yang

diselenggarakan sepenuhnya secara desentralisasi. Urusan pemerintahan yang

menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara

lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi. Urusan yang

mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat (lokalitas)

diselenggarakan secara desentralisasi.

Pembagian urusan pemerintahan, berangkat dari sebuah diktum tidak

mungkin urusan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100%

desentralisasi dalam satu negara bangsa. Terdapat urusan pemerintahan yang

sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah

yakni: (1) politik luar negeri; (2) pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisia; (5)

moneter dan fiskal nasional; dan (6) agama. Di luar urusan-urusan pemerintahan

tersebut, pada prinsipnya urusan pemerintahan terpola menjadi dua bagian

yakni: (1) urusan yang dapat didesentralisasikan; dan (2) urusan pemerintahan

yang tidak dapat diselenggarakan secara terdesentralisasi.

Urusan pemerintahan yang dapat didesentralisasikan terbagi atas: (1)

urusan yang 100% memungkinkan didesentralisasikan yang terbagi atas: (a)

menurut prakarsa sendiri; dan (b) yang diwajibkan oleh peraturan perundang-

undangan. Keduanya atas dasar local needs; (2) urusan yang dapat

didesentralisasikan masih terdapat kemungkinan dilakukan oleh pemerintah

karena berbagai hal tidak memungkinkan 100 persen didesentralisasikan. Oleh

karena itu, terdapat kemungkinan sentralisasi pada urusan seperti ini sehingga

dapat dilakukan melalui (a) medebewind (tugas pembantuan); (b) sentralisasi


73

murni; dan (c) dekonsentrasi tergantung pada skala ekonomi (efisiensi),

eksternalitas, lokalitas, dan catchment area.

Penjelasan terhadap kriteria-kriteria dalam distribusi urusan pemerintahan

yang disebutkan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, ekternalitas (spill-

over) yaitu siapa kena dampak, mereka yang berwenang mengurus. Pendekatan

dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak

atau akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan tersebut. Apabila

dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut

menjadi kewenangan kabupaten/kota. Bila dampaknya bersifat regional menjadi

kewenangan provinsi dan bila bersifat nasional menjadi kewenangan pusat.

Kedua, akuntabilitas yaitu pendekatan dalam pembagian urusan

pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang

menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih

langsung atau dekat dengan dampak atau akibat dari urusan yang ditangani

tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan

pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.

Ketiga, efisiensi yakni otonomi daerah harus mampu menciptakan

pelayanan publik yang efisien dan mencegah high cost economy. Efisiensi

dicapai melalui skala ekonomis (economic of scale) pelayanan publik. Skala

ekonomis dapat dicapai melalui cakupan pelayanan yang optimal. Pendekatan ini

dengan pertimbangan bahwa apabila suatu urusan dalam penanganannya

dipastikan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dilaksanakan oleh suatu

strata pemerintahan, maka strata pemerintahan itulah yang lebih tepat untuk

menangani urusan pemerintahan dimaksud. Daya guna dan hasil guna dapat

diukur dari proses yang lebih cepat, tepat, dan murah, serta hasil dan

manfaatnya lebih besar, luas, dan banyak dengan resiko yang minimal.
74

Berkaitan dengan sistematika distribusi fungsi atau wewenang dalam

rangka desentralisasi dapat dilacak dalam tulisan Conyers (1986:88-100) yang

berjudul Decentralization and Development: a Framework for Analysis. dalam

tulisan tersebut Conyers mengungkap beberapa hal yang perlu dipertimbangkan

dalam distribusi fungsi atau kewenangan.

Pertimbangan-pertimbangan dalam distribusi fungsi atau kewenangan

menurut Conyers tersebut, meliputi:

(1) The functional activities over which authority is transferred;

(2) The type of authority or powers which are transferred with respect of each

functional activity;

(3) The levels or areas to which such authority is transferred;

(4) The individual, organisation or agency to which authority is transferred at

each level; dan

(5) The legal or administrative means by which authority is transferred.

Pemahaman lebih lengkap tentang distribusi fungsi atau wewenang dapat

dilihat penjelasan Muluk (2007:19) sebagaimana diuraikan berikut ini. Pertama,

menyangkut aktivitas fungsional apa yang perlu di desentralisasi. Komponen ini

meliputi keseluruhan fungsi, kecuali fungsi yang penting bagi kesatuan nasional,

beberapa kategori fungsi, atau fungsi tunggal saja. Dalam hal ini, tampaknya

distribusi fungsi yang terjadi di Indonesia menurut UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah adalah mengikuti cara yang pertama, yakni

menyangkut keseluruhan fungsi, kecuali aktivitas yang penting bagi kesatuan

nasional. Fungsi atau wewenang yang dikecualikan tersebut seperti yang tertera

dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat 3, yaitu: (1) politik luar negeri; (2)

pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisia; (5) moneter dan fiskal nasional; dan (6)

agama.
75

Kedua, tentang kekuasaan apa saja yang perlu dilekatkan dalam aktivitas

atau fungsi yang didesentralisasi. Dalam hal ini ada tiga kategori kekuasan yakni:

(1) kekuasaan dalam pembuatan kebijakan yang dibagi lagi dalam kekuasaan

mengatur (policy making) dan mengurus (policy executing); (2) kekuasaan

keuangan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran; dan (3)

kekuasaan dalam bidang kepegawaian yang berhubungan dengan kekuasaan

menentukan prasyarat, penetapan, penunjukan, pemindahan, pengawasan dan

penegakan disiplin.

Ketiga, menyangkut desentralisasi kekuasaan pada tingkat tertentu yang

mencakup tiga tingkatan, yakni: (1) pada tingkatan wilayah (regions), provinsi

atau negara bagian; (2) tingkatan distrik atau kabupaten dan kota; (3) tingkatan

desa atau masyarakat. Kebijakan desentraliisasi di Indonesia yang mengacu

pada UU No. 32 Tahun 2004, kelihatannya tidak lagi merujuk pada istilah

tingkatan karena hubungan antara provinsi dan daerah lainnya kini bersifat

coordinate dan independent.

Keempat, terkait dengan kepada siapa distribusi fungsi diberikan, ada

dua pilihan mendistribusikan kekuasaan, yakni: (1) kepada badan fungsional

khusus yang biasanya menjalankan fungsi tertentu saja (specialized functional

agency); dan (2) kepada badan berbasis wilayah yang menjalankan beragam

fungsi (multi-purpose territorially agency). Di Indonesia kebijakan desentralisasi

yang dianut mengacu pada distribusi fungsi jenis yang kedua, yaitu multi-purpose

territorially agency ketika daerah menjalankan banyak fungsi dan berupa badan

yang berbasis teritorial.

Kelima, menyangkut cara fungsi atau wewenang di desentralisasikan.

Dalam hal bagaimana cara fungsi atau wewenang di desentralisasikan, terdapat

dua cara yakni: (1) legislasi; dan (2) delegasi administrasi. Cara pertama yaitu
76

legislasi dibagi menjadi constitutional legislation berlaku di negara federal seperti

Amerika Serikat dan ordinary legislation berlaku di negara kesatuan seperti

Indonesia. Ilustrasi alur pembagian dan distribusi urusan-urusan pemerintahan

sebagaimana diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 38 Tahun 2007

dapat disimak pada Gambar 2 di bagian berikut ini.

Gambar 2. Bagan Pembagian Urusan-urusan Pemerintahan

Sumber: Hoessein, et al (2005:71)

2.4. Manajemen Pemerintahan Daerah

Memahami berbagai isu dalam menajemen pemerintahan daerah menjadi

sangat penting dalam mengkaji lebih dalam tentang inovasi yang dipraktekkan

oleh suatu pemerintahan daerah. Watson dan Hasset (2003) menyunting sebuah
77

buku berjudul Local Government Management: Current Issues and Best

Practices. Dalam buku ini, Watson dan Hasset menampilkan beragam tulisan

dari banyak ahli administrasi publik. Beragam tulisan tersebut diklasifikasi dalam

beberapa bagian yang merupakan aspek penting yang harus dipahami dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berbagai aspek yang dimaksud meliputi:

(1) hubungan antara pejabat yang dipilih (elected officials) dan pegawai

profesional (professional staff); (2) manajemen keuangan dan anggaran

(budgeting and financial management); (3) manajemen aparatur publik (public

personnel management); (4) pemerintahan daerah yang lebih produktif dan

responsif (local government more productive and responsive); dan (5) partisipasi

warga dalam pemerintahan daerah (citizen involvement for participation).

Bagian pertama berkaitan dengan aspek hubungan pejabat yang dipilih

(elected officials) dan pegawai profesional (proffesional staff) dalam

pemerintahan daerah, pada dasarnya masih kental dengan pemikiran dikotomi

antara politik-administrasi (policy-administration dichotomy) lihat Watson dan

Hassett (2003:1-3). Dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia, yang

disebut sebagai elected officials adalah anggota DPRD dan Kepala Daerah dan

professional staff adalah para pegawai yang diseleksi (selected staff) yang

mengisi organisasi perangkat daerah (local bureaucracy).

Pada bagian pertama ini terdapat beragam pandangan terhadap relasi

pejabat yang dipilih dan pegawai profesional dalam pemerintahan daerah.

dengan tegas menyatakan bahwa ”the manager is a politician”, karena peran

utama yang dimainkannya sebagai pemimpin politik dan pemimpin masyarakat.

Juga memiliki pengaruh kuat dalam masalah-masalah anggaran, keputusan-

keputusan aparatur, dan kemampuan menasehati badan perwakilan kota (city

councils). Pandangan lain, bahwa managers tidak dapat secara total berperan
78

sebagai politician atau professional, karena mereka harus hati-hati dan secara

terus menerus berada diantara dua kutub (poles of politics and expertise).

Wikstrom (1979) dalam Watson dan Hassett (2003 menganggap council-

manager mayors hanya sebagai gelar-jabatan saja, perannya masih terbatasi

dan seringkali hanya simbol seremonial sebagai representasi pemerintahan

daerah. Untuk itu peran mayors sebagai policy leadership and direction, juga

memiliki rasa tanggung jawab politik yang kuat dalam mengatasi masalah-

masalah sosial dan isu-isu kontroversial yang dihadapi masyarakat.

Sementara itu, Svara (1985) dalam Watson dan Hassett (2003

menyatakan bahwa konsep tradisional mengenai dikotomi politik-administrasi

tidak cukup untuk menjelaskan adanya hubungan kompleks antara elected

officials dan city-managers. Sehingga peran yang dimainkan oleh keduanya

harus digambarkan dalam empat dimensi proses pemerintahan yakni mission,

policy, administration, dan management. Meramalkan bahwa city managers

kembali memiliki peran manajerial lebih kuat dan mengurangi peran kebijakan

yang didasarkan pada perubahan kenyataan politik. Watson dan Hassett (2003)

setelah mereviu beberapa tulisan yang terbaru menyimpulkan adanya dua

dikotomi yaitu the policy-administration dichotomy dan the politics-administation

dichotomy. Dalam literatur banyak dicatat peran city-managers dalam pembuatan

kebijakan. Padahal peran yang sama pentingnya bagi city-managers adalah

membatasi merasuknya politik tertentu dalam keputusan-keputusan manajemen

pemerintahan daerah. Pelayanan city-managers sebagai gatekeeper terhadap

kepala-kepala departemen/dinas yang melakukan pekerjaan atas dasar praktek

profesionalisme yang baik dan tidak merespon permintaan politik dari elected

officials. Terakhir dari Svara (1999) dalam Watson dan Hassett (2003)

menyimpulkan bahwa city-managers harus memiliki peran sebagai penggagas


79

sekaligus pelaksananya (activist-inisiator), sementara itu elected officials lebih

berperan sebagai ombudsmen, current problem solvers, dan overseers of the

manager’s work.

Bagian penting kedua dalam manajemen pemerintahan daerah adalah

manajemen keuangan dan anggaran (budgeting and financial management).

Dalam Watson dan Hassett (2003:87-89) menyatakan bahwa jika managers

pemerintahan daerah tidak sukses menggunakan dan mengendalikan sumber-

sumber keuangan yang mereka miliki akan mengalami kegagalan. Kegagalan ini

kemudian berakibat terhadap berkurangnya kepercayaan publik terhadap

pemerintahan dan berdampak negatif pada elected official terhadap siapa

mereka bekerja. Untuk itulah, menjadi alasan mendasar betapa manajemen

keuangan menjadi penting bagi managers pemerintahan daerah. Dinyatakan

pula bahwa kemampuan pemerintahan daerah menyelesaikan misinya adalah

cerminan dari kualitas manajemen anggaran dan praktek manajemen keuangan

lainnya. Hal ini telah banyak diamati oleh para ahli bahwa anggaran

mencerminkan nilai-nilai dan pilihan kebijakan dari publik (policy choices of the

public), para politisi, dan administrator publik profesional.

Bagian penting ketiga dari manajemen pemerintahan daerah menurut

Watson dan Hassett (2003:185-187) adalah perubahan dalam manajemen

aparatur publik (public personnel management). Diasumsikan bahwa

pemerintahan pada semua tingkatan mengalami perubahan besar yang

dipengaruhi oleh kekuatan luar yang berlangsung secara terus menerus.

Misalnya, gerakan politik anti pemerintahan yang sudah berlangsung lebih dari

dua dekade menimbulkan tekanan terhadap pemerintahan untuk menjadi lebih

kecil dan efisien. Kemajuan teknologi telah menciptakan banyak jenis pekerjaan

di sektor publik menjadi usang dan dibutuhkan sejumlah hal baru. Gerakan
80

privatisasi menyebakan beberapa fungsi di sektor publik dialihkan ke sektor

swasta. Isu-isu hukum dan konstitusi merubah manajemen aparatur publik

secara drastis sepanjang lebih dari tiga dekade. Berbagai pengaruh dalam

manajemen aparatur publik menciptakan banyak tantangan yang harus dihadapi

oleh pemerintahan daerah, misalnya peluang yang sama bagi semua klas warga

masyarakat dalam dunia kerja, perlindungan kecelakaan ditempat kerja,

pengaruh minuman dan obat terlarang, pelecehan seksual, dan sebagainya.

Menjadikan pemerintahan daerah lebih produktif dan responsif (making

local government more productive and responsive) merupakan bagian penting

selanjutnya dalam manajemen pemerintahan daerah. Menurut Watson dan

Hassett (2003:279-281) tuntutan agar pemerintahan daerah lebih produktif dan

responsif telah berlangsung lama. Warga masyarakat menolak meningkatkan

pembayaran pajaknya jika secara terus menerus permintaan pelayanan yang

lebih baik tidak diwujudkan oleh pemerintahan daerah. Sementara itu,

pemerintah daerah menghadapi keterbatasan fiskal yang disebabkan oleh inflasi

yang sangat tinggi, berkurangnya bantuan federal, dan krisis ekonomi nasional.

Sehingga para pejabat lokal harus mencari pendekatan baru (new approachs)

untuk meningkatkan penyediaan pelayanan, mengurangi biaya, dan persiapan

dimasa yang datang.

Beberapa pendekatan baru sebagai instrumen meningkatkan efektivitas

pemerintahan daerah di antaranya menurut White (1982) dalam artikel Watson

dan Hassett (2003) adalah melalui pendekatan management by objectives.

Melalui instrumen pendekatan management by objectives, White mengusulkan

kepada councilors melakukan tiga hal, yakni to set long-term goals; to function

effectively as group; dan to work more effectively with the administrative staff.

Demikian halnya oleh Higgins (1984) menyarankan pemerintah menggunakan


81

pendekatan ”cutback management” atau ”doing more with less” melalui tiga hal

yakni: mencari sumber penghasilan baru; meningkatkan produktivitas program

dengan memaksimalkan sumberdaya yang tersedia (to maximize existing

resources); dan secara selektif memangkas rantai layanan (across-the-board cut

in services). Sementara itu, Streib (1992) memperkenalkan konsep perencanaan

strategis sebagai cara efektif menghadapai lingkungan yang tidak stabil.

Demikian juga fungsi-fungsi manajemen pemerintahan daerah yang meliputi

leadership, human resources, management skills, dan external support

mengalami disassociation sehingga seringkali berjalan tidak efektif dalam proses

pembuatan keputusan.

Pendekatan ”total quality management (TQM)” merupakan salah satu

instrumen manajemen yang dianjurkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan

kepada konsumen dan konstituen. Setelah sukses diterapkan di organisasi

sektor swasta, pendekatan TQM ini diperkenalkan pada organisasi pemerintahan

di akhir tahun 1980an. Menurut West, at al (1993), seperti dikutip Watson dan

Hassett (2003:280) bahwa satu di antara empat council-manager cities yang

disurvei telah menerapkan teknik manajemen ini. Terdapat tiga tugas utama

seorang pemimpin dalam penerapan TQM, antara lain: (1) transformational,

yakni tugas pemimpin untuk ”formulating and communicating new, visionary

goals” dan menanamkan dalam organisasi mengenai komitmen terhadap

pelanggan atau konstituen; (2) transactional, yakni tugas pemimpin untuk

membangun komitmen anggota terhadap program dan kebijakan baru, baik

sukarela maupun paksaan; dan (3) representational, yakni berkaitan dengan

proses mendapatkan dukungan dari stakeholders utama, misalnya anggota dari

the city council dan tokoh-tokoh kunci dalam masyarakat.


82

Tawaran konsep berbeda ditemukan dalam tulisan Marlowe, at al (1994)

sebagaimana dikutip oleh Watson dan Hasset (2003:281) menyatakan bahwa

untuk merespon kekuatan-kekuatan perubahan dalam pemerintahan daerah dan

masyarakat yang sudah bersifat nyata dan berjangka panjang, diperlukan tiga

strategi yang disebut sebagai re-movement. Strategi re-movement yang

dimaksud adalah gerakan reinvention, reengineering, dan restructuring. Ketiga

strategi re-movement diyakini mampu mengatasi ketidaktepatan desain struktur

organisasi pemerintahan daerah dalam mengatasi masalah krusial masyarakat.

Pelibatan dan partisipasi warga dalam pemerintahan daerah (citizen

involvement for participation). Dalam Watson dan Hassett (2003:353) disebutkan

bahwa pentingnya pelibatan warga untuk berpartisipasi dalam pemerintahan

daerah didasari oleh asumsi-asumsi paradigma democratic governance. Salah

satu asumsi dasar dalam democratic governance menyatakan bahwa individu-

individu yang dipilih oleh warga sebagai pejabat politik (political office),

seharusnya merepresentasikan sejumlah masalah dan kepentingan dari

diperintah. Mereka yang terpilih dianggap representasi karena mereka memiliki

kedekatan baik secara fisik maupun emosional.

Salah satu tulisan yang sangat menarik dan relevan dengan penelitian ini

adalah artikel Teske dan Schneider (1994), berjudul The Bureaucratic

Entrepreneur: The Case of City Managers. Dalam tulisan Teske dan Schneider

(1994) seperti dikutip oleh Watson dan Hassett (2003) menyebutkan bahwa

pendekatan entrepreneurial innovation dan creative leadership sering muncul

sebagai tekanan dari warga municipalities untuk menyelesaikan masalah yang

sedang dihadapi masyarakat. Berkaitan dengan pendekatan entrepreneurial

managers berhadapan dengan dua kondisi berbeda, yakni (1) kondisi internal (an

internal world) yang terbatas pada kebutuhan manajemen local bureaucracy; dan
83

(2) kondisi eksternal (a complex external world) yang berhadapan dengan

lingkungan politik, hukum, dan lingkungan ekonomi dimana suatu daerah berada.

Isu-isu internal biasanya terkait dengan kemampuan managers memotivasi

pegawai sektor publik untuk bekerja lebih efisien. Bagi entrepreneurial managers

selalu mencari perubahan, sehingga membutuhkan pegawai yang mau

mengatasi kelambanan (inertia) dan menjadi lebih produktif. Isu-isu eksternal

berkaitan dengan kendala-kendala dan peluang-peluang ditengah perubahan

lingkungan masyarakat. Juga terkait dengan kebutuhan managers berinteraksi

dengan politisi lokal dan konstituen pendukung kebijakan yang baru.

Hal menarik lainnya ditemukan dalam tulisan Berman (1997) berjudul

Dealing with Cynical Citizens, yang menganjurkan agar memasukkan unsur

sentimen ketika membahas keterlibatan dan partisipasi warga dalam

pemerintahan daerah. Berman (1997) sebagaimana dikutip oleh Watson dan

Hasset (2003:355) menyarankan supaya masalah sentimental warga juga

menjadi perhatian dan diminati para akademisi dan praktisi administrasi publik,

terutama dalam membentuk sikap publik. Konsep tentang sentimen warga ini

dapat dipahami melalui teori yang disebut sebagai teori sinisisme (theory of

cynicism). Konsep sinisisme sering ditemui dalam kajian-kajian tentang trust dan

social capital.

Manajemen pemerintahan daerah dapat pula dipahami dari pandangan

Stewart (1995) dalam bukunya berjudul Understanding the Management of Local

Government: Its Special Purposes, Conditions and Tasks. Menurut Stewart

(1995) manajemen dalam pemerintahan daerah seharusnya dipahami berbeda

dengan manajemen pada umumnya. Mengapa demikian, karena manajemen

dalam pemerintahan daerah adalah bagian dari teori domain publik (public
84

domain theory) yang memiliki karakterisitik dari segi tujuan (purposes), kondisi

(conditions) dan tugas-tugas (tasks) tertentu.

Kemudian Stewart (1995) menjelaskan bahwa manajemen dalam teori

domain publik ini akan menemui resiko-resiko, baik yang disadari atau tidak

disadari, jika manajemen dalam domain publik menggunakan konsep-konsep

yang ”tidak jelas” yang berasal dari luar teori domain publik tersebut. Namun

tidak berarti bahwa manajemen dalam konteks ini tidak dapat belajar manajemen

dari sektor swasta, ataupun sebaliknya. Apa yang tidak dapat dialihkan adalah

model manajemen yang berkaitan dengan tujuan (purposes), kondisi (conditions)

dan tugas-tugas (tasks) tertentu tersebut.

Pemahaman terhadap karakteristik tertentu dari aspek tujuan (purposes),

kondisi (conditions) dan tugas-tugas (tasks) dalam manajemen pemerintahan

daerah tercerminkan oleh beberapa asumsi antara lain: (1) pemerintahan daerah

sebagai institusi politik (political institution); (2) pemerintahan daerah selalu

dilandasi oleh pilihan lokal (local choice); (3) organisasi pemerintahan daerah

tidak bertujuan tunggal tapi multi-purposes, sehingga dalam inti manajemennya

menganut multi-valued choice; (4) legitimasi otoritas lokal didapat melalui

election, karena proses election merupakan metode rekrutmen dalam institusi

kekuasaan dan proses politik yang diikuti oleh partai-partai politik.

Stewart (1995) juga menjelaskan tentang adanya kondisi dan tugas-tugas

tertentu yang harus dipahami dalam manajemen pemerintahan daerah.

Karakteristik dari kondisi yang dimaksud bahwa pada dasarnya otoritas lokal

memiliki area (wilayah), yang mana menunjukkan nama dan identitasnya, area

tempat melaksanakan fungsi-fungsinya secara fokus, area memberi batasan

agar tercapai efektivitas dan efisiensi. Otoritas lokal terkait dengan lingkungan

eksternal, melaksanakan tugas dalam organisasi yang terbuka, sehingga


85

manajemen bersifat multi-kontak. Tugas pokok otoritas lokal adalah menjalankan

kekuasaan pemerintahan publik, sehingga harus memiliki akuntabilitas, yang

biasanya dinilai memalui prosedur tertentu yang disebut elections. Otoritas lokal

diberi tugas dan kewajiban oleh undang-undang (statutory) dan kekuasaaan

discretionary. Dalam fungsinya sebagai penyedia pelayanan publik, pemerintah

daerah tidak hanya dituntut agar memenuhi prinsip ekonomis, efektif, dan efisien

(3Es) tetapi prinsip equity dan equality harus pula diperhatikan.

2.5. Birokrasi Pemerintahan Daerah

Memahami eksistensi birokrasi dalam pemerintahan daerah, dapat dilihat

dari beragam perspektif dan pendekatan. Pemahaman terhadap eksistensi

birokrasi pemerintahan daerah ini terasa penting, mengingat posisi dan peran

birokrasi yang sangat vital dan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah. Termasuk dalam mendorong penyelenggaraan pemerintahan daerah

yang inovatif. Oleh karena itu, pada bagian ini disajikan beberapa pandangan

dari para pemikir administrasi publik terkait dengan perspektif dan pendekatan

dalam memahami birokrasi pemerintahan daerah tersebut. Selain itu, juga akan

diungkapkan konsep birokrasi pemerintahan daerah yang lazim digunakan dalam

sistem pemerintahan daerah di Indonesia yakni Perangkat Daerah.

Dalam paradigma pemikiran tentang bagaimana birokrasi lahir, para ahli

administrasi publik berpendapat bahwa pada umumnya terdapat dua mainstream

pemikiran (Setiono, 2002:23). Kedua mainstream pemikiran tentang eksistensi

birokrasi tersebut yakni pertama, birokrasi lahir sebagai alat kekuasaan.

Mainstream pertama ini menyebutkan penguasa yang kuat harus dilayani oleh

para pembantu (aparat) yang cerdas dan dapat dipercaya (loyal). Konsep

pemikiran ini menyarankan bahwa apabila ingin kekuasaannya berjalan efektif,


86

maka harus memiliki organ aparatur yang solid, kuat, profesional, dan kokoh.

Birokrasi dibentuk sebagai sarana bagi penguasa untuk mengimplementasikan

kekuasaan dan kepentingannya dalam mengatur masyarakat.

Kedua, birokrasi lahir dan dibentuk karena kebutuhan masyarakat untuk

dilayani. Mainstream kedua ini menyebutkan bahwa birokrasi itu ada karena

memang rakyat menghendaki eksistensi mereka untuk membantu mencapai

tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan bersama. Birokrasi lahir karena

adanya kebutuhan lembaga (institutions) yang bertugas menyelenggarakan

pelayanan publik (public services). Kebutuhan terhadap pelayanan publik yang

dijalankan birokrasi, berjalan seiring dengan kebutuhan kolektif (collective needs)

anggota masyarakat terhadap jenis pelayanan tertentu. Dengan demikian

masyarakat perkotaan (urban society), kebutuhan kolektifnya berbeda dengan

masyarakat pedesaan (rural society). Sehingga jenis-jenis organ birokrasi yang

melayani masyarakat desa tentu saja berbeda dengan masyarakat perkotaan.

Kedua mainstream tersebut dalam kenyataan tidaklah berjalan secara

murni. Pada setiap negara pembentukan institusi-institusi birokrasi biasanya

merupakan hasil perpaduan antara kebutuhan penguasa sekaligus kebutuhan

masyarakat. Hanya sedikit institusi birokrasi lahir karena kebutuahn penguasa

saja atau tuntutan masyarakat saja.

Eksistensi birokrasi pemerintahan daerah sebagai obyek kajian, dapat

pula dilihat dari perspektif teoritik mengenai birokrasi. Dalam perspektif teori

birokrasi pada umumnya di awali dengan mereviu prinsip-prinsip birokrasi Max

Weber (1922). Prinsip-prinsip birokrasi Weber yang identik dengan teori birokrasi

klasik ini adalah salah satu teori utama yang berpengaruh terhadap semua organ

birokrasi di hampir setiap negara saat ini. Gagasan-gagasan Weber mengenai


87

birokrasi rasional dianut oleh hampir sebagian besar pemerintahan, baik yang

demokratis maupun otoriter.

Birokrasi rasional adalah sebuah konsepsi birokrasi yang muncul atas

dasar kaidah-kaidah otoritas hukum, bukan karena sebab lain, seperti otoritas

tradisional ataupun otoritas kharismatik. Oleh karena itu, Weber menyusun lima

kayakinan dasar agar tercipta otoritas hukum yang menjadi dasar adanya

birokrasi rasional. Kelima keyakinan dasar otoritas hukum Weber seperti dikutip

oleh Albrow (2004:42) adalah sebagai berikut:

(1) Undang-undang (code) dapat diciptakan dan menuntut kepatuhan dari

para anggota organisasi

(2) Hukum adalah sistem aturan yang abstrak yang diterapkan pada kasus

tertentu, sedangkan administrasi mengurus kepentingan organisasi yang

ada dalam batas-batas hukum.

(3) Orang yang menjalankan otoritas itu harus mentaati tatanan inpersonal

(memisahkan kepentingan tugas dan pribadi).

(4) Orang menaati hukum adalah karena mereka sebagai anggota organisasi

bukan karena sebab lain.

(5) Kepatuhan seharusnya tidak ditujukan pada individu yang memegang

otoritas, tetapi kepada tatanan hukum impersonal yang telah memberikan

wewenang kepada orang itu.

Berdasarkan kelima konsepsi keabsahan birokrasi itu, selanjutnya Weber

menyusun sebuah model birokrasi ideal yang berisi ciri-ciri khusus yaitu hirarki

kewenangan yang jelas, pembagian kerja atas dasar spesialisasi fungsional,

sistem pengaturan hak dan kewajiban pada pejabat, hubungan pribadi yang

bersifat impersonal, dan seleksi pegawai atas dasar kompetensi teknis. Menurut

Zauhar (2008), karakterisitik birokrasi legal rasional inilah yang dimaksudkan


88

untuk mencapai dan menerapkan nilai-nilai yang dianggap baik. Birokrasi yang

mempunyai ciri-ciri di atas adalah birokrasi yang dapat meningkatkan efisiensi

organisasi, karena itu dinamakan birorasionalitas dan biroefisiensi. Sedangkan

yang lain, yang tidak dapat menimbulkan efisiensi alias pemborosan disebut

sebagai biropatologi. Menurut Albrow (2004:59) dan Setiono (2002:46) walaupun

teori birokrasi rasional Weber ini menjadi salah satu referensi utama teori

birokrasi, namun beberapa bagian pemikiran tersebut mendapat kritikan yang

cukup mendasar dari berbagai pihak.

Terhadap berbagai kritikan atas kelemahan dalam konsep dan praktek

birokrasi Weber tersebut, Zauhar (2008) mengusulkan pemikiran-pemikiran

alternatif. Bahwa diperlukan organisasi di mana setiap orang bertanggung jawab

atas keberhasilan keseluruhan (the whole). Untuk itu, pemisahan orang berdasar

fungsi secara apriori harus dihapuskan. Hubungan antaranggota lebih

didasarkan pada hakekat permasalahan ketimbang struktur organisasi, dan

kerangka kerja lebih didasarkan pada kesepakatan terbuka ketimbang pada

hirarki dan otoritas. Ini semua merupakan ciri dasar organisasi pasca-birokrasi

yang memandang setiap anggota organisasi sebagai manusia yang utuh, dan

karenanya dianggap lebih cocok bagi kebanyakan negara sedang berkembang.

Birokrasi dapat juga dilihat dari perspektif peran dan fungsi spesifik

birokrasi dalam sistem politik pemerintahan. Menurut Setiono (2002:59) bahwa

peran dan fungsi spesifik birokrasi dalam sistem politik pemerintahan dapat

dilihat dalam beberapa aspek, meliputi: petama, birokrasi berperan dalam proses

input. Artinya birokrasi dapat berperan memberikan usulan dan pendapat

(menyampaikan aspirasi) kepada lembaga legislatif (DPR dan DPRD) untuk

diproses menjadi sebuah kebijakan (policy) atau peraturan (regulation). Dalam

proses ini birokrasi berperan seperti interest group dan pressure group.
89

Kedua, birokrasi berperan dalam proses legislatif. Birokrasi memiliki

berbagai aset informasi yang sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan

pada lembaga legislatif, maka institusi birokrasi yang terkait dengan suatu

rancangan keputusan biasanya dipanggil untuk memberikan pendapat sebelum

kebijakan dan peraturan tersebut ditetapkan.

Ketiga, birokrasi berperan sebagai interpreter (penerjemah) produk

legislatif. Birokrasi melakukan penafsiran, penjabaran, dan penjelasan atas

sebuah kebijakan dan peraturan yang telah ditetapkan. Peran ini sangat

signifikan mempengaruhi implementasi kebijakan yang ditetapkan oleh insititusi

legislatif. Birokrasi membuat tafsiran dan perincian kebijakan secara teknis,

karena apa yang dihasilkan oleh institusi legislatif masih bersifat global.

Keempat, peran spesifik terakhir birokrasi adalah birokrasi bertindak

sebagai eksekutor dari sebuah keputusan politik. Agar keputusan politik yang

dikeluarkan oleh lembaga legislatif dapat berjalan efektif di tengah masyarakat,

maka birokrasi bertugas mengimplementasikan keputusan-keputusan tersebut.

Setelah memahami paradigma pemikiran mengenai mengapa birokrasi itu

lahir, teori dan konsep awal birokrasi, peran dan fungsi spesifik birokrasi dalam

sistem politik pemerintahan, maka selanjutnya disajikan teori dan konsep yang

menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa birokrasi itu bekerja dalam sebuah

sistem pemerintah daerah.

Bagaimana peran dan fungsi birokrasi yang begitu strategis dijalankan

dalam suatu sistem pemerintahan (daerah)? Jawaban atas pertanyaan ini, salah

satunya dapat dimengerti dengan memahami birokrasi dari perspektif organisasi.

Menurut Wilson (1989) dalam bukunya berjudul: Bureaucracy: What Government

Agencies Do and Why They Do It, bahwa melalui perspektif organisasi, maka

birokrasi (bureaucracy) dapat dianalisis dalam tiga tingkatan. Ketiga tingkatan


90

dalam birokrasi pemerintahan tersebut, yaitu (1) tingkatan operasional (operators

level); (2) tingkatan manajerial (managers level); dan (3) tingkatan eksekutif

(executives level).

Ketiga tingkatan birokrasi pemerintahan tersebut dijelaskan oleh Wilson

(1989 :27) secara berurutan, bahwa menganalisis birokrasi pada tingkatan

operasional (operators level or rank-and-file employees) adalah memahami

budaya birokrasi dari sudut pandang apa tindakan dan mengapa tindakan

tersebut dilakukan oleh para “operator” (street level bureaucracy). Dalam analisis

ini disebutkan terdapat alasan-alasan yang melatari tindakan yang diambil oleh

para pegawai pada tingkatan ini. Alasan-alasan yang melatari tindakan yang

dimaksud meliputi terkait dengan tujuan formal organisasi, situasi yang dihadapi

(masalah lingkungan), pengalaman yang pernah dilalui, kepercayaan individu

yang dianut, harapan dari kolega, kepentingan dimana organisasi tersebut

berada, dan alasan pendirian suatu organisasi. Kombinasi dari alasan (faktor-

faktor) itulah yang membentuk budaya organisasi yang membedakan operator

dalam melihat dan bereaksi terhadap dunia birokrasi. Budaya organisasi ini pula

yang memberikan otoritas diskresi yang dimiliki oleh para operator.

Analisis birokrasi pemerintahan pada tingkatan manajerial (managers

level) berbeda dengan analisis pada tingkatan operasional. Pada tingkatan

manajerial, para manajer bertugas untuk mengalokasikan seluruh sumber daya

yang dimiliki organisasi, mengarahkan para pegawai, dan berusaha mencapai

tujuan organisasi. Budaya manajerial terbentuk oleh sejauh mana mereka

mengatasi hambatan-hambatan dalam menjalankan tugasnya. Budaya

manajerial tidak dibentuk oleh keharusan dalam bertindak secara rutin sepanjang

hari sebagaimana tindakan para operator. Lalu bagaimana cara para manajer

mengatasi hambatan-hambatan dalam menjalankan tugasnya? Hal ini sangat


91

dipengaruhi tergantung pada jenis organisasi (production, procedural, craft, and

coping organizations) di mana para manajer bekerja.

Menurut Wilson (1989:28) analisis pada tingkatan eksekutif (executives

level) birokrasi pemerintahan, para pejabat organisasi yang ada pada tingkatan

eksekutif seharusnya memiliki tanggung jawab terhadap organisasinya secara

keseluruhan. Pejabat yang ada pada tingkatan eksekutif memiliki otonomi dan

kewenangan untuk selalu memperhatikan jaminan terhadap posisi dan jabatan

politik yang mereka miliki. Melakukan pengawasan terhadap wilayah kerjanya.

Sehingga pejabat pada tingkatan eksekutif pada dasarnya memiliki tujuan ganda

yakni menjaga organisasi agar tetap eksis dan selalu menjamin posisi dan

jabatan yang dipegangnya. Untuk itu, pejabat eksekutif selalu mencoba dan

melakukan berbagai strategi dan menganjurkan untuk melakukan inovasi.

Hal menarik selain analisis birokrasi pemerintahan dalam tiga tingkatan

sebagaimana diuraikan adalah adanya tipologi organisasi pemerintahan yang

terbagi empat kelompok. Empat kelompok tipologi organisasi pemerintahan

menurut Wilson (1989:158), yakni (1) production organizations; (2) procedural

organizations; (3) craft organizations; dan (4) coping organizations.

Organisasi pemerintahan yang tergolong kelompok tipologi pertama

production organizations adalah organisasi pemerintahan yang memiliki ciri-ciri

measurable processes and visible or understandable outputs. Di mana kinerja

pada proses kerjanya jelas terukur dan memiliki kinerja hasil (output) yang jelas

dan terukur pula. Contoh tipe organisasi ini adalah organisasi perbankan dan

Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah.

Organisasi pemerintahan yang tergolong kelompok tipologi kedua

procedural organizations adalah organisasi pemerintahan yang memiliki ciri-ciri

measurable processes but they have no visible or easily measurable outputs,


92

yakni organisasi di mana kinerja prosesnya dapat terukur tetapi kinerja outpunya

tidak mudah diukur. Organisasi pemerintahan yang termasuk tipe ini antara lain

adalah organisasi TNI dan Polri.

Tipe organisasi pemerintahan yang ketiga adalah craft organization, yakni

organisasi pemerintahan yang memiliki ciri-ciri kinerja prosesnya yang jelas dan

terukur, tetapi outpunya tidak jelas dan juga tidak terukur. Contoh organisasi

pemerintahan yang termasuk tipe organisasi ini adalah organisasi perguruan

tinggi (universitas) dan organisasi sekolah. Tipologi organisasi pemerintahan

yang terakhir adalah coping organizations, yakni tipe organisasi yang memiliki

ciri-ciri kinerja prosesnya tidak jelas dan sulit untuk diukur tetapi hasil dan

dampaknya jelas serta terukur. Organisasi yang termasuk dalam kelompok tipe

organisasi ini adalah organisasi intelejen.

Perspektif yang berbeda dalam memahami birokrasi pemerintahan

daerah dikemukakan oleh Muttalib dan Khan (1982). Dalam bukunya berjudul:

Theory of Local Government, kedua pakar ini mengemukakan pandangannya

tentang birokrasi pemerintahan daerah dalam perspektif local bureaucracy.

Menurut Muthalib dan Khan (1982:204) dikebanyakan negara, termasuk juga

beberapa negara maju, beranggapan bahwa local bureaucracy tidak terlalu

penting, bahkan cenderung diabaikan. Padahal peran local bureaucracy sangat

strategis dalam pencapaian tujuan utama dari pemerintahan daerah, khususnya

dalam memberikan pelayanan yang efektif dan efisien.

Menurut Muthalib dan Khan (1982), isu-isu yang terkait dengan local

bureaucracy menjadi faktor krusial dalam upaya perbaikan performa

pemerintahan daerah. Oleh sebab itu tuntutan agenda reformasi local

bureaucracy dalam pemerintahan daerah semakin meningkat. Tuntutan agenda

reformasi local bureaucracy ini terutama isu-isu yang berhubungan dengan


93

pelayanan publik di tingkat lokal, yang disebut dengan local civil service. Hal ini

yang menyebabkan posisi pegawai sipil lokal (local civil servants) menjadi sangat

vital. Dengan kata lain local civil servants dapat diibaratkan sebagai spinal cord

dari keseluruhan organisasi.

Berkaitan dengan pemahaman local civil service tersebut, Muthalib dan

Khan (1982) memandang bahwa terdapat beberapa isu krusial dalam perbaikan

performa local bureaucracy. Namun demikian, dalam konteks penelitian ini hanya

mengungkap isu-isu yang menyangkut: (1) status and image public; (2) pattern of

local civil service; (3) elite of local bureaucracy; dan (4) bureaucracy and

democracy.

Isu tentang status and image public dari pelayanan sipil lokal menurut

Muthalib dan Khan (1982:205) dapat dilihat dari tiga dimensi, yakni pertama,

dimensi power yaitu masalah yang berhubungan dengan kurangnya kebebasan

operasional dan terbatasnya kekuasan dalam pemberian pelayanan. Solusinya

adalah menyamakan status pegawai tingkat lokal dan nasional, miningkatkan

status hukum, serta memberi kebebasan seperti yang dilakukan di Perancis,

Mesir dan India. Kedua, dimensi money yakni berhubungan dengan masalah

ketidakcukupan anggaran (inadequated financial). Pendapatan pemerintah

daerah tidak memadai dan anggaran perdepartemen rendah. Solusi yang

ditawarkan adalah pemerintah pusat harus ikut terlibat seperti yang dialami di

Perancis, India dan Mesir.

Dimensi ketiga menyangkut service yaitu berhubungan dengan masalah

terjadinya kompetisi antar sektor publik, semipublik, dan swasta. Daya tarik yang

rendah, gaji pegawai yang kecil, dan jalur karir yang terbatas. Masalah-masalah

tersebut dapat diatasi dengan melakukan standarisasi inter-local government,

melakukan menyamaan eselonering, kegiatan pelatihan pegawai, penyediaan


94

tenaga teknis dan memperbanyak fasilitas pelatihan, serta memanfaatkan

kemajuan teknologi

Isu mengenai pola pelayanan sipil daerah (pattern of local civil service)

menurut Muthalib dan Khan (1982:206) terbagi dua pendekatan yaitu pola

pendekatan legalitas hukum dan pola pendekatan profesionalisme. Pola

pendekatan legalitas hukum ini terdiri tiga jenis yaitu (1) berdasarkan Undang-

Undang Dasar seperti di Perancis, Jepang, Srilanka, dan Amerika Serikat; (2)

berdasarkan hukum sekunder seperti di Inggris dan Amerika Serikat; dan (3)

melakukan Joint Responsibility Regulation seperti di Mesir dan India. Sementara

itu pola pendekatan profesionalisme meliputi tiga jenis pula yaitu (1) berdasarkan

klasifikasi keahlian profesionalisme seperti Inggris; (2) melakukan standarisasi

pelayanan, kompetensi dan esprit de corp; dan (3) pembentukan komite atau

komisi kepegawaian seperti di Amerika Serikat.

Isu berikutnya adalah isu elite of local bureaucracy dalam pelayanan sipil

daerah. Menurut Muthalib dan Khan (1982:216), bahwa isu elite of local

bureaucracy terdiri atas dua pola yang dianut. Pola pertama adalah pola

eksekutif lokal yang independen dari pengaruh politik dimana elit birokrasi lokal

diangkat dan dikontrol oleh pemerintah pusat. Contoh yang menerapkan pola

pertama ini adalah di Perancis dan India dengan model Chief Executive Officer

(CEO). Pola kedua adalah pola eksekutif lokal yang merupakan elit birokrasi

yang dipilih oleh local council. Contoh penerapan pola kedua ini dapat dilihat di

Amerika Serikat, Jerman, Inggris dengan City Manager dan Chief Executive.

Hubungan antara bureaucracy dan democracy menjadi isu terakhir dalam

perspektif local bureaucracy ini. Gagasan mengenai hubungan antara birokrasi

dan demokrasi, menurut Muthalib dan Khan (1982:224) tiada lain adalah

menyangkut hubungan antara pejabat yang dipilih (elected officials) dan pejabat
95

karir (permanent functionaries). Pola hubungan antara pejabat politik yang dipilih

dengan pejabat karir profesional yang diseleksi saling terkait dengan tradisi

demokrasi yang dianut oleh suatu negara. Bagi negara-negara yang menganut

tradisi demokrasi yang kuat atau memiliki legislatif lokal yang kuat (strong local

council) dan menjadi dominan terhadap proses administrasi, maka akan

memperlemah birokrasi lokal (weak local bureaucracy). Akibatnya kinerja

birokrasi menjadi lambat. Untuk mengatasi agar terjadi keseimbangan antara

birokrasi dan demokrasi pada pola ini, disarankan memperkuat kepemimpinan

administrasi dan menyatukan pintu pertanggungjawaban eksekutif kepada

dewan. Negara-negara yang menganut tradisi demokrasi yang kuat ini adalah

Amerika Serikat, Swedia, dan Inggris.

Pada negara-negara yang menganut tradisi demokrasi yang lemah (weak

local council), biokrasi menjadi lebih dominan dan badan legislatif lemah

sehingga mengakibatkan kompetisi menjadi tidak sehat dan merusak nilai-nilai

demokrasi. Dampak positif pola tradisi demokrasi yang lemah ini karena

menyebabkan kinerja birokrasi menjadi tinggi. Namun, sisi negatifnya karena

ketergantungan pada pemerintah pusat sangat tinggi dan kuat dalam mengontrol

birokrasi. India adalah salah satu negara penganut tradisi demokrasi yang lemah.

Dalam perspektif anatomi organisasi menurut Said (2007:91), bahwa

birokrasi pemerintahan daerah memiliki unsur-unsur pokok yang mana setiap

unsur pokok tersebut memiliki fungsi yang khas. Pada Gambar 3 mencerminkan

anatomi birokrasi yang menunjukkan bahwa pada organisasi perangkat daerah

juga memiliki struktur organisasi yang berfungsi mengejawantahkan tujuan

pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah juga memiliki visi dan misi yang

menjadi rangkaian tujuan yang lebih konkrit yang akan dicapai dalam jangka

waktu tertentu. Personel atau pegawai yang mengisi ini disebut aparatur
96

organisasi. Mereka inilah yang memiliki peran vital dalam menentukan apakah

visi dan misi organisasi bisa terwujud. Oleh karena itu aparatur yang mengisi

bangunan organisasi itu harus melalui sebuah proses seleksi (selected).

Pemilihan dan seleksi dilakukan untuk menjamin kualitas aparatur yang sesuai

dengan kualifikasi-kualifikasi yang dibutuhkan dalam mewujudkan visi dan misi

organisasi.

Selanjutnya menyediakan fasilitas pendukung yang dibutuhkan oleh para

aparatur agar membantu atau memudahkan mereka dalam menjalankan tugas

kerjanya secara ril. Fasilitas pendukung yang dimaksud di antaranya adalah

anggaran, bahan dan alat, insentif, serta fasilitas lainnya yang dibutuhkan.

Tahapan yang terakhir, namun tak kalah pentingnya dan sangat vital adalah

unsur leadership.

TUJUAN NEGARA/DAERAH

Tugas Besar & Luas Dari Pemerintahan

Apa Yang Dibutuuhkan Untuk Menyelenggarakan


Struktur Organisasi
Tugas Besar & Luas Itu?

Apa Yg Dibutuhkan Agar Organisasi Itu Bisa Bekerja


Scr Tepat Sasaran & Terfokus Pada Tugasnya? Visi & Misi Organisasi

Apa Yg Dibutuhkan Agar Organisasi Yg Bervisi &


Bermisi Itu Bisa Mengejawantah Dlm Nyata & Dinamis? Personalia Pelaksana

Apa Yg Dibutuhkan Agar Personalia Yg Bekerja Itu Bisa


Bekerja Efektif & Efisien? Fasilitas Pendukung

Apa Yg Dibutuhkan Agar Kerja & Kinerja Keempat


Unsur Di Atas Itu Bisa Terkoordinasi Bagus & Selaras? Kepemimpinan

Gambar 3. Unsur-Unsur Pokok (Anatomi) Birokrasi

Sumber: Rohdewohld dikutip oleh Said (2007:92)


97

Kepemimpinan inilah yang akan mengorganisir bagaimana kinerja secara

keseluruhan bisa selaras dan mendukung tercapainya tujuan birokrasi

pemerintahan. Pemimpin harus mengarahkan para aparatur agar dapat

melakukan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien dan ekonomis, serta

terarah. Tanpa kepemimpinan bisa jadi yang tercipta ialah kerja yang saling

bertabrakan atau mungkin tidak saling berhubungan satu sama lain atau malah

saling menghambat satu dengan yang lainnya.

Pemaparan mengenai anatomi birokrasi akhirnya disimpulkan oleh Said

(2007:134), bahwa birokrasi tak akan bisa sempurna sehingga birokrasi harus

selalu dibenahi. Birokrasi selalu mengikuti dinamika kehidupan manusia yang

melingkupinya dan merespon tuntutan masyarakat yang dilayaninya. Birokrasi

harus secara kontinyu menyelaraskan dirinya sesuai dengan konteks dinamika

disekelilingnya dan tak boleh puas dalam keangkuhan hidup di atas menara

gading. Birokrasi bukanlah institusi absolut yang sakral dan tak boleh

diperbaharui dan disempurnakan. Birokrasi ada bukan untuk melayani dirinya

sendiri. Dengan kata lain, bahwa birokrasi harus fleksibel dan kontekstual sesuai

dengan perkembangan dan tuntutan realitas yang dhadapinya.

Sistem pemerintahan daerah di Indonesia memiliki bentuk pemerintah

daerah seragam dan cenderung demikian sepanjang proses pertumbuhannya.

Jika ada perubahan bentuk pemerintah daerah, hal itu terjadi karena fase

pemerintahan daerahnya bukan karena kemajemukan dalam fase yang sama.

Simak misalnya dalam masa UU No. 22 Tahun 1999, terdapat keseragaman

bentuk pemerintah daerah di Indonesia, baik untuk daerah provinsi maupun

daerah kabupaten/kota.

Demikian halnya, dalam UU mengenai pemerintahan daerah sebelum UU

No. 22 Tahun 1999, pemerintah daerah (local authority) sebagai organ


98

pelaksana pemerintahan di daerah selalu tepat asas dengan mencakup DPRD

(council) dan Kepala Daerah (mayor). Namun, pada UU No. 22 Tahun 1999,

istilah pemerintah daerah hanya diperuntukkan bagi Kepala Daerah beserta

perangkat daerah dan tidak mencakup DPRD yang disebut sebagai Badan

Legislatif Daerah. Kondisi ini disebut sebagai tidak taat asas, karena hanya DPR

yang mempunyai fungsi legislatif dan menjadi bagian dari Badan Legislatif

bersama Presiden dalam tata hukum kita. Padahal DPRD sebenarnya

merupakan bagian dari Badan Eksekutif daerah yang memiliki fungsi pengaturan,

penganggaran, dan pengawasan.

Untuk mengakomodasi persoalan tersebut di atas, para pembuat UU No.

32 Tahun 2004 menghilangkan penggunaan istilah badan legislatif daerah bagi

DPRD dan badan eksekutif daerah bagi Kepala Daerah dan perangkat daerah.

Kini DPRD dan pemerintah daerah disebut sebagai penyelenggara pemerintahan

daerah sebagai terjemahan dari local government atau local authority dalam

khazanah Inggris dan Amerika Serikat.

Dalam kerangka ini, maka organ pemerintah daerah kabupaten/kota

terdiri atas DPRD kabupaten/kota dan Kepala Daerah beserta perangkat daerah

lainnya. Bupati atau Walikota sebagai Kepala Daerah hanya menjalankan tugas

desentralisasi secara bulat dan tidak menerima tugas dekonsentrasi. Baik Bupati

atau Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota adalah lembaga politik karena proses

pengisiannya melalui cara dipilih (elected) secara demokratis dan terbuka bagi

partai politik.

Dalam pandangan yang aplikatif, dapat dilihat dari pandangan Supriyono

(2007:730), yang menyatakan bahwa mengkaji pembangunan struktur dan fungsi

institusi pemerintahan daerah dapat diawali dengan memahami local government

dalam pengertian organ dan fungsi. Di mana dijelaskan dalam Muluk (2009:10)
99

bahwa dalam pengertian organ, local government berarti pemerintah daerah,

yakni council (DPRD) dan mayor (gubernur, bupati atau walikota), di mana

rekrutmen pejabatnya didasarkan pada pemilihan. Sedangkan dalam pengertian

fungsi, local govenment berarti pemerintahan daerah yang diselenggarakan oleh

pemerintah daerah.

Berkaitan dengan pengertian organ, maka jenis-jenis pemerintah daerah

meliputi: (1) the strong mayor-council form; (2) the weak mayor-council form; (3)

the council-manager plan; (4) the commission form. Kemudian Norton yang

dikutip oleh Supriyono (2007:730) juga menambahkan bentuk the strong mayor-

council with chief administrative or chief executive officer plan. Chief executive

plan dan semua institusi di bawahnya merupakan birokrasi lokal. Institusi

pemerintahan daerah tersebut dapat menjalankan beragam fungsi pemerintahan

(multi atau general puspose local authority) ataupun melaksanakan suatu fungsi

pemerintahan (single atau special purpose local authority).

Gambar 4. Struktur Perangkat Daerah Kabupaten


Sumber: UU No. 32 Tahun 2004 dan Kaloh (2007:178)
100

Dalam pengertian organ dan fungsi tersebut di atas, maka institusi

pemerintahan daerah di Indonesia dapat dimaknai sebagai organ dan cenderung

termasuk dalam the strong mayor-council form, atau bahkan cenderung

berbentuk the strong mayor-council with chief executive officer. Hal ini tampak

dari keberadaan Kepala Daerah (gubernur, bupati atau walikota) sebagai

padanan mayor dan DPRD sebagai perwujudan dari council. Mengenai fungsi

pemerintahan yang dilaksanakan adalah bersifat multi atau general puspose

local authority karena institusi pemerintahan daerah melaksanakan beragam

fungsi pemerintahan.

Perangkat daerah merupakan birokrasi daerah otonom yang proses

pengisiannya atas dasar pengangkatan (appointed) dan tertutup bagi partai

politik. Melalui penjelasan Hoessein (2009:113) dipahami bahwa proses

pengisian seperti ini untuk birokrat daerah otonom dimaksudkan untuk menjamin

netralitas birokrasi. Perangkat daerah ini terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas

Daerah, dan lembaga teknis daerah lainnya yang dibentuk sesuai dengan

kebutuhan daerah. Lembaga teknis daerah bisa berupa Badan, Kantor,

Kecamatan, Kelurahan, dan sebagainya.

Terkait dengan kedudukan organisasi perangkat daerah ini, Salomo

(2006:2) memberikan penjelasan bahwa organisasi perangkat daerah sebagai

instrumen penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia merupakan salah

satu elemen pemerintahan daerah yang sangat penting dengan sejumlah alasan,

sebagai berikut:

(1) Organisasi perangkat daerah merupakan “rumah” atau wadah yang

menampung berbagai aspek penting lainnya dalam sistem pemerintahan

daerah, yang menjadi wadah maupun kerangka kerja sistem keuangan,


101

sistem kepegawaian, sistem perencanaan, sistem pelayanan publik dan

berbagai sistem atau sub-sistem lainnya.

(2) Organisasi perangkat daerah adalah wadah di mana pemerintah daerah

menjalankan berbagai kewenangan atau urusan-urusan pemerintahan yang

diembannya.

(3) Organisasi perangkat daerah adalah wadah bagi pemerintah daerah untuk

mengemban visi dan misi daerah, tujuan daerah, dan mengemban

pelayanan publik yang menjadi tugas dan tanggung-jawab daerah.

Oleh karena itu, organisasi perangkat daerah mempunyai arti yang

sangat penting bagi pencapaian pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.

Bahkan Salomo (2006:2), menegaskan bahwa keberhasilan sebuah daerah

dalam menjalankan misinya antara lain tergantung dari struktur organisasi

perangkat daerah yang dibuat. Apakah perangkat daerah telah mengakomodasi

berbagai aspek seperti visi, misi, tujuan, tugas pokok dan fungsi, serta beban

pelayanan?

2.6. Kajian Inovasi Pemerintahan Daerah

Kajian terhadap inovasi pemerintahan, terutama kaitannya dengan

masalah-masalah pemerintahan di tingkat lokal (local problems) dapat ditemui

dalam salah satu karya dari Watson (1999) yang berjudul “Innovative

Government: Creatives Approach to Local Problems” . Dalam karyanya, Watson

(1999:130) telah menerangkan bahwa pemerintahan daerah (local government)

memiliki beberapa alasan yang khas untuk mengembangkan kemampuan

inovasi. Hal ini diungkapkan oleh Watson sebagai berikut:

“.....Local governments have a unique opportunity to be innovative for


several reasons. One is that local governments are very close to the
problems in their communities. ....., local officials have the chance to see
102

and hear the problems as they develop. A second reason local


governments can be innovative is that there are so many of them doing
basically the same things. Each community serves as a laboratory for
innovation. ....., local governments to solve problems and develop solutions
in different ways. A third reason is that most elected officials on the local
level run for office because they care about their communities and believe
that they can improve them. The last reason is that the level of competence
and expertise found among local public administrators has greatly
increased over the past several decades. Local public administrators are
better trained than they have ever been and are anxious to work for
organizations that allow them to use their talents.” (1999:130-131)

Relevansi pentingnya inovasi diselenggarakan pada tingkat pemerintahan

daerah dengan jelas diungkapkan bahwa unit organisasi pemerintahan daerah

sangat dekat dengan masyarakatnya, sehingga dianggap mengetahui secara

pasti masalah-masalah pada aras lokal. Demikian halnya masalah yang dihadapi

masyarakat sudah barang tentu berbeda sehingga harus pula ditangani dengan

cara yang berbeda pula.

Dalam hal ini Supriyono (2007), menjelaskan bahwa otonomi yang luas

telah memberikan kewenangan yang sangat besar kepada pemerintah daerah

(kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus pemberian pelayanan publik

sesuai dengan local choice dan local voice masyarakatnya. Pemerintah daerah

memiliki peran besar (strong public sector) di bidang pelayanan publik, termasuk

dalam mengatur berperannya kelompok masyarakat dan pihak swasta. Oleh

karena itu, kondisi ini kiranya mendorong pemerintah daerah untuk selalu

mencari teknik dan strategi yang efektif untuk menjalankan fungsi pelayanan

publik memalui kebijakan dan program yang inovatif.

Inovasi penyelenggaraan pemerintahan juga mencakup perubahan dan

pembaharuan struktur ataupun kebiasaan yang telah berlangsung secara rutin.

Brown (2008) seperti dikutip oleh Supriyono (2011:2) mengemukakan adanya

dua konsep inovasi yaitu Expansive Learning Theory (ELT) dan Socio Cultural

Theory (SCT). Konsep perluasan pembelajaran mengandung pemahaman


103

bahwa inovasi terjadi ketika pandangan tradisional menyediakan suatu pedoman

pelaksanaan suatu pekerjaan tetapi tidak cukup dalam menghadapi tantangan

dan situasi yang baru, karenanya diperlukan pengembangan dan praktek yang

baru melalui alih teknologi (technology transfer). Bagian penting dari pandangan

ini adalah memadukan antara pandangan lama dan baru dalam melaksanakan

sesuatu yang diarahkan pada perubahan dan pembaharuan.

Sementara SCT berpandangan bahwa proses penciptaan pengetahuan

dan pedomannya terarah pada konsepsi inovasi sebagai kolaborasi antara

difersifikasi organisasi dan hasil yang diperoleh individu dalam pembelajaran

organisasi. Di samping diperlukan alih teknologi dan perubahan sistem,

diperlukan pula pembelajaran individu dan organisasi untuk mempercepat

transformasi sosial budaya baik di tingkat organisasi maupun di komunitas

masyarakat yang lebih luas.

Kedua teori ini dalam proses inovasi penyelenggaraan pemerintahan

perlu dipadukan agar diperoleh hasil yang optimal, dari perspektif ELT siklus

pembelajaran dapat diperluas melalui berbagai aktivitas kolaborasi dua atau

lebih komunitas, baik di tingkat nasional, tingkat regional, hingga di tingkat lokal.

Sebagaimana dikemukakan Brown (2008:9)

“National governments have develoved much of the responsibility for


innovation policies to regions. Consequently, it is possible to compare the
implementation of local experiments to transform an industrial and
manufacturing region into a knowledge economy. Different types of policies
are affected by different contextual conditions and carry with them different
possibilities for implementation”.

Mencermati skema pada Gambar 5 dapat dijelaskan bahwa inovasi

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan adalah bersifat sistemik,

inovasi pemerintahan yang ada di tingkat nasional pada dasarnya saling

berkaitan dengan inovasi di tingkat regional ataupun di tingkat lokal.


104

Gambar 5. The Transformation of Policy during Implementation


Sumber: Browm (2008:10)

Pemahaman ini terasa semakin penting untuk diimplementasikan di

Indonesia sebagai suatu negara yang menganut paham negara kesatuan

(unitary state), karena hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah

bersifat coordinate dan sekaligus subordinate. Keberadaan pemerintah daerah

adalah merupakan bagian dari pemerintah pusat, sehingga inovasi pemerintahan

yang ada di tingkat lokal kendati memiliki kemandirian seharusnya tidak

menyimpang dari desain inovasi pemerintahan yang telah ditetapkan di tingkat

nasional.

Pemerintah pusat memiliki peran dalam hal desain konsep inovasi

kebijakan tingkat nasional (makro) yang akan diimplementasikan di tingkat pusat

dan daerah. Desain kebijakan inovatif ini perlu dikomunikasikan dengan berbagai

tingkatan pemerintahan agar tujuan inovasi dipahami dan diimplementasikan

dengan baik. Desain dan strategi inovasi yang diperlukan adalah dalam hal

melaksanakan fungsi mengatur (policy formulation) dan mengurus (policy

implementation) penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam pemanfaatan

teknologi yang dapat diimplementasikan pada semua tingkatan pemerintahan.


105

Desain kebijakan yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan di tingkat

regional (meso) dan di tingkat lokal (mikro) dalam bentuk program dan kegiatan

pengelolaan urusan pemerintahan. Makna inovasi implementasi kebijakan ini

adalah berkaitan dengan fungsi pengaturan (policy making) dan fungsi

pengurusan (policy executing) di tingkat regional dan di tingkat lokal.

Kepala Daerah dan DPRD sebagai pejabat politik yang dipilih

melaksanakan fungsi pengaturan, yaitu menetapkan inovasi peraturan daerah

(Perda) dan perundang-undangan lainnya sesuai dengan keinginan dan tuntutan

kebutuhan masyarakat. Selanjutnya Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah

(local bureaucracy) sebagai pejabat yang diangkat, melaksanakan inovasi fungsi

pengurusan (policy implementation) penyelenggaraan pemerintahan secara

profesional dengan mengacu pada perundang-undangan yang telah ditetapkan

sebelumnya.

Kebijakan inovatif yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan

oleh Perangkat Daerah (local bureaucracy) dibawah kendali Kepala Daerah dan

Sekretaris Daerah. Dalam hal ini diperlukan kinerja berbagai institusi Perangkat

Daerah yang inovatif dalam mengelola urusan pemerintahan, pembangunan, dan

layanan publik. Birokrasi yang inovatif ditandai dengan adanya kreativitas,

ketrampilan, dan kompetensi profesional untuk melakukan perubahan dalam

mengelola urusan pemerintahan yang membawa manfaat sebesar-besarnya

untuk kepentingan masyarakat. Implementasi kebijakan yang inovatif dalam hal

ini dapat diwujudkan jika mengedepankan nilai-nilai kreativitas, efektivitas, dan

efisiensi atau nilai-nilai manajerial. Efisiensi yang dimaksud termasuk dalam hal

pengelolaan dana dan pemberian insentif.

Proses inovasi penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya

memperhatikan keterkaitan inovasi penyelenggaraan dalam ranah tiga tingkatan,


106

yakni nasional (macro), regional (meso) dan lokal (micro). Namun menurut

Roberts (1999:99-101) proses inovasi dalam struktur penyelenggaraan

pemerintahan suatu negara, juga mendapat pengaruh dari tiga arena institusi

yang berbeda, yakni (1) innovation by legislative design; (2) innovation by

yudicial design; dan (3) innovation by management design.

Terdapat reaksi yang cukup kuat dari individu ataupun kelompok dari

dalam arena institusi legislatif terkait dengan perumusan kebijakan yang inovatif.

Hal ini terjadi terutama pada negara-negara dengan sistem pemerintahan yang

demokratis. Institusi pengadilan juga dapat memberi pengaruh pada keputusan-

keputusan pemerintah daerah dari aspek legalitasnya. Pada tingkatan

oprasional, secara teknis suatu kebijakan dan program yang inovatif juga sangat

ditentukan oleh kemampuan institusi Perangkat Daerah dalam implementasinya.

Menerapkan inovasi di sektor publik tidak dapat sukses begitu saja.

Inovasi di sektor publik membutuhkan beberapa persyaratan yang harus

mendukung. Watson (1999:2-3) menawarkan tiga kondisi persyaratan utama

yang semestinya tersedia jika ingin inovasi di sektor publik berlangsung sukses.

Ketiga persyaratan tersebut, meliputi: (1) budaya organisasi (organizational

culture) yang mendukung dan mendorong lahirnya inovasi; (2) dukungan politik

(political support), para administrator membutuhkan dukungan pejabat politik;

dan (3) kompetensi administrasi (administrative competence), inovasi yang

sukses harus dilakukan melalui kecakapan administratif dalam suatu organisasi.

Selain ketiga persyaratan utama tersebut, Watson (1999:4) menyatakan

bahwa lahirnya suatu inovasi dalam pemerintahan biasanya melalui tiga

skenario. Pertama, munculnya tindakan inovatif karena adanya respon atau

tanggapan terhadap krisis yang terjadi dalam organisasi. Kedua, menghadirkan

manajer-manajer publik yang luar biasa dan memiliki dukungan politik yang kuat
107

di dalam organisasi. Ketiga, inovasi lahir hanya dari organisasi yang menyadari

dan menangkap adanya peluang untuk melakukannya.

2.6.1 Konsep dan Posisi Inovasi dalam Administrasi Publik

Dalam salah satu rilis institusi United Nations melalui Department of

Economic and Social Affairs (UNDESA), pada tahun 2006 menyatakan bahwa

umumnya inovasi dalam pemerintahan adalah ide kreatif yang di mana jika

dilaksanakan dengan sukses akan membantu memecahkan masalah publik yang

bersifat mendesak. Inovasi adalah pelaksanaan ide baru dan cara baru untuk

mencapai suatu hasil dalam melakukan pekerjaan. Inovasi dapat juga sebagai

penggabungan elemen-elemen baru sehingga terjadi kombinasi baru dari unsur

yang sudah ada atau mengubah secara signifikan atau meninggalkan cara-cara

tradisional dalam melakukan sesuatu. Prinsipnya inovasi dalam konteks ini terdiri

atas new products, new policies and programs, new approaches, and new

processes.

Selanjutnya, ditegaskan pula bahwa inovasi manajemen di sektor publik

dapat didefinisikan sebagai pengembangan desain baru suatu kebijakan dan

SOP yang baru oleh organisasi publik dimaksudkan untuk mengatasi masalah

kebijakan publik. Sehingga suatu inovasi dalam administrasi negara merupakan

jawaban atau solusi yang efektif, kreatif dan unik untuk menjawab masalah-

masalah baru atau solusi baru untuk masalah-masalah lama. UNDESA (2006:6)

mengungkapkan dalam kalimat sebagai berikut:

“An innovation in public administration is an effective, creative and unique


answer to new problems or a new answer to old problems”.

Menurut UNDESA (2006) inovasi dalam kajian administrasi publik dapat

dibedakan dalam beberapa tipe atau jenis, meliputi:


108

(1) Institutional innovations, yaitu inovasi kelembagaan yang fokus pada

pembaruan lembaga-lembaga yang sudah dibangun atau menciptakan

lembaga-lembaga yang benar-benar baru (focus on the renewal of

established institutions and/or the creation of new institutions);

(2) Organizational innovation, yakni inovasi organisasi berkaitan dengan

memperkernalkan prosedur atau teknik-teknik manajemen yang baru dalam

Administrasi Publik (the introduction of new working procedures or

management techniques in public administration);

(3) Process innovation, yaitu inovasi proses di mana fokus pada peningkatan

kualitas penyediaan pelayanan publik (focuses on the improvement of the

quality of public service delivery); dan

(4) Conceptual innovation, yaitu inovasi konseptual yang diarahkan pada

pengenalan bentuk-bentuk baru pemerintahan (the introduction of new

forms of governance) misalnya interactive policy-making, engaged

governance, people’s budget reforms, horizontal networks.

Konsep inovasi dalam sektor publik rupanya belum sepopuler di sektor

bisnis. Padahal kajian inovasi dikembangkan seiring dengan upaya menjaga dan

bahkan mengembangkan kemampuan berkompetisi (bersaing) atau competitive

advantage sebuah organisasi. Kemampuan ini dianggap penting untuk menjaga

kelangsungan hidup organisasi. Dalam situasi organisasi yang hidup dengan

mengandalkan semata comparative advantage dan pada saat yang sama situasi

kompetisi kurang tampak maka konsep inovasi kurang berkembang dengan baik.

Hal yang sama juga terjadi pada organisasi publik yang tidak mengkhawatirkan

sama sekali masalah kelangsungan hidupnya (Muluk, 2008:37). Kebanyakan

organisasi sektor publik kurang tertantang karena berada dalam iklim yang

nonkompetitif dan bahkan tidak merasa bermasalah dalam hal kelangsungan


109

hidupnya. Maka wajar jika konsep inovasi kurang berkembang dalam sektor

administrasi publik.

Dalam tulisan Hartley (2005:29) menggambarkan bagaimana hubungan

antara kegiatan inovasi (innovation) dan upaya perbaikan (improvement) dalam

proses pelayanan publik. Hubungan inovasi dan upaya perbaikan ini menurut

Hartley (2005) dapat dipahami melalui pendekatan konsep governance dan

public management yang dikenal sebagai salah satu paradigma dalam

perkembangan pemikiran administrasi publik.

Walaupun konsep inovasi belum lama populer dikalangan ilmuwan

maupun dalam prakteknya di organisasi sektor publik, namun dapat dilacak

posisi dan relevansi konsep inovasi, baik sebagai nilai maupun sebagai strategi

dalam evolusi pemikiran adminisrasi publik. Salah satu sumber dari artikel yang

ditulis bersama oleh Vigoda-Gadot, et al (2005), berjudul Public Sector

Innovation for the Managerial and Post-Managerial Era: Promises and Realities

in a Globalizing Public Administration. Artikel ini mengulas dan menganalisis

bagaimana keterkaitan inovasi (innovation) dengan evolusi pemikiran

administrasi publik.

Dalam artikel tersebut, Vigoda-Gadot, et al (2005:70) menganalisis

kerterkaitan inovasi dan pemikiran administrasi publik. Ada sepuluh pertanyaan

diajukan yang mencerminkan posisi konsep inovasi dalam perkembangan

pemikiran administrasi publik. Kesepuluh pertanyaan mendasar tersebut dapat

dilihat pada Tabel 8 yang disajikan pada halaman berikut. Kemudian Vigoda-

Gadot, et al (2005) membagi tiga perspektif evolusi perkembangan pemikiran

administrasi publik yakni (1) classic public administration canon; (2) new public

management doctrine; dan (3) post-managerial avenues.


110

Apa yang digambarkan oleh Vigoda-Gadot, et al (2005) sebagaimana

tercermin pada Tabel 8 beriktu ini menunjukkan bahwa pada dasarnya konsep

inovasi sudah ada diera berkembangnya pemikiran classic public administration.

Pemahaman inovasi di era administrasi publik klasik tersebut masih dalam

pengertian yang terbatas. Inovasi hanya dipahami sebatas mekanisme internal

organisasi. Inovasi didominasi oleh top menajer sehingga inovasi lebih bersifat

top down dan hanya bertujuan mempertahankan kekuasan.

Tabel 8. An Evolutionary Analysis of Innovation in Public Administration

Evolution
Essential Classic Public
Questions New Public Post-Managerial
Administration
Management Doctrine Avenues
Canons
1 2 3 4
Q1. What is A threat to old, reliable New ways to respond to New ways to create
innovation? mechanisms citizens as client and social and psychological
produce public goods well-being, economic
surpluses, and political
stability combined

Q2. Why do we Do we need at all? Improving managerial A good combination of


need innovation? qualities in state-owned managerial, social, and
bureaucracies to stabilize democratic values
the welfare state

Q3. What are the Engineering/law/political Organizational and A holistic view:


disciplinary sciences managerial organizational and
origins of sciences/economic and managerial sciences/
innovation? business political sciences/ social
welfare/information and
technology system

Q4. What are the Maintaining the power of Improving the operative Transforming the cultural
primary goals of bureaucracy and its power of bureaucracy sphere of public
innovation? centrality in policymaking through better managerial organizations, increasing
and implementing skills and the triumph of global policy and
process professionalism over management learning
politicization and emulation
111

Evolution
Essential Classic Public
Questions New Public Post-Managerial
Administration
Management Doctrine Avenues
Canons
Q5. Who are the The private sector and Citizens as Citizens as owners and
key beneficiaries social elites clients/customers the global bank of policy
of innovation? and managerial
knowledge, the
community as a whole

Q6. How to Ultimately top down, and First, top down by Top down, bottom-up,
portray the flow only when innovation professional managers and reliance on extra-
of innovation serves political interests who the empower a organizational source,
ideas? bottom-up channel learning, and emulation
process

Q7. Primary Top managers, if at all Managers and employees Managers, employees,
players in the who improve their and extra-organizational
innovation understanding of the players (i.e., the private
process? needs of citizens as sector, the third sector,
clients transnational policy
makers and academics)

Q8. How to Almost no need; classic- Intensive contacts whit the Intensive global contacts
achieve style bureaucracies don’t private sector and whit international
innovation? really need innovation improved learning from innovators,
and see themselves as successful innovators in benchmarking, learning
islands of stability and business firms (PPPs- and emulation of policy
conservatism public private partnership) programs

Q9. How the Lack of formal tools and Output and outcome Output and outcome
evaluate absence of standard measure and the measures as well as
innovation? criteria development of input and process
performance indicators measures in a
(PIs) comparative international
view

Q10. What are Higher standard of living Encouraging competition Global human progress,
the moral to vast population and according to liberal policy learning, and more
justifications for better services to the less ideological economy, equal distribution of
innovation? able increased efficiency and knowledge, practices,
the saving of public money and goods across
nations

Sumber: Diadaptasi dari Vigoda-Gadot, et al (2005:70-71)

Konsep pengembangan inovasi dalam pemerintahan daerah dapat juga

dipahami dari pendekatan teori yang disebut “the adaption-innovation theory”.

Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa semua orang memecahkan masalah

dan kreatif. Teori adaptasi-inovasi ini pertama kali dikembangkan oleh Kirton
112

(1979) seperti dikutip oleh Stum (2009:67) sehingga disebut atau “Kirton’s

Adaption-Innovation Theory”, biasa disingkat Teori KAI. Teori KAI ini menyatakan

bahwa dalam pengembangan inovasi, seseorang bisa diposisikan pada dua hal

yakni adaptors dan innovators. Adaptors digambarkan sebagai “doing things

better” yaitu melakukan hal-hal yang lebih baik. Menurut Stum (2009)

karakteristik dari adaptors adalah (1) peduli dengan pemecahan masalah

daripada mencari masalah; (2) selalu mencari solusi suatu masalah dengan

mencoba dan memahaminya; (3) mempertahankan akurasi yang tinggi dan

bekerja terperinci; (4) selalu taat aturan; (5) sensitif terhadap kohesi

kelompok/tim; dan (6) menyediakan dasar yang aman dalam berinovasi.

Selanjutnya innovators menurut teori Kirton seperti dikutip Stum (2009)

digambarkan sebagai “those who would prefer to do things differently” yaitu

orang-orang yang lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ciri-ciri

yang melekat pada innovators yakni (1) tampak tidak disiplin dan selalu bekerja

dengan pendekatan dari sudut tak terduga; (2) memperlakukan sarana lebih kecil

dalam mengejar tujuan; (3) mampu merinci tugas-tugas dalam waktu yang

singkat; (4) memberikan dinamika untuk perubahan revolusionir dan dalam waktu

tertentu; dan (5) memiliki keraguan dan rendah diri setiap menemukan ide-ide

baru.

2.6.2 Kapasitas Inovasi Organisasi Pemerintah Daerah

Konsep dasar dalam memahami lebih jauh bagaimana pentingnya

kapasitas dimiliki oleh pemerintah daerah dalam melakukan inovasi pada

umumnya dapat ditelusuri melalui teori pengembangan kapasitas (theory of

capacity building) yang dikembangkan oleh M.S. Grindle. Pada tahun 1997,

dalam karyanya berjudul Getting Good Government: Capacity Building in the


113

Public Sector of Developing Countries. Dalam buku ini ditegaskan bahwa

kapasitas itu menyangkut tiga dimensi yakni (1) dimensi sumberdaya manusia

(human resource); (2) dimensi organisasi (organizational strengthening); dan (3)

dimensi reformasi kelembagaan (institutional reform). Pada setiap dimensi

kapasitas tersebut memiliki fokus penekanan tertentu dan jenis-jenis usaha yang

harus dilakukan untuk mengembangkan setiap fokus pada masing-masing

dimensi kapasitas (Grindle, 1997:9). Pada tabel berikut ini memberikan

gambaran lebih rinci dari masing-masing dimensi, fokus dan jenis usaha yang

mendukungnya.

Tabel 10. Dimensions and Focus of Capacity-Building Initiatives

Dimension Focus Types of Activities


Human resource Supply of professional and Training, salaries, conditions
development technical personnel of work, recruitment

Organizational Management systems to Incentive systems, utilization


strengthening improve performance of of personnel, leadership,
specific tasks and functions; organizational culture,
microstructures communications, managerial
structures
Institutional reform Institutions and system; Rules of the game for
macrostructures economic and political
regime, policy and legal
change, constitutional
reform
Sumber: Grindle (1997: 9)

Berdasarkan tabel di atas dapat dipahami bahwa dimensi sumberdaya

manusia fokus pada tersedianya aparatur yang profesional dan memiliki

kemampuan teknis. Agar selalu tersedia aparatur yang profesioanl dan memiliki

teknis yang diinginkan, maka beberapa kegiatan yang harus dilakukan antara

lain: training, pemberian gaji/upah, lingkungan kerja yang kondunsif dan sistim

rekruitmen yang tepat. Pada dimensi penguatan organisasi, fokusnya ditujukan

pada sistim manajemen untuk memperbaiki kinerja dari fungsi-fungsi dan tugas-
114

tugas yang ada dan pengaturan struktur mikro. Aktivitas yang harus dilakukan

adalah menata sistim insentif, pemanfaatan personel yang ada, kepemimpinan,

komunikasi, dan struktur manajerial.

Selanjutnya yang berkaitan dengan dimensi reformasi kelembagaan

(institutuional reform) yang perlu diberi perhatian terhadap perubahan sistem dan

institusi-institusi yang ada, serta pengaruh struktur makro. Dalam hal ini aktivitas

yang perlu dilakukan adalah melakukan perubahan “aturan main” dari sistim

ekonomi dan politik yang ada, perubahan kebijakan dan aturan hukum, serta

reformasi sistim kelembagaan yang dapat mendorong pasar dan berkembangnya

masyarakat madani. Pemahaman terhadap pengembangan kapasitas ini dapat

juga dilihat dalam konteks pemerintahan daerah yang dikembangkan oleh

Keban (2000:7) dan Soeprapto (2004:12).

Konsep-konsep pengembangan kapasitas juga dikemukakan oleh

beberapa ahli. Menurut Fiszbein (1997) dalam Keban (2000:7) dan Soeprapto

(2004:13), bahwa kapasitas bisa dilihat pada: (1) kapasitas tenaga kerja (labor);

(2) kapasitas teknologi yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau

kelembagaan; dan (3) kapasitas “capital” yang diwujudkan dalam bentuk

dukungan sumberdaya, sarana, dan prasarana. Sementara itu, Eade (1998)

dalam Keban (2000:9) juga merumuskan bahwa kapasitas itu memiliki tiga

dimensi, yaitu: (1) individu; (2) organisasi; dan (3) jaringan (networking).

Nampaknya disini dimensi aspek jaringan ini sangat penting karena melalui

dimensi ini individu dan organisasi dapat belajar mengembangkan diri dan

berinteraksi dengan lingkungannya.

Dalam konteks kapasitas inovasi sektor publik, termasuk sektor

pemerintahan daerah, menurut Gabries, et al (2009: 23-24), bahwa dalam

mengelola inovasi sangat ditentukan oleh tiga kunci faktor strategis (three core
115

startegic factors) yaitu pertama, pemimpin yang kredibel (leadership creadiblity).

Pemimpin yang memiliki kredibilitas adalah pemimpin yang memiliki keterampilan

dan perilaku yang dapat dipelajari, dipraktekkan dan digunakan untuk mencapai

kinerja organisasi yang tinggi. Pemimpin yang kredibel adalah pemimpin yang

memiliki visi yang jelas, yang menjadi arah kemana organisasi melangkah. Visi

sorang pemimpin disiini juga harus dikomunikasikan ke bawahan untuk diikuti

dan diwujudkan bersama.

Kedua, faktor adanya tim manajemen yang kuat (strong management

teams). Tim manajemen yang kuat dalam konteks ini adalah struktur birokrasi

pemerintah daerah yang profesional, yang bekerja menurut fungsi dan tugas

masing-masing unit. Struktur manajemen birokrasi harus bekerja secara efisien,

mengambil keputusan secara rasional dan bekerja berdasarkan spesialisasi

masing-masing. Kemudian faktor strategis yang ketiga adalah berfungsinya

badan-badan pemerintahan (governing board functioning). Dalam konteks ini

yang dimaksud adalah bekerjanya lembaga perwakilan warga (council city)

dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis, seperti rencana strategi

pembangunan, kebijakan tentang pengalokasian anggaran dan menyusun solusi-

solusi atas persoalan masyarakat tanpa membeda-bedakan (diskriminasi).

Kapasitas inovasi pemerintahan daerah bisa dipahami melalui suatu

model kapasitas manajemen dan inovasi pemerintahan yang dikembangkan oleh

Kim, et al (2007:33). Dalam studinya mengenai kapasitas inovasi pemerintahan

di Korea, merumuskan suatu model yang disebut model kapasitas manajemen

dan inovasi pemerintahan (a model of management capacity and government

innovation). Model kapasitas manajemen inovasi pemerintahan ini terdiri dari

empat dimensi yang membangun kapasitas manajemen pemerintahan dalam

berinovasi.
116

Keempat dimensi dari model kapasitas manajemen inovasi pemerintahan

meliputi; (1) kepemimpinan inovatif (innovative leadership), yakni tersedianya

kepemimpinan yang memiliki kemampuan inovasi dan memiliki komitmen untuk

menjaga dan menyebarkan inovasi tersebut; (2) kualitas timkerja (quality of

workforce), yakni kualitas aparatur (pegawai pemerintah) yang mempunyai

kompetensi dan skil sehingga bisa profesional dalam bekerja; (3) sistem/struktur

(systems/stuctures), tersedianya sistem organisasi dan struktur organisasi yang

mendukung program inovasi; dan (4) pengelolaan pengaruh dari luar (managing

external influences). Gambaran lebih rinci dari model kapasitas manajemen

inovasi pemerintahan dari Kim, et al (2007) ini dapat disimak pada gambar

berikut ini.

Innovative Leadership Quality of Workforce Systems/Structures Managing external


• Strategic planning • Employee • Team structure influences
• Leadership commitment • Knowledge sharing • Political support
commitment • Professionalism system for financing
• Leadership stability • Reward system new programs
• Evaluation/feedback • Managing
system networks

Environmental Management capacity for Organizational


exigencies innovation characteristics

Government innovation
(adoption+implementation)

Diffusion of innovation

Government
performance

Gambar 6: A Model of Management Capacity and Government Innovation


Sumber: Kim, et al (2007:33)
117

Gambar 6 yang ditampilkan di atas juga menunjukkan bahwa masing-

masing dimensi dalam model kapasitas manajemen inovasi pemerintahan

tersebut memiliki unsur-unsur sebagai prasyarat yang harus ada untuk

mendukung pada setiap dimensi tersebut. Unsur perencanaan strategis,

komitmen pemimpin, dan pemimpin yang stabil merupakan prasyarat untuk

kepemimpinan yang inovatif. Unsur yang menentukan kualitas dari tim kerja

yakni adanya komitmen dan profesionalisme kerja dari pegawai.

Sementara itu, unsur yang mendukung kapasitas sistem/struktur meliputi

struktur tim, sistem berbagi pengetahuan, sistem reward dan evaluasi. Dimensi

terakhir, pengaruh eksternal yang harus dikelola seperti dukungan politik

terhadap anggaran bagi program yang baru dan mengelola jaringan. Kapasitas

manajemen ini menentukan sejauhmana pemerintah mampu mengadopsi dan

mengimplementasikan program inovasi, yang pada akhirnya meningkatkan

kinerja pemerintahan.

Teori desain organisasi seharusnya fokus pada bentuk struktural

organisasi dan kecenderungan untuk berinovasi. Burns dan Stalker (1961) dan

Mintzberg (1979) seperti dikutip Lam (2004:4) mengungkapkan bahwa

”organizational design theories focus predominantly on the link between

structural forms and the propensity of an organization to innovation”. Dalam

pandangan Mintzberg, sebagaimana disajikan pada Tabel 11 berikut ini,

menunjukkan bahwa model struktur suatu organisasi dapat dibedakan dalam

lima tipe organisasi. Kelima tipe organisasi tersebut meliputi; (1) simple structure;

(2) machine bureaucracy; (3) proffesional bureaucracy; (4) devisionalized form;

dan (5) adhocracy. Untuk memahami lebih komprehensif keterkaitan potensi

melakukan inovasi dan bentuk atau jenis organisasi (organization archetypes).


118

Tabel 11. Mintzberg's Structural Archetypes and Their Innovative


Potentials

Organization
Key Features Innovative Potential
Archetype
Simple An organic type centrally Entrepreneurial and often highly
structure controlled by one person but can Innovative, continually searching for
respond quickly to changes in the high-risk environments.
environment, e.g. small start-ups Weaknesses are the vulnerability
in high-technology. to individual misjudgment and
resource limits on growth.

Machine A mechanistic organization Designed for efficiency and


bureaucracy characterized by high level of Stability. Good at dealing with
specialization, standardization routine problems, but highly rigid
and centralized control. A and unable to cope with novelty
continuous effort to routinize and change.
tasks through formalization of
worker skills and experiences,
e.g. mass production firms.

Professional A decentralised mechanistic form The individual experts may be


bureaucracy which accords a high degree of highly innovative within a
autonomy to individual specialist domain, but the
professionals Characterized by difficulties of coordination across
individual and functional functions and disciplines impose
specialization, with a severe limits on the innovative
concentration of power and status capability of the organization as a
in the 'authorized experts'. whole
Universities, hospitals, law and
accounting firms are typical
examples

Divisionalized A decentralized organic form in An ability to concentrate on


form which quasi-autonomous entities developing competency in
are loosely coupled together by a specific niches. Weaknesses
central administrative structure. include the 'centrifugal pull' away
Typically associated with larger from central R&D towards local
organizations designed to meet efforts, and competition between
local environmental challenges. divisions which inhibit
knowledge sharing.

Adhocracy A highly flexible project-based Capable of fast learning and


organization designed to deal unlearning; highly adaptive and
with instability and complexity. innovative. However, the
Problem-solving teams can be unstable structure is prone to
rapidly reconfigured in response short life, and may be driven over
to external changes and market time toward the bureaucracy.
demands. Typical examples are .
professional partnerships and
software engineering firms.

Sumber: Mintzberg (1979); Tidd, et al (1997) dikutip oleh Lam (2004:9).


119

Perspektif inovasi dalam organisasi salah satunya dapat dipahami melalui

artikel yang ditulis oleh Slappendel (1996) yang berjudul Perspectives on

Innovation in Organizations. Dalam pandangan Slappendel (1996:3) kajian

inovasi dalam teori organisasi dapat dilihat dalam tiga perspektif yaitu the

individualist perspective, the structuralist perspective, dan the interactive process

perspective.

Tabel 12. The Main Feature of the Three Perspectives of Innovation

Individualist Structuralist Interactive Process

Basic assumption Individuals cause Innovation determined by Innovation produced by


innovation structural characteristics the interaction of
structural influences and
the actions of individuals

Conceptualization State and objectively State and objectively Innovations are subject to
of an innovation defined objects of defined objects of reinventions and
practices practices reconfigurations.
Innovations are perceived

Conceptualization Simple linear with Simple linear with focus Complex process
of the innovative focus on the on the adoptions stage
process adoptions stage

Core concepts Champions Environment Shocks


Leader Size Proliferation
Entrepreneurs Complexity Innovative capability
Differentiation Context
Formalization
Centralization
Strategic type
Research Cross-sectional Cross-sectional survey Case studies
methodology survey Case histories

Main authors Rogers Zaltman, et al. Van de Ven, et al.


March and Simon

Sumber: Slappendel (1996:3) & Styhre (2007:15)

Perspektif individu, inovasi dikaitkan dengan individu dan aktor-aktor yang

terkait dengan pelaksanaan tugas organisasi. Perspektif struktural, inovasi

bertumpu pada pandangan bahwa inovasi hanya bisa dilakukan jika


120

organisasinya berubah, baik prosedur, struktur dan kulturnya. Sedangkan pada

perspektif adalah perpaduan antara perspektif individu dan struktural yang

bersifat interaktif.

Wilayah Inovasi Birokrasi


Keterpaduan

Pengetahuan
Tataran Kemampuan
INDIVIDU Kompetensi

Kepemimpinan
Tataran Sumberdaya Birokrasi
KELEMBAGAAN Pengambil Innovative
Keputusan
SIM

Kerangka
Tataran Aturan
SISTEM Kebijakan
Pendukung

Gambar 7. Wilayah Inovasi Birokrasi Pemerintah


Sumber: Slappendel (1996) dimodifikasi oleh Said (2010)

Sementara itu, bahwa secara operasional menurut Said (2010:5), ketiga

perspektif inovasi dalam organisasi yakni individu, struktural dan interaktif

sebagaimana yang digambarkan pada Tabel 12 di atas dapat diuraikan kedalam

beberapa komponen. Pada tataran individu, komponen yang harus dimiliki

meliputi pengetahuan (knowledge), kemampuan (ability), dan kompetensi

(competence). Pada tataran kelembagaan, komponennya meliputi kepemimpinan

(leadership), sumberdaya (resource), pengambilan keputusan (decition making),

dan sistem imformasi manajemen (SIM). Pada tataran proses interaktif (sistem),
121

yang harus dipahami adalah mengenai kerangka aturan yang tersedia dan

kebijakan pendukung lainnya.

2.6.3 Tipologi dan Karakteristik Inovasi

Secara historis sebetulnya, konsep inovasi (innovation) sebagai strategi

untuk meningkatkan keunggulan dalam bersaing, telah ada kajian yang cukup

panjang yang dimulai sejak berdirinya administrasi sebagai ilmu. Hal ini telah

diungkap oleh Muluk (2008:41), bahwa era 1990-2000an ditandai dengan

berkembangnya kajian knowledge management yang mengedepankan

pengelolaan pengetahuan sebagai dasar pembentukan core competence

(kompetensi inti) sehingga organisasi dapat mengembangkan daya inovasinya

yang sulit ditiru oleh organisasi lainnya. Jika ini terjadi maka bisa dipastikan

bahwa organisasi tersebut memiliki keunggulan bersaing. Tokoh-tokoh utama

dalam gerakan ini adalah Peter M. Senge (1990) dengan bukunya (the fifth

discipline), Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi (1995) dengan bukunya

(knowledge creating company), dan masih banyak lainnya.

Konsep inovasi secara umum dapat dipahami dalam konteks perubahan

perilaku. Inovasi biasanya erat kaitannya dengan lingkungan yang

berkarakteristik dinamis dan berkembang. Pengertian inovasi sendiri sangat

beragam, dan dari banyak perspektif. Menurut Rogers (2003:12), salah satu

penulis buku inovasi terkemuka, menjelaskan bahwa inovasi adalah sebuah ide,

praktek, atau objek yang dianggap baru oleh individu (satu unit) tertentu dan

diadopsi oleh yang lainnya.

Inovasi sebagai salah satu ciri nilai fleksibilitas organisasi bukan hanya

sekedar melakukan sesuatu yang baru, menemukan sesuatu yang baru, atau

membawa suatu gagasan yang baru sebagaimana definisi inovasi pada


122

umumnya. Namun menurut Sherwood (2002:2), inovasi sebagai suatu proses

memerlukan empat tahapan yakni: (1) tahap pengajuan gagasan yaitu

mempunyai ide lebih dahulu; (2) tahap evaluasi terhadap gagasan yang akan

ditindaklanjuti; (3) tahap pengembangan yaitu memperbaiki gagasan tersebut

dari konsep menjadi realitas yang menghasilkan sesuatu; dan (4) tahap

implementasi yaitu mengupayakan gagasan tersebut sungguh-sungguh terwujud.

Pengertian lain menyebutkan bahwa inovasi adalah kegiatan yang

meliputi seluruh proses menciptakan dan menawarkan jasa atau barang baik

yang sifatnya baru, lebih baik atau lebih murah dibandingkan dengan yang

tersedia sebelumnya. Dapat pula dijelaskan bahwa sebuah inovasi dapat berupa

produk atau jasa yang baru, teknologi proses produksi yang baru, sistem struktur

dan administrasi baru atau rencana baru bagi anggota organisasi.

Pengertian inovasi dapat pula dipahami dalam konteks manajemen sektor

publik. Pemahaman ini dikemukakan oleh Cohen dan Elmicke (1998:2-3) yang

mengemukakan bahwa inovasi manajemen sektor publik selalu berkaitan dengan

aspek design dan management terhadap suatu kebijakan dan program.

Rancangan kebijakan berhubungan perumusan kebijakan (policy formulation).

Sedangkan manajemen suatu program terkait dengan pelaksanaan kebijakan

(policy implementation). Pandangan tersebut diungkapkan oleh Cohen dan

Elmicke dalam pernyataan sebagai berikut:

“The development and implementation of new policy designs and new


standard operating prosedures by public organizations to address public
policy problems”.

Dengan merujuk pada pengertian-pengertian di atas, maka sebuah

inovasi tidak akan bisa berkembang dalam kondisi status quo. Walaupun tidak

ada satu kesepahaman definisi mengenai inovasi, namun secara umum

disimpulkan oleh Rogers dan Shoemaker (1971) seperti dikutip oleh Osborne
123

dan Brown (2005:127) bahwa inovasi mempunyai beberapa atribut sebagai

berikut:

(1) Relative Advantage atau keuntungan relatif, yakni sebuah inovasi harus

mempunyai keunggulan dan nilai lebih dibandingkan dengan inovasi

sebelumnya. Selalu ada sebuah nilai kebaruan yang melekat dalam inovasi

yang menjadi ciri yang membedakannya dengan yang lain.

(2) Compatibility atau kesesuaian, yakni inovasi juga sebaiknya mempunyai

sifat kompatibel atau kesesuaian dengan inovasi yang digantinya. Hal ini

dimaksudkan agar inovasi yang lama tidak serta merta dibuang begitu saja,

selain karena alasan faktor biaya yang tidak sedikit, namun juga inovasi

yang lama menjadi bagian dari proses transisi ke inovasi terbaru.

(3) Complexity atau kerumitan, artinya dengan sifatnya yang baru, maka

inovasi mempunyai tingkat kerumitan yang boleh jadi lebih tinggi

dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Namun demikian, karena

sebuah inovasi menawarkan cara yang lebih baru dan lebih baik, maka

tingkat kerumitan ini pada umumnya tidak menjadi masalah penting.

(4) Triability atau kemungkinan dicoba, artinya inovasi hanya bisa diterima

apabila telah teruji dan terbukti mempunyai keuntungan atau nilai lebih

dibandingkan dengan inovasi yang lama. Sehingga sebuah produk inovasi

harus melewati fase “uji publik”, dimana setap orang atau pihak mempunyai

kesempatan untuk mengujii kualitas dari sebuah inovasi.

(5) Observability atau kemudahan diamati, artinya bahwa sebuah inovasi harus

juga dapat diamati, dari segi bagaimana ia bekerja dan menghasilkan

sesuatu yang lebih baik.

Sementara itu, harus pula dipahami bahwa terdapat perbedaan-

perbedaan antara inovasi di sektor publik dan di sektor swasta. Perbedaan ini
124

dikarenakan adanya nilia-nilai yang dimiliki oleh masing-masing sektor. Nilai-nilai

yang dimiliki oleh sebuah organisasi dan dapat dibandingkan meliputi dimensi

prinsip keorganisasian, struktur organisasi, ukuran kinerja, isu manajemen,

hubungan dengan pengguna akhir, sumber daya manusia, sumber pengetahuan

dan horizon waktu masing-masing organisasi.

Pada dimensi prinsip pengorganisasian sektor bisnis, berupaya untuk

dalam rangka memperoleh profit dan pertumbuhan pendapatan sebanyak-

banyaknya, sementara sektor publik lebih pada upaya penegakan kebijakan

publik yang telah ditetapkan. Sektor bisnis pada dimensi struktur organisasi lebih

bervariasi, sementara sektor publik memiliki struktur yang kompleks dan

seringkali terjadi konflik. Dari aspek isu manajemen, pada sektor bisnis beberapa

manajer mempunyai otonomi dan beberapa lainnya dibatasi oleh shareholder,

corporate goverance dan atau keuangan. Sedangkan pada sektor publik

kebanyakan manajer berada pada posisi tertekan secara politik.

Tabel 13. Karakteristik Inovasi Sektor Bisnis dan Sektor Publik

Dimensi Inovasi Sektor Bisnis Inovasi Sektor Publik


1 2 3
Prinsip Upaya memperoleh profit, stabilitas atau Penegakan kebijakan publik
Pengorganisasian pertumbuhan pendapatan

Pasar yang terus berubah Kebijakan baru dan atau yang berubah
karena siklus politik
Struktur Ukuran organisasi yang Sistem organisasi yang kompleks,
Pengorganisasian Bervariasi kadang konflik satu sama lain

Perubahan besar biasanya mengalokasikan Inovasi harus disesuaikan dengan situasi


dana khusus untuk inovasi kompleks, termasuk isu social equity dan
efisiensi ekonomi
Ukuran kinerja Return of Investment Indikator dan target kinerja yang
(RoI) banyak

Inovasi memakan biaya besar, dihitung dari Keuntungan dari inovasi sangat sulit
selisih keuntungan penjualan diukur
125

Dimensi Inovasi Sektor Bisnis Inovasi Sektor Publik


Isu manajemen Beberapa manajer mempunyai otonomi, Kebanyakan manajer berada dalam
beberapa lainnya dibatasi oleh shareholder, situasi tekanan politik
corporate goverance
dan atau keuangan

Inovasi berhubungan dengan Inovasi memerlukan persetujuan politik


pengambilan resiko
Hubungan dengan Pasar adalah sebagai konsumen dan juga End-users adalah masyarakat, secara
end-users industri. Feedback dari pasar mendorong tradisional adalah warga negara
ide/inovasi
Customer relation tidak terbangun
Inovasi dimotivasi oleh kebutuhan menjaga dengan baik. Inovasi biasanya tidak
hubungan dengan pasar didorong oleh faktor end-users
Rantai supplay Kebanyakan perusahaan Sektor publik tergantung
merupakan bagian dari pada sektor bisnis dalam
rantai supply yang lebih pengadaan barang dan jasa
besar

Inovasi yang dihasilkanperusahaan kecil Sektor publik menentukan


biasanyakalah oleh perusahaan besar, standar, sektor bisnis
karena kalah dalam hal dukungan dana menawarkan inovasi

SDM Motif ekonomi Motif idealis

Pegawai didorong untuk membuat perbaikan Inovasi kadang dilihat sebagai ancaman,
atas produk yang dihasilkan juga sebagai diadopsi untuk perbaikan
pelayanan publik
Sumber Fleksibel dan luas mulai dari konsultan, Sumber pengetahuan sangat banyak.
pengetahuan asosiasi perdagangan, dan peneliti Relatif kaku, hanya beberapa bagian dari
sektor publik sektor publik yang emanfaatkan
universitas

Inovasi bervariasi Jenis inovasi di beberapa


bagian berbeda
Horizon waktu Kebanyakan Short-term Kebanyakan Long-term

Inovasi memerlukan pembayaran secepatnya Kesulitan dalam mengetahui konsekuensi


dari sebuah inovasi

Sumber: Koch dan Hauknes (2005:24-26)

Proses pengembangan inovasi dalam konteks kajian inovasi

pemerintahan daerah dapat dipahami dengan mengutip pandangan. Rogers

(1983:135) menyatakan bahwa secara umum the innovation-development

process meliputi semua keputusan, kegiatan, dan dampak melalui proses yaitu

(1) recognition of a need or problem; (2) through research; (3) development; (4)

commercialization of an innovation; (5) diffusions and adoptions; dan (6) its

consequences. Hal ini dipahami bahwa proses pengembangan inovasi dimulai


126

adanya masalah dan kebutuhan untuk solusinya, kegiatan penelitian,

pengembangan, memperkenalkan, dan selanjutnya melalui difusi dan adopsi dari

suatu inovasi oleh pengguna yang merasakan akibatnya.

Proses pengembangan program inovasi dalam suatu organisasi dapat

juga dipahami dari pandangan Wood, et al (1998:654) yang mengemukakan

empat tahapan dari proses inovasi (steps in the innovation process) yakni:

(1) Idea creation - new product or process idea arise from spontaneous,

creativity, ingenuity and information processing

(2) Initial experimentation - new ideas are first examined in concept to

establish their potential values and applications

(3) Feasibility determination - formal studies are conducted to determine

feasibility of adopting the new product or process including cost and

benefits

(4) Final application - the new product or service is produced and marketed or

the new process is fully implemented.

Keempat tahapan dalam proses inovasi menurut Wood, et al (1998)

tersebut memberikan pemahaman bahwa suatu pengembangan inovasi dalam

organisasi diawali melalui proses penciptaan ide dari suatu produk atau proses

yang baru yang bisa muncul dari spontanitas, kreativitas, kecerdasan dan

pengelolaan informasi. Ide baru tentang produk atau proses tersebut diuji coba

terdahulu dengan membangun konsep tentang nilai-nilai potensinya dan

penerapannya. Selanjutnya dilakukan penentuan kelayakan melalui studi formal

bagaimana mengadopsi produk proses baru termasuk biaya dan manfaat di

dalamnya dan tahapan terakhir adalah mengkomersilkan produk untuk dijual

kepada pelanggan atau klien.


127

Selain pandangan dari Rogers (1983) dan Wood, et al (1998), secara

teoritik proses pengembangan inovasi bisa juga dilihat dari pandangan Eggers &

Singh (2009:7) yang menyebutkan bahwa proses pengembangan inovasi melalui

empat fase atau tahapan, yakni (1) tahap penemuan dan mengungkap gagasan-

gagasan inovasi (idea generation and discovery); (2) tahap menyeleksi gagasan

inovasi tersebut (idea selection); (3) tahap implementasi terhadap ide inovasi

yang terseleksi (idea implementation); (4) tahap difusi inovasi yakni tahap

penyebaran inovasi (idea diffusion). Keempat tahapan yang dinyatakan oleh

Eggers & Singh (2009) ini pada dasarnya merupakan siklus inovasi yang sangat

berperan dalam pengembangan inovasi.

Arti penting pengembangan inovasi bagi organisasi sektor publik, seperti

inovasi pemerintahan daerah dalam kajian ini menjadi perhatian serius dari

Mulgan dan Albury (2003:2). Hal tersebut dapat disimak dalam pernyataannya

seperti berikut:

“Innovation should be a core activity of the public sector: it helps public


services to improve performance and increase public value; respond to the
expectations of citizens and adapt to the needs of users; increase service
efficiency and minimise costs.”

Makna dari apa yang dinyatakan oleh Mulgan dan Albury di atas, bahwa

inovasi seharusnya menjadi inti dari seluruh aktivitas di sektor publik. Inovasi

dapat membantu meningkatkan kinerja pelayanan dan nilai-nilai publik. Inovasi

berarti meningkatkan daya tanggap terhadap harapan warga dan kebutuhan para

pengguna layanan. Juga inovasi dapat menumbuhkan efisiensi dan mengurangi

biaya.

Mulgan dan Albury (2003) juga menyebutkan beberapa alasan mengapa

sektor publik harus melakukan inovasi. Beberapa alasan tersebut meliputi: (1)

inovasi dilakukan untuk merespon secara lebih efektif perubahan dalam


128

kebutuhan dan ekspektasi publik yang terus meningkat; (2) untuk memasukkan

unsur biaya dan untuk meningkatkan efisiensi; (3) untuk memperbaiki

penyelenggaraan pelayanan publik, termasuk dibagian-bagian di masa lalu

hanya mengalami sedikit kemajuan; (4) untuk mengkapitalisasikan penggunaan

ICT secara penuh, karena hal ini telah terbukti meningkatkan efisiensi dan

efektivitas dalam penyelenggaraan pelayanan.

Setelah memahami konsep-konsep terkait dengan proses

pengembangan inovasi, berikutnya dikemukakan konsep-konsep yang

berhubungan dengan tipologi atau jenis inovasi di sektor publik (pemerintahan).

Terkait dengan tipologi inovasi sektor publik ini menurut Halvorsen (2005:5),

telah membagi tipologi inovasi di sektor publik seperti berikut ini:

(1) A new or improved service (pelayanan baru atau pelayanan yang

diperbaiki), misalnya pelayanan kesehatan di rumah.

(2) Process innovation (inovasi proses), misalnya perubahan dalam proses

penyediaan pelayanan atau produk.

(3) Administrative innovation (inovasi bersifat administratif), misalnya

penggunaan instrumen kebijakan baru sebagai hasil dari perubahan

kebijakan.

(4) System innovation (inovasi sistem), adalah sistem baru atau perubahan

mendasar dari sistem yang ada dengan mendirikan organisasi baru atau

bentuk baru kerjasama dan interaksi.

(5) Conceptual innovation (inovasi konseptual), adalah perubahan dalam

outlook, seperti misalnya manajemen air terpadu atau mobility leasing.

(6) Radical change of rationality (perubahan radikal), yang dimaksud adalah

pergeseran pandangan umum atau mental matriks dari pegawai instansi

pemerintah.
129

Lebih lanjut Halvorsen (2005) menjelaskan pula bahwa inovasi itu sendiri

dapat dikategorikan menjadi seperti berikut ini:

(1) Incremental innovations and radical innovations. Inovasi ini berhubungan

dengan tingkat keaslian (novelty) dari inovasi itu sendiri. Khususnya di

sektor industri, kebanyakan inovasi bersifat perbaikan secara inkremental

(2) Top-down innovations and bottom-up innovations. Ini untuk menjelaskan

siapa yang memimpin proses perubahan perilaku. Makan top-down berarti

manajemen atau organisasi atau hirarkhi yang lebih tinggi, sedangkan

bottom-up merujuk pada pekerja atau pegawai pemerintah dan pengambil

keputusan pada tingkat unit (mid-level policy makers).

(3) Needs-led innovations and efficiency-led innovation. Proses inovasi yang

diinisiasi telah menyelesaikan permasalahan dalam rangka untuk

meningkatkan efisiensi pelayanan, produk dan prosedur.

Mulgan dan Albury (2003:3), menyatakan bahwa inovasi yang sukses

adalah merupakan kreasi dan implementasi dari proses, produk, layanan, dan

metode pelayanan baru yang merupakan hasil pengembangan nyata dalam

efisiensi, efektivitas atau kualitas hasil. Oleh karena itu inovasi telah berkembang

jauh dari pemahaman awal yang hanya mencakup inovasi dalam produk

(products & services) dan proses semata. Inovasi produk atau layanan berasal

dari perubahan bentuk dan desain produk atau layanan, sementara inovasi

proses berasal dari gerakan pembaruan kualitas yang berkelanjutan dan

mengacu pada kombinasi perubahan organisasi, prosedur, dan kebijakan yang

dibutuhkan untuk berinovasi. Jenis-jenis dan tipologi inovasi sebagaimana yang

dimaksudkan oleh Mulgan dan Albury tersebut dapat dilihat secara visual pada

Gambar 8 berikut ini.


130

Gambar 8. Tipologi Inovasi Sektor Publik

Sumber: Muluk, (2008:45)

Selain itu Windrum (2008:8) juga dalam karyanya berjudul: Innovation in

Public Sector Services: Entrepreneurship, Creativity and Management,

mengungkapkan adanya taksonomi inovasi yang terdiri dari enam jenis inovasi.

Keenam inovasi sektor publik menurut Windrum (2008) yaitu:

(1) Service innovation is the introduction of a new service product or an


improvement in the quality of an existing service product.

(2) Service delivery innovation involves new or altered ways of delivering to


clients or otherwise interacting with them, for the purpose of supplying
specific public services.

(3) Administrative and organizational innovation changes the organizational


structures and routines by which front office staff produces services in a
particular way and/or back office staff support front office services.
131

(4) Conceptual innovation is the development of new world views that


challenge assumptions that underpin existing service products, processes
and organizational. It can occur at all levels and involve the introduction of
new missions, new world views, objectives, strategies and rationales.

(5) Policy innovations change the thought or behavioural intentions associated


with a policy belief system (Sabatier, 1987, 1999). Policy innovations are
associated with three types of learning (Glasbergen, 1994). First, there is
learning of how policy instruments can be improved to achieve a set of
goals. Second, there is conceptual learning that follows changes in shared
understanding of a problem and appropriate courses of action. Third, there
is social learning based on shared understanding of the appropriate roles of
policy actors.

(6) Systemic innovation involves new or improved ways of interacting withother


organizations and knowledge bases. As a consequence of deregulation and
increasing competition, partly as the result of budgetary constraints in public
administration and the increasing role of service outsourcing.

Berdasarkan pembagian jenis inovasi tersebut, oleh Windrum (2008)

dalam buku yang sama, memberi penjelasan bahwa jenis inovasi yang pertama

sampai dengan ketiga yakni service innovation, delivery innovation, dan

organizational innovation, merupakan jenis inovasi yang telah lama dikenal dan

diujikan pada studi-studi sektor swasta. Namun selanjutnya dalam rangka

pengembangan analisis terhadap inovasi dalam suatu organisasi, terutama

organisasi sektor publik, maka digunakan jenis atau kategori berikutnya, yakni

conceptual innovation (inovasi konseptual), policy innovation (inovasi kebijakan),

dan systemic innovation (inovasi sistemik).

2.6.4 Strategi dan Faktor Berpengaruh Terhadap Inovasi

Strategi dalam proses inovasi menjadi amat penting untuk memastikan

kesuksesan suatu inovasi dijalankan dalam organisasi publik. Untuk itulah, pada

bagian ini diuraikan beberapa pandangan tentang strategi dan faktor-faktor yang

menghambat dalam proses inovasi. Terkait dengan proses inovasi ini, Behn

(2008:142), menyatakan bahwa terdapat empat jenis proses yang berbeda

dalam penerapan inovasi yang kerap dikembangkan, antara lain:


132

(1) Diffusion, yakni proses inovasi yang sifatnya tidak disengaja (unintentional),

berlangsung spontan (spontaneous), proses yang tidak tampak (hidden-

hand) dilakukan oleh seseorang ketika mendengar tentang inovasi dan

menyimpulkan bermanfaat untuk di coba. Sering disebut dengan “the

somehow people will learn how to get better approach”.

(2) Transfer, yakni pertukaran ide-ide secara informal dan diparaktekkan oleh

suatu jaringan antara individu-individu, biasanya jaringan pertemanan dan

kolega dalam suatu profesi (pekerjaan) yang sama atau area kebijakan,

meskipun berbeda organisasi atau wilayah kerja. Biasanya disebut “the

friends will tell friends about how they are getting better approach”.

(3) Propagation, yakni suatu upaya berupa pemikiran atau perencanaan yang

telah disiapkan terlebih dahulu (mungkin oleh inovator-inovator, individu

diluar organisasi, atau level pemerintahan yang lebih tinggi) untuk membuat

strategi dialog terhadap pendidikan dan bantuan untuk mentransfer inovasi

dari orang (pihak) lain. Hal ini seringkali disebut sebagai “the we ought to

help people learn how to get better approach”.

(4) Replication, yakni suatu usaha sadar yang dilakukan oleh organisasi

(individu di dalam organisasi) yang bekerja keras untuk memperbaiki,

dengan mencari secara aktif terhadap ide-ide, kebijakan, program, dan

praktek yang telah sukses dan dapat diadopsi. Jenis sering disebut dengan

ungkapan “the we want to learn from others who know how to get better

approach”.

Dalam salah satu makalah yang diliris oleh NESTA (2008: 11), telah

meninjau faktor-faktor kunci yang dapat mempengaruhi sejauh mana pemerintah

dan organisasi sektor publik lainnya dapat secara mandiri menghasilkan inovasi.

Faktor-faktor kunci yang dapat mempengaruhi yang dimaksud meliputi:


133

(1) Jenis organisasi atau rantai penyediaan pelayanan (the type of agency or

service delivery chain);

(2) Misi utama organisasi (the agency’s fundamental mission);

(3) Cakupan fungsional di mana organisasi beroperasi (the functional area in

which the organization operates);

(4) Ukuran dan hirarki organisasi (the size and hierarchy of the organization);

(5) Ruang lingkup organisasi (the organization’s national, regional, urban or

rural location);

(6) Kebijakan organisasi yang berkaitan dengan manusia secara umum (the

organization’s general human relations policies);

(7) Apakah organisasi memiliki kebijakan khusus dan program yang

mendorong inovasi (whether the organization has specific policies and

programmes encouraging innovation).

Dalam proses implementasi inovasi menurut Slappendel (1996:109)

paling tidak dapat dilihat dari tiga perspektif yang saling melengkapi, yakni (1) the

individual perspective, yang menekankan pada aktor individu sebagai pihak

utama dengan prinsip the principal agents dalam melakukan inovasi; (2) the

structural perspective, menganggap bahwa inovasi sangat ditentukan oleh

karakteristik organisasi); dan (3) the interactive perspective, keberhasilan suatu

inovasi merupakan dampak dari kolaborasi antara kelompok individu, organisasi

dan sumber daya yang relevan (Styhre, 2007: 14)

Dalam implementasinya, inovasi pun tidak terjadi secara mulus atau

tanpa resistensi. Banyak dari kasus inovasi diantaranya justru terkendala oleh

berbagai faktor. Pada umumnya faktor budaya organisasi menjadi faktor

penghambat terbesar dalam mempromosikan sebuah inovasi. Selain faktor

budaya organisasi tersebut, banyak lagi faktor yang dapat menghambat


134

tumbuhnya inovasi dalam suatu organisasi, sebagaimana tampak pada gambar

berikut.

Reluctance to close
down failing
Culture programmes or Over-reliance on
of risk aversion organisation high performers as
sources of
innovation

Delivery Technologies
pressures and NO available but
administrative INNOVATION constraing culture or
burders organizational
arrangements

Short-term No rewards or
budgets and Poor skills in active incentives to
planning horizons risk or change innovate or adopt
management innovations

Gambar 9. Faktor-faktor Penghambat Inovasi

Sumber: Mulgan dan Albury (2003:31)

Gambar 9 pada bagian di atas ini memberikan ilustrasi tentang adanya

sejumlah hambatan dalam pengembangan inovasi yang dapat diidentifkasi

menjadi delapan jenis penghambat. Diantaranya yang disebut dengan budaya

risk aversion adalah budaya yang tidak menyukai resiko. Hal ini berkenaan

dengan sifat inovasi yang memiliki segala resiko, termasuk resiko kegagalan.

Sektor publik, khususnya pegawai cenderung enggan berhubungan dengan

resiko, dan memilih untuk melaksanakan pekerjaan secara prosedural-

administratif dengan resiko minimal. Selain itu, secara kelembagaan pun,

biasanya karakter unit kerja di sektor publik pada umumnya tidak memiliki
135

kemampuan dalam menangani resiko yang muncul sebagai akibat dari

pekerjaanya.

Hambatan-hambatan lainnya yang dapat ditemukan pada Gambar 9

adalah adanya ketergantungan terhadap figur atau pemimpin tertentu yang

memiliki kinerja tinggi, sehingga kecenderungan kebanyakan pegawai di sektor

publik hanya menjadi pengikut (followers). Ketika figur atau pemimpin tersebut

hilang dan digantikan oleh figur lainnya, maka yang terjadi adalah stagnasi dan

kemacetan kerja. Selain itu, hambatan anggaran yang periodenya terlalu pendek,

serta hambatan administratif yang membuat sistem dalam berinovasi menjadi

tidak fleksibel. Sejalan dengan itu juga, biasanya penghargaan atas karya-karya

inovatif masih sangat sedikit. Sangat disayangkan hanya sedikit apresiasi yang

layak atas prestasi pegawai atau unit yang berinovasi.

Faktor-faktor inovasi yang disampaikan oleh Mulgan dan Albury pada

Gambar 9, pada dasarnya menyangkut dua hal, yakni (1) faktor-faktor inovasi

yang bersumber dari individu, baik pegawai maupun pemimpinnya; dan (2)

faktor-faktor inovasi yang bersumber atau berkaitan dengan karakter organisasi.

Terkait dengan faktor-faktor inovasi ini, pengembangan inovasi sektor publik

perlu pula dipahami bahwasanya terdapat faktor-faktor kritis yang lain. Faktor-

faktor kritis pengembangan inovasi tersebut, seperti yang dikemukakan oleh

Muluk (2008:49) bahwa inovasi sektor publik bukanlah sebuah kondisi yang

dapat sukses dijalankan dengan sebatas niat saja apalagi terjadi dengan

sendirinya.

Oleh sebab itu dibutuhkan beberapa faktor untuk menjamin keberhasilan

pengembangan sebuah inovasi pemerintahan daerah. Beberapa faktor kritis

tersebut antara lain: (1) kepemimpinan yang mendukung inovasi yakni kemauan

politik yang kuat, penguatan mandat (peraturan daerah), membangun visi dan
136

misi sistem inovasi; (2) pengembangan budaya inovasi; (3) tersedianya pegawai

terdidik dan terlatih (4) pengembangan tim inovasi yang memiliki kinerja inovasi

dan jaringan inovasi; dan (5) orientasi kinerja yang terukur. Tanpa kehadiran

faktor-faktor ini maka terjadinya inovasi pemerintahan daerah akan menjadi sulit

terealisasi. Dengan demikian faktor-faktor kritis tersebut perlu terus diidentifikasi

dan perlu pula terus dijamin ketersediaannya dalam suatu organisasi.

2.7. Model Konseptual (Conseptual Model) Penelitian

Model konseptual penelitian ini di awali dengan menengok kembali dasar

hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah secara umum, termasuk

pembagian urusan pemerintahan dalam sistem pemerintahan daerah di

Indonesia. Dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembagian

urusan pemerintahan dalam konteks penelitian ini mengacu pada dua undang-

undang yakni UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah. Kedua undang-undang yang mengatur sistem

pemerintahan daerah tersebut merupakan wujud dari model desentralisasi yang

pada prinsipnya telah memberi ruang yang cukup lebar bagi daerah untuk

berkreasi dan berinovasi baik secara politik maupun administrasi. Ruang politik

dan administrasi yang cukup lebar tersebut juga sudah digunakan oleh beberapa

daerah untuk berinovasi dalam mengembangkan program urusan pendidikan

sebagaimana yang berlangsung di Kabupaten Gowa.

Pada awalnya konsep inovasi sebagai basis keunggulan sebuah

organisasi dalam memenangi persaingan hanya terkenal di sektor bisnis. Dalam

perkembangannya, inovasi ini telah lama menjadi topik para ahli di antaranya

oleh Korten (1976), Rogers (1983) dan Wood, et al (1998) dan menemui

puncaknya ketika konsep knowledge management dikembangkan untuk


137

membentuk core competence suatu organisasi dalam berinovasi (Senge, 1990)

dan (Muluk, 2008). Kemudian konsep inovasi ini dikembang pula oleh para

ilmuwan dan peneliti bidang administrasi publik sebagai instrumen alternatif dan

strategis baik secara politik maupun administratsi dalam menghadapi persoalan-

persoalan di sektor publik yang semakin kompleks. Hal ini dapat dilihat dari

pandangan Mugan & Albury (2003), Farazamand (2004), Vigoda-Gadot (2005),

Borins (2008), dan Eggers & Singh (2009).

Dalam konteks penelitian ini, konsep inovasi dipahami sebagai instrumen

administrasi pemerintahan yang sudah banyak dikembangkan dan diterapkan

dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu di antaranya adalah

pengembangan inovasi pemerintahan daerah di Kabupaten Gowa dalam urusan

pendidikan sebagai urusan wajib dan bersifat pelayanan dasar bagi masyarakat.

Berdasarkan pada fokus pertama dari penelitian ini yakni proses pengembangan

program inovasi dalam urusan pendidikan, maka fokus kajian dilakukan dalam

konteks pemerintahan daerah yang memiliki dua fungsi dan wewenang yakni

fungsi mengatur dan fungsi mengurus (Hossein, 2009) dan (Muluk, 2009). Fungsi

mengatur dalam konteks penyelenggaraan urusan pendidikan bermakna bahwa

pemerintah daerah (KDH) dan DPRD melaksanakan proses pembentukan

(perumusan) kebijakan (Perda) yang disebut juga sebagai proses politik.

Sementara fungsi mengurus bermakna sebagai proses manajerial yakni

implementasi kebijakan (Perda) oleh pemerintah daerah (KDH) dan perangkat

daerah terhadap kebijakan dan program yang berkaitan dengan program inovasi

dalam urusan pendidikan. Proses pengembangan program inovasi dapat juga

difahami dengan berdasar pada pandangan Rogers (1983) yakni program

inovasi dilaksanakan melalui proses adanya kebutuhan atau masalah, penelitian,

pengembangan, komersialisasi, difusi dan manfaat. Serta melalui pendapat


138

Wood, et al (1998) yakni proses penciptaan ide, uji coba pendahuluan,

penentuan kelayakan, dan penerapan.

Fokus penelitian yang berhubungan dengan tipologi program inovasi

dalam urusan pendidikan didalami dengan menggunakan konsep tipologi inovasi

di sektor publik yang dikembangkan oleh Mugan & Albury (2003) dan Muluk

(2008). Dalam kajian inovasi sektor publik dikenal ada lima tipologi inovasi yakni

inovasi produk layanan, inovasi proses pelayanan, inovasi metode pelayanan,

inovasi kebijakan, dan inovasi sistem. Selain itu terdapat pula kategorisasi level

inovasi yakni dimulai dari level inkremental, radikal, dan transformatif (sistemik).

Sementara itu konsep tentang kriteria dari suatu program inovasi didasarkan

pada konsep best practices sebagai dasar inovasi yang dikembangkan oleh

Prasojo, et al (2004) yakni memiliki dampak positif dan nyata (impact), kemitraan

(partnership) dalam proses, dan jaminan berkelanjutan (sustainability). Konsep

tipologi inovasi dan kategorisasi level inovasi serta kriteria program inovasi inilah

yang dijadikan sebagai alat analisis kajian untuk memahami lebih dalam

bagaimana tipologi inovasi dalam urusan pendidikan.

Konsep kapasitas pemerintah daerah dalam konteks ini adalah

kemampuan yang dipunyai oleh pemerintah daerah sebagai organisasi publik

dalam mengembangkan program inovasi urusan pendidikan. Kapasitas inovasi

pemerintah daerah dimaksudkan agar tercapai model pengembangan inovasi

pemerintahan daerah yang efektif dan efisien. Beberapa konsep kapasitas yang

ditampilkan antara lain konsep capacity building dari Grindle (1997) dan model of

management and government Innovation yang dikembangkan oleh Kim, et al

(2007). Dalam konteks kapasitas inovasi pemerintahan daerah dalam urusan

pendidikan ini lebih relevan menggunakan konsep model kapasitas manajenen

inovasi inovasi menurut Kim, et al (2007) yang meliputi innovative leadership


139

(kepemimpinan inovatif), quality of workforce (kualitas tim kerj), systems dan

structures (sistem dan struktur), serta managing external influences (pengelolaan

pengaruh-pengaruh dari luar).

Bagian akhir dari kerangka konseptual penelitian ini juga ditampilkan

beberapa faktor yang dinilai sebagai penghambat pengembangan inovasi

pemerintahan daerah secara efektif, efisien, dan profesional. Faktor-faktor

penghambat yang dimaksud dikemukakan oleh Mulgan dan Albury (2003) yang

meliputi pertama, faktor-faktor yang berhubungan dengan dengan individu

sumber daya aparatur dan pemimpin organisasinya. Kedua, faktor-faktor

penghambat yang terkait dengan karakteristik dari institusi dan organisasi yang

bersangkutan misalnya struktur organisasi, regulasi, anggaran, jaringan (internal

dan eksternal), dan budaya organisasi yang cenderung resisten terhadap hal-hal

baru.

Melalui pengembangan model konseptual penelitian tentang inovasi

pemerintahan daerah ini diharapkan berkontribusi dalam mengkaji dan

memahami bagaimana seharusnya efektivitas pengembangan inovasi

pemerintahan daerah khususnya dalam penyelenggaraan urusan pendidikan

berlangsung. Secara sederhana model konseptual penelitian ini dapat diliihat

pada Gambar 10 tentang model konseptual pengembangan inovasi

pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan berikut ini.


28

URUSAN WAJIB PENDIDIKAN


UU No. 32/2004 & UU No. 23/2014

LATAR BELAKANG MASALAH


Fenomena empirik dunia
pendidikan

INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH


Eggers & Singh (2009) Borins (2008), Vigoda-Gadot (2005),
Farazmand A. (2004), Mulgan & Albury (2003), Watson DJ.
(1999), Roberts (1999), Slappendel (1996), & Kirton (1976),

TIPOLOGI PROGRAM
INOVASI
Mulgan & Albury (2003), Prasojo (2004),
& Muluk (2008),

PROSES PENGEMBANGAN KAPASITAS INOVASI


FAKTOR-FAKTOR
PROGRAM INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH
PENGHAMBAT INOVASI
Eggers & Singh (2009), Hoessein B. Grindle MS. (1997), Kim, et al (2007),
Mulgan & Albury (2003)
(2009), Muluk (2008), Wood et al (1998), & Eggers & Singh (2009), Evans M. (2010)
Rogers (1983)

PENGEMBANGAN INOVASI
PEMERINTAHAN DAERAH YANG EFEKTIF, EFISIEN & PROFESIONAL

Gambar 10: Model Konseptual (Conceptual Model) Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan
BAB III

ANALISIS SOCIAL SETTING PENELITIAN

Pada bagian ini dipaparkan analisis dan deskripsi latar sosial masyarakat

dan pemerintahan daerah kabupaten Gowa sebagai lokus penelitian, dimana

lokasi penelitian tentang inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan ini

dilakukan. Analisis latar sosial penelitian ini diharapkan berguna untuk

mengetahui kondisi nyata masyarakat daerah Kabupaten Gowa. Kondisi latar

sosial masyarakat suatu daerah memiliki makna penting dalam inovasi

pemerintahan daerah, karena makna daerah otonom adalah kesatuan

masyarakat hukum yang memiliki wewenang mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan berdasarkan kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat.

Oleh karena itulah, maka analisis dimulai dengan memaparkan kondisi

umum latar sosial masyarakat, kemudian kondisi-kondisi khusus mengenai latar

sejarah dan masa kini penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten Gowa.

3.1 Latar Sosial Masyarakat Kabupaten Gowa

Dahulu Gowa merupakan satu kerajaan orang Makassar yang besar di

Sulawesi Selatan. Kabupaten Gowa merupakan daerah atau wilayah Kerajaan

Gowa. Gowa sering menjadi model kehidupan kebudayaan dan kehidupan adat

istiadat orang-orang suku Makassar. Masyarakat Makassar dalam kacamata

sosiologi adalah sebuah kelompok dengan anggota individu yang hingga kini ciri

utamanya adalah bahasa atau mungkin juga ragam yang digunakannya untuk

berkomunikasi dikalangan mereka. Bahasa tersebut adalah bahasa yang juga

hingga kini masih diterima dengan istilah bahasa Makassar.

141
142

Masyarakat Kabupaten Gowa dilihat dari segi populasinya, saat ini sudah

berjumlah 594.423 jiwa. Etnis mayoritas masyarakat adalah etnis Makassar atau

To-Mangkasara. Masyarakat mendiami wilayah Kabupaten Gowa yang luasnya

1.883,33 Km2 atau sama dengan 3,01 persen dari luas wilayah Provinsi

Sulawesi Selatan. Tersebar di 18 Kecamatan dan Desa/Kelurahan definitif

sebanyak 167 dan 726 Dusun/Lingkungan.

Wilayah Kabupaten Gowa sebagian besar berupa dataran tinggi berbukit-

bukit, yaitu sekitar 72,26 persen yang meliputi sembilan kecamatan yakni

Kecamatan Parangloe, Manuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya,

Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu. Selebihnya 27,74 persen berupa

dataran rendah dengan topografi tanah yang datar meliputi sembilan Kecamatan

yakni Kecamatan Somba Opu, Bontomarannu, Pattallassang, Pallangga,

Barombong, Bajeng, Bajeng Barat, Bontonompo dan Bontonompo Selatan.

Memperhatikan tipologi geografis daerah Kabupaten Gowa tersebut,

maka wajar jika mata pencaharian pokok masyarakat Gowa adalah berladang

dan bersawah (pammarri). Mata pencaharian kedua bagi masyarakat Gowa

adalah berlayar mengarungi lautan, baik sebagai pedagang antar pulau maupun

sebagai nelayan penangkap ikan. Hal tersebut sesuai dengan data Survei

Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2009, lapangan perkejaan yang paling

banyak digeluti adalah sektor pertanian yaitu 42,81 persen dibanding dengan

lapangan pekerjaaan sektor lainnya.

Susenas (2009) juga mencatat bahwa 14,32 persen penduduk berumur

10 tahun keatas tidak pernah sekolah, 21,45 persen yang masih sekolah, dan

64,24 persen sudah tidak bersekolah lagi. Bila dilihat dari pendidikan yang

ditamatkan, terdapat 21,38 persen penduduk usia 10 tahun keatas yang

tidak/belum tamat SD, 23,67 persen tamat SD, 15,94 persen tamat SLTP, 18,16
143

persen tamat SMU/SMA kejuruan, sisanya (7,53 persen) merupakan tamatan D1

hingga S3.

Sementara itu, 54,37 persen penduduk usia 16-18 tahun masih

bersekolah, dan 43,16 persen tidak bersekolah lagi. Selain itu, hanya 13,49

persen dari penduduk usia 19-24 tahun yang melanjutkan pendidikannya ke

jenjang pendidikan tinggi. Dilihat dari jumlah sekolah, jumlahnya semakin

bertambah dari tahun ke tahun, namun sebaliknya, jumlah guru justru cenderung

mengalami penurunan. Pada tahun 2008, jumlah guru SD sebanyak 1.594 orang,

namun pada tahun 2009 berkurang 42 persen menjadi 913 orang.

Tabel 14. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)


Kabupaten Gowa Tahun 2006-2012

No. Indikator 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Angka Harapan Hidup


1. 70,9 71,07 71,25 71,43 71,61 71,78 71,96
AHH (Tahun)

Angka Melek Hurup


2. 78 79,78 79,78 80,27 81,92 82,32 82,49
(Persen)
Rata-rata Lama
3. Sekolah 6,36 6,36 6,36 6,57 6,83 7,23 7,23
(Tahun)
Paritas Daya Beli
4. 622,23 630,40 635,50 639,15 639,23 641,00 643,00
(Ribu Rp.)

5. IPM Gowa 67,74 68,87 69,37 70,00 70,67 71,29 71,59

6. Peringkat Provinsi 16 15 15 15 15 14 14

Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2013

Deskripsi latar sosial masyarakat, sebagaimana telah diuraikan, dapat

menunjukkan beberapa ciri sosial masyarakat Kabupaten Gowa yaitu: (1)

masyarakat masih homogen dari sisi etnis; (2) kondisi masih agraris dan rural;
144

dan (3) rata-rata pendidikan masyarakat masih rendah. Ciri-ciri sosial

masyarakat seperti ini, tentu dapat menjadi dasar (modal sosial) untuk semakin

mendorong pemerintah daerah setempat melakukan terobosan dalam

melaksanakan pembangunan dan pelayanan publik di daerah ini. Sebaliknya ciri

sosial masyarakat tersebut bisa menjadi penghambat jika tidak dilakukan dengan

strategi yang tepat. Di sinilah dibutuhkan pemikiran-pemikiran inovatif dari

pemerintah daerah terutama Kepala Daerah dan DPRD Kabupaten Gowa dalam

melaksanakan fungsinya sebagai public services dan public goods delivery.

3.2 Deskripsi Latar Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa

3.2.1 Latar Sejarah Pemerintahan Daerah

Pemerintahan daerah Kabupaten Gowa memiliki catatan sejarah yang

panjang. Sejarah pemerintahan daerah kabupaten ini pada dasarnya dapat

ditelusuri jejaknya sejak Nusantara ini masih terdiri atas berbagai kerajaan yang

ada pada beberapa abad yang lalu. Terutama jejak sejarah pemerintahan di

daerah ini dapat ditelusuri sejak pemerintahan Kerajaan Gowa berkuasa pada

abad ke XVI yang lalu. Oleh karena daerah Kabupaten Gowa adalah pusat

Kerajaan Gowa yang sangat terkenal terutama ketika dipimpin oleh Sultan

Hasanuddin, Raja Gowa ke XVI yang terkenal dengan gelar Ayam Jantan dari

Timur.

Pada bagian ini, pemahaman terhadap kondisi pemerintahan daerah

Kabupaten Gowa hanya dijelaskan dalam perpektif pemerintah modern setelah

merdeka. Berdasarkan risalah pemerintahan daerah di Indonesia, Kabupaten

Gowa adalah salah satu daerah otonom yang terbentuk melalui UU No. 44

Tahun 1950 tentang pembentukan 30 Daerah Swapraja termasuk 13 Daerah

Swapraja di Indonesia Bagian Timur. Sejarah Pemerintahan Daerah Gowa


145

berkembang mengikuti sistem pemerintahan negara. Setelah Negara Indonesia

Timur bubar dan negara berubah menjadi sistem Pemerintahan Parlementer

berdasarkan UUDS Tahun 1950 dan UU Darurat No. 2 Tahun 1957, maka

Daerah Makassar menjadi bubar pula.

Kemudian barulah pada tanggal 17 Januari 1957 ditetapkan berdirinya

kembali Daerah Gowa dalam wadah NKRI dan ditetapkan pula sebagai Daerah

Tingkat II. Selanjutnya dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1957 tentang

Pemerintahan Daerah untuk seluruh wilayah Indonesia maka pada tanggal 18

Januari 1957 telah dibentuk Daerah-daerah Tingkat II. Berdasarkan UU No. 29

Tahun 1957 sebagai penjabaran UU No. 1 Tahun 1957 mencabut UU Darurat

No. 2 Tahun 1957 dan menegaskan bahwa Gowa sebagai Daerah Tingkat II

yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Dalam melaksanakan pemerintahan daerah didasarkan pada Surat

Keputusan Mendagri No. U.P/7/2/24 tanggal 6 Pebruari 1957 yang mengangkat

Andi Ijo Karaeng Lalolang sebagai Kepala Daerah. Kepala Daerah ini memimpin

12 (dua belas) daerah bawahan Distrik yang dibagi menjadi 4 (empat) lingkungan

kerja pemerintahan yang disebut koordinator. Pada tahun 1960 berdasarkan

kebijakan dari Pemerintah Pusat, di seluruh Wilayah Republik Indonesia

diadakan Reorganisasi Distrik menjadi Kecamatan. Kabupaten Daerah Tingkat II

Gowa yang mulanya terdiri 12 Distrik diubah menjadi delapan Kecamatan.

Berdasarkan PP No. 51 Tahun 1971 tentang Perluasan Kotamadya Ujung

Pandang sebagai Ibukota Propinsi, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II

Gowa menyerahkan 2 (dua) Kecamatan yang ada di wilayahnya, yaitu

Kecamatan Panakkukang dan sebagian Kecamatan Tamalate dan Desa

Barombong Kecamatan Pallangga (seluruhnya 10 Desa) kepada Pemerintah

Kotamadya Ujung Pandang.


146

Terjadinya penyerahan sebagian wilayah tersebut, mengakibatkan makna

samarnya jejak sejarah Gowa di masa lampau, terutama yang berkaitan dengan

aspek kelautan pada daerah Barombong dan sekitarnya. Hal ini mengingat,

Gowa justru pernah menjadi sebuah Kerajaan Maritim yang berjaya di Indoneia

Bagian Timur, bahkan sampai ke Asia Tenggara. Dengan dilaksanakannya UU

No. 51 Tahun 1971, maka praktis wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa

mengalami perubahan yang sebelumnya terdiri 8 (delapan) Kecamatan dengan

56 Desa menjadi 7 (tujuh) Kecamatan dengan 46 Desa.

Sebagai akibat dari perubahan itu pula, maka Pemerintah Daerah

Kabupaten Gowa berupaya dan menempuh kebijakan-kebijakan yang didukung

oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan membentuk 2

(dua) buah Kecamatan yaitu Kecamatan Somba Opu dan Kecamatan Parangloe.

Guna memperlancar pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan masyarakat

Kecamatan Tompobulu, maka berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat

I Propinsi Sulawesi Selatan No.574/XI/1975 dibentuklah Kecamatan Bungaya

hasil pemekaran Kecamatan Tompobulu. Berdasarkan PP No. 34 Tahun 1984,

Kecamatan Bungaya didefenitifkan sehingga jumlah kecamatan di Kabupaten

Gowa menjadi 9 (sembilan). Dalam sejarah keberadaan Pemerintah Kabupaten

Daerah Tingkat II sejak tahun 1957 sampai sekarang telah mengalami 12 (dua

belas) kali pergantian Kepala Daerah.

Berdasarkan data dokumentasi peneliti, bahwa kini pemerintahan daerah

Kabupaten Gowa secara administratif terbagi menjadi 18 Kecamatan, 127 Desa,

44 Kelurahan, dan 726 Dusun (Lingkungan). Wilayah administratif pemerintahan

daerah Kabupaten Gowa ini terbentang diatas luas wilayah 1.883,33 Km2 atau

setara 3,01% dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.


147

Tabel 15. Wilayah Kecamatan dan Jumlah Penduduk Kabupaten Gowa


Tahun 2011

Jumlah Luas Kecamatan


No Kecamatan
Penduduk (Jiwa) (Km2)
1. Bontonompo 39.690 30,39
2. Bontonompo Selatan 28.758 29,24
3. Bajeng 62.961 60,09
4. Bajeng Barat 23.149 19,04
5. Pallangga 99.715 48,24
6. Barombong 34.874 20,67
7. Somba Opu 131.598 28,09
8. Bontomarannu 31.565 52,63
9. Pattallassang 22.101 84,96
10. Parangloe 16.731 221,26
11. Manuju 14.235 91,90
12. Tinggi Moncong 22.361 142,87
13. Tombolo Pao 27.146 251,82
14. Parigi 13.221 132,76
15. Bungaya 16.006 175,53
16. Bontolempangan 13.466 142,46
17. Tompobulu 29.236 132,54
18. Biringbulu 32.673 218,84
Total 659.513 1.883,33
Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2013

3.2.2 Latar Wilayah Administratif dan Sumber Daya Ekonomi

Kabupaten Gowa berada pada 12°38.16' Bujur Timur dan 5°33.6' Bujur

Timur dari Kutub Utara. Sedangkan letak wilayah administrasinya antara

12°33.19' hingga 13°15.17' Bujur Timur dan 5°5' hingga 5°34.7' Lintang Selatan.

Kabupaten yang berada pada bagian Selatan dari Provinsi Sulawesi Selatan ini

berbatasan dengan 7 (tujuh) Kabupaten/Kota lainnya. Di sebelah Utara

berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Maros. Di sebelah Timur

berbatasan dengan Kabupaten Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng. Di sebelah

Selatan berbatasan dengan Kabupaten Takalar dan Jeneponto. Sedangkan di

bagian Barat berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Takalar.


148

Gambar 11. Peta Wilayah Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa


Sumber: Profil Kabupaten Gowa 2013 (www.gowakab.go.id).

Secara fisik wilayah pemerintahan daerah Kabupaten Gowa sebagian

besarnya merupakan dataran tinggi yang dipenuhi perbukitan yaitu sekitar

72,26%. Wilayah dataran tinggi tersebut meliputi 9 (sembilan) Kecamatan yakni

Parangloe, Manuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya,

Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu. Selebihnya yakni sekitar 27,74%

berupa wilayah dataran rendah dengan topografi tanah yang datar meliputi pula

9 (sembilan) Kecamatan yakni Somba Opu, Bontomarannu, Pattallassang,

Pallangga, Barombong, Bajeng, Bajeng Barat, Bontonompo dan Bontonompo

Selatan.

Melihat kondisi fisik dan topografi wilayah Kabupaten Gowa yang

sebagian besarnya adalah daerah daratan tinggi, maka menarik untuk


149

memperhatikan data tentang struktur perekonomian Kabupaten Gowa. Struktur

perekonomian ini dapat dilihat dari angka PDRB atas harga belaku tahun 2009-

2010 seperti yang tergambar pada tabel dibawah ini.

Tabel 16. Struktur Ekonomi Kabupaten Gowa Tahun 2009-2011 (Dalam %)

No. Lapangan Usaha (Sektor) 2009 2010 2011


1. Pertanian 45,65 44,61 43,11
2. Pertambangan/Penggalian 0,64 0,67 0,67
3. Industri Pengolahan 3,05 3,08 2,97
4. Listrik, Gas dan Air Bersih 1,56 1,55 1,50
5. Bangunan 2,35 2,42 2,40
6. Perdagangan 13,35 13,87 13,94
7. Angkutan dan Komunikasi 5,76 6,00 6,05
8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 5,84 6,05 6,23
9. Jasa-Jasa 21,80 21,74 23,12
Total PDRB 100,00 100,00 100,00

Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2013

Data angka PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2009-2010, seperti

pada Tabel 3.3 menunjukkan bahwa pada tahun 2009 sektor (lapangan usaha)

pertanian mempunyai kontribusi yang terbesar yaitu sebesar 45,65% terhadap

PDRB, pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 44,61% dan pada tahun

2011 kontribusi sektor pertanian menurun menjadi 43,31%. Selain sektor

pertanian, sektor lainnya yang berkontribusi besar dalam PDRB adalah sektor

jasa-jasa (pemerintahan umum dan swasta), dimana pada tahun 2009 peranan

sektor jasa-jasa terhadap perekonomian Kabupaten Gowa sebesar 21,80%,

pada tahun 2010 sebesar 21,74% dan pada tahun 2011 meningkat menjadi

22,19%.
150

Deskripsi mengenai struktur perekonomian Kabupaten Gowa telah

diuraikan, meskipun hanya melalui deskripsi statistik. Tetapi informasi statistik

tersebut memberi pemahaman bahwa masyarakat Kabupaten Gowa pada

umumnya masih mengandalkan mata pencaharian dari sektor ekonomi

tradisional yakni sektor pertanian. Walaupun secara bertahap struktur ekonomi

nanpaknya mulai bergeser ke sektor ekonomi modern yakni sektor jasa-jasa. Hal

ini terjadi karena pesatnya pertumbuhan aktivitas ekonomi di sekitar wilayah

perkotaan sebelah Utara dan Barat. Aktivitas ekonomi yang sangat tinggi

terutama di wilayah-wilayah yang berhimpitan langsung dengan Kota Makassar.

Gambar 12. Pendapatan Perkapita Kabupaten Gowa Tahun 2000-2013


Sumber: Data Statistik Gowa 2014, Melalui: http://bappedagowa.info/

Berikutnya penting pula diketahui mengenai tingkat pendapatan perkapita

penduduk Kabupaten Gowa saat ini. Berdasarkan data dokumentasi peneliti

seperti pada grafik di atas, pendapatan perkapita Kabupaten Gowa tahun 2013

berada pada posisi Rp. 12.080.574, 00 pertahun. Artinya bahwa jika angka itu

dikonversi ke pendapatan perkapita harian, maka berada pada posisi Rp.

25.982,15 perhari. Sangat berbeda ketika tahun 2005, enam tahun yang lalu,
151

pendapatan perkapita masih berada pada posisi Rp. 3.693.650,00 atau Rp.

10.260,14 pendapatan perkapita harian.

3.2.3 Visi dan Misi Pemerintahan Daerah

Visi suatu daerah merupakan rumusan umum mengenai keadaan yang

diinginkan pada akhir periode perencanaan suatu daerah. Visi juga sangat terkait

dengan cita-cita atau keinginan suatu daerah untuk menggunakan seluruh

potensinya yang dideskripsikan secara jelas dan ringkas yang dapat dicapai

dalam kurun waktu tertentu melalui implementasi rencana strategis yang telah

ditetapkan.

Penjabaran mengenai visi yang menjadi tujuan dalam konteks

perencanaan strategis senantiasa mempertimbangkan niali-nilai luhur yang

dianut organisasi. Kabupaten Gowa sebagai perwujudan organisasi pemerintah

daerah telah mengejawantahkan niali-nilai kultural dan historis yang dimiliki

menjadi sumber inspirasi dalam menjalankan fungsi pemerintah, pembangunan

dan kemasyarakatan untuk meningkatkan pelayanan dasar dan tata

pemerintahan yang baik.

Bertitik tolak dari nilai filosofi itu pula yang mendasari pembangunan

Kabupaten Gowa untuk mewujudkan cita-cita yang ingin dicapai dalam perspektif

jangka panjang sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Gowa Tahun 2005-2025, yakni mencapai

visi mewujudkan:

“Gowa Menjadi Andalan Sulawesi Selatan dan Sejajar Daerah

Termaju di Indonesia dalam Mensejahterakan Masyarakat”.

Dalam mewujudkan visi jangka panjang daerah Kabupaten Gowa

tersebut, telah ditetapkan pula misi pembangunan jangka panjang daerah, yaitu:
152

(1) Meningkatnya daya saing daerah.

(2) Mendorong kemandirian pembangunan yang berkelanjutan.

(3) Mengembangkan pemerataan pembangunan yang berkeadilan.

Strategi untuk pelaksanaan visi dan misi jangka panjang daerah tersebut,

dilakukan dalam bentuk perioderisasi lima tahunan rencana pembangunan

daerah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

secara berkesinambungan. Penyusunan visi dan misi dalam RPJMD tentu

didasakan atas prioritas permasalahan dan isu-isu strategis yang dihadapi pada

setiap periode. Demikian halnya pada tahapan yang kedua lima tahunan kali ini

yakni 2010-2015 didasarkan pula pada hasil evaluasi pelaksanaan dan

pencapaian periode sebelumnya, selain didasarkan pada permasalahan utama

dan isu-isu strategis yang sedang dihadapi.

Dalam RPJMD tahun 2010-2015, visi yang ingin dicapai Kabupaten Gowa

adalah

“Terwujudnya Gowa yang Handal dalam Peningkatan Kualitas Hidup

Masyarakat dan Penyelengaraan Pemerintahan”.

Kandungan makna dari rumusan visi tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut:

(1) Gowa yang handal dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat,

mengandung makna bahwa Kabupaten Gowa dengan segenap potensi dan

sumber daya yang berdaya saing kuat, bercita-cita menempatkan diri sebagai

daerah yang handal dalam peningkatan kualitas kesehatan dan mutu

pendidikan masyarakat serta peningkatan daya beli masyarakat.

(2) Gowa yang handal dalam penyelenggaraan pemerintahan, mengandung

makna bahwa Kabupaten Gowa dengan segenap potensi dan sumber daya

yang berdaya saing kuat, bercita-cita menempatkan diri sebagai daerah yang
153

handal dalam membangunan tata kelola pemerintah yang baik berlandaskan

prinsip-prinsip good governance dan handal dalam fungsi dan perannya

sebagai koordinator, fasilitator dan stimulator bagi lahirnya inisiatif-inisiatif

penyelanggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Upaya untuk menjaga kesinambungan dalam proses merealisasikan visi

tersebut merupakan hal yang perlu secara terus menerus dipertahankan dan

ditingkatkan dengan memperhatikan pencapaian indikator-indikator. Arah menuju

tujuan tersebut dapat dideteksi melalui indikator makro yakni Indeks

Pembangunan Manusia (IPM). IPM sebagai indikator komposit menggambarkan

pencapaian kinerja pembangunan manusia secara keseluruhan. Kondisi saat ini,

menunjukkan bahwa IPM Kabupaten Gowa sebesar 70,0 yang tergolong dalam

tingkat pembangunan manusia kelompok menengah dan berada pada urutan ke

15 dari 24 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan.

Dengan visi tersebut di atas, Kabupaten Gowa bertekad melaksanakan

program dan kegiatan yang terbaik dalam mencapai lompatan angka IPM yang

terbesar diantara daerah kabupaten dan kota lainnya. Oleh karena itu,

diupayakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi dari seluruh pelaku

pembangunan yang berorientasi pada perbaikan angka indeks pendidikan,

indeks kesehatan, dan daya beli masyarakat.

Dalam mewujudkan visi yang dideskripsikan di atas, maka dirumuskan

misi jangka menengah daerah. Misi adalah rumusan umum mengenai sejumlah

upaya yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan visi yang ada. Pernyataan

misi merupakan sesuatu yang harus diemban atau dilakukan sesuai visi yang

telah ditetapkan agar tujuan pembangunan dapat terlaksana dan berhasil dengan

baik, sehingga seluruh masyarakat dan pihak yang berkepentingan


154

(stakeholders) mengetahui program-programnya dan hasil yang diperoleh pada

masa yang datang.

Dalam RPJMD tahun 2010-2015 telah ditegaskan bahwa untuk mencapai

visi di atas, maka dirumuskan pula misi Kabupaten Gowa sebagai berikut:

(1) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan berbasis pada

pemenuhan hak-hak dasar masyarakat.

(2) Meningkatkan interkoneksitas wilayah dan keterkaitan sektor ekonomi.

(3) Meningkatkan penguatan kelembagaan dan peran masyarakat.

(4) Meningkatkan penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik.

(5) Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam yang mengacu pada

kelestarian lingkungan hidup.

Berdasarkan lima misi jangka menengah daerah Kabupaten Gowa

tersebut, ditetapkan pula lima agenda pembangunan Kabupaten Gowa untuk

tahun 2010-2015, yakni:

(1) Peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan berbasis pada

pemenuhan hak-hak dasar masyarakat.

(2) Peningkatan interkoneksitas wilayah dan keterkaitan sektor ekonomi.

(3) Peningkatan penguatan kelembagaan dan peran masyarakat.

(4) Peningkatan penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik.

(5) Optimalisasi pengelolaan sumber daya alam yang mengacu pada

kelestarian lingkungan hidup.

Dalam pelaksanaan kelima agenda pembangunan daerah, dilandasi oleh

nilai-nilai budaya lokal yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-

hari masyarakat Kabupaten Gowa. Nilai-nilai budaya lokal tersebut merupakan

kearifan lokal (local wisdom) yang menjadi spirit dan motivasi dalam proses
155

penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan daerah secara keseluruhan.

Nilai-nilai budaya masyarakat yang dimaksud meliputi:

(1) Assamaturu adalah nilai yang mengisyaratkan bahwa sumber kekuatan

adalah kesepakatan bersama. Segala sesuatu yang akan dilaksanakan,

khususnya menyangkut hajat hidup orang banyak, harus diputuskan dan

disepakati secara bersama karena hal tersebut yang akan mendorong setiap

orang untuk bergerak secara bersama.

(2) Sipakatau, Sipakainga’ dan Sipakalabbiri’ adalah nilai-nilai yang

mengedepankan saling memanusiakan, menghormati dan saling memuliakan

akan eksistensi dan jati diri setiap anggota atau kelompok masyarakat. Di

samping itu, nilai ini juga amat mementingkan semangat saling introspeksi

dan saling mengingatkan. Berdasarkan nilai tersebut, setiap anggota

masyarakat akan merasa diapresiasi setiap keterlibatannya dalam

pembangunan daerah.

(3) Siri’ na Pacce adalah nilai yang membentuk harga diri yang lahir dari

kesadaran bahwa harga diri tersebut hanya dapat dijaga jika terbina sikap

menghormati, saling menghargai, dan saling mengayomi. Dalam konteks

pembangunan, nilai dapat diartikan bahwa pemerintah bersama masyarakat

menjadi merasa “malu” jika gagal membangun daerah dan masyarakatnya.

Oleh karena itu, setiap komponen masyarakat harus saling mendukung dan

bahu membahu untuk pembangunan yang dicita-citakan.

(4) Toddopuli adalah nilai yang membentuk keteguhan, konsistensi dalam sikap

dan tindakan dengan senantiasa mengantisipasi segala tantangan dan

hambatan, serta tanggap atas perkembangan tuntutan dan kecenderungan

arah pembangunan daerah.


156

(5) Kontutojeng adalah nilai yang mensyaratkan pentingnya kesamaan antara

ucapan dan tindakan. Nilai selanjutnya membentuk kejujuran, keteladanan,

kebenaran dan kepercayaan yang sangat dibutuhkan dalam

penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.

Berdasarkan visi dan misi sebagaimana digambarkan di atas, dirumuskan

pula tujuan pembangunan Kabupaten Gowa Tahun 2010-2015 sebagai berikut:

(1) Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (pendidikan, kesehatan dan

daya beli masyarakat).

(2) Memperkuat kerjasama wilayah dan struktur perekonomian daerah dengan

terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat dan ketahanan ekonomi wilayah

serta berkembangnya produk unggulan daerah.

(3) Meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan pembangunan baik

dalam tahap perencanaan maupun dalam pelaksanaan dan pengawasan.

(4) Mengembangkan praktek transparansi, partisipasi dan akuntabilitas

pemerintahan dalam memberikan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat

secara profesional.

(5) Mengoptimalkan kontribusi produksi SDA dengan pola pemanfaatan yang

menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan.

Berdasarkan tujuan tersebut maka sasaran pembangunan Kabupaten

Gowa Tahun 2010-2015 diuraikan sebagai berikut:

(1) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan berbasis pada hak-hak

masyarakat, yang diukur dengan :

a. Peningkatan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

b. Berkurangnya disparitas kesejahteraan masyarakat

c. Menurunnya angka kemiskinan

d. Menurunnya angka pengangguran


157

e. Berkembangnya organisasi kepemudaan dan olahraga

f. Meningkatnya aktivitas pembinaan keolahragaan

g. Meningkatnya aktivitas pembinaan keagamaan.

(2) Meningkatnya interkoneksitas wilayah dan keterkaitan sektor ekonomi, yang

diukur dengan :

a. Menguatnya struktur perekonomian daerah

b. Terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat

c. Meningkatnya produk komoditas unggulan daerah

d. Meningkatnya ketersediaan infrastruktur daerah.

(3) Meningkatnya penguatan kelembagaan dan peran masyarakat, yang diukur

dengan :

a. Meningkatnya partisipasi organisasi masyarakat dalam perencanaan

pembangunan.

b. Terlibatnya organisasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.

(4) Meningkatnya penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik, yang diukur

dengan :

a. Implementasi standar pelayanan pada instansi pemerintahan daerah.

b. Meningkatnya pelibatan masyarakat dalam kehidupan politik dan

pengarusutamaan gender.

c. Meningkatnya kemandirian wirausaha lokal.

(5) Semakin optimalnya pengelolaan sumber daya alam yang mengacu pada

kelestarian lingkungan hidup, yang diukur dengan :

a. Berkurangnya degradasi lingkungan.

b. Meningkatnya upaya pemeliharaan lingkungan dan pengelolaan sanitasi

lingkungan.
158

3.2.3 Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa

Penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom merupakan

salah satu elemen pokok dari kebijakan desentralisasi. Dalam UU No. 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah

Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, dinyatakan bahwa urusan

pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan

kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur

(policy making) dan mengurus (policy executing) atas fungsi-fungsi tersebut yang

menjadi kewenangannya. Tujuannya adalah dalam rangka melindungi, melayani,

memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. Kemudian urusan

pemerintahan yang telah diserahkan kepada pemerintahan daerah selanjutnya

disebut sebagai urusan pemerintahan daerah.

Pemerintahan daerah Kabupaten Gowa sebagai salah satu daerah

otonom, memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi

pemerintahan yang menjadi kewenangannya berdasarkan atas aspirasi dan

kepentingan masyarakat lokal. Menurut data hasil dokumentasi penulis, urusan

pemerintahan daerah Kabupaten Gowa yang baru telah ditetapkan dalam

Peraturan Daerah Kabupaten Gowa No. 3 Tahun 2008 tentang Pembagian

Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kabupaten Gowa.

Dalam peraturan daerah tersebut telah ditetapkan sejumlah urusan

pemerintahan daerah Kabupaten Gowa terdiri atas urusan wajib dan urusan

pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan daerah yang wajib

diselenggarakan pemerintah daerah Kabupaten Gowa berkaitan dengan

pelayanan dasar. Sementara urusan pilihan adalah urusan pemerintahan daerah

yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan


159

masyarakat setempat berdasarkan kondisi, kekhasan dan potensi keunggulan

lokal yang dimiliki. Komposisi urusan pemerintahan Kabupaten Gowa baik yang

wajib maupun pilihan dapat kita lihat pada tabel berikut.

Tabel 17. Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa

No. Urusan Wajib No. Urusan Pilihan

1. Pendidikan 1. Perdagangan
2. Kesehatan 2. Energi & Sumber Daya Mineral
3. Lingkungan Hidup 3. Pariwisata
4. Pekerjaan Umum 4. Kelautan & Perikanan
5. Panataan Ruang 5. Pertanian
6. Perencanaan Pembangunan 6. Kehutanan
7. Perhubungan 7. Industri
8. Kependudukan & Catatan Sipil 8. Ketransmigrasian
9. KB & Keluarga Sejahtera
10. Sosial
11. Kesatuan Bangsa & Politik dalam
Negeri
12. Otonomi Daerah, Pemerintahan
Umum, Administrasi Keuangan
Daerah, Perangkat Daerah,
Kepegawaian & Persandian
13. Komunikasi & Informasi
14. Pemberdayaan Masyarakat & Desa
15. Perumahan
16. Kepemudaan & Olah Raga
17. Penanaman Modal
18. Koperasi & UKM
19. Ketenagakerjaan
20. Ketahanan Pangan
21. Pemberdayaan Perempuan &
Perlindungan Anak
22. Pertanahan
23. Kebudayaan
24. Statistik
25. Kearsipan
26. Perpustakaan
Sumber: Perda Kabupaten Gowa No. 3 Tahun 2008

Tabel 17 di atas menunjukkan adanya sejumlah urusan pemerintahan

daerah Kabupaten Gowa yang bersifat urusan wajib dan urusan pilihan

sebagaimana tertera dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gowa No. 3 Tahun

2008. Urusan pemerintahan yang bersifat wajib tersebut berjumlah 26 urusan.


160

Sementara urusan pemerintahan yang sifatnya pilihan hanya berjumlah 8

(delapan) urusan. Masing-masing urusan pemerintahan tersebut dalam

pelaksanaannya tentu disertai dukungan sumber daya pendanaan, sumber daya

sarana dan prasarana, serta sumber daya kepegawaian. Dukungan sumber daya

tersebut dapat berasal baik dari pemerintah pusat maupun disediakan oleh

pemerintah daerah sendiri.

3.2.4 Institusi Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa

Secara institusional, pemerintahan daerah umumnya terdiri atas 2 (dua)

unsur utama yaitu council (DPRD) dan mayor (Kepala Daerah). DPRD adalah

lembaga perwakilan rakyat daerah yang memiliki fungsi mengatur atau

pembuatan kebijakan (policy making) dan Kepala Daerah atau Bupati adalah

lembaga yang memiliki fungsi mengurus atau pelaksanaan kebijakan (policy

executing) dan dibantu oleh insitusi perangkat daerah (local bureacracy).

Kemudian dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

khususnya pasal 1 (ayat) 2 ditegaskan bahwa pemerintahan daerah adalah

penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-

luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya pada pasal 1 (ayat) 3 dan 4

disebutkan bahwa pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota,

dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah dan

DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara

pemerintahan daerah.

Penegasan mengenai institusi pemerintahan daerah dalam UU No. 32

Tahun 2004 tersebut, tercermin secara jelas dalam struktur pemerintahan daerah

Kabupaten Gowa saat ini. Sebagaimana nampak pada gambar dibawah ini yang
161

menunjukkan struktur organisasi pemerintahan daerah Kabupaten Gowa.

Struktur organisasi pemerintahan daerah ini terdiri atas beberapa unit

pemerintahan daerah. Selain institusi Bupati/Wakil Bupati dan DPRD juga

didukung oleh sejumlah unit perangkat daerah yang berkedudukan sebagai

unsur penunjang Kepala Daerah dalam penyelengaraan pemerintahan daerah.

Keterangan:
Garis komando
BUPATI DPRD
Garis koordinasi
WAKIL BUPATI
Garis pertanggungjawaban

SETDA
STAF AHLI (unsur staf)

INSPEKTORAT BAPPEDA
(unsur pengawas) (unsur perencana)

LEMBAGA LAIN DINAS DRH LTD SET DPRD


(BADAN, KTR & RSD)
(pelaks per UU) (unsur pelaksana) (unsur penunjang) (unsur pelayanan)

KECAMATAN

KELURAHAN

Gambar 13. Struktur Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa


Sumber: Bagian Organisasi Sekda Kabupaten Gowa Tahun 2012

Dalam gambar struktur organisasi pemerintahan daerah Kabupaten

Gowa memperlihatkan bahwa dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan,

pemerintah daerah didukung oleh beragam unsur unit organisasi. Unsur-unsur

tersebut antara lain: (1) unsur pelaksana yakni Dinas Daerah; (2) unsur

penunjang yakni LTD; (3) unsur perencana yakni Bappeda; (4) unsur pengawas

yakni Inspektorat; (5) unsur staf yakni Sekretariat Daerah; (6) unsur pelayanan
162

yakni Sekretariat DPRD; (7) unsur pelaksana perundang-undang (lembaga lain

seperti KPUD); dan (8) Unsur staf ahli serta (9) Kecamatan dan Kelurahan

sebagai unit perangkat daerah kewilayahan. Kesembilan unit organisasi inilah

yang dikenal sebagai perangkat daerah atau birokrasi lokal.

3.2.5 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Council)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan bagian dari

penyelenggara pemerintahan daerah yang memiliki fungsi pengaturan

(legislation), fungsi penganggaran (budgetting), dan fungsi pengawasan

(controlling) terhadap berbagai penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD

adalah lembaga politik, anggotanya dipilih (elected) secara langsung oleh rakyat

dan dimungkinkan keterlibatan partai politik. DPRD dan Kepala Daerah memiliki

kekuasaan untuk mengatur (policy making) penyelenggaraan urusan-urusan

pemerintahan daerah yang diembannya.

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, institusi

DPRD dan Kepala Daerah serta Perangkat Daerah adalah unsur penyelenggara

pemerintahan daerah. Berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang telah

direvisi, menempatkan DPRD dan Kepala Daerah dalam posisi yang berhadap-

hadapan. Di mana Kepala Daerah berkedudukan sebagai Lembaga Eksekutif

dan DPRD sebagai Lembaga Legislatif, sehingga terkesan adanya mekanisme

chek and ballances dalam pemerintahan daerah.

Kondisi DPRD Kabupaten Gowa saat ini berdasarkan hasil dokumentasi

peneliti menunjukkan bahwa anggota DPRD Kabupaten Gowa berjumlah 45

orang. Jumlah ini menempatkan DPRD kabupaten tersebut menjadi terbesar

kedua setelah Kota Makassar jika dibandingkan dengan 24 DPRD

kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk jelasnya

komposisi anggota DPRD Kabupaten Gowa dapat kita lihat pada tabel berikut.
163

Tabel 18. Keadaan Anggota DPRD Kabupaten Gowa Periode 2009-2014 dan
2014-2019 menurut Partai Politik

Jumlah Kursi (Anggota)


No. Partai Politik
2009-2014 2014-1019

1. Partai Golkar 9 9
2. PAN 5 5
3. PKS 2 3
*
4. PDK 8 -
5. PPP 4 6
6. PKB 1 1
*
7. Partai Kedaulatan 1 -
8. Partai Patriot* 1 -
9. Partai Gerindra 1 8
10. PDIP 2 4
11. Partai Hanura 3 1
12. Partai Demokrat 6 5
13. Persatuan Pembangunan* 2 -
**
14. Partai Nasdem - 3
Total 45 45
Sumber: Gowa Dalam Angka (2012) & KPUD (2014)
Keterangan: *Partai Tidak Lolos Pemilu 2014 & **Partai Baru Ikut Pemilu 2014

Pada Tabel 18 di atas memperlihatkan kepada kita bahwa komposisi

anggota DPRD Kabupaten Gowa periode 2009-2014 dan 2014-2019 tidak lagi

terdapat partai politik yang begitu dominan dalam perolehan kursi. Hal ini

didasarkan pada fakta bahwa Pemilu 2009 terdapat 13 partai politik dan Pemilu

2014 terdapat 10 partai politik yang meloloskan wakilnya untuk duduk sebagai

anggota DPRD. Berbeda dengan periode-periode sebelumnya, dimana partai

Golkar selalu mendominasi hingga 50% kursi anggota DPRD. Dominasi partai

Golkar tersebut terjadi karena Kabupaten Gowa sejak lama merupakan salah

satu wilayah basis partai berlambang pohon beringin tersebut.

Hasil dokumentasi peneliti juga menunjukkan fakta tentang keadaan

anggota DPRD Kabupaten Gowa dilihat dari aspek tingkat pendidikan dan jenis

kelamin. Seperti pada data tabel berikut ini menunjukkan bahwa terdapat 20

orang anggota DPRD yang memiliki tingkat pendidikan sarjana dan 3 orang yang
164

memiliki tingkat pendidikan pascasarjana. Selebihnya yakni 22 orang anggota

DPRD hanya memiliki tingkat pendidikan SMA atau sederajat.

Tabel 19. Keadaan Anggota DPRD Kabupaten Gowa Periode 2009-2014


menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin

Tingkat Jenis Kelamin


No. Jumlah
Pendidikan Laki-Laki Perempuan
1. SMU/MA 12 10 22
2. SMK - - -
3. Diploma I/II - - -
4. Diploma III/IV - - -
5. Sarjana (S1) 18 2 20
6. Pascasarjana 3 - 3
Total 33 12 45
Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2012

Sementara itu jika dilihat dari aspek keterwakilan gender maka dapat

disimpulkan bahwa komposisi anggota DPRD Kabupaten Gowa belum

memenuhi quota 30% perwakilan perempuan. Sehingga aspek kertewakilan

perempuan belum terpenuhi sebagaimana data pada tabel yang hanya

menempatkan 12 orang atau 26% unsur keterwakilan perempuan.

3.2.6 Kepala Daerah (Mayor)

Dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia, Kepala Daerah untuk

daerah otonom pada tingkatan kabupaten disebut Bupati dan pada umumnya

seorang Bupati didampingi oleh seorang Wakil Bupati. Pasangan Bupati dan

Wakil Bupati sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan di daerahnya

menjalankan fungsi mengatur dan fungsi mengurus dalam berbagai urusan

pemerintahan yang telah diserahkan dari pemerintah. Kemudian dalam

menjalankan fungsi mengurus tersebut Kepala Daerah didukung oleh institusi

profesional yang sering disebut Perangkat Daerah


165

Sejak berdiri pada tahun 1957 daerah otonom Kabupaten Gowa telah

dipimpin oleh 11 (sebelas) Kepala Daerah (Bupati). Siapa sajakah kesebelas

pejabat Kepala Daerah tersebut? Untuk itu ditampilkan tabel yang memuat daftar

pejabat Kepala Daerah (Bupati) yang menahkodai Kabupaten Gowa berdasarkan

periode kepemerintahannya.

Tabel 20. Pejabat Kepala Daerah Kabupaten Gowa Sejak Tahun 1957

No. Naman Bupati Periode Pemerintahan


1. Andi Ijo Karaeng Lalolang 1957 - 1960
2. Andi Tau 1960 - 1967
3. K. S. Mas’ud 1967 - 1976
4. H. M. Arief Sirajuddin 1976 - 1984
5. A. Kadir Dalle 1984 - 1989
6. A. Aziz Umar 1989 - 1994
7. Syahrul Yasin Limpo 1994 - 2002
8. Hasbullah Jabar 2002 - 2004
9. Andi Baso Machmud 2005 (Caretaker)
10. Ichsan Yasin Limpo 2005 - 2010
11. Ichsan Yasin Limpo 2010 - 2015

Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2012

Periode pemerintahan 2010-2015 kali ini, Kabupaten Gowa dipimpin oleh

Bupati yang dijabat oleh Ichsan Yasin Limpo dan Wakil Bupati dijabat oleh Abbas

Alauddin. Periode pemerintahan kali ini adalah periode kedua bagi Bupati

sekarang. Sementara wakilnya merupakan pejabat yang baru saja dilantik pada

saat penelitian ini berlangsung untuk menggantikan Wakil Bupati sebelumnya

karena meninggal dunia. Kemudian Bupati saat ini adalah Kepala Daerah yang

kesebelas dan juga menjadi Kepala Daerah yang pertama kali dipilih langsung

melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak daerah otonom

Kabupaten Gowa ini terbentuk.


166

3.2.7 Organisasi Perangkat Daerah

Perangkat daerah merupakan birokrasi daerah otonom yang proses

pengisiannya atas dasar pengangkatan (appointed). Jadi tidak berasal dari partai

politik tetapi berasal dari pejabat karir PNS. Perangkat daerah adalah salah satu

instrumen dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memiliki fungsi

dan posisi yang sangat penting dan strategis. Perangkat daerah menjadi penting

dan strategis karena menjadi instrumen utama sebagai wadah bagi pemerintah

daerah atau Kepala Daerah dalam melaksanakan berbagai urusan pemerintahan

yang diembannya.

Dalam mendukung pelaksanaan seluruh kebijakan dan program

pemerintah daerah yang berkaitan dengan urusan pemerintahan, Kepala Daerah

bersama DPRD menetapkan dan mengatur sejumlah unit pemerintahan daerah

yang disebut Perangkat Daerah. Aturan terhadap Perangkat Daerah ini tentu

mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 41 Tahun 2007 yang

menetapkan bahwa Perangkat Daerah suatu daerah otonom meliputi Sekretariat

Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Badan, Inspektorat, Kantor,

Kecamatan, dan Kelurahan.

Mengenai unit pemerintahan daerah Kabupaten Gowa yang tergabung

dalam Organisasi Perangkat Daerah diatur dalam 4 (empat) jenis peraturan

daerah. Keempat jenis peraturan daerah yang dimaksud adalah sebagai berikut:

(1) Peraturan Daerah No.6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD Kabupaten Gowa;

(2) Peraturan Daerah No.7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Dinas Daerah di Kabupaten Gowa;


167

(3) Peraturan Daerah No.8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan Lembaga

Teknis Daerah di Kabupaten Gowa.

(4) Peraturan Daerah No.9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kecamatan dan Kelurahan di Kabupaten Gowa.

Tabel 21. Unit Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Gowa


Sekretariat
1. Sekretariat Daerah
2. Sekretariat DPRD
Dinas Daerah
1. Dinas Pendidikan, Pemuda & Olah Raga
2. Dinas Kesehatan
3. Dinas Sosial, Tenaga Kerja & Transmigrasi
4. Dinas Kependudukan & Catatan Sipil
5. Dinas Perhubungan, Komunikasi & Informatika
6. Dinas Pekerjaan Umum
7. Dinas Koperasi & UMKM
8. Dinas Pengelola Keuangan Daerah
9. Dinas Pertambangan & Energi
10. Dinas Pertanian
11. Dinas Perikanan, Kelautan & Peternakan
12. Dinas Kehutanan & Perkebunan
13. Dinas Pariwisata & Kebudayaan
14. Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air
15. Dinas Perindustrian dan Perdagangan
LTD (Badan, Inspektorat, RSUD)
1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
2. Badan Kesatuan Bangsa, Politik & Perlindungan Masyarakat
3. Badan Pemberdayaan Masyarakat & Pemerintahan Desa
4. Badan Keluarga Berencana & Pemberdayaan Perempuan
5. Badan Kepegawaian, Pendidikan & Pelatihan
6. Inspektorat Kabupaten
7. RSUD Syekh Yusuf
LTD (Kantor)
1. Kantor Satuan Polisi Pamong Praja
2. Kantor Pelayanan Terpadu
3. Kantor Perpustakaan, Arsip dan PDE
4. Kantor Ketahanan Pangan
5. Kantor Lingkungan Hidup
Unit Kerja Kewilayahan
1. Kecamatan (18 unit)
2. Kelurahan/Desa (167 unit)
Sumber: Bagian Humas Sekretariat Daerah, 2013 (www.humasgowa.com)
168

Kedudukan Sekretariat Daerah dalam penyelenggaran pemerintahan

daerah Kabupaten Gowa diatur dalam Perda Kabupaten Gowa No. 6 Tahun

2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten Gowa.

Dalam peraturan daerah tersebut disebutkan bahwa Sekretariat Daerah

merupakan unsur staf pemerintah daerah Kabupaten Gowa yang memiliki tugas

dan kewajiban membantu Bupati dalam menyusun kebijakan dan

mengoordinasikan dinas-dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Sekretariat

Daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah yang bereselon II(A) berkedudukan di

bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati. Dalam tugas dan kewajibannya,

Sekretariat Daerah menjalankan fungsi-fungsi sebagai berikut:

(1) Penyusunan kebijakan pemerintahan daerah;

(2) Mengoordinasikan pelaksanaan tugas Dinas Daerah dan LTD;

(3) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah;

(4) Pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan;

(5) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas

dan fungsinya.

Dalam struktur organisasi dan tata kerja Sekretariat Daerah terdiri dari

beberapa jabatan yakni: (a) Sekretaris Daerah; (b) Asisten Pemerintahan dan

Kesejahteraan rakyat; (c) Asisten Perekonomian dan Pembangunan; dan (d)

Asisten Administrasi Umum. Masing-masing asisten dalam susunan sekretariat

daerah Kabupaten Gowa terbagi dalam beberapa bagian. Kemudian bagian dari

masing-masing asisten tersebut terdiri dari beberapa sub bagian yang dibentuk

berdasarkan kebutuhan organisasi.

Dalam susunan organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Gowa terdiri

atas 46 jabatan struktural dengan rincian 9 (sembilan) jabatan eselon (II), dan 11
169

jabatan eselon (III), serta 26 jabatan eselon (IV). Selain jabatan-jabatan struktural

itu, juga dilengkapi dengan kelompok jabatan fungsional yang terdiri dari

beberapa staf ahli yang memiliki keahlian dan spesialisasi yang dibutuhkan

sesuai dengan ketentuan. Pada susunan Sekretariat Daerah Kabupaten Gowa,

kelompok jabatan fungsional dimaksud terdapat 5 (lima) jabatan staf ahli yang

bertugas memberikan telaah mengenai masalah pemerintahan daerah menurut

bidang tugasnya.

Para staf ahli tersebut bereselon II(B) dan bertanggung jawab kepada

Sekretaris Daerah. Kelima jabatan staf ahli yang dimaksud di atas, yakni: (a) Staf

ahli bidang hukum dan politik; (b) Staf ahli bidang pemerintahan; (c) Staf ahli

bidang pembangunan; (d) Staf ahli bidang kemasyarakatan dan SDM; dan (e)

Staf ahli bidang ekonomi dan keuangan.

Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga diatur dalam

Perda Kabupaten Gowa No. 6 Tahun 2008. Sekretariat DPRD Kabupaten Gowa

merupakan unsur pelayanan terhadap DPRD Kabupaten Gowa. Sekretariat

DPRD memiliki tugas pokok menyelenggarakan administrasi kesekretariatan,

administrasi keuangan, mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD, dan

menyediakan serta mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD

sesuai kemampuan keuangan daerah.

Struktur organisasi Sekretariat DPRD Kabupaten Gowa terdiri dari: (1)

Sekretaris Dewan; (2) Bagian Umum; (3) Bagian Rapat, Perundang-Undangan

dan Reses; (4) Bagian Humas dan Dokumentasi, dan (5) Bagian Keuangan.

Masing-masing bagian memiliki 3 (tiga) Sub Bagian. Sekretaris Dewan secara

teknis operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan

DPRD dan secara administratif bertanggung jawab kepada Bupati melalui


170

Sekretaris Daerah. Sekretaris Dewan adalah jabatan eselon II(B) yang diangkat

(appointed) oleh Bupati dari unsur PNS yang memenuhi syarat

Dinas Daerah sebagai unsur pelaksana otonomi daerah pada hakekatnya

menyelenggarakan urusan otonomi daerah, baik yang bersifat wajib maupun

pilihan, sesuai dengan pembagian urusan yang ditetapkan dalam Peraturan

Pemerintah No. 38 Tahun 2007. Dinas Daerah Kabupaten Gowa telah diatur

dalam Perda Kabupaten Gowa No. 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Dinas Daerah Kabupaten Gowa.

Dalam peraturan daerah tersebut dinyatakan bahwa Dinas Daerah dalam

menjalankan tugas dan juga melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:

(1) Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;

(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum sesuai

dengan lingkup tugasnya;

(3) Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya;

(4) Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas

dan fungsinya.

Dalam struktur organisasi Dinas Daerah dipimpin oleh Kepala Dinas yang

merupakan jabatan eselon II(B). Kepala Dinas berkedudukan di bawah dan

bertanggung jawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah. Dalam struktur

masing-masing Dinas Daerah yang dibentuk, dipimpin oleh seorang Kepala

Dinas. Juga terdiri dari Sekretaris Dinas, Bidang-bidang, Sub-sub bagian, Seksi-

seksi pada masing-masing bidang yang ada. Selain itu terdapat pula unit

pelaksana teknis dinas (UPTD) dan kelompok jabatan fungsional yang dapat

dibentuk jika dibutuhkan.

Selain Dinas Daerah dalam struktur pemerintahan daerah juga dibentuk

perangkat daerah yang memiliki tugas dan fungsinya bersifat lebih teknis.
171

Perangkat daerah ini disebut dengan Lembaga Teknis Daerah (LTD). LTD ini

berkedudukan sebagai unsur pendukung yan sifatnya lebih spesifik dan teknis,

yang dapat berbentuk Badan, Kantor, dan Rumah Sakit. Di mana penentuan

badan atau kantor disesuaikan dengan analisis beban tugas yang harus

dilakukan sebelumnya.

Di Kabupaten Gowa, LTD di atur dalam Perda No. 8 Tahun 2008 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah. Perda ini menyatakan bahwa LTD

merupakan unsur pendukung tugas-tugas Kepala Daerah yang mempunyai

tugas yakni melaksanakan tugas penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah

yang bersifat spesifik. Perangkat daerah yang berjenis LTD dalam melaksanakan

tugasnya menjalankan fungsi-fungsi antara lain:

(1) Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;

(2) Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai

dengan lingkup tugasnya;

(3) Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya;

(4) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas

dan fungsinya.

Struktur organisasi LTD yang berbentuk Badan umumnya dipimpin oleh

Kepada Badan, Kantor dipimpin oleh Kepala Kantor, dan Rumah Sakit dipimpin

oleh Direktur Rumah Sakit. Masing-masing unit LTD tersebut terdiri atas

beberapa jabatan struktural (eselon). Selain Kepala Badan, Kepala Kantor, dan

Direktur Rumah Sakit serta setiap unit LTD dilengkapi pula oleh jabatan

struktural lainnnya yakni Sekretaris, Bidang, dan Sub Bagian serta Sub Bidang.

Sementara itu, LTD yang bernama Inspektorat Kabupaten Gowa dalam

Perda No. 8 tersebut mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap


172

pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah, pelaksanaan pembinaan atas

penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelaksanaan urusan pemerintahan

desa. Dalam melaksanakan tugasnya, Inspektorat menjalankan fungsi-fungsi

yakni: (a) perencanaan pengawasan; (b) perumusan kebijakan dan fasilitasi

pengawasan; (c) pemeriksaan, pengusutan, pengujian dan penilaian tugas

pengawasan.

Adapun susunan organisasi Inspektorat terdiri dari Inspektur, Sekretaris,

Inspektur Pembantu Wilayah dan kelompok jabatan fungsional. Di mana struktur

Sekretariat terdiri dari beberapa Sub Bagian. Inspektur Pembantu Wilayah dapat

saja terdiri dari beberapa unit, tergantung pada kebutuhan organisasi. Jika dilihat

dari tugas utamanya sebagai lembaga pengawas terhadap penyelengaraan

pemerintahan daerah, pada dasarnya inspektorat kabupaten saat ini tidak

berbeda jauh dengan instansi pengawas daerah sebelumnya yang disebut

Badan Pengawas Daerah.

3.3 Sumber Daya Aparatur

Dalam rangka mewujudkan visi dan misi pembangunan daerah

Kabupaten Gowa, maka selain ketersedian struktur dan anggaran yang tepat,

dibutuhkan pula sumber daya aparatur yang memadai, baik aspek kuantitas

maupun kualitasnya. Sumber daya aparatur ini memiliki peran yang sangat

strategis untuk melaksanakan seluruh program pembangunan daerah yang telah

direncanakan. Oleh karena itu, sumber daya aparatur harus mampu terpenuhi

sesuai dengan analisis kebutuhan pegawai pada masing-masing perangkat

daerah yang ada.

Berdasarkan hasil dokumentasi peneliti, menunjukkan bahwa sumber

daya aparatur atau pegawai yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) secara
173

keseluruhan berjumlah 9.422 orang. PNS tersebut terbagi kedalam tiga unit kerja

yakni (1) tenaga guru berjumlah 5.304 orang (56,3%); (2) tenaga kesehatan

berjumlah 1.131 orang (12%); dan (3) tenaga teknis berjumlah 2.987 orang

(31,7%). Jika disimak berdasarkan penggolongan jabatan, PNS Kabupaten

Gowa dapat digambarkan sebagai berikut: (1) golongan I berjumlah 98 orang

(1,3%); (2) golongan II berjumlah 2.334 orang (24,7%); (3) golongan III berjumlah

4.642 orang (49,2%); dan (4) Golongan IV berjumlah 2.348 orang (24,8%).

Tabel 22. Keadaan Aparatur Daerah (PNS) Kabupaten Gowa Menurut Unit
Kerja dan Golongan pada Tahun 2011

Golongan
Unit Kerja Jml
I II III IV
Tenaga Guru
Laki-laki 15 327 855 795 1.922
Perempuan 1 571 1.522 1.218 3.312
Jumlah 16 898 2.377 2.013 5.304
Tenaga Kesehatan
Laki-laki 1 100 166 12 279
Perempuan - 371 446 35 852
Jumlah 1 471 612 47 1.131
Tenaga Teknis
Laki-laki 79 662 967 209 1.917
Perempuan 2 303 686 79 1.070
Jumlah 81 965 1.653 288 2.987

Total Pegawai 98 2.334 4.642 2.348 9.422

Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2012

Data yang tersedia dalam tabel diatas menunjukkan kepada kita bahwa

pertama, jumlah aparatur daerah atau PNS setara dengan 1,5% dari 659.513

jiwa jumlah penduduk Kabupaten Gowa saat ini. Kedua, penyebaran PNS

berdasarkan unit kerja menunjukkan bahwa persentasi PNS yang berprofesi


174

sebagai tenaga guru jauh lebih tinggi daripada persentasi PNS yang bertugas

unit kerja lainnya. Ketiga, data ini juga menggambarkan bahwa aparatur daerah

sebagian besar bekerja pada unit-unit penyelenggara urusan pendidikan

dibandingkan dengan yang bekerja pada unit penyelenggara urusan

pemerintahan lainnya.

Tabel 23. Keadaan Aparatur Daerah Kabupaten Gowa Menurut Tingkat


Pendidikan dan Jenis Kelamin pada Tahun 2012

Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan Jml
Laki-Laki Perempuan
SD / Sederajat 140 9 149
SLTP / Sederajat 148 18 166
SLTA / Sederajat 1.123 1.245 2.368
Diploma I 57 155 212
Diploma II 312 910 1.222
Diploma III / Akademi 226 505 731
Sarjana (S1) 1.900 2.276 4.176
Master (S2) 208 109 317
Doktor (S3) 1 2 3

Total Pegawai 4.195 5.227 9.422

Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2013

Selanjutnya gambaran mengenai kualitas dan kompetensi sumber daya

aparatur atau PNS Kabupaten Gowa dapat kita ukur salah satunya dari tingkat

pendidikan yang dimiliki oleh masing-masing aparatur. Sebagaimana ditunjukkan

oleh tabel diatas bahwa dari 9.422 pegawai terdapat 4.496 orang (47,7%)

diantaranya, berpendidikan sarjana (S1), master (S2) dan doktor (S3).

Sementara pegawai yang berpendidikan diploma (I, II, dan II) berjumlah 2.165

orang (23%) dan sisanya yakni 2.689 (29,3%) hanya berpendidikan SLTA, SLTP

dan SD. Kemudian keadaan pegawai dari aspek jender atau jenis kelamin,
175

berdasarkan data yang tersedia menunjukkan bahwa pegawai yang berjenis

kelamin perempuan berjumlah 5.227 orang (55,47%) dan pegawai yang berjenis

kelamin laki-laki hanya berjumlah 4.195 orang (44,53%).

Berdasarkan data tentang tingkat pendidikan aparatur daerah Kabupaten

Gowa seperti tertera diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara

umum kualitas dan kompetensi yang dimiliki oleh pegawai dapat dikatakan cukup

memadai. Dikatakan kualitas dan kompetensi pegawai tersebut cukup memadai

karena paling tidak secara akademik sebagian besar dari pegawai yakni sekitar

70,7% pernah mengikuti jenjang pendidikan tingkat perguruan tinggi (diploma

dan sarjana).

3.4 Sumber Daya Anggaran

Penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom selalu disertai

oleh sumber daya anggaran untuk membiayai pelaksanaannya. Anggaran ini

pada umumnya disubsidi dari pemerintah ke daerah otonom atau subsidi daerah

otonom (SDO) dapat berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi

Khusus (DAK) serta dana subsidi lainnya. Sejumlah anggaran yang telah

diserahkan tersebut, menjadi hak dan kewajiban untuk diatur dan diurus oleh

pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan tugas dan fungsi pelayanan dan

pembangunan, terutama dalam rangka membiayai seluruh urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan daerah yang bersangkutan.

Kondisi anggaran pendapatan suatu daerah menjadi salah satu indikator

utama untuk mengukur kapasitas keuangan daerah. Terutama dalam membiayai

penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Untuk itu

pada tabel diatas telah ditampilkan rincian anggaran pendapatan daerah

Kabupaten Gowa pada tahun anggaran 2011 dan 2012.


176

Tabel 24. Rincian Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Gowa Tahun


2011 dan 2012

Jumlah
No. Uraian
APBD TA. 2011 APBD TA. 2012
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) 48.715.102.208 54.171.034.817
Hasil Pajak Daerah 12.900.000.000 19.618.000.000
Hasil Retribusi Daerah 28.804.494.000 27.777.226.609
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah
4.193.800.000 3.629.000.000
yang Dipisahkan
Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah
2.816.808.208 3.146.808.208
yang Sah
2. Dana Perimbangan 547.018.138.174 669.263.979.583
Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan
24.934.284.174 28.063.512.583
Pajak
Dana Alokasi Umum (DAU) 470.823.554.000 586.415.307.000
Dana Alokasi Khusus (DAK) 51.260.300.000 54.785.160.000
Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang
3. 100.214.631.681 97.952.330.241
Sah
Pendapatan Hibah 12.500.000.000 -
Dana Darurat - -
Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi
20.348.712.081 25.048.712.081
dan Pemerintah Daerah Lainnya
Dana Penyesuaian dan Otonomi
46.632.456.000 46.632.456.000
Khusus
Bantuan Keuangan dari
20.733.463.600 26.271.162.160
Provinsi/Pemerintah Daerah Lainnya
Jumlah Pendapatan Daerah 695.947.872.063 821.387.344.641

Sumber: Dokumen RKPD Kabupaten Gowa Tahun 2013

Pada tabel diatas jelas nampak bahwa berdasarkan rincian pendapatan

daerah, rupanya pendapatan asli daerah (PAD) hanya mampu berkontribusi 7%

terhadap anggaran pendapatan daerah secara keseluruhan. Pendapatan daerah

masih mengandalkan dana perimbangan atau subsidi daerah otonom yang

bersumber dari pemerintah pusat. Seperti data pada tabel diatas menunjukkan

bahwa dana perimbangan dalam rincian anggaran pendapatan tersebut sangat

besar jumlahnya yakni sebesar 78% dan sisanya yakni 15% sumbernya berasal

dari lain-lain pendapatan daerah yang sah. Kesimpulannya bahwa dengan


177

mencermati kontribusi PAD yang masih sangat rendah dan dana subsidi dari

pemerintah pusat masih sangat tinggi, maka tidaklah salah jika dikatakan bahwa

kemadirian daerah khususnya dalam aspek keuangan belumlah terwujud.

Tabel 25. Perkembangan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Gowa


Tahun 2006 s/d 2012

Tahun Jumlah (Rp) %


2006 484.601.856.306 56,53
2007 553.579.491.647 14,23
2008 564.569.736.340 1,99
2009 606.172.651.184 7,37
2010 602.704.046.693 -0,57
2011 695.947.872.063 15,47
2012 821.387.344.641 18,02
*
2013 861.306.769.590 4,86

Sumber: Dokumen RKPD Kabupaten Gowa Tahun 2013


Keterangan: *Perkiraan sebelum APBD perubahan

Pada tabel diatas ditampilkan pula perkembangan pendapatan daerah

Kabupaten Gowa dalam tujuh tahun terakhir yakni tahun 2006 hingga 2012.

Nampak bahwa anggaran pendapatan daerah Kabupaten Gowa selalu

mengalami peningkatan, kecuali di tahun 2009 ke 2010 justru mengalami minus

sekitar - 0,57%. Rata-rata kenaikan anggaran pendapatan daerah dalam tabel

tersebut adalah 8,18%. Penampilan data perkembangan anggaran pada tabel

diatas tiada lain dimaksudkan untuk mengetahui kondisi keuangan daerah dari

tahun ke tahun. Oleh karena dengan memahami perkembangan pendapatan

daerah maka dapat pula diketahui kapasitas keuangan daerah dalam merespon

kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan publik dan pembangunan semakin

kompleks.
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach).

Pilihan terhadap pendekatan kualitatif karena penelitian ini dilakukan melalui

proses menemukan, memahami, menjelaskan dan memperoleh gambaran

tentang fenomena sosial dan fenomena publik yang berhubungan dengan

inovasi pemerintahan daerah dalam menjalankan kewenangan mengatur dan

mengurus urusan pendidikan di Kabupaten Gowa.

Alasan penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini, juga salah

satunya didasarkan pada penjelasan Lincoln dan Guba (1985:78) bahwa

penelitian kualitatif atau naturalistic inquiry adalah suatu cara penelitian yang

dimaksudkan untuk memahami aktualitas, realitas sosial, dan persepsi manusia

yang ada. Mengacu pula pada pandangan menurut Nasution (1996:18) bahwa

penelitian kualitatif atau penelitian naturalistik dilakukan pada situasi lapangan

penelitian yang bersifat “natural” atau wajar sebagaimana adanya, tanpa

dimanipulasi dan diatur melalui suatu eksperimentasi.

Penelitian naturalistik berusaha menyajikan peristiwa-peristiwa bagian

kehidupan atau slice-of-life yang didokumentasikan melalui bahasa natural dan

menyajikan sedekat mungkin bagaimana orang-orang menyatakan apa yang

mereka ketahui, apa perhatian atau kepedulian, kepercayaan, persepsi dan

pemahaman mereka. Sebagaimana Ezzy (2003:3) menjelaskan bahwa

”....meanings are constantly changing, and are produced and reproduced in each

social situation with slightly different nuances and significances depending on the

nature of the context as a whole”. Penjelasan Ezzy (2002) tersebut menekankan

178
179

bahwa metode penelitian kualitatif lebih pada pemberian makna (meanings) dan

pemberian interpretasi (interpretation) terhadap obyek yang diteliti. Jadi

penelitian kualitatif penekanannya terletak pada pemaknaan obyek masalah

secara khusus. Dalam konteks penelitian ini, proses pemaknaan (meanings) dan

interpretasi (interpretation) dilakukan terhadap inovasi dalam penyelenggaraan

urusan pendidikan di Kabupaten Gowa.

4.2. Fokus Penelitian

Fokus penelitian pada jenis penelitian kualitatif berkaitan erat dengan

perumusan masalah, karena masalah penelitian menjadi acuan dalam

menentukan fokus penelitian. Namun demikian, fokus penelitian dapat saja

berkembang sesuai dengan situasi masalah penelitian di lapangan. Hal ini sesuai

dengan sifat pendekatan kualitatif yang fleksibel, yang mengikuti pola pikiran

yang bersifat empirical inductive, di mana segala sesuatu dalam penelitian

ditentukan dari hasil akhir pengumpulan data yang sebenarnya dilapangan.

Menurut Moleong (2005:237), melalui penetapan fokus suatu penelitian, ada dua

hal yang dicapai oleh peneliti, yaitu: (1) membatasi studi dengan maksud untuk

bisa membatasi bidang penelitian (enquiry); (2) peneliti mengetahui secara pasti

bahwa data yang telah dikumpulkan adalah relevan dan mendukung fokus

penelitian.

Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan, maka

ditentukan empat fokus penelitian sebagai berikut:

(1) Proses pengembangan program inovasi pemerintahan daerah dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan.

(2) Tipologi program inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan

urusan pendidikan.
180

(3) Kapasitas inovasi (capacity innovation) pemerintahan daerah dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan.

(4) Membangun model empirik (existing model) dan model rekomendasi

(recommended model) inovasi pemerintahan daerah Kabuapten Gowa dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan.

Dalam memudahkan operasionalisasi fokus penelitian, maka ditentukan

deskripsi masing-masing fokus penelitian sebagai berikut:

Tabel 26. Deskripsi Fokus Penelitian

No. Fokus Penelitian Deskripsi Fokus Penelitian


1. Proses Pengembangan a. Mekanisme pengembangan program inovasi melalui
Program Inovasi proses politik (mengatur) yakni proses pembentukan
Penyelenggaraan Urusan kebijakan oleh DPRD & pemerintah daerah berupa
Pendidikan peraturan daerah yang mengatur bagaimana program
inovasi dalam urusan pendidikan dikembangkan.
b. Mekanisme pengembangan program inovasi melalui
proses manajerial (mengurus) yakni proses operasi
pelaksanaan kebijakan dan program inovasi yang
telah ditetapkan dilakukan oleh pemerintah daerah
(perangkat daerah terkait & unit pelaksana teknis).
2. Tipologi Program Inovasi a. Tipologi program inovasi yakni berupa jenis-jenis
Penyelenggaraan Urusan program inovasi (SPAS, Pendidikan Gratis,
Pendidikan Punggawa D’Emba, & Satgas Pendidikan.
b. Level inovasi (radikal, incremental & sistemik) dari
program inovasi yang sudah dikembangkan dalam
urusan pendidikan.
3. Kapasitas Inovasi Kapasitas inovasi pemerintahan daerah dalam
Pemerintahan Daerah mengembangkan kebijakan & program inovasi urusan
Dalam Urusan Pendidikan pendidikan.dilihat dari kapasitas kepemimpinan,
aparatur pelaksana, anggaran, regulasi, & jaringan
inovasi.
4. Membangun model empirik a. Model inovasi pemerintahan daerah dalam
(existing model) dan model melaksanakan urusan pendidikan yang berlangsung
rekomendasi saat ini (existing model).
(recommended model)
b. Model yang diusulkan (recommended model) tentang
inovasi pemerintahan
inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan yang
daerah dalam penyeleng-
efektif di Kabupaten Gowa.
garaan urusan pendidikan
di Kabupaten Gowa
181

4.3. Lokasi dan Situs Penelitian

Menurut Moleong (2005:128), bahwa cara terbaik yang perlu ditempuh

dalam penentuan lapangan penelitian ialah dengan jalan mempertahankan teori

substantif, pergilah dan jajakilah lapangan untuk melihat apakah terdapat

kesesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan. Keterbatasan geografis

dan praktis seperti waktu, biaya, tenaga, perlu juga dijadikan pertimbangan

dalam penentuan lokasi penelitian.

Berdasarkan pandangan tersebut, maka penelitian ini akan mengambil

lokasi di daerah Kabupaten Gowa dan situs penelitiannya di semua institusi

pemerintahan daerah dan non pemerintahan daerah yang ada kaitannya dengan

program inovasi pemerintah daerah dalam urusan pendidikan. Penentuan lokasi

dan situs penelitian dilakukan secara purpossive, dengan alasan-alasan sebagai

berikut:

(1) Kabupaten Gowa termasuk salah satu daerah otonom yang cukup matang

dan memiliki pengalaman dalam beberapa fase pemerintahan karena telah

berdiri secara administratif sejak tahun 1957.

(2) Kabupaten Gowa adalah salah satu daerah otonom yang pernah menjadi

daerah percontohan dalam penerapan otonomi daerah di era UU No. 5

Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.

(3) Kabupaten Gowa memiliki letak geografis dan administratif yang sangat

strategis, yang menjadi daerah penyangga bagi kemajuan daerah Kota

Makassar sebagai centre of point bagi penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan di Indonesia bagian Timur.

(4) Di Kabupaten Gowa terdapat adanya fakta empiris tentang pengembangan

program inovasi dalam penyelenggaran urusan pendidikan yang sukses

dan juga bisa diterapkan di daerah lain.


182

4.4. Jenis Data Penelitian

Data yang digunakan pada penelitian terdiri dari data primer dan

sekunder dengan penjelasan sebagai berikut.

(1) Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti

secara langsung dari sumber datanya. Data primer disebut juga sebagai

data asli atau data baru yang memiliki sifat up to date. Untuk mendapatkan

data primer, peneliti mengumpulkannya secara langsung. Dalam konteks

penelitian ini, data primer diperoleh dari orang-orang yang memiliki

informasi dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah dan fokus

penelitian tentang inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan di

Kabupaten Gowa.

(2) Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari

berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data

sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik

(BPS), buku, laporan, jurnal, dan lain-lain. Dalam konteks penelitian ini data

sekunder sebagian besar diperoleh dari dokumen-dokumen resmi yang

terkait dengan aktivitas pemerintahan dan pembangunan melalui website

pemerintah daerah Kabupaten Gowa yaitu www.pemkabgowa.go.id dan

www.humasgowa.go.id. Sementara data sekunder yang bersifat makro

lebih banyak diperoleh melalui dokumen yang dirilis oleh BPS dan

Bappeda, seperti Gowa Dalam Angka dan Data Statistik Kabupaten Gowa.

4.5. Sumber Data Penelitian

Menurut Lincoln dan Guba (1985) dan Moleong (2005) bahwa sumber

data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan-tindakan,

dapat juga berupa data tambahan seperti dokumen, arsip laporan dan lain-lain.
183

Sumber data dalam penelitian ini meliputi manusia (informan), peristiwa dan

tempat serta dokumen, dengan penjelasan sebagai berikut:

(1) Manusia sebagai informan, pada penelitian kualitatif posisi sumber data

manusia (informan) sangat penting sebagai peran individu yang memiliki

informasi. Peneliti dan informan dalam penelitian memiliki posisi yang

sama, dan informan bukan sekedar memberikan tanggapan pada yang

diminta peneliti, tetapi informan bisa lebih memiliki arah dan selera dalam

menyajikan informasi yang dimiliki. Karena posisi ini, sumber data yang

berupa manusia di dalam penelitian kualitatif lebih tepat disebut sebagai

informan daripada sebagai responden. Menurut Bungin (2007:76) yang

dapat menjadi informan penelitian adalah subyek yang memahami

informasi obyek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang

memahami obyek dan fokus penelitian.

Tabel 27. Jumlah dan Unsur Informan Penelitian

Informan dari unsur pemerintahan Informan dari non pemerintahan


daerah Kabupaten Gowa daerah Kabupaten Gowa

Wakil Ketua DPRD, Satu informan dari anggota Dewan


Ketua Komisi Bidang Pendidikan Pendidikan,
DPRD, Satu informan Ketua Komite
Sekretaris Dinas Pendidikan Sekolah;
Pemuda dan Olah Raga Dua orang tua (wali) murid dan
(Dispora), Satu informan anggota LSM
Tiga informan dari aparatur pendidikan.
Dispora,
Satu informan Kepala Sekolah,
dua orang guru, dan
Satu anggota Satgas Pendidikan

Informan penelitian pada tabel di atas ditentukan melalui dua cara, yaitu:

(a) key person atau purposive sampling, yakni penunjukkan informan kunci

secara sengaja karena menganggap orang tersebut telah memahami


184

informasi obyek yang akan diteliti; dan (b) penunjukkan informan dengan

snowball sampling; yakni menentukan beberapa orang yang dianggap

dapat memberikan informasi-informasi tambahan yang memperkuat data

tentang obyek yang akan diteliti.

(2) Tempat dan peristiwa, tempat dan peristiwa dapat dijadikan sebagai

sumber informasi karena dalam pengamatan harus ada kesesuaian

dengan konteks dan setiap situasi sosial selalu melibatkan pelaku, tempat

dan aktivitas. Tempat dan peristiwa dimaksudkan untuk memperkuat

keterangan yang diberikan oleh informan. Tempat yang menjadi lokasi

observasi penelitian ini berada di daerah Kabupaten Gowa. Di mana

daerah otonom tersebut merupakan lokasi kegiatan program inovasi

urusan pendidikan yang menjadi obyek kajian. Sementara peristiwa dalam

konteks penelitian ini adalah akivitas yang terekam oleh peneliti dari

penyelenggaraan program inovasi urusan pendidikan.

(3) Dokumen, Dokumen atau arsip merupakan bahan tertulis yang dapat

digunakan sebagai sumber data untuk memperoleh informasi tentang

situasi dan kondisi pada masa lampau yang sangat berkaitan erat dengan

kondisi peristiwa yang saat ini sedang dipelajari. Menurut Moloeng (2005)

dokumen resmi terbagi dalam dokumen internal dan dokumen eksternal.

Dokumen internal berupa memo, pengumuman, instruksi, aturan suatu

lembaga masyarakat tertentu yang digunakan dalam kalangan sendiri.

Dokumen eksternal berisi bahan-bahan informasi yang dihasilkan oleh

suatu lembaga sosial, misalnya majalah, buletin, berita yang disiarkan

kepada media massa. Dalam dokumen juga terdapat beragam gambar

yang berkaitan dengan aktivitas dan kondisi yang diperlukan sehingga bisa

dimanfaatkan sebagai sumber data.


185

4.6. Metode Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data yang akurat, aktual dan komprehensif sesuai

dengan permasalahan dan fokus penelitian, maka dalam proses pengumpulan

data peneliti telah menggunakan teknik pengumpulan data melalui metode

wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pelaksanaan ketiga metode

pengumpulan data ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Wawancara mendalam (indepth interview)

Metode ini diawali dengan menyiapkan instrumen penelitian melalui daftar

pedoman wawancara. Daftar wawancara inilah yang diperlukan peneliti untuk

memperoleh informasi dan data yang dibutuhkan. Terhadap para informan digali

informasi sedalam-dalamnya dengan teknik wawancara dengan pendekatan

snowball yakni menggali informasi sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan

dilapangan berdasarkan rekomendasi informan dan kebutuhan data sebelumnya.

Dalam prakteknya dilapangan dan untuk mempermudah pelaksanaan

wawancara digunakan pedoman wawancara yang berisikan hal-hal pokok yang

harus ditanyakan kepada informan. Sebelum melakukan wawancara, peneliti

terlebih dahulu melakukan janji kepada para informan. Hal ini dilakukan

mengingat informan seringkali sibuk dengan aktivitas dan tugas rutinitas yang

dikerjakan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya walaupun telah disepakati

waktu dan tempat wawancara, seringkali peneliti masih harus menunggu atau

menjadwalkan ulang waktu dan tempat wawancara karena informan mempunyai

aktivitas yang lebih penting.

Pada saat wawancara dilakukan, peneliti menghadapi hal-hal yang

menarik, yakni ada keengganan beberapa informan yang tidak ingin direkam

hasil pembicaraannya. Kondisi ini dialami pada instansi pemerintah daerah

(perangkat daerah), khususnya pada aparatur daerah yang memiliki jabatan


186

Esolon IV ke bawah. Namun, justru sebaliknya yang terjadi pada informan seperti

pimpinan SKPD yang diwakili oleh Sekretaris Dinas, Pimpinan DPRD diwakili

oleh Wakil Ketua DPRD, dan informan dari tokoh masyarakat serta stakeholders

yang lain. Para informan ini justru sangat antusias dalam memberi informasi

terkait dengan kebijakan dan program inovasi yang mereka anggap sukses

dilakukan di daerahnya. Untuk mengatasi berbagai kendala dilapangan peneliti

disetiap awal wawancara selalu menyampaikan terlebih dahulu bahwa hasil

wawancara berupa informasi dan data ini betul-betul hanya untuk digunakan

untuk kepentingan akademik, tidak digunakan untuk kepentingan lainnya.

(2) Observasi terhadap situasi dan fenomena di lokasi penelitian

Metode observasi atau pengamatan ini dilakukan dengan cara terlibat

langsung pada obyek penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam

prakteknya dilapangan, peneliti melakukan pengamatan dengan tujuan untuk

memperoleh gambaran bagaimana sebenarnya pengembangan inovasi

pemerintahan daerah melalui proses perumusan dan implementasi kebijakan

dan program yang ditetapkan. Pada dasarnya, pengamatan secara tidak

langsung biasa dilakukan oleh peneliti disela-sela wawancara dengan informan

yang berasal dari sekolah dan tempat wawancara dilakukan di sekolah-sekolah

sebagai salah satu sarasan dari kebijakan dan program inovasi.

(3) Proses dokumentasi data yang dibutuhkan

Metode dokumentasi ini dilakukan memalui proses pengumpulan data

dan informasi yang bersumber dari bahan yang tertulis, catatan suatu peristiwa

atau record yang diperoleh pada saat melakukan penelitian. Data-data sekunder

ini diperoleh dari berbagai sumber yang terkait dengan masalah yang diteliti.

Data-data sekunder yang dibutuhkan terdiri dari beberapa jenis, yakni dokumen

peraturan berupa peraturan daerah, peraturan bupati, dokumen rencana


187

pembangunan daerah, dokumen keuangan daerah (APBD), dokumen LAKIP,

dan Gowa dalam angka (BPS Gowa 2012, 2013).

Pada dasarnya data hasil studi dokumentasi ini digunakan sebagai data

hasil penelitian sekaligus data pembanding untuk memeriksa kebenaran data

hasil wawancara dan observasi. Selain melakukan studi dokumentai, peneliti

juga melakukan penelusuran data sekunder dan informasi dari laporan hasil

penelitian pihak lain dan media informasi baik cetak (nasional dan lokal) maupun

media informasi online terutama melalui website resmi yang dimiliki pemerintah

daerah Kabupaten Gowa.

4.7. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian

adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena, peneliti itu sendiri diasumsikan memiliki

validitas yaitu kesiapan untuk terjun di lapangan dan penguasaan terhadap

metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang akan

diteliti, dan kesiapan peneliti memasuki obyek penelitian, baik secara akademik

maupun logistiknya (Sugiyono, 2007).

Peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian kualitatif karena

penelitilah yang memiliki kemampuan untuk menangkap makna yang tersirat

dibalik informasi dan fenomena sosial yang ditemui di lapangan. Tidak ada suatu

instrumen berupa test atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi

kecuali manusia. Seperti dikatakan oleh Lincoln dan Guba (1985), bahwa para

naturalis menggunakan dirinya dan orang lain sebagai instrumen pengumpulan

data utama.

Alasan peneliti sendiri sebagai instrumen utama, karena antara lain: (1)

manusia memiliki kemampuan beradaptasi menghadapi dan menyesuaikan


188

dengan realitas; (2) instrumen manusia dapat menangkap dan mengevaluasi

makna interaksi yang berbeda; (3) manusia dapat mengapresiasi dan menilai

gangguan instrumen yang mengintervensi dalam saling terbentuknya alasan-

alasan lain; (4) semua instrumen berbasis nilai (value based) dan berinteraksi

dengan nilai-nilai lokal tetapi hanyalah manusia dalam suatu posisi untuk

mengidentifikasi dan mempertimbangkan bias-bias yang dihasilkan.

4.8. Teknis Analisis Data

Dalam penelitian ini, data akan dianalisis secara deskriptif. Penelitian

secara deskriptif analisis dimaksudkan untuk mendiskripsikan data penelitian

sesuai dengan fokus-fokus yang diteliti, tanpa melakukan pengujian hubungan

antar variabel melalui pengujian hipotesis, karena dalam penelitian ini penulis

tidak membuat hipotesis. Disamping melakukan analisis, hasil penelitian akan

diterjemahkan dan diuraikan secara kualitatif sehingga diperoleh gambaran

mengenai situasi-situasi atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di lapangan. Untuk

kebutuhan analisis data penelitian, akan digunakan teknik analisis data Model

Spiral yang dikemukakan oleh Creswell (2007:152), sebagaimana pada Gambar

14 berikut ini.

Secara operasional penggunaan Model Spiral untuk menganalisis data

kualitatif, peneliti bergerak dalam lingkaran analisis daripada menggunakan

pendekatan linier yang tetap. Seorang peneliti masuk dengan teks atau gambar

dan keluar dengan laporan atau narasi. Selama dalam spiral analisis, peneliti

bersinggungan dengan beberapa saluran analisis dan berputar dan terus

berputar. Secara teknis penggunaan Model Spiral dalam melakukan analisis

data dapat dijelaskan dalam beberapa tahapan atau saluran analisis.


189

Prosedur Contoh
Laporan
Penyajian, Matriks, Pohon,
Visualisasi Proposisi

Deskripsi, Konteks,
Klasifikasi, Kategori,
Penafsiran Perbandingan

Refleksi,
Pembacaan, Menulis Catatan
Memoing Seluruh Pertanyaan

Mengorganisasikan
Manajemen File,
Data Unit
Pengumpulan Data
(Teks, gambar)

Gambar 14. Teknik Analisis Data Model Spiral


Sumber: John W. Creswell (2007)

Pada tahapan awal dilakukan pengumpulan data (data collection), baik

data primer dan sekunder maupun data yang dalam bentuk teks dan gambar.

Pada tahapan kedua, akan dilakukan proses membaca (reading) dan membuat

catatan-catatan (memoing) sebagai refleksi dari sejumlah jawaban terhadap

pertanyaan penelitian. Pada tahapan ketiga, dilakukan deskripsi atas data yang

telah dicatat, mengklasifikasi, dan menginterpretasi semua data berdasarkan

konteks dan kategori. Tahapan terakhir, melakukan representasi dan visualisasi

dengan membuat kesimpulan-kesimpulan yang dapat dibuat dalam bentuk

matriks, diagram pohon, dan selanjutnya menyusun proposisi-proposisi dari hasil

penelitian.
190

Sebagaimana halnya penerapan teknis analisis Model Spiral pada

penelitian ini, peneliti melakukan pengorganisasian data, pembacaan dan

membuat memo, serta mendeskripsikan dan interpretasi data berdasarkan

empat fokus penelitian yakni (1) proses pengembangan program inovasi; (2)

jenis-jenis program inovasi; (3) kapasitas inovasi pemerintahan daerah; dan (4)

model pengembangan program inovasi urusan pendidikan. Kemudian data hasil

penelitian disajikan dan dilakukan pembahasan dengan menggunakan teori dan

konsep inovasi, seperti telah ditampilkan pada Bab II sebelumnya, sebagai alat

analisis dalam pembahasan hasil penelitian. Analisis pembahasan terhadap hasil

penelitian menurut keempat fokus di atas, penulis mengemasnya dalam bentuk

narasi (teks), bagan (pohon analisis) dan tabel matriks. Berdasarkan tahapan

analisis dalam pembahasan hasil penelitian yang divisualisasi dalam bentuk teks

(narasi), matriks, dan bagan (pohon) tersebut, selanjutnya melahirkan proposisi,

baik proposisi minor maupun proposisi mayor penellitian.

4.9. Uji Keabsahan Data

Menurut Lincoln dan Guba (1985), Nasution (1988), dan Moleong (2005)

bahwa untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik

pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria

tertentu yang meliputi derajat kepercayaan (credibility), keteralihan

(transferability), ketergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability).

(1) Uji credibility atau validitas internal, yaitu uji kepercayaan data hasil penelitian

dengan melakukan, antara lain:

a. Perpanjangan pengamatan (masa pengamatan), yakni cara yang

menggunakan banyak waktu untuk benar-benar mengenal suatu

lingkungan, mengadakan hubungan baik dengan orang-orang yang


191

berada dilokasi penelitian, mengenal budaya setempat dan mengecek

kebenaran berbagai informasi yang diperoleh. Perpanjangan masa

observasi ini dimaksudkan untuk menambah waktu penelitian demi

mengantisipasi bila kemudian terdapat data yang kurang lengkap,

mengingat situs penelitian yang berada pada berbagai tempat. Oleh

karena itu demi efektivitas penggunaan waktu, maka dilakukan

pembagian waktu untuk masing-masing situs penelitian.

b. Peningkatan ketekunan dalam penelitian, yakni pengamatan yang

dilakukan secara terus-menerus dengan memperhatikan sesuatu secara

lebih cermat, terinci dan mendalam. Hal ini dilakukan dengan

mengevaluasi data yang telah diperoleh setiap saat guna mengetahui

data apa saja yang telah diperoleh dan data mana saja yang dirasa masih

kurang. Data yang telah lengkap diarsip dan dibukukan (dicatat) secara

baik sedangkan yang belum lengkap dilakukan penelusuran ulang sesuai

teknik pengumpulan datanya dan dilakukan pada tempat atau situs

sumber data diperoleh.

c. Triangulasi, yakni bertujuan untuk mengecek kebenaran data tertentu

dengan membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber

lain, pada berbagai fase penelitian di lapangan, pada waktu yang

berlainan dan dengan menggunakan metode yang berlainan pula.

Terdapat tiga pola triangulasi yaitu perbandingan terhadap data, sumber

data, dan teknik pengumpulan data. Prosedur triangulasi ini sangat

menyita waktu, tetapi disamping menguatkan validitas juga memberikan

kedalaman hasil penelitian. Triangulasi data dilakukan dengan cara

mencocokkan data atau memastikan kebenaran data tersebut dari

informan ke informan lainnya.


192

(2) Uji transferability (validitas eksternal), yaitu menunjukkan derajat ketepatan

atau dapat diterapkannya hasil penelitian ke populasi di mana sampel

tersebut diambil. Pada tahapan ini, peneliti membuat laporan yang terurai

secara rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya. Gunanya agar orang lain

dapat memahami dan menerapkan hasil penelitian tersebut dalam konteks

dan situasi sosial yang lain. Dalam rangka mendapatkan derajat validitas

eksternal maka data didasarkan pada konteks empiris setting penelitian yaitu

perspektif “emic” yang diterima oleh peneliti dan “etic” yakni perspektif yang

merupakan hasil interpretasi peneliti. Dalam validitas eksternal ini juga

dilakukan dengan membandingkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang

memiliki kemiripan permasalahan yang diteliti.

(3) Uji dependability (reliabilitas), yaitu suatu penelitian dikatakan reliabel jika

orang lain dapat mengulangi atau mereplikasi proses penilaian tersebut.

Pada uji dependability ini, peneliti harus mampu menunjukkan ”jejak aktivitas

lapangannya” mulai dari proses menentukan masalah/fokus penelitian,

memasuki lokasi, sumber data, analisis data, uji keabsahan data, sampai

pada proses membuat kesimpulan. Kemudian untuk memastikan apakah

hasil penelitian benar atau salah, peneliti akan senantiasa berkonsultasi dan

mendiskusikan dengan pembimbing secara bertahap. Hal-hal yang

dikonsultasikan berupa proses peneletian itu sendiri, taraf kebenaran data

serta penafsirannya. Untuk hal ini, peneliti akan menyediakan sejumlah data

mentah, hasil analisis data dan catatan tentang proses yang digunakan.

(4) Uji confirmability (obyektivitas), yaitu suatu penelitian dikatakan obyektif jika

hasilnya telah disepakati banyak orang. Menguji confirmability berarti

menguji hasil penelitian dikaitkan dengan proses penelitian. Derajat

obyektivitas penelitian dapat dicapai melalui audit atau pemerikasaan secara


193

cermat terhadap seluruh komponen dan proses penelitian serta hasilnya.

Pemeriksaan dilakukan dan didampingi oleh pembimbing terutama yang

menyangkut kepastian asal usul data, logika penarikan data, dan penilaian

terhadap derajat ketelitian serta telaah terhadap kegiatan peneliti dalam

menguji keabsahan data.


194

Kajian Pustaka Konteks Penelusuran


Inovasi Pemerintahan Inovasi Pemerintahan Jurnal dan Artikel
Daerah Daerah terkait

Research Kesenjangan Penelitian


Problems (Research Gap)

Research Research Research


Questions Objectives Significances

Research Focus
Proses Pengembangan Inovasi,
Jenis Program Inovasi, Kapasitas
Inovasi Pemerintahan Daerah

Pengumpulan Data: Teknis Analisis:


Interview, Observasi, Model Spiral (Creswell)
Dokumentasi

Penyajian Hasil Pembahasan Hasil


Peneltian Penelitian

Penyusunan
Proposisi-Proposisi

Simpulan & Saran

Implikasi Penelitian:
Teoritis & Praktis

Gambar 15. Kerangka Umum Alur Pemikiran Penelitian


195

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada Bab V ini merupakan bagian yang menyajikan hasil penelitian dan

pembahasannya. Sub Bab hasil penelitian menampilkan hasil-hasil berupa

fenomena dan fakta empiris yang berkaitan dengan penyelenggaraan urusan

pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah. Fenomena dan fakta

empiris mengenai penyelenggaraan urusan pendidikan di Kabupaten Gowa ini

dideskripsikan berdasarkan data hasil observasi secara langsung, keterangan

wawancara yang bersumber dari para informan, dan informasi dari berbagai

dokumen daerah yang berhubungan dengan inovasi pemerintahan daerah dalam

melaksanakan urusan pendidikan. Sementara itu, Sub Bab pembahasan adalah

pembahasan melalui analisis mendalam terhadap hasil-hasil penelitian yang

telah disajikan. Pembahasan dilakukan berdasarkan pada kajian teori dan

konsep serta hasil penelitian terdahulu. Di mana kajian teori, konsep dan hasil

penelitian terdahulu tentu yang berkaitan dan relevan dengan topik penelitian

sebagaimana telah disajikan pada Bab II, yang pada akhirnya tersusun proposisi-

proposisi penelitian, baik proposisi minor maupun mayor.

5.1 Penyajian Hasil Penelitian

5.1.1 Proses Pengembangan Program Inovasi Dalam Urusan


Pendidikan

Setelah memahami secara umum tentang proses penyelenggaraan

pemerintahan daerah Kabupaten Gowa, maka pada bagian ini menguraikan

secara khusus bagaimana proses penyelenggaraan urusan pendidikan

berlangsung saat ini. Proses penyelenggaraan urusan pendidikan berarti


196

berkaitan dengan pelaksanaan fungsi mengatur dan mengurus urusan

pendidikan. Di Kabupaten Gowa, fungsi mengatur dan mengurus mengenai

urusan pendidikan dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan mengacu pada

PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota. Peraturan pemerintah ini dijabarkan ke dalam Peraturan

Daerah Kabupaten Maros No. 3 Tahun 2008 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kabupaten Gowa.

Dalam konteks memahami lebih jauh tentang proses penyelengaraan

urusan pendidikan, maka pada bagian berikut ini diuraikan aspek-aspek dengan

penyelenggaraan urusan pendidikan tersebut, yakni: (1) pembagian kewenangan

dalam urusan pendidikan; (2) penyelenggara urusan pendidikan; (3) program dan

kegiatan serta alokasi anggaran urusan pendidikan; dan (3) satuan pendidikan

sekolah. Setelah kemudian disajikan pula beberapa data dan informasi dari

keterangan wawancara peneliti dengan informan yang berkaiatan dengan fokus

proses pengembangan program inovasi dalam urusan pendidikan di Kabupaten

Gowa. Pada bagian berikut ini diuraikan aspek-aspek tersebut berdasarkan

deskripsi hasil dokumentasi dan pengamatan di lapangan.

(a) Pembagian Kewenangan Dalam Urusan Pendidikan

Mengenai pembagian kewenangan urusan pendidikan antara pemerintah,

pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota sudah

ditentukan secara jelas dan rinci pada bagian lampiran peraturan pemerintah

tersebut di atas. Di mana pembagian kewenangan urusan pendidikan diuraikan

secara jelas dan rinci berdasarkan sub bidang kewenangan. Kewenangan dalam

urusan pendidikan terbagi dalam 6 (enam) sub bidang kewenangan yakni: (a)
197

kebijakan, (b) pembiayaan, (c) kurikulum, (d) sarana dan prasarana, (e) pendidik

dan tenaga kependidikan, dan (f) pengendalian mutu pendidikan.

Kabupaten Gowa sebagai salah satu daerah otonom dalam

menyelenggarakan urusan pendidikan memiliki rincian kewenangan dalam

urusan pendidikan, sebagai berikut:

(1) Sub Bidang Kebijakan, terdiri dari sub sub bidang kebijakan dan standar.

Pada sub sub bidang kebijakan dan standar, pemerintah daerah memiliki

kewenangan meliputi: (a) Penetapan kebijakan operasional pendidikan di

kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional dan provinsi; (b)

Perencanaan operasional program pendidikan anak usia dini, pendidikan

dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan

perencanaan strategis tingkat provinsi dan nasional; (c) Sosialisasi dan

pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat kabupaten/kota; (d)

Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan

dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal; (e) Pemberian izin

pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar, satuan

pendidikan menengah dan satuan/penyelenggara pendidikan nonformal; (f)

Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan sekolah dasar

bertaraf internasional; (g) Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin

satuan pendidikan dasar dan menengah berbasis keunggulan lokal; (h)

pengelolaan pendidikan berbasis keunggulan lokal pada pendidikan dasar

dan menengah; (i) Pemberian dukungan sumber daya terhadap

penyelenggaraan perguruan tinggi; (j) Pemantauan dan evaluasi satuan

pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional; dan (k) Peremajaan data

dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat

kabupaten/kota.
198

(2) Sub Bidang Pembiayaan. Kewenangan pemerintah daerah yang

menyangkut pembiayaan urusan pendidikan antara lain: (a) Penyediaan

bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan

dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai

kewenangannya; dan (b) Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan

sesuai kewenangannya.

(3) Sub Bidang Kurikulum. Kewenangan pemerintah daerah yang berhubungan

dengan kurikulum meliputi: (a) Koordinasi dan supervisi pengembangan

kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar; (b) Sosialisasi

kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini,

pendidikan dasar, dan pendidikan menengah; (c) Sosialisasi dan

implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar;

(d) Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan

pendidikan pada pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar; dan (e)

Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada

pendidikan dasar

(4) Sub Bidang Sarana dan Prasarana. Pemerintah daerah memilki

kewenangan pada sub bidang sarana dan prasarana pendidikan, meliputi:

(a) Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan

prasarana pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan

menengah, dan pendidikan nonformal; (b) Pengawasan pendayagunaan

bantuan sarana dan prasarana pendidikan; dan (c) Pengawasan

penggunaan buku pelajaran pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,

pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.

(5) Sub Bidang Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Pada sub bidang ini,

pemerintah daerah berwenang melakukan antara lain: (a) Perencanaan


199

kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini,

pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai

kewenangannya; (b) Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga

kependidikan PNS untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,

pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya:

(c) Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS di kabupaten/kota;

(d) Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik

dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,

pendidikan menengah dan pendidikan nonformal; (e) Pembinaan dan

pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia

dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal;

dan (f) Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada

pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan

pendidikan nonformal selain karena alasan pelanggaran peraturan

perundang-undangan.

(6) Sub Bidang Pengendalian Mutu Pendidikan terdiri dari 4 (empat) sub sub

bidang yakni penilaian hasil belajar, evaluasi, akreditasi, dan penjaminan

mutu. Pada penilaian hasil belajar, pemerintah daerah memiliki

kewenangan yakni: (a) Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan

dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal; (b) Koordinasi,

fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala

kabupaten/kota; (c) Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala

kabupaten/kota.

Dalam pelaksanaan evaluasi, kewenangan pemerintah daerah adalah (a)

Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis

pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan


200

menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota dan (b)

Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada

pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan

pendidikan nonformal skala kabupaten/kota.

Dalam hal kewenangan untuk melakukan akreditasi, pemerintah daerah

hanya memiliki kewenangan membantu pemerintah dalam akreditasi

pendidikan nonformal.

Sedangkan kewenangan pemerintah daerah dalam kegiatan penjaminan

mutu, meliputi: (a) Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan anak usia dini,

pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal dalam

penjaminan mutu untuk memenuhi standar nasional pendidikan; (b)

Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam

penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional; (c) Supervisi dan

fasilitasi satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam penjaminan

mutu; dan (d) Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan

pendidikan skala kabupaten/kota.

(b) Penyelenggara Urusan Pendidikan

Dalam mendukung penyelenggaraan urusan pendidikan, maka

pemerintahan daerah Kabupaten Gowa telah mengatur Satuan Kerja

Peremerintah Daerah (SKPD) yang berwenang mengurusi urusan pendidikan

yakni Dinas Pendidikan, Olah Raga dan Pemuda. Dinas ini secara legalitas

diatur dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Dinas Daerah Kabupaten Gowa. Tugas pokok Dinas ini adalah

melaksanakan sebagian kewenangan urusan pemerintahan daerah berdasarkan

asas otonomi dan tugas pembatuan di bidang pendidikan, olah raga dan

pemuda.
201

Sementara itu, fungsi dari Dinas Pendidikan, Olah Raga dan Pemuda ini

meliputi (1) perumusan kebijakan teknis; (2) penyelenggaraan urusan pemerintah

dan pelayanan umum; (3) pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai

kewenangannya; (4) pengelolaan administrasi umum yakni ketatalaksanaan,

keuangan, kepegawaian, perlengkapan dan peralatan; (5) mengelola UPTD; dan

(6) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai tugas dan

fungsinya.

Dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2008 di atas diatur pula mengenai

Susunan dan Struktur Organisasi Dinas Pendidikan, Olah Raga dan Pemuda,

yang meliputi: (1) Kepala Dinas; (2) Sekretariat yang melingkupi Sub Bagian

Umum dan Kepegawaian, Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan, serta Sub

Bagian Keuangan; (3) Bidang Pendidikan Dasar yang melingkupi Seksi

Manajemen Pendidikan Dasar, Seksi Pembinaan Tenaga Pendidik dan

Kependidikan, dan Seksi Sarana dan Prasarana Pendidikan Dasar; (4) Bidang

Pendidikan Menengah meliputi Seksi Manajemen Pendidikan Menengah, Seksi

Pembinaan Tenaga Pendidik dan Kependidikan, Seksi Sarana dan Prasarana

Pendidikan Menengah; (5) Bidang Pendidikan Non Formal dan Prasekolah

melingkupi Seksi Pendidikan Non Formal, Seksi Pendidikan Prasekolah, Seksi

Sarana dan Prasarana Pendidikan Non Formal dan Prasekolah; (6) Bidang Olah

Raga dan Pemuda yang melingkupi Seksi Pembinaan Kepemudaan, Seksi

Pengembangan Olah Raga; dan (7) Kelompok Jabatan Fungsional.

Susunan dan Struktur Organisasi Dinas Pendidikan, Olah Raga dan

Pemuda Kabupaten Gowa dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar ini

kiranya dapat memberi deskripsi mengenai tersedianya dukungan kelembagaan

dalam mendorong penyelenggaraan urusan pendidikan kearah yang lebih efektif.


202

Gambar 16. Struktur Penyelenggara Urusan Pendidikan Kabupaten Gowa

Sumber: Perda Kabupaten Gowa No. 7 Tahun 2008

Kemudian dalam Peraturan Bupati No. 26 Tahun 2008, telah diatur

mengenai Tugas Pokok, Fungsi dan Rincian Tugas Jabatan Strutural pada Dinas

Pendidikan, Olah Raga dan Pemuda. Kepala Dinas memiliki beberapa fungsi

yakni: (a) perumusan kebijakan teknis Dinas; (b) penyusunan rencana strategik

Dinas; (c) penyelenggaraan pelayanan urusan pemerintahan dan pelayanan

umum di bidang pendidikan; (d) melakukan pembinaan, pengkoordinasian,

pengendalian, pengawasan terhadap program dan kegiatan dinas; (e)

penyelenggaraan evaluasi program dan kegiatan dinas; (f) pelaksanaan tugas

lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Sementara itu Kepala Dinas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya

memiliki rincian tugas sebagai berikut:

(1) Menyusun rencana program dan kegiatan di bidang pendidikan;


203

(2) Melaksanakan program dan kegiatan di bidang pendidikan;

(3) Mengkoordinasikan pelaksanaan program dan kegiatan di bidang

pendidikan;

(4) Melaksanakan pengendalian terhadap pelaksanaan program dan

kegiatan di bidang pendidikan;

(5) Melaksanakan pembinaan pegawai di lingkungan Dinas Pendidikan;

(6) Melaksanakan pembinaan teknis dan administratif pada unit pelaksana

teknis dinas dan pejabat fungsional di lingkungan Dinas Pendidikan;

(7) Memonitor serta mengevaluasi pelaksanaan tugas bawahan agar

sasaran dapat dicapai sesuai dengan program kerja dan ketentuan yang

berlaku;

(8) Menilai prestasi bawahan sebagai bahan pertimbangan dalam

pengembangan karier;

(9) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas

dan fungsinya;

(10) Menyampaikan laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang

tugas dan fungsinya kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah.

Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi Kepala Dinas didukung oleh

satuan organisasi yakni Sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris.

Sekretariat ini memiliki tugas meliputi merencanakan operasionalisasi, memberi

tugas, memberi petunjuk, menyelia, mengatur, mengevaluasi dan melaporkan

penyelenggaraan tugas kesekretariatan, meliputi urusan umum dan

kepegawaian, perencanaan dan pelaporan serta pengelolaan keuangan dalam

lingkup Dinas.

Dalam menjalankan tugas sehari-hari Sekretaris mempunyai fungsi: (a)

penyusunan kebijakan teknis administrasi kepegawaian, administrasi keuangan


204

dan perencanaan pelaporan; (b) penyelenggaraan kebijakan administrasi

kepegawaian, administrasi keuangan dan perencanaan pelaporan; (c)

pembinaan, pengkoordinasian, pengendalian, pengawasan program dan

kegiatan sub bagian; dan (d) penyelenggaraan evaluasi program dan kegiatan

sub bagian.

Adapun rincian tugas dari seorang Sekretaris dalam lingkup Dinas

Pendidikan, Olah Raga dan Pemuda dapat diuraikan sebagai berikut:

(1) Merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan dan mengendalikan

serta menetapkan kebijakan di bidang umum, kepegawaian, keuangan,

dan perlengkapan;

(2) Menyusun rencana kegiatan tahunan sebagai pedoman pelaksanaan

tugas;

(3) Mengelola dan mengkoordinasikan pelaksanaan pelayanan teknis dan

administratif kepada seluruh satuan organisasi dalam lingkup Dinas;

(4) Mengelola dan mengkoordinasikan pelaksanaan urusan umum dan

kepegawaian;

(5) Mengelola dan mengkoordinasikan pelaksanaan urusan perencanaan

dan pelaporan;

(6) Mengelola dan mengkoordinasikan pelaksanaan urusan keuangan;

(7) Mengelola dan mengkoordinasikan pelaksanaan urusan perlengkapan;

(8) Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan

administrasi umum, kepegawaian, keuangan dan perlengkapan;

(9) Mengkoordinasikan penyusunan laporan pelaksanaan program dan

kegiatan dalam lingkup Dinas;

(10) Menilai prestasi kerja para Kepala Sub Bagian dalam rangka pembinaan

dan pengembangan karir;


205

(11) Menginventarisir permasalahan-permasalahan yang berhubungan

dengan kesekretariatan dan menyiapkan bahan petunjuk pemecahan

masalah;

(12) Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan.

Subbagian Umum dan Kepegawaian mempunyai tugas menyusun

rencana kerja, melaksanakan tugas teknis ketatausahaan, mengelola

administrasi kepegawaian serta melaksanakan urusan kerumahtanggaan Dinas.

Subbagian Keuangan mempunyai tugas menyusun rencana kerja dan

melaksanakan tugas teknis keuangan. Subbagian Perencanaan dan Pelaporan

mempunyai tugas menyusun rencana kerja, melaksanakan tugas teknis

perlengkapan, membuat laporan serta mengevaluasi semua pengadaan barang.

Bidang Pendidikan Dasar mempunyai tugas melaksanakan rencana kerja

program dan pengembangan kurikulum pendidikan TK, SD dan SMP, menilai

dan menetapkan izin operasi pendidikan dasar, menata kebutuhan tenaga

pendidik dan kependidikan serta melaksanakan pembinaan peningkatan

profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan dan penguatan mutu

pendidikan.

Bidang Pendidikan Menengah mempunyai tugas pokok melaksanakan

rencana program dan pengembangan kurikulum pendidikan SMA dan SMK,

menilai dan menetapkan izin operasional pendidikan menengah, menata

kebutuhan tenaga pendidik dan kependidikan serta melaksanakan pembinaan

peningkatan profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan dan penguatan

mutu pendidikan.

Bidang Pendidikan Non Formal dan Informal mempunyai tugas

melaksanakan perumusan kebijakan teknis pendidikan Non Formal, menilai dan

menetapkan izin operasional Penyelenggara Pendidikan Non Formal. Bidang


206

terakhir yakni Bidang Sarana dan Prasarana Pendidikan mempunyai Tugas

melaksanakan perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan dan pembinaan teknis

pengadaan, analisis kebutuhan, perawatan, pedoman pembakuan sarana dan

prasarana Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, PAUD, Pendidikan Non

Formal dan Prasarana UPTD serta Dinas Pendidikan.

Selain Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga sebagai unsur utama

dan memiliki tugas pokok secara teknis operasional dalam penyelenggaraan

urusan pendidikan, seperti halnya di daerah lain, di Kabupaten Gowa terdapat

pula institusi atau lembaga lain yang memiliki peran penting dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan. Lembaga yang dimaksud adalah Dewan

Pendidikan dan Komite Sekolah. Keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite

Sekolah secara nasional diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional. Pada pasal 24 undang-undang tersebut menyebutkan

bahwa Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan

berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Kemudian pada

pasal 25, menyatakan bahwa Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang

beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh

masyarakat yang peduli pendidikan.

Selanjutnya tugas dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah

tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang

Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam peraturan pemerintah ini

pada intinya menjelaskan bahwa kedua institusi tersebut memiliki peran penting

dalam upaya memajukan dunia pendidikan di tingkat nasional, provinsi, dan

kabupaten/kota. Keduanya turut memberikan pertimbangan mengenai pelbagai

isu pendidikan kepada sejumlah pemangku kepentingan seperti Gubernur,

Bupati/Walikota, Dinas Pendidikan dan DPRD. Posisi ini menjadikan Dewan


207

Pendidikan dan Komite Sekolah sebagai mitra strategis dan sejajar bagi

pemerintah daerah dan sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan.

Keberadaan Dewan Pendidikan Kabupaten Gowa sudah memasuki

periode kedua. Berdasarkan dokumentasi lapangan, saat ini anggota Dewan

Pendidikan berjumlah 11 orang yang berasal dari beragam latar belakang, yakni

dua orang pakar pendidikan, dua orang penyelenggara pendidikan, dua tokoh

pengusaha lokal, satu orang ulama (tokoh Muslim), satu tokoh masyarakat adat,

satu orang dari organisasi profesi, satu aktivis LSM, dan satu tokoh perempuan..

Demikian pula keberadaan Komite Sekolah, keanggotaannya terdiri dari unsur

orangtua/wali perserta didik, tokoh masyarakat, dan pakar pendidikan yang

relevan. Komite Sekolah ini sudah terbentuk disemua satuan pendidikan

(sekolah) yang ada di Kabupaten Gowa.

Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sebagai representasi masyarakat

menyuarakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat dalam berbagai kebijakan

pendidikan yang dibuat oleh pihak pemerintah daerah dan sekolah. Dalam

konteks ini pula Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memberi pertimbangan

dan masukan terhadap peraturan-peraturan, baik yang dirumuskan oleh lembaga

eksekutif maupun yang diusulkan oleh DPRD.

(c) Program, Kegiatan dan Alokasi Anggaran Urusan Pendidikan

Pada bagian awal telah diuraikan visi dan misi pemerintah daerah

Kabupaten Gowa. Dalam pernyataan visi dan misi tersebut jelas nampak adanya

keberpihakan dan komitmen yang tinggi terhadap pembangunan sumber daya

manusia (human resource development) yakni meningkatnya kualitas sumber

daya manusia yang berbasis pada pemenuhan hak-hak dasar manusia.

Pemenuhan hak-hak dasar manusia, salah satu di antaranya adalah pemenuhan

hak dalam memperoleh pelayanan pendidikan yang memadai.


208

Hal mengenai keberpihakan dan komitmen yang tinggi terhadap

pemenuhan hak-hak dasar termasuk pendidikan sebagai basis untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia, tercermin pula dalam pernyataan

visi dan misi SKPD Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten

Gowa. Visi tersebut berbunyi: “Terwujudnya Sistem Pendidikan Sebagai

Pranata Sosial yang Kuat dan Berwibawa untuk Menciptakan Luaran dan

Hasil yang Handal”. Selanjutnya rumusan misi dinas ini tersusun dalam

beberapa poin, yakni:

(1) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh

pendidikan yang bermutu.

(2) Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan

sebagai pusat pemberdayaan ilmu pengetahuan, keterampilan,

pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional.

(3) Menumbuh kembangkan semangat keunggulan secara intensif

pengamalan ajaran agama dan nilai budaya.

Visi dan misi tersebutlah yang menjadi pondasi strategis sehingga

pelayanan di bidang pendidikan ini menjadi agenda prioritas dalam kebijakan

pembangunan daerah Kabupaten Gowa selama ini. Pelayanan bidang

pendidikan ini tentu saja berkaitan dengan keseluruhan penyelenggaraan

pemerintah daerah yang berkaitan dengan urusan pendidikan. Berdasarkan visi

dan misi tersebut maka dijabarkanlah beberapa program dan kegiatan dalam

urusan pendidikan seperti pada Tabel 28 berikut ini.

Tabel 28. Program, Kegiatan dan Alokasi Anggaran Urusan Pendidikan


Kabupaten Gowa tahun 2013

No. Program dan Kegiatan Alokasi Anggaran


1. Program Pendidikan Anak Usia Dini 1,917,400,000
Pengadaan Sarana Mobilitas Sekolah (Honor & Motor Satpol PP) 1,892,400,000
209

Renovasi Ruangan dan Pemasangan Paving Blok PAUD / SPAS 15,000,000


Rehabilitasi PAUD SPAS Bontoala 10,000,000
2. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 38,193,255,000
Pembangunan Gedung SMP 1,500,000,000
Penambahan Ruang Kelas Sekolah SD/SMP 1,000,000,000
Pembangunan Laboratorium & Ruang Praktikum Sekolah SMP 23,100,000,000
Pembangunan Perpustakaan Sekolah SD/SMP 10,625,000,000
Pengadaan Mobiler Sekolah SD/SMP 660,000,000
Rehabilitasi Sedang/Berat Bangunan Sekolah SD/SMP 900,000,000
Rehabilitasi Sedang/Berat Taman ,Lapangan Upacara dan
100,000,000
Fasilitas Parkir
Penyediaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Jenjang
108,255,000
SD/MI/SDLB/SMP/MT
- Tim Pengendali Pendidikan Gratis 200,000,000
3. Program Pendidikan Menengah 9,510,000,000
Pembangunan Gedung SMA/SMK 3,900,000,000
Penambahan Ruang Kelas Sekolah SMA/SMK 1,400,000,000
Pembangunan Laboratorium dan Ruang Praktikum Sekolah SMA 1,500,000,000
Pembangunan Perpustakaan SMA 600,000,000
Pengadaan Mobiler Sekolah SMA 1,000,000,000
Rehabilitasi Sedang/Berat Bangunan Sekolah SMA/SMK 1,000,000,000
Penyelenggaraan Akreditsi sekolah 50,000,000
Monitoring , Evaluasi dan Pelaporan Pelaksanaan KTSP SD,
60,000,000
SMP, SMA/SMK
4. Program Pendidikan Non Formal 6,518,329,400
Pemberdayaan Tenaga Pendidikan Non Formal (PAUD SPAS) 2,951,329,400
Pengembangan Pendidikan Keaksaraan ( Buta Aksara) 280 klp
980,000,000
KF
Pengembangan Pendidikan Keaksaraan 112 klp KF 392,000,000
Pengembangan Pendidikan Keaksaraan 170 klp KF 595,000,000
Pengembangan Pendidikan Kecakapan Hidup 100,000,000
Pengembangan Kurikulum, Bahan Ajar & Model Pembelajaran
75,000,000
Pendidikan
Penunjang Proses Belajar Mengajar (SKB) 100,000,000
Pelaksanaan Ujian Nasional Paket A,B dan C 50,000,000
No. Program dan Kegiatan Alokasi Anggaran
Pembangunan Gedung TK Borongara 140,000,000
Pembangunan Gedung MIS Parangloe 140,000,000
Pembangunan Gedung Bermain Anak Prasekolah 25,000,000
Rehabilitasi TK Pa'rasangang Toa 30,000,000
Rehabilitasi SPAS 10,000,000
210

Pemb. Pemagaran TK Pembina Negeri Parigi 30,000,000


TK Pembina Negeri 1 Parigi (Pengadaan alat main TK) 10,000,000
Pelaksanaan hari anak nasional 35,000,000
Pelaksanaan Hari Aksara Nasional 35,000,000
Biaya Operasional Bantuan Alat Praktikum dari Jerman 100,000,000
5. Program Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan 33,931,200,000
Workshop Sistim Pembelajaran Tuntas berkelanjutan 3,000,000,000
Pembinaan KKG SD, MGMP SMP MKPS, MKKS 300,000,000
Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan Sertifikasi Guru & Pengawas 100,000,000
Optimalisasi Mutu Pendidikan & Tenaga Kependidikan 31,200,000
Pelaksanaan Pendidikan Gratis 20,000,000,000
Punggawa Demba An Educatinal Program SD/SMP/SMA/SMK 10,000,000,000
Program Punggawa Demba 300,000,000
Sosialisasi kurikulum Pendidikan Karakter & Budaya Bangsa
50,000,000
Melalui Pembelajaran Aktif & Kewirausahaan
Pendidikan Lanjutan Bagi Pendidikan Utk Memenuhi Standar
300,000,000
Kualifikasi
Pengembangan Sistem Penghargaan & Perlindungan Terhadap
50,000,000
Profesi Pendidikan
Sosialisasi Sertifikasi Guru & Pengawas 50,000,000
Workshop Guru Bidang Studi SMA & SMK 100,000,000

6. Program Manajemen Pelayanan Pendidikan 1,055,000,000


Pelaksanaan Evaluasi Hasil Kinerja Bidang Pendidikan 250,000,000

Pembinaan Dewan Pendidikan 75,000,000


Pelatihan Komite Sekolah 200,000,000
Penghargaan Siswa, Guru, Pengawas & Kepala Sekolah
80,000,000
Berprestasi
Bina Kreatifitas siswa teladan SMA/SMK 30,000,000
Olimpiade Sains Nasional (OSN) SMA 30,000,000
Olimpiade Sains Nasional (OSN) SD & SMP 30,000,000
Operasional UASBN SD 80,000,000
Operasional Punggawa D'Emba 200,000,000
Pembinaan Komite Sekolah 25,000,000
Penyusunan Profil pendidikan 65,000,000
No. Program dan Kegiatan Alokasi Anggaran
7. Program Pengembangan Komunikasi Informasi 200,000,000
Pembinaan & Pengembangan Jaringan Komunikasi & Informasi 200,000,000
8. Program Dana Alokasi Khusus (DAK) 21,000,000,000
Kegiatan DAK Dinas Pendidikan 21,000,000,000
9. Program Pendamping Kegiatan 7,714,462,251
211

Pendamping Rehabilitasi Sedang/Berat Bangunan Sekolah (DAK) 2,764,462,251


Pendamping Rintisan Sekolah Berstandar International 3,850,000,000
Biaya Operasional District Core Team (DCT) Program Bermutu 300,000,000
Dana Pendampingan USB SMK Negeri 1 Pattallassang 700,000,000
Pendampingan Pembinaan Utk Memenuhi Ketentuan ISO 2000 100,000,000
Jumlah 120,039,646,651

Sumber: Peraturan Bupati Gowa No. 16 Tahun 2012 tentang Rencana Kerja
Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2013

Terdapat sembilan jenis program dan 68 jenis kegiatan yang berkaitan

dengan urusan pendidikan. Keseluruhan program dan kegiatan tersebut

diselenggarakan oleh SKPD Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga

sebagaimana telah ditetapkan dalam RKPD Kabupaten Gowa untuk tahun 2013.

Kesembilan program tersebut dituangkan dalam Tabel 28 yang meliputi: (1)

Program Pendidikan Anak Usia Dini; (2) Program Wajib Belajar Pendidikan

Dasar; (3) Program Pendidikan Menengah; (4) Program Pendidikan Non Formal;

(5) Program Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan; (6) Program

Manajemen Pelayanan Pendidikan; (8) Program Dana Alokasi Khusus; dan (9)

Program Pendampingan Kegiatan. Masing-masing program diimplementasikan

dalam beberapa bentuk kegiatan dan untuk memdukung pelaksanaannya, telah

dialokasikan pula anggaran untuk setiap program dan kegiatan.

Tabel 28 di atas menunjukkan bahwa program PAUD dilaksanakan dalam

beberapa kegiatan yakni pengadaan sarana mobilitas sekolah untuk pegawai

honor dan Satuan Tugas pendidikan, renovasi ruangan dan pemasangan paving

blok untuk memperlancar kegiatan PAUD/SPAS, dan rehabilitasi gedung sekolah

PAUD Kecamatan Bontoala. Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan program

PAUD tersebut telah dialokasikan anggaran sebesar Rp. 1,917,400,000.


212

Program wajib belajar pendidikan dasar diselenggarakan dalam beberapa

jenis kegiatan, yakni pembangunan gedung SMP, penambahan ruang kelas

untuk SD dan SMP, pembangunan laboratorium dan ruang untuk praktikum bagi

murid SMP, pembangunan ruang perpustakaan dan pengadaan mobiler untuk

SD dan SMP, rehabilitasi bangunan, taman, lapangan upacara dan fasilitas

parkir untuk SD dan SMP, dan penyediaan dana BOS untuk

SD/MI/SDLB/SMP/MT serta membentuk tim pengendali pelaksanaan pendidikan

gratis. Program wajib belajar pendidikan dasar ini akan menggunakan anggaran

sebesar Rp. 38,193,255,000. Pada umumnya kegiatan pada program wajib

belajar pendidikan dasar ini bersifat fisik dan pengadaan fasilitas, kecuali yang

berkenaan dengan penyediaan dana BOS dan pembentukan tim pengendali.

Untuk program pendidikan menengah dirinci menjadi delapan kegiatan

yakni pembangunan gedung, penambahan ruang kelas, pembangunan

laboratorium dan ruang praktikum sekolah SMA, pembangunan perpustakaan

SMA, pengadaan mobiler sekolah SMA, rehabilitasi bangunan sekolah

SMA/SMK, penyelenggaraan akreditasi sekolah dan terakhir adalah kegiatan

monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan KTPSP SD, SMP dan

SMA/SMK. Anggaran untuk kegiatan-kegiatan tersebut telah dialokasikan

sebesar Rp. 9,510,000,000. Kegiatan yang berhubungan dengan program

pendidikan menengah inipun masih lebih banyak yang bersifat fisik dan hanya

dua kegiatan yang bersifat nonfisik yakni menyangkut kegiatan akreditasi dan

kegiatan monev dan pelaporan.

Beriktunya program yang berhubungan dengan pendidikan nonformal

meliputi kegiatan-kegiatan yang bersifat nonfisik antara lain: pemberdayaan

tenaga pendidikan nonformal (PAUD/SPAS), pengembangan pendidikan

keaksaraan (buta aksara) terbagi menjadi tiga kegiatan, pengembangan


213

pendidikan kecakapan hidup, pengembangan kurikulum bahan ajar dan model

pembelajaran, penunjang proses belajar mengajar (SKB), pelaksanaan UN

(paket A, B, dan C). Kegiatan yang bersifat fisik adalah pembangunan gedung

(TK Borongara, MIS Parambe, dan anak prasekolah), rehabilitasi gedung (TK

Pa’rasangan Toa dan SPAS), pemagaran TK Pembina Negeri Parigi, pengadaan

alat bermain. Ada juga kegiata lainnya yakni pelaksanaan hari anak nasional,

dan pelaksanaan hari aksara nasional, serta biaya operasional bantuan alat

praktikum bantuan dari Jerman. Keseluruhan kegiatan pendidikan non formal ini

akan dianggarkan sebanyak Rp. 6,518,329,400. Dari sekian kegiatan tersebut

nampak bahwa kegiatan non fisik sudah direncanakan lebih banyak

dibandingkan dengan kegiatan yang bersifat non fisik dan pengadaan barang.

Peningkatan mutu dan tenaga kependidikan merupakan program yang di

dalamnya terdapat beberapa kegiatan unggulan. Program peningkatan mutu dan

tenaga kependidikan ini terdiri dari 12 jenis kegiatan. Jenis-jenis kegiatan yang

dimaksud meliputi: kegiatan Workshop Sistem Pembelajaran Tuntas

Berkelanjutan, pembinaan KKG SD, MGMP SMP MKPS, dan MKKS. Selain itu

terdapat pula kegiatan monitoring, evaluasi dan pelaporan sertifikasi guru dan

pengawas, optimalisasi mutu dan tenaga kependidikan, pelaksanaan pendidikan

gratis, dan program Punggawa D’Emba an Education. Kemudian kegiatan

sosialisasi kurikulum pendidikan karakter, pendidikan lanjutan bagi pendidik

untuk standar kualifikasi, pengembangan sisten penghargaan dan perlindungan

terhadap profesi kependidikan, sosialisasi sertifikasi guru dan pengawas, dan

terakhir kegiatan workshop bagi guru bidang studi tingkat SMA dan SMK.

Berdasarkan RKPD seperti tergambar dalam tabel....di atas, terlihat bahwa

program peningkatan mutu dan tenaga kependidikan dianggarkan sebesar Rp.

33,931,200,000. Kemudian dari sifat kegiatan yang dirancang dalam program ini
214

nampaknya memang lebih kepada perbaikan kualitas, baik kualitas tenaga

kependidikan (profesi guru dan pengawas) maupun kualitas proses

pembelajaran itu sendiri.

Tabel 28 di atas juga memperlihatkan program yang bersentuhan dengan

manajemen pelayanan pendidikan. Kegiatan-kegiatan yang disepakati dalam

manajemen pelayanan pendidikan meliputi: pelaksanaan evaluasi hasil kinerja

bidang pendidikan, pembinaan Dewan Pendidikan dan kegiatan pelatihan Komite

Sekolah. Selain itu juga dirancang kegiatan pemberian penghargaan kepada

siswa, guru, pengawas dan kepla sekolah yang berprestasi. Kegiatan pembinaan

kreativitas siswa teladan SMA/SMK, ikut serta dalam olimpiade sains nasional

(OSN) untuk tingkat SD, SMP dan SMA. Kegiatan operasional UASBN SD dan

operasional program Punggawa D’Emba Education. Kegiatan yang terakhir yakni

kegiatan pembinaan Komite Sekolah dan penyusunan profil pendidikan

Kabupaten Gowa. Anggaran untuk seluruh kegiatan dalam program manajemen

pelayanan pendidikan ini adalah sebesar Rp. 1,055,000,000.

Program berikutnya adalah program yang berhubungan dengan

pengembangan komunikasi informasi. Program ini hanya dilakukan dengan

mengadakan kegiatan pembinaan dan pengembangan jaringan komunikasi dan

informasi yang menggunakan anggaran sebesar Rp. 200,000,000. Kemudian

program yang menggunakan anggaran dari pemerintah pusat dalam bentuk

Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp. 21,000,000,000. Anggaran dari alokasi

DAK ini biasanya berkaitan dengan kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh SKPD

Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. Hal ini dibenarkan oleh salah

seorang informan Sekretaris Dinas DIkpora yakni Bapak SpM.

Dalam Tabel 28 terlihat juga adanya kegiatan yang disebut program

pendamping kegiatan. Kegiatan yang termasuk dalam program pendamping


215

kegiatan ini meliputi: rehabilitasi bangunan sekolah, rintisan sekolah bertaraf

internasional, operasional District Core Team (DCT) program bermutu, dan

pendampingan pembinaan untuk memenuhi ketentuan ISO 2000. Anggaran

untuk program yang sifatnya pendamping kegiatan sebesar Rp. 7,714,462,251,

yang anggarannya salah satunya bersumber dari pemerintah pusat dalam bentuk

Dana Alokasi Khusus (DAK).

Setelah mengetahui program dan kegiatan apa saja yang ditetapkan

dalam RKPD, khususnya untuk SKPD Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah

Raga, maka perlu pula diketahui gambaran tentang capaian penyelenggaraan

urusan pendidikan yang telah berlangsung selama. Untuk itu berdasarkan

temuan penelitian yang dilakukan melalui penelusuran dokumen maka peneliti

menemuan beberapa capaian yang berkaitan dengan penyelenggaraan urusan

pendidikan di Kabupaten Gowa.

Capaian penyelenggaraan urusan pendidikan tersebut tergambar dalam

beberapa indikator yang dikaitkan dengan tingkatan pendidikan. Indikator-

indikator tersebut meliputi: (1) Angka Partisipasi Sekolah (APS); (2) Rasio

Ketersedian Sekolah/Penduduk Usia Sekolah; (3) Rasio Guru & Murid; (4) Angka

Putus Sekolah (DO); (5) Fasilitas Sekolah Kondisi Baik; (6) Capaian Layanan

PAUD; dan (7) Jumlah Guru Kualifikasi S1 / Diploma IV. Ketujuh indikator

capaian penyelenggaraan pendidikan tersebut berkaitan dengan tiga tingkatan

pendidikan yakni pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak

usia dini (PAUD).

Indikator-indikator capaian penyelenggaraan urusan pendidikan tersebut

masih merupakan indikator yang bersifat makro untuk mengukur keberhasilan

pembangunan bidang pendidikan di Kabupaten Gowa. Beberapa indikator


216

capaian penyelenggaraan urusan pendidikan menurut tingkatan pendidikan pada

tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada tampilan Tabel 29 berikut ini.

Tabel 29. Indikator Capaian Penyelenggaraan Urusan Pendidikan


Menurut Tingkatan Pendidikan Kabupaten Gowa Tahun 2010-
2011

Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah PAUD


Indikator
2010 2011 2010 2011 2010 2011
Angka Partisipasi
94,41% 94,97% 91,15% 91,85
Sekolah (APS)
Rasio Ketersedian
Sekolah/Penduduk 1 : 43,93 1 : 44,23 1 : 48,01 1 : 50,66
Usia Sekolah
Rasio Guru &
1 : 4,50 1 : 4,54 1 : 10,50 1 : 10,57
Murid
Angka Putus
0,20% 0% 0,10% 0%
Sekolah (DO)
Fasilitas Sekolah
418 Unit 419 Unit 118 Unit 122 Unit 33 Unit 33 Unit
Kondisi Baik
Capaian Layanan
31,86% 36,36%
PAUD
Jumlah Guru
Kualifikasi S1 / 69,66% (Thn. 2010) & 74, 73% (Thn. 2011)
Diploma IV

Sumber: Statistik Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2011 dan Gowa Dalam Angka
Tahun 2012

Pada Tabel 29 di atas menampilkan indikator angka partisipasi sekolah

(APS) menurut tingkatan pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2010 dan

2011. Capaian APS menurut tingkatan pendidikan menengah berada pada

91,15% tahun 2010 dan 91,85% tahun 2011. Indikator APS tersebut memberikan

makna bahwa jumlah penduduk pada usia yang seharusnya sudah bersekolah

pada tingkatan pendidikan dasar (SD/MI) sudah mencapai 94,41% pada tahun

2010 dan 94,97% tahun 2011. Hal ini berarti masih terdapat penduduk pada usia
217

sekolah tersebut yang tidak bersekolah sekitar 5,59% pada tahun 2010 dan 5,3%

pada tahun 2011. Demikian halnya APS pada tingkatan pendidikan menengah

(SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK), bermakna juga bahwa pada tahun 2010 hanya

91,15% penduduk usia sekolah pada tingkatan pendidikan menengah yang

bersekolah dan tahun 2011 sudah meningkat menjadi 91,85%. Sebaliknya masih

terdapat sekitar 8,85% pada tahun 2010 dan 8,15% penduduk yang tidak

bersekolah pada usia sekolah pendidikan menengah.

Indikator rasio ketersediaan sekolah dengan penduduk usia sekolah

berada pada angka 1 : 43,93 untuk tahun 2010 dan 1 : 44,23 tahun 2011. Hal ini

menunjukkan bahwa capaian untuk indikator ini mengalami peningkatan dalam

dua tahun tersebut. Kemudian tergambar pula indikator berdasarkan rasio antara

ketersediaan guru dengan jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu. Rasio

antara guru dan murid ini akan memberikan makna tentang kondisi ideal antara

guru yang memberi pengajaran dengan murid sekolah pada jenjang pendidikan

tertentu.

Angka putus sekolah (DO) di Kabupaten Gowa untuk pendidikan dasar

pada tahun 2010 hanya 0,20% dan tahun berikutnya 0%. Sementara untuk

pendidikan menengah pada tahun 2010 masih ada sekitar 0,10% dan tahun

berikutnya sudah 0%. Kemudian indikator yang berkaitan dengan ketersediaan

sekolah berdasarkan tabel... di atas terdapat 418 unit sekolah pada tahun 2010

dan tahun 2011 menjadi 419 unit untuk jenjang pendidikan dasar. Sedangkan

untuk jenjang pendidikan menengah tahun 2010 terdapat 118 unit dan tahun

2011 meningkat menjadi 122 unit, serta untuk sekolah pada tingkatan PAUD,

sejak tahun 2010 sampai saat ini sudah tersedia 33 unit.

Terakhir menyangkut indikator guru yang telah memiliki kualifikasi sarjana

(S1) dan atau Diploma IV (Akta IV) pada semua jenjang pendidikan. Menurut
218

data Tabel 28 pada tahun 2010 baru sekitar 69,66% guru yang memenuhi

indikator tersebut. Kemudian pada tahun 2011 sudah meningkat menjadi 74,73%

guru yang berkualifikasi S1 dan atau pendidikan Diploma IV. Dengan demikian

berarti bahwa sampai tahun 2011 masih terdapat sekitar 25% guru di Kabupaten

Gowa yang belum berkualifikasi ijasah S1 dan atau Diploma IV (Akta IV).

Setelah mengetahui capaian penyelenggaraan urusan pendidikan

berdasarkan indikator yang masih bersifat makro, maka selanjutnya disajikan

pula capaian pelayanan bidang pendidikan di Kabupaten Gowa melalui indikator-

indikator yang bersifat mikro. Indikator capaian pelayanan pendidikan tersebut

dikatakan bersifat mikro karena berkaitan dengan pelayanan pendidikan pada

tingkatan unit pendidikan sekolah. Indikator-indikator keberhasilan pelayanan

pendidikan ini dapat dinilai dalam beberapa jenis indikator meliputi: (1) Angka

Partisipasi Kasar (APK); (2) Angka Partsipasi Murni (APM); (3) angka kelulusan;

dan (4) angka yang melanjutkan kejenjang sekolah yang lebih tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian melalui penelusuran dokumentasi, terdapat

beberapa indikator yang menunjukkan keberhasilan atau capaian pelayanan di

bidang pendidikan yang terangkum dalam Tabel 29 berikut. Pada tingkatan

sekolah SD (sederajat), angka partisipasi kasar (APK) pada tahun 2010 berada

pada 116,00% dan meningkat menjadi 16,65% pada tahun berikutnya. Untuk

tingkatan sekolah SMP (sederajat), APK mencapai 97,66% pada tahun 2010 dan

tahun 2011 menjadi 99,00%. Selanjutnya untuk tingkatan sekolah SMA

(sederajat) nilai APK tahun 2010 mencapai 94,23% dan setahun kemudian

menjadi 95,25%. Indikator APK pada semua tingkatan sekolah rata-rata

mengalami peningkatan. Hal tersebut bermakna bahwa dari tahun 2010 ke tahun

2011 terjadi peningkatan rasio jumlah penduduk yang memiliki usia bersekolah

pada jenjang sekolah tertentu yakni sekitar 1,01%.


219

Tabel 30. Indikator Capaian Pelayanan Urusan Pendidikan Berdasarkan


Tingkat Sekolah Kabupaten Gowa Tahun 2010-2011

Indikator Capaian
Tingkat Angka Angka
Tahun Angka Angka
Sekolah Partisipasi Kasar Partisipasi Murni
Kelulusan Melanjutkan
(APK) (APM)

SD / 2010 116,00% 112,38% 99,02% 99,80%


Sederajat 2011 116,55% 112,78% 100% 99,83%

SMP / 2010 97,66% 83,70% 94,34% 89,77%


Sederajat 2011 99,00% 84,20% 96,00% 91,25%

SMA / 2010 94,23% 68,90% 99,74%


Sederajat 2011 95,25% 71,20% 99,80%

Sumber: Statistik Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2011 dan Gowa Dalam Angka
Tahun 2012

Indikator berikutnya menyangkut angka partisipasi murni (APM). APM

merupakan indikator yang menunjukkan perbandingan antara jumlah siswa usia

sedang sekolah di jenjang tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia

tertentu. Oleh karena itu, berdasarkan Tabel 30 bahwa APM pada jenjang

sekolah SD (sederajat) pada tahun 2010 adalah 112,38% meningkat menjadi

112,78% setahun kemudian. Untuk jenjang sekolah SMP (sederajat), APM

mencapai 83,70% untuk tahun 2010 dan menjadi 84,20 pada tahun 2011.

Selanjutnya APM untuk tingkatan sekolah SMA (sederajat) pada tahun 2010

hanya 68,90% menjadi 71,20% pada tahun berikutnya. Nilai indikator APM yang

dilansir menunjukkan peningkatan capaian pelayanan bidang pendidikan

Kabupaten Gowa jika dilihat dari indikator APM pada masing-masing jenjang

sekolah.

Indikator capaian pelayanan bidang pendidikan yang ditunjukkan pada

Tabel 29 tersebut adalah indikator melalui persentase angka kelulusan dan


220

angka melanjutkan sekolah ketingkat yang lebih tinggi. Seperti nampak pada

Tabel 29 tersebut bahwa angka kelulusan pada semua tingkatan sekolah

mencapai rata-rata di atas 98%. Bahkan angka kelulusan tingkat sekolah SD

pernah mancapai 100% yakni pada tahun 2011. Selanjutnya indikator angka

melanjutkan kejenjang sekolah lebih tinggi dapat disimak bahwa untuk murid SD

(sederajat) yang melanjutkan ke tingkat SMP (sederajat) mencapai 99,80% pada

tahun 2010 dan pada tahun 2011 angka melanjutkan mencapai 99,83%.

Sementara itu angka melanjutkan kejenjang SMA (sederajat) mencapai 89,77%

untuk tahun 2010 dan meningkat manjadi 91,25% pada tahun berikutnya.

(d) Satuan Pendidikan Sekolah

Setelah memahami bagaimana pembagian kewenangan dalam urusan

pendidikan, siapa penyelenggara urusan pendidikan, dan apa saja yang menjadi

kebijakan, program dan kegiatan serta alokasi anggarannya dalam proses

penyelenggaraan urusan pendidikan, maka berikut ini akan disajikan deskripsi

yang berkaitan dengan unit penyelenggara pendidikan atau yang juga disebut

sebagai satuan pendidikan. Satuan pendidikan ini adalah kelompok layanan

pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal,

dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Pengertian ini

sebagaimana secara eksplisit dinyatakan pada pasal 1 dari UU No. 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tersebut juga dinyatakan bahwa yang

dimaksud dengan pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan

berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan

pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar

pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang

dan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.


221

Sementara itu, untuk mengetahui bentuk dan jenis satuan pendidikan

terutama jalur pendidikan formal bisa dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 17

Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Misalnya

bentuk dan jenis satuan pendidikan anak usia dini (PAUD) jalur pendidikan

formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA) atau

bentuk lain yang sederajat (Pasal 63). Kemudian mengenai bentuk satuan

pendidikan dasar jalur formal yang pada umumnya berbentuk SD, MI, SMP, MTs,

dan bentuk lain yang sederajat (Pasal 68). Bentuk dan jenis satuan pendidikan

menengah biasanya berbentuk SMA, MA, SMK, dan MAK, atau bentuk lain yang

sederajat (Pasal 78).

Perlu juga dikemukakan bahwa satuan pendidikan yang ada selama ini

dapat pula dilihat berdasarkan status penyelenggaranya. Berdasarkan status

penyelenggara dari satuan pendidikan terdapat dua kategori, yakni sekolah

negeri dan sekolah swasta. Adapun yang dimaksud sebagai sekolah negeri

yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah (daerah), mulai dari sekolah

dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan perguruan

tinggi. Sementara itu sekolah swasta adalah sekolah yang diselenggarakan oleh

non-pemerintah/swasta, penyelenggaranya dapat berupa badan dan atau

yayasan pendidikan.

Sekolah sebagai satuan pendidikan dan juga merupakan entitas sistem

yang terbuka. Sekolah sebagai sebuah sistem adalah mencakup beberapa

komponen (subsistem), dimana masing-masing komponen terdiri atas beberapa

faktor yang antara satu dengan lainnya saling terkait dan mendukung untuk

mencapai tujuan yang dikehendaki. Komponen-komponen dari sebuah sistem

sekolah terdiri dari komponen masukan (input), proses (process), dan keluaran

(output), serta dampak yang ditimbulkan (outcome).


222

Guru, murid, sarana prasarana, kurikulum, dana dan pengelola sekolah

(kepala sekolah) dan lingkungan sekolah merupakan komponen input (masukan)

bagi sistem sekolah. Komponen input inilah yang berproses dalam bentuk

kegiatan belajar mengajar di sekolah/kelas dan administrasi sekolah yang

nantinya menghasilkan keluaran sesuai target yang ditentukan. Target luaran

sekolah adalah berupa hasil dalam jumlah tamatan/alumni yang memiliki

kemampuan kognitif, afektif, dan keterampilan.

Sekolah sebagai satuan pendidikan adalah organisasi formal yang tentu

juga memiliki visi dan misi yang ingin diwujudkan melalui proses manajemen

sekolah. Sekolah yang tedapat di Kabupaten Gowa pada umumnya memiliki visi

dan misi sekolah. Sekolah sebagai sampel misalnya di SMA Negeri 3

Sungguminasa, berdasarkan temuan dari observasi peneliti, sekolah ini memiliki

visi: Menjadi Sekolah yang Unggul Dalam Prestasi Luhur Dalam Budi

Pekerti Sehat Jasmani, Rohani, dan Berwawasan Kebangsaan Berlandasan

Nilai-Nilai Kreatif Lokal. Kemudian misi SMA Negeri 3 Sungguminasa adalah:

(1) Menyelenggarakan pendidikan yang bermutu berkompoten dan terjangkau.

(2) Mempersiapkan siswa agar unggul dalam kompetisi ditingkat regional,

nasional, dan internasional.

(3) Mempersiapkan lulusan yang mampu bersaing kejenjang pendidikan yang

lebih tinggi baik di dalam dan di luar negeri.

(4) Mempersiapkan lulusan yang jujur, berakhlak mulia, bertanggung jawab,

inovatif, dan cinta tanah air.

(5) Mewujudkan warga sekolah yang sehat jasmani, rohani, sejahtera lahir

batin, religius, demokrasi, dan profesional.

Selain itu, pada tingkatan pendidikan dasar pun misalnya di SMP Negeri

1 Tinggimoncong juga memiliki visi: Mewujudkan Sekolah yang Unggul Dalam


223

Prestasi, Imtaq dan Iptek serta Menyiapkan Peserta Didik yang Mandiri,

Terampil dan Berkarya. Adapun misi SMP Negeri 1 Tinggimoncong ini adalah:

(1) Melaksanakan PSB yang transparan, akuntabilitas, objektif sehingga

tercipta kepercayaan masyarakat terhadap sekolah.

(2) Mewujudkan pendidikan yang menghasilkan lulusan cerdas, terampil,

beriman, bertaqwa, berdisiplin, dan memiliki keunggulan kompetitif.

(3) Mewujudkan diversifikasi kurikulum agar relevan dengan kebutuhan.

(4) Mewujudkan perangkat kurikulum yang lengkap, mutakhir, dan

berwawasan profesional.

(5) Mewujudkan peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan

yang profesional.

(6) Mewujudkan sistem pembelajaran yang kreatif dan inovatif dengan

penerapan metode dan strategi CTL.

(7) Mewujudkan mekanisme partisiparif dengan melibatkan seluruh warga

sekolah, orang tua siswa, dan komite sekolah.

(8) Mewujudkan terciptanya lingkungan belajar yang kondusif.

(9) Mewujudkan kemampuan prestasi dibidang akademik dan non akademik.

(10) Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama dan budya bangsa

sehingga menjadi sumber kearifan dalam bertindak.

Pada satuan pendidikan sekolah dasar SD Negeri Ma’lengu Kecamatan

Bontolempangan, juga memiliki visi yakni: Menjadi Sekolah Terpercaya di

Masyarakat Untuk Mencerdaskan Bangsa Dalam Rangka Mensukseskan

Wajib Belajar. Sedangkan misinya adalah: (1) Menyiapkan generasi unggul

yang memiliki potensi dibidang IMTAQ dan IPTEK; (2) Membentuk sumber daya

manusia yang aktif, kreatif, inovatif sesuai dengan perkembangan zaman. Dan

(3) Membangun citra sekolah sebagai mitra terpercaya di masyarakat.


224

Sementara itu untuk mengetahui gambaran satuan pendidikan sekolah

berdasarkan jumlah sekolah, jumlah guru, dan jumlah murid pada masing-

masing tingkatan sekolah, maka berikut ini disajikan tabel yang berisi tentang

deskripsi secara kuantitaif mengenai satuan pendidikan di Kabupaten Gowa.

Tabel 31. Deskripsi Satuan Pendidikan Sekolah Kabupaten Gowa Tahun


2010 dan 2011

Tingkat Jumlah Sekolah Jumlah Guru Jumlah Murid


Sekolah Thn. 2010 Thn. 2011 Thn. 2010 Thn. 2011 Thn. 2010 Thn. 2011

TK / PAUD 209 218 493 551 6.580 6.839

SD / MI 483 483 4.205 4.205 70.049 89.919

SMP / MTs 139 155 2.534 2.545 29.989 33.126

SMA / SMK
64 64 1.389 1.350 12.319 11.971
/ MA

SLB 4 5 31 53 220 236

Total 899 925 8.650 8.704 119.157 142.091

Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2012

Tabel 31 di atas menunjukkan bahwa jumlah sekolah di Kabupaten Gowa

pada tahun 2010 adalah 899 unit. Kemudian tahun 2011 jumlah sekolah ini

bertambah menjadi 925 unit. Berarti terjadi peningkatan jumlah sekolah sekitar

26 unit dalam masa tersebut. Peningkatan jumlah sekolah terutama terjadi pada

sekolah TK/PAUD yakni dari 209 pada tahun 2010 menjadi 218 tahun berikutnya

dan pada sekolah SMP/MTs pada tahun 2010 hanya 139 kemudian menjadi 155

unit pada tahun 2011, serta sekolah SLB juga ada penambahan dari 4 sekolah

menjadi 5 sekolah pada tahun tersebut.


225

Guru merupakan salah satu komponen utama dari proses belajar

mengajar pada satuan pendidikan sekolah tertentu. Terkait hal ini pada Tabel 5.4

ditampilkan juga keadaan jumlah guru menurut tingkatan sekolah di Kabupaten

Gowa untuk tahun 2010 dan 2011. Tahun 2010 jumlah guru secara keseluruhan

adalah 8.650 orang dan pada tahun 2011 menjadi 8.704 orang. Jumlah guru ini

sudah termasuk guru yang mengajar di sekolah negeri maupun di sekolah yang

berstatus swasta. Juga mereka yang mengajar di sekolah-sekolah berbasis

keagamaan yang dibina oleh Kementerian Agama, seperti sekolah TK (PAUD)

Islam, MI, MTs, dan MA (MAK).

Murid adalah kelompok peserta didik yang terdaftar dan aktif mengikuti

proses belajar mengajar pada satuan pendidikan sekolah. Murid beserta

karakteristiknya merupakan salah satu komponen input baku dalam suatu sistem

satuan pendidikan sekolah. Menurut data Tabel 5.4 di atas pada tahun 2010

jumlah murid di Kabupaten Gowa terdapat 119.157 murid sekolah yang terdaftar

di semua tingkatan sekolah dan tersebar di 18 kecamatan. Pada tahun 2011

terjadi peningkatan jumlah murid menjadi 142.091 orang. Hal ini berarti dari

tahun 2010 ke tahun 2011 terjadi penambahan murid sekolah sebanyak 22.934

orang atau 23%.

Terakhir yang penting juga diketahui mengenai tingkat kebutuhan biaya

pendidikan masyarakat di Kabupaten Gowa. Menurut hasil analisis yang

dilakukan oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga, diperoleh gambaran

bahwa tingkat kebutuhan biaya pendidikan masyarakat pertahun adalah

bervariasi menurut tingkatan pendidian yang dijalani. Berikut ini pada Tabel 31

akan disajikan rincian kebutuhan biaya pendidikan yang dirinci menurut, kategori

daerah (terpencil dan kota) untuk setiap anak didik pada tiap tingkatan sekolah.
226

Tabel 32. Kebutuhan Biaya Pendidikan Masyarakat di Kabupaten Gowa


Tahun 2011

Level Sekolah Per-Anak Didik Daerah Terpencil Daerah Kota

SD 1 orang Rp. 2.600.000 / tahun Rp. 4.420.000 / tahun

SMP 1 orang Rp. 3.850.000 / tahun Rp. 6.545.000 / tahun

SMA 1 orang Rp. 4.720.000 / tahun Rp. 8.024.000 / tahun

SMK 1 orang Rp. 5.500.000 / tahun Rp. 9.350.000 / tahun

Sumber: Dispora Kabupaten Gowa, 2013

Sejumlah informasi dan data yang terkait dengan urusan pendidikan,

yang disajikan di atas pada dasarnya adalah data yang berhubungan proses

penyelenggaraan urusan pendidikan, khususnya terkait dengan pengembangan

program inovasi. Berkaitan dengan mekanisme dan proses pengembangan

program inovasi urusan pendidikan dalam konteks penyelenggaraan

pemerintahan daerah, berikut ini beberapa data dan informasi yang diperoleh

peneliti di lapangan.

Menurut informan yakni Sekretaris Dispora Kabupaten Gowa, Bapak

Sp.M. ketika peneliti menanyakan tentang proses dan mekanisme yang

dilakukan dalam pengembangan program inovasi urusan pendidikan,

menuturkan bahwa:

…..Proses dan mekanisme pengembangan program inovasi seperti


SPAS, Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba, dan Satgas
Pendidikan pada prinsipnya sama saja dengan proses
pengembangan program yang lain, yaitu dibahas bersama antara
Eksekutif dan legislatif, terutama Komisi Bidang Pendidikan DPRD
untuk disahkan menjadi program kerja. Yang membedakan biasanya
karena program inovasi tersebut merupakan unggulan, jadi menjadi
fokus pembahasan yang serius dibanding program yang lain…..
(Wawancara, 9 Desember 2015).

Kemudian peneliti juga melakukan wawancara dengan Informan yang lain

terkait mekanisme pengembangan program yang inovatif dalam urusan


227

pendidikan, yakni Wakil Ketua DPRD Gowa yang kini jadi anggota DPRD

Provinsi Sulsel, Bapak RmS. Informan ini menyatakan bahwa:

…..yang membedakan pembahasan program inovasi dalam urusan


pendidikan dengan program lainnya, hanya persoalan prioritas
karena program tersebut menjadi program primadona pemda (Bupati
Gowa). Artinya bahwa prosesnya pasti selalu melalui mekanisme
politik, yang dibahas bersama antara Eksekutif dan DPRD sebelum
disahkan terutama jika terkait adanya besaran anggaran yang di
alokasikan untuk program tertentu…... (Wawancara, 10 Desember
2015).

Kedua informan di atas pada dasarya memiliki pemahaman yang sama

bahwa prose pengembangan program inovasi seperti progam inovasi dalam

bidang pendidikan selalu dilakukan melalui mekanisme formal penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Mekanisme formal yang secara seragam berlaku dalam

manajemen pemerintahan daerah. Mekanisme formal ini berkaitan dengan

kewenangan daerah yaitu kewenangan mengatur, kewenangan dalam

perumusan kebijakan dan pembentukan peraturan daerah. Fungsi mengatur

berlangsung secara politik karena prosesnya dilakukan oleh lembaga politik

bernama Kepala Daerah (Bupati) dan DPRD. Oleh karena itu, mekanisme

pengembangan program ini sering juga disebut sebagai proses politik.

Ketika dikonfirmasi siapa saja yang terlibat dalam proses politik tersebut,

informan SpM, menyampaikan bahwa:

….Pada dasarnya pihak di luar pemerintah daerah dan DPRD, kami


(Pemda dan DPRD) tetap melibatkan stakeholder lain seperti Dewan
Pendidikan dan LSM, juga ada Tim Ahli Pendidikan dari Perguruan
Tinggi yang dilibatkan pada saat kegiatan dengar pendapat (hearing)
dan sosialisasi….. (Wawancara, 9 Desember 2015).

Informasi yang diberikan oleh informan SpM, tersebut menunjukkan

bahwa pada tahap ini, stakeholder’s tetap dilibatkan tetapi hanya terbatas hanya

pada saat hearing dan sosialisasi program saja. Hal tersebut terjadi karena

lembaga DPRD sudah dianggap representasi masyarakat, sehingga dirasa


228

sudah cukup tewakili aspirasi dan kepentingan masyarakat terkait dengan

masalah urusan pendidikan.

Pemerintah Daerah Kewenangan Lembaga Politik


KEPALA DAERAH MENGATUR & MENGURUS DPRD

Perangkat Daerah Inovasi Pemerintahan Daerah


DINAS PENDIDIKAN Dalam Penyelenggaraan Urusan
& SATPOL PP Pendidikan

Satuan Pendidikan
SEKOLAH

Gambar 17. Kerangka Proses Pengembangan Inovasi Pemerintahan


Daerah dalam Urusan Pendidikan

Gambar di atas adalah ilustrasi tentang proses pengembangan inovasi

yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa saat ini. Pada

ilustrasi tersebut menunjukkan bagaimana proses pengembangan dijelaskan

dalam dua alur proses yakni pertama, alur horisontal yang memberikan

gambaran bagaimana proses atau mekanisme politik dalam pengembangan

inovasi. Pada alur horisontal ini yang terjadi sebetulnya adalah proses

pembentukan kebijakan daerah dalam wujud peraturan daerah (perda) yang

mengatur program inovasi penyelenggaran urusan pendidikan. Alur proses

kedua, alur vertikal yang menunjukkan bagaimana proses administrasi atau

proses manajerial dan termasuk bagaimana teknis operasional pengembangan

inovasi pemerintahan daerah dilaksanakan. Pada proses manajerial dan

operasional ini pada dasarnya adalah proses menjalankan kebijakan daerah atau
229

perda-perda mengenai program inovasi urusan pendidikan dan telah ditetapkan

oleh pemerintah daerah dan DPRD.

Berdasarkan deskripsi tentang bagaimana proses pengembangan inovasi

dalam urusan pendidikan atau pelayanan pendidikan yang dilaksanakan oleh

pemerintahan daerah Kabupaten Gowa, maka dapat dilihat dalam dua tahapan

proses yaitu proses politik dan proses manajerial. Pertama yakni proses politik,

yang secara normatif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah disebut juga

sebagai mekanisme menjalankan fungsi pembentukan peraturan daerah (Perda)

atau dalam konteks penyelenggaraan desentralisasi disebut kewenangan fungsi

mengatur. Di mana kewenangan fungsi mengatur ini dalam prakteknya melekat

pada institusi Kepala Daerah dan DPRD yang dipilih melalui mekanisme

pemilihan (election). Terkait dengan hal ini, berdasarkan hasil penelitian

lapangan, nampaknya mekanisme proses politik dalam pengembangan

kebijakan dan program inovasi urusan pendidikan belum sepenuhnya

berlangsung secara demokratis, transparan, dan melibatkan banyak

stakeholders pendidikan pada tingkat lokal. Mekanisme proses politik dalam

pembentukan peraturan daerah (fungsi mengatur) masih berlangsung seperti

biasanya. Proses pembahasan mengenai pengaturan tentang pengembangan

inovasi pendidikan yang kemudian dituangkan dalam rencana program kerja

daerah masih didominasi oleh pihak pemerintah daerah dalam hal ini pihak

Dispora sebagai leading sector dan pihak komisi bidang pendidikan dalam

lembaga DPRD. Atas dasar kenyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa,

meskipun proses pembahasan yang dilakukan terkait dengan program-program

inovasi dalam urusan pendidikan (SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP dan Satgas

Pendidikan), namun prakteknya pembentukan dasar hukum pengaturannya

belum sepenuhnya inovatif.


230

Tahapan kedua dalam proses pengembangan inovasi urusan pendidikan

oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa adalah pengembangan yang

disebut proses manajerial. Dalam proses manajerial ini Bupati sebagai Kepala

Pemerintahan dalam menjalankan fungsi mengurus yang berhubungan urusan

pendidikan dibantu oleh instrumen perangkat daerah yakni Dinas Pendidikan dan

Pemuda Olah Raga (Dispora) dan UPTD terkait (Satuan Pendidikan). Dalam

konteks ini, posisi Dispora dibawah kendali seorang Kepala Dinas dapat

melaksanakan fungsi-fungsi manajerial dan fungsi-fungsi operasional terhadap

seluruh program dan kegiatan (proyek) dalam urusan pendidikan. Sebagaimana

fakta yang tergambar dari penyajian hasil penelitian sebelumnya, bahwa fungsi-

fungsi manajerial dan operasional yang diperankan oleh Dispora khusunya

Bidang yang berkaitan dengan urusan pendidikan tampak di dalam pelaksanaan

program SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP, dan Satgas Pendidikan. Dalam proses

manajerial pengembangan program inovasi urusan pendidikan ini, nampaknya

belum juga sepenuhnya memiliki nilai inovasi yang kuat (lemah). Hal ini nampak

dari proses implementasi kebijakan dan program dilapangan yang masih lebih

mengandalkan sumberdaya aparatur internal pemerintah daerah sendiri.

5.1.2 Tipologi Program Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan

Dalam RPJM 2010-2015 tercantum visi daerah Kabupaten Gowa yakni

handal dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat dan penyelengaraan

pemerintah. Salah satu misi untuk menuju tercapainya visi tersebut adalah

peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berbasis pada pemenuhan hak-

hak dasar masyarakat. Tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dengan rumusan

visi dan misi tersebut adalah meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Oleh karena itulah, maka pemerintah daerah Kabupaten Gowa menyadari bahwa
231

salah satu aspek pembangunan yang harus diprioritaskan untuk mencapai tujuan

dan sasaran meningkatkan capaian IPM adalah fokus pada pelayanan publik di

bidang pendidikan atau penyelenggaraan urusan pendidikan.

Kabupaten Gowa adalah daerah otonom yang telah melakukan berbagai

terobosan dalam memberikan pelayanan publik kepada warganya. Penilaian ini

dilakukan oleh lembaga yang bernama The Fajar Institute Pro Otonomi (FIPO).

Pada tahun 2010, FIPO memberikan penghargaan Fajar Institute Pro Otonomi

Award kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa dalam kategori Grand

Award Pelayanan Publik. Penghargaan ini dinilai layak diberikan kepada

pemerintah daerah Kabupaten Gowa karena berdasarkan penilaian FIPO,

dibanding kabupaten-kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan, daerah ini lebih

berhasil dalam meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pelayanan dengan

berbagai kebijakan dan program inovatif yang telah dilakukan dalam bidang

pendidikan.

Terdapat empat kebijakan dan program inovatif yang telah dirancang dan

dilaksanakan untuk mewujudkan aksesibilitas yang terjangkau dan kualitas

pelayanan di bidang pendidikan. Keempat kebijakan dan program inovatif

tersebut adalah (1) Pengembangan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS); (2)

Pembebasan Biaya Sekolah bagi Siswa SD-SMA (wajar 12 tahun); (3) Sistem

Pembelajaran Berbasis Cinema Class atau Program D’Emba Education; dan (4)

Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan. Berikut ini deskripsi keempat

kebijakan dan program inovatif tersebut yang didasarkan pada hasil

pengamatan, dokumentasi dan wawancara peneliti.

(a) Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS)


232

Program pengembangan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) ini

diluncurkan pada tahun 2005 oleh pemerintah daerah Kabupaten Gowa, diawal

kepemimpinan Bupati Ichsan Yasin Limpo dan Wakil Bupati Abdul Razak

Badjidu. Ide pengembangan pendidikan anak saleh ini muncul dari bupati sendiri,

sebagai respon terhadap adanya fakta bahwa saat itu masih ada anak-anak

yang sudah memasuki usia sekolah belum dapat membaca dan menulis Latin

serta masih banyak pula anak-anak sekolah yang belum bisa dan lancar

membaca Alquran. Hal ini dibenarkan oleh informan yakni Kabid Pendidikan Non

Formal dan Pra Sekolah, yang berinial StR. yang waktu itu belum menjabat

sebagai Kepala Bidang. Informan ini mengatakan sebagai berikut:

.....Program Sanggar Pendidikan Anak Saleh ini muncul, awalnya karena


banyak anak-anak yang sudah mau masuk sekolah SD tapi belum tahu
membaca termasuk mengaji (membaca Alquran) ini terutama berasal dari
keluarga miskin yang tersebar disemua desa. Malahan waktu itu (2005,
peneliti) sebelum pak Ichsan Yasin Limpo menjadi Bupati Gowa, ada
sekitar 1.500 orang anak yang sempat terdata dari semua kecamatan
belum bisa membaca dan mengaji. Makanya pak Bupati yang terpilih
memprogramkannya.... (Wawancara, 3 November 2013)

Jadi nampak bahwa program SPAS ini menjadi terobosan awal dari

bupati yang baru terpilih. Terobosan ini muncul karena adanya kenyataan sosial

dihampir semua desa memiliki masyarakat yang tergolong keluarga miskin. Di

mana keluarga miskin tersebut rata-rata memiliki anak berusia sekolah yang

belum mampu membaca baik Latin maupun Alquran. Dengan kata lain bahwa

SPAS ini adalah sarana pendidikan untuk anak-anak putus sekolah, atau bagi

mereka yang tidak berhasil melanjutkan sekolah karena kekurangan biaya.

Oleh karena itu, sebagai program terobosan dari Bupati Gowa, program

pengembangan SPAS perlu digali lebih jauh bagaimana gambaran utuh dari

program SPAS ini dikembangkan dan hal-hal yang menonjol sehingga program

SPAS ini dapat dikategorikan sebagai program unggulan yang bernilai inovasi.
233

Untuk mengetahui kedua aspek tersebut berikut disajikan gambaran tentang

program pengembangan SPAS berlangsung.

Secara kelembagaan, program SPAS ini adalah termasuk salah satu

jenis Pendidikan Luar Sekolah (PLS), karena diselenggarakan dengan maksud

memberikan pembelajaran pada warga berupa pengetahuan dan ketrampilan

khusus yakni baca tulis Latin dan Alquran, melalui jalur pendidikan nonformal.

Bahkan program SPAS yang dikembangkan di Kabupaten Gowa ini juga

termasuk jenis pendidikan berbasis masyarakat, karena penyelenggaraan

pendidikan SPAS ini didasarkan pada kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi,

dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk

masyarakat.

Pengembangan program SPAS di Kabupaten Gowa pada hakekatnya

bertujuan untuk mempercepat target pemberantasan buta aksara di daerah ini.

Dimana pada saat itu, tahun 2005, indikator Angka Melek Huruf (AHM) hanya

mencapai 78% (Gowa Dalam Angka, 2010). Indikator AHM ini menunjukkan

bahwa hanya 78% dari jumlah penduduk berusia produktif (15 tahun ke atas

yang memiliki kemampuan baca tulis dan sebaliknya masih tersisa sekitar 22%

penduduk berusia produktif (15 tahun ke atas) yang mengalami buta aksara.

Bahkan daerah Kabupaten Gowa waktu itu termasuk satu dari tiga kabupaten

penyumbang terbesar tingginya angka buta huruf di Provinsi Sulawesi Selatan.

Menurut keterangan dari informan yakni Sekretaris Dispora, yang

berinisial Bapak SpM. yang menyampaikan kepada peneliti ketika wawancara

diruang kerjanya bahwa:

.......Sebelum adanya program SPAS yang dipelopori oleh pak Bupati


Ichsan Yasin Limpo pada awal pemerintahannya pada tahun 2005,
kondisi buta aksara didaerah ini cukup tinggi. Bukan hanya buta aksara
Latin tapi juga baca Alqruan. Pada saat itu terdapat 23.177 penduduk
yang berusia produktif yang masuk kategori buta aksara. Karena
234

banyaknya penduduk yang buta aksara makanya kita lakukan secara


bertahap. Pada tahun pertama program ini ditargetkan 13.000 orang,
kemudian sisanya 10.177 orang untuk tahun berikutnya dan
Alhamdulillah pada tahun 2007 target hampir mencapai 100%.......
(Wawancara, 2 Oktober 2013)

Selanjutnya informan Bapak SpM. Sekretaris Dispora pada saat itu juga

mengemukakan kepada peneliti bahwa:

........Pada tahun 2005, kami alokasikan sebesar Rp. 8,6 Miliar anggaran
untuk program mengetasan buta aksara di daerah ini. Tetapi perlu
diketahui bahwa anggaran itu, tidak seluruhnya untuk SPAS saja, karena
ada juga beberapa organisasi lain seperti organisasi perempuan, LSM
pemerhati pendidikan, dan kelompok Majelis Taqlim ikut
menyelenggarakan program akselerasi buta aksara ini..... (Wawancara, 2
Oktober 2013)

Berdasarkan keterangan dari informan Bapak SpM, tersebut di atas

diketahui bahwa ada perhatian dan komitmen politik yang tinggi dari pemerintah

daerah terutama Bupati Kabupaten Gowa untuk mengatasi masalah yang dialami

dalam bidang pendidikan yakni tingginya buta aksara. Terbukti misalnya dari

tingginya anggaran yang dialokasikan untuk akselerasi pengentasan buta aksara

di daerah ini sebagaimana keterangan dari informan penelitian tersebut.

Selanjutnya pada sajian berikut ini dijelaskan bagaimana pengembangan

program Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) ini berlangsung. Berdasarkan

data lapangan yang peneliti peroleh melalui dokumentasi dan wawancara,

program SPAS ini menjadi wewenang Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah

Raga. Meskipun pada awal pembentukannya di setiap desa/kelurahan

nampaknya lebih bersifat bottom-up, karena lebih melibatkan penduduk desa

setempat di mana sanggar tersebut dibangun. Termasuk juga pengelola sanggar

ini berasal dari warga setempat, yang kemudian dilegitimasi oleh pemerintah

daerah melalui Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga.


235

Gambar 18 berikut ini adalah contoh wujud dari pengembangan program

inovasi Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) yang beralamat di Kelurahan

Bontonompo Kecamatan Sungguminasa Kabupaten Gowa.

Gambar 18. Salah Satu Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) Kelurahan
Bontonompo Sungguminasa Kabupaten Gowa

Sumber: Dokumentasi Sekretariat Dinas Dikpora Kabupaten Gowa Tahun 2012

Menurut informasi yang disampaikan oleh informan Bapak SpM.

Sekretaris Dispora kepada peneliti yakni:

.......Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa membentuk pengelola Sanggar


Pendidikan Anak Saleh (SPAS) mulai tingkat desa, kecamatan, hingga
tingkat kabupaten. Tugas pengelola sangat banyak dan cukup vital. Satu
di antaranya mengevaluasi kinerja tutor atau pengajar SPAS. Selain
mengevaluasi tutor, pengelola juga mengawasi proses belajar mengajar
di SPAS. Tugas pengelola SPAS lainnya, seperti menjaga aset SPAS.
Mereka juga membantu anak putus sekolah atau masyarakat tak mampu
bisa masuk SPAS...... (Wawancara, 2 Oktober 2013)

Secara operasional, proses pembelajaran dilaksanakan oleh tenaga

pengajar atau guru sanggar sebanyak dua atau tiga orang di setiap sanggar.
236

Tenaga pengajar ini berasal dari warga setempat. Status tenaga pengajar ini

diangkat menjadi pegawai tidak tetap (pegawai honorer) daerah. Karena mereka

dijadikan sebagai pegawai honorer daerah, maka mereka berhak mendapat

insentif setiap bulan dari anggaran daerah yang dialokasikan khusus untuk

program buta aksara Kabupaten Gowa.

Kemudian dalam pengelolaan SPAS yang sudah terbentuk di 154

desa/kelurahan pelaksanaannya dilakukan Tim Pengelola, yang dibentuk oleh

Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. Di mana orang yang ditunjuk dalam

pengelola tersebut juga berasal dari warga desa/kelurahan setempat. Pengelola

SPAS ini cukup banyak, pengelola tingkat desa saja ada 300 orang di mana

masing-masing desa dan kelurahan terdapat dua orang pengelola. Di tingkat

kecamatan terdapat 54 orang pengelola tersebar di 18 kecamatan dan di tingkat

kabupaten ada 12 orang. Sehingga jumlah keseluruhan dari pengelola SPAS

tersebut adalah 462 orang.

Murid (santri) Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) adalah anak-anak

miskin yang berusia 6-13 tahun. Mereka diberikan pelajaran membaca huruf

Latin dan hijriyah (Al Quran) dengan waktu belajar pukul 16:00-18:00 WITA yang

diakhiri dengan shalat berjamaah bagi anak – anak. Dan juga mata pelajaran

lainnya agar mereka bisa meneruskan ke sekolah formal jika memenuhi syarat

dengan melulusi ujian yang dilaksanakan oleh tutor. Setelah Maghrib

diperuntukkan bagi orang tua yang belum dapat baca tulis Latin dan Al Quran.

Hal ini dipaparkan oleh Yunus (2012:17) melalui makalahnya dalam salah satu

seminar inovasi pendidikan di UGM Yogyakarta yang mempresentasikan tentang

praktek inovasi pendidikan di Kabupaten Gowa.

Jenis materi yang diajarkan oleh guru atau tutor kepada santri SPAS tidak

hanya menyangkut pengetahuan dan keterampilan baca tulis tetapi juga materi
237

yang terkait dengan pendidikan akhlak yang Islami. Demikiam pula dari segi

santri SPAS itu sendiri, ternyata tidak hanya diikuti oleh anak-anak yang masih

berusia 6-13 tahun tetapi juga diikuti oleh orang dewasa. Santri yang sudah

dewasa adalah mereka yang kebanyakan orang tua dari santri SPAS juga. Hal

inilah yang menjadi salah satu kelebihan dari program SPAS ini dalam

mendorong pengentasan buta aksara di Kabupaten Gowa.

Pada tahun 2007, SPAS menyelenggarakan ujian perdana yang diikuti

oleh 700 orang santri. Diantara 700 orang santri yang mengikuti ujian tersebut

sebenarnya terdapat 200 orang santri yang merupakan anak putus Sekolah

Menengah Pertama (SMP), namum karena pertimbangan khusus maka mereka

tetap disamakan dengan yang lainnya. Hasil ujian perdana dari SPAS ini

akhirnya meluluskan ke 700 santri yang telah mengikuti ujian. Kemudian mereka

diberikan ijasah yang disetarakan dengan ijasah program Paket A. Ujian perdana

SPAS ini dipantau langsung dan sekaligus dilakukan evaluasi terhadap program

SPAS oleh Direktur Pendidikan Masyarakat dan Direktur Kesetaraan

Kementerian Pendidikan Nasional waktu itu.

Setelah berlangsung dua tahun sejak diluncurkan, yakni pada tahun

2007, program SPAS ini sudah mendapat apresiasi dari pemerintah pusat.

Apresiasi tersebut berupa penghargaan Aksara Anugerah Utama karena

pemerintah daerah Kabupaten Gowa dinilai memiliki komitmen yang tinggi dalam

bidang pendidikan terutama program Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Komitmen

tinggi dari pemerintah daerah tersebut tertuang dalam Rencana Kerja

Pemerintah Daerah (RKPD) dengan menempatkan program ini sebagai salah

satu program prioritas dalam setiap tahun.

Pada tahun 2009, program Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) ini

oleh pemerintah daerah dicanangkan menjadi Pendidikan Anak Usia Dini


238

(PAUD). Hal ini dilakukan untuk mengikuti kebijakan pemerintah pusat

(Kementerian Pendidikan Nasional) waktu itu, yang mengembangkan program

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Selain itu, juga untuk menjaga

keberlangsungan program SPAS tersebut. Dengan demikian, PAUD secara

langsung terbentuk di 154 desa/kelurahan pada tahun 2009, karena semua

program SPAS di tingkat desa/kelurahan beralih menjadi program PAUD.

Namun demikian dari segi sumberdaya seperti guru pengajar dan

pengelola SPAS tidak mengalami pergantian karena tetap memanfaatkan

sumberdaya yang ada sebelumnya. Termasuk juga materi pembelajaran yang

diajarkan selama ini di SPAS tidak mengalami perubahan. Kecuali syarat usia

bagi santri yang berubah, jika sebelumnya santri SPAS berumur 6-13 tahun,

maka setelah terintegrasi dengan PAUD usia santri berubah menjadi 6 tahun

atau usia pra sekolah.

Berdasarkan fakta dari observasi dan penelusuran dokumentasi peneliti

menyimpulkan bahwa program Sekolah Pendidikan Anak Saleh (SPAS) adalah

program yang benar-benar baru muncul ketika dicanangkan pertama kali oleh

Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo, pada tahun 2005. Program SPAS belum

pernah dilaksanakan pada periode pemerintahan bupati sebelumnya.

Ketika dikonfirmasi kebeberapa informan, bahwa pengembangan SPAS

yang dicanangkan oleh Bupati Ichsan Yasin Limpo di awal pemerintahannya

pada periode lalu merupakan program yang bernuansa inovasi. Para informan

memberi komentar bervariasi terhadap program SPAS tersebut. Informan dari

Komisi 4 DPRD Gowa, yakni Bapak MkS. yang membidangi masalah pendidikan

memberi keterangan kepada peneliti bahwa:

.....program SPAS boleh dianggap sebagai program inovasi karena


merupakan hal baru dan belum pernah ada sebelum periode kali ini.
SPAS juga sangat efektif dalam meningkatkan kemampuan baca tulis
239

(Latin dan Al Quan) terutama warga yang tinggalnya di pelosok desa


yang jauh Kota kabupaten..... (Wawancara, 5 Oktober 2013)

Jadi berdasarkan keterangan dari informan MkS. diketahui bahwa suatu

program pemerintah daerah dianggap bernilai inovatif ketika program tersebut

adalah memiliki kebaruan atau sesuatu baru dan belum. Demikian halnya suatu

program diakatakan inovatif ketika menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan oleh

masyarakat setempat. Hal lain yang didapatkan dari hasil wawancara dengan

informan Mks. di atas adalah secara tersirat anggota DPRD dari Komisi 4 ini,

meskipun berbeda dari segi latarbelakang partai politik sangat mendukung

adanya terobosan program SPAS oleh Bupati Gowa.

Demikian halnya ketika dikonfirmasi ke informan Wakil Ketua DPRD

Gowa yakni Bapak RmS. mengenai dukungan institusi DPRD terhadap

pengembangan SPAS di Kabupaten Gowa. Informan Bapak RmS. menyatakan

bahwa:

.....prinsipnya institusi DPRD selalu memberikan dukungan terhadap


semua program pemerintah selama program tersebut dianggap
dibutuhkan oleh masyarakat, dalam artian bahwa apapun program itu
prinsipnya adalah sesuai dengan aspirasi dan kepentingan publik, pasti
dibackup secara politik, termasuk alokasi anggaran untuk program
tersebut, apalagi program pengembangan SPAS di daerah ini mendapat
penghargaan dari pusat......(Wawancara, 3 Oktober 2013)

Meskipun keterangan dari informan Bapak RmS. Wakil Ketua DPRD

Gowa bernada diplomatis, tetapi secara tegas bahwa DPRD secara institusi akan

selalu mendukung secara politik program-program pemerintah daerah termasuk

program SPAS. Namun ketika ditanyakan tentang keterlibatan DPRD dalam

merumuskan kebijakan pengembangan SPAS tersebut. Informan Bapak RmS.

memberi jawaban kepada peneliti bahwa:

......DPRD baik secara institusi maupun sebagai anggota tidak terlibat


dalam proses perencanaan program SPAS. Karena menurut kami,
program itu adalah sepenuhnya domain dari pihak eksekutif (pemerintah
daerah) dalam hal ini Bupati Gowa. DPRD baru terlibat pada saat
240

pembahasan di DPRD, ketika program tersebut akan ditetapkan sebagai


RKPD tahun berjalan..... (Wawancara, 3 Oktober 2013)

Jadi keterlibatan DPRD dalam program pengembangan SPAS hanya

pada saat pembahasan RKPD untuk disahkan dan ditetapkan dalam suatu

peraturan daerah dan penetapan alokasi anggarannya dalam APBD. DPRD tidak

terlibat dalam proses perencanaan karena hal tersebut merupakan wilayah kerja

pihak pemerintah daerah. Sehingga dapat dikatakan bahwa program SPAS

murni gagasan dari pemerintah daerah dalam hal ini Bupati Gowa tanpa

melibatkan DPRD sebagai representasi rakyat daerah, kecuali dalam

pembahasan dan penetapan peraturan daerah sebagai bentuk kebijakan publik

daerah.

Penilaian yang senada dengan dua keterangan dari informan MkS. dan

informan RmS. juga muncul dari informan lainnya yakni seorang pemerhati

pendidikan dan berprofesi sebagai wartawan media lokal. Informan ini pernah

melakukan riset tentang pelayanan publik bidang pendidikan hubungannya

dengan tatakelola pemerintahan di Sulawesi Selatan. Informan berinisial IcH.

dalam wawancaranya dengan peneliti memberi tanggapan terkait dengan

program SPAS di Kabupaten Gowa, informan IcH. mengatakan bahwa:

.....program SPAS di Kabupaten Gowa pernah mendapat penilaian


sebagai salah satu program inovatif karena memberi kontribusi besar
dalam meningkatkan kualitas dan akses pendidikan bagi warga di daerah
ini. Penilaian terhadap program SPAS tersebut berasal dari lembaga
yang bernama The Fajar Institute Pro Otonomi (FIPO), yang konsen
dalam pemberian Otonomi Award bagi daerah yang dinilai kreatif dan
inovatif dalam mengemas program yang terkait dengan aspek
pembangunan pendidikan.....(Wawancara, 10 November 2013)

Keterangan dari informan IcH. tersebut memberi gambaran bahwa

program SPAS merupakan salah satu program pemerintah daerah yang memiliki

nilai inovasi karena memberi kontribusi nyata dalam mendukung misi pemerintah

daerah dalam peningkatan kualitas dan akses pelayanan pendidikan bagi


241

warganya. Penilaian tersebut dilakukan oleh lembaga independen yang bernama

The Fajar Institute Pro Otonomi (FIPO). Lembaga FIPO yang didirikan oleh

Koran Harian Fajar pada tahun 2008 yang lalu. FIPO ini adalah lembaga

independen yang secara intensif melakukan monitoring dan evaluasi terhadap

pelaksanaan otonomi daerah di Sulawesi Selatan.

Meskipun pengembangan program SPAS ini telah mendapat apresiasi

dari pemerintah pusat dalam bentuk penghargaan Aksara Anugerah Utama dan

lembaga lain seperti FIPO yang menilai bahwa program SPAS adalah program

yang inovatif, tetapi dalam proses penyelenggaraan program tetap mendapat

penilaian kritis dari beberapa kalangan. Di antara kalangan yang memberi

kritikan adalah dari pihak DPRD dan para pemerhati pendidikan (LSM). Informan

dari Ketua Komisi 4 DPRD Kabupaten Gowa yang berinisial MkS. Misalnya

menuturkan kepada peneliti di gedung DPRD, menyatakan bahwa:

.....hakekat program SPAS yang dilaksanakan oleh pemerintah memang


ideal karena bertujuan untuk mengurangi buta aksara tetapi ada
kekhawatiran terutama mengenai efektivitas penggunaan anggaran yang
sudah digelontorkan begitu besar. Saya khawatirkan jangan sampai
program SPAS ini lebih bersifat “proyek” saja. Artinya lebih banyak
berfikir untuk mencari untung materi saja. Karena beberapa komponen
dari program ini seperti pengadaan sarana prasarana sanggar dan buku
ajar itu ternyata dipihak ketigakan. Pihak ketiga (kontraktor) inikan pasti
mencari untung.... (Wawancara, 5 Oktober 2013)

Kemudian kritikan terhadap program SPAS ini juga muncul dari kalangan

pemerhati pendidikan (LSM). Misalnya dari informan KrB. Informan aktivis LSM

memberi kritikan terhadap SPAS seperti berikut:

......seharusnya pelaksanaan program SPAS ini melibatkan stakeholder’s


lain, misalnya pengusaha-pengusaha lokal untuk berpartisipasi menjadi
penyantun dana program, sehingga ketergantungan anggaran dari
pemerintah daerah (APBD) bisa diminimalisir. Apalagi didaerah inikan
banyak pebisnis lokal yang sukses. Jadi pemerintah daerah bisa
melakukan semacam kemitraan dengan pihak swasta untuk memajukan
program SPAS tersebut...... (Wawancara, 10 November 2013)
242

Kedua informan baik dari DPRD maupun dari pemerhati pendidikan

(LSM) nampaknya sama-sama menyoroti program SPAS ini dari aspek

anggaran. Mereka meragukan efektivitas anggaran yang digunakan untuk

program SPAS tersebut. Kritikan pertama menyangkut orientasi program,

mengingat anggaran cukup besar. Jangan sampai hanya berorientasi “proyek”.

Kedua menyangkut keterlibatan stakeholder’s yang banyak, misalnya pihak

swasta (pebisnis) lokal yang seharusnya diajak berpartisipasi melalui program

kemitraan dalam pengembangan program SPAS ini. Tidak hanya pebisnis tetapi

juga organisasi masyarakat yang masih eksis seperti ormas keagamaan

(Muhamadyah dan NU), organisasi profesi (PGRI) dan juga organisasi pemuda

dan pelajar (KNPI).

(b) Program Pendidikan Gratis

Membahas pembiayaan sekolah berarti berbicara tentang pendanaan

pendidikan yang digunakan oleh satuan pendidikan sekolah. Oleh karena itu,

sebelum lebih jauh memberi gambaran tentang kebijakan pembebasan biaya

(fee exemption policy) sekolah di Kabupaten Gowa, sebaiknya dipahami bahwa

secara nasional aturan tentang pendanaan pendidikan sudah dituangkan dalam

satu peraturan tertentu. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, menjadi dasar hukum menyangkut pendanaan pendidikan. Pasal 46,

47, 48, dan 49 dalam UU No. 20 Tahun 2003 tersebut telah mengatur tentang

penanggung jawab, sumber, pengelolaan, dan pengalokasian pendanaan

pendidikan. Terkait dengan kebijakan penyelenggaraan wajib belajar, Pasal 34

(ayat 2) undang-undang ini menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah

daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang

pendidikan dasar tanpa memungut biaya.


243

Dalam rangka implementasi UU No. 20 Tahun 2003 tersebut khusunya

pasal-pasal yang berhubungan dengan pengaturan pendanaan pendidikan,

maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 Tahun 2008 tentang

Pendanaan Pendidikan. Dalam PP No. 48 Tahun 2008 ini telah dinyatakan

secara umum bahwa pendanaan pendidikan adalah penyediaan sumberdaya

keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan

(Pasal 1 Ayat 4). Kemudian ditegaskan bahwa penanggung jawab pendanaan

pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah

daerah, dan masyarakat (Pasal 2 Ayat 1). Selanjutnya yang dimaksud

masyarakat pada Pasal 2 Ayat 1 tersebut adalah (a) penyelenggara atau satuan

pendidikan yang didirikan masyarakat; (b) peserta didik, orang tua atau wali

peserta didik; dan (c) pihak lain selain yang dimaksud dalam poin (a) dan poin

(b). Makna pihak lain disini adalah pihak yang mempunyai perhatian dan peranan

dalam bidang pendidikan seperti pengusaha, alumni, dan organisasi sosial.

Menyangkut biaya pendidikan dalam PP No. 48 Tahun 2008 tersebut

diuraikan pula bahwa jenis biaya pendidikan (Pasal 3) meliputi: (a) biaya satuan

pendidikan; (b) biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan; dan (c)

biaya pribadi peserta didik. Pada jenis biaya pendidikan, yang menjadi tanggung

jawab peserta didik, orang tua/wali adalah pendanaan menyangkut biaya pribadi

peserta didik (Pasal 47). Menurut penjelasan dalam lampiran PP ini bahwa

makna dari biaya pribadi peserta didik adalah biaya personal yang meliputi biaya

pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti

proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.

Maksud dari penyajian lebih awal mengenai dasar hukum kebijakan

pendanaan pendidikan, baik dalam UU No. 20 Tahun 2003 maupun dalam PP

No. 48 Tahun 2008 adalah agar dipahami tentang adanya pedoman dasar
244

(norma hukum) terhadap kebijakan dan program pembebasan biaya pendidikan

(sekolah) yang banyak dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota

saat ini. Termasuk kebijakan dan program pembebasan biaya sekolah yang

sedang diselenggarakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Gowa.

Salah satu kebijakan pemerintah yang termasuk pembiayaan dan

pendanaan sekolah adalah kebijakan biaya operasional sekolah, yang populer

dengan istilah BOS. Hingga kini, kebijakan mengenai BOS yang anggarannya

bersumber dari APBN dan BOSDA yang anggarannya dari APBD, masih

berlangsung secara terus menerus. Namun di setiap daerah memiliki kreativitas

masing-masing di dalam mengembangkan program pembebasan biaya sekolah

bagi siswa. Masing-masing daerah memiliki terobosan berupa kebijakan dan

program yang inovatif dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan pemerataan

akses pendidikan bagi warganya. Daerah tidak hanya terpaku pada kebijakan

BOS dan BOSDA tersebut, tetapi dikreasikan dalam bentuk program yang

berbeda, misalnya pemberian beasiswa bagi siswa sekolah swasta, beasiswa

guru untuk melanjutkan studi, subsidi kesejahteraan guru, dan lain-lain.

Berdasarkan uraian mengenai latarbelakang munculnya kebijakan

pembebasan biaya sekolah bagi siswa- siswa atau program pendidikan gratis ini,

maka berikut disajikan gambaran tentang pelaksanaan program pendidikan

gratis di Kabupaten Gowa. Termasuk menyajikan beberapa dasar hukum dan

kebijakan pengelolaan program tersebut. Selain itu disajikan pula hal-hal apa

saja yang dapat menjadi jastifikasi sehingga program pendidikan gratis dinilai

sebagai kebijakan dan program yang inovatif.

Program pembebasan biaya (fee exemption) sekolah adalah salah satu

program inovasi pemerintah daerah Kabupaten Gowa yang cukup mendapat

perhatian dan respon dari berbagai pihak. Perhatian dan respon muncul dari
245

berbagai kalangan baik dari pihak pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan) maupun dari pihak pemerintahan daerah (kabupaten/kota)

lainnya. Perhatian dan respon dari banyak pihak tersebut tentu bervariasi dan

berbeda-beda. Mulai dari respon yang sangat positif melalui apresiasi yang tinggi

sampai pada respon yang bersifat sebaliknya dan berpandangan kritis terhadap

progran tersebut. Untuk memahami lebih jauh program tersebut, pada bagian ini

disajikan penggambaran mengenai kebijakan pembebasan biaya sekolah yang

dikemas dalam wujud program pendidikan gratis di Kabupaten Gowa saat ini.

Berdasarkan hasil dokumentasi peneliti, diperoleh informasi bahwa

program pembebasan biaya sekolah bagi siswa-siswa SD-SMA di Kabupaten

Gowa dipayungi oleh Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2008 tentang

Pendidikan Gratis. Kemudian dalam rangka implementasi perda ini maka

ditetapkanlah Peraturan Bupati (Perbup) No. 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan

Perda Pendidikan Gratis. Meskipun demikian perlu diketahui bahwa program

pembebasan biaya sekolah bagi siswa-siswa sekolah atau dengan istilah yang

lebih populer disebut sebagai “program pendidikan gratis”, pada dasarnya sudah

berlangsung sebelum diterbitkan kedua peraturan yang mengatur program

pendidikan gratis di Kabupaten Gowa.

Menurut keterangan dari informan Bapak SpM. Sekretaris Dispora

Kabupaten Gowa kepada peneliti, informan menuturkan bahwa:

......dulu sebelum adanya Perda No. 4 tahun 2008 dan Perbud No. 8
tahun 2008 tentang pendidikan gratis, kita sudah menerapkan program
pendidikan gratis dengan membebaskan siswa (orang tua) dari biaya-
biaya sekolah di tingkat SD dan SMP. Anggaran yang digunakan untuk
program tersebut berasal dari anggaran BOS pendidikan gratis yang
dicanangkan oleh pemerintah pusat pada tahun 2005. Dana BOS pusat
dihitung per siswa dan penyalurannya langsung kesekolah masing-
masing. Namun khusus SMA di Kabupaten Gowa baru tahun 2007 bisa
direalisasi melalui BOS Daerah (BOSDA). Dimana waktu itu, dialokasikan
melalui APBD sebesar Rp. 35.000 perbulan untuk setiap siswa.....
(Wawancara, 2 Oktober 2013)
246

Dari penuturan informan Bapak SpM. diperoleh fakta bahwa pendidikan

gratis mulanya didasarkan pada kebijakan pemerintah pusat sejak tahun 2005 di

masa awal pemerintahan Presiden SBY-JK. Tujuan dari kebijakan ini adalah

untuk meningkatkan pemerataan kualitas dan akses terhadap pendidikan bagi

siswa miskin yang berasal dari keluarga ekonomi lemah. Kebijakan pemerintah

pusat tersebut, kemudian direalisasikan melalui alokasi anggaran Biaya

Operasional Sekolah (BOS) bagi sekolah tingkat SD dan SMP.

Selanjutnya pada tahun 2007 ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah baik

provinsi maupun kabupaten/kota dengan memperluas cakupan BOS tidak hanya

sampai pada SD dan SMP saja tetapi dikembangkan sampai pada tingkat SMA.

Kebijakan perluasan cakupan BOS sampai tingkat SMA oleh pemerintah daerah

direalisasikan dalam APBD masing-masing daerah. Makanya BOS tingkat SMA

disebut BOS Daerah (BOSDA) karena dananya berasal dari APBD. Misalnya

kebijakan pemerintah daerah kabupaten Gowa pada tahun 2007, alokasi BOSDA

dalam APBD untuk jenjang SMA nilainya sebesar Rp 35,000 perbulan untuk

setiap siswa. Saat ini alokasi BOSDA untuk tingkat SMA perbulan bagi setiap

siswa tentu sudah berbeda karena jenis kebutuhan juga mengalami perubahan.

Penting dipahami bahwa anggaran untuk program pendidikan gratis atau

BOSDA kabupaten Gowa adalah komponen biaya tambahan bagi BOS program

pendidikan gratis pemerintah pusat yang sudah menjadi program nasional

selama ini. Demikian halnya dana sharing dari provinsi atau BOSDA provinsi

Sulawesi Selatan juga termasuk sebagai komponen dana tambahan bagi

program pendidikan gratis. Di mana dana sharing provinsi adalah konsekuensi

dari komitmen pembagian dana pendidikan gratis antara pemerintah provinsi

Sulawesi Selatan dan pemerintah kabupaten, dengan perbandingan yakni 40%


247

disediakan provinsi dan 60% ditalangi oleh masing-masing kabupaten. Demikian

pula secara nasional, dana pendidikan gratis 60% subsidi pemerintah pusat

dalam bentuk Dana BOS dan 40% adalah Dana BOSDA yang menjadi kewajiban

setiap pemerintah provinsi.

Dengan demikian, program pendidikan gratis di kabupaten Gowa tidak

berdiri sendiri. Akan tetapi merupakan program yang terintegrasi dan rangkaian

dari program pendidikan gratis yang dicanangkan oleh pemerintah provinsi dan

nasional. Bagi pemerintah provinsi Sulawesi Selatan sudah meluncurkan

kebijakan program gratis ini melalui Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan No. 11

Tahun 2008 yang mengatur dan menjadi pedoman pelaksanaan pendidikan

gratis. Meskipun dasar hukum pengaturan penyelenggaraan pendidikan gratis,

baru disahkan dan ditetapkan pada tahun berikutnya, yakni Peraturan Daerah

No. 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di provinsi

Sulawesi Selatan, namun secara operasional program pendidikan gratis sudah

dimulai sejak Juli 2008 melalui Peraturan Gubernur No. 11 Tahun 2008 tersebut.

Memang di dalam Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2008 dan Peraturan

Bupati Gowa No. 8 Tahun 2008 yang mengatur tentang penyelengaraan program

pendidikan gratis tidak secara eksplisit menyatakan bahwa kebijakan pendidikan

gratis di Gowa adalah tindak-lanjut dari kebijakan pendidikan gratis versi provinsi

Sulawesi Selatan. Namun fakta dalam implementasinya menunjukkan bahwa

sebagian dana untuk realisasi progran pendidikan gratis merupakan dana yang

berasal dari pemerintahan yang lebih tinggi (provinsi dan pusat). Hal inidiperkuat

pula oleh Bupati Ichsan Yasin Limpo yang pernah menyatakan bahwa pada

hakekatnya program pendidikan gratis merupakan wujud sinergi antara

pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota

(Kompas, 22/1/2009).
248

Sebagai gambaran bahwa berdasarkan penelusuran peneliti dengan

merangkum beragam informasi ditemukan jika pelaksanaan pendidikan gratis

kabupaten Gowa merupakan penerapan perpaduan antara Dana BOS yang

bersumber dari APBN dan BOSDA yang berasal dari APBD kabupaten Gowa

serta dukungan dana sharing dari provinsi Sulawesi Selatan. Pada tahun 2011

Dana BOS yang dikucurkan dari pemerintah pusat berjumlah Rp 48,01 miliar

untuk membiayai 82.251 siswa SD dan 26.956 siswa SMP, sementara dana

BOSDA dari pemerintah kabupaten Gowa berjumlah Rp 21 miliar dan

pemerintah provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp 13 miliar yang diperuntukkan

sebagai dana pendamping BOS SD dan SMP serta untuk membiayai operasional

siswa SMA yang berjumlah 16.662 siswa. Jika ditotal dana BOS yang digunakan

untuk pendidikan gratis dari tiga sumber yakni dana BOSDA kabupaten, BOSDA

provinsi (dana sharing) dan dana BOS dari pemerintah pusat, maka jumlahnya

akan menjadi Rp 82,01 miliar.

Secara kelembagaan, sudah diuraikan bahwa pelaksanaan pendidikan

gratis di kabupaten Gowa ditunjang oleh Perda No. 4 Tahun 2008 dan Perbup

No. 8 Tahun 2008. Kedua jenis peraturan tersebut tentu saja menjadi legitimasi

secar hukum dan politik bagi kerberlangsungan program tersebut. Terbitnya

perda dan perbup tersebut menjadi penanda bahwa kebijakan pendidikan gratis

mendapat dukungan politik dari institusi DPRD. Sebagaimana dituturkan oleh

salah seorang informan yakni Wakil Ketua DPRD Kabupaten Gowa yakni Bpk.

RmS. Informan menuturkan kepada peneliti ketika wawancara di ruang kerjanya,

bahwa:

.....kami di DPRD sesungguhnya sangat mendukung komitmen


pemerintah daerah (bupati) untuk menerapkan kebijakan pendidikan
gratis. Karena ini nampaknya memang sangat ditunggu-tunggu oleh
masyarakat. Mengingat masyarakat kita di Gowa ini masih banyak belum
atau kurang bisa mengakses pelayanan pendidikan karena masalah
249

biaya yang mereka masih anggap besar. Termasuk juga kualitas


pelayanan penting diperhatikan oleh pemerintah daerah atau SKPD
terkait. Olek karena itu, tahun 2008 yang lalu kita menyetujui dan
pengesahkan perda yang mengatur program pendidikan gratis itu,
termasuk kami sangat mengapresiasi peraturan bupati yang mengatur
pelaksanaannya......(Wawancara, 3 Oktober 2013)

Berdasarkan penuturan dari informan Wakil Ketua DPRD Bpk. RmS.

tersebut di atas memberi penegasan bahwa inovasi dalam bidang pendidikan,

yang dikemas dalam bentuk program pendidikan gratis, yang diinisiasi oleh

bupati Gowa mendapat political supporting yang cukup besar dari lembaga politik

DPRD. Namun demikian, tetap mendapat catatan dari DPRD bahwa disamping

pembebasan biaya sekolah yang bertujuan untuk mempermudah akses terhadap

pendidikan, yang tak kalah pentingnya adalah menyangkut kualitas pelayanan

pendidikan itu sendiri harus tetap diutamakan.

Berkaitan dengan kualitas pelayanan pendidikan atau pembelajaran tentu

berhubungan langsung dengan bagaimana kondisi pelayanan pendidikan

ditingkat operasional. Dimana secara operasional pelayanan bidang pendidikan

dilaksanakan ditingkat satuan pendidikan atau unit sekolah. Kualitas pelayanan

pendidikan atau kualitas proses belajar mengajar berarti relevansinya terhadap

mutu sumber daya pendidikan yang dimiliki. Sumber daya pendidikan ini terdiri

dari sarana dan prasarana sekolah, ruang kelas, guru, pengelola satuan

pendidikan, dan lain-lain.

Sehubungan dengan kertersediaan fasilitas untuk mendukung kualitas

proses pembelajaran, informan Sekretaris Dispora Bpk. SpM. kepada peneliti

menyatakan bahwa:

......kebijakan pendidikan gratis di Gowa itu ditunjang juga dengan


pengadaan fasilitas pendukung seperti pembangunan sekolah, ruang
kelas baru, ruang perpustakaan, laboratorium dan lain-lain. Pada periode
2006-2010 telah dibangun 15 SMP, 17 sekolah satu atap (SD-SMP), 6
SMA, 59 perpustakaan SD serta perbaikan 378 SD, 13 SMP dan 18
SMA.......(Wawancara, 2 Oktober 2013)
250

Pada tingkat operasional, realitas penerapan progran pendidikan gratis di

kabupaten Gowa dapat dilihat penerapannya pada satuan pendidikan atau unit

sekolah yang mengelola dan mamanfaatkan secara langsung dana pendidikan

gratis tersebut. Untuk membuktikan lebih jauh, perlu kiranya disajikan beberapa

fakta realisasi program pendidikan gratis yang sudah dirasakan oleh masyarakat

terutama orang tua dan siswa sekolah itu sendiri.

Pada tingkat pendidikan sekolah dasar, pendidikan gratis salah satunya

terlaksana di Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) SDN Paccinongang di

Kecamatan Somba Opu yang memiliki 386 siswa. Berdasarkan informasi yang

diperoleh di lapangan, di sekolah tersebut seluruh siswa tidak dipungut biaya

apapun mulai dari uang pendaftaran, iuran bulanan, buku pelajaran, Lembar

Kerja Siswa (LKS), uang ujian, kegiatan ekstrakurikuler, uang infaq termasuk

kegiatan praktikum komputer di laboratorum semuanya diberikan gratis. Salah

seorang siswa yang sempat peneliti temui bernama Nurul Alifah dan Nur Azizah

siswa kelas V, secara senada mengatakan bahwa:

......di sini enggak ada pungutan sama sekali, semuanya gratis, walaupun
sekolahnya bertaraf internasional, kita (siswa sekolah sekelas) seminggu
sekali menggunakan fasilitas laboratorium komputer tanpa dikenakaan
biaya......(Wawancara, 15 November 2013).

Bebasnya pungutan di sekolah bertaraf internasional ini bisa dipahami

karena berdasarkan data yang peneliti peroleh, sekolah ini didukung oleh dana

BOS sebesar Rp 153,24 juta pertahun, ditambah dana pendidikan dari APBD

kabupaten Gowa sebesar Rp 100 juta pertahun dan dana pembuatan LKS

sebesar Rp 30 ribu persiswa. Selain itu, pemerintah provinsi Sulsel juga

memberikan bantuan peralatan media pembelajaran berupa laboratorium

komputer. Pemerintah kabupaten Gowa juga memberikan hadiah sebesar Rp

150 juta ketika sekolah ini menjadi juara terbaik ke-2 tingkat nasional untuk
251

bidang perpustakaan, yang dimanfaatkan pihak sekolah untuk membangun

ruang pertemuan para guru.

Selain di Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) seperti di SDN

Paccinongang, perlu juga dilihat bagaimana realisasi pendidikan gratis di

Sekolah Standar Nasional (SSN) seperti di SDN Bontokamase. SDN

Bontokamase memiliki 959 siswa, sama seperti di SDN Paccinongan, di sekolah

ini, seluruh siswa tidak dimintai uang pungutan apapun, bahkan sebanyak 30

siswa di sekolah ini mendapat beasiswa miskin masing-masing sebesar Rp 360

ribu pertahun. Seorang informan dari orang tua siswa bernama Ibu Muliyana,

yang masih menumpang dirumah orang tuanya, suaminya hanya buruh harian

yang tak tentu, sehingga tergolong keluarga miskin, menyatakan bahwa:

...memang anak saya mendapatkan beasiswa miskin yang sangat


membantu, karena bisa dibelikan perlengkapan sekolah seperti seragam
sekolah, sepatu, tas, buku tulis, pulpen dan lain-lain.... (Wawancara, 20
November 2013).

Menurut informasi yang diterima peneliti, pendidikan gratis di SDN ini

terlaksana berkat adanya dukungan dana BOS sebesar Rp 546,63 juta pertahun,

ditambah dana APBD sebesar Rp 50 juta pertahun. Juga mendapatkan bantuan

penerapan SSN sebesar Rp 120 juta pada tahun 2008. Meskipun ada

pendidikan gratis, tetapi SDN Bontokamase tetap berbagai prestasi telah diraih

sekolah yang memiliki 12 kelas ini, antara lain juara lomba Matematika se-Sulsel

pada tahun 2008.

Pada tingkatan sekolah menengah pertama (SMP), misalnya di SMPN 1

Sungguminasa operasionalisasi pendidikan gratis didukung oleh dana BOS

sebesar Rp 535,8 juta pertahun, ditambah BOSDA sebesar Rp 39,48 juta

pertahun dan biaya pendidikan SSN dari APBD sebesar Rp 50 juta pertahun. Di

sekolah yang memiliki 940 siswa, seluruh siswa tidak dikenakan biaya baik
252

pendaftaran, buku, ekstrakurikuler, ujian sekolah dan lain sebagainya. Seperti

dikemukakan oleh informan Kepala Sekolah Bpk. AbR. bahwa:

.......selain dana BOS yang dikucurkan setiap tahunnya, sekolah ini juga
mendapat bantuan dana pembinaan penerapan SSN sebesar Rp. 100
juta pertahun. Siswa-siswa sama sekali tidak dibebankan biaya sekolah,
akibatnya setelah program ini jalan, peminat masuk disekolah ini semakin
banyak.... (Wawancara, 21 November 2013)

Berdasarkan pengamatan peneliti, memang siswa di sekolah ini

membludak, ruang kelas yang ada hampir tidak menampung semuanya,

sehingga kegiatan belajar-mengajar untuk tiga kelas dialihkan pada siang hingga

sore hari. Kapasitas ruang kelas di sekolah ini sebanyak 24 ruangan, sementara

jumlah murid mencapai 27 kelas. Walaupun demikian beberapa prestasi telah

ditorehkan sekolah ini antara lain juara 1 Pramuka tingkat Provinsi Sulsel, juara

Olimpiade Sain Nasional untuk pelajaran IPA, Matematika dan Biologi tingkat

kabupaten dan menjadi 10 besar untuk tingkat provinsi.

Di tingkat SLTA, program pendidikan gratis salah satunya dilaksanakan di

SMAN 1 Palangga. Sejak penerapan pendidikan gratis, siswa di sekolah ini

membludak dari 300 siswa menjadi 845 siswa, karena itulah di sekolah ini telah

dibangun tambahan ruang kelas baru sebanyak 3 ruangan. Meski demikian,

karena ruang kelas yang tersedia 7 kelas, sementara siswa sebanyak 10 kelas, 3

kelas dilakukan jam pelajaran pada sore hari. Penerapan sekolah gratis di

sekolah ini didukung dana BOSDA sebesar Rp 35 riibu perbulan persiswa,

sehingga total dana yang diterima sekolah ini mencapai Rp 354,9 juta pertahun.

Sementara untuk buku pelajaran disediakan oleh Pemprov Sulsel, sehingga

seluruh siswa bisa meminjam buku tersebut tanpa harus membeli.

Untuk menjamin agar pendidikan gratis di Gowa berlangsung efektif dan

berkesinambungan, maka dalam proses penerpannya didukung oleh peraturan

yang tegas tentang larangan berbagai pungutan oleh pihak sekolah yang
253

dituangkan dalam Perda No 4 Tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis dan

Perbup Gowa No 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Perda Pendidikan Gratis.

Dalam perda yang disahkan pada 28 Maret 2008 ini kepala sekolah atau

guru termasuk komite sekolah dilarang melakukan pungutan dalam bentuk apa

pun kepada orangtua siswa, minimal 14 jenis pungutan yang dilarang dan

tertuang dalam perda yakni (1) permintaan bantuan pembangunan, (2) bantuan

dengan alasan dana sharing, (3) pembayaran buku, (4) iuran Pramuka, (5)

pembayaran lembar kerja siswa, (6) uang perpisahan, (7) uang foto, (8) uang

ujian, (9) uang ulangan/semester, (10) uang pengayaan/les, (11) uang rapor, (12)

uang penulisan ijazah, (13) uang infak dan (14) serta segala jenis pungutan yang

membebani siswa dan orangtua.

Bagi yang melanggar ketentuan dalam perda tersebut di atas, dikenakan

sanksi berat baik administrasi maupun pidana. Sebagai contoh seorang kepala

sekolah yang melanggar akan dicopot dari jabatannya dan dikembalikan sebagai

guru biasa, bagi guru atau tenaga administrasi yang terbukti melakukan

pungutan akan dilakukan mutasi dan tunjangan fungsionalnya dicabut,

sementara bagi guru kontrak atau honorer yang melakukan pungutan akan

dikenakan sanksi pemberhentian sebagai guru kontrak dan dilarang mengajar di

seluruh sekolah yang ada di Gowa.

Berdasarkan keterangan yang peneliti peroleh, ternyata bahwa dengan

hadirnya perda yang mengatur secara tegas tentang larangan berbagai pungutan

tersebut telah menjadi momok menakutkan bagi pihak sekolah. Buktinya perda

ini telah “memakan korban” di mana hingga tahun 2010 sebanyak 27 guru dan

kepala sekolah telah dicopot dari jabatanya dan diberhentikan dari kegiatan

belajar – mengajar. Pihak sekolah akhirnya mengambil langkah aman dengan

tidak memungut biaya apapun dari siswa, tetapi lebih memaksimalkan anggaran
254

yang diterima dari BOS, dana APBD kabupaten dan bantuan dana dari provinsi.

Pihak sekolah juga berkreasi sendiri seperti melaksanakan program pemberian

extra fooding (makanan tambahan) melalui program CSR perusahaan susu,

karena tidak ada program dari Dispora setempat yang memberikan makanan

tambahan.

Secara garis besar implementasi inovasi kebijakan yang dikemas dalam

bentuk program pendidikan gratis bertujuan untuk membebaskan siswa dan

orang tua dari berbagai jenis pembiayaan sekolah telah diuraikan di atas.

Mencermati hal tersebut, peneliti merumuskan beberapa poin penting, yang

disari dari fakta-fakta pelaksanaan program pendidikan gratis di kabupaten Gowa

sebagaimana yang telah disajikan. Pertama, inovasi kebijakan pembebasan

biaya sekolah yang dikemas dalam bentuk program pendidikan gratis diprakarsai

oleh Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo. Kebijakan ini adalah salah satu bentuk

political will dan komitmen bupati sebagai kepala daerah dan kepala

pemerintahan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia daerahnya.

Program pendidikan gratis tersebut tentu tidak lahir begitu saja tetapi dilatari oleh

adanya fakta bahwa akses masyarakat terhadap pendidikan masih minim dan

masih rendahnya indeks pendidikan di kabupaten Gowa pada saat itu.

Kedua, prakarsa dan komitmen bupati mengenai inovasi kebijakan dalam

bidang pendidikan kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan kebijakan

(pengaturan) dalam wujud peraturan daerah yang diajukan kepada DPRD untuk

dibahas, disetujui dan disahkan. Maka terbitlah Peraturan Daerah (Perda) No. 4

Tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis. Kemudian dalam rangka operasionalisasi

kebijakan tersebut bupati juga menerbitkan Peraturan Bupati Gowa No. 8 Tahun

2008 tentang Pelaksanaan Pendidikan Gratis tersebut.


255

Ketiga, inovasi kebijakan tentang pendidikan gratis yang diatur dalam

bentuk peraturan daerah dan peraturan bupati sebagaimana pada poin pertama

dan kedua, diianggap masih memiliki titik lemah karena nampaknya belum

mengatur secara tegas tentang kewajiban dan tanggung jawab masyarakat

terutama orangtua/wali siswa terhadap masalah pendidikan, maka kemudian

diterbitkanlah Perda No. 10 Tahun 2009 tentang Wajib Belajar. Perda No. 10

tahun 2009 ini pada prinsipnya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan

kewajiban dan tanggung jawab masyarakat dan orang tua/wali siswa terhadap

proses pendidikan anaknya. Bahkan dalam perda ini, diatur tentang sanksi bagi

orang tua yang tidak peduli terhadap pendidikan anaknya.

Keempat, aspek yang berkaitan dengan pengurusan dan pelaksanaan

program pendidikan gratis, pada dasarnya sudah dinyatakan pula dalam

Peraturan Bupati Gowa No. 8 tahun 2008. Tanggung jawab pengurusan dan

pelaksanaan program ini, tentu terletak pada perangkat daerah yang mengurusi

urusan pendidikan yakni Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. SKPD

Dispora inilah yang mengelola menurut tugas pokok dan fungsi dari bidang-

bidang yang terkait, agar program pendidikan gratis ini dapat terealisasi secara

efektif.

Kelima, unit sekolah adalah wadah dimana program pendidikan gratis

direalisasikan. Secara operasional kepala sekolah adalah penanggung jawab

program pendidikan gratis ditingkat sekolah. Kepala sekolah berwenang

menunjuk pegawai tata usaha atau seorang guru untuk menjadi bendahara.

Bendahara inilah kemudian yang mengurusi dana pendidikan gratis yang sudah

dialokasikan kepada masing-masing sekolah.


256

Keenam, program pendidikan gratis ini diperuntukkan bagi semua

tingkatan sekolah, baik sekolah negeri yang dikelola oleh pemerintah daerah

maupun sekolah swasta yang dimiliki oleh pihak swasta/non pemerintah.

Ketujuh, program pendidikan gratis di kabupaten Gowa, bukanlah

program yang berdiri sendiri. Dalam pengertian bahwa program ini merupakan

program yang bersifat komplementer terhadap kebijakan pendidikan gratis yang

digelar oleh pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dan mendukung program

Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang sudah dicanangkan oleh pemerintah

pusat.

(c) Punggawa D’Emba Education Program (PDEP)

Komitmen pemerintah daerah kabupaten Gowa dalam mendorong

peningkatan kualitas pendidikan masyarakatnya, rupanya tidak hanya dilakukan

melalui konsep inovasi kebijakan yang bertujuan untuk mengatasi rendahnya

akses masyarakat terhadap dunia pendidikan, yakni melalui desain kebijakan

pendidikan gratis. Tetapi juga pemerintah daerah mendorong agar kualitas

proses pembelajaran berlangsung semakin meningkat sehingga output atau

luarannya pun makin berkualitas. Perhatian terhadap kualitas pembelajaran ini

diinisiasi dalam bentuk desain program yang dinamakan Punggawa D’emba

Education Program (PDEP). Dalam pengertian bahwa program pendidikan gratis

relevansinya adalah untuk meningkatkan akses masyarakat (orang tua dan anak)

terhadap pelayanan pendidikan yang lebih terjangkau, murah dan merata.

Sementara program yang dikenal dengan sebutan Punggawa D’emba Education

Program (PDEP) relevansinya adalah untuk mendorong agar proses

pembelajaran di sekolah-sekolah lebih berkualitas, baik aspek penerimaan

materi pelajaran oleh siswa-siswa maupun kualitas cara dan metode mengajar

para guru di sekolah.


257

Berdasarkan temuan peneliti dilapangan, bahwa Punggawa D’emba

Education Program (PDEP) adalah konsep pembelajaran revolusioner yang

tujuan pokoknya untuk peningkatan kualitas guru dan peserta anak didik dalam

memahami materi pelajaran, memiliki keterampilan, positive mindset, dan jiwa

nasionalisme yang tinggi, serta memiliki pemahaman yang dalam terhadap

tradisi dan budaya lokal masyarakat Gowa. Sementara secara etimologi istilah

Punggawa D’Emba itu sendiri rupanya diambil dari istilah bahasa Makassar,

yakni istilah Punggawa berarti pemimpin atau orang yang memiliki pengaruh

kekuasaan dan istilah D’Emba memiliki makna Daeng Emba yaitu sebuah nama

dari seorang tokoh lokal yang memiliki pengaruh dan dihormati karena

kepeduliannya yang sangat tinggi terhadap dunia pendidikan di kabupaten

Gowa. Munculnya ide perbaikan kualitas pembelajaran melalui program model

pembelajaran berbasis audio visual adalah hasil studi banding ke beberapa

daerah di dalam negeri dan luar negeri yang dianggap sukses dalam

menerapkan konsep tersebut. Studi banding ini dilakukan oleh pemerintah

daerah (Bupati), pihak Dispora, dan anggota DPRD yang membidangi masalah

pendidikan.

Awal pengembangan Punggawa D’emba Education Program (PDEP)

tentu saja tidak berjalan mulus. Sehingga program ini tidak secara langsung

dapat direalisasikan. Pengembangan program ini, secara teknis membutuhkan

pihak (orang) yang ahli dan profesional. Tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh

pemerintah daerah. Oleh karena itu dibuka peluang bagi keterlibatan pihak di

luar pemerintah daerah. Pelibatan pihak ketiga diadakan dalam bentuk

kerjasama dengan perusahan swasta bernama I-Solution.

Pengembangan Punggawa D’emba Education Program (PDEP) oleh

pemerintah daerah kabupaten Gowa, diluncurkan pertama kali pada tanggal 03


258

Desember 2009. Melalui persetujuan institusi politik DPRD, program akhirnya

dapat direalisasikan dengan menggunakan alokasi anggaran perubahan APBD

tahun 2009. Pada saat itu anggaran yang dikucurkan untuk program ini sebesar

Rp. 2.000.000.000,-. Anggaran tersebut hanya diperuntukkan bagi 20 sekolah (8

SD, 6 SMP, 6 SMA) sebagai proyek percontohan yang tersebar di 12 wilayah

kecamatan.

Komitmen pemerintah daerah dan DPRD terlihat sangat tinggi melalui

kesepakatan untuk mengalokasikan anggaran yang cukup besar. Menurut data

yang diperoleh peneliti, untuk tahun anggaran 2010 telah dikucurkan anggaran

sebesar Rp. 2.497.000.000,- lebih besar sekitar 25% dari anggaran sebelumnya.

Pada tahun 2010 jumlah sekolah yang menjadi sasaran adalah sebanyal 25

sekolah meliputi 13 SD, 6 SMP, dan 6 SMA yang mencakup 15 wilayah

kecamatan.

Selanjutnya pada tahun 2011 melalui APBD I (pokok) anggaran untuk

PDEP telah dialokasikan anggaran sebesar Rp. 2.000.000.000,- untuk menyasar

20 sekolah meliputi 13 SD, 6 SD, dan 1 SMA. Selanjutnya melalui APBD II

(perubahan) ditambah lagi sebesar Rp. 8.000.000.000,- yang diperuntukkan

pada 80 sekolah meliputi 58 SD, 17 SMP, dan 5 SMA yang mencakup 18

kecamatan. Demikian pula pada tahun 2012 ketika penelitian ini sedang

dilakukan, pemerintah daerah mengalokasikan anggaran sebesar Rp.

8.000.000.000,- untuk 80 sekolah yang meliputi 57 SD, 19 SMP, dan 4 SMA

yang tersebar di 18 kecataman.

Penerapan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) selalu diawali

dengan Keputusan Buati yang mengatur tentang sekolah mana saja sebagai

penerima program tersebut. Misalnya pada tahun 2011 diterbitkan Keputusan

Bupati Gowa No. 288/VIII/2011, tentang Penetapan Sekolah Penerima


259

Punggawa D’Emba Education Program (Inovasi Metode Pembelajaran) Ala

Cinema Edutainment Kabupaten Gowa Tahun Anggaran 2011. Keputusan Bupati

Gowa tersebut menjadi dasar hukum bagi SKPD Dispora dan sekolah-sekolah

yang ditunjuk untuk menerapkan inovasi metode pembelajaran ala cinema

edutainment dalam proses belajar mengajar.

Tabel 33. Alokasi Anggaran Pelaksanaan Punggawa D’Emba Education


Program Kabupaten Gowa Tahun 2009-2012

Anggaran Kegiatan Cakupan


Tahun Jumlah Sekolah Wilayah
Jumlah Sumber (Kec)
2009 Rp 2.000.000.000 APBD II 20 (8 SD, 6 SMP, 6 SMU) 12
2010 Rp 2.497.000.000 APBD II 25 (13 SD, 6 SMP, 6 SMU) 15
Rp 8.000.000.000 APBD II 80 (58 SD, 17 SMP, 5 SMU)
2011 18
RP 2.000.000.000 APBD I 20 (13 SD, 6 SMP, 1 SMU)
2012 Rp 8.000.000.000 APBD II 80 (57 SD, 19 SMP, 4 SMA) 18

Sumber: Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga, Tahun 2012.

Data Tabel 32 di atas mengenai alokasi anggaran untuk kegiatan

pengembangan Punggawa D’Emba Education Program tahun 2009-2012 di atas

menunjukkan bahwa program inovatif ini menggunakan anggaran yang

jumlahnya cukup besar. Besaran anggaran yang digunakan dalam program

tersebut, sejak dicanangkan tahun 2009 sampai tahun 2012 kenyataannya selalu

mengalami peningkatan di setiap tahun. Peningkatan anggaran itu disebabkan

karena cakupan sekolah yang menerapkan program tersebut juga semakin

bertambah. Target cakupan sekolah hingga tahun 2012 sudah berjumlah 225

sekolah. Namun jumlah tersebut belum mancapai 50% dari total jumlah sekolah

di kabupaten Gowa yakni 539 sekolah. Pemerintah daerah kabupaten Gowa

telah menargetkan bahwa pada tahun 2015, 100% dari seluruh sekolah yang

berjumlah 539 unit meliputi semua tingkatan sudah harus menerapkan

Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) pada semua mata pelajaran.


260

Berkaitan dengan penggunaan anggaran yang besar dalam pelaksanaan

Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) tersebut di atas, ditanggapi oleh

salah satu informan, seorang anggota DPRD yang membidangi masalah

pendidikan dengan menyatakan bahwa:

.....Sebenarnya anggaran untuk program Punggawa D’Emba Education


Program itu sangat besar jika dibandingkan dengan kegiatan lainnya di
bidang pelayan pendidikan. Meskipun demikian, bagi kami tidak
keberatan yang penting anggaran yang besar itu benar-benar dipakai
secara efektif untuk memajukan kualitas pendidikan di daerah Gowa.
Karena peningkatkan kualitas pendidikan di daerah ini sudah menjadi
komitmen bersama antara pemerintah daerah dan DPRD. Bagi kami
sebagai lembaga kontrol, akan terus melakukan pengawasan terhadap
realisasi program tersebut.... (Wawancara, 3 Oktober 2013)

Tanggapan dari anggota DPRD di atas, menunjukkan bahwa Punggawa

D’Emba Education Program dari aspek legitimasi politik tidak menjadi persoalan,

karena diakui oleh pihak DPRD bahwa ini adalah salah satu program yang

sangat strategis untuk mendorong agar kualitas pendidikan bisa menjadi lebih

baik. Oleh karena itu, posisi DPRD sebagai lembaga yang memiliki fungsi

pengawasan harus senantiasa mengikuti dan memantau penerapan program

strategis tersebut.

Setelah mengetahui bagaimana pertama kali konsep program ini lahir,

aspek legitimasi politik, dan berapa anggaran yang dibutuhkan, maka berikut ini

digambarkan bagaimana Punggawa D’Emba Education Program (PDEP)

diterapkan. Gambaran tentang bagaimana Punggawa D’Emba Education

Program (PDEP) ini berjalan tentu berkaitan dengan aspek teknis dari model

pembelajaran yang berbasis audio visual tersebut.

Sekaitan dengan bagaimana program PDEP tersebut terlaksana

dilapangan, peneliti mendapat keterangan dari informan yakni seorang pegawai

Dispora yang bernama MuD menyatakan bahwa:


261

....Pengembangan Punggawa D’Emba Education Program oleh Dispora


boleh dikatakan sebagai bentuk inovasi karena program yang
menghadirkan model pembelajaran yang baru, berbeda dengan model
yang dikenal selama ini. Program ini berkaitan dengan perubahan model
pembelajaran yang selama ini masih konvensional, seperti cermah satu
arah, diskusi dan pemberian tugas menjadi model pembelajaran yang
memanfaatkan media teknologi audio visual....... (Wawancara, 2 Oktober
2013).

Sementara itu, peneliti juga memperoleh informasi dari seorang Kepala

Sekolah SMPN 3 Sungguminasa yakni Bpk NdR. Informan ini menyatakan

bahwa:

.....Program pemerintah daerah yang disebut Punggawa D’Emba


Education Program (PEDP) bisa menambah efektivitas proses
pembelajaran, karena model pembelajaran dikelas selama ini menurut
evaluasi kami, nampaknya menjadikan peserta didik cepat bosan,
ngantuk, tidak fokus pada materi, dan banyak lagi perilaku yang
seringkali membuat guru pengajarnya juga tidak konsentrasi dalam
mengajar. Jadi pihak sekolah sangat menyambut baik terobosan ini,
yang diyakni bisa meningkatkan kaulitas luluasan nantinya.....
(Wawancara, 10 November 2013).

Berdasarkan keterangan yang disampaikan dua informan di atas,

menunjukkan bahwa kebijakan PDEP merupakan program inovatif yang

dirancang dengan memanfaatkan teknologi audio visual. Melalui pembelajaran

yang berbasis pada teknologi audio visual menciptakan suasana baru di dalam

kelas yang tentu berbeda dengan keadaan sebelumnya.

Di awal sudah disebutkan bahwa pengembangan PDEP merupakan hal

baru bagi sistem pendidikan di kabupaten Gowa. Sehingga wajar jika pihak

sekolah terutama guru-guru masih belum mengerti bagaimana penerapan

program ini nantinya. Oleh karena itu, hal yang pertama kali ketika program

diselenggarakan adalah mengadakan pelatihan bagi guru-guru tentang

bagaimana sistem pembelajaran dengan model yang baru ini. Pelatihan ini

dilakukan selama tiga hari. Pada setiap pelatihan masing-masing sekolah yang

menerapkan PDEP harus mengirimkan 3-4 guru untuk mengikuti pelatihan


262

tersebut. Selanjutnya setiap guru yang telah mendapatkan pelatihan diminta

untuk melakukan diseminasi yakni melakukan pelatihan yang sama kepada guru-

guru di sekolahnya masing-masing. Para peserta pelatihan atau guru-guru yang

mengikuti pelatihan mendapatkan materi pelatihan antara lain: (1) format moving

class; (2) model cinema class; (3) penggunaan perangkat audio visual; dan (4)

materi muatan lokal.

Setiap sekolah baik negeri maupun swasta yang akan menerapkan

PDEP harus menyiapkan satu ruangan khusus yang menjadi persyaratan utama

untuk menerapkan program ini. Ruangan khusus tersebut dipergunakan untuk

kegiatan cinema class yang telah difasilitasi dan dilengkapi dengan perangkat

audio visual. Mata pelajaran yang menggunakan pembelajaran audio visual

difokuskan pada mata pelajaran yang masuk dalam Ujian Akhir Nasional. Untuk

SD kelas 4-5-6 (Matematika, Sains, Bahasa Indonesia & Bahasa Inggris); untuk

SMP kelas 1-2-3 (Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Biologi, Fisika,

dan Kimia); untuk SMU kelas 1-2-3 (Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa

Inggris, Biologi, Fisika, dan Kimia).

Konsep materi mata pelajaran tersebut dibuat oleh guru sekolah yang

telah ditunjuk dalam suatu tim sedangkan inputnya ke dalam software dibuat

oleh i-Solution sebagi mitra dalam pembelajaran audio visual tersebut. Konsep

pembelajaran ini juga melatih siswa untuk berani tampil berbicara di depan

umum. Pembelajaran dalam cinema class memuat dua materi yakni materi inti

(mata pelajaran) dan materi Punggawa D’Emba (materi muatan lokal tentang

etika, adat istiadat di Gowa). Durasi materi inti sesuai dengan jam pelajaran

setiap mata pelajaran sedangkan durasi materi Punggawa D’Emba berkisar 15-

20 menit.
263

Pembelajaran Punggawa D’Emba mengajarkan siswa untuk mengenal

dan berperilaku sebagaimana adat istiadat di Gowa. Misalnya; sikap

menghormati guru dan orang tua, kebiasaan mengucapkan terima kasih,

berbaris dan mencium tangan guru sebelum masuk kelas; siswa mempunyai

sikap mappatabe’ dan lain-lain. Materi-materi pelajaran yang tercakup dalam

kelompok pembelajaran Punggawa D’Emba mengandung nilai-nilai yang sangat

penting karena menyangkut pembentukan akhlak mulia bagi anak didik. Mereka

diajarkan tentang pesan dan nasehat bagaimana etika bergaul dengan orang

lain.

Selanjutnya yang tak kalah penting untuk dipahami adalah aspek

keberlanjutan dari Punggawa D’Emba Education Program tersebut. Terutama

aspek yang bersifat teknis operasional dari materi pembelajaran. Oleh karena itu,

pemerinatah daerah bersama dengan pihak perusahan I-solution sebagai pihak

mitra sudah menyepakai bahwa durasi kontrak kerjasama berlangsung selama 5

tahun. Selama masa kontrak tersebut pemerintah daerah berhak mendapatkan

fasilitas gratis bila ada updating materi. Materi yang menjadi konten dari sistem

ini terdiri atas dua bagian yakni (a) materi inti adalah materi sudah disediakan

oleh pihak I-solution dan (b) materi yang mengandung muatan nilai-nilai lokal

adalah materi yang disiapkan oleh sekolah/guru. Pihak I-solution siap menerima

saran dari guru-guru terkait materi yang disajikan dalam bentuk software, jika

memungkinkan maka pihak I-Solution berusaha memperbaiki materi sesuai

dengan saran dari guru.

Untuk mempermudah akses dan updating materi maka sistem

pembelajaran ini juga difasilitasi website yakni http://punggawademba.ilmci.com/.

Website ini hanya dapat diakses oleh sekolah yang menerapkan PDEP. Melalui

website ini guru dapat memperoleh info terbaru tentang pendidikan dan
264

mendapatkan updating materi. Dalam sistem pembelajaran PDEP ini, pekerjaan

rumah atau PR tidak lagi diadakan. Meskipun demikian tidak berarti bahwa guru

sama sekali tidak boleh memberi pekerjaan rumah bagi siswa.

Jam pelajaran yang tersedia bisa termanfaatkan lebih efektif dari

biasanya, karena guru tidak lagi menggunakan waktu banyak untuk membaca

dan menulis materi pelajaran di papan tulis. Guru justru lebih banyak waktu

untuk menjelaskan konten dari materi pelajaran dan lebih interaktif dalam

berkomunikasi dengan anak didik di kelas. Dengan demikian proses belajar

mengajar diwarnai oleh suasana yang lebih rileks dan fokus pada suatu materi

tertentu.

Terkait dengan dampak dari pengembangan Punggawa D’Emba

Education Program (PDEP) tersebut, peneliti mendapatkan keterangan dari

informan yakni Sekretaris Dispora Bpk. SpM. yang menyampaikan kepada

peneliti bahwa:

.....Dampak yang bisa dilihat dari penerapan Punggawa D’Emba


Education Program (PDEP) yang sudah diterapkan selama ini adalah
bahwa secara umum terjadi peningkatan rata-rata hasil belajar dan
ujian nasional siswa di daerah ini. Hal tersebut salah satunya
disebabkan karena siswa lebih mudah memahami pelajaran melalui
audio visual dimana siswa dapat melihat langsung proses terjadinya
atau berlangsungnya sesuatu, sehingga daya serap siswa terhadap
materi ajar bisa lebih baik.... (Wawancara, 2 Oktober 2013).

Keterangan tentang dampak penerapan sistem pembelajaran berbasis

audio visual seperti yang disampaikan oleh informan di atas memberi konfirmasi

dan senada dengan keterangan dari salah seorang anggota Dewan Pendidikan

kabupaten Gowa yakni Dr. Salam, yang dirilis melalui media cetak (Fajar, 2012)

menyatakan bahwa model pembelajaran tersebut memiliki beberapa keunggulan

antara lain (1) melalui media audio visual memberikan pesan yang dapat

diterima secara lebih merata oleh siswa; (2) sangat bagus untuk menerangkan
265

suatu proses; (3) mengatasi keterbatasan ruang dan waktu; (4) lebih realisitis,

dapat diulang-ulang dan dihentikan sesuai dengan kebutuhan; dan (5)

memberikan kesan mendalam yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku

siswa didik.

Gambar 19. Kelas Multimedia Dilengkapi Teknologi Audi Visual

Sumber: Dokumentasi Sekretariat Dinas Dikpora Kab. Gowa Tahun 2013

Walaupun demikian, konsep pembelajaran dengan pendekatan teknologi

informasi dan komunikasi melalui teknik audio visual yang memiliki banyak

keunggulan dibanding sistem pembelajaran yang konvensional tetap

mengandung beberapa kelemahan dibalik penerapannya. Secara operasional

tentu program ini membutuhkan fasilitas tertentu seperti pembenahan ruang

kelas yang didesain khusus untuk metode cinema class. Sumber daya tenaga

pengajar (guru) masih memiliki keterbatasan skill dalam mengoperasikan

komputer dan teknologi informasi. Selain itu, beberapa mata pelajaran menurut

beberapa guru dan anak didik kelihatannya masih lebih efektif jika menggunakan

model konvensional.
266

Melalui penyajian hasil penelitian tentang inovasi di bidang pendidikan

yang dikemas dalam bentuk program inovatif Punggawa D’Emba Education

Program (PDEP) sebagaimana diuraikan di atas, dapat diambil beberapa inti sari

dari pengembangan program tersebut.

Pertama, penerapan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP)

merupakan bagian dari bukti komitmen pemerintah daerah dan DPRD dalam

memberikan pelayanan dasar yang maksimal di bidang pendidikan untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan indeks

pendidikan kabupaten Gowa.

Kedua, pengembangan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP)

merupakan inovasi program dalam mendorong agar proses pembelajaran di

sekolah-sekolah menjadi semakin berkualitas, yang ditandai dengan nilai rata-

rata mata pelajaran dan ujian nasional lulusan makin meningkat.

Ketiga, bentuk inovasi Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) ini

berkaitan dengan metode pembelajaran yang menggunakan teknologi audio

visual atau cinema edutainmnet. Metode dan sistem pembelajaran ini benar-

benar menjadi hal baru dan berbeda dengan metode pembelajaran konvensional

selama ini.

(d) Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan

Salah satu terobosan penting pemerintah daerah kabupaten Gowa, selain

kebijakan dan program SPAS, pendidikan gratis, dan Punggawa D’Emba

Education Program sebagaimana telah diuraikan adalah inovasi program yang

dikemas dalam bentuk Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan atau Satuan Polisi

Pamong Praja (Satpol PP) Pendidikan. Pembetukan Satgas Pendidikan ini masih

merupakan bagian penting dari kebijakan strategis di bidang pendidikan

kabupaten Gowa. Namun sebelum lebih dalam menyelami bagaimana program


267

itu dibentuk dan dijalankan, sebaiknya di awal penyajian kiranya urgen untuk

memberikan pemahaman dasar terkait dengan eksistensi Satuan Polisi Pamong

Praja dalam sistem pemerintahan daerah saat ini.

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam sistem pemerintahan

daerah merupakan bagian atau salah satu perangkat daerah yang membantu

kepala daerah dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan daerah. Hal ini

dinyatakan secara tegas dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2010

tentang Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), bahwa Satpol PP merupakan

bagian perangkat daerah yang memiliki tugas dan fungsi penegakan peraturan

daerah (perda) dan membantu kepala daerah dalam melaksanakan urusan

ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Kemudian organisasi dan tata

kerja Satpol PP dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sudah diatur pula

dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 40 Tahun 2011

tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja.

Dengan demikian menjadi terang bahwa eksistensi Satpol PP dalam sistem

pemerintahan daerah menjadi sangat strategis yang dilandasi oleh dua aturan

payung hukum untuk menunaikan tugas dan fungsinya sehari-hari.

Mengakselerasi terciptanya kualitas dan akses pendidikan yang lemah,

telah didorong melalui program pendidikan gratis yang ditopang oleh Perda

Pendidikan Gratis dan Wajib Belajar. Selain itu, pemerintah daerah juga telah

mengemas program inovatif Punggawa D’Emba Education Program (PDEP)

untuk memperbaiki metode dan sistem pembelajaran. Namun, penerapan kedua

perda di bidang pendidikan tersebut terasa belum maksimal. Oleh karena itu

pemerintah daerah membuat terobosan dengan memaksimalkan fungsi dan

tugas perangkat daerah Satpol PP dalam menegakkan Perda Pendidikan Gratis

dan Perda Wajib Belajar.


268

Upaya memaksimalkan fungsi dan tugas Satpol PP dalam menegakkan

Perda Pendidikan Gratis dan Perda Wajib Belajar diwujudkan dengan

membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan. Pembentukan Satgas

Pendidikan ini merupakan bentuk inovasi pemerintah daerah kabupaten Gowa

yang didesain dalam bentuk kerjasama antar SKPD (perangkat daerah).

Meskipun kerjasama antar SKPD bukanlah hal yang baru, namun kerjasama

antara Kantor Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Pendidikan, Pemuda dan

Olah Raga melalui pembentukan Satgas Pendidikan adalah terobosan yang tidak

hanya inspiratif -thinking out of the box- melainkan juga secara metodik

mendorong dampak positif yang lebih luas (UNfGI, 2012).

Langkah inovasi pemerintah daerah kabupaten Gowa melalui

pembentukan Satgas Pendidikan sejatinya merupakan langkah terobosan untuk

mencari format kerjasama antar kelembagaan di lingkup SKPD yang dapat di

refungsionalisasi untuk mendukung kebijakan strategis kabupaten Gowa (UNfGI,

2012). Format kerjasama antar perangkat (SKPD) dalam lingkup pemerintahan

daerah seperti pembentukan Satgas Pendidikan ini sebetulnya sudah memiliki

payung hukum yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 33

Tahun 2008 Tentang Pedoman Hubungan Kerja Organisasi Perangkat Daerah

Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Dalam ketentuan umum pasal (1) dari Permendagri No. 33 Tahun 2008

tersebut istilah kerjasama dimaknai sebagai pola hubungan kerja yaitu rangkaian

prosedur dan tata kerja antar perangkat daerah yang membentuk suatu

kebulatan pola kerja dalam rangka optimalisasi hasil kerja. Selanjutnya pada

pasal (2) ditegaskan pula beberapa prinsip yang harus dipegang dalam pola

hubungan kerja antar perangkat daerah, antara lain: (a) saling membantu dan

mendukung untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik yang berkelanjutan; (b)


269

saling menghargai kedudukan, tugas dan fungsi serta wewenang masing-masing

perangkat daerah; (c) saling memberi manfaat; dan (d) saling mendorong

kemandirian masing-masing perangkat daerah yang mengacu pada peningkatan

kemampuan penyelenggaraan tugas-tugas kepemerintahan.

Langkah terobosan melalui konsep kerjasama dan jalinan pola hubungan

kerja antar perangkat daerah tentu memiliki tujuan strategis bagi keberhasilan

penyelenggaraan pemerintah di kabupaten Gowa. Menurut informan Sekretaris

Dinas Dikpora Bpk. SpM sekaitan dengan pembentukan Satgas Pendidikan

tersebut, kepada peneliti beliau menyatakan bahwa:

.....letak strategis dari mengfungsikan Satpol PP untuk bekerja secara


sinergis dengan Dinas Dikpora dalam mengimplentasikan program
Satgas Pendidikan hakekat utamanya untuk mendorong penguatan
kualitas dan akses pendidikan terjangkau dan merata. Secara
kelembagaan refungsionalisasi Satpol PP memiliki dua tujuan strategis
yakni (1) mendukung implementasi kebijakan pendidikan gratis sebagai
garis kebijakan bupati dan (2) mengubah wajah Satpol PP sendiri yang
dianggap oleh masyarakat cenderung represif dan hanya bertugas
keyika ada penggusuran...... (Wawancara, 2 Oktober 2013).

Refungsionalisasi Satpol PP untuk mendukung implementasi kebijakan

strategis pendidikan menjadi menarik karena secara kelembagaan SKPD ini

dilibatkan dalam mengurus urusan pendidikan yang sebenarnya adalah

kewenangan dari Dinas Dikpora. Sebagai contoh dari fungsi penegakan perda

Satgas Pendidikan adalah perda pendidikan gratis dan perda wajib belajar yang

antara lain menyangkut orang tua yang sengaja tidak menyekolahkan anaknya

diancam hukuman penjara enam bulan atau denda Rp. 50 juta. Termasuk juga

mendisiplinkan para siswa yang bolos sekolah dan tenaga pendidik yang selalu

tidak on time datang mengajar di sekolah menjadi bagian dari fungsi Satgas

Pendidikan.

Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, Satgas Pendidikan sudah

dimulai sejak tahun 2009. Di mana pada awalnya Satgas Pendidikan ini hanya
270

diperuntukkan bagi tingkatan pendidikan sekolah dasar (SD). Namun seiring

kebutuhan dan efektivitas dari implementasi kebijakan ini akhirnya mulai tahun

2010 semua jenjang pendidikan sudah memiliki Satgas Pendidikan. Bahkan

sampai tahun 2012 Satpol PP telah melakukan rekrutmen sebanyak 525 tenaga

honorer untuk mengisi personil dan menambah kapasitas Satgas Pendidikan.

Hal yang berbeda dari kebijakan Satgas Pendidikan ini adalah aspek

yang berhubungan pengisian personil. Mekanisme pengisian personil dilakukan

dan dikembangkan melalui dua pola rekruitmen yakni formal dan informal. Pola

rekrutmen formal dilaksakan melalui skema verifikasi yang dilakukan oleh Satpol

PP dan Dinas Dikpora Kabupaten Gowa. Sementara pola rekrutmen informal

penjaringan personil Satgas Pendidikan ditempuh melalui rekomendasi tokoh

masyarakat setempat, di mana wilayah asal tempat tinggal calon pelamar.

Mekanisme melalui pola rekrutmen informal dilakukan, tentu terkait dengan

pertimbangan praktis dari tugas dan fungsi tugas dilapangan. Mengenai

kualifikasi yang lain tetap mengacu pada persyaratan kepegawaian secara

umum sebagaimana diatur dalam sistem kepegawaian daerah.

Hasil pengamatan lapangan peneliti memperoleh data bahwa tugas

Satgas Pendidikan adalah menyediakan fasilitas antar jemput gratis bagi guru-

guru yang alamat rumah tempat tinggalnya lebih dari 1,5 kilometer dari sekolah

tempat mengajarnya. Anggota Satgas Pendidikan diberi tugas untuk melakukan

razia bagi anak sekolah yang berkeliaran di luar sekolah pada saat jam pelajaran

masih berlangsung. Anggota Satgas Pendidikan ditugaskan di setiap sekolah,

dengan maksud bahwa satgas ini dapat juga berfungsi untuk membantu

kelancaran proses belajar mengajar dan menjaga kondisi keamanan dan

ketertiban lingkungan sekolah. Selain itu, Satgas Pendidikan saat ini membuka

layanan akses untuk complaint system melalui SMS ke nomor 0811414222 atau
271

0811417240. Fasilitas layanan SMS ini bisa diakses oleh warga yang hendak

menyampaikan informasi tentang tempat atau daerah yang kerap dijadikan

tempat membolos siswa.

Sejak adanya refungsionalisasi Satpol PP menjadi Satgas Pendidikan

yang membantu pelayanan pendidikan di tingkat sekolah, tanggapan dan

apresiasi positif dari stakeholder’s pendidikan terus mengalir. Salah seorang

orang tua siswa, Pak Rahim yang sedang menjemput anaknya, menuturkan

kepada peneliti bahwa:

.....Satgas Pendidikan ini sangat besar fungsinya, karena dengan adanya


satpol yang bertugas disekolah-sekolah, kebiasan anak-anak berkeliaran
di luar sekolah pada saat masih jam pelajaran semakin berkurang.
Bahkan di beberapa sekolah seperti di SMA 3 Sungguminasa ini, hampir
tidak pernah lagi ada siswanya berada diluar sebelum jam pulang
sekolah. Kami juga selaku orang tua merasa sangat terbantu oleh satgas
ini..... (Wawancara, 11 November 2013).

Jadi secara operasional dilapangan, keberadaan Satgas Pendidikan

ternyata memang sangat fungsional. Sehingga wajar jika pada umumnya warga

terutama para orang tua siswa sangat mendukung dan berharap agar

keberadaan Satgas Pendidikan ini terus dipertahankan. Bahkan kebijakan ini

dapat disebut sebagai langkah preventif untuk menekan angka bolos sekolah.

Sehingga secara nyata berimbas pada daftar kehadiran siswa dan tenaga

kependidikan kabupaten Gowa. Efek positif lanjutnya adalah performa Satpol PP

di mata masyarakat sudah mulai berubah, dari organisasi yang cenderung

represif menjadi organisasi yang akomodatif.

Di awal sudah ditegaskan bahwa lembaga Satgas Pendidikan merupakan

terobosan inovatif, namun tetap dinilai masih memiliki kelemahan. Satgas

Pendidikan belum memiliki payung kelembagaan secara permanen. Di saat

penelitian ini berlangsung, peneliti belum menemukan adanya kepastian apakah

Satgas Pendidikan berada dalam struktur dan dikelola serta dibawah koordinasi
272

Kantor Satpol PP atau menjadi bagian dari kelembagaan Dinas Dikpora

kabupaten Gowa. Sehingga dengan posisi demikian maka aspek sustainability

dari Satgas Pendidikan ini masih belum pasti. Oleh karena itu, Bupati Gowa

selaku pemimpin dan pemegang otoritas kelembagaan pemerintahan daerah

tentu dengan segera harus menemukan solusi atas kekosongan payung

kelembagaan Satgas Pendidikan tersebut.

Di akhir deskripsi ini diketengahkan beberapa intisari yang berkaitan

dengan kebijakan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan di kabupaten

Gowa. Beberapa poin penting dari kebijakan tersebut, pertama, Satgas

Pendidikan adalah inovasi pemerintah daerah yang dirancang dalam bentuk

kerjasama atau pola hubungan kerja antar SKPD (perangkat) khususnya Satuan

Polisi Pamong Praja dan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. Hal ini

menjadi terobosan tidak hanya inspiratif –thinking outside of the box- tetapi juga

secara metodik dapat memberi dampak yang lebih luas.

Kedua, Satgas Pendidikan dimaksudkan untuk mengakselerasi kebijakan

strategis pendidikan kabupaten Gowa yang dideklarasikan melalui Perda

Pendidikan Gratis dan Perda Wajib Belajar. Sehingga secara kontekstual

kehadiran satgas ini sangat relevan untuk mendorong meningkatnya kualitas dan

aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan pendidikan.

Ketiga, personil Satgas Pendidikan diisi melalui pola mekanisme formal

dan informal. Mekanisme rekrutmen secara formal melalui skema verifikasi yang

dilakukan oleh Satpol PP dan Dinas Dikpora Kabupaten Gowa. Sementara pola

rekrutmen informal penjaringan personil Satgas Pendidikan ditempuh melalui

rekomendasi tokoh masyarakat setempat, di mana wilayah asal tempat tinggal

calon pelamar.
273

Keempat, tujuan strategis Satgas Pendidikan adalah mendukung

inplementasi kebijakan pendidikan gratis sebagai garis kebijakan Bupati Gowa

dan mengubah wajah Satpol PP sendiri yang dianggap oleh masyarakat

cenderung represif, arogan dan identik dengan penggusuran.

5.1.3 Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Urusan Pendidikan

Deskripsi pengembangan inovasi pemerintah daerah kabupaten Gowa

yang berkaitan dengan urusan pendidikan telah disajikan pada bagian

sebelumnya. Secara empiris pengembangan inovasi pemerintah daerah tersebut

meliputi program Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS), pembebasan biaya

sekolah melalui program Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba Education

Program (PDEP) dan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan. Pada

bagian ini, penyajian fokus pada bagaimana kapasitas inovasi yang dimiliki oleh

pemerintah daerah kabupaten Gowa dalam pengembangan berbagai kebijakan

dan program inovatif dalam urusan pendidikan yang relevan dengan pemenuhan

kebutuhan dasar manusia.

Deskripsi empiris tentang kapasitas inovasi pemerintah daerah

kabupaten Gowa dalam menyelenggarakan urusan pendidikan, diuraikan dalam

beberapa sub fokus penyajian meliputi: (1) Kapasitas kepemimpinan inovasi

(innovative leadership); (2) Kapasitas pelaksana program inovasi (quality of work

force) pendukung inovasi; (3) Kapasitas anggaran pendukung program; (4)

Kapasitas jaringan pendukung inovasi; (5) kemampuan mengelola pengaruh

eksternal inovasi (managing external influences). Deskripsi dari keempat sub

fokus penyajian diuraikan secara berturut-turut pada bagian berikut ini.


274

(a) Kapasitas Kepemimpinan Inovatif (Innovative Leadership Capacity)

Kapasitas kepemimpinan inovatif (innovative leadership capacity) adalah

kemampuan yang dimiliki seorang pemimpin untuk mendorong pengembangan

inovasi dalam suatu organisasi tertentu. Seorang pemimpin yang memiliki

kapasitas inovasi adalah pemimpin yang tentu saja menguasai pengetahuan dan

berwawasan yang luas dalam hal pengembangan inovasi. Namun penguasaan

pengetahuan yang mendalam dan wawasan yang luas tidaklah cukup efektif

dalam pengembangan inovasi, jika tidak disertai dengan komitmen yang tinggi

dan kemampuan untuk melaksanakannya. Dengan demikian, inovasi yang

dikembangkan oleh seorang pemimpin dalam suatu organisasi diharapkan

memberi dampak tehadap anggota organisasinya.

Dalam konteks penelitian ini, penggambaran kapasitas kepemimpinan

inovatif hanya fokus pada kepasitas kepemimpinan kepala daerah (Bupati) Gowa

dalam mendorong pengembangan inovasi spesifik pada pelaksanaan urusan

pendidikan. Sekaitan dengan hal tersebut, kapasitas kepemimpinan inovatif akan

dilihat dan diukur melalui sejauhmana komitmen dan kemauan politik (political

will) bupati dalam memberikan public service dan menyediakan public goods

kepada warganya. Selain itu, kapasitas kepemimpina inovatif bupati akan ditinjau

pula dilihat dari aspek visi-misi pengembangan inovasi yang dibangun, langkah-

langkah strategis yang diambil untuk mendorong inovasi, dan stabilitas

kepemimpinan bupati sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan.

Berdasarkan hasil temuan di lapangan, dapat digambarkan beberapa hal

yang berkaitan dengan kapasitas kepemimpinan inovatif yang diukur melalui

komitmen dan political will dari Bupati Gowa. Pertama, bahwa komitmen dan

political will Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo sudah sangat nampak ketika baru

saja selesai dilantik bersama Wakil Bupati Abd Razak Badjidu untuk periode
275

2005-2010 pada tanggal 13 Agustus 2005 oleh Gubernur Sulawesi Selatan HM

Amin Syam di lapangan Syekh Yusuf, Sungguminasa Kabupaten Gowa. Ketika

itu setelah pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Gowa berlangsung, maka

dilanjutkan dengan penandatanganan ”kontrak politik” yang disaksikan oleh

berbagai kalangan masyarakat yang hadir. Di antara isi ”kontrak politik” tersebut

yang terkait dengan pelayanan pendidikan adalah membangun 154 buah

sanggar anak saleh. Program sanggar anak saleh inilah yang kemudian dikenal

dengan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS). Pengembangan SPAS ini pula

menjadi progran unggulan sekaligus inovatif di awal pemerintahannya. Selain itu,

”kontrak politik” tersebut juga berisi pemberian secara gratis buku wajib kepada

2.846 anak SD yang berasal dari keluarga miskin. Sesuai dengan komitmen

dalam ”kontrak politik”, hanya dalam jangka waktu satu tahun, pengembangan

154 unit SPAS dan pemberian buku gratis pada anak SD dari keluarga miskin

sudah dapat terealisasi.

Kedua, komitmen dan political will yang tinggi oleh Bupati Gowa tercermin

pula pada pengembangan kebijakan dan program inovatif yang bernama

program pendidikan gratis. Di mana program terobosan pendidikan gratis ini

adalah program yang dimaksudkan untuk mengakselerasi peningkatan kualitas

dan aksesibilitas masyarakat Gowa terhadap dunia pendidikan. Dalam rangka

mempercepat realisasi dari program pendidikan gratis tersebut, maka langkah

yang diambil bupati adalah segera mengajukan Rancangan Peraturan Daerah

tentang Pendidikan Gratis kepada DPRD yang kemudian disahkan menjadi

Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis. Setelah itu,

dalam rangka pelakasanaan perda tersebut maka bupati segera pula

menerbitkan Peraturan Bupati Gowa Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan

Perda Pendidikan Gratis.


276

Ketiga, bermula dari keprihatinan melihat kondisi kualitas output sekolah

yang masih rendah yang diakibatkan oleh proses pembelajaran yang belum

efektif maka Bupati Gowa mengambil langkah-langkah antara lain studi banding,

baik ke daerah-daerah maupun ke negara yang memiliki metode pembelajaran

dan sistem pendidikan yang sudah maju. Program studi banding yang dipelopori

oleh bupati dengan menyertakan pihak terkait (DPRD, Dinas Dikpora dan dewan

pendidikan) bertujuan untuk mengadopsi metode dan sistem pembelajaran yang

telah berhasil diterapkan disana. Hasilnya adalah mengadopsi metode dan

sistem pembelajaran yang berbasis pada audio visual (cinema class). Metode

dan sistem pembelajaran inilah yang kemudian dikenal dengan Punggawa

D’Emba Education Program. Disamping itu, Bupati Gowa juga melakukan

terobosan kebijakan yang cukup inovatif yakni kerja sama antar perangkat

daerah yakni Satpol PP dan Dinas Dikpora dengan membentuk Satpol (Satgas)

Pendidikan, seperti sudah diuraikan secara deskriptif pada bagian sebelumnya.

Tentu peran dari Bupati Gowa tidak hanya pada fase memunculkan

gagasan dan ide untuk mengembangkan kebijakan dan program inovasi dalam

penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam uraian ketiga fakta

di atas. Namun bupati juga sangat aktif dan paling terdepan dalam sosialisasi

dan mensukseskan pelaksanaan program-program inovatif tersebut. Padahal

sesungguhnya terdapat perangkat daerah yakni Dinas Dikpora selaku pembantu

kepala daerah untuk pelaksanaan urusan pendidikan.

Fakta-fakta yang tercatat oleh peneliti di atas terkonfirmasi kebenarannya

melalui salah satu informan yakni Sekretaris Dinas Dikpora, Bpk SkM. yang

menyampaikan kepada peneliti bahwa:

.....Semua kebijakan dan program inovatif seperti SPAS, pendidikan


gratis, Punggawa D’Emba Education, dan Satgas Pendidikan yang
menjadikan Kabupaten Gowa mendapat apresiasi berupa penghargaan
277

otonomi award tahun 2009 dan 2010 dalam bidang pelayanan


pendidikan merupakan terobosan yang murni gagasannya berasal dari
Bapak Bupati Ichsan Yasin Limpo. Kami melihat bahwa bapak bupati
sejak awal kepemimpinannya memiliki komitmen yang kuat untuk
mengangkat bidang pendidikan sebagai prioritas pemerintah daerah.
Kami selaku aparat dinas yang mengurusi pendidikan, di banyak
tempat dan kesempatan selalu diberi pencerahan bahwa pendidikan
harus maju kalau mau melihat daerah kita cepat berkembang seperti
daerah lain. Namun dalam hal penyempurnaan konsep program-
program inovatif tersebut bapak bupati tetap mengundang berbagai
pihak seperti DPRD dan stakeholders, terutama pihak yang paham
betul tentang dunia pendidikan (perguruan tinggi dan PGRI) untuk
berkontribusi menyempurnakan konseptual dari program
dimaksud.....(Wawancara, 2 Oktober 2013)

Pernyataan dari informan Sekretaris Dinas Dikpora bermakna bahwa

peran bupati dalam pengembangan kebijakan dan program inovasi bidang

pendidikan memang sangat dominan dan menonjol. Meskipun demikian, agar

secara teknis operasional dapat terealisasi secara efektif, maka tetap melibatkan

pihak di luar institusi bupati. Terutama para stakeholder yang konsen dalam

dunia pendidikan seperti Dewan Pendidikan, Perguruan Tinggi dan PGRI.

Kapasitas kepemimpinan inovatif seorang bupati bisa juga dinilai dari visi-

misi yang ingin dikembangkan. Berdasarkan catatan hasil penelitian di lapangan

diperoleh fakta bahwa Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo bersama Wakil Bupati

Abd Razak Badjidu adalah kepala daerah yang diusung oleh Partai Golkar,

Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) dan Partai Demokrat dalam pemilihan

kepala daerah (Pilkada) secara langsung pada 27 Juni 2005. Pasangan kepala

daerah ini merupakan kepala daerah pertama di Gowa yang dipilih melalui

pemelihan kepala daerah secara langsung. Sejak masa kampanye calon kepala

daerah waktu itu, Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo sudah menyatakan bahwa

visi pemerintahan dan pembangunan Kabupaten Gowa harus memprioritaskan

pembangunan sumber daya manusia, terutama bidang pendidikan, kesehatan

dan daya beli masyarakat. Dari sini sudah nampak adanya visi yang kuat dari
278

Bupati Gowa untuk menjadikan urusan pendidikan sebagai kebijakan strategis

pemerintah daerah melalui kebijakan dan program yang inovatif.

Atas dasar visi dan misi pembangunan manusia yang bertumpu pada

bidang pendidikan inilah yang diterjemahkan ke dalam visi dan misi daerah

Kabupaten Gowa. Hal ini tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah (RPJMD) 2010-2015. Visi daerah Kabupaten Gowa tersebut

berbunyi ”Terwujudnya Gowa yang Handal dalam Peningkatan Kualitas Hidup

Masyarakat dan Penyelengaraan Pemerintahan”. Selanjutnya salah satu misi

yang harus dilakukan untuk mewujudkan visi daerah Gowa tersebut, yakni

handal dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat adalah meningkatkan

kualitas sumber daya manusia dengan berbasis pada pemenuhan hak-hak dasar

masyarakat. Pemenuhan hak-hak dasar masyarakat salah satu di antaranya

adalah melalui pemberian pelayanan dan penyediaan fasilitas publik yang

optimal dalam bidang pendidikan.

Langkah strategis selanjutnya untuk mewujudkan visi dan misi

pembangunan daerah dalam memenuhi hak-hak dasar masyarakat Gowa

terutama hak dasar di bidang pendidikan, pemerintah daerah menjadikan isu

peningkatan mutu pendidikan sebagai prioritas pertama dalam pembangunan

daerah. Sebagaimana dapat dilihat dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah

Daerah (RKPD) Kabupaten Gowa tahun 2010. Dalam kebijakan RKPD ini

pemerintah daerah menetapkan enam prioritas pembangunan daerah yang

meliputi: (1) Peningkatan mutu pendidikan; (2) Peningkatan derajat kesehatan

masyarakat; (3) Peningkatan penanggulangan kemiskinan terpadu; (4)

Peningkatan mutu dan produksi pertanian; (5) Peningkatan kualitas dan akses

infrastruktur ke sentra perekonomian; dan (6) Peningkatan kompetensi aparatur

dan kelembagaan masyarakat.


279

Menjadikan isu peningkatan mutu pendidikan sebagai prioritas pertama

dalam kebijakan RKPD Kabupaten Gowa tahun 2010 menunjukkan bahwa

pemerintah daerah di bawah komando Bupati Ichsan Yasin Limpo memiliki

komitmen politik yang kuat dalam pelayanan (urusan) pendidikan. Apalagi jika

dilihat kembali program kerja dan alokasi anggaran yang cukup besar bagi sektor

pendidikan. Hal ini dibenarkan oleh informan Wakil Ketua DPRD Gowa, Bapak

RmS. dari Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), yang menuturkan kepada

peneliti bahwa:

.....Sektor pendidikan memang menjadi prioritas pembangunan daerah


di Kabupaten Gowa. Sejak periode pertama 2005-2010 hingga periode
sekarang 2010-2015 kepemimpinan Bupati Ichsan Yasin Limpo,
pemerintah daerah menetapkan peningkatkan mutu pendidikan sebagai
prioritas pertama dalam RKPD. Sejak periode pertama kepemimpinan
bupati sekarang, pemerintah daerah telah menetapkan alokasi
anggaran 20% dari APBD untuk sektor pendidikan sebelum pemerintah
pusat mengeluarkan kebijakan 20% APBN diperuntukkan bagi anggarn
pembangunan sektor pendidikan. Malahan saat ini alokasi anggaran
untuk bidang pendidikan sudah di atas 20% dari APBD. Kami di DPRD
sudah bersepakat dan membangunan komitmen dengan pemerintah
daerah untuk menjadikan peningkatan mutu pendidikan ini sebagai
salah satu primadona pembangunan daerah untuk memajukan dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat Gowa. Oleh karena itulah,
kami DPRD selalu mendukung seluruh kebijakan dan program inovasi
yang dilakukan oleh pemerintah daerah......(Wawancara, 3 Oktober
2013).

Pernyataan dari informan Wakil Ketua DPRD Gowa di atas, bahwa

pengalokasian anggaran yang lebih dari 20% APBD untuk menunjang program-

program pemerintah daerah dalam meningkatkan mutu pendidikan, memberi

makna bahwa komitmen dan political will pemerintah daerah telah mendapat

legitimasi politik dari lembaga DPRD. Selain itu, hal yang penting lainnya adalah

agar pemerintah daerah semakin menumbuhkan munculnya terobosan kebijakan

dan program inovatif yang bisa mengakselerasi kualitas pendidikan masyarakat.

Terobosan kebijakan dan program pemerintah daerah tidak berhenti hanya pada

program-program inovatif yang sudah berlangsung selama ini. Seperti program


280

pengembangan SPAS, program pendidikan gratis, Punggawa D’Emba Education

Program, dan Satgas Pendidikan.

Sebagai catatan akhir dari deskripsi empirik mengenai kapasitas

kepemimpinan inovatif yang dimiliki oleh Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo

adalah pertama, kepemimpinan Bupati Gowa saat ini, memiliki komitmen dan

poltical will yang sudah buktikan ketika baru saja terpilih sebagai bupati untuk

periode 2005-2010. Sejak saat itu bupati sebagai kepala daerah dan kepala

pemerintahan memiliki peran yang sangat menonjol dan dominan dalam

membangun gagasan dan ide-ide terobosan. Seperti dalam merumuskan

program-progam inovatif pengembangan SPAS, program pendidikan gratis,

Punggawa D’Emba Edcation Program (PDEP) dan Satgas Pendidikan.

Gambar 20. Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo dan Tim Ahli Program
Punggawa D’Emba Education

Sumber: Dokumentasi Sekretariat Dinas Dikpora Kab. Gowa Tahun 2012

Kedua, kepemimpinan Bupati Gowa juga memiliki kapasitas dalam

membangun visi dan misi yang benar-benar relevan dengan kebutuhan dasar
281

masyarakat Gowa yakni pelayanan dan penyediaan fasilitas publik pendidikan

seperti tercermin dalam RPJMD Kabupaten Gowa. Visi dan misi tersebut

kemudian mampu diejawantahkan dan dijabarkan dalam bentuk RKPD seperti

peningkatan mutu pendidikan masyarakat. Sebagai prioritas pembangunan,

maka peningkatan mutu pendidikan diakselerasi dengan mendesain program-

program inovasi sebagimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Beberapa

program inovasi yang dimaksud, juga ditopang oleh kebijakan alokasi anggaran

yang cukup besar yakni lebih dari 20% dari APBD Kabupaten Gowa.

Terakhir, komitmen dan political will Bupati Gowa dalam mendorong

lahirnya program-program inovatif tidak akan efektif terlaksana jika tanpa

dukungan dan legiltimasi politik dari lembaga DPRD. Karena hal yang terkait

dengan legitimasi politik menjadi jaminan terhadap stabilitas kepemimpinan

dalam menjalankan mandat yang diberikan oleh rakyat (konstituen).

(b) Kapasitas Aparatur Pelaksana Program Inovasi (Teamwork Capacity)

Setelah mengetahui gambaran empiris tentang kapasitas kepemimpinan

inovatif yang dimiliki oleh Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo sebagaimana yang

sudah diuraikan, maka pada bagian ini digambarkan bagaimana ketersediaan

tenaga pelaksana (work-force) berkualitas dalam mendukung pengembangan

inovasi dalam urusan pendidikan. Ketersediaan tenaga kerja yang berkualitas

menjadi penting, karena apalah artinya sebuah kebijakan dan program inovatif

yang digagas oleh seorang kepala daerah (bupati) tanpa ditunjang oleh adanya

tenaga kerja yang berada paling di depan dan mengetahui bagaimana aspek

teknis dan aspek operasional dari program-program tersebut dilapangan. Untuk

itulah pada bagian berikut ini disajikan fakta-fakta yang terkait dengan

tersedianya tenaga kerja yang berkualitas dalam mendukung pelaksanaan

kebijakan dan program inovasi pemerintah daerah Kabupaten Gowa.


282

Sebelum lebih jauh menyajikan deskripsi empiris yang berkaitan dengan

kapasitas tenaga kerja dalam mendukung inovasi, perlu ditegaskan mengenai

apa yang dimaksud dengan frase kualitas tenaga kerja pendukung inovasi pada

pemaparan ini. Pemaparan pada bagian ini, yang hendak diuraikan tiada lain

adalah tersedianya aparatur pemerintah daerah yang memiliki kualitas dan

kompetensi yang memadai berupa keterampilan (skill) dan pengetahuan

(knowledge) untuk mengembangkan praktek-praktek inovasi dalam urusan

pendidikan. Sementara tenaga pelaksana yang dimaksudkan adalah aparatur

pemerintah daerah yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan aparatur non

PNS, baik aparatur yang berada pada posisi jabatan struktural maupun aparatur

yang berstatus sebagai pegawai dengan jabatan fungsional seperti guru-guru

yang mengajar di sekolah. Mereka adalah aparatur pemerintah daerah

Kabupaten Gowa yang diberi tugas dan bekerja pada instansi Dinas Dikpora.

Berdasarkan hasil penelusuran data di lapangan, maka ditemukan

beberapa catatan atas fakta yang berhubungan dengan kapasitas aparatur

pemerintah daerah sebagai pelaksana teknis dari program inovasi dalam urusan

pendidikan di kabupaten Gowa. Kapasitas aparatur atau pelaksana program

inovasi digambarkan berdasarkan jenis program inovasi yang dilaksanakan.

Pertama, pelaksana pengembangan SPAS yang telah dibentuk oleh

Dinas Dikpora terdiri dua jenis yakni pengelola program dan tenaga tutorial atau

pengajar. Pengelola program meliputi pengelola tingkat kabupaten terdiri dari 12

orang. Pengelola tingkat kecamatan berjumlah 54 orang dengan rincian tiga

orang perkecamatan. Sedangkan pengelola program di desa-desa dan

kelurahan berjumlah 308 orang dengan penempatkan dua orang disetiap desa

dan kelurahan. Adapun tugas dari pengelola program SPAS adalah


283

menyediakan fasilitas berupa lokasi dan bangunan, mengawasi proses belajar

mengajar, dan mengevaluasi tenaga pengajar.

Sementara itu yang bertanggung jawab terhadap proses belajar mengajar

adalah mereka yang telah ditunjuk sebagai tenaga tutorial. Tenaga tutorial dari

program SPAS ini berjumlah 462 orang. Mereka tersebar dan ditempatkan di

seluruh desa dan kelurahan. Di setiap desa dan kelurahan ditunjuk tiga orang

tenaga tutorial. Para tenaga tutorial SPAS ini adalah orang yang berasal dari

desa dan kelurahan setempat di mana SPAS itu berada. Jadi berbeda dengan

pengelola progam, karena pengelola program tingkat kabupaten adalah pegawai

yang berasal dari Dinas Dikpora yang berstatus PNS. Pengelola program pada

kecamatan hanya diisi oleh satu PNS dan dua pengelola lainnya berasal dari non

PNS. Dengan melibatkan pihak non PNS dalam pengelolaan dan pengajaran

sebagaimana tersebut di atas bertanda sebagai bukti bahwa unsur masyarakat

dilibatkan dalam pengembangan SPAS tersebut. Sehingga pengembangan

SPAS tidak hanya dimonopoli oleh pihak Dinas Dikpora saja.

Dalam pengembangan SPAS ini tentu tidak hanya sebatas menentukan

siapa pengelola program dan tenaga pengajarnya. Namun yang tak kalah lebih

penting adalah kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh pengelola dan

tenaga tutorial tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Terkait dengan hal ini,

salah seorang informan HjR. dari pengelola SPAS Bontonompo Kecamatan

Sungguminasa, menuturkan kepada peneliti bahwa:

.....pengelola SPAS ketika baru ditunjuk tidak langsung bertugas tetapi


terlebih dahulu harus mengikuti diklat manajemen pengelolaan SPAS
dan metode pembelajarannya. Ini penting dilakukan karena kami
sebagai pengelola belum memahami betul bagaimana sebenarnya
melaksanakan program SPAS ini dilapangan mengingat program SPAS
ini adalah terobosan baru dan tentu berbeda sistemnya dengan sekolah-
sekolah yang formal.....(Wawancara,10 November 2013).
284

Penuturan dari narasumber HjR. salah seorang pengelola memberi

informasi bahwa pada dasarnya diawal program ini diimplementasikan, seluruh

pengelola sudah diwajibkan mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan tentang

manajemen pengelolaan SPAS termasuk juga materi tentang metode

pembelajaran yang diterapkan. Diklat tersebut penting dilakukan karena

mengingat pengembangan SPAS ini adalah terobosan kebijakan dari Bupati,

yang baru pertama kali dilakukan dan tentu saja memiliki perbedaan dengan

satuan pendidikan lain (TK, SD, SMP, dan SMA) yang sudah memiliki standar

formal dan baku. Itulah sebabnya seluruh pengelola program harus mengikuti

diklat agar memiliki kapasitas berupa keterampilan dan pengetahuan yang cukup

dalam mengelola dan mengajar nantinya.

Kedua, berbeda dengan program pengembangan SPAS yang memiliki

pengelola khusus, dalam pelaksanaan program pendidikan gratis Dinas Dikpora

tidak membentuk tim kerja atau pengelola khusus untuk menerapkan program

tersebut. Tetapi implementasi program pendidikan gratis ditangani langsung oleh

institusi Dinas Dikpora menurut unit kerja bidang masing-masing. Namun

demikian, secara operasional program pendidikan gratis ini menjadi kewenangan

dari unit pendidikan atau sekolah masing-masing. Sehubungan dengan

penerapan program pendidikan gratis ini, informan Sekretaris Dinas Dikpora

Bapak SpM. menyebutkan bahwa:

....implementasi program pendidikan gratis terdiri atas tim pengarah dan


tim manajemen. Tim pengarah penyelenggaraan program ini tentu saja
adalah Bupati dan Wakil Bupati serta dibantu oleh Kepala Bappeda.
Selanjutnya tim manajemen terdiri dari tim manajemen kabupaten yakni
Kepala Dinas Dikpora dan tim manajemen pada tingkat sekolah yakni
Kepala dan Wakil Kepala Sekolah, seorang guru/tenaga administrasi
sebagai Bendahara, dan satu orang anggota komite sekolah sebagai
anggota tim....(Wawancara, 2 Oktober 2013).
285

Keterangan yang disebutkan oleh informan Bapak SpM. di atas memberi

informasi bahwa untuk merealisasikan program pendidikan gratis maka telah

dibentuk tim pelaksana oleh Bupati yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim

Manajemen. Tim pengarah adalah Bupati, Wakil Bupati, dan Kepala Bappeda.

Tim pengarah ini memiliki tugas memberikan arahan terhadap tim pelaksana

program di tingkat kabupaten dan sekolah. Sementara itu tim manajemen

program tingkat kabupaten terdiri penanggung jawab yakni Kepala Dinas Dikpora

dan unsur pelaksana terdiri atas ketua, sekretaris, dan bendahara, serta seksi

data dan monitoring. Tim manajemen tingkat sekolah terdiri atas Kepala

Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, guru/tenaga administrasi sebagai bendahara,

dan satu orang anggota Komite Sekolah sebagai anggota.

Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa dalam

implementasi program pendidikan gratis ini, tampaknya beban tanggung jawab

operasional terbesar berada pada tim manajemen di tingkat sekolah. Mengapa

demikian, karena tim manajemen sekolah memiliki tugas cukup banyak meliputi:

(1) memverifikasi kesesuaian jumlah dana yang diterima dengan data siswa

yang tersedia dan jika jumlah dana yang diterima melebihi yang semestinya

maka kelebihan dana itu harus dikembalikan ke tim manajemen kabupaten; (2)

mengelola dana secara terbuka dan bertanggung jawab; (3) mempublikasikan

komponen penggunaan dana melalui pengumuman di sekolah; (4) bertanggung

jawab jika terjadi penyimpangan penggunaaan dana di tingkat sekolah; (5)

melayani dan menangani komplain dari masyarakat; dan (6) membuat laporan

pertanggungjawaban penggunaan dana kepada tim manajemen kabupaten.

Melihat tugas-tugas yang harus diemban oleh tim manajemen program

pendidikan gratis di tingkat sekolah begitu banyak, tentu dalam hal ini yang

dibutuhkan adalah kapasitas dari anggota tim dalam merealisasikan program


286

inovasi tersebut. Untuk itulah, maka salah satu tugas dari tim manajemen

kabupaten adalah melakukan pelatihan dan supervisi terhadap anggota tim di

sekolah-sekolah untuk memastikan bahwa pelaksanaan program pendidikan

gratis sudah sesuai dengan pedoman operasioanalnya. Namun demikian,

faktanya dilapangan pelatihan dan supervisi tidak semuanya berjalan dengan

baik. Terkadang yang diundang untuk mengikuti pelatihan hanyalah Kepala

Sekolah saja, tanpa mengikutkan anggota-anggota tim lain seperti sekretaris,

bendahara, dan anggota komite. Padahal mereka adalah anggota tim

manajemen yang seharusnya memahami betul bagaimana teknis operasional

pendidikan gratis diterapkan di sekolah-sekolah. Malah mereka hanya diberikan

buku yang berisi aturan dan petunjuk teknis pelaksanaan program. Akibatnya

manajemen pelaksanaan program pendidikan gratis di sekolah-sekolah bisa saja

mengalami masalah misalnya tidak transparan, tidak memberi informasi yang

jelas mengenai komponen penggunaan dana, dan mungkin bisa terjadi

kebocoran penggunaan dana.

Ketiga, kapasitas inovasi pengembangan Punggawa D’Emba Education

Program berkaitan dengan kemampuan dan pengetahuan dari guru-guru dalam

menerapkan konsep dan metode baru yang dikembangkan dalam proses

pembelajaran berbasis teknologi cinema edutainment. Pada dasarnya program

inovasi metode pembelajaran ini adalah sesuatu yang benar-benar baru dan

berbeda dengan metode pembelajaran konvensional yang digunakan selama ini.

Tidak hanya aspek konsep dan teknis mengajar tetapi juga dari aspek fasilitas

ruang kelas harus berubah dari situasi sebelumnya. Sehingga dengan demikian,

guru sebagai pelaksana operasional tentu harus segera beradaptasi dengan

inovasi pembelajaran yang menggunakan teknologi multimedia tersebut.


287

Sebagai pelaku operasional dilapangan (pengajar di ruang-kelas),

komponen guru di setiap tingkatan sekolah telah dibekali knowledge dan skill

untuk membangun kapasitas mereka dalam menerapkan program inovasi

pembelajaran yang menggunakan audio visual. Untuk mengantisipasi agar para

pegawai terutama guru-guru, tidak mengalami kekagetan ketika menghadapi

dunia pembelajaran yang baru tersebut, maka proses pengembangan kapasitas

bagi guru-guru ini segera dilakukan, yakni tahun 2009 ketika pertama kali

program Punggawa D’Emba Education dicanangkan oleh pemerintah daerah.

Hingga penelitian ini dilakukan, proses pengembangan kapasitas bagi guru-guru

telah direalisasikan dalam beberapa gelombang. Proses pengembangan

kapasitas dilakukan dalam bentuk Pelatihan Guru dalam Revolusi Metodologi

Pembelajaran ala Cinema Edutainment. Pelatihan ini difasilitasi oleh pihak ketiga

yakni I-Solution sebagai mitra dan konsultan ahli dari program inovasi metode

pembelajaran tersebut.

Gambar 21. Instruktur dan Peserta Pelatihan Punggawa D’Emba Education Program
(PDEP)

Sumber: Dokumentasi Sekretariat Dinas Dikpora Kab. Gowa Tahun 2012.


288

Berdasarkan fakta dilapangan, peneliti mencatat bahwa sejak tahun 2009

hingga 2012, pelatihan yang bertujuan membangun kapasitas para guru dalam

kaitan dengan metode pembelajaran ala cinema edutainment telah diikuti oleh

225 sekolah dari semua tingkatan sekolah. Pada tahun 2009 diikuti oleh 20

sekolah (8 SD, 6 SMP, 6 SMU), tahun 2010 diikuti oleh 25 sekolah (13 SD, 6

SMP, 6 SMU), tahun 2011 diikuti oleh 100 sekolah (71 SD, 23 SMP, 6 SMU),

dan tahun 2012 diikuti oleh 80 sekolah (57 SD, 19 SMP, 4 SMA). Mengenai

materi pelatihan yang diajarkan adalah terkait dengan pengenalan dasar

terhadap konsep pembelajaran berbasis cinema edutainment, variasi konten

cinema edutainment, dan teknik serta strategi penerapannya.

Keempat, kapasitas inovasi pada program pembentukan Satgas

Pendidikan memiliki perbedaan dengan program-program inovasi lainnya. Oleh

karena dalam program inovasi pembentukan Satgas Pendidikan ini lebih pada

perubahan pada aspek kelembagaan, baik dari sisi struktur kelembagaan sendiri

maupun pada sisi fungsi dan tugas yang diembannya. Sebagaimana sudah

digambarkan sebelumnya, bahwa pembentukan Satgas Pendidikan ini pada

prinsipnya adalah usaha refungsionalisasi organisasi SKPD yang bernama

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang salah satu tujuan strategisnya

yakni mengubah persepsi dan stima negatif di mata masyarakat. Persepsi dan

stigma negatif yaitu petugas yang cenderung represif dan kasar serta dianggap

hanya bertugas manakala ada penggusuran dan rasia semata.

Semula anggota Satpol PP memiliki tugas menegakkan perda dan

menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta

perlindungan masyarakat. Kemudian setelah bertransformasi menjadi Satgas

Pendidikan, tugasnya lebih kepada fungsi pelayanan publik di bidang pendidikan

yaitu membantu Dinas Dikpora dalam implementasi kebijakan strategis


289

pemerintah daerah yakni program pendidikan gratis dan wajar 12 tahun.

Refungsionalisasi Satpol PP menjadi Satgas Pendidikan tentu saja harus diikuti

oleh ketersediaan sumber daya aparatur (pamong) yang mampu memahami dan

mengikuti perubahan-perubahan yang telah dilakukan. Sumber daya aparatur

(pamong) yang mengembang fungsi dan tugas baru sebagai anggota Satgas

Pendidikan haruslah memiliki kapasitas yang berbeda dengan anggota Satpol

PP lainnya.

Berdasarkan fakta lapangan, penulis memperoleh data bahwa di tahun

2009 hingga tahun 2011 anggota Satgas Pendidikan masih diisi oleh anggota

Satpol PP. Dengan kata lain bahwa dalam rentang waktu tersebut anggota

Satgas Pendidikan diisi oleh personil lama dan tentu saja masih memiliki cara

berfikir dan pemahaman yang belum berubah terhadap tugas-tugasnya selama

ini. Padahal fungsi dan tugas mereka sudah berubah, dimana membutuhkan

kapasitas personil yang sesuai dengan karakteristik tugas-tugas yang baru

tersebut. Oleh sebab itu, sejak tahun 2012, Satpol PP telah merekrut anggota

baru sejumlah 525 orang yang berstatus sebagai tenaga honorer daerah.

Anggota-anggota baru inilah yang ditempatkan pada Satgas Pendidikan untuk

mendukung kelancaran program pemerintah daerah di bidang pendidikan.

Perekrutan anggota yang baru tersebut dilakukan agar mereka memiliki kualitas

personal yang berbeda dengan anggota (pamong) lama, baik pengetahuan

maupun keterampilan untuk menjalankan fungsi yang baru sebagai pelayan

publik untuk suksesnya program yang berorientasi pada peningkatan akses dan

kualitas pendidikan masyarakat.

Kebijakan perekrutan anggota baru untuk Satgas Pendidikan seperti

disebutkan di atas, juga dibarengi dengan upaya pengembangan kapasitas

melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) teknis dan fungsional. Diklat teknis dan
290

fungsional bagi anggota baru pada dasarnya adalah program yang sudah rutin

dilakukan di kalangan anggota Satpol PP. Namun, orientasi diklat bagi anggota

baru Satgas Pendidikan berbeda dengan orientasi diklat yang rutin dilakukan

oleh Satpol PP. Perbedaan yang dimaksudkan adalah orientasi diklat yang tidak

hanya menyangkut aspek metode diklat itu sendiri tetapi juga aspek materi, yang

lebih diarahkan dan disesuaikan dengan fungsi barunya sebagai pelayan

masyarakat di bidang pendidikan.

(c) Kapasitas Anggaran Pendukung Program Inovasi

Pada bagian sebelumnya telah dideskripsikan bagaimana kapasitas

kepemimpinan inovatif yang dimiliki oleh bupati dan bagaimana kapasitas dari

aparatur pelaksana suatu program dalam mendukung pengembangan inovasi

penyelenggaraan urusan pendidikan. Selanjutnya pada bagian ini yang diuraikan

adalah bagaimana kemampuan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah daerah

kabupaten Gowa untuk menopang kebijakan dan program inovatif yang sedang

dikembangkan. Deskripsi terhadap kapasitas anggaran ini diulas berdasarkan

fakta dan data empiris yang diramu dari berbagai sumber di lapangan

Pengertian dari kapasitas anggaran pendukung inovasi dalam bahasan

ini adalah pernyataan yang terkait dengan penentuan jumlah alokasi dana untuk

tiap-tiap program inovasi. Penentuan jumlah alokasi dana untuk mendukung

program inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan telah melalui mekanisme

yang lazim berlangsung dalam pemerintahan daerah. Mekanisme penentuan

besaran alokasi dana pada tiap program kerja pemerintah tersebut umumnya

melalui mekanisme politik. Mekanisme politik anggaran pada tingkat kabupaten

dilakukan bersama antara pemerintah daerah (bupati) dan DPRD. Mekanisme

politik ini harus dilalui untuk memperoleh pengesahan (legitimasi politik) dari

DPRD sebagai lembaga representasi dari masyarakat. Besaran alokasi dana


291

untuk program kerja pemerintah daerah biasanya tertuang dan merupakan

bagian dari kebijakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) suatu

daerah. Demikian halnya dengan penentuan besaran alokasi dana untuk

mendukung program inovasi urusan pendidikan yang sedang berlangsung tentu

telah melalui proses politik dan telah dinyatakan dalam APBD kabupaten Gowa.

Terkait dengan kemampuan anggaran untuk mendukung kebijakan dan

program inovatif bidang pendidikan ini, peneliti memperoleh keterangan dari

informan, Bapak SpM. Sekretaris Dinas Dikpora, bahwa:

.....Kami, pemerintah daerah percaya dan meyakini bahwa kemampuan


anggaran yakni tersedianya alokasi dana yang cukup merupakan salah
satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan program pemerintah,
termasuk program-program inovasi bidang pendidikan yang memang
sudah menjadi program strategis dan unggulan daerah kami selama ini.
Jadi, pemerintah daerah (bupati...peneliti) sangat komit untuk selalu
menggelontorkan dana yang besar untuk merealisasikan kebijakan dan
program tersebut. Setiap tahun pemerintah daerah mengajukan alokasi
anggaran yang lebih besar dari 20% APBD. Bahkan setiap tahun alokasi
anggaran untuk urusan pendidikan itu ditingkatkan demi mencapai target-
target yang sudah ditetapkan dalam rencana kerja pemerintah
daerah....(Wawancara, 2 Oktober 2013)

Keterangan dari informan di atas memberikan informasi yang cukup

menarik bahwa pemerintah daerah secara lugas menyadari dan meyakini bahwa

suatu kebijakan dan program inovasi pemerintah daerah harus didukung oleh

tersedianya anggaran yang cukup. Artinya bahwa faktor kemampuan anggaran

yang dimiliki menjadi salah satu variabel yang dianggap menentukan sukses

tidaknya dari kebijakan dan program inovatif yang dicanangkan. Atas dasar

pemahaman yang dimiliki oleh pemerintah daerah kabupaten Gowa seperti

tersirat dari keterangan informan di atas, bahwa kemampuan anggaran menjadi

salah satu pendorong utama suksesnya program inovasi, maka setiap tahun

alokasi dana untuk program inovasi urusan pendidikan selalu ditingkatkan, tidak

hanya menyangkut besaran tetapi juga cakupan alokasi dana tersebut.


292

Pandangan yang sama terhadap pernyataan bahwa kapasitas anggaran

menjadi salah satu faktor kunci dalam memicu keberhasilan program inovasi

bidang pendidikan di kabupaten Gowa juga datang dari salah seorang informan,

yakni Bapak RmS. Wakil Ketua DPRD tersebut menuturkan kepada peneliti

bahwa:

.....pandangan saya selaku anggota DPRD yang memiliki fungsi


budgeting, bahwa kebijakan dan program-program inovasi bidang
pendidikan yang menjadi unggulan dan prioritas pemerintah daerah
harus dibarengi dengan ketersediaan anggaran yang memadai. Jadi
tidak cukup hanya sebatas komitmen bupati dan jajarannya
(Dikpora....peneliti), tetapi harus juga ada uang untuk menggerakkan
semua komponen yang dibutuhkan untuk implementasi program
tersebut. Misalnya untuk pengembangan SPAS dan Punggawa D’Emba
Education Program butuh uang yang memadai untuk menyediakan
fasilitas seperti bangunan ruang kelas yang representatif, tidak hanya itu
tetapi SDM pelaksana program pun harus ditingkatkan kapasitasnya.
Semua ini membutuhkan uang. Apalagi program pendidikan gratis yang
memang menyangkut anggaran untuk membiayai proses belajar
mengajar di sekolah-sekolah, sangat tergantung pada ketersediaan
anggaran. Jadi kami DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah selalu memperhatikan hal-hal tersebut tentu saja tanpa
mengabaikan program lainnya..... (Wawancara, 3 Oktober 2013).

Pandangan yang disampaikan oleh informan Bapak RmS, yang berstatus

sebagai pejabat politik daerah tentang kapasitas anggaran sebagai faktor kunci

implementasi kebijakan dan program inovasi, memberi makna dalam dua hal,

pertama agar kebijakan dan program inovasi di bidang pendidikan di kabupaten

Gowa dapat terlaksana dengan baik, maka harus mendapat alokasi dana yang

memadai. Alokasi dana yang memadai artinya tersedianya dana yang mampu

menutupi seluruh komponen pembiayaan dalam implementasi program inovasi

tersebut. Misalnya alokasi dana untuk pengembangan Punggawa D’Emba

Education Program membutuhkan dana untuk pengadaan fasilitas teknologi

audio visual karena program ini berbasis cinema edutainment. Tidak hanya biaya

pengadaan fasilitas teknologi audio visual tetapi juga membutuhkan biaya


293

peningkatan kapasitas pelaksana program yakni guru-guru sekolah diberi

pelatihan tentang sistem dan metode pembelajaran revolusioner tersebut.

Demikian pula program pendidikan gratis yang dicanangkan sebagai

supporting of policy terhadap program pendidikan gratis oleh provinsi Sulsel dan

program wajib belajar 12 tahun yang dibiayai oleh dana BOS pemerintah pusat.

Program inovasi pendidikan gratis ini tanpa alokasi dana yang cukup maka tidak

akan berhasil, karena program inovasi ini berkaitan dengan persoalan

pembiayaan pendidikan yang seringkali tidak terjangkau oleh golongan

masyarakat ekonomi lemah. Masyarakat yang termasuk dalam golongan

ekonomi lemah adalah mereka yang mengalami pendapatan keluarga yang

rendah, sehingga mereka kehilangan akses yang cukup dan kesempatan untuk

menikmati pelayanan pendidikan. Artinya bahwa program pendidikan gratis yang

berbasis anggaran ini merupakan salah satu solusi alternatif utama untuk

mengatasi masalah kurangnya akses dan rendahnya kualitas pendidikan

masyarakat kabupaten Gowa selama ini.

Kedua, makna yang lain dari pandangan informan tersebut adalah

pentingnya kapasitas anggaran daerah dalam menopang keberhasilan kebijakan

dan program inovasi pemerintah daerah secara tersirat telah diakui oleh lembaga

DPRD meskipun hal itu hanya dinyatakan oleh seorang informan yang

berkedudukan sebagai Wakil Ketua DPRD. Oleh karena itu lembaga DPRD yang

memiliki fungsi budgeting telah memberi garansi untuk terus mendukung secara

politik terhadap alokasi dana yang diperuntukkan bagi implementasi kebijakan

dan program inovasi di bidang pendidikan tersebut. Dukungan politik dari institusi

DPRD diwujudkan dalam bentuk pengesahan dan penetapan APBD di setiap

tahun anggaran.
294

Selain data berupa keterangan dari kedua informan di atas, sebagaimana

telah dideskripsikan, peneliti juga menemukan beberapa fakta tentang kapasitas

anggaran dalam mendukung program inovasi bidang pendidikan. Fakta-fakta

yang dimaksud adalah tentang besaran alokasi dana untuk program inovasi

pengembangan Punggawa D’Emba Education Program dan program pendidikan

gratis serta program-program lainnya. Misalnya pada tahun 2011 alokasi

anggaran untuk pendidikan gratis ditetapkan dan tertuang dalam APBD sebesar

Rp 16.929.780.900. Selanjutnya penyelenggaraan Punggawa D’Emba Education

Program dialokasikan anggaran sebanyak Rp 8.000.000.000. Kemudian

anggaran untuk program pendidikan menengah sebesar Rp 2.171.259.912.dan

termasuk juga untuk program peningkatan mutu dan tenaga kependidikan

sebesar Rp 7.830.216.250. Ada pula alokasi anggaran untuk pengembangan

SPAS sebagai bagian dari Program Pendidikan Non Formal berjumlah Rp 3.

828.146.400. Terakhir adalah alokasi anggaran untuk Program PAUD sebesar

Rp 4.032.050.000.

Hal yang penting pula selain besaran alokasi anggaran yang ditemukan

di atas adalah berhubungan dengan sumber anggaran yang mengisi kapasitas

anggaran daerah untuk membiayai pelaksanaan kebijakan dan program inovasi

bidang pendidikan. Berdasarkan fakta empiris ditemukan bahwa sumber-sumber

pembiayaan untuk pelaksanaan kebijakan dan program inovasi hanya berasal

dari satu sumber saja yakni pemerintah daerah melalui APBD. Sementara itu,

peneliti tidak mendapatkan data atau informasi tentang adanya sumber-sumber

pembiayaan dari pihak lain seperti pihak swasta. Kecuali bantuan-bantuan yang

sifatnya nonfinansial ada yang berasal dari pihak swasta setempat seperti

material bangunan sekolah dan peralatan teknologi untuk laboratorium sekolah

berupa komputer dan fasilitas internet. Pihak swasta atau perusahaan-


295

perusahaan yang beraktivitas dan beroperasi di daerah ini biasanya memberikan

bantuan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang mereka

miliki.

Fakta tentang sumber anggaran dalam temuan ini mengindikasikan

bahwa kapasitas anggaran untuk membiayai pelaksanaan program-program

inovasi bidang pendidikan sangat tergantung pada kondisi keuangan daerah

setempat. Ketergantungan pembiayaan program inovasi ini yang begitu tinggi

terhadap keuangan daerah, memunculkan kekhawatiran akan mengganggu

(mengurangi) porsi alokasi dana pada program-program non bidang pendidikan.

Misalnya program bidang kesehatan, bidang infrastruktur dan bidang

pengembangan ekonomi lokal yang juga tidak kalah pentingnya untuk

mendapatkan alokasi dana yang memadai. Mengingat program-program tersebut

juga menjadi program prioritas pembangunan daerah selama ini.

(d) Kapasitas Jaringan untuk Program Inovasi

Pada bagian ini deskripsi empirik berkaitan dengan kemampuan

pemerintah daerah dalam membangun kapasitas jaringan dengan berbagai

institusi atau stakeholder’s untuk kepentingan pengembangan kebijakan dan

program inovasi bidang pendidikan. Kapasitas jaringan yang dimaksud dalam

konteks penelitian ini meliputi kapasitas jaringan internal pemerintahan dan

kapasitas jaringan eksternal pemerintahan. Kapasitas jaringan internal

pemerintahan adalah kemampuan membangun jaringan antar organisasi dalam

pemerintahan itu sendiri. Misalnya jaringan kerjasama antara pemerintah daerah

dengan DPRD dan jaringan kerjasama antara pemerintah daerah kabupaten dan

pemerintah daerah provinsi. Termasuk juga jaringan yang terbangun antar SKPD

dalam organisasi pemerintah daerah.


296

Sementara itu, kapasitas jaringan eksternal pemerintahan adalah

kemampuan membangun jaringan kerjasama antara pemerintah daerah dengan

institusi-institusi di luar lingkup pemerintahan. Misalnya jaringan kerjasama

antara institusi pemerintah daerah dengan institusi swasta (private sector) dan

insitusi sosial kemasyarakatan yang terdapat di daerah dan peduli terhadap

kemajuan pendidikan. Terutama mereka yang memiliki keinginan berpartisipasi

dalam pengembangan program-program inovasi yang digalakkan oleh

pemerintah daerah. Misalnya institusi perbankan, organisasi profesi pendidikan

(PGRI), perguruan tinggi, Muhammadyah, NU, LSM dan lain sebagainya.

Termasuk juga dewan pendidikan dan komite-komite sekolah yang sudah

terbentuk dan aktif selama ini merupakan jenis jaringan yang bersifat eksternal

dalam konteks pelaksanan program inovasi bidang pendidikan.

Terkait dengan kapasitas jaringan dalam rangka implementasi kebijakan

dan program inovasi bidang pendidikan, peneliti menemukan beberapa fakta

empiris yang dapat dideskripsikan dalam dua bagian yakni deskripsi yang

berkaitan dengan kapasitas jaringan internal pemerintahan dan fakta yang

menunjukkan adanya kapasitas jaringan eksternal pemerintahan. Deskripsi yang

menggambarkan adanya fakta tentang kapasitas jaringan internal pemerintahan,

yang bisa disimak dari beberapa hasil wawancara dengan informan antara lain

wawancara dengan Sekretaris Dinas Dikpora, Bapak SpM sebagai informan,

beliau menuturkan kepada peneliti bahwa:

....kami berpendapat bahwa hubungan yang harmonis dengan lembaga


politik DPRD menjadi faktor yang sangat menunjang kelancaran dari
pelaksanaan kebijakan dan program-program inovasi pemerintah
daerah. Di mana dalam hal ini Bupati Gowa sangat proaktif
berkonsultasi dengan pimpinan DPRD, kami juga selaku SKPD yang
menjadi leading sector dari program-program pemerintah yang
berkaitan dengan pendidikan juga menjalin koordinasi dan kerjasama
yang efektif dengan komisi yang membidangi urusan pendidikan.
297

Terutama yang selalu kami konsultasikan adalah menyangkut kebijakan


alokasi anggaran..... (Wawancara, 2 Oktober 2013).

Keterangan yang disampaikan oleh informan dari pihak pemerintah

daerah (Dinas Dikpora) di atas sejalan dengan informasi yang disampaikan oleh

Wakil Ketua DPRD Bapak RmS, informan ini juga menyampaikan pendapatnya

kepada peneliti bahwa:

.....pihak kami di DPRD pasti selalu menjalin hubungan yang efektif


dengan pihak pemerintah daerah, terutama jika itu menyangkut
kebijakan dan program yang kami anggap sebagai kebutuhan dasar
masyarakat seperti keijakan tentang pelayanan pendidikan yang
menjadi primadona daerah ini. Karena kami juga selalu menerima
aspirasi terkait dengan pelayanan pendidikan yang merata dinikmati
oleh seluruh lapisan masyarakat.... (Wawancara, 3 Oktober 2013).

Menyimak keterangan dari kedua informan di atas, memberikan

gambaran bahwa pada dasarnya terdapat pemahaman yang seirama antara

pemerintah daerah dan lembaga DPRD tentang pentingnya kerjasama dan

hubungan koordinasi yang efektif sehingga terbangun jaringan yang erat dalam

mengembangan kebijakan dan program inovasi bidang pendidikan. Selain itu,

nampak juga pengertian yang sama antara kedua institusi pemerintahan daerah

tersebut bahwa kebijakan dan program inovasi bidang pendidikan adalah

kategori kebijakan dan program yang bersifat prioritas dan unggulan atau

menjadi “primadona” dalam pembangunan daerah sebagaimana istilah yang

dilontarkan oleh informan Wakil Ketua DPRD kabupaten Gowa.

Selain jaringan internal pemerintahan antara pemerintah daerah dan

DPRD sebagaimana telah dideskripsikan di atas, juga sudah terbangun bentuk

jaringan kerjasama antar SKPD yakni Dinas Dikpora dan Satpol Pamong Praja.

Perwujudan dari jaringan kerjasama antar kedua SKPD tersebut adalah

pembentukan Satgas Pendidikan. Pembentukan satgas ini selain dimaksudkan

untuk mengawal implementasi perda dan peraturan bupati yang berhubungan


298

dengan kebijakan dan program inovasi pendidikan, satgas juga ditujukan untuk

membantu kelancaran dan ketertiban proses belajar di setiap sekolah. Hingga

penelitian dilakukan nampak jaringan kerjasama SKPD dalam bentuk Satgas

Pendidikan terbukti cukup efektif dalam mendorong meningkatnya aksesibilitas

dan kualitas proses belajar mengajar terutama pada tingkatan sekolah.

Jika deskripsi di atas berkaitan dengan kapasitas jaringan internal

pemerintahan daerah yang dinilai sangat harmonis yakni antara pemerintah

daerah dan lembaga DPRD kabupaten Gowa, maka penting pula disajikan

bagaimana jaringan yang terbangun antara pemerintah kabupaten Gowa dengan

pemerintahan daerah yang lebih tinggi yakni pemerintah provinsi Sulawesi

Selatan. Hal ini penting diungkapkan mengingat hubungan antara pemerintah

kabupaten Gowa dengan pemerintah provinsi Sulawesi Selatan memiliki ciri

yang berbeda dengan pemerintah kabupaten lainnya. Ciri perbedaan yang

dimaksud terletak pada adanya garis politik dan latar belakang politik yang

sangat kuat antara Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo dan Gubernur Sulawesi

Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Kedua pemimpin daerah tersebut memiliki garis

politik dan latar belakang politik yang sama yakni keduanya pejabat teras Partai

Golkar. Syahrul Yasin Limpo adalah seorang Ketua DPD Partai Golkar dan

Ichsan Yasin Limpo adalah Bendahara DPD Partai Golkar Sulawesi Selatan.

Kemudian secara geopolitik, sejak lama kabupaten Gowa sudah menjadi salah

satu daerah lumbung suara Partai Golkar. Selain hubungan yang kuat karena

latar belakang politik yang sama, yang tak kalah penting untuk dicermati adalah

kedua pemimpin daerah tersebut memiliki hubungan primordialisme yakni

hubungan saudara adik kakak.

Mencermati kedua fakta di atas yaitu adanya keterkaitan yang sangat

kental secara garis politik dan hubungan primordial antara pemimpin daerah
299

tersebut tentu menjadi variabel yang dapat mendukung efektivitas sebuah

jaringan pemerintahan daerah. Fakta ini dibenarkan oleh informan Wakil Ketua

DPRD Gowa yakni Bapak RmS, yang menuturkan bahwa:

......kedekatan primordial dan adanya kesamaan latar politik antara Bupati


Gowa dengan Gubernur Sulawesi Selatan, menjadi keuntungan tersendiri
bagi daerah ini (Gowa...peneliti) dan tentu fakta ini akan sangat efektif dan
mempermudah pelaksanaan kebijakan dan program daerah, terutama
kebijakan dan program yang memang sudah menjadi komitmen bersama
pemerintah provinsi dan kabupaten seperti program pendidikan gratis. Fakta
inilah yang membedakan Gowa dengan daerah kabupaten lainnya, tidak
hanya keterkaitan formal tetapi juga informal antara pemimpin pemerintahan
kabupaten dengan provinsi...... (Wawancara, 3 Oktober 2013)

Selain jaringan yang terbangun karena adanya relasi politik dan relasi

primordial di antara kedua pemimpin daerah tersebut, juga terdapat komitmen

bersama melalui kebijakan program pendidikan gratis yang dipelopori oleh

Gubernur Sulawesi Selatan yang sudah berlangsung sejak 2008 yang lalu.

Komiten bersama ini secara tegas terlihat pada sisi kebijakan anggaran melalui

model sharing anggaran dalam pelaksanaan program pendidikan gratis.

Komitmen ini didasarkan pada Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan No. 11

Tahun 2008 tentang pelaksanaan pendidikan gratis dan Peraturan Daerah

Provinsi Sulawesi Selatan No. 4 Tahun 2009. Kedua kebijakan politik atau

peraturan tersebut salah satu isinya menegaskan bahwa pembiayaan program

pendidikan gratis dilakukan dalam bentuk sharing anggaran. Dimana komposisi

sharing anggaran tersebut, sebesar 40% dibebankan kepada APBD provinsi dan

60% menjadi beban APBD kabupaten/kota. Model komitmen sharing anggaran

ini sudah disepakati melalui penandatanganan MoU antara Gubernur dengan 23

Bupati/Walikota dalam lingkup provinsi Sulawesi Selatan.

Jaringan eksternal pemerintah daerah adalah jaringan antara pihak

tertentu dalam organisasi pemerintah daerah dengan stakeholder’s eksternal dari

pihak ketiga. Stakeholders eksternal dari pihak ketiga yang dimaksud dalam
300

konteks penelitian meliputi institusi Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, PGRI,

Perguruan Tinggi, LSM lokal pemerhati pendidikan, dan perusahaan swasta

(bisnis) yang beroperasi di daerah tersebut.

Secara normatif, eksistensi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah

sudah diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam PP ini secara tegas disebutkan bahwa

keberadaan kedua lembaga tersebut, tidak hanya sebatas hadir sebagai

representasi aspirasi masyarakat secara formal saja. Tetapi memiliki fungsi

untuk turut serta aktif dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dengan

memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana prasarana,

serta pengawasan. Oleh sebab itulah, mereka memiliki tugas untuk

menghimpun, menganalisis dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah

daerah. Misalnya terkait dengan adanya keluhan, kritik, saran dan aspirasi

masyarakat terhadap pelayanan pendidikan.

Melihat posisi dewan pendidikan dan komite sekolah yang demikian

penting, menjadikan kedua lembaga ini menjadi mitra yang strategis bagi pihak

pemerintah daerah dan sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Kedua

lembaga tersebut dianggap mitra strategis karena merupakan lembaga

representasi masyarakat untuk menyuarakan kepentingan dan kebutuhan

masyarakat, baik kebijakan dan program yang diambil oleh pemerintah daerah

maupun implementasi terhadap kebijakan dan program pembelajaran yang

dikelola sekolah-sekolah. Demikian pula dalam konteks ini, dapat memberikan

pertimbangan dan masukan pada pembuatan peraturan-peraturan yang sedang

dirumuskan oleh lembaga eksekutif (pemda) dan legislatif (DPRD).

Dalam konteks kebijakan dan program inovasi penyelenggaraan

pendidikan yang sudah berlangsung, nampaknya eksistensi Dewan Pendidikan


301

dan Komite Sekolah cukup diperhitungkan oleh pihak pemerintah daerah, DPRD,

dan pihak sekolah. Berdasarkan fakta yang dijumpai oleh peneliti dilapangan,

memberikan gambaran bahwa keterlibatan Dewan Pendidikan sudah dilibatkan

sejak pada tahap rancangan kebijakan sedang dilakukan. Pada tahapan ini, baik

secara pribadi maupun lembaga, pemerintah daerah (Dispora) dan DPRD secara

terbuka meminta masukan dari masyarakat melalui Dewan Pendidikan. Demikian

halnya, setelah kebijakan dan program inovasi pendidikan diimplementasikan,

maka Dewan Pendidikan memiliki hak untuk mengawasi penggunaan anggaran

dan seluruh proses implementasi sampai ke tingkat sekolah.

Sementara itu, Komite Sekolah keterlibatannya berbeda dengan Dewan

Pendidikan. Komite Sekolah hanya terlibat penuh pada tingkatan sekolah.

Dimana, ketika kebijakan dan program inovasi pelayanan pendidikan sudah

sampai pada tingkatan operasional. Pada tingkatan sekolah, Komite Sekolah

dilibatkan dalam menyusun rencana program kerja sekalah, termasuk

bagaimana pelaksanaan program inovasi seperti SPAS, Pendidikan Gratis,

Punggawa D’Emba, dan Satgas Pendidikan. Misalnya dalam program

pendidikan gratis yang dimana telah diatur adanya larangan-larangan terkait

dengan komponen biaya pembelajaran tertentu. Dalam hal ini, Komite Sekolah

berfungsi mengontrol pelaksanaannya. Dalam pengertian bahwa komite sekolah

tidak hanya terlibat dalam pelaksanaan tetapi juga mengawasi jalannya program-

program tersebut agar tidak keluar dari rencana dan ketentuan yang sudah ada.

Jaringan kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan

organisasi profesi seperti PGRI sifatnya kurang lebih sama dengan yang diterjadi

pada hubungan dengan Dewan Pendidikan. Organisasi PGRI sebagai tempat

berhimpunnya pegawai yang berprofesi sebagai guru, juga dilibatkan dan diberi

hak untuk memberi masukan terhadap perumusan dan pelaksanaan kebijakan


302

dan program inovasi pelayanan pendidikan. Biasanya pelibatan PGRI diwakili

oleh unsur ketua dalam mengikuti pertemuan guna membahas proses

pelaksanaan program-program agar dapat berlangsung efektif dan tepat

sasaran. Apalagi komponen guru dalam dunia pendidikan terutama di sekolah-

sekolah adalah aktor utama dan mereka yang paling memahami bagaimana

proses pendidikan terutama belajar-mengajar itu berlangsung.

Perguruan tinggi adalah salah satu stakeholder pendidikan yang secara

empirik selama ini sudah diajak dan diundang oleh pihak pemerintah daerah dan

DPRD dalam merumuskan kebijakan dan progran inovasi pendidikan di

kabupaten Gowa. Pihak perguruan tinggi yang sudah terlibat diantaranya adalah

UNHAS dan UNM Makasaar dan bahkan juga melibatkan perguruan tinggi dari

luar seperti UM Malang. Mereka ini dilibatkan dalam rangka memberikan

kontribusi konseptual menyangkut kebijakan dan program yang strategis dan

inovatif dalam penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana yang sedang

dikembangkan oleh pemerintah daerah. Selain secara organisasi universitas

tersebut dilibatkan, tetapi juga secara individual, beberapa akademisi ditunjuk

sebagai anggota atau staf ahli bidang pengembangan sumberdaya manusia oleh

pemerintah daerah.

Salah satu wujud dari kesadaran pemerintah daerah tentang pentingnya

jaringan dengan kelompok akademisi dan perguruan tinggi adalah pemerintah

daerah kabupaten Gowa telah membentuk kelompok pakar pendidikan yang

disebut Dewan Pakar Pendidikan. Dewan Pakar Pendidikan ini ditunjuk

berdasarkan Peraturan Bupati Gowa No. 173/I/2012 tentang Susunan Dewan

Pakar Pendidikan Kabupaten Gowa. Mereka yang berasal dari UNHAS, UNM,

dan UM Malang. Salah satu diantara anggota Dewan Pakar Pendidikan tersebut

adalah Dr. Salam, M.Pd, akademisi yang berasal dari UNM. Fungsi dan fungsi
303

yang diamanatkan kepada dewan pakar pendidikan ini meliputi: (1) membantu

merencanakan dan menyusun kebijakan dan program inovatif di bidang

pendidikan; (2) melakukan bimbingan (supervisi) terhadap pelaksanaan

kebijakan dan program inovatif di bidang pendidikan; (3) melakukan evaluasi

terhadap seluruh proses implementasi kebijakan dan program inovasi yang telah

direncanakan; dan selanjutnya hasil dari seluruh pelaksanaan tugas dan fungsi

dewan pakar pendidikan ini dikkordinasikan dan dilaporkan kepada Bupati.

Selanjutnya kapasitas jaringan pemerintah daerah dengan pihak

pengusaha dan rekanan pihak ketiga (swasta). Jaringan pemerintah daerah

dengan pihak pengusaha dan rekanan pihak swasta pada dasarnya sudah

berlangsung lama. Tidak hanya ketika pengembangan program inovasi

pendidikan ini berlangsung, tetapi jauh sebelumnya, pengusaha dan rekanan

dari pihak ketiga ini sudah terbentuk jaringan kemitraan dengan pihak SKPD

terkait dalam lingkup pemerintah kabupaten Gowa untuk pelaksanaan proyek-

proyek tertentu. Meskipun demikian sifat dan jenis jaringan kemitraan pada

kenyataannya bisa berbeda-beda. Hal ini tergantung pada jenis pekerjaan itu

sendiri dan sifat proyek pemerintah daerah yang hendak dilaksanakan.

Di antara empat jenis kebijakan dan program inovasi bidang pendidikan

sebagaimana sudah dideskripkan sebelumnya, keterlibatan secara langsung dari

pihak ketiga atau rekanan swasta yang nampak sangat menonjol adalah pada

program inovasi pengembangan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP).

Pihak ketiga atau rekanan swasta yang menjadi mitra pada program inovasi ini

tidak hadir begitu saja, tetapi melalui proses tender sebagaimana biasanya

dalam pengadaan barang/jasa. Setelah melalui proses tender tersebut maka

terpilihlah pihak rekanan swasta yang menjadi mitra kerjasama pada


304

pengembangan PDEP ini yakni I-Solution. Rekanan I-Solution ini adalah sebuah

perusahaan swasta yang juga telah lama menjadi mitra usaha dari PT. Telkom.

Perusahaan rekanan I-Solution tersebut selain memiliki kompetensi dan

profesional dalam pengadaan barang/jasa yang berhubungan dengan teknologi

informasi dan komunikasi, juga memiliki kompentensi dalam pengembangan

metode pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi yakni audio

visual atau cinema education. Disamping itu I-Solution juga menjadi konsultan

pada kegiatan yang berhubungan dengan metode pembelajaran berbasi

teknologi informasi.

Selanjutnya, akan dideskripsikan bagaimana kapasitas jaringan inovasi

antara pemerintah daerah dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal,

terutama LSM-LSM lokal yang fokus dan konsen terhadap kebijakan dan

pelayanan pendidikan di kabupaten Gowa. Kelompok LSM lokal yang selama ini

bermitra dengan pemerintah daerah antara lain: The Gowa Center, Yayasan

Baruga Cipta, Wakil, dan Yayasan Kesejahteraan Gowata. LSM-LSM lokal ini

bekerja dan menjadi mitra lokal dari Program Australian Community

Development and Civil Sociaty Strengthening Sceme (ACCESS). Dimana salah

satu daerah sasaran dari program ACCESS tersebut adalah kabupaten Gowa.

Jika melihat eksistensi jaringan pemerintah daerah dengan kelompok

LSM lokal tersebut nampaknya keterlibatan kelompok LSM lokal dalam

mendorong pelaksanaan kebijakan dan program inovasi pelayanan pendidikan

tidak begitu menonjol. Berdasarkan observasi peneliti dilapangan, kelompok

LSM lokal tidak secara khusus diajak bermitra oleh pemerintah daerah (Dispora).

Mereka tidak terlibat secara teknis operasional dalam proses pelaksanaan

program-program inovasi yang dimaksud. Namun demikian, secara umum

kelompok LSM lokal sudah sejak lama yakni tepatnya di awal periode pertama
305

kepemimpin Bupati Ichsan Yasin Limpo, kelompok LSM yang berkantor di

daerah Gowa tersebut ditunjuk sebagai mitra pemerintah daerah dan DPRD.

Fungsi kelompok LSM tersebut adalah untuk ikut melakukan fungsi monitoring

dan kontrol terhadap jalannnya pemerintahan dan realisasi program-program

pembangunan daerah. Mereka dilibatkan untuk memastikan apakah realisasi

program kerja pemerintah daerah dan penggunaan anggaran berjalan

sebagaimana yang sudah ditetapkan melalui peraturan daerah tentang APBD

kabupaten Gowa.

Simpulan utama dari deskripsi kapasitas jaringan inovasi pemerintah

daerah yang diungkapkan di atas meliputi: pertama bahwa pemerintah daerah

dalam mengimplementasikan kebijakan dan progam inovasi urusan pendidikan

telah berusaha membangun jaringan dengan berbagai stakeholder, baik dengan

stakeholder’s internal pemerintahan daerah seperti DPRD, antar SKPD, dan

pemerintahan yang lebih tinggi (provinsi), maupun membangun kemitraan

dengan stakeholder’s eksternal pemerintahan daerah seperti Dewan Pendidikan,

Komite Sekolah, Perguruan Tinggi (UNHAS, UNM, dan UM Malang), PGRI,

rekanan pihak swasta (I-Solution), dan LSM-LSM lokal.

Kedua, kapasitas jaringan dalam pelaksanaan inovasi bidang pendidikan

memiliki beberapa variasi yang berbeda-beda. Jaringan yang terbangun secara

internal pemerintahan daerah nampaknya memiliki sifat yang lebih kuat karena

jaringan itu berfungsi sejak pada tahap perencanaan sampai pada proses

implementasi dari sebuah kebijakan dan program inovasi. Berbeda dengan

jaringan inovasi dengan pihak stakeholder’s eksternal, kebanyakan dari pihak

stakeholder’s tersebut hanya dilibatkan disaat proses implementasi dan

pengawasan berlangsung.
306

Simpulan yang terakhir, adalah bahwa nampaknya membangun jaringan

dalam memperkuat kapasitas berinovasi dalam pelaksanaan pelayanan

pendidikan belum terwujud secara efektif. Terutama fakta ini dapat dilihat pada

jaringan dengan stakeholder’s eksternal pemerintahan, dimana hasil penelitian

menunjukkan keterlibatan mereka dalam penyelenggaraan urusan pendidikan

masih sangat terbatas. Selanjutnya pada bagian berikut ini akan diuraikan

bagaimana kapasitas regulasi daerah dalam mendukung budaya inovasi dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan.

(e) Kapasitas Regulasi Pendukung Budaya Inovasi

Pada bagian ini, diuraikan gambaran tentang kapasitas regulasi daerah

yang telah ditersedia dan dilaksanakan di kapubaten Gowa untuk mendukung

pelaksanaan kebijakan dan program inovasi bidang pendidikan. Kapasitas

regulasi yang dimaksud berkaitan dengan jenis regulasi seperti regulasi yang

mengatur tentang bagaimana sistem berbagi pengetahuan, regulasi tentang

sistem penghargaan (reward dan punishment), dan juga bagaimana dengan

sistem evaluasi yang dilakukan terhadap para penyelenggara atau pegawai

pemerintah daerah yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan program

inovasi yang dimaksud.

Berdasarkan hasil penelusuran dokumensi pemerintah daerah

dilapangan, peneliti menemukan bahwa jenis regulasi yang bersifat mengatur

bagaimana program-program inovasi bidang pendidikan dilaksanakan hanya

terdapat 3 (tiga) jenis yakni: (1) Perda Kabupaten Gowa No. 4 Tahun 2008

tentang Pendidikan Gratis; (2) Perda Kabupaten Gowa No. 10 tentang Wajib

Belajar; dan (3) Peraturan Bupati Gowa No. 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan

Perda Pendidikan Gratis. Sementara jenis regulasi yang bersifat mengurus

hanya ada 2 (dua) jenis yakni: (1) Keputusan Bupati Gowa No. 288/VIII/2011
307

tentang Penetapan Sekolah Penerima Progam Punggawa D’Emba Education;

dan (2) Keputusan Bupati Gowa No. 173/I/2012 tentang Susunan Dewan Pakar

Pendidikan. Kelima jenis regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah baik

yang sifatnya mengatur maupun yang mengurus nampaknya belum menyentuh

secara spesifik aspek teknis operasional bagaimana program-program inovasi itu

terlaksana dilapangan.

Pada temuan peneliti tersebut diatas terdapat 2 (dua) regulasi yang

bersifat pengurusan yakni Keputusan Bupati tentang pelaksanaan program

Punggawa D’Emba Education dan pembentukan Dewan Pakar Pendidikan.

Kedua jenis regulasi tersebut menunjukkan sekaligus mempertegas bahwa

pemerintah daerah telah melibatkan pihak eksternal khususnya perguruan tinggi

untuk mendukung program-program inovasi pendidikan di Gowa. Pada disisi lain,

nampaknya tidak ditemukan adanya regulasi yang secara khusus mengatur

sistem bagaimana berbagi atau penyebaran pengetahuan dan keterampilan

(dissemination system of the knowledge and skill) bagi sesama pegawai dalam

penyelenggaraan program tertentu. Serta belum ada pula aturan khusus tentang

sistem pemberian penghargaan (reward) bagi aparatur pelaksana yang memiliki

prestasi dalam penyelenggaraan program inovasi tersebut. Demikian halnya

dalam sistem evaluasi, peneliti juga tidak menemukan adanya aturan khusus

tentang bagaimana sistem evaluasi terhadap personil pelaksana program-

program inovasi bidang pendidikan.

Keterbatasan regulasi baik yang berfungsi untuk mengatur (perda dan

perbup) maupun regulasi yang berfungsi mengurus pelaksanaan program-

program inovasi bidang pendidikan ini diakui oleh beberapa informan yang

peneliti temui. Misalnya penyataan dari informan Sekretaris Dispora, Bapak SpM,

yang menyampaikan bahwa:


308

…..karena pada umumnya pegawai-pegawai yang terlibat secara


langsung terhadap teknis dan operasionalisasi dari program inovasi
bidang pendidikan, misalnya program Punggawa D’Emba Education
sudah diberikan diklat khusus, maka secara khusus tentang bagaimana
membagi pengetahuan dan keterampilan antar pegawai dalam unit
kegiatan tertentu itu memang belum ada aturan khususnya. Tetapi hanya
berlangsung biasa saja tanpa pedoman tertentu. Misalnya bagi pegawai
yang lebih senior dan berpengalaman, yang telah ikut diklat biasanya
memberitahu dan memberi contoh pada pegawai lainnya. Mengenai
sistem penghargaan terhadap pegawai yang berkinerja baik, kita tentu
memberi penghargaan secara rutin setiap tahunnya tapi hal ini tidak
diatur secara khusus jika reward itu hanya untuk pegawai yang memiliki
kemampuan berinovasi….(Wawancara, 2 Oktober 2013)

Jika menyimak penuturan dari informan Bapak SpM, terkait dengan

kapasitas regulasi dalam mendorong pelaksanaan program-program inovasi

bidang pendidikan, nampaknya sejalan dengan apa yang ditemukan peneliti

pada saat observasi lapangan dan menelusuri dokumen regulasi pemerintah

daerah.

Dengan adanya temuan dari hasil observasi, penelusuran dokumen

regulasi dan keterangan yang disampaikan oleh salah seorang informan

sebagaimana telah didekripsikan diatas, maka peneliti dapat menyimpulkan

bahwa: pertama, regulasi yang bersifat pengaturan hanya terdapat 3 (tiga) jenis

yakni perda tentang pendidikan gratis, perda tentang wajib belajar dan perbup

tentang pelaksanaan perda pendidikan gratis, sementara regulasi yang berisifat

pengurusan hanya terdapat 2 (dua) jenis yakni keputusan bupati tentang

penerapan program Punggawa D’Emba Education dan keputusan bupati tentang

pembentukan dewan pakar pendidikan yang melibatkan unsur akademisi dari

beberapa perguruan tinggi terdekat.

Kedua, belum adanya regulasi yang menjadi pedoman secara teknis

operasional tentang bagaimana berlangsungnya pelaksanaan program-program

inovasi. Sehingga fakta ini menunjukkan belum adanya format standar

operasional yang lebih rinci terhadap pelaksanaan program.


309

Simpulan yang ketiga, bahwa membangun tradisi berbagi pengetahuan

dan keterampilan di antara pegawai belum juga kelihatan secara konkrit.

Demikian halnya, tradisi pemberian penghargaan terhadap pejabat dan pegawai

yang berprestasi, bentuk apresiasinya belum juga diatus secara baku. Tetapi

pejabat dan pegawai yang berkinerja tinggi tetap dijadikan pertimbangan sebagai

syarat untuk kenaikan pangkat dan untuk promosi pada jabatan-jabatan tertentu

bagi pegawai yang bersangkutan.

Deskripsi hasil penelitian tentang kapasitas regulasi yang mendukung

budaya inovasi ini menjadi bagian akhir dari penyajian secara empirik penelitian

tentang penyelenggaraan inovasi pemerintahan bidang (urusan) pendidikan.

Selanjutnya pada bagian berikut ini disajikan gambaran sederhana dalam bentuk

model empirik (existing model) dari keseluruhan proses inovasi pemerintahan

daerah dalam penyelenggaraan urusan (bidang) pendidikan di Kabupaten Gowa.

5.1.4 Model Empirik (Existing Model) Inovasi Pemerintahan Daerah dalam


Urusan Pendidikan

Proses Pengembangan inovasi pemerintahan daerah Kabupaten Gowa

dalam penyelenggaraan urusan pendidikan tentu memiliki model empirik

tersendiri. Berdasarkan fakta dari hasil penelitian sebagaimana telah

dideskripsikan di atas, menunjukkan bahwa pengembangan inovasi dalam

urusan pendidikan tidak terlepas dari konteks kebijakan desentralisasi yang telah

berlangsung kurang lebih satu dekade. Dalam hal inilah peneliti berusaha

membangun sebuah model yang dimaksudkan sebagai gambaran sederhana

atas fakta dari pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan yang telah berlangsung selama ini.


310

Pada dasarnya terdapat tiga masalah mendasar dunia pendidikan di

Kabupaten Gowa, yakni (1) aspek aksesibilitas yakni terjadinya ketimpangan

akses pendidikan bagi masyarakat daerah pinggiran (pegunungan) dibanding

dengan daerah perkotaan; (2) aspek pembiayaan yakni terciptanya pola

pungutan pendidikan; dan (3) aspek kualitas yakni keterbatasan tenaga pendidik

yang kompeten. Masalah-masalah inilah yang menjadi gejala utama penyebab

rendahnya IPM Kabupaten Gowa. Masalah utama lainnya adalah tingginya

angka buta aksara dan angka putus sekolah. Fenomena yang disebutkan

tersebut sudah eksis sekitar 10 tahun yang lalu dan menjadi pemicu utama

sehingga pemerintah daerah ketika itu mengambil langkah-langkah terobosan

untuk mengatasinya.

Model empirik (existing model) yang dikonstruksi pada bagian ini tentu

saja mengacu pada masalah penelitian dan fokus penelitian yang telah

dikembangkan sebelumnya, yakni meliputi (1) bagaimana proses pengembangan

inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan; (2) bagaimana jenis-

jenis program inovasi yang telah dikembangkan dalam urusan pendidikan; dan

(3) bagaimana kapasitas pemerintahan daerah dalam mengembangan kebijakan

dan program inovasi dalam urusan pendidikan. Untuk itu, berikut ini akan

digambarkan model inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan

urusan pendidikan berdasarkan pada fakta lapangan hasil penelitian (das sein).

Fokus pertama yang berhubungan dengan proses pengembangan inovasi

pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan. Berdasarkan deskripsi tentang

bagaimana proses pengembangan inovasi dalam urusan pendidikan atau

pelayanan pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah Kabupaten

Gowa, maka dapat dilihat dalam dua tahapan proses yaitu proses politik dan

proses manajerial. Pertama yakni proses politik, yang secara normatif dalam
311

penyelenggaraan pemerintahan daerah disebut juga sebagai mekanisme

menjalankan fungsi pembentukan peraturan daerah (Perda) atau dalam konteks

penyelenggaraan desentralisasi disebut kewenangan fungsi mengatur. Di mana

kewenangan fungsi mengatur ini dalam prakteknya melekat pada institusi Kepala

Daerah dan DPRD yang dipilih melalui mekanisme pemilihan (election). Terkait

dengan hal ini, berdasarkan hasil penelitian lapangan, nampaknya mekanisme

proses politik dalam pengembangan kebijakan dan program inovasi urusan

pendidikan belum sepenuhnya berlangsung secara demokratis, transparan, dan

melibatkan banyak stakeholders pendidikan pada tingkat lokal. Mekanisme

proses politik dalam pembentukan peraturan daerah (fungsi mengatur) masih

berlangsung seperti biasanya. Proses pembahasan mengenai pengaturan

tentang pengembangan inovasi pendidikan yang kemudian dituangkan dalam

rencana program kerja daerah masih didominasi oleh pihak pemerintah daerah

dalam hal ini pihak Dispora sebagai leading sector dan pihak komisi bidang

pendidikan dalam lembaga DPRD. Atas dasar kenyataan tersebut maka dapat

disimpulkan bahwa, meskipun proses pembahasan yang dilakukan terkait

dengan program-program inovasi dalam urusan pendidikan (SPAS, Pendidikan

Gratis, PDEP dan Satgas Pendidikan), namun prakteknya pembentukan dasar

hukum pengaturannya belum sepenuhnya inovatif.

Tahapan kedua dalam proses pengembangan inovasi urusan pendidikan

oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa adalah pengembangan yang

disebut proses manajerial. Dalam proses manajerial ini Bupati sebagai Kepala

Pemerintahan dalam menjalankan fungsi mengurus yang berhubungan urusan

pendidikan dibantu oleh instrumen perangkat daerah yakni Dinas Pendidikan dan

Pemuda Olah Raga (Dispora) dan UPTD terkait (Satuan Pendidikan). Dalam

konteks ini, posisi Dispora dibawah kendali seorang Kepala Dinas dapat
312

melaksanakan fungsi-fungsi manajerial dan fungsi-fungsi operasional terhadap

seluruh program dan kegiatan (proyek) dalam urusan pendidikan. Sebagaimana

fakta yang tergambar dari penyajian hasil penelitian sebelumnya, bahwa fungsi-

fungsi manajerial dan operasional yang diperankan oleh Dispora khusunya

Bidang yang berkaitan dengan urusan pendidikan tampak di dalam pelaksanaan

program SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP, dan Satgas Pendidikan. Dalam proses

manajerial pengembangan program inovasi urusan pendidikan ini, nampaknya

belum juga sepenuhnya memiliki nilai inovasi yang kuat (lemah). Hal ini nampak

dari proses implementasi kebijakan dan program dilapangan yang masih lebih

mengandalkan sumberdaya aparatur internal pemerintah daerah sendiri.

Pada fokus penelitian kedua yang berkaitan dengan bagaimana

pengembangan jenis-jenis program inovasi dalam urusan pendidikan yang

dikembangkan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa. Di bawah

kepemimpinan Bupati Ichsan Yasin Limpo yang tampil sebagai inisiator utama

mencanangkan program pengembangan Sanggar Pendidikan Anak Saleh

(SPAS) dan program Pendidikan Gratis. Pengembangan program SPAS ini

dimaksudkan untuk mengurangi tingginya angka jumlah buta aksara ketika itu.

Sedangkan program Pendidikan Gratis adalah bentuk pembebasan biaya

sekolah bagi murid sekolah tingkatan SD (sederajat) sampai tingkatan SMA

(sederajat) yang bertujuan untuk menjamin agar semua anak yang sudah masuk

kategori anak usia sekolah memiliki akses yang sama terhadap dunia

pendidikan.

Selain kebijakan dalam bentuk pengembangan SPAS dan Program

Pendidikan Gratis tersebut, pemerintah daerah juga mengembangkan program

yang disebut Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) dan kebijakan

pembentukan Satuan Polisi (Satgas) Pendidikan. Kedua kebijakan ini


313

dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas output lulusan melalui peningkatan

kualitas proses pembelajaran dan meningkatkan kedisiplinan para murid/siswa

dan guru-guru disetiap sekolah.

Langkah terobosan yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah

Kabupaten Gowa melalui kebijakan dan program inovasi bidang pendidikan,

yang meliputi: (1) Pengembangan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS); (2)

Program Pendidikan Gratis; (3) Program Punggawa D’Emba Education Program

(PDEP); dan (4) Pembentukan Satgas pendidikan, yang menjadikan pemerintah

daerah mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Apresiasi yang diterima oleh

pemerintah daerah ini tidak hanya berasal dari pihak pemerintah (pusat) saja

tetapi juga berasal dari pihak non pemerintah. Apresiasi dari pihak pemerintah

(pusat) berupa penghargaan, yakni (1) Aksara Anugrah Pratama Tahun 2005; (2)

Aksara Anugrah Madyah Tahun 2006; (3) Aksara Anugrah Pratama Tahun 2007;

dan (4) Satya Lencana Pendidikan Tahun 2007.

Sementara apresiasi yang bersumber dari pihak non pemerintah adalah

pemberian Otonomi Award dari lembaga yang bernama The Fajar Institute Pro

Otonomi (FIPO). Lembaga FIPO ini adalah lembaga independen yang didirikan

oleh perusahaan penerbit media lokal yang bernama Harian Fajar pada tanggal

16 Juni 2008 di Makassar. Lembaga ini fokus dan berkomitmen pada kemajuan

otonomi daerah, sehingga secara intensif melakukan monitoring dan evaluasi

terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karena itu FIPO mengambil inisiatif

dan peranan untuk mendorong pemerintah kabupaten dan kota untuk berinovasi

dalam ranah (1) pelayanan publik; (2) pengembangan ekonomi; (3) performa

politik lokal, dan (4) lingkungan hidup. Keempat ranah pilar inilah yang dijadikan

sebagai indikator parameter untuk menilai kemajuan pelaksanaan otonomi

daerah di Sulawesi Selatan. Hingga saat ini, setiap tahun kepada daerah otonom
314

kabupaten dan kota yang memiliki kinerja terbaik pada setiap indikator parameter

tersebut telah diberikan apresiasi tertinggi bernama Otonomi Award.

Pemerintah daerah Kabupaten Gowa secara berturut-turut pada tahun

2009 dan 2010 berhasil mendapatkan prestasi tertinggi dari FIPO dalam ranah

pelayanan publik bidang pendidikan. FIPO memberikan penghargaan Otonomi

Award kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa dalam kategori Grand

Award Pelayanan Publik bidang pendidikan. Penghargaan ini dinilai layak

diberikan karena berdasarkan kajian FIPO melalui penilaian terhadap tingkat

inovasi program, survei publik terhadap program, dan existing data terkait

program, maka Kabupaten Gowa memperoleh nilai tertinggi di antara derah-

daerah yang masuk nominasi. Dengan demikian daerah ini dianggap berhasil

dalam meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pelayanan dengan berbagai

kebijakan dan program inovatif yang telah dilakukan dalam bidang pendidikan.

Setelah digambarkan secara singkat bagaimana predikat inovasi itu

didapatkan oleh Kabupaten Gowa. Selanjutnya penulis menguraikan bagaimana

pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan

pendidikan tersebut berlangsung. Uraian singkat ini tentu saja berkaitan dengan

kewenangan yang dimiliki oleh daerah dalam konteks penerapan desentralisasi

di Indonesia. Di mana dalam sistem pemerintahan daerah yang menganut model

desentralisasi diakui selalu ada ruang kreativitas bagi daerah untuk berinovasi.

Termasuk berinovasi dalam mengatur dan mengurus urusan pendidikan menurut

preferensi dan kebutuhan masyarakat lokal (local needs).

Seperti yang disebutkan diawal, bahwasanya ide dan gagasan kebijakan

dan program inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan pada mulanya

diinisiasi oleh Bupati Ichsan Yasin Limpo. Bupati sebagai kepala daerah dan

kepala kepemerintahan tentu di dalam setiap langkahnya dan proses


315

pengambilan keputusan-keputusan strategis harus melalui mekanisme politik.

Mekanisme politik ini terkait dengan keberadaan institusi perwakilan rakyat

daerah yakni DPRD. Bupati sebagai Kepala Daerah dan DPRD adalah organ

penyelanggara pemerintahan daerah, sebagaimana secara normatif di atur

dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Mekanisme politik ini

jamak dilakukan oleh setiap daerah, termasuk yang dilaksanakan oleh Bupati

dan DPRD Gowa dalam rangka pembahasan rencana program kerja tahunan

pemerintah daerah, khusunya terkait dengan pengalokasian anggaran masing-

masing program.

Terkait dengan hal di atas, Bupati sebagai Kepala Pemerintahan dalam

menjalankan fungsi mengurus yang berhubungan urusan pendidikan dibantu

oleh instrumen perangkat daerah yakni Dinas Pendidikan dan Pemuda Olah

Raga (Dispora) dan UPTD terkait (Satuan Pendidikan). Dalam konteks ini, posisi

Dispora dibawah kendali seorang Kepala Dinas dapat melaksanakan fungsi-

fungsi manajerial dan fungsi-fungsi operasional terhadap seluruh program dan

kegiatan (proyek) dalam urusan pendidikan. Sebagaimana fakta yang tergambar

dari penyajian hasil penelitian sebelumnya, bahwa fungsi-fungsi manajerial dan

operasional yang diperankan oleh Dispora khusunya Bidang yang berkaitan

dengan urusan pendidikan tampak di dalam pelaksanaan program SPAS,

Pendidikan Gratis, PDEP, dan Satgas Pendidikan.

Fakta-fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa kesuksesan dan

kegagalan implementasi program inovasi urusan pendidikan sangat ditentukan

pula oleh fungsi-fungsi yang berhubungan dengan teknis operasional yang

diemban oleh sekolah sebagai unit terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan.

Sekolah tidak hanya berpredikat sebagai obyek (sasaran program) tetapi juga

sebagai subyek (pelaku) dari pelaksanaan program inovasi urusan pendidikan


316

yang dimaksud. Sekolah dengan seluruh sumber daya di dalamnya merupakan

bagian yang sangat penting dalam mencapai maksud dan tujuan kebijakan dan

program inovasi yang telah direncanakan.

Fokus penelitian yang ketiga yakni berkaitan dengan kemampuan

pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dalam mengembangkan program inovasi

dalam urusan pendidikan. Berdasarkan fakta dan temuan penelitian, penulis

berhasil merangkum beberapa kapasitas yang dimiliki pemerintahan daerah

Kabupaten Gowa dalam rangka mengembangkan kebijakan dan program inovasi

dalam urusan pendidikan. Kapasitas pemerintahan daerah yang dimaksud

antara lain, yakni (1) kapasitas kepemimpinan inovatif; (2) kapasitas aparatur

pelaksana program inovatid; (3) kapasitas ketercukupan anggaran untuk

program inovasi; (4) kapasitas jaringan (networking) pemerintahan daerah dalam

mendukung program inovasi; dan (5) kapasitas yang berkaitan dengan

tersedianya regulasi, baik yang bersifat mengatur maupun yang bersifat

mengurus pengembangan program inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan

di Kabupaten Gowa.

Berdasarkan fakta dan data penelitian, menunjukkan bahwa kapasitas

kepemimpinan Kepala Daerah dalam konteks ini Bupati Ichsan Yasin Limpo

sebagai pemimpin politik tertinggi di daerah dan kapasitas anggaran yang

bersumber dari APBD dan APBN sangat menonjol dan memiliki posisi strategis

jika dibandingkan dengan jenis kapasitas yang lainnya. Kedua kapasitas

tersebut, baik keberadaan Bupati Gowa maupun besarnya anggaran yang

digelontorkan pada setiap tahunnya sangat menentukan keberhasilan dan

kegagalan implementasi program-program inovasi dalam urusan pendidikan di

Kabupaten Gowa. Kondisi ini tentu saja menjadi catatan tersendiri dari temuan
317

hasil penelitan ini, terutama yang berhubungan dengan kapasitas inovasi

pemerintahan daerah.

Secara empirik, masih ditemukan pula beberapa faktor penghambat

pengembangan program inovasi penyelenggaraan ursan pendidikan. Beberapa

yang faktor yang paling menonjol adalah terkait faktor ketersediaan tim kerja

aparatur pemda yang belum berkualitas dan profesional dalam mengurus

program inovasi. Tim kerja nampaknya belum memiliki keterampilan dan

pengetahuan yang memadai untuk melaksanakan program inovasi secara

maksimal. Padahal mereka pada dasarnya sudah mengikuti diklat aparatur

secara regular dan juga sudah ada pelatihan khusus untuk pengembangan

program Punggawa D’Emba Education, namun hal ini dinilai belum cukup.

Selain itu, ketersediaan regulasi juga masih dinilai masih belum optimal.

Regulasi masih sangat terbatas, yang ada hanya mengatur kebijakan dan

program kerja bidang pendidikan seperti wajib belajar dan pendidikan gratis

secara umum. Belum ada regulasi yang secara khusus mengatur tentang

pengembangan program inovasi dalam urusan pendidikan. Padahal ini sangat

diperlukan demi menjamin keberlanjutan program inovasi.

Dalam rangka mempermudah memahami bagaimana pengembangan

inovasi pemerintahan dalam penyelenggaran urusan pendidikan di Kabupaten

Gowa, maka berikut ini ditampilkan Gambar 22 tentang kerangka kerja dari

model empirik (existing model) pengembangan inovasi pemerintahan daerah

dalam urusan pendidikan.


318

LATAR BELAKANG:
Fonomena Utama: URUSAN WAJIB PENDIDIKAN
 Aksesibiitas Masih Lemah UU No. 32/2004 & UU No. 23/2014
 Biaya Pendidikan Tinggi
 Kualitas Pembelajaran Masih
Rendah
Akibatnya:
 ABA tinggi yakni: 2005 (22%), 2010
(18,09%,) & 2013 (16,39)
 Indeks pendidikan rendah yakni: INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH
2010 (69,79) & 2013 ( 71,78) DALAM URUSAN PENDIDIKAN DI
 IPM rendah yakni: 2005 (67,42/16), KABUPATEN GOWA
2010 (70,67/15) & 2013 (72,12/15)

TIPOLOGI PROGRAM INOVASI


 Terdapat 4 program inovasi yakni Sanggar
Pendidikan Anak Saleh/SPAS (2006),
Pendidikan Gratis (2008), Punggawa D’Emba
Education (2009), Satgas Pendidikan (2009).
 Level program inovasi bersifat inkremental atau
komplementer terhadap program pemerintahan
Provinsi/Pusat.
 Semua program inovasi hasil studi banding
pemda dan diadopsi dengan strategi reflikasi
(tiruan) terhadap program yang mirip di daerah
lain dengan tetap memperhatikan karakterisitik
kebutuhan konteks lokal
 Program inovasi urusan pendidikan sudah
berdam-pak nyata bagi meningkatnya akses
masyarakat terhadap pelayanan pendidikan
(sekolah) & kualitas pembelajaran makin baik
pula dan buktinya ABA semakin berkurang,
indeks pendidikan & IPM Gowa meningkat

PROSES PENGEMBANGAN KAPASITAS INOVASI


PROGRAM INOVASI FAKTOR PENGHAMBAT PEMERINTAHAN DAERAH
 Proses pengembangan program inovasi PROGRAM INOVASI  Ada tiga unsur kapasitas inovasi
urusan pendidkan melalui 2 tahap mendukung pengembangan
menurut kewenangan daerah yakni
Kapasitas aparatur
program inovasi:
proses politik (mengatur) & proses pelaksana belum optimal, Kapasitas Kepemimpinan Bupati
manajerial (mengurus) meski ada Diklat regular & sangat dominan (komitmen
 Proses politik (mengatur) yakni kompetensi aparatur politik) sebagai adaptor/inisiator
pembentukan Perda Program Inovasi khusus program inovasi innovasi
oleh Bupati Gowa yg lbh banyak diwakili Kapasitas regulasi yang Program inovasi memiliki
oleh SKPD Dinas Pendidikan bersama mengatur secara ketergantungan tinggi terhadap
DPRD, kurang melibatkan stakeholders operasional & teknis belum kapasitas anggaran (APBD dan
pendidikan secara maksimal (Dewan APBN)
tersedia meski telah ada
Pendidikan, Organisasi Lokal, LSM, PT) Kapasitas jaringan internal
 Proses manajerial (mengurus) yakni regulasi bersifat umum
Pemda dan DPRD, Pemda
implementasi Perda Program Inovasi (Perda Pendidikan Gratis
Gowa & Provinsi Sulsel sangat
termasuk operasionalisasi dilaksanakan & Wajib Belajar) kuat mendukung program
sepenuhnya oleh SKPD Pendidikan, inovasi urusan pendidikan.
UPTD, & Sekolah.

PENGEMBANGAN PROGRAM INOVASI


PEMERINTAHAN DAERAH BELUM EFEKTIF, EFISIEN & PROFESIONAL

Gambar 22: Model Empirik (Existing Model) Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan
319

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian

Pembahasan pada bagian ini tentu dilakukan dengan tetap konsisten dan

mengacu pada pertanyaan dan fokus penelitian sebagaimana telah dirumuskan

pada Bab I dan IV, yakni: (1) proses pengembangan program inovasi

pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendididkan; (2) tipologi

program inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan; (3) kapasitas

inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan; dan yang terakhir (4)

yakni membangun model ideal tentang inovasi pemerintahan daerah yang

selanjutnya dijadikan sebagai model rekomendasi (recommended model) dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan di Kabupaten Gowa.

Selain analisis pembahasan hasil penelitian yang mengarah pada fokus

penelitian sebelumnya, pada bagian ini juga dibangun proposisi penelitian, baik

proposisi minor maupun mayor. Proposisi-proposisi yang terumuskan tersebut

dikonstruksi dari hasil analisis yang mengawinkan antara teori dan konsep

inovasi pemerintahan daerah dengan hasil kajian empiris penelitian.

5.2.1 Proses Pengembangan Program Inovasi Penyelenggaraan Urusan


Pendidikan

Secara teoritis dipahami secara umum bahwa dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah, Kepala Daerah dan DPRD sebagai pejabat politik yang

dipilih secara demokratis melalui proses election. Dalam kedudukannya sebagai

pejabat politik memiliki kekuasaan melaksanakan fungsi pengaturan (policy

formulation), yaitu menetapkan inovasi peraturan daerah (Perda) dan perundang-

undangan lainnya sesuai dengan keinginan dan tuntutan kebutuhan masyarakat.

Selanjutnya Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah (local bureaucracy)

sebagai pejabat yang diangkat, memiliki kewenangan melaksanakan inovasi


320

fungsi pengurusan (policy implementation) penyelenggaraan pemerintahan

secara profesional dengan mengacu pada perundang-undangan yang telah

ditetapkan sebelumnya (Supriyono, 2011).

Selanjutnya kebijakan inovatif yang telah ditetapkan diimplementasikan

oleh Perangkat Daerah (local bureaucracy) dibawah kendali Kepala Daerah dan

Sekretaris Daerah. Dalam hal ini diperlukan kinerja berbagai institusi Perangkat

Daerah yang inovatif dalam mengelola urusan pemerintahan, pembangunan, dan

layanan publik. Birokrasi yang inovatif ditandai dengan adanya kreativitas,

ketrampilan, dan kompetensi profesional untuk melakukan perubahan dalam

mengelola urusan pemerintahan yang membawa manfaat sebesar-besarnya

untuk kepentingan masyarakat. Implementasi kebijakan yang inovatif dalam hal

ini dapat diwujudkan jika mengedepankan nilai-nilai kreativitas, efektivitas, dan

efisiensi atau nilai-nilai manajerial. Efisiensi yang dimaksud termasuk dalam hal

pengelolaan dana dan pemberian insentif.

Sekaitan dengan proses inovasi kebijakan ini, Mulgan & Albury (2003)

berpandangan bahwa: pertama “Policy innovation is new policy direction and

initiatives”. Bermakna bahwa inovasi kebijakan yang dimaksud yakni adanya

inisiatif dan arah kebijakan baru. Hal Ini berarti bahwa setiap kebijakan (publik)

yang dikeluarkan pada prinsipnya harus memuat sesuatu yang baru. Kedua,

Walker (1969) seperti dikutip oleh Suwarno (2008) berpandangan bahwa “Policy

innovation is a policy which is new to the states adopting it, no matter how old the

program may be or how many other states may have adopted it”. Bermakna

bahwa inovasi kebijakan adalah sebuah kebijakan yang baru bagi negara yang

mengadopsinya, tanpa melihat seberapa usang programnya atau seberapa

banyak negara lain yang telah mengadopsi sebelumnya.


321

Ketiga, “Innovations in the policy-making process”, yakni inovasi dalam

proses pembuatan kebijakan fokusnya pada inovasi yang mempengaruhi proses

pembuatan atau perumusan kebijakan yang mensyaratkan adanya partisipasi

warga. Oleh karena itu inovasi yang muncul adalah bagaimana

mengintegrasikan mekanisme partisipasi warga dalam proses perumusan

kebijakan. Terakhir, masih menurut Mulgan & Albury (2003) mengaskan bahwa

“Policy to foster innovation and its diffusion” yang bermakna bahwa suatu

kebijakan dibuat dalam rangka mendorong inovasi dan menyebarkannya ke

sektor-sektor dan daerah lain.

Proses inovasi penyelenggaraan pemerintahan menurut Roberts (1999)

menyatakan proses inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu Negara

(daerah), selalu mendapat pengaruh dari tiga arena institusi yang berbeda, yakni

(1) innovation by legislative design, bermakna inovasi yang dikembangkan oleh

suatu pemerintahan merupakan bagian dari hasil dari proses legislasi yang

dirumuskan secara bersama antara Pemerintah Daerah dan DPRD dengan

memegang prinsip demokratis; (2) innovation by yudicial design, bermakan

bahwa program inovasi yang dilaksakana tentu tidak terlepas dari kontrol aturan-

aturan hukum yang diciptakan oleh lembaga hukum (lembaga pengadilan); dan

(3) innovation by management design, bermakna bahwa inovasi diterapkan

berdasarkan dengan fungsi-fungsi dan prinsip-prinsip manajemen yang telah

dibuat dengan tujuan inovasi belangsung secara efektif, efisien dan ekonomis.

Dengan kata lain, bahwa pada tingkatan operasional, secara teknis suatu

kebijakan dan program yang inovatif juga sangat ditentukan oleh kemampuan

institusi Perangkat Daerah dalam implementasinya.

Menerapkan inovasi di sektor publik tidak dapat sukses begitu saja.

Inovasi di sektor publik membutuhkan beberapa persyaratan yang harus


322

mendukung. Watson (1999) menawarkan tiga kondisi persyaratan utama yang

semestinya tersedia jika ingin inovasi di sektor publik berlangsung sukses. Ketiga

persyaratan tersebut, meliputi: (1) budaya organisasi (organizational culture)

yang mendukung dan mendorong lahirnya inovasi; (2) dukungan politik (political

support), para administrator membutuhkan dukungan pejabat politik; dan (3)

kompetensi administrasi (administrative competence), inovasi yang sukses harus

dilakukan melalui kecakapan administratif dalam suatu organisasi.

Selain ketiga persyaratan utama tersebut, Watson (1999) juga

menyatakan bahwa lahirnya suatu inovasi dalam pemerintahan biasanya melalui

tiga skenario. Skenario pertama, yakni munculnya tindakan inovatif karena

adanya respon atau tanggapan terhadap krisis yang terjadi dalam organisasi.

Kedua, menghadirkan manajer-manajer publik yang luar biasa dan memiliki

dukungan politik yang kuat di dalam organisasi. Skenario ketiga, suatu inovasi

lahir hanya dari organisasi yang menyadari dan menangkap adanya peluang

untuk melakukannya.

Nah, terkait dengan konteks penelitian ini, pada dasarnya pengembangan

inovasi dalam penyelenggaraan urusan pendidikan di Kabupaten Gowa sudah

dimulai sejak tahun 2005 (10 tahun) yang lalu. Ketika itu, berdasarkan hasil

penelitian menunjukkan adanya tiga aspek masalah yang menjadi motivasi dan

latar belakang munculnya ide atau gagasan pengembangan inovasi

penyelenggaraan urusan pendidikan. Ketiga masalah mendasar yang terjadi

dalam dunia pendidikan di Kabupaten Gowa, yakni: (1) aspek aksesibilitas yakni

terjadinya ketimpangan akses pendidikan bagi masyarakat daerah pinggiran

(pegunungan) jika dibandingkan dengan daerah perkotaan; (2) aspek

pembiayaan yakni terciptanya pola pungutan pendidikan; dan (3) aspek kualitas

yakni keterbatasan sarana dan tenaga pendidik yang kompeten. Ketiga masalah
323

tersebutlah yang diyakini oleh pemerintah daerah ketika itu yang menjadi

penyebab utama dari fakta berikut, yakni (1) rendahnya Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) Kabupaten Gowa; (2) makin tingginya angka buta aksara; dan (3)

makin meningkatnya angka putus sekolah.

Berdasarkan pada fenomena dan masalah yang terjadi ketika itu,

sebagaimana diuraikan di atas, maka di bawah kepemimpinan Bupati Ichsan

Yasin Limpo untuk periode 2005-2010 tampil sebagai inisiator utama untuk

mencanangkan program inovatif yakni pengembangan Sanggar Pendidikan Anak

Saleh (SPAS) dan program Pendidikan Gratis. Pengembangan program SPAS

ini dimaksudkan untuk mengurangi tingginya angka jumlah buta aksara ketika itu.

Sedangkan program Pendidikan Gratis adalah bentuk pembebasan biaya

sekolah bagi murid sekolah tingkatan SD (sederajat) sampai tingkatan SMA

(sederajat) yang bertujuan untuk menjamin agar semua anak yang sudah masuk

kategori anak usia sekolah memiliki akses yang sama terhadap dunia

pendidikan.

Selain kebijakan dalam bentuk pengembangan SPAS dan Program

Pendidikan Gratis tersebut, pemerintah daerah juga mengembangkan program

yang disebut Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) dan kebijakan

pembentukan Satuan Polisi (Satgas) Pendidikan. Kedua kebijakan ini

dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas output lulusan melalui peningkatan

kualitas proses pembelajaran dan meningkatkan kedisiplinan para murid/siswa

dan guru-guru disetiap sekolah.

Dengan demikian berdasarkan temuan penelitian, terdapat empat

kebijakan dan program inovasi yang dikembangkan oleh pemerintahan daerah

Kabupaten Gowa, yakni (1) Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS); (2)

Program Pendidikan Gratis; (3) Punggawa D’Emba Education Program (PDEP);


324

dan (4) Satuan Polisi (Satpol) atau Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan. Keempat

kebijakan dan program inovasi dalam penyelenggaraan urusan pendidikan inilah

yang menghantarkan Kabupaten Gowa sebagai daerah otonom mendapat

penilaian sebagai daerah yang telah melakukan berbagai terobosan dalam

memberikan pelayanan publik kepada warganya. Penilaian ini dilakukan oleh

lembaga yang bernama The Fajar Institute Pro Otonomi (FIPO). Pada tahun

2010, FIPO memberikan penghargaan Fajar Institute Pro Otonomi Award kepada

Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa dalam kategori Grand Award Pelayanan

Publik. Penghargaan ini dianggap layak diberikan kepada pemerintah daerah

Kabupaten Gowa karena berdasarkan penilaian FIPO, dibanding kabupaten-

kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan, daerah ini lebih berhasil dalam

meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pelayanan dengan berbagai kebijakan

dan program inovatif yang telah dilakukan dalam bidang pendidikan.

Kondisi empiris yang melatari lahirnya gagasan untuk melakukan

terobosan inovasi dalam urusan pendidikan di Kabupaten Gowa, nampaknya

sejalan apa yang dikembangkan oleh FIPO setelah melakukan monitoring dan

evaluasi terhadap implementasi kebijakan otonomi daerah di Provinsi Sulawesi

Selatan. FIPO menyimpulkan bahwa terhadap daerah otonom kabupaten/kota,

terutama daerah otonom yang mengembangkan inovasi program pembangunan

daerah terdapat beberapa kondisi dan tantangan yang memicu suatu

pemerintahan daerah melakukan inovasi (Kadir, 2009:19). Beberapa kondisi dan

tantangan yang bisa melahirkan inovasi pada tingkat pemerintahan daerah

tersebut, antara lain:

(1) Inovasi lahir dari inisiatif pemerintah daerah sendiri atas potensi wilayah

yang dimiliki dan tersedianya kekuatan social capital di daerah

bersangkutan.
325

(2) Inovasi berawal dari permasalahan daerah seperti tingginya angka

kemiskinan, lemahnya akses modal bagi usaha kecil, bencana alam,

mahalnya biaya pendidikan, biaya kesehatan, malbirokrasi, dan lain-lain.

(3) Inovasi didorong oleh implementasi kebijakan dan program pemerintah yang

lebih tinggi, baik kebijakan dan program pemerintah provinsi maupun

pemerintah pusat.

Tentu saja, pengembangan keempat kebijakan dan program inovasi

dalam urusan pendidikan yang mengantar Kabupaten Gowa sebagai daerah

penerima Grand Award dalam bidang pelayanan publik tidak lahir dan tidak

datang begitu saja. Gagasan dari kebijakan dan program inovasi itu muncul tidak

terlepas dari adanya fenomena dan problem yang terjadi dalam dunia pendidikan

di Kabupaten Gowa sebagaimana telah diuraikan pada bagian awal sebagai

pemicu utama. Tetapi juga sangat dipengaruhi oleh adanya kecenderungan

perubahan dalam sistem pemerintahan daerah yakni penerapan model

desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah sebagai bagian dari reformasi

politik pemerintahan.

Di era otonomi daerah, menurut Wahab (2002:43) daerah otonom

(provinsi, kabupaten/kota) memiliki kewenangan yang semakin luas dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Suatu daerah otonom harus berani dan

berkemampuan untuk tampil beda (the capacity to create difference) dengan

daerah lain. Otonomi daerah menyediakan ruang ”manuver politik” bagi daerah

dalam mengekspresikan kebijakan otonominya. Dalam prespektif administrasi

publik, ruang yang sangat luas untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengelola

pemerintahan daerah disebut diskresi (discretion).

Sejak era reformasi, paling tidak sudah terdapat tiga undang-undang

yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yakni UU No. 22 Tahun 1999, UU


326

No. 32 Tahun 2004, dan UU No. 23 Tahun 2014. Ketiga undang-undang

pemerintahan daerah ini secara eksplisit menegaskan bahwa penyelenggaraan

urusan pendidikan merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang

menjadi kewenangan presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh

pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan

menyejahterakan masyarakat. Bahkan dalam UU No. 23 Tahun 2014 secara

tegas dinyatakan bahwa urusan pendidikan adalah salah satu urusan

pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan oleh semua daerah dan

merupakan pelayanan publik tingkat dasar karena bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan dasar warga negara.

Penyelenggaraan urusan pendidikan adalah salah satu diantara fungsi-

fungsi pemerintahan yang berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar dan

kesejahteraan masyarakat. Urusan pendidikan merupakan salah satu di antara

fungsi-fungsi pemerintahan yang telah diserahkan sepenuhnya oleh pemerintah

pusat kepada daerah otonom. Penyerahan urusan pendidikan dari pemerintah

pusat ke daerah otonomi merupakan wujud manifestasi dari penerapan model

desentralisasi yang dianut dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia sejak

era reformasi.

Secara teoritis, desentralisasi pada hakekatnya mengandung dua elemen

pokok yang bertalian, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan

kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang (urusan)

pemerintahan tertentu, baik yang dirinci maupun yang dirumuskan secara umum.

Kedua elemen pokok desentralisasi tersebut kemudian melahirkan local

government. Dalam konteks ini, local government dapat dimaknai dalam

pengertian organ, fungsi dan daerah otonom. Dalam pengertian organ, local

government berarti pemerintah daerah, yakni DPRD (council) dan kepala daerah
327

(mayor), di mana rekrutmen pejabatnya didasarkan pada pemilihan (elected

officials). Dalam pengertian fungsi, local govenment bermakna pemerintahan

daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Sedangkan makna dalam

pengertian daerah otonom yakni bahwa pembentukan daerah otonom yang

secara simultan merupakan kelahiran status otonomi berdasarkan atas aspirasi

dan kondisi obyektif masyarakat yang berada dalam wilayah tertentu (Hoessein,

2000:10 & Muluk, 2007:9).

Jika mengacu pada perspektif teori desentralisasi di atas, maka proses

pengembangan inovasi urusan pendidikan harus dimaknai sebagai bagian dari

pelaksanaan kekuasaan atau kewenangan mengatur (policy formulation) dan

kewenangan mengurus (policy executing) bidang pendidikan yang di atur dalam

pasal 7 ayat (2) point (a), PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

Dengan demikian kewenangan fungsi mengatur (policy formulation

function) terhadap urusan pendidikan berada pada Kepala Daerah (Bupati) dan

lembaga DPRD dan kewenangan fungsi mengurus (policy implementation

function) dilaksanakan oleh Kepala Daerah (Bupati) dan Perangkat Daerah

(birokrasi daerah otonom). Dalam pelaksanan fungsi mengurus mengenai urusan

pendidikan ini, perangkat daerah yang terkait adalah Dinas Pendidikan dan UPT

penyelenggara urusan pendidikan.

Dalam konteks ini, maka proses pengembangan inovasi urusan

pendidikan di Kabupaten Gowa bisa dimaknai bahwa kewenangan mengatur

dengan cara merumuskan kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah dan

Peraturan Bupati menjadi kewenangan Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo sebagai

Kepal Daerah dan lembaga DPRD sebagai lembaga representasi politik


328

masyarakat. Sementara itu, kewenangan mengurus melalui implementasi

Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati menjadi kewenangan Bupati sebagai

Kepala Pemerintahan dan Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Pendidikan, Pemuda

dan Olah Raga (Dispora) sebagai birokrasi daerah otonom.

Adanya kewenangan mengatur dan mengurus yang begitu luas dalam

proses pengembangan inovasi dalam urusan pendidikan yang dilakukan oleh

pemerintah daerah Kabupaten Gowa, membenarkan dan memperkuat alasan

rasional mengapa sebuah negara memilih model desentralisasi. Sebagaimana

dikembangkan oleh Rondinelli dan Cheema (1983:13), yang menyatakan bahwa

desentralisasi menjadi pilihan rasional karena beberapa alasan. Sejumlah alasan

rasional yang dikembangkan oleh oleh Rondinelli dan Cheema (1983), yang

relevansinya sangat kuat dengan praktek pengembangan inovasi ururusan

pendidikan di Kabupaten Gowa, antara lain dikatakan bahwa pemerintah pusat

seringkali memiliki keterbatasan dalam menyusun kesesuaian rencana program

pembangunan dengan kebutuhan masyarakat lokal. Melalui desentralisasi ada

kesempatan bagi pejabat lokal untuk mengembangkan kemampuan manajerial

dan teknisnya.

Rondinelli dan Cheema (1983) juga menyatakan bahwa desentralisasi

memungkinkan koordinasi yang lebih efektif antara pemerintah pusat,

pemerintah lokal, dan organisasi nonpemerintah (NGO) untuk lebih fleksibel,

inovatif dan kreatif dalam membuat kebijakan-kebijakan dan program-program

baru dengan melokalisir pada tempat-tempat tertentu. Menjadi alternatif

pembuatan keputusan, karena pemerintah pusat seringkali tidak sensitif terhadap

kebutuhan kelompok masyarakat miskin. Menghasilkan fleksibel, inovatif dan

kreatif dalam pemerintahan. Unit-unit pemerintahan dapat secara leluasa

melakukan inovasi dan bereksperimen dalam berbagai kebijakan dan program.


329

Alasan rasional yang terakhir adalah bahwa desentralisasi dapat meningkatkan

sejumlah efisiensi dalam penyediaan pelayanan dan barang publik (public goods

and services).

Analisis terhadap praktek inovasi pemerintahan daerah dalam urusan

pendidikan bisa juga dilihat dari sudut pandang perencanaan pembangunan

daerah. Dalam sistem perencanaan pembangunan daerah, kebijakan dan

program inovasi seperti SPAS, Program Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba

Education Program (PDEP), dan Satgas Pendidikan dapat diposisikan sebagai

bagian dari rencana pembangunan daerah Kabupaten Gowa. Berdasarkan data

temuan penelitian keempat program inovasi tersebut merupakan penjabaran dari

prioritas program pembangunan yang dinyatakan dalam dokumen RPJMD

20010-2015.

Untuk memahami lebih jauh bagaimana komitmen dan keberpihakan

pemerintah daerah dalam mendorong kebijakan dan program inovasi dalam

urusan pendidikan dapat dilihat dalam pernyataan Visi dan Misi sebagaimana

tertuang dalam RPJMD suatu daerah. Dalam RPJMD (2010-2015) Kabupaten

Gowa, Visi yang ingin dicapai adalah “Terwujudnya Gowa yang Handal dalam

Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat dan Penyelengaraan Pemerintahan”.

Makna dari frase “Gowa yang handal dalam peningkatan kualitas hidup

masyarakat” adalah bahwa Kabupaten Gowa dengan segenap potensi dan

sumber daya yang berdaya saing kuat, bercita-cita menempatkan diri sebagai

daerah yang handal dalam peningkatan kualitas kesehatan dan mutu pendidikan

masyarakat serta peningkatan daya beli masyarakat.

Visi daerah Kabupaten Gowa mengenai peningkatan kualitas hidup

masyarakat tersebut, dapat dicapai melalui salah satu Misi daerah yakni

“meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan berbasis pada


330

pemenuhan hak-hak dasar masyarakat”. Atas dasar Visi dan Misi daerah yang

secara eksplisit sangat berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya

manusia tersebut, maka program peningkatan kualitas sumberdaya manusia ini

dijadikan sebagai agenda utama dalam rencana pembangunan daerah saat ini.

Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan derajat Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Gowa yang masih berada pada posisi

15 (70,0) dari 24 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Jika mengacu

pada Visi dan Misi daerah yang lebih berorientasi pada tercapainya kualitas

sumber daya manusia dengan indikator IPM, maka secara konseptual salah satu

komponen penting dari pembangunan manusia yang harus dimaksimalkan

adalah aspek pendidikan.

Tabel 34. Rencana Strategi Pembangunan Daerah dan Program Inovasi


Urusan Pendidikan Kabupaten Gowa

Terwujudnya Gowa yang Handal dalam Peningkatan


Visi Kualitas Hidup Masyarakat dan Penyelengaraan
Pemerintahan
Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia dengan
Misi
Berbasis pada Pemenuhan Hak-Hak Dasar Masyarakat
Agenda Utama Pembangunan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Daerah (Human Development) melalui Indikator IPM yang Tinggi
Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS)
Program-Program Inovasi
Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba Education Program
Urusan Pendidikan
(PDEP), Satuan Polisi (Satgas) Pendidikan

Setelah mengetahui Visi dan Misi pemerintah daerah yang menegaskan

bagaimana pemerintah daerah Kabupaten Gowa di bawah kepemimpinan Ichsan

Yasin Limpo memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap peningkatan kualitas

sumberdaya manusia, yang kemudian dielaborasi ke dalam bentuk program

kerja inovatif dalam rumpung bidang atau urusan pendidikan. Selanjutnya akan
331

dianalisis dengan menggunakan teori dan konsep yang berhubungan dengan

proses pengembangan inovasi dalam konteks pemerintahan daerah.

Secara teoritik, menurut Eggers & Singh (2009:7) menyebutkan bahwa

proses pengembangan inovasi melalui empat fase atau tahapan, yakni (1) tahap

penemuan dan mengungkap gagasan-gagasan inovasi (idea generation and

discovery); (2) tahap menyeleksi gagasan inovasi tersebut (idea selection); (3)

tahap implementasi terhadap ide inovasi yang terseleksi (idea implementation);

(4) tahap difusi inovasi yakni tahap penyebaran inovasi (idea diffusion). Keempat

tahapan ini pada dasarnya adalah siklus inovasi yang sangat berperan dalam

pengembangan inovasi. Jika teori proses pengembangan inovasi ini

disandingkan dengan hasil penelitian, nampaknya tidak semua tahapan itu

dilakukan dalam proses pengembangan inovasi urusan pendidikan di Kabupaten

Gowa.

Sebagaimana telah dideskripsikan pada Bab V, bahwa gagasan inovasi

program pemerintahan daerah lebih banyak karena hasil studi banding ke

beberapa daerah dan negara yang telah berhasil mengembangkan program

inovasi dalam bidang pendidikan. Misalnya saja pada tahap awal proses yaitu

penemuan dan mengungkap gagasan inovasi. Program inovasi urusan

pendidikan yang dikembangkan di Kabupaten Gowa bukanlah hasil penemuan

(discovery) tetapi hanya gagasan yang diungkapkan setelah melakukan studi

banding yang dilaksanakan ke berbagai daerah. Demikian halnya tahap seleksi

gagasan inovasi juga tidak berlangsung. Tetapi gagasan inovasi program yang

dihasilkan dari kegiatan studi banding dikemas dalam bentuk program dengan

membuat nomenklatur yang berbeda dengan program yang sama di daerah lain.

Setelah itu baru ke tahap implementasi program yang didahului oleh proses
332

politik yakni proses pembahasan dan penetapan oleh eksekutif (Bupati) dan

DPRD yang tertuang dalam rencana kerja pemerintah daerah (RKPD).

Menurut Kim (2005) dalam Noor (2013) menegaskan bahwa apapun

pilihan inovasi pemerintahan daerah, yang perlu diingat adalah tidak bermain

dalam inovasi yang sama dengan daerah lain. Konsepsi ini perlu dikembangkan

oleh karena pertama, pemerintahan daerah pada dasarnya dituntut untuk

mengembangkan diri, terutama yang berkaitan dengan peningkatan pelayanan

publik. Terutama setelah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun

2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Untuk

situasi ini dibutuhkan strategi kebijakan untuk memahaminya. Kedua, pemerintah

daerah umumnya selalu mengikuti pola yang sama dalam menerapkan perilaku

baru dalam pelayanan publik. Oleh karena itulah menurut Noor (2013:112)

bahwa suatu pemerintahan daerah di dalam mengambil keputusan untuk

melakukan inovasi perlu meyakini bahwa inovasi yang dikembangkan tersebut

dapat memberikan keuntungan dari berbagai aspek seperti (1) dari aspek

pembiayaan; (2) inovasi yang tidak mengganggu segi kehidupan sehari-hari; (3)

inovasi tersebut sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang ada di masyarakat;

dan (4) aspek teknis operasional dari suatu program inovasi.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah pada

umumnya selalu dilaksanakan melalui mekanisme proses politik dan proses

administrasi/manajerial. Selain itu penyelenggaraan urusan pendidikan dalam

bentuk program pemerintah daerah juga berkaitan dengan aspek legal atau

dasar hukum yang melandasari perencanaan dan implementasi dari suatu

program pembangunan. Terkait hal ini, menurut Shafritz & Russel (1999) dan

Rosembloom & Kravchuk (2005), jika mengacu pada studi teori administrasi

publik, konsepsi dalam proses pengembangan inovasi pemerintahan daerah ini


333

bisa dianalisis dengan menggunakan beberapa pendekatan, antara lain (1)

perspektif politik; (2) perspektif hukum (legal), dan (3) perspektif manajerial

(administrasi).

Seperti halnya pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam

urusan pendidikan di Kabupaten Gowa. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan

fakta bahwa keempat jenis program inovasi urusan pendidikan yakni SPAS,

Pendidikan Gratis, PDEP, dan Satgas Pendidikan, dalam proses perencanaanya

dilakukan melalui mekanisme politik antara institusi Kepala Daerah (Bupati) dan

insititusi DPRD (legislatif). Proses politik dalam manajemen pemerintahan daerah

termasuk dalam perencanaan dan implementasi program inovasi urusan

pendidikan, menandakan bahwa manajemen dalam pemerintahan daerah

memiliki karakterisitik tertentu yang membedakannya dengan organisasi lain.

Sebagaimana dijelaskan oleh Stewart (1995) bahwa manajemen pemerintahan

daerah itu merupakan bagian teori domain publik (public domain theory), yang

memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik tertentu tersebut meliputi aspek

tujuan (purposes), kondisi (conditions) dan tugas-tugas (tasks) yang tercermin

oleh beberapa asumsi antara lain: (1) pemerintahan daerah sebagai institusi

politik (political institution); (2) pemerintahan daerah selalu dilandasi oleh pilihan

lokal (local choice); (3) organisasi pemerintahan daerah tidak bertujuan tunggal

tapi multi-purposes, sehingga dalam inti manajemennya menganut multi-valued

choice; (4) legitimasi otoritas lokal didapat melalui election, karena proses

election merupakan metode rekrutmen dalam institusi kekuasaan dan proses

politik yang diikuti oleh partai-partai politik.

Melalui penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa proses politik

dalam pemerintahan daerah tiada lain adalah bagian dari kekuasaan mengatur

melalui proses pembentukan kebijakan publik, yang mana dalam konteks


334

pemerintahan daerah disebut Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Bupati

(Perbup). Dalam konteks ini, maka pengembangan inovasi dalam urusan

pendidikan di Kabupaten Gowa telah dibentuk tiga jenis peraturan yakni (1)

Perda Kabupaten Gowa No. 4 Tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis; (2) Perda

Kabupaten Gowa No. 10 tentang Wajib Belajar; dan (3) Peraturan Bupati Gowa

No. 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Perda Pendidikan Gratis.

Proses pengembangan inovasi urusan pendidikan bisa juga dilihat

melalui sudut pandang manajerial (administrasi). Mengkaji proses

pengembangan inovasi pemerintahan daerah menurut perspektif manajerial

(administrasi), bisa dipahami dengan menelusuri hasil penelitian yang berkaitan

dengan bagaimana proses pelaksanaan program inovasi dilakukan oleh

penyelenggara urusan pendidikan di tingkat pemerintahan daerah.

Penyelenggara urusan pendidikan dalam konteks pemerintahan Kabupaten

Gowa adalah Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Dispora) dan secara

teknis operasional program berada pada satuan pendidikan yakni sekolah.

Meskipun perangkat daerah Dispora menjadi leading sector dari

penyelenggaraan urusan pendidikan ini, namun dalam realita, perangkat daerah

lain pun bisa terlibat dalam urusan pendidikan melalui model kerjasama antar

perangkat daerah dalam lingkup kabupaten.

Dalam pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial, kendali manajemen tetap

berada pada level top manajer, yang mana jika dilhat dalam struktur organisasi

pemerintahan daerah, top manajer itu berada pada seorang Kepala Daerah

(Bupati). Sebagaimana pandangan dari seorang ahli organisasi yakni Mintzberg

(1993) menyatakan bahwa pengendali tertinggi dari keseluruhan organisasi

disebut elemen the strategic apex. Artinya dalam pemerintahan daerah adalah

Bupati dan Wakil Bupati, serta DPRD, karena mereka inilah yang berada pada
335

top manajer (pucuk pimpinan) dalam organisasi pemerintahan daerah. Begitu

pula jika mengacu pada pandangan Wilson (1989) mereka pucuk pimpinan yang

berada pada level eksekutif (the executive level). Tingkatan organisasi yang

memiliki kewenangan politik pengambil kebijakan strategis berupa kewenangan

dalam fungsi mengatur dan mengurus terhadap aktivitas pemerintahan. Mereka

merupakan pihak yang bertanggung jawab atas keseluruhan penyelenggaraan

pemerintahan daerah.

Pada level operasional, tanggung jawab terhadap pengembangan inovasi

dalam urusan pendidikan di Kabupaten Gowa tentu adalah perangkat daerah

Dispora sebagai leading sector dari penyelenggaraan urusan pendidikan.

Berdasarkan hasil penelitian, ditunjukkan bagaimana susunan dan struktur

Dispora sebagai penyelenggara urusan pendidikan. Hal diatur dalam Perda No. 7

Tahun 2008 tentang Susunan dan Struktur Dispora, yang meliputi: (1) Kepala

Dinas; (2) Sekretariat yang melingkupi Sub Bagian Umum dan Kepegawaian,

Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan, serta Sub Bagian Keuangan; (3)

Bidang Pendidikan Dasar yang melingkupi Seksi Manajemen Pendidikan Dasar,

Seksi Pembinaan Tenaga Pendidik dan Kependidikan, dan Seksi Sarana dan

Prasarana Pendidikan Dasar; (4) Bidang Pendidikan Menengah meliputi Seksi

Manajemen Pendidikan Menengah, Seksi Pembinaan Tenaga Pendidik dan

Kependidikan, Seksi Sarana dan Prasarana Pendidikan Menengah; (5) Bidang

Pendidikan Non Formal dan Prasekolah melingkupi Seksi Pendidikan Non

Formal, Seksi Pendidikan Prasekolah, Seksi Sarana dan Prasarana Pendidikan

Non Formal dan Prasekolah; (6) Bidang Olah Raga dan Pemuda yang

melingkupi Seksi Pembinaan Kepemudaan, Seksi Pengembangan Olah Raga;

dan (7) Kelompok Jabatan Fungsional. Selanjutnya mengenai tupoksi dan rincian

tugas dari setiap jabatan dalam struktur Dispora ditegaskan dalam Perbup No.
336

26 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Rincian Tugas Jabatan

Strutural pada Dinas Pendidikan, Olah Raga dan Pemuda.

Dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyelenggara urusan

pendidikan, Dispora Kabupaten Gowa memiliki Visi yakni: “Terwujudnya Sistem

Pendidikan Sebagai Pranata Sosial yang Kuat dan Berwibawa untuk

Menciptakan Luaran dan Hasil yang Handal”. Untuk mewujudkan Visi tersebut,

dirumuskan pula beberapa Misi, yakni:

(4) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh

pendidikan yang bermutu.

(5) Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan

sebagai pusat pemberdayaan ilmu pengetahuan, keterampilan,

pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional.

(6) Menumbuh kembangkan semangat keunggulan secara intensif

pengamalan ajaran agama dan nilai budaya.

Selain Dispora sebagai unsur utama dan memiliki tugas pokok secara

teknis operasional dalam penyelenggaraan urusan pendidikan di Kabupaten

Gowa, terdapat pula institusi non struktural yang memiliki peran penting dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan. Institusi yang dimaksud adalah Dewan

Pendidikan dan Komite Sekolah. Keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite

Sekolah secara nasional diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional. Pada pasal 24 undang-undang tersebut menyebutkan

bahwa Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan

berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Kemudian pada

pasal 25, menyatakan bahwa Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang

beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh

masyarakat yang peduli pendidikan.


337

Selanjutnya tugas dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah

tersebut diatur dalam PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam peraturan pemerintah ini pada intinya

menjelaskan bahwa kedua institusi tersebut memiliki peran penting dalam upaya

memajukan dunia pendidikan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

Keduanya turut memberikan pertimbangan mengenai isi-isu pendidikan kepada

sejumlah pemangku kepentingan seperti Gubernur, Bupati/Walikota, Dinas

Pendidikan dan DPRD. Posisi ini menjadikan Dewan Pendidikan dan Komite

Sekolah sebagai mitra strategis dan sejajar bagi pemerintah daerah dan sekolah

dalam penyelenggaraan pendidikan.

Keberadaan Dewan Pendidikan Kabupaten Gowa sudah memasuki

periode kedua. Berdasarkan dokumentasi lapangan, saat ini anggota Dewan

Pendidikan berjumlah 11 orang yang berasal dari beragam latar belakang, yakni

dua orang pakar pendidikan, dua orang penyelenggara pendidikan, dua tokoh

pengusaha lokal, satu orang ulama (tokoh Muslim), satu tokoh masyarakat adat,

satu orang dari organisasi profesi, satu aktivis LSM, dan satu tokoh perempuan..

Demikian pula keberadaan Komite Sekolah, keanggotaannya terdiri dari unsur

orangtua/wali perserta didik, tokoh masyarakat, dan pakar pendidikan yang

relevan. Komite Sekolah ini sudah terbentuk disemua satuan pendidikan

(sekolah) yang ada di Kabupaten Gowa.

Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sebagai representasi masyarakat

menyuarakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat dalam berbagai kebijakan

pendidikan yang dibuat oleh pihak pemerintah daerah dan sekolah. Dalam

konteks ini pula Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memberi pertimbangan

dan masukan terhadap pembentukan peraturan-peraturan, baik yang dirumuskan

oleh lembaga eksekutif maupun yang diusulkan oleh DPRD.


338

Secara operasional, pelaksana program inovasi urusan pendidikan

adalah satuan pendidikan yang disebut sekolah. Satuan pendidikan ini adalah

kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur

formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

Landasan normatif dari keberadaan satuan pendidikan ini dalam proses

penyelenggaraan urusan pendidikan, secara secara eksplisit dinyatakan pada

pasal 1 dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam

UU No. 20 Tahun 2003 tersebut juga dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan

pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang

terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang

dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang dan pendidikan informal

adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Sementara itu, untuk mengetahui bentuk dan jenis satuan pendidikan

terutama jalur pendidikan formal bisa dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 17

Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Misalnya

bentuk dan jenis satuan pendidikan anak usia dini (PAUD) jalur pendidikan

formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA) atau

bentuk lain yang sederajat (Pasal 63). Kemudian mengenai bentuk satuan

pendidikan dasar jalur formal yang pada umumnya berbentuk SD, MI, SMP, MTs,

dan bentuk lain yang sederajat (Pasal 68). Bentuk dan jenis satuan pendidikan

menengah biasanya berbentuk SMA, MA, SMK, dan MAK, atau bentuk lain yang

sederajat (Pasal 78).

Perlu juga dikemukakan bahwa satuan pendidikan yang ada selama ini

dapat pula dilihat berdasarkan status penyelenggaranya. Berdasarkan status

penyelenggara dari satuan pendidikan terdapat dua kategori, yakni sekolah


339

negeri dan sekolah swasta. Adapun yang dimaksud sebagai sekolah negeri

yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah (daerah), mulai dari sekolah

dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan termasuk

perguruan tinggi (universitas). Sementara itu sekolah swasta adalah sekolah

yang diselenggarakan oleh non-pemerintah atau swasta, lembaga

penyelenggaranya bisa berbentuk badan dan yayasan pendidikan.

Sekolah sebagai satuan pendidikan dan juga merupakan entitas sistem

yang terbuka. Sekolah sebagai sebuah sistem adalah mencakup beberapa

komponen (subsistem), dimana masing-masing komponen terdiri atas beberapa

faktor yang antara satu dengan lainnya saling terkait dan mendukung untuk

mencapai tujuan yang dikehendaki. Komponen-komponen dari sebuah sistem

sekolah terdiri dari komponen masukan (input), proses (process), dan keluaran

(output), serta dampak yang ditimbulkan (outcome).

Jika melihat bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah

daerah untuk melakukan inovasi dalam urusan pendidikan, melalui berbagai

kebijakan dan program inovasinya, nampaknya masih menghadapi berbagai

hambatan, baik hambatan yang berkaitan dengan individu maupun hambatan

yang berhubungan karakter individu. Sebagai contoh, masih adanya

ketergantungan terhadap figur Kepala Daerah (Bupati) yang memiliki kinerja

tinggi, sehingga kecenderungan kebanyakan pegawai hanya menjadi pengikut

(followers) saja. Kekhawatiran atas kondisi ini adalah ketika figur atau pemimpin

tersebut hilang dan digantikan oleh figur lainnya, maka yang terjadi adalah

stagnasi dan kemacetan kerja. Selain itu, hambatan anggaran yang periodenya

terlalu pendek, serta hambatan administratif yang membuat sistem dalam

berinovasi menjadi tidak fleksibel. Sejalan dengan itu juga, biasanya

penghargaan atas karya-karya inovatif masih sangat sedikit. Sangat disayangkan


340

jika hanya sedikit apresiasi yang layak atas prestasi pegawai atau unit yang

berinovasi.

Guru, murid, sarana prasarana, kurikulum, dana dan pengelola sekolah

(kepala sekolah) dan lingkungan sekolah merupakan komponen input (masukan)

bagi sistem sekolah. Komponen input inilah yang berproses dalam bentuk

kegiatan belajar mengajar di sekolah/kelas dan administrasi sekolah yang

nantinya menghasilkan keluaran sesuai target yang ditentukan. Target luaran

sekolah adalah berupa hasil dalam jumlah lulusan atau alumni yang memiliki

kemampuan kognitif, afektif, dan keterampilan.

PROSES PENGEMBANGAN PROGRAM


INOVASI URUSAN PENDIDIKAN

PENGATURAN PENGURUSAN
Proses Politik Proses Manajerial

Urusan Penyelenggara Program, Kegiatan, Satuan Pendidikan


Pendidikan Urusan Pendidikan Anggaran Sekolah

Gambar 23. Pohon Analisis Proses Pengembangan Program Inovasi Urusan


Pendidikan

Gambar 24 ini menunjukkan bagaimana penggunaan pola analisis

induktif dalam model spiral, yakni dimulai dari beragam informasi dan data

empirik tentang bagaimana proses pengembangan inovasi oleh pemerintahan

daerah Kabupaten Gowa. Kemudian meluas menjadi tema-tema yang lebih

khusus yakni proses pengembangan inovasi itu berlangsung dalam dua proses

yaitu proses politik (pengaturan) dan proses manajerial (pengurusan. Setelah itu

lebih mengerucut pada tema yang lebih abstrak yaitu proses pengembangan
341

program inovasi yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah dalam urusan

pendidikan.

Tabel 35: Matriks Proses Pengembangan Program Inovasi Urusan Pendidikan

Proses Pengembangan Program Inovasi


Proses Politik (Mengatur) Proses Manajerial (Mengurus)
Fungsi yang Pengaturan yakni perumusan atau Pengurusan yakni implementasi
dijalankan pembentukan kebijakan daerah kebijakan daerah (Peraturan Bupati /
(Peraturan Daerah) Keputusan Bupati)
Pihak-pihak yang Pemerintah Daerah (Bupati), Bupati, Dispora & Satpol PP, UPTD
melaksanakan DPRD, Dewan Pendidikan, & (Sekolah) Orang Tua Siswa,
Komite Sekolah Rekanan & Konsultan
Nilai-nilai yang Demokratis, Responsif, Efektif, Efisien, Ekonomis
seharusnya Partisipatif
dikembangkan
Dasar argumentasi Watson (1999), proses inovasi berlangsung efektif jika terdapat “Political
teoritis support and administrative. Mulgan & Albury (2003) ”Policy innovation is
new policy direction and initiatives; Innovations in the policy-making
process; & Policy to foster innovation and its diffusion”

Berdasarkan analisis terhadap hasil penelitian dengan menggunakan

beberapa teori dan konsep tentang proses pengembangan program inovasi

pemerintahan dalam urusan pendidikan, maka dapat dirumuskan proposisi

sebagai berikut:

Proposisi Minor 1: Program inovasi urusan pendidikan hanya berlangsung


inovatif jika melalui perumusan dan pembentukan
kebijakan daerah (Peraturan Daerah / Peraturan Bupati)
yang berfungsi mengatur program inovasi secara
demokratis, partisipatif, dan responsif.

Proposisi Minor 2: Proses pengembangan program inovasi urusan pendidikan


yang hanya berlangsung dengan inovatif jika didukung oleh
proses implementasi kebijakan yang inovatif pula dengan
prinsip efektifitas, efisiensi, ekonomis dan profesional.
342

5.2.2 Tipologi Program Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan

Jika pada bagian Sub Bab 5.2.1 di atas dilakukan pembahasan terhadap

proses pengembangan program inovasi dalam urusan pendidikan, maka pada

bagian ini akan diketengahkan analisis terhadap program-program inovasi yang

telah dirancang dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah daerah Kabupaten

Gowa. Berdasarkan temuan penelitian, terdapat empat kebijakan dan program

inovatif yang telah dirancang dan dilaksanakan untuk mewujudkan aksesibilitas

yang terjangkau dan peningkatan kualitas pelayanan di bidang pendidikan.

Secara teoritik, pada dasarnya terdapat beberapa yang menjadi sumber

inovasi dalam suatu organisasi pemerintahan. Menurut Eggers & Singh (2009:9)

mengelompokkan sumber-sumber inovasi dalam organisasi pemerintahan,

termasuk pemerintahan daerah dapat ditinjau dari empat sumbu, yakni (1) mitra

internal (internal partners) yaitu inovasi melalui pembaruan organisasi

pemerintahan dari dalam (reinvented government); (2) pegawai (aparatur)

pemerintahan (employees) yaitu inovasi melalui kolaborasi yang fokus pada

dampak; (3) mitra eksternal (external partners) yaitu inovasi melalui partnership

dan networked government; dan (4) inovasi bisa bersumber dari warga (citizens)

yaitu inovasi pemerintahan yang lahir karena pemerintah sangat responsif dan

mendorong partisipasi warga dalam aktivitas pemerintahan.

Jika menyorot jenis program inovasi yang dikembangkan di Kabupaten

Gowa dengan menggunakan pandangan Eggers & Singh (2009) di atas, maka

dapat dikatakan bahwa semua jenis program inovasi bersumber dari mitra

internal (internal partners) pemerintahan daerah. Keempat jenis program inovasi

yakni SPAS, PDEP, Pendidikan Gratis, dan Satgas Pendidikan merupakan

gagasan dan inisiatif murni dari Bupati Gowa, setelah melakukan kegiatan studi

banding di daerah lain. Misalnya progran SPAS merupakan salah satu dari janji
343

kampanye politik Bupati ketika Pilkada Gowa 2005, yang kemudian dijadikan

sebagai program prioritas pemerintah daerah yang bertujuan untuk mengurangi

tingginya angka buta aksara ketika itu. Program SPAS ini terbukti terealisasi

hingga akhir periode 2005-2010, di mana tersebar diseluruh desa dan kelurahan.

Seperti halnya dengan program inovasi yang lainnya juga lahir karena digagas

dan inisiatif dari internal pemerintahan.

Jika dilihat dari sisi jenis inovasi apa yang telah dikembangkan di

kabupaten Gowa, bisa dikonfirmasi dengan menggunakan pandangan Mulgan &

Albury (2003) dan Muluk (2008) yang membagi inovasi dalam beberapa tipologi

inovasi sektor publik yakni tipe inovasi yang berkaitan dengan produk layanan,

proses pelayanan, berkaitan dengan metode pelayanan, inovasi kebijakan, dan

inovasi yang berkaitan dengan sistem. Demikian pula derajat keinovasian suatu

program pemerintah, Mulgan, Albury, dan Muluk juga mengemukakan bahwa

derajat atau level inovasi bisa diihat, apakah suatu inovasi termasuk kategori

inkremental, radikal, dan kategori inovasi sistemik (transformatik). Nah,

berdasarkan deskripsi dari program inovasi yang dikaji pada penelitian ini dapat

dikategorikan sebagai inovasi proses pelayanan dan inovasi yang bersifat

inkremental dengan penjelasan program seperti berikut ini.

Keempat kebijakan dan program inovatif tersebut adalah (1)

Pengembangan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS); (2) Program

Pendidikan Gratis yakni pembebasan biaya sekolah bagi murid/siswa SD-SMA

(wajar 12 tahun); (3) Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) yaitu sistem

pembelajaran berbasis cinema class; dan (4) Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan.

Keempat program inovasi tersebut mungkin saja saat ini tidak lagi menjadi hal

yang baru dan sudah dianggap sebagai program yang biasa-biasa saja.

Anggapan bahwa program inovasi tersebut adalah program yang biasa-biasa


344

saja bisa dinilai wajar saja, karena faktanya implementasi program tersebut

sudah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Semua program inovasi

urusan pendidikan tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Berdasarkan

hasil penelitian bahwa program Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) itu

sudah berlangsung sejak tahun 2005. Sementara program Pendidikan Gratis itu

sudah dilaksanakan sejak tahun 2008, dan program Punggawa D’Emba

Education (PDEP) serta Satpol Pendidikan sudah dilaksanakan sejak tahun 2010

yang lalu.

Terkait dengan data hasil penelitian di atas, ada baiknya jika dipahami

dengan melihat ulang makna konsep inovasi itu sendiri. Konsep inovasi secara

umum dapat dipahami dalam konteks perubahan perilaku. Inovasi biasanya erat

kaitannya dengan lingkungan yang berkarakteristik dinamis dan berkembang.

Pengertian inovasi sendiri sangat beragam, dan dari banyak perspektif. Menurut

Rogers (2003:12), salah satu penulis buku inovasi terkemuka, menjelaskan

bahwa inovasi adalah sebuah ide, praktek, atau objek yang dianggap baru oleh

individu (satu unit) tertentu dan diadopsi oleh yang lainnya.

Jika mengacu pada pandangan Rogers (2003) tersebut, maka dapat

dipahami bahwa program inovasi urusan pendidikan yang dilaksanakan oleh

pemerintah daerah Kabupaten Gowa sejalan dengan pandangan yang

mengatakan bahwa inovasi berkaitan dengan ide yang baru, praktek dan obyek

yang masih baru terutama bagi masyarakat dan pemerintah daerah. Dalam

pengertian bahwa keempat jenis program inovasi tersebut bisa jadi sudah

diterapkan di daerah lain, walaupun dengan bentuk dan nama yang berbeda

tetapi secara substansi memiliki persamaan. Bagi masyarakat dan pemerintah

daerah setempat program seperti SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP, dan Satgas

Pendidikan benar-benar menjadi hal baru, meskipun inovasi tersebut adalah


345

hasil dari adopsi atau mereflikasi program inovasi di daerah dan negara lain

melalui kegiatan studi banding.

Menurut Sherwood (2002), bahwa inovasi sebagai salah satu ciri nilai

fleksibilitas organisasi bukan hanya sekedar melakukan sesuatu yang baru,

menemukan sesuatu yang baru, atau membawa suatu gagasan yang baru

sebagaimana definisi inovasi pada umumnya. Namun menurut Sherwood

(2002:2), inovasi sebagai suatu proses memerlukan empat tahapan yakni: (1)

tahap pengajuan gagasan yaitu mempunyai ide lebih dahulu; (2) tahap evaluasi

terhadap gagasan yang akan ditindaklanjuti; (3) tahap pengembangan yaitu

memperbaiki gagasan tersebut dari konsep menjadi realitas yang menghasilkan

sesuatu; dan (4) tahap implementasi yaitu mengupayakan gagasan tersebut

sungguh-sungguh terwujud.

Dengan pemahaman dari Sherwood tersebut, kemudian dikaitkan dengan

adanya fakta tentang pengembangan inovasi di Kabupaten Gowa tentu hal ini

menunjukkan bahwa daerah tersebut sebagai sebuah organisasi sudah mulai

terbuka dengan hal-hal baru. Keterbukaan terhadap ide dan praktek yang baru

bagi sebuah organisasi menunjukkan bahwa organisasi tersebut sudah memiliki

sifat fleksibilitas. Kondisi ini tentu menjadi hal yang menarik, oleh karena

organisasi pemerintah daerah (organisasi sektor publik) selama ini dikenal

sebagai organisasi yang sangat kaku dan formalisitik.

Pengertian lain menyebutkan bahwa inovasi adalah kegiatan yang

meliputi seluruh proses menciptakan dan menawarkan jasa atau barang baik

yang sifatnya baru, lebih baik atau lebih murah dibandingkan dengan yang

tersedia sebelumnya. Dapat pula dijelaskan bahwa sebuah inovasi dapat berupa

produk atau jasa yang baru, teknologi proses produksi yang baru, sistem struktur

dan administrasi baru atau rencana baru bagi anggota organisasi.


346

Pengertian inovasi dapat pula dipahami dalam konteks manajemen sektor

publik. Pemahaman ini dikemukakan oleh Cohen dan Elmicke (1998:2-3) yang

mengemukakan bahwa inovasi manajemen sektor publik selalu berkaitan dengan

aspek design dan management terhadap suatu kebijakan dan program.

Rancangan kebijakan berhubungan perumusan kebijakan (policy formulation).

Sedangkan manajemen suatu program terkait dengan pelaksanaan kebijakan

(policy implementation).

Dengan merujuk pada pengertian-pengertian di atas, maka sebuah

inovasi tidak bisa berkembang dalam kondisi status quo. Walaupun tidak ada

satu kesepahaman definisi mengenai inovasi, namun secara umum disimpulkan

oleh Rogers’s dan Shoemaker (1971) seperti dikutip oleh Osborne dan Brown

(2005:127) bahwa inovasi memiliki beberapa atribut sebagai berikut:

(1) Relative Advantage atau keuntungan relatif, bermakna bahwa sebuah

inovasi harus mempunyai keunggulan dan nilai-nilai lebih dibandingkan

dengan inovasi yang lain atau inovasi sebelumnya. Selalu ada sebuah nilai

kebaruan yang melekat dalam inovasi yang menjadi ciri yang

membedakannya dengan yang lain.

(2) Compatibility atau kesesuaian, bermakna bahwa inovasi sebaiknya

mempunyai sifat kompatibel atau berkesesuaian dengan inovasi yang

digantinya dan lingkungan dimana inovasi diterapkan. Inovasi tidak boleh

bertentangan dengan nilai-nilai dan tradisi yang sudah dianggap baik pada

suatu tempat tertentu.

(3) Complexity atau kerumitan, artinya dengan sifatnya yang baru, maka

inovasi mempunyai tingkat kerumitan yang boleh jadi lebih tinggi

dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Namun demikian, karena


347

sebuah inovasi menawarkan cara yang lebih baru dan lebih baik, maka

tingkat kerumitan ini pada umumnya tidak menjadi masalah penting.

(4) Triability atau kemungkinan dicoba, artinya inovasi hanya bisa diterima

apabila telah teruji dan terbukti mempunyai keuntungan atau nilai lebih

dibandingkan dengan inovasi yang lama. Sehingga sebuah produk inovasi

harus melewati fase “uji publik”, dimana setap orang atau pihak mempunyai

kesempatan untuk mengujii kualitas dari sebuah inovasi.

(5) Observability atau kemudahan diamati, artinya bahwa sebuah inovasi harus

dapat diamati, terutama pada sisi bagaimana sebuah inoasi beroperasi dan

menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

(a) Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS)

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa program pengembangan

Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) pertama kali diluncurkan pada tahun

2005 oleh pemerintah daerah Kabupaten Gowa. Tepatnya di awal kepemimpinan

Bupati Ichsan Yasin Limpo dan Wakil Bupati Abdul Razak Badjidu. Ide

pengembangan pendidikan anak saleh ini muncul dari Bupati sendiri, sebagai

respon terhadap adanya fakta bahwa saat itu masih ada anak-anak yang sudah

memasuki usia sekolah belum dapat membaca dan menulis Latin serta masih

banyak pula anak-anak sekolah yang belum bisa dan lancar membaca Alquran

Program pengembangan SPAS adalah terobosan awal dari Bupati Gowa

yang baru terpilih ketika tahun 2005. Terobosan ini muncul karena adanya

kenyataan sosial dihampir semua desa memiliki masyarakat yang tergolong

keluarga miskin. Di mana keluarga miskin tersebut rata-rata memiliki anak

berusia sekolah yang belum mampu membaca baik Latin maupun Alquran.

Dengan kata lain bahwa SPAS ini adalah sarana pendidikan untuk anak-anak
348

putus sekolah dan juga bagi mereka yang tidak berhasil melanjutkan sekolah

karena kekurangan biaya.

Secara kelembagaan, program SPAS ini adalah termasuk salah satu

jenis Pendidikan Luar Sekolah (PLS), karena diselenggarakan dengan maksud

memberikan pembelajaran pada warga berupa pengetahuan dan ketrampilan

khusus yakni baca tulis Latin dan Alquran, melalui jalur pendidikan nonformal.

Bahkan program SPAS yang dikembangkan di Kabupaten Gowa ini juga

termasuk jenis pendidikan berbasis masyarakat, karena penyelenggaraan

pendidikan SPAS ini didasarkan pada kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi,

dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk

masyarakat.

Secara operasional, proses pembelajaran dilaksanakan oleh tenaga

pengajar atau guru sanggar sebanyak dua atau tiga orang di setiap sanggar.

Tenaga pengajar tersebut berasal dari warga setempat. Status tenaga pengajar

ini diangkat sebagai pegawai tidak tetap (pegawai honorer) daerah. Karena

mereka dijadikan sebagai pegawai honorer daerah, maka mereka berhak

mendapat insentif setiap bulan dari anggaran daerah yang dialokasikan khusus

untuk program buta aksara Kabupaten Gowa.

Kemudian dalam pengelolaan SPAS yang sudah terbentuk di 154

desa/kelurahan pelaksanaannya dilakukan Tim Pengelola, yang dibentuk oleh

Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. Di mana orang yang ditunjuk dalam

pengelola tersebut juga berasal dari warga desa/kelurahan setempat. Pengelola

SPAS ini cukup banyak, pengelola tingkat desa saja ada 300 orang di mana

masing-masing desa dan kelurahan terdapat dua orang pengelola. Di tingkat

kecamatan terdapat 54 orang pengelola tersebar di 18 kecamatan dan di tingkat


349

kabupaten ada 12 orang. Sehingga jumlah keseluruhan dari pengelola SPAS

tersebut adalah 462 orang.

Murid (santri) Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) adalah anak-anak

miskin yang berusia 6-13 tahun. Mereka diberikan pelajaran membaca huruf

Latin dan hijriyah (Al Quran) dengan waktu belajar pukul 16:00-18:00 WITA yang

diakhiri dengan shalat berjamaah bagi anak – anak. Dan juga mata pelajaran

lainnya agar mereka bisa meneruskan ke sekolah formal jika memenuhi syarat

dengan melulusi ujian yang dilaksanakan oleh tutor. Setelah Maghrib

diperuntukkan bagi orang tua yang belum dapat baca tulis Latin dan Al Quran.

Hal ini dikemukan oleh Yunus (2012:17) dalam salah satu seminar inovasi

pendidikan di UGM Yogyakarta yang mempresentasikan tentang inovasi

pendidikan di Kabupaten Gowa.

Jenis materi yang diajarkan oleh guru atau tutor kepada santri SPAS tidak

hanya menyangkut pengetahuan dan keterampilan baca tulis tetapi juga materi

yang terkait dengan pendidikan akhlak yang Islami. Demikiam pula dari segi

santri SPAS itu sendiri, ternyata tidak hanya diikuti oleh anak-anak yang masih

berusia 6-13 tahun tetapi juga diikuti oleh orang dewasa. Santri yang sudah

dewasa adalah mereka yang kebanyakan orang tua dari santri SPAS juga. Hal

inilah yang menjadi salah satu kelebihan dari program SPAS ini dalam

mendorong pengentasan buta aksara di Kabupaten Gowa.

Setelah berlangsung dua tahun sejak diluncurkan, yakni pada tahun

2007, program SPAS ini sudah mendapat apresiasi dari pemerintah pusat.

Apresiasi tersebut berupa penghargaan Aksara Anugerah Utama karena

pemerintah daerah Kabupaten Gowa dinilai memiliki komitmen yang tinggi dalam

bidang pendidikan terutama program Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Komitmen

tinggi dari pemerintah daerah tersebut tertuang dalam Rencana Kerja


350

Pemerintah Daerah (RKPD) dengan menempatkan program ini sebagai salah

satu program prioritas dalam setiap tahun.

Pada tahun 2009, program Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) ini

oleh pemerintah daerah dicanangkan menjadi Pendidikan Anak Usia Dini

(PAUD). Hal ini dilakukan untuk mengikuti kebijakan pemerintah pusat

(Kementerian Pendidikan Nasional) waktu itu, yang mengembangkan program

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Selain itu, juga untuk menjaga

keberlangsungan program SPAS tersebut. Dengan demikian, PAUD secara

langsung terbentuk di 154 desa/kelurahan pada tahun 2009, karena semua

program SPAS di tingkat desa/kelurahan beralih menjadi program PAUD.

Namun demikian dari segi sumberdaya seperti guru pengajar dan

pengelola SPAS tidak mengalami pergantian karena tetap memanfaatkan

sumberdaya yang ada sebelumnya. Termasuk juga materi pembelajaran yang

diajarkan selama ini di SPAS tidak mengalami perubahan. Kecuali syarat usia

bagi santri yang berubah, jika sebelumnya santri SPAS berumur 6-13 tahun,

maka setelah terintegrasi dengan PAUD usia santri berubah menjadi 6 tahun

atau usia pra sekolah.

Program SPAS merupakan salah satu program pemerintah daerah yang

memiliki nilai inovasi karena memberi kontribusi nyata dalam mendukung misi

pemerintah daerah dalam peningkatan kualitas dan akses pelayanan pendidikan

bagi warganya. Penilaian tersebut dilakukan oleh lembaga independen yang

bernama The Fajar Institute Pro Otonomi (FIPO). Lembaga FIPO yang didirikan

oleh Koran Harian Fajar pada tahun 2008 yang lalu adalah lembaga bersifat

independen yang secara intensif melakukan monitoring dan evaluasi terhadap

pelaksanaan otonomi daerah di Sulawesi Selatan.


351

Meskipun pengembangan program SPAS ini telah mendapat apresiasi

dari pemerintah pusat dalam bentuk penghargaan Aksara Anugerah Utama dan

lembaga lain seperti FIPO yang menilai bahwa program SPAS adalah program

yang inovatif, tetapi dalam proses penyelenggaraan program tetap mendapat

penilaian kritis dari beberapa kalangan. Kritikan pertama menyangkut orientasi

program, mengingat anggaran cukup besar. Jangan sampai hanya berorientasi

“proyek”. Kedua menyangkut keterlibatan stakeholder’s yang banyak, misalnya

pihak swasta (pebisnis) lokal yang seharusnya diajak berpartisipasi melalui

program kemitraan dalam pengembangan program SPAS ini. Tidak hanya

pebisnis tetapi juga organisasi masyarakat yang masih eksis seperti ormas

keagamaan (Muhamadyah dan NU), organisasi profesi (PGRI) dan juga

organisasi pemuda dan pelajar (KNPI).

Program pengembangan SPAS ini ternyata lebih berorientasi pada

pembentukan karakter, jadi tidak hanya bertujuan secara kuantitatif yakni untuk

menurunnya jumlah (angka) buta aksara dan buta baca Al-quran, tetapi yang

jauh penting adalah tujuan yang bersifat kualitatif yakni pembentukan mental,

karakter dan akhlak anak sejak usia dini.

(b) Program Pendidikan Gratis

Secara garis besar implementasi inovasi kebijakan yang dikemas dalam

bentuk program Pendidikan Gratis bertujuan untuk membebaskan siswa dan

orang tua dari berbagai jenis pembiayaan sekolah sebagaiman telah diuraikan

pada Bab V tentang deskripsi hasil penelitian. Mencermati hal tersebut, peneliti

merumuskan beberapa poin penting, yang disari dari fakta-fakta pelaksanaan

program Pendidikan Gratis di kabupaten Gowa sebagaimana yang telah

disajikan. Pertama, inovasi kebijakan pembebasan biaya sekolah yang dikemas

dalam bentuk program Pendidikan Gratis diprakarsai oleh Bupati Gowa Ichsan
352

Yasin Limpo. Kebijakan ini adalah salah satu bentuk political will dan komitmen

bupati sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan untuk meningkatkan

kualitas sumber daya manusia daerahnya. Program Pendidikan Gratis tersebut

tentu tidak lahir begitu saja tetapi dilatari oleh adanya fakta bahwa akses

masyarakat terhadap pendidikan masih minim dan masih rendahnya indeks

pendidikan di kabupaten Gowa pada saat itu.

Kedua, prakarsa dan komitmen Bupati mengenai inovasi kebijakan dalam

bidang pendidikan kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan kebijakan

(pengaturan) dalam wujud Peraturan Daerah yang diajukan kepada DPRD untuk

dibahas, disetujui dan disahkan. Maka terbitlah Peraturan Daerah (Perda) No. 4

Tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis. Kemudian dalam rangka operasionalisasi

kebijakan tersebut bupati juga menerbitkan Peraturan Bupati Gowa No. 8 Tahun

2008 tentang Pelaksanaan Pendidikan Gratis tersebut.

Ketiga, inovasi kebijakan tentang Pendidikan Gratis yang diatur dalam

bentuk peraturan daerah dan peraturan bupati sebagaimana pada poin pertama

dan kedua, diianggap masih memiliki titik lemah karena nampaknya belum

mengatur secara tegas tentang kewajiban dan tanggung jawab masyarakat

terutama orangtua/wali siswa terhadap masalah pendidikan, maka kemudian

diterbitkanlah Perda No. 10 Tahun 2009 tentang Wajib Belajar. Perda No. 10

tahun 2009 ini pada prinsipnya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan

kewajiban dan tanggung jawab masyarakat dan orang tua/wali siswa terhadap

proses pendidikan anaknya. Bahkan dalam perda ini, diatur tentang sanksi bagi

orang tua yang tidak peduli terhadap pendidikan anaknya.

Keempat, aspek yang berkaitan dengan pengurusan dan pelaksanaan

program Pendidikan Gratis, pada dasarnya sudah dinyatakan pula dalam

Peraturan Bupati Gowa No. 8 tahun 2008. Tanggung jawab pengurusan dan
353

pelaksanaan program ini, tentu terletak pada perangkat daerah yang mengurusi

urusan pendidikan yakni Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. SKPD

Dispora inilah yang mengelola menurut tugas pokok dan fungsi dari bidang-

bidang yang terkait, agar program Pendidikan Gratis ini dapat terealisasi secara

efektif.

Kelima, unit sekolah adalah wadah dimana program Pendidikan Gratis

direalisasikan. Secara operasional, pejabat Kepala Sekolah adalah penanggung

jawab program Pendidikan Gratis ditingkat sekolah. Kepala Sekolah memiliki

krwenangan untuk menunjuk pegawai tata usaha atau seorang guru untuk

menjadi bendahara. Bendahara inilah kemudian yang mengurusi dana

Pendidikan Gratis yang sudah dialokasikan kepada masing-masing sekolah.

Keenam, program Pendidikan Gratis ini diperuntukkan bagi semua

tingkatan sekolah, baik sekolah negeri yang dikelola oleh pemerintah daerah

maupun sekolah swasta yang dimiliki oleh pihak swasta/non pemerintah. Dan

program Pendidikan Gratis di kabupaten Gowa, bukanlah program yang berdiri

sendiri. Dalam pengertian bahwa program ini merupakan program yang bersifat

komplementer terhadap kebijakan Pendidikan Gratis yang digelar oleh

pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dan mendukung program Biaya

Operasional Sekolah (BOS) yang sudah dicanangkan oleh pemerintah pusat.

(c) Punggawa D’Emba Education Program (PDEP)

Komitmen pemerintah daerah kabupaten Gowa dalam mendorong

peningkatan kualitas pendidikan masyarakatnya, rupanya tidak hanya dilakukan

melalui konsep inovasi kebijakan yang bertujuan untuk mengatasi rendahnya

akses masyarakat terhadap dunia pendidikan, yakni melalui desain kebijakan

Pendidikan Gratis. Tetapi juga pemerintah daerah mendorong agar kualitas

proses pembelajaran berlangsung semakin meningkat sehingga output atau


354

luarannya pun makin berkualitas. Perhatian terhadap kualitas pembelajaran ini

diinisiasi dalam bentuk desain program yang dinamakan Punggawa D’emba

Education Program (PDEP). Dalam pengertian bahwa program Pendidikan

Gratis relevansinya adalah untuk meningkatkan akses masyarakat (orang tua

dan anak) terhadap pelayanan pendidikan yang lebih terjangkau, murah dan

merata. Sementara program yang dikenal dengan sebutan Punggawa D’emba

Education Program (PDEP) relevansinya adalah untuk mendorong agar proses

pembelajaran di sekolah-sekolah lebih berkualitas, baik aspek penerimaan

materi pelajaran oleh siswa-siswa maupun kualitas cara dan metode mengajar

para guru di sekolah.

Berdasarkan temuan peneliti dilapangan, bahwa Punggawa D’emba

Education Program (PDEP) adalah konsep pembelajaran revolusioner yang

tujuan pokoknya untuk peningkatan kualitas guru dan peserta anak didik dalam

memahami materi pelajaran, memiliki keterampilan, positive mindset, dan jiwa

nasionalisme yang tinggi, serta memiliki pemahaman yang dalam terhadap

tradisi dan budaya lokal masyarakat Gowa. Sementara secara etimologi istilah

Punggawa D’Emba itu sendiri rupanya diambil dari istilah bahasa Makassar,

yakni istilah Punggawa berarti pemimpin atau orang yang memiliki pengaruh

kekuasaan dan istilah D’Emba memiliki makna Daeng Emba yaitu sebuah nama

dari seorang tokoh lokal yang memiliki pengaruh dan dihormati karena

kepeduliannya yang sangat tinggi terhadap dunia pendidikan di kabupaten

Gowa. Munculnya ide perbaikan kualitas pembelajaran melalui program model

pembelajaran berbasis audio visual adalah hasil studi banding ke beberapa

daerah di dalam negeri dan luar negeri yang dianggap sukses dalam

menerapkan konsep tersebut. Studi banding ini dilakukan oleh pemerintah


355

daerah (Bupati), pihak Dispora, dan anggota DPRD yang membidangi masalah

pendidikan.

Awal pengembangan Punggawa D’emba Education Program (PDEP)

tentu saja tidak berjalan mulus. Sehingga program ini tidak secara langsung

dapat direalisasikan. Pengembangan program ini, secara teknis membutuhkan

pihak (orang) yang ahli dan profesional. Tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh

pemerintah daerah. Oleh karena itu dibuka peluang bagi keterlibatan pihak di

luar pemerintah daerah. Pelibatan pihak ketiga diadakan dalam bentuk

kerjasama dengan perusahan swasta bernama I-Solution.

Model pembelajaran inovasi ini diyakini memiliki beberapa keunggulan

antara lain: (1) melalui media audio visual memberikan pesan yang dapat

diterima secara lebih merata oleh siswa; (2) sangat bagus untuk menerangkan

suatu proses; (3) mengatasi keterbatasan ruang dan waktu; (4) lebih realisitis,

dapat diulang-ulang dan dihentikan sesuai dengan kebutuhan; dan (5)

memberikan kesan mendalam yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku

siswa didik.

Walaupun demikian, konsep pembelajaran dengan pendekatan teknologi

informasi dan komunikasi melalui teknik audio visual yang memiliki banyak

keunggulan dibanding sistem pembelajaran yang konvensional tetap

mengandung beberapa kelemahan dibalik penerapannya. Secara operasional

tentu program ini membutuhkan fasilitas tertentu seperti pembenahan ruang

kelas yang didesain khusus untuk metode cinema class. Sumber daya tenaga

pengajar (guru) masih memiliki keterbatasan skill dalam mengoperasikan

komputer dan teknologi informasi. Selain itu, beberapa mata pelajaran menurut

beberapa guru dan anak didik kelihatannya masih lebih efektif jika menggunakan

model konvensional.
356

Melalui penyajian deskriptif tentang inovasi di bidang pendidikan yang

dikemas dalam bentuk program inovatif Punggawa D’Emba Education Program

(PDEP) sebagaimana diuraikan di atas, dapat diambil beberapa inti sari dari

pengembangan program tersebut. Pertama, penerapan Punggawa D’Emba

Education Program (PDEP) merupakan bagian dari bukti komitmen pemerintah

daerah dan DPRD dalam memberikan pelayanan dasar yang maksimal di bidang

pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui

peningkatan indeks pendidikan kabupaten Gowa.

Kedua, pengembangan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP)

merupakan inovasi program dalam mendorong agar proses pembelajaran di

sekolah-sekolah menjadi semakin berkualitas, yang ditandai dengan nilai rata-

rata mata pelajaran dan ujian nasional lulusan makin meningkat.

Ketiga, bentuk inovasi Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) ini

berkaitan dengan metode pembelajaran yang menggunakan teknologi audio

visual atau cinema edutainmnet. Metode dan sistem pembelajaran ini benar-

benar menjadi hal baru dan berbeda dengan metode pembelajaran konvensional

selama ini.

(d) Satuan Polisi (Satpol) Pendidikan

Salah satu terobosan penting pemerintah daerah kabupaten Gowa, selain

kebijakan dan program SPAS, Pendidikan Gratis, dan Punggawa D’Emba

Education Program sebagaimana telah diuraikan adalah inovasi program yang

dikemas dalam bentuk Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan atau Satuan Polisi

Pamong Praja (Satpol PP) Pendidikan. Pembetukan Satgas Pendidikan ini masih

merupakan bagian penting dari kebijakan strategis di bidang pendidikan

kabupaten Gowa. Namun sebelum lebih dalam menyelami bagaimana program

itu dibentuk dan dijalankan, sebaiknya di awal penyajian kiranya urgen untuk
357

memberikan pemahaman dasar terkait dengan eksistensi Satuan Polisi Pamong

Praja dalam sistem pemerintahan daerah saat ini.

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam sistem pemerintahan

daerah merupakan bagian atau salah satu perangkat daerah yang membantu

kepala daerah dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan daerah. Hal ini

dinyatakan secara tegas dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2010

tentang Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), bahwa Satpol PP merupakan

bagian perangkat daerah yang memiliki tugas dan fungsi penegakan peraturan

daerah (perda) dan membantu kepala daerah dalam melaksanakan urusan

ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Kemudian organisasi dan tata

kerja Satpol PP dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sudah diatur pula

dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 40 Tahun 2011

tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja.

Dengan demikian menjadi terang bahwa eksistensi Satpol PP dalam sistem

pemerintahan daerah menjadi sangat strategis yang dilandasi oleh dua aturan

payung hukum untuk menunaikan tugas dan fungsinya sehari-hari.

Mengakselerasi terciptanya kualitas dan akses pendidikan yang lemah,

telah didorong melalui program Pendidikan Gratis yang ditopang oleh Perda

Pendidikan Gratis dan Wajib Belajar. Selain itu, pemerintah daerah juga telah

mengemas program inovatif Punggawa D’Emba Education Program (PDEP)

untuk memperbaiki metode dan sistem pembelajaran. Namun, penerapan kedua

perda di bidang pendidikan tersebut terasa belum maksimal. Oleh karena itu

pemerintah daerah membuat terobosan dengan memaksimalkan fungsi dan

tugas perangkat daerah Satpol PP dalam menegakkan Perda Pendidikan Gratis

dan Perda Wajib Belajar.


358

Upaya memaksimalkan fungsi dan tugas Satpol PP dalam menegakkan

Perda Pendidikan Gratis dan Perda Wajib Belajar diwujudkan dengan

membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan. Pembentukan Satgas

Pendidikan ini merupakan bentuk inovasi pemerintah daerah kabupaten Gowa

yang didesain dalam bentuk kerjasama antar SKPD (perangkat daerah).

Meskipun kerjasama antar SKPD bukanlah hal yang baru, namun kerjasama

antara Kantor Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Pendidikan, Pemuda dan

Olah Raga melalui pembentukan Satgas Pendidikan adalah terobosan yang tidak

hanya inspiratif -thinking out of the box- melainkan juga secara metodik

mendorong dampak positif yang lebih luas (UNfGI, 2012).

Langkah inovasi pemerintah daerah kabupaten Gowa melalui

pembentukan Satgas Pendidikan sejatinya merupakan langkah terobosan untuk

mencari format kerjasama antar kelembagaan di lingkup SKPD yang dapat di

refungsionalisasi untuk mendukung kebijakan strategis Kabupaten Gowa (UNfGI,

2012). Format kerjasama antar perangkat (SKPD) dalam lingkup pemerintahan

daerah seperti pembentukan Satgas Pendidikan ini sebetulnya sudah memiliki

payung hukum yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 33

Tahun 2008 Tentang Pedoman Hubungan Kerja Organisasi Perangkat Daerah

Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Dalam ketentuan umum pasal (1) dari Permendagri No. 33 Tahun 2008

tersebut istilah kerjasama dimaknai sebagai pola hubungan kerja yaitu rangkaian

prosedur dan tata kerja antar perangkat daerah yang membentuk suatu

kebulatan pola kerja dalam rangka optimalisasi hasil kerja. Selanjutnya pada

pasal (2) ditegaskan pula beberapa prinsip yang harus dipegang dalam pola

hubungan kerja antar perangkat daerah, antara lain: (a) saling membantu dan

mendukung untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik yang berkelanjutan; (b)


359

saling menghargai kedudukan, tugas dan fungsi serta wewenang masing-masing

perangkat daerah; (c) saling memberi manfaat; dan (d) saling mendorong

kemandirian masing-masing perangkat daerah yang mengacu pada peningkatan

kemampuan penyelenggaraan tugas-tugas kepemerintahan.

Di akhir deskripsi ini diketengahkan beberapa intisari yang berkaitan

dengan kebijakan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan di kabupaten

Gowa. Beberapa poin penting dari kebijakan tersebut, pertama, Satgas

Pendidikan adalah inovasi pemerintah daerah yang dirancang dalam bentuk

kerjasama atau pola hubungan kerja antar SKPD (perangkat) khususnya Satuan

Polisi Pamong Praja dan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. Hal ini

menjadi terobosan tidak hanya inspiratif –thinking outside of the box- tetapi juga

secara metodik dapat memberi dampak yang lebih luas.

Kedua, Satgas Pendidikan dimaksudkan untuk mengakselerasi kebijakan

strategis pendidikan Kabupaten Gowa yang dideklarasikan melalui Perda

Pendidikan Gratis dan Perda Wajib Belajar. Sehingga secara kontekstual

kehadiran satgas ini sangat relevan untuk mendorong meningkatnya kualitas dan

aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan pendidikan.

Ketiga, personil Satgas Pendidikan diisi melalui pola mekanisme formal

dan informal. Mekanisme rekrutmen secara formal melalui skema verifikasi yang

dilakukan oleh Satpol PP dan Dispora Kabupaten Gowa. Sementara pola

rekrutmen informal penjaringan personil Satgas Pendidikan ditempuh melalui

rekomendasi tokoh masyarakat setempat, di mana wilayah asal tempat tinggal

calon pelamar. Keempat, tujuan strategis Satgas Pendidikan adalah mendukung

inplementasi kebijakan Pendidikan Gratis sebagai garis kebijakan Bupati Gowa

dan mengubah wajah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) itu sendiri yang
360

sering dianggap oleh masyarakat cenderung melakukan tindakan represif,

arogan dan identik dengan penggusuran pemukiman warga.

Secara teoritis menurut Eggers & Singh (2009:9), sebuah inovasi dalam

pemerintahan bisa berasal dari empat sumber, yakni (1) External partners

(contractors, nonprofits, other governments), artinya bahwa suatu inovasi dalam

pemerintahan daerah dapat bersumber dari pihak eksternal yang bermitra

dengan pemerintah misalnya pengusaha kontraktor (pihak ketiga), organisasi

nonprofit (NGO), mitra pemerintahan yang setingkat dan pemerintahan yang

lebih tinggi (pusat dan provinsi); (2) Citizens (engage citizen-customers), artinya

bahwa inovasi pemerintahan daerah bisa muncul karena keterlibatan warga dan

pelanggan; (3) Internal partners (other government agencies) artinya bahwa

inovasi dalam pemerintahan daerah berasal dari badan-badan pemerintahan

dalam suatu organisasi pemerintahan daerah (SKPD dan DPRD); dan (4)

Employees (public employees) artinya bahwa inovasi pemerintahan daerah bisa

bersumber dari personil aparatur pemerintahan sendiri.

Jika mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Eggers & Singh di

atas, nampaknya keempat program inovasi urusan pendidikan di atas,

berdasarkan sumber munculnya gagasan awal pembentukannya dapat

dikategorikan sebagai berikut: (1) Program SPAS dan Satgas Pendidikan

merupakan program yang bersumber dari internal partners karena kedua

program inovasi tersebut murni gagasan dari Bupati Gowa yang kemudian

dikemas menjadi program unggulan. Kecuali dalam proses perencanaannya

kemudian melibatkan unsur DPRD. Kedua progam inovasi ini merupakan

program inovasi yang berbasi sumberdaya lokal; (2) Program Pendidikan Gratis

dan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) merupakan program yang

bersumber dari external partners, karena kedua program inovasi ini gagasan
361

awalnya karena hasil kegiatan studi banding ke daerah lain. Program Pendidikan

Gratis merupakan program yang bersifat komplementer terhadap program BOS

dan BOSDA yang dikembangkan oleh pemerintah provinsi dan pusat. Punggawa

D’Emba Education Program (PDEP) adalah program perbaikan mutu

pembelajaran berbasis teknologi informasi yang menggunakan ahli-ahli pihak

mitra atau pengusaha kontraktor.

Selanjutnya menurut Eggers & Singh (2009:49) sumber-sumber inovasi

tersebut di atas dapat digali melalui beberapa strategi inovasi, yaitu: (1)

Cultivate, melalui strategi “mengolah” sumber-sumber inovasi dari internal

pemerintahan sendiri, misalnya bagaimana memunculkan ide-ide cerdas,

pengetahuan dan keterampilan tertentu yang dimiliki oleh para aparatur,yang

mungkin selama ini belum terungkapkan; (2) Replication, organisasi

pemerintahan menciptakan sistem atau cara untuk mengidentifikasi dan

mengadopsi bentuk-bentuk inovasi di tempat lain; (3) Partner, strategi di mana

pemerintah bermitra dengan badan-badan pemerintahan secara internal dan

bermitra dengan piha ketiga seperti pengusaha kontraktor dan organisasi

noprofit; (4) Network, strategi pemerintah membangunan jaringan kepada piha-

pihak ekternal; dan (5) open source, strategi pemerintah dengan membuka

seluas-luasnya bagi pihak ekternal yang memiliki sumberdaya yang dibutuhkan.

Secara teoritis menurut Behn (2008:142), bahwa terdapat empat proses

yang berbeda dalam menerapkan sebuah inovasi yang biasa dikembangkan,

antara lain: (1) Diffusion, yakni proses inovasi yang sifatnya tidak disengaja

(unintentional), berlangsung spontan (spontaneous), proses yang tidak tampak

(hidden-hand) dilakukan oleh seseorang ketika mendengar tentang inovasi dan

menyimpulkan bermanfaat untuk di coba. Hal ini sering disebut dengan “the

somehow people will learn how to get better approach”. (2) Transfer, yakni
362

pertukaran ide-ide secara informal dan diparaktekkan oleh suatu jaringan antara

individu-individu, biasanya jaringan pertemanan dan kolega dalam suatu profesi

(pekerjaan) area kebijakan yang sama, meskipun berbeda organisasi atau

wilayah kerja. Biasanya disebut “the friends will tell friends about how they are

getting better approach”. (3) Propagation, yakni suatu upaya berupa pemikiran

atau perencanaan yang telah disiapkan terlebih dahulu (mungkin oleh inovator-

inovator, individu diluar organisasi, atau level pemerintahan yang lebih tinggi)

untuk membuat strategi dialog terhadap pendidikan dan bantuan untuk

mentransfer inovasi dari orang (pihak) lain. Hal ini seringkali disebut sebagai “the

we ought to help people learn how to get better approach”. (4) Replication, yakni

suatu usaha sadar yang dilakukan oleh organisasi (individu di dalam organisasi)

yang bekerja keras untuk memperbaiki, dengan mencari secara aktif terhadap

ide-ide, kebijakan, program, dan praktek yang telah sukses dan dapat diadopsi.

Jenis strategi replikasi ini sering disebut dengan ungkapan “the we want to learn

from others who know how to get better approach”.

Jika mengacu pada hasil kajian ini, nampaknya strategi yang relevan

adalah strategi replikasi inovasi apabila dikaitkan dengan beberapa pandangan

tentang konsep strategis inovasi pemerintahan yang dikembangkan oleh Eggers

& Singh (2009) dan Behn (2008). Hal ini diperkuat pandangan dari Sumarto

(2004) seorang ahli dan peneliti praktek inovasi di Indonesia, yang

menyimpulkan bahwa pada dasarnya strategi yang paling tepat digunakan oleh

pemerintah dalam mengembangkan inovasi adalah replikasi inovasi. Peneliti

menjelaskan bahwa meskipun replikasi secara etimologi berarti meniru, yang

seringkali berkonotasi “negatif” yaitu melakukan duplikasi, repetisi, tidak kreatif,

bahkan pecundang. Padahal, dalam konteks kebijakan dan pelayanan publik,

replikasi adalah tindakan yang harus didorong agar reformasi terjadi secara lebih
363

meluas dan cepat. Melalui replikasi, terjadi akselerasi yang tidak semahal jika

perubahan dimulai dari nol. Sehingga kemungkinan sukses replikasi lebih besar

jika dibandingkan dengan memulakan suatu inisiatif tanpa referensi sama sekali.

TIPOLOGI PROGRAM INOVASI


URUSAN PENDIDIKAN

Peningkatan Akses Peningkatan Kualitas


Pelayanan Pendidikan Pembelajaran di Sekolah

Program Program Punggawa D’Emba Pembentukan


SPAS Pendidikan Gratis Education (PDEP) Satgas Pendidikan

Gambar 24. Pohon Analisis Jenis Program Inovasi Urusan Pendidikan

Gambar 24 di di atas menunjukkan bagaimana penggunaan pola analisis

induktif dalam model spiral, yakni dimulai dari beragam informasi dan data

empirik tentang jenis-jenis inovasi apa saja yang telah dan sedang

dikembangkan oleh pemerintah daerah. Kemudian meluas menjadi tema-tema

yang lebih spesifik tentang pengaruhnya terhadap peningkatan akses pelayanan

pendidikan dan kualitas proses pembelajaran. Kemudian terakhir mengerucut

pada tema yang lebih umum dan abstrak yaitu jenis-jenis program inovasi yang

dilaksanakan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dalam urusan

pendidikan. Gambar 24 ini dapat juga dimaknai sebagai bentuk visualisasi dari

beragam jenis program inovasi urusan pendidikan yang dikembangkan oleh

pemerintah daerah. Di mana setiap jenis program inovasi memiliki dampak, yakni

dapat meningkatkan akses atau keterjangkauan masyarakat terhapat pelayanan

pendidikan dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran yang berlangsung di

sekolah-sekolah
364

Tabel 36. Matriks Tipologi Program Inovasi dalam Urusan Pendidikan

Tipologi Program Inovasi Urusan Pendidikan


Sanggar Pendidikan Program Pendidikan Punggawa D’Emba Pembentukan
Anak Saleh Gratis Education Program Satgas
(SPAS) (PDEP) Pendidikan
Inisiator Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah
(Bupati Gowa IYL) (Bupati Gowa IYL) (Bupati Gowa IYL) (Bupati Gowa IYL)
Konsep Dasar Program menurunkan Program mengurangi Pembelajaran metode Refungsionalisasi
tingginya angka buta beban biaya pendi- audio visual (cinema Satpol PP dari
aksara & baca tulis dikan bagi orang tua class) & integrasi nilai menegakkan Perda
alqu’an (anak usia murid ekonomi lemah budaya lokal ke melayani di
sekolah & dewasa) & marginal bidang pendidikan
Waktu 2006 s/d sekarang 2008 s/d sekarang 2009 s/d sekarang 2009 s/d sekarang
Tipologi Inovasi proses Inovasi proses Inovasi produk Inovasi metode
pelayanan pelayanan pelayanan pelayanan
Fokus Pelayanan publik Pelayanan publik Pelayanan publik Pelayanan publik
urusan pendidikan urusan pendidikan urusan pendidikan urusan pendidikan
Lokus Eksternal Pemda Eksternal Pemda Eksternal Pemda Eksternal Pemda
Implementasi Mendirikan SPAS Menjadi supporting Pelatihan bagi guru ttg Fasilitas antar
berbasis Desa / program Pendidikan moving class+cinema jemput bagi guru yg
Kelurahan. Gratis provinsi &pro- class+penggunaan rumahnya lebih 1,5
Melibatkan volunteer gram BOS/BOSDA perangkat audio Km dari sekolah.
untuk mengajar. Bebas uang se- visual+materi muatan Razia anak sekolah
Dispora, UPT kolah, SPP, uang lokal. saat jam belajar.
sebagai Tim Monev buku tingkat SD, Setiap sekolah ruang Membuka akses
Tahun 2010 SPAS SMP, SMA khusus cinema class complain system
diintegrasikan (sederajat) baik difasilitasi perangkat via SMS bagi masy.
dengan program negeri / swasta audio visual, serlaku yg melihat anak yg
PAUD pemerintah Dana sharing APBD sekolah swasta/negeri bolos sekolah
Provinsi Kabupaten.
Tujuan Meningkatkan akses Meningkatkan akses Memperbaiki kualitas Meningkatkan
pelayanan & pemerataan pembelajaran di kelas akses & kualitas
pendidikan pelayanan & menanamkan nilai pendidikan
pendidikan. budaya lokal makssar
Kemitraan Masyarakat Desa Masyarakat melalui Pihak swasta sebagai Kerjasama Dispora
mehibahkan lahan & Komite Sekolah penyedia teknologi & & Satpol PP
menjadi volunteer hanya pengawas konsultan melatih guru
Dampak Animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya meningkat, tampak dari meningkatnya Angka
Partiipasi Murni (APM) & Angka Lulus (AL) semua jenjang sekolah. Angka lanjut ke jenjang lebih
tinggi meningkat dan angka buta huruf & baca Alquran juga makin menurun. Secara makro
berdampak terhadap perbaikan indeks pendidikan dan capaian Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) mengalami peningkatan sejak program inovasi dilaksanakan.
Keberlanjutan Selama dua periode (2005/2010 & 2010/2015) pemerintahan Bupati Gowa IYL tidak mengalami
kendala di setiap tahunnya. Sehingga untuk menjamin sustainability program, maka secara
kelembagaan diterbitkan Perda No. 4/2008 tentang Pendidikan Gratis & Perda No. 10/2009
tentang Program Wajib Belajar. Selain itu juga di setiap tahun diterbitkan Keputusan Bupati yang
mengatur pelaksanaan program SPAS, PDEP, Pendidikan Gratis, & Satgas Pendidikan,
termasuk di dalamnya mengenai dukungan alokasi anggaran yang selalu meningkat. Sudah
menjadi komitmen politik juga antara Pemda dan DPRD untuk selalu memprioritaskan program
dalam urusan pendidikan karena telah menjadi prioritas agenda pembangunan daerah yang
tertuang dalam RPJMD dan RPJMP Kabupaten Gowa.
Sumber: Diolah dari hasil kajian Disertasi ini (2015)
365

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang berkaitan dengan jenis

program yang dikembangkan kemudian dianalisis dengan teori dan konsep dari

beberapa ahli, maka dirumuskanlah proposisi sebagai berikut:

Proposisi Minor 3: Jika tipologi program inovasi pemerintahan diadopsi


melalui strategi replikasi/imitasi, maka program inovasi
pemerintahan daerah bersifat inkremental & dimodifikasi
serta harus memiliki nilai perbaikan terhadap pelayanan
publik.

Proposisi Minor 4: Program inovasi urusan pendidikan bisa dinilai dari segi
dampak positif, keterlibatan aktor-aktor, pemberdayaan
masyarakat, keberlanjutan, konteks lokal, dan dapat
ditransfer serta direplikasi/imitasi oleh daerah lain.

5.2.3 Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Penyelenggaraan


Urusan Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat fakta-fakta yang berkaitan dengan

bagaimana kapasitas inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan

urusan pendidikan. Fakta-fakta tentang kapasitas inovasi pemerintahan daerah

yang dimaksud meliputi (a) kapasitas kepemimpinan Bupati; (b) kapasitas

aparatur pelaksana program inovasi; (c) kapasitas anggaran program inovasi. (d)

kapasitas jaringan (networking) pemerintahan daerah; (e) kapasitas regulasi

dalam mendukung pelaksanaan program inovasi pemerintahan daerah dalam

urusan pendidikan. Pada bagian berikut ini akan dijelaskan masing-masing

kapasitas pemerintahan daerah tersebut.

(a) Kapasitas Kepemimpinan Inovatif Bupati

Kapasitas kepemimpinan inovatif adalah kemampuan yang dimiliki

seorang pemimpin untuk mendorong pengembangan inovasi dalam suatu

organisasi tertentu. Seorang pemimpin yang memiliki kapasitas inovasi adalah

pemimpin yang tentu saja menguasai pengetahuan dan berwawasan yang luas
366

dalam hal pengembangan inovasi. Namun penguasaan pengetahuan yang

mendalam dan wawasan yang luas tidaklah cukup efektif dalam pengembangan

inovasi, jika tidak disertai dengan komitmen yang tinggi dan kemampuan untuk

melaksanakannya. Dengan demikian, inovasi yang dikembangkan oleh seorang

pemimpin dalam suatu organisasi diharapkan memberi dampak tehadap anggota

organisasinya.

Dalam konteks penelitian ini, penggambaran kapasitas kepemimpinan

inovatif hanya fokus pada kepasitas kepemimpinan Kepala Daerah (Bupati)

Gowa dalam mendorong pengembangan inovasi spesifik pada pelaksanaan

urusan pendidikan. Sekaitan dengan hal tersebut, kapasitas kepemimpinan

inovatif dilihat dan diukur melalui sejauhmana komitmen dan kemauan politik

(political will) bupati dalam memberikan public service dan menyediakan public

goods kepada warganya. Selain itu, kapasitas kepemimpina inovatif Bupati akan

ditinjau pula dilihat dari aspek visi-misi pengembangan inovasi yang dibangun,

langkah-langkah strategis yang diambil untuk mendorong inovasi, dan stabilitas

kepemimpinan bupati sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan.

Berdasarkan hasil temuan di lapangan, dapat digambarkan beberapa hal

yang berkaitan dengan kapasitas kepemimpinan inovatif yang diukur melalui

komitmen dan political will dari Bupati Gowa. Pertama, bahwa komitmen dan

political will Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo sudah sangat nampak ketika baru

saja selesai dilantik bersama Wakil Bupati Abd Razak Badjidu untuk periode

2005-2010 pada tanggal 13 Agustus 2005 oleh Gubernur Sulawesi Selatan HM

Amin Syam di lapangan Syekh Yusuf, Sungguminasa Kabupaten Gowa. Ketika

itu setelah pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Gowa berlangsung, maka

dilanjutkan dengan penandatanganan ”kontrak politik” yang disaksikan oleh

berbagai kalangan masyarakat yang hadir. Di antara isi ”kontrak politik” tersebut
367

yang terkait dengan pelayanan pendidikan adalah membangun 154 buah

sanggar anak saleh. Program sanggar anak saleh inilah yang kemudian dikenal

dengan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS). Pengembangan SPAS ini pula

menjadi progran unggulan sekaligus inovatif di awal pemerintahannya. Selain itu,

”kontrak politik” tersebut juga berisi pemberian secara gratis buku wajib kepada

2.846 anak SD yang berasal dari keluarga miskin. Sesuai dengan komitmen

dalam ”kontrak politik”, hanya dalam jangka waktu satu tahun, pengembangan

154 unit SPAS dan pemberian buku gratis pada anak SD dari keluarga miskin

sudah dapat terealisasi.

Kedua, komitmen dan political will yang tinggi oleh Bupati Gowa tercermin

pula pada pengembangan kebijakan dan program inovatif yang bernama

program pendidikan gratis. Di mana program terobosan pendidikan gratis ini

adalah program yang dimaksudkan untuk mengakselerasi peningkatan kualitas

dan aksesibilitas masyarakat Gowa terhadap dunia pendidikan. Dalam rangka

mempercepat realisasi dari program pendidikan gratis tersebut, maka langkah

yang diambil bupati adalah segera mengajukan Rancangan Peraturan Daerah

tentang Pendidikan Gratis kepada DPRD yang kemudian disahkan menjadi

Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis. Setelah itu,

dalam rangka pelakasanaan perda tersebut maka bupati segera pula

menerbitkan Peraturan Bupati Gowa Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan

Perda Pendidikan Gratis.

Ketiga, bermula dari keprihatinan melihat kondisi kualitas output sekolah

yang masih rendah yang diakibatkan oleh proses pembelajaran yang belum

efektif maka Bupati Gowa mengambil langkah-langkah antara lain studi banding,

baik ke daerah-daerah maupun ke negara yang memiliki metode pembelajaran

dan sistem pendidikan yang sudah maju. Program studi banding yang dipelopori
368

oleh bupati dengan menyertakan pihak terkait (DPRD, Dinas Dikpora dan dewan

pendidikan) bertujuan untuk mengadopsi metode dan sistem pembelajaran yang

telah berhasil diterapkan disana. Hasilnya adalah mengadopsi metode dan

sistem pembelajaran yang berbasis pada audio visual (cinema class). Metode

dan sistem pembelajaran inilah yang kemudian dikenal dengan Punggawa

D’Emba Education Program. Disamping itu, Bupati Gowa juga melakukan

terobosan kebijakan yang cukup inovatif yakni kerja sama antar perangkat

daerah yakni Satpol PP dan Dinas Dikpora dengan membentuk Satpol (Satgas)

Pendidikan, seperti sudah diuraikan secara deskriptif pada bagian sebelumnya.

Tentu peran dari Bupati Gowa tidak hanya pada fase memunculkan

gagasan dan ide untuk mengembangkan kebijakan dan program inovasi dalam

penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam uraian ketiga fakta

di atas. Namun bupati juga sangat aktif dan paling terdepan dalam sosialisasi

dan mensukseskan pelaksanaan program-program inovatif tersebut. Padahal

sesungguhnya terdapat perangkat daerah yakni Dinas Dikpora selaku pembantu

kepala daerah untuk pelaksanaan urusan pendidikan.

Kapasitas kepemimpinan inovatif seorang bupati bisa juga dinilai dari visi-

misi yang ingin dikembangkan. Berdasarkan catatan hasil penelitian di lapangan

diperoleh fakta bahwa Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo bersama Wakil Bupati

Abd Razak Badjidu adalah kepala daerah yang diusung oleh Partai Golkar,

Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) dan Partai Demokrat dalam pemilihan

kepala daerah (Pilkada) secara langsung pada 27 Juni 2005. Pasangan kepala

daerah ini merupakan kepala daerah pertama di Gowa yang dipilih melalui

pemelihan kepala daerah secara langsung. Sejak masa kampanye calon kepala

daerah waktu itu, Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo sudah menyatakan bahwa

visi pemerintahan dan pembangunan Kabupaten Gowa harus memprioritaskan


369

pembangunan sumber daya manusia, terutama bidang pendidikan, kesehatan

dan daya beli masyarakat. Dari sini sudah nampak adanya visi yang kuat dari

Bupati Gowa untuk menjadikan urusan pendidikan sebagai kebijakan strategis

pemerintah daerah melalui kebijakan dan program yang inovatif.

Atas dasar visi dan misi pembangunan manusia yang bertumpu pada

bidang pendidikan inilah yang diterjemahkan ke dalam visi dan misi daerah

Kabupaten Gowa. Hal ini tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah (RPJMD) 2010-2015. Visi daerah Kabupaten Gowa tersebut

berbunyi ”Terwujudnya Gowa yang Handal dalam Peningkatan Kualitas Hidup

Masyarakat dan Penyelengaraan Pemerintahan”. Selanjutnya salah satu misi

yang harus dilakukan untuk mewujudkan visi daerah Gowa tersebut, yakni

handal dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat adalah meningkatkan

kualitas sumber daya manusia dengan berbasis pada pemenuhan hak-hak dasar

masyarakat. Pemenuhan hak-hak dasar masyarakat salah satu di antaranya

adalah melalui pemberian pelayanan dan penyediaan fasilitas publik yang

optimal dalam bidang pendidikan.

Langkah strategis selanjutnya untuk mewujudkan visi dan misi

pembangunan daerah dalam memenuhi hak-hak dasar masyarakat Gowa

terutama hak dasar di bidang pendidikan, pemerintah daerah menjadikan isu

peningkatan mutu pendidikan sebagai prioritas pertama dalam pembangunan

daerah. Sebagaimana dapat dilihat dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah

Daerah (RKPD) Kabupaten Gowa tahun 2010. Dalam kebijakan RKPD ini

pemerintah daerah menetapkan enam prioritas pembangunan daerah yang

meliputi: (1) Peningkatan mutu pendidikan; (2) Peningkatan derajat kesehatan

masyarakat; (3) Peningkatan penanggulangan kemiskinan terpadu; (4)

Peningkatan mutu dan produksi pertanian; (5) Peningkatan kualitas dan akses
370

infrastruktur ke sentra perekonomian; dan (6) Peningkatan kompetensi aparatur

dan kelembagaan masyarakat.

Menjadikan isu peningkatan mutu pendidikan sebagai prioritas pertama

dalam kebijakan RKPD Kabupaten Gowa tahun 2010 menunjukkan bahwa

pemerintah daerah di bawah komando Bupati Ichsan Yasin Limpo memiliki

komitmen politik yang kuat dalam pelayanan (urusan) pendidikan. Apalagi jika

dilihat kembali program kerja dan alokasi anggaran yang cukup besar bagi sektor

pendidikan.

Fakta-fakta hasil kajian ini, di mana peran dan kontribusi Bupati sebagai

pemimpin pemerintahan daerah sangat menonjol dan strategis, hal ini rupanya

sangat relevan dengan hasil kajian dari Evans (2010) yang melakukan kajian

tentang kapasitas inovasi pemerintahan daerah terhadap delapan studi kasus

yang berbeda. Hasil kajian Evans kemudian dirangkum dalam tulisan “Building

the Capacity for Local Government Innovationm: Case studies from the

Australian, New Zaeland, and British contexts”. Melalui kajian dengan

menggunakan manajer senior pemerintah daerah sebagai

informan/responden terungkap beberapa pelajaran penting bagi

pengembangan kapasitas inovasi pemerintah daerah yaitu (a) kapasitas

mengetahui adanya kesenjangan metode dan pemberian pelayanan; (b)

kapasitas membangun kemitraan dengan stakeholders yang memiliki

sumberdaya; (c) kapasitas bertindak dalam kerangka kebijakan legislatif dan

memanfaatkan situasi politik secara tepat; (d) munculnya pemimpin yang

memiliki agenda reformasi untuk inovasi; (e) dukungan dari pemimpin politik dan

menajemen senior; (f) kolaborasi lintas-departemen dan unit pelayanan melalui


371

komunikasi yang efektif; (g) keterlibatan warga lokal; dan (h) tersedianya

teknologi baru yang mendukung pelaksanaan program inovasi

Demikian pula hasil kajian ini juga relevan dengan hasil temuan Capuno

(2010), yang mengkaji pentingnya posisi para pemimpin daerah sebagai

penggerak utama inovasi pemerintahan daerah di Negara Filipina. Hasil

kajiannya dimuat dalam artikel berjudul: Leadership and Innovation under

Decentralization: A Case Study of Selected Local Governments in the

Philippines. Melalui metode observasi dan survei merumuskan beberapa

kesimpulan, antara lain: (a) di era desentralisasi yang sudah berlangsung 20

tahun, pemerintah daerah berhasil melakukan inovasi dalam berbagai sektor; (b)

pemimpin daerah yang masih berkuasa (incumbent mayors) menjadi pendorong

utama lahirnya ide dan suksesnya pelaksanaan program inovasi di daerahnya;

(c) pemimpin yang berhasil mengembangkan inovasi sangat tergantung pada

situasi lingkungan (sumber daya alam), pengetahuan, pengalaman, dan insentif

yang diterima; (d) faktor kritis lain selain faktor kepemimpinan adalah faktor

kelembagaan meliputi kapasitas fiskal daerah, kualitas birokrasi daerah, aparatur

yang profesional, dan pelibatan sektor swasta.

(b) Kapasitas Aparatur Pelaksana Program Inovasi

Secara teoritis, unsur aparatur sebagai pelaksana organisasi

pemerintahan daerah memiliki posisi yang sangat strategis dalam menentukan

terwujudnya visi dan misi suatu daerah. Personel atau pegawai yang mengisi ini

disebut aparatur organisasi. Aparatur-aparatur inilah yang memiliki peran vital

dalam menentukan apakah visi dan misi organisasi bisa terwujud. Oleh karena

itu aparatur yang mengisi bangunan organisasi itu harus melalui sebuah proses

seleksi (selected). Pemilihan dan seleksi dilakukan untuk menjamin kualitas


372

aparatur yang sesuai dengan kualifikasi-kualifikasi yang dibutuhkan dalam

mewujudkan visi dan misi organisasi (Rohdewohld dikutip oleh Said (2007).

Menurut Girndle (1997), Fiszbein (1997) dan D.Eade (1998) dalam Keban

(2000) & Soeprato (2004) secara saksama menyatakan bahwa untuk

mewujudkan visi misi dan program suatu organisasi termasuk program yang

bersifat inovasi haruslah ditunjang oleh pegawai/aparatur yang memiliki

kapasitas. Kapasitas aparatur dapat diukur dari profesionalitas dan kemampuan

teknis yang dimilikinya. Agar selalu tersedia aparatur yang profesioanl dan

memiliki teknis yang diinginkan, maka beberapa kegiatan yang harus dilakukan

antara lain: training, pemberian gaji/upah, lingkungan kerja yang kondunsif dan

sistim rekruitmen yang tepat.

Dalam konteks hasil penelitian ini, dapat dikemukakan aparatur

pelaksana program inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan

adalah aparatur yang memiliki kapasitas. Kapasitas aparatur pelaksana inovasi

adalah tenaga pelaksana (work-force) berkualitas dalam mendukung

pengembangan inovasi dalam urusan pendidikan. Ketersediaan tenaga kerja

yang berkualitas menjadi penting, karena apalah artinya sebuah kebijakan dan

program inovatif yang digagas oleh seorang Kepala Daerah (Bupati) tanpa

ditunjang oleh adanya tenaga kerja yang berada paling di depan dan mengetahui

bagaimana aspek teknis dan aspek operasional dari program-program tersebut

dilapangan.

Tersedianya aparatur pemerintah daerah yang memiliki kualitas dan

kompetensi yang memadai berupa keterampilan (skill) dan pengetahuan

(knowledge) untuk mengembangkan praktek-praktek inovasi dalam urusan

pendidikan. Sementara tenaga pelaksana yang dimaksudkan adalah aparatur

pemerintah daerah yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan aparatur non
373

PNS, baik aparatur yang berada pada posisi jabatan struktural maupun aparatur

yang berstatus sebagai pegawai dengan jabatan fungsional seperti guru-guru

yang mengajar di sekolah. Mereka adalah aparatur pemerintah daerah

Kabupaten Gowa yang diberi tugas dan bekerja pada instansi Dispora.

(c) Kapasitas Anggaran untuk Program Inovasi

Kapasitas anggaran pendukung inovasi dalam bahasan ini adalah

pernyataan yang terkait dengan penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap

program inovasi. Penentuan jumlah alokasi dana untuk mendukung program

inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan telah melalui mekanisme yang lazim

berlangsung dalam pemerintahan daerah. Mekanisme penentuan besaran

alokasi dana pada tiap program kerja pemerintah tersebut umumnya melalui

mekanisme politik. Mekanisme politik anggaran pada tingkat kabupaten

dilakukan bersama antara pemerintah daerah (bupati) dan DPRD. Mekanisme

politik ini harus dilalui untuk memperoleh pengesahan (legitimasi politik) dari

DPRD sebagai lembaga representasi dari masyarakat. Besaran alokasi dana

untuk program kerja pemerintah daerah biasanya tertuang dan merupakan

bagian dari kebijakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) suatu

daerah. Demikian halnya dengan penentuan besaran alokasi dana untuk

mendukung program inovasi urusan pendidikan yang sedang berlangsung tentu

telah melalui proses politik dan telah dinyatakan dalam APBD kabupaten Gowa.

Hal yang penting pula selain besaran alokasi anggaran yang ditemukan

di atas adalah berhubungan dengan sumber anggaran yang mengisi kapasitas

anggaran daerah untuk membiayai pelaksanaan kebijakan dan program inovasi

bidang pendidikan. Berdasarkan fakta empiris ditemukan bahwa sumber-sumber

pembiayaan untuk pelaksanaan kebijakan dan program inovasi hanya berasal

dari satu sumber saja yakni pemerintah daerah melalui APBD. Sementara itu,
374

peneliti tidak mendapatkan data atau informasi tentang adanya sumber-sumber

pembiayaan dari pihak lain seperti pihak swasta. Kecuali bantuan-bantuan yang

sifatnya nonfinansial ada yang berasal dari pihak swasta setempat seperti

material bangunan sekolah dan peralatan teknologi untuk laboratorium sekolah

berupa komputer dan fasilitas internet. Pihak swasta atau perusahaan-

perusahaan yang beraktivitas dan beroperasi di daerah ini biasanya memberikan

bantuan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang mereka

miliki.

Fakta tentang sumber anggaran dalam temuan ini mengindikasikan

bahwa kapasitas anggaran untuk membiayai pelaksanaan program-program

inovasi bidang pendidikan sangat tergantung pada kondisi keuangan daerah

setempat. Ketergantungan pembiayaan program inovasi ini yang begitu tinggi

terhadap keuangan daerah, memunculkan kekhawatiran akan mengganggu

(mengurangi) porsi alokasi dana pada program-program non bidang pendidikan.

Misalnya program bidang kesehatan, bidang infrastruktur dan bidang

pengembangan ekonomi lokal yang juga tidak kalah pentingnya untuk

mendapatkan alokasi dana yang memadai. Mengingat program-program tersebut

juga menjadi program prioritas pembangunan daerah selama ini.

(d) Kapasitas Jaringan Pemerintahan Daerah untuk Program Inovasi

Kapasitas jaringan yang dimaksud dalam konteks penelitian ini meliputi

kapasitas jaringan internal pemerintahan dan kapasitas jaringan eksternal

pemerintahan. Kapasitas jaringan internal pemerintahan adalah kemampuan

membangun jaringan antar organisasi dalam pemerintahan itu sendiri. Misalnya

jaringan kerjasama antara pemerintah daerah dengan DPRD dan jaringan

kerjasama antara pemerintah daerah kabupaten dan pemerintah daerah provinsi.


375

Termasuk juga jaringan yang terbangun antar SKPD dalam organisasi

pemerintah daerah.

Sementara itu, kapasitas jaringan eksternal pemerintahan adalah

kemampuan membangun jaringan kerjasama antara pemerintah daerah dengan

institusi-institusi di luar lingkup pemerintahan. Misalnya jaringan kerjasama

antara institusi pemerintah daerah dengan institusi swasta (private sector) dan

insitusi sosial kemasyarakatan yang terdapat di daerah dan peduli terhadap

kemajuan pendidikan. Terutama mereka yang memiliki keinginan berpartisipasi

dalam pengembangan program-program inovasi yang digalakkan oleh

pemerintah daerah. Misalnya institusi perbankan, organisasi profesi pendidikan

(PGRI), perguruan tinggi, Muhammadyah, NU, LSM dan lain sebagainya.

Termasuk juga dewan pendidikan dan komite-komite sekolah yang sudah

terbentuk dan aktif selama ini merupakan jenis jaringan yang bersifat eksternal

dalam konteks pelaksanan program inovasi bidang pendidikan.

Selain jaringan internal pemerintahan antara pemerintah daerah dan

DPRD sebagaimana telah dideskripsikan di atas, juga sudah terbangun bentuk

jaringan kerjasama antar SKPD yakni Dinas Dikpora dan Satpol Pamong Praja.

Perwujudan dari jaringan kerjasama antar kedua SKPD tersebut adalah

pembentukan Satgas Pendidikan. Pembentukan satgas ini selain dimaksudkan

untuk mengawal implementasi perda dan peraturan bupati yang berhubungan

dengan kebijakan dan program inovasi pendidikan, satgas juga ditujukan untuk

membantu kelancaran dan ketertiban proses belajar di setiap sekolah. Hingga

penelitian dilakukan nampak jaringan kerjasama SKPD dalam bentuk Satgas

Pendidikan terbukti cukup efektif dalam mendorong meningkatnya aksesibilitas

dan kualitas proses belajar mengajar terutama pada tingkatan sekolah.


376

Jika deskripsi di atas berkaitan dengan kapasitas jaringan internal

pemerintahan daerah yang dinilai sangat harmonis yakni antara pemerintah

daerah dan lembaga DPRD kabupaten Gowa, maka penting pula disajikan

bagaimana jaringan yang terbangun antara pemerintah kabupaten Gowa dengan

pemerintahan daerah yang lebih tinggi yakni pemerintah provinsi Sulawesi

Selatan. Hal ini penting diungkapkan mengingat hubungan antara pemerintah

kabupaten Gowa dengan pemerintah provinsi Sulawesi Selatan memiliki ciri

yang berbeda dengan pemerintah kabupaten lainnya. Ciri perbedaan yang

dimaksud terletak pada adanya garis politik dan latar belakang politik yang

sangat kuat antara Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo dan Gubernur Sulawesi

Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Kedua pemimpin daerah tersebut memiliki garis

politik dan latar belakang politik yang sama yakni keduanya pejabat teras Partai

Golkar. Syahrul Yasin Limpo adalah seorang Ketua DPD Partai Golkar dan

Ichsan Yasin Limpo adalah Bendahara DPD Partai Golkar Sulawesi Selatan.

Kemudian secara geopolitik, sejak lama kabupaten Gowa sudah menjadi salah

satu daerah lumbung suara Partai Golkar. Selain hubungan yang kuat karena

latar belakang politik yang sama, yang tak kalah penting untuk dicermati adalah

kedua pemimpin daerah tersebut memiliki hubungan primordialisme yakni

hubungan saudara adik kakak.

Simpulan utama dari deskripsi kapasitas jaringan inovasi pemerintah

daerah yang diungkapkan di atas meliputi: pertama bahwa pemerintah daerah

dalam mengimplementasikan kebijakan dan progam inovasi urusan pendidikan

telah berusaha membangun jaringan dengan berbagai stakeholder, baik dengan

stakeholder’s internal pemerintahan daerah seperti DPRD, antar SKPD, dan

pemerintahan yang lebih tinggi (provinsi), maupun membangun kemitraan

dengan stakeholder’s eksternal pemerintahan daerah seperti Dewan Pendidikan,


377

Komite Sekolah, Perguruan Tinggi (UNHAS, UNM, dan UM Malang), PGRI,

rekanan pihak swasta (I-Solution), dan LSM-LSM lokal.

Kedua, kapasitas jaringan dalam pelaksanaan inovasi bidang pendidikan

memiliki beberapa variasi yang berbeda-beda. Jaringan yang terbangun secara

internal pemerintahan daerah nampaknya memiliki sifat yang lebih kuat karena

jaringan itu berfungsi sejak pada tahap perencanaan sampai pada proses

implementasi dari sebuah kebijakan dan program inovasi. Berbeda dengan

jaringan inovasi dengan pihak stakeholder’s eksternal, kebanyakan dari pihak

stakeholder’s tersebut hanya dilibatkan disaat proses implementasi dan

pengawasan berlangsung.

Simpulan yang terakhir, adalah bahwa nampaknya membangun jaringan

dalam memperkuat kapasitas berinovasi dalam pelaksanaan pelayanan

pendidikan belum terwujud secara efektif. Terutama fakta ini dapat dilihat pada

jaringan dengan stakeholder’s eksternal pemerintahan, dimana hasil penelitian

menunjukkan keterlibatan mereka dalam penyelenggaraan urusan pendidikan

masih sangat terbatas. Selanjutnya pada bagian berikut ini akan diuraikan

bagaimana kapasitas regulasi daerah dalam mendukung budaya inovasi dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan.

(e) Kapasitas Regulasi untuk Inovasi

Kapasitas regulasi yang dimaksud berkaitan dengan jenis regulasi seperti

regulasi yang mengatur tentang bagaimana sistem berbagi pengetahuan,

regulasi tentang sistem penghargaan (reward dan punishment), dan juga

bagaimana dengan sistem evaluasi yang dilakukan terhadap para

penyelenggara atau pegawai pemerintah daerah yang terlibat dalam

pelaksanaan kebijakan dan program inovasi yang dimaksud.


378

Berdasarkan hasil penelusuran dokumensi pemerintah daerah

dilapangan, peneliti menemukan bahwa jenis regulasi yang bersifat mengatur

bagaimana program-program inovasi bidang pendidikan dilaksanakan hanya

terdapat 3 (tiga) jenis yakni: (1) Perda Kabupaten Gowa No. 4 Tahun 2008

tentang Pendidikan Gratis; (2) Perda Kabupaten Gowa No. 10 tentang Wajib

Belajar; dan (3) Peraturan Bupati Gowa No. 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan

Perda Pendidikan Gratis. Sementara jenis regulasi yang bersifat mengurus

hanya ada 2 (dua) jenis yakni: (1) Keputusan Bupati Gowa No. 288/VIII/2011

tentang Penetapan Sekolah Penerima Progam Punggawa D’Emba Education;

dan (2) Keputusan Bupati Gowa No. 173/I/2012 tentang Susunan Dewan Pakar

Pendidikan. Kelima jenis regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah baik

yang sifatnya mengatur maupun yang mengurus nampaknya belum menyentuh

secara spesifik aspek teknis operasional bagaimana program-program inovasi itu

terlaksana dilapangan.

Pada temuan peneliti tersebut diatas terdapat 2 (dua) regulasi yang

bersifat pengurusan yakni Keputusan Bupati tentang pelaksanaan program

Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) dan pembentukan Dewan Pakar

Pendidikan. Kedua jenis regulasi tersebut menunjukkan sekaligus mempertegas

bahwa pemerintah daerah telah melibatkan pihak eksternal khususnya

perguruan tinggi untuk mendukung program-program inovasi pendidikan di

Gowa. Pada disisi lain, nampaknya tidak ditemukan adanya regulasi yang secara

khusus mengatur sistem bagaimana berbagi atau penyebaran pengetahuan dan

keterampilan (dissemination system of the knowledge and skill) bagi sesama

pegawai dalam penyelenggaraan program tertentu. Serta belum ada pula aturan

khusus tentang sistem pemberian penghargaan (reward) bagi aparatur

pelaksana yang memiliki prestasi dalam penyelenggaraan program inovasi


379

tersebut. Demikian halnya dalam sistem evaluasi, peneliti juga tidak menemukan

adanya aturan khusus tentang bagaimana sistem evaluasi terhadap personil

pelaksana program-program inovasi bidang pendidikan.

Berdasarkan fakta hasil penelitian di atas, nampaknya belum sepenuhnya

sesuai dengan teori dan konsep kapasitas organisasi pemerintahan yang

seharusnya dimiliki oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dalam

mengelola program inovasi urusan pendidikan. Konsep kapasitas organisasi

yang dikembangkan oleh Grindle (1997) menerangkankan bahwa ada tiga

dimensi kapasitas yakni dimensi sumberdaya manusia, dimensi organisasi, dan

dimensi reformasi kelembagaan. Kim, et al (2007), dalam studinya berjudul “The

Quality of Management and Government Innovation: An Empirical Study”

mengungkap sebuah model kapasitas manajemen dan inovasi pemerintahan,

yang terdiri dari empat dimensi yang membangun kapasitas manajemen

pemerintahan dalam berinovasi. Keempat dimensi dari model kapasitas

manajemen inovasi pemerintahan meliputi; (1) kepemimpinan inovatif (innovative

leadership); (2) kualitas timkerja (quality of workforce); (3) sistem/struktur

(systems/stuctures); dan (4) pengelolaan pengaruh dari luar (managing external

influences).

Menyimak teori-teori kapasitas oleh Grindle (1997) dan Kim,et al (2007)

di atas, kemudian dihubungkan dengan hasil penelitian, nampak bahwa yang

menonjol hanya pada dimensi organisasi terutama pada unsur kepemimpinan

(leadership) sebagaimana fakta di mana kepemimpinan Kepala Daerah (Bupati)

Ichsan Yasin Limpo sangat dominan dalam mendorong pengembangan inovasi

di daerahnya. Selain itu, yang dominan juga adalah faktor kapasitas anggaran

yang sangat menentukan terealisasinya program inovasi terutama pada program

Pendidikan Gratis, di mana profil program ini sangat berbasis pada anggaran.
380

Kapasitas dukungan politik nampaknya juga sangat kuat, terutama karena Bupati

Gowa berasal dari Partai Golkar yang memiliki kursi terbanyak di DPRD dan juga

adanya klan primordial dengan Syahrul Yasin Limpo Gubernur Sulawesi Selatan.

KAPASITAS INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH


DALAM URUSAN PENDIDIKAN

Kepemimpinan Kualitas System/struktur Mengelola


inovatif aparatur (tim) yang kuat pengaruh eksternal

Kepemimpin Pelaksana Anggaran Jaringan Regulasi


-an Bupati Program Program Pemerintahan Program

Gambar 25. Pohon Analisis Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam


Urusan Pendidikan

Gambar 25 menunjukkan bagaimana penggunaan pola analisis induktif

dalam analisis model spiral, yakni dimulai dari beragam informasi dan data

empirik tentang aspek-aspek kapasitas inovasi kemudian meluas menjadi tema-

tema yang lebih spesifik tentang dimensi-dimensi kapasitas inovasi dan terakhir

mengerucut pada tema yang lebih umum dan abstrak yaitu kapasitas inovasi

pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dalam urusan pendidikan.

Selanjutnya digambarkan bagaimana keterkaitan antara kapasitas

kepemimpinan daerah yang mendukung inovasi (leadership support) dan

kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah (institutional capacity) dalam

pengembangan program inovasi pemerintahan daerah yang efektif. Hal ini dapat

dilihat pada Gambar 26 yang menunjukkan bahwa jika pengembangan inovasi

didukung oleh kepemimpinan yang memiliki komitmen dan kemauan politik kuat,

visi dan misi inovasi yang jelas, kepemiminan yang stabil dan motif inovasi yang

mendasar disertai dengan adanya kapasitas kelembagaan yang meliputi mandat


381

organisasi untuk inovasi dalam wujud perencanaan strategis, RPJMD & RPJPD,

tersedianya regulasi yang cukup sebagai dasar hukum inovasi, tim kerja

(aparatur profeional), dan anggaran (dalam APBD) yang mendukung serta

jaringan baik internal maupun jaringan eksternal, maka pengembangan inovasi

diyakini akan berlangsung efektif.

Gambar 26: Keterkaitan antara leadership support dan institutional capacity


untuk pengembangan inovasi

Sumber: Diadaptasi dari hasil kajian disertasi ini (2016), Muluk (2008) dan Kim,
et al (2007)

Melalui pembahasan terhadap hasil penelitian tentang kapasitas inovasi

pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dalam urusan pendidikan, maka berikut

ini diformulasikan proposisi penelitian dari pembahasan tersebut.

Proposisi Minor 5: Program inovasi urusan pendidikan yang ditentukan oleh


dominasi kapasitas kepemimpinan Bupati dan ketersediaan
anggaran (APBD/APBN) bisa berlangsung efektif untuk
jangka pendek dan jangka panjang jika didukung oleh
tersedianya kapasitas pemerintahan daerah secara
komprehensif yakni kepemimpinan yang inovatif, kualitas
aparatur, struktur dan sistem yang kuat, dan kemampuan
mengelola pengaruh eksternal (politik & jaringan)
382

Proposisi Minor 6: Penyelenggaraan pemerintahan daerah urusan pendidikan


adalah bagian yang tak terpisahkan dari pelaksanaan
urusan pemerintahan secara nasional sehingga
pengembangan program inovasi urusan pendidikan yang
efektif harus didukung kebijakan dan program dalam
urusan pendidikan pada tingkat provinsi dan pemerintah
pusat.

Berdasarkan proposisi minor yang telah dirumuskan proses analisis

terhadap hasil penelitian tentang pengembangan inovasi pemerintahan daerah

dalam urusan pendidikan di Kabupaten Gowa, maka berikut ini dirumuskanlah

proposisi mayor sebagai kesimpulan dari proposisi-proposisi minor tersebut.

Proposisi Mayor: Pengembangan program inovasi urusan pendidikan harus


didukung oleh proses politik dan proses manajerial /
administrasi inovatif pula, program inovasi bisa bersumber
dari mitra internal dan eksternal pemerintahan melalui
proses adopsi dengan strategi replikasi, pengembangan
kebijakan dan program inovasi pemerintahan daerah dapat
berlangsung efektif jangka pendek dan jangka panjang jika
didukung oleh kapasitas kepemimpinan yang inovatif,
kualitas aparatur (tim kerja), struktur dan sistem yang kuat,
dan kemampuan mengelola pengaruh eksternal (politik dan
jaringan), serta terbingkai dalam desain kebijakan dan
program inovasi secara nasional

5.2.4 Perbandingan Hasil Kajian Disertasi ini dengan Penelitian Terdahulu

Pada bagian ini menguraikan bagaimana perbandingan hasil kajian dalam

disertasi ini dengan hasil kajian penelitian terdahulu. Perbandingan hasil kajian

dimaksudkan untuk melihat apakah hasil penelitian disertasi ini memiliki

kontribusi dengan hasil-hasil kajian sebelumnya sebagaimana yang telah

ditampilkan Bab II tentang tinjauan pustaka. Pada Tabel 37 berikut diuraikan 11

hasil penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai ahli dan peneliti administrasi
383

publik yang penelitiannya dilaksanakan tidak hanya di Indonesia tetapi juga

penelitian yang telah dilakukan di negara-negara lain.

Tabel 37. Matriks Hasil Kajian Penelitian Terdahulu dan Kontribusi Hasil
Kajian Disertasi Ini

Penulis, Tahun Kajian Penelitian Hasil Kajian


No. Kontribusi
dan Judul Terdahulu Disertasi ini
1. Eko Prasojo & Dominasi peran bupati Peran Bupati sebagai Mendukung bahwa
Teguh Kurniawan dalam program inovasi, kepala pemerintahan peran Bupati sangat
(2006), krn memiliki political will daerah sangat dominan dominan karena
dan commitment yang karena memiliki political memiliki political will
will & komitmen tinggi,
“Bebas Iuran tinggi. Operasional & komitmen tinggi,
pelibatan organisasi
Sekolah dan JKJ: program inovatif lokal dan program pelibatan organisasi
Inovasi Pro melibatkan organisasi inovatif yang lokal dan program
Masyarakat Miskin lokal, program efisiensi & berkelanjutan. inovatif yang
di Kabupaten efektivitas di semua Besarnya anggaran berkelanjutan
Jembrana”. sektor, dan (APBD/APBN) yg
memunculkan perubahan tersedia sangat
budaya birokrasi. mendukung program
Program inovatif yang inovasi
berkelanjutan.

2. Fadel Muhammad Inovasi penguatan Upaya peningkatan Mendukung upaya


(2007) kapasitas manajemen kapa-sitas inovasi di peningkatan
pemerintahan yakni mana tersedia kapasitas dan
Signifikansi Peran reformasi tatakelola kepemimpinan inovatif, memba-ngun relasi
kualitas timkerja
Kapasitas keuangan, organisasi (aparatur), anggaran,
atau networking
Manajemen matriks, mobile regulasi dan secara ekternal yang
Kewirausahaan government, TKD, membangun relasi atau mendukung program
terhadap Kinerja penilaian kinerja networking secara
Pemda: Studi individu.Inovasi relasi ekternal yang
Kasus Gorontalo faktor endowment daerah mendukung program
dengan lingkungan inovasi dalam urusan
makro melalui kebijakan pendidikan
kemudahan investasi

3. Graham Orange, Pengembangkan model Pengembangan Mendukung model


Tony Elliman, Ah nilai inovasi program inovasi melalui nilai inovasi yang
Lian Kor, & Rana pemerintahan daerah proses politik berdasarkan tiga
Tassabehji (2007) yang berdasar tiga (mengatur) & proses dimensi people,
manajerial (mengurus).
dimensi yang saling process, &
Tipologi program
Local Government berkorelasi. Ketiga inovasi Punggawa technology.
and Social or dimensi nilai inovasi D’Emba Education yg
Innovation Values tersebut meliputi people berbasis teknologi
dimension, process informasi (audio visual).
dimension, dan Replikasi program
technology dimension. inovasi tetap melihat
Ketiga dimensi judi kebutuhan nilai-nilai
ukuran nilai publik (social masyarakat lokal (local
social values)
values) inovasi.
384

Penulis, Tahun Kajian Penelitian Hasil Kajian


No. Kontribusi
dan Judul Terdahulu Disertasi ini
4. M.A. Ajibola (2008) Renovasi kurikulum Tipologi program Mendukung pada
realistik & berpusat child- inovasi SPAS, revolusi kurikulum yg
Innovation and centered. Kebijakan Punggawa D’Emba berpusat pada anak,
Curriculum kurikulum yang Education, Pendidikan kebijakan yang
Gratis & Satgas Pendi-
Development for menganut prinsip quality menganut prinsip
dikan dikembangkan utk
Basic Education in (mendorong kepercayaan mengurangi lemahnya kualitas, model
Nigeria: Policy diri & kemampuan anak aksesibilitas kurikulum fleksibel &
Priorities and didik menyelesaikan masyarakat, adaftif, melalui
Challenges of masalah dan prinsip mengangkat kualitas program Punggawa
Practice and relevance (model sistem pembelajaran yg D’Emba Education
Implementation kurikulum sekolah berbasis pada anak &
fleksibel & adaptif. guru dgn metode audio
Paradigma inter- visual. Porgram inovasi
ini replikasi &
disciplinary, openended,
incremental, serta
inter-generational and adanya partisipasi
inter-professional, multi- masyarakat lokal (desa
culturalism&sustainability.

5. Pan Suk Kim Fokus pada kualitas Pengembangan Mendukung inovasi/


(2009) manajemen sebagai program inovasi melalui kuaitas manajerial
refleksi dari inovasi. proses politik terutama terkait dgn
Quality as a Kualitas manajerial (mengatur) peru- musan proses manjerial
Perda oleh KDH &
Reflection of adalah unsur utama dalam mplementasi
DPRD dan proses
Innovation? Quality inovasi, sehingga tidak manajerial (mengurus) program inovasi
of Management in bisa diabaikan walaupun yakni impelementasi
the Korean berfluktuasi. Kualitas Perda) dilaksanakan
Government. manajemen (inovasi) di KDH & birokrasi
Korea dipengaruhi oleh (perangkat daerah).
praktek di Jepang dan Proses manajrial inilah
Amerika harus berkualitas dlm
mengembngkn program
inovasi

6. Mark Evans (2010) Kapasitas inovasi pemda Pengembangan Mendukung


dalam (a) mengetahui kapasitas pemerintahan pengembangan
Building the kesenjangan pelayanan; daerah dalam kapasitas pemda
Capacity for Local (b) kemitraan stakehol- berinovasi melalui kerangka legislatif &
tersedianya:
Government ders; (c) bertindak dalam situasi politik yg
(a) kepemimpinan
Innovation: Case kerangka legislatif & Bupati inovatif; (b) tim tepat, pemimpin
Studies from the politik yg tepat; (d) kerja (aparatur) yang agenda inovasi,
Australian, New pemimpin dgm agenda berkualitas; (c) dukungan politik,
Zaeland, and reformasi utk inovasi; (e) anggaran yg tersedia; kolaborasi lintas
British Context. dukungan pemimpin (d) struktur & system yg departemen,
politik, mena-jemen mendukung inovasi; (e) pelibatan warga lokal
senior; (f) kola-borasi kemampuan mengelola & tersedia-nya
lintas-unit pela-yanan; (g) pengaruh eksternal teknologi baru
(jaringan
keterlibatan warga lokal;
internal/eksternal)
& (h) tersedia teknologi pemerintahan
baru.
385

Penulis, Tahun Kajian Penelitian Hasil Kajian


No. Kontribusi
dan Judul Terdahulu Disertasi ini
7. Joseph J. Capuno Hasil kajian yaitu: (a) di Pengembangan inovasi Mendukung &
(2010) era desentralisasi, pemerintahan daerah relevan penelitian ini,
pemerintah daerah dlm urusan pendidikan yg dilakukan kajian
Leadership and berhasil berinovasi; (b) dikaji dalam konteks dlm konteks
kebijakan
Innovation under pemimpin (incumbent desentralisasi,
desentralisasi.
Decentralization: mayors) pendorong Proses pengembangan pemimpin incum-bent
A Case Study of utama ide dan sukses program inovasi melalui pendorong utama ide
Selected Local program inovasi; (c) proses politik & sukses program
Governments in the pemimpin berhasil (mengatur) oleh KDH & inovasi, termasuk
Philippines tergantung lingkungan, DPRD dan proses faktor kritis ttg
pengetahuan, manajerial oleh KDH & kapasitas fiscal
pengalaman, & insentif; perangkatnya. daerah, aparat
(d) jangkauan inovasi Tipologi inovasi birokrasi &
direplikasi &
luas & variasi bermanfaat stakeholders
incremental, dan
langsung pada bermanfaat nyata untuk
konstituen; (e) faktor kritis jangka panjang.
lain, adalah kelembagaan Kapasitas
meliputi kapasitas fiskal kepemimpinan &
daerah, kualitas birokrasi anggaran sangat
daerah, aparatur dominan dlm suksesnya
profesional, & program inovasi
stakeholers.
8. Comfort Olufunke Sistem pendidikan Pengembangan Mendukung sesuai
Akomolafe (2011) sekolah harus berbudaya program inovasi dgn program inovasi
dinamis & berorientasi Punggawa D’Emba Punggawa D’Emba
Managing kedepan, maka perlu Education berbasi Education yang
teknologi informasi
Innovations in proses penciptaan & (audio visual) yang
berorientasi pada
Education System pengembangan: (a) berorientasi pada penciptaan kualitas
in Nigeria: A Focus upaya meningkatkan penciptaan kualitas pembelajaran,
on Creating and kualitas & produktivitas & proses pembelajaran, membentuk individu
Sustenance of efisiensi yg dicapai; (b) membentuk kreatif, pemimpin
Culture in inovasi butuh individu/murid yang /guru disekolah
Innovation pembangunan tidak kreatif, pemimpin /guru berinovasi terkait dgn
hanya membentuk disekolah berinovasi metode bekajar
individu kreatif saja tetapi terkait dgn metode mengajar
bekajar mengajar
menciptakan inovasi
berkelanjutan; (c)
pemimpin di sekolah
pencipta budaya inovasi;
dan (d) budaya inovasi di
sekolah wujud sistem
pendidikan yang
transformatif.
9. Lea Hennala, Satu Fokus pada keterlibatan Pengembangan Mendukung konsep
Parjanen & Tuomo multi-aktor dalam proses program inovasi dalam inovasi terbuka,
Uotila (2011) inovasi sektor publik. urusan pendidikan terutama hasil
Hasil kajian melahirkan didasarkan pada studi penelitian ini yg
banding di
model inovasi yg disebut berkait dgn jaringan
daerah/Negara yg
Model Inovasi Terbuka sudah sukses eksternal, pelibatan
(the open innovation berinovasi pihak ketiga (ahli)
model). dalam
386

Penulis, Tahun Kajian Penelitian Hasil Kajian


No. Kontribusi
dan Judul Terdahulu Disertasi ini
Challenges of Masuknya informasi dari Program inovasi adalah pengem-bangan
Multi-Actor luar dan pengetahuan replikasi & incremental program inovasi
Involvement in the dari pengguna layanan dgn bermitra dgn pihak Punggawa D’Emba
Public Sector berpotensi menghasilkan ketiga (mitra ahli) yang Education
memiliki pengetahuan &
Front-End wawasan baru dan
skill terutama pada
Innovation bernilai tambah dalam program Punggawa
Processes proses pengembangan D’Emba Education.
Constructing an inovasi.
Open Innovation
Model for
Developing Well-
Being Services

10. Tomi Tura, Satu Fokus pada potensi Pengembangan inovasi Mendukung konsep
Pekkarinen, Lea konflik dalam inovasi pemerintahan daerah inovasi pelayanan
Hennala & Vesa pelayanan publik. dlm urusan pendidikan publik tapi tidak fokus
Harmaakorpi Mengungkap beragam lebih pada inovasi pada potensi konflik
pelayanan publik
(2011) tekanan yang didalamnya, juga
berkaitan dengan
mempengaruhi derajat pelayanan dasar. mendukung
Clashes as inovasi & diwujudkan Pengembangan bagaimana beralih
Potential for sebagai benturan program inovasi urusan dari cara lama ke
Innovation in Public (clashes) & menjadi pendidikan tidak cara baru yg
Service Sector saling bertolak belakang mengalami benturan difasilitasi secara
Reform (controversies) antara baik konsep maupun terbuka
berfikir cara lama & cara teknis operasinya
baru. Tetapi benturan karena didasarkan pd
masalah dan
tersebut dapat menjadi kebutuhan dasar
dasar yang kuat masyarakat.
(platform) bagi inovasi
untuk dianalisis dan
difasilitasi secara
terbuka.

11. Daniel Adetoritse Pemahaman local Pengembangan inovasi Mendukung &


Tonwe government sebagai pemerintahan daerah relevan dengan
(2011) institusi harus dimaknai urusan pendidikan dasar kajian ini
dari multi-dimensional dilaku-kan melalui bahwa local
proses politik
Conceptualizing perspective. Makna multi- (mengatur) & proses
government dipahami
Local Government dimensional perspective manajerial / dalam multi
from a Multi- dari institusi local administrasi. Tipologi dimensional
Dimensional government meliputi lima inovasi yakni SPAS, perspektif
Perspective dimensi: social, Punggawa D’Emba
economic, geographic, Education, Pendidikan
legal, dan administrative Gratis, & Satgas
Pendidikan.
Kapasitas pemerintahan
daerah dlm berinovasi
(kepemimpinan inovatif
& anggaran besar) utk
program inovasi.

Sumber: Diolah dari hasil kajian Disetasi ini (2016)


387

5.2.5 Model Rekomendasi (Recommended Model) Inovasi Pemerintahan


Daerah Dalam Penyelenggaraan Urusan Pendidikan

Pada bagian ini dikemukakan model yang seharusnya (das sollen) yang

direkomendasikan dalam pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan. Pengembangan model das sollen ini

dibangun dari hasil diskursus antara kenyataan (das sein) bagaimana program

inovasi urusan pendidikan berlangsung di Kabupaten Gowa dengan kerangka

teori dan konsep inovasi pemerintahan dalam perspektif adminisrasi publik, yang

dapat menjadi alternatif dalam mewujudkan maksud baik dari inovasi

pemerintahan daerah dalam mewujudkan visi misi dan tujuan daerah yakni

meningkatnya kualitas sumberdaya manusia melalui indikator pendidikan yang

berkualitas dan terjangkau.

Adapun kerangka teori dan konseptual yang dimaksud adalah terutama

terkait dengan inovasi dalam konteks teori administrasi publik, desentralisasi,

local government, konsep inovasi pemerintahan daerah, dan konsep kapasitas

inovasi pemerintahan daerah yang dikembangkan oleh Kirton (1976), Muthalib &

Ali Khan (1982), Rondinelli & Cheema (1983), Rogers (1983), Smith BC. (1985),

Turner & Hulme (1997), Grindle MS. (1997), Wood, et al (1998), Farzmand A.

(2004), Vigoda-Gadot (2005), Rosembloom & Kravchuk (2005), Kim, et al (2007),

Borins (2008), Eggers & Singh (2009), Hoessein (2009), Muluk (2008 &

2009)dan Evans M. (2010), serta ketentuan-ketentuan normatif terutama

undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah seperti UU No. 32 Tahun

2004 dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan

perundang-undangan lain yang terkait. Selengkapnya dapat dilihat pada Bab II

bagian tinjauan pustaka dalam draft penelitian disertasi ini.


388

Pada penyajian hasil empirik penelitian terdahulu pada Bab V, telah

diuaraikan sejak awal, bahwasanya ide dan gagasan kebijakan dan program

inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan pada mulanya diinisiasi oleh Bupati

Ichsan Yasin Limpo. Bupati sebagai Kepala Daerah dan Kepala Kepemerintahan

tentu di dalam setiap langkahnya dan proses pengambilan keputusan-keputusan

strategis harus melalui mekanisme politik. Mekanisme politik ini terkait dengan

keberadaan institusi perwakilan rakyat daerah yakni Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD). Bupati sebagai Kepala Daerah dan DPRD adalah organ

penyelanggara pemerintahan daerah, sebagaimana secara normatif di atur

dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Mekanisme politik ini

jamak dilakukan oleh setiap daerah, termasuk yang dilaksanakan oleh Bupati

dan DPRD Gowa dalam rangka pembahasan rencana program kerja tahunan

pemerintah daerah, khusunya terkait dengan pengalokasian anggaran masing-

masing program.

Terkait dengan hal di atas, Bupati sebagai Kepala Pemerintahan di

tingkat Kabupaten dalam menjalankan fungsi mengurus yang berhubungan

urusan pendidikan dibantu oleh instrumen Perangkat Daerah yakni Dinas

Pendidikan dan Pemuda Olah Raga (Dispora). Dalam konteks ini, posisi Dispora

dibawah kendali seorang Kepala Dinas dapat melaksanakan fungsi-fungsi

manajerial dan fungsi-fungsi operasional terhadap seluruh program dan kegiatan

(proyek) dalam urusan pendidikan. Sebagaimana fakta yang tergambar dari

penyajian hasil penelitian sebelumnya, bahwa fungsi-fungsi manajerial dan

operasional yang diperankan oleh Dispora khusunya pada unit struktur Bidang,

yang berkaitan dengan urusan pendidikan tampak jelas di dalam pelaksanaan

program inovasi Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS), Pendidikan Gratis,

Punggawa D’Emba Education Program (PDEP), dan Satgas Pendidikan.


389

Proses pengembangan inovasi dalam urusan pendidikan atau pelayanan

pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa,

maka dapat dilihat dalam dua tahapan proses yaitu proses politik dan proses

manajerial. Pertama yakni proses politik, yang secara normatif dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah disebut juga sebagai mekanisme

menjalankan fungsi pembentukan peraturan daerah (Perda) atau dalam konteks

penyelenggaraan desentralisasi disebut kewenangan fungsi mengatur. Di mana

kewenangan fungsi mengatur ini dalam prakteknya melekat pada institusi Kepala

Daerah dan DPRD yang dipilih melalui mekanisme pemilihan (election). Terkait

dengan hal ini, berdasarkan kajian teoritis dan konseptual serta pengalaman dari

beberapa studi seharusnya mekanisme proses politik dalam pengembangan

kebijakan dan program inovasi urusan pendidikan sepenuhnya berlangsung

berlangsung secara demokratis, partisipatif, responsive dan melibatkan banyak

stakeholders pendidikan pada tingkat lokal. Sehingga mekanisme proses politik

dalam pembentukan peraturan daerah (fungsi mengatur) masih tidak lagi

berlangsung seperti biasanya. Dengan demikian proses pembahasan yang

dilakukan terkait dengan program-program inovasi dalam urusan pendidikan

(SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP dan Satgas Pendidikan), dalam praktek

pembentukan kebijakan daerah sebagai dasar hukum pengaturannya

menunjukkan adanya nilai-nilai inovasi untuk pengaturan urusan pendidikan.

Tahapan kedua dalam proses pengembangan inovasi urusan pendidikan

oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa adalah pengembangan yang

disebut proses manajerial. Dalam proses manajerial ini Bupati sebagai Kepala

Pemerintahan dalam menjalankan fungsi mengurus yang berhubungan urusan

pendidikan dibantu oleh instrumen perangkat daerah yakni Dinas Pendidikan,

Pemuda dan Olah Raga (Dispora) dan UPTD terkait (Satuan Pendidikan). Dalam
390

konteks ini, posisi Dispora dibawah kendali seorang Kepala Dinas dapat

melaksanakan fungsi-fungsi manajerial dan fungsi-fungsi operasional terhadap

seluruh program dan kegiatan (proyek) dalam urusan pendidikan.

Sebagaimana fakta yang tergambar dari penyajian hasil penelitian

sebelumnya, bahwa fungsi-fungsi manajerial dan operasional yang diperankan

oleh Dispora khususnya Bidang yang berkaitan dengan urusan pendidikan

tampak di dalam pelaksanaan program SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP, dan

Satgas Pendidikan. Dalam proses manajerial pengembangan program inovasi

urusan pendidikan ini, nampaknya belum juga sepenuhnya memiliki nilai inovasi

yang kuat (lemah). Oleh karena itu, jika mengacu pada kajian teori dan

konseptual maka seharusnya efektif, efisien, dan ekonomis. Proses

pengembangan program inovasi harus dilaksanakan berdasarkan pada (1)

didasari oleh kebutuhan atau masalah nyata yang dirasakan masyarakat; (2)

melakukan penelitian; (3) pengembangan program inovasi; (4)

komersialisasi/pengenalan terhadap inovasi; dan (5) difusi & adopsi program

inovasi oleh masyarakat sebagai penerima manfaat.

Level program inovasi bersifat inkremental atau komplementer terhadap

program pemerintahan Provinsi/Pusat. Program inovasi merupakan hasil studi

banding pemda dan diadopsi dengan strategi reflikasi (imitasi) terhadap program

yang mirip di daerah lain dengan tetap memperhatikan karakterisitik kebutuhan

konteks lokal. Program inovasi urusan pendidikan harus berdampak nyata bagi

meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan (sekolah) &

kualitas pembelajaran makin baik pula dan buktinya ABA semakin berkurang,

indeks pendidikan dan IPM Gowa meningkat. Mendesain tipologi program

inovasi urusan pendidikan yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan.


391

Kapasitas inovasi pemerintah daerah dalam urusan pendidikan harus

didukung oleh tersedianya: (1) kepemimpinan inovasi (Bupati yang memiliki

perencanaan strategis, komitmen, kepemimpinan stabil); (2) Kualitas tim kerja

(aparatur pelaksana) yakni komitmen aparatur yang tinggi dan profesionalisme;

(3) System dan struktur yakni membangunan struktur yang kuat, sistem berbagi

pengetahuan, reward system dan sistem evaluasi; dan (4) Memiliki kemampuan

mengelola pengaruh eksternal yakni dukungan politik terhadap pembiayaan

program baru dan mengelola jaringan (internal/elsternal).

Model rekomendasi (recommended model) yang dapat dijadikan model

alternative bagi pemerintahan daerah dalam mendorong munculnya program

inovatif, berkelanjutan dan bernilai emprovement (nilai perbaikan) dalam

pelayanan bidang pendidikan di daerah, yakni pengembangan program inovasi

pemerintahan daerah yang tidak hanya didkukung oleh komitmen kepemimpinan

yang tinggi tetapi juga harus berlangsung secara efektif, efisien dan profesional.

Hal terakhir yang menjadi rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah

masih adanya faktor penghambat yakni tim kerja aparatur pemda pelaksana

program inovasi dan regulasi yang masih kurang mendukung keberadaan dan

keberlanjutan inovasi. Untuk itulah, maka di rekomendasikan agar kualitas dan

profesionalisme tim kerja lebih didorong melalui peningkatan keterampilan dan

pengetahuan spesifik untuk pengembangan inovasi. Direkomendasikan pula

agar mengoptimalkan ketersediaan regulasi baik yang mengatur maupun

regulasi untuk mengurus pengembangan program inovasi. Agar lebih memahami

model rekomendasi dari disertasi ini, berikut disajikan Gambar 27 tentang model

rekomendasi pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam urusan

pendidikan di Kabupaten Gowa.


392
 Aksesibiitas Tinggi URUSAN WAJIB PENDIDIKAN
 Biaya Murah & Terjangkau UU No. 32/2004 & UU No. 23/2014
 Kualitas Pembelajaran
Meningkat

 Indeks Pendidikan Semakin


Baik INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH
 Indeks Pembangunan DALAM URUSAN PENDIDIKAN DI
Manusia (IPM) Meningkat KABUPATEN GOWA

TIPOLOGI PROGRAM INOVASI


 Level program inovasi bersifat inkremental atau
komplementer terhadap program pemerintahan
Provinsi/Pusat.
 Program inovasi hasil studi banding pemda dan
diadopsi dengan strategi reflikasi (tiruan) terhadap
program yang mirip di daerah lain dengan tetap
memperhatikan karakterisitik kebutuhan konteks
lokal
 Program inovasi urusan pendidikan harus berdam-
pak nyata bagi meningkatnya akses masyarakat
terhadap pelayanan pendidikan (sekolah) &
kualitas pembelajaran makin baik pula dan buktinya
ABA semakin berkurang, indeks pendidikan & IPM
Gowa meningkat
 Mendesain tipologi program inovasi urusan
pendidikan yang bersifat jangka panjang dan
berkelanjutan

PROSES PENGEMBANGAN KAPASITAS INOVASI


PROGRAM INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH
 Proses politik (mengatur) yakni FAKTOR PENGHAMBAT Kapasitas inovasi pemerintah daerah
pembentukan Perda Program Inovasi yg dlm urusan pendidikan harus
PROGRAM INOVASI
dilakukan antara Bupati diwakili oleh didukung oleh tersedianya:
Dinas Pendidikan bersama DPRD,  Kualitas tim kerja (aparatur)
yakni komitmen aparatur  Innovative leadership (Bupati)
sebaiknya melibatkan stakeholders
pendidikan secara maksimal dgn pronsip yang tinggi, profesionalisme, (perencanaan strategis, komitmen,
demokrastis, partisipatif, responsive. memiliki pengetahuan dan kepemimpinan stabil)
 Proses manajerial (mengurus) yakni keterampilan serta  Financial capacity untuk
implementasi Perda Program Inovasi berintegritas membiayai program inovasi
termasuk operasionalisasi dilaksanakan  Tersedianya sistem regulasi (efisien & ekonomis)
sepenuhnya oleh SKPD Pendidikan, mendasari program inovasi  System & struktur yakni
UPTD, & Sekolah.dgn prinsip efektif, membangunan struktur yg kuat,
baik regulasi untuk mengatur
efisiensi, & ekonomis sistem berbagi pengetahuan,
 Proses pengembangan program inovasi (Perda & Perbup), maupun
regulasi untuk mengurus reward system & sistem evaluasi
harus dilaksanakan berdasarkan (1)
kebutuhan/masalah, (2) penelitian, (3) program inovasi  Kemampuan mengelola pengaruh
pengembangan,(4) komersialisasi / eksternal yakni dukungan politik
pengenalan, (5) difusi & adopsi. terhadap pembiayaan program
baru & mengelola jaringan
(internal/elsternal)

PENGEMBANGAN PROGRAM INOVASI


PEMERINTAHAN DAERAH EFEKTIF, EFISIEN & PROFESIONAL

Gambar 27: Model Rekomendasi (Recommended Model) Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan
Tabel 38: Matriks Perbandingan Praktek Inovasi Pemerintahan Daerah 393

Aspek Inovasi Kab. Gowa Kab. Jembrana Kab. Sragen Kab. Banyuwangi Kab. Solok Prov. Gorontalo

Fokus Inovasi Peningkatan Inovasi Bidang Inovasi Pelayanan Inovasi Strategi & Inovasi Penerapan Tata Kapasitas Manajemen
Akses & Kualitas Pendidikan, Bidang Terintegrasi: Pemben- Kebijakan Pem- Kelola Kepemerintahan Kewirausahaan
Pelayanan Bidang Kesehatan, & Bidang tukan BPTPM Sragen bangunan Daerah yang Baik Pemerintah Daerah
Pendidikan Perekonomian
Deskripsi Peningkatan aksesibilitas Bidang Pendidikan: BPTPM adalah Badan Melalui strategi pro Praktek tata kelola Pemprov Gorontalo
masyarakat & kualitas pembebasan biaya sekolah, Perizinan Terpadu & growth, pro job, pro poor, Pemerintahan (good mengalokasikan dana
pelayanan pendidikan perbaikan gedung sekolah, Penanaman Modal diatur pro environment. Pemda governance) Kab. Solok besar untuk
didorong melalui berbagai beasiswa pendidikan & oleh Perda No.5/2011. Banyuwangi ditujukan utk pembe- pengembangan sumber
pengembangan program insentif kesejahteraan guru, BPTPM ini ditujukan untuk mengembangkan nahan aparatur daya aparatur karena
inovasi melalui Sanggar sekolah kajian. Bidang memberi kemudahan program2 inovasi yakni pemerintahan melalui: Pos pembangunan SDM
Pendidikan Anak Saleh Kesehatan: JKJ berbasis layanan perizinan dgn Gerakan Masyarakat Pelayanan Satu Pintu merupakan salah satu
(SPAS) yang terintegrasi Asuransi. Dana bergulir; prinsip dipercaya, cepat, Pemberantasan Tributa & (Posyantu). Pola program prioritas
jadi PAUD, Pendidikan pemberian alat kerja ke mudah, murah, transparan, Pengangkatan Murid Partisipatif, Revol-ving pemerintah provinsi
Gratis (komplementer BOS) kelompok masyarakat; melalui one stop service. Putus Sekolah (Gempita Fund, LAKIP, Dana Gorontalo.Ada tiga
dgn membebaskan biaya pelatihan dan penempatan Sehingga pelayanan Perpus), Banyuwangi Alokasi Umum Nagari agenda dalam
sekolah siswa SD-SMA kerja di kapal pesiar; perizinan tidak terpencar Digital Society(B-Diso), (DAUN), Partisi-pasi melakukan energizing
(negeri/swasta), Program pelatihan dan pemagangan disetiap SKPD tetapi Lahir Procot Pulang Bawa Masyarakat, Pakta bureaucracy di Gorontalo
Punggawa D’Emba kerja di Jepang; info bursa terintegrasi. BPTPM juga Akta, Refomasi Biro-krasi, Integritas, Sistem Penga- (1) program minsetting
Education utk perbaikan tenaga kerja pada Dinas memberi informasi ke Larangan Mall, E- daan Barang & Jasa, Giro mengubah pola pikir yg
kualitas pembelajaran Kependudukan, pemberian masyarakat secara jelas tttg Banyuwangi Tourisme, to Giro (G to G), lebih entrepreneurial; (2),
berbasis audio visual bagi dana talangan kepada KUD kepastian target waktu, Taman Publik Berasis IT, Performance Agreement, membangun landasan
matapelajaran & bermuatan untuk membeli gabah petani; prosedur & biaya. BPTPM Pendampingan Petani, Anggaran Berbasis utk memotivasi pegawai;
nilai2 lokal & Satuan Polisi pemberian dana talangan Sragen ini melayani 72 jenis Bank Sampah, Ruang Kinerja, & Tunjangan dan (3) menata sistem
Pendidikan meningkatkan kepada petani cengkeh; dan pelayanan perizinan & 2 Terbuka Hijau (RTH). Daerah. Keberhasilan organisasi pemerintah
kedisiplinan proses belajar pembebasan PBB areal jenis pelayanan non- Tercipta pemerintah praktek tersebut diukur provinsi agar fleksibel utk
mengajar di sekolah2. pertanian. APBD Jembrana perizinan. Reformasi wirausaha Banyuwangi menurut indikator efisiensi tumbuhnya nilai2
Kapasistas Bupati Gowa & kecil maka strategi efisiensi birokrasi pelayanan (entrepreneurship efektifitas pelayanan, IPM, kewirausahaan
besarnya anggaran sangat anggaran dilakukan. perizinan. government) partisipasi & akuntabilitas (entrepreneurship
dominan dalam inovasi. kinerja pemda. government)

393
394

Aspek Inovasi Kab. Gowa Kab. Jembrana Kab. Sragen Kab. Banyuwangi Kab. Solok Prov. Gorontalo
Inisiasi Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah
(Bupati Gowa IYL) sejak (Bupati I Gede Winasa) (Bupati Untung Wiyono) (Bupati Abdullah Azwar (Bupati Gamawan
(Gubernur Fadel Muh)
tahun 2006 sejak tahun 2002 sejak tahun 2003 Anas) sejak tahun 2010 Fauzi) sejak tahun 1997
sejak tahun 2004
Lokus Eksternal Pemerintah Eksternal Pemerintah Internal & Eksternal Internal & Eksternal Internal Pemerintah Internal & Eksternal
Daerah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Daerah Pemerintah Daerah

Keberlanjutan Komitment politik yg kuat Strategi efisiensi penggu- Pelembagaan program Jaminan keberlanjutan Kegiatan mengukur Butuh pelembagaan
& Replikasi Bupati berikutnya sangat naan anggaran berbagai inovasi sudah ada kebijkan & program keberhasilan dilakukan kapasitas kepemim-
menentukan & proses sektor pembangunan utk melalui Perda No.5/2011 inovasi pelembagaan oleh KPK utk memberi pinan kepala daerah
pelembagaan program mendanai program2 ttg Badan Perizinan melalui Perbup No. gambaran kepada Kab yg inovatif, bervisi
inovasi sudah dilakukan inovasi dilakukan Terpadu & Penanaman 4/2014 yang harus Solok dan daerah lain wirausaha, memiliki
melalui Perda Perda No. mengingat APBD kecil. Modal. Peningkatan ditingkatkan menjadi dlm melakukan berbagai komitmen tinggi &
4/2008 ttg Pendidikan Political Will & komitmen kapasitas aparatur Perda. Komitmen & membangun budaya
macam praktek good
Gratis & Perda No. 10 pemimpin selanjutnya pemda dalam memberi kemitraan dgn berbagai inovasi birokrasi
governance. Daerah lain
/2009 ttg Program Wajib penting jaminan lanjutan pelayanan terintegrasi. perusahaan & industri pemerintah. Tidak
yang baru memulai
Belajar & tertuang dalam program inovasi. Daerah Model one stop service melalui CSR utk hanya direplikasi oleh
praktek tata kelola
RPJMD & RPJMP. lain sudah banyak yang sudah menjadi program mendukung program banyak daerah tapi
pemerintahan yg baik
Peluang replikasi daerah mereplikasi praktek nasional dalam inovasi. juga jadi obyek studi
bisa belajar bagaimana
lain terbukti dgn adanya program inovasi di Kab. pelayanan perizinan administrasi publik &
prakteknya yg sudah
studi banding ke daerah Jembrana. pusat & daerah pemerintahan yang
dilakukan di Kab. Solok.
ini. entrepreneurship

Sumber: Hasil kajian Disertasi (2016) & sumber lain seperti Holidin (2016), Muhammad (2007), KPK (2006), dan Prasojo, Dkk (2004).

394
395

Tabel 39. Matriks Mengenai Fokus Penelitian, Hasil Penelitian, Proposisi


Penelitian dan Implikasi Teoritis Penelitian

Fokus
No. Hasil Penelitian Proposisi Penelitian Implikasi Teoritis
Penelitian
1. Proses pengem- Proses politik merupakan proses Proposisi Minor 1. Belum sepenuhnya
bangan program perumusan kebijakan atau fungsi sesuai dengan
inovasi pengaturan dilakukan oleh Proses pengembangan Farazmand (2004)
pemerintahan institusi Pemerintah Daerah dan program inovasi urusan bahwa Innovation is key
daerah dalam DPRD. Proses perumusan pendidikan hanya to sound governance,
penyelenggaraan kebijakan tentang program inovasi berlangsung inovatif jika and innovation in policy
urusan ini adalah inisiatif murni dari melalui perumusan dan and administration is
pendidikan Pemda (Bupati) Gowa diwakili pembentukan kebijakan central to sound
Dispora sebagai leading sector daerah (Perda /Perbup) governance as well.
urusan pendidikan kemudian yang berfungsi mengatur
dibahas bersama dengan DPRD program inovasi secara Sesuai pandangan
(Komisi Bidang Pendidikan). demokratis, partisipatif,dan Mulgan & Albury (2003),
responsif program inovasi harus
Fakta menunjukkan bahwa proses didukung oleh Policy
perumusan kebijakan atau innovation is new policy
pembentukan Peraturan Daerah Proposisi Minor 2. direction and initiatives;
(Perda) hanya diikuti Dispora Innovations in the policy-
(Eksekutif) dan Komisi Bidang Pproses pengembangan making process; & Policy
Pendidikan (DPRD). Sementara program inovasi urusan to foster innovation and
itu Dewan Pendidikan, Tim Ahli pendidikan yang hanya its diffusion.
Pendidikan, dan forum LSM lokal berlangsung dengan
hanya diterlibat sebatas dengar inovatif jika didukung oleh Sesuai pandangan
pendapat (hearing) terkait dengan proses implementasi Roberts (1999), tentang
program inovasi. Melihat fakta kebijakan (Perda) yang Innovation by legislative
tersebut nampaknya proses politik inovatif pula dengan prinsip design and Innovation
pengembangan program inovasi efektifitas, efisiensi, by management design
tidak ditemukan adanya sesuatu ekonomis dan profesional Sesuai pandangan
yang baru atau bersifat terobosan. Watson (1999), proses
Padahal pengembangan program inovasi berlangsung
inovasi seharusnya didukung efektif jika terdapat
dengan proses politik dalam Political support and
perumusan kebijakan (Perda) Administrative
yang bernilai inovasi pula. competence, kecuali
Proses manajerial/administrasi syarat Organizational
merupakan tahap implementasi culture belum
kebijakan (Perda) atau fungsi sepenuhnya terpenuhi.
pengurusan yang dilakukan oleh Tidak sesuai dengan
pemerintah daerah (Bupati) Gowa pandangan Eggers &
dibantu oleh perangka daerah Singh (2009) tentang
(birokrasi lokal). proses pengembangan
Fakta menunjukkan bahwa proses inovasi meliputi tahap:
manajerial /administrasi ini Idea generation and
pengembangan program inovasi discovery; Idea selection;
urusan pendidikan dilaksanakan Idea implementation; and
sepenuhnya oleh struktur Idea diffusion, kecuali
birokrasi Dispora dan UPTD tahap 2 dan 3 yang
terkait. Secara teknis operasioal sudah terlaksana.
proses pengembangan
dilaksanakan oleh Unit Sekolah
396

Fokus
No. Hasil Penelitian Proposisi Penelitian Implikasi Teoritis
Penelitian
dan melibatkan pihak ketiga yakni
masyarakat dan konsultan mitra
(swasta) dalam program inovasi
tertentu.
Program SPAS dan Satgas
Pendidikan lebih banyak
melibatkan partisipasi masyarakat
di desa karena program ini
memang didesain berbasis
masyarakat lokal. Program
Punggawa D’Emba Education
(PDEP) melibatkan pihak ketiga
sebagai mitra konsultan dan
program Pendidikan Gratis
sepenuhnya dilakukan oleh
Dispora dan Sekolah sementara
masyarakat (Ortu) melalui Komite
Sekolah berfungsi mengawasi
realisasi program tersebut.

2. Tipologi program Terdapat empat jenis program Proposisi Minor 3. Sesuai pandangan
inovasi inovasi urusan pendidikan di Eggers & Singh (2009)
pemerintahan Kabupaten Gowa yang ditemukan Jika tipologi program bahwa sumber inovasi
daerah dalam sekaligus sebagai obyek kajian, inovasi pemerintahan organisasi pemerintahan
penyelenggaraan yakni Sanggar Pendidikan Anak diadopsi melalui strategi meliputi empat sumber
urusan pendidikan Saleh (SPAS), Pendidikan Gratis, replikasi/imitasi, maka yaitu internal partners;
Punggawa D’Emba Education program inovasi external partners;
(PEDP) dan Satgas Pendidikan. pemerintahan daerah employees; and citizens.
Keempat program ini diinisiasi bersifat inkremental & Strategi Replicate salah
pada waktu yg tidak bersamaan. modifikasi harus memiliki satu cara inovasi yang
SPAS dimulai 2006, Pendidikan nilai perbaikan terhadap bersumber dari badan-
Gratis (2008), PDEP (2009) & kualitas pelayanan publik. badan pemerintahan lain
Satgas Pendidikan (2009). dan organisasi swasta
Jenis program inovasi bersifat Proposisi Minor 4: Relevan dengan Prasojo
inkremental atau komplementer (2004 & 2006) yang
terhadap program pemerintahan Program inovasi urusan mengembangkan
Provinsi/Pusat. Misalnya Program pendidikan bisa dinilai dari parameter best practices
Pendidikan Gratis merupakan segi dampak positif dan dasar inovasi versi UN
keberlanjutan dari program nyata, keterlibatan aktor- Habitat yaitu inisiatif
Pendidikan Gratis tingkat provinsi aktor, pemberdayaan yang memiliki
Sulsel dan komplementer masyarakat, keberlanjutan, outstanding contributions
terhadap program BOS pusat & konteks lokal, dan dapat ( impact, partnership,
BOSDA (provinsi). Program SPAS ditransfer dan and sustainability)
bernuansa politik karena janji direplikasi/imitasi oleh
politik Bupati ketika Pilkada 2005 daerah lain Sesuai pandangan
tetapi bisa direalisasikan. Mulgan & Albury (2003)
dan Muluk (2008) bahwa
Keempat program inovasi teori inovasi memiliki tiga
merupakan hasil studi banding level yaitu incremental
pemda dan diadopsi dengan level; radical level; &
strategi reflikasi (tiruan) terhadap systemic/ transformative
program yang mirip di daerah lain level. Program inovasi
397

Fokus
No. Hasil Penelitian Proposisi Penelitian Implikasi Teoritis
Penelitian
dengan tetap memperhatikan pada kajian ini berada
karakterisitik kebutuhan konteks pada level incremental
lokal
Sesuai pandangan
Jenis-jenis program inovasi Sumarto, S. Hetifah
urusan pendidikan sudah memilki (2004) bahwa public
dampak nyata bagi meningkatnya sector innovation
akses masyarakat terhadap penekanannya pada nilai
pelayanan pendidikan (sekolah) perbaikan (improvement)
dan kualitas pembelajaran tehadap pelayanan
meningkat pula dan sebagai bukti publik agar lebih
semakin berkurang angka buta berkualitas, ramah dan
huruf aksara, indeks pendidikan responsive
makin meningkat sehingga IPM
Gowa juga makin meningkat.

3. Kapasitas inovasi Terdapat lima unsur kapasitas Proposisi Minor 5: Sesuai pandangan
pemerintahan pemerintahan daerah Kabupaten Gabris, et al (2009) tiga
daerah dalam Gowa yang memiliki pengaruh Program inovasi urusan strategis inti yakni:
pengembangan terhadap pengembangan program pendidikan yang ditentukan Leadership crediblity;
program inovasi inovasi urusan pendidikan. Kelima oleh dominasi kapasitas Strong management
urusan pendidikan unsur kapasitas tersebut adalah kepemimpinan Bupati dan teams; and Governing
(1) Kepemimpinan Bupati Gowa; ketersediaan anggaran board functioning
(2) Aparatur pelaksana program; (APBD/APBN) bisa
(3) Anggaran; (4) Jaringan berlangsung efektif untuk Belum sepenuhnya sesuai
(internal/eksternal) pemerintahan; jangka pendek dan jangka dengan Grindle (1997)
(5) Regulasi tentang program panjang jika didukung oleh mengenai Dimensions
inovasi urusan pendidikan. tersedianya kapasitas and focus of capacity
pemerintahan daerah secara
Kapasitas Kepemimpinan Bupati Belum sepenuhnya sesuai
komprehensif yang meliputi
Gowa sangat dominan dan dengan Kim, et al (2007)
tiga dimensi kapasitas yakni
kesuksesan program inovasi tentang Model of mana-
kepemimpinan yang inovatif,
memiliki ketergantungan terhadap gement capacity and
kualitas aparatur (tim kerja),
kapasitas anggaran (APBD dan government innovation
struktur dan sistem yang
APBN) yang sangat tinggi. kuat, dan kemampuan Relevan dengan
mengelola pengaruh pandangan Brown (2008)
Unsur kapasitas inovasi
eksternal (politik dan bahwa kebijakan inovasi
pemerintahan daerah lainnya
jaringan) tingkat lokal (micro) harus
seperti aparatur pelaksana,
jaringan pemerintahan dan dalam bingkai desain
regulasi pendukung program kebijakan inovasi regional
inovasi nampaknya belum optimal Proposisi Minor 6: (meso) dan desain
keberadaannya. Meskipun sudah kebijakan inovasi nasional
Penyelenggaraan peme- (macro).
ada upaya berupa diklat khusus rintahan daerah urusan
kompetensi bagi aparatur yg pendidikan adalah bagian Relevan dengan
terlibat pada program inovasi yng tak terpisahkan dari pandangan Concidine
PDEP anggota satpol pendidikan pelaksanaan urusan (2009) mengenai teori
dan pengajar SPAS yg berasal pemerintahan secara Networking innovation
dari masyarakat sekitar. nasional sehingga pengem- inside government
Kapasitas jaringan internal bangan program inovasi
pemerintahan antara pemerintah yang efektif harus didukung
daerah dan DPRD, pemerintah kebijakan dan program
daerah Kabupaten Gowa dan dalam urusan pendidikan
tingkat provinsi & pusat
398

Fokus
No. Hasil Penelitian Proposisi Penelitian Implikasi Teoritis
Penelitian
Provinsi Sulsel sangat kuat dalam
mendukung pengembangan
program inovasi urusan
pendidikan.

4. Pembuatan model Secara empirik, Bupati Gowa IYL Proposisi Mayor: Sesuai pandangan
empirik (existing menggagas program inovasi Mulgan & Albury (2003);
model) dan model (SPAS; Pendidikan Gratis; Pengembangan program Roberts (1999); Watson
rekomendasi Punggawa D’Emba Education inovasi urusan pendidikan (1999); Muluk (2008);
(recommended (PDEP); dan Satgas Pendidikan). harus didukung oleh proses Eggers & Singh (2009)
model) inovasi Pengembangan program inovasi politik dan proses manajerial dan Sumarto, (2004);
pemerintahan menghantar Gowa meraih / administrasi inovatif pula, serta relevan dengan
daerah dalam Ototomi Award dari FIPO institute. program inovasi bisa Gabris, et al (2009) dan
penyelenggaraan bersumber dari mitra internal Brown (2008)
urusan pendidikan Proses melalui mekanisme politik dan eksternal pemerintahan
dan manajerial belum inovatif, yg bersifat inkremental
program inovasi belum dengan proses adopsi &
berdampak signifikan dan strategi replikasi/imitasi,
berkelanjutan, kapasitas inovasi pengembangan program
topdown dominasi Bupati & inovasi pemerintahan
sangat tergantung anggaran. daerah dapat berlangsung
efektif jangka pendek dan
Direkomendasikan pengembang-
jangka panjang jika
an inovasi proses politik
didukung oleh kapasitas
demokratis, partisipatif, responsif
kepemimpinan yang inovatif,
dan proses manajerial secara
kualitas aparatur (tim kerja),
efektif, efisien dan profesional,
struktur dan sistem yang
program inovasi berdampak
kuat, dan kemampuan
jangka pengdek/panjang, yang
mengelola pengaruh
didukung oleh kapasitas inovasi
eksternal (politik dan
pemerintah daerah
jaringan) serta terbingkai
dalam desain kebijakan dan
program inovasi secara
nasional

Sumber: Diolah dari hasil kajian Disertasi ini (2016)


BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Pada bagian penutup ini dirumuskan empat kesimpulan pokok yang

dirangkai dari penyajian hasil penelitian dan pembahasannya. Empat kesimpulan

pokok yang disajikan merupakan penjelasan terhadap fokus penelitian pada Bab

IV pada bagian metode penelitian yang sudah ditentukan sebelumnya.

6.1.1 Proses pengembangan program inovasi pemerintahan daerah dalam

urusan pendidikan baik ditinjau dari sisi proses politik yakni proses

perumusan kebijakan (pengaturan) maupun dari sisi manajerial atau

administrasi yakni proses implementasi kebijakan (pengurusan).

(a) Proses politik merupakan proses perumusan kebijakan atau fungsi

pengaturan dilakukan oleh institusi Pemerintah Daerah dan DPRD.

Proses perumusan kebijakan tentang program inovasi ini adalah

inisiatif murni dari Pemda (Bupati) Gowa diwakili Dispora sebagai

leading sector urusan pendidikan kemudian dibahas bersama dengan

DPRD (Komisi Bidang Pendidikan). Fakta menunjukkan bahwa

proses perumusan kebijakan atau pembentukan Peraturan Daerah

(Perda) hanya diikuti Dispora (Eksekutif) dan Komisi Bidang

Pendidikan (DPRD). Sementara itu Dewan Pendidikan, Tim Ahli

Pendidikan, dan forum LSM lokal hanya diterlibat sebatas pada saat

kegiatan dengar pendapat (hearing) terkait dengan program inovasi

yang sedang dirumuaskan. Melihat fakta tersebut nampaknya proses

politik pengembangan program inovasi tidak ditemukan adanya

sesuatu yang baru atau bersifat terobosan. Padahal pengembangan

399
400

program inovasi seharusnya didukung dengan proses politik dalam

perumusan kebijakan atau pembentukan Peraturan Daerah yang

bernilai inovasi pula;

(b) Aspek pengembangan program inovasi yang berkaitan dengan

proses manajerial atau administrasi. Proses ini merupakan tahap

implementasi kebijakan (Perda) atau fungsi pengurusan yang

dilakukan oleh pemerintah daerah (Bupati) Gowa dibantu oleh

Perangka Daerah (local bureaucracy). Fakta menunjukkan bahwa

proses pengembangan seluruh program inovasi urusan pendidikan

jika dilihat dari aspek proses manajerial atau administrasi ini

dilaksanakan sepenuhnya oleh struktur birokrasi Dispora dan UPTD

terkait. Kemudian secara teknis operasioal proses pengembangan

dilaksanakan oleh Unit Sekolah dengan melibatkan pihak ketiga

yakni masyarakat dan konsultan mitra (swasta) dalam program

inovasi tertentu. Pengembangan Program Sanggar Pendidikan Anak

Saleh (SPAS) dan Satgas Pendidikan sudah melibatkan partisipasi

masyarakat lokal (desa) karena program ini memang didesain

sebagai program yang berbasis masyarakat lokal. Program

Punggawa D’Emba Education (PDEP) melibatkan pihak ketiga

sebagai mitra konsultan dan program Pendidikan Gratis sepenuhnya

dilakukan oleh Dispora dan Sekolah sementara masyarakat (orang

tua murid) melalui Komite Sekolah berfungsi mengawasi realisasi

program tersebut.

6.1.2 Tipologi program inovasi dalam urusan pendidikan dapat diuraikan

bahwa:
401

(a) Terdapat empat jenis program inovasi urusan pendidikan di

Kabupaten Gowa yang ditemukan sekaligus sebagai obyek kajian,

yakni Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS), Pendidikan Gratis,

Punggawa D’Emba Education (PDEP) dan Satgas Pendidikan.

(b) Keempat program ini diinisiasi pada waktu yang tidak bersamaan.

Program SPAS dimulai pengembangannya pada tahun 2006, program

Pendidikan Gratis mulai dicanangkan pada tahun 2008,

pengembangan PDEP pertama kali diluncurkan pada tahun 2009, dan

pembentukan Satgas Pendidikan dilakukan pada tahun 2009.

(c) Keseluruhan jenis program inovasi terebut bersifat inkremental atau

komplementer terhadap program pemerintahan Provinsi dan Pusat.

Misalnya Program Pendidikan Gratis merupakan keberlanjutan dari

program Pendidikan Gratis pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan

komplementer terhadap program BOS pusat dan BOSDA (Provinsi).

Program SPAS bernuansa politik karena merupakan salah satu janji

politik Bupati ketika Pilkada 2005 tetapi kemudian program ini bisa

direalisasikan.

(d) Keempat program inovasi adalah hasil studi banding pemerintah

daerah dan diadopsi dengan strategi reflikasi (tiruan) terhadap

program yang mirip di daerah lain dengan tetap memperhatikan

karakterisitik kebutuhan konteks lokal Gowa. Jenis-jenis program

inovasi urusan pendidikan sudah memilki dampak nyata bagi

meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan

(sekolah) dan kualitas pembelajaran meningkat pula dan sebagai

bukti semakin berkurangnya Angka Buta Aksara (ABA) dan Indeks


402

Pendidikan makin meningkat sehingga Indeks Pembangunan

Manusia Gowa juga makin meningkat.

6.1.3 Kapasitas inovasi yang dimiliki pemerintahan daerah Kabupaten Gowa

dalam pengembangan program inovasi urusan pendidikan dapat

diuraikan bahwa:

(a) Terdapat lima unsur kapasitas pemerintahan daerah Kabupaten Gowa

yang sub fokus pengembangan program inovasi urusan pendidikan.

Kelima unsur kapasitas inovasi pemerintahan daerah tersebut adalah

(1) kapasitas kepemimpinan Bupati Gowa; (2) kapasitas aparatur

pelaksana program; (3) kapasitas anggaran; (4) kapasitas jaringan

inovasi pemerintahan baik internal maupun eksternal organisasi

pemerintahan; (5) kapasitas regulasi tentang program inovasi urusan

pendidikan.

(b) Kapasitas Kepemimpinan Bupati Gowa sangat dominan dan

kesuksesan program inovasi memiliki ketergantungan terhadap

kapasitas anggaran (APBD dan APBN) yang sangat tinggi. Unsur

kapasitas inovasi pemerintahan daerah lainnya seperti aparatur

pelaksana, jaringan pemerintahan dan regulasi pendukung program

inovasi nampaknya belum optimal keberadaannya. Meskipun sudah

ada upaya berupa Pendidikan dan Pelatihan khusus untuk

pengembangan kompetensi bagi aparatur yang terlibat pada program

inovasi PDEP dan anggota Satgas Pendidikan serta pengajar SPAS

yang berasal dari masyarakat sekitar lokasi sanggar.

(c) Kapasitas jaringan internal pemerintahan yakni antara pemerintah

daerah dan DPRD, pemerintah daerah Kabupaten Gowa dan Provinsi


403

Sulsel sangat kuat dalam mendukung pengembangan program

inovasi urusan pendidikan.

6.1.4 Secara empirik, Bupati Gowa IYL, sejak tahun 2006 telah mulai

menggagas program inovasi dalam urusan pendidikan. Pengembangan

program inovasi ini menghantar Gowa meraih Ototomi Award 2010 dan

2011 dari Fajar Institutr Pro Otonomi (FIPO). Faktanya dalam dalam

proses pengembangannya melalui mekanisme politik dan manajerial yang

belum optimal. Oleh karena itu, penelitian ini merekomendasikan bahwa

prsoses pengembangan program inovasi urusan pendidikan harus

didukung oleh proses politik dan proses manajerial/administrasi yang

inovatif pula. Program inovasi bisa bersumber dari mitra internal dan

eksternal pemerintahan melalui proses adopsi dengan strategi replikasi.

Pengembangan program inovasi urusan pendidikan oleh pemerintahan

daerah Kabupaten Gowa dapat berlangsung efektif jangka pendek dan

jangka panjang jika didukung oleh kapasitas inovasi yang meliputi

kepemimpinan yang inovatif, kualitas aparatur (tim kerja), struktur dan

sistem yang kuat, dan kemampuan mengelola pengaruh eksternal (politik

dan jaringan) serta terbingkai dalam desain kebijakan dan program

inovasi secara nasional

6.2 Saran

Pada bagian ini diketengahkan beberapa saran terkait kesimpulan dari

hasil penelitian dan pembahasannya, yang sudah dirumuskan dalam empat poin

di atas.

6.2.1 Disarankan untuk memahami bahwa apapun jenis inovasi yang akan

dikembangkan harus pula ditopang atau didukung oleh tersedianya


404

kebijakan yang inovatif, baik dalam proses perumusan maupun dalam

implementasi kebijakan tersebut. Dalam konteks fokus penelitian ini yang

dimaksud adalah terkait dengan proses pengembangan program inovasi

urusan pendidikan yang belum sepenuhnya inovatif, untuk hal ini maka

berlangsungnya proses pembentukan Peraturan Daerah (Perda) dan

pelaksanaan Perda yang memperhatkan nilai-nilai inovasi yang ada

dengan menciptkan terobosan baru, misalnya perlunya nilai partisipasi

dan responsivitas lebih ditingkatkan lagi.

6.2.2 Disarankan untuk lebih banyak menciptakan jenis-jenis program inovatif

lagi, terutama terkait dengan peningkatan akses dan kuaitas pelayanan

pendidikan. Meskipun diakui bahwa secara umum dari jenis-jenis program

inovasi urusan pendidikan (SPAS, PDEP, Pendidikan Gratis dan Satgas

Pendidikan) sudah memenuhi kriteria atau parameter dari suatu best

practices yakni dampak positif (nyata), kemitraan, dan keberlanjutan

sebagai dasar inovasi. Meskipun demikian disarankan untuk berusaha

menemukan lagi jenis program inovasi yang dapat mendukung

pencapaian program inovasi yang berkaitan dengan urusan pendidikan.

6.2.3 Disarankan untuk lebih banyak melakukan kegiatan yang berkaitan

dengan peningkatan kapasitas secara spesifik kepada aparatur

pelaksana program inovasi dan juga disarakan untuk menyiapakan

regulasi-regulasi dalam bentuk perda dan perbup untuk melembagakan

pengembangan kebijakan dan programinovasi dalam urusan pendidikan

yang dusah berlangsung selama ini. Berkaitan kapasitas inovasi

pemerintahan daerah yang sangat tergantung kepada kapasitas

kepemimpinan seorang Bupati dan tersedianya alokasi anggaran yang

besar di setiap tahunnya, tentu ini sekaligus menjadi kelemahan dari


405

proses pengembangan program inovasi. Oleh karena itu disarankan

untuk mengembangkan konsep leadership for innovation yakni

kepemimpinan yang menginspirasi bawahannya dan memberi peluang

tumbuh kembangnya nilai-nilai inovasi dalam organisasi, dan tidak lagi

menggunakan konsep innovative for leadership yakni kapasitas

kepemimpinan yang hanya bisa mengerjakan hal-hal yang inovasi tanpa

mampu menyebarkannya. Juga disarankan kepada pemerintah daerah

untuk mengembangkan usaha-usaha efisensi dalam pelaksanaan

program inovasi, sehingga nuansa ketergantungan anggaran secara

berlahan dapat dikurangi.

6.3 Implikasi Teoritis dan Praktis

Implikasi penelitian ini diuraikan dalam dua sisi, yakni implikasi teoritis

dan implikasi praktis yang muncul dari penyajian hasil penelitian dan

pembahasan hasil penelitian disertasi ini.

6.3.1. Implikasi Teoritis

Secara umum yang bisa dilihat pada penelitian ini adalah bahwa secara

empirik memberi bukti perbedaan nyata antara inovasi sektor publik dan sektor

bisnis. Sebagaimana dikembangkan oleh Koch, et al (2005) bahwa yang menjadi

karakter khas inovasi di sektor publik (organisasi pemerintahan) antara lain (a)

inovasi sektor publik lebih didorong oleh siklus politik yang memunculkan

kebijakan yang baru atau berubah; (b) inovasi dipengaruhi oleh organisasi lebih

kompleks dan berkecenderungan untuk konflik satu sama lain; (c) biasanya

memiliki banyak indikator kinerja sehingga seringkali menimbulkan kebingungan

dalam mengukurnya; (d) pemimpin (manajer) biasanya bekerja dalam tekanan

politik, tidak ada independensi yang sesungguhnya karena kepentingan politik


406

lebih mengemuka, sehingga novasi pun tidak dapat dilakukan tanpa adanya

persetujuan politik; (e) end-user inovasi adalah masyarakat sebagai warga

negara bukan komsumen (pelanggan); dan (f) seringkali inovasi dipandang

sebagai ancaman, karena dianggap akan menciptakan perubahan dan

mengganggu stabilitas, sehingga inovasi tetap diadopsi khususnya untuk

kepentingan perbaikan pelayanan publik.

Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perumusan kebijakan

dan implementasi kebijakan terkait dengan pengembangan program inovasi

belum inovatif, tetapi sudah nampak bahwa proses pengembangan suatu

program harus ditopang oleh adanya kebijakan (Perda) yang mengarahkan

program. Hal ini tentu relevan dengan pandangan Mulgan & Albury (2003),

program inovasi harus didukung oleh policy innovation is new policy direction and

initiatives; innovations in the policy-making process; & policy to foster innovation

and its diffusion. Sesuai pandangan Roberts (1999), tentang innovation by

legislative design and innovation by management design. Juga sejalan dengan

pandangan Watson (1999), proses inovasi berlangsung efektif jika terdapat

political support and administrative competence, kecuali syarat organizational

culture belum sepenuhnya terpenuhi.

Demikian halnya dengan hasil penelitian ini juga sudah sejalan dengan

pandangan Farazmand (2004), yang mengatakan bahwa inovasi adalah kunci

sound governance (kepemerintahan yang tepat) dan inovasi dalam kebijakan

dan administrasi adalah pusatnya. Jika tanpa inovasi kebijakan dan administrasi,

governance bisa jadi masuk ke kondisi yang busuk dan tidak efektif, kehilangan

kapasitas pemerintahannya, dan menjadi sasaran kritik dan kegagalan.

Sebaliknya jika dilihat dari pandangan dari Eggers & Singh (2009) tentang proses

pengembangan inovasi yang disebut sebagai proses inovasi yakni idea


407

generation and discovery; idea selection; idea implementation; and idea diffusion,

nampak belum seluruhnya sesuai, kecuali proses pada idea implementation dan

idea diffusion suatu program yang sudah dilaksanakan.

Sehubungan dengan jenis-jenis program inovasi yang sudah

dikembangkan nampaknya sudah sesuai dengan pandangan Eggers & Singh

(2009) bahwa salah satu sumber inovasi organisasi pemerintahan adalah mitra

internal (internal partners). Di mana semua jenis program inovasi yang

dikembangkan merupakan inisiatif dari pemerintah daerah sendiri, kemudian

disosialisasikan dan diproses bersama DPRD untuk menjadi prioritas program

kerja pemerintah daerah. Relevan juga dengan pandangan Eggers & Singh

(2009) tentang strategi inovasi yakni strategi replikasi (replicate), melakukan

peniruan sebagai salah satu cara inovasi yang bersumber dari badan-badan

pemerintahan lain dan atau organisasi swasta. Hasil penelitian jugar relevan

dengan Prasojo (2004 & 2006) yang mengembangkan parameter best practices

sebagai dasar inovasi versi UN Habitat yaitu segala inisiatif yang memiliki

outstanding contributions (impact, partnership, and sustainability). Program

inovasi harus memiliki kontribusi yang menonjol dan dapat didemonstrasikan

berupa dampak positif dan nyata, dilakukan dengan metode kemitraan, dan

memiiki jaminan keberlanjutan serta dapat diadopsi oleh daerah lain.

Relevan juga dengan pandangan Mulgan & Albury (2003) dan Muluk

(2008) bahwa suatu inovasi dapat dilihat pada tiga level inovasi yaitu

incremental; radical; & systemic/transformative. Suatu program inovasi berada

pada level inovasi inkremental jika inovasi tersebut sudah mampu membawa

perubahan-perubahan kecil terhadap proses atau layanan yang ada dan ini yang

umumnya terjadi terutama pada sektor publik. Jika menilai jenis inovasi yang

dikembangkan dalam urusan pendidikan yakni SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP


408

dan Satgas Pendidikan, nampaknya semua jenis program inovasi yang

dikembangkan tersebut termasuk inovasi inkremental, karena dampak nyata dari

program inovasi tersebut hanya menimbulkan perubahan-perubahan kecil dalam

proses pelayanan pendidikan. Bahkan sebagian besar program inovasi

merupakan pengembangan dan kelanjutan dari program yang sama dengan

program inovasi pada tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi (provinsi dan

nasional). Walaupun program inovasi tersebut hanya berada level inovasi

inkremental, tetapi dapat memainkan peran penting dalam pembaruan sektor

publik karena dapat diterapkan secara terus menerus dan mendukung rajutan

pelayanan yang responsif terhadap kebutuhan lokal dan perorangan, serta

mendukung nilai tambah uang (value for money).

Implikasi teoritis yang terkait dengan kapasitas pemerintahan daerah

dalam pengembangan inovasi nampaknya relevan dengan pandangan Gabris, et

al (2009) yang mengemukakan bahwa terdapat tiga strategi utama yang

mempengaruhi kemampuan organisasi pemerintahan untuk berinovasi yakni:

Leadership credibility; Strong management teams; and Governing board

functioning. Namun jika dilihat dari pandangan Grindle (1997) mengenai

dimensions and focus of capacity dan Kim, et al (2007) tentang model of

management capacity and government innovation nampaknya belum

sepenuhnya terpenuhi. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang menunjukkan

bahwa inovasi sangat tergantung pada kapasitas kepemimpinan Bupati dan

tersedianya anggaran besar untuk program inovasi.

Jika mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Kirton (1979), atau

“Kirton’s Adaption-Innovation (KAI teori) maka pengembangan program inovasi

urusan pendidikan di Kabupaten Gowa dapat dikategorikan sebagai program

inovasi yang diadaptasi oeh pemerintah daerah (Bupati). Hal ini didasarkan pada
409

asumsi sebagai adaptors digambarkan sebagai “doing things better” yaitu

melakukan hal-hal yang lebih baik. Menurut Stum (2009) karakteristik dari

adaptors adalah (1) peduli dengan pemecahan masalah daripada mencari

masalah; (2) selalu mencari solusi suatu masalah dengan mencoba dan

memahaminya; (3) mempertahankan akurasi yang tinggi dan bekerja terperinci;

(4) selalu taat aturan; (5) sensitif terhadap kohesi kelompok/tim; dan (6)

menyediakan dasar yang aman dalam berinovasi.

Demikian hanya tidak sepenuhnya bahwa pengembangan program

inovasi oleh pemerintah daerah dalam urusan pendidikan bisa dikatakan sebagai

innovators yang digambarkan sebagai “those who would prefer to do things

differently” yaitu orang-orang yang lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang

berbeda. Hal ini nampak dari karakterisitik pengembangan program inovasi di

Kabupaten Gowa tidak sepenuhnya sesuai dengan ciri-ciri yang melekat pada

innovators yakni (1) tampak tidak disiplin dan selalu bekerja dengan pendekatan

dari sudut tak terduga; (2) memperlakukan sarana lebih kecil dalam mengejar

tujuan; (3) mampu merinci tugas-tugas dalam waktu yang singkat; (4)

memberikan dinamika untuk perubahan revolusionir dan dalam waktu tertentu;

dan (5) memiliki keraguan dan rendah diri setiap menemukan ide-ide baru.

6.3.2. Implikasi Praktis

Meskipun konsep inovasi belum begitu lama berkembang dalam

khasanah pemikiran administrasi publik, tetapi nampaknya konsep ini semakin

hari, semakin banyak akademisi dan praktisi pemerintahan yang meyakini bahwa

inovasi adalah salah satu instrumen alternatif untuk mengatasi berbagai masalah

publik yang makin kompleks. Berkaitan dengan hal tersebut, implikasi praktis dari

penelitian ini yang perlu ditindaklanjuti adalah perlunya grand design secara
410

nasional mengenai inovasi pemerintahan yang berkaitan dengan

penyelenggaraan fungsi dan tugas pokok pemerintahan yakni fungsi public

services dan public goods delivery.

Pemerintah daerah yang mengembangkan program inovasi, termasuk

pemerintah daerah Kabupaten Gowa, dalam praktek inovasi hendaknya

memperhatikan aspek kapasitas yang dimiliki dalam mengembangkan sebuah

program inovasi. Hal ini terkait dengan hasil penelitian yang menunjukkan masih

lemahnya kapasitas organisasi pemerintah daerah terutama jika dilihat dari tiga

dimensi kapasitas yakni human resource, organizational strengthening, dan

institutional reform. Lebih khusus lagi jika mengacu pada model manajemen

kapasitas dan inovasi pemerintahan yang dikembangkan Kim, et al (2007),

meliputi innovative leadership, quality of workforce, system/structures, dan

managing external influences.

Sesederhana bagaimanapun hasil penelitian yang disajikan pada

penelitian disertasi ini, penulis beharap agar hal tersebut bisa bermanfaat dan

berguna serta menjadi sumbangan pemikiran bagi berbagai pihak yang memiliki

akses terhadap kebijakan, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat

dan fenomena penyelenggaraan inovasi pemerintahan daerah dalam urusan

pendidikan di Kabupaten Gowa dijadikan sebagai dasar rasionalisasi untuk

semakin menyempurnakan praktek inovasi pemerintahan di daerah-daerah

lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian, dirasakan analisnya masih dangkal, maka

disarankan kepada para peneliti lainnya dan mahasiswa, terutama bagi

mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Publik untuk terus melakukan

kajian tentang inovasi pemerintahan daerah dalam berbagai konteks untuk

memperkaya khasanah ilmu administrasi publik. Mengingat kajian ini masih


411

sangat terbatas cakupan dan ruang lingkupnya, maka untuk para peneliti

berikutnya supaya bisa lebih mendalami pada dimensi lainnya, misalnya dimensi

yang terkait dengan budaya inovasi, faktor-faktor yang mendukung dan

menghambat inovasi, dan terutama yang terkait dengan kapasitas inovasi yang

dimiliki oleh pemerintah daerah.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin. 2002. Masa Depan Otonomi Daerah: Kajian Sosial,
Ekonomi, dan Politik untuk Menciptakan Sinergi dalam Pembangunan
Daerah. Surabaya: SIC.

Ajibola, M.A. 2008. “Innovation and Curriculum Development for Basic Education
in Nigeria: Policy Priorities and Challenges of Practice and
Implementation”. Research Journal of International Studies (Issue 8,
November). pp. 51-58.

Akenroye, Temidayo O. & Christoph W. Kuenne. 2015. “Key Competencies for


Promoting Service Innovation: What are Implications for the Health
Sector?”. The Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal,
Volume 20(1). pp. 1-21.

Akomolafe, Comfort Olufunke. 2011. “Managing Innovations in Educational


System in Nigeria: A Focus on Creating and Sustenance of Culture of
Innovation”. Journal of Emerging Trends in Educational Research and
Policy Studies (JETERAPS) 2(1). pp. 47-52.

Albrow, Martin. 2004. Birokrasi. Penerjemah M. Rusli Karim dan Totok Daryanto,
Yogyakarta: Tiara Wacana.

Al Gore. 1993. Creating a Government That Works Better & Cost Less: the
Report of the National Performance Review. A Plume Book.

Alguezaui, Salma & Raffaele Filieri. 2010. “Investigating the Role of Social
Capital in Innovation: Sparse versus Dense Network”: Journal of
Knowledge Management: Volume 14 No. 6 2010, pp. 891-909.

Anthony, Scott D. 2013. The Little Black Book of Innovation: Bagaimana Inovasi
Bekerja. Jakarta: Alex Media Komputindo.

Arnaboldi, Michela, Giovanni Azzone & Tommaso Palermo. 2010. “Managerial


Innovations in Central Government: Not Wrong, but Hard to Explain”:
International Journal of Public Sector Management: Volume 23 No. 1, pp.
78-93.

Asropi. 2008. “Budaya Inovasi dan Reformasi Birokrasi“. Jurnal Ilmu


Administrasi, Volume V, No. 3, September, h. 246-255.

Barzelay, Michael & Babak J. Armajani. 1992. Breaking through Bureaucracy. In


Shafritz, Jay M., Albert C.Hyde., & Sandra J.Parkes. 2004. Classics of
Public Administration. Fifth edition. USA: Thomson & Wadsworth.

Batalli, Mirlinda. 2011. “Impact of Public Administration Innovations on


Enhancing the Citizens‟ Expectations”. International Journal of e-

412
413

Education, e-Business, e-Management and e-Learning, Volume 1, No. 2,


June. pp. 156-162.

Behn, Robert D. 2008. “The Adoption of Innovation: The Challenge of Learning to


Adapt Tacit Knowledge”. Borins, Sandford. 2008. Innovations in
Government: Research, Recognition, and Replication. Washington, D.C:
Brookings Institution Press.

Black, Julia. Lodge M. & Thatcher, Mark (eds.). 2005. Regulatory Innovation: A
Comparative Analysis. Cheltenhen UK: Edward Elgar.

Borins, Sandford. 2008. Innovations in Government: Research, Recognition, and


Replication. Washington, D.C: Brookings Institution Press.

…........... 2001a. The Challenge of Innovating in Government. Innovations in


Management Series, the Business of Government: University of Toronto.

…………. 2001b. “Public Management Innovation: Toward a Global Perspective”.


The American Review of Public Administration. Volume 31 No. 1, March.
pp. 5-21.

Bowman, Ann O‟M & Richard C. Kearney. 2003. State and Local Government:
the Essentials. Second edition. New York: H.M. Company.

Bromley, Daniel W. (1989). Economic Interests and Institutions: The Conceptual


Foundations of Public Policy. New York: Basic Blackwell.

Brown, Helen. 2008. Knowledge and Innovation: A Comparative Study of the


USA, the UK, and Japan. New York: Routledge.

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers.

………., 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan


Ilmu Sosial. Jakarta: Kencana.

Caiden E. Gerald. 1991. Administrative Reform Comes of Age. New York 19:
Walter de Gruyter.

Capuno, Joseph J. 2010. Leadership and Innovation Under Decentralization: A


Case Study of Selected Local Governments in the Philippines. Discussion
Paper No. 2010-10. University of the Philippines School of Economics.

Carrera, Leandro & Dunleavy, Patrick. 2010. Productivity Change in the Public
Sector: Innovation, New Public Management and Cultural Resistance to
"Digital Era Governance" in Uk Social Security. Department of
Government, London School of Economics and Political Science.

Chien, Shiuh-Shen. 2007. “Institutional Innovations, Asymmetric Decentralization,


and Local Economic Development: A Case Study of Kunshan, in Post-
Mao China”. Environment and Planning C: Government and Policy.
Volume 25, p. 269-290.
414

Cohen, Steven & William Elmicke. 1998. Tools for Innovators: Creative Strategis
for Managing Public Sector Organizations. San Francisco: Jossey-Bass.

Concidine, Mark., J M, Lewis & D. Alexander. 2009. Networks, Innovation and


Public Policy: Politicians, Bureaucrats and the Pathways to Change Inside
Government. New York: Pagrave.

Conyers, Diana, 1986. “Decentralization and Development: a Framework for


Analysis”, Community Development Journal, (Volume 21, Number 2,
April): 88-100.

Creswell, John W, 2007. Qualitatitve Inquiry & Research Design; Choosing


Among Five Approachs. London: Sage Publications.

Cristiansen, James A. 2000. Building the Innovative Organization: Management


System That Encourage Innovation. New York: Palgrave.

Denhardt, J.V. & Denhardt, R.B. 2003. The New Public Service: Serving Not
Steering. New York: M.E. Sharpe.

Eggers, William D. & Singh, Shalabh Kumar. 2009. The Public Innovator‟s
Playbook: Nurturing bold ideas in government. Deloitte. Harvard Kennedy
School of Government.

Eko, Sutoro. 2007. Daerah Budiman: Prakarsa dan Inovasi Lokal Membangun
Kesejahteraan. (IRE) Yogyakarta.

Elcock, Howard. 2005. Local Government: Policy and Management in Local


Authority. New York: Routledge.

Evans, Mark, 2010. Building the Capacity for Local Government Innovation.
Australian Centre for Excellence in Local Government„s (ACELG).

Ezzy, Douglas. 2003. Qualitative Analysis: Practice and Innovation. Crows Nest:
Allen & Unwin.

Fajar, 2011. Buta Aksara di Sulsel Tembus Setengah Juta. Melalui:


http://www.fajar.co.id/, tanggal 9 September 2011.

Farazmand, Ali (Ed.). 2004. Sound Governance: Policy and Administrative


Innovations. London: Praeger.

………….. 2004. “Innovation in Strategic Human Resource Management:


Building Capacity in the Age of Globalization”. Public Organization
Review: A Global Journal 4: 3–24.

FIPO (The Fajar Institute of Pro-Otonomi). 2010. Menggali Kecerdasan Lokal di


Punggawa D' Emba. Melalui: http://fipofajar.org.
415

Frederickson, H. George. 1988. Administrasi Negara Baru. Penerjemah: Al-


Ghozei Usman. Jakarta: LP3ES.

Frederickson, H. George & Jocelyn M. Johnston (Eds.). 1999. Public


Management Reform and Innovation: Research, Theory, and Application.
London: Alabama.

Frederickson, H. George & Kevin B. Smith. 2003. The Public Administration


Theory Primer. USA: Westview Press.

Friedman, Milton. 1955. “The Role of Government in Education”. In Robert A.


Solo. 1955. From Economics and the Public Interest. New Jersey:
Rutgers University Press.

Gabris, Gerald T., Kimberly Nelson and Curtis H.Wood. 2009. Managing For
Innovation in Local Government: Three Core Strategic Factors. The
Radford University Governmental and Nonprofit Assitency Centre.

Gaynor, Gerard H. 2002. Innovation by Design: What It Takes to Keep Your


Company on the Cutting Edge. New York: AMACOM

Gibson, J. L., Ivancevich, J.M. & Donnelly, Jr. J, 1996. Organisasi, Perilaku,
Struktur dan Proses. Penerjemah: Nunuk Adiarni. Jakarta: Bina Aksara.

Grindle, Merilee S. (Editor). 1997. Getting Good Government: Capacity Building


in the Public Sector of Developing Countries. Boston, MA: Harvard
Institute for International Development.

…………. 2009. Going Local, Decentralization, Democratization, and the Promise


of Good Governance. New Jersey: Princeton University Press.
Halvorsen, T., Johan H., Ian M. & Rannveig R. 2005. On The Differences
between Public and Private Sector Innovation. Publin Report D9. Oslo:
NIFU STEP.
Hartley, Jean. 2005. “Innovation in Governance and Public Services: Past and
Present”. Public Money and Management. January, Blackwell
Publishing.

……….,. 2006. Innovation and Its Contribution to Improvement: A Review for


Policy-makers, Policy Advisers, Managers and Researchers.
Department for Communities and Local Government: London
Hennala, Lea., Satu Parjanen & Tuomo Uotila. 2011. “Challenges of Multi-Actor
Involvement in the Public Sector Front-End Innovation Processes
Constructing an Open Innovation Model for Developing Well-Being
Services”: European Journal of Innovation Management: Volume 14
No. 3, pp. 364-387.

Hoessein, Bhenyamin, 2009. Perubahan, Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan


Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi. Departemen Ilmu
Administrasi: Fisip-UI.
416

…………., 2000. ”Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dengan


Pemerintahan Daerah”, Jurnal Bisnis & Birokrasi No.1/Vol.1/Juli.
Departemen Ilmu Administrasi Fisip-UI.

Hoessein, B, Maksum, R.I, Riduansyah, M, & Hanafi, Puji Nur, 2005. Naskah
Akademik Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Jakarta: PKPAD & Kota, Fisip UI.

Holidin, Defny, Desy Hariyati, & Eka Sri Sunarti. 2016. Reformasi Birokrasi dalam
Transisi. Jakarta: Prenadamedia Group.

Ichsan, M, Supriyono, B & Muluk, M.R.Khairul. 2003. ”Variasi Cakupan dan


Peran Pelayanan Publik Pemerintah Daerah”, dalam Muluk, M.R.Khairul
(2007) Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang: Bayu Media.

IGI. 2012. Meningkatkan Akses dan Kualitas Pendidikan: Belajar dari Kabupaten
Gowa dalam Mengemas Pendidikan. Fisipol UGM. Melalui
www.igi.fisipol.ugm.ac.id

INDOPOV. 2007. Inovasi Pelayanan Pro-Miskin: Sembilan Studi Kasus di


Indonesia. The World Bank: Poverty Reduction and Economic
Management Unit East Asia and Pacific Region.

Islamy, Irfan M. 2003. Dasar-dasar Administrasi Publik dan Manajemen Publik.


Malang: PDIA FIA-UB

Jha, S.N. & Mathur, P.C. (Eds.). 1999. Decentraliztion and Local Politics;
Reading in Indian Government and Politics-2. London: Sage Publications.

Kadir, Basir, Dkk. 2009. Menggali Potensi Menumbuhkan Inovasi: Pemaparan


Hasil Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap
Kinerja Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Makassar: The Fajar
Institute of Pro Otonomi (FIPO).

……..., 2010. Prakarsa Memintas Pembangunan: Hasil Monitoring dan Evaluasi


Kinerja Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Makassar: The
Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO).

………., 2011. Difusi Inovasi Daerah: Hasil Monitoring dan Evaluasi Kinerja
Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan dalam Rangka Otonomi Awards
2011. Makassar: The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO).

……….. 2012. Metamorfosa Inovasi Daerah: Hasil Monitoring dan Evaluasi


Kinerja Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan untuk Otonomi
Awards 2012. Makassar: The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO).

Kaho, J. Riwu, 2007. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia.


Jakarta: Rajawali Pers.
417

……….., 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah; Solusi Kebutuhan Lokal dan
Tantangan Global. Jakarta: Rineka Cipta.

Karim, Abdul Gaffar (ed.). 2003. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di


Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Keban, Yeremias T. 2000. Good Governance” dan “Capacity Building” sebagai


Indikator Utama dan Fokus Penilaian Kinerja Pemerintahan. Naskah
No.20 Team Leader Capacity Building for Local Government Bappenas.

............, 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan
Isu. Yogyakarta: Gava Media.

Kementerian Dalam Negeri, 2005. Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004


tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta.

..........., 2008. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang


Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Jakarta.

..........., 2008. Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang


Organisasi Perangkat Daerah. Jakarta.

..........., 2015. Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah. Jakarta.

Kim, Pan Suk. 2009. “Quality as a Reflection of Innovation? Quality Management


in the Korean Government”. International Review of Administrative
Sciences. 75:419. pp. 421-435.

Kim, Seok Eun, Jung Wook Lee & Byong Seob Kim. 2007. The Quality of
Management and Government Innovation: An Empirical Study. A paper
for presentation at the 9th Public Management Research Conference,
University of Arizona, October 25-27.

Kim, Soonhee. 2009. Managerial Leadership, the Climate for Creativity, and a
Culture of Innovation and Performance-Driven in Local Government. Draft
Paper Prepared for the PMRA Conference, Oct 1-2, Columbus, Ohio.

KPK. 2006. Mengukur Keberhasilan Kabupaten Solok Dalam Pelaksanaan Tata


Kelola Pemerintahan Yang Baik. Jakarta: Direktorat Litbang KPK.

Kompas. 2011. Kisah Sukses Para Pemimpin Daerah. Kompasiana: 12 Juni.


www.kompas.com

……….., 2008. Evaluasi Sepuluh Tahun Pelayanan Publik di Era Otonomi


Daerah. Biro Litbang Kompas, tanggal 28 April 2008.

Koch, Per & Johan Hauknes, 2005. On innovation in the Public Sector – Today
and Beyond. Publin Report No. D20. Oslo: NIFU STEP.
418

Kurniawan, Teguh. 2007. “Pergeseran Paradigma Administrasi Publik: Dari


Prilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance”. JIANA. Volume 7
Januari: 52-70.

Lam, Alice. 2004. Organizational Innovation. Working Paper No. 1: Brunel


University Brunel Research in Enterprise, Innovation, Sustainability, and
Ethics Uxbridge, West London.

Lawson, B and Samson, D. 2001. “Developing Innovation Capability in


Organizations: A Dynamic Capabilities Approach” International Journal of
Innovation Management. Vol. 5, No. 3 (September) pp. 377–400.

Lincoln, Y. and Guba, E, 1985. Naturalistic Inquiry. New York: Sage Publication.

MAC. 2010. Empowering Change: Fostering Innovation in the Australian Public


Service. Australian Government: Series: 9.

Majalah e-Indonesia. 2010. Artikel Kabupaten Sragen Edisi 22/1. Melalui


www.majalaheindonesia.com

Maria, Rebecca Fatima Sta. 2003. “Innovation and Organizational Learning


Culture in the Malaysian Public Sector”. In Advances in Developing
Human Resources 5: 205.

Massi & Firman. 2011. Terobosan Gowa Mengembangkan Pendidikan Gratis.


Artikel. Melalui www.setkab.go.id/pro-rakyat

Martin, John. 2000. Innovation Strategies in Australian Local Government. Paper


in Queensland University of Technology.

Meehan, Elizabeth. From Government to Governance, Civic Participation and


„New Politics‟; the Context of Potential Opportunities for the Better
Representation of Women. Occasional Paper No. 5, Queen's University
Belfast.

Moleong, Lexy J, 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda.

Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis.


London: Sage Publications.

Mintzberg, Henry, 1979. The Structuring of Organizations a Synthesis of the


Research. Englewood Cliffs N.J.: Prentice-Hall, Inc.

Muhammad, Fadel. 2009. Reinventing Local Government: Pengalaman dari


Daerah. Jakarta: Gramedia.

Mulgan, G. & Albury, D. 2003. Innovation in the Public Sector. Working paper
version 1.9, October, Strategy Unit UK Kabinet Office.
419

Muluk, Khairul. 2008. Knowledge Management; Kunci Sukses Inovasi


Pemerintahan Daerah. Malang: Bayu Media.

………... 2009. Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah.


Surabaya: ITS Press.

………., 2010. “Dari Good ke Sound Governance: Pendorong Inovasi


Administrasi Publik”. Falih Suaedi (ed.) Revitalisasi Administrasi Negara.
Yogyakarta: Graha Ilmu.

Muttalib, M.A. & M.A. Ali Khan. 1982. Theory of Local Government. New Delhi:
Stereling Publishers.

Nasution, S. 1996, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito.

NESTA. 2008. Innovation in Government Organizations, Public Sector Agencies


and Public Service NGOs. Draft Working Paper. London WC2A 2AE: LSE
Public Policy Group.

Noor, Irwan. 2013. Desain Inovasi Pemerintahan Daerah. Malang: UB Press.

OECD. 2005. Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data. Oslo
Manual: European Communities.

Orange, Graham. et al., 2007. “Local Government and Social or Innovation


Values”. Transforming Government: People, Process and Policy. Volume
1 No. 3, pp. 242-254.

Osborne, Stephen P. & Kerry Brown. 2005. Managing Change and Innovation in
Public Service Organizations. New York: Routledge.

Osborne, David & Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government: How the
Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector. Reading MA:
Addison-Wesley.

Pekkarinen, Satu., Tomi Tura., Lea Hennala & Vesa Harmaakorpi. 2011.
“Clashes as Potential for Innovation in Public Service Sector Reform”:
International Journal of Public Sector Management: Vol. 24 No. 6, pp.
507-532

Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa. 2011. Profil Kabupaten Gowa. Melalui


www.gowakab.go.id.

…………, 2011. Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Gowa. Bagian Humas


Pemkab Gowa. Melalui: www.humasgowa.com.

…………, Kabupaten Gowa. 2013. Gowa Dalam Angka 2013. Biro Pusat
Statistik.
420

Peraturan Bupati Gowa No. 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Perda


Pendidikan Gratis. Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Gowa.

Peraturan Daerah Kabupaten Gowa No. 3 Tahun 2008 tentang Pembagian


Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan
Kabupaten Gowa. Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Gowa.

………... No. 4 Tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis. Bagian Hukum


Sekretariat Daerah Kabupaten Gowa.

………… No. 10 Tahun 2009 tentang Program Wajib Belajar. Bagian Hukum
Sekretariat Daerah Kabupaten Gowa.

…………. No. 3 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah


Daerah (RPJMD) Tahun 2010-2015. Bagian Hukum Sekretariat Daerah
Kabupaten Gowa.

Putra, Fadillah. 2009. Senjakala Good Governance. Malang: Avereos Press.

Pramusinto, Agus. 2010. Decentralization, Local Leadership and Innovation in


Indonesia. The 28th International Congress of Administrative Sciences.
IIAS-IASIA. Bali-Indonesia.

Prasojo, Eko. 2006. “Reformasi Birokrasi di Indonesia: Beberapa Catatan Kritis”,


Jurnal Bisnis & Birokrasi, Vol.XIV/No.1/Januari. Departemen Ilmu
Administrasi Fisip UI.

………... 2003. Restrukturisasi Organisasi Perangkat Pemerintah Daerah:


Sebuah Refleksi Teoritis dan Praxis Terhadap PP No. 8 Tahun 2003,
Publikasi YIPD, Tahun II No. 3. Melalui http://www.yipd.co.id.

Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan & Azwar Hasan. 2004. Reformasi Birokrasi
Dalam Praktek: Kasus di Kabupaten Jembrana. Jakarta: PKPAD & Kota.
Fisip-UI.

Prasojo, Eko dan Teguh Kurniawan. 2006. ”Bebas Iuran Sekolah dan JKJ:
Inovasi Pro Masyarakat Miskin di Kabupaten Jembrana”. Jurnal PSPK,
Edisi VIII. Hal. 100-113.

Ratnawati, Tri, 2003. “Desentralisasi Dalam Konsep dan Implementasinya di


Indonesia di Masa Transisi” dalam Abdul Gaffar Karim (ed.).
Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Rhodes, R. A. W. 2007. “Understanding Governance: Ten Years On”.


Organization Studies. 28; 1243

Roberts, Nancy C. 1999. ”Innovation by Legislative, Judicial, and Management


Design: Three Arenas of Public Entrepreneurship”. Frederickson, George
& Jocelyn M. Johnston (Eds.) Public Management Reform and
Innovation: Research, Theory, and Application. London: Alabama.
421

Robbins, Stephen P, 1994. Teori Organisasi; Struktur, Desain dan Aplikasi.


Penerjemah: Jusuf Udaya. Jakarta: Penerbit Arcan.

Rogers, Everett M. 1983. Diffusion of Innovations. Third Edition. New York:


Macmillan Publishing Co., Inc.

Rondinelli, Dennis A & Cheema, G. Shabbir, 1983. Decentralization and


Development Policy Implementation in Developing Countries. Beverly
Hills London: Sage Publications.

Rosenbloom, D.H. & R.S. Kravchuk. 2005. Public Administration: Understanding


Management, Politics, and Law in the Public Sector. Singapore: McGraw-
Hill.

Said, M. Mas‟ud. 2007. Birokrasi di Negara Birokratis; Makna, Masalah dan


Dekonstruksi Birokrasi Indonesia. Malang: UMM Press.

………... 2010. Innovative Bureaucracy: Ingredients, Contents dan


Kelembagaan. Malang: Averroes Community.

…………. 2009. Menggagas Innovative Bureaucracy dalam Pemerintahan


Indonesia. Melalui: http_ejournal.umm.ac.id.

Saleh, Choirul & M.R. Khairul Muluk. 2006. “New Public Service dan
Pemerintahan Lokal Partisipatif”. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik. Vol.
VI, No.1, September 2005-Februari 2006.

Salomo, Roy V, 2006. Pokok-pokok Pikiran Penyempurnaan UU No. 32 Tahun


2004 tentang Pemerintahan Daerah (Bagian Perangkat Daerah).
Depdagri kerjasama GTZ. Melalui http://www.desentralisasi.org.

Senge, Peter M. 1990. The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning
Organization. New York: Currency Doubleday.

Setiono, Budi. 2002. Jaring Birokrasi: Tinjauan dari Aspek Politik dan
Administrasi. Bekasi: Gugus Press.

Shafritz, Jay M & E.W. Russel. 1999. Introducing Public Administration. Second
edition. New York: Longman.

Shafritz, Jay M., et al. 2004. Classics of Public Administration. Fifth edition. USA:
Thomson & Wadsworth.

Shah, Anwar. 2005. Public Sector Delivery. Washington DC: World Bank

…………. 2006. Local Governance in Industrial Country. Washington DC: World


Bank
422

Siddiquee, Noore Alam. 2007. “Public Service Innovations, Policy Transfer and
Governance in the Asia-Pacific Region: The Malaysian Experience”.
JOAAG, Vol. 2. No: 1. h. 81-91.

Sherwood, Dennis, 2002. Smart Things to Know about Innovation & Creativity.
Jakarta: Alex Media Komputindo.

Slappendel, Carol. 1996. “Perspectives on Innovation in Organizations”.


Organization Studies, Vol. 17(1): pp.107–129.

Smith, Brian C, 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of the State.


London: George Allen & Unwin.

Solihin, Dadang. 2010. Desentraisasi dan Otonomi Daerah. Universitas Darma


Persada. Melalui: www.dadangsolihin.com/lecture.

Soeprapto, H.R. Riyadi. 2004. Pengembangan Kapasitas Pemerintah Daerah


Menuju Good Governance. Naskah Pidato Guru Besar Ilmu Administrasi
FIA Uiversitas Brawijaya.

Stewart, John. 1988. Understanding the Management of Local Government: Its


Special Purpose, Conditions and Task. Longman Group UK Ltd.

Stoker, Gerry. 1998. Governance as Theory: Five Propositions. Unesco:


Blackwell.

Strumpf, Koleman S. 2000. Does Government Decentralization Increase Policy


Innovation? Department of Economics University of North Carolina at
Chapel Hill.

Stum, Jake. 2009. “Kirton‟s Adaption-Innovation Theory: Managing Cognitive


Styles in Times of Diversity and Change”. Emerging Leadership Journeys,
Vol. 2 Iss. 1, 2009, pp. 66-78.

Styhre, Alexander. 2007. The Innovative Bureaucracy: Bureaucracy in an Age of


Fluidity. New York: Rutledge.

Sugiyono, 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Suharno. 2008. Kajian Inovasi Kecamatan sebagai Organisasi Publik. Laporan


Penelitian Pusat Studi Pembangunan Pertanian & Pedesaan LPPM-IPB
dan DRSP-USAID.

Sumarto, Hetifah Sj. 2004. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20


Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Jakarta: YOI.

Sumartono, 2007. Reformasi Administrasi Pelayanan Publik. Naskah Pidato


Pengukuhan Guru Besar FIA-Universitas Brawijaya. Malang.
423

Sun, Miantao. 2010. “Education System Reform in China after 1978: Some
Practical Implications”: International Journal of Educational Management:
Vol. 24 No. 4, pp. 314-329.

Supriyono, Bambang, 2007. “Pembangunan Institusi Pemerintahan Daerah


dalam Penyediaan Prasarana”, Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Vol. 9
No. 1 September. LPD FIA-UB. h. 727-742.

.............. 2010. Sistem Pemerintahan Daerah Berbasis Masyarakat Multikultural.


Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar FIA-Universitas Brawijaya.
Malang.

............... 2011. Inovasi Pemerintahan Daerah dalam Rangka Mempercepat


Pembangunan Ekonomi Indonesia. Makalah Seminar Nasional “Peran
Local Government dalam Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia”. Humanis Jurusan Administrasi Publik, FIA
Universitas Brawijaya. Malang.

Suwandi, Made. 2010. “Menimbang 10 Tahun Pelayanan Publik Era Otonomi


Daerah”. Jurnal Ilmu Politik. Nomor 21. h. 53-71. Jakarta: AIPI.

………….. 2007. Pokok-pokok Pikiran; Konsepsi Dasar Otonomi Daerah


Indonesia (Dalam Upaya Mewujudkan Pemerintahan Daerah yang
Demokratis dan Efisien). Jakarta: Ditjen Otda Depdagri.

Suwarno, Yogi. 2008. Inovasi di Sektor Publik. Jakarta: STIA LAN.

Taufik, Tatang A. 2007. ”Prospek dan Pragmatisme Peningkatan Daya Saing


Daerah: Paradigma Sistem Inovasi”, dalam PROSPECT, Februari, Tahun
3 No. 4. Jakarta. h. 5-26.

Thoha, Miftah, 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

..............., 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta:


Prenada Media.

Tonwe, Daniel Adetoritse. 2011. “Conceptualizing Local Government from a


Multi-Dimensional Perspective”. Higher Education of Social Science. Vol.
1, No. 1, 2011, pp. 66-71.

Tribun Timur, 2010. Inovasi Pendidikan Kab. Gowa: Perkuatan Mutu Pendidikan
Gratis, tanggal 13 Maret 2010.

Turner, M. & Hulme, D. 1997. Governance, Administration and Development:


Making the State Work, Kumarian Press, Connecticut.

UNDESA. 2006. Innovations in Governance and Public Administration:


Replicating What Works. New York: United Nations Publication.
424

UNfGI. 2012. “Pembentukan Satuan Tugas: Kebijakan Strategis Pendidikan


Kabupaten Gowa” Policy Brief. USAID Indonesia, KINERJA dan Fisipol
UGM.

USAID, 2009. Innovations in Local Service Management: Challenges and


Opportunities in Decentralized Governance in Indonesia. Good
Governance Brief. LGSP-USAID.

Veenswijk, Marcel (ed.). 2005. Organizing Innovation: New Approach to Cultural


Change and Intervention in Public Sector Organizations. Amsterdan: IOS
Press.

Vigoda-Gadot, Eran, Aviv Shoham, Nitza Schwabsky, & Ayalla Ruvi. 2005.
“Public Sector Innovation for the Managerial and Post-Managerial Era:
Promises and Realities in a Globalizing Public Administration”.
International Public Management Journal. 8 (1) p. 57-81.

Wasistiono, Sadu. 2010. “Menuju Desentralisasi Berkeseimbangan”. Jurnal Ilmu


Politik. Nomor 21. h. 40-52. Jakarta: AIPI.

Watson, Douglas J. 1997. Innovative Government: Creative Approach to Local


Problema. London: Greenword Publishing Group.

Watson, Douglas J. & Wendy L. Hassett. 2003. Local Government Management:


Current Issues and Best Practices. New York: M.E. Sharpe.

Weber, Max. 1946. ”Bureaucracy” in Shafritz, Jay M. Hyde Albert C & Parkers
Sandra J. 2004. Classics of Public Administration. Fifth Edition,
Thomson Wadsworth.

Wilson, James Q. 1989. Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why


They Do It. US: BasicBooks a Division of Harper Collins Publishers.

Wood, J.M., Wallace, J., Zeffane, R.M., Schermerhom, J.R., Hunt, J.G., &
Osborn, R.N. 1998. Organisational Behaviour: An Asia - Pacific
Perspective. Brisbane: John Wiley & Sons.

Yunus, Syaiful Rijal. 2012. “Gowa Menggagas Inovasi Pendidikan” Proceeding


Seminar & Lokakarya Inovasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di
Daerah. Fisipol UGM.

Zauhar, Soesilo. 2008. Birokrasi, Birokratisasi dan Post Bureaucracy. Artikel,


http://publik.brawijaya.ac.id/us/jurnal.

Anda mungkin juga menyukai