Anda di halaman 1dari 23

BAB PENELITIAN HUKUM EMPIRIS

6 Raju Moh Hazmi, S.H., M.H.

6.1. Penelitian Hukum Empiris: Transisi Menuju Paradigma Kenyataan


Sosial
Sejak infiltrasi secara masif gerakan positivisme ke dalam dunia
hukum, paradigma tentang hukum disandarkan pada tesis bahwa hukum
adalah undang-undang.(Samekto, 2012) Diluar norma yang dibakukan ke
dalam undang-undang tidak dianggap sebagai hukum. Hukum
dipersepsikan sebagai aturan yang berasal dari pemimpin negara
(penguasa) yang sifatnya tertutup dari interpretasi eksternal-ekstra legal
yang berbasiskan sosial, budaya, politik, dan ekonomi.(Aprita & Adhitya,
2020; Bunyamin et al., 2023) Situasi ini yang menyebabkan norma hukum
memiliki tingkat prediktabilitas (kepastian) hukum.(Rumiartha, 2021)
Sehingga dapat dilihat bagaimana konteks “hukum seharusnya” jika
berkonfrontasi dengan fakta penyimpangan hukum di tataran
realitas.(Sabon, 2012)
Karakter dari positivisme hukum adalah mempurifikasi norma
hukum sebagai derivat perintah penguasa yang musti dipatuhi secara
menyeluruh dan konsekuen, sehingga pertimbangan yang sifatnya
transedental dan hipotetis bukanlah hukum (serupa moral, agama,
budaya), namun masuk ke dalam wilayah origin norm yang tidak aplikatif
untuk dijadikan dasar dalam pemberlakuan sesuatu.(Kalyvas, 2006)
Dominasi dari peraturan tertulis lebih kentara dan mutlak karena
merupakan bagian dari manifestasi tindakan negara dalam kerangka
proteksi holistik terhadap warga.(Wibawa & Ali, 2022) Oleh karena itu,
dapat dilihat bahwa basis epistemologi dari positivisme adalah eliminasi
terhadap eksistensi metafisik.(Muhtamar & Ashri, 2020)
Persoalannya adalah apakah usaha untuk memurnikan hukum dari

Raju Moh Hazmi 1


segala macam pertimbangan ekstra-legal tersebut dapat dicerna secara
rasional?. Proyek pemurnian hukum ala positivisme Austin dan Kelsen
adalah hal yang sangat irasional. Objek yang menjadi sasaran dari ilmu
hukum adalah norma hukum. Hanya saja, ternyata, mendambakan norma
hukum yang bebas nilai (murni) adalah hal yang utopis. Mengapa?. Karena
jika ditinjau secara faktual norma hukum pasti mempunyai serta
mengandung relasi dan terikat pada suatu sistem. Di dalam sistem jelas
terdapat keterikatan pada fakta atau kenyataan dari tempat tertentu.
Misalkan saja, di Indonesia, sistem itu terbangun berdasarkan dimensi
historis atas kesadaran rakyat Indonesia. Sehingga, anggapan Hans Kelsen
soal murninya keilmuan hukum itu batal sekaligus.
Dengan begitu, di dalam positivisme hukum, terdapat kontradiksi
internal. Hal ini karena tersemat keyakinan bersifat liberal-reifikatif.
Mereka para penganut positivisme hukum beranggapan sesuatu itu
eksistensial, padahal dalam memformulasikan pengetahuan tergantung
dari atau ditentukan oleh para pemegang otoritas pengetahuan.
Contohnya saja, bagi Hans Kelsen proyek pemurnian hukumnya dianggap
sesuatu yang ada. Namun, Kelsen lupa bahwa hal itu ada jika terdapat
konsensus diantara para pemegang otorisasi keilmuan
hukum.(Manullang, 2019)
Cara pandang positivistik telah menyebabkan hukum hanya dilihat
dalam tataran ideal, tertutup, dan menafikan dinamika keadaan sosial
kemasyarakatan. Hukum dimurnikan dari prasangka yang bersifat ekstra
legal, sehingga validitas hukum hanya dapat disandarkan pada diri hukum
itu sendiri secara tertulis dan positivistik. Padahal, rasa keadilan tidak bisa
dicari melalui teks semata, melainkan rasa keadilan muncul pada ranah
fakta sosial. kriteria hukum yang baik itu musti selaras dengan nilai yang
dipegang oleh masyarakat. Dengan begitu, maka, agar hukum diterima
secara sadar dengan rasa bertanggung jawab yang besar oleh masyarakat,
hukum harusnya mencerminkan dan korelatif bersamaan dengan nilai
kemasyarakatan itu tadi secara empirik.(Siagian et al., 2023)

Raju Moh Hazmi 2


6.2. Kredo Epistemologi Empirisme
Bagaimana cara manusia mengetahui konsep sesuatu hal?.
Misalnya, persepsi tentang warna putih, merah, atau hitam. Apakah
persepsi dan proyeksi tentang konsep warna “putih, merah, atau hitam”
tersebut sudah apriori terpatri di dalam akal dan pengetahuan manusia?
Atau seluruh konsep tentang warna tersebut memang sudah “ada” di
dalam pikiran, akal, dan pengetahuan. Dari mana asal persepsi warna
tersebut?. Bagaimana cara manusia bisa mengetahui realitas tentang
warna itu?. Hampir dipastikan bahwa jika pertanyaan ini diajukan maka
jawabannya: Indera mempersepsikannya seperti apa adanya. Realitas
mendahului pemahaman, sehingga membentuk pengetahuan tentang
konsep warna-warna tersebut. Ini berarti bahwa, eksistensi (kenyataaan)
warna mendahului esensinya (makna), sehingga pengalaman menangkap
eksistensi sebelum mempersepsikan esensi dari warna tersebut di dalam
sistem pengetahuan manusia. inilah pola pembentukan pengetahuan
yang dilakukan oleh empirisme agar justifikasi epistemik dapat
diketahui.(Mustanir et al., 2023)
Jika didekati secara etimologi, akar kata empirisme bersumber dari
bahasa inggris yaitu empiricism dan experience. Sedangkan frasa tersebut
berasal dari “negeri para dewa-dewi” (Yunani) yaitu empeiria dan
experietia. Dua frasa terakhir mempunyai arti berpengalaman dalam,
berkenalan dengan, dan terampil untuk. Sehingga, secara filosofis,
empirisme merupakan salah satu mazhab filsafat yang meletakan
pengalaman inderawi sebagai sumber primer pengetahuan
manusia.(Munir, 2004) Dengan kata lain, sistem pengetahuan atau
pengetahuan tentang sesuatu hal berdasar dan bersumber pada
pengalaman inderawi. Sumber autentik pegalaman inderawi
menjadikannya sebagai parameter validitas kebenaran sesuatu
hal.(Chairil & Shalahuddin, 2021)
Asumsi dasar yang melatari aliran filsafat ini adalah pengalaman.
Persentuhan inderawi/pengalaman dengan realitas dijadikan basis oleh

Raju Moh Hazmi 3


sistem empirisme sabagai kesahihan dalam mengonstruksi asal
pengetahuan. Pengalaman merupakan sumber utama pengetahuan.
Inderawi yang menjadi alat bagi manusia untuk mendeteksi jenis
pengetahuan tidak akan “berdusta”. Sehingga, jika terjadi kesalahan
dalam mengonstruksi pengetahuan terhadap sesuatu hal, maka
kesalahan itu dibebankan kepada proses dari interpretasi manusia
itu.(Shidarta, 2013) Serupa yang dilihat oleh teori tabula rasa, manusia
ketika lahir tidak punya pengetahuan apa-apa tentang realitas (tidak ada
ide mutlak/bawaan). Pengalaman hidup dari manusia yang justru
membentuk realitas (mengajarkan segala sesuatu). Sehingga, manusia
diberikan kemampuan untuk melakukan pembentukan terhadap
pengetahuan.(Shidarta, 2013) Lantas, bagaimana cara pengalaman
tersebut membentuk pengetahuan?.
Fundamen pengetahuan berasal dari persepsi pengalaman
terhadap realitas kenyataan. Sedangkan kenyataan tidaklah terdiri dari
sesuatu objek yang dapat dikenal secara langsung. Namun, suatu objek
juga terdiri dari elemen warna, waktu, suhu, dan lain-lain yang dinamakan
dengan elemen (unsur dasar). Elemen inilah yang direspon oleh inderawi.
Oleh karena itu, realitas kenyataan yang dialami manusia ialah arus
elemen yang justru menjadi basis/dasar dari pengembangan
ilmu.(Shidarta, 2013)
Dengan logika seperti itu maka pegetahuan merupakan hasil dari
reduksionis dari pengalaman. Pengalaman yang sifatnya luas terhadap
arus elemen itu, direduksi hingga sampai pada pemahaman suatu konsep
tertentu. Artinya adalah konsep merupakan “hasil sinopsis” dari
tumpukan elemen yang dialami/merupakan simbol untuk
merepresentasikan himpunan-himpunan elemen tersebut. Konsep
dibentuk agar memudahkan sekaligus mengefisiensi proses representasi
terhadap realitas. Serupa dengan contoh sebelumnya, misalnya konsep
tentang meja. Pada konteks ini, meja dilihat sebagai objek semata, namun
sifatnya tidak ada. Eksistensi meja hanya dapat direpresentasikan dalam

Raju Moh Hazmi 4


bentuk warna, sifat bendanya (padat), suhu, dan temporalitas.
Unsur-unsur yang ditangkap melalui pengalaman terhadap meja itu
dipersepsikan oleh pancaindera. Pengamalan sebagai instrumen untuk
menangkap unsur esensial dari meja tersebut digunakan, sehingga untuk
lebih efisiennya digunakanlah sebuah lambang. Lambang inilah yang
dinamakan “kata” meja. Meja sebagai objek telaah sebenarnya tidak ada,
namun pengetahuan tenang meja itu dikonstruksikan di dalam pikiran
manusia melalui pelacakan unsur esensial yang ditangkap oleh
pengalaman.(Shidarta, 2013) Proses ini sejalan dengan bekerjanya logika
induktif (inferensi induktif) dalam menentukan sebuah keputusan karena
elemen-elemen yang spesifik dari konsep direkonstruksi melalui
penalaran untuk melahirkan sebuah simbol umum terhadap objek
tersebut.(Pane & Situmeang, 2018; Sulistyawan, 2021)
Pengetahuan yang direduksi dari pengalaman melalui instrumen
pancaindera juga disebut sebagai sense data (resepsi yang diterangkan
melalui panca indera) dan dikonstruksikan sebagai hard fact (fakta keras).
Objek an sich sebetulnya berada dan mengada di dalam ketiadaan.
Benda-benda yang tersebar di dalam kehidupan merupakan sebuah
jalinan terhadap fakta keras tersebut. Namun, dalam pandangan lain,
pengetahuan bukanlah hasil dari sinopsis pengalaman yang bertujuan
untuk memudahkan dan mengefisiensikan sebuah fakta semata (realitas).
Justru pengetahuan lebih tepat disebut sebagai hasil analitis logis
terhadap fakta-fakta keras. Oleh sebab itu, logika sangat mempunyai
posisi yang strategis dalam khazah ilmu karena pengetahuan mempunyai
relasi dengan nalar manusia.(Shidarta, 2013) Logika dijadikan episentrum
dalam membentuk sistem pengetahuan manusia karena kebenaran
terhadap sesuatu hal disandarkan pada proses validitas logis terhadap
kenyataan, bukan dari mitos yang sifatnya pra-pemahaman dan
eskatologis.(Syam & Yasniwati, 2019)
Empirisme meletakan kebenaran secara korespondensional.
Artinya, sesuatu itu dikatakan benar jika materi pengetahuan yang

Raju Moh Hazmi 5


terkandung di dalam sebuah premis atau pernyataan mempunyai
korespondensi (bersesuaian/mempunyai hubungan) dengan objek
penyataaan tersebut.(Aburaera et al., 2013; Aprita & Adhitya, 2020;
Murdiyanto, 2020; Mustanir et al., 2023; Shidarta, 2013) Empirisme
dalam perkembangannya juga melahirkan jenis teori baru untuk
melakukan validasi terhadap kebenaran. Teori ini dinamakan teori
pragmatis. Menurut teori kebenaran pragmatis, kebenaran muncul dari
hasil sintesis dari fakta tertentu yang menjustifikasi sebuah pernyataan.
Fakta-fakta dikumpulkan untuk proses pembuktian sebuah pernyataan.
Sehingga, kebenaran terhadap pernyataan ditentukan oleh sifat
fungsionalnya di dalam kehidupan praktis. Dengan kata lain, sebuah
pernyataan (premis) korelatif dengan kebenaran jika pernyataan itu
berguna di dalam kehidupan.(Shidarta, 2013) Jadi, Empirisme meletakan
kebenaran dependen terhadap fakta dan punya basis fungsional.
“sesuatu” benar jika bisa divalidasi dengan “kenyataan” yang benar dari
sesuatu itu. Sesuatu “ada” jika realitas “ada” itu dapat divalidasi oleh
pengalaman. Para empirism “menuhankan” instrumen inderawi/panca
indera dalam memverifikasi realitas untuk menggapai kebenaran.
Sehingga, bukan gagasan bersifat transenden (keterpisahan dengan
pengalaman) yang justru memberikan validitas kebenaran pengetahuan.
Melainkan, terletak pada ide (forma) yang eksis di dalam benda serta
mempunyai relasi dengan konsep manusia yang bersifat objektif dan
nyata.(Supena, 2021)
Implementasi teori kebenaran korespondensi dan pragmatis
tersebut dalam kehidupan sehari-hari sunggguh sangat banyak sekali.
Misalkan, dalam konteks teori korespondensi, sebuah pernyataan
mengatakan bahwa Ibu Kota Negara Indonesia adalah Jakarta. Secara
empiris pernyataan ini bernilai benar karena dikenyataannya Ibu Kota
Negara Indonesia memang Jakarta.(Suriasumantri, 2017) Contoh lainnya
adalah sebuah premis menyatakan bahwa seekor harimau muncul di
kamar. Para empirism, tidak langsung percaya premis tersebut jika

Raju Moh Hazmi 6


mereka tidak melihat secara langsung peristiwa itu (objek) dengan
persentuhan pengalamannnya secara langsung dengan objek.(Munir,
2004) Secara lebih komprehensif, gambar berikut ini menunjukan alur
epistemologi dari empirisme.(Limuss et al., 2023)

Gambar 1. Konsep Empirisme


Hanya saja, proyek empirisme yang menggunakan tipe pendekatan
induktif sangat ditentang oleh mazhab rasionalisme. Dalam tataran
epistemologi, rasionalisme menyandarkan sumber primer pengetahuan
yang sahih berasal dari rasio. Artinya, rasio/akal budi menempati posisi
satu-satunya yang dapat menjadi sumber pengetahuan. Rasionalisme
tidak skeptis terhadap kemanfaatan dari pengalaman yang menjadi
instrumen dalam melihat validitas pengetahuan. Akan tetapi, posisi
pengalaman/inderawi hanya diletakan sebagai “perangsang kerja akal”.
Hal ini dibuktikan bahwa manusia dengan akalnya tidak melulu
bergantung pada cara kerja indera. Andai kata respon indera itu dapat
meragukan akal, yang terjadi adalah akal tentu bisa menolaknya. Dengan
kata lain, dalam pandangan seorang rasionalis, akal menempati podium
pertama dari pengalaman. Tesis rasionalisme yaitu subjektivitas
mengendalikan realitas.
Descartes, seorang tokoh terkemuka di dalam aliran rasionalisme

Raju Moh Hazmi 7


“membongkar” realitas secara radikal dan objektif. Menurutnya, realitas
terdiri dari substansi yang dikategorikan ke dalam 2 (dua) macam yaitu
res cogitan (gagasan/ide/pikiran/kesadaran) dan res extensa
(materi/perluasan). Ruang/waktu tidak bisa mengikat kesadaran, namun
kesadaran terikat pada perluasan (materi). Pikiran tidak bisa hancur dan
rusak, namun manusia dapat saja berubah menjadi rusak dan tua. Itulah
sebabnya, keyakinan Descartes tetap mutlak bahwa diluar kesadaran
hanya terletak perluasan semata. Manusia secara eksistensial ditentukan
oleh kesadaran (cogito ergosum/aku berpikir maka aku ada!).(Shidarta,
2013) Kesadaran menurut Descartes bersifat otonom dan bebas, sehingga
sangat menentukan keyakinan seseorang terhadap kebenaran.(Simon et
al., 2022) Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika ide bawaan (innate
idea) merupakan sumber primer pengetahuan manusia.(Setyawan, 2021)
Terpisah dan berjaraknya diantara kesadaran (rasio) dan perluasan
tersebut (materi) justru dikonfrontasi oleh Spinoza. Dia melihat bahwa
kedua konsep itu sebetulnya menyatu. Kemenyatuan ini terpatri dalam
sebuah ungkapan tentang alam (termasuk konsep tuhan). Jadi, kedua
konsep itu (alam/tuhan) sangat dependen terhadap ruang dan waktu.
Alam vis a vis tuhan merupakan konsep yang identik (panteisme).
Dikotomi antara rasio dan empiri/rasio v.s. pengalaman memantik filsuf
kenamaan, Immanuel Kant untuk ikut meradikalisasi persoalan ini. akar
masalahnya tertuju pada implikasi diskursus epistemologi yang justru
menukik ke aras atau ranah teologis. Menurutnya, dikotomi antara rasio
dan materi merupakan hal yang seharusnya tidak ada. Hal ini karena
antara keduanya bisa saling melengkapi. Untuk melakukan sinergitas
antara rasio dan materi ini muncul sebuah bangunan filosofis baru yaitu
filsafat kritis dengan pernyataan bahwa sebuah pikiran tiada isi adalah
kosong, sedangkan intuisi tiada konsep adalah buta. Isi/intuisi korelatif
dengan data empiris, sedangkan konsep menunjukan kepada bentuk
pikiran.(Shidarta, 2013)
Tesis-tesis dari empirisme dalam sudut pandang epistemologi

Raju Moh Hazmi 8


masih menyisakan beberapa persoalan dan kelemahan. Pertama,
empirisme terlalu menyandarkan basis pengetahuan kepada
pengalaman, namun apa sesungguhnya dimaksud dengan pengalaman itu
sendiri?. Disatu sisi pengalaman diartikan sebagai respon dari panca
indera. Disisi yang berseberangan, pengalaman justru diartikan sebagai
sensasi yang berkelindan dengan penilaian terhadap objek tertentu.
Konsep sensasi membuka ruang bagi konsep intensionalitas untuk
bekerjanya sistem empirisme tersebut. Padahal, konsep intensionalitas
bersifat paradoks karena menyandarkan pada klaim ontologi realism-
perspektifal. Konsep ini memberikan asumsi transedensi dan
independennya objek sekaligus bersifat pluralisme epistemik. Justifikasi
transenden dan independennya objek merupakan justifikasi epistemik,
sedangkan justifikasi pluralisme merupakan klaim
epistemologik.(Taufiqurrahman, 2022)
Kerapuhan konsep ini yang lebih menampakkan dualisme dalam
melihat realitas tentu menyisakan tantangan bahwa pengalaman tidak
punya korelasi dengan realitas (kenyataan) objektif. Fakta berada
diambang ketidakpastian. Kedua, pengalaman/panca indera tentu
bersifat terbatas dalam menafsirkan realitas, sehingga panca indera
sangat tidak kokoh membedakan antara fakta dengan khayalan. Ketiga,
empirisme justru tidak memberikan kepastian terhadap konsep
“pengetahuan yang mungkin”. Pengetahuan yang mungkin secara a
contrario merupakan pengetahuan yang diragukan.
Penalaran empirisme dalam konteks epistemologi dikategorikan
menjadi 3 (tiga) model. Model pertama disebut positivisme logis, model
kedua disebut sebagai empirisme logis, dan model ketiga dinamakan
empirisme analitis. Bagaimana disparitas konsepsional dari ketiga model
empirisme tersebut?. Positivisme logis merupakan gerakan pemikiran
yang muncul paska Perang Dunia I yang bertujuan untuk memulihkan
keadaaan paska perang. Gerakan pemikiran ini cenderung mengagungkan
akal dan sangat anti-metafisis. Pencetus kerangka pemikiran filosofis ini

Raju Moh Hazmi 9


dari Austria yang dikenal sebagai Lingkaran Wina. Mazhab filsafat yang
bersumber dari Lingkaran Wina sangat terkenal sebagai sebuah
episentrum gerakan yang justru sangat berusaha memunculkan filsafat
dengan karakter keilmiahannya (filsafat yang ilmiah). Mereka ingin
mendekonstruksi seluruh proposisi yang bersifat metafisis/kabur. Adapun
asas yang menjadi pegangan adalah logika dan empirisme.
Secara ontologis, model penalaran ini melihat objek sebagai
realitas (fakta). Fakta ini dilihat dan diamati melalui indera. Sehingga,
setiap fakta yang diamati merupakan segala hal yang sifatnya material.
Konsekuensi cara pandang ontologis ini membawa cara kerja
epistemologinya lebih mempercayakan kepada nalar induktif. Rangkaian
pola tersebut yang mendasari penalaran empirisme logis. Yang
menariknya, para penganut empirisme logis memandang ilmu dalam
tataran aksiologi sebagai konsep yang bebas nilai. Oleh karena itu, dengan
prinsip verifiabilitas, setiap argumen yang mengandung klaim etis tidak
bisa dilakukan pembenaran/kebenaran/disalahkan karena jenis argument
etis hanya memuat ekpresi emosional belaka. Inilah esensi dari Empirisme
logis yang cenderung non kognitif.(Shidarta, 2013)

6.3. Penelitian Hukum Tipologi Empiris


Tipologi penelitian pada khazanah ilmu hukum lazimnya dibagi ke
dalam 2 (dua) kategori yaitu penelitian hukum dengan corak normatif dan
penelitian hukum dengan corak empiris. Berbagai literatur menerangkan
bahwa penelitian hukum dengan corak normatif disebut juga sebagai
penelitian hukum normatif, yuridis normatif, normative legal research,
atau penelitian dalam ranah teori dan prinsip-prinsip hukum.(Marzuki,
2013a; Muamar & Utari, 2020; Patinggi et al., 2021; Suhariyanto, 2016;
Tresya, 2021) Tipologi normatif di dalam penelitian hukum berhubungan
dengan penarikan masalah yang terjadi pada lapangan normativitas
hukum secara kualitatif.(Aritonang, 2021) Data sekunder di dalam
penelitian tipologi normatif biasanya dijadikan objek, sehingga penelitian

Raju Moh Hazmi 10


ini kerap disebut sebagai penelitian hukum kepustakaan.(Joesoef, 2021)
Lantas, apakah sebetulnya yang dimaksud dengan normatif?.
Normatif berakar dari bahasa latin yang justru mempunyai arti
sebagai standar tingkah laku dan bukan hanya dimaknai sebagai aturan
tingkah laku. Sehingga, dapatlah dipahami bahwa frasa dan asal
pembentukan kata “normatif’ berasal dari pengertian norma, bukan
malah merujuk pada pengertian tentang aturan penguasa (apalagi, sangat
berbahaya jika defenisi ini dimaknai sebagai aturan tertulis yang muncul
dari penguasa), melainkan hukum dipersepsikan sebagai validitas nilai,
tingkah laku, dan fundamen (asas) di tengah masyarakat.(Luthan, 2007;
Marzuki, 2013a) Untuk mempertajam analisis dalam membedakan secara
diametral cara pandang normatif dan positivistik, maka kasus Riggs v.s
Palmer yang sering disebut juga kasus Elmer dapat menjadi contoh
menarik untuk mengurai benang merah diantara dua paradigma hukum
tersebut.(Siagian et al., 2023)
Kasus ini bermula dari tindak pidana yang dilakukan oleh Elmer,
dimana dia melakukan pembunuhan terhadap kakeknya sendiri. Modus
operandinya adalah meracuni sang kakek. Tindakan ini dilakukan lantaran
Elmer mencurigai bahwa kakeknya telah merubah testament untuk
dirinya yang disebabkan karena sang kakek menikah kembali. Testament
itu berisi pernyataan bahwa Elmer yang akan menjadi ahli waris
(mewarisi) harta-harta dari kakeknya. Nahas menimpa Elmer, putusan
pengadilan akhirnya menyatakan dia bersalah, sehingga pidana pejara
menimpanya.(Siagian et al., 2023)
Dengan kejadian seperti itu, maka ahli waris yang lain (anak-anak
perempuan) dari sang kakek kemudian melayangkan gugatan terhadap
pengurus testament. Fundamentum petendi dari anak-anak
perempuannya itu mendalilkan bahwa Elmer sebagai salah satu ahli waris
tidak mempunyai hak untuk mewarisi harta dari kakeknya (ayah dari
anak-anak perempuan tersebut). Hal ini karena dia (Elmer) telah
membunuh si kakek yang berkapasitas sebagai pembuat testament.

Raju Moh Hazmi 11


Hanya saja, faktanya di New York tidak ada ketentuan norma serupa Pasal
912 KUHPerdata Indonesia yang menukilkan: “Orang yang dijatuhi
hukuman karena telah membunuh pewaris, orang yang telah
menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat pewaris,
atau orang yang dengan paksaan atau kekerasan telah menghalangi
pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya, serta istri atau
suaminya dan anak-anaknya, tidak boleh menikmati suatu keuntungan
pun dari wasiat itu”.(Siagian et al., 2023)
Hanya saja, rujukan pada Pasal 912 KUHPerdata Indonesia tersebut
tidak ada di negara New York, sehingga sangat logis ketika putusan
pengadilan New York tidak memberikan jalan pengabulan terhadap
gugatan dari anak perempuan dari si kakek. Hal ini karena tidak
dijumpainya larangan di dalam ius constitutum New York untuk
meghambat seseorang yang telah dijatuhi hukuman lantaran membunuh
pewaris untuk mendapatkan haknya sebagai ahli waris. Bahkan,
sebaliknya dapat saja pengadilan memberikan jalan penetapan bahwa
Elmer mempunyai hak terhadap harta yang tertera di dalam wasiat
tersebut. Jika Elmer diberikan hak untuk menikmati harta tersebut, maka
secara a contrario berlaku sebuah kaedah: jika tidak dilarang maka berarti
itu dibolehkan. Hanya saja, kekosongan hukum terhadap ketentuan
tersebut tidak menjadikan Pengadilan New York memutuskan Elmer
mempunyai hak untuk harta warisan itu. Sehingga, menyandarkan pada
mayoritas suara para juris pada akhirnya Elmer dinyatakan dilarang dan
tidak mempunyai hak menikmati harta yang tertera di dalam surat wasiat
tersebut. Dapatlah dilihat bahwa ratio legis yang menjadi pegangan para
Hakim Pengadilan New York adalah pelanggaran terhadap moralitas
dan/atau aspek kepatutan menjadi penghambat untuk memperoleh
keuntungan.(Siagian et al., 2023)
Moral dari kasus tersebut sesungguhnya menggariskan sebuah
pemikiran yang mendalam bahwa jika sesuatu tidak mempunyai larangan,
maka bukan berarti sesuatu tersebut dibolehkan. Hakim pada Pengadilan

Raju Moh Hazmi 12


New York telah mengeluarkan sebuah ratio legis putusan yang justru
menyandarkan pada hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Kasus itu
memperlihatkan bahwa sikap yang diambil oleh Pengadilan New York
bukanlah sikap positivistik. Namun, justru berpegang pada sebuah prinsip
yang mengonstruksi sebuah norma yaitu patokan tingkah laku. Oleh
karena itu, sikap yang diambil oleh Pengadilan New York merupakan jenis
sikap yang sifatnya normatif, bukan positivistik.(Siagian et al., 2023)
Kedua konsep tersebut harus dibedakan secara diametral. Dalam
pemecahan masalah, positivisme memegang teguh undang-undang
sebagai rujukan utama. Hukum dipersepsikan sebagai sesuatu yang
tercantum di dalam undang-undang. Sebaliknya, normatif menyandarkan
pada argumentasi bahwa hukum musti bersandar pada moralitas. Agar
lebih komprehensif memahami bagaimana tipologi Normatif dalam
penelitian hukum, berikut disajikan sekilas konsep dalam penelitian
hukum yang bertipe normatif tersebut.(R. M. Hazmi, 2021; R. M. Hazmi et
al., 2021)

III Asas v.s Asas


Sollen vs Sein
Normative legal
II Asas v.s Norma
research

I Norma v.s
Norma

Gambar 2. Konsep Penelitian Hukum Normatif


Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa ketika hendak melakukan
penelitian di ranah normatif, maka ada 3 (tiga) ruang lingkup yang
menjadi objek persoalan dalam tipe tersebut.(Marzuki, 2013b) level
terendah dari jenis penelitian normatif adalah Norma v.s Norma. Pada

Raju Moh Hazmi 13


ruang lingkup ini persoalan normative dilihat dari adanya pertentangan
antara norma di dalam suatu peraturan perundangan atau pertentangan
antar norma itu berasal dari peraturan perundangan yang berbeda.
Pertentangan juga antara asas dan norma hukum, dan antara asas dengan
asas hukum Oleh karena itu, penelitian dengan corak normatif disebut
juga sebagai penelitian tentang asas hukum, sistematika hukum tertentu,
dan sinkronisasi secara horizontal dan vertikal.(Supriyono, 2011)Namun,
bagaimana dengan penelitian hukum bercorak empiris?.
Jenis penelitian ini cenderung disebut sebagai non-doctrinal
research yang dimplementasikan dalam bentuk penelitian di lapangan.
Pada jenis penelitian ini, seorang peneliti mengumpulkan semua data
untuk kemudian dilakukan analisis dan dijelaskan secara deskriptif.
Semua ini dilakukan untuk menghasilkan keadaan yang bisa
memproyeksikan fakta hukum yang terjadi pada kenyataan
sosial.(Nurhayati et al., 2021) Dalam bahasa lainnya, corak empiris ketika
dijadikan sebagai basis penelitian hukum, disebut juga penelitian hukum
yang menguji penerapan kebijakan pada situasi sosial tertentu.(Warman,
2009) Kelahiran penelitian hukum yang bercorak empiris (socio legal
research) merupakan suatu konsekuensi logis terhadap sifat terbukanya
ilmu hukum dengan ilmu lainnya, terutama ilmu-ilmu sosial.(Warman,
2009). Karakter Sosio legal research menyandarkan sumber data pada
data primer (berasal dar responden) dan tetap besumber pula pada data
sekunder sebagai bahan sandingan (bahan hukum seperti peraturan,
literatur, dan kamus hukum).(Warman & Andora, 2014) Sehingga antara
data yang digunakan dalam penelitian normatif dan empiris bersifat saling
melengkapi agar fenomena hukum tersebut bisa dianalisis secara
komprehensif dan tajam.
Empirisme dalam penelitian hukum juga berarti bahwa
mengfokuskan kajian terhadap fenomena hukum menggunakan cara
pandang ilmu sosial. Itulah sebabnya, secara hakekat, ilmu hukum juga
berwatak interdispliner yang berguna untuk menjelaskan dimensi hukum

Raju Moh Hazmi 14


jika dipertautkan dengan fakta sosial (kehadiran hukum pada praktik
sosial kemasyarakatan).(Pramono, 2008) Konfrontasi antara fakta dan
norma tersebut menyebabkan penelitian hukum dari sudut pandang
empiris mempunyai karakter yaitu hukum dalam pandangan empiris
membedakan secara diametral antara fakta dan norma, gejala hukumnya
harus murni (fakta sosial), metodenya kebanyakan menggunakan
perspektif ilmu empiris, dan bebasa nilai.(Muhdlor, 2012)
Dalam penelitian empiris, peneliti memulai langkahnya dari
pelacakan terhadap fakta sosial lalu menuju pada ranah fakta hukum. Hal
ini karena hukum dipandang sebagai suatu fenomena sosoiologis. Dengan
kata lain, hukum merupakan hasil interaksi sosial. Jalan metodologis
seperti ini dilakukan untuk menampung seluruh data primer secara
maksimal. Biasanya, cara memperoleh data primer ini dilakukan dengan
instrumen wawancara, kuesioner, dan observasi. Jika terjadi perubahan
dalam taraf interaksi sosial, maka konsekuensinya, hukum juga ikut
berubah mengikuti dinamika kemasyarakatan. Andai saja hukum tetap
stagnan yang akan terjadi adalah kekosongan hukum. Situasi ini sangat
dilematis dan berbahaya karena bisa mengakibatkan masalah sosial,
sehingga efek berantai yang ditimbulkan adalah memunculkan
anarkisme. Dengan demikian, dapatlah dilihat bahwa perspektif empiris
melihat hukum sebagai sebuah instrumen perubahan sosial.(Barus, 2012)
Tidak mengherankan jika fakta hukum sangat tergantung dari dinamika
hukum yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.(Benuf & Azhar, 2020)
Jadi, penelitian dengan corak empiris tidak menjadikan norma
hukum positif sebagai dasar validitas kebenaran. Akan tetapi, praktik atas
penerapan norma pada kondisi nyata sosial tertentu menjadi sumber
validitas juga dalam melihat kebenaran. Hukum juga bersumber dari
keadaan nyata di tengah masyarakat, sehingga untuk menelaahnya
secara tertutup dan terisolasi dari fakta sosial sama saja tidak mempunyai
arti.(Tan, 2021)
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa penelitian hukum

Raju Moh Hazmi 15


bertipologi empiris cenderung melihat hukum bukan hanya pada teks
semata (hukum positif), namun justru menelaah lebih dalam bagaimana
hukum yang secara tekstual itu bekerja di ranah kenyataan sosial. Hukum
sangat terpengaruh dari paradigma sosial, sehingga memungkinkan teks
itu musti menyesuaikan dengan keadaan realitas masyarakat.
Dalam konteks kesempurnaan penelitian hukum, baik bertipe
normatif maupun empiris, maka eksplanasi penulisan pada sebuah
bab/sub tentang metodologi harus diperhatikan secara seksama. Hal ini
sangat penting karena pada bab/sub bab penjelasan soal metodologi
inilah, kesesuaian antara topik penelitian (legal problem) diuji dengan
pemilihan metode yang digunakan. Dengan kata lain, persoalan/topik
hukum yang diangkat di dalam penelitian harus sinkron dengan pilihan
metodenya. Umum terlihat di dalam sejumlah karya penelitian hukum,
pada bagian metodologinya sering menggunakan kalimat “penelitian ini
merupakan penelitian dengan metode yuridis-normatif. Artinya,
penelitian yang menggunakan studi pustaka dan dokumen. Penelitian ini
juga menggunakan bahan hukum primer”.(Wibisana, 2019)
Eksplanasi metodologi seperti yang ditunjukan pada kalimat
sebelumnya sangat bermasalah. Pertama, jika penelitian tersebut hendak
dipublish ke jurnal internasional, maka peristilahan frasa yuridis-normatif
yang diartikan sebagai penelitian yang berdasarkan bahan
dokumen/pustaka merupakan istilah yang ambigu. Penelitian tipologi
normatif tidak korelatif sebagai bentuk data, melainkan diartikan sebagai
sifat penelitian tentang apa yang seharusnya.
Yang kedua, pada bagian bab/sub bab tentang metodologi lebih
banyak hanya menjelaskan jenis/bahan hukum, sehingga pada bagian ini
menciptakan “suasana” yang membosankan dalam eksplanasinya. Antara
satu penelitian dengan penelitian lainnya terkesan hanya menyalin secara
teoritis pada penjelasan ini, tanpa adanya sintesis terhadap topik dengan
metode. Pada bab metodologi/subbab dalam penelitian, maka ketika
penelitian tersebut bertipe normatif yang terpenting adalah menuliskan

Raju Moh Hazmi 16


bagaimana bahan hukum yang diperoleh itu dianalisa.(Wibisana, 2019)
Dengan demikian, yang penting untuk dijelaskan yaitu melakukan sintesis
antara bahan hukum, pendekatan-pendekatan teoritis tertentu lalu
diperhadapkan dengan masalah hukum yang ingin dibahas. Bisa saja,
menggunakan pendekatan sosiologi hukum, politik hukum, atau
antropologi. Sedangkan pada tipe penelitian empiris seharusnya hanya
menjelaskan tentang analisis terhadap data primer (dimana diperoleh,
kapan, bagaimana memperolehnya).(Wibisana, 2019)
Sebagai pedoman, beberapa penelitian terdahulu menerapkan
cara seperti ini. Penelitian dari Hazmi (2023) menjelaskan pada sub bab
metode risetnya dengan begitu rinci dan komparatif tentang dimensi
normatif terhadap justifikasi ratio legis atribusi OJK sebagai lembaga
tunggal dalam proses PKPU. (M. R. Hazmi et al., 2023) Dengan kata lain,
sub bab metode penelitian tidak dijelaskan secara deskriptif melainkan
eksplanatoris dan sintesis antara norma yang bermasalah dengan
penggunaan metodenya. Jika memang dipilih normatif, jelaskan mengapa
itu dipilih dan menariknya dalam konteks apa. Pola ini juga terlihat dalam
penelitiannya pada pencarian ratio legis dan ratio decidendi putusan
hakim.(R. M. Hazmi & Arman, 2023)
Riset normatif dikonstruksikan pada konsepsi rasionalitas,
konsistensi, dan interpretatif. Di dalamnya, terkandung unsur esensial
rasio, positivisme terhadap hukum, bersifat apriori, analitis. Sehingga
nalar yang digunakan adalah deduksi logis, koheren terhadap data
sekunder. Akan tetapi, jika itu adalah penelitian empiris, konsepsi yang
dibangun adalah paradigma sosial dengan unsur esesial: empirik, sejarah
hukum, a posteriori, sintesis, menggunakan logika induksi, kebenaran
bersifat koresponden dengan basis data primer.(Barus, 2012) Berikut
disajikan secara konseptual distingsi diantara penelitian hukum normatif
dan empiris penelitian.(Barus, 2012)

Raju Moh Hazmi 17


Gambar 3. Kerangka Acuan Penelitian

Raju Moh Hazmi 18


DAFTAR PUSTAKA
Aburaera, S., Muhadar, & Maskun. (2013). Filsafat Hukum Teori dan
Praktik (Pertama). Kencana.
Aprita, S., & Adhitya, R. (2020). Filsafat Hukum (1 ed.). Raja Grafindo
Persada.
Aritonang, D. M. (2021). Kompleksitas Penegakan Hukum Administrasi
dan Pidana di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, 18(1 Maret), 45–
58.
Barus, Z. (2012). Analisis Filosofis Tentang Peta Konseptual Penelitian
Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Sosiologis. Jurnal Dinamika
Hukum, 13(2), 308–318.
Benuf, K., & Azhar, M. (2020). Metodologi Penelitian Hukum sebagai
Instrumen Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer. Jurnal
Gema, 7(I Juni 2020), 20–33.
Bunyamin, Bagenda, C., Ambarsari, N., Junaidi, Subrata, R., Arman, Z.,
Suharna, M. A., Amalia, M., Gustini, D. R., Hazmi, R. M., Widjanarto,
H., Flora, H. S., Prihartanto, Y., Abqa, M. A. R., & Suhardin, Y. (2023).
Ilmu Hukum (A. Asari (ed.); Cetakan I). Penerbit Litnus.
Chairil, A., & Shalahuddin, H. (2021). Studi Kritis Feminist Legal Theory
Menurut Perspektif Islamic World View. Jurnal Mimbar Hukum,
33(1), 188–215.
Hazmi, M. R., Arman, Z., Zulfikar, A. A., & Prakasa, R. S. (2023). Paradoks
Kewenangan dalam Permohonan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang Terhadap Perusahaan Asuransi. Amnesti Jurnal
Hukum, 5(1), 51–65.
Hazmi, R. M. (2021). Pembentukan Desa Oleh Pemerintah Pusat Untuk
Penataan Desa Di Wilayah Perbatasan Negara. Universitas Andalas.
Hazmi, R. M., & Arman, Z. (2023). Akses Internet dalam Putusan Nomor
230/G/TF/2019/PTUN-JKT: Dimensi Filosofis Hak Asasi Manusia.
Ensiklopediq of Journal, 5(3), 337–345.
Hazmi, R. M., Yuslim, & Warman, K. (2021). Formation of Villages by the
Central Government for Village Arrangements in State Border Areas
Raju Moh. Hazmi; Yuslim; Kurnia Warman Faculty of Law, University
of Andalas, Padang, Indonesia. Internatonal Journal Concept of Multi

Raju Moh Hazmi 19


Discipline, 2(1), 370–392.
Joesoef, I. E. (2021). Pemberian Konsesi Pengelolaan Sumber Daya Alam
Oleh Pemerintah Kepada Investor Di Atas Tanah Masyarakat Hukum
Adat. Jurnal hukum dan Peradilan, 10(3), 361–379.
Kalyvas, A. (2006). The basic norm and democracy in Hans Kelsen’s legal
and political theory. Philosophy & Social Criticism, 32(5), 573–599.
https://doi.org/10.1177/0191453706064898
Limuss, Olena, D., & Sitco, M. (2023). What is the difference between
empiricism, intuitionism and idealism? Quora.
https://www.quora.com/What-is-the-difference-between-
empiricism-intuitionism-and-idealism
Luthan, S. (2007). Hubungan Hukum dan Kekuasaan. Jurnal Hukum, 14(2),
166–184.
Manullang, E. F. M. (2019). Kritik Terhadap Struktur Ilmu Hukum Menurut
Paul Scholten. Jurnal Hukum & Pembangunan, 49(1), 46–59.
Marzuki, P. M. (2013a). Normatif dan Positivistis (hal. 1–10). Fakultas
Hukum Universitas Airlangga.
Marzuki, P. M. (2013b). Penelitian Hukum. Kencana.
Muamar, & Utari, A. A. S. (2020). Pengaruh Penghapusan Asas Strict
Liability dalam Undang-Undang Cipta Kerja terhadap Masif
Deforestasi di Indonesia. Jurnal Kertha Negara, 8(32), 1–12.
Muhdlor, A. Z. (2012). Perkembangan Metodologi Penelitian Hukum.
Jurnal hukum dan Peradilan, 1(2), 190–206.
Muhtamar, S., & Ashri, M. (2020). Dikotomi Moral dan Hukum Sebagai
Problem Epistemologis dalam Konstitusi Modern. Jurnal Filsafat,
30(1), 123–149. https://doi.org/10.22146/jf.42562
Munir, M. I. Al. (2004). Tinjauan Terhadap Metode Empirisme Dan
Rasionalisme. Jurnal Filsafat, Jilid 38(Nomor 3), 234–245.
Murdiyanto, E. (2020). Metode penelitian kualitatif.
Mustanir, A., Sutiyan, O. S. J., Amane, A. P. O., Mahrida, Kamil, I., Riyanda,
R., Utama, A. S., Nababan, D., Hazmi, R. M., & Suhardin, Y. (2023).
Ilmu Politik (Cetakan I). Penerbit Litnus.
Nurhayati, Y., Ifrani, I., & Said, M. Y. (2021). Metodologi Normatif Dan
Empiris Dalam Perspektif Ilmu Hukum. Jurnal Penegakan Hukum
Indonesia, 2(1), 1–20. https://doi.org/10.51749/jphi.v2i1.14

Raju Moh Hazmi 20


Pane, M. D., & Situmeang, S. M. T. (2018). Asas-Asas Berpikir logika dalam
Hukum (Cetakan Pe). Penerbit Cakra.
Patinggi, F., Irwansyah, & Hasrul, M. (2021). Relasi Negara dan Agama
dalam Peraturan Daerah Bernuansa Syariah: Perspektif Pancasila.
Jurnal Keindonesiaan, 01(01), 17–33.
Pramono, A. (2008). Menata Kembali Hukum dalam Penyelenggaraan
Usaha Telekomunkasi di Indonesia. Universitas Diponegoro.
Rumiartha, I. N. P. B. (2021). Vague Norm Peraturan Zonasi Pada
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Morality:
JUrnal Ilmu Hukum, 07(41), 74–83.
Sabon, M. B. (2012). Aspek Epistemologi Filsafat Hukum Indonesia. MMH,
41(3), 423–431.
Samekto, F. X. A. (2012). Menggugat Relasi Filsafat Positivisme Dengn
Ajaran Hukum Doktrinal. Jurnal Dinamika Hukum, 12(1), 74–84.
Setyawan, V. P. (2021). Asas Legalitas dalam Perspektif Filsafat Hukum.
Jurnal Et Pax, 37(1), 127–146.
Shidarta. (2013). Hukum Penalaran dan Penalaran hukum Buku 1 Akar
Filosofis (Ubran (ed.); 1 ed., Nomor Meret). Genta Publishing.
Siagian, O. A., Amalia, M., Marjuki, A., Hazmi, R. M., Monteiro, J. M.,
Hastri, E. D., Rachman, A. M. I., Laturmas, J., & Dwirainaningsih, Y.
(2023). Filsafat Hukum (S. SastroAtmodjo (ed.); Cetakan Pe). Get
Press Indonesia.
Simon, U., Hendrawan, D., & Yuniarto, A. (2022). Subjek Pasca Pendemi
Covid-19 dalam Perspektif Filsafat Politik Michel Foucault. Jurnal
Filsafat, 32(1), 139–164. https://doi.org/10.22146/jf.69153
Suhariyanto, B. (2016). Masalah Eksekutabilitas Putusan Mahkamah
Konstitusi oleh Mahkamah Agung The. Jurnal Konstitusi, 13(1), 172–
190.
Sulistyawan, A. Y. (2021). Argumentasi Hukum (Cetakan-1). Penerbit Yoga
Pratama.
Supena, I. (2021). Konstruksi Epistemologi Fikih Pandemik: Analisis Fatwa-
Fatwa MUI. Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, 15(1), 121–136.
https://doi.org/10.24090/mnh.v15i1.4203
Supriyono, H. (2011). Kajian Yuridis Sistem Penataan dan Penegakan
Hukum Lingkungan Administratif dalam Pengendalian Dampak

Raju Moh Hazmi 21


Lingkungan (Nomor November). Universitas Indonesia.
Suriasumantri, J. S. (2017). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer
(Cetakan Ke). Pustaka Sinar Harapan.
Syam, M., & Yasniwati. (2019). Hubungan Logika Hukum dengan
Argumentasi Hukum melalui Penalaran Hukum. Nagari Law Review,
2(2), 196–202.
Tan, D. (2021). Metode Penelitian Hukum: Mengupas dan Mengulas.
Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 8(8), 2463–2478.
Taufiqurrahman. (2022). Realisme Perspektival Edmund Husserl:
Rekonstruksi Metafisik terhadap Teori Intensionalitas. Jurnal
Filsafat, 32(1), 108–138. https://doi.org/10.22146/jf.68269
Tresya. (2021). Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Perbuatan Pidana
Penanganan Bencana Non-Alam Covid 19 Tresya1,*. Jurnal Belo,
6(c), 1–10.
Warman, K. (2009). Pengaturan Sumberdaya Agraria Pada Era
Desentralisasi Pemerintahan Di Sumatera Barat. Universitas Gadjah
Mada.
Warman, K., & Andora, H. (2014). Pola Hubungan Hukum dalam
Pemanfaatan Tanah Ulayat di Sumatera Barat. Jurnal Mimbar
Hukum, 26(3), 366–381.
Wibawa, I. P. S., & Ali, M. (2022). Ketegangan Hukum Antara Sanksi Adat
Kasepekang Dengan Humanisme Hukum Di Desa Adat Paselatan,
Kabupaten Karangasem, Bali. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 29(3),
611–632. https://doi.org/10.20885/iustum.vol29.iss3.art7
Wibisana, A. G. (2019). Menulis Jurnal hukum: Gagasan, Struktur, dan
Gaya. Jurnal Hukum & Pembangunan, 49(2), 471–496.

Raju Moh Hazmi 22


PROFIL PENULIS

Raju Moh Hazmi, S.H., M.H.


Dosen Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat

Penulis lahir di Solok pada September tahun 1992. Menyelesaikan


Pendidikan Sarjana Hukum (S.H.) pada tahun 2015 di Universitas Andalas
(Unand) dan Magister Ilmu Hukum (M.H.) pada kampus yang sama di
tahun 2021. Selama menjadi mahasiswa, aktif dalam beberapa organisasi
kampus. Diantaranya, Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian
Kemasyarakatan (LAM&PK) Unand, Pengenalan Hukum dan Politik (PHP)
Unand, Forum Peduli Pendidikan Sumbar (FPP), dan Lingkar Studi Filsafat
Cogito Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Saat ini menjadi Dosen
dan peneliti di Lembaga Kajian Hukum dan Korupsi (LuHaK) Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Beberapa
tulisan/opini pernah dimuat di dalam media cetak maupun online.
Diantaranya, Menakar Keotonomian Desa (Haluan,2015), Revisi Arah
Pemberantasan Korupsi, (Haluan, 2017), Pasang Surut Norma Lingkungan
(Haluan, 2020), Prahara Perppu Cipta Kerja (Haluan, 2022).

Raju Moh Hazmi 23

Anda mungkin juga menyukai