6.1. Penelitian Hukum Empiris: Transisi Menuju Paradigma Kenyataan
Sosial Sejak infiltrasi secara masif gerakan positivisme ke dalam dunia hukum, paradigma tentang hukum disandarkan pada tesis bahwa hukum adalah undang-undang.(Samekto, 2012) Diluar norma yang dibakukan ke dalam undang-undang tidak dianggap sebagai hukum. Hukum dipersepsikan sebagai aturan yang berasal dari pemimpin negara (penguasa) yang sifatnya tertutup dari interpretasi eksternal-ekstra legal yang berbasiskan sosial, budaya, politik, dan ekonomi.(Aprita & Adhitya, 2020; Bunyamin et al., 2023) Situasi ini yang menyebabkan norma hukum memiliki tingkat prediktabilitas (kepastian) hukum.(Rumiartha, 2021) Sehingga dapat dilihat bagaimana konteks “hukum seharusnya” jika berkonfrontasi dengan fakta penyimpangan hukum di tataran realitas.(Sabon, 2012) Karakter dari positivisme hukum adalah mempurifikasi norma hukum sebagai derivat perintah penguasa yang musti dipatuhi secara menyeluruh dan konsekuen, sehingga pertimbangan yang sifatnya transedental dan hipotetis bukanlah hukum (serupa moral, agama, budaya), namun masuk ke dalam wilayah origin norm yang tidak aplikatif untuk dijadikan dasar dalam pemberlakuan sesuatu.(Kalyvas, 2006) Dominasi dari peraturan tertulis lebih kentara dan mutlak karena merupakan bagian dari manifestasi tindakan negara dalam kerangka proteksi holistik terhadap warga.(Wibawa & Ali, 2022) Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa basis epistemologi dari positivisme adalah eliminasi terhadap eksistensi metafisik.(Muhtamar & Ashri, 2020) Persoalannya adalah apakah usaha untuk memurnikan hukum dari
Raju Moh Hazmi 1
segala macam pertimbangan ekstra-legal tersebut dapat dicerna secara rasional?. Proyek pemurnian hukum ala positivisme Austin dan Kelsen adalah hal yang sangat irasional. Objek yang menjadi sasaran dari ilmu hukum adalah norma hukum. Hanya saja, ternyata, mendambakan norma hukum yang bebas nilai (murni) adalah hal yang utopis. Mengapa?. Karena jika ditinjau secara faktual norma hukum pasti mempunyai serta mengandung relasi dan terikat pada suatu sistem. Di dalam sistem jelas terdapat keterikatan pada fakta atau kenyataan dari tempat tertentu. Misalkan saja, di Indonesia, sistem itu terbangun berdasarkan dimensi historis atas kesadaran rakyat Indonesia. Sehingga, anggapan Hans Kelsen soal murninya keilmuan hukum itu batal sekaligus. Dengan begitu, di dalam positivisme hukum, terdapat kontradiksi internal. Hal ini karena tersemat keyakinan bersifat liberal-reifikatif. Mereka para penganut positivisme hukum beranggapan sesuatu itu eksistensial, padahal dalam memformulasikan pengetahuan tergantung dari atau ditentukan oleh para pemegang otoritas pengetahuan. Contohnya saja, bagi Hans Kelsen proyek pemurnian hukumnya dianggap sesuatu yang ada. Namun, Kelsen lupa bahwa hal itu ada jika terdapat konsensus diantara para pemegang otorisasi keilmuan hukum.(Manullang, 2019) Cara pandang positivistik telah menyebabkan hukum hanya dilihat dalam tataran ideal, tertutup, dan menafikan dinamika keadaan sosial kemasyarakatan. Hukum dimurnikan dari prasangka yang bersifat ekstra legal, sehingga validitas hukum hanya dapat disandarkan pada diri hukum itu sendiri secara tertulis dan positivistik. Padahal, rasa keadilan tidak bisa dicari melalui teks semata, melainkan rasa keadilan muncul pada ranah fakta sosial. kriteria hukum yang baik itu musti selaras dengan nilai yang dipegang oleh masyarakat. Dengan begitu, maka, agar hukum diterima secara sadar dengan rasa bertanggung jawab yang besar oleh masyarakat, hukum harusnya mencerminkan dan korelatif bersamaan dengan nilai kemasyarakatan itu tadi secara empirik.(Siagian et al., 2023)
Raju Moh Hazmi 2
6.2. Kredo Epistemologi Empirisme Bagaimana cara manusia mengetahui konsep sesuatu hal?. Misalnya, persepsi tentang warna putih, merah, atau hitam. Apakah persepsi dan proyeksi tentang konsep warna “putih, merah, atau hitam” tersebut sudah apriori terpatri di dalam akal dan pengetahuan manusia? Atau seluruh konsep tentang warna tersebut memang sudah “ada” di dalam pikiran, akal, dan pengetahuan. Dari mana asal persepsi warna tersebut?. Bagaimana cara manusia bisa mengetahui realitas tentang warna itu?. Hampir dipastikan bahwa jika pertanyaan ini diajukan maka jawabannya: Indera mempersepsikannya seperti apa adanya. Realitas mendahului pemahaman, sehingga membentuk pengetahuan tentang konsep warna-warna tersebut. Ini berarti bahwa, eksistensi (kenyataaan) warna mendahului esensinya (makna), sehingga pengalaman menangkap eksistensi sebelum mempersepsikan esensi dari warna tersebut di dalam sistem pengetahuan manusia. inilah pola pembentukan pengetahuan yang dilakukan oleh empirisme agar justifikasi epistemik dapat diketahui.(Mustanir et al., 2023) Jika didekati secara etimologi, akar kata empirisme bersumber dari bahasa inggris yaitu empiricism dan experience. Sedangkan frasa tersebut berasal dari “negeri para dewa-dewi” (Yunani) yaitu empeiria dan experietia. Dua frasa terakhir mempunyai arti berpengalaman dalam, berkenalan dengan, dan terampil untuk. Sehingga, secara filosofis, empirisme merupakan salah satu mazhab filsafat yang meletakan pengalaman inderawi sebagai sumber primer pengetahuan manusia.(Munir, 2004) Dengan kata lain, sistem pengetahuan atau pengetahuan tentang sesuatu hal berdasar dan bersumber pada pengalaman inderawi. Sumber autentik pegalaman inderawi menjadikannya sebagai parameter validitas kebenaran sesuatu hal.(Chairil & Shalahuddin, 2021) Asumsi dasar yang melatari aliran filsafat ini adalah pengalaman. Persentuhan inderawi/pengalaman dengan realitas dijadikan basis oleh
Raju Moh Hazmi 3
sistem empirisme sabagai kesahihan dalam mengonstruksi asal pengetahuan. Pengalaman merupakan sumber utama pengetahuan. Inderawi yang menjadi alat bagi manusia untuk mendeteksi jenis pengetahuan tidak akan “berdusta”. Sehingga, jika terjadi kesalahan dalam mengonstruksi pengetahuan terhadap sesuatu hal, maka kesalahan itu dibebankan kepada proses dari interpretasi manusia itu.(Shidarta, 2013) Serupa yang dilihat oleh teori tabula rasa, manusia ketika lahir tidak punya pengetahuan apa-apa tentang realitas (tidak ada ide mutlak/bawaan). Pengalaman hidup dari manusia yang justru membentuk realitas (mengajarkan segala sesuatu). Sehingga, manusia diberikan kemampuan untuk melakukan pembentukan terhadap pengetahuan.(Shidarta, 2013) Lantas, bagaimana cara pengalaman tersebut membentuk pengetahuan?. Fundamen pengetahuan berasal dari persepsi pengalaman terhadap realitas kenyataan. Sedangkan kenyataan tidaklah terdiri dari sesuatu objek yang dapat dikenal secara langsung. Namun, suatu objek juga terdiri dari elemen warna, waktu, suhu, dan lain-lain yang dinamakan dengan elemen (unsur dasar). Elemen inilah yang direspon oleh inderawi. Oleh karena itu, realitas kenyataan yang dialami manusia ialah arus elemen yang justru menjadi basis/dasar dari pengembangan ilmu.(Shidarta, 2013) Dengan logika seperti itu maka pegetahuan merupakan hasil dari reduksionis dari pengalaman. Pengalaman yang sifatnya luas terhadap arus elemen itu, direduksi hingga sampai pada pemahaman suatu konsep tertentu. Artinya adalah konsep merupakan “hasil sinopsis” dari tumpukan elemen yang dialami/merupakan simbol untuk merepresentasikan himpunan-himpunan elemen tersebut. Konsep dibentuk agar memudahkan sekaligus mengefisiensi proses representasi terhadap realitas. Serupa dengan contoh sebelumnya, misalnya konsep tentang meja. Pada konteks ini, meja dilihat sebagai objek semata, namun sifatnya tidak ada. Eksistensi meja hanya dapat direpresentasikan dalam
Raju Moh Hazmi 4
bentuk warna, sifat bendanya (padat), suhu, dan temporalitas. Unsur-unsur yang ditangkap melalui pengalaman terhadap meja itu dipersepsikan oleh pancaindera. Pengamalan sebagai instrumen untuk menangkap unsur esensial dari meja tersebut digunakan, sehingga untuk lebih efisiennya digunakanlah sebuah lambang. Lambang inilah yang dinamakan “kata” meja. Meja sebagai objek telaah sebenarnya tidak ada, namun pengetahuan tenang meja itu dikonstruksikan di dalam pikiran manusia melalui pelacakan unsur esensial yang ditangkap oleh pengalaman.(Shidarta, 2013) Proses ini sejalan dengan bekerjanya logika induktif (inferensi induktif) dalam menentukan sebuah keputusan karena elemen-elemen yang spesifik dari konsep direkonstruksi melalui penalaran untuk melahirkan sebuah simbol umum terhadap objek tersebut.(Pane & Situmeang, 2018; Sulistyawan, 2021) Pengetahuan yang direduksi dari pengalaman melalui instrumen pancaindera juga disebut sebagai sense data (resepsi yang diterangkan melalui panca indera) dan dikonstruksikan sebagai hard fact (fakta keras). Objek an sich sebetulnya berada dan mengada di dalam ketiadaan. Benda-benda yang tersebar di dalam kehidupan merupakan sebuah jalinan terhadap fakta keras tersebut. Namun, dalam pandangan lain, pengetahuan bukanlah hasil dari sinopsis pengalaman yang bertujuan untuk memudahkan dan mengefisiensikan sebuah fakta semata (realitas). Justru pengetahuan lebih tepat disebut sebagai hasil analitis logis terhadap fakta-fakta keras. Oleh sebab itu, logika sangat mempunyai posisi yang strategis dalam khazah ilmu karena pengetahuan mempunyai relasi dengan nalar manusia.(Shidarta, 2013) Logika dijadikan episentrum dalam membentuk sistem pengetahuan manusia karena kebenaran terhadap sesuatu hal disandarkan pada proses validitas logis terhadap kenyataan, bukan dari mitos yang sifatnya pra-pemahaman dan eskatologis.(Syam & Yasniwati, 2019) Empirisme meletakan kebenaran secara korespondensional. Artinya, sesuatu itu dikatakan benar jika materi pengetahuan yang
Raju Moh Hazmi 5
terkandung di dalam sebuah premis atau pernyataan mempunyai korespondensi (bersesuaian/mempunyai hubungan) dengan objek penyataaan tersebut.(Aburaera et al., 2013; Aprita & Adhitya, 2020; Murdiyanto, 2020; Mustanir et al., 2023; Shidarta, 2013) Empirisme dalam perkembangannya juga melahirkan jenis teori baru untuk melakukan validasi terhadap kebenaran. Teori ini dinamakan teori pragmatis. Menurut teori kebenaran pragmatis, kebenaran muncul dari hasil sintesis dari fakta tertentu yang menjustifikasi sebuah pernyataan. Fakta-fakta dikumpulkan untuk proses pembuktian sebuah pernyataan. Sehingga, kebenaran terhadap pernyataan ditentukan oleh sifat fungsionalnya di dalam kehidupan praktis. Dengan kata lain, sebuah pernyataan (premis) korelatif dengan kebenaran jika pernyataan itu berguna di dalam kehidupan.(Shidarta, 2013) Jadi, Empirisme meletakan kebenaran dependen terhadap fakta dan punya basis fungsional. “sesuatu” benar jika bisa divalidasi dengan “kenyataan” yang benar dari sesuatu itu. Sesuatu “ada” jika realitas “ada” itu dapat divalidasi oleh pengalaman. Para empirism “menuhankan” instrumen inderawi/panca indera dalam memverifikasi realitas untuk menggapai kebenaran. Sehingga, bukan gagasan bersifat transenden (keterpisahan dengan pengalaman) yang justru memberikan validitas kebenaran pengetahuan. Melainkan, terletak pada ide (forma) yang eksis di dalam benda serta mempunyai relasi dengan konsep manusia yang bersifat objektif dan nyata.(Supena, 2021) Implementasi teori kebenaran korespondensi dan pragmatis tersebut dalam kehidupan sehari-hari sunggguh sangat banyak sekali. Misalkan, dalam konteks teori korespondensi, sebuah pernyataan mengatakan bahwa Ibu Kota Negara Indonesia adalah Jakarta. Secara empiris pernyataan ini bernilai benar karena dikenyataannya Ibu Kota Negara Indonesia memang Jakarta.(Suriasumantri, 2017) Contoh lainnya adalah sebuah premis menyatakan bahwa seekor harimau muncul di kamar. Para empirism, tidak langsung percaya premis tersebut jika
Raju Moh Hazmi 6
mereka tidak melihat secara langsung peristiwa itu (objek) dengan persentuhan pengalamannnya secara langsung dengan objek.(Munir, 2004) Secara lebih komprehensif, gambar berikut ini menunjukan alur epistemologi dari empirisme.(Limuss et al., 2023)
Gambar 1. Konsep Empirisme
Hanya saja, proyek empirisme yang menggunakan tipe pendekatan induktif sangat ditentang oleh mazhab rasionalisme. Dalam tataran epistemologi, rasionalisme menyandarkan sumber primer pengetahuan yang sahih berasal dari rasio. Artinya, rasio/akal budi menempati posisi satu-satunya yang dapat menjadi sumber pengetahuan. Rasionalisme tidak skeptis terhadap kemanfaatan dari pengalaman yang menjadi instrumen dalam melihat validitas pengetahuan. Akan tetapi, posisi pengalaman/inderawi hanya diletakan sebagai “perangsang kerja akal”. Hal ini dibuktikan bahwa manusia dengan akalnya tidak melulu bergantung pada cara kerja indera. Andai kata respon indera itu dapat meragukan akal, yang terjadi adalah akal tentu bisa menolaknya. Dengan kata lain, dalam pandangan seorang rasionalis, akal menempati podium pertama dari pengalaman. Tesis rasionalisme yaitu subjektivitas mengendalikan realitas. Descartes, seorang tokoh terkemuka di dalam aliran rasionalisme
Raju Moh Hazmi 7
“membongkar” realitas secara radikal dan objektif. Menurutnya, realitas terdiri dari substansi yang dikategorikan ke dalam 2 (dua) macam yaitu res cogitan (gagasan/ide/pikiran/kesadaran) dan res extensa (materi/perluasan). Ruang/waktu tidak bisa mengikat kesadaran, namun kesadaran terikat pada perluasan (materi). Pikiran tidak bisa hancur dan rusak, namun manusia dapat saja berubah menjadi rusak dan tua. Itulah sebabnya, keyakinan Descartes tetap mutlak bahwa diluar kesadaran hanya terletak perluasan semata. Manusia secara eksistensial ditentukan oleh kesadaran (cogito ergosum/aku berpikir maka aku ada!).(Shidarta, 2013) Kesadaran menurut Descartes bersifat otonom dan bebas, sehingga sangat menentukan keyakinan seseorang terhadap kebenaran.(Simon et al., 2022) Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika ide bawaan (innate idea) merupakan sumber primer pengetahuan manusia.(Setyawan, 2021) Terpisah dan berjaraknya diantara kesadaran (rasio) dan perluasan tersebut (materi) justru dikonfrontasi oleh Spinoza. Dia melihat bahwa kedua konsep itu sebetulnya menyatu. Kemenyatuan ini terpatri dalam sebuah ungkapan tentang alam (termasuk konsep tuhan). Jadi, kedua konsep itu (alam/tuhan) sangat dependen terhadap ruang dan waktu. Alam vis a vis tuhan merupakan konsep yang identik (panteisme). Dikotomi antara rasio dan empiri/rasio v.s. pengalaman memantik filsuf kenamaan, Immanuel Kant untuk ikut meradikalisasi persoalan ini. akar masalahnya tertuju pada implikasi diskursus epistemologi yang justru menukik ke aras atau ranah teologis. Menurutnya, dikotomi antara rasio dan materi merupakan hal yang seharusnya tidak ada. Hal ini karena antara keduanya bisa saling melengkapi. Untuk melakukan sinergitas antara rasio dan materi ini muncul sebuah bangunan filosofis baru yaitu filsafat kritis dengan pernyataan bahwa sebuah pikiran tiada isi adalah kosong, sedangkan intuisi tiada konsep adalah buta. Isi/intuisi korelatif dengan data empiris, sedangkan konsep menunjukan kepada bentuk pikiran.(Shidarta, 2013) Tesis-tesis dari empirisme dalam sudut pandang epistemologi
Raju Moh Hazmi 8
masih menyisakan beberapa persoalan dan kelemahan. Pertama, empirisme terlalu menyandarkan basis pengetahuan kepada pengalaman, namun apa sesungguhnya dimaksud dengan pengalaman itu sendiri?. Disatu sisi pengalaman diartikan sebagai respon dari panca indera. Disisi yang berseberangan, pengalaman justru diartikan sebagai sensasi yang berkelindan dengan penilaian terhadap objek tertentu. Konsep sensasi membuka ruang bagi konsep intensionalitas untuk bekerjanya sistem empirisme tersebut. Padahal, konsep intensionalitas bersifat paradoks karena menyandarkan pada klaim ontologi realism- perspektifal. Konsep ini memberikan asumsi transedensi dan independennya objek sekaligus bersifat pluralisme epistemik. Justifikasi transenden dan independennya objek merupakan justifikasi epistemik, sedangkan justifikasi pluralisme merupakan klaim epistemologik.(Taufiqurrahman, 2022) Kerapuhan konsep ini yang lebih menampakkan dualisme dalam melihat realitas tentu menyisakan tantangan bahwa pengalaman tidak punya korelasi dengan realitas (kenyataan) objektif. Fakta berada diambang ketidakpastian. Kedua, pengalaman/panca indera tentu bersifat terbatas dalam menafsirkan realitas, sehingga panca indera sangat tidak kokoh membedakan antara fakta dengan khayalan. Ketiga, empirisme justru tidak memberikan kepastian terhadap konsep “pengetahuan yang mungkin”. Pengetahuan yang mungkin secara a contrario merupakan pengetahuan yang diragukan. Penalaran empirisme dalam konteks epistemologi dikategorikan menjadi 3 (tiga) model. Model pertama disebut positivisme logis, model kedua disebut sebagai empirisme logis, dan model ketiga dinamakan empirisme analitis. Bagaimana disparitas konsepsional dari ketiga model empirisme tersebut?. Positivisme logis merupakan gerakan pemikiran yang muncul paska Perang Dunia I yang bertujuan untuk memulihkan keadaaan paska perang. Gerakan pemikiran ini cenderung mengagungkan akal dan sangat anti-metafisis. Pencetus kerangka pemikiran filosofis ini
Raju Moh Hazmi 9
dari Austria yang dikenal sebagai Lingkaran Wina. Mazhab filsafat yang bersumber dari Lingkaran Wina sangat terkenal sebagai sebuah episentrum gerakan yang justru sangat berusaha memunculkan filsafat dengan karakter keilmiahannya (filsafat yang ilmiah). Mereka ingin mendekonstruksi seluruh proposisi yang bersifat metafisis/kabur. Adapun asas yang menjadi pegangan adalah logika dan empirisme. Secara ontologis, model penalaran ini melihat objek sebagai realitas (fakta). Fakta ini dilihat dan diamati melalui indera. Sehingga, setiap fakta yang diamati merupakan segala hal yang sifatnya material. Konsekuensi cara pandang ontologis ini membawa cara kerja epistemologinya lebih mempercayakan kepada nalar induktif. Rangkaian pola tersebut yang mendasari penalaran empirisme logis. Yang menariknya, para penganut empirisme logis memandang ilmu dalam tataran aksiologi sebagai konsep yang bebas nilai. Oleh karena itu, dengan prinsip verifiabilitas, setiap argumen yang mengandung klaim etis tidak bisa dilakukan pembenaran/kebenaran/disalahkan karena jenis argument etis hanya memuat ekpresi emosional belaka. Inilah esensi dari Empirisme logis yang cenderung non kognitif.(Shidarta, 2013)
6.3. Penelitian Hukum Tipologi Empiris
Tipologi penelitian pada khazanah ilmu hukum lazimnya dibagi ke dalam 2 (dua) kategori yaitu penelitian hukum dengan corak normatif dan penelitian hukum dengan corak empiris. Berbagai literatur menerangkan bahwa penelitian hukum dengan corak normatif disebut juga sebagai penelitian hukum normatif, yuridis normatif, normative legal research, atau penelitian dalam ranah teori dan prinsip-prinsip hukum.(Marzuki, 2013a; Muamar & Utari, 2020; Patinggi et al., 2021; Suhariyanto, 2016; Tresya, 2021) Tipologi normatif di dalam penelitian hukum berhubungan dengan penarikan masalah yang terjadi pada lapangan normativitas hukum secara kualitatif.(Aritonang, 2021) Data sekunder di dalam penelitian tipologi normatif biasanya dijadikan objek, sehingga penelitian
Raju Moh Hazmi 10
ini kerap disebut sebagai penelitian hukum kepustakaan.(Joesoef, 2021) Lantas, apakah sebetulnya yang dimaksud dengan normatif?. Normatif berakar dari bahasa latin yang justru mempunyai arti sebagai standar tingkah laku dan bukan hanya dimaknai sebagai aturan tingkah laku. Sehingga, dapatlah dipahami bahwa frasa dan asal pembentukan kata “normatif’ berasal dari pengertian norma, bukan malah merujuk pada pengertian tentang aturan penguasa (apalagi, sangat berbahaya jika defenisi ini dimaknai sebagai aturan tertulis yang muncul dari penguasa), melainkan hukum dipersepsikan sebagai validitas nilai, tingkah laku, dan fundamen (asas) di tengah masyarakat.(Luthan, 2007; Marzuki, 2013a) Untuk mempertajam analisis dalam membedakan secara diametral cara pandang normatif dan positivistik, maka kasus Riggs v.s Palmer yang sering disebut juga kasus Elmer dapat menjadi contoh menarik untuk mengurai benang merah diantara dua paradigma hukum tersebut.(Siagian et al., 2023) Kasus ini bermula dari tindak pidana yang dilakukan oleh Elmer, dimana dia melakukan pembunuhan terhadap kakeknya sendiri. Modus operandinya adalah meracuni sang kakek. Tindakan ini dilakukan lantaran Elmer mencurigai bahwa kakeknya telah merubah testament untuk dirinya yang disebabkan karena sang kakek menikah kembali. Testament itu berisi pernyataan bahwa Elmer yang akan menjadi ahli waris (mewarisi) harta-harta dari kakeknya. Nahas menimpa Elmer, putusan pengadilan akhirnya menyatakan dia bersalah, sehingga pidana pejara menimpanya.(Siagian et al., 2023) Dengan kejadian seperti itu, maka ahli waris yang lain (anak-anak perempuan) dari sang kakek kemudian melayangkan gugatan terhadap pengurus testament. Fundamentum petendi dari anak-anak perempuannya itu mendalilkan bahwa Elmer sebagai salah satu ahli waris tidak mempunyai hak untuk mewarisi harta dari kakeknya (ayah dari anak-anak perempuan tersebut). Hal ini karena dia (Elmer) telah membunuh si kakek yang berkapasitas sebagai pembuat testament.
Raju Moh Hazmi 11
Hanya saja, faktanya di New York tidak ada ketentuan norma serupa Pasal 912 KUHPerdata Indonesia yang menukilkan: “Orang yang dijatuhi hukuman karena telah membunuh pewaris, orang yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat pewaris, atau orang yang dengan paksaan atau kekerasan telah menghalangi pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya, serta istri atau suaminya dan anak-anaknya, tidak boleh menikmati suatu keuntungan pun dari wasiat itu”.(Siagian et al., 2023) Hanya saja, rujukan pada Pasal 912 KUHPerdata Indonesia tersebut tidak ada di negara New York, sehingga sangat logis ketika putusan pengadilan New York tidak memberikan jalan pengabulan terhadap gugatan dari anak perempuan dari si kakek. Hal ini karena tidak dijumpainya larangan di dalam ius constitutum New York untuk meghambat seseorang yang telah dijatuhi hukuman lantaran membunuh pewaris untuk mendapatkan haknya sebagai ahli waris. Bahkan, sebaliknya dapat saja pengadilan memberikan jalan penetapan bahwa Elmer mempunyai hak terhadap harta yang tertera di dalam wasiat tersebut. Jika Elmer diberikan hak untuk menikmati harta tersebut, maka secara a contrario berlaku sebuah kaedah: jika tidak dilarang maka berarti itu dibolehkan. Hanya saja, kekosongan hukum terhadap ketentuan tersebut tidak menjadikan Pengadilan New York memutuskan Elmer mempunyai hak untuk harta warisan itu. Sehingga, menyandarkan pada mayoritas suara para juris pada akhirnya Elmer dinyatakan dilarang dan tidak mempunyai hak menikmati harta yang tertera di dalam surat wasiat tersebut. Dapatlah dilihat bahwa ratio legis yang menjadi pegangan para Hakim Pengadilan New York adalah pelanggaran terhadap moralitas dan/atau aspek kepatutan menjadi penghambat untuk memperoleh keuntungan.(Siagian et al., 2023) Moral dari kasus tersebut sesungguhnya menggariskan sebuah pemikiran yang mendalam bahwa jika sesuatu tidak mempunyai larangan, maka bukan berarti sesuatu tersebut dibolehkan. Hakim pada Pengadilan
Raju Moh Hazmi 12
New York telah mengeluarkan sebuah ratio legis putusan yang justru menyandarkan pada hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Kasus itu memperlihatkan bahwa sikap yang diambil oleh Pengadilan New York bukanlah sikap positivistik. Namun, justru berpegang pada sebuah prinsip yang mengonstruksi sebuah norma yaitu patokan tingkah laku. Oleh karena itu, sikap yang diambil oleh Pengadilan New York merupakan jenis sikap yang sifatnya normatif, bukan positivistik.(Siagian et al., 2023) Kedua konsep tersebut harus dibedakan secara diametral. Dalam pemecahan masalah, positivisme memegang teguh undang-undang sebagai rujukan utama. Hukum dipersepsikan sebagai sesuatu yang tercantum di dalam undang-undang. Sebaliknya, normatif menyandarkan pada argumentasi bahwa hukum musti bersandar pada moralitas. Agar lebih komprehensif memahami bagaimana tipologi Normatif dalam penelitian hukum, berikut disajikan sekilas konsep dalam penelitian hukum yang bertipe normatif tersebut.(R. M. Hazmi, 2021; R. M. Hazmi et al., 2021)
III Asas v.s Asas
Sollen vs Sein Normative legal II Asas v.s Norma research
I Norma v.s Norma
Gambar 2. Konsep Penelitian Hukum Normatif
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa ketika hendak melakukan penelitian di ranah normatif, maka ada 3 (tiga) ruang lingkup yang menjadi objek persoalan dalam tipe tersebut.(Marzuki, 2013b) level terendah dari jenis penelitian normatif adalah Norma v.s Norma. Pada
Raju Moh Hazmi 13
ruang lingkup ini persoalan normative dilihat dari adanya pertentangan antara norma di dalam suatu peraturan perundangan atau pertentangan antar norma itu berasal dari peraturan perundangan yang berbeda. Pertentangan juga antara asas dan norma hukum, dan antara asas dengan asas hukum Oleh karena itu, penelitian dengan corak normatif disebut juga sebagai penelitian tentang asas hukum, sistematika hukum tertentu, dan sinkronisasi secara horizontal dan vertikal.(Supriyono, 2011)Namun, bagaimana dengan penelitian hukum bercorak empiris?. Jenis penelitian ini cenderung disebut sebagai non-doctrinal research yang dimplementasikan dalam bentuk penelitian di lapangan. Pada jenis penelitian ini, seorang peneliti mengumpulkan semua data untuk kemudian dilakukan analisis dan dijelaskan secara deskriptif. Semua ini dilakukan untuk menghasilkan keadaan yang bisa memproyeksikan fakta hukum yang terjadi pada kenyataan sosial.(Nurhayati et al., 2021) Dalam bahasa lainnya, corak empiris ketika dijadikan sebagai basis penelitian hukum, disebut juga penelitian hukum yang menguji penerapan kebijakan pada situasi sosial tertentu.(Warman, 2009) Kelahiran penelitian hukum yang bercorak empiris (socio legal research) merupakan suatu konsekuensi logis terhadap sifat terbukanya ilmu hukum dengan ilmu lainnya, terutama ilmu-ilmu sosial.(Warman, 2009). Karakter Sosio legal research menyandarkan sumber data pada data primer (berasal dar responden) dan tetap besumber pula pada data sekunder sebagai bahan sandingan (bahan hukum seperti peraturan, literatur, dan kamus hukum).(Warman & Andora, 2014) Sehingga antara data yang digunakan dalam penelitian normatif dan empiris bersifat saling melengkapi agar fenomena hukum tersebut bisa dianalisis secara komprehensif dan tajam. Empirisme dalam penelitian hukum juga berarti bahwa mengfokuskan kajian terhadap fenomena hukum menggunakan cara pandang ilmu sosial. Itulah sebabnya, secara hakekat, ilmu hukum juga berwatak interdispliner yang berguna untuk menjelaskan dimensi hukum
Raju Moh Hazmi 14
jika dipertautkan dengan fakta sosial (kehadiran hukum pada praktik sosial kemasyarakatan).(Pramono, 2008) Konfrontasi antara fakta dan norma tersebut menyebabkan penelitian hukum dari sudut pandang empiris mempunyai karakter yaitu hukum dalam pandangan empiris membedakan secara diametral antara fakta dan norma, gejala hukumnya harus murni (fakta sosial), metodenya kebanyakan menggunakan perspektif ilmu empiris, dan bebasa nilai.(Muhdlor, 2012) Dalam penelitian empiris, peneliti memulai langkahnya dari pelacakan terhadap fakta sosial lalu menuju pada ranah fakta hukum. Hal ini karena hukum dipandang sebagai suatu fenomena sosoiologis. Dengan kata lain, hukum merupakan hasil interaksi sosial. Jalan metodologis seperti ini dilakukan untuk menampung seluruh data primer secara maksimal. Biasanya, cara memperoleh data primer ini dilakukan dengan instrumen wawancara, kuesioner, dan observasi. Jika terjadi perubahan dalam taraf interaksi sosial, maka konsekuensinya, hukum juga ikut berubah mengikuti dinamika kemasyarakatan. Andai saja hukum tetap stagnan yang akan terjadi adalah kekosongan hukum. Situasi ini sangat dilematis dan berbahaya karena bisa mengakibatkan masalah sosial, sehingga efek berantai yang ditimbulkan adalah memunculkan anarkisme. Dengan demikian, dapatlah dilihat bahwa perspektif empiris melihat hukum sebagai sebuah instrumen perubahan sosial.(Barus, 2012) Tidak mengherankan jika fakta hukum sangat tergantung dari dinamika hukum yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.(Benuf & Azhar, 2020) Jadi, penelitian dengan corak empiris tidak menjadikan norma hukum positif sebagai dasar validitas kebenaran. Akan tetapi, praktik atas penerapan norma pada kondisi nyata sosial tertentu menjadi sumber validitas juga dalam melihat kebenaran. Hukum juga bersumber dari keadaan nyata di tengah masyarakat, sehingga untuk menelaahnya secara tertutup dan terisolasi dari fakta sosial sama saja tidak mempunyai arti.(Tan, 2021) Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa penelitian hukum
Raju Moh Hazmi 15
bertipologi empiris cenderung melihat hukum bukan hanya pada teks semata (hukum positif), namun justru menelaah lebih dalam bagaimana hukum yang secara tekstual itu bekerja di ranah kenyataan sosial. Hukum sangat terpengaruh dari paradigma sosial, sehingga memungkinkan teks itu musti menyesuaikan dengan keadaan realitas masyarakat. Dalam konteks kesempurnaan penelitian hukum, baik bertipe normatif maupun empiris, maka eksplanasi penulisan pada sebuah bab/sub tentang metodologi harus diperhatikan secara seksama. Hal ini sangat penting karena pada bab/sub bab penjelasan soal metodologi inilah, kesesuaian antara topik penelitian (legal problem) diuji dengan pemilihan metode yang digunakan. Dengan kata lain, persoalan/topik hukum yang diangkat di dalam penelitian harus sinkron dengan pilihan metodenya. Umum terlihat di dalam sejumlah karya penelitian hukum, pada bagian metodologinya sering menggunakan kalimat “penelitian ini merupakan penelitian dengan metode yuridis-normatif. Artinya, penelitian yang menggunakan studi pustaka dan dokumen. Penelitian ini juga menggunakan bahan hukum primer”.(Wibisana, 2019) Eksplanasi metodologi seperti yang ditunjukan pada kalimat sebelumnya sangat bermasalah. Pertama, jika penelitian tersebut hendak dipublish ke jurnal internasional, maka peristilahan frasa yuridis-normatif yang diartikan sebagai penelitian yang berdasarkan bahan dokumen/pustaka merupakan istilah yang ambigu. Penelitian tipologi normatif tidak korelatif sebagai bentuk data, melainkan diartikan sebagai sifat penelitian tentang apa yang seharusnya. Yang kedua, pada bagian bab/sub bab tentang metodologi lebih banyak hanya menjelaskan jenis/bahan hukum, sehingga pada bagian ini menciptakan “suasana” yang membosankan dalam eksplanasinya. Antara satu penelitian dengan penelitian lainnya terkesan hanya menyalin secara teoritis pada penjelasan ini, tanpa adanya sintesis terhadap topik dengan metode. Pada bab metodologi/subbab dalam penelitian, maka ketika penelitian tersebut bertipe normatif yang terpenting adalah menuliskan
Raju Moh Hazmi 16
bagaimana bahan hukum yang diperoleh itu dianalisa.(Wibisana, 2019) Dengan demikian, yang penting untuk dijelaskan yaitu melakukan sintesis antara bahan hukum, pendekatan-pendekatan teoritis tertentu lalu diperhadapkan dengan masalah hukum yang ingin dibahas. Bisa saja, menggunakan pendekatan sosiologi hukum, politik hukum, atau antropologi. Sedangkan pada tipe penelitian empiris seharusnya hanya menjelaskan tentang analisis terhadap data primer (dimana diperoleh, kapan, bagaimana memperolehnya).(Wibisana, 2019) Sebagai pedoman, beberapa penelitian terdahulu menerapkan cara seperti ini. Penelitian dari Hazmi (2023) menjelaskan pada sub bab metode risetnya dengan begitu rinci dan komparatif tentang dimensi normatif terhadap justifikasi ratio legis atribusi OJK sebagai lembaga tunggal dalam proses PKPU. (M. R. Hazmi et al., 2023) Dengan kata lain, sub bab metode penelitian tidak dijelaskan secara deskriptif melainkan eksplanatoris dan sintesis antara norma yang bermasalah dengan penggunaan metodenya. Jika memang dipilih normatif, jelaskan mengapa itu dipilih dan menariknya dalam konteks apa. Pola ini juga terlihat dalam penelitiannya pada pencarian ratio legis dan ratio decidendi putusan hakim.(R. M. Hazmi & Arman, 2023) Riset normatif dikonstruksikan pada konsepsi rasionalitas, konsistensi, dan interpretatif. Di dalamnya, terkandung unsur esensial rasio, positivisme terhadap hukum, bersifat apriori, analitis. Sehingga nalar yang digunakan adalah deduksi logis, koheren terhadap data sekunder. Akan tetapi, jika itu adalah penelitian empiris, konsepsi yang dibangun adalah paradigma sosial dengan unsur esesial: empirik, sejarah hukum, a posteriori, sintesis, menggunakan logika induksi, kebenaran bersifat koresponden dengan basis data primer.(Barus, 2012) Berikut disajikan secara konseptual distingsi diantara penelitian hukum normatif dan empiris penelitian.(Barus, 2012)
Raju Moh Hazmi 17
Gambar 3. Kerangka Acuan Penelitian
Raju Moh Hazmi 18
DAFTAR PUSTAKA Aburaera, S., Muhadar, & Maskun. (2013). Filsafat Hukum Teori dan Praktik (Pertama). Kencana. Aprita, S., & Adhitya, R. (2020). Filsafat Hukum (1 ed.). Raja Grafindo Persada. Aritonang, D. M. (2021). Kompleksitas Penegakan Hukum Administrasi dan Pidana di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, 18(1 Maret), 45– 58. Barus, Z. (2012). Analisis Filosofis Tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Sosiologis. Jurnal Dinamika Hukum, 13(2), 308–318. Benuf, K., & Azhar, M. (2020). Metodologi Penelitian Hukum sebagai Instrumen Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer. Jurnal Gema, 7(I Juni 2020), 20–33. Bunyamin, Bagenda, C., Ambarsari, N., Junaidi, Subrata, R., Arman, Z., Suharna, M. A., Amalia, M., Gustini, D. R., Hazmi, R. M., Widjanarto, H., Flora, H. S., Prihartanto, Y., Abqa, M. A. R., & Suhardin, Y. (2023). Ilmu Hukum (A. Asari (ed.); Cetakan I). Penerbit Litnus. Chairil, A., & Shalahuddin, H. (2021). Studi Kritis Feminist Legal Theory Menurut Perspektif Islamic World View. Jurnal Mimbar Hukum, 33(1), 188–215. Hazmi, M. R., Arman, Z., Zulfikar, A. A., & Prakasa, R. S. (2023). Paradoks Kewenangan dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perusahaan Asuransi. Amnesti Jurnal Hukum, 5(1), 51–65. Hazmi, R. M. (2021). Pembentukan Desa Oleh Pemerintah Pusat Untuk Penataan Desa Di Wilayah Perbatasan Negara. Universitas Andalas. Hazmi, R. M., & Arman, Z. (2023). Akses Internet dalam Putusan Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT: Dimensi Filosofis Hak Asasi Manusia. Ensiklopediq of Journal, 5(3), 337–345. Hazmi, R. M., Yuslim, & Warman, K. (2021). Formation of Villages by the Central Government for Village Arrangements in State Border Areas Raju Moh. Hazmi; Yuslim; Kurnia Warman Faculty of Law, University of Andalas, Padang, Indonesia. Internatonal Journal Concept of Multi
Raju Moh Hazmi 19
Discipline, 2(1), 370–392. Joesoef, I. E. (2021). Pemberian Konsesi Pengelolaan Sumber Daya Alam Oleh Pemerintah Kepada Investor Di Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat. Jurnal hukum dan Peradilan, 10(3), 361–379. Kalyvas, A. (2006). The basic norm and democracy in Hans Kelsen’s legal and political theory. Philosophy & Social Criticism, 32(5), 573–599. https://doi.org/10.1177/0191453706064898 Limuss, Olena, D., & Sitco, M. (2023). What is the difference between empiricism, intuitionism and idealism? Quora. https://www.quora.com/What-is-the-difference-between- empiricism-intuitionism-and-idealism Luthan, S. (2007). Hubungan Hukum dan Kekuasaan. Jurnal Hukum, 14(2), 166–184. Manullang, E. F. M. (2019). Kritik Terhadap Struktur Ilmu Hukum Menurut Paul Scholten. Jurnal Hukum & Pembangunan, 49(1), 46–59. Marzuki, P. M. (2013a). Normatif dan Positivistis (hal. 1–10). Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Marzuki, P. M. (2013b). Penelitian Hukum. Kencana. Muamar, & Utari, A. A. S. (2020). Pengaruh Penghapusan Asas Strict Liability dalam Undang-Undang Cipta Kerja terhadap Masif Deforestasi di Indonesia. Jurnal Kertha Negara, 8(32), 1–12. Muhdlor, A. Z. (2012). Perkembangan Metodologi Penelitian Hukum. Jurnal hukum dan Peradilan, 1(2), 190–206. Muhtamar, S., & Ashri, M. (2020). Dikotomi Moral dan Hukum Sebagai Problem Epistemologis dalam Konstitusi Modern. Jurnal Filsafat, 30(1), 123–149. https://doi.org/10.22146/jf.42562 Munir, M. I. Al. (2004). Tinjauan Terhadap Metode Empirisme Dan Rasionalisme. Jurnal Filsafat, Jilid 38(Nomor 3), 234–245. Murdiyanto, E. (2020). Metode penelitian kualitatif. Mustanir, A., Sutiyan, O. S. J., Amane, A. P. O., Mahrida, Kamil, I., Riyanda, R., Utama, A. S., Nababan, D., Hazmi, R. M., & Suhardin, Y. (2023). Ilmu Politik (Cetakan I). Penerbit Litnus. Nurhayati, Y., Ifrani, I., & Said, M. Y. (2021). Metodologi Normatif Dan Empiris Dalam Perspektif Ilmu Hukum. Jurnal Penegakan Hukum Indonesia, 2(1), 1–20. https://doi.org/10.51749/jphi.v2i1.14
Raju Moh Hazmi 20
Pane, M. D., & Situmeang, S. M. T. (2018). Asas-Asas Berpikir logika dalam Hukum (Cetakan Pe). Penerbit Cakra. Patinggi, F., Irwansyah, & Hasrul, M. (2021). Relasi Negara dan Agama dalam Peraturan Daerah Bernuansa Syariah: Perspektif Pancasila. Jurnal Keindonesiaan, 01(01), 17–33. Pramono, A. (2008). Menata Kembali Hukum dalam Penyelenggaraan Usaha Telekomunkasi di Indonesia. Universitas Diponegoro. Rumiartha, I. N. P. B. (2021). Vague Norm Peraturan Zonasi Pada Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Morality: JUrnal Ilmu Hukum, 07(41), 74–83. Sabon, M. B. (2012). Aspek Epistemologi Filsafat Hukum Indonesia. MMH, 41(3), 423–431. Samekto, F. X. A. (2012). Menggugat Relasi Filsafat Positivisme Dengn Ajaran Hukum Doktrinal. Jurnal Dinamika Hukum, 12(1), 74–84. Setyawan, V. P. (2021). Asas Legalitas dalam Perspektif Filsafat Hukum. Jurnal Et Pax, 37(1), 127–146. Shidarta. (2013). Hukum Penalaran dan Penalaran hukum Buku 1 Akar Filosofis (Ubran (ed.); 1 ed., Nomor Meret). Genta Publishing. Siagian, O. A., Amalia, M., Marjuki, A., Hazmi, R. M., Monteiro, J. M., Hastri, E. D., Rachman, A. M. I., Laturmas, J., & Dwirainaningsih, Y. (2023). Filsafat Hukum (S. SastroAtmodjo (ed.); Cetakan Pe). Get Press Indonesia. Simon, U., Hendrawan, D., & Yuniarto, A. (2022). Subjek Pasca Pendemi Covid-19 dalam Perspektif Filsafat Politik Michel Foucault. Jurnal Filsafat, 32(1), 139–164. https://doi.org/10.22146/jf.69153 Suhariyanto, B. (2016). Masalah Eksekutabilitas Putusan Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung The. Jurnal Konstitusi, 13(1), 172– 190. Sulistyawan, A. Y. (2021). Argumentasi Hukum (Cetakan-1). Penerbit Yoga Pratama. Supena, I. (2021). Konstruksi Epistemologi Fikih Pandemik: Analisis Fatwa- Fatwa MUI. Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, 15(1), 121–136. https://doi.org/10.24090/mnh.v15i1.4203 Supriyono, H. (2011). Kajian Yuridis Sistem Penataan dan Penegakan Hukum Lingkungan Administratif dalam Pengendalian Dampak
Raju Moh Hazmi 21
Lingkungan (Nomor November). Universitas Indonesia. Suriasumantri, J. S. (2017). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Cetakan Ke). Pustaka Sinar Harapan. Syam, M., & Yasniwati. (2019). Hubungan Logika Hukum dengan Argumentasi Hukum melalui Penalaran Hukum. Nagari Law Review, 2(2), 196–202. Tan, D. (2021). Metode Penelitian Hukum: Mengupas dan Mengulas. Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 8(8), 2463–2478. Taufiqurrahman. (2022). Realisme Perspektival Edmund Husserl: Rekonstruksi Metafisik terhadap Teori Intensionalitas. Jurnal Filsafat, 32(1), 108–138. https://doi.org/10.22146/jf.68269 Tresya. (2021). Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Perbuatan Pidana Penanganan Bencana Non-Alam Covid 19 Tresya1,*. Jurnal Belo, 6(c), 1–10. Warman, K. (2009). Pengaturan Sumberdaya Agraria Pada Era Desentralisasi Pemerintahan Di Sumatera Barat. Universitas Gadjah Mada. Warman, K., & Andora, H. (2014). Pola Hubungan Hukum dalam Pemanfaatan Tanah Ulayat di Sumatera Barat. Jurnal Mimbar Hukum, 26(3), 366–381. Wibawa, I. P. S., & Ali, M. (2022). Ketegangan Hukum Antara Sanksi Adat Kasepekang Dengan Humanisme Hukum Di Desa Adat Paselatan, Kabupaten Karangasem, Bali. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 29(3), 611–632. https://doi.org/10.20885/iustum.vol29.iss3.art7 Wibisana, A. G. (2019). Menulis Jurnal hukum: Gagasan, Struktur, dan Gaya. Jurnal Hukum & Pembangunan, 49(2), 471–496.
Raju Moh Hazmi 22
PROFIL PENULIS
Raju Moh Hazmi, S.H., M.H.
Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
Penulis lahir di Solok pada September tahun 1992. Menyelesaikan
Pendidikan Sarjana Hukum (S.H.) pada tahun 2015 di Universitas Andalas (Unand) dan Magister Ilmu Hukum (M.H.) pada kampus yang sama di tahun 2021. Selama menjadi mahasiswa, aktif dalam beberapa organisasi kampus. Diantaranya, Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian Kemasyarakatan (LAM&PK) Unand, Pengenalan Hukum dan Politik (PHP) Unand, Forum Peduli Pendidikan Sumbar (FPP), dan Lingkar Studi Filsafat Cogito Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Saat ini menjadi Dosen dan peneliti di Lembaga Kajian Hukum dan Korupsi (LuHaK) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Beberapa tulisan/opini pernah dimuat di dalam media cetak maupun online. Diantaranya, Menakar Keotonomian Desa (Haluan,2015), Revisi Arah Pemberantasan Korupsi, (Haluan, 2017), Pasang Surut Norma Lingkungan (Haluan, 2020), Prahara Perppu Cipta Kerja (Haluan, 2022).