Dalam pengantar ini saya sampaikan secara singkat, seperti apa sikap kita terhadap
tiga perkara yaitu Quran, hadits shahih dan keputusan qiyadah, merujuk kepada
pendapat ulama-ulama muktabar, di mana mereka pada gilirannya juga merujuk
kepada Quran dan sunnah shahih.
Jadi, seperti apa sih kita melihat wahyu (Quran) dan hadits shahih? Menurut saya,
terhadap dua perkara itu hanya ada satu sikap: sami’na wa atho’na, totally tsiqoh,
totally taqlid, tanpa reserve. Itulah sikap seorang muslim terhadap dua perkara itu.
Orang berkata itu blind faith, saya berkata: masa bodoh. Karena ini masalah hati
dan hidayah, sebagai orang yang percaya, sebagai seorang believer, sebagai
mukmin, maka saya akan berkata masa bodoh kepada orang yang mengatakan
bahwa ke-taqlid-total-an saya terhadap Quran dan sunnah shahih itu tidak logis.
Lihatlah perkataan dari sang bahrul ulum, amirul mukminin Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu
Dawud rahimahullah, sbb: “Sekiranya agama itu menurut pikiran dan pendapat
sudah tentu tapak sepatu lebih patut disapu daripada bagian atasnya. (Akan tetapi)
saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyapu bagian atasnya”.
Amirul mukminin memperlihatkan sikap thoat, tsiqoh dan bahkan taqlid tanpa
reserve terhadap apa-apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tapi bagaimana dengan produk lain selain dua hal tersebut? Katakanlah perintah
qiyadah jamaah? Bisakah kita tetap bersikap sama dengan sikap kepada Quran dan
sunnah shahih? Toh, kalau kita meyakini bahwa pemimpin kita adalah orang-orang
yang dekat dengan Allah, maka tentu keputusannya juga tidak salah.
Terhadap keputusan qiyadah, maka dien yang mulia ini sudah menggariskan
bahwa kita harus tetap thoat dan tsiqoh, tapi ketaatan itu bersyarat. Apa syaratnya?
Hanya satu, satu dan hanya satu, yaitu: ketaatan itu harus di bawah koridor
ketaatan kepada dua perkara yang pertama (Quran dan sunnah shahih). Di luar itu,
maka tidak ada ketaatan kepada pemimpin.
Dalam kitab Sifat Shalat Nabi, muhaddits Imam Albani rahimahullah mengutip
perkataan dari empat imam mujtahid panutan umat ini.
Berkata Imam Abu Hanifah rahimahullah, sbb: “tidak dihalalkan bagi seseorang
untuk berpegang kepada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana
kami mengambilnya.” Selain itu beliau juga berkata, “Jika aku mengatakan
suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah,
maka tinggalkanlah perkataanku”
Berkata Imam Malik rahimahullah, sbb: “Sesungguhnya saya hanyalah manusia
biasa yang bisa salah dan bisa benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap
pendapat yang sesuai dengan Quran dan sunnah, maka ambillah, jika tidak
sesuai (dengan dua perkara itu), maka tinggalkanlah”, selain itu beliau juga
berkata, “Tidak ada seorangpun setelah Nabi kecuali dari perkataannya itu ada
yang bisa diambil dan ditinggalkan”
Berkata Imam Syafii rahimahullah, sbb: “Apabila kalian mendapatkan di kitabku
sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka jadikanlah sunnah
Rasulullah sebagai dasar pendapat kalian dan tinggalkanlah apa yang aku
katakan”
Berkata Imam Ahmad rahimahullah, sbb: “Janganlah engkau taqlid kepadaku,
jangan pula kepada Malik, Asy Syafii, Al-Auza’i maupun Ats-Tsauri, tapi ambillah
dari mana mereka mengambilnya”
Lalu darimana kita bisa tahu bahwa sebuah keputusan itu masih totally
complydengan Quran/sunnah atau tidak? Ya harus faham. Imam Hasan al-Banna
rahimahullah sudah menggariskan dalam arkanul baiah bahwa faham itu adalah
prioritas pertama, tsiqoh adalah yang ke sepuluh. Berkata Syaikh Dr. Yusuf al-
Qaradhawi hafidzahullah: “sebenarnya Hasan al-Banna benar-benar telah
menyesuaikan pendahuluan urutan tersebut. Tidak syak lagi bahwa beliau adalah
orang yang sangat faham tentang fiqih aulawiyat (prioritas)”. (Buku “Menuju
Kesatuan Fikrah Aktivis Islam”)
Yang saya lihat sekarang malah terbalik total, tsiqoh dulu, itu wajib, faham
bolehntar-ntar kalo sempet, itu cuma sunat.
Betul, bahwa dalam organisasi, ketaatan pada pemimpin itu mutlak harus ada. Tapi
tetap harus diingatkan bahwa ketaatan itu bersyarat. Betul pula, bahwa tidak
praktis bagi para kader untuk selalu mengetahui apa dasar pengambilan
keputusan,into some extent harus pula ada percayanya. Tapi untuk keputusan-
keputusan krusial, menyangkut hajat hidup orang banyak, maka saya memandang
wajib bagi kader untuk mengetahui dasar keputusan itu. Bahkan menuntut kepada
qiyadah untuk memberikan penjelasan konsiderannya.
Manusia itu diberi nurani ya akhi fillah… mustahil nurani antum-antum semua
tidak tergerak dengan (misalnya) keputusan mencalonkan perwira polisi yang tidak
jelas tarbiyahnya sebagai gubernur DKI. Maka wajiblah kita untuk mengetahui apa
latar belakangan keputusan tersebut. Mengapa saya mengatakan itu wajib? Saya
kutipkan hadits yang dikutip oleh Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam bab dan
kitab yang sama, sbb: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menceritakan
orang-orang yang hendak masuk neraka di mana ketika itu pemimpin
memerintahkan mereka untuk memasuki neraka tersebut. Seandainya mereka
memasukinya, maka pemimpin itu tidak akan bisa mengeluarkan mereka dari
neraka tersebut, padahal mereka memasukinya karena mentaati perintah
pemimpinnya, dan meraka mengira bahwa hal itu merupakan kewajiban bagi
mereka, tapi mereka bermalas-malasan dalam berilmu. Mereka bermalas-malasan
dalam melaksanakan ijtihad (memahami ilmu) dan bersegera dalam melaksanakan
perintah yang dapat menimbulkan siksaan dan kehancuran dirinya, tanpa mereka
pastikan dan tetapkan terlebih dahulu apakah perbuatan yang mereka lakukan itu
digolongkan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan RasulNya atau tidak.”
Seorang akh berinisial Kiv, konstituen PKS di Depok, curhat panjang lebar kepada
saya bahwa dia bergabung ke sebuah milis PKS untuk bertanya hal-hal yang tidak
jelas baginya. Alih-alih mendapatkan penjelasan, akh Kiv malah hanya
mendapatkan cap, seperti: “ini ciri orang yang tidak mendapatkan pembinaan
ruhiyah”, tidak paham manhaj dakwah, malah dituduh sebagai orang anti PKS.
Padahal yang diinginkan beliau hanya satu, penjelasan agar paham, tapi yang
didapat malah kecaman karena bertanya. Saya senyam senyum membaca curhat
itu, karena berbagai cap itu sudah tidak asing saya dapatkan selama mengkritik
inkonsistensi qiyadah PKS via blog ini.
Sungguh menyedihkan, hendaklah mereka takut kepada Allah, takut kepada siksa
neraka karena mengikuti pemimpin tanpa berpikir lagi untuk memastikan apakah
perintah pemimpin itu 100% comply dengan Quran dan sunnah shahih.
Selamat membaca tulisan di bawah yang membahas lebih lengkap lagi. Kepada
ustadz Syamsul Balda, saya ucapkan jaazaakallahu khairan katsira. – DOS
Ada fenomena yang menggejala di kalangan para aktivis pergerakan yang telah
memasuki ranah politik, yaitu kerap menggunakan
terminologi syura dan tha’ah untuk menguatkan konsideran argumentasi atas
keputusan politik yang diambil, ketika keputusan tersebut dirasa ganjil oleh
mayoritas publik sebagai konstituennya, kemudian dipertanyakan secara kritis dan
dirasa tidak memperoleh jawaban yang memuaskan. “Ini sudah menjadi keputusan
hasil syura pimpinan, dan kita harus sami’na wa atha’na”. Statement tersebut
dianggap sebagai kalimat ampuh yang memiliki legitimasi syari’ah yang kuat
untuk meredam pertanyaan dan pernyataan kritis publik yang telah dipenuhi tanda
tanya besar di kepalanya. Walaupun sebenarnya tanda tanya itu tak pernah hilang
dan tetap menggayut kuat di benaknya.
Apabila fenomena ini dibiarkan terus, maka alih-alih publik akan percaya dan
mendukung keputusan-keputusan politik tersebut, bukannya tak mungkin justru
akan memupuk tumbuhnya potensi “Tsunami Politik” dalam pergerakan. Sesuatu
yang tentu tidak diinginkan oleh mereka yang mendambakan kejayaan Islam.
Prinsip Syura
Syura (musyawarah) disebutkan di dalam Al-Quran sebagai salah satu ciri utama
Islam yang secara integral berkaitan dengan ketaatan kepada Allah, melaksanakan
shalat, dan membelanjakan apa-apa yang telah dikaruniakan Allah untuk
keperluan-keperluan masyarakat. Al-Quran mengatakan: “Dan mereka yang
mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (dalam
segala urusan kemasyarakatan) diselesaikan dengan musyawarah di antara mereka
dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka.”
(Asy-Syura: 38).
Prinsip syura harus dipakai pada setiap tingkat interaksi sosial. Keluarga, yang
merupakan kesatuan terkecil dari struktur masyarakat, juga diperintahkan untuk
melaksanakan syura sebelum memutuskan masalah-masalah penting. Al-Quran
mengajarkan orangtua untuk membicarakan penyapihan anak melalui pertukaran
pendapat (syura): “…dan apabila kedua orangtua memutuskan melalui
permusyawaratan untuk menyapih anaknya, maka tidak ada dosa atas mereka…”
(Al-Baqarah: 233).
Nabi sendiri diperintahkan oleh Allah untuk melaksanakan syura dengan para
sahabatnya dalam masalah duniawi yang tidak ada wahyu tentangnya: “…Maaf-
kanlah mereka (para sahabat), mohonkanlah ampun bagi mereka dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan kemasyarakatan, kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad (untuk mengambil keputusan), maka
bertawakallah kepada Allah…” (Al-Imran: 159).
Lalu, orang mungkin saja mengajukan pertanyaan: Mengapa Nabi yang sudah
maksum perlu berkonsultasi? Jawaban yang sering diberikan terhadap masalah
tersebut, seperti diadopsi oleh Ibnu Taimiyah, adalah bahwa Allah menghendaki
Nabi untuk memberikan contoh nilai konsultasi agar ditiru oleh umat Islam yang
lain [1]. Untuk memperkuat peringatannya kepada pemimpin Islam tentang
pentingnya konsultasi, ia menyebutkan sabda Nabi yang mengisahkan bahwa
beliau “sering memanfaatkan konsultasi kepada siapa pun yang ditemui.” [2]
Menurut banyak mufasir, hukum syura adalah wajib, bahkan bagi Nabi sendiri
pun. Beberapa mufasir beranggapan bahwa hal itu hanya dianjurkan bagi Nabi
dikarenakan status istimewanya sebagai utusan Allah [3]. Namun, beliau
melakukan syura dan mengikuti anjuran sahabatnya dalam beberapa kesempatan,
misalnya dalam kesempatan perang Badr, Uhud, Khandaq, dan Hudaibiyyah.
Bahkan dalam situasi yang peka, seperti tuduhan terhadap istrinya, Aisyah, Nabi
membicarakannya di muka umum dan meminta saran [4].
Ada yang berpendapat bahwa meskipun syura merupakan kewajiban Islam yang
harus dipenuhi pemimpin (imam), imam tidak diwajibkan mengikuti nasihat yang
dihasilkan. Pandangan ini, yang menganggap syura sebagai bersifat konsultatif dan
opsional, meniadakan spirit syura. Ibn Katsir meriwayatkan dari Ali ibn Abi
Thalib, bahwa Nabi ditanya mengenai ‘keputusan’ (al-azn) yang disebutkan dalam
ayat Al-Quran, “…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan-urusan
kemasyarakatan, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad untuk
mengambil keputusan, maka bertawakallah kepada Allah…” (AI-Imran:159), Nabi
saw. menjawab bahwa itu berarti, “bermusyawarah dengan orang-orang yang
memiliki pendapat yang baik, dan kemudian mengikutinya.” [5]
Diriwayatkan bahwa Al-Hasan ibn Ali mengatakan bahwa Nabi tidak memerlukan
syura karena beliau dibimbing oleh wahyu Ilahi, tetapi Allah memerintahkan
beliau untuk melakukan syura sebagai contoh bagi kaum Muslim. Abu Hurairah
meriwayatkan bahwa Nabi lebih sering melakukan syura dengan para sahabatnya
daripada orang lain [6]. Khalifah pertama, Abu Bakar, mengadakan syura sebelum
mengirimkan ekspedisi untuk menghadapi orang-orang yang menolak membayar
zakat. la melakukan hal tersebut setelah berhasil meyakinkan orang-orang yang
berbeda pendapat dengannya untuk mendukung tindakannya. Khalifah kedua,
Umar, melakukan syura dalam berbagai urusan militer dan pemerintahan, seperti
ketika melawan Kekaisaran Sassaniah dan Mesir, mendirikan departemen pajak
(diwan), dan pengenaan pajak. Dalam hal ini, ia tidak membedakan antara orang
Muslim dan bukan muslim [7]. Ibn Atiyyah, seorang mufasir Al-Quran terkenal,
menyatakan bahwa “syura adalah prinsip dalam syari’ah dan melambangkan salah
satu peraturan wajibnya. Setiap (penguasa) yang tidak bermusyawarah dengan
ulama harus diganti.”[8] Menurut Al-Bukhari, imam-imam sesudah al-khulafa’ ar-
rasyidun melaksanakan syura dalam masalah-masalah yang tidak ada ketentuannya
yang jelas dalam Al-Quran dan As-Sunnah [9]. Ibn Taimiyyah beranggapan bahwa
syura diperlukan para penguasa Muslim (ulul ‘amr), dan Nabi pun
menggunakannya dalam masalah-masalah yang tidak ada wahyunya, dan lebih
wajib bagi orang lain untuk melakukannya [10].
Beberapa faqih menguraikan bahwa ijma’ (mufakat bersama) secara integral juga
berkaitan dengan prinsip syura. Ayat Al-Quran: “…taatilah Allah, dan taatilah
Rasulullah, dan orang-orang di antara kalian yang kalian percayakan kekuasaan
kepadanya…” (An-Nisa’: 59) ditafsirkan oleh Muhammad Rasyid Ridha sebagai
menunjuk kepada ijma’ kaum Muslimin, dan bukannya kepada ulama atau
mujtahid [11]. Kebanyakan mufasir Al-Quran serta faqih memandang istilah ulul
amr sebagai berarti penguasa dan ulama [12], sedangkan sebagian dari mereka
mengatakan bahwa hal itu hanya mengacu kepada ahlul hal wal aqdsaja [13]. Al-
Qurtubi mengemukakan salah satu penafsiran yang menarik dari Ibn Kaysan yang
tidak membatasi konsep ulul ‘amr pada ulama saja, melainkan juga orang-orang
cerdik pandai, arif, dan yang mengurusi urusan kemasyarakatan [14]. Menurut
penafsiran ini, kepatuhan kepada ahlul hall wal ‘aqd atau ahl asy-syura merupakan
kewajiban bagi penguasa dan rakyat. Al-Qurtubi meriwayatkan dari Ibn Khuwayz
Mindad bahwa penguasa harus bermusyawarah dengan ulama mengenai masalah-
masalah agama dan hukum, dengan ahli militer tentang urusan-urusan militer,
dengan tokoh masyarakat mengenai kesejahteraan rakyat, dan dengan menteri,
sekretaris, serta gubernur daerah mengenai pembangunan negeri. Gagasannya ada-
lah adanya penasihat-penasihat yang ahli dalam berbagai bidang agama dan
duniawi [15]. Menurut Rasyid Ridha, keputusan mereka akan mencerminkan
ijma’, yang sesuai dengan tradisi, dipandu oleh Allah. Karena itu, imam
diwajibkan mengikuti keputusan mereka. Apabila menolaknya, maka ia bukan saja
melanggar salah satu prinsip dasar dari sebuah negara Islam (Asy
Syuura:38) melainkan juga meniadakan otoritas ijma’ (Ali-Imran: 59) [16].
Telah dijelaskan bahwa bertumpu penuh pada keputusan mayoritas tidak didukung
oleh Islam. Memang ada beberapa ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa
mayoritas itu tidak selalu mengikuti jalan yang benar [17]. Sungguhpun demikian,
argumen di sini bukan mengenai kebutuhan umat manusia akan bimbingan Ilahi
dalam masalah agama, susila, dan hukum yang benar dan salah. Tak ada satu pun
mayoritas yang dapat mengubah norma-norma dan ajaran-ajaran yang permanen
dalam Al-Quran dan As-Sunnah tersebut. Hanya dalam masalah-masalah duniawi
yang tidak ada ayat Al-Quran dan As-Sunnah yang berkaitan dengannya itulah
maka keputusan syura mengikat. Sebagaimana telah dijelaskan seorang faqih
kontemporer, jika mengikuti pendapat mayoritas mungkin saja salah dalam
masalah-masalah keimanan, tetapi juga salah jika mengabaikan pendapat mayoritas
tentang bagaimana mengatur urusan-urusan materiil dan kepentingan-kepentingan
umum [18]. Faqih lain beranggapan bahwa, dalam Al-Quran, meremehkan
mayoritas, hanya ditujukan kepada orang-orang tidak beriman, bukan kepada kaum
Muslim yang secara individual dan kolektif dibimbing oleh Al-Quran dan Sunnah
[19].
Elaborasi yang jelas mengenai prinsip syura serta peranan pendapat mayoritas
dalam Islam terdapat dalam karya Muhammad Asad, The Principles of State and
Government in Islam. Asad menjelaskan sebagai berikut:
Memang ulama, sebagai ahli syari’ah, merupakan bagian integral dari proses
legislatif di sebuah negara Islam. Menurut satu tafsir tentang ayat 59 surat An-
Nisa’, ulama adalah partisipan inti dalam keputusan legislatif sebuah negara Islam
[24]. Namun, tidak benar bila menggambarkan rancangan-rancangan tersebut
sebagai menjurus kepada teokrasi. Ulama tidak mencerminkan suatu golongan
eksklusif, juga tidak memiliki hak-hak istimewa teokratis. Dalam proses
pembuatan keputusan, ulama disertai oleh para ahli dalam bidang politik, ekonomi,
bisnis, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang, di samping
spesialisasi yang mereka miliki, juga mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
Islam, terutama yang berkaitan dengan bidang-bidang mereka [25]. Hal ini sesuai
dengan prinsip ijtihad yang dirumuskan oleh para faqih [26].
Bagaimana jika timbul perbedaan antara imam dan syura? Apabila perbedaan itu
berkaitan dengan masalah-masalah kepentingan umum, maka yang berlaku
haruslah pendapat mayoritas dalam syura. Kalau perbedaan itu berhubungan
dengan penafsiran norma-norma hukum dan ketaatan kepada Al-Quran dan
Sunnah, maka harus dibahas terlebih dahulu dalam sidang bersama yang terdiri
dari jumlah yang sama antara ulama di dalam majelis dan ahli hukum pemerintah.
Jika pertemuan semacam itu gagal mencapai penyelesaian, maka kasusnya dapat
diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi (mahkamah syari’ah), atau badan hukum
lainnya yang sejenis yang diberi kuasa untuk memutuskan perkara. Dalam kasus
tuduhan politik yang serius terhadap pimpinan/imam, maka majelis dan/atau
pengadilan dapat mengadakan sidang sesuai dengan peraturan-peraturan khusus
yang dibuat untuk situasi-situasi semacam itu. Majelis dan pengadilan akan
menghadapi kasus itu secara sendiri-sendiri atau bekerja sama satu sama lain.
Dapat ditambahkan beberapa tindakan pengamanan untuk pemecatan imam supaya
dapat menjamin bahwa sistem tidak disepelekan dan disalahgunakan untuk
maksud-maksud picik. Prosedur yang dianjurkan di sini dalam menghadapi kasus-
kasus perbedaan antara imam dan syura sesuai dengan perintah Al-Quran yang
terkandung pada bagian terakhir ayat 59 surat An-Nisa’: “Wahai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul dan mereka yang diberi wewenang
kekuasaan di antara kamu.Andai terjadi perbedaan pendapat di antara kamu
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik untuk mencapai keputusan yang benar.”
Prinsip Tha’at
Ayat Al-Qur’an di atas menggambarkan dasar kewajiban politik dalam Islam serta
batas-batas terhadap kewajiban itu. Dalam sejarah Islam, perkembangan kekuatan
yang ada biasanya cenderung terpengaruh oleh bagian pertama rumusan itu
(ketaatan) dengan mengorbankan bagian yang kedua (pelanggaran).
“Kecenderungan” itu dibenarkan atau tidak, banyak tergantung pada cara
seseorang menafsirkan materi yang relevan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Hanya saja, penafsiran Ibnu Taimiyah dianggap paling sesuai untuk kajian ini.
Beberapa hadts di bawah ini akan menjelaskan segi-segi kedua masalah itu.
Abdullah ibnul Mas’ud berkata: “Nabi pernah bersabda kepada kita bahwa masa-
masa sepeninggalnya akan menjadi saksi berbagai kezaliman dan penyimpangan
yang disetujui penguasa.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah yang
harus kami lakukan untuk mengatasi situasi itu?” Nabi menukas: “Taatilah
penguasa itu dan mintalah kepada Allah apa yang menjadi hakmu.” [27]
Diriwayatkan oleh Ibnul Abbas bahwa Nabi bersabda: “Jika seseorang melihat
pemimpin/ pemerintahnya sepakat dengan perilaku zalim, maka ia harus bersabar,
karena siapa pun yang menyimpang dan ketaatan kepada pemimpin, ia akan mati
seperti kematian pada masa jahiliyah (masa pra Islam).” [28]
Hadits-hadits tersebut juga hadits-hadits serupa yang lain telah digunakan untuk
membenarkan ketaatan yang penuh kepada pemimpin, apa pun yang dilakukan
oleh pemimpin itu. Tentu saja hal itu merupakanpenyimpangan dari prinsip-prinsip
dasar dan tujuan-tujuan syariat yang dikemukakan oleh pihak-pihak penguasa atau
pemimpin tertentu untuk mengesahkan berbagai kebijakan mereka yang ganjil atau
represif. Hadits-hadits tersebut juga hanya membentuk setengah sejarah keharusan
politik yang utuh. Masih banyak hadits masyhur lain yang mcnunjukkan keharusan
mematuhi pemimpin Muslim tidak absolut.
Kekuasaan pemimpin itu senantiasa dibatasi dengan ketaatan kepada Dzat Yang
Maha Kuasa, Allah, seperti yang diisyaratkan dalam hadits-hadits berikut:
Ubadah ibnu Shamit berkata: “Tidak ada keharusan untuk mematuhi siapa pun
yang tidak mematuhi Allah.” (dari Musnad Ibnu Hanbal) [29].
Anas ibnu Malik berkata: “Tidak ada kewajiban untuk menaati orang yang tidak
taat kepada Allah.” (dari Musnad Ibnu Hanbal) [30].
Umran ibnu al-Husain berkata: “Tidak ada kewajiban menaati suatu makhluk
bila ia terlibat dalam pelanggaran terhadap Sang Maha Pencipta, Allah.” (dari
Musnad Ibnu Hanbal) [31].
“Mendengar dan mematuhi pemimpin adalah kewajiban yang harus
dilaksanakan setiap Muslim dalam segala hal, baik yang menyenangkan maupun
yang menyusahkan, kecuali jika ia diajak untuk berbuat dosa. Andai seseorang
diajak untuk berbuat dosa, maka mendengar dan mematuhinya tidaklah wajib.”
(dari Shahih Al-Bukhari dan Muslim). [32]
Beberapa ayat Al-Qur’an juga menegaskan bahwa pemimpin yang tidak adil tidak
wajib ditaati sepenuhnya. Dengan kata lain, kepatuhan kepadanya sama sekali
tidak dapat dibenarkan. Contohnya adalah:
Sedang ayat-ayat lain (seperti 3: 104, 3: 110 dan 9: 71) dapat dijadikan dasar untuk
membenarkan eksistensi front oposisi dalam negara Islam untuk mengontrol
perilaku kelompok yang berkuasa [36].
Lebih dari itu, esensi bai’ah sendiri menunjukkan adanya eksistensi sebuah
perjanjian atau ikrar yang berisi sumpah setia masyarakat untuk mematuhi
pemimpin yang berjanji menegakkan, mempertahankan dan menjaga syariat.
Kesepakatan antara pemimpin dan komunitas Islam itu tidak dapat digugat selama
sang pemimpin mampu melaksanakan tanggung jawabnya. “Bila ia tidak lagi
sanggup memenuhi janji dan kewajibannya terhadap masyarakat, maka
kekuasaannya hilang dan perjanjian antara kedua belah pihak pun batal” [37]
Pendapat Ibnu Taimiyah mirip dengan yang tercermin dalam sebuah hadits bahwa
“tidak ada kewajiban untuk mematuhi orang yang tidak mematuhi Allah.”
Ringkasnya, keputusan-keputusan pemimpin yang tidak sesuai, apalagi
bertentangan, dengan syariat sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Tetapi, apabila pemimpin mengajak pada ketaatan pada Allah dan Rasul, atau
upaya penegakan dan pembelaan syariat, maka wajib bagi masyarakat Muslim
untuk menaatinya. Apabila seorang Muslim menolak perintahnya kemudian mati,
maka kematiannya dinilai sama dengan kematian dimasa jahiliyah. Dalam tulisan-
nya, Minhaj, Ibnu Taimiah merujuk pada sebuah hadits yang telah disebutkan di
muka kendati dengan perubahan bentuk, tetapi misinya sama. “Siapa saja yang
perilakunya menyimpang dari masyarakat Islam dengan kadar yang paling sedikit
pun, maka kualitas keislamannya akan terkikis. Dan siapa pun yang mati di saat ti-
dak mematuhi pemimpin, maka kematiannya sama dengan kematian dimasa
Jahiliyah.” [39]
Berdasarkan hadits tersebut dan hadits-hadits lain yang senada, Ibnu Taimiyah
mencela ketidakpatuhan pada pemimpin karena sikap itu dapat memecah atau
mengikis kesatuan dan persatuan umat Islam. Namun ia juga menegaskan bahwa
hukuman berat bagi seseorang yang tidak mematuhi pemimpin dapat mengancam
umat Islam setelah bersatu di bawah satu pimpinan atau diatur oleh suatu sistem
tertentu [40]. Meskipun demikian, ia menjelaskan bahwa kesatuan yang
dimaksudkan adalah kesatuan yang dituntun oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kesatuan apa pun yang tidak didasarkan pada syariat dianggap salah dan
menyimpang dari kebenaran atau perintah Allah. Ia mengatakan: “Andaikata
terdapat dua kubu: yang satu konsisten mematuhi Allah dan Rasul-Nya, sedang
yang lain menyimpang dari aturan keduanya; adalah suatu kewajiban bagi
seseorang untuk keluar dari kelompok menyimpang itu jika memang ia mematuhi
perintah-perintah Allah. Dalam keadaan demikian, ia harus bergabung dengan
kelompok yang konsisten mematuhi Allah meskipun mengakibatkan kekacauan
yang lebih luas” [41].
Tetapi apabila para pemimpin itu telah melewati batas dalam berperilaku maupun
mengambil keputusan-keputusan politik yang aneh dan kontroversial menurut
syari’ah maupun nurani, maka wajib bagi setiap muslim untuk melakukan upaya
untuk menghentikan perilaku zalim tersebut.
Al Qur’an telah mengingatkan hal tersebut dalam ayatnya yang tegas: “Dan
janganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat
kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (Asy-Syu’ara’: 151-
152).
Memang biasanya dalam situasi dan kondisi yang ditandai dengan kezaliman dan
tirani, setiap upaya mengingatkan pemimpin untuk kembali ke jalan yag benar
dapat dianggap sebagai pemberontakan. Karenanya, pilihan yang mesti ditentukan
tidak muncul di antara kezaliman dan pemberontakan, tetapi antara memaafkan
kezaliman atau menentangnya. Bila orang memilih diam, berarti ia mengabaikan
makna ayat tersebut di atas serta kebenaran hadits Nabi yang masyhur: “Sungguh,
andai orang melihat kejahatan namun tidak memperingatkannya, maka sangat
mungkin azab Allah akan meluluhlantakkan mereka.” [45]
Ibnu Taimiyah banyak bersandar pada hadits tersebut dalam menuangkan berbagai
tulisannya [46]. Ia juga bertumpu pada hadits lain yang menekankan pentingnya
kesepakatan dan kerelaan bersama. Dalam hadits itu Nabi bersabda: “Sungguh,
orang yang paling dekat denganku dan paling aku cintai pada Hari Kiamat adalah
pemimpin yang adil (konsisten dengan syariat Allah), sedang orang yang paling
aku benci dan aku jauhi pada Hari Kiamat adalah pemimpin yang zalim
(menyimpang dari syariat Allah).” [47]