Anda di halaman 1dari 17

Nama : Ny. E No.

RM : 738602

Umur : 37 Tahun (P) Tanggal : 6 Oktober 2013

Pekerjaan : IRT

Suku Bangsa : Minang

Pendidikan : SD

Status : Menikah

Alamat : Talang

ANAMNESE
Autoanamnese pada tanggal 06 Oktober 2013 di poli OBGYNE RSUD AROSUKA Kab. Solok.

KELUHAN UTAMA
Perdarahan dari jalan lahir

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


G3 P2 A0 H1 datang dengan keluhan perdarahan dari jalan lahir sejak 3 hari SMRS.
Awalnya perdarahan hanya sedikit ± membasahi 1 pembalut/hari. Perdarahan semakin lama
semakin banyak, terutama sejak 1 hari SMRS. Keluhan mules dan nyeri di daerah perut
disangkal. Riwayat keluar jaringan seperti daging dan jaringan bergelembung seperti mata ikan
disangkal. Ini merupakan perdarahan yang pertama kali.

Pasien mengaku sedang hamil 3 bulan dan sudah pernah mengecek pp test pada bulan
juli dan hasilnya positif. Pasien mengatakan sering mual dan muntah sampai ≥ 5 x dalam
sehari, perutnya cepat membesar lebih dari usia kehamilannya dan menurut pasien dia tidak
merasakan gerakan dari janin. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan dan jamu – jamuan
disangkal. Karena keluhannya tersebut pasien datang ke poliklinik Obsteri dan Ginekologi
RSUD Arusuka Kan. Solok.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Pasien memiliki riwayat kelainan pada kedua kaki sejak lahir.
Riwayat Hipertensi, DM, Hipertiroid, Jantung, Asma, Ginjal (-)

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Tidak ada yang menderita penyakit yang sama seperti pasien
RIWAYAT HAID
Menarche : 16 Tahun
Siklus Haid : Teratur
Lama : 3 Hari
Banyak : 1 – 2 x/hari ganti balutan
Warna : Merah
Bau :-
Dismenorrea : -

RIWAYAT OBSTETRI
HPHT : 8 Juli 2013
TP : 15 April 2013
TUK : 9 – 10 Minggu

RIWAYAT ANAK
1. Aterm, Perempuan, Bidan, Spontan, 3500 gr, Meninggal, 18 Bulan
2. Aterm, Perempuan, Bidan, Spontan, 3500 gr, Hidup, 5 Tahun
3. Hamil ini

RIWAYAT PERNIKAHAN
Perempuan : I/23 Tahun/IRT/SD
Laki – laki : II/50 Tahun/Tukang Ojek/SD

RIWAYAT ANC : 1x dibidan

RIWAYAT IMUNISASI : -

RIWAYAT KB : Suntik KB tiap 3 bulan


PEMERIKSAAN FISIK
VITAL SIGN
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan : Tampak sakit sedang
Keadaan Umum
Tensi : 110/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : Afebris
Pernafasan : 20 x/menit

STATUS GENERALIS
Kepala : Tidak ada Deformitas
Mata : Konjungtiva Anemia (-/-), Sklera Ikteri (-/-)
Leher : KGB tak teraba membesar
JVP tidak meningkat, tiroid tidak teraba membesar
Thoraks : Bentuk dan gerak Paru Simetris
Paru – paru : VBS kanan = kiri
Ronkhi (-/-); Wheenzing (-/-)
Jantung : Batas kiri jantung LMCS
S1, S2 normal, murni regulasi, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : Datar, lembut, nyeri tekan (-)
Hepar/Lien tidak teraba
Defans Muskular (-)
Pekak samping (-), pekak pindah (-)
Bising usus (-)
Lihat Status Obstetrik
Ekstremitas : Edema (-/-), Deformitas kaki (+/+), tremor (-)

STATUS OBSTETRIK
Inspeksi :
1. Kepala / Muka : Chloasma gravidarum (-)
2. Thoraks : Hiperpigmentasi areola mamae, dan papilla mamae (-)
3. Abdomen : Membesar
Palpasi :
1. Tinggi fundus uteri : 2 jari di atas symphisis
2. Lingkar perut : 85 cm
3. Gerak anak : (-)
4. His : (-)
5. Letak anak : (-)

Auskultasi :
Tidak terdengar bunyi jantung anak

Pemeriksaan Inspekulo
Inspeksi : Fluksus (+) sedikit dari Ostiu, Uteri Eksterna

Pemeriksaan dalam : Tidak dilakukan

USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. USG
Hasil : Tampak “Honey Comb Appearance”, gambaran janin (-)
2. Darah Rutin
3. Pemeriksaan kadar bhCG

RESUME
Seorang ibu, Ny. E, 37 th, menikah, SD, IRT datang datang dengan keluhan keluar
darah dari jalan lahir, G3 P2 A0 H1 datang dengan keluhan perdarahan dari jalan lahir sejak 3
hari SMRS. Perdarahan sedikit – sedikit membasahi 1 pembalut per hari. Sejak 3 hari SMRS
perdarahan semakin banyak, membasahi 3 pembalut/hari. Keluahan juga disertai dengan
keluhan perut yang bertambah besar dan mual – mual. Karena keluhannya pasien datang
poliklinik ostetri dan genekologi RSUD Arosuka Kab. Solok.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan hasil pemeriksaan dalam batas normal. Dari
pemeriksaan obstetric didapatkan TFU 2 jari diatas symphisis , didapatkan fluksus dan ostium
uteri eksternum.
Dari pemeriksaan USG didapatkan gambaran Tampak “Honey Comb Appearance”,
gambaran janin (-).
DIAGNOSA BANDING
Perdarahan Hamil Muda Et Causa Suspek Mola Hidatidosa
DD/ Et Causa Abortus Iminens
Et Causa Abortus Insipiens
Et Causa Kelainan ektopik terganggu

DIAGNOSA KERJA
Perdarahan hamil muda Et Causa Suspek Mola Hidatidosa

PENATALAKSANAAN
1. Informed consent
2. Evakuasi Mola (Kuretase)
3. IVFD RL 12 jam /kolf
4. Transamin 3 x 1 amp (IV)
5. Metil Ergometrin 3 x 1 amp (IV)
6. Ciprofloxacin 2 x 500 mg tab (PO)
7. Asam Mefenamat 3 x 500 mg tab (PO)
8. SF 2 x 1 tab (PO)

PROGNOSA
 Quo ad Vitam : ad bonam
 Quo ad Functionam : ad bonam
 Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam

FOLLOW UP
07 Oktober 2013
S : Perdarahan sedikit, Mual (+), Muntah (-), Nyeri perut (-), BAB dan BAK normal
O:
 KU : baik, Kes. CM
 TD : 110/80 mmHg, Nadi : 80 x/menit, RR : 21 x/menit, T : 36,8 ⁰C
 TFU : tidak teraba, NT pada perut (-), PS/PP (-), Distensi abdomen (-)
A : Post Kuretase Mola Hidatidosa
P:
 IVFD RL 12 jam /kolf
 Transamin 3 x 1 amp (IV)
 Metil Ergometrin 3 x 1 amp (IV)
 Ciprofloxacin 2 x 500 mg tab (PO)
 Asam Mefenamat 3 x 500 mg tab (PO)
 SF 2 x 1 tab (PO)

08 Oktober 2013
S : Perdarahan sedikit, Mual (-), Muntah (-), Nyeri perut (-), BAB dan BAK Normal
O:
 KU : baik, Kes. CM
 TD : 110/80 mmHg, Nadi : 80 x/menit, RR : 21 x/menit, T : 36,8 ⁰C
 TFU : tidak teraba, NT pada perut (-), PS/PP (-), Distensi abdomen (-)
A : Post Kuretase Mola Hidatidosa
P:
 Pasien boleh pulang
 Kembali control Post Kuret Mola tanggal 25 Oktober 2013
 Obat yang dilanjutkan :
a. Metil Ergometrin 3 x 1 amp (IV)
b. Ciprofloxacin 2 x 500 mg tab (PO)
c. SF 2 x 1 tab (PO)
TINJAUAN PUSTAKA

DEFENISI
Mola Hidatidosa adalah penyakit yang berasal dari jaringan trofoblast yang bersifat jinak dimana
pertumbuhan/proliferasi sel – sel trofoblast yang berlebihan dengan stroma mengalami
degenerasi hidropik (terutama sinisitiotrofoblast), villi chloriales (jonjot – jonjot chorion) tumbuh
berganda berbentuk gelembung kecil berisi cairan jernih (asam amino, mineral) menyerupai
buah anggur sehinga penderita sering dikatakan hamil anggur.

EPIDEMIOLOGI
Mola Hidatidosa merupakan suatu penyakit trofoblastik yang angka kejadiannya termasuk
tinggi di Indonesia maupun di Dunia. Prevalensi Mola Hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika dan
Amerika Latin di bandingkan dengan Negara – Negara barat. Penyakit trofoblast ini, baik dalam
bentuk jinak maupun ganas, banyak ditemukan di Asia dan Mexico, sedangkan di Negara Barat
lebih jarang. Angka di Indonesia 1 : 141 kehamilan, sedangkan untuk koriokarsinoma 1 : 297
sampai 1 : 1035 kehamilan. Di Negara – Negara barat kejadian mola dilaporkan 1 dari 2000
kehamilan, sedangkan di Negara – negara berkembang 1 dari 120 kehamilan. Di bawah ini ada
beberapa penelitian yang paling tidak dapat menjadi gambaran angka kejadian molla di
Indomesia, diantaranya adalah :
- Seojoenoes dkk. 1967 1 : 85 kehamilan
- Di RSCM (Jakarta) 1 : 31 persalinan dan 1 : 49 kehamilan
- Luat .A. Siregar 1982 (Medan) 1 – 16 : 100 kehamilan
- Soetomo (Surabaya) 1 : 80 persalinan
- Djamhoer Martadisoebrata (Bandung) 9 – 21 : 1000 kehamilan
- Laksmi dkk. (Malang) 2,47 : 1000 atau 1 : 405 persalinan
Angka – angka ini jauh lebih tinggi dari pada Negara – Negara Barat, dimana insidensinya
berkisar 1 : 1000 sampai 1 : 2500 kehamilan untuk molla hidatidosa, ng1 : 40.000 untuk
koriokasinomi.
Angka kejadian molla di Negara lain misalnya:
- USA 1 : 2000 kehamilan
- Hongkong 1 : 530 kehamilan
- Taiwan 1 : 125 kehamilan
Molla parsialis lebih jarang lagi ditemukan. Menurut Khoo (1966) insidensinya berkisar
antara 1 : 100.000 kehamilan.
Berbagai macam factor resiko yang mendukung terjadinya molla hidatidosa ini. Pada
multiparitas lebih sering ditemukan adanya molla hidatidosa, jadi dengan meningkatnya paritas
kemungkinan mendapat molla hidatidosa akan lebih besar, begitu juga factor social ekomoni
kemungkinan mempengaruhi terjadinya molla hidatidosa akan lebih besar, begitu juga factor
social ekomoni kemungkinan mempengaruhi terjadinya molla hidatidosa disamping juga factor
usia.
Menjelang awal dan atau akhir reproduksi seorang wanita terdapat frekuensi mola
hidatidosa yang relative tinggi dalam kehamilan. Efek usia yang paling menonjol terlihat pada
wanita yang umurnya melebihi 40 tahun, yaitu frekuensi relative kelainan tersebut 10 kali lebih
besar dibandingkan pada usia 20 sampai 40 tahun. Ada sejumlah kasus otentik mola hidatidosa
pada para wanita yang umurnya 50 tahun atau lebih, sedangkan kehamilan normal pada usia
lanjut seperti itu praktis tidak diketahui.

ETIOLOGI
Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak abad keenam, tetapi sampai sekarang belum
diketahui dengan pasti penyebabnya. Berbagai teori telah dianjurkan, misalnya teori infeksi,
defenisi makanan, terutama protein tinggi dan teori kebangsaan. Ada pula teori consanguinity.
Teori yang paling cocok dengan keadaan adalah teori dari Acosta Sison, yaitu defenisi protein,
karena kenyataan membuktikan bahwa penyakit ini lebih banyak ditemukan pada wanita dari
social ekonomi rendah. Akhir – akhir ini dianggap bahwa kelainan tersebut terjadi karena
pembuahan sel telur dimana intinya telah hilang atau tidak aktif lagi oleh sel sperma yang
mengandung 23 X (haploid) kromosom, kemudian membelah menjadi 46 XX, sehingga molla
hidatidosa bersifat homozygote, wanita dan androgenesis. Kadang – kadang terjadi pembuahan
oleh 2 sperma, sehingga terjadi 46 XX atau 46 XY.
Secara ringkas factor – factor yang dapat menyebabkan terjadinya molla hidatidosa
antara lain :
1. Multiparitas
2. Factor ovum (ovum mati) : ovum memang sudah patologik, tetap terlambat dikeluarkan
3. Imunoselektif dari trofoblast
4. Infeksi virus
5. Kelainan kromosom yang belum jelas
6. Kekurangan protein
7. Keadaan sosial ekonomi yang rendah
8. Umur di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun.
KLASIFIKASI
Pengklasifikasian molla hidatidosa didasarkan ada tidaknya jaringan janin dalam uterus.
Pengklasifikasian tersebut adalah :
1. Mola Hidatidosa Komplit (Klasik)
Merupakan suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan
janin, hamper seluruh villi korialis mengalami perubahan hidropik. Secara makroskopik
ditandai dengan gelembung – gelembung putih, tembus pandang, berisi caoran jernih
dengan ukuran yang bervariasi dari beberapa millimeter sampai 1 – 2 cm.
Massa tersebut dapat tumbuh besar sehingga memenuhi uterus. Gambaran histologic
memperlihatkan :
a. Degenerasi hidropik dan pembengkakan stroma villus
b. Tidak ada pembuluh darah dalam villi yang membengkak
c. Prolifelasi epitel trofoblast hingga mencapai derajat yang beragam
d. Tidak ditemukan janin dan aminion.

Pada penelitian sitogenik ditemukan komposisi kromosom yang paling sering (tidak
selalu) 46 XX dengan kromosom sepenuhnya dari ayah. Kadang juga ditemukan 46 XY.
Resiko neoplasia trofoblastik pada jenis molla ini ± 20%.

Gambar 1. Gambaran Molahidatidosa Komplit

2. Molla Hidatidosa Inkomplit (Parsial)


Merupakan keadaan dimana perubahan molla hidatidosa bersifat local serta belum
begitu jauh dan masih terdapat janin atau sedikitnya kantong amnion, umumnya janin
mati pada bulan pertama. Secara makroskopis tanpa gelembung molla yang disertai
janin atau bagian dari janin. Pada bagian histologi tampak bagian villi yang avaskuler,
terjadi mpembekakkan hidatidosa yang berjalan lambat, secara villi yang vaskuler dari
sirkulasi darah fetus. Plasenta yang masih berfungsi tidak mengalami perubahan.
Kariotipe secara khas berupa tripoloid yang biasanya 69 XY atau 69 XYY. Resiko untuk
terjadinya koriokarsinoma pada jenis molla ini sangat kecil, ± 4 – 8 %.

Perbedaan antara mola komplit dan mola parsial

Perbedaan Mola Komplit Mola Parsial


Embrio atau jaringan fetus Tidak ada Ada
Gelembung villi Difus Fokal
Hyperplasia Trofoblastik Difus Fokal
Kariotipe Paternal 46 XX (96%) Paternal dan Maternal
atau 46 XY (4%) 69 XXY atau 69 XYY
Malignant Change 5 – 10 % Jarang

Gambar 2. Gambaran Morfologi Villi


A. Villi korealis normal
B. Mola parsial (kasus triploid 69 XXY). Villi normal diselingi yang hidropik
C. Mola komplit (46 XX). Seluruh villi mengalamin hidrofik.

PATHOGENESIS
Ada beberapa teori yang diajukan menerangkan pathogenesis dari penyakit trofoblast :
1. Teori Missed Abortion :
Mudigah mati pada kehamilan 3 – 5 minggu (missed abortion). Karena itu terjadi
gangguan peredaran darah, sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan
mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah gelembung – gelembung. Menurut
Reynolds, kematian mudigah disebabkan kekurangan gizi berupa asam folat dan histidin
pada kehamilan hari ke 13 dan 21. Hal ini kemudian menyebabkan gangguan dalam
angiogenesis.
2. Teori Noeplasma dari Park :
Yang abnormal adalah sel – sel trofoblast yang mempunyai fungsi abnormal pula,
dimana terjadi resorbsi cairan yang berlebihan kedalam villi sehingga timbul gelembung.
Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah.

GEJALA KLINIS
1. Pada pasien amenorrhea terdapat perdarahan kadang – kadang sedikit, kadang banyak,
karena perdarahan tersebut biasanya pasien anemis.
2. Uterus lebih besar daripada usia kehamilan
3. Hyperemesis lebih sering terjadi, dan biasanya lebih hebat
4. Mungkin timbul preeklamsia. Biasanya jika terjadi sebelum minggu ke 24 menunjukan
kea rah molla hidatidosa
5. Tidak ada tanda – tanda adanya janin, sehingga tidak ada balotement, tidak ada bunyi
jantung janin dan tidak tampak kerangka janin pada rontgen foto. Pada molla parsial
(keaddan yang jarang terjadi) dapat ditemukan janin
6. Kadar hormone choriogonadotropin (HCG) tinggi pada darah dan urine.
7. Akhir – akhir ini ditemukan adanya gejala tirotoksikosis.

DIAGNOSIS
Anamnesis/keluhan :
a. Amenorrhea
b. Gejala – gejala hamil muda kadang – kadang lebih dari kehamilan biasa
c. Kadangkala ada tanda toxemia gravidarum
d. Perdarahan : Sedikit/banyak, tidak teratur warna tengguli tua atau kecoklatan seperti
bumbu rujak.
e. Perbesaran uterus tidak sesuai (lebih besar) dengan umur kehamilan seharusnya.
f. Keluar jaringan molla seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada), merupakan
diagnose pasti
g. Tirotoksikosis

Inspeksi :
a. Muka dan kadang – kadang badan terlihat pucat dan kekuningan, disebut buka molla
(molla face)
b. Kalau gelembung molla keluar dapat dilihat jelas
Palpasi :
a. Uterus membesar tidak sesuai dengan umur kehamilan, teraba lembek
b. Tidak teraba bagian – bagian janin, balotement negative, tidak dirasakan gerakan janin
c. Adanya fenomena harmonica : darah dan gelembung molla keluar, fundus uteru turun,
kemudian naik lagi karena terkumpulnya darah baru.

Auskultasi :
Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin

Pemeriksaan Dalam :
Konfirmasi besarnya Rahim, lembek, tidak ada bagian – bagian janin, perdarahan dan
jaringan dalam canalis cervikalis dan vagina, dan evaluasi keadaaan cervik.

Pemeriksaan Penunjang :
a. Reaksi Kehamilan
Kadar HCG serum yang sangat tinggi pada hari ke 100 atau lebih sesuai periode
menstruasi terakhir sangat sugestif untuk mendiagnosis molla hidatidosa. Karena kadar
HCG yang tinggi maka uji biologic dan uji imunologik (Galli Mainini dan Planotest) akan
positif setelah pengenceran (titrasi) :
- Galli Mainini 1/300 (+) suspek molla hidatidosa
- Galli Mainini 1/200 (+) kemungkinan molla hidatidosa atau hamil kembar. Bahkan
pada mola atau konokarsinoma uji biologic atau imunologik cairan serebo-spinal
dapat menjadi positif.
b. Uji sonde
Uji sonde menurut Hanifa, sonde masuk tanpa tahanan dapat diputar 360 derajat
dengan deviasi sonde kurang dari 10 derajat. Sonde (penduga Rahim) dimasukkan
pelan – pelan dan hati – hati kedalam kanalis cervical dan cavum uteri, bila tidak ada
tahanan sonde diputar setelah ditarik sedikit, juga tidak ada tahanan.
c. Biopsy Acosta sison, yaitu masukkan tang tampon ke dalam cavum uterus
d. Rontgen foto abdomen : tidak terlihat tulang – tulang janin (pada kehamilan 3 – 4 bulan)
e. Arteriogram khusus perlvis
f. Ultrasonografi : pada molla akan kelihatan gambaran badai salju (snow flake pattern)
dan tidak ada kelihatan janin
g. T3 dan T4 bila ada gejala tirotoksikosis
Diagnose pasti jika kita melihat lahirnya gelembung – gelembung molla, tapi yang baik ialah
mendiagnosis sebelum gelembung molla keluar.

DIAGNOSA BANDING
1. Abortus
2. Kehamilan ganda
3. Hidramnion
4. Kehamilan dengan mioma
5. Kehamilan normal

KOMPLIKASI
1. Perdarahan yang hebat sampai shock : kalau tidak segera ditolong berakibat fatal
2. Perdarahan berulang – ulang dapat menyebabkan anemia
3. Infeksi sekunder
4. Perforasi karena keganasan dan karena tindakan
5. Menjadi ganas (PTG) pada kira – kira 18 – 20 kasus, akan menjadi molla destruens atau
khoriokarsinoma.

PENATALAKSANAAN
Mola Hidratidosa harus dievakuasi sesegera mungkin setelah diagnose ditegakkan. Bila
perlu lakukan stabilisasi dahulu dengan melakukan perbaikan keadaan umum penderita dengan
mengobati beberapa kelainan yang menyertai seperti tirotoksikosis.

Terapi molla hidatidosa terdiri dari 4 tahap yaitu :


1. Perbaiki keadaan umum
a. Koreksi dehidrasi
b. Transfuse darah bila ada anemisa (Hb < 10 gr/dl)
c. Bila ada gejala preeklamsia dan hyperemesis gravidarum diobati dengan protocol
d. Penatalaksanaan hipertiroidisme
Jika gejala tirotoksikosis berat, terapi dengan obat – obatan antitiroid, B-bloker dan
perawatan suportif (pemberian cairan, perawatan respirasi) penting untuk
menghindari presipitasi krisistiroid selama evaluasi.
Tujuan terapi adalah untuk mencegah pelepasan T4 yang terus menerus dan
menghambat konversi menjadi T3 untuk memblok aksi perifer hormone tiroid dan
untuk mengobatin factor – factor presipitasi. Agen – agen antitiroid dapat
menurunkan level T3 dan T4 serum dengan cepat seperti sodium ipodoat (orografin,
suatu kontras yang mengandung iodine) yang merupakan terapi pilihan dalam
mencegah krisis tiroid setelah hipertiroidisme yang diindukasi kehamilan molla
karena Ca mengurangi konsentrasi T3 menjadi T4 dengan cepat. Apabila sodium
ipodoat tidak tersedia, PTU harus digunakan dan dikombinasikan dengan iodide.
PTU berbeda dengan metimazol, menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer dan
karenanya lebih disukai dari pada metimazol. Loading dosis 300 – 600 mg PTU
diikuti oleh 150 – 300 mg setiap 6 jam (perrektal atau melalui NGT). Kalium iodida
oral (3 – 5 tetes, 3 x sehari, 35 mg iodide/tetes) atau iodide lugol (30 – 60 tetes/hari
dibagi dalam 4 dosis, 8 mg iodida/tetes) atau natrium iodide intravena (0,25 – 0,5 g
tiap 8 – 12 jam) menginduksi penurunan level T3 dan T4 yang cepat.
b-bloker digunakan untuk mengontrol takikardi dan gejala lain yang diaktivasi saraf
simpati. Prapanolol di mulai pada dosis 1 – 2 mg tiap 5 menit secara intravena (dosis
maksimum 6 mg) diikuti dengan proponolol oral pada dosis 20 – 40 mg tiap 4 – 6
jam.
2. Pengeluaran jaringan molla
Bila sudah evakuasi spontan lakukan kuretase untuk memastikan kavum uteri sudah
kosong. Bila belum dilakukan evakuasi dengan kuret hisap. Bila serviks masih tertutup
dapat didilatasi dengan dilator nomor 9 atau 10. Setelah seluruh jaringan dievakuasi
dengan kuret hisap dilanjutkan kuret tajam dengan hati – hati untuk memastikan kavum
uteri kosong. Penggunaan uretonika tidak dianjurkan selama proses evakuasi dengan
kuret hisap atau kuret tajam. Untuk menghentikan perdarahan, uterotonika diberikan
setelah evakuasi. Induksi dengan medikamentosaseperti prostaglandin dan oksitosin
tidak dianjurkan karena meningkatkan emboli trofoblas.

Teknik evakuasi mola hidatidosa 2 cara yaitu :


a. Kuretase
- Dilakukan setelah keadaan umum dipabaiki dan setelah pemeriksaan persiapan
selesai (pemeriksaan darah rutin, kadar β-hCG serta foto thoraks), kecuali bila
jaringan mola sudah keluar spontan.
- Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan pemasangan laminaria dan
kuretasi dilakukan 24 jam kemudian.
- Sebelum kuretase terlebih dahulu siapkan darah 500 cc dan pasang infus
dengan tetesan oksitosin 10 IU dalam 500 cc Dekstrose 5%.
- Kuretase dilakukan sebanyak 2x dengan interval minimal 1 minggu.
- Seluruh hasil kerokan dikirim ke Lboratorium Patologi Anatomi.

b. Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada wanita dengan :
- Umur ≥ 35 tahun
- Anak hidup ≥ 3 orang

3. Terapi profilaksis dengan sitostatika


Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadi keganasan misalnya pada
umur tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan histerektomi atau kasus mola
dengan hasil histopatologi yang mencurigakan. Biasanya diberikan Methotrexate atau
Actinomycin D. Indikasi pemberian kemoterapi pada penderita pasca mola hidatidosa
adalah sebagai berikut :
a. Kadar β-hCG yang tinggi > 4 minggu pascaevakuasi (serum > 20.000 IU/liter, urine >
30.000 IU/24 jam.
b. Kadar β-hCG yang meningkat progresif pascaevaluasi
c. Kadar β-hCG berapapun juga yang terdeteksi pada 4 bulan pascaevaluasi.
d. Kadar β-hCG berapapun juga yang disertai tanda – tanda metastasis otak, renal,
hepar, traktus gastrointestinal atau paru – paru.

4. Penatalaksanaan pascaevaluasi
a. Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah mola
hidatidosa, lama pengawasan berkisar 1 sampai 2 tahun
b. Pengamatan lanjut meliputi pemeriksaan pelvis dan β-hCG setiap minggu sampai β-
hCG negative, bila ditemui anemia atau infeksi harus diberikan pengobatan yang
adekuat. β-hCG negative diikuti tiap minggu 2 kali pemeriksaan, bila tetap negative
dilakukan tiap bulan sampai dengan bulan keenam, lalu tiap 2 bulan seklai selama 6
bulan.
c. Diberikan kontrasepsi oral setelah kadar β-hCG normal. Bila penurunan β-hCG
sesuai dengan kurva regresi, pasien diperkenankan hamil setelah 6 bulan. Dapat
juga dengan metode barrier, namun IUD tidak dianjurkan. Bila penurunan labat,
tunda kehamilan lebih lama lagi.
d. Bida terjadi kehamilan lakukan USG dan lakukan pemeriksaan hCG postpartum
untuk menyingkirkan reaktifikas residu dari mola.
e. Pasien dengan besar uterus 4 kali lebih besar dari usia gestasi dan adanya kista
lutein, maka resiko untuk menjadi karsinoma adalah 50%.

Dikarenakan 20% pasien dengan mola komplet dan 5% – 7% pasien dengan mola
parsial dapat menjadi penyakit yang berulang, follow up yang ketat sangat diperlukan. Kadar β-
hCG perlu dimonitor setiap minggu sampai diperoleh 3 kali angka yang normal dan kemudian
setiap bulan untuk 6 bulan. Sangat penting bagi pasien untuk menggunakan kontrasepsi
selama 6 bulan sehingga peningkatan β-hCG yang normal terjadi dalam kehamilan tidak
dikacaukan dengan penyakit yang berulang. Pil KB tidak meningkatkan resiko dari penyakit post
mola. Setelah angka β-hCG normal selama 6 bulan, kehamilan menjadi aman, pemeriksaan
rontgen paru – paru dilakukan setiap bulan. Selama pemeriksaan kadar β-hCG, pasien
diberitahukan agar tidak hamil.
Pada kasus – kasus yang tidak menjadi ganas, kadar β-hCG lekas turun menjadi
negative dan tetap negative. Pada awal masa pasca mola dapat dilakukan test hamil biasa,
akan tetapi setelah tes hamil biasa menjadi negative, perlu dilakukan pemeriksaan radio-
imunoassay β-hCG dalam serum, pemeriksaan yang peka ini dapat menemukan hormone
dalam kuantitas yang rendah.
Kematian pada mola hidatidosa disebebkan karena perdarahan, infeksi, eklampsia,
payah jantung atau tirotoksikosis. De Negara maju, kematian mola hamper tidak ada lagi.
Tetapi di Negara berkembang masih cukup tinggi bekisar 2,2% dan 5,7%. Hampir 20% mola
hidatidosa komplit akan berlanjut menjadi neoplasia trofoblast kehamilan. Terjadinya proses
keganasakan bisa berlanjung antara 7 hari sampai 3 bulan pasca mola, tetapi yang paling
banyak dalam 6 bulan pertama. Pada mola hidatidosa parsial jarang terjadi.

PROGNOSIS
Kematian pada mola hidatidosa disebabkan karena perdarahan yang mengakibatkan
anemia pada pasien, infeksi, eklampsia, payah jantung dan tirotoksikosis. Di Negara maju,
kematian karena mola hamper tidak ada lagi, tetapi di Negara berkembang cukup tinggi yanitu
berkisar antara 2,2% dan 5,7%. Sebagian besar dari pasien mola akan segera sehat kembali
setelah jaringannya dikeluarkan, tetapi ada sekelompok wanita yang kemudian menderita
degenerasi keganasan menjadi koriokarsinoma. Presentase keganasan yang dilaporkan oleh
berbagai klinik sangat berbeda – beda, berkisar antara 5,56%.
Terjadinya proses keganasan bisa berlangsung antara 7 hari sampai 3 tahun pasca
mola, tetapi yang paling banyak dalam 6 bulan pertama. Ada wanita yang pernah menderita
mola hidatidosa, kemudian pada kehamilan berikutnya mendapat mola lagi, kejadian mola
berulang ini agak jarang. Ada yang mrngatakan bahwa mola berulang mempunyai resiko leboh
tinggi untuk menjadi koriokarsinoma, tetapi pengalaman tidak menunjukkan hal demikian. Untuk
menentukan kapan kembalinya fungsi reproduksi setelah mola hidatidosa sebetulnya agak
sukar, karena umumnya mereka diharuskan menggunakan alat kontrasepsi. Walaupun
demikian banyak yang tidak memenuhi, karena ternyata banyak wanita pasca-mola telah hamil
lagi dalam jangka waktu 1 tahun. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa
kemampuan reproduksi pasca-mola, tidak banyak berbeda dari kehamilan lainnya. Anak – anak
yang dilahirkan setelah mola hidatidosa ternyata umumnya normal.

PEMBAHASAN
1. Bagaimanakah cara mendiagnosa mola hidatidsa ?
2. Bagaimanakah cara penatalaksanaan mola hidatidosa pada

Anda mungkin juga menyukai