PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1. Pengertian Mazhab
Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim Kajian
Tentang Mazhab Dalam Hukum Islam
makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi “dzahaba” yang berarti
“pergi” . Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya
“pendapat” .
Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah
pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah,
atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang
pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid
tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian
a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis.
b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa
yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.
Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih. Menurut Ahmad
Satori Ismail , para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab.
Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-
mazhab yang pernah ada.
Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, maka hanya beberapa mazhab saja yang
bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih
bertahan sampai sekarang hanya tujuh mazhab saja yaitu : mazhab hanafi, Maliki, Syafii,
Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada .
Sementara Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab fiqih sebagai berikut .
1. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
a. ahl al-Ra’yi
kelompok ini dikenal pula dengan Mazhab Hanafi
b. ahl al-Hadis terdiri atas :
1. Mazhab Maliki
2. Mazhab Syafi’I
3. Mazhab Hambali
2. Syi’ah
a. Syi’ah Zaidiyah
b. Syi’ah Imamiyah
3. Khawarij
4. Mazhab-mazhab yang telah musnah
a. Mazhab al-Auza’i
b. Mazhab al-Zhahiry
c. Mazhab al-Thabary
d. Mazhab al-Laitsi
Pendapat lainnya juga diungkapkan oleh Thaha Jabir Fayald al-‘Ulwani. beliau menjelaskan
bahwa mazhab fiqh yang muncul setelah sahabat dan kibar al-Tabi’in berjumlah 13 aliran.
Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan aliran ahlu Sunnah. Namun, tidak semua aliran itu
dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbat hukumnya.
Adapun di antara pendiri tiga belas aliran itu adalah sebagai berikut :
1. Abu Sa’id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H.)
2. Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H.)
3. Al-Auza’i Abu ‘Amr ‘Abd Rahman ibn ‘Amr ibn Muhammad ( w. 157 H.)
4. Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H.)
5. Al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.)
6. Malik ibn Anas al-Bahi (w. 179 H.)
7. Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H.)
8. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)
9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H.)
10. Daud ibn ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.)
11. Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H.)
12. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H.)
13. Ibnu Jarir at-Thabari
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mazhab-mazhab yang pernah ada dalam
sejarah umat Islam sangat sulit untuk dipastikan berapa bilangannya, untuk itu guna
mengetahui berbagai pandangan mazhab tentang berbagai masalah hukum Islam secara
keseluruhan bukanlah persoalan mudah sebab harus mengkaji dan mencari setiap literatur
berbagai pandangan mazhab-mazhab tersebu.
Dan kita ingi mengetahui apa yang menlatar belakangi timbulnya madzhab dan apa pentingnya
bermadzhab.
B. RUMUSAN MASALAH
C. tujuan penelitian
Tujuan saya membuat makalah ini untuk dapat mengetahui
apa yang menlatar belakangi timbulnya madzhab lalu apa pentingnya ber madzhab
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim Kajian
Tentang Mazhab Dalam Hukum Islam
makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi “dzahaba” yang berarti
“pergi” . Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya
“pendapat” .
Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah
pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah,
atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang
pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid
tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian
a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis.
b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa
yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.
Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih. Menurut Ahmad
Satori Ismail , para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab.
Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-
mazhab yang pernah ada..
. Sejarah Timbulnya Madzhab
Dari fragmentasi sejarah, bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih pada
periode ini merupakan puncak Dari perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya
madzhab-madzhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh
hokum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.
Fenomena perkembangan tadyrik pada periode ini, seperti tumbuh suburnya
kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu,
bahwa tasyri’ memiliki keterkaitan sejarah yang panjangdan tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan lainnya.
Munculnya madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman
sahabat, tabi’in hingga muncul madzhab-madzhabfiqih pada periode ini. Seperti contoh hokum
yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah masa ‘iddah
wanita hamil yang ditinggalk mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda pendapat dan
mengikuti salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab yang dianut.
Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup
sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong,
diantaranya :
1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islampun menghadapi
berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
2. Muncunya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha menyebarluaskan
pemahamannya dengan mendirikanpusat-pusat study tentang fiqih, yang diberi nama Al-
Madzhab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian
usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.
3. Adanya kecenderungan masyarakat islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-
ulama madzhab ketika menghadapi masalah hokum. Sehingga pemerintah (kholifah) merasa
perlu menegakkan hokum islam dalam pemerintahannya.
4. Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal trntang masalah politik
seperti pengangkatan kholifah-kholifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya
berbagai madzhab hukum islam.
2. Madzhab Maliki
Madzhab ini dibangun oleh Maliki bin Annas. Ia dilahirkan di madinah pada tahun 93 H.
Imam Malik belajar qira’ah kepada Nafi’ bin Abi Ha’im. Ia belajar hadits kepada ulama madinah
seperti Ibn Syihab al-Zuhri.
Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta’, sebuah kitab hadits bergaya fiqh.
Inilah kitab tertua hadits dan fiqh tertua yang masih kita jumpai. Dia seorang Imam dalam
ilmu hadits dan fiqih sekaligus. Orang sudah setuju atas keutamaan dan kepemimpinannya
dalam dua ilmu ini. Dalam fatwqa hukumnya ia bersandar pada kitab Allah kemudian pada as-
Sunnah. Tetapi beliau mendahulukan amalan penduduk madinah dari pada hadits ahad, dalam
ini disebabkan karena beliau berpendirian pada penduduk madinah itu mewarisi dari sahabat.
Setelah as-Sunnah, Malik kembali ke qiyas. Satu hal yang tidak diragukan lagi bahwa
persoalan-persoalan dibina atas dasar mashutih mursalah.
As-Ayafi’i menerima hadits darinya dan mahir ilmu fiqih kepadanya. Penduduk mesir,
maghribi dan andalas banyak mendatangi kuliah-kuliahnya dan memperoleh manfaat besar
darinya, serta menyebar luaskan di negeri mereka.
Kitab al-Mudawwanah sebagai dasar fiqih madzhab Maliki dan sudah dicetak dua kali
di mesir dan tersebar luas disana, demikian pula kitab al-Muwatta’. Pembuatan undang-undang
di mesir sudah memetik sebagian hukum dari madzhab Maliki untuk menjadi standar
mahkamah sejarah mesir.
3. Madzhab Syafi’i
Madzhab ini didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris al-Abbas. Madzhab fiqih as-Syafi’i
merupakan perpaduan antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Ia terdiri dari dua
pendapat, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di irak dan qaul jadid di mesir. Madzhab Syafi’i
terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan hukum, karena kehati-
hatian tersebut pendapatnya kurang terasa tegas.
Syafi’i pernah belajar Ilmu Fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al-Haram
dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Umayyah sampai matang
dalam ilmu fiqih. Al-Syafi’i mulai melakukan kajian hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih
bahkan menyusun metodelogi kajian hukum yang cenderung memperkuat posisi tradisional
serta mengkritik rasional, baik aliran madinah maupun kuffah. Dalam kontek fiqihnya syafi’i
mengemukakan pemikiran bahwa hukum Islam bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah serta
Ijma’ dan apabila ketiganya belum memaparkan ketentuan hukum yang jelas, beliau
mempelajari perkataan-perkataan sahabat dan baru yang terakhir melakukan qiyas dan
istishab.
Di antara buah pena/karya-karya Imam Syafi’i, yaitu :
o Ar-Risalah : merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali disusun.
o Al-Umm : isinya tentang berbagai macam masalah fiqih berdasarkan pokok-pokok pikiran
yang terdapat dalam kitab ushul fiqih.
BERMADZHAB
Bermadzhab artinya adalah mengikuti salah satu madzhab. “Madzhab” itu sendiri artinya
aliran/jalan. Bagi orang NU, dasar beragama adalah Al-Qurán dan hadits, akan tetapi tidak
sembarangan orang dapat merujuk langsung pada kedua sumber tersebut. Oleh karena itu
perlu seseorang atau beberapa orang yang menjadi rujukan dan panutan dalam menggali
hukum Islam. Para alim ulama NU bersepakat, imam yang layak untuk dijadikan sebagai
panutan hanya empat mujtahid. Hal ini berdasar pada pengakuan para ulama se dunia tentang
kealiman dan kemampuan empat orang tersebut.
Keempat Imam Madzhab tadi yaitu : (1) Hanafi, yaitu madzhabnya Imam Abu Hanifah yang lahir
di Kuffah, Irak, pada 80 Hijriyah dan meniggal tahun 150 hijriyah; (2) Maliki, yaitu madzhabnya
Imam Malik bin Anas yang lahir di Madinah pada 90 Hijriyah dan meniggal pada tahun 179
Hijriyah: (3) Syafií,yaitu madzhabnya Imam Syafií yang lahir di Ghazzah pada tahun 150
Hijriyah dan meninggal pada 204 Hijriyah; (4) Hanbali yaitu madzhabnya Imam Ahmad bin
Hanbal yang lahir di Marwaz pada 164 Hijriyah dan meniggal pada 241 Hijriyah.
Jika orang NU menetapkan harus bermadzhab, itu bukan berarti menutup diri untuk berijtihad.
Bagi yang telah memenuhi syarat-syarat berijtihad, maka ijtihad adalah merupakan keharusan
dan terlarang baginya untuk bertaqlid. Tapi NU pun mengukur diri dan menyadari sepenuhnya
bahwa untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad tidaklah mudah. Jangankan mujtahid mutlaq yang
kajian dan pembahasannya menyeluruh menyentuh segala permasalahan hukum, bahkan
dalam permaslahan yang sifatnya khusus dan particular pun seorang perlu mengetahui seluruh
dalil-dalil yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, dan melakukan proses istinbath
(penggalian hukum) yang tidak sederhana. Asumsi semacam itu bagi orang NU berangkat dari
kehati-hatian mereka dalam mengambil keputusan hukum-hukum agama. Mereka tak mau
sembarangan dengan hanya mengunggulkan logika dan pertimbangan akal semata, akan
tetapi disamping harus sesuai ketentuan Al-Qurán dan hadits, perlu mempertimbangkan
pendapat-pendapat ulama terdahulu dalam masalah yang sama atau serupa.
Dalam diskusi Majlis al-Ghadier Pondok MTM Kempek yang dilakukan setiap jum’at sore kali
ini mengemuka pertanyaan-pertanyaan miring seputar sikap bermadzhab. Diantara yang
terpenting adalah: apa artinya berpedoman pada madzhab padahal sudah punya Al-Qurán dan
Al-Hadits sebagai sumber pegangan hukum yang sempurna?
Dalam menjawab pertanyaan ini, perlu ditegaskan bahwa bermadzhab bukanlah berarti
meninggalkan Al-Qurán dan Al-Hadits seperti yang sering dipersepsikan oleh meraka yang anti
madzhab, akan tetapi bemadzhab justru merupakan metode dan jalan yang harus ditempuh
agar kita dapat mendapatkan hukum yang benar-benar valid dan mencerminkan apa yang
dikehendaki oleh al Qur’an dan al Hadits.
Sudah merupakan hal yang tidak layak tuk diperdebatkan lagi, bahwa Islam merupakan
petunjuk yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia agar bisa hidup dengan tentram,
selamat, baik dan benar di dunia. Secara praktis, Islam diturunkan kepada Rasul melalui kitab
suci Al-Qur’an. Oleh karena itu, bagi kita Al-qur’an merupakan sumber hukum islam yang
utama. Dalam surat Al-Isra ayat : 82 Dijelaskan “ Wa nunazzilu minalqurán ma huwa syifa ún
warahmatun Lil mu’minin” Dan kami turunkan Al-Qurán sesuatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman,” Namun perlu digaris bawahi bahwa kenyataannya
hampir sebagian besar ayat-ayat dalam Al-Qurán itu bersifat mujmal (masih umum atau
global). Untuk dapat memahaminya dengan benar dan akurat, kita tidak bisa hanya
mengandalkan ayat-ayat al-Qur’an belaka, akan tetapi perlu adanya mufashil atau mubayyin
(yang menerangkan Al-Qurán) yaitu Nabi Muhammad yang memiliki kriteria kerasulan yang
dihiasi oleh eloknya keteladanan. Hal ini sesuai dengan ayat “ Wa anzalnaa ilaika adz-Dzikra
litubayina ma nuzzila ilaihim wala ‘allakum yatafakkarun.” Dan kami turunkan padamu
( Muhamad ) al-qurán agar kamu menerangkan pada umat manusia tentang apa yang telah
diturunkan pada mereka dan supaya mereka memikirkan ( An-Nahl : 44 )
Fungsi Nabi Muhamad sebagai Mubayyin direalisasikan dalam sikap dan perbuatan dan
perkataannya. Contoh penjelasan dengan perkatan ialah saat turun ayat al-Quran yang
memerintahkan para sahabat untuk mengucapkan shalawat kepada nabi, mereka bertanya
tentang bagaimana cara bershlawat padanya. Nabi menjawab: “Ucapkanlah Allahuma Sholi ála
muhammad”. Adapun contoh tabyin dengan perbuatan ialah dalam tata cara melakukan
shalat. Nabi bersabda:“Sholluu kamaa raaytumuuni usholli”.Shaltalah kalian seperti shalatku
yang kalian lihat. Seperti yang telah kita maklumi bahwa tata cara sholat tidak pernah
dijelaskan oleh al-Qur’an. Pengetahuan tentang bagaimana melakukan sholat diambil dari
menteladani Nabi dalam melakukan sholat.
Namun tugas menjelaskan al-Qur’an yang dilakukan oleh Nabi terhenti dengan sebab
kewafatan beliau. Sedangkan banyak realita masalah yang tidak ditemukan hukumnya dalam
al-qurán dan al-hadits, maka cara pengambilan hukum adalah melalui ijtihad. Diriwayatkan
bahwa Muadz bin Jabal ditanya tentang bagaimana ia menghukumi, Muadz menjawab:“Dengan
al-qurán”. Muadz kembali ditanya:“kalau didalam al-qurán tak ditemukan lantas bagaimana?,
“Dengan al-hadits,” jawabnya. Muadz kembali ditanya: “seandainya didalam hadits tidak
ditemukan lalu bagaimana?” Muadz menjawab “saya akan berijtihad”. Perkataan Muadz bahwa
dirinya akan berijtihad ini dibenarkan oleh Rasulallah dan ini merupakan manbaul ijtihad
( pintu sumber ijtihad ) yang nantinya akan melahirkan nalaritas intelektual yang terlahir dari
pemikiran suci dalam rangka memahami al-Qurán yang benar.
Mungkin dalam item disini mengarah akan kepentingan yang tersirat dari tamadzhub padahal
sudah adanya dalil yang kuat ( al-qurán dan al-hadits ). Secara implisit madzhab mengandung
arti sebuah teori atau metode, sebuah jalan dengan tema istinbatul ahkam yang mengerucut
pada ijtihad. Oleh para mujtahidin ( orang-orang yang berijtihad ) seluruh hukum / dalil dari al-
qurán dan hadits diramu dan disajikan bagi kalangan awam agar dipahami dengan baik. Jadi
sederhanya seseorang bermadzhab berarti ia telah melangkahkan bentuk usahanya dalam
rangka menerima pemahaman dai al-qurán dan al-hadits agar tak ada satu ayat atau satu
hadits yang tercecer secara parsial sehingga tidak adanya sebuah penyelaian ( solusi ) dari
dalil yang tercecer tadi dan agar tidak terjerumus dalam pemahaman yang berujung pada
kebimbangan dalam menerima hukum Allah SWT.
Dalam ruang lingkup etimologi, madzhab diartikan sebagai kata yang berbentuk isim makan
dari fiil madli dzahaba yang berarti tempat berjalan. ”kalau ada orang yang ingin sampai pada
tempat tujuan, maka berjalanlah melaui tempat yang benar”, itu logikanya. Sama halnya dalam
memahami al-qurán dan hadist dengan benar, maka kita hendaknya mengikuti jalan yang yang
benar pula.
Sebuah contoh dalil dari al-qurán tentang sesuatu yang membatalkan wudlu yaitu “Aw
lamastum An-Nisa “ ( QS. An-Nisa : 43 ) kita tidak dapat fahami apa arti lafadz tadi dengan
tanpa bermadzhab. Dalam Madzhab Syafií, sesuatu yang membatalkan wudlu ini diartikan oleh
kalangan madzhab selain Syafii dengan menjima’ perempuan.
Dan dengan berpegangan pada madzhab artinya amal kita dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah oleh para mujtahidin sebagai Shohibul madzhab, tentunya seiring dengan
mengamalkan al-qurán dan al-hadits dengan benar dengan sedikit melebar pada bermadzhab,
juga merupakan pengembangan akal dan pikiran untuk memahami dan menerima serta
menjalani al-qurán dan al-hadits.
Dalilnya adalah QS An-Nahl : 43 yaitu “Fa saluu ahla dzikri inkumtum la ta’lamun”. Tanyalah
pada orang yang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui sekalipun pada sebagian tafsir
diartikan dengan orang ahli kitab namun Imam Syatibi dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa
dalam pengamalan sebuah íbrah ( pelajaran ) dari al-qurán itu dengan menggunakan kaidah
“La bi khususi sabab bal biúmumil lafdzi “ tidak dengan kekhususan sebab melainkan dengan
keumuman lafadz sebagian dalil al-hadits yaitu “Ikhtilafu ummati rahmatan”, perbedaan
pendapat adalah rahmat.
Dalam kitab Tanwirul qulub, dipaparkan bahwa orang yang berkata “sesungguhnya saya
beramal dengan tanpa madzhab yakni dengan al-qurán dan al-hadits saja”, maka orang tadi
adalah Dlalalun mudlilun. Sedangkan imam Sya’roni berkata dalam kitab mizan Qubra: Adalah
wajib hukumnya bermadzhab, karena adanya sebuah taálluq nanti di akherat, dalam arti akan
didatangkan apa madzhabnya lalu digolongkan dalam madzhab itu.
Wajibkah umat islam bermadzhab dengan salah satu dari madzhibul arbaáh yaitu : Maliki,
Syafií,Hanafi,dan Hambali? Dari surat An-Nahl ayat 43 diatas tersirat ma’na dari lafadz “Fas
aluu Ahla dzikri“ , bertanyalah pada orang yang berpengetahuan. Kata Is Aluu sebagai sesuatu
bentuk fiil amar yang mewajibkan pada setiap mukhatab ( orang yang diajak bicara ), siapa
saja, untuk menggali dan memahami setiap sesuatu perkara yang majhul ( tidak dimengerti ).
Kewajiban disini sesuai dengan kaidah al-ashlu fil amri lil wujub, asal dalam sebuah perintah
adalah wajib ditambah lagi dengan perkara yang yang tercakup dalam hal ini, yaitu mengenai
pemahaman al-Qurán dan al-Hadits, maka jelas hukumnya wajib.
Dalam kitab Ahkamul fuqaha dikemukakan bahwa wajib bermadzhab dengan salah satu
madzhab yang ada empat. Hal ini dimaksudkan agar tidak tergelincir dalam pemahaman yang
salah yang disebabkan oleh keangkuhan hati yang egois dalam menerima suatu perkara yang
haq ( kebenaran ) dan agar tidak terjadi pengamalan suatu hukum dengan mengambil yang
enak-enaknya saja. Bahwa Imam Ali Al-Khawas, seorang yang ahli agama dan pemutus hukum,
berfatwa: Wajib hukumnya bermadzhab dengan salah satu madzhab empat agar tidak terjadi
salah pemahaman dan karena ke empat madzhab itu telah tersebar luas keseluruh dunia baik
khusus atau mutlaknya hukum yang dimuatnya.
Adapun dalam kitab Tanwirul Qulub diargumentasikan bahwa orang yang sebanding dengan 4
orang sahabat madzhab ( Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafií, dan Imam Ibnu
Hambal ) adalah muhal adanya, karena didasarkan pada hadits riwayat Ibnu Majjah, Bukhori
dan Muslim. “Khoirukum qarni tsummalladzina yaluunahum tsummaldzina yaluunahum“.
Sebaik-baiknya generasi adalah generasiku kemudian orang yang mengikutinya dan kemudian
kemudian orang yang mengikutinya.
Ketika suatu Madzhab pengikutnya habis dan tak dibukukan lagi, maka madzhab itupun akan
sirna dan pupus dengan sendirinya. Berbeda dengan empat madzhab yang kesemuanya masih
eksis di jagat raya ini dengan legitimasi dan pengikutnya yang tersebar diseluruh penjuru
dunia sampai saat ini.
Maka, ”faidza waqaá al-ikhtilaf fa álaika bissawadzil a’dzam maál haqqi wa ahlihi”. Maka
ketika terjadi perbedaan, ikutilah pada golongan mayoritas beserta dengan kebenaran dan
ahlinya ( H.R. Ibnu Majjah ). Sedangkan redaksi dari riwayat Anas bin Malik dalam kitab Shahih
Bukhori, Nomor: 2457 dengan menggunakan “Ittabiú As-Sawaadal A’dzam“, ikutilah pada
golongan yang terbanyak ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada karena wafatnya
para imamnya, kecuali empat madzhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikuti
madzhab empat tersebut berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari madzhab tersebut
berarti keluar dari mayoritas ( Sullam al-ushul Syarh Nihayati al-Suul Juz 4 ). Mengikuti
madzhab Imam lain adalah sulit bagi ulama masa kini, apalagi bagi kalangan awam.
Hendaknya kita tidak mencari-cari dispensasi dengan mengambil dari masing-masing madzhab
pendapat yang paling ringan, dan tidak boleh menggabungkan antara dua pendapat yang akan
menimbulkan suatu kenyataan yang tidak pernah dinyatakan siapa pun dari kalangan ulama
( Bughoyat al-murtasyidzin )”. Sebagai dasar hukum, al-Qurán menjelaskan dalam surat An-
Nisa: 59:“Ya ayyuhalladzina amanu athi úllaha wa athi úrrosuula wa ulil amri minkum”, Wahai
orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan Ulil amri diantara kamu
sekalian. Kata ulil amri ditafsiri oleh sebagian ulama mufassir sebagai orang yang mempunyai
ilmu luas yang bisa memutus hukum perkara diantara kita selaku orang awam. Sehingga ayat
tadi layak dijadikan dalil atas wajibnya seseorang bermadzhab, lantas diarahkan pada
Madzahibul arbaáh.
Melirik pada statetment diatas, bermadzhab dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
karena kriteria dari seorang Mujtahid itu dimulai dari benar dan baik dalam membaca al-qurán
dan al-hadits, mengerti makna dan dapat mengartikannya, tafriul masail (memblok-blokkan
masalah), tasbiqul dalail (penetapan dalil), ma’rifatu kaifiyatul istinbath (mengetahui cara
mengambil hukum), dan istinbath (mengeluarkan/ menetapkan hukum). Ijtihad, pada tingkatan
istinbath ternyata mastanbathnya ( jalan melahirkan hukum ) itu tidak keluar pada Aimmatul
madzaahibul al-arbaáh (4 Imam madzhab), contoh Imam Ghozali yang merupakan seorang
mujtahid, namun oleh karena jalan / teori melahirkan hukumnya itu mengikuti Imam Syafi’í
maka beliau juga bermadzhab Syafií. Inilah yang kemudian dikenal dengan mujtahid madzhab.
PENUTUPAN
G. KESIMPULAN
Jadi setelah di adakannya pengamatan ternyata
1. Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan
karena pengaruh hokum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.
2. Bermadzhab artinya adalah mengikuti salah satu madzhab. “Madzhab” itu sendiri artinya
aliran/jalan. Bagi orang NU, dasar beragama adalah Al-Qurán dan hadits, akan tetapi tidak
sembarangan orang dapat merujuk langsung pada kedua sumber tersebut. Oleh karena itu perlu
seseorang atau beberapa orang yang menjadi rujukan dan panutan dalam menggali hukum Islam.
Para alim ulama NU bersepakat, imam yang layak untuk dijadikan sebagai panutan hanya empat
mujtahid. Hal ini berdasar pada pengakuan para ulama se dunia tentang kealiman dan
kemampuan empat orang tersebut.
3. Pentingnya bermadzhab yaitu dengan mengetahui madzhab kita dapat memahami isi dari teks
dari al-quran dan asunnah dan kalau tidak mengacu pada orang lain paling tidak ia mengacu pada
madzhab dirinya sendiri.
H. SARAN
Saya memiki saran agar kita dapat mempelajari madzhap karena banyak sekali manfaatnya bagi
kita.
DAFTAR PUSTAKA
Imbabi, M. Musthofa, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo : al-Maktabah al-tijariyyah al-kubro, Cet. IX, 1986
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos, Cet. III, 2003.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990.
http://www.facebook.com/note.php?note_id=268793672175&ref=mf
Usman, suparman, Prof. Dr. M.A, S.H,2002, Hukum Islam, Jakarta selatan: gaya media pratama Jakarta