Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

STASSE KETERAMPILAN DASAR PRAKTIK KEBIDANAN

Disusun Oleh:
Dinna Triyani
231FI12002

PROGRAM STUDI KEBIDANAN


PROGRAM PROFESI BIDAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat
dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan. Laporan ini disusun sebagai
bagian dari tugas akademis dengan tujuan untuk memahami dan menganalisis suatu
kasus yang memiliki relevansi dalam konteks studi yang sedang ditempuh.
Laporan ini membahas suatu peristiwa atau situasi yang signifikan, dimana
analisis mendalam akan dilakukan guna mengungkapkan aspek-aspek kunci yang
terlibat. Melalui penelitian dan refleksi yang cermat, diharapkan laporan ini dapat
memberikan wawasan dan pemahaman yang lebih baik tentang isu yang diangkat.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan ini tidak lepas dari dukungan dan
bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada [sebutkan pihak-pihak yang memberikan dukungan atau bimbingan], yang telah
memberikan arahan dan inspirasi dalam proses penyusunan laporan ini.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca, memberikan kontribusi
positif terhadap pemahaman kita tentang isu yang diangkat, serta menjadi bahan
referensi yang berharga untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pemecahan
masalah di masa yang akan datang.
Akhir kata, penulis menyampaikan permohonan maaf jika masih terdapat
kekurangan dalam laporan ini. Kritik dan saran yang membangun selalu diharapkan
agar laporan ini dapat lebih berkualitas di masa yang akan datang.
Terima kasih.

Bandung, November 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah................................................................................................2
1.3 Tujuan..................................................................................................................2
1.3.1 Tujuan umum...............................................................................................2
1.3.2 Tujuan khusus..............................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI...........................................................................................3
2.1 Pengertian Pemberian Obat Secara Intramuskular..............................................3
2.2 Mekanisme Fisiologis.........................................................................................3
2.3 Prinsip Pemberian Obat Secara IM.....................................................................4
2.4 Tujuan Pemberian Obat Secara Intramuskular....................................................6
2.5 Indikasi dan kontra indikasi dalam Pemberian Obat Secara Intramuskular........6
2.6 Daerah Penyuntikan dalam Pemberian Obat Secara Intramuskular....................6
2.7 Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam Pemberian Obat Secra IM.................8
2.8 Alat Dan Bahan dalam Pemberian Obat Secara Intramuskular..........................8
2.9 Prosedur Kerja Pemberian Obat Secara Intramuskular.......................................8
2.10 Prosedur Pelaksanaan Pemberian Obat Secara IM dan Penyuluhan Pasien.....10
2.11 Pencegahan infeksi pada kasus pemberian obat secara injeksi.........................10
BAB III TEORI ASUHAN BERDASARKAN EVIDENCE BASED MEDICINE. 13
3.1 Pengertian EBM................................................................................................13
3.2 Teknik injeksi intramuskular.............................................................................14
3.2.1 Pendahuluan..............................................................................................14
3.2.2 Pemilihan lokasi penyuntikan....................................................................15
3.2.3 Posisi pasien dan identifikasi daerah injeksi.............................................16
3.2.4 Memilih dorsogluteal atau ventrogluteal...................................................16
3.2.5 Kesimpulan................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tindakan injeksi merupakan salah satu tindakan medis yang paling sering
dikerjakan. Lebih dari 90% tindakan injeksi dikerjakan untuk tujuan terapeutik,
sementara 5-10% untuk tindakan preventif termasuk keluarga berencana.
Tindakan injeksi harus dikerjakan secara aman. Penggunaan alat injeksi yang
berulang dapat menjadi sumber transmisi virus Hepatitis B, virus Hepatitis C dan
HIV. Karena itu WHO merekomendasikan pengunaan alat injeksi sekali pakai
(disposable).(Jin et al., 2015)
Tidak jarang tindakan injeksi menimbulkan rasa takut pada pasien, baik
anak maupun orang dewasa. Teknik yang tepat dapat mengurangi rasa sakit akibat
proses injeksi. Empat hal yang harus diperhatikan dalam tindakan injeksi yaitu:
rute injeksi, lokasi injeksi, teknik dan alat.
Injeksi adalah suatu metode untuk memasukkan liquid ke dalam tubuh
dengan menggunakan spuit dan jarum melalui kedalaman kulit tertentu agar
bahan-bahan dapat didorong masuk kedalam tubuh. Tindakan injeksi pun dapat
dilakukan dengan rute IM (Intramuskular), IV (Intravena), IC (Intracutan), dan
SC(Subcutan).
Injeksi itramuskular (IM), memungkinkan adsorbsi obat yang lebih cepat
daripada rute SC karena pembuluh darah lebih banyak terdapat di otot. Bahaya
kerusakan jaringan berkurang ketika obat memasuki otot yang dalam tetapi bila
tidak berhati-hati ada resiko menginjeksi obat langsung ke pembuluh darah.
Dengan injeksi di dalam otot yang terlarut berlangsung dalam 10-30 menit, guna
memperlambat adsorbsi dengan maksud memperpanjang kerja obat, seringkali
digunakan larutan atau suspensi dalam minyak umpamanya suspense penicilin
dan hormone kelamin.(Intramuscular Injection: Definition and Patient Education,
no date)
1.2 Rumusan masalah
1) Apa pengertian pemberian obat secara IM?
2) Apa prinsip pemberian obat secara IM?
3) Apa indikasi dan kontra indikasi pemberian obat secara IM?
4) Apa macam-macam obat yang diberikan secara IM?
5) Dimana daerah pemberian obat secara IM?
6) Bagaimana prosedur pemberian obat secara IM?
7) Bagaimana pencegahan infeksi pada kasus pemberian obat secara
injeksi?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui dan dapat melakukan pemberian obat atas instruksi
dokter dengan cara injeksi intramuskular dan pecegahan infeksi pada pemberian
obat secara injeksi.
1.3.2 Tujuan khusus
1) Untuk mengetahui pengertian pemberian obat secara IM.
2) Untuk mengetahui prinsip pemberian obat secara IM.
3) Untuk mengetahui indikasi dan kontra indikasi pemberian obat
secara IM.
4) Untuk mengetahui macam-macam obat yang diberikan secara IM.
5) Untuk menegtahui daerah pemberian obat secara IM.
6) Untuk mengetahui prosedur pemberian obat secara IM.
7) Untuk mengetahui pencegahan infeksi pada kasus pemberian obat
secara injeksi?
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Pemberian Obat Secara Intramuskular


Pemberian Obat Secara Intramuskular adalah pemberian obat/cairan dengan
cara dimasukkan langsung kedalam otot (muskulus). Pemberian obat dengan cara
ini dilakukan pada bagian tubuh yang berotot besar, agar tidak ada kemungkinan
untuk menusuk saraf, misalnya pada bokong dan kaki bagian atas atau pada
lengan bagian atas. Pemberian obat seperti ini memungkinkan obat akan dilepas
secara berkala dalam bentuk depot obat. Jaringan intramuskular terbentuk dari
otot yang bergaris dan mempunyai banyak vaskularisasi aliran darah tergantung
dari posisi otot ditempat penyuntikan.(Gutierrez and Munakomi, 2023)

2.2 Mekanisme Fisiologis


Obat masuk kedalam tubuh beberapa saat setelah di injeksikan, obat akan
masuk kedalam tubuh melalui pembuluh darah, mengikuti aliran darah, disana
obat akan di absorbsi oleh tubuh, setaah di absorbsi partikel obat yang telah
terabsorbsi akan di edarkan oleh darah keseluruh tubuh lainnya, namun disini
belum memberikan efek karena belum tepat pada organ target sesuai dengan
fungsi obat tersebut apa, bisa sebagai analgesik, antipiretik, antiemesis, dan lain
sebagainya. Selanjutnya setelah obat di distribusikan ke seluruh tubuh, karena
obat belum memberikan efek, obat akan dimetabolisme oleh hati, dihati ini obat
akan dipisahkan berbagai komponennya, partikel obat yang di butuhkan oleh
organ target akan diedarkan ke organ target tersebut untuk memberikan efek
sesuai dengan masalah (penyakit) yang akan diatasi, sedangkan bagian partikel
yang tidk dibutuhkan tubuh akan di ekskresi oleh tubuh baik melalui keringat,
urine, dan sebagainya.(Intramuscular Injection - StatPearls - NCBI Bookshelf, no
date)
2.3 Prinsip Pemberian Obat Secara IM
Para petugas medis dituntut harus mengetahui semua komponen dari
perintah pemberian obat, termasuk 6 prinsip pemberian obat yang benar. Adapun
6 prinsip tersebut antara lain:(Mudlikah, no date)
1. Benar Klien/Pasien
Obat yang akan diberikan hendaknya benar pada pasien yang diprogramkan
dengan cara mengidentifikasi kebenaran obat dengan mencocokkan nama, nomor
register, alamat dan program pengobatan pada pasien.
Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa (papan identitas di
tempat tidur, gelang identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien atau
keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon secara verbal, respon non verbal
dapat dipakai, misalnya pasien mengangguk. Jika pasien tidak sanggup
mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau kesadaran, harus dicari cara
identifikasi yang lain seperti menanyakan langsung kepada keluarganya. Bayi
harus selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya.
2. Benar Obat
Sebelum mempersipakan obat ketempatnya perawat harus memperhatikan
kebenaran obat sebanyak 3 kali yaitu ketika memindahkan obat dari tempat
penyimpanan obat, saat obat diprogramkan, dan saat mengembalikan ketempat
penyimpanan.
Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat dengan nama
dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa nama
generiknya, bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama generiknya atau
kandungan obat. Sebelum memberi obat kepada pasien, label pada botol atau
kemasannya harus diperiksa tiga kali. Pertama saat membaca permintaan obat dan
botolnya diambil dari rak obat, kedua label botol dibandingkan dengan obat yang
diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya
tidak boleh dipakai dan harus dikembalikan ke bagian farmasi. Jika pasien
meragukan obatnya, perawat harus memeriksanya lagi. Saat memberi obat,
perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan. Ini membantu mengingat nama
obat dan kerjanya.
3. Benar Dosis
Dosis yang diberikan klien harus sesuai dengan kondisi klien. Dosis yang
diberikan harus pula dalam batas yang direkomendasikan untuk obat yang
bersangkutan. Perawat harus teliti dalam menghitung secara akurat jumlah dosis
yang akan diberikan, dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
tersedianya obat dan dosis yang diresepkan/diminta, pertimbangan berat badan
klien (mg/KgBB/hari), jika ragu-ragu dosis obat harus dihitung kembali dan
diperiksa oleh perawat lain. Serta melihat batas yang direkomendasikan bagi dosis
obat tertentu.
4. Benar Waktu
Pemberian obat harus sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Dosis
obat harian diberikan pada waktu tertentu dalam sehari. Misalnya seperti 2x
sehari, 3x sehari, 4x sehari, dan 6x sehari. Sehingga kadar obat dalam plasma
tubuh dapat dipertimbangkan. Pemberian obat harus sesuai dengan waktu paruh
obat (t ½). Obat yang mempunyai waktu paruh panjang diberikan sekali sehari,
dan untuk obat yang memiliki aktu paruh pendek diberika beberapa kali sehari
pada selang waktu tertentu. Pemberian obat juga memperhatikan dibeikan sbelum
atau sesudah makan atau bersama makan. Ingat pula untuk memberikan obat-obat
seperti kalium dan aspirin yang dapat mengiritasi mukosa lambung bersama-sama
dengan makanan. Menjadi tanggung jawab perawat untuk memeriksa apakah
klien telah dijadwalkan untuk memeriksa diagnostik, seperti tes darah puasa yang
merupakan kontraindikasi pemeriksaan obat.
5. Benar Cara/Rute
Memperhatikan proses absorbsi obat dalam tubuh harus tepat dan memadai.
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien,
kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja
yang diinginkan. Obat dapat diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal,
rektal, inhalasi.
6. Benar Dokumentasi
Pemberian obat sesuai dengan standar prosedur yang berlaku di rumah sakit.
Dan selalu mencatat informasi yang sesuai mengenai obat yang telah diberikan
serta respon klien terhadap pengobatan. Setelah obat itu diberikan, harus
didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh siapa obat itu diberikan. Bila
pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat diminum, harus
dicatat alasannya dan dilaporkan.(Guo et al., 2022)

2.4 Tujuan Pemberian Obat Secara Intramuskular


Tujuan pemberian obat secara intramuskular yaitu agar obat diabsorbsi
tubuh dengan cepat.

2.5 Indikasi dan kontra indikasi dalam Pemberian Obat Secara Intramuskular
Indikasi pemberian obat secara intramuskular bisa dilakukan pada pasien
yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena tidak memungkinkan untuk
diberiakan obat secara oral, bebas dari infeksi, lesi kulit, jaringan patut, benjolan
tulang, otot dan saraf besar dibawahnya. Pemberian obat secara intramuskular
harus dilakukan atas perintah dokter. Kontraindikasi dalam pemberian obat secara
intramuskular yaitu: infeksi, lesi kulit, jatingan parut, benjulan tulang, otot atau
saraf besar intramuskular.(Rosyidah and Prasetyaningrat, 2019)

2.6 Daerah Penyuntikan dalam Pemberian Obat Secara Intramuskular


a. Paha (vastus lateralis)
Posisi klien terlentang dengan lutut agak fleksi.
Area ini terletak antar sisi median anterior dan sisi
midlateral paha. Otot vastus lateralis biasanya tebal dan
tumbuh secara baik pada orang deawasa dan anak-anak.
Bila melakukan injeksi pada bayi disarankan
menggunakan area ini karena pada area ini tidak terdapat
serabut saraf dan pemubuluh darah besar. Area injeksi
disarankan pada 1/3 bagian yang tengah. Area ini
ditentukan dengan cara membagi area antara trokanter
mayor sampai dengan kondila femur lateral menjadi 3 bagian, lalu pilih area
tengah untuk lokasi injeksi. Untuk melakukan injeksi ini pasian dapat diatur
miring atau duduk.
b. Ventrogluteal
Posisi klien berbaring miring, telentang, atau
telentang dengan lutut atau panggul miring dengan
tempat yang diinjeksi fleksi. Area ini juga disebut
area von hoehstetter. Area ini paling banyak dipilih
untuk injeksi muscular karena pada area ini tidak
terdapat pembuluh darah dan saraf besar. Area ini
ini jauh dari anus sehingga tidak atau kurang
terkontaminasi.
c. Dorsogluteal
Dalam melakukan injeksi dorsogluteal,
perawat harus teliti dan hati- hati sehingga injeksi
tidak mengenai saraf skiatik dan pembuluh darah.
Lokasi ini dapat digunakan pada orang dewasa
dan anak-anak diatas usia 3 tahun, lokasi ini
tidak boleh digunakan pada anak dibawah 3
tahun karena kelompok usia ini otot dorsogluteal belum berkembang. Salah satu
cara menentukan lokasi dorsogluteal adalah membagi area glutael menjadi
kuadran-kuadran. Area glutael tidak terbatas hanya pada bokong saja tetapi
memanjang kearah Kristal iliaka. Area injeksi dipilih pada kuadran area luar atas.
d. Otot Deltoid di lengan atas
Posisi klien duduk atau berbaring datar dengan lengan
bawah fleksi tetapi rileks menyilangi abdomen atau pangkuan.
Area ini dapat ditemukan pada lengan atas bagian luar. Area ini
jarang digunakan untuk injeksi intramuscular karena
mempunyai resiko besar terhadap bahaya tertusuknya
pembuluh darah, mengenai tulang atau serabut saraf. Cara
sederhana untuk menentukan lokasi pada deltoid adalah
meletakkan dua jari secara vertical dibawah akromion dengan jari yang atas diatas
akromion. Lokasi injekssi adalah 3 jari dibawah akromion.(Hermasari, 2019)

2.7 Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam Pemberian Obat Secra IM


a. Tempat injeksi
b. Jenis spuit dan jarum yang digunakan
c. Kondisi atau penyakit klien
d. Obat yang tepat dan benar
e. Dosis yang diberikan harus tepat
f. Pasien yang tepat
g. Cara atau rute pemberian obat harus tepat dan benar

2.8 Alat Dan Bahan dalam Pemberian Obat Secara Intramuskular


a. Daftar buku obat/catatan dan jadwal pemberian obat
b. Obat yang dibutuhkan (obat dalam tempatnya)
c. Spuit dan jarum suntik seduai dengan ukuran. Untuk orang dewasa
panjangnya 2,5-3 cm dan untuk anak-anak panjangnya 1,25-2,5 cm.
d. Kapas alcohol
e. Cairan pelarut/aquabidest steril (bila diperlukan)
f. Nierbekken
g. Handscoon 1 pasang sesuai dengan ukuran

2.9 Prosedur Kerja Pemberian Obat Secara Intramuskular


a. Siapkan peralatan ke dekat pasien
b. Pasang sketsel atau tutup tirai untuk menjaga privasi pasien
c. Cuci tangan
d. Gunakan sarung tangan
e. Kaji adanya alergi
f. Mengidentifikasi pasien dengan prinsip 5 B (Benar obat, dosis, pasien, cara
pemberian dan waktu)
g. Memberitahukan tindakan yang akan dilakukan
h. Letakkan perlak dan pengalas dibawah daerah yang akan di injeksi
i. Posisikan pasien dan bebaskan daerah yang akan disuntik dari pakaian pasien
j. Mematahkan ampul
k. Memakai handscoon dengan baik
l. Memasukkan obat kedalam spuit sesuai dengan advice dokter dengan teknik
septic dan aseptic
m. Menentukan daerah yang akan disuntik:
 Pada Daerah Lengan Atas (Deltoid)
 Pada Daerah Dorsogluteal (Gluteus Maximus)
 Pada Daerah Ventro Gluteal (M. Gluteus Medius)
 Pada Daerah Paha Bagian Luar (Vastus Lateralis)
 Pada Daerah Paha Bagian Depan (Rectus Femoris)
n. Memasang pengalas dibawah daerah yang akan disuntik
o. Desinfeksi dengan kapas alcohol pada tempat yang akan dilakukan injeksi
p. Mengangkat kulit sedikit dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri (tangan
yang tidak dominant)
q. Tusukkan jarum ke dalam otot dengan jarum dan kulit membentuk sudut 900
r. Lakukan aspirasi yaitu tarik penghisap sedikit untuk memeriksa apakah jarum
sudah masuk kedalam pembuluh darah yang ditandai dengan darah masuk ke
dalam tabung spuit (saat aspirasi jika ada darah berarti jarum mengenai
pembuluh darah, maka cabut segera spuit dan ganti dengan spuit dan obat
yang baru). Jika tidak keluar darah maka masukkan obat secara perlahan-
lahan
s. Tarik jarum keluar setelah obat masuk (pada saat menarik jarum keluar tekan
bekas suntikan dengan kapas alcohol agar darah tidak keluar)
t. Lakukan masase pada tempat bekas suntikan (pada injeksi suntikan KB maka
daerah bekas injeksi tidak boleh dilakukan masase, karena akan mempercepat
reaksi obat, sehingga menurunkan efektifitas obat)
u. Rapikan pasien dan bereskan alat (spuit diisi dengan larutan chlorine 0,5%
sebelum dibuang)
v. Lepaskan sarung tangan rendam dalam larutan chlorine
w. Cuci tangan.(Laodikia and Tambunan, 2017)
2.10 Prosedur Pelaksanaan Pemberian Obat Secara IM dan Penyuluhan Pasien
Penyuluhan pasien memungkinkan pasien untuk minum obat dengan aman
dan efektif.
a. Tahap pra Interaksi
 Melakukan verifikais data
 Mencuci tangan
 Menyiapkan obat dengan benar
 Menempatkan alat di dekat klien dengan benar
b. Tahap orientasi
 Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik
 Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga/klien
 Menanyakan kesiapan klien sebelum tidakan dilakukan
c. Tahap kerja
d. Tahap terminasi
 Melakukan evaluasi tindakan
 Melakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
 Membereskan alat -alat
 Berpamitan dengan klien
 Mencuci tangan
 Mencatat kegiatan dalam lembar catatan (pendokumentasian)

2.11 Pencegahan infeksi pada kasus pemberian obat secara injeksi


Teknik pencegahan infeksi yang benar saat memberikan injeksi merupakan
langkah untuk mencegah gangguan kesehatan bagi petugas maupun klien baik
saat akan melakukan tindakan maupun sesudah melakukan tindakan yang meliputi
mencuci tangan sampai penanganan benda tajam. Petugas harus selalu waspada
dan hati-hati dalam bekerja untuk mencegah terjadinya trauma saat menangani
jarum, scalpel dan alat tajam lain yang dipakai setelah prosedur, saat
membersihkan instrumen dan saat membuang jarum.(M and H, 2017)
Ukuran pengendalian infeksi
Digunakan untuk penatalaksnaan risiko yang teridentifikasi dengan cara penilsisn
risiko. Ukuran penggendalian infeksi melibatkan hal berikut, dan dideskripsikan
dibawah ini:
1. Pengendalian lingkungan
Pengendalian lingkungan ditujukan untuk meminimlkan risiko kotaminasi
yang disebabkan oleh geakan, sentuhan atau edekatan. Contoh risiko
ligkungan: letak tempat tidur yang terlalu dekat, kebersihan lingkungan
terdekat, penggunaan lemari pasien yang digunakan dalam 1 ruangan,
pergerakan dan kedekatan letak tirai privasi, tempat kerja yang sempit dan
keberadaan jumlah orang yang berlebihan dalam satu ruangan.
2. Kebersihan tangan
Membisakan cuci tangan yang efektif merukapakan bagian penting teknik
aseptik. Cuci tangan mengacu pada proses pembersihan tangan yang dapat
berupa pencucian tangan dan/atau dekontaminasi tangan tanpa air dengan
menggunakan produk antiseptik setiap sebelum dan sesudah melakukan
prosedur klinis.
3. Pengguanaan peralatan pelindung diri yang memadai
Sarung tangan diindikaisan untuk banyak prosedur yang membutuhkan
teknik aseptik:
- Sarung tangan non-steril diperukan untuk melindungi tenaga kesehtan
dari darah atau caian tubuh atau paparan obat-obatan berbahaya selama
pemberian.
- Sarung tangan steril digunakan dalam proses di mana bagian-bagian
kritis dan/atau tempat ktitis disentuh secara langsung untuk
meminimalkan risiko kontaminasi.
Sarung tangan tidak menggantikan syarat cuci tangan. Cuci tangan harus
tetap dilakukan sebelum dan sesudah menggunakan sarung tangan.
4. Penatalaksanaan medan aseptik
Medan aseptik harus dikelola untuk memastikan bahwa bagian-bagian kritis
dan tempat kritis dilindungi dan harus disiapkan sedekat mungkin dengan
waktu penggunaan yang sesungguhnya. Pilih baki atau troli dengan ukuran
yang sesuai untuk memastikan bagain-bagian kriis peralatan/perlengkapan
cukup terlindungi dalam medan aseptik.
5. Teknik aseptik tanpa sentuh (TATS)
Teknik aseptik tanpa sentuh adalah tenik dimana tangan tenaga kesehatan
tidak menyentuh secara langsung bagian kritis dan/atau tempat kritis dengan
kuman patogen. Hal ini sangat penting untuk mempertahankan kondisi
aseptik. Asptik datap dicapai dengan:
- Mengguanakan teknik tanpa-sntuhan, misalnya penggunaan kasa steril
atau forsep steril
- Menggunakan sarung tangan steril. (Wibowo, Brata and Mulyono,
2017)
Praktik penyuntikan yang aman
 Menerapkan teknik aseptik untuk mecegah kontaminasi alat-alat injeksi
 Tidak menggunakan spuit yang sama untuk penyuntikan lebih dari satu
pasien walaupun jarum suntiknya diganti
 Semua alat suntik yang dipergunakan harus satu kali pakai untuk satu pasien
dan satu prosedur
 Gunakan cairan pelarut/flushing hanya untuk satu kali (NaCl, WFI, dll)
 Gunakan single dose untuk obat injeksi (bila memungkinkan)
 Tidak memberikan obat-obat single dose kepada lebih dari satu pasien atau
mencampur obat-obat sisa dari vial/ampul untuk pemberian berikutnya.
 Bila harus menggunakan obat-obat multi dose, semua alat yang akan
dipergunakan harus steril
 Simpan obat-obat multi dose sesuai dengan rekomendasi dari pabrik yang
membuat
 Tidak menggunakan cairan pelarut untuk lebih dari 1 pasien (kategori IB)
BAB III
TEORI ASUHAN BERDASARKAN EVIDENCE BASED MEDICINE

3.1 Pengertian EBM


EBM didirikan oleh RCM dalam angka utuk membantu mengembangkan kuat
profesional dan ilmiah dasar untuk pertumbuhan tubuh bidan dalam berorientasi
akademis. EBM secara resmi diluncurkan sebagai sebuah jurnal mandiri untuk
penelitian murni bukti pada konferensi tahunan di RCM Harrogate, Ingris pada tahun
2003. Hal tersebut diracang untuk membantu bidan dalam mendorong maju terkait
pengetahuan kebidanan dengan tujuan utama meningkatkan perawatan ibu dan bayi.
Menutur sackett et al. Evidence-based (EB) adalah salah satu pendekatan medik
yang didasarkan pada bukti- bukti ilmiah untuk kepentingan pelayanan kesehatan
penderita. Dengan demikian dalam prakteknya, EB memadukan antara kemampuan dan
pengetahuan serta pengalaman klikik dengan buki-bukti imliah terkini yang paling dapat
dipercaya.
Pengertian lain dari Evidence-based adalah proses yang digunakan secara
sistematik untuk menemukan, menelaah/mereiew, dan memanfaatkan hasil studi sebagai
dasar dari pengambilan keputusan klinik. Jadi, secara lebih rinci EB merupakan
kepaduan antara:
a. Bukti-bukti imliah, yang berasal dari studi yang terpercaya (bets research
evidence)
b. Keahlian klinis (clinical expertise)
c. Nila-nilai yang ada pada masyarakat (patient values)
3.2 Teknik injeksi intramuskular

https://doi.org/10.5455/JEIM.220514.RW.009
Teknik injeksi intramuskuler adalah dengan menginjeksikan sediaan obat pada
area otot. Otot yang dipilih adalah otot yang cukup besar, mudah diakses, dan memiliki
vaskularisasi yang baik. Pada tahun 1964, perawat mengelola sebagian besar otot
intramuskular, pitel dan wemett adalah di anatara penulis pertama yang memberikan
intruksi terperinci untuk perawat tentang anatomi, termasuk untuk pemberian obat
intramuskular.
3.2.1 Pendahuluan
Injeksi intramuskular adalah metode yang digunakan untuk pengiriman obat
ke masa otot yang besar, otot memiliki lebih banyak vena dari pada jaringan
subcutan. Oleh karena itu, setelah injeksi muskular penyerapan obat lebih cepat
dibandingkan dengan dengan jaringan subcutan. Namun, ada banyak risiko terkait
pemberian obat melaui injeksi intramuskular, dalm rangka mengirangi ririko ini,
struktur anatomi daerah yang di injeksi harus diketahui dahulu dengan baik dan
daerah tersebut harus di periksa dengan baik. Daerah Dorsogluteal (DG)
umumnya digunakan untuk injeksi intramuskular. Daerah ini dekat dengan
pembuluh darah dan saraf. Selain itu, jaringan subkutan pada daerah ini lebih
tebal dari jaringan subkutan di daerah lain. Karena alasan tersebut sehingga DG
daerah yang paling berbahaya, sedangkan suntikan intramuskular pada daerah
ventrogluteal (VG) memiliki keunggulan dalam banyak hal dimana, daerah
tersebut telah diakui sebagai daerah injeksi primer.
3.2.2 Pemilihan lokasi penyuntikan
Ada 4 kelompok otot yang sering digunakan pada injeksi intramuskular,
yakni otot deltoid, otot quadricep femoris, otot ventrogluteal, dan otot
dorsogluteal.
a. Otot deltoid memiliki masa otot kecil dan dekat dengan saraf radialis dan
arteri brakialis. Keuntungan dari area otot deltoid adalah mudah diakses saat
penyuntikan. Otot deltoid tidak boleh digunakan untuk injeksi dengan
volume lebih dari 1 ml. Pengecualian untuk obat risperidone, yaitu tidak
boleh lebih dari 2 ml.
b. Quadricep femoris merupakan otot yang tebal serta minim risiko
mencederai pembuluh darah dan saraf. Lokasi ini dipilih pada infant,
terutama yang belum berjalan. Pada pasien yang mendapatkan obat-obatan
tertentu dan dokter menganjurkan untuk dilakukan penyuntikan
intramuskuler secara mandiri, quadricep femoris dapat direkomendasikan
karena mudah diakses pasien.
c. Otot ventrogluteal juga berukuran besar dan minim risiko cedera saraf dan
pembuluh darah. Otot ini baik digunakan pada jenis suntikan depot di mana
obat disimpan dalam waktu lama untuk kemudian diserap secara bertahap
oleh jaringan sekitarnya.
d. Otot dorsogluteal merupakan otot yang terletak di bokong, Otot dorsogluteal
mungkin terlihat sebagai pilihan yang lebih disukai karena ukurannya yang
besar, tetapi suntikan intramuskular menimbulkan risiko karena terdapat
pembuluh darah besar dan saraf utama di lokasi tersebut, termasuk saraf
ischiadic.
Sifat obat yang diberikan, usia pasien dan ukuran tubuh pasien harus
dipertimbangkan dalam pemilihan metode penyuntikan intramuskular yang benar.
Meskipun telah disepakatu bahwa daerah venrogluteal merupakan daerah
penyuntikan intramuskular yang aman, tetapi masih banyak petugas kesehatan
yang memilih unuk menyuntikan di daerah dorsogluteal. Alasannya adalah karena
daeah ventrogluteal memiliki struktur anatomi yang kecil, ketidak mampuan
petugas kesehatan dalam megidentifikasi daerah tersebut dan ketakutan bahwa
pasien akan merasa sakit karena diyakini daerah ini tidak aman. Faktanya, daerah
ventrogluteal adalah daerah penyuntikan yang aman karena menyababkan efek
samping lokal yang lebih sedikit dibandingkan injeksi paha. Bahkan pada bayi
dan anak kecil daerah ventrogluteal terbukti cocok untuk injeksi intramuskular.
Pada daerah ventrogluteal merupakan daerah yang paling cocok untuk praktik
injeksi intramuskular karena: a) tidak adanya saraf dan pembuluh darah di daerah
ini, b) berada jauh dari tulang, c) sedikit area subkutan.
3.2.3 Posisi pasien dan identifikasi daerah injeksi
Penentuan daerah ventroguteal sedikit lebih sulit namun, dapat ditentukan
dengan palpasi dari struktur tilang. Daerah ventrogluteal dapat dengan mudah
ditentukan dengan meraba struktur tulang dan batas-batasnya. Pada saat palpasi,
tangan kiri atau kanan digunakan di sisi panggul bagian bawah. Telapak tangan
diletakan di atas trokanter yang lebih besar, jari telunjuk pada tulang iliaka
superior anterior, jari tengah pada krista iliaka dan ibu jari menunjuk ke arah
selangkangan. Injeksi dilakukan pada daerah segitiga jari telunjuk, jari tengah dan
krista iliaka.
3.2.4 Memilih dorsogluteal atau ventrogluteal
Sampai saat ini, dilaporkan bahwa lokasi yang umum dilakukan untuk
injeksi intramuskular adalah dorsogluteal, laterofemoralan deltoid. Jaringan otot
pada daera ventrogluteal lebih tebal dibandingkan dengan dorsogluteal sehingga
jaringan subkutan pada ventrogluteal lebih tipis dari pada lokasi lainnya. Kondisi
ini mengurangi kemungkinan injeksi yang tidak disengajj ke jaringan subkutan.
Pada ventrogluteal juga tidak memiliki saraf dan pembuluh darah besar sehingga
ini dapat mengurangi kemungkinan cedera dan mengurangi rasa nyeri. Sangat
jarang ditemukan komplikasi pada metode penyuntikan intramuskular di lokasi
ventrogluteal. Komplikasi cenderung pada pasien berumur tua dikarenakan
kekurangan masa otot pada daerah ventrogluteal.
3.2.5 Kesimpulan
Suntikan intramuskular sering digunakan oleh para ahli kesehatan. Suntikan
ini merupakan salah satu jalur administrasi obat parenteral. Cedera saraf ischiadic
yang terkait dengan suntikan intramuskular dapat menyebabkan banyak akibat
negatif terhadap tenaga kesehatan dan pasien. Bukti yang tersedia menunjukkan
bahwa derah dorsogluteal sebaiknya dihindari untuk suntikan intramuskular.
Daerah ventrogluteal adalah lokasi suntikan intramuskular yang paling aman
dengan beberapa alasan, dan oleh karena itu, juga menjadi pilihan pertama untuk
suntikan intramuskular.
Namun, dalam praktiknya, daerah dorsogluteal digunakan paling sering.
Fakta ini menunjukkan bahwa kebanyakan tenaga kesehatan tidak mengetahui
atau memahami keunggulan daerah ventrogluteal. Dilaporkan juga bahwa tenaga
kesehatan tidak menerima pelatihan lain setelah pengajaran dasar teknik
penyuntikan. Mereka menggunakan banyak metode yang berbeda. Biasanya,
mereka tidak menggunakan teknik yang mengurangi rasa sakit dan kerusakan
jaringan. Karena suntikan intramuskular adalah salah satu tugas yang paling
sering dilakukan oleh tenaga medis, pengetahuan mereka mengenai suntikan
intramuskular perlu diperbarui.
Program layanan pelatihan harus disiapkan untuk mencegah cedera saraf
yang terkait dengan penyuntikan dan memperbarui pengetahuan tenaga medis
mengenai hal ini. Meskipun ada beberapa perkembangan dalam pengetahuan teori
tentang suntikan intramuskular, komplikasi yang dapat dihindari masih terjadi di
banyak negara. Oleh karena itu, meninjau kembali subjek suntikan intramuskular
dalam kurikulum pelatihan tenaga kesehatan tampaknya sangat penting. Selama
pelatihan tenaga kesehatan sebelum dan setelah lulus, harus dijelaskan alasan
pemilihan daerah ventrogluteal dan identifikasi daerah penyuntikan harus
ditunjukkan secara praktek.
Sebagai pertimbangan akhir, kami merekomendasikan agar lebih banyak
penelitian eksperimental dan klinis dilakukan mengenai suntikan intramuskular
daerah dorsogluteal dan ventrogluteal. Selain itu, penggunaan istilah
"dorsogluteal" dan "ventrogluteal" dapat membingungkan. Kemudian, untuk
penelitian selanjutnya, kami menyarankan menggunakan istilah "dorsomedial"
dan "dorsolateral" sebagai gantinya. (Kilic, Kalay and Kilic, 2014)
DAFTAR PUSTAKA

Guo, X. et al. (2022) ‘Impact of jet pulverization and wet milling techniques on
properties of aripiprazole long-acting injection and absorption mechanism research in
vivo’, International Journal of Pharmaceutics, 612. doi:
10.1016/j.ijpharm.2021.121300.

Gutierrez, J. J. P. and Munakomi, S. (2023) ‘Intramuscular Injection’, StatPearls.

Hermasari, K. B. D. (2019) ‘Buku pedoman keterampilan klinis teknik injeksi dan


pungsi’, Universitas Sebelas Maret Surakarta, p. 56.

Intramuscular Injection: Definition and Patient Education (no date). Available at:
https://www.healthline.com/health/intramuscular-injection (Accessed: 19 November
2023).

Intramuscular Injection - StatPearls - NCBI Bookshelf (no date). Available at:


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK556121/ (Accessed: 19 November 2023).

Jin, J. F. et al. (2015) ‘The optimal choice of medication administration route


regarding intravenous, intramuscular, and subcutaneous injection’, Patient preference
and adherence, 9, p. 923. doi: 10.2147/PPA.S87271.

Kilic, E., Kalay, R. and Kilic, C. (2014) ‘Comparing applications of intramuscular


injections to dorsogluteal or ventrogluteal regions’, Journal of Experimental and
Integrative Medicine, 4(3), p. 171. doi: 10.5455/jeim.220514.rw.009.

Laodikia, C. and Tambunan, E. (2017) ‘MENURUNKAN INTENSITAS NYERI


SAAT PROSEDUR INJEKSI VITAMIN NEUROBION 5000 PADA PASIEN POLI
RAWAT JALAN RUMAH SAKIT ADVENT BANDUNG’.

M, E. A. and H, D. U. S. (2017) ‘GAMBARAN PENCEGAHAN INFEKSI


PADA PEMBERIAN KONTRASEPSI SUNTIK DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KEBOAN KECAMATAN NGUSIKAN KABUPATEN JOMBANG’.

Mudlikah, S. (no date) ‘Buku Ajar Keterampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan
Penerbit Cv.Eureka Media Aksara’.
Rosyidah, I. and Prasetyaningrat, D. (2019) ‘Ilmu Dasar Keperawatan II
ANATOMI’, Modul Praktikum, p. 23.

Wibowo, Y. I., Brata, C. and Mulyono, I. (2017) ‘Pedoman Pemberian Obat


Injeksi’, Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents, pp. 1–26.

Anda mungkin juga menyukai