Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH BIOFARMASI

PERJALANAN OBAT DI DALAM TUBUH YANG


DIBERIKAN DALAM BENTUK SEDIAAN SUSPENSI
SECARA INTRAMUSKULAR

DOSEN :

Prof. Dr. Teti Indrawati, M.Si., Apt.

Disusun oleh :

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya serta limpahan kesehatan pada kami, sehingga
penulis dapat menyelesaikan Makalah Biofarmasi tepat pada waktunya. Makalah ini
dibuat dengan judul “Perjalanan Obat di Dalam Tubuh Yang Diberikan Dalam
Bentuk Sediaan Suspensi Secara Intramuskular” diharapkan makalah ini dapat
membuat pembaca memahami bagaimana proses perjalanan sediaan suspesi yang
diinjeksikan dengan rute intramuskular dan pengaruhnya terhadap bioavaibilitas dalam
tubuh.

Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi nilai dan tugas Biofarmasi di
Fakultas Farmasi Institus Sains dan Teknologi Nasional. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada ibu Prof. Dr. Teti Indrawati, M.Si., Apt. selaku Dosen mata kuliah
Biofarmasi yang telah membimbing penulis sehingga berhasil menyelesaikan makalah
ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kelemahan dan kekurangan
yang harus disempurnakan. Untuk itu saya terbuka terhadap kritikan dan saran yang
bersifat konstruktif yang dapat menyempurnakan tugas ini. Akhir kata, saya sampaikan
terima kasih kepada semua pihak. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhai
segala usaha kita. Aamiin.

Jakarta, Nopember 2019

Penyusun

DAFTAR ISI

| BIOFARMASI 2
KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2

DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 4

I.1 Latar Belakang ............................................................................................... 4


I.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 5
I.3 Tujuan ............................................................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 6

II.1 Teori Dasar ..................................................................................................... 6


II.2 Kekurangan dan Kelebihan Suspensi Intramuskular ..................................... 8
II.3 Daerah Penyuntikan Dalam Pemberian Obat Secara Intramuskular ............ 8
II.4 Tujuan Injeksi Intramuskular ......................................................................... 10
II.5 Mekanisme Fisiologis .................................................................................... 10
II.6 Faktor Fisiologis ............................................................................................ 11
II.7 Biofarmasetika .............................................................................................. 11
II.8 Pengaruh Sifat Fisika Kimia Obat Terhadap Bioavailabilitas ....................... 12

BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................... 13

III.1 Pelepasan Suspensi Intramuskular ................................................................ 13


III.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi ADME ................................................ 14
III.3 Mekanisme Kerja Atau Proses Perjalanan Suspensi Intramuskular .............. 21
III.4 Bentuk Obat/ Jenis Obat Yang Dapat Dibuat Untuk Sediaan Suspensi
Intramuskular ................................................................................................. 22

BAB IV PENUTUP..................................................................................................... 26

IV.1 Kesimpulan .................................................................................................... 26


IV.2 Saran ............................................................................................................. 26

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 27

| BIOFARMASI 3
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Pemberian obat secara intramuskular adalah pemberian obat/cairan dengan
cara dimasukkan langsung kedalam otot (muskulus). Pemberian obat dengan cara
ini dilakukan pada bagian tubuh yang berotot besar, agar tidak ada kemungkinan
untuk menusuk saraf, misalnya pada bokong dan kaki bagian atas atau pada lengan
bagian atas.

Injeksi intramuskular menunjukan suatu absorpsi yang lebih cepat daripada


absorpsi sediaan oral, akan tetapi mungkin suatu sediaan intramuskular dapat
melepaskan obat yang relatif lambat. Sediaan obat terjadi bila obat berdifusi dari
otot ke cairan yang mengelilingi jaringan dan kemudian ke darah. Injeksi suspensi
intramuskular dapat diformulasikan untuk pelepasan obat secara cepat atau lambat
dengan mengubah pembawa sediaan injeksi. Larutan biasanya disistribusikan
secara cepat dari tempat injeksi, sedangkan pembawa yang kental seperti minyak
atau suspensi dapat menghasilkan suatu kadar darah yang lambat dan kadar yang
dipertahankan. Pembawa yang kental seperti minyak sebelum terdistribusi boleh
jadi pertama ada partisi ke dalam fase “aqueous”. Suatu obat yang sangat larut
dalam minyak tidak larut dalam air, karena partisi yang lambat dam mempunyai
pelepasan yang relatif lama dan dipertahankan.

Injeksi suspensi yang diberikan melalui rute intramuscular, seluruh obat akan
berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu obat akan masuk ke pembuluh darah
di sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk ke dalam sirkulasi. Cara ini sesuai
untuk bahan obat, baik yang bersifat lipofilik maupun yang hidrofilik. Kedua bahan
obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun secara kimia.
bahkan bentuk sediaan suspensi dapat diterima lewat intramskuler, begitu juga
pembawanya bukan hanya air melainkan yang non air juga dapat. Hanya saja
apabila berupa larutan air harus diperhatikan pH larutan tersebut.

Obat- obat yang diinjeksikan secara intramuskular melibatkan penundaan


absorbsi karena obat bejalan dari tempat injeksi ke aliran darah. Formulasi injeksi

| BIOFARMASI 4
intramuskular dapat untuk melepaskan obat secara cepat atau lambat tergantung
pembawa sediaan injeksi

I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelepasan obat sediaan suspensi yang injeksikan secara


intamuskular?
2. Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi Absorpsi, Distribusi, Metabolisme,
dan Eliminasi?
3. Bagaimana mekanisme kerja atau proses perjalanan suspensi yang diinjeksikan
secara intramuskular pada tubuh?
4. Apa saja bentuk obat/ jenis obat yang dapat dibuat untuk sediaan suspensi
intramuskular?

I.3 Tujuan

1) Memahami pelepasan obat sediaan suspensi yang injeksikan secara


intamuskular?
2) Memahami faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi Absorpsi, Distribusi,
Metabolisme, dan Eliminasi?
3) Memahami mekanisme kerja atau proses perjalanan suspensi yang diinjeksikan
secara intramuskular pada tubuh?
4) Mengetahui saja bentuk obat/ jenis obat yang dapat dibuat untuk sediaan
suspensi intramuskular?

| BIOFARMASI 5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Teori Dasar

Suspensi adalah suatu sistem dimana fasa internalnya tersebar merata


dalam fase eksternal, yang disebut dengan vecichle (pembawa). Fase tersuspensi
dapat berupa solid dan vehicle dapat berupa cairan maupun non cairan. Dispersi
solid dalam vehicle cair dikategorikan sesuai dengan ukuran partikel tersuspensi.

Suspensi parenteral biasanya diberikan secara intramuskular (ke dalam


jaringan otot). Suspensi tidak boleh diberikan secara intravena (ke pembuluh
darah) atau intra-arterially (ke dalam arteri), karena partikel dalam suspensi kering
biasanya lebih besar dari diameter kapiler. Jika hal tersebut berlanjut maka akan
berbahaya di dalam tubuh. Partikel dispersi yang lebih besar dari kapiler darah
dapat mennyumbat pembuluh darah dan menyebabkan kematian terlebih jika pada
pembuluh darah jantung.

Suspensi parenteral biasanya digunakan ketika :

1. Obat memiliki keterbatasan kelarutan di dalam air, dan upaya untuk


melarutkan obat tersebut akan membahayakan keselamatan
2. Pelepasan obat yang dibutuhkan
3. Yang diinginkan adalah efek lokal

Intramuskular (IM), rute IM memungkinkan adsorpsi obat yang lebih


cepat daripada rute SC karena pembuluh darah lebih banyak terdapat di otot.
Bahaya kerusakan jaringan berkurang ketika obat memasuki otot yang dalam
tetapi bila tidak berhati-hati ada resiko menginjeksi obat langsung ke pembuluh
darah. Dengan injeksi di dalam otot yang terlarut berlangsung dalam 10-30 menit,
guna memperlambat adsorbsi dengan maksud memperpanjang kerja obat,
seringkali digunakan larutan atau suspensi dalam minyak umpamanya suspense
penicilin dan hormone kelamin.

| BIOFARMASI 6
Pengertian pemberian obat secara intramuskular adalah pemberian
obat/cairan dengan cara dimasukkan langsung kedalam otot (muskulus).
Pemberian obat dengan cara ini dilakukan pada bagian tubuh yang berotot besar,
agar tidak ada kemungkinan untuk menusuk saraf, misalnya pada bokong dan kaki
bagian atas atau pada lengan bagian atas. Pemberian obat seperti ini
memungkinkan obat akan dilepas secara berkala dalam bentuk depot obat.
Jaringan intramuskular terbentuk dari otot yang bergaris yang mempunyai banyak
vaskularisasi aliran darah tergantung dari posisi otot ditempat penyuntikan.

Injeksi intramuskular menunjukan suatu absorpsi yang lebih cepat


daripada absorpsi sediaan oral, akan tetapi mungkin suatu sediaan intramuskular
dapat melepaskan obat yang relatif lambat. Sediaan obat terjadi bila obat berdifusi
dari otot ke cairan yang mengelilingi jaringan dan kemudian ke darah. Injeksi
suspensi intramuskular dapat diformulasikan untuk pelepasan obat secara cepat
atau lambat dengan mengubah pembawa sediaan injeksi. Larutan biasanya
disistribusikan secara cepat dari tempat injeksi, sedangkan pembawa yang kental
seperti minyak atau suspensi dapat menghasilkan suatu kadar darah yang lambat
dan kadar yang dipertahankan. Pembawa yang kental seperti minyak sebelum
terdistribusi boleh jadi pertama ada partisi ke dalam fase “aqueous”. Suatu obat
yang sangat larut dalam minyak tidak larut dalam air, karena partisi yang lambat
dam mempunyai pelepasan yang relatif lama dan dipertahankan.

Injeksi suspensi yang diberikan melalui rute intramuscular, seluruh obat


akan berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu obat akan masuk ke pembuluh
darah di sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk ke dalam sirkulasi. Cara ini
sesuai untuk bahan obat, baik yang bersifat lipofilik maupun yang hidrofilik.
Kedua bahan obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun
secara kimia. bahkan bentuk sediaan suspensi dapat diterima lewat intramskuler,
begitu juga pembawanya bukan hanya air melainkan yang non air juga dapat.
Hanya saja apabila berupa larutan air harus diperhatikan pH larutan tersebut.

| BIOFARMASI 7
III.2 Kelebihan dan Kekurangan Suspensi Intramuskular

Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat
yang sukar larut seperti dizepam dan penitoin akan mengendap di tempat
suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur.
Kelebihan :
 tidak diperlukan keahlian khusus,
 dapat dipakai untuk pemberian obat larut dalam minyak,
 absorbsi cepat obat larut dalam air.
Kekurangan :
 rasa sakit, tidak dapat dipakai pada gangguan bekuan darah (Clotting
time),
 bioavibilitas bervariasi, obat dapat menggumpal pada lokasi
penyuntikan.

III.3 Daerah Penyuntikan Dalam Pemberian Obat Secara Intramuskular

Tempat untuk injeksi IM adalah :

| BIOFARMASI 8
a. Paha (vastus lateralis)
posisi klien terlentang dengan lutut agak fleksi. Area ini terletak antar sisi
median anterior dan sisi midlateral paha. Otot vastus lateralis biasanya tebal
dan tumbuh secara baik pada orang deawasa dan anak-anak. Bila melakukan
injeksi pada bayi disarankan menggunakan area ini karena pada area ini tidak
terdapat serabut saraf dan pemubuluh darah besar. Area injeksi disarankan
pada 1/3 bagian yang tengah. Area ini ditentukan dengan cara membagi area
antara trokanter mayor sampai dengan kondila femur lateral menjadi 3
bagian, lalu pilih area tengah untuk lokasi injeksi. Untuk melakukan injeksi
ini pasian dapat diatur miring atau duduk.
b. Ventrogluteal
Posisi klien berbaring miring, telentang, atau telentang dengan lutut atau
panggul miring dengan tempat yang diinjeksi fleksi. Area ini juga disebut
area von hoehstetter. Area ini paling banyak dipilih untuk injeksi muscular
karena pada area ini tidak terdapat pembuluh darah dan saraf besar. Area ini
ini jauh dari anus sehingga tidak atau kurang terkontaminasi
c. Dorsogluteal
Dalam melakukan injeksi dorsogluteal, perawat harus teliti dan hati- hati
sehingga injeksi tidak mengenai saraf skiatik dan pembuluh darah. Lokasi ini
dapat digunakan pada orang dewasa dan anak-anak diatas usia 3 tahun, lokasi
ini tidak boleh digunakan pada anak dibawah 3 tahun karena kelompok usia
ini otot dorsogluteal belum berkembang. Salah satu cara menentukan lokasi
dorsogluteal adalah membagi area glutael menjadi kuadran-kuadran. Area
glutael tidak terbatas hanya pada bokong saja tetapi memanjang kearah
Kristal iliaka. Area injeksi dipilih pada kuadran area luar atas.
d. Rectus femoris
Pada orang dewasa, rectus femoris terletak pada sepertiga tengah paha bagian
depan.Pada bayi atau orang tua, kadang-kadang kulit di atasnya perlu ditarik
atau sedikit dicubit untuk membantu jarum mencapai kedalaman yang tepat.
Volume injeksi ideal antara 1-5 ml (untuk bayi antara 1-3 ml).Lokasi ini
jarang digunakan, namun biasanya sangat penting untuk melakukan auto-
injection, misalnya pasien dengan riwayat alergi berat biasanya menggunakan
tempat ini untuk menyuntikkan steroid injeksi yang mereka bawa kemana-
mana

| BIOFARMASI 9
e. Otot Deltoid di lengan atas
Posisi klien duduk atau berbaring datar dengan lengan bawah fleksi tetapi
rileks menyilangi abdomen atau pangkuan. Area ini dapat ditemukan pada
lengan atas bagian luar. Area ini jarang digunakan untuk injeksi intramuscular
karena mempunyai resiko besar terhadap bahaya tertusuknya pembuluh
darah, mengenai tulang atau serabut saraf. Cara sederhana untuk menentukan
lokasi pada deltoid adalah meletakkan dua jari secara vertical dibawah
akromion dengan jari yang atas diatas akromion. Lokasi injekssi adalah 3 jari
dibawah akromion.

III.4 Tujuan Injeksi Intramuskular


a. Pemberian obat dengan intramuscular bertujuan agar absorpsi obat lebih cepat
disbanding dengan pemberian secara subcutan karena lebih banyaknya suplai
darah di otot tubuh
b. Untuk memasukkan dalam jumlah yang lebih besar disbanding obat yang
diberikan melalui subcutan.
c. Pemberian dengan cara ini dapat pula mencegah atau mengurangi iritasi obat.
Namun harus nerhati-hati dalam melakukan injeksi secara intramuscular
karena cara ini dapat menyebabkan luka pada kulit dan rasa nyeri dan rasa
takut pad pasien.

III.5 Mekanisme Fisiologis


Jaringan intramuskular: terbentuk dari otot bergaris yang mempunyai
banyak vaskularisasi (setiap 20 mm3 terdiri dari 200 otot dan 700 kapiler darah).
Aliran darah tergantung dari posisi otot di tempat penyuntikkan.
Obat masuk kedalam tubuh beberapa saat setelah diinjeksikan, obat akan
masuk ke dalam tubuh melalui pembuluh darah, mengikuti aliran darah, disana
obat akan di absorbsi oleh tubuh, Setelah di absorbsi partikel obat yang telah
terabsorbsi akan di edarkan oleh darah ke seluruh tubuh lainnya, namun disini
belum memberikan efek karena belum tepat pada organ target sesuai dengan
fungsi obat itu sebagai apa, entah sebagai analgesik, antipiretik, antiemesis, dan
lain sebagainya. Selanjutnya setelah obat di distribusikan ke seluruh tubuh, karena
obat belum memberikan efek , obat akan di metabolisme oleh hati, di hati ini obat
akan dipisahkan berbagai komponenenya, partikel obat yang dibutuhkan oleh
organ target akan di edarkan ke organ target tersebut untuk memberikan efek

| BIOFARMASI 10
sesuai dengan masalah ( penyakit ) yang akan diatasi, sedangkan bagian partikel
yang tidak dibutuhkan tubuh akan di ekskresikan oleh tubuh baik melalui
keringat, urine, dan lain sebagainya

III.6 Faktor Fisiologi


Selain sifat fisikokimia obat dan formulasi, faktor fisiologis juga
mempengaruhi absorpsi obat dari suspensi parenteral. Seperti yang telah dibahas
di atas, obat-obatan diberikan melalui rute intramuscular atau subkutan sehingga
memerlukan langkah penyerapan. Mengingat bahwa obat ini diserap dengan
proses difusi ke dalam kapiler darah dari tempat penyuntikan, maka semakin besar
aliran darah pada tempat suntikan, semakin cepat penyerapan obat. Dengan
demikian, besarnya aliran darah di tempat penyuntikan juga mempengaruhi
tingkat penyerapan. Sebagai contoh, epinefrin menghambat aliran darah pada
tempat penyuntikan akibatnya penyerapan menjadi lambat. Peningkatan aktivitas
otot juga dapat meningkatan laju aliran darah sehingga absorpsi meningkat. Untuk
penyuntikan intramuskular, dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
bioavailabilitas. Ketika pasien diberikan 200 mg lidocaine ke intramuscular,
tingkat penyerapan obat mengikuti urutan layer yang dilewatinya.

III.7 Biofarmasetika
Obat yang diberikan secara intravena memiliki aksi yang cepat karena
hanya memerlukan interval 2 – 3 menit untuk bercampur dalam aliran darah hal
ini dikarenakan tidak diperlukan waktu penyerapan. Pemberian rute
intramuscular ini tetap melalui tahap penyerapan. Bioavailabilitas dari obat yang
diberikan secara intramuscular tergantung dari faktor fisiologis dan sifat fisika –
kimia obat. Proses obat yang terjadi di dalam tubuh :

Obat padat  Obat larut di daalam cairan tubuh  Obat diserap ke dalam tubuh  Obat
masuk kedalam sirkulasi darah  Efek

| BIOFARMASI 11
III.8 Pengaruh Sifat Fisika Kimia Obat Terhadap Bioavailabilitas
Laju disolusi obat dari depot dipengaruhi oleh luas permukaan obat yang
terkena cairan interstitial serta ukuran partikel rata-rata obat. Hubungan ini
dikenal dengan persamaan Noyes – Whitney :

Dimana :

Dm / dt = laju disolusi

K = konstanta

D = koefisien difusi obat dalam cairan interstitial

S = luas permukaan obat terkena medium

Cs = kelarutan obat yang seimbang dalam cairan interstitial

C = konsentrasi obat dalam cairan interstitial setiap satuan waktu

Dari persamaan Noyes – Whitney terlihat bahwa kinetika pelarutan dapat


diepngaruhi oleh sifat fisikokimia obat, formulasi, dan pelarut.

| BIOFARMASI 12
BAB III

PEMBAHASAN

III.1 Pelepasan Suspensi Intramuskular


Obat yang diinjeksikan ke dalam massa otot, obat harus mencapai sistem
sirkulasi atau cairan tubuh yang lain untuk dapat berada dalam sistemik. Anatomi
tempat injeksi intramuskular akan mempengaruhi laju absorpsi obat. Suatu obat
yang diinjeksikan dalam otot deltoid diabsorpsi lebih cepat daripada obat yang
sama yang di injeksikan ke dalam gluteus maksimus karena aliran darah dalam
otot deltoid lebih baik. Pada umumnya, bioavaibilitas terbesar yang harus
diberikan untuk memastikan efek terapetik yang maksimum. Pemberian
intramuskuler memberikan efek “depot” (lepas lambat), puncak konsentrasi dalam
darah dicapai setelah 1-2 jam. Injeksi suspensi yang diberikan melalui rute
intramuscular, seluruh obat akan berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu
obat akan masuk ke pembuluh darah di sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk
ke dalam sirkulasi.

Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses transmembran bagi


umumnya obat – obat. Tenaga pendorong untuk difusi pasif adalah perbedaan
konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel. Dimana obat berdifusi dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Cara ini sesuai untuk bahan
obat , baik yang bersifat lipofilik maupun yang hidrofilik. Kedua bahan obat itu
dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun secara kimia. bahkan
bentuk sediaan larutan, suspensi, atau emulsi juga dapat diterima lewat
intramskuler, begitu juga pembawanya bukan hanya air melainkan yang non air
juga dapat. Hanya saja apabila berupa larutan air harus diperhatikan pH larutan
tersebut.

Faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari jaringan otot (im) antara
lain : rheologi produk, konsentrasi dan ukuran partikel obat dalam pembawa,
bahan pembawa, volume injeksi, tonisitas produk dan bentuk fisik dari produk.
Persyaratan pH sebaiknya diperhatikan, karena masalah iritasi, tetapi dapat dibuat
pH antara 3-5 kalau bentuk suspensi ukuran partikel kurang dari 50 mikron.

| BIOFARMASI 13
III.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi ADME

a. Absorpsi Suspensi Intamuskular Melalaui Dinding Kapiler


Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah
saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. (Gunawan,
2009).
Injeksi intramuskular menunjukan suatu absorpsi yang lebih cepat
daripada absorpsi sediaan oral, akan tetapi mungkin suatu sediaan intramuskular
dapat melepaskan obat yang relatif lambat. Sediaan obat terjadi bila obat berdifusi
dari otot ke cairan yang mengelilingi jaringan dan kemudian ke darah. Injeksi
suspensi intramuskular dapat diformulasikan untuk pelepasan obat secara cepat
atau lambat dengan mengubah pembawa sediaan injeksi.

Obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat berupa larutan


dalam air atau preparat depo khusus sering berupa suspensi obat dalam vehikulum
non aqua seperti etilenglikol. Absorbsi obat dalam larutan cepat sedangkan
absorbsi preparat-preparat depo berlangsung lambat. Kelarutan obat dalam air
menentukan ketepatan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut seperti
dizepam dan penitoin akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsi obat
berjalan lambat. Setelah vehikulum berdifusi keluar dari otot, obat tersebut
mengendap pada tempat suntikan. Kemudian obat melarut perlahan-lahan
memberikan suatu dosis sedikit demi sedikit untuk waktu yang lebih lama dengan
efek terapetik yang panjang.
Absorpsi suspensi obat intramuskular tergantung dari:
1. Aliran darah
2. Permeabilitas kapiler darah
3. Kepadatan jaringan di daerah penyuntikkan
4. Laju pelepasan zat aktif
5. Mekanisme absorpsi: difusi pasif, filtrasi, dan pinositosis
6. Adanya vasodilator dan vasokonstriktor

| BIOFARMASI 14
Pengaruh pembawa dapat mempengaruhi aksi kerja obat
1. Suspensi larut air: aksi obat akan diperlambat karena adanya zat pengsuspensi,
tergantung kepada besarnya obat. (100 μm). Zat pengsuspensi merupakan
polimer larut air sehingga meningkatkan viskositas.
2. Larutan dan suspensi dalam minyak: pelepasan zat aktif lebih lama
dibandingkan dalam larutan air.

Pengendapan zat aktif terjadi karena:


 Adanya perbedaan pH antara pembawa dan cairan biologik
 Pengaruh pengenceran oleh cairan intestinal (penggunaan pelarut campur)
Pengendapan dapat menyebabkan aksi obat diperlambat.

Obat suspensi injeksi intamuskular biasanya berdifusi melalui kapiler


membran sel dalam kompartemen vaskular sebaliknya yang berdifusi melalui
membran sel dari kapiler otak, dimana obat berdifusi lambat ke dalam otak seolah
– olah terdapat membran lipid yang tebal. Obat yang berada di dalam lingkungan
depot akan masuk kedalam pembuluh darah melalui dinding kapiler dengan tebal
dinding 0,5 mm. Obat dapat masuk melalui lorong yang menghubungkan antara
interior dan eksterior. Kemampuan obat dalam melewati membran ini tergantung
dari besarnya ukuran partikel dan luas permukaan membran dan pH obat
(ionisasi) serta kelarutan obat. Hubungan ini adalah dinyatakan oleh persamaan
Henderson-Hasselbach untuk asam lemah, dinyatakan sebagai berikut:

Dimana :

A dan HA adalah konsentrasi terionisasi dari masing-masing zat.


Keterkaitan antara disosiasi konstan, dan penyerapan obat adalah
dasar untuk hipotesis pH-partisi.

Absorpsi obat dari depot umumnya mengalami disolusi terbatas. Pengaruh


proses penyerapan ditentukan oleh waktu dan kadar obat dalam plasma (C)
seperti ditunjukkan pada Gambar dibawah ini :

| BIOFARMASI 15
a. Distribusi Suspensi Intramuskular

Pemberian suspensi secara intramuskular molekul obat bercampur dengan cairan


tubuh atau jaringan, lalu masuk ke dalam peredaran darah dan kemudian
didistribusikan ke jaringan tempat obat bekerja. Distribusi obat injeksi suspesi
yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor yaitu:
a. Aliran darah. Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke
organ berdasarkan jumlah aliran darah. Organ dengan aliran darah terbesar
adalah jantung, hepar, dan ginjal. Sedangkan distribusi ke organ lain seperti
kulit, lemak, dan otot lebih lambat
b. Permeabilitas kapiler. Distribusi obat tergantung pada struktur kapiler dan
struktur obat.
c. Ikatan protein. Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan
protein dapat terikat atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak
dapat bekerja. Hanya obat bebas yang dapat memberikan efek. Obat
dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat terikat protein
Pada Tubuh manusia terdiri atas berbagai struktur jaringan dengan perbedaan
karakteristik lipofilik. Perbedaan sifat dan struktur jaringan menyebabkan
konsentrasi obat tidak sama dalam jaringan tubuh. Maka, karakteristik distribusi
obat, erat kaitannya dengan respon farmakologi.

| BIOFARMASI 16
b. Metabolisme Suspensi Intramuskular

Proses metabolisme obat di dalam tubuh melibatkan proses biotransformasi


obat secara kimiawi, hal ini terjadi dalam lingkungan biologis. Sebagian besar
reaksi metabolisme merubah obat menjadi bentuk metabolit yang lebih larut
dalam air daan siap dieksresikan melalui ginjal. Tempat utama metabolisme obat
parenteral adalah di hati, namun dapat terjadi di ginjal dan jaringan otot. Faktor-
faktor yang mempengaruhi kecepatan metabolisme obat yaitu faktor genetik,
umur, lingkungan dan penyakit yang diderita.

Reaksi biokimia yg terjadi pada metabolisme obat:


 Rx biokimia yg terjadi pada metabolisme obat:
 Reaksi fase I
Oksidasi, reduksi dan hidrolisis
Mengubah obat menjadi lebih polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang
aktif/lebih aktif dr sebelumnya.
 Reaksi fase II
Reaksi sintetik/konjugasi obat, metabolit hsl reaksi fase I dengan substat
endogen seperti: as.glukuronat, sulfat, asetat/as.amino, hsl konjugasi ini
bersifat lebih polar, lebih mudah terionisasi dan lebih mudah dikeluarkan.

| BIOFARMASI 17
Faktor – faktor yang mempengaruhi biafarmasi obat yaitu :

1. Faktor Intrinsik
Meliputi sifat yang dimiliki obat seperti sifat fisika-kimia obat, lipofilitas,
dosis, dan cara pemberian. Banyak obat, terutama yang lipofil dapat
menstimulir pembentukan dan aktivitas enzim-enzim hati. Sebaliknya
dikenal pula obat yang menghambat atau menginaktifkan enzim tersebut,
misalnya anti koagulansia, antidiabetika oral, sulfonamide,
antidepresivatrisiklis, metronidazol, allopurinol dan disulfiram (Tan
HoanTjay dkk., 1978).

2. Faktor-Fisiologi meliputi sifat-sifat yang dimiliki makhluk hidup seperti:


jenis atau spesies, genetik, umur, dan jenis kelamin.
a. Perbedaan Spesies dan Galur
Dalam proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada
spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-
kadang ada perbedaan yang cukup besar pada reaksi metabolismenya.
Pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan galur terhadap metabolisme
obat sudah banyak dilakukan yaitu pada tipe reaksi metabolik atau
perbedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolismenya atau perbedaan
kuantitatif (Siswandono dan Soekardjo,2000).

b. Faktor Genetik
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-
kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa
faktor genetik atau keturunan berperan terhadap kecepatan metabolisme
obat (Siswandono dan Soekardjo,2000).

c. Perbedaan umur
Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati mungkin menurun, tapi
biasanya yang lebih penting adalah menurunnya fungsi ginjal. Pada usia
65 tahun, laju filtrasi Glomerulus (LFG) menurun sampai 30% dan tiap 1
tahun berikutnya menurun lagi 1-2% (sebagai akibat hilangnya sel dan
penurunan aliran darah ginjal). Oleh karena itu ,orang lanjut usia
membutuhkan beberapa obat dengan dosis lebih kecil daripada orang
muda (Neal,2005).

| BIOFARMASI 18
d. Perbedaan Jenis Kelamin
Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis
kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat. Pada manusia baru
sedikit yang diketahui tentang adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin
terhadap metabolisme obat. Contoh: nikotin dan asetosaldimetabolisme
secara berbeda pada pria dan wanita.

3. Faktor Farmakologi
Meliputi inhibisi enzim oleh inhibitor dan induksi enzim oleh induktor.
Kenaikan aktivitas enzim menyebabkan lebih cepatnya metabolisme
(deaktivasi obat). Akibatnya, kadar dalam plasma berkurang dan
memperpendek waktu paro obat. Karena itu intensitas dan efek
farmakologinya berkurang dan sebaliknya.

4. Faktor Patologi
Menyangkut jenis dan kondisi penyakit. Contohnya pada penderita stroke,
pemberian fenobarbital bersama dengan warfarin secara agonis akan
mengurangi efek anti koagulasinya (sehingga sumbatan pembuluh darah
dapat dibuka). Demikian pula simetidin (antagonis reseptor H2) akan
menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam memetabolisme obat-obat lain.

5. Faktor Makanan
Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan protein. Makanan panggang arang dan
sayur mayurcruciferous diketahui menginduksi enzim CYP1A, sedang jus
buah anggur diketahui menghambat metabolisme oleh CYP3A terhadap
substrat obat yang diberikan secara bersamaan.

6. Faktor Lingkungan
Adanya insektisida dan logam-logam berat. Perokok sigaret memetabolisme
beberapa obat lebih cepat daripada yang tidak merokok, karena terjadi
induksi enzim. Perbedaan yang demikian mempersulit penentuan dosis yang
efektif dan aman dari obat-obat yang mempunyai indeks terapi sempit.

| BIOFARMASI 19
7. Induksi Enzim
Banyak obat mampu menaikkan kapasitas metabolismenya sendiri dengan
induksi enzim (menaikkan kapasitas biosintesis enzim). Induktor dapat
dibedakan menjadi dua menurut enzim yang di induksinya,antara lain:
a. Jenis fenobarbital
b. Jenis metilkolantrena

Untuk terapi dengan obat, induktor enzim memberi akibat berikut:

a. Pada pengobatan jangka panjang dengan induktor enzim terjadi


penurunan konsentrasi bahan obat yang dapat mencapai tingkat
konsentrasi dalam plasma pada awal pengobatan dengan dosis tertentu.
b. Kadar bahan berkhasiat tubuh sendiri dalam plasma dapat menurun
sampai dibawah angka normal.
c. Pada pemberian bersama dengan obat lain terdapat banyak interaksi obat
yang kadang-kadang berbahaya. Selama pemberian induktor enzim,
konsentrasi obat kedua dalam darah dapat juga menurun sehingga
diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang sama
(Ernst Mutschler,1991).
d. Inhibisi enzim
Inhibisi (penghambatan) enzim bisa menyebabkan interaksi obat yang
tidak diharapkan. Interaksi ini cenderung terjadi lebih cepat daripada
yang melibatkan induksi enzim karena interaksi ini terjadi setelah obat
yang dihambat mencapai konsentrasi yang cukup tinggi untuk
berkompetisi dengan obat yang dipengaruhi (Neal,2005)

c. Eliminasi Suspensi Intramuskular

Eliminasi obat suspensi injeksi dan metabolitnya merupakan tahapan


terakhir dari aktivitas serta keberadaan obat dalam tubuh yaitu proses
pembuangan obat dari tubuh pasien. Molekul obat yang masuk ke dalam tubuh
dikeluarkan melalui beberapa saluran. Obat akan diekskresikan dari tubuh
bersama dengan berbagai cairan tubuh melalui beberapa perjalanan. Organ yg
paling berperan dalam ekskresi obat : Ginjal, Ginjal merupakan organ utama
untuk mengeliminasi obat bersama urin.

| BIOFARMASI 20
Ada 3 proses di ginjal :
 Filtrasi di glomerulus
 Sekresi aktif di tubuli proksimal
 Reabsorpsi pasif di tubuli proksimal & distal.
 Dikeluarkan melalui urine (air kencing)
Organ lain yang dapat mengeksresikan obat yaitu : empedu, paru, air ludah, ASI,
kulit dan rambut dlm jumlah kecil. Metabolit obat yg terbentuk di hati
diekskresikan ke dalam usus melalui empedu dikeluarkan melauli faeces (buang
air besar)

III.3 Mekanisme Kerja Atau Proses Perjalanan Suspensi Intramuskular


a. Prosedur
o Persiapkan alat terlebih dahulu.
o Letakkan alat didekat pasien agar lebih mudah.
o Pastikan apakah obat yang akan diberikan kepada pasien dan pasiennya tepat
dengan cara melihat label obat dan buku catatan.
o Jelaskan kepada pasien tindakan yang akan dilakukan.
o Cuci tangan sebelum melakukan tindakan.
o Pakai hands coen.
o Ambil spuit, kemudian lepaskan penutupnya.
o Ambil obat kemudian masukkan kedalam spuit sesuai dengan dosis, setelah
itu letakkan kedalam bak injeksi. Sebelum itu pastikan lagi apakah obat yang
akan diberikan sudah benar.
o Periksa tempat yang akan dilakukan tindakan penyuntikan.
o Desinfeksi dengan kapas alkohol daerah yang dilakukan penyuntikan.
o Lakukan penusukan dengan posisi jarum tegak lurus.
o Setelah jarum masuk, lakukan aspirasi spuit. Bila tidak ada darah, masukkan
obat secara perlahan hingga habis.
o Setelah selesai ambil spuit dengan menarik spuit dan tekan daerah
penyuntikan dengan kapas alkohol, tutup spuit kembali dan kemudian
letakkan spuit yang telah digunakan kedalam bengkok.
o Lihat kembali obat yang telah diberikan kepada pasien.
o Catat reaksi, jumlah dosis, dan waktu pemberian.
o Lepaskan handscoen dan bersihkan peralatan yang telah digunakan.
o Cuci tangan.

| BIOFARMASI 21
Injeksi intramuskular menunjukan suatu absorpsi yang lebih cepat
daripada absorpsi sediaan oral, akan tetapi mungkin suatu sediaan intramuskular
dapat melepaskan obat yang relatif lambat. Sediaan obat terjadi bila obat
berdifusi dari otot ke cairan yang mengelilingi jaringan dan kemudian ke darah.
Obat suspensi injeksi biasanya berdifusi sangat cepat melalui kapiler membran
sel dalam kompartemen vaskular sebaliknya yang berdifusi melalui membran
sel dari kapiler otak, dimana obat berdifusi lambat ke dalam otak seolah – olah
terdapat membran lipid yang tebal. Kemudian obat melarut perlahan-lahan
memberikan suatu dosis sedikit demi sedikit untuk waktu yang lebih lama
dengan efek terapetik yang panjang. Distribusi obat injeksi suspesi yang telah
diabsorpsi molekul obat terdistribusi dengan cairan tubuh atau jaringan, lalu
masuk ke dalam peredaran darah dan kemudian didistribusikan ke jaringan
tempat obat bekerja. reaksi metabolisme merubah obat menjadi bentuk metabolit
yang lebih larut dalam air dan siap dieksresikan melalui ginjal. proses
pembuangan obat dari tubuh pasien. Molekul obat yang masuk ke dalam tubuh
dikeluarkan melalui beberapa saluran. Obat akan diekskresikan dari tubuh
bersama dengan berbagai cairan tubuh melalui beberapa perjalanan. Organ yg
paling berperan dalam ekskresi obat : Ginjal yang merupakan organ utama untuk
mengeliminasi obat bersama urin.

III.4 Bentuk Obat/ Jenis Obat Yang Dapat Dibuat Untuk Sediaan Suspensi
Intramuskular

Contoh dari sediaan suspensi injeksi intramuskular yaitu Suspensi Penisilin G

| BIOFARMASI 22
AKTIVITAS DAN MEKANISME KERJA

Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis


dinding sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif, akan berefek bakterisid
pada mikroba yang sedang aktif membelah. Mikroba dalam keadaan metabolik
tidak aktif (tidak membelah) praktis tidak dipengaruhi oleh penisilin, kalaupun
ada cuma bakterostatik.Mekanisme kerja antibiotik betalaktam dapat diringkas
dengan urutan sebagai berikut:
1. Obat bergabung dengan Penisilin binding protein (PBP) pada kuman
2. Terjadi hambatan sintesis dinding sel kuman karena proses transpeptidasi
antar rantai peptidoglikan terganggu.
3. Kemudian terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel.

Di antara semua penisilin, Penisilin G mempunyai aktivitas terbaik terhadap


kuman gram positif yang sensitif. Kelompok ampisilin, walaupun spektrumnya
lebar, aktivitasnya terhadap mikroba gram positif tidak sekuat Penisilin G, tetapi
efektif terhadap beberapa mikroba gram negatif dan tahan asam, sehingga dapat
diberikan per oral.

ABSORBSI
Penisilin G mudah rusak dalam suasana asam (pH 2). Cairan lambung dengan
dengan pH 4 tidak terlalu merusak penisilin. Adanya makanan akan menghambat
absorbsi yang mungkin disebabkan absorbsi penisilin pada makanan. Kadar
maksimal dalam darah tercapai dalam 30-60 menit. Sisa 2/3 dari dosis oral
diteruskan ke kolon. Di sini terjadi pemecahan oleh bakteri dan hanya sebagian
kecil obat yang keluar bersama tinja. Bila dibandingkan dosis oral terhadap IM,
maka untuk mendapatkan kadar efektif dalam darah, dosis penisilin G oral haruslah
4 sampai 5 kali lebih besar daripada dosis IM. Oleh karena itu penisilin G tidak
dianjurkan untuk diberikan oral. Untuk memperlambat absorbsinya, Penisilin G
dapat diberikan dalam bentuk repositori umpamanya penisilin G benzatin, penisilin
G prokain sebagai suspensi dalam air atau minyak. Jumlah ampisilin dan senyawa
sejenisnya yang diabsorbsi pada pemberian oral dipengaruhi besarnya dosis dan ada
tidaknya makanan dalam saluran cerna. Dengan dosis lebih kecil persentase yang
diabsorbsi relatif lebih besar. Absorbsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik
daripada ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin mencapai kadar
dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali labih tinggi daripada yang dicapai

| BIOFARMASI 23
ampisilin, sedang masa paruh eliminasi kedua obat ini hampir sama. Penyerapan
ampisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung, sedang amoksisilin tidak.

DISTRIBUSI

Penisilin G terdistribusi luas dalam tubuh. Ikatan proteinnya 65%. Kadar obat yang
memadai dapat tercapai dalam hati, empedu, ginjal, usus, limfe dan semen, tetapi
dalam CSS sukar dicapai. Pemeberian intratekal jarang dikerjakan karena resiko
yang lebih tinggi dan efektifitasnya tidak lebih memuaskan. Ampisilin juga
didistribusi luas di dalam tubuh dan pengikatannya oleh protein plasma hanya 20%.
Penetrasi ke CSS dapat mencapai kadar efektif pada keadaan peradangan
meningen. Pada bronkitis atau pneumonia ampisilin disekresi ke dalam sputum
sekitar 10% kadar serum. Distribusi amoksisilin secara garis besar sama dengan
ampisilin

BIOTRANSFORMASI DAN EKSKRESI

Biotransformasi penisilin umumnya dilakukan oleh mikroba. Proses


biotransformasi oleh hospes tidak bermakna berdasarkan pengaruh enzim
penisilinase dan amidase. Amidase memecah rantai samping (radikal ekor), dengan
akibat penurunan potensi antimikroba yang sangat mencolok.

Penisilin umumnya diekskresi melalui proses sekresi di tubuli ginjal yang dihambat
oleh probenesid, masa paruh eliminasi penisilin dalam darah diperpanjang oleh
probenesid menjadi 2-3 kali lebih lama.

Selain probenesid, beberapa obat lain juga menngkatkan masa paruh waktu
eliminasi penisislin dalam darah, antara lain fenilbutazon, sulfinpirazon, asetosal
dan indometasin. Kegagalan fungsi ginjal akan memperlambat ekskresi penisilin.

EFEK SAMPING

Pada umumnya pemberian parenteral menimbulkan efek samping yaitu Rekasi


alergi dan Reaksi toksik dan iritasi lokal.

PERUBAHAN BIOLOGIK

| BIOFARMASI 24
Perubahan biologik oleh penisilin terjadi akibat gangguan flora normal bakteri di
berbagai bagian tubuh. Abses dapat terjadi pada tempat suntikan dengan penyebab
stafilkokus atau bakteri gram negatif. Hambatan pembentukan imunitas terhadap
mikroba penyebeb infeksi dapat terjadi terutama bila penisilin diberikan terlalu dini
dalam proses infeksi dan diberikan dalam dosis besar.

SEDIAAN

a. Fenoksimetil penisilin
b. Ampisilin
c. Amoksisilin

DOSIS
a. Infeksi Anthrax: 10.000 unit/kg BB interval 12 jam
b. Infeksi mastitis: 300.000 unit/kwartil interval 24-48 jam
c. Infeksi Clostridium, Actinobacillosis dan Leptospirosis 10.000 unit/kg BB

PENGGUNAAN KLINIK

Infeksi Kokus Gram Positif

 Infeksi Pneumokokus. Penisilin G sampai sekarang masih efektif terhadap


semua jenis infeksi pneumokokus, antara lain pneumonia, meningitis,
endokarditis.
 Infeksi streptokokus
 Infeksi Stafilokokus

Infeksi Kokus Gram Negatif

 Infeksi meningokokus
 Infeksi gonokokus

Contoh sediaan obat injeksi suspensi intamuskular lainnya yaitu injeksi suspensi
kamfer, injeksi kinin antipirin, injeksi fenilbutazon, dan injeksi suspensi kortison
asetat.

| BIOFARMASI 25
Keuntungan

 Relatif bebas dari saraf utama dan cabang-cabang vascular


 Batas jelas dengan petanda anatomis tulang
 Lapisan lemak lebih tipis dari pada tempat dorsogluteal
 Massa otot cukup untuk suntikan IM salam atau Z-track
 Mudah dicapai dari beberapa posisi klien

Kerugian
 Jika terjadi reaksi hipersenstivitas, tidak dapat dipasang torkinet untuk
menghambat absopsi.
 Professional kesehatan tidak biasa dengan tempat ini

| BIOFARMASI 26
BAB IV

PENUTUP

IV.1 Kesimpulan

Injeksi suspensi intramuskular umumnya digunakan untuk larutan yang


volumenya cukup besar, larutan yang berminya, dan mengiritasi. Pemberian
intramuskuler memberikan efek pelepasan “depot” (lepas lambat), puncak
konsentrasi dalam darah dicapai setelah 1-2 jam. Injeksi suspensi yang diberikan
melalui rute intramuscular, seluruh obat akan berada di tempat itu. Dari tempat
suntikan itu obat akan masuk ke pembuluh darah di sekitarnya secara difusi pasif,
baru masuk ke dalam sirkulasi. Pola absorpsi suspensi intramuskular atau
preparat-preparat depo berlangsung lambat. Setelah vehikulum berdifusi keluar
dari otot, obat tersebut mengendap pada tempat suntikan. Kemudian obat melarut
perlahan-lahan memberikan suatu dosis sedikit demi sedikit untuk waktu yang
lebih lama dengan efek terapetik yang panjang. Suspensi secara intramuskular
molekul obat terdistribusi dengan cairan tubuh atau jaringan, lalu masuk ke dalam
peredaran darah dan kemudian didistribusikan ke jaringan tempat obat bekerja.
reaksi metabolisme merubah obat menjadi bentuk metabolit yang lebih larut
dalam air dan siap dieksresikan melalui ginjal. Tempat utama metabolisme obat
parenteral adalah di hati, namun dapat terjadi di ginjal dan jaringan otot.

Keterbatasan dari suspensi intamuskular yaitu pada pengobatan


antikoagulan dapat memepengaruhi interpretasi diagnostic tertentu seperti creatin
kinase.

IV.2 Saran
Pada pemberian injeksi suspensi intramuskular perlu diperhatikan faktor – faktor
yang dapat mempengaruhi proses injeksi hal ini perlu dilakukan mengingat
beberapa obat dapat menimbulkan efek yang merugikan yang dapat berakibat fatal
dan apabila pemberian obat tersebut tidak sesuai dengan anjuran yang sebenarnya
Oleh karena itu, kita sebagai farmasi kiranya harus memahami mengenai proses
mekanisme perjalanan obat serta faktor – faktor yang menyertainya.

| BIOFARMASI 27
DAFTAR PUSTAKA

1. Shargel, L. Dan Andrew B.C.Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan

Surabaya: Airlangga University Press.

2. Shargel, L. Dan Andrew B.C.Yu. 1999. Applied Biofarmasetic and

Pharmakokinetics. 4th edn. Prentice-Hall International Inc. London.


3. Pharmaceutical Dosage Forms: Parenteral Medications, Volume I, Kenneth A.
Avis, Leon Lachman dan Herbert A. Lieberman, Marcel Dekker, Inc., New York,
1984, halaman 14-16.
4. The United Stated Pharmacopeia XX/NF-XV. Easton, Mark Publishing Co., 1980,
p. 960.
5. Jin JF, Zhu LL, Chen M, et al. The optimal choice of medication administration
route regarding intramuscular. Patient Prefer Adherence. 2015; 9: 923–42.

| BIOFARMASI 28

Anda mungkin juga menyukai