Disusun oleh :
Kelompok 5
Teknologi Steril Kelas C – Jumat, 08.00 – 09.40
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karuniaNya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun dalam
rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Farmakoterapi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Teknologi Sediaan
Steril, Dr. Raditya Iswandana, M. Farm., Apt., karena telah membimbing kami sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua kami yang
telah memberi dukungan moril dan materil, serta kepada teman-teman yang telah membantu kami
dalam proses pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, tim penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari para pembaca.
ii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dalam dunia kefarmasian terdapat berbagai macam bentuk sediaan, salah
satunya yaitu injeksi. Injeksi merupakan salah satu dari sediaan steril yang diberikan secara
parenteral, baik intravena, intratekal, intramuskular, subkutan, dan lain sebagainya. Dalam
klasifikasinya berdasarkan volume sediaan, injeksi parenteral dibagi menjadi SVPs (small
volume parenterals) dan LVPs (large volume parenterals). Injeksi juga dapat diberikan
dalam bentuk suspensi ataupun emulsi, bergantung pada kestabilan dan kelarutan zat
aktifnya. Pembuatan sediaan-sediaan tersebut harus memperhatikan berbagai aspek,
terutama ditinjau dari segi sediaan injeksi. Umumnya, sediaan injeksi harus bersifat bebas
mikroba, kelarutan, adanya zat tambahan, volume yang diberikan, bebas pirogen, dan lain
sebagainya.
1.2.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas penulis pada makalah ini, yaitu :
1. Apakah definisi dan jenis Injeksi parenteral volume kecil dan injeksi parenteral
volume besar, injeksi bentuk suspensi, dan injeksi bentuk emulsi?
2. Apa saja aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam sediaan Injeksi parenteral
volume kecil dan injeksi parenteral volume besar, injeksi bentuk suspensi, dan
injeksi bentuk emulsi?
3. Apa saja contoh sediaan Injeksi parenteral volume kecil dan injeksi parenteral
volume besar, injeksi bentuk suspensi, dan injeksi bentuk emulsi?
4. Bagaimanakah rute pemberian Injeksi parenteral volume kecil dan injeksi
parenteral volume besar, injeksi bentuk suspensi, dan injeksi bentuk emulsi?
5. Apakah bahan utama dan fungsi bahan tersebut dalam sediaan Injeksi parenteral
volume kecil dan injeksi parenteral volume besar, injeksi bentuk suspensi, dan
injeksi bentuk emulsi?
6. Apa saja contoh formulasi sediaan Injeksi parenteral volume kecil dan injeksi
parenteral volume besar, injeksi bentuk suspensi, dan injeksi bentuk emulsi?
1
1.3.Tujuan Penulisan Makalah
1. Mengetahui definisi dan jenis Injeksi parenteral volume kecil dan injeksi parenteral
volume besar, injeksi bentuk suspensi, dan injeksi bentuk emulsi.
2. Mengetahui aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam sediaan Injeksi parenteral
volume kecil dan injeksi parenteral volume besar, injeksi bentuk suspensi, dan
injeksi bentuk emulsi.
3. Mengetahui contoh sediaan Injeksi parenteral volume kecil dan injeksi parenteral
volume besar, injeksi bentuk suspensi, dan injeksi bentuk emulsi.
4. Mengetahui rute pemberian Injeksi parenteral volume kecil dan injeksi parenteral
volume besar, injeksi bentuk suspensi, dan injeksi bentuk emulsi.
5. Mengetahui bahan utama dan fungsi bahan tersebut dalam sediaan Injeksi
parenteral volume kecil dan injeksi parenteral volume besar, injeksi bentuk
suspensi, dan injeksi bentuk emulsi.
6. Mengetahui contoh formulasi sediaan Injeksi parenteral volume kecil dan injeksi
parenteral volume besar, injeksi bentuk suspensi, dan injeksi bentuk emulsi.
1.4.Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini, yaitu agar para pembaca, khususnya
mahasiswa farmasi dapat mengerti mengenai injeksi parenteral volume kecil (SVPs),
injeksi parenteral volume besar (LVPs), injeksi bentuk suspensi, dan injeksi bentuk emulsi
dalam teknologi sediaan steril. Informasi yang didapatkan diharapkan dapat menjadi acuan
dalam pembuatan sediaan steril saat praktikum nanti sehingga kesalahan dapat
diminimalisasi.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.Pendahuluan
Parenteral adalah sebagai persiapan yang dimaksudkan untuk injeksi melalui kulit
atau jaringan luar lainnya sehingga bahan aktif yang terkandung dalam sediaan dapat
dikirim langsung ke aliran darah atau jaringan tubuh. Parenteral diproduksi dengan sangat
hati-hati berdasarkan prosedur yang telah dirancang untuk memastikan bahwa persyaratan
farmakope seperti sterilitas, pirogen, dan materi partikel terpenuhi.
Menurut FI III, Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, atau suspensi
atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan,
yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau
selaput lendir. Sedangkan menurut USP 32, injeksi adalah suatu persiapan yang
dimaksudkan untuk administrasi parenteral dan / atau untuk menyusun atau melarutkan
partikel parenteral sebelum diadministrasikan
Rute Pemberian
Rute utama atau rute yang paling umum untuk administrasi parenteral adalah rute
intravena (IV), intramuscular (IM) dan subkutan (SC, SQ, Sub-Q). Ketiga rute ini
memenuhi sebagian besar empat alasan utama pemberian parenteral: (1) untuk terapi
(definitif atau paliatif), (2) untuk pencegahan, (3) untuk diagnosis, dan (4) untuk mengubah
sementara fungsi jaringan untuk memfasilitasi bentuk terapi lainnya (Nema, Sandeep &
Ludwig, J. D., 2010). Selain tiga rute utama ini, rute tambahan digunakan dalam kondisi
khusus, seperti: intradermal, intra-arterial, intratekal, epidural, intra-artikular, intra-
abdominal/intraperitoneal, intracisternal, intraventrikular, intracardial, intraocular.
3
Gambar 1. Rute pemberian parenteral paling umum
Intravena
4
Gambar 2. Rute Pemberian Intravena
Intramuskular
Injeksi ke dalam otot, biasanya otot gluteal (bokong), vastus lateralis (paha lateral),
trisep atau deltoid (lengan atas). Injeksi IM merupakan salah satu rute yang nyaman, baik
untuk administrator dan untuk pasien, dan rute pilihan terutama untuk anak2. Umumnya
menggunakan jarum berukuran 19-22 dengan panjang 1-2 inci. Volume injeksi untuk rute
ini kecil, biasanya 1-3 ml atau tidak lebih dari 5 ml.
Subkutan
Injeksi ke dalam jaringan subkutan (lapisan lemak yang terletak di bawah dermis).
Umumnya menggunakan jarum berukuran 24-26. Lokasi injeksi secara umum termasuk
lengan, paha dan perut. Absorpsi obat melalui rute ini lebih lambat dan kurang dapat
diprediksi dibandingkan dengan IM atau IV. Hal ini dikaitkan dengan perbedaan
vaskularisasi otot dan dermis.
Rute SC dapat digunakan untuk injeksi obat-obatan dalam jumlah kecil. Volume
yang diinjeksikan secara umum tidak melebihi 0,5-1,5 mL. Jumlah yang lebih besar dari 2
5
mL kemungkinan besar akan menyebabkan tekanan yang menyakitkan. Obat-obatan yang
mengiritasi dan suspensi yang kental tidak cocok untuk injeksi rute ini karena dapat
menghasilkan abses dan mungkin menyakitkan. Pemberian secara SC biasanya termasuk
insulin, vaksin, narkotika, epinefrin, dan vitamin B12. Disarankan lokasi injeksi diputar
ketika injeksi sering diberikan atau untuk terapi jangka panjang, seperti pemberian insulin
atau hormon pertumbuhan manusia. Hal ini untuk mencegah terjadinya lipodistrofi di kulit
tempat suntikan.
2.2.SVPs
2.2.1 Pengertian
SVPs atau small volume parenterals merupakan sediaan parenteral yang
dikemas dalam wadah bervolume 100 mL atau kurang. SVPs dapat diberikan dalam
bentuk ampul, vial, ataupun jarum suntik. SVPs juga dapat dikemas menggunakan
kantong plastik berukuran 100 mL. SVPs dapat diberikan secara intravena,
intratekal, subkutan, intramuskular, dan lain sebagainya.
6
harus kompatibel dengan jaringan tubuh. Aspek kesterilan, pirogen, dan tidak
adanya materi partikulat merupakan pertimbangan lain.
7
Tabel 1. Contoh Sediaan SVP
1. Chlorpromazine HCl, USP
8
Injeksi Chlorpromazine HCl diberikan secara IM untuk penderita
skizofrenia.
2. Insulin
9
Air yang dimurnikan dengan destilasi atau proses pemurnian
lain yang setara atau lebih unggul dari destilasi dalam menghilangkan
bahan kimia dan mikroorganisme. WFI harus disediakan baru dan
bebas pirogen, dimana dapat dibuat dengan destilasi atau osmosis balik.
b. Sterile Water For Injection
Sterile Water For Injection dibuat dari Water For Injection
(WFI) yang disterilkan dan dikemas dengan kemasan yang sesuai.
Tidak mengandung antimikroba dan zat tambahan.
10
Tabel 2. Daftar Buffering Agent
2. Antioksidan
Antioksidan digunakan untuk mencegah oksidasi dari zat aktif dan
eksipien dalam produk.Dikategorikan ke dalam tiga kelompok:
1. True antioxidants, bereaksi dengan radikal bebas melalui
mekanisme terminasi rantai. misalnya butylated hydroxytoluene.
2. Agen pereduksi, memiliki potensi redoks yang lebih rendah
daripada ZA, misalnya asam askorbat.
3. Antioxidant synergists, meningkatkan efek antioksidan, misalnya
EDTA.
11
Tabel 3. Daftar Antioksidan
3. Antimikroba
Pengawet antimikroba diperbolehkan dalam injeksi multidosis
untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang mungkin secara tidak
sengaja memasuki wadah selama pengambilan.
Di AS, bahan pengawet tidak dianjurkan untuk digunakan dalam injeksi
dosis tunggal. Pada Ph. Eur. dan BP melarang antimikroba digunakan dalam
injeksi dosis tunggal, di mana volume dosis lebih besar dari 15 mL atau jika
produk obat harus disuntikkan melalui intrakisternal yang memberikan
akses ke cairan serebrospinal (CSF). Alasan utama untuk mengurangi
penggunaan pengawet antimikroba adalah toksisitas.
12
Tabel 4. Daftar Antimikroba
4. Chelating agent
Chelating agent merupakan senyawa yang dapat membentuk
senyawa kompleks dengan ion logam. Meningkat aktivitas antioksidan atau
pengawet. Zat pengkelat seperti garam etilenadiaminatetraasetat (EDTA)
sering digunakan, garam ini membentuk kompleks dengan sejumlah kecil
logam berat yang dapat mengkatalisis reaksi oksidasi.
5. Pengatur tonisitas
Untuk meminimalkan terjadinya kerusakan dan iritasi pada
jaringan, mengurangi hemolisis dari sel darah, serta mencegah
ketidakseimbangan elektrolit pada pemberian parenteral volume besar.
Produk harus isotonik, atau hampir isotonik. Larutan isotonik memberikan
tekanan osmotik yang sama dengan plasma darah.
13
Tabel 5. Daftar Pengatur Tonisitas
14
4 Sodium hydroxide QS pH adjustment
Cara Pembuatan
15
Cara Pembuatan
16
6. Water for injection, USP QS to 1.00 L Pelarut
Cara Pembuataan
17
3. Water for QS to 5.00 L Pelarut
injection, USP
4. Sodium pH adjustment
hydroxide,
2%, for pH
adjustment
5. Hydrochloric pH adjustment
acid, 2%, for
pH adjustment
Cara Pembuatan
18
l. Mengatur ke low heat dan naikkan pengatur suhu ke +15◦C. Jaga
temperature sampai 12 jam.
m. Menaikkan pengatur suhu ke + 28◦C. Pertahankan suhu ini selama
24 jam.
n. Mengalirkan isi chamber secara perlahan dengan udara kering yang
steril atau gas N2.
o. Menutup vial dengan menggunakan mekanisme stoppering internal
atau tutup botol dengan penutup depyrogenated pada laminar hood.
p. Mengambil produk dari lyophilizer.
2.3.LVPs
2.3.1. Pengertian
LVP (Larutan Parenteral Volume Besar) adalah injeksi dosis tunggal untuk
intravena dan dikemas dalam wadah bertanda volume lebih dari 100 mL, menurut
FI IV. LVP atau injeksi terutama digunakan untuk terapi nutrisi secara IV,
dibutuhkan karena pemberian makan secara enternal normal tidak memungkinkan
atau tidak memadai untuk kebutuhan nutrisi. Persyaratan nutrisi spesifik dan mode
pemberian tergantung pada status gizi pasien dan durasi terapi parenteral. Wadah
yang digunakan biasanya adalah botol kaca dengan tabung ventilasi udara, botol
kaca tanpa tabung ventilasi udara, dan plastic bags. Manfaat LVPs :
19
6) bertindak sebagai agen kontras x-ray untuk meningkatkan kemampuan
diagnostik
2.3.2. Jenis
Selain memenuhi air, elektrolit, dan karbohidrat sederhana yang dibutuhkan
oleh tubuh.. Sekarang hampir merupakan praktik standar untuk mulai memberikan
pasien LVP, sering dekstrosa dan elektrolit, tak lama setelah masuk ke rumah sakit.
Salah satu alasannya adalah untuk memberikan akses yang mudah ke kompartemen
pusat jika ada obat tambahan diperlukan, sementara pada saat yang sama
memberikan cairan dan elektrolit untuk mencapai suatu keseimbangan optimal
untuk perawatan lebih lanjut. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi IV, beberapa
nutrisi berikut mungkin diperlukan :
1. Substrat protein: berbagai formulasi asam amino yang digunakan secara umum
untuk tujuan pengganti, untuk kegagalan hati, untuk ensefalopati, dan untuk
kondisi stres metabolik.
2. Substrat energi: dextrose dan IV emulsi lemak.
3. Elektrolit: Saline, ringer’s solution.
❖ Ringer’s Injection merupakan larutan steril dari NaCl, KCl, dan CaCl dalam
WFI. Ketiga agen ini dibuat dalam konsentrasi yang menyerupai cairan
fisiologis. Ringer’s Injection dapat digunakan dengan obat atau digunakan
tunggal sebagai penambah elektrolit atau untuk menambahkan cairan
plasma.
❖ Saline adalah cairan infus kristaloid yang mengandung NaCl 0,9 % atau
NaCl 0,45 % yang larut air untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang
dan menjaga keseimbangan elektrolit.
4. Vitamin dan suplemen.
20
oleh adanya terapi IV seperti air, elektrolit, karbohidrat, asam amino, lipid, dan
zat gizi mikro seperti vitamin, mineral. Perubahan jumlah atau komposisi cairan
jaringan dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang signifikan.
Ketidakseimbangan tersebut dapat terjadi sebagai ciri utama atau minor dari
penyakit, trauma, atau prosedur bedah. Dalam keadaan seperti itu perlu untuk
mengantisipasi dan memperbaiki defisit dan ketidakseimbangan dengan
pemberian cairan yang sesuai. Cairan tubuh, dinamai kompartemen di mana
mereka ditemukan, adalah intravaskular (dalam pembuluh darah), intraseluler
(dalam sel), dan interstitial (dalam ruang antara sel). Cairan ekstraseluler adalah
jumlah cairan intravaskular dan interstitial.
B. Parameter Formulasi
1. Fisiologis
21
mengharapkan perubahan fisik RBC jika injeksi natrium klorida 0,9%,
dengan osmolaritas 308, yang diinfuskan ke dalam pembuluh darah.
Misalnya, menempatkan sel darah merah ke dalam 0,9%Sodium Chloride
Injection dan secara mikroskopik memeriksa sel-sel untuk perubahan fisik.
Tidak ada hasil perubahan, dan larutannya disebut isotonik. Jika sel darah
merah ditempatkan dalam larutan hipertonik, misalnya, 20% dekstrosa
(1010 mOsm / L), air dalam sel akan berdifusi keluar,menyebabkan sel
menyusut. Sebaliknya, RBC ditempatkan dalam larutan hipotonik, seperti
0,45%natrium klorida (154 mOsm / L), akan membengkak karena aliran air
ke dalam sel dan, jika efeknya cukup besar, bisa pecah.
2. Fisikokimia
a. Kelarutan
b. pH
22
penyangga tubuh dapat mempertahankan tingkat pH yang tepat ketika
LVP pH tinggi atau rendah diberikan, meskipun hal itu dilakukan dengan
lebih mudah jika solusinya sangat buffer. . Larutan dengan nilai pH
mendekati atau lebih dari 7,0 mempercepat serangan kaca dan harus
dikemas dalam kaca borosilikat tipe I yang lebih mahal. Karena gelas ini
tahan terhadap serangan oleh larutan alkali, ia digunakan untuk
mencegah pH naik lebih tinggi lagi.
c. Pembawa
d. Parameter Fisika
e. Stabilitas
23
C. Kondisi Pembuatan
D. Ketercampuran
Dari semua LVPs, 60% hingga 80% diperkirakan dicampur dengan satu atau
lebih obat. Jumlah obat baru dan kemungkinan kombinasi terus meningkat. Studi
kompatibilitas dan stabilitas yang tepat harus dilakukan untuk memastikan
bahwa obat yang dimasukkan ke dalam LVP kompatibel. Fenomena
24
ketidakcocokan terjadi ketika LVP dan obat-obatan menghasilkan, dengan cara
fisikokimia, produk yang tidak cocok untuk pemberian kepada pasien.
Ketidakcocokan fisik dapat dideteksi oleh perubahan penampilan larutan,
seperti pembentukan endapan, kabut, perubahan warna, atau pecahnya emulsi.
Ketidakcocokan yang halus, seperti perubahan pH atau konsentrasi obat,
mungkin tidak menghasilkan perubahan visual atau mungkin tidak menjadi jelas.
Parameter tonisitas, pH, kelarutan, dan zat tambahan, yang merupakan
pertimbangan dalam desain formulasi LVP, juga harus dipertimbangkan dalam
konteks yang berbeda ketika obat ditambahkan ke dalam larutan. Produk obat
dapat mengandung pelarut, pengawet, penstabil, buffer, antioksidan, dan bahan-
bahan lain yang ketika ditambahkan ke LVP, dapat menyebabkan masalah
ketidakstabilan dan ketidakcocokan. Contoh, Sodium benzoate, pengawet dalam
beberapa obat, mengendap sebagai asam benzoat ketika ditambahkan ke LVP
dengan pH asam. Tembaga, logam yang dibutuhkan oleh tubuh, dapat
menyebabkan pengendapan dalam larutan asam amino. Stabilitas kombinasi
harus dipertahankan setelah pencampuran dan selama infus jika hasil yang
diinginkan tercapai. Masalah stabilitas dapat disebabkan oleh pH, kelarutan,
sensitivitas terhadap cahaya atau suhu, penyerapan, atau ketidakcocokan bahan
kimia. Stabilitas juga dapat dikaitkan dengan waktu, dan ini adalah salah satu
alasan mengapa direkomendasikan bahwa campuran tidak disimpan untuk waktu
yang lama.
≽25 μm 5 partikel / mL
25
≽25 μm 5000 partikel/1 liter
≽10 μm 50 partikel/mL
7) Isotonis
26
Tabel 7. Contoh Sediaan LVP
Sediaan LVP umumnya dikemas dalam kantung atau botol berisi volume
yang lebih besar. Ada tiga jenis wadah: botol kaca dengan tabung ventilasi udara,
botol kaca tanpa tabung ventilasi udara, dan kantung plastik.
1. Injeksi Asam Amino
27
Gambar 9. Sediaan Injeksi Dekstrosa
Injeksi mengandung dekstrosa 5% diberikan melalui IV sebagai pengganti
cairan dan mengembalikan kadar glukosa darah.
3. Injeksi Mannitol
28
d. Sterile Water For Injection
Sterile Water For Injection dibuat dari Water For Injection
(WFI) yang disterilkan dan dikemas dengan kemasan yang sesuai.
Tidak mengandung antimikroba dan zat tambahan.
2. Pembawa larut air
Digunakan terutama untuk meningkatkan kelarutan (kosolven) dan
untuk mencegah degradasi kimia (yaitu, hidrolisis, oksidasi, dekarboksilasi,
atau rasemisasi). Contohnya yaitu gliserin, etanol, polietilen glikol, dan
propilen glikol.
3. Pembawa non air
Obat yang tidak larut dalam air sering dilarutkan dalam minyak yang
dapat dimetabolisme. Steroid, hormon, dan vitamin dapat dilarutkan dalam
minyak nabati seperti kacang tanah, wijen, jagung, zaitun, dan cottonseed.
Injeksi minyak hanya dilakukan melalui intramuskular (IM). Namun
penggunaanya sekarang sudah semakin berkurang karena lebih digunakan
injeksi suspensi.
Selain bahan pembawa sediaan LVPs dapat ditambahkan bahan-bahan
tambahan untuk meningkatkan stabilitas sediaan tersebut. beberapa bahan yang
dapat ditambahkan antara lain, Buffer, Antioksidan, Antimikroba, Chelating agent,
dan Pengatur tonisitas.
6. Buffer
Penambahan buffers pada formulasi dilakukan untuk mengatur pH
yang berfungsi mengoptimalkan kelarutan dan stabilitas. Pada sediaan
parenteral diinginkan pH produk sama dengan pH fisiologis. Pertimbangan
mengenai konsentrasi buffer (ionic strength) & jenis buffer merupakan hal
penting.
29
7. Antioksidan
Antioksidan digunakan untuk mencegah oksidasi dari zat aktif dan
eksipien dalam produk.vDikategorikan ke dalam tiga kelompok:
4. True antioxidants, bereaksi dengan radikal bebas melalui
mekanisme terminasi rantai. misalnya butylated hydroxytoluene.
5. Agen pereduksi, memiliki potensi redoks yang lebih rendah
daripada ZA, misalnya asam askorbat.
6. Antioxidant synergists, meningkatkan efek antioksidan, misalnya
EDTA.
30
8. Chelating agent
Chelating agent merupakan senyawa yang dapat membentuk
senyawa kompleks dengan ion logam. Meningkat aktivitas antioksidan atau
pengawet. Zat pengkelat seperti garam etilenadiaminatetraasetat (EDTA)
sering digunakan, garam ini membentuk kompleks dengan sejumlah kecil
logam berat yang dapat mengkatalisis reaksi oksidasi.
9. Pengatur tonisitas.
31
Untuk meminimalkan terjadinya kerusakan dan iritasi pada
jaringan, mengurangi hemolisis dari sel darah, serta mencegah
ketidakseimbangan elektrolit pada pemberian parenteral volume besar.
Produk harus isotonik, atau hampir isotonik. Larutan isotonik memberikan
tekanan osmotik yang sama dengan plasma darah.
32
Petunjuk Pembuatan
1. Gunakan item 3 yang baru disiapkan (<24 jam pada 80oC). Tambahkan
item 1 ke item 3 pada 60oC dan campur selama 15 menit.
2. Tambahkan item 2 dan campurkan dengan kuat selama 15 menit.
3. Saring campuran menggunakan filter yang telah disterilisasi terlebih
dahulu.
4. Saring kembali larutan dengan menggunakan filter ukuran 0,45 μm
sebelum filtrasi akhir dengan menggunakan filter ukuran 0,22 μm
5. Isi ke dalam botol kaca Tipe I, pertahankan suhu pada 45-50oC dan tutup
botol dengan segera menggunakan butyl gray rubber stopper yang telah
dicuci dan disterilisasi pada 116oC selama 30 menit, gunakan segel
aluminium tiga lapis
6. Sterilisasi botol yang telah diisi dengan menggunakan autoklaf (121oC
selama 20 menit)
7. Ukur pH larutan (sekitar 4,0 hingga 4,3), sebelum diautoklaf, pH 5,5
hingga 6,5.
Petunjuk Pembuatan
1. Gunakan item 3 yang baru disiapkan (<24 jam pada 80oC). Tambahkan
item 1 ke item 3 pada 60oC dan campur selama 15 menit.
2. Tambahkan item 2 & 3 lalu campurkan dengan kuat selama 15 menit.
3. Saring campuran menggunakan filter yang telah disterilisasi.
33
4. Saring larutan dengan menggunakan filter ukuran 0,45 μm sebelum filtrasi
akhir dengan menggunakan filter ukuran 0,22 μm
5. Isi ke dalam botol kaca Tipe I, pertahankan suhu pada 45-50oC dan tutup
botol dengan segera menggunakan butyl gray rubber stopper yang telah
dicuci dan disterilisasi pada 116oC selama 30 menit, gunakan segel
aluminium tiga lapis
6. Sterilisasi botol yang telah diisi dengan menggunakan autoklaf (121oC
selama 20 menit)
7. Ukur pH larutan (sekitar 4,0 hingga 4,3), sebelum diautoklaf, pH 5,5
hingga 6,5.
Petunjuk Pembuatan
1. Gunakan item 3 yang baru disiapkan (<24 jam pada 80oC). Tambahkan
item 1 ke item 3 pada 60oC dan campur selama 15 menit.
2. Tambahkan item 2 dan campurkan dengan kuat selama 15 menit.
3. Saring campuran menggunakan filter yang telah disterilisasi.
4. Saring kembali larutan dengan menggunakan filter ukuran 0,45 μm
sebelum filtrasi akhir dengan menggunakan filter ukuran 0,22 μm
5. Isi ke dalam botol kaca Tipe I, pertahankan suhu pada 45-50oC dan tutup
botol dengan segera menggunakan butyl gray rubber stopper yang telah
dicuci dan disterilisasi pada 116oC selam 30 menit, gunakan segel
aluminium tiga lapis
6. Sterilisasi botol yang telah diisi dengan menggunakan autoklaf (121oC
selama 20 menit)
34
7. Ukur pH larutan (sekitar 4,0 hingga 4,3); sebelum diautoklaf, pH 5,5
hingga 6,5.
Petunjuk Pembuatan
1. Larutkan NaCl dalam 50 mL aqua pro injeksi dan ditambahkan asam laktat
sambil dilakukan pengadukan
2. masukkan ke dalam autoklaf pada suhu 115oC selama 60 menit. Biarkan
hingga dingin dan diperiksa pHnya
3. Tambahkan HCl secara perlahan untuk menurunkan pH menjadi 6,8
hingga 7,0
4. Larutkan NaCl, KCl dan CaCl2 dalam 500 mL aqua pro injeksi pada
bejana terpisah dengan suhu 60oC dan sambil dilakukan pengadukan
5. Campur seluruh larutan yang sudah terbentuk dan diaduk dengan kuat
6. Diperiksa pH larutan (pH 5,0-7,0)
7. Saring larutan dengan menggunakan filter ukuran 0,45 mm sebelum filtrasi
akhir dengan menggunakan filter ukuran 0,22 mm.
35
8. Diisikan larutan ke dalam botol kaca tipe I, pertahankan suhu pada 45-
50oC dan tutup botol dengan segera menggunakan butyl gray rubber
stopper yang telah dicuci dan disterilisasi sebelumnya.
9. Sterilisasi botol yang telah diisi dengan menggunakan autoklaf (121oC
selama 20 menit)
2.4.Injeksi Suspensi
2.3.1. Pengertian
Suspensi merupakan sistem dimana suatu sediaan terdiri dari fase internal
(fase tersuspensi) yang kemudian akan terdispersi dalam larutan pembawa dapat
bersifat aqueous atau non-aqueous. Suspensi sendiri dikategorikan menjadi dua
berdasarkan ukuran partikelnya yaitu:
1. Kelarutan zat aktif buruk atau jika zat aktif dilarutkan ke dalam cairan
dapat menimbulkan efek yang berbahaya.
2. Sediaan yang ditujukan untuk sustained release.
36
3. Sediaan yang dibutuhkan efek secara lokal.
1. Ready-to-use Product
37
2. Serbuk Steril
Produk jenis ini biasanya diberikan dalam bentuk serbuk yang disertai
dengan pelarutnya dalam ampul. Produk jenis ini biasanya digunakan untuk
injeksi yang bersifat antibiotik dimana jika dilarutkan terlebih dahulu, dapat
berbahaya.
38
Tabel 8. Contoh Sediaan Injeksi Suspensi
Suspensi parenteral biasanya diberikan secara intramuskular, subkutan,
intraartikular, atau intradermal. Suspensi kasar tidak boleh diberikan secara
intravena atau intra-arterial, karena partikel dalam suspensi kasar biasanya lebih
besar dari diameter kapiler.
39
Sebuah studi dilakukan untuk menentukan distribusi ukuran partikel dengan
membuat formulasi prototipe pada masing-masing pembawa yang ada
2. Buffer
4. Wetting Agent
Pada injeksi suspensi, zat aktif cenderung memiliki kelarutan yang buruk
sehingga perlu dilakukan pengukuran wet point (mengukur berapa banyak
zat pembawa yang dibutuhkan untuk membuat keseluruhan bahan yang ada
mencapai wet point). Semakin rendah wet point value suatu wetting agent
maka semakin efektif wetting agent tersebut. Wetting agent yang paling
umum digunakan yaitu polysorbate 80.
5. Suspending Agent
40
Suspending agent berfungsi untuk mengontrol viskositas pembawa serta
polimer. Suspending agent yang umum digunakan yaitu propilen glikol dan
polietilen glikol.
6. Antimicrobial Preservative
Setiap mL mengandung:
Setiap mL mengandung:
41
Triamcinolone acetonide 40 mg Zat aktif
Setiap mL mengandung:
42
2.5.Injeksi Emulsi
2.4.1. Pengertian
Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi V, emulsi adalah sistem dua fase yang
salah satu cairannya terdispersi dalam cairan yang lain dalam bentuk tetesan kecil. Sediaan
emulsi dapat terbentuk apabila terdapat dua zat yang tidak stabil, terjadi proses agitosi
(pengadukan), dan terdapat emulgator. Emulgator merupakan zat pengemulsi yang
ditambahkan pada sediaan berfungsi untuk menjaga kestabilan emulsi. Suatu emulsi
dikatakan stabil apabila tidak ada perubahan terhadap parameter berikut: jumlah partikel
dari fase dispersi, distribusi ukuran partikel, total interfacial area, ukuran droplet, dan
komposis bahan yang digunakan.
2.4.2. Jenis
A. Berdasarkan Fase Terdispersi
1. Oil in Water Emulsion (O/W) adalah emulsi yang terdiri atas butiran minyak
yang terdispersi dalam fase air. Emulsifier yang digunakan yaitu polysorbate
20, polysorbate 40, sucrose monolaurate.
2. Water in Oil Emulsion (W/O) adalah emulsi yang terdiri atas butiran air yang
terdispersi ke dalam minyak. Emulsifier yang yang digunakan yaitu glycerol
monoleate, sucrose dipalmitat, glyceryl monostearat.
3. Oil in Water in Oil Emulsion (O/W/O) adalah emulsi tipe dimana fase minyak
ditambahkan dalam fase berair yang mengandung surfaktan hidrofilik,
kemudian dituangkan dalam minyak yang mengandung surfaktan lipofilik.
4. Water in Oil in Water (W/O/W) adalah emulsi tipe dimana fase berair
ditambahkan dalam fase minyak yang mengandung surfaktan lipofilik.
Kemudian, dituangkan dalam pelarut air yang mengandung surfaktan hidrofilik.
43
B. Berdasarkan Ukuran Dropletnya
1. Surfaktan Nonionik adalah pengemulsi yang baik karena lebih bersifat tidak
toksik dan kurang irritan dibandingkan dengan surfaktan ionik. Surfaktan
nonionik cocok untuk pemberian melalui rute oral karena parenteral. Contoh:
ester gliserol, ester sorbitan (span), polioksietilen sorbitan ester (tween)
2. Surfaktan anionik
3. Surfaktan Kationik
44
Surfaktan kationik memiliki sifat senyawa yang lemah terhadap cetostearyl
alcohol serta memiliki sifat antibacterila. Surfaktan ini banyak digunkan
sebagai desinfektan dan pengawet namun dapat juga digunakan untuk
pengemulsi tipe minyak dalam air. Contoh: cetrimid, benzalkonium klorida
4. Partikel Padat
Partikel padat di absorpsi pada antarmuka dua fase cair tak tercampurkan dan
membentuk selaput partikel di sekitar globul terdispersinya. Contoh:
aluminium magnesium silikat, clays, dan bentonit.
45
1. Emulsi Propofol (DIPRIVAN®)
46
1. Fase Minyak
Fase minyak yang digunkan harus memiliki kemurnian tinggi dan
bebas dari komponen yang tidak diinginkan seperti peroksida, pigmen, produk
dekomposisi, dan hal-hal lain seperti sterol dan polimer. Trigliserida rantai
panjang (Long-Chain Triglyceride/ LCT) yang dapat digunakan sebagai fase
minyak emulsi sediaan parenteral, yaitu triolein, minyak kedelai, minyak
safflower, minyak wijen, dan minyak jarak. Trigliserida rantai sedang
(Medium-Chain Triglyceride/ MCT) yang dapat digunakan sebagai fase
minyak emulsi sediaan parenteral, yaitu minyak kelapa terfraksinasi, Miglyol®
810, Miglyol® 812, Neobee® M5, dan Captex® 300. MCT memiliki
kemampuan melarutkan yang lebih baik dan menunjukkan stabilitas oksidatif
yang lebih besar dibandingkan dengan LCT. MCT memiliki rantai karbon
yang lebih pendek dibanding LCT sehingga memiliki kemampuan melarutkan
lebih baik. Trigliserida rantai pendek, seperti tributyrin (C4), tricaproin (C6),
dan tricaprylin (C8), telah dilaporkan sebagai pelarut paclitaxel yang lebih baik
daripada LCT.
Peroksida lipid (membuat minyak teroksidasi dan tengik) bisa saja
sudah ada atau terbentuk selama penyimpanan. Oleh karena itu, selama
preparasi dan penyimpanan, oksidasi minyak harus diminimalkan dengan
penambahan antioksidan seperti α-tokoferol, asam tioglikolat, atau dengan
pembuatan di bawah atmosfer nitrogen.
2. Fase Air
Air yang digunkan, yaitu water for injection. Fase air biasanya
ditambahkan tonicity adjusting agent agar sediaan isotonis dengan cairan
tubuh sehingga tidak menyebabkan kerusakan sel. Tonicity adjusting agent
yang bisa digunakan untuk sediaan emulsi parenteral, yaitu gliserin, sorbitol,
dan xylitol. Dekstrosa umumnya tidak digunakan untuk penyesuaian tonisitas
karena berinteraksi dengan lesitin dan menyebabkan perubahan warna
emulsi. Buffering agent umumnya tidak ditambahkan ke emulsi karena ada
potensi untuk mengkatalisis dari hidrolisis lipid. Selain itu, buffering agent
terdiri dari kombinasi elektrolit lemah dan kuat yang dapat mempengaruhi
stabilitas emulsi. Sedikit natrium hidroksida digunakan untuk menyesuaikan
47
pH sistem menjadi sekitar 8,0 sebelum sterilisasi. PH yang agak basa lebih
disukai karena pH berkurang selama sterilisasi dan pada
penyimpanan. Antioksidan seperti asam askorbat dan deferoxamine mesylate
umumnya ditambahkan dalam fase air untuk mencegah oksidasi minyak dan
zat obat. Selain itu, pengawet seperti natrium benzoat dan benzil alkohol,
ditemukan di Diprivan® (AstraZeneca) dan emulsi injeksi propofol (Hospira,
Inc.), untuk mencegah pertumbuhan mikroba.
3. Emulsifier
Lesitin alami, diperoleh dari kuning telur, telah digunakan secara luas
untuk menstabilkan emulsi yang dapat disuntikkan. Pengemulsi ini
biokompatibel, tidak beracun, dan dimetabolisme seperti lemak alami. Namun,
hidrolisis lesitin alami selama emulsifikasi, sterilisasi dan penyimpanan
mengarah pada pembentukan lisofosfolipid, dengan sifat seperti deterjen, dan
menyebabkan hemolisis. Kombinasi surfaktan sintetis dengan lesitin (purified
lecithin) dan penambahan asam lemak bebas telah disarankan untuk
mengurangi pembentukan lisofosfolipid.
48
Tabel 11. Daftar emulsifier yang dapat digunakan dalam sediaan emulsi parenteral
Tabel 12. Daftar contoh emulsifier sediaan parenteral yang kompatibel dengan
rute administrasinya.
Fungsi Bahan:
49
Cara pembuatan:
1. Larutkan diazepam dalam etil ester.
2. Masukkan fosfolipid dari telur (kuning telur) lalu aduk sampai homogeny.
3. Larutkan gliserol dengan water for injection secukupnya
4. Cek dan sesuaikan pH larutan dengan NaOH pada 7,0 hingga 10,5.
5. Tambahkan larutan dari campuran air dan gliserol tadi dan aduk dengan cepat
menggunkan homogenizer sampai terbentuk emulsi.
6. Isi vial dengan emulsi yang sudah jadi dan sterilkan dengan menggunakan autoklaf
pada suhu 120oC selama 17 menit.
Fungsi Bahan:
1. Safflower oil dan Soybean oil sebagai sumber nutrisi (fase minyak).
2. Egg Phosfate, purified, reduce electrolyte sebagai emulsifier.
3. Gliserin sebagai tonicity adjusting agent.
4. Water for injection sebagai pelarut (fase air).
5. Gas nitrogen sebagai gas inert yang melindungi minyak dari proses oksidasi selama
proses pembuatan.
7. NaOH sebagai pH adjuster.
Cara Pembuatan:
1. Ambil water for injection sebanyak 1 L, panaskan sampai suhu antara 70-90oC, dalam
kondisi yang atmosfer N2. Pertahankan atmosfer ini selama pemrosesan.
50
2. Tambahkan dan dispersikan Egg Phosfate, purified, reduce electrolyte dengan agitasi,
jaga suhu pada 50-90oC.
3. Tambahkan dan larutkan gliserin, yang sebelumnya disaring melalui filter membran
0,8 µm, menggunakan homogenizer untuk meningkatkan derajat dispersi.
4. Saring dispersi melalui membran selulosa asetat 0,45 µm (Millipore®) atau membran
sejenis.
5. Periksa pH dan sesuaikan ke 8,5 - 9,5 dengan NaOH dan pertahankan pH ini selama
proses berlangsung.
6. Saring fase minyak (Item 1 dan 2) melalui filter 0,45 µm dan panas sampai suhu antara
65-95oC dan tambahkan ke fase air dengan agitasi untuk membentuk emulsi kasar.
7. Homogenkan emulsi kasar menggunakan homogenizer pada tekanan 5000 psi (kisaran
4000 hingga 8000 psi) atau yang setara minimal 10 kali.
8. Periksa pH dan sesuaikan lagi ke 8,5 - 9,5 dengan NaOH.
9. Saring emulsi melalui filter selulosa asetat 0,8 µm (Millipore®) ke dalam tangki
penampung.
10. Homogenkan lagi setidaknya 3 kali dengan spesifikasi di atas dan buat volume sampai
1 L dengan water for injection. Periksa dan sesuaikan pH lagi dengan spesifikasi di
atas.
11. Isi dengan menggunakan displacement filler ke jarum suntik untuk mengurangi buih;
tambahkan plunger karet, tambahkan tutup, dan autoklaf. Pengisian alternatif bisa diisi
ke dalam botol.
Fungsi Bahan:
1. Propofol sebagai zat aktif.
2. Soybean oil refined sebagai pelarut (fase minyak).
51
3. Egg Lecithini sebagai emulsifier.
4. Gliserin sebagai tonicity adjusting agent.
5. NaOH sebagai pH adjuster.
6. Water for injection sebagai pelarut (fase air).
7. Gas nitrogen sebagai gas inert yang yang melindungi minyak dari proses oksidasi
selama proses pembuatan.
Cara Pembuatan:
1. Masukkan 0,9 L water for injection ke dalam bejana stainless steel berjaket dan panas
ke 40oC. Selubungi dengan gas nitrogen selama pembuatan.
2. Tambahkan dan larutkan egg lecithin dan gliserin dan aduk rata sampai dispersi
seragam diperoleh.
3. Dalam bejana terpisah, tambahkan soybean oil refined, panaskan sampai suhu 40oC,
dan tambahkan dan larutkan profonol.
4. Tambahkan campuran soybean oil refined dan profonol di atas ke campuran egg
lecithin dan gliserin pada 40oC, aduk sampai homogen.
5. Periksa dan sesuaikan pH antara 5,0 - 7,5 dengan NaOH
6. Homogenkan emulsi dalam homogenizer sampai globul kurang dari 1,0 µm.
7. Periksa dan sesuaikan pH kembali seperti pada langkah 5.
8. Saring kemudian dilakukan proses pengisian ke wadah dalam kondisi yang ter-cover
gas nitrogen.
52
Fungsi Bahan:
1. Bisantrene Base sebagai zat aktif.
2. Sorbitan triisostearat dan Pluronic C-68® sebagai emulsifier.
3. Benzil alkohol sebagai pengawet.
4. Sesame oil (minyak wijen) refined sebagai pelarut (fase minyak).
5. Water for injection sebagai pelarut (fase air).
Cara pembuatan:
1. Campur dan aduk Bisantrene Base pada suhu kamar dengan sorbitan triisostearat,
benzil alkohol, minyak wijen refined, dan Pluronic C-68® sampai homogen.
2. Buat volume sampai 1 L dengan water for injection. Kocok dan sonikasi selama 20
detik menggunakan Driver Branson Sonifier pada pengaturan arus DC 6-7 Ampere
untuk menghasilkan emulsi yang 95% partikelnya berukuran 2-5 µm.
53
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Injeksi merupakan suatu persiapan yang dimaksudkan untuk administrasi parenteral
dan / atau untuk menyusun atau melarutkan partikel parenteral sebelum diadministrasikan.
Injeksi dapat dibuat dalam volume besar, kecil, dalam bentuk suspensi dan juga emulsi.
Terdapat berbagai aspek yang perlu diperhatikan dalam membentuk sediaan injeksi,
sehingga sangat penting untuk para farmasis untuk mempelajari aspek-aspek tersebut dan
nantinya dapat diterapkan ke dalam pembuatan formulasi injeksi. Ada beberapa bahan
utama maupun bahan tambahan yang dapat dipertimbangkan saat membuat sediaan
parenteral tersebut.
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, sebaiknya penulis lebih banyak lagi mencari
literatur terbaru agar info yang disampaikan mengikuti perkembangan teknologi dalam
membuat sediaan steril.
54
DAFTAR PUSTAKA
55