Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH STABILITAS BAHAN DAN

SEDIAAN

“STABILITAS SEDIAAN STERIL CAIR”

DOSEN :

Prof. Dr. Teti Indrawati, M.Si., Apt.


Yayah Siti Juariah, S.Si., M.Si, Apt.

Disusun oleh :
- Hana Farida Salsabila (16334040)
- Rizky Windyastuti (16334047)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya serta limpahan kesehatan pada kami, sehingga
penulis dapat menyelesaikan Makalah Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi tepat pada
waktunya. Makalah ini dibuat dengan judul “Stabilitas Sediaan Stetil Cair”
diharapkan makalah ini dapat membuat pembaca memahami bagaimana kestabilan
sediaan steril cair dalam proses pembuatan hingga penyimpanannya.

Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi nilai dan tugas Stabilitas Bahan dan
Sediaan Farmasi di Fakultas Farmasi Institus Sains dan Teknologi Nasional. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada ibu Prof. Dr. Teti Indrawati, M.Si., Apt. dan
Yayah Siti Juariah, S.Si, M.Si, Apt. selaku Dosen mata kuliah Stabilitas Bahan dan
Sediaan Farmasi yang telah membimbing penulis sehingga berhasil menyelesaikan
makalah ini.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kelemahan dan kekurangan
yang harus disempurnakan. Untuk itu saya terbuka terhadap kritikan dan saran yang
bersifat konstruktif yang dapat menyempurnakan tugas ini. Akhir kata, saya sampaikan
terima kasih kepada semua pihak. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhai
segala usaha kita. Aamiin.

Jakarta, 02 Januarai 2019

Penyusun

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 2


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2

DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 4

I.1 Latar Belakang ............................................................................................... 4


I.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 5
I.3 Tujuan ............................................................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 6

II.1 Teori Dasar ..................................................................................................... 6


II.2 Kekurangan dan Kelebihan Suspensi Intramuskular ..................................... 8
II.3 Daerah Penyuntikan Dalam Pemberian Obat Secara Intramuskular ............ 8
II.4 Tujuan Injeksi Intramuskular ......................................................................... 10
II.5 Mekanisme Fisiologis .................................................................................... 10
II.6 Faktor Fisiologis ............................................................................................ 11
II.7 Biofarmasetika .............................................................................................. 11
II.8 Pengaruh Sifat Fisika Kimia Obat Terhadap Bioavailabilitas ....................... 12

BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................... 13

III.1 Pelepasan Suspensi Intramuskular ................................................................ 13


III.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi ADME ................................................ 14
III.3 Mekanisme Kerja Atau Proses Perjalanan Suspensi Intramuskular .............. 21
III.4 Bentuk Obat/ Jenis Obat Yang Dapat Dibuat Untuk Sediaan Suspensi
Intramuskular ................................................................................................. 22

BAB IV PENUTUP..................................................................................................... 26

IV.1 Kesimpulan .................................................................................................... 26


IV.2 Saran ............................................................................................................. 26

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 27

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 3


BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Pemberian obat secara intramuskular adalah pemberian obat/cairan dengan
cara dimasukkan langsung kedalam otot (muskulus). Pemberian obat dengan cara
ini dilakukan pada bagian tubuh yang berotot besar, agar tidak ada kemungkinan
untuk menusuk saraf, misalnya pada bokong dan kaki bagian atas atau pada lengan
bagian atas.

Injeksi intramuskular menunjukan suatu absorpsi yang lebih cepat daripada


absorpsi sediaan oral, akan tetapi mungkin suatu sediaan intramuskular dapat
melepaskan obat yang relatif lambat. Sediaan obat terjadi bila obat berdifusi dari
otot ke cairan yang mengelilingi jaringan dan kemudian ke darah. Injeksi suspensi
intramuskular dapat diformulasikan untuk pelepasan obat secara cepat atau lambat
dengan mengubah pembawa sediaan injeksi. Larutan biasanya disistribusikan
secara cepat dari tempat injeksi, sedangkan pembawa yang kental seperti minyak
atau suspensi dapat menghasilkan suatu kadar darah yang lambat dan kadar yang
dipertahankan. Pembawa yang kental seperti minyak sebelum terdistribusi boleh
jadi pertama ada partisi ke dalam fase “aqueous”. Suatu obat yang sangat larut
dalam minyak tidak larut dalam air, karena partisi yang lambat dam mempunyai
pelepasan yang relatif lama dan dipertahankan.

Injeksi suspensi yang diberikan melalui rute intramuscular, seluruh obat akan
berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu obat akan masuk ke pembuluh darah
di sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk ke dalam sirkulasi. Cara ini sesuai
untuk bahan obat, baik yang bersifat lipofilik maupun yang hidrofilik. Kedua bahan
obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun secara kimia.
bahkan bentuk sediaan suspensi dapat diterima lewat intramskuler, begitu juga
pembawanya bukan hanya air melainkan yang non air juga dapat. Hanya saja
apabila berupa larutan air harus diperhatikan pH larutan tersebut.

Obat- obat yang diinjeksikan secara intramuskular melibatkan penundaan


absorbsi karena obat bejalan dari tempat injeksi ke aliran darah. Formulasi injeksi
intramuskular dapat untuk melepaskan obat secara cepat atau lambat tergantung
pembawa sediaan injeksi

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 4


I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kestabilan dalam proses pembuatan sediaan steril bentuk cair?


2. Bagaimana kestabilan sediaan steril bentuk cair dalam penyimpanannya?
3. Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi ketidakstabilan dalam proses
pembuatan hingga penyimpanan produk sediaan steril bentuk cair?

I.3 Tujuan

1) Memahami kestabilan dalam proses pembuatan sediaan steril bentuk cair


2) Memahami sediaan steril bentuk cair dalam penyimpanannya
3) Memahami Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi ketidakstabilan dalam
proses pembuatan hingga penyimpanan produk sediaan steril bentuk cair.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 5


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Teori Dasar

Stabilitas merupakan faktor penting dari kualitas, keamanan dan kemanjura dari
produk obat. Sebuah produk obat, yang tidak kestabilan yang cukup, dapat
mengakibatkan perubahan fisik (seperti kekerasan, laju disolusi, fasa pemisahan,
dll) serta karakteristik kimia (pembentukan zat dekomposisi risiko tinggi)

Stabilitas kimia obat sangat penting karena menjadi kurang efektif mengalami
degradasi.. Dekomposisi juga dapat menghasilkan obat beracun oleh produk yang
berbahaya bagi pasien. Mikrobiologi ketidakstabilan suatu produk obat steril juga
bisa berbahaya.

Penentuan kadaluarsa obat dilakukan melalui serangkaian pengujian yang


disebut uji stabilitas obat. Selama penyimpanan ataupun transportasi, obat bisa
mengalami perubahan secara fisik maupun kimia, sehingga diperlukan suatu uji
stabilitas terhadap produk yang akan dipasarkan.

Stabilitas di definisikan sebagai kemampuan suatu produk untuk bertahan dalam


batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan, sifat dan
karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat. Faktor lingkungan
seperti suhu (temperatur), radiasi, cahaya, udara (terutama oksigaen, karbondioksida
dan uap air) dan kelembaban dapat mempengaruhi stabilitas. Faktor-faktor lain yang
dapat mempengaruhi stabilitas, yaitu : ukuran partikel, pH, sifat air dan pelarut yang
di gunakan, sifat kemasan dan keberadaan bahan kimia lain yang merupakan
kontaminan atau dari pencampuran produk berbeda yang secara sadar ditambahkan,
dapa tmempengaruhi satabilitas sediaan. Penyebab ketidakstabilan sediaan obat ada
dua watak, pertama kali adalah slabilitas dari bahan obat dan bahan pembantu
sendiri. Yang terakhir dihasilkan dari bahan kimia dan kimia fisika, untuk lainnya
adalah faktor luar seperti suhu, kelembapan, udara, dan cahaya, menginduksi atau
mempercepat reaksi yang yang berkurang nilainya. Faktor-faktor yang telah
disebutkan menjadi efektif dalam skala tinggi adalah bergantung dari jenis galenik
dari sediaan dalam obat padat, seperti serbuk, bubuk, dan tablet.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 6


Produk steril adalah bentuk sediaan obat dalam bentuk terbagi-bagi yang
bebas darimikroorganisme hidup. Pada prinsipnya, yang termasuk dalam bentuk
sediaan ini antara lain sediaan parentral, preparat untuk mata dan preparat
irigasi (misalnya infus). Sediaan parentral merupakan jenis sediaan yang unik di
antara bentuk sediaan obat terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit
atau membran mukosa ke bagian tubuh. Karena sediaan ini mengelakkan garis
pertahanan pertama dari tubuh yang paling efisien, yaitu membran kulit dan mukosa,
maka sediaan ini harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari bahan-bahan toksis
lainnya, serta harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Semua bahan dan
proses yang terlibat dalam pembuatan produk ini harus dipilih dan dirancang untuk
menghilangkan semua jenis kontaminasi, apakah kontaminasi fisik, kimia atau
mikrobiologis

Sediaan untuk mata (tetes mata maupun salep mata), meskipun tidak
dimasukkan ke dalam rongga bagian dalam tubuh, namun ditempatkan berhubungan
dengan jaringan-jaringan yang sangat peka terhadap kontaminasi.Oleh karenanya
dibutuhkan standar sejenis dengan preparat (sediaan) steril lainnya. Larutan irigasi
(infus) juga memiliki standar yang sama dengan larutan parentral lainnya, karena
selama pemberian sejumlah zat dari larutan dapat memasuki aliran darah secara
langsung melalui pembuluh darah luka yang terbuka atau membran mukosa yang
rusak. Secara umum, terdapat 6 bentuk sediaan yang digunakan untuk pemberian
sediaan parentral, yaitu :
1. Larutan siap diinjeksikan.
2. Serbuk padat, siap digunakan dengan melarutkan dalam larutan pembawa.
3. Suspensi siap diinjeksikan.
4. Serbuk padat, tidak larut yang dikombinasikan denga pembawa sebelum
digunakan
5. Emulsi
6. Larutan pekat, siap diencerkan sebelum digunakan.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 7


II.2 Persyaratan CPOB Dalam Pembuatan Sediaan Steril

Sesuai dengan persyaratan CPOB, produk steril dibuat dengan persyaratan


khusus. Tujuannya adalah memperkecil resiko pencemaran mikroba, partikulat, dan
pirogen. pembuatan produk steril sangat tergantung dari keterampilan, pelatihan dan
sikap personalia yang terlibat dalam pembuatan. pembuatan produk steril harus
sepenuhnya mengikuti metode pembuatan dan prosedur yg ditetapkan, secara ketat,
karena risiko yang ditimbulkan dari obat jenis juga sangat besar

Pembuatan sediaan yang akan digunakan untuk harus hati-hati untuk


menghindari kontaminasi mikroba dan bahan asing. Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB) mensyaratkan pula tiap wadah akhir injeksi harus diamati satu persatu
secara fisik. Kemudian, kita harus menolak tiap wadah yang menunjukkan
pencemaran bahan asing yang terlihat secara visual. Bentuk suatu obat yang dibuat
sebagai obat suntik tergantung pada sifat obat sendiri dengan memperhitungkan sifat
kimia dan fisika serta pertimbangan terapetik tertentu. Pada umumnya, bila obat
tidak stabil didalam larutan, maka obat tersebut harus membuatnya sebagai serbuk
kering yang bertujuan dibentuk dengan penambahan pelarut yang tepat pada saat
akan diberikan. Cara lainnya adalah membuatnya dengan bentuk suspensi partikel
obat dalam pembawa yang tidak melarutkan obat. Bila obat tidak stabil dengan
adanya air, maka pelarut dapat diganti sebagian atau seluruhnya dengan pelarut yang
tepat untuk obat agar stabil. Bila obat tidak larut dalam air, maka obat suntik dapat
dibuat sebagai suspensi air atau larutan obat dalam pelarut bukan air, seperti minyak
nabati. Bila larutan air yang diinginkan, maka dapat digunakan garam yang dapat
larut dari obat yang tidak larut untuk memenuhi sifat-sifat kelarutan yang
diisyratkan. Larutan air atau larutan yang bercampur dengan darah dapat disuntikan
langsung kedalam aliran darah. Cairan yang tidak bercampur dengan darah, seperti
obat suntik berminyak atau suspensi, dapat menghambat aliran darah normal dalam
sistem peredaran darah dan umumnya digunakan terbatas untuk pemberian bukan
intravena (Ansel, 1989).

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 8


II.3 Jenis Stabilitas Produk dan Sediaan Farmasi

a. Stabilitas Kimia, tiap zat aktif mempertahankan keutuhan kimiawi dan


potensiasi yang tertera pada etiket dalam batas yang dinyatakan dalam
spesifikasi.
b. Stabilitas Fisika, mempertahankan sifat fisika awal, termasuk penampilan,
kesesuaian, keseragaman, disolusi, dan kemampuan untuk disuspensikan.
c. Stabilitas Mikrobiologi, sterilisasi atau resistensi terhadap pertumbuhan mikroba
dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang tertera. Zat antimikroba yang ada
mempertahankan efektifitas dalam batas yang ditetapkan.
d. Stabilitas Farmakologi, efek terapi tidak berubah selama usia guna sediaan.
e. Stabilitas Toksikologi, tidak terjadi peningkatan bermakna dalam toksisitas
selama usia guna sediaan.

1. Stabilitas Fisika
Stabilitas fisika adalah mengevaluasi perubahan sifat fisika dari suatu
produk yang tergantung waktu (periode penyimpanan). Contoh dari perubahan
fisika antara lain : migrasi (perubahan) warna, perubahan rasa, perubahan bau,
perubahan tekstur atau penampilan. Evaluasi dari uji stabilitas fisika meliputi :
pemeriksaan organoleptik, homogenitas, ph, bobot jenis.

Kriteria stabilitas fisika:

 Penampilan fisika meliputi; warna, bau, rasa, tekstur, bentuk sediaan


 Keseragaman bobot
 Keseragaman kandungan
 Suhu
 Disolusi
 Kekentalan
 Bobot jenis
 Visikositas

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 9


Sifat fisik meliputi hubungan tertentu antara molekul dengan bentuk energi
yang telah ditentukan dengan baik atau pengukuran perbandingan standar luar
lainnya. Dengan menghubungkan sifat fisik tertentu dengan sifat kimia dari
molekul-molekul yang hubungannya sangat dekat, kesimpulannya adalah :

1) Menggambarkan susunan ruang dari molekul obat


2) Memberikan keterangan untuk sifat kimia atau fisik relatif dari sebuah molekul
3) Memberikan metode untuk analisis kualitatif dan kuantitatif untuk suatu zat
farmasi tertentu.

Ketidakstabilan Fisika

Berikut ini akan diuraikan jenis ketidakstabilan yang paling penting, tanpa
memperdulikan kesempurnaan prosesnya.

1) Perubahan struktur kristal


Banyak bahan obat menunjkkan perilaku polomorfi, yang disebabkan oleh
perubahan lingkungan, yang tidak terdeteksi secara organoleptis. Akan tetapi
umumnya menyebabkan terjadinya perubahan dalam perilaku pembebasan dan
resorpsi bahan obat.

2) Perubahan kondisi distribusi


Dengan aktifnya daya gravitasi akan terjadi fenomena pemisahan pada sistem
cairan banyak fase, namun dalam stadium lanjut dapat terlihat sebagai
sedimentasi atau pengapungan.

3) Perubahan konsisitensi atau kondisi agregat


Sediaan obat semi padat seperti salep atau pasta selama penyimpanan dapat
mengalami pengerasan.

4) Perubahan perbandingan kelarutan


Pada sistem dispersi molekular (misalnya larutan bahan obat) dapat terjadi
pemisahan bahan terlarut (kristalisasi atau pengedapan) melalui perubahan
konsentrasi akibat penguapan bahan pelarut.

5) Perubahan perbandingan hidratasi


Melalui pengambilan atau pelepasan cairan dapat mempengaruhi perbandingan
hidratasi senyawa sekaligus sifatnya secara nyata.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 10


2. Stabilitas Farmakologi
Aktivitas senyawa bioaktif disebabkan oleh interaksi antara molekul obat
dengan bagian molekul dari obyek biologis yaitu resptor spesifik. Untuk dapat
berinteraksi dengan reseptor spesifik dan menimbulkan aktivitas spesifik,
senyawa bioaktif harus mempunyai stuktur sterik dan distribusi muatan yang
spesifi pula. Dasar dari aktivitas bioogis adalah proses-proses kimia yang
kompleks mulai dari saat obat diberikan sampai terjadinya respons biologis.

Fasa-fasa yang mempengaruhi aktivitas obat

a. Fasa farmasetik
Fasa ini menentukan ketersediaan farmasetik yaitu ketersediaan
senyawa aktif untuk dapat diabsorpsi oleh sistem biologis. Untuk dapat
diabsorpsi senyawa obat harus dalam bentuk molekul dan mempunyai
lipofilitas yang sesuai. Bentuk molekul senyawa dipengaruhi oleh nilai pKa
dan pH lingkungan (lambung pH= 1-3 dan usus pH = 5-8). Pada fasa I
selain sifat molekul obat, seperti kestabilan terhadap asam lambung dan
larutan dalam air, formulasi farmasetis dan bentuk sediaan yang digunakan
juga penting untuk aktivitas obat.

b. Fasa Farmakokinetik
Meliputi proses fasa II dan fasa III. Fasa II adalah proses absorpsi
molekul obat yang mengahasilkan ketersediaan biologis obat, yaitu senyawa
aktif dalam cairan darah (Ph = 7,4) yang akan didistribusikan ke jaringan
atau organ tubuh. Fasa III adalah fasa yang melibatkan proses distribusi,
metabolisme dan ekresi obat, yang menentukan kadar senyawa aktif pada
kompartemen tempat reseptor berbeda. Fasa I, II dan III menentukan kadar
obat aktif yang dapat mencapai jaringan target.

c. Fasa Farmakodinmik
Meliputi proses fasa IV dan fasa V. Fasa IV adalah tahap interaksi
molekul senyawa aktif dengan tempat aksi spesifik atau reseptor pada
jaringan target, yang dipengaruhi oleh ikatan kimia yang terlibat. Fasa V
adalah induksi rangsangan, dengan melalui proses biokimia, menyebabkan
terjadinya respons biologis.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 11


3. Stabilitas Kimia
Stabilitas kimia suatu obat adalah lamanya waktu suatu obat untuk
mempertahanakan integritas kimia dan potensinya seperti yang tercantum pada
etiket dalam batas waktu yang ditentukan. Pengumpulan dan pengolahan data
merupakan langkah menentukan baik buruknya sediaan yang dihasilkan,
meskipun tidak menutup kemungkinan adanya parameter lain yang harus
diperhatikan. Data yang harus dikumpulkan untuk jenis sediaan yang berbeda
tidak sama, begitu juga untuk jenis sediaan sama tetapi cara pemberiannya lain.
Jadi sangat bervariasi tergantung pada jenis sediaan, cara pemberian, stabilitas
zat aktif dan lain-lain.

Data yang paling dibutuhkan adalah data sifat, kimia, kimiafisik, dan
kerja farmakologi zat aktif (data primer), didukung sifat zat pembantu (data
sekunder). Secara reaksi kimia zat aktif dapat terurai karena beberapa faktor
diantaranya ialah, oksigen (oksidasi), air (hidrolisa), suhu (oksidasi), cahaya
(fotolisis), karbondioksida (turunnya pH larutan), sesepora ion logam sebagai
katalisator reaksi oksidasi. Jadi jelasnya faktor luar juga mempengaruhi
ketidakstabilan kimia seperti, suhu, kelembaban udara dan cahaya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Kimia

Masing-masing bahan tambahan baik yang memiliki efek terapetik atau


non terapetik dapat mempengaruhi stabilitas senyawa aktif dan sediaan. Faktor
kondisi lingkungan yang utama yang dapat mengurangi stabilitas termasuk di
dalamnya Paparan temperatur yang ekstrim, cahaya, kelembaban dan CO2.
Faktor utama dari bentuk sediaan yang dapat mempengaruhi stabilitas obat,
termasuk ukuran partikel, pH, komposisi sistem pelarutan, kompatibilitas anion
dan kation, kekuatan larutan ionik, kemasan primer, bahan tambahan kimia yang
spesifik dan ikatan kimia dan difusi dari obat dan bahan tambahan. Dalam
berbagai bentuk sediaan reaksi-reaksi ini dapat mengakibatkan rusaknya
kandungan zat aktif, antara lain adalah

1) Hidrolisis

Ikatan amida juga dpt terhidrolisa meskipun kecepatan hidrolisanya lebih


lambat disbanding ester. Sebagai contoh prokain akan terhidrolisa apabila di
autoklaf, tetapi senyawa prokainamid tidak terhidrolisa.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 12


Gugus laktam dan azometin (imine) dalam benzodiazepine juga dapat
tehidrolisis. Faktor kimia yang dapat menjadi katalis dalam reaksi hidrolisi
adalah pH dan senyawa kimia tertentu (contohnya dextrose dan tembaga
dalam kasus hidrolisa ampisilin)

2) Epimerisasi
Senyawa tetrasiklin paling umum mengalami epimerisasi. Reaksi terjadi
dengan cepat ketika obat dilarutkan dan terpapar dg pH lebih dari 3,
mengakibatkan terjadinya perubahan sterik pada gugus dimetilamin. Bentuk
epimer dari tetrasiklin seperti epitetrasiklin tidak memiliki aktifitas anti
bakteri.

3) Dekarboksilasi
Beberapa asam senyawa asam karboksilat terlarut seperti para-amini
salisilic acid dapat kehilangan CO2 dari gugus karboksil ketika dipanaskan.
Produk urainya memiliki potensi farmakologi yang rendah. Beta-keto
dekarboksilasi dapat terjadi pada beberapa antibiotik yang memiliki gugus
karbonil pada beta karbon dari asam karboksilat atau anion karboksilat.
Dekarboksilasi akan terjadi pada beberapa antibiotik : Carbenicillin sodium,
Carbenicillin free acid, Ticarcillin sodium, Ticarcillin free acid.

4) Dehidrasi
Dehidrasi yang dikatalisis oleh asam pada golongan tetrasiklin
menghasilkan senyawa epianhidrotetrasiklin, senyawa yang tdk memiliki efek
anti bakteri dan memiliki efek toksisitas

5) Oksidasi
Struktur molekular yang dapat mudah teroksidasi adalah gugus hidroksil
yang terikat langsung pada cincin aromatik (contoh pada katekolamin dan
morfin), gugus dien terkonjugasi (vit A dan asam lemak tak jenuh), cicin
heterosiklik aromatik, gugus turunan nitroso dan nitrit dan aldehid
(flavoring). Produk hasil oksidasi biasanya memiliki efek terapetik lebih
rendah. Identifikasi secara visual bisa terlihat pada perubahan warna
contohnya pada kasus efineprin. Oksidasi dapat dikatalisa oleh pH ion logam
contohnya tembaga dan besi, paparan terhadap oksigen, UV.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 13


6) Dekomposisi fotokimia
Paparan pada UV dapat menyebabkan oksidasi (foto oksidasi) dan
fotolisis pada ikatan kovalen. Nipedipin, nitroprusin, ribovlavin, dan
fenotiazin sangat tidak stabil terhadap foto oksidasi.

7) Kekuatan Ion
Efek dari jumlah elektrolit yang terlarut terhadap kecepatan hidrolisis
dipengaruhi oleh kekuatan ion pada interaksi inter ionik. Secara umum
konstanta kecepatan hidrolisis berbanding tebalik dengan kekeuatan ion dan
sebaliknya dengan muatan ion, sebagai contoh obat-obat kation yang
diformulasikan dengan bahan tambahan anion.

8) Perubahan Nilai pH
Degradasi dari banyak senyawa obat dalam larutan dapat dipercepat atau
diperlambat secara ekponensial oleh nilai pH yang naik atau turun dari
rentang pH nya. Nilai pH yang di luar rentang dan paparan terhadap
temperatur yang tinggi adalah faktor yang mudah mengkibatkan efek klinik
dari obat secara signifikan, akibat dari reaksi hidrolisis dan oksidasi. Larutan
obat atau suspensi obat dapat stabil dalam beberapa hari, beberapa minggu,
atau bertahun-tahun pada formulasi aslinya, tetapi ketika dicampurkan dengan
larutan lain yang dapat mempengaruhi nilai pH nya, senyawa aktif dapat
terdegradasi dalam hitungan menit.

Sistem pH dapar yang biasanya terdegradasi dari asam atau basa lemah
dan garamnya biasanya ditambahkan ke dalam sediaan cair ditambahkan
untuk mempertahankan pHnya pada rentang dimana terjadinya degradasi obat
minimum. Pengaruh pH pada kestabilan fisik sistem dua fase contohnya
emulsi juga penting, sebagai contoh kestabilan emulsi intravena lemak
dirusak oleh pH asam.

9) Interionik
Kelarutan dari muatan ion yang berlawanan tergantung pada jumlah
muatan ionnya dan ukuran molekulnya. Secara umum ion-ion polivalen
dengan muatan berlawanan bersifat inkompatibel. Jadi inkompatibilitasnya
lebih mudah terjadi dengan penambahan sejumlah besar ion dengan muatan
yang berlawanan.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 14


10) Kestabilan bentuk padat
Reaksi pada kondisi padat relatif bersifat lambat, kecepatan degradasinya
dikarakterisasi sesuai dengan kecepatan kinetik orde 1 atau sesuai dengan
kurva signoid. Sehingga obat-obat berbentuk padat dengan titik leleh yang
rendah tidak boleh dikombinasikan dengan bahan kimia lain yang dapat
membentuk campuran uetectic. Pada kondisi kelembaban yang tinggi,
kecepatan dekomposisinya berubah sesuai dengan kecepatan kinetik orde nol,
karena kecepatan dekomposisinya diatur secara relatif oleh fraksi kecil dari
obat yang muncul pada larutan jenuh yang letaknya pada permukaan atau atau
di dalamnya.

11) Temperatur
Secara umum kecepatan reaksi kimia meningkat secara eksponensial
setiap kenaikan 10 derajat suhu. Faktor nyata yang mengakibatkan kenaikan
kecepatan reaksi kimia ini adalah karena aktifasi energi. Waktu simpan obat
pada suhu ruang biasanya akan berkurang ¼ atau 1/25 dari waktu simpan di
dalam refrigrator. Temperatur dingin juga dapat mengakibatkan
ketidakstabilan. Sebagai contoh refrigerator dapat mengkibatkan kenaikan
viskositas pada sediaan cair dan menyebabkan supersaturasi pada kasus lain,
dingin atau beku dapat merubah ukuran droplet pada emulsi, dapat
mendenaturasi protein atau pada kasus tertentu dapat menyebabkan kelarutan
beberapa polimerik obat dapat berkurang.

4. Stabilitas Mikrobiologi
Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan adalah keadaan di mana tetap
sediaan bebas dari mikroorganisme atau memenuhi syarat batas miroorganisme
hingga batas waktu tertentu. Terdapat berbagai macam zat aktif obat, zat
tambahan serta berbagai bentuk sediaan dan cara pemberian obat. Tiap zat,
cara pemberian dan bentuk sediaan memiliki karakteristik fisika-kimia
tersendiri dan umumnya rentan terhadap kontaminasi mikroorganisme dan/atau
memang sudah mengandung mikroorganisme yang dapat mempengaruhi mutu
sediaan karena berpotensi menyebabkan penyakit, efek yang tidak diharapkan
pada terapi atau penggunaan obat dan kosmetik.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 15


Oleh karena itu farmakope telah mengatur ketentuan mengenai
kandungan mikroorganisme pada sediaan obat maupun kosmetik dalam rangka
memberikan hasil akhir berupa obat dan kosmetika yang efektif dan aman
untuk digunakan atau dikonsumsi manusia. Stabilitas mikrobiologi diperlukan
oleh suatu sediaan farmasi untuk menjaga atau mempertahankan jumlah dan
menekan pertumbuhan mikroorgansme yang terdapat dalam sediaan tersebut
hingga jangka waktu tertentu yang diinginkan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Mikrobiologi

Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan dapat dipengaruhi oleh beberap factor,


antara lain:

1) Faktor Sifat Fisika-Kimia Zataktif danZattambahan


Sifat fisika kimia zat aktif maupun zat tambahan dapat mempengaruhi
stabilitas mikrobiologi sediaan. Zat yang bersifat higroskopik atau
hidrofilik rentan terhadap kontaminasi mikroorganisme. Hal ini
berhubungan dengan adanya air yang merupakan media pertumbuhan bagi
mikroorganisme.

2) Faktor Kontaminasi dari Bahan Baku dan Proses


Bahan baku alami dalam bantuk air yang bebas serbuk atau granula
dapat menjadi tempat tumbuhnya mikroorganisme, virus atau pun toksin
mikroba. Analisa terhadap bahan-bahan ini dapat menunjukkan
keberadaan bakteri, spora Clostridium, Staphylococci, kapang dan
khusunya toksin fungi/jamur.

Kemungkinan keberadaan mereka mungkin sudah ada semenjak tahap


persiapan produksi. Bahan alami yang diekstrak, diproduksi maupun
disediakan dalam bantuk cair juga rentan terhadap kontaminasi
mikroorganisme. Cara pengawetan yang tidak tepat ketiga digunakan utuk
menghasilkan produk dalam bentuk larutan, disperse atau pun emulsi dapat
mendukung pertumbuhan mikroorganisme Gram negative seperti
Enterobacter spp., E. coli, Citrobacter spp., Pseudomonas spp dan
lainnya.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 16


5. Stabilitas Toksikologi
Stabilitas toksikologi adalah ukuran yang menujukkan ketahanan suatu
senyawa/ bahan akan adanya pengaruh kimia, fisika, mikrobiologi dan
farmakologi yang tidak menyebabkan peningkatant oksisitas secara signifikan.

Efek toksik dapat dibedakan, menjadi :

a. Efek toksik akut, mempunyai korelasi langsung dengan absorpsi zat toksik
b. Efek toksik kronis, zat toksik dalam jumlah kecil diabsorpsi sepanjang
jangka waktu lama, terakumulasi, mencapai konsentrasi toksik akhirnya
timbul keracunan.

Toksisitas jangka panjang, efek toksik baru muncul setelah periode


waktu laten yang lama sebagai contoh kerja karsinogenik dan mutagenik.
Penggolongan toksikologi dengan cara lain berdasarkan jenis zat dan keadaan
yang mengakibatkan kerja toksik, yaitu : kerja / efek tidak diinginkan,
keracunan akut pada dosis berlebih, pengujian terhadap toksisitas dan toleransi
pada fase praklinik.

Zat kimia disebut xenobiotik (xeno = asing), dimana setiap zat kimia
baru harus diteliti sifat-sifat toksiknya sebelum diperbolehkan penggunaannya
secara luas. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan toksisitas adalah :

a. Dosis
Dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun. Untuk setiap zat
kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang tidak berefek sama
sekali atau dosis besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan
kematian.

b. Faktor bahan penyusun


a) Stabilitas bahan aktif
b) Bahan pembantu

1) Dapar
Merupakan suatu campuran asam lemah dengan garamnya atau basa
lemah dengan garamnya. tujuannya adalah untuk mempetahankan ph,
meningkatkan stabilitas obat, meningkatkan kelarutan obat, efek terapetik.
Kriteria pemilihan dapar, yaitu :
| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 17
 Dapar mempunyai kapasitas yang memadai dalam kisaran pH yang
dinginkan (untuk mempertahankan stabilitas obat maka daparnya kecil)
 Dapar harus aman secara biologis
 Dapar tidak mempunyai efek merusak stabilitas produk
 Memperbaiki rasa dan warna yang dapat diterima

2) Pengawet
Kemungkinan kontaminasi selama pembuatan, penyimpanan dan
penggunaan. Sumber kontaminan; berasal dari manusia, bahan obat, bahan
tambahan, lingkungan, alat-alat dan bahan pengemas. Faktor-faktor yang
mempengaruhi aktivitas pengawet:

 Koefisien distribusi liphoid-air yang dipilih pengawet yang larut


 Harga pH karena pengawet yang dapat menimbulkan aktivitas adalah
pengawet yang tidak terdisosiasi atau terdapat dalam bentuk molekul
yang dapat menembus membran
 Konsentrasi, ada yang menghambat pertumbuhan dan juga mematikan
sel
 Suhu, dengan kenaikan suhu berarti terjadi kenaikan aktivitas
pengawet
Syarat memilih bahan pengawet, yaitu perlu dipilih bahan yang dapat
tersatukan secara fisiologis, tidak toksik, alergi dan sensibilisasi, yang
kesemuanya tergantunng dosis, dapat tercampur dengan bahan aktif dan
bahan tambahan termasuk wadah dan tutup, tidak berbau dan tidak berasa,
efektif sebagai bakteriostatik atau bakterisid, fungiostatik atau fungisid
serta cukup larut dalam pembawa hingga mencapai konsentarsi yang
memadai.

3) Antioksidan
Terjadinya oksidasi karena dipengaruhi oleh :
 Harga pH semakin tinggi harga pH semakin rendah potensial redoks
sehingga oksidasinya semakin lancar
 Cahaya sebab cahaya mengandung energi oton yang dapat
meningkatkan atau mempercepat proses oksidasi, maka molekul-
molekul obat semakin reaktif
 O2 atau kandungan O2 akan meningkatkan proses oksidasi

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 18


 Ion logam berat berfungsi sebagai katalisator proses oksidasi

Pertimbangan-pertimbangan dalam memilih antioksidan antara lain


adalah harus efektif pada konsentrasi yang menurun, tidak toksik, tidak
merangsang, dan tidak menimbulkan OTT, larut dalam pembawa dan dapat
bercampur dengan bahan lainnya.

c. Faktor luar
a) Cara pembuatan
b) Bahan pengemas
Terbagi atas 2, yaitu bahan pengemas primer yaitu bahan pengemas yang
langsung bersentuhan atau kontak dengan sediaan (wadahnya), dan bahan
pengemas sekunder, yaitu bahan pengemas yang tidak bersentuhan langsung
dengan sediaan. Syarat dalam pemilihan bahan pengemas antara lain adalah :

 Melindungi preparat dari keadaan lingkungan


 Tidak boleh bereaksi dengan produk
 Tidak boleh memberikan rasa atau bau paa produk
 Tidak toksik
 Disetujui oleh lembaga kesehatan duni
 Harus memenuhi tuntunan tahan banting yang sesuai
 Mudah mengeluarkan isi
 Menarik

d. Kondisi Penyimpanan Yang Meliputi Suhu, Tekanan, Kelembapan Dan


Cahaya
Suhu penyimpanan sediaan harus dijelaskan karena menyangkut aspek
stabilitas dan masa kadaluwarsa sediaan. Suhu penyimpanan menurut farmakope
indonesia terdiri dari :

 Dingin adalah pada suhu tidak lebih dari 8°C.


 Sejuk adalah penyimpanan pada suhu antara 8°C dan 15°C.
 Suhu Kamar adalah penyimpanan pada suhu ruang kerja. Suhu kamar
terkendali adalah suhu yang diatur antara 15°C dan 30°C.
 Hangat adalah penyimpanan pada suhu antara 30°C dan 40°C.
 Panas berlebih adalah penyimpanan pada suhu di atas 40°C.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 19


Perlindungan dari pembekuan selain resiko kerusakan kemasan (wadah),
pembekuan suatu sediaan (artikel) dapat menyebabkan kehilangan kekuatan /
potensi, atau merusak dan mengubah sifat sediaan. Pada etiket / label kemasan
harus dicantumkan petunjuk untuk melindungi sediaan / artikel dari pembekuan.
Penyimpanan di bawah kondisi tidak khusus jika tidak ada petunjuk khusus
penyimpanan atau pemabatasan dalam monografi, maka kondisi penyimpanan
termasuk perlindungan terhadap kelembapan, pembekuan dan panas berlebihan.

II.4 Wadah Penyimpanan Sediaan Steril Bentuk Cair


1. Ampul dan Vial
Wadah berhubungan erat dengan produk. Tidak ada wadah yang tersedia
sekarang ini yang benar-benar tidak reaktif, terutama dengan larutan air. Sifat
fisika dan kimia mempengaruhi kestabilan produk tersebut, tetapi sifat fisika
diberikan pertimbangan utama dalam pemilihan wadah pelindung (Lachman,
1994).

1. Ampul
Ampul adalah wadah berbentuk silindris terbuat dari gelas, yang
memiliki ujung runcing (leher) dan bidang dasar datar ukuran normalnya
adalah 1, 2, 5, 10, 20, kadang – kadang juga 25 atau 30 ml. Ampul adalah
wadah takaran tunggal, oleh karena total jumlah cairannya ditentukan
pemakainannya untuk satu kali injeksi (Voight, 1995).
Sediaan suntik dibuat secara steril karena sediaan ini diberikan secara
parenteral. Istilah steril adalah keadaan bebas dari mikroorganisme baik
bentuk vegetatif, nonvegetatif, pathogen maupun nonpatogen. Sedangkan
parenteral menunjukkan pemberian dengan cara disuntikkan. Produk
parenteral dibuat mengikuti prosedur steril mulai dari pemilihan pelarut
hingga pengemasan. Bahan pengemas yang biasa digunakan sebagai sediaan
steril yaitu gelas, plastik, elastik (karet), metal. Pengemasan sediaan suntik
harus mengikuti prosedur aseptis dan steril karena pengemas ini langsung
berinteraksi dengan sediaan yang dibuat, termasuk dalam hal ini wadah.
Wadah merupakan bagian yang menampung dan melindungi bahan yang
telah dibuat (Ansel,1989).

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 20


Wadah obat suntik (termasuk tutupnya) harus tidak berinteraksi dengan
sediaan, baik secara fisik maupun kimia karena akan mengubah kekuatan dan
efektifitasnya. Bila wadah dibuat dari gelas, maka gelas harus jernih dan tidak
berwarna atau berwarna kekuningan, untuk memungkinkan pemeriksaan
isinya. Jenis gelas yang sesuai dan dipilih untuk tiap sediaan parenteral
biasanya dinyatakan dalam masing-masing monograf. Obat suntik
ditempatkan dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis berganda (Ansel,
1989).
Wadah dosis tunggal adalah suatu wadah yag kedap udara yang
mempertahankan jumlah obat steril yang dimaksudkan untuk pemberian
parenteral sebagai dosis tunggal, dan yang bila dibuka tidak dapat ditutup
rapat kembali dengan jaminan tetap steril (Ansel,1989)
Wadah dosis berganda adalah wadah kedap udara yang memungkinkan
pengambilan isinya secara berulang tanpa terjadi perubahan kekuatan,
kualitas atau kemurnian pada bagian yang tertinggal (Ansel, 1989)
Wadah dosis tunggal biasanya disebut ampul, tertutup rapat dengan
melebur wadah gelas dalam kondisi aseptis. Wadah gelas dibuat mempunyai
leher agar dapat dengan mudah dipisahkan dari bagian badan wadah tanpa
terjadi serpihan-serpihan gelas. Sesudah dibuka, isi ampul dapat dihisap
kedalam alat suntik dengan jarum hipodermik. Sekali dibuka, ampul tidak
dapat ditutup dan digunakan lagi untuk waktu kemudian, karena sterilitas
isinya tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi. Beberapa produk yang dapat
disuntikkan dikemas dalam alat suntik yang diisi sebelumnya dengan atau
tanpa cara pemberian khusus. Gelas yang digunakan dalam mengemas
sediaan farmasi digolongkan menjadi 4 kategori, yaitu :

Gelas Komposisi Sifat-sifat Aplikasi

Sediaan
Resistensi parenteral
terhadap asidik dan
Tipe
Borosilikat hidrolisis netral, bisa juga
1
tinggi,eksporasi untuk sediaan
termal rendah alkali yang
sama

Tipe Kaca soda Resistensi Sediaan

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 21


II kapur hidrolitik parenteral
(diperluka relatif tinggi asidik dan
n netral, bisa juga
dealkalisas untuk sediaan
i) alkalin yang
sesuai

Kaca soda
Sama dengan Cairan anhidrat
lapur
tipe II, tapi dan produk
Tipe (tidak
dengan kurang, sediaan
III mengalam
pelepasan parenteral jika
i
oksida sesuai
perlakuan

Hanya
Kaca soda digunakan
Resistensi
Tipe kapur untuksediaaan
hidrolitik
NP (pengguna non parenteral
sangat rendah
an umum) (oral, tipikal,
dsb)

 Tipe 1, 2 dan 3 dimaksudkan untuk produk parenteral


 Dan tipe NP dimaksudkan untuk produk non-parenteral dan tipe itu
dimaksudkan untuk penggunaan oral dan topical
Keempat kategori tersebut tergantung pada bahan kimia dari gelas tersebut dan
kemampuannya untuk mencegah penguraian. Pembuatan sediaan farmasi harus
memilih dan menggunakan wadah yang tidak mempengaruhi komposisi dan
kestabilan dari produknya. Tipe 1 umumnya merupakan gelas yang paling tahan dari
keempat kategori tersebut (Ansel,1989).

2. Vial
Sediaan steril injeksi dapat berupa ampul, ataupun berupa vial. Injeksi vial
adalah salah satu bentuk sediaan steril yang umumnya digunakan pada dosis ganda
dan memiliki kapasitas atau volume 0,5 mL – 100 mL. Injeksi vial pun dapat berupa
takaran tunggal atau ganda dimana digunakan untuk mewadahi serbuk bahan obat,
larutan atau suspensi dengan volume sebanyak 5 mL atau pun lebih.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 22


Berdasarkan R.VOIGHT (hal 464) menyatakan bahwa, botol injeksi vial ditutup
dengan sejenis logam yang dapat dirobek atau ditembus oleh jarum injeksi untuk
menghisap cairan injeksi. Hal yang perlu diperhatikan untuk sediaan injeksi dalam
wadah vial (takaran ganda):
a. Perlu pengawet karena digunakan berulang kali sehingga kemungkinan adanya
kontak dengan lingkungan luar yang ada mikroorganismenya.
b. Tidak perlu isotonis, kecuali untuk subkutan dan intravena harus dihitung
isotonis (0,6% – 0,2%) (FI IV hal. 13).
c. Perlu dapar sesuai pH stabilitasnya.
d. Zat pengawet (FI IV hal 17) keculai dinyatakan lain, adalah zat pengawet yang
cocok yang dapat ditambahkan ke dalam injeksi yang diisikan dalam wadah
ganda/injeksi yang dibuat secara aseptik, dan untuk zat yang mepunyai
bakterisida tidak perlu ditambahkan pengawet.

II.5 Proses Pengemasan Sediaan Steril Bentuk Cair


1. Pembersihan
Pada umumnya, ampul kosong yang dipasarkan dalam keadaan terbuka
memiliki leher yang lebar untuk memudahkan pembersihan dan pengisian.
Dengan cara pengisian ampul berulang kali dengan cairan pencuci dan akhirnya
dikosongkan dapat diperoleh ampul yang bersih dan menjamin bahwa seluruh
partikel pengotor dan serpihan gelas telah dihilangkan.
Dalam industri kecil, digunakan beberapa alat pencuci dimana ampul-ampul
dipasang pada kanula dan air ditekan mengalir kedalam ampul melaui kanula
bermantel. Suplai air dihentikan digantikan dengan aliran udara bertekanan yang
menekan keluar sisa-sisa air sampai ampul mengering.
Dalam industri besar, tersedia mesin-mesin pembersih ampul semiotomatis
dan otomatis. Pada mesin pencuci otomatis pembersihan dilakuakan dengan
cairan pencuci panas bersuhu 80C bertekanan tinggi (0,4 Mpa, 4 at) dimana
serpihan gelas yang melekat erat pada dinding-dinding dan umumnya baru dapat
dihilangkan pada saat sterilisasi melalui kerja panas, juga turut tercuci. Setelah
dilakukan penyemprotan dengan cairan pencuci umumnya masih diikuti
2xpencucian dengan air pada tekanan yang sama dan diakhiri dengan air suling
(0,05 Mpa, 0,5 at) (voight,1995).

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 23


2. Pengisian
Pengisian ampul dengan larutan obat dilakuakn pada sebuah alat khusus
untuk pabrik kecil atau menengah pengisian dilakukan dengan alat torak pengisi
yang bekerja secara manual atau elektris. Melalui gerak lengannya larutan
yangakan diisikan dihisap oleh sebuah torak kedalam penyemprot penakar dan
melalui kebalikan gerak lengan dilakukan pengisiannya (voight,1995).
3. Penutupan
Penutupan ampul dapat dilakukan dengan 2 cara. Pertama cara peleburan,
dimana semburan nyala api diarahkan pada leher ampul yang terbuka dan ampul
ditutup dengan membakar disatu lokasi lehernya sambil diputar kontinyu. Kedua
cara tarikan, dimana seluruh alat penutup ampul otomatis yang digunakan dalam
industri bekerja menurut prinsip ini
Pada alat ini sebuah (atau juga 2 buah) semburan api diarahkan pada bagian
tengah leher ampul. Setelah gelas melunak bagian atas leher dijepit dengan sebuah
pinset (pada kerja manual), atau dilakukan oleh alat khusus (masinel) kemudian
ditarik keatas kemudian ampul dapat ditutup.

BAB III

PEMBAHASAN

III.1 Pelepasan Suspensi Intramuskular


Obat yang diinjeksikan ke dalam massa otot, obat harus mencapai sistem
sirkulasi atau cairan tubuh yang lain untuk dapat berada dalam sistemik. Anatomi
tempat injeksi intramuskular akan mempengaruhi laju absorpsi obat. Suatu obat
yang diinjeksikan dalam otot deltoid diabsorpsi lebih cepat daripada obat yang
sama yang di injeksikan ke dalam gluteus maksimus karena aliran darah dalam
otot deltoid lebih baik. Pada umumnya, bioavaibilitas terbesar yang harus
diberikan untuk memastikan efek terapetik yang maksimum. Pemberian
intramuskuler memberikan efek “depot” (lepas lambat), puncak konsentrasi dalam
darah dicapai setelah 1-2 jam. Injeksi suspensi yang diberikan melalui rute
intramuscular, seluruh obat akan berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu
obat akan masuk ke pembuluh darah di sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk
ke dalam sirkulasi.

Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses transmembran bagi


umumnya obat – obat. Tenaga pendorong untuk difusi pasif adalah perbedaan
| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 24
konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel. Dimana obat berdifusi dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Cara ini sesuai untuk bahan
obat , baik yang bersifat lipofilik maupun yang hidrofilik. Kedua bahan obat itu
dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun secara kimia. bahkan
bentuk sediaan larutan, suspensi, atau emulsi juga dapat diterima lewat
intramskuler, begitu juga pembawanya bukan hanya air melainkan yang non air
juga dapat. Hanya saja apabila berupa larutan air harus diperhatikan pH larutan
tersebut.

Faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari jaringan otot (im) antara
lain : rheologi produk, konsentrasi dan ukuran partikel obat dalam pembawa,
bahan pembawa, volume injeksi, tonisitas produk dan bentuk fisik dari produk.
Persyaratan pH sebaiknya diperhatikan, karena masalah iritasi, tetapi dapat dibuat
pH antara 3-5 kalau bentuk suspensi ukuran partikel kurang dari 50 mikron.

III.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi ADME

a. Absorpsi Suspensi Intamuskular Melalaui Dinding Kapiler


Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah
saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. (Gunawan,
2009).
Injeksi intramuskular menunjukan suatu absorpsi yang lebih cepat
daripada absorpsi sediaan oral, akan tetapi mungkin suatu sediaan intramuskular
dapat melepaskan obat yang relatif lambat. Sediaan obat terjadi bila obat berdifusi
dari otot ke cairan yang mengelilingi jaringan dan kemudian ke darah. Injeksi
suspensi intramuskular dapat diformulasikan untuk pelepasan obat secara cepat
atau lambat dengan mengubah pembawa sediaan injeksi.

Obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat berupa larutan


dalam air atau preparat depo khusus sering berupa suspensi obat dalam vehikulum
non aqua seperti etilenglikol. Absorbsi obat dalam larutan cepat sedangkan
absorbsi preparat-preparat depo berlangsung lambat. Kelarutan obat dalam air
menentukan ketepatan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut seperti

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 25


dizepam dan penitoin akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsi obat
berjalan lambat. Setelah vehikulum berdifusi keluar dari otot, obat tersebut
mengendap pada tempat suntikan. Kemudian obat melarut perlahan-lahan
memberikan suatu dosis sedikit demi sedikit untuk waktu yang lebih lama dengan
efek terapetik yang panjang.
Absorpsi suspensi obat intramuskular tergantung dari:
1. Aliran darah
2. Permeabilitas kapiler darah
3. Kepadatan jaringan di daerah penyuntikkan
4. Laju pelepasan zat aktif
5. Mekanisme absorpsi: difusi pasif, filtrasi, dan pinositosis
6. Adanya vasodilator dan vasokonstriktor

Pengaruh pembawa dapat mempengaruhi aksi kerja obat


1. Suspensi larut air: aksi obat akan diperlambat karena adanya zat pengsuspensi,
tergantung kepada besarnya obat. (100 μm). Zat pengsuspensi merupakan
polimer larut air sehingga meningkatkan viskositas.
2. Larutan dan suspensi dalam minyak: pelepasan zat aktif lebih lama
dibandingkan dalam larutan air.

Pengendapan zat aktif terjadi karena:


 Adanya perbedaan pH antara pembawa dan cairan biologik
 Pengaruh pengenceran oleh cairan intestinal (penggunaan pelarut campur)
Pengendapan dapat menyebabkan aksi obat diperlambat.

Obat suspensi injeksi intamuskular biasanya berdifusi melalui kapiler


membran sel dalam kompartemen vaskular sebaliknya yang berdifusi melalui
membran sel dari kapiler otak, dimana obat berdifusi lambat ke dalam otak seolah
– olah terdapat membran lipid yang tebal. Obat yang berada di dalam lingkungan
depot akan masuk kedalam pembuluh darah melalui dinding kapiler dengan tebal
dinding 0,5 mm. Obat dapat masuk melalui lorong yang menghubungkan antara
interior dan eksterior. Kemampuan obat dalam melewati membran ini tergantung

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 26


dari besarnya ukuran partikel dan luas permukaan membran dan pH obat
(ionisasi) serta kelarutan obat. Hubungan ini adalah dinyatakan oleh persamaan
Henderson-Hasselbach untuk asam lemah, dinyatakan sebagai berikut:

Dimana :

A dan HA adalah konsentrasi terionisasi dari masing-masing zat.


Keterkaitan antara disosiasi konstan, dan penyerapan obat adalah
dasar untuk hipotesis pH-partisi.

Absorpsi obat dari depot umumnya mengalami disolusi terbatas. Pengaruh


proses penyerapan ditentukan oleh waktu dan kadar obat dalam plasma (C)
seperti ditunjukkan pada Gambar dibawah ini :

a. Distribusi Suspensi Intramuskular

Pemberian suspensi secara intramuskular molekul obat bercampur dengan cairan


tubuh atau jaringan, lalu masuk ke dalam peredaran darah dan kemudian
didistribusikan ke jaringan tempat obat bekerja. Distribusi obat injeksi suspesi
yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor yaitu:
a. Aliran darah. Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke
organ berdasarkan jumlah aliran darah. Organ dengan aliran darah terbesar
adalah jantung, hepar, dan ginjal. Sedangkan distribusi ke organ lain seperti
kulit, lemak, dan otot lebih lambat
b. Permeabilitas kapiler. Distribusi obat tergantung pada struktur kapiler dan
struktur obat.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 27


c. Ikatan protein. Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan
protein dapat terikat atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak
dapat bekerja. Hanya obat bebas yang dapat memberikan efek. Obat
dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat terikat protein
Pada Tubuh manusia terdiri atas berbagai struktur jaringan dengan perbedaan
karakteristik lipofilik. Perbedaan sifat dan struktur jaringan menyebabkan
konsentrasi obat tidak sama dalam jaringan tubuh. Maka, karakteristik distribusi
obat, erat kaitannya dengan respon farmakologi.

b. Metabolisme Suspensi Intramuskular

Proses metabolisme obat di dalam tubuh melibatkan proses biotransformasi


obat secara kimiawi, hal ini terjadi dalam lingkungan biologis. Sebagian besar
reaksi metabolisme merubah obat menjadi bentuk metabolit yang lebih larut
dalam air daan siap dieksresikan melalui ginjal. Tempat utama metabolisme obat
| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 28
parenteral adalah di hati, namun dapat terjadi di ginjal dan jaringan otot. Faktor-
faktor yang mempengaruhi kecepatan metabolisme obat yaitu faktor genetik,
umur, lingkungan dan penyakit yang diderita.

Reaksi biokimia yg terjadi pada metabolisme obat:


 Rx biokimia yg terjadi pada metabolisme obat:
 Reaksi fase I
Oksidasi, reduksi dan hidrolisis
Mengubah obat menjadi lebih polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang
aktif/lebih aktif dr sebelumnya.
 Reaksi fase II
Reaksi sintetik/konjugasi obat, metabolit hsl reaksi fase I dengan substat
endogen seperti: as.glukuronat, sulfat, asetat/as.amino, hsl konjugasi ini
bersifat lebih polar, lebih mudah terionisasi dan lebih mudah dikeluarkan.

Faktor – faktor yang mempengaruhi biafarmasi obat yaitu :

1. Faktor Intrinsik
Meliputi sifat yang dimiliki obat seperti sifat fisika-kimia obat, lipofilitas,
dosis, dan cara pemberian. Banyak obat, terutama yang lipofil dapat
menstimulir pembentukan dan aktivitas enzim-enzim hati. Sebaliknya
dikenal pula obat yang menghambat atau menginaktifkan enzim tersebut,
misalnya anti koagulansia, antidiabetika oral, sulfonamide,
antidepresivatrisiklis, metronidazol, allopurinol dan disulfiram (Tan
HoanTjay dkk., 1978).

2. Faktor-Fisiologi meliputi sifat-sifat yang dimiliki makhluk hidup seperti:


jenis atau spesies, genetik, umur, dan jenis kelamin.
a. Perbedaan Spesies dan Galur
Dalam proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada
spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-
kadang ada perbedaan yang cukup besar pada reaksi metabolismenya.
Pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan galur terhadap metabolisme
obat sudah banyak dilakukan yaitu pada tipe reaksi metabolik atau
| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 29
perbedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolismenya atau perbedaan
kuantitatif (Siswandono dan Soekardjo,2000).

b. Faktor Genetik
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-
kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa
faktor genetik atau keturunan berperan terhadap kecepatan metabolisme
obat (Siswandono dan Soekardjo,2000).

c. Perbedaan umur
Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati mungkin menurun, tapi
biasanya yang lebih penting adalah menurunnya fungsi ginjal. Pada usia
65 tahun, laju filtrasi Glomerulus (LFG) menurun sampai 30% dan tiap 1
tahun berikutnya menurun lagi 1-2% (sebagai akibat hilangnya sel dan
penurunan aliran darah ginjal). Oleh karena itu ,orang lanjut usia
membutuhkan beberapa obat dengan dosis lebih kecil daripada orang
muda (Neal,2005).

d. Perbedaan Jenis Kelamin


Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis
kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat. Pada manusia baru
sedikit yang diketahui tentang adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin
terhadap metabolisme obat. Contoh: nikotin dan asetosaldimetabolisme
secara berbeda pada pria dan wanita.

3. Faktor Farmakologi
Meliputi inhibisi enzim oleh inhibitor dan induksi enzim oleh induktor.
Kenaikan aktivitas enzim menyebabkan lebih cepatnya metabolisme
(deaktivasi obat). Akibatnya, kadar dalam plasma berkurang dan
memperpendek waktu paro obat. Karena itu intensitas dan efek
farmakologinya berkurang dan sebaliknya.

4. Faktor Patologi
Menyangkut jenis dan kondisi penyakit. Contohnya pada penderita stroke,
pemberian fenobarbital bersama dengan warfarin secara agonis akan

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 30


mengurangi efek anti koagulasinya (sehingga sumbatan pembuluh darah
dapat dibuka). Demikian pula simetidin (antagonis reseptor H2) akan
menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam memetabolisme obat-obat lain.

5. Faktor Makanan
Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan protein. Makanan panggang arang dan
sayur mayurcruciferous diketahui menginduksi enzim CYP1A, sedang jus
buah anggur diketahui menghambat metabolisme oleh CYP3A terhadap
substrat obat yang diberikan secara bersamaan.

6. Faktor Lingkungan
Adanya insektisida dan logam-logam berat. Perokok sigaret memetabolisme
beberapa obat lebih cepat daripada yang tidak merokok, karena terjadi
induksi enzim. Perbedaan yang demikian mempersulit penentuan dosis yang
efektif dan aman dari obat-obat yang mempunyai indeks terapi sempit.

7. Induksi Enzim
Banyak obat mampu menaikkan kapasitas metabolismenya sendiri dengan
induksi enzim (menaikkan kapasitas biosintesis enzim). Induktor dapat
dibedakan menjadi dua menurut enzim yang di induksinya,antara lain:
a. Jenis fenobarbital
b. Jenis metilkolantrena

Untuk terapi dengan obat, induktor enzim memberi akibat berikut:

a. Pada pengobatan jangka panjang dengan induktor enzim terjadi


penurunan konsentrasi bahan obat yang dapat mencapai tingkat
konsentrasi dalam plasma pada awal pengobatan dengan dosis tertentu.
b. Kadar bahan berkhasiat tubuh sendiri dalam plasma dapat menurun
sampai dibawah angka normal.
c. Pada pemberian bersama dengan obat lain terdapat banyak interaksi obat
yang kadang-kadang berbahaya. Selama pemberian induktor enzim,
konsentrasi obat kedua dalam darah dapat juga menurun sehingga
diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang sama
(Ernst Mutschler,1991).

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 31


d. Inhibisi enzim
Inhibisi (penghambatan) enzim bisa menyebabkan interaksi obat yang
tidak diharapkan. Interaksi ini cenderung terjadi lebih cepat daripada
yang melibatkan induksi enzim karena interaksi ini terjadi setelah obat
yang dihambat mencapai konsentrasi yang cukup tinggi untuk
berkompetisi dengan obat yang dipengaruhi (Neal,2005)

c. Eliminasi Suspensi Intramuskular

Eliminasi obat suspensi injeksi dan metabolitnya merupakan tahapan


terakhir dari aktivitas serta keberadaan obat dalam tubuh yaitu proses
pembuangan obat dari tubuh pasien. Molekul obat yang masuk ke dalam tubuh
dikeluarkan melalui beberapa saluran. Obat akan diekskresikan dari tubuh
bersama dengan berbagai cairan tubuh melalui beberapa perjalanan. Organ yg
paling berperan dalam ekskresi obat : Ginjal, Ginjal merupakan organ utama
untuk mengeliminasi obat bersama urin.

Ada 3 proses di ginjal :


 Filtrasi di glomerulus
 Sekresi aktif di tubuli proksimal
 Reabsorpsi pasif di tubuli proksimal & distal.
 Dikeluarkan melalui urine (air kencing)
Organ lain yang dapat mengeksresikan obat yaitu : empedu, paru, air ludah, ASI,
kulit dan rambut dlm jumlah kecil. Metabolit obat yg terbentuk di hati
diekskresikan ke dalam usus melalui empedu dikeluarkan melauli faeces (buang
air besar)

III.3 Mekanisme Kerja Atau Proses Perjalanan Suspensi Intramuskular

Injeksi intramuskular menunjukan suatu absorpsi yang lebih cepat


daripada absorpsi sediaan oral, akan tetapi mungkin suatu sediaan intramuskular
dapat melepaskan obat yang relatif lambat. Sediaan obat terjadi bila obat
berdifusi dari otot ke cairan yang mengelilingi jaringan dan kemudian ke darah.
Obat suspensi injeksi biasanya berdifusi sangat cepat melalui kapiler membran
sel dalam kompartemen vaskular sebaliknya yang berdifusi melalui membran

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 32


sel dari kapiler otak, dimana obat berdifusi lambat ke dalam otak seolah – olah
terdapat membran lipid yang tebal. Kemudian obat melarut perlahan-lahan
memberikan suatu dosis sedikit demi sedikit untuk waktu yang lebih lama
dengan efek terapetik yang panjang. Distribusi obat injeksi suspesi yang telah
diabsorpsi molekul obat terdistribusi dengan cairan tubuh atau jaringan, lalu
masuk ke dalam peredaran darah dan kemudian didistribusikan ke jaringan
tempat obat bekerja. reaksi metabolisme merubah obat menjadi bentuk metabolit
yang lebih larut dalam air dan siap dieksresikan melalui ginjal. proses
pembuangan obat dari tubuh pasien. Molekul obat yang masuk ke dalam tubuh
dikeluarkan melalui beberapa saluran. Obat akan diekskresikan dari tubuh
bersama dengan berbagai cairan tubuh melalui beberapa perjalanan. Organ yg
paling berperan dalam ekskresi obat : Ginjal yang merupakan organ utama untuk
mengeliminasi obat bersama urin.

III.4 Bentuk Obat/ Jenis Obat Yang Dapat Dibuat Untuk Sediaan Suspensi
Intramuskular

Contoh dari sediaan suspensi injeksi intramuskular yaitu Suspensi Penisilin G

AKTIVITAS DAN MEKANISME KERJA

Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis


dinding sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif, akan berefek bakterisid
pada mikroba yang sedang aktif membelah. Mikroba dalam keadaan metabolik
tidak aktif (tidak membelah) praktis tidak dipengaruhi oleh penisilin, kalaupun
| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 33
ada cuma bakterostatik.Mekanisme kerja antibiotik betalaktam dapat diringkas
dengan urutan sebagai berikut:
1. Obat bergabung dengan Penisilin binding protein (PBP) pada kuman
2. Terjadi hambatan sintesis dinding sel kuman karena proses transpeptidasi
antar rantai peptidoglikan terganggu.
3. Kemudian terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel.

Di antara semua penisilin, Penisilin G mempunyai aktivitas terbaik terhadap


kuman gram positif yang sensitif. Kelompok ampisilin, walaupun spektrumnya
lebar, aktivitasnya terhadap mikroba gram positif tidak sekuat Penisilin G, tetapi
efektif terhadap beberapa mikroba gram negatif dan tahan asam, sehingga dapat
diberikan per oral.

ABSORBSI
Penisilin G mudah rusak dalam suasana asam (pH 2). Cairan lambung dengan
dengan pH 4 tidak terlalu merusak penisilin. Adanya makanan akan menghambat
absorbsi yang mungkin disebabkan absorbsi penisilin pada makanan. Kadar
maksimal dalam darah tercapai dalam 30-60 menit. Sisa 2/3 dari dosis oral
diteruskan ke kolon. Di sini terjadi pemecahan oleh bakteri dan hanya sebagian
kecil obat yang keluar bersama tinja. Bila dibandingkan dosis oral terhadap IM,
maka untuk mendapatkan kadar efektif dalam darah, dosis penisilin G oral haruslah
4 sampai 5 kali lebih besar daripada dosis IM. Oleh karena itu penisilin G tidak
dianjurkan untuk diberikan oral. Untuk memperlambat absorbsinya, Penisilin G
dapat diberikan dalam bentuk repositori umpamanya penisilin G benzatin, penisilin
G prokain sebagai suspensi dalam air atau minyak. Jumlah ampisilin dan senyawa
sejenisnya yang diabsorbsi pada pemberian oral dipengaruhi besarnya dosis dan ada
tidaknya makanan dalam saluran cerna. Dengan dosis lebih kecil persentase yang
diabsorbsi relatif lebih besar. Absorbsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik
daripada ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin mencapai kadar
dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali labih tinggi daripada yang dicapai
ampisilin, sedang masa paruh eliminasi kedua obat ini hampir sama. Penyerapan
ampisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung, sedang amoksisilin tidak.

DISTRIBUSI

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 34


Penisilin G terdistribusi luas dalam tubuh. Ikatan proteinnya 65%. Kadar obat yang
memadai dapat tercapai dalam hati, empedu, ginjal, usus, limfe dan semen, tetapi
dalam CSS sukar dicapai. Pemeberian intratekal jarang dikerjakan karena resiko
yang lebih tinggi dan efektifitasnya tidak lebih memuaskan. Ampisilin juga
didistribusi luas di dalam tubuh dan pengikatannya oleh protein plasma hanya 20%.
Penetrasi ke CSS dapat mencapai kadar efektif pada keadaan peradangan
meningen. Pada bronkitis atau pneumonia ampisilin disekresi ke dalam sputum
sekitar 10% kadar serum. Distribusi amoksisilin secara garis besar sama dengan
ampisilin

BIOTRANSFORMASI DAN EKSKRESI

Biotransformasi penisilin umumnya dilakukan oleh mikroba. Proses


biotransformasi oleh hospes tidak bermakna berdasarkan pengaruh enzim
penisilinase dan amidase. Amidase memecah rantai samping (radikal ekor), dengan
akibat penurunan potensi antimikroba yang sangat mencolok.

Penisilin umumnya diekskresi melalui proses sekresi di tubuli ginjal yang dihambat
oleh probenesid, masa paruh eliminasi penisilin dalam darah diperpanjang oleh
probenesid menjadi 2-3 kali lebih lama.

Selain probenesid, beberapa obat lain juga menngkatkan masa paruh waktu
eliminasi penisislin dalam darah, antara lain fenilbutazon, sulfinpirazon, asetosal
dan indometasin. Kegagalan fungsi ginjal akan memperlambat ekskresi penisilin.

EFEK SAMPING

Pada umumnya pemberian parenteral menimbulkan efek samping yaitu Rekasi


alergi dan Reaksi toksik dan iritasi lokal.

PERUBAHAN BIOLOGIK

Perubahan biologik oleh penisilin terjadi akibat gangguan flora normal bakteri di
berbagai bagian tubuh. Abses dapat terjadi pada tempat suntikan dengan penyebab

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 35


stafilkokus atau bakteri gram negatif. Hambatan pembentukan imunitas terhadap
mikroba penyebeb infeksi dapat terjadi terutama bila penisilin diberikan terlalu dini
dalam proses infeksi dan diberikan dalam dosis besar.

SEDIAAN

a. Fenoksimetil penisilin
b. Ampisilin
c. Amoksisilin

DOSIS
a. Infeksi Anthrax: 10.000 unit/kg BB interval 12 jam
b. Infeksi mastitis: 300.000 unit/kwartil interval 24-48 jam
c. Infeksi Clostridium, Actinobacillosis dan Leptospirosis 10.000 unit/kg BB

PENGGUNAAN KLINIK

Infeksi Kokus Gram Positif

 Infeksi Pneumokokus. Penisilin G sampai sekarang masih efektif terhadap


semua jenis infeksi pneumokokus, antara lain pneumonia, meningitis,
endokarditis.
 Infeksi streptokokus
 Infeksi Stafilokokus

Infeksi Kokus Gram Negatif

 Infeksi meningokokus
 Infeksi gonokokus

Contoh sediaan obat injeksi suspensi intamuskular lainnya yaitu injeksi suspensi
kamfer, injeksi kinin antipirin, injeksi fenilbutazon, dan injeksi suspensi kortison
asetat.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 36


BAB IV

PENUTUP

IV.1 Kesimpulan

Injeksi suspensi intramuskular umumnya digunakan untuk larutan yang


volumenya cukup besar, larutan yang berminya, dan mengiritasi. Pemberian
intramuskuler memberikan efek pelepasan “depot” (lepas lambat), puncak
konsentrasi dalam darah dicapai setelah 1-2 jam. Injeksi suspensi yang diberikan
melalui rute intramuscular, seluruh obat akan berada di tempat itu. Dari tempat
suntikan itu obat akan masuk ke pembuluh darah di sekitarnya secara difusi pasif,
baru masuk ke dalam sirkulasi. Pola absorpsi suspensi intramuskular atau
preparat-preparat depo berlangsung lambat. Setelah vehikulum berdifusi keluar
dari otot, obat tersebut mengendap pada tempat suntikan. Kemudian obat melarut
perlahan-lahan memberikan suatu dosis sedikit demi sedikit untuk waktu yang
lebih lama dengan efek terapetik yang panjang. Suspensi secara intramuskular
molekul obat terdistribusi dengan cairan tubuh atau jaringan, lalu masuk ke dalam
peredaran darah dan kemudian didistribusikan ke jaringan tempat obat bekerja.
reaksi metabolisme merubah obat menjadi bentuk metabolit yang lebih larut
dalam air dan siap dieksresikan melalui ginjal. Tempat utama metabolisme obat
parenteral adalah di hati, namun dapat terjadi di ginjal dan jaringan otot.

Keterbatasan dari suspensi intamuskular yaitu pada pengobatan


antikoagulan dapat memepengaruhi interpretasi diagnostic tertentu seperti creatin
kinase.

IV.2 Saran
Pada pemberian injeksi suspensi intramuskular perlu diperhatikan faktor – faktor
yang dapat mempengaruhi proses injeksi hal ini perlu dilakukan mengingat
beberapa obat dapat menimbulkan efek yang merugikan yang dapat berakibat fatal
dan apabila pemberian obat tersebut tidak sesuai dengan anjuran yang sebenarnya
Oleh karena itu, kita sebagai farmasi kiranya harus memahami mengenai proses
mekanisme perjalanan obat serta faktor – faktor yang menyertainya.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 37


DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995. Farmakope Indonesia. Edisi


IV Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1995.
2. Farmakope Indonesia. Edisi III Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan.
3. Kibbe, AH. 2000. Handbook of pharmaceutical Excipients Third Edition.
Washington D.C: American Pharmaceutical AssociatioN.
4. Connors, KA. 1992. Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi. Edisi Kedua. Semarang:
IKIP Semarang Press.

| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 38

Anda mungkin juga menyukai