SEDIAAN
DOSEN :
Disusun oleh :
- Hana Farida Salsabila (16334040)
- Rizky Windyastuti (16334047)
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya serta limpahan kesehatan pada kami, sehingga
penulis dapat menyelesaikan Makalah Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi tepat pada
waktunya. Makalah ini dibuat dengan judul “Stabilitas Sediaan Stetil Cair”
diharapkan makalah ini dapat membuat pembaca memahami bagaimana kestabilan
sediaan steril cair dalam proses pembuatan hingga penyimpanannya.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi nilai dan tugas Stabilitas Bahan dan
Sediaan Farmasi di Fakultas Farmasi Institus Sains dan Teknologi Nasional. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada ibu Prof. Dr. Teti Indrawati, M.Si., Apt. dan
Yayah Siti Juariah, S.Si, M.Si, Apt. selaku Dosen mata kuliah Stabilitas Bahan dan
Sediaan Farmasi yang telah membimbing penulis sehingga berhasil menyelesaikan
makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kelemahan dan kekurangan
yang harus disempurnakan. Untuk itu saya terbuka terhadap kritikan dan saran yang
bersifat konstruktif yang dapat menyempurnakan tugas ini. Akhir kata, saya sampaikan
terima kasih kepada semua pihak. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhai
segala usaha kita. Aamiin.
Penyusun
BAB IV PENUTUP..................................................................................................... 26
PENDAHULUAN
Injeksi suspensi yang diberikan melalui rute intramuscular, seluruh obat akan
berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu obat akan masuk ke pembuluh darah
di sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk ke dalam sirkulasi. Cara ini sesuai
untuk bahan obat, baik yang bersifat lipofilik maupun yang hidrofilik. Kedua bahan
obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun secara kimia.
bahkan bentuk sediaan suspensi dapat diterima lewat intramskuler, begitu juga
pembawanya bukan hanya air melainkan yang non air juga dapat. Hanya saja
apabila berupa larutan air harus diperhatikan pH larutan tersebut.
I.3 Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Stabilitas merupakan faktor penting dari kualitas, keamanan dan kemanjura dari
produk obat. Sebuah produk obat, yang tidak kestabilan yang cukup, dapat
mengakibatkan perubahan fisik (seperti kekerasan, laju disolusi, fasa pemisahan,
dll) serta karakteristik kimia (pembentukan zat dekomposisi risiko tinggi)
Stabilitas kimia obat sangat penting karena menjadi kurang efektif mengalami
degradasi.. Dekomposisi juga dapat menghasilkan obat beracun oleh produk yang
berbahaya bagi pasien. Mikrobiologi ketidakstabilan suatu produk obat steril juga
bisa berbahaya.
Sediaan untuk mata (tetes mata maupun salep mata), meskipun tidak
dimasukkan ke dalam rongga bagian dalam tubuh, namun ditempatkan berhubungan
dengan jaringan-jaringan yang sangat peka terhadap kontaminasi.Oleh karenanya
dibutuhkan standar sejenis dengan preparat (sediaan) steril lainnya. Larutan irigasi
(infus) juga memiliki standar yang sama dengan larutan parentral lainnya, karena
selama pemberian sejumlah zat dari larutan dapat memasuki aliran darah secara
langsung melalui pembuluh darah luka yang terbuka atau membran mukosa yang
rusak. Secara umum, terdapat 6 bentuk sediaan yang digunakan untuk pemberian
sediaan parentral, yaitu :
1. Larutan siap diinjeksikan.
2. Serbuk padat, siap digunakan dengan melarutkan dalam larutan pembawa.
3. Suspensi siap diinjeksikan.
4. Serbuk padat, tidak larut yang dikombinasikan denga pembawa sebelum
digunakan
5. Emulsi
6. Larutan pekat, siap diencerkan sebelum digunakan.
1. Stabilitas Fisika
Stabilitas fisika adalah mengevaluasi perubahan sifat fisika dari suatu
produk yang tergantung waktu (periode penyimpanan). Contoh dari perubahan
fisika antara lain : migrasi (perubahan) warna, perubahan rasa, perubahan bau,
perubahan tekstur atau penampilan. Evaluasi dari uji stabilitas fisika meliputi :
pemeriksaan organoleptik, homogenitas, ph, bobot jenis.
Ketidakstabilan Fisika
Berikut ini akan diuraikan jenis ketidakstabilan yang paling penting, tanpa
memperdulikan kesempurnaan prosesnya.
a. Fasa farmasetik
Fasa ini menentukan ketersediaan farmasetik yaitu ketersediaan
senyawa aktif untuk dapat diabsorpsi oleh sistem biologis. Untuk dapat
diabsorpsi senyawa obat harus dalam bentuk molekul dan mempunyai
lipofilitas yang sesuai. Bentuk molekul senyawa dipengaruhi oleh nilai pKa
dan pH lingkungan (lambung pH= 1-3 dan usus pH = 5-8). Pada fasa I
selain sifat molekul obat, seperti kestabilan terhadap asam lambung dan
larutan dalam air, formulasi farmasetis dan bentuk sediaan yang digunakan
juga penting untuk aktivitas obat.
b. Fasa Farmakokinetik
Meliputi proses fasa II dan fasa III. Fasa II adalah proses absorpsi
molekul obat yang mengahasilkan ketersediaan biologis obat, yaitu senyawa
aktif dalam cairan darah (Ph = 7,4) yang akan didistribusikan ke jaringan
atau organ tubuh. Fasa III adalah fasa yang melibatkan proses distribusi,
metabolisme dan ekresi obat, yang menentukan kadar senyawa aktif pada
kompartemen tempat reseptor berbeda. Fasa I, II dan III menentukan kadar
obat aktif yang dapat mencapai jaringan target.
c. Fasa Farmakodinmik
Meliputi proses fasa IV dan fasa V. Fasa IV adalah tahap interaksi
molekul senyawa aktif dengan tempat aksi spesifik atau reseptor pada
jaringan target, yang dipengaruhi oleh ikatan kimia yang terlibat. Fasa V
adalah induksi rangsangan, dengan melalui proses biokimia, menyebabkan
terjadinya respons biologis.
Data yang paling dibutuhkan adalah data sifat, kimia, kimiafisik, dan
kerja farmakologi zat aktif (data primer), didukung sifat zat pembantu (data
sekunder). Secara reaksi kimia zat aktif dapat terurai karena beberapa faktor
diantaranya ialah, oksigen (oksidasi), air (hidrolisa), suhu (oksidasi), cahaya
(fotolisis), karbondioksida (turunnya pH larutan), sesepora ion logam sebagai
katalisator reaksi oksidasi. Jadi jelasnya faktor luar juga mempengaruhi
ketidakstabilan kimia seperti, suhu, kelembaban udara dan cahaya.
1) Hidrolisis
2) Epimerisasi
Senyawa tetrasiklin paling umum mengalami epimerisasi. Reaksi terjadi
dengan cepat ketika obat dilarutkan dan terpapar dg pH lebih dari 3,
mengakibatkan terjadinya perubahan sterik pada gugus dimetilamin. Bentuk
epimer dari tetrasiklin seperti epitetrasiklin tidak memiliki aktifitas anti
bakteri.
3) Dekarboksilasi
Beberapa asam senyawa asam karboksilat terlarut seperti para-amini
salisilic acid dapat kehilangan CO2 dari gugus karboksil ketika dipanaskan.
Produk urainya memiliki potensi farmakologi yang rendah. Beta-keto
dekarboksilasi dapat terjadi pada beberapa antibiotik yang memiliki gugus
karbonil pada beta karbon dari asam karboksilat atau anion karboksilat.
Dekarboksilasi akan terjadi pada beberapa antibiotik : Carbenicillin sodium,
Carbenicillin free acid, Ticarcillin sodium, Ticarcillin free acid.
4) Dehidrasi
Dehidrasi yang dikatalisis oleh asam pada golongan tetrasiklin
menghasilkan senyawa epianhidrotetrasiklin, senyawa yang tdk memiliki efek
anti bakteri dan memiliki efek toksisitas
5) Oksidasi
Struktur molekular yang dapat mudah teroksidasi adalah gugus hidroksil
yang terikat langsung pada cincin aromatik (contoh pada katekolamin dan
morfin), gugus dien terkonjugasi (vit A dan asam lemak tak jenuh), cicin
heterosiklik aromatik, gugus turunan nitroso dan nitrit dan aldehid
(flavoring). Produk hasil oksidasi biasanya memiliki efek terapetik lebih
rendah. Identifikasi secara visual bisa terlihat pada perubahan warna
contohnya pada kasus efineprin. Oksidasi dapat dikatalisa oleh pH ion logam
contohnya tembaga dan besi, paparan terhadap oksigen, UV.
7) Kekuatan Ion
Efek dari jumlah elektrolit yang terlarut terhadap kecepatan hidrolisis
dipengaruhi oleh kekuatan ion pada interaksi inter ionik. Secara umum
konstanta kecepatan hidrolisis berbanding tebalik dengan kekeuatan ion dan
sebaliknya dengan muatan ion, sebagai contoh obat-obat kation yang
diformulasikan dengan bahan tambahan anion.
8) Perubahan Nilai pH
Degradasi dari banyak senyawa obat dalam larutan dapat dipercepat atau
diperlambat secara ekponensial oleh nilai pH yang naik atau turun dari
rentang pH nya. Nilai pH yang di luar rentang dan paparan terhadap
temperatur yang tinggi adalah faktor yang mudah mengkibatkan efek klinik
dari obat secara signifikan, akibat dari reaksi hidrolisis dan oksidasi. Larutan
obat atau suspensi obat dapat stabil dalam beberapa hari, beberapa minggu,
atau bertahun-tahun pada formulasi aslinya, tetapi ketika dicampurkan dengan
larutan lain yang dapat mempengaruhi nilai pH nya, senyawa aktif dapat
terdegradasi dalam hitungan menit.
Sistem pH dapar yang biasanya terdegradasi dari asam atau basa lemah
dan garamnya biasanya ditambahkan ke dalam sediaan cair ditambahkan
untuk mempertahankan pHnya pada rentang dimana terjadinya degradasi obat
minimum. Pengaruh pH pada kestabilan fisik sistem dua fase contohnya
emulsi juga penting, sebagai contoh kestabilan emulsi intravena lemak
dirusak oleh pH asam.
9) Interionik
Kelarutan dari muatan ion yang berlawanan tergantung pada jumlah
muatan ionnya dan ukuran molekulnya. Secara umum ion-ion polivalen
dengan muatan berlawanan bersifat inkompatibel. Jadi inkompatibilitasnya
lebih mudah terjadi dengan penambahan sejumlah besar ion dengan muatan
yang berlawanan.
11) Temperatur
Secara umum kecepatan reaksi kimia meningkat secara eksponensial
setiap kenaikan 10 derajat suhu. Faktor nyata yang mengakibatkan kenaikan
kecepatan reaksi kimia ini adalah karena aktifasi energi. Waktu simpan obat
pada suhu ruang biasanya akan berkurang ¼ atau 1/25 dari waktu simpan di
dalam refrigrator. Temperatur dingin juga dapat mengakibatkan
ketidakstabilan. Sebagai contoh refrigerator dapat mengkibatkan kenaikan
viskositas pada sediaan cair dan menyebabkan supersaturasi pada kasus lain,
dingin atau beku dapat merubah ukuran droplet pada emulsi, dapat
mendenaturasi protein atau pada kasus tertentu dapat menyebabkan kelarutan
beberapa polimerik obat dapat berkurang.
4. Stabilitas Mikrobiologi
Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan adalah keadaan di mana tetap
sediaan bebas dari mikroorganisme atau memenuhi syarat batas miroorganisme
hingga batas waktu tertentu. Terdapat berbagai macam zat aktif obat, zat
tambahan serta berbagai bentuk sediaan dan cara pemberian obat. Tiap zat,
cara pemberian dan bentuk sediaan memiliki karakteristik fisika-kimia
tersendiri dan umumnya rentan terhadap kontaminasi mikroorganisme dan/atau
memang sudah mengandung mikroorganisme yang dapat mempengaruhi mutu
sediaan karena berpotensi menyebabkan penyakit, efek yang tidak diharapkan
pada terapi atau penggunaan obat dan kosmetik.
a. Efek toksik akut, mempunyai korelasi langsung dengan absorpsi zat toksik
b. Efek toksik kronis, zat toksik dalam jumlah kecil diabsorpsi sepanjang
jangka waktu lama, terakumulasi, mencapai konsentrasi toksik akhirnya
timbul keracunan.
Zat kimia disebut xenobiotik (xeno = asing), dimana setiap zat kimia
baru harus diteliti sifat-sifat toksiknya sebelum diperbolehkan penggunaannya
secara luas. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan toksisitas adalah :
a. Dosis
Dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun. Untuk setiap zat
kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang tidak berefek sama
sekali atau dosis besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan
kematian.
1) Dapar
Merupakan suatu campuran asam lemah dengan garamnya atau basa
lemah dengan garamnya. tujuannya adalah untuk mempetahankan ph,
meningkatkan stabilitas obat, meningkatkan kelarutan obat, efek terapetik.
Kriteria pemilihan dapar, yaitu :
| Stabilitas Bahan dan Sediaan Farmasi 17
Dapar mempunyai kapasitas yang memadai dalam kisaran pH yang
dinginkan (untuk mempertahankan stabilitas obat maka daparnya kecil)
Dapar harus aman secara biologis
Dapar tidak mempunyai efek merusak stabilitas produk
Memperbaiki rasa dan warna yang dapat diterima
2) Pengawet
Kemungkinan kontaminasi selama pembuatan, penyimpanan dan
penggunaan. Sumber kontaminan; berasal dari manusia, bahan obat, bahan
tambahan, lingkungan, alat-alat dan bahan pengemas. Faktor-faktor yang
mempengaruhi aktivitas pengawet:
3) Antioksidan
Terjadinya oksidasi karena dipengaruhi oleh :
Harga pH semakin tinggi harga pH semakin rendah potensial redoks
sehingga oksidasinya semakin lancar
Cahaya sebab cahaya mengandung energi oton yang dapat
meningkatkan atau mempercepat proses oksidasi, maka molekul-
molekul obat semakin reaktif
O2 atau kandungan O2 akan meningkatkan proses oksidasi
c. Faktor luar
a) Cara pembuatan
b) Bahan pengemas
Terbagi atas 2, yaitu bahan pengemas primer yaitu bahan pengemas yang
langsung bersentuhan atau kontak dengan sediaan (wadahnya), dan bahan
pengemas sekunder, yaitu bahan pengemas yang tidak bersentuhan langsung
dengan sediaan. Syarat dalam pemilihan bahan pengemas antara lain adalah :
1. Ampul
Ampul adalah wadah berbentuk silindris terbuat dari gelas, yang
memiliki ujung runcing (leher) dan bidang dasar datar ukuran normalnya
adalah 1, 2, 5, 10, 20, kadang – kadang juga 25 atau 30 ml. Ampul adalah
wadah takaran tunggal, oleh karena total jumlah cairannya ditentukan
pemakainannya untuk satu kali injeksi (Voight, 1995).
Sediaan suntik dibuat secara steril karena sediaan ini diberikan secara
parenteral. Istilah steril adalah keadaan bebas dari mikroorganisme baik
bentuk vegetatif, nonvegetatif, pathogen maupun nonpatogen. Sedangkan
parenteral menunjukkan pemberian dengan cara disuntikkan. Produk
parenteral dibuat mengikuti prosedur steril mulai dari pemilihan pelarut
hingga pengemasan. Bahan pengemas yang biasa digunakan sebagai sediaan
steril yaitu gelas, plastik, elastik (karet), metal. Pengemasan sediaan suntik
harus mengikuti prosedur aseptis dan steril karena pengemas ini langsung
berinteraksi dengan sediaan yang dibuat, termasuk dalam hal ini wadah.
Wadah merupakan bagian yang menampung dan melindungi bahan yang
telah dibuat (Ansel,1989).
Sediaan
Resistensi parenteral
terhadap asidik dan
Tipe
Borosilikat hidrolisis netral, bisa juga
1
tinggi,eksporasi untuk sediaan
termal rendah alkali yang
sama
Kaca soda
Sama dengan Cairan anhidrat
lapur
tipe II, tapi dan produk
Tipe (tidak
dengan kurang, sediaan
III mengalam
pelepasan parenteral jika
i
oksida sesuai
perlakuan
Hanya
Kaca soda digunakan
Resistensi
Tipe kapur untuksediaaan
hidrolitik
NP (pengguna non parenteral
sangat rendah
an umum) (oral, tipikal,
dsb)
2. Vial
Sediaan steril injeksi dapat berupa ampul, ataupun berupa vial. Injeksi vial
adalah salah satu bentuk sediaan steril yang umumnya digunakan pada dosis ganda
dan memiliki kapasitas atau volume 0,5 mL – 100 mL. Injeksi vial pun dapat berupa
takaran tunggal atau ganda dimana digunakan untuk mewadahi serbuk bahan obat,
larutan atau suspensi dengan volume sebanyak 5 mL atau pun lebih.
BAB III
PEMBAHASAN
Faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari jaringan otot (im) antara
lain : rheologi produk, konsentrasi dan ukuran partikel obat dalam pembawa,
bahan pembawa, volume injeksi, tonisitas produk dan bentuk fisik dari produk.
Persyaratan pH sebaiknya diperhatikan, karena masalah iritasi, tetapi dapat dibuat
pH antara 3-5 kalau bentuk suspensi ukuran partikel kurang dari 50 mikron.
Dimana :
1. Faktor Intrinsik
Meliputi sifat yang dimiliki obat seperti sifat fisika-kimia obat, lipofilitas,
dosis, dan cara pemberian. Banyak obat, terutama yang lipofil dapat
menstimulir pembentukan dan aktivitas enzim-enzim hati. Sebaliknya
dikenal pula obat yang menghambat atau menginaktifkan enzim tersebut,
misalnya anti koagulansia, antidiabetika oral, sulfonamide,
antidepresivatrisiklis, metronidazol, allopurinol dan disulfiram (Tan
HoanTjay dkk., 1978).
b. Faktor Genetik
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-
kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa
faktor genetik atau keturunan berperan terhadap kecepatan metabolisme
obat (Siswandono dan Soekardjo,2000).
c. Perbedaan umur
Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati mungkin menurun, tapi
biasanya yang lebih penting adalah menurunnya fungsi ginjal. Pada usia
65 tahun, laju filtrasi Glomerulus (LFG) menurun sampai 30% dan tiap 1
tahun berikutnya menurun lagi 1-2% (sebagai akibat hilangnya sel dan
penurunan aliran darah ginjal). Oleh karena itu ,orang lanjut usia
membutuhkan beberapa obat dengan dosis lebih kecil daripada orang
muda (Neal,2005).
3. Faktor Farmakologi
Meliputi inhibisi enzim oleh inhibitor dan induksi enzim oleh induktor.
Kenaikan aktivitas enzim menyebabkan lebih cepatnya metabolisme
(deaktivasi obat). Akibatnya, kadar dalam plasma berkurang dan
memperpendek waktu paro obat. Karena itu intensitas dan efek
farmakologinya berkurang dan sebaliknya.
4. Faktor Patologi
Menyangkut jenis dan kondisi penyakit. Contohnya pada penderita stroke,
pemberian fenobarbital bersama dengan warfarin secara agonis akan
5. Faktor Makanan
Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan protein. Makanan panggang arang dan
sayur mayurcruciferous diketahui menginduksi enzim CYP1A, sedang jus
buah anggur diketahui menghambat metabolisme oleh CYP3A terhadap
substrat obat yang diberikan secara bersamaan.
6. Faktor Lingkungan
Adanya insektisida dan logam-logam berat. Perokok sigaret memetabolisme
beberapa obat lebih cepat daripada yang tidak merokok, karena terjadi
induksi enzim. Perbedaan yang demikian mempersulit penentuan dosis yang
efektif dan aman dari obat-obat yang mempunyai indeks terapi sempit.
7. Induksi Enzim
Banyak obat mampu menaikkan kapasitas metabolismenya sendiri dengan
induksi enzim (menaikkan kapasitas biosintesis enzim). Induktor dapat
dibedakan menjadi dua menurut enzim yang di induksinya,antara lain:
a. Jenis fenobarbital
b. Jenis metilkolantrena
III.4 Bentuk Obat/ Jenis Obat Yang Dapat Dibuat Untuk Sediaan Suspensi
Intramuskular
ABSORBSI
Penisilin G mudah rusak dalam suasana asam (pH 2). Cairan lambung dengan
dengan pH 4 tidak terlalu merusak penisilin. Adanya makanan akan menghambat
absorbsi yang mungkin disebabkan absorbsi penisilin pada makanan. Kadar
maksimal dalam darah tercapai dalam 30-60 menit. Sisa 2/3 dari dosis oral
diteruskan ke kolon. Di sini terjadi pemecahan oleh bakteri dan hanya sebagian
kecil obat yang keluar bersama tinja. Bila dibandingkan dosis oral terhadap IM,
maka untuk mendapatkan kadar efektif dalam darah, dosis penisilin G oral haruslah
4 sampai 5 kali lebih besar daripada dosis IM. Oleh karena itu penisilin G tidak
dianjurkan untuk diberikan oral. Untuk memperlambat absorbsinya, Penisilin G
dapat diberikan dalam bentuk repositori umpamanya penisilin G benzatin, penisilin
G prokain sebagai suspensi dalam air atau minyak. Jumlah ampisilin dan senyawa
sejenisnya yang diabsorbsi pada pemberian oral dipengaruhi besarnya dosis dan ada
tidaknya makanan dalam saluran cerna. Dengan dosis lebih kecil persentase yang
diabsorbsi relatif lebih besar. Absorbsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik
daripada ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin mencapai kadar
dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali labih tinggi daripada yang dicapai
ampisilin, sedang masa paruh eliminasi kedua obat ini hampir sama. Penyerapan
ampisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung, sedang amoksisilin tidak.
DISTRIBUSI
Penisilin umumnya diekskresi melalui proses sekresi di tubuli ginjal yang dihambat
oleh probenesid, masa paruh eliminasi penisilin dalam darah diperpanjang oleh
probenesid menjadi 2-3 kali lebih lama.
Selain probenesid, beberapa obat lain juga menngkatkan masa paruh waktu
eliminasi penisislin dalam darah, antara lain fenilbutazon, sulfinpirazon, asetosal
dan indometasin. Kegagalan fungsi ginjal akan memperlambat ekskresi penisilin.
EFEK SAMPING
PERUBAHAN BIOLOGIK
Perubahan biologik oleh penisilin terjadi akibat gangguan flora normal bakteri di
berbagai bagian tubuh. Abses dapat terjadi pada tempat suntikan dengan penyebab
SEDIAAN
a. Fenoksimetil penisilin
b. Ampisilin
c. Amoksisilin
DOSIS
a. Infeksi Anthrax: 10.000 unit/kg BB interval 12 jam
b. Infeksi mastitis: 300.000 unit/kwartil interval 24-48 jam
c. Infeksi Clostridium, Actinobacillosis dan Leptospirosis 10.000 unit/kg BB
PENGGUNAAN KLINIK
Infeksi meningokokus
Infeksi gonokokus
Contoh sediaan obat injeksi suspensi intamuskular lainnya yaitu injeksi suspensi
kamfer, injeksi kinin antipirin, injeksi fenilbutazon, dan injeksi suspensi kortison
asetat.
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
IV.2 Saran
Pada pemberian injeksi suspensi intramuskular perlu diperhatikan faktor – faktor
yang dapat mempengaruhi proses injeksi hal ini perlu dilakukan mengingat
beberapa obat dapat menimbulkan efek yang merugikan yang dapat berakibat fatal
dan apabila pemberian obat tersebut tidak sesuai dengan anjuran yang sebenarnya
Oleh karena itu, kita sebagai farmasi kiranya harus memahami mengenai proses
mekanisme perjalanan obat serta faktor – faktor yang menyertainya.