Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

OBAT-OBATAN DI RUANG ICU (INOTROPIK ATAU VASOPRESOR, DAN


ANTIBIOTIK, TROMBOLITIK)

Disusun untuk memenuhi tugas ujian mata kuliah “Keperawatan Kritis”


Dosen Pengampu: Dwi Adji Norontoko, S.Kep., Ns., M.Kep

ARIKHAH NAFSIYAH
NIM. P27820820006

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Obat-obatan di Ruang ICU (Inotropik atau Vasopresor, dan Antibiotik,
Trombolitik)” ini tepat pada waktunya.
Hasil makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan hasil laporan ini.
Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa dari penulisan
modul ini. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka peneliti menerima segala saran
dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki modul ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca serta penulis sendiri.

Surabaya, 5 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
Sampul Depan ......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 2
1.3 Tujuan ..................................................................................... 2
1.4 Masalah ................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 3
2.1 Inotropik ................................................................................. 3
2.2 Vasopresor .............................................................................. 7
2.3 Antibiotik ................................................................................ 9
2.4 Trombolitik ............................................................................. 12
BAB 3 TINJAUAN KASUS .............................................................. 16
3.1 Ringkasan Artikel Jurnal ........................................................ 16
3.2 Analisa Artikel Jurnal Metode PICO...................................... 16
BAB 4 PENUTUP .............................................................................. 19
4.1 Kesimpulan ............................................................................. 19
4.2 Saran ....................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 20

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kesehatan manusia merupakan masalah yang dihadapi masing- masing
individu untuk mempertahankan dirinya agar selalu dalam keadaan sehat fisik,
mental dan social. Seseorang individu menginginkan dirinya baik keluarga
maupun orang-orang disekitarnya sehat dari berbagai penyakit atau kecacatan.
Jika sampai merekapun sakit baik akibat dari faktor biologis maupun fisik maka
langkah mereka adalah membawanya ke tenaga kesehatan. Sekalipun mereka
dalam kondisi yang gawat darurat maupun kritis, mereka tetap mencari dan butuh
pengobatan karena menginginkan untuk kesembuhan dan setidaknya
menyelamatkan dari kematian.
Begitupun seorang tenaga kesehatan, sudah selayaknya mereka melakukan
usaha-usaha untuk meminimalkan resiko kecacatan maupun kematian pada pasien
yang gawat maupun darurat sebagai pertolongan yang pertama dan
menyelamatkan pasien dari kematian. Kondisi yang seperti itu dinamakan sebagai
emergency. Emergency merupakan suatu usaha dimana penanganannya harus
cepat dan tepat untuk menghindari kematian.
Pelayanan kesehatan kegawatdaruratan atau emergency adalah hak asasi
setiap orang dan merupakan kewajiban yang harus dimiliki semua orang. Dimana
pasien yang gawat darurat mendapatkan hak untuk diberikan suatu pengobatan
sebagai penunjang hidupnya. Apalagi jika pasien hanya mampu hidup dengan
bantuan alat kesehatan khusus yang berada pada ruang yang khusus maupun
tergantung pada obat-obatan, sudah seharusnya tenaga kesehatan memberikan apa
yang pasien butuhkan termasuk pemberian obat.
Obat yang diberikan pada pasien gawat darurat merupakan obat-obatan
emergency. Obat emergency adalah obat-obat yang digunakan untuk mengatasi
situasi gawat darurat atau untuk resusitasi/life support.
Pengetahuan mengenai obat-obatan ini penting sekali untuk mengatasi
situasi gawat darurat yang mengancam nyawa dengan cepat dan tepat. Oleh

1
karena itu penulis ingin memaparkan tulisan yang membahas tentang obat-obatan
apa saja yang termasuk dalam kategori obat emergency.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan obat inotropik?
2. Apa yang dimaksud dengan obat vasopresor?
3. Apa yang dimaksud dengan obat antibiotik?
4. Apa yang dimaksud dengan obat trombolitik?
5. Bagaimana penerapan obat emergency di ICU?

1.3 Tujuan
1. Mampu mengetahui jenis obat, indikasi, kontraindikasi, dosis, dan implikasi
keperawatan pada pemberian obat inotropik.
2. Mampu mengetahui jenis obat, indikasi, kontraindikasi, dosis, dan implikasi
keperawatan pada pemberian obat vasopresor.
3. Mampu mengetahui jenis obat, indikasi, kontraindikasi, dosis, dan implikasi
keperawatan pada pemberian obat antibiotik.
4. Mampu mengetahui jenis obat, indikasi, kontraindikasi, dosis, dan implikasi
keperawatan pada pemberian obat trombolitik.
5. Mampu mengetahui tentang penerapan obat emergency di ICU.

1.4 Manfaat
1. Menjamin kelangsungan usaha dengan mengurangi risiko dan hazard dari
setiap kegiatan yang mengandung bahaya.
2. Menekan biaya untuk penanggulangan kejadian yang tidak diinginkan.
3. Menimbulkan rasa aman dikalangan pemegang saham mengenai
kelangsungan dan keamanan investasinya.
4. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai risiko operasi bagi
setiap unsur dalam organisasi/ perusahaan.
5. Memenuhi persyaratan perundangan yang berlaku.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Inotropik
1. Pengertian
Inotropik adalah obat jantung yang memengaruhi kontraksi jantung. Secara
medis, obat golongan ini disebut sebagai inotrop. Inotropik membantu
mengubah kekuatan kontraksi jantung. Ada dua jenis obat inotropik: inotrop
positif dan inotrop negatif. Inotrop positif memperkuat kekuatan detak
jantung sementara inotrop negatif melemahkannya. Karena kedua subtipe
memiliki efek yang berlawanan, mereka banyak digunakan dalam
pengobatan banyak kondisi kardiovaskular.
2. Obat Inotropik Positif
Obat inotropik positif bekerja dengan meningkatkan kontraksi otot jantung
(miokardium) dan digunakan untuk gagal jantung, yaitu keadaan dimana
jantung gagal untuk memompa darah dalam volume yang dibutuhkan tubuh.
Keadaan tersebut terjadi karena jantung bekerja terlalu berat atau karena
suatu hal otot jantung menjadi lemah. Beban yang berat dapat disebabkan
oleh kebocoran katup jantung, kekakuan katup, atau kelainan sejak lahir
dimana sekat jantung tidak terbentuk dengan sempurna. Terdapat 2 jenis
obat inotropik positif, yakni glikosida jantung dan penghambat
fosfodiesterase.
a. Glikosida Jantung
Glikosida jantung meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium dan
menurunkan konduktivitas di atrioventricular (AV) node. Digoksin
adalah glikosida jantung yang paling banyak digunakan.
1) Digoksin
Digoksin memiliki peran yang terbatas dalam mengatasi gagal
jantung kronik pada anak. Pada tata laksana fibrilasi atrium, dosis
penunjang glikosida jantung biasanya ditentukan berdasarkan
kecepatan ventrikel pada saat istirahat yang seharusnya tidak boleh

3
turun di bawah 60 denyut per menit kecuali dalam keadaan khusus,
misalnya pada pemberian bersama beta-bloker.
2) Digitoksin
Digitoksin juga mempunyai waktu paruh yang panjang dan dosis
penunjang hanya perlu diberikan sehari sekali atau pada hari
tertentu. Fungsi ginjal pasien merupakan faktor yang paling
menentukan dosis digoksin, meskipun eliminasi digitoksin
bergantung pada metabolisme hati.
b. Penghabat Fosfodiesterase
Obat-obat dalam golongan ini (milrinon dan enoksimon) merupakan
penghambat enzim fosfodiesterase yang selektif bekerja pada jantung.
Manfaat yang terlihat setelah pemberian adalah kondisi hemodinamik
yang stabil, namun tidak terbukti memberikan manfaat terhadap
kemampuan bertahan hidup.
1) Milrinon
2) Amrinon
3. Obat Inotropik Negatif
Faktor yang bekerja sebagai inotropik negatif (-) adalah sebagai berikut:

a. Peningkatan aktivitas penyekat kanal Ca2+ akan berfungsi sebagai

inotropik negatif dengan menghambat kerja kanal Ca2+ tipe L, sehingga

mengurangi masuknya Ca2+ selama masa aksi potensial. Contoh obat


inotropik negatif adalah verapamil, diltiazem, dan nifedipin.

b. Rendahnya konsentrasi Ca2+ ekstraselular yang terjadi akibat

berkurangnya pengeluaran Ca2+ dan influks Ca 2+.


c. Kadar natrium ekstraselular yang tinggi akibat peningkatan kerja
pertukaran Na-Ca sehingga menurunkan kadar influks Ca.
4. Contoh Obat Inotropik di Ruang ICU
a. Dopamin
Dopamin adalah senyawa alami tubuh yang memiliki peran penting pada
proses pengiriman sinyal di dalam otak. Dopamin juga tersedia sebagai
obat. Pemberian senyawa ini merupakan salah satu penanganan syok

4
yang diakibatkan oleh kondisi tertentu, seperti gagal jantung, gagal
ginjal, pasca trauma, atau serangan jantung. Dopamin bekerja dengan
meningkatkan kekuatan pompa jantung dan aliran darah ke ginjal.
1) Indikasi
Syok Kardiogenik, kondisi hipotensi berat atau kecenderungan syok
setelah mendapat terapi cairan
2) Kotraindikasi
Hipertiroidisme, feokromositoma, takiaritmia, fibrilasi ventrikel,
glaukoma sudut sempit, adenoma prostat
3) Dosis
Dosis awal penggunaan dopamin adalah 2-5 mcg/kgBB per menit,
melalui infus. Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap hingga 5-10
mcg/kgBB per menit.
4) Efek samping
Hipertensi, aritmia, pelebaran komplek QRS, azotemia dan iskemia
miokard
b. Dobutamin
Dobutamin adalah obat yang digunakan oleh penderita gagal jantung
untuk membantu jantung memompa darah ke seluruh tubuh. Dobutamin
diberikan ketika gagal jantung yang diderita pasien sudah tidak bisa
dikompensasi oleh tubuh, yang dapat menimbulkan turunnya tekanan
darah. Obat ini bekerja dengan menstimulasi atau merangsang reseptor
yang berperan dalam meningkatkan kontraksi jantung.
1) Indikasi
Syok Kardiogenik, kondisi hipotensi berat atau kecenderungan syok
setelah mendapat terapi cairan
2) Kontraindikasi
Idiopathic hypertropic subaortic stenosis, riwayat hipersensitivitas
terhadap dobutamin
3) Dosis
2-20 mikrogram/kgBB/menit.

5
4) Efek samping
Takikardia, palpitasi, hipertensi, aritmia ventrikel ektopik, mual,
sakit kepala, angina pektoris dan napas pendek.
5. Implikasi Keperawatan
a. Pengkajian
1) Kaji tekanan darah, nadi, RR, EKG dan parameter hemodinamika
setiap 5 – 15 menit selama dan setelah pemberian. KONSUL dokter
jika ada perubahan TTV yang signifikan.
2) Pantau haluaran dengan sering selama pemberian. KONSUL dokter
jika haluaran urin berkurang.
3) Palpasi nadi perifer dan kaji tampilan ekstremitas secara rutin selama
pemberian. KONSUL dokter jika kualitas nadi memburuk dan bila
ekstremitas menjadi dingin dan lembab.
4) Bila terjadi hipotensi, kecepatan pemberian HARUS ditingkatkan.
Bila hipotensi menetap, KONSUL dokter untuk pemberian
vasokonstriktor yang lebih kuat (Norepinefrin)
5) Toksisitas dan Overdosis : Bila terjadi hipertensi berat, kecepatan
infus HARUS dilambatkan atau dihentikan sementara sampai
tekanan darah berkurang. KONSUL dokter untuk pemberian
fentolamin jika hipertensi tidak turun.
b. Diagnosis Keperawatan Potensial
1) Penurunan curah jantung (indikasi)
2) Gangguan perfusi jaringan (indikasi)
c. Implementasi
1) Hipovolemia HARUS dikoreksi sebelum pemberian Dopamin
2) Berikan melalui vena besar, dan kaji tempat penyuntikan dengan
sering untuk mencegah terjadinya Ekstravasasi.
3) Jika terjadi Ekstravasasi, filtrasi dengan 10-15 ml NaCl 0,9% yang
mengandung 5-10 mg fentolamin.
4) Infus Kontinu : Encerkan 200-400 mg dalam 250-500 ml NaCl
0,9%, D5W, D5/RL, D5/NaCl 0,45%, D5/NaCl 0,9% atau RL untuk
infus IV.

6
5) Konsentrasi Infus : Biasanya digunakan 800 mcg/ml atau 0,8 mg/ml
(200 mg / 250 ml) dan 1,6 mg/ml (400 mg / 250 ml).
6) Kecepatan : Berikan dengan kecepatan 0,5 -5 mcg/kg/menit, dan
tingkatkan 1 – 4 mcg/kg/menit dengan interval 10 – 30 menit sampai
dosis yang diinginkan tercapai (Infusion Pump)
7) Titrasi Kecepatan pemberian sesuai respons TTV pasien (TD,
frekuensi jantung, aliran urin, perfusi perifer, aktivitas ektopik dan
curah jantung)
2.2 Vasopresor
1. Pengertian
Vasopresor adalah obat yang digunakan untuk membuat vasokonstriksi atau
meningkatkan kontraktilitas jantung, masing-masing, pada pasien dengan
syok. Ciri dari syok adalah penurunan perfusi ke organ vital, mengakibatkan
disfungsi multiorgan yang dapat berakhir dengan kematian.
Vasopresor bekerja untuk meningkatkan cardiac output dan systemic
vascular resistance (SVR) melalui peningkatan kontraktilitas dan nadi serta
menginduksi vasokonstriksi perifer. Peningkatan SVR menyebabkan
peningkatan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan peningkatan perfusi ke
organ. Tiga kelompok utama vasopresor adalah katekolamin, otot polos, dan
reseptor dopamine.
Vasopresor diberikan secara intravena (IV). Metode pilihan untuk sebagian
besar obat ini adalah infus berkelanjutan yang memungkinkan titrasi
langsung untuk efek yang diinginkan. Meskipun IV perifer cocok untuk
penggunaan jangka pendek, efek samping tetap dapat terjadi. Meskipun
keperluan untuk akses pusat secara langsung pada akhir-akhir ini
dipertanyakan, diakui bahwa akses pusat adalah metode pilihan untuk
pemberian obat vasoaktif. Efek samping vasopresor tergantung pada
mekanisme kerja tiap obat. Untuk obat yang memiliki stimulasi beta, aritmia
adalah salah satu efek samping yang paling umum.
2. Indikasi
Indikasi pemberian vasopresor pada pasien syok berdasarkan etiologi dan
jenis syok yang terjadi pada pasien. Ada 4 jenis syok utama: hipovolemik,

7
distributif, kardiogenik, dan obstruktif. Setiap jenis memiliki indikasi untuk
vasopresor.
Syok distributif biasanya disebabkan oleh sepsis, syok neurogenik, dan
anafilaksis. Jenis syok ini disebabkan oleh sistem vaskular yang bocor atau
melebar yang mengarah ke status SVR rendah. Tujuan vasopresor dalam
situasi ini adalah untuk meningkatkan SVR melalui penyempitan pembuluh
darah secara langsung
3. Kontraindikasi
Beberapa kontraindikasi mutlak pada vasopresor di luar reaksi
hipersensitivitas anafilaksis. Agen adrenergik dikontraindikasikan dengan
hidrokarbon terhalogenasi seperti halotan selama anestesi umum. Dalam
situasi tertentu, terdapat kontraindikasi relatif terhadap dopamin, dobutamin,
dan milrinone. Dianjurkan agar dopamin tidak digunakan sebagai
vasopresor lini pertama pada syok septik jika dibandingkan dengan
norepinefrin karena peningkatan mortalitas dan peningkatan disritmia.
Vasopresor adrenergik harus dihindari pada pasien dengan
pheochromocytoma atau takiaritmia yang tidak terkoreksi. Dobutamine
dikontraindikasikan pada stenosis subaorta hipertrofik idiopatik. Beberapa
organisasi juga mengatakan bahwa dobutamin sebagai kontraindikasi relatif
pada pasien dengan infark miokard akut atau riwayat tekanan darah yang
tidak terkontrol, diseksi aorta, atau aneurisma aorta besar. Pasien yang juga
mengonsumsi monoamine oksidase inhibitor harus menurunkan dosis dan
diawasi dengan ketat.
4. Dosis
Obat Perkiraan Dosis
Dopamine 2 - 20 μg/kg/menit (maksimal 50 μg/kg/menit)
Dobutamine 2 - 20 μg/kg/menit (maksimal 40 μg/kg/menit)
Norepinephrine 0,01 - 3 μg/kg/menit
Epinephrine Infus: 0,01 – 0,1 μg/kg/menit
Bolus: 1 mg per IV setiap 3 - 5 menit (maksimal 0,2
mg/kg)
IM: (1:1000): 0,1 – 0,05 mg (maksimal 1 mg)
Isoproterenol 2 - 10 μg/menit
Phenylephrine Bolus: 0,1 – 0,5 mg per IV setiap 10 – 15 menit
Infus: 0,4 – 9,1 μg/kg/menit
Milrinone Bolus: 50 μg/kg bolus selama 10 – 30 menit

8
Infus: 0,375 – 0,75 μg/kg/menit (penyesuaian dosis
diperlukan pada penderita gangguan ginjal)
Amrinone Bolus: 0,75 mg/kg selama 2 – 3 menit
Infus: 5 – 10 μg/kg/menit
Vasopressin Infus: 0,01 – 0,1 U/menit (umumnya 0,04 U/menit)
Bolus: 40 U per IV
Levosimendan Loading dose: 12 – 24 μg/kg selama 10 menit
Infus: 0,05 – 0,2 μg/kg/menit

5. Implikasi Keperawatan
Semua pasien yang membutuhkan vasopresor harus selalu dipantau tanda-
tanda vital, status cairan, dan hasil laboratorium dengan cermat. Pemantauan
tekanan darah arteri melalui kateter memungkinkan untuk segera
mengetahui perubahan dan memungkinkan titrasi yang tepat. Kateter arteri
pulmonalis dapat dipertimbangkan untuk menilai fungsi jantung.
Pemantauan jantung terus-menerus pada pasien dengan disritmia sangat
penting. Untuk pasien yang dapat berbicara, harus dilakukan pengkajian
nyeri di lokasi akses vaskular, nyeri dada, mati rasa perifer, nyeri perut, dan
pemeriksaan saraf. Evaluasi iskemia perifer juga harus sering dilakukan.
Pemeriksaan laboratorium untuk status perfusi yang memburuk dan cedera
multi-organ harus dipantau secara ketat. Efek vasopresin pada fungsi ginjal
dibutuhkan pemantauan ketat terhadap natrium serum dan urin, osmolalitas,
dan status cairan. Milrinone dibutuhkan pemantauan LFT dan jumlah
trombosit.
Vasopresor biasanya digunakan di ruang ICU. Sementara obat-obatan ini
diadviskan oleh dokter, pemantauan pasien dilakukan oleh perawat yang
terlatih dalam perawatan kritis (critical care). Selain tanda-tanda vital, berat
badan, status cairan, fungsi ginjal, dan perfusi perifer penderita harus selalu
dipantau. Penilaian pasien yang terus-menerus diperlukan untuk
memastikan bahwa vasopresor menjadi kritis jika tidak diperlukan.
2.3 Antibiotik
1. Pengertian
Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang
diseebabkan oleh bakteri.

9
Antibiotik adalah suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh
mikroorganisme yang dalam konsentrasi kecil mempunyai kemampuan
menghambat atau membunuh mikroorganisme lain. (RSUD Dr. Saiful
Anwar, 2016)
2. Indikasi
a. Menegakkan diagnosis penyakit infeksi
b. Menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium
seperti mikrobiologi, serologi dan penunjang lainnya.
c. Antibioika tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri.
d. Pemilihan jenis Antibiotika harus berdasar pada:
1) Informasi tentang spectrum kuman penyebab infeksi dan pada
kepekaan terhadap antibiotika
2) Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab
infeksi
3) Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotika
4) Melakukan de-ekskalasi setelah pertimbangan hasil mikrobiologi
dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat
5) Cost effective, obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan
aman
3. Kontraindikasi
a. Antibiotika tidak diberikan pada penyakit yang dapat sembuh sendiri
(self-limited)
b. Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik
c. Contoh antibiotik penicillin:
- Adanya riwayat hipersensitivitas terhadap obat golongan penicillin
- Penggunaan bersama propranolol dan nodolol
4. Dosis
a. Antibiotik Profilaksis bedah
Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam
jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang
cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar antibiotik harus

10
mencapai kadar hambat minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi. Dosis
ulangan dapat diberikan atas indikasi perdarahan lebih dari 1500 ml atau
operasi berlangsung lebih dari 3 jam. Antibiotik profilaksis diberikan ≤
30 menit sebelum insisi kulit. Idealnyadiberikan pada saat induksi
anestesi, rute melalui intravena atau untuk menghindari risiko yang tidak
diharapkan bisa menggunakan drip intravena.
b. Antibiotik Terapi Empiris
Antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48- 72 jam.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis
dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya. Rute pembeian
antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi.
c. Antibiotik Defenitif
Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis
untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis
dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya. Rute pemberian
antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi.
5. Implikasi Keperawatan
a. Pemberian antibiotik secara bersamaan dengan antibiotik lain, obat lain
atau makanan dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Efek
dari interaksi yang dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang ringan
seperti penurunan absorpsi obat atau penundaan absorpsi hingga
meningkatkan efek toksik obat lainnya. Sebagai contoh pemberian
siprofloksasin bersama dengan teofilin dapat meningkatkan kadar
teofilin dan dapat berisiko terjadinya henti jantung atau kerusakan otak
permanen. (Kemenkes RI, 2011).
b. Hipersensitivitas antibiotik merupakan suatu keadaan yang mungkin
dijumpai pada penggunaan antibiotik, antara lain berupa pruritus-
urtikaria hingga reaksi anafilaksis. Anafilaksis jarang terjadi tetapi bila
terjadi dapat berakibat fatal. Dua pertiga kematian akibat anafilaksis
umumnya terjadi karena obstruksi saluran napas. Untuk mengurangi
Anafilaksis dengan epinefrin, diberikan 0,01 ml/kgBB subkutan sampai

11
maksimal 0,3 ml dan diulang setiap 15 menit sampai 3-4 kali. Pada
keadaan berat dapat diberikan secara intramuskuler. Di bekas suntikan
penisilin dapat diberikan 0,1-0,3 ml epinefrin 1:1000 dan dipasang
turniket dengan yang dilonggarkan setiap 10 menit untuk menghambat
penyebaran obat. Pada kondisi obstruksi total dapat dilakukan punksi
membran kortikotiroid dengan jarum berukuran besar mengingat hanya
tersedia 3 menit untuk menyelamatkan penderita. Selanjutnya diberikan
oksigen 4–6 l/menit.Selain itu perlu diberikan salbutamol dalam
nebulizer dan aminofilin 5 mg/kgBB dalam 0,9% NaCl atau Dekstrosa
5% selama 15 menit. Usahakan otak terpenuhi oksigen.
2.4 Trombolitik
1. Pengertian
Obat-obat trombolitik digunakan untuk melarutkan gumpalan darah (trombi)
yang terbentuk pada semua pembuluh darah, namun ketika terbentuk di
pembuluh darah koroner, serebral atau pulmonal, akan mengancam hidup,
trombi koroner dapat menyebabkan infark miokard, trombi pembuluh darah
serebral dapat menyebabkan stroke, tromboemboli pulmoner dapat
menyebabkan gagal jantung dan gagal napas. Terapi ini dilakukan pada
waktu golden period (masa emas) dalam kurun waktu 12 jam untuk
mendapatkan hasil yang maksimal.
2. Macam-macam Obat Trombolitik Spesifik
a. Aktivator Plasminogen Jaringan : digunakan pada infark miokardial
akut, stroke thrombotik serebrovaskular dan embolisme pulmoner.
Contoh obatnya antara lain : Alteplase (Activase®; rtPA), Retaplase
(Retavase®), Tenecteplase (TNK-tPA).
b. Streptokinase : digunakan pada infark miokardial akut, thrombosis vena
dan aterial, dan embolisme paru. Ikatan ini antigenik karena diturunkan
dari bakteri streptokokus. Jenis obat ini antara lain : Streptokinase
alami/SK, Anistreplase/Eminase (kompleks SK dan plasminogen.
c. Urokinase/Abbokinase : aktivator plasminogen tipe urine (uPA) karena
dibentuk di ginjal dan ditemukan di urine. Urokinase jarang digunakan

12
karena seperti SK, UK menyebabkan fibrigenolisis. Satu kelebihan UK
dari SK adalah nonantigenik.
3. Indikasi
a. ST elevasi (AMI) atau LBBB baru
b. Stroke Iskemik Akut
c. Oklusi arteri Perifer
d. Trombosis vena dalam
e. Emboli Paru
4. Kontraindikasi
a. Obat ini hanya boleh diberikan sekali seumur hidup
b. Tidak diberikan pada pasien yang terinfeksi Streptococcus (batuk, pilek
dalam 2 minggu terakhir)
c. Riwayat Stroke Hemoragik
d. Hipertensi berat yang tidak terkontrol (misalnya, tekanan darah sistolik>
200 mm Hg atau tekanan darah diastolik> 110 mm Hg)
e. Tumor dan kanker intrakranial
f. AVM ( kelainan struktur vaskuler serebral)
g. Diseksi aorta akut
h. Cedera kepala / wajah dalam 3 bulan terakhir
i. Perdarahan internal aktif
j. Riwayat pembedahan dalam 10 hari sebelumnya
k. Trombositopenia (<100.000 trombosit / mm3).
5. Dosis
a. Infark miokard akut (Dosis Maksimal : 100 mg) :
Pasien dengan berat badan >65 kg: 15 mg bolus awal, kemudian diikuti
dengan 50 mg melalui infus selama 30 menit, dan diikuti oleh 35 mg
melalui infus selama 1 jam.
Dewasa dengan berat badan ≤65 kg: 15 mg bolus awal, kemudian diikuti
dengan 0,75 mg/kgBB melalui infus selama 30 menit, dan diikuti 0,5
mg/kgBB melalui infus dalam waktu 1 jam.

13
b. Emboli paru masif akut (Dosis maksimal: 100 mg.) : 10 mg bolus awal
yang diberikan selama 1–2 menit, kemudian diikuti oleh 90 mg melalui
infus dalam waktu 2 jam.
c. Stroke iskemik akut (Dosis maksimal: 90 mg.) : 0,9 mg/kgBB dalam
waktu 60 jam. (dosis awal bolus 10% dari dosis total dalam 1 menit dan
sisanya dilanjutkan melalui infus dalam waktu 60 menit.)
Cara Penyediaan : dilarutkan dalam 50 atau 100cc D5% atau NaCL 0.9%
semprotkan pelarut ke dinding botol, putar pelan-pelan jangan dikocok,
gunakan syringe pump/ infuse pump
6. Implikasi Keperawatan
a. Persiapan
1) KIE (komunikasi, informasi, edukasi) kepada pasien/ keluarga,
meliputi terapi yang akan dijalani dan komplikasinya, prosedur
terapi, dan inform consent pada keluarga
2) Pastikan alat yang digunakan sudah terpasang dan tehubung dengan
baik (bedside monitor, Sediaan obat yang telah terangkai dalam
infus set yang terpasang pada infus pump, Double iv line terpasang
lengkap)
3) Persiapkan alat yang sewaktu-waktu digunakan : troli emergency
yang dilengkapi defibrilator dan obat-obatan resusitasi
kardiopulmonal
4) Cek Laboratorium (Darah Lengkap, PT, APTT, CPK, CKMB) dan
EKG
b. Pelaksanaan
1) Menjalankan obat trombolitik melalui alat infus pump. Setting
pemberian obat (sesuai SPO infus pump).
2) Memeriksa tanda – tanda vital (tiap interval 15 menit), waspadai
tanda perdarahan dan reaksi alergi.
3) Waspadai hal – hal berikut Selama pemberian obat:
a) Bila terjadi hipotensi berikan posisi trendelenberg dan pelankan
kecepatan obat fibrinolitik sementara, obat dapat dikembalikan

14
bila tekanan darah membaik, bila turun hingga 30 mmHg, beri
cairan NaCL 0.9% atau RL 2-4cc/KgBB dalam 15 menit.
b) Bila bradikardi denyut jantung kurang dari 50x/menit disertai
hipotensi Kolaborasi pemberian SA 0,5 mg (IV).
c) Bila ada Chest pain berikan Analgetik Morphine Sulphate 2,5 –
5mg (IV) atau Petidhin 25 – 50mg (IV). Bila nyeri dada terus
berulang dan hemodinamik baik, Kolaborasi pemberian
Nitrogliserin IV.
d) Bila pada perdarahan yang sedang atau berat atau timbul dari
tusukan, tekan daerah tusukan selama 30 menit. Obat tidak boleh
distop. Jika perdarahan tidak berhenti lebih dari 30 menit, obat
distop
e) Reaksi alergi seperti erupsi kulit, urtikaria, bibir bengkak
dan kulit kemerahan mendadak (flushing) diatasi dengan
golongan obat antihistamin dan steroid
c. Evaluasi
1) Bila terjadi perdarahan setelah selesai pemberian terapi, cek ulang
DL, PT, APTT, Fibrinogen, INR, Resusitasi cairan: kristaloid,
koloid dan darah.EKG segera setelah trombolitik selesai
2) EKG : segera setelah terapi selesai, kemudian 30 menit setelah
trombolitik selesai
3) Cek ulang PT/APTT, Fibrinogen, CK, CKMB 24 jam setelah
trombolitik

15
BAB 3
TINJAUAN KASUS

3.1 Ringkasan Artikel Jurnal


1. Judul
Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik di Ruang Intensive Care Unit
(ICU) di Salah Satu Rumah Sakit Swasta di Bandung
2. Peneliti
Ani Anggriani, Ida Lisni, dan Kusnandar
3. Ringkasan Artikel Jurnal
Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai
permasalahan dan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri
terhadap antibiotik. Resistensi antibiotik dan infeksi nosokomial lebih
banyak terjadi di ruang Intensive care unit (ICU). Faktor peningkatan
resistensi antibiotik di ruang ICU meliputi penggunaan obat antibiotik
dengan spektrum yang luas, kemudahan terjadinya cross-transmission, dan
gangguan pertahanan tubuh pasien yang dirawat di ruang ICU.
4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menilai penggunaan
antibiotik pada pasien yang dirawat di ICU di salah satu RS swasta di
Bandung.
5. Kelebihan dan Kekurangan
a. Kelebihan
Penelitian ini menggunakan metode observasional.
b. Kekurangan
Durasi waktu yang terlalu singkat.

3.2 Analisa Artikel Jurnal Metode PICO


1. Problem
Penelitian dilakukan menggunakan metode observasional dengan
pengumpulan data secara retrospektif dan konkuren, dan penyajian data
secara deskriptif.

16
2. Intervention
Tahapan penelitian ini meliputi data hasil analisis kuantitatif yaitu
berdasarkan jenis kelamin, usia, diagnosa, penggunaan obat antibiotik dan
data analisis kualitatif yaitu berdasarkan indikasi, dosis pemberian, interval
waktu pemberian, lama waktu pemberian, kombinasi, dan interaksi obat.
3. Comparation
Judul : Evaluasi Penggunaan Antibiotika di Ruang HCU dan Ruang ICU
Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Februari-Maret 2012.
Peneliti : Yusi Anggriani, Agusdini Banun, dan Erliana
Hasil : Hasil studi menunjukkan, antibiotika paling banyak digunakan
pada bulan Februari adalah seftriakson, yaitu 54,5 DDD/100 hari
rawat di ruang HCU dan 52,5 DDD/100 hari rawat di ruang ICU.
Penggunaan antibiotika terbanyak di bulan Maret adalah
Meropenem (Ruang HCU 36,0 DDD/100 dan ruang ICU 122,73
DDD/100 hari rawat). Penggunaan antibiotika kombinasi sebesar
32,9% di HCU dan pada pasien ICU 40%. Tes sensitivitas
antibiotika dilakukan pada 11,1% pasien yang menerima
antibiotika. Tes kultur kuman hanya dilakukan pada 18 dari 153
pasien (11,8%). Pasien ADE (Antimicrobial Documented
Empirical) sebanyak 98,7% ADT (Antimicrobial Documented
Therapy) sebanyak 1,3% dan ADET (Antimicrobial Documented
Empirical Therapy) sebanyak 8,6%. Kategori VI paling banyak
ditemukan yaitu sebanyak 88,2%. Penggunaan antibiotika sesuai
dengan formularium 93,9%.
4. Outcome
Analisis kuantitatif penggunaan antibiotik berdasarkan jenis kelamin laki-
laki dan perempuan, tidak ada perbedaan secara bermakna, berdasarkan usia
paling banyak usia 65 tahun ke atas, berdasarkan diagnosa terbanyak adalah
gastroenteritis akut dan stroke infark, sedangkan antibiotik paling banyak
digunakan di ruang ICU adalah antibiotik seftriakson. Analisis kualitatif
dinilai kesesuaian penggunaan antibiotik berdasarkan indikasi penyakit
100%, berdasarkan dosis pemberian 100%, berdasarkan interval waktu

17
pemberian antibiotik 92,31%, berdasarkan lama waktu pemberian antibiotik
92,31%, berdasarkan kombinasi sinergis terjadi pada penggunaan antibiotik
seftriakson dengan meropenem, seftazidim dengan levofloxacin, dan
metronidazol dengan levofloxacin masing-masing 7,69%. Berdasarkan
interaksi, terjadi interaksi mayor pada obat deksametason dengan
levofloksasin (7,69%) dan moderate pada obat seftriakson dengan
furosemid (7,69%). Antibiotik seftriakson paling banyak digunakan di ruang
ICU. Dari kajian rasionalitas diketahui adanya kesesuaian penggunaan
antibiotik berdasarkan indikasi penyakit, dosis pemberian, interval waktu
pemberian, lama waktu pemberian, dan penggunaan kombinasi antibiotik.
Terjadi interaksi obat signifikan secara klinis.

18
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Obat obat emergency merupakan obat-obat yang digunakan untuk mengatasi
situasi gawat darurat atau untuk resusitasi life support. Pengetahuan mengenai
obat-obatan ini pentimg sekali untuk mengatasi situasi gawat darurat yang
mengancam nyawa dengan cepat dan tepat.
Banyak sekali macam obat emergency, sebagai perawat memerlukan
pemahaman sebagai modal sebelum memberikan obat kepada pasien. Kita harus
melihat indikasi kontraindikasi, dan efeksamping karena setiap kasus akan
berbeda pyla obat emergency yang diberikan. Sehingga pasien akan tertolong
dengan pertolongan yang tepat dan tidak ada kejadian fatal yang diakibatkan oleh
kesalahan pemberian obat emergency.

4.2 Saran
Perawat harus mengetahui 6 hal yang benar dalam pemberian obat kepada
pasien. Karena hal itu berperan penting dalam kesuksesan perawat dalam
pemberian obat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Anggriani, Ani, et al. 2018. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik di Ruang


Intensive Care Unit (ICU) di Salah Satu Rumah Sakit Swasta di Bandung.
PHARMACY: Jurnal Farmasi Indonesia, 15(2): 171-182. e-ISSN: 2579-
910X.

Anggriani, Yusi, et al. 2013. Evaluasi Penggunaan Antibiotika di Ruang HCU dan
Ruang ICU Rumah Sakit Kanker “Dharmais” Februari-Maret 2012. Jurnal
Ilmu Kefarmasian Indonesia, 11(2): 182-190. ISN: 1693-1831.Dinas
Kesehatan. 2013. Apa yang dimaksud dengan Obat. Diakses
dihttp://dinkes.go.id/index.php/artikel-kesehatan/111-apa-yang-dimaksud-
dengan-obat diakses pada 04/11/2020 pukul 09.00

Klabunde, R.E. (2012). Thrombolytic (Fibrinolytic) Drugs.:


https://www.cvpharmacology.com/thrombolytic/thrombolytic.

Hadiani, Miftakhul Arfah. 2011. Klasifikasi Obat Gawat Darurat Menggunakan


Analisa ABC-VED di Instalasi Farmasi RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Jurnal Teknik WAKTU. Volume 09 Nomor 02 – Juli 2011 – ISSN : 1412 –
1867 diakses pada 02/11/2020 pukul 10.00

Hadiani, Miftakhul H. 2011. Klasifikasi Obat Gawat Darurat Menggunakan


Analisis Abcved Di Instalasi Farmasi Rsud Dr Moewardi Surakarta. Journal
teknik.Universitas PGRI Adi Buana Surabaya diakses pada 06/11/2020
pukul 19.00

Guillermin, A., Yan, D. J., Perrier, A., & Marti, C. (2016). Safety and efficacy of
tenecteplase versus alteplase in acute coronary syndrome: a systematic
review and meta-analysis of randomized trials. Archives of medical science:
AMS, 12(6), 1181–1187. DOI: 10.5114/aoms.2016.58929.

Metty, dkk. 2018. Penurunan Kadar Laktat pada Pemberian Norepinefrin dengan
Plasebo dan Norepinefrin dengan Adjuvan Vasopresin pada Pasien Syok
Septik.http://journal.fk.unpad.ac.id/index.php/jap/article/download/1290/pdf
diakses pada 04/11/2020 pukul 16.00

Rilianto, B. (2016). Terapi Trombolitik Intravena untuk Stroke Iskemik Akut -


Hambatannya di Negara Berkembang. CDK-247/ vol. 43 no. 12 th. 2016, pp
946 – 951 diakses pada 03/11/2020 pukul 16.00

20
Thelengana, A., Radhakrishnan, D. M., Prasad, M., Kumar, A., & Prasad, K.
(2019). Tenecteplase versus alteplase in acute ischemic stroke: systematic
review and meta-analysis. Acta neurologica Belgica, 119(3), 359–367.
https://doi.org/10.1007/s13760-018-0933-9diakses pada 05/11/2020 pukul
19.35

Overgaard, Christopher B. dan Vladimír Dzˇavík. 2008. Inotropes and


Vasopressors: Review of Physiology and Clinical Use in Cardiovascular
Disease. Circulation AHA Journals, 118:1047-1056. DOI:
10.1161/CIRCULATIONAHA.107.728840.

VanValkinburgh, Danny, Connor C. Kerndt, dan Muhammad F. Hashmi. 2020.


Inotropes and Vasopressors. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.

Wu, H. Et al. 2017. Therapeutic effect of improved emergency nursing procedure


on the thrombolysis of Acute Myocardial Infarction (AMI) patients.
Research Article - Biomedical Research, Volume 28, Issue 11.

Zeidan, A. M., Forde, P. M., & Streiff, M. B. 2013. Diagnosis, Treatment, and
Prevention of Cancer-Associated Venous Thromboembolism. Abeloff’s
Clinical Oncology: Fifth Edition (pp. 542–561). Elsevier Inc. DOI:
10.1016/B978-1-4557-2865-7.00035-7.

21

Anda mungkin juga menyukai