Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FARMAKOLOGI

DISUSUN OLEH

DINI FARIDA SIHOMBING

1C

P07525020081

DOSEN PENGAMPU

DRG. KIRANA P. SIHOMBING. M. BIOMED

2021/2022
POLTEKKES KEMENKES MEDAN
PRODI KESEHATAN GIGI DAN MULUT
Kata Pengantar

Segala puji syukur saya hantarkan kepada Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta perlindungannya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu.

Terimakasih saya ucapkan kepada Drg. Kirana P Sihombing,M.Biomed selaku dosen mata kuliah penyakit gigi dan mulut
serta kepada rekan rekan saya yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Saya dapat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu saya akan sangat
berterimakasih jika pembaca menyampaikan kritik dan saran untuk membangun makalah ini menjadi makalah yang baik
lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, April 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata pengantar

Daftar isi

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Manfaat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi Obat
a. Obat Tipe A
b. Obat Tipe B
c. Obat Tipe C
d. Obat Tipe D
e. Obat Tipe E
f. Obat Tipe F

BAB III PEMBAHASAN

A. Efek samping Obat


a. Efek samping obat Tipe A
b. Efek samping obat Tipe B
c. Efek samping obat Tipe C
d. Efek samping obat Tipe D

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Obat merupakan komoditi kesehatan yang strategis karena sangat diperlukan oleh masyarakat. Sebagian
besar intervensi medik menggunakan obat dan biaya obat secara mandiri merupakan biaya terbesar yaitu sekitar
60-70% dari total biaya pengobatan (Fatokun, 2011; Hassali, 2012). Obat-obatan memainkan peran yang semakin
penting dalam masyarakat dan berkontribusi dalam mengendalikan biaya kesehatan masyarakat (Aramburuzabala
P, 2013). Oleh karenanya, ketersediaan obat baik dari sisi kuantitas maupun kualitas harus dapat dijamin oleh
pemerintahan (BPOM, 2012).
Penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman, dan juga tidak ekonomis saat ini telah
menjadi masalah dalam pelayanan kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang. Masalah ini
dijumpai di unit-unit pelayanan kesehatan misalnya di rumah sakit, Puskesmas, praktek pribadi, maupun di
masyarakat luas (Anonim, 2000). Peresepan obat yang rasional sangat didambakan berbagai pihak, baik oleh
dokter, apoteker, maupun pasien, sehingga diperoleh peresepan obat yang efektif dan efisien (Mundariningsih,
dkk., 2007). Salah satu indikator keberhasilan peresepan obat rasional di rumah sakit antara lain persentase
penggunaan antibiotik, persentase penggunaan obat generik, dan persentase penggunaan obat esensial (ketaatan
penggunaan formularium) benar-benar diterapkan sesuai aturan (Anonim, 2006). Obat yang digunakan di rumah
sakit umumnya adalah obat generik, karena harga obat nama dagang lebih mahal antara 3-5 kali daripada obat
generik. Penulisan resep di rumah sakit pemerintah selain mengacu pada Formularium Rumah Sakit, juga
mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan nomor 085/ Menkes/ Per/ I/ 1989 tentang kewajiban menuliskan
resep dan atau menggunakan obat generik di rumah sakit umum pemerintah (Supardi, dkk., 2005).
Potensi risiko atau toksisitas akibat penggunaan obat merupakan permasalahan yang menjadi perhatian
khusus bagi pasien, dokter, pemegang izin edar dan otoritas regulatori, karena seringkali reaksi obat yang tidak
diinginkan/merugikan menjadi penyebab masalah medis, yang kadang menyebabkan perawatan di rumah sakit
bahkan menjadi penyebab meninggalnya pasien. Terlebih lagi, pada beberapa tahun terakhir, banyak produk obat
yang ditarik dari peredaran sebagai akibat risiko yang tidak terdeteksi ketika produk obat disetujui untuk
dipasarkan. Seperti yang dijabarkan pada laporan dari World Alliance for Patient Safety yang merupakan bagian
dari organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO), sebagian dari persyaratan utama program
untuk meningkatkan keamanan pasien adalah kualitas dan kapasitas untuk mendapatkan informasi lengkap
mengenai reaksi obat yang merugikan dan kesalahan pengobatan, sehingga program ini dapat menjadi sumber
pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai dasar dari tindakan pencegahan di masa yang akan datang. Tindak lanjut
yang tidak tepat dalam menangani munculya reaksi obat yang tidak diinginkan atau ketika bukti lain didapat
dalam penggunaan obat, maka tidak ada pelajaran yang dapat diperoleh, kesempatan untuk menyimpulkan suatu
permasalahan menjadi terlewatkan, dan kapasitas untuk berkembang lebih jauh, lebih efektif dan mendapatkan
solusi yang lebih baik tidak dapat dikembangkan. Oleh karena itu, terdapat dua tindakan penting untuk dilakukan,
yaitu mengadakan pelatihan terapi farmakologi klinis yang tepat pada semua tingkatan untuk memastikan
penggunaan obat yang lebih baik, dan menciptakan suatu sistem farmakovigilans.
Pelayanan kesehatan dan penggunaan obat sangat bervariasi di setiap negara. Hal ini ditentukan antara
lain oleh keadaan ekonomi, suku bangsa, kebudayaan, beban penyakit, dan jenis makanan, dan juga ditentukan
oleh tingkat kemajuan serta sistem regulasi obat. Oleh karena itu, kebijakan mengenai keamanan dan khasiat obat
harus ditentukan berdasarkan konteks khusus pada setiap negara. Dengan demikian, pengawasan terhadap
keamanan dan khasiat obat harus menjadi prioritas kesehatan masyarakat. Badan POM tidak bisa sendiri dalam
mengawasi aspek keamanan obat, namun diperlukan juga partisipasi dari pemeran kunci yang terlibat dalam
siklus peredaran obat, mulai dari sebelum dipasarkan hingga pada saat beredar di pasaran. Pada saat ini, kendala
yang dihadapi antara lain pelaporan yang kurang, tidak dilaporkannya kejadian tidak diinginkan yang sudah
diduga, serta kurangnya kesadaran tenaga profesional kesehatan dalam melakukan pelaporan. Namun, ada hal lain
yang memperburuk keadaan yang tidak menguntungkan ini, yaitu minimnya interaksi antara pasien dengan tenaga
profesional kesehatan. Permasalahan lainnya adalah penggunaan obat off label dan pembelian obat tanpa resep
dokter, contohnya antibiotik dan penjualan obat secara daring (online), dan lain-lain. Oleh karena itu, penting
untuk memastikan adanya harmonisasi praktek farmakovigilans dan sistem manajemen risiko yang baik. Program
farmakovigilans yang aktif berdasarkan farmakoepidemiologi (ilmu yang mempelajari tentang penggunaan obat
dan efeknya pada sejumlah besar manusia) haruslah dibangun, karena merancang kegiatan sebelum obat disetujui
untuk dipasarkan akan menguntungkan kesehatan masyarakat di Indonesia. Badan POM mengembangkan
pedoman penggunaan obat dengan baik guna menyediakan dan meningkatkan sistem pelaporan farmakovigilans
serta keselamatan pasien. Proses ini diharapkan dapat memberikan masukan atas kesimpulan dari analisis data.
Seharusnya masukan ini juga dapat menjadi rekomendasi bagi perubahan prosedur kesehatan dan sistem
kesehatan misalnya, melakukan analisis mendalam yang signifikan dan memanfaatkan temuan-temuan yang ada
serta mengambil pelajaran dari hasil laporan. Pihak berwenang yang menerima laporan harus mampu
mempengaruhi solusi yang diambil termasuk menyebarluaskan informasi dan memberikan rekomendasi yang
tepat sesuai dengan permasalahan yang ada.
Meningkatnya harapan masyarakat terhadap keamanan obat, menambah dimensi lain mengenai
diperlukannya suatu perubahan. Permasalahan keamanan obat, tidak dapat diatasi hanya oleh Badan POM,
namun Badan POM mampu untuk mendeteksi dan mengantisipasi dampak dari permasalahan kesehatan pasien.
Melalui jejaring yang kuat dengan pemangku kepentingan pada sistem farmakovigilans, Badan POM memiliki
posisi untuk dapat mempengaruhi para pengambil keputusan yang berhubungan dengan obat dan kebijakan
kesehatan lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud degan Efek samping obat?
2. Apakah indikasi dari masing masing tipe obat?
3. Apakah kontraindikasi dari masing masing tipe obat?
4. Apakah nama paten dari masing masing tipe obat?
5. Apakah generic dari masing masing tipe obat?
C. Tujuan
1. Untuk mengentahui efek samping Obat Tipe A
2. Untuk mengentahui efek samping Obat Tipe B
3. Untuk mengentahui efek samping Obat Tipe C
4. Untuk mengentahui efek samping Obat Tipe D

D. Manfaat
Makalah ini dibuat untuk menjelaskan kepada pembaca apa apa saja efek samping dari masing masing
tipe obat agar setiap pembaca tidak lagi sembarangan dalam menggunakan obat bebas atau obat yang
tidak dalam izin BPOM atau bahkan obat dalam resep dokter. Obat yang memiliki banyak jenisnya
harus sesuai dengan tipe penyakit dan makanan bahkan suhu suatu daerah tertentu, oleh karena itu
makalah ini dibuat agar pembaca dapat memahami lebih dalam efek samping dalam penggunaan obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFENISI OBAT
Efek Samping Obat (ESO) merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas. Secara historis, ESO telah
diklasifikasikan dengan tipe A atau tipe B. Namun demikian, tidak semua ESO masuk ke dalam kategori tipe A
dan tipe B. Oleh karena itu, kategori tambahan telah dikembangkan.

a. Efek Samping Tipe A adalah efek samping yang sudah terdeteksi saat uji klinik, berkaitan dengan dosis (dose-
related) dan timbul berkaitan dengan efek farmakologi (khasiat) dari obat tersebut. Meningkatkan efek samping
yang ditimbulkan, secara umum efek samping tipe A ini tidaklah berat. Contohnya penggunaan fenotiasin dapat
menimbulkan ekstrapiramidal karena efek anti kolinergiknya, penurunan dosis berkemungkinan dapat
menurunkan efek sampingnya.
Peningkatan efek farmakologi melebihi normal suatu obat pada dosis terapi yang dianjurkan, seperti bradikardia
pada pengguna antagonist beta-adrenoseptor dan perdarahan pada pengguna antikoagulan. Mudah diduga
(prediktabilitas tinggi) melalui pengenalan efek farmakologi obat yang bersangkutan, biasanya tergantung pada
dosis yang digunakan. Insiden dan mordibitasnya tinggi tetapi umumnya memiliki angka mortalitas yang rendah.
Sering timbul akibat perubahan farmakokinetik obat oleh penyakit atau farmakoterapi yang bersamaan.
Efek Samping Tipe A bersifat intrinsik, bergantung dari konsentrasi, dosis, serta bahan-bahan kimia yang
dikandung oleh suatu jenis obat. Umumnya merupakan kelanjutan khasiat terapetik. Kejadiannya dapat diprediksi
sebelumnya. Insidens tipe ini paling tinggi. Reaksi-reaksi ini dapat diprediksi dalam hal farmakologi primer dan
sekunder obat dan biasanya tergantung kepada dosis. Contoh jenis reaksi ini termasuk hipoglikemia dengan
hipoglikemi oral dan hipotensi dengan anti-hipertensi. Reaksi ini harus diantisipasi, dan sering bisa dieliminasi
dengan mengurangi dosis. Reaksi-reaksi ini dapat diprediksi dalam hal farmakologi primer dan sekunder obat dan
biasanya tergantung kepada dosis. Contoh jenis reaksi ini termasuk hipoglikemia dengan hipoglikemi oral dan
hipotensi dengan anti-hipertensi. Reaksi ini harus diantisipasi, dan sering bisa dieliminasi dengan mengurangi
dosis.

Contoh Obat Tipe A

1. Warfarin

Warfarin merupakan senyawa antagonis vitamin K dari kelas enantiomer yang pertama kali dipasarkan
sebagai bahan terapi anti-koagulan sejak tahun 1954. Warfarin juga digunakan untuk mengobati
penggumpalan darah. Obat ini digunakan untuk mencegah terjadinya gumpatan darah terutama pada operasi
penggantian katup jantung.
Namun Warfarin juga digunakan dalam ekstraksi gigi dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
pendarahan yang signifikan terjadi setelah ekstraksi gigi sederhana pada pasien dengan pengobatan warfarin,
dan pasien ini dapat melanjutkan pengobatan regular mereka,dengan ketentuan bahwa INR kurang dari 3,50.
Sebanyak empat (11,4%) pasien mengalami perdarahan sedang setelah ekstraksi gigi. pendarahan dilakukan
dengan cara lokal yaitu menggunakan agen hemostatik lokal; Untuk ekstraksi gigi sederhana, modifikasi
pengobatan wafarin tidak diperlukan. rekomendasi tersebut mendukung laporan aframian dkk (2007)
mengenai ekstraksi gigi tunggal dan mengurangi risiko pengembangan CVA jika terjadi penghentian obat
beberapa hari sebelum ekstraksi.
Rumus: C19H16O4
Massa molar: 308,33 g/mol
Nomor CAS: 81-81-2
Pengikatan protein: 99%
CID PubChem: 54678486
2. Insulin
Insulin adalah sebuah hormon polipeptida yang mengatur metabolisme karbohidrat. Selain merupakan
"efektor" utama dalam homeostasis karbohidrat, hormon ini juga ambil bagian dalam metabolisme lemak dan
protein – hormon ini bersifat anabolik yang artinya meningkatkan penggunaan protein.

3. Morfin

Morfin adalah obat yang digunakan untuk mengatasi rasa sakit dengan intensitas sedang hingga parah,


seperti nyeri pada kanker atau serangan jantung. Untuk mengatasi nyeri, morfin dapat dikonsumsi sebagai
obat tunggal atau dikombinasikan dengan obat pereda nyeri lainnya.
Dalam mengatasi nyeri, morfin bekerja dengan cara menghambat sinyal saraf nyeri ke otak, sehingga tubuh
tidak merasakan sakit. Meskipun memiliki sejumlah manfaat, morfin dapat menyebabkan kecanduan hingga
mengakibatkan overdosis yang bisa membahayakan nyawa.

4. Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID)

Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) adalah


kelompok obat yang digunakan untuk mengurangi peradangan, sehingga meredakan nyeri dan menurunkan
demam. NSAIDs sering dikonsumsi untuk mengatasi sakit kepala, nyeri menstruasi, keseleo, atau nyeri sendi.
NSAIDs tersedia dalam bentuk kapsul, tablet, krim, gel, suppositoria (obat yang langsung dimasukkan ke
dalam anus), dan suntik. Dalam mengatasi nyeri, NSAIDs atau OAINS bekerja dengan cara menghambat
hormon pemicu peradangan, yaitu hormon prostaglandin. Dengan berkurangnya peradangan, rasa nyeri juga
akan berkurang dan demam akan turun. Obat ini juga dapat digunakan untuk mengatasi nyeri setelah amputasi
atau phantom limb syndrome.
Berikut ini adalah jenis-jenis obat yang termasuk ke dalam golongan NSAIDs atau OAINS:

 Ibuprofen
Merek dagang: Aknil, Alaxan FR, Anafen, Arbupon, Arfen, Arthrifen, Axofen, Bimacyl.
 Aspirin
Merek dagang: Aspirin, Aspilets, Cardio aspirin, Farmasal, Miniaspi 80, Thrombo
 Naproxen
Merek dagang: Xenifar, Alif 500
 Diclofenac
Merek dagang: Aclonac, Anuva, Araclof, Atranac, Bufaflam, Cataflam, Catanac, Deflamat, Diclofam,
Diclofenac.
 Celecoxib
Merek dagang: Celebrex, Novexib.
 Etoricoxib
Merek dagang: Arcoxia, Coxiron, Etoricoxib, Etorvel, Orinox.
 Indomethacin
Merek dagang: Dialon
 Asam mefenamat
Merek dagang: Allogon, Altran, Amistan, Analspec, Anastan Forte, Argesid, Asmef, Asam Mefenamat,
Asimat.
 Piroxicam
Merek dagang: Feldene, Scandene
 Meloxicam
Merek dagang: Movi-cox, Mecox
 Ketoprofen
Merek dagang: Profenid, Noflam
 Dexketoprofen
Merek dagang: Ketesse
 Etodolac
Merek dagang: Lonene
 Nabumetone
Merek dagang: Goflex

5. Opioid
Opioid adalah salah satu obat pereda rasa sakit yang banyak digunakan dalam dunia kedokteran. Namun,
sama seperti obat lainnya, opioid tidak bisa digunakan sembarangan. Opioid adalah obat penghilang rasa sakit
yang bekerja dengan reseptor opioid di dalam sel tubuh. Obat ini dibuat dari tanaman opium seperti morfin
(Kadian, Ms Contin) atau disintesis di laboratorium seperti fentanil (Actiq, Duragesic).
Ketika opioid masuk dan mengalir di dalam darah, obat yang satu ini akan menempel pada reseptor opioid di
sel-sel otak, sumsum tulang belakang, dan organ lain yang terlibat dalam rasa sakit dan senang. Sel kemudian
melepaskan sinyal yang meredam rasa sakit dari otak ke tubuh dan melepaskan dopamin dalam jumlah besar
ke seluruh tubuh dan menciptakan perasaan senang.
Biasanya golongan obat yang termasuk ke dalam opioid digunakan untuk mengurangi rasa nyeri sedang
hingga berat. Misalnya untuk membantu mengendalikan rasa sakit yang Anda alami setelah operasi.
b. ESO type B (ESO dose Independent) ialah ESO  yang merupakan suatu respon jarang atau tidak umum terjadi dan
tidak dapat diduga sebelumnya. Si ESO tipe B tidak berhubungan dengan khasiat farmakologik obat, dan yang
terjadi tidak bergantung pada dosis. Reaksi ini lebeh jarang terjadi (dibanding dengan tipe A), tetapi lebih sering
bersifat fatal. Reaksi tipe B ini biasanya berat, bahkan sering menyebabkan kematian dan pengurangan dosis tidak
bermanfaat untuk mengurangi efek amping. Oleh karene itu, pemberian obat harus segera dihentikan. Reaksi tipe
B ini umumnya bersifat imunologik dan dapat timbul sebagai syok anafilakti atau hiperfeleksi maligna.
Untuk menghindari dan untuk kewaspadaan kita terhadap reaksi tipe B ini.diperlukan data-gata berisi informasi
mengenai ESO yang telah dilaporkan dari pengalaman pemakaian obat, atau dari evaluasi pemakaian obat.

Contoh Obat Tipe B

1. Penisilin

Penisilin adalah sebuah kelompok antibiotik β-laktam yang digunakan dalam penyembuhan penyakit
infeksi karena bakteri, biasanya berjenis Gram positif. Wikipedia
Rumus: C9H11N2O4S
Metabolisme: Hepatik
Ekskresi: Ginjal
Rute: Intravena, intramuskular, melalui mulut
Waktu paruh: antara 0.5 dan 5.6 jam

2. Anastesi Umum
Anestesi umum atau biasa disebut bius total adalah prosedur pembiusan yang membuat pasien
menjadi tidak sadar selama operasi berlangsung. Anestesi jenis ini sering digunakan untuk
operasi besar, seperti operasi jantung terbuka, operasi otak, atau transplantasi organ
3. suksinil kolin.
Suxamethonium chloride, juga dikenal sebagai suxamethonium atau succinylcholine, adalah obat
yang digunakan untuk menyebabkan kelumpuhan jangka pendek sebagai bagian dari anestesi
umum. Ini dilakukan untuk membantu intubasi trakea atau terapi elektrokonvulsif. 
Rumus: C14H30N2O4
Nomor CAS: 306-40-1
Massa molar: 361,305 g/mol

c. Obat Tipe C (Chronic)


Reaksi yang terkait dengan penggunaan obat jangka lama, contohnya adalah ketergantungan
Benzodiazepine, chloroquine dan analgesik nefropati (kerusakan pada ginjal).  Reaksi-reaksi dapat  dijelaskan
dengan baik dan kronik tetapi dapat diantisipasi. Benzodiazepine biasanya digunakan untuk gangguan kecemasan,
insomnia, gangguan kejang, gangguan suasana hati, gangguan gerakan, intoksikasi (keracunan) dan melepaskan
ketergantungan terhadap alcohol dan zat lainnya. Contoh obat jenis ini adalah alprazolam,
bromazepam, chloridazepoxide, clobazam, clonazepam, clorazepate, diazepam, dll. Chloroquine biasanya
digunakan untuk  pencegahan malaria dan sebagai modifikasi obat anti rematik. Obat populer berbahan dasar
Chloroquine adalah Klorokuin FNA, resochin dan Dawaquin.

Contoh Obat Tipe C

1. Obat Alprazolam

Alprazolam merupakan obat golongan Benzodiazepin dengan nama kimia 8-Kloro-1-metil-6-fenil-4H-s-


triazolo[4,3- a][1,4] benzodiazepine, diklasifikasikan sebagai Psikotropika golongan IV. Alprazolam sering
digunakan sebagai terapi pada gangguan cemas, serangan panik, dan kecemasan yang disebabkan oleh
depresi. Contohnya adalah seorang yang mengalami kecemasan dalam melakukan pencabutan gigi, maka
alprazolam dapat digunakan untuk membantu perawatan.
Rumus: C17H13ClN4
Massa molar: 308,765 g/mol
Nomor CAS: 28981-97-7
Titik didih: 509°C
Pengikatan protein: 80%

2. Bromazepan

Bromazepam adalah obat yang termasuk dalam kelas atau golongan benzodiazepin. Bromazepam hanya bisa
diperoleh dengan resep dokter. Di Indonesia, bromazepam tersedia dalam 2 merek dagang yaitu Lexotan dan
Lexzepam. Obat ini dipatenkan oleh Roche pada tahun 1963 dan dikembangkan secara klinis pada tahun
1970-an. Wikipedia
Rumus: C14H10BrN3O
Nomor CAS: 1812-30-2
Massa molar: 316,15 g/mol
Titik didih: 490,7°C
Nama dagang: Lexotan, Lexotanil
Ekskresi: Renal

3. chloridazepoxide
Diterjemahkan dari bahasa Inggris-Chlordiazepoxide, nama dagang Librium antara lain, adalah obat
penenang dan hipnotis dari kelas benzodiazepine; digunakan untuk mengobati kecemasan, susah tidur dan
gejala penarikan dari alkohol dan obat-obatan lainnya. 
Rumus: C16H14ClN3O
Nama IUPAC: 7-chloro-2-methylamino-5-phenyl-3H-1,4-benzodiazepine-4-oxide
Nomor CAS: 58-25-3
Massa molar: 299,75 g/mol
Titik didih: 451°C
CID PubChem: 2712

4. clobazam
Diterjemahkan dari bahasa Inggris-Clobazam yang dijual dengan merek Frisium antara lain adalah obat
golongan benzodiazepine yang dipatenkan pada tahun 1968. Clobazam pertama kali disintesis pada tahun
1966 dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1969. 
Rumus: C16H13ClN2O2
Nomor CAS: 22316-47-8
Massa molar: 300,74 g/mol
Titik didih: 643,8°C
CID PubChem: 2789

5. clonazepam
Diterjemahkan dari bahasa Inggris-Klonazepam yang dijual dengan merek Klonopin antara lain adalah obat
yang digunakan untuk mencegah dan mengobati kejang, gangguan panik, dan gangguan gerakan yang dikenal
dengan akathisia. Ini adalah obat penenang dari kelas benzodiazepine. Itu diambil melalui mulut. 
Rumus: C15H10ClN3O3
Nomor CAS: 1622-61-3
Biovailabilitas: 90%
Massa molar: 315,715 g/mol
CID PubChem: 2802
6. clorazepate
Diterjemahkan dari bahasa Inggris-Clorazepate, dijual dengan nama merek Tranxene antara lain, adalah obat
benzodiazepine. Ia memiliki sifat relaksan otot anxiolytic, antikonvulsan, sedatif, hipnotis, dan skeletal. 
Biovailabilitas: 91%
Massa molar: 408,9 g/mol
Nomor CAS: 57109-90-7
CID PubChem: 2809

7. diazepam
Diazepam, pertama dipasarkan sebagai Valium, adalah pengobatan dari keluarga benzodiazepin yang dapat
memunculkan efek tenang. Obat ini biasanya digunakan untuk pengobatan kecemasan, sindrom putus
alkohol, sindrom putus benzodiazepin, spasmofili, epilepsi, sulit tidur, dan sindrom kaki resah. Wikipedia
Rumus: C16H13ClN2O
Massa molar: 284,7 g/mol
Nomor CAS: 439-14-5
Titik didih: 497,4°C
CID PubChem: 3016

d. Obat Tipe D
Efek samping obat tertunda/lambat yang terjadi beberapa tahun setelah terapi seperti karsinogen (penyabab
kanker) dan teratogen. Diperkirakan bahwa toksisitas tersebut dihalangi oleh penelitian mutagenisitas praklinis.
Penelitian karsinogen untuk senyawa kimia baru perlu dilakukan secara menyeluruh sebelum lisensi produk
diberikan. Contohnya efek samping obat diethystilbesterol. Diethystilbesterol  digunakan untuk indikasi
vaginitis gonorrheal, vaginitis atrofi, gejalaenapause dan postpartum menyusuipenekanan untukmencegah pemben
gkakan payudara.
Contoh obat
1. Diethystilbesterol

Diterjemahkan dari bahasa Inggris-Diethylstilbestrol, juga dikenal sebagai stilbestrol atau stilboestrol, adalah
obat estrogen nonsteroid, yang jarang digunakan. 
Rumus: C18H20O2
Nama IUPAC: 4,4'-(3E)-hex-3-ene-3,4-diyldiphenol
Nomor CAS: 56-53-1
Massa molar: 268,35 g/mol
CID PubChem: 448537

e. TIPE E: Berhenti Menggunakan Obat (End of Use) Jenis efek samping ini tidak umum terjadi (uncommon).
Efeknya langsung terjadi setelah pasien berhenti menggunakan obat (withdrawal). Penanganan yang dapat
dilakukan adalah mengurangi dosis obat secara berangsur-angsur sampai mampu berhenti total (tapering-off).
Contoh tipe ini antara lain:
- Sindrom withdrawal opioid
- Penghentian Kortikosteroid mendadak dapat menyebabkan insufisiensi adrenal akut.

f. TIPE F: Kegagalan Terapi yang Tidak Diduga (Failure) Efek ini umum terjadi disebabkan oleh kegagalan terapi.
Biasanya dikaitkan dengan dosis dan sering kali akibat dari interaksi obat. Penanganan yang dilakukan untuk
efek tipe F ini adalah peningkatan dosis atau menghindari efek pemakaian bersama.
Contoh efek samping obat yang termasuk tipe F ini antara lain:
- Dosis lazim kontrasepsi oral jadi tidak memadai ketika digunakan dengan obat penginduksi induser
enzim spesifik; dan – Resistensi terhadap agen antimikroba.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Efek Samping Obat


a. Efek Samping Obat Tipe A
Terkait dengan Dosis (Augmented) Tipe ini merupakan perpanjangan dari efek farmakologi yang umumnya
terjadi sekitar ±80% dari seluruh efek samping obat. Efeknya berkaitan dengan besar dosis dan mekanisme kerja
obat. Efek obat dapat diprediksi dan memiliki tingkat mortalitas yang rendah.
Contoh dari efek tipe ini antara lain:
- Perdarahan akibat warfarin
Indikasi : Warfarin adalah obat yang digunakan sebagai pengencer darah pada pasien yang
memiliki indikasi penggumpalan darah. Warfarin bekerja dengan menghambat sintesa dari faktor
koagulasi vitamin K-dependen II, VII, IX, dan X, sehingga warfarin secara tidak langsung mengurangi
jumlah faktor-faktor pembeku darah.
Kontraindikasi : Kontraindikasi warfarin antara lain adalah: Kehamilan. Orang dengan gangguan
pembekuan darah, seperti hemofilia A dan B, atau penyakit von Willebrand. Pasca operasi sistem saraf
pusat, mata, dan operasi traumatik terbuka.

- Hipoglikemik akibat insulin


Indikasi : Pengobatan diabetes mellitus. Peringatan: Lihat keterangan pada insulin; penggunaan
dosis insulin yang tidak tepat atau penghentian dapat menyebabkan hiperglikemia dan keadaan
ketoasidosis, yang dapat menyebabkan kematian.
Kontraindikasi : penggunaan insulin reguler adalah keadaan hipoglikemia dan hipersensitivitas. Selain
daripada itu, ada beberapa peringatan penggunaan insulin reguler yang harus diperhatikan. Insulin reguler
dikontraindikasikan padakeadaan hipoglikemia dan pada pasien-pasien yang memiliki riwayat alergi
terhadap insulin.

- Konstipasi akibat pemakaian morfin


Indikasi :  adalah kondisi nyeri moderat hingga berat pada onset akut maupun kronis. Pada
anak, morfin diberikan dengan indikasi sianosis dengan tetralogi Fallot dan nyeri akut akibat
pascaoperasi, kanker dan krisis anemia sel sabit.
Kontraindikasi : pemberian morfin adalah hipersensitivitas dan pasien dengan gejala depresi
pernapasan. Morfin memiliki blackbox warning yaitu penggunaan morfin harus dibawah pengawasan
ketat dokter, pemberian nya harus berhati-hati karena adanya abuse dan misuse.

- Iritasi saluran cerna akibat pemakaian NSAID


Indikasi : sering dikonsumsi untuk mengatasi sakit kepala, nyeri menstruasi, keseleo, atau nyeri sendi.
Kontraindikasi :  riwayat tukak lambung atau pendarahan lambung, pasien yang mengalami
bronkospasme, polip hidung dan angioedema atau urtikaria apabila diberikan asetosal atau obat-
obatan AINS yang lain.

- Depresi pernapasan akibat opioid


Indikasi : yang diresepkan biasanya digunakan untuk mengobati rasa nyeri sedang hingga berat. Selain
itu, obat ini biasanya diresepkan setelah operasi atau cedera dan mengatasi rasa nyeri yang berhubungan
dengan penyakit kanker.
Kontraindikasi :  efek samping yang mirip dengan morfin. Biasanya digunakan pada penanganan nyeri
pada perawatan paliatif. Dimana  Morfin memiliki blackbox warning yaitu penggunaan morfin harus
dibawah pengawasan ketat dokter, pemberian nya harus berhati-hati karena adanya abuse dan misuse

Adapun penanganan untuk tipe ini antara lain menurunkan dosis obat atau menghentikan terapi dengan obat
tersebut. Cara ini paling mudah karena mengeliminasi dosis yang menimbulkan efek samping pada pasien.
Namun, jika pasien tetap harus mengkonsumsi obat tersebut, maka harus dilakukan tatalaksana efek samping
yang ditimbulkan.

b. Efek Samping obat Tipe B


Ini Tidak Terkait dengan Dosis (Bizarre) Tipe ini tidak terjadi secara umum, tidak terkait dosis dan tidak terkait
mekanisme kerja obat. Efek samping tipe B ini tidak dapat diprediksi sehingga tingkat mortalitasnya tinggi.
Manajemen yang bisa dilakukan hanya dengan menghentikan penggunaan obat dan menghindarinya di waktu
mendatang.

Contoh efek obat tipe B antara lain :


- Reaksi imunologi : syok anafilaktik pada penggunaan penisilin
Indikasi :  membunuh bakteri dengan cara menghambat pembentukan dinding sel bakteri.
Kontraindikasi : peringatan penggunaan penicillin V adalah terkait reaksi hipersensitivitas. Penicillin V
oral tidak diindikasikan untuk mengatasi infeksi berat akut. Penicillin V juga tidak diberikan sebagai
antibiotik profilaksis.

- Reaksi idiosyncratic (malignant hyperthermia) oleh anestesi umum


- Apnoe akibat suksinil kolin.
Indikasi : pelemas otot depolarisasi dengan kerja singkat serta peringatan kehamilan
Kontraindikasi : riwayat keluarga dengan hipertermia ganas, aktivitas kolinesterase plasma rendah
(termasuk penyakit hati berat) 

c. Efek Samping Obat Tipe C


Tipe C ini Terkait dengan Dosis & Terkait dengan Waktu (Chronic) Efek samping obat tipe C ini terkait dengan
besar dosis, lama pemberian obat (kumulatif) dan tidak umum terjadi. Efek ini disebabkan oleh penggunaan
obat jangka panjang. Penanganan yang dapat dilakukan adalah menurunkan dosis atau menghentikan
pemakaian obat yang dapat disertai efek withdrawal.
Contoh efek obat tipe C antara lain :
- Supresi aksis hypothalamus pituitary adrenal dan osteoporosis oleh kortikosteroid;
Indikasi : Kortikosteroid adalah obat yang mengandung hormon steroid yang berguna untuk menambah
hormon steroid dalam tubuh bila diperlukan, dan meredakan peradangan atau inflamasi, serta menekan
kerja sistem kekebalan tubuh yang berlebihan.
Kontraindikasi : lesi kulit akibat bakteri, jamur atau virus yang tidak diobati

- Osteonekrosis pada pemakaian bisfosfonat


Indikasi : Bisfosfonat adalah kelompok obat yang berfungsi untuk memperlambat dan mencegah
terjadinya kerapuhan tulang akibat kematian sel-sel tulang. Bisfosfonat juga dapat berfungsi untuk
memperkuat tulang dan mengatasi hiperkalsemia atau kadar kalsium tinggi dalam darah yang muncul
akibat komplikasi kanker
Kontraindikasi : Hipersensitivitas, abnormalitas esofagus dan faktor lain yang menghambat pengosongan
esofagus seperti penyempitan atau akalasia, ketidakmampuan untuk berdiri atau duduk tegak untuk
sekurang-kurangnya 30 menit, hipokalemia.

- Fibrosis hepatik akibat metotreksat.


Indikasi : Methotrexate digunakan untuk mengobati jenis kanker yang menyerang payudara, kepala dan
leher, paru-paru, darah, tulang, kelenjar getah bening, rahim, dan rheumatoid arthritis yang
parah. Obat ini juga dapat digunakan untuk mengatasi gejala psoriasis berat pada orang dewasa.
Kontraindikasi : Beberapa peringatan pada penggunaan methotrexate adalah: Pada pasien usia lanjut dan
pasien dengan gangguan ginjal, asites atau efusi pleura, dapat terjadi penurunan eliminasi obat sehingga
harus dimonitor ketat toksisitas pada ginjal, sumsum tulang, paru, ataupun liver.

d. Efek samping Obat Tipe D


TIPE D ini Terkait dengan Waktu (Delayed) Efek samping obat tipe D lebih dikaitkan dengan waktu pemakaian
obat dan tidak umum terjadi (uncommon). Efeknya terjadi atau terlihat jelas setelah penggunaan obat beberapa
waktu. Efek samping obat tipe D ini sering kali tidak terselesaikan sampai tuntas.
Contoh efek samping obat tipe D, antara lain:
- Carcinogenesis Tardive dyskinesia Teratogenesis Leucopenia with lomustine; dan
- Karsinogenesis: kanker endometrium yang dapat disebabkan oleh estrogen.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Efek samping adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien
(adverse reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama
sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko
yang sebagian besar sudah diketahui.
Efek samping obat dapat dikelompokkan dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada atau tidaknya
hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek samping yang terjadi dan
sebagainya.
Adapun faktor-faktor pendorong terjadinya efek samping obat adalah Faktor bukan obat seperti Intrinsik
dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi, penyakit, sikap dan
kebiasaan hidup. Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya
pencemaran oleh antibiotika. Dan faktor obat seperti Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat
untuk menimbulkan efek samping, pemilihan obat, cara penggunaan obat, dan interaksi antar obat.
Agar kejadian efek samping dapat ditekan serendah mungkin, selalu dianjurkan untuk selalu harus
ditelusur riwayat rinci mengenai pemakaian obat oleh pasien pada waktu-waktu sebelum pemeriksaan,
baik obat yang diperoleh melalui resep dokter maupun dari pengobatan sendiri dan gunakan obat hanya
bila ada indikasi jelas dan bila tidak ada alternatif non-farmakoterapi serta hindari pengobatan dengan
berbagai jenis obat dan kombinasi sekaligus. Adapun penanganan efek sampingnya adalah segera
hentikan semua obat bila diketahui atau dicurigai terjadi efek samping serta upaya penanganan klinik
tergantung bentuk efek samping dan kondisi penderita.

B. Saran
Dari makalah diatas maka perlu diberikan saran-saran sebagai berikut: Dalam pemakaian obat, hendaknya
kita perhatikan kontra indikasi dari obat tersebut, untuk mencegah efek samping dari obat yang
berlebihan. Dan adapun penangan dari efek samping tersebut disesuaikan dengan efek sampng yang
ditimbulkan oleh obat yang telah dikonsumsi atau telah masuk ke dalam tubuh.

DAFTAR PUSTAKA
Anief M, 2007, Apa yang Diketahui tentang Obat. Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS.
Dwi, F.Y. 2010. Efek samping obat. Jakarta: Hilal Ahmar.
Ikawati, Z. 2010. Cerdas mengenali obat. Yogyakarta: Kanisius

Anda mungkin juga menyukai