PENGANTAR PENDIDIKAN
DOSEN PRAKTISI: H. MASBAN, S.Pd. , M.Pd
DISUSUN OLEH:
B. Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat
perkembangan peserta didik. Tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang akan
dikembangkan. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi (UD No.20 Tahun 2003 Pasal 14). Adapun jenjang
pendidikan dasar yang melandasi jenjang pendidikan menengah di atur dalam pasal 17 ayat 1,
jenjang pendidikan menengah diatur dalam pasal 18 ayat 1,2,3,4 ,dan jenjang pendidikan
tinggi diatur dalam pasal 19,20,21,22,23,24,dan 25.
C. Jenis Pendidikan
Jenis pendidikan mencakup:
1) Pendidikan umum,
2) kejuruan,
3) akademik,
4) profesi,
5) vokasi,
6) keagamaan, dan
7) khusus.
Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi
diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Dalam UU No. 20 tahun 2003 Pasal 13 ayat 1 dinyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri
dari pendidikan formal, non-formal dan informal.
Pendidikan Formal
Pendidikan Non-Formal
Pendidikan non-formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang untuk memenuhi kebutuhan pendidikan
peserta didik tertentu untuk mendapatkan informasi, pengetahuan, latihan, dan bimbingan
sehingga mampu bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, dan negara. Pendidikan non-
formal paling banyak terdapat pada usia dini, misalnya saja Taman Pendidikan Al Quran
yang banyak terdapat di Masjid. Selain itu, ada juga berbagai kursus, di antaranya kursus
musik, bimbingan belajar, dan sebagainya.
Pendidikan Informal
Jalur pendidikan ketiga yakni pendidikan informal, jalur pendidikan keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri yang dilakukan secara sadar dan
bertanggung jawab. Pendidikan ini bisa kita temui lewat sekolah rumah (homeschooling)
atau juga Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM).
Pendidikan formal dan informal memang berbeda. Salah satunya, pendidikan formal
mengenal ujian nasional (UN), sedangkan peserta didik pendidikan informal mengikuti
Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK).
Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah
peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Suatu diskursif menarik ketika bangsa Indonesia dihadapkan pada realitas gelombang
globalisasi di dalam dunia yang terbuka, dan transparansi di segala bidang/sektor produktif,
maka orang mulai bertanya dan mengkomparasikan kualitas kehidupan bangsa Indonesia
dengan bangsa-bangsa lain.
Secara eksplisit pada pedoman tidak banyak menjelaskan tentang pendidikan karakter.
Namun dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional UU RI Nomor 20 tahun 2003, pasal 3:
“pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Kemajuan dan perkembangan pendidikan tidaklah cukup dilihat dan dipahami dalam konteks
kekinian. Secara historis perkembangan pendidikan dapat dilihat sejak masa kemerdekaan.
Hal tersebut dapat disimak kajian Fitri Wahyuni (2015), yang diberi judul “Kurikulum dari
masa ke masa: Telaah atas pentahapan kurikulum pendidikan di Indonesia”. Dalam
kajiannya, Wahyuni menelaah perjalanan sejarah pendidikan sejak tahun 1945, kurikulum
pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968,
1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari
terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat
berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini negara memiliki peranan strategis dalam
merumuskan paradigma dan sistem pendidikan. Apabila diurai permasalahan pendidikan
Indonesia tidak hanya masalah penataan kurikulum, pencapaian arah pendidikan Indonesia
dan berbagai persoalan lainnya. Out put pendidikan harus memiliki moralitas tinggi,
integritas, kepekaan sosial, menjunjung harkat dan martabat negara, dan ikut menentukan
arah peradaban manusia.
Sehubungan dengan itu, perkembangan pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari peran
tokoh yang memberikan gagasannya terhadap pendidikan. Tokoh yang memberikan gagasan
besar untuk kemajuan pendidikan di Indonesia dan disebut sebagai Bapak Pendidikan
Nasional yaitu Ki Hadjar Dewantara, Ia adalah tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia,
pelopor Indistje Partij (partai nasional), dan penggagas paradigma pendidikan. Perjuangan Ki
Hadjar Dewantara diimplementasikan di bidang pendidikan sebagai alat untuk meraih
kemerdekaan. Ia berusaha menyadarkan masyarakat Indonesia akan pentingnya persatuan dan
mencintai tanah air. Ki Hadjar Dewantara berusaha mengembalikan hak-hak kaum terjajah
atau pribumi dalam bidang pendidikan. Konsep pendidikan yang dianut memerlukan
perhatian menyeluruh yang menjadi syarat bagi pengembangan diri demi pengembangan
akhlak, jiwa dan raga anak. Perhatian inilah yang disebut “sistem among”.
Melalui tulisan ini penulis sadar bahwa dunia pendidikan telah mengalami dekadensi
pendidikan karakter. Berbagai kasus yang melibatkan antara siswa dan guru muncul ke
permukaan dalam konteks kekinian. Terangkum dalam catatan surat kabar Tribun News,
salah satu kasus terjadi bulan Februari 2018 di Sampang, Madura. Seorang siswa tidak terima
ditegur dan diberi sanksi dengan mencoret pipi murid dengan cat warna oleh gurunya karena
tidak menyimak pelajaran yang disampaikan guru dan pura-pura mendengarkan justru
mengganggu teman-temannya dengan mencoret lukisan mereka. Siswa inisial HI tersebut tak
terima lantas melemparkan bogem mentah pada gurunya. Awalnya tidak terjadi apa-apa
sampai kemudian sang guru mengeluh sakit hingga dilarikan ke rumah sakit, namun naas
sang guru meninggal dunia. Lain lagi video amatir yang diunggah akun instagram
@fakta.indo pada Sabtu 2 maret 2019, menampilkan seorang guru tengah menonton film
porno di dalam kelas. Aksi guru tersebut menimbulkan keriuhan siswa-siswanya kemudian
menjadi viral di media sosial.
Berangkat dari kasus-kasus tersebut, predikat Indonesia mengalami dekadensi pendidikan
karakter merupakan suatu pembenaran. Pendidikan telah jauh dari nilai-nilai dasar
filosofisnya. Guru yang seharusnya digugu, kini menjadi sosok yang tidak dihormati oleh
muridnya. Kemudian mengabaikan sikap moralitas, menghormati dan etika, teralineasi dari
fitrahnya. Bahkan lebih parah lagi, guru yang seharusnya menjadi panutan bagi muridnya,
kini telah menjadi sosok yang tidak patut ditiru. Hal ini telah jauh dari makna filosofi
pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara (Ing Ngarsa Sung Tuladha, ing madya mangun karsa,
Tut Wuri Handayani). Bersamaan dengan hal itu, mengintegrasikan paradigma pendidikan
karakter ala K.H Dewantara ke dalam kehidupan bangsa yang modern dan beradab adalah
suatu keniscayaan. Sehingga penulis berusaha memaparkan kembali konsep dan paradigma
pendidikan K.H Dewantara kemudian menginherenkan dengan pendidikan dalam konteks
kekinian.
Pendidikan Karakter K.H Dewantara Menuju Generasi Emas 2045
Berangkat dari keyakinan akan nilai-nilai tradisional Ki Hadjar Dewantara agar diterapkan
dalam pendidikan karakter Indonesia emas 2045. Ada 3 peran guru dalam memajukan mutu
pendidikan Indonesia, yakni: (1) berperan sebagai fasilitator dan motivator dalam
menyampaikan ilmu pengetahuan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa; (2) sebagai
penggerak dan mempraktikan nilai-nilai pendidikan karakter K.H Dewantara; (3) sebagai
penuntun dan inovator dalam mewujudkan peserta didik yang diharapkan pada masa
Indonesia emas 2045.
Salah satu visi Indonesia emas 2045 yaitu: tahun 2030, memastikan bahwa semua peserta
didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mempromosikan
pembangunan berkelanjutan, salah satunya melalui pendidikan untuk pembangunan
berkelanjutan, sikap dan perilaku, hak asasi manusia, kesetaraan gender, promosi budaya
damai dan non-kekerasan, kewarganegaraan global dan apresiasi keanekaragaman budaya
dan kontribusi budaya untuk membangun pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan
fasilitas pendidikan bagi anak, penyandang cacat dan sensitif gender dan memberikan aman,
tanpa kekerasan, inklusif dan lingkungan belajar yang efektif bagi semua. Hal ini sesuai
dengan konsep mendidik menurut Ki. Hajar Dewantara dalam arti yang sesungguhnya
adalah proses memanusiakan manusia, yakni pengangkatan manusia ke taraf insani.
Mendidik harus lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan
mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Kesamarataan menjadi tujuan
utama perjuangan Ki Hadjar Dewantara, rakyat dengan kemampuan ekonomi rendah
diperjuangkan agar dapat mengeyam pendidikan. Prinsip kemerdekaan bagi peserta didik
bertujuan agar tercapainya insan yang merdeka dalam mengeksplorasi berbagai macam ilmu
pengetahuan. Hal inilah yang dikenal dengan sistem Among. Among berarti asuhan dan
pemeliharaan dengan suka duka dengan memberi kebebasan anak asuhan bergerak menurut
kemauannya.
Tiga semboyan Ki Hadjar Dewantara dapat dijadikan sebagai pedoman guru guna
menyongsong Indonesia Emas 2045. Tiga semboyan itu, yakni : Pertama, Ing Ngarsa Sung
Tuladha, artinya seorang guru adalah pendidik yang harus memberi teladan. Ia pantas digugu
dan ditiru dalam perkataan dan perbuatannya. Kedua, Ing Madya Mangun Karsa, artinya
seorang guru adalah pendidik yang selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus-
menerus membangun semangat dan ide-ide mereka untuk berkarya. Ketiga, Tut Wuri
Handayani, artinya seorang guru adalah pendidik yang terus-menerus menuntun, menopang
dan menunjuk arah yang benar bagi hidup dan karya anak-anak didiknya. Tiga semboyan
tersebut inheren dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
pada pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa “Kompetensi guru meliputi Kompetensi Pedagogik,
Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Profesional”. Dengan
demikian, mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan Ki Hadjar Dewantara guna menyongsong
Indonesia Emas merupakan suatu hal yang tidak terelakkan.
KESIMPULAN
Pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses yang berlangsung di
dalam sekolah saja. Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial yang memungkinkan masyarakat
tetap ada dan berkembang. Di dalam Masyarakat yang kompleks, fungsi pendidikan ini
mengalami spesialisasi dan melembaga dengan pendidikan formal yang senantiasa tetap
berhubungan dengan proses pendidikan informal di luar sekolah.
Pendidikan yang berkualitas ditandai dengan adanya system Pendidikan yang baik
dimana tenaga pendidik yang bertugas merupakan tenaga professional.Dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen dijelaskan guru adalah pendidik
professional dengan tugas utama untuk
mendidik,mengaja,membimbing,mengarahkan,melatih,menilai,dan mengevaluasi peserta
didik.
DAFTAR PUSTAKA
Putra, Andika Kelana. 2015. Resistensi Finlandia terhadap Global Educational Reform
Movement. Jurnal HI: Universitas Airlangga.
kemendikbud. 2017. Peta Jalan Generasi Emas 2045.