PENDAHULUAN
Batubara merupakan mineral bahan bakar yang terbentuk sebagai suatu cebakan
sedimenter yang berasal dari penimbunan dan pengendapan hancuran bahan berselulosa
yang berasal dari tumbuh – tumbuhan. Didalam industri pertambangan batubara,
sampling merupakan hal yang sangat penting, karena merupakan proses yang sangat vital
dalam menentukan karakteristik batubara tersebut. Sampling merupakan kegiatan untuk
mengambil contoh dari batubara yang mewakili dari keseluruhan sampel batubara.
Pada dasarnya batubara hasil sampling tidak dapat di analisa, batubara hasil sampling
perlu pengkondisian agar batubara dapat dianalisa, pengkondisian ini di namakan
preparasi. Preparasi sampel batubara merupakan rangkaian tahapan pengurangan berat
dan ukuran dari gross sampel secara sistematis sampai pada berat dan ukuran yang sesuai
untuk analisa laboratorium.
Oleh karena itu, dilaksanakannya Tugas Besar Praktikum Teknologi Batubara agar
praktikan lebih mengetahui dan memahami proses sampling, preparasi, analisa kualitas
batubara dan basis pelaporan serta penentuan rank batubara.
1
1.2 Tujuan
Adapun batasan masalah pada Laporan Tugas Besar kali ini, yaitu:
1. Objek pengamatan berupa sampel batubara
2. Pengujian yang dilakukan berupa uji total moisture, analysis proximate, dan
basis pelaporan serta penentuan rank batubara
3. Pengujian tiap lokasi yang berbeda menggunakan 3 sampel pada setiap
pengujian
1.4 Manfaat
2
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
Lokasi pengambilan sampel pada lokasi pengamatan 1 dan lokasi pengamatan 2 berada
pada titik koordinat yang dijelaskan pada tabel 2.1 sebagai berikut:
3
atau arah timur hingga sampai pada pertigaan, kemudian belok ke kiri sampai ke simpang
tiga gerbang Mugirejo sejauh ± 1288 meter, Kemudian Lurus menuju ke likasi sampel
sejauh ± 7545 meter. Jarak dari Fakultas Teknik Universitas Mulawarman ke lokasi
penelitian ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua dalam waktu menit.
Kondisi cuaca pada saat pengambilan sampel cerah.
4
Berdasarkan peta geologi Samarinda, Kota Samarinda tersusun dari beberapa formasi
batuan seperti aluvial, formasi kampungbaru, formasi balikpapan, formasi palaubalang,
serta batupasir dangkan. Pada lokasi pengambilan sampel pertama terletak pada formasi
palaubalang dan pada lokasi pangambilan sampel kedua terletak pada formasi
Balikpapan. Di atas batu gamping Formasi Bebulu diendapkan Formasi palaubalang,
formasi ini dicirikan oleh perselingan batupasir, batulanau dan serpih. Formasi ini dapat
dibedakan dari formasi lainnya karena perlapisannya sangat bagus dan relatif resisten
terhadap pelapukan dibandingkan formasi formasi lain, sehingga mudah dikenal dengan
citra satelit.
Di Palaubalang, formasi ini terdiri dari perselingan batupasir, batulanau, dan serpih.
Batupasir berbutir halus sampai sedang, keras; didalam batupasir ditemukan bolder
berdiameter 0,5 m dan lensa lensa terdiri dari fragmen kecil lignit yang membentuk
struktur silang siur. Kearah atas ditemukann batupasir halus dengan laminasi siang-siur,
berselingan dengan serpih keras berstruktur laminasi sejajar. Kemudian batupasir halus
dengan sisipan konglomerat yang berfragmen ukuran 5-40 cm, fragmen batubara
berwarna hitam ditemukan dalam konglomerat tersebut, diatasnya ditemukan
batugamping tipis.
5
Gambar 2.4 Kondisi Daerah Lokasi 2
6
2.4 Dasar Teori
Sampling (pengambilan conto) merupakan tahap awal dari suatu analisis. Pengambilan
conto harus efektif, cukup seperlunya tapi representatif (mewakili). Sampling harus
dilakukan dalam tahapan yang benar sehingga hasil sampling yang didapat mampu
mewakili material yang begitu banyak dan dapat dipakai sebagai patokan untuk
mengontrol apakah proses pengolahan tersebut berjalan dengan baik atau tidak. Untuk
hasil lebih baik dilakukan analisa mikroskop (Yulhendra, 2016).
7
batubara yang dapat mewakili suatu satuan tertentu dengan jumlah massa dan ukuran
yang sesuai untuk penelitian dan pengujian lebih lanjut sesuai dengan metode standar
(Putri, 2021).
Sampling adalah proses pengambilan sebagian komoditas dari seluruh komoditas yang
akan diperiksa kualitasnya. Seluruh komoditas tersebut disebut populasi, sedangkan
bagian komoditas yang terambil disebut sample atau conto. Tujuan sampling ialah
mendapatkan contoh yang lain kualitasnya bisa mewakili kualitas seluruh populasi.
Faktor utama yang menentukan tingkat kesulitan suatu sampling ialah heterogenitas
komponen-komponen pembentuk populasi (Hamdani, 2016).
Channel sampling adalah suatu metode (cara) pengambilan conto dengan membuat alur
(channel) sepanjang permukaan yang memperlihatkan jejak bijih (mineralisasi). Alur
tersebut dibuat secara teratur dan seragam (lebar 3-10 cm, kedalaman 3-5 cm) secara
horizontal, vertikal, atau tegak lurus kemiringan lapisan (Wijaya, 2016).
Setelah tahapan sampling maka langkah preparasi merupakan tahapan memasuki analisis
laboratorium. Preparasi adalah suatu proses perlakukan terhadap sampel termasuk
penyediaan duplikat sampel guna memenuhi persyaratan analisis laboratorium. Preparasi
termasuk aspek keteknikan sampel, yaitu bagaimana sampel dianalisis dengan
menggunakan instrumen yang sesuai dan menghasilkan data yang akurat (Tonggiroh,
2019).
Sampel yang diperoleh dari lapangan tentunya tidak semuanya langsung dianalisis di
laboratorium. Mewujudkan selektivitas terhadap sampel sangat perlu dilakukan
penyiapan sampel (preparation) yaitu bagaimana ukuran sampel yang utuh namun hanya
beberapa persen dari sampel utuh tersebut dibutuhkan untuk dianalisis di laboratorium.
Hasil akhirnya disebut pula derivatisasi. Belum lagi sampel yang dibutuhkan oleh analisis
laboratorium misalnya harus memiliki persyaratan ukuran yang lebih halus maka
dilakukan tindakan lanjutan crusher yaitu menguraikan sampel menjadi fraksi tertentu
(Tonggiroh, 2019).
8
Sample preparation atau preparasi sampel bertujuan untuk menyediakan suatu sampel
yang jumlahnya sedikit yang mewakili sampel asal sampel ini dapat dikirim ke
laboratorium untuk dianalisis yang umumnya disebut sebagai analytical sample atau
sampel analitik (Nugroho, 2019).
Sebelum diuji sampel batubara dilakukan preparasi terlebih dahulu. Preparasi sample
batubara merupakan rangkaian tahapan pengurangan berat dan ukuran dari gross sample
secara sistematis sampai pada berat dan ukuran yang sesuai untuk analisa di laboratorium.
Tahapan proses preparasi sample meliputi:
1. Air Drying/Pengeringan
2. Crushing/Pengecilan ukuran butiran
3. Mixing/Pencampuran sample
4. Dividing/Pengecilan berat sample
(Sepfitrah, 2016).
9
Kelebihan jaw crusher sebagai alat peremuk juga berfungsi sebagai penyeragaman
butiran batubara.
(Tonggiroh, 2019).
Apabila diperhatikan lebih lanjut, penggolongan tersebut di atas lebih ditekankan pada
nilai kalor yang dihasilkan. Selain tetap memperhatikan kandungan unsur C dan jumlah
volatile matter yang terdapat di dalamnya. Seperti pada penggolongan yang pertama,
apabila batubara dipakai dalam industri, akan dipilih batubara tingkat tinggi, karena akan
menghasilkan panas yang cukup tinggi (Sukandarrumidi, 2018).
Batubara yang diperoleh dari hasil penambangan pasti mengandung bahan pengotor
(impurities). Pada saat terbentuknya, batubara selalu bercampur dengan mineral
penyusun batuan yang selalu terdapat bersamaan selama proses sedimentasi, baik sebagai
mineral anorganik ataupun sebagai bahan organik. Di samping itu, selama berlangsung
proses coalification terbentuk unsur S yang tidak dapat dihindarkan. Keberadaan
pengotor dalam batubara hasil penambangan diperparah lagi, dengan adanya kenyataan
bahwa tidak mungkin membersihkan/memilih/mengambil batubara yang bebas dari
mineral. Hal tersebut disebabkan antara lain, penambangan batubara dalam jumlah besar
selalu mempergunakan alat-alat berat antara lain bulldoser, backhoe, tracktor, truck, belt
conveyor, ponton, yang selalu bergelimang dengan tanah. Dikenal dua jenis impurities
yaitu:
1. Inherent impurities
Merupakan pengotor bawaan yang terdapat dalam batubara Batubara yang sudah
dicuci (washing) dan dikecilkan ukuran butirnya/diremuk (crushing) sehingga
10
dihasilkan ukuran tertentu, ketika dibakar habis masih memberikan sisa abu. Pengotor
bawaan ini terjadi bersama-sama pada waktu proses pembentukan batubara (ketika
masih berupa gelly). Pengotor tersebut dapat berupa gypsum (CaSO 2H2O), anhidrit
(CaSo), pirit (FeS), silika (SiO2), dapat juga berbentuk tulang-tulang binatang
(diketahui adanya senyawa fosfor dari hasil analisis abu) selain mineral lainnya.
Pengotor bawaan ini tidak mungkin dihilangkan sama sekali, tetapi dapat dikurangi
dengan melakukan pembersihan. Proses ini dikenal sebagai teknologi batubara bersih
2. External impurities
Merupakan pengotor yang berasal dari luar, timbul pada saat proses penambangan
antara lain terbawanya tanah yang berasal dari lapisan penutup (overburden).
Kejadian ini sangat umum dan tidak dapat dihindari khususnya pada penambangan
batubara dengan metode tambang terbuka (open pit). Batubara merupakan endapan
organik yang mutunya sangat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain tempat
terdapatnya cekungan batubara, umur, banyaknya pengotor/kontaminasi. Sebagai
bahan baku pembangkit energi yang dimanfaatkan dalam industri, mutu batubara
mempunyai peranan sangat penting dalam memilih peralatan yang akan
dipergunakan dan pemeliharaan alat. Dalam menentukan mutu/kualitas batubara
perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain:
a) Heating Value (HV) (Calorific Value/Nilai kalor)
Dinyatakan dalam kkal/kg, banyaknya jumlah kalori yang dihasilkan oleh
batubara tiap satuan berat (dalam kilogram). Dikenal nilai kalor ner (net calorific
value atau low heating calorific value), yaitu nilai kalor hasil pembakaran di mana
semua air (H2O) dihitung dalam keadaan gas, dan nilai kalor gross (grosses
calorific value atau high heating value, yaitu nilai kalor hasil pembakaran di mana
semua air (H2O) dihitung dalam keadaan wujud cair. Semakin tinggi nilai HV,
makin lambat jalannya batubara yang diumpankan sebagai bahan bakar setiap
jamnya. sehingga kecepatan umpan batubara (coal feeder) perlu disesuaikan. Hal
ini perlu diperhatikan agar panas yang ditimbulkan tidak melebihi panas yang
diperlukan dalam proses industri. Akibat selanjutnya akan memperpanjang masa
pakai burner, wind box, pulverizer (alat penghancur/pembubuk), dan peralatan
lainnya.
b) Moisture Content (Kandungan Lengas)
11
Jumlah lengas dalam batubara akan mempengaruhi penggunaan udara primer.
Batubara dengan kandungan lengas tinggi akan memerlukan lebih banyak udara
primer untuk mengeringkan batubara tersebut agar suhu batubara pada saat keluar
dari gilingan (mill) tetap, sehingga hasil produksi industri dapat dijamin
kualitasnya. Lengas batubara ditentukan oleh jumlah kandungan air yang terdapat
dalam batubara. Kandungan air dalam batubara dapat berbentuk kandungan air
internal (air senyawa/unsur), yaitu air yang terikat secara kimiawi.
c) Ash content (Kandungan Abu)
Komposisi batubara bersifat heterogen, terdiri dari unsur organik (berasal dari
tumbuh-tumbuhan) dan senyawa anorganik, yang merupakan hasil rombakan
batuan yang ada di sekitarnya. bercampur selama proses transportasi, sedimentasi
dan proses pembatubaraan (coalification). Apabila batubara dibakar, senyawa
anorganik yang ada diubah menjadi senyawa oksida yang berukuran butir halus
dalam bentuk abu. Abu hasil pembakaran batubara ini, yang dikenal sebagai ash
content (kandungan abu). Abu ini merupakan kumpulan dari bahan-bahan
pembentuk batubara yang tidak dapat terbakar (non combustible materials), atau
yang dioksidasi oleh oksigen. Bahan sisa dalam bentuk padatan ini antara lain
senyawa SiO2, Al2O3, Tio, MnO, CaO, Fe2O3, MgO, K2O, Na2O, P2O, SO3
dan oksida unsur lain. Di samping itu terdapat pula abu dari bahan organik yang
terbakar (combustible material).
d) Sulfur Content (Kandungan Belerang)
Belerang yang terdapat dalam batubara dibedakan menjadi dalam bentuk senyawa
anorganik dan senyawa organik. Belerang dalam bentuk senyawa anorganik dapat
dijumpai dalam bentuk mineral pirit (FeS, bentuk kristal kubus), markasit (FeS2
bentuk kristal orthorombik), atau dalam bentuk sulfat. Mineral pirit dan markasit
sangat umum terbentuk pada kondisi sedimentasi rawa (reduktin). Belerang
organik terbentuk selama terjadinya proses coalification. Horton and Randall,
belerang organik yang terdapat dalam batubura dapat dioksidasi membentuk
sulfat. Keberadaan sulfur dalam batubara akan berpengaruh terhadap tingkat
korosi sisi dingin (sisi luar) yang terjadi pada elemen pemanas udara (terutama
apabila suhu kerja lebih rendah dari letak embun sulfur), juga berpengaruh
terhadap efektivitas peralatan penangkapan abu (elecreerente precipitator).
12
Adanya kandungan sulfur, baik dalam bentuk senyawa anorganik maupun organik
di atmosfer dipicu oleh keberadaan air hujan. mengakibatkan terbentuk air 44m
(dalam dunia pertambangan butubaru dikenal sebagan air asam tambang, dengan
pH (<7).
e) Volarile Matter (Bahan Mudah Menguap).
Kandungan volatile matter berkaitan dengan proses pembatubaraan. Akibat
adanya overbunden pressure, kandungan air dalam batubara akan berkurang.
sebaliknya semakin mengecilnya kandungan air, calorific value akan meningkat.
Pada saat yang bersamaan batuburu akan mengalami proses devolatisation.
Semua sisa oksigen, hidrogen sulfur, nitrogen berkurang sehingga kandungan
volatile matter mengecil. Kandungan volatile matter mempengaruhi
kesempurnaan pembakaran dan intensitas nyala api kesempurnaan pembakaran
ditentukan oleh nilai fixed carbon. Semakin tinggi nilai fuel ratio, maka karbon
yang tidak terbakar semakin banyak
(Sukandarrumidi, 2018).
Kualitas suatu batubara dapat ditentukan dengan cara analisa secara fisik maupun kimia.
Umumnya untuk menentukan kualitas batubara dilakukan analisa kimia pada batubara
yang diantaranya berupa analisis proksimat. Analisis proksimat dilakukan untuk
menentukan jumlah air (moisture), zat terbang (volatile matter), karbon padat (fixed
carbon), dan kadar abu (ash). Kualitas dan klasifikasi batubara, di mana kualitas batubara
ditentukan dengan analisis batubara di laboraturium, diantaranya adalah analisis
proksimat. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah air, zat terbang,
karbon padat, dan kadar abu, sedangkan perbedaan kualitas batubara tersebut
diklasifikasikan berdasarkan perbandingan kadar air, mineral metter, karbon tetap, dan
berdasarkan nilai kalorinya. Hasil penambangan batubara pada umumnya menunjukkan
peringkat yang berbeda-beda, dari paling tinggi hingga paling rendah (Hariyadi, 2021).
Suatu analisis untuk menentukan kualitas batubara yang meliputi kandungan air bawaan,
kandungan abu, zat terbang dan karbon tertambat. Adapun analisa proksimat tersebut
yaitu:
1. Kandungan Air Total (Total Moisture)
13
Total moisture adalah penjumlahan dari inherent moisture dan free moisture. Inherent
moisture adalah kandungan air yang ada pada batubara bersama saat terbentuknya
batubara tersebut, yang terikat secara kimia dalam batubara. Jumlah kandungan air ini
dapat dihilangkan dengan pemanasan yang suhunya mencapai 105°C. Sedangkan free
moisture adalah kandungan air yang berasal dari luar yaitu pada waktu batubara
diangkut atau kehujanan, moisture ini dapat dihilangkan dengan cara dikering
udarakan.
2. Kadar Abu (Ash Content)
Merupakan sisa-sisa zat organik yang terkandung dalam batubara setelah dibakar.
Kandungan abu tersebut dapat dihasilkan dari pengotor bawaan dalam proses
pembentukan batubara maupun dari proses penambangan.
3. Kandungan Zat Terbang (Volatile Matter)
Zat terbang merupakan zat aktif yang menghasilkan energi atau panas apabila
batubara tersebut dibakar. Zat terbang ini umumnya terdiri dari gas-gas yang mudah
terbakar seperti Hidrogen (H), Karbon Monoksida (CO) dan Methan (CH4). Dalam
pembakaran batubara dengan zat terbang tinggi akan mempercepat pembakaran
karbon padatnya, sebaliknya zat terbang rendah akan mempersulit proses
pembakaran.
4. Kandungan Karbon Tertambat (Fixed Carbon)
Merupakan karbon yang tertinggal sesudah kandungan air dan zat terbangnya hilang.
Dengan adanya pengeluaran kandungan air dan zat terbang maka karbon tertambat
secara otomatis akan naik, sehingga makin tinggi kandungan karbonnya kelas
batubara makin baik.
(Lestari, 2021).
Kandungan sulfur dalam batubara terbagi dalam pyritic sulfur, sulfate sulfur, dan organic
sulfur. Namun secara umum, penilaian kandungan sulfur dalam batubara dinyatakan
dalam Total Sulfur (TS). Kandungan sulfur berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi
dingin yang terjadi pada elemen pemanas udara, terutama apabila suhu kerja lebih rendah
dari pada titik embun sulfur, di samping berpengaruh terhadap efektivitas penangkapan
abu pada peralatan electrostatic precipitator (Sepfitrah, 2016).
14
Menurut Sukandarrumidi (2006) hasil analisis kualitas batubara di laboratorium
dilaporkan dengan menggunakan basis pelaporan tertentu. Berdasarkan ASTM
(American Society for Testing Material), beberapa basis pelaporan hasil analisis batubara
yang umumnya digunakan adalah sebagai berikut:
1. As Received (Ar)
Basis analisa dimana sampel batubara diambil dari suatu tempat dan langsung
dianalisa. Pada basis as received, semua hasil analisis dihitung dengan menyertakan
kadar lengas total (total moisture) dari sampel.
2. Air Dried Based (Adb)
Air dried based merupakan basis analisis dimana sampel batubara dikeringkan pada
udara terbuka sehingga menghilangkan kandungan free moisture sehingga dihitung
kandungan inherent moisture.
3. Dry Based (Db)
Pada analisis dry based, keadaan batubara kondisi dasar udara kering yang dipanaskan
pada suhu standar, sehingga batubara dalam kondisi dasar kering dan bebas dari
kandungan air total tetapi masih mengandung abu.
4. Dry Ash Free (Daf)
Analisis pada basis ini dilakukan pada sampel batubara dalam keadaaan bebas kadar
abu dan kadar lengas.
5. Dry Mineral Matter Free (Dmmf)
Analisis ini dilakukan pada sampel batubara yang memiliki kondisi bebas dari
kandungan lengas atau dari mineral-mineral pengotor yang berasal dari zat bukan
organik pada batubara saat proses pembentukannya.
(Yenni, 2021).
A−B
FM = x 100………………………………………………………(2.1)
A
Keterangan:
FM = Free Moisture (%)
A = Berat sampel (gr)
15
B = Berat sampel sesudah di oven (gr)
(Winarno, 2021).
A−B
IM = x 100………………………………………………………. (2.2)
A
Keterangan:
IM = Inherent Moisture (%)
A = Berat sampel yang digunakan (gr)
B = Berat sampel setelah dipanaskan (gr)
(Winarno, 2021).
B−C
D = B−A x 100……………….……………………………………..…(2.3)
VM = D - Moisture………………………………….……………..…(2.4)
Keterangan:
VM = Volatile Matter (%)
A = Berat cawan (gr)
B = Berat cawan + sampel sebelum dipanaskan (gr)
C = Berat cawan + sampel sesusah dipanaskan (gr)
D = Berat yang hilang (gr)
(Winarno, 2021).
Kadar abu dalam batubara dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
A−B
Ash = x 100…………………………………...…………………(2.5)
C
16
Keterangan:
Ash = Ash Content (%)
A = Berat cawan + tutup + residu abu (gr)
B = Berat cawan + tutup (gr)
C = Berat sampel yang digunakan (gr)
(Winarno, 2021).
Keterangan:
FC = Fixed Carbon (%)
IM = Inherent Moisture (%)
A = Ash Content (%)
VM = Volatile Matter (%)
(Fadhili, 2021).
FM
TM (Ar) = FM + IM x (1- 100)………………………………….……(2.7)
Keterangan:
TM = Total Moisture (%)
FM = Free Moisture (%)
IM = Inherent Moisture (%)
(Anriani, 2021).
Untuk menghitung inherent moisture (IM) digunakan rumus:
IM = TM – FM………………………………………….……………(2.8)
Keterangan:
17
IM = Inherent Moisture (%)
TM = Total Moisture (%)
FM = Free Moisture (%)
(Winarno, 2021).
100−TM
P (ar) = P (adb) x 100−Mad………...………………………….……....(2.9)
Keterangan:
P (ar) = Parameter as received basis
P (adb) = Parameter air dried basis
TM = Total Moisture
Mad = Moisture
(Winarno, 2021).
100
P (db) = P (adb) x 100−Mad…..…...………………………………....(2.10)
Keterangan:
P (db) = Parameter dry basis
P (adb) = Parameter air dried basis
Mad = Moisture (adb)
(Winarno, 2021).
Untuk menghitung basis pelaporan dry ash free (DAF) digunakan rumus:
100
P (daf) = P (adb) x 100−Mad−Ash…..….….……………………….....(2.11)
Keterangan:
18
P (daf) = Parameter dry ash free
P (adb) = Parameter air dried basis
Ash = Ash content (adb)
Mad = Moisture (adb)
(Winarno, 2021).
Untuk menghitung basis pelaporan dry mineral matter free (DMMF) digunakan rumus:
100
P (dmmf) = P (adb) x 100−Mad−1,08A−0,55S…..….……..…………….....(2.12)
Keterangan:
P (dmmf) = Parameter dry mineral matter free
P (adb) = Parameter air dried basis
A = Ash content (adb)
Mad = Moisture (adb)
S = Sulfur (adb)
(Winarno, 2021).
19
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
Lokasi 1
Dilakukan pengambilan sampel pertama pada 15 Oktober 2022 pukul 15:12
WITA yang berlokasi di Jl. Lubuk Sawah, Kelurahan Mugirejo, Kecamatan
Sungai Pinang, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur.
Lokasi 2
Dilakukan pengambilan sampel kedua pada 15 Oktober 2022 pukul 17:10 WITA
yang berlokasi di Jl Rimbawan Dalam, Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan
Samarinda Utara, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur.
20
Gambar 3.2 Singkapan batubara lokasi 2
a. Alat
Adapun alat yang digunakan, yaitu:
1. Linggis
2. Alat Pelindung Diri (APD)
3. Handphone
4. Penggaris
5. Meteran
6. Papan Scanner
b. Bahan
Adapun bahan yang digunakan, yaitu:
1. Sampel Batubara
2. Karung
21
Gambar 3.3 Pembersihan area
3. Diukur panjang dan lebar area dari sampel yang akan diambil
4. Digali pada lokasi 1 dengan ukuran panjang 76 cm, lebar 40 cm. Pada lokasi
2 digali sampel dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 25 cm.
22
5. Diambil sampel tiap kedalaman 15 cm
3.2 Preparasi
23
3.2.2 Alat dan Bahan
a. Alat
b. Bahan
24
Gambar 3.8 Penghancuran sampel menggunakan palu
25
5. Ditimbang loyang logam kosong
a. Free Moisture
Dilakukan pengujian free moisture terhadap sampel pada 16 Oktober 2022 pukul
13:48 WITA yang berlokasi di Laboratorium Teknologi Mineral dan Batubara
Fakultas Teknik Universitas Mulawarman.
b. Residual Moisture
26
Dilakukan pengujian Residual Moisture terhadap sampel pada 16 Oktober 2022
pukul 13:48 WITA yang berlokasi di Laboratorium Teknologi Mineral dan
Batubara Fakultas Teknik Universitas Mulawarman Samarinda.
c. Inherent Moisture
Dilakukan pengujian Inherent Moisture terhadap sampel pada tanggal 16 Oktober
2022 pukul 14:59 WITA yang berlokasi di Laboratorium Teknologi Mineral dan
Batubara Fakultas Teknik Universitas Mulawarman Samarinda
d. Ash Content
Dilakukan Pengujian Ash Content terhadap sampel pada tanggal 18 Oktober 2022
pukul 12.40 WITA yang berlokasi di Laboratorium Teknologi Mineral dan
Batubara Fakultas Teknik Universitas Mulawarman Samarinda
e. Volatile Matter
Dilakukan Pengujian Volatile Matter terhadap sampel pada tanggal 18 Oktober
2022 pukul 14.58 WITA dan yang berlokasi di Laboratorium Teknologi Mineral
dan Batubara Fakultas Teknik Universitas Mulawarman Samarinda.
a. Free Moisture
Adapun alat yang digunakan, yaiitu:
1. Loyang logam
2. Timbangan
3. Oven
4. Spatula
5. Kalkulator
6. Sarung tangan
27
b. Residual Moisture
c. Inherent Moisture
28
d. Ash Content
e. Volatile Matter
29
10. Kalkulator
a. Free Moisture
30
Gambar 3.14 Dimasukkan sampel sebanyak 500 gram
4. Dimasukkan kedalam oven dan dipanaskan dengan suhu 40°C selama 4 Jam
31
b. Residual Moisture
32
Gambar 3.19 Sampel dimasukkan kedalam oven
33
7. Ditimbang berat cawan + sampel dan dicatat
c. Inherent Moisture
34
Gambar 3.24 Dimasukkan sampel kedalam cawan
4. Diamkan cawan yang berisi sampel pada suhu ruangan (25°C) selama 1 jam
5. Dimasukkan cawan kedalam oven yang berisi sampel dan panaskan kembali
dengan suhu 103-110°C selama 1 jam
35
6. Dikeluarkan cawan dari oven
7. Ditimbang cawan dengan tutup yang berisi sampel untuk mengetahu berat
keringnya
d. Ash Content
36
Gambar 3.29 Cawan krusibel ditimbang
37
5. Diatur suhu furnace 500°C selama 1,5 jam. Setelah 1,5 jam naikkan suhu
menjadi 750°C selama 1,5 jam
6. Dimatikan furnace setelah 3 jam lalu tunggu hingga bara api didalam furnace
hilang, lalu keluarkan sampel
38
Gambar 3.34 Dimasukkan kedalam desikator
e. Volatile Matter
39
Gambar 3.36 Ditimbang cawan kosong
4. Dinyalakan furnace lalu masukkan sampel dan tunggu sampai suhu 950°C
41
8. Ditimbang cawan yang telah dikeluarkan dari desikator
42
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
43
Tabel 4.4 Basis Pelaporan LP2
Basis
Parameter
Adb Ar DB DAF DMMF
TM 3,33
IM 16,67 19,33
AC 13,33 15,47 16,00
VM 33,33 38,67 40,00 47,62 48,46
FC 36,67 42,53 44,00 52,38 53,31
Total 100 100,00 100,00 100,00 101,77
4.2 Perhitungan
a. Free Moisture
A−B
FM = × 100%
A−C
580 − 580
FM = × 100%
580 − 80
FM = 0 %
b. Residual Moisture
A−B
RM = × 100%
A−C
Sampel A
17,7 − 17,6
RM = × 100%
17,7 − 16,7
RM = 10 %
44
Sampel B
19,2 − 19
RM = × 100%
19,2 − 18,2
RM = 20 %
Sampel C
23,5 − 23,4
RM = × 100%
23,5 − 22,5
RM = 10 %
Rata-Rata RM
Sampel A + Sampel B + Sampel C
RM =
3
10 % + 20 % + 10 %
RM =
3
RM = 13,33 %
2. Analysis Proximate
a. Inherent Moisture
A−B
IM = × 100%
A
Sampel A
1 − 0,6
IM = × 100%
1
IM = 40 %
45
Sampel B
1 − 0,8
IM = × 100%
1
IM = 20 %
Sampel C
1 − 0,8
IM = × 100%
1
IM = 20 %
Rata-Rata IM
Sampel A + Sampel B + Sampel C
IM =
3
40 % + 20 % + 20 %
IM =
3
IM = 26,67 %
b. Ash Content
A−B
𝐴𝑠ℎ = × 100%
C
Sampel A
42,6 − 42,6
𝐴𝑠ℎ = × 100%
1
𝐴𝑠ℎ = 0 %
Sampel B
42,4 − 42,4
𝐴𝑠ℎ = × 100%
1
𝐴𝑠ℎ = 0 %
Sampel C
39,5 − 39,3
𝐴𝑠ℎ = × 100%
1
𝐴𝑠ℎ = 20 %
46
Rata-Rata Ash
Sampel A + Sampel B + Sampel C
𝐴𝑠ℎ =
3
0 % + 0 % + 20 %
𝐴𝑠ℎ =
3
𝐴𝑠ℎ = 6,67 %
c. Volatile Matter
Sampel A
B−C
D= × 100%
B−A
42,7 − 42
D= × 100%
42,7 − 41,7
D = 70 %
Sampel B
B−C
D= × 100%
B−A
41,7 − 43,1
D= × 100%
41,7 − 40,7
D = 40 %
Sampel C
B−C
D= × 100%
B−A
47
43,1 − 42,5
D= × 100%
43,1 − 42,1
D = 60 %
VM = D (%) − 𝑀𝑜𝑖𝑠𝑡𝑢𝑟𝑒 (IM)(%)
VM = 60 % − 26,67 %
VM = 33,33 %
Rata-Rata VM
Sampel A + Sampel B + Sampel C
VM =
3
43,33 % + 13,33 % + 33,33 %
VM =
3
VM = 30 %
d. Fixed Carbon
FC = 100% − (IM + 𝐴𝑆𝐻 + VM)
FC = 100% − (26,67 % + 6,67 % + 30 %)
FC = 36,67 %
a. Free Moisture
A−B
FM = × 100%
A−C
560 − 560
FM = × 100%
560 − 60
FM = 0 %
b. Residual Moisture
A−B
RM = × 100%
A−C
48
Sampel A
20,2 − 20,2
RM = × 100%
20,2 − 19,2
RM = 0 %
Sampel B
18,1 − 18
RM = × 100%
18,1 − 17,1
RM = 10 %
Sampel C
22,2 − 22,2
RM = × 100%
22,2 − 21,1
RM = 0 %
Rata-Rata RM
Sampel A + Sampel B + Sampel C
RM =
3
0 % + 10 % + 0 %
RM =
3
RM = 3,33 %
2. Analysis Proximate
a. Inherent Moisture
A−B
IM = × 100%
A
49
Sampel A
1 − 0,8
IM = × 100%
1
IM = 20 %
Sampel B
1 − 0,9
IM = × 100%
1
IM = 10 %
Sampel C
1 − 0,8
IM = × 100%
1
IM = 20 %
Rata-Rata IM
Sampel A + Sampel B + Sampel C
IM =
3
20 % + 10 % + 20 %
IM =
3
IM = 16,67 %
b. Ash Content
A−B
𝐴𝑠ℎ = × 100%
C
Sampel A
42,4 − 42,2
𝐴𝑠ℎ = × 100%
1
𝐴𝑠ℎ = 20 %
Sampel B
42,3 − 42,2
𝐴𝑠ℎ = × 100%
1
𝐴𝑠ℎ = 10 %
50
Sampel C
41,5 − 41,4
𝐴𝑠ℎ = × 100%
1
𝐴𝑠ℎ = 10 %
Rata-Rata Ash
Sampel A + Sampel B + Sampel C
𝐴𝑠ℎ =
3
20 + 10 + 10
𝐴𝑠ℎ =
3
𝐴𝑠ℎ = 13,33 %
c. Volatile Matter
Sampel A
B−C
D= × 100%
B−A
42,9 − 42,5
D= × 100%
42,9 − 41,9
D = 40 %
Sampel B
B−C
D= × 100%
B−A
43,3 − 42,9
D= × 100%
43,3 − 42,3
D = 40 %
51
VM = 23,33 %
Sampel C
B−C
D= × 100%
B−A
45,8 − 45,1
D= × 100%
45,8 − 44,8
D = 70 %
Rata-Rata VM
Sampel A + Sampel B + Sampel C
VM =
3
23,33 % + 23,33 % + 53,33 %
VM =
3
VM = 33,33 %
d. Fixed Carbon
FC = 100% − (IM + 𝐴𝑆𝐻 + VM)
FC = 100% − (16,67 % + 13,33 % + 33,33 %)
FC = 36,67 %
a. Total Moisture
FM
TM = FM + RM (1 − )
100
52
0
TM = 13,33 % + 0 (1 − )
100
TM = 13,33 %
b. Inherent Moisture
(100−TM)
P (ar) = P (adb) ×
(100−Mad)
(100 − 13,33)
IM = 26,67 ×
(100 − 26,67)
IM = 31,52 %
c. Ash Content
(100−TM)
P (ar) = P (adb) ×
(100−Mad)
(100 − 13,33)
AC = 6,67 ×
(100 − 26,67)
AC = 7,88 %
d. Volatile Matter
(100−TM)
P (ar) = P (adb) × (100−Mad)
(100 − 13,33)
VM = 30 ×
(100 − 26,67)
VM = 35,45 %
e. Fixed Carbon
(100−TM)
P (ar) = P (adb) × (100−Mad)
(100 − 13,33)
FC = 36,67 ×
(100 − 26,67)
FC = 43,33 %
a. Ash Content
53
100
P (db) = P (adb) × (100−Mad)
100
AC = 6,67 ×
(100 − 13,33)
AC = 9,09 %
b. Volatile Matter
100
P (db) = P (adb) ×
(100−Mad)
100
VM = 30 ×
(100 − 13,33)
VM = 40,91 %
c. Fixed Carbon
100
P (db) = P (adb) × (100−Mad)
100
FC = 36,67 ×
(100 − 13,33)
FC = 50 %
a. Volatile Matter
100
P (daf) = P (adb) × (100−Mad−𝐴𝑠ℎ)
100
VM = 30 ×
(100 − 13,33 − 6,67)
VM = 45 %
b. Fixed Carbon
100
P (daf) = P (adb) × (100−Mad−𝐴𝑠ℎ)
100
FC = 36,67 ×
(100 − 13,33 − 6,67)
FC = 55,55 %
54
4. Perhitungan Dry Mineral Matter Free (DMMF)
a. Volatile Matter
100
P (dmmf) = P (adb) × (100−Mad−1,08A−0,55S)
100
VM = 30 ×
(100 − 13,33 − 1,08(6,67) − 0,55(0,23))
VM = 45,45 %
b. Fixed Carbon
100
P (dmmf) = P (adb) × (100−Mad−1,08A−0,55S)
100
FC = 36,67 ×
(100 − 13,33 − 1,08(6,67) − 0,55(0,23))
FC = 55,55 %
a. Total Moisture
FM
TM = FM + RM (1 − )
100
0
TM = 0 + 3,33 (1 − )
100
TM = 3,33 %
b. Inherent Moisture
(100−TM)
P (ar) = P (adb) ×
(100−Mad)
(100 − 3,33)
IM = 16,67 ×
(100 − 16,67)
IM = 19,33 %
c. Ash Content
55
(100−TM)
P (ar) = P (adb) ×
(100−Mad)
(100 − 3,33)
AC = 13,33 ×
(100 − 16,67)
AC = 15,47 %
d. Volatile Matter
(100−TM)
P (ar) = P (adb) × (100−Mad)
(100 − 3,33)
VM = 33,33 ×
(100 − 16,67)
VM = 38,67 %
e. Fixed Carbon
(100−TM)
P (ar) = P (adb) × (100−Mad)
(100 − 3,33)
FC = 36,67 ×
(100 − 16,67)
FC = 42,53 %
a. Ash Content
100
P (db) = P (adb) × (100−Mad)
100
AC = 13,33 ×
(100 − 16,67)
AC = 16 %
b. Volatile Matter
100
P (db) = P (adb) × (100−Mad)
100
VM = 33,33 ×
(100 − 16,67)
VM = 40 %
56
c. Fixed Carbon
100
P (db) = P (adb) × (100−Mad)
100
FC = 36,67 ×
(100 − 16,67)
FC = 44 %
a. Volatile Matter
100
P (daf) = P (adb) × (100−Mad−𝐴𝑠ℎ)
100
VM = 33,33 ×
(100 − 16,67 − 13,33)
VM = 42,67 %
b. Fixed Carbon
100
P (daf) = P (adb) × (100−Mad−𝐴𝑠ℎ)
100
FC = 36,67 ×
(100 − 16,67 − 13,33)
FC = 52,38 %
a. Volatile Matter
100
P (dmmf) = P (adb) × (100−Mad−1,08A−0,55S)
100
VM = 33,33 ×
(100 − 16,67 − 1,08(13,33) − 0,55(0,28))
VM = 48,46 %
b. Fixed Carbon
100
P (dmmf) = P (adb) × (100−Mad−1,08A−0,55S)
57
100
FC = 36,67 ×
(100 − 16,67 − 1,08(13,33) − 0,55(0,28))
FC = 53,31 %
4.3 Pembahasan
Pada gambar 4.1 analysis proximate merupakan grafik hasil analisis proksimat pada
kedua lokasi berbeda. Dimana pada masing-masing sampel dicari nilai inherent mositure
(IM), volatile matter (VM), ash content (AC) dan fixed carbon (FC) dalam nilai
persentase. Pada lokasi pengamatan 1 diperoleh nilai IM sebesar 26,67 %, VM sebesar
30 %. AC sebesar 6,67 % dan FC sebesar 36,67 %. Pada lokasi pengamatan 2 diperoleh
nilai IM sebesar 16,67 %, VM sebesar 33,33, AC sebesar 13,33 % dan FC sebesar 36,67
%.
Pada basis pelaporan batubara, berdasarkan data hasil uji analisis proksimat tersebut dapat
digunakan basis pelaporan dalam AR, DB, DAF, dan DMMF. Dalam basis Ar parameter
yang digunakan yaitu TM, IM, Ash, VM, dan FC. Untuk lokasi pengamatan 1 diperoleh
nilai TM sebesar 13,33 %, IM sebesar 31,52 %, Ash sebesar 7,88 %, VM sebesar 34,45
% dan nilai FC sebesar 43,33 %. Untuk lokasi pengamatan 2 diperoleh nilai TM sebesar
58
3,33 %, IM sebesar 19,33 %, Ash sebesar 15,47 %, VM sebesar 38,67 % dan nilai FC
sebesar 42,53 %. Dalam basis DB parameter yang digunakan yaitu Ash, VM, dan FC.
Untuk lokasi pengamatan 1 diperoleh nilai Ash sebesar 9,09 %, VM sebesar 40,91 % dan
nilai FC sebesar 50 %. Untuk lokasi pengamatan 2 diperoleh nilai Ash sebesar 16 %, VM
sebesar 40 % dan nilai FC sebesar 44 %. Dalam basis DAF parameter yang digunakan
yaitu VM, dan FC. Untuk lokasi pengamatan 1 diperoleh nilai VM sebesar 45 % dan nilai
FC sebesar 55 %. Untuk lokasi pengamatan 2 diperoleh nilai VM sebesar 42,67 % dan
nilai FC sebesar 52,38 %. Dalam basis DMMF parameter yang digunakan yaitu VM, dan
FC. Untuk lokasi pengamatan 1 diperoleh nilai VM sebesar 45,45 % dan nilai FC sebesar
55,55 %. Untuk lokasi pengamatan 2 diperoleh nilai VM sebesar 48,46 % dan nilai FC
sebesar 653,31 %.
Untuk penentuan rank batubara, jika nilai VM > 31 % maka ditentukan menggunakan
parameter nilai kalor dengan basis DMMF. Jika nilai VM < 31 % maka ditentukan
menggunakan parameter fixed carbon (FC) dengan basis DMMF. Pada lokasi
pengamatan 1 nilai VM sebesar 45,45 %, pada lokasi pengamatan 2 VM sebesar 48,46
%. Dari kedua lokasi ini, nilai VM nya > dari 30 %. Akan tetapi karena tidak dilakukan
pengujian nilai kalor maka ranknya ditentukan berdasarkan parameter fixed carbon (FC).
Dimana nilai FC lokasi pengamatan 1 sebesar 55,55 %, pada lokasi pengamatan 2 sebesar
53,31 %. Berdasarkan tabel 2.6 Classification of Coals by Rank, sampel batubara pada
lokasi pengamatan 1 dan lokasi pengamatan 2 masuk kedalam batubara tingkat rendah
(low rank) yaitu pada lokasi 1 merupakan batubara subbituminous B dan lokasi 2
merupakan batubara subbituminous C.
Faktor kesalahan pada saat pengujian yaitu pada saat dilakukan penimbangan, cawan
yang digunakan kurang bersih sehingga hasil yang diperoleh juga kurang teliti. Selain itu,
hasil penimbangan yang dilakukan di lab Teknologi Mineral dan Batubara, Fakultas
Teknik, Universitas Mulawarman kurang akurat karena digit angka pada timbangan
tersebut hanya menggunakan dua angka dibelakang koma.
59
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
61
DAFTAR PUSTAKA
Fadhili, M. F. 2021. “Analisis Pengaruh Perubahan Nilai Total Moisture, Ash Content
dan Total Sulphur Terhadap Nilai Kalori Batubara Bb-50 Di Tambang Banko Barat
Pt. Bukit Asam, Tbk. Tanjung Enim Sumatera Selatan”.
Heriyadi, S .2021. “Kajian Analisis Kualitas batubara PT. Khotai Makmur Insan Abadi
Site Separi 3 Kecamatan Tenggarong seberang Kabupaten Kutai Kartanegara
Kalimantan Timur”. Tenggarong. Universitas Kutai Kartanegara.
Nugroho, W. 2019. “Hubungan Kandungan Total Sulphur Calorific Value Pada Batubara
PT. Carsurin Samarinda”. Samarinda. Universitas Mulawarman.
Putri, I. P .2021. “Evaluasi Kualitas Batubara dari Front Penambangan Hingga Stockpile
di Pit 1 Banko Barat PT Bukit Asam Tbk Tanjung Enim”. Bangka Belitung.
Universitas Banhka Belitung.
62
Septirah. 2016.” Analisis Kualitas Batubara Hasil Tambang di Riau (Studi Kasus Logas,
Selensen Dan Pangkalan Lesung)”. Pekanbaru. Sekolah Tinggi Teknologi
Pekanbaru.
Tonggiroh, Adi. 2019. Dasar- Dasar Geokimia Eksplorasi. Makassar. CV. Social Politic
Genius.
Yulhendra, Dedy. 2016. Geologi Pertambangan. Pusat Pengembangan dan Pendidik dan
Tenaga Kependidikan Bidang Bangunan dan Listrik
63
LAMPIRAN
64
65