1. ANGKAT KAYON
Lagu Iringan:
~ Sang Surya t’lah terang bersinar
Bangunlah, wahai putra pertiwi!
Kobarkan semangat juang ‘tuk Nuswantara
Selama Sang Surya terang bersinar
Jiwa dan raga ‘tuk Nuswantara
Hooo… ho-ooo…
Hooo… ho-ooo… ~
[dinyanyikan sampai berakhirnya narasi awal dan dimulainya adegan pertama]
2. NARASI AWAL
Diceritakan, 700 tahun silam, sinar mentari benderang, pekat menyengat, berkasnya menyusup
jalinan mega-mega kelam. Kumpulan awal yang menggumpal menghitam dan hendak menjadi badai. Badai
yang membawa hujan darah bagi siapapun yang dilewatinya. Dan badai itu bernama Mongolia, sebuah
imperium terkuat di muka bumi di kala itu.
Raden Wijaya: “Istriku, tabahkanlah hatimu. Sesungguhnya, wangsa ini belumlah habis, masih ada
kita berdua yang akan meneruskannya. Sebelum kedaton dibakar habis, aku tak melihat mayat ketiga
adikmu. Aku yakin, tentu mereka masih hidup, sebab Gayatri, adikmu yang bungsu itu, cukup cerdik untuk
melindungi kedua kakaknya, Narindraduhita dan Praksnyaparamitha. Semua ini adalah ulah Hardharaja.
Suami adikmu itu telah membangkang kepada Ayahanda Raja. Aku yakin Hardharaja lah yang menjadi
mata-mata Raja Gelang-Gelang, ayahnya. Sehingga Singhasari diserang pada titik lemah, dan dengan
mudahnya, kita dihancurkan.
Tribhuwana: “Hiks-hiks… Sampai kapan budaya saling membunuh ini terus terjadi, Kakang, hiks-
hiks… Sejak era kerajaan eyang kita di Tumapel. Hiks-hiks… Tahta itu selalu berlumuran dengan darah.
32 tahun, ayahanda Kertanegara memerintah tanpa peperangan, hiks-hiks… Aku kira, Jawa Dwipa akan
terus merasakan kedamaian, hiks-hiks… Namun kini, mimpi buruk itu kembali datang, hiks…, dan
merenggut segalanya dari hidup kita.”
Raden Wijaya: “Istriku, Tribhuwana. Dengarkanlah sumpahku! ‘Akan tiba saatnya, Jawa Dwipa ini
dimpimpin oleh sebuah negara yang tenang dan damai. Aku berjanji akan mendirikan sebuah wangsa
penerus Dinasti Rajasa. Akan kudirikan sebuah kerajaan yang bukan hanya berambisi menaklukkan negara
lain dengan pedang, namun sebuah negeri yang menjadikan negeri di sekelilingnya sahabat dalam
persatuan. Akan ada negeri di Tanah Jawa ini yang mampu mempersatukan Nusantara dalam sebuah
hubungan mitreka satata’
5. RADEN WIJAYA DAN TRIBHUWANA MENGUNGSI KE KERAJAAN MILIK ARYA
WIRARAJA DI SUMENEP
Raden Wijaya: “Paman Bupati Wiraraja, hamba menghaturkan salam, Paman”
Arya Wiraraja: “Kuterima salammu, Raden. Bagaimana kabarmu? Duduklah yang enak. Bukankah
engkau Wijaya, panglima terkemuka sekaligus menantu Sang Maha Prabu Kertanegara? Hah, maafkan
aku, jika mata tuaku ini salah dalam melihat”
Raden Wijaya: “Bagaimana mungkin seorang Ida Sang Bang-Bangad Widhe salah dalam melihat(?)
Sesungguhnya tidak ada titah Dewa di ujung timur Pulau Jawa yang lebih jeli dari Anda dalam melihat
segala yang bergulir di bawah langit, Paman”
Arya Wiraraja: “Ha-ha-ha-ha-ha… Ha-ha-ha-ha-ha… Puji syukur pada Pengeran Yang Maha Mulya,
sungguh Yang Agung Pencipta Jagad telah menunjukkan kebesaran-Nya. Mata air Singhasari yang kukira
telah kering-kerontang, ternyata menyisakan sebutir berlian. Ha-ha-ha-ha-ha…”
Raden Wijaya: “Ah, sesungguhnya, hamba hanyalah bongkahan batu yang sangat tak berarti, Paman.
Apalah arti sebutir batu mulia, jika tak ada ahli permata yang sudi mengasahnya?”
Raden Wijaya: “Paman Wiraraja, bantulah aku untuk menebus kembali Singhasari yang telah berada
pada cengkeraman musuh. Bantulah aku untuk mengembalikan kehormatan Ayahanda Prabu Kertanegara,
Paman”
Arya Wiraraja: “Baik, Raden. Kehormatan memang harus dierbut kembali. Segala yang telah
dirampas, memang selayaknya ditebus kembali. Aku bersedia membantumu. Segenap masyarakat
Sumenep pun akan kukerahkan untuk membantumu mendapatkan kembali kehormatan itu. Akan tetapi,
Raden”
Raden Wijaya: “Tapi, Paman. Bukankah itu merendahkan martabat ksatria? Menundukkan diri di
hadapan Jayakatwang? Menyerah demi mendapatkan hidup, Paman?”
Arya Wiraraja: “Ha-ha-ha-ha-ha… Ha-ha-ha-ha-ha… Ada kalanya gerimis harus rela berhenti
beberapa bulan lamanya, demi mempersiapkan hujan badai yang lebih dahsyat! Ha-ha-ha-ha-ha… Ha-ha-
ha-ha-ha… Ha-ha-ha-ha-ha… Ha-ha-ha-ha-ha… Ha-ha-ha-ha-ha…”
Kaisar Kubilai Khan: “Bangsa kita ditakdirkan untuk menjadi bangsa yang terkuat!”
Para tentara bersoraksorai menanggapi seruan Raja Kubilai Khan
Kaisar Kubilai Khan: “Kita yang akan menjadi penguasa terbesar di sepanjang sejarah peradaban
manusia!”
Para tentara bersoraksorai menanggapi seruan Raja Kubilai Khan
Kaisar Kubilai Khan: “Tidak ada bangsa lain yang lebih kuat daripada Dinasti Yuan, dinasti
keturunan Genghis Khan, Bangsa Mongolia yang perkasa!”
Para Tentara: “Hidup Mongolia! Hidup Mongolia! Hidup Kubilai Khan!”
Jenderal Khayar: “Lapor, Baginda. Hamba telah berhasil menaklukkan wilayah Siyamya yang telah
menjadi daerah kekuasaan kita. Selain itu, seluruh Dinasti Song telah dikalahkan dan menyatakan takluk
di bawah kepemimpinan Baginda, heh-heh. Juga, Kerajaan Pagan di Bilma telah kami taklukkan. Itu semua
berkat restu Genghis Khan Yang Agung”
Kaisar Kubilai Khan: “Ha-ha… bagus, bagus, bagus, bagus. Haha. Kalian dengar semua! Kita telah
berhasil menaklukkan Siyamya wilayah milik Song dan Negara Bilma. Maka, dengarkanlah titahku!
Malam ini, prajurit dari semua kelompok akan bersenang-senang bersama demi merayakan kemenangan
kita. Ha-ha-ha-ha-ha… Ayo, siapkan alat! Keluarkan seluruh wanita cantik! Malam hari ini, kita akan
berpestapora!!”
Arya Wiraraja: “Baiklah. Aku minta siapapun yang aku hadapkan kepadamu, terimalah dia dan
keluarganya. Lindungilah mereka sebagaimana engkau mengayomi keluargamu”
Raja Jayakatwang: “Ha-ha-ha-ha-ha… Ha-ha-ha-ha-ha… Hah, kukira sesulit apa permintaanmu.
Baiklah, bawa siapapun orang yang akan kamu hadapkan itu. akan kuberi perlindungan dan hidup yang
bergelimang harta baginya dan keluarganya.
Namun sesaat sebelum Raja Jayakatwang menggoreskan pedangnya pada tubuh Raden Wijaya, Arya
Wiraraja menghentikan Raja Jayakatwang.
Arya Wiraraja: “Sabar, Paduka. Sabar. Bukankah kau telah berjanji kepadaku untuk mengayomi
siapa saja yang kuhadapkan kepadamu”
Raja Jayakatwang: “Bedebah!! Bangsat ini harus mati di tanganku! Karena dia merupakan menantu
Raja Singhasari”
Arya Wiraraja: “Lalu apa artinya janjimu kepadaku? Sabda Pandita Raja harus ditepati. Kau harus
mengampuni, mengayomi, dan menjamin kehidupannya. Lagipula, apalah artinya seorang Wijaya di
hadapan Dinasti Jayakatwang yang besar ini. Bagaikan sebutir debu di hadapan mahkota emas”
Raja Jayakatwang: “Hei, Wijaya! Hari ini, Hutan Tarik kuserahkan padamu. Kelolalah! Jadikan
wahana berburu yang menyenangkan bagiku. Kau boleh memerintah di sana. Tapi ingat! Ingat! Hanya
sebuah dukuh kecil, sebuah dukuh kecil! Ha-ha-ha-ha-ha… Ha-ha-ha-ha-ha… Ha-ha-ha-ha-ha… Ha-ha-
ha-ha-ha…”
Arya Wiraraja: “Baik, Raden. Tepat sekali. Memang aku pilih Hutan Tarik ini karena jarak dari tepi
ke tengah hutan adalah 7 haru perjalanan, sehingga apapun yang kita kerjakan di hutan ini tidak akan
diketahui oleh Jayakatwang dan pasukannya”
Lawe: “Benar, Raden. Letak Hutan Tarik yang berada di tepi Sungai Brantas akan memudahkan
keperluan pengembangan dukuh dan juga untuk persiapan perang bila dibutuhkan”
Raden Wijaya: “Lawe, sungguh besar jasamu di dalam perjuanganku di kala susah ini. Kau juga
dengan setia menjaga dan menghantarkan istriku, Tribhuwana, hingga sampai di hutan ini. Kelak, jika aku
sudah menjadi Raja Diraja, kau harus mengenyam kekuasaan itu bersamaku. Atas jasamu yang besar, hari
ini aku memberikan nama ‘Rangga’ bagi nama depanmu. Kiranya mulai hari ini, orang memanggilmu
‘Ranggalawe’”
Ranggalawe: “Terima kasih, Raden”
Arya Wiraraja: “Setelah berbulan-bulan pembangunan dukuh ini selesai, orang-orangku juga ingin
menetap di sini dan mengabdi kepadamu. Maka hendaknya, engkau memberi nama pada wilayah ini”
Raden Wijaya: “Paman Wiraraja, Ranggalawe, Sora, Nambi, dan seluruh sauradaku sekalian.
Dengarkanlah perkataanku! Oleh karena hutan ini berisi pohon maja yang tak terhitung jumlahnya. Juga
karena aku, hutan ini menjadi saksi betapa pahitnya lelakon yang harus aku alami. Maka, sejak hari ini, aku
Dyah Sanggramawijaya memberi nama dukuh ini, ‘Dukuh Majapahit’”
Raden Wijaya: “Agaknya menguntungkan bagi kita, Paman. Pembagian wilayah dan harta sudah
selayaknya dilakukan dalam sebuah persekutuan perang. Perihal Putri Dhaha, aku yang akan membawanya
pada para jenderal Mongol itu. Sekaligus, aku hendak melacak keberadaan Gayatri dan putri-putri
Ayahanda Kertanegara di Tamansari Dhaha-Kediri. Baiklah, Paman. Marilah kita bersiap! Semoga Hyang
Agung mengayomi kita dalam peperangan nanti, Paman!”
Perang Tanding antara Raja Jayakatwang vs. Salah Satu Jenderal Tentara Mongolia
Raja Jayakatwang TERBUNUH.
Raden Wijaya: “Oh, aku tak tega ini menyaksikan ini semua. Tamansari Dhaha yang dulu indah, kini
harus ternoda dengan darah. Para putri sekar kedaton harus bunuh diri menjalankan darmanya. Tapi, di
mana Gayatri? Sedari tadi, belum juga aku menemukan mayatnya. Masihkah dia hidup? Oh, Gayatri,
Gayatri, di mana kamu? Masih bisakah aku menemukanmu? Oh, Gayatri. Gayatri!”
Raden Wijaya: “Oh, Gayatri. Kau masih hidup Gayatri. Aku mencemaskanmu”
Gayatri: “Selama ini, aku menyamar sebagai budak. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa
menanti, seperti Candrakirana yang menanti datangnya Pangeran Panji yang gagah perkasa”
Raden Wijaya: “Pangeranmu sudah datang, Gayatri. Ketahuilah, aku telah menyusun kekuatan untuk
meneruskan cita-cita ayahmu, Prabu Kertanegara, dan meneruskan garis keturunan Dinasti Rajasa”
Gayatri: “Benarkah itu, Kakang? Akhirnya, kehormatan itu akan kembali ditegakkan. Sang gula
kelapa akan kembali berkinang di Tanah Jawa”
Raden Wijaya: “Ah, Gayatri. Maukah kau membantu perjuanganku?”
Gayatri: “Aku?”
Raden Wijaya: “Ya!”
Gayatri: “Apa yang bisa kulakukan? Aku tak pandai berperang dan berjuang. Aku tak bisa
mengangkat senjata membantumu. Aku hanya bi-”
Raden Wijaya memotong, “Sssttt… Kau tak perlu mengangkat senjata. Kau tak perlu mengangkat
senjata. Berjuanglah bersamaku untuk menghasilkan keturunan dinasti ini”
Raden Wijaya dan Gayatri bermesraan menjalin cinta di tengah sinar rembulan malam.
Raden Wijaya: “Gayatri, berjanjilah, kelak, kau akan mendampngi tahtaku sebagai rajapatni kerajaan
yang baru”
Gayatri: “Aku berjanji, Kakang. Akan menyertaimu memerintah negeri yang baru”
Raden Wijaya: “Pasukan musuh telah kita kalahkan, begitu juga dengan pemetaan wilayah kekuasaan
dan harta rampasan perang, telah kita bagi secara adil. Kiranya, kami sudah tidak lagi memiliki perhitungan
dengan Kaisar Mongol. selanjutnya, kami menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Kekaisaran Mongol yang dipimpin oleh Kubilai Khan Yang Mulia”
Salah Satu Jenderal Mongol: “Pangeran, memang benar wilayah dan rampasan perang telah kita bagi
dengan adil. Namun, ada satu perjanjian yang belum kalian penuhi kepada kami, Tuan”
Raden Wijaya: “A- a- a- apa itu, Tuan?”
Arya Wiraraja: “Apa itu, Tuan?”
Salah Satu Jenderal Mongol: “Di mana putri cantik jelita yang kau janjikan itu, Pangeran. Putri
tersebut akan kami haturkan kepada junjungan kami di Mongolia, Tuan”
Raden Wijaya: “Sebentar, sebentar, Tuan. Kami harus menjelaskan satu hal. Bahwa sejak mendengar
kematian Raja Jayakatwang, para putrid an istri Raja melakukan bunuh diri secara bersama-sama di
Tamansari Dhaha. Saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, memang tradisi itu adalah tradisi
Kerajaan Kediri, Tuan”
Salah Satu Jenderal Mongol: “Oh, cukup! Cukup, Pangeran! Memang seluruh putri Dhaha ditemukan
tewas mengenaskan. Namun, salah satu prajurit melihat kau menyembunyikan -”
Arya Wiraraja: “Sebentar, sebentar! Sabar, sabar! Aku yang membuat kesepakatan dengan tuan-tuan
jenderal. Maka aku akan mewujudkan semuanya, termasuk sang putri itu. Tapi tidak baik kita bertikai di
sini, sedangkan para prajurit kita sedang merayakan kemenangan di luar sana. Sebaiknya, malam ini, kita
rayakan dulu kemenangan kita. Baru besok pagi, akan kuantar putri tersebut ke kapal kalian untuk dibawa
kembali ke Mongolia.
Arya Wiraraja dan Salah Satu Jenderal Mongol tertawa terbahak-bahak bersama-sama, namun Raden
Wijaya menjadi murung dan sedih.
Arya Wiraraja: “Tenang, Raden. Biarkan malam ini mereka berpestapora. Jika perlu, kita suguhkan
ratusan gentong Arak Tuban yang memabukkan. Saat tengah malam nanti, ketika mereka mabuk berat, kita
tumpas habis mereka. Ha-ha-ha-ha-ha… Mengalahkan mereka semudah membalikkan telapak tangan. Ha-
ha-ha-ha-ha… Ha-ha-ha-ha-ha… Ha-ha-ha-ha-ha…”
Arya Wiraraja: “Nambi, menngingat bersama Raden Wijaya, kita telah bersatu mengalahkan
Kerajaan Singhasari dan mengusir Tentara Mongol dari pertiwi kita. Maka, hari ini, aku, Arya Wiraraja,
menyatakan Bhre Wijaya menjadi Raja di Kerajaan Majapahit, dan aku berjuluk Sri Kartarajasa
Jayawardhana”
Raden Wijaya yang telah berjuluk Sri Kartarajasa Jayawardhana mengambil alih tahta Kerajaan
Singhasari, memindahkannya ke Dukuh Majapahit. Dukuh Majapahit pun berubah nama menjadi
Kerajaan Majapahit.