Anda di halaman 1dari 3

Tugas Hukum Pidana Kesehatan

Nama : dr. YUDI WINARKA


NIM : 2074101074 / Universitas Wisnuwardhana Malang

1. Motivasi saya belajar hukum kesehatan


Latar belakang saya belajar hukum karena adanya perubahan zaman yang telah
membawa pengaruh terhadap hubungan dokter dengan pasien. Dahulu pola
hubungan Paternalistik telah berubah menjadi hubungan yang sejajar. Di zaman
sekarang sudah tidak lagi seorang dokter di dewa-dewakan seolah tanpa
kesalahan dalam proses pengobatan.
Atas dasar diatas, saya berfikir bahwa saya sangat membutuhkan ilmu hukum
terutama berkaitan dengan kesehatan. Ke depan saya prediksi konflik-konflik
dengan pasien akan semakin banyak dan terbuka lebar serta bervariasi.
Jika saya seorang dokter tidak membekali diri tentang ilmu hukum pasti saya
akan sangat ketinggalan zaman. Bahkan ekstremnya saat ini jika kitasendiri tidak
mempunyai bekal ilmu pengetahuan tentang hukum akan sangat rawan
dijadikan sasaran empuk orang-orang yang tidak bertanggungjawab di luar
sana. Saya merasa profesi saya ini (Dokter) adalah profesi yang rawan konflik
saat ini.

2. Fungsionalisasi hukum pidana dalam hukum kesehatan


Menurut saya antara hukum pidana dan hukum kesehatan dalam hal ini yang
saya maksud pidana umum, masih terdapat pemikiran yang berbeda atau dunia
yang berbeda lebih tepatnya masih ada “Gap” yang harus dijembatani lebih
lanjut. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan penafsiran terhadap suatu
masalah kesehatan jika dipandang dari sisi hukum pidana mum dan hukum
kesehatan.
Saya ambil contoh begini, dalam suatu kasus pidana (umum) semisal
penganiayaan, pencurian, pembunuhan, perampokan, rudapaksa, dll, hampir
selalu ada niat yang disengaja. Akan lain jika terjadi suatu kasus diduga pidana
kesehatan. Saya ambil contoh pasien meninggal setelah operasi SC misal. Dalam
hal awal dapat dipastikan dari awal tindakan niat awal untuk menciderai pasien
itu tidak ada. Ini kita belum menginjak ke masalah standar profesi medis
maupun SOP (diluar pelanggaran SOP dan SPM). Kemudian perbedaan masalah
hasil pengobatan ini juga memicu masalah. Persoalan hasil pengobatan akan
berbeda persepsi antara dokter dengan pasien.
Adanya hal-hal yang tidak bisa dikontrol manusia seperti seorang dokter dalam
pengobatan misalnya masalah kepatuhan pasien, umur pasien, daya tahan
tubuh, stadium penyakit, dll bisa saja akan membawa hasil pengobatan yang
tidak bisa sesuai dengan harapan.
Sebenarnya dengan terbitnya Undang-Undang yang khusus di bidang kesehatan
seperti UU Kesehatan, UU tentang praktik kedokteran, UU Rumah Sakit, UU
tenaga kesehatan dan lain-lain berusaha dijembatani. Tetapi saya melihat masih
ada usaha-usaha untuk menyeret kasus-kasus kesehatan ini ke dalam pidana
umum lagi. Mungkin ke depannya akan selalu disempurnakan lagi Undang-
Undang yang berkaitan dengan kesehatan agar tidak memberatkan di pihak
yang lain.
3. Jika melihat UU praktek kedokteran yang menyebutkan perihal ancaman pidana
paling lama 1 tahun atau pidana denda 50 juta rupiah bagi tenaga kesehatan
yang melakukan tindakan medik tidak sesuai standar profesi maupun SOP
(Sesuai Pasla 51 huruf e UU Praktik Kedokteran). Ini terlihat ada sesuatu
kerancuan dengan ancaman pidana yang tercantum dalam UU 36 Tahun 2014
tentang tenaga kesehatan Pasal 84. Dalam UU Kesehatan tersebut diatas
dijelaskan bahwa ancaman hukuman paling lama 3 tahun penjara bagi tenaga
kesehatan yang melalukan kelalaian berat sehingga menyebabkan kecacatan
berat (Ayat 1) dan ancaman pidana paling lama 5 tahun bagi tenaga kesehatan
yang melakukan kelalaian berat sehingga menyebabkan kematian (Ayat 2).
Menurut pendapat saya kedua undang-undang dan pasal-pasal tersebut diatas
untuk subyek hukumnya sama yaitu tenaga kesehatan, kemudian delik dan sifat
melawan hukum yang disangkakan juga sama yaitu masalah pelayanan
kesehatan / pengobatan. Tentunya dalam hal pengobatan ini hal yang berkaitan
adalah tentang Standar Profesi maupun Standar Operasional Prosedur (SOP).
Saya tarik kesimpulan bahwa pokok bahasan kedua pasal diatas dan kedua
undang-undang diatas adalah sama, yaitu tentang kelalaian maupun
pelanggaran ataupun ketidaksesuaian dalam menjalankan standar profesi / SOP
meskipun dalam UU 36 Tahun 2014 Pasal 84 tentang Tenaga Kesehatan
menuliskan kelalaian berat dan tidak menyebut kelalaian apa. Bahwa pokok
bahasannya sama tentang pelayanan kesehatan yang bersumber Standar Profesi
/ SOP. Jadi 2 buah ancaman pidana yang berbeda dengan bahasa yang sama.

Saran :
Menurut saya sebaiknya kedua Pasal dalam kedua Undang-Undang diatur salah satu
saja tentunya pembahasannya melalui mekanisme konstitusi.
Pertama :
Penghapusan Pasal 84 Undang-Undang Tenaga Kesehatan sehingga yang dipakai
adalah UU 79 Undang-Undang Praktek Kedokteran.

Kedua :
Perubahan ancaman pidana dalam Pasal 84 UU Kesehatan disesuaikan dengan Pasl
79 UU Praktek Kedokteran sehingga ada kesamaan dalam ancaman pidana.
Ditambah lagi harus dijelaskan lebih lanjut tentang kelalaian berat seperti apa,
kelalaian sedang seperti apa, dan kelalaian ringan seperti apa.

Ketiga :
Perubahan dalam Pasal 79 UU Praktek Kedokteran dengan menyesuaikan ancaman
pidana dalam Pasal 84 UU Kesehatan, akan tetapi kita tetap harus menjelaskan lebih
lanjut tentang kelalaian berat, sedang dan ringan.

Anda mungkin juga menyukai