Anda di halaman 1dari 17

PERTEMUAN KE 5

Bentuk Dan Isi Surat Gugatan


Sebagaimana ditentukan dalam Reglement Op de Burgerlijke Rechts Vordering (RV),
isi gugatan gugatan pada pokoknya harus memuat:
Identitas para pihak
Bagian ini menguraikan dengan jelas identitas para pihak, yaitu Penggugat dan
Tergugat, seperti nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, agama dan tempat
tinggal.
Alasan-alasan gugatan (fundamentum petendi atau posita)
Bagian ini menguraikan dengan jelas bukan hanya fakta hukumnya melainkan juga
dasar hukumnya.
Tuntutan (Petitum)
Bagian ini menguraikan dengan jelas tuntutan yang diajukan. Tuntutan dapat berupa
tuntutan pokok (primer), yaitu tuntutan sebenarnya yang diminta oleh Penggugat
sebagaimana dimaksud dalam Posita, atau dapat juga berupa tuntutan tambahan (sekunder)
yaitu bukan merupakan tuntutan pokok yang berhubungan langsung dengan pokok perkara.
Tuntutan tambahan misalnya berupa tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar biaya
perkara atau membayar uang paksa (dwangsom). Selain tuntutan pokok dan tambahan, ada
juga tuntutan pengganti (subsider), yaitu tuntutan yang diajukan untuk mengantisipasi apabila
tuntutan pokok dan tambahan tidak diterima. Dalam praktek tuntutan semacam ini biasanya
berbunyi Ex Aequo Et Bono (mohon putusan yang seadil-adilnya dalam hal majelis hakim
berpendapat lain diluar tuntutan Penggugat)

Substansi dan syarat formil surat gugatan


syarat formil dan syarat substansial dari isi suatu gugatan. Pada umumnya syarat formal
yang harus dipenuhi oleh suatu gugatan adalah tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan,
meterai, dan tanda tangan. Sedangkan syarat substansial daripada surat permohonan gugatan
yang diajukan oleh penggugat umumnya dalam praktik terdiri atas identitas para pihak, dan
identitas kuasa hukum.

Menyusun Gugatan
Sebelum menyusun gugatan, hal pertama yang harus dilakukan penggugat adalah
melakukan persiapan untuk menyusun gugatan dan kemudian mengajukan gugatan ke
pengadilan. Artinya sebelum sebuah gugatan disusun dan diajukan kepengadilan, maka
penggugat harus melakukan persiapan. Persiapan itu tergentung pula pada gugatan dalam
bentuk apa yang akan disusun.

Secara teoritis dikenal beberapa bentuk gugatan, yakni :

1. Gugatan contentioasa (proses peradilan sanggah menyanggah). Gugatan contentiosa


inilah yang disebut dengan gugatan perdata dalam praktek beracara dipengadilan
perdata. Dalam gugatan contentiosa di dalamnya terkandung sengketa yang menarik
pihak lain sebagai tergugat.
2. Gugatan voluntair (berupa permohonan) yang tidak mengandung sengketa serta tidak
ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan. Gugatan voluntair ini biasa keluar berupa
penetapan pengadilan dan bukan putusan sebagaimana adanya pada gugatan
contentiasa.
Dengan memahami terlebih bentuk gugatan, maka kemudian barulah dilakukan proses
persiapan untuk menyusun dan mengajukan gugatan meliputi mendudukkan masalahnya,
mengumpulkan dokumen dan mengumpulkan informasi lainnya, selain untuk memudahkan
menyusun gugatan juga akan menambah baiknya dasar-dasar gugatan.

Seperti telah dikemukakan, bahwa memahami dengan baik apa itu gugatan merupakan salah
satu faktor penting dari sejumlah faktor penting lainnya bila hendak menyusun sebuah
gugatan. Faktor penting lainnya dalam menyusun gugatan setidaknya dapat dikelompokan ke
dalam dua garis besar, yakni;

1. Menyusun gugatan dari segi formalitas gugatan;


2. Menyusun gugatan dari segi materil gugatan;
3. Menyusun gugatan dari segi struktur gugatan;
Segi formalitas dan substansi dalam menyusun gugatan adalah dua hal penting yang
tidak boleh diabaikan, sedangkan segi struktur gugatan sekalipun tidak ada suatu acuan yang
ditetapkan peraturan perundang-undangan tetapi menjadi penguat bagi penyusunan dari segi
formalitas dan substansi. Masing segi dalam penyusunan gugatan itu mempunyai peran dan
kedudukannya sendiri dan memiliki kekuatan dan konsekuensi hukum dalam beracara di
pengadilan. Artinya ketiga segi penyusnan gugatan itu tidak lah berdiri sendiri-sendiri,
sebaliknya secara teknis saling berkaitan, dalam mewujudkan tersusunnya sebuah gugatan
dengan baik.
Segi Formalitas gugatan.
Segi formalitas gugatan pada prinsipnya berkaitan dengan subjek gugatan (indetitas)
penggugat maupun tergugat. Dalam gugatan harus jelas dan lengkap dituliskan identitas
penggugat dan tergugat seperti nama, alamat, umur pekerjaan agama kebangsaan, dan bisa
ditambahkan dengan informasi lainnya sehingga memperkuat siapa yang dituju dalam
gugatan dimaksud. Hal ini sekaligus juga sebagai penguatan agar gugatan tidak salah orang
atau tidak lengkap. Demikian pula dengan identitas turut tergugat apabila dalam gugatan ada
pihak lain yang ikut dijadikan sebagai tergugat, termasuk peemberian tanggal pada surat
gugatan.
Segi Materil gugatan.
Setelah menetapkan siapa-siapa yang akan dijadikan tergugat atau turut tergugat dengan
mencantumkan identitas lengkapnya, maka setelah baru disusun materi gugatan atau subtansi
gugatan. Dalam menyusun materi gugatan tidaklah bisa diuraian demikian saja, tetapi harus
diperhitungkan pula dengan peran dan keberadaan masing-masing tergugat apa bila
tergugatnya lebih dari satu.
Sebelum menyusun gugatan, penggugat harus menentukan terlebih dahulu gugatan jenis
apa yang akan disusunnya. Apakah gugatan berupa keadaan wanprestasi atau gugatan berupa
perbuatan melawan hukum atau gugatan memperjuangkan hak-hak yang seharusnya menjadi
milik penggugat dan lain sebagainya Terhadap sifat gugatan itu, gugatan waspretasi
sepertinya lebih terukur dan ada pijakan untuk memulai dari mana uraian dasar gugatan
diawali dan ditegaskan adanya wanprestasi/cidera janji. Ada pendapat yang mengatakan
gugatan wanprestasi lebih objektif . Hal ini bisa dipahami karena ada butir-buitir penjanjian
(lisan maupun tertulis) yang dilanggar atau tidak dipenuhi. Sementara gugatan perbuatan
melawan hukum dipandang sebagai gugatan yang bersifat subjektif. Dalam lapangan hukum
ada bermacam-macam bentuk perbuatan melawan hukum itu, yang setidaknya berupa
perbuatan melawan hukum formil dan perbuatan materil, bahkan kelaziman dalam
masyarakat bisa diajukan sebagai dasar gugatan
Dengan memahami bentuk atau jenis gugatan, maka dalam menyusun materi gugatan hal
yang harus senantiasa di ingat adalah apa yang menjadi dasar gugatan. Sebuah gugatan yang
dibuat tanpa dasar yang jelas adalah pekerjaan sia-sia, dan bahkan merugikan penggugat
sendiri. Oleh sebab itu dalam menyusun gugatan dasar gugatan harus mendapat perhatian
yang sungguh, dimana;
1. Dasar gugatan/alasan gugatan merupakan fakta atau peristiwa yang terjadi yang
menyebabkan timbulnya sengketa atau yang bertentangan dengan hukum sehingga
merugikan penggugat baik berupa hak atau kepentingan.
2. Dengan menjelaskan dan mengambarkan dasar gugata maka sekaligus digambarkan
pula besarnya kerugian yang diderita penggugat.
3. Dasar gugatan diuraikan dan disusun secara sistematis, tidak saling bertentangan,
saling meniadakan, apalagi membuat dasar gugatan tidak ada kaitannya dengan apa
yang dituntut.
Setelah dasar gugatan/alasan- gugatan, maka baru disusun tuntutan yang dikehendaki atau
yang dinginkan. Lazim tuntutan dalam gugatan itu disebut dengan petitum. Ada banyak
model bagaimana petitum disusun dalam gugatan, Meskipun demikian yang umum, di awal
petitum penggugat meminta agar gugatan dikabulkan seluruhnya dan ditambah dengan
pertitum khusus terkiat pokok masalah dan tuntutan pelengkap seperti pembebanan biaya
perkara, putusan yang seadil-adilnya. Di akhir gugatan biasanya juga dikemukakan uraian
penutup dan setelah itu ditanda tangani oleh penggugat atau kuasanya apabila penggugat
tidak maju sendiri tetapi menyerahkan kepada seorang kuasa.
Hal yang substantif terkait dengan materi gugatan adalah bahwa dalil-dalil/dasar-dasar
gugatan tentulah dalil-dalil yang mendukung petitum. Jadi, bila dalam menyusun gugatan
penggugat harus mampu memilah-milah dan memilih apa saja yang harus diuraikan dan apa
yang tidak harus diuraikan karena tidak mendukung petitum. Atau selalu ada kemungkinan
uraian posita tidak ada hubungan dengan petitum, bahkan merupakan hal-hal yang berada
diluar kompetensi dari pengadilan tempat gugatan diajukan.
Kemudian dalam menyusun gugatan, maka dalam menyusun posita dan petitum harus
sudah diperhitungkan pula kemungkinan-kemungkinan jawaban yang akan diberikan pihak
tergugat. Artinya gugatan akan berkembang denga tahapan acara persidangan berikutnya,
sehingga haruslah dihindari adanya kesalahan sejak dari awal dan hal itu bermula dalam
gugatan
Mengenai positum (fundamental petendi) atau disebut juga dasar gugatan/dalil-dalil
gugutan sebagai salah satu bagian inti dari gugatan tidak cukup hanya dengan dengan
merumuskan peristiwa hukum tetapi juga harus dijelaskan fakta-fakta yang mendahului
peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.
Dan selain itu dalam menyusun dalil gugatan harus diupayakan penguraian peristiwa hukum
harus dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan.
Umumnya dalam praktek dalam menyusun positum (fundamental petendi) itu terdapat
unsure-unsur berupa ;

1. dasar hukum yakni berupa penjelasan akan adanya hubungan hukum antara pihak
penggugat dengan tergugat.
2. Dasar fakta, yakni fakta-fakta yang terjadi dalam hubungan hubungan hukum antara
penggugat dengan materi objek perkara maupun dengan subjek lawan (tergugat).
3. Pengedepanan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar hukum atau
hubungan hukum yang didalilkan.

Dengan beberapa unsur pokok dalam positum seperti dikemukakan di atas dalam
menyusun gugatan, maka kesemua itu adalah ditujukan bagi pencapaian pemenuhan tuntutan
dikabulkan karena tuntutan (petitum) telah didahului oleh dasar-dasar gugatan yang kuat
lengkap, sistematis. Artinya positum tidaklah layaknya sebuah uraian “unek-unek” dari
penggugat dan juga harus dihindari uraian dan penggunaan bahasa emosinal yang tidak
bermakna secara hukum.
Lazim juga dalam sebuah gugatan perdata disertakan berupakan gugatan tambahan
(additional claim) terhadap gugatan pokok dengan tujuan untuk melengkapi gugatan pokok.
Dalam pratek hukum acara, gugatan tambahan ini biasanya dikenal dengan gugatan provisi
atau berupa gugatan tambahan yakni berkaitan dengan penyitaan sebagai menghindari
terjadinya gugatan hampa apabila gugatan dikabulkan hakim.

Segi Struktur gugatan.

Tidak satu acuan yang baku mengenai struktur gugatan, dan bila gugatan dibuat seorang
kuasa hukum (advokat, para pratisi hukum di pemerintahan/perusahan) tentulah dalam
menyusun sebuah gugatan sudah menjadi keahlian mereka. Dalam konteks ini, struktut
gugatan tidak semata-mata hanya berarti sebuah sistematika, tetapi juga mencerminkan
keruntutan yang antara satu bagian dengan bagian lainnya dari gugatan itu yang integratif.
Struktur sebuah gugatan lazimnya terdri dari;

1. Bagian kepala ( Instansi pengadilan gugutan ditujukan , pernyataan pihak atau


identitas pihak)
2. Bagian Positum atau dasar gugatan (duduk soal, fundamental petendi, kejadian
materil, fakta-fakta yang dirumuskan dengan bahasa hukum yang cermat dan penuh
kehati-hatian)
3. Bagian Petitum atau tuntutan
4. Bagian Penutup.
5. Lampiran ( Surat kuasa) bila yang mengajukan gugatan kuasa hukum penggugat.
Dengan struktur gugat standar di atas, maka isi atau uraian materi dari masing-masing
bagiannya tentulah diuraikan dengan bahasa hukum, atau uraian yang bernilai hukum dan
pernyataan-pernyataan dari setiap kata, kalimat adalah bahasa hukum dan mengandung
konsekuensi hukum dan akan dijadikan pegangan pihak tergugat dalam menjawab gugatan.
Oleh sebab itu uraian-uraian dalam setiap bagian struktur gugatan tidak boleh dikerjakan
dengan ceroboh. Kesalahan penulisan identitas misalnya juga berakibat hukum terhadap
gugatan, kesalahan dalam menguraikan petitum dan posita juga mengadung konsekuensi
hukum. Sekaligus adakalanya merugikan penggugat sendiri.
Dengan uraian terhadap penyusunan gugatan di atas, maka hal lain yang harus menjadi
perhatian dalam menyusun surat gugatan adalah kekhusuan dari sebuah gugatan yang
ditujukan kepada pengadilan, misalnya apabila gugatan berupa gugatan perdata, gugatan pada
peradilan tata usaha negara, gugatan pada peradilan hubungan industrial, dan peradilan
lainnya. Dalam hal ini ada hal-hal khusus yang berlaku pada peradilan-peradilan dimaksud
dan degan kekhususan itu pula sekaligus menjadi bagian penting dalam menyusun gugatan.
Pada pengadilan tata usaha negara misalnya, pokok gugatan adalah berkaitan dengan
sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum
perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara pada
peradilan hubungan industrial adalah sengketa yang berkaitan dengan adanya perselisihan
karena adanya perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau
gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Dengan mengenal lebih baik apa yang menjadi kopetensi dari sebuah pengadilan, hal
tersebut sangat mempengaruhi penyusunan sebuah gugatan, sehingga gugatan yang disusun
terang dan jelas. Atinya beberapa pengadilan selain pengadilan perdata, pengadilan TUN,
Pengadilan Agama, Pengadilan Hubungan Industrial dan beberapa peradilan lainnya
menggunakan hukum acara adalah hukum acara perdata, kecuali ditentukan lain oleh
peraturan-perundangan yang mengatur proses beracara pada pengadilan bersangkutan. Hal
yang terakhir inilah, yang kita maksud dengan kekhususan dari proses beracara pada suatu
pengadilan yang turut mempengaruhi penyusunan sebuah gugatan. Hal ini sejalan pula
dengan pengertian dari hukum acara yakni berupa peraturan tentang cara bagaimana
menuntut hak atau mempertahankan hak.

Selain beberapa hal yang telah dikemukakan terkait dengan penyusunan gugatan, maka aspek
lain yang mesti menjadi perhatian adalah adanya ketentuan hukum acara mengenai gugatan.
Dalam hubungan ini misalnya;

1. Prinsip “merasa kepentingannya dirugikan” yang menjadi dasar gugatan pada


pengadilan TUN, sedangkan pada pengadilan perdata prinsipnya “hak yang dilanggar
sehingga menimbulkan kerugian” , dan pada peradilan industrial prinsipnya adalah
“adanya perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan…dst”.
2. Adanya batasan-batasan, misalnya pada peradilan tata usaha negara adanya beberapa
keputusan TUN yang tidak bisa digugat, atau sudah ditentukannya subjek yang pasti
sebagai tergugat.
3. Memahami esensi perbuatan melawan hukum yang secara prinsip bebeda antara
perbuatan melawan hukum dalam lapangan hukum perdata dengan perbuatan
melawan hukum dalam lapangan hukum administrasi negara dan demikian dengan
perbuatan melawan hukum dalam lapangan hukum pidana.
4. Syarat-syarat gugatan yang ditentukan dalam hukum acara dari masing-masing
peradilan mesti menjadi perhatian dalam menyusun gugatan. Kealfaan
memperhatikan syarat-syarat gugatan bisa berakibat tidak diterimanya gugatan.

Pengajuan gugatan

1. Pihak berperkara datang ke Pengadilan Negeri dengan membawa surat gugatan atau
permohonan.
2. Pihak berperkara menghadap petugas Meja Pertama dan menyerahkan surat gugatan atau
permohonan, 4 (empat) rangkap. Untuk surat gugatan ditambah sejumlah Tergugat.
2. Petugas Meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan
dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis
dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara
diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, didasarkan
pada pasal 182 ayat (1) HIR.
3. Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada
pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap
3 (tiga).
4. Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat gugatan atau
permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
5. Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pihak
berperkara sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank.
6. Pihak berperkara datang ke loket layanan bank dan mengisi slip penyetoran panjar biaya
perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM)
7. Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi dari petugas layanan
bank, pihak berperkara menunjukkan slip bank tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa
Untuk Membayar (SKUM) kepada pemegang kas.
8. Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kembali kepada pihak
berperkara. Pemegang kas kemudian memberi tanda lunas dalam Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM) dan menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli dan
tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat gugatan atau
permohonan yang bersangkutan.
9. Pihak berperkara menyerahkan kepada petugas Meja Kedua surat gugatan atau
permohonan sebanyak jumlah tergugat ditambah 2 (dua) rangkap serta tindasan pertama
Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
10. Petugas Meja Kedua mendaftar/mencatat surat gugatan atau permohonan dalam register
bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan atau permohonan tersebut
yang diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas.
11. Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan atau
permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak berperkara.

PERTEMUAN KE 6

Pada dasarnya jawaban bukanlah suatu kewajiban yang harus diberikan oleh Tergugat
di dalam persidangan. Melainkan adalah hak Tergugat untuk membantah dalil-dalil yang
Penggugat sampaikan di surat gugatannya.
Biasanya jawaban diberikan oleh Tergugat kepada Majelis Hakim dan Penggugat
pada sidang pertama setelah gagalnya proses mediasi yang difasilitasi oleh pengadilan.
Namun apabila Tergugat belum siap, maka Majelis Hakim akan memberikan kesempatan lagi
pada sidang berikutnya untuk menyertakan jawaban tersebut. Isi dari jawaban tersebut tidak
hanya berisi bantahan terhadap pokok perkara, namun Tergugat juga boleh dan dibenarkan
memberi jawaban yang berisi pengakuan (confession), terhadap sebagian atau seluruh dalil
gugatan Penggugat. Selain itu, jawaban yang disampaikan oleh Tergugat dapat sekaligus
memuat eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara. Jika jawaban sudah memuat eksepsi
dan bantahan terhadap pokok perkara, Tergugat harus menjawab secara sistematis agar lebih
mudah dibaca dan dipahami oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut.

Cara yang dianggap sesuai dengan tuntutan teknis peradilan, dalam hal jawaban sekaligus
berisi eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara, yaitu:
a) Mendahulukan eksepsi pada bagian depan. Dalam jawaban dibuat suatu judul “Dalam
Eksepsi” yang ditempatkan pada bagian depan mendahului uraian bantahan pokok
perkara.
b) Menyusul kemudian, uraian bantahan pokok perkara dengan judul “Dalam Pokok
Perkara”.
c) Bagian terakhir, berupa kesimpulan yang berisi pernyataan singkat eksepsi dan
bantahan pokok perkara.
Eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara di dalam konteks hukum acara memiliki
makna yang sama yaitu sebuah tangkisan atau bantahan (objection). Namun di dalam eksepsi
ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan, yaitu jika
gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan
gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible). Untuk lebih
memudahkan, eksepsi sendiri dibagi menjadi tiga jenis yaitu, Eksepsi Prosesual, Eksepsi
Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi dan Eksepsi Hukum Materil.
Eksepsi Prosesual adalah jenis eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan.
Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak
sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvantkelijke verklaard).
Eksepsi kewenangan absolut adalah bantahan Tergugat mengenai Penggugat dinilai
salah mendaftarkan gugatannya di pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara yang
bersangkutan. Ini berkaitan dengan pembagian lingkungan peradilan dan peradilan khusus.
Misalnya dalam kasus mengenai sengketa pembagian warisan orang yang beragama Islam
yang diajukan ke pengadilan negeri (peradilan umum). Tergugat mengajukan eksepsi bahwa
pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara warisan bagi yang beragama Islam
sebab itu berada dalam yurisdiksi pengadilan agama. Eksepsi kewenangan absolut dapat
diajukan kapanpun selama proses pemeriksaan dimulai sampai dengan sebelum putusan
dijatuhkan pada tingkat pertama (PN),
Eksepsi kewenangan relatif adalah bantahan Tergugat yang menyatakan Penggugat
salah mendaftarkan gugatannya di pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara yang
bersangkutan. Tetapi yang berwenang adalah pengadilan lain dalam lingkungan pengadilan
yang sama, misalnya Tergugat dalam hal ini berdomisli di Jakarta Selatan, namun gugatan
diajukan di Pengadilan Jakarta Pusat, yang seharusnya gugatan tersebut diajukan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Berbeda dengan eksepsi kewenangan absolut, eksepsi kewenangan relatif hanya dapat
diajukan di sidang pertama dan bersamaan dengan saat mengajukan jawaban pertama
terhadap materi pokok perkar
Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi terdiri dari beberapa bentuk yaitu
Eksepsi Surat Kuasa Khusus tidak sah, Eksepsi Error in Persona, Eksepsi Ne Bis In Idem,
dan Eksepsi Obscuur Libel:
Eksepsi Surat Kuasa Khusus tidak sah adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat
dalam hal surat kuasa bersifat umum; surat kuasa dibuat orang yang tidak berwenang atau
surat kuasa yang diajukan oleh kuasa Penggugat tidak sah karena tidak memenuhi syarat
formil yang diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR dan SEMA No. 1 Tahun 1971 jo. SEMA
No. 6 Tahun 1994, yaitu:
a. Tidak menyatakan secara spesifik kehendak untuk berperkara di PN tertentu
sesuai dengan kompetensi relatif;
b. Tidak menjelaskan identitas para pihak yang berperkara;
c. Tidak menyebutkan secara ringkas dan konkret pokok perkara dan objek yang
diperkarakan; serta
d. Tidak mencantumkan tanggal serta tanda tangan pemberi kuasa.
Eksepsi error in persona adalah eksepsi yang dilakukan oleh Tergugat dalam hal
Penggugat tidak memiliki kapasitas atau hak untuk mengajukan perkara tersebut, atau pihak
yang digugat adalah tidak memiliki urusan dengan perkara tersebut, atau pihak yang digugat
tidak lengkap.
Eksepsi ne bis in idem adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dalam hal perkara
yang digugat oleh Penggugat sudah pernah diajukan dan sudah dijatuhkan putusan yang
berkekuatan hukum tetap. Dan yang terakhir adalah
Eksepsi Obscuur Libel, yaitu eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dalam hal gugatan
Penggugat tidak terang atau isinya tidak jelas, contohnya tidak jelas dasar hukumnya, tidak
jelas obyek sengketanya, petitum tidak rinci dijabarkan dan permasalahan antara posita
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Eksepsi Hukum Materil. Eksepsi hukum materil dibagi dalam 2 jenis, yaitu exceptio
dilatoria dan exceptio peremptoria:
Exceptio dilatoria yaitu eksepsi yang dilakukan oleh Tergugat dalam hal gugatan
penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya di pengadilan, karena masih
prematur, dalam arti gugatan yang diajukan masih terlampau dini. Contohnya belum sampai
batas waktu untuk menggugat karena telah dibuat penundaan pembayaran oleh kreditur atau
berdasarkan kesepakatan antara kreditur dengan debitur.
Exceptio peremptoria adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat kepada Penggugat
yang dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan.
Contohnya perkara yang diajukan sudah lewat waktu atau daluarsa untuk digugat (exceptio
temporis), perjanjian yang dilakukan mengandung unsur penipuan (exceptio doli mali),
perjanjian yang dilakukan mengandung unsur paksaan atau dwang (exceptio metus), si
penggugat sendiri tidak melakukan prestasinya (exceptio non adimpleti contractus) dan
sengketa yang digugat sedang proses pemeriksaan juga di pengadilan dengan nomor perkara
yang berbeda (exceptio litis pendentis).

Gugatan rekonvensi
Gugatan rekonvensi dapat diajukan secara lisan, tetapi lebih baik apabila diajukan dalam
bentuk tertulis. Apapun bentuk pengajuannya baik secara lisan maupun tertulis, yang perlu
diperhatikan adalah gugatan rekonvensi harus memenuhi syarat formil gugatan yaitu:

1. menyebut dengan tegas subjek yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi;


2. merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa penegasan
dasar hukum (rechtsgrond) dan dasar peristiwa (fijteljkegrond) yang melandasi
gugatan;
3. menyebut dengan rinci petitum gugatan.

Acara jawab menjawab.


a. Replik yaitu adalah jawaban penggugat dalam hal baik terulis maupun juga lisan
terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik diajukan oleh penggugat untuk
meneguhkan gugatannya tersebut, dengan cara mematahkan berbagai alasan dalam
penolakan yang dikemukakan tergugat di dalam jawabannya. Replik adalah lanjutan
dari suatu pemeriksaan dalam perkara perdata di dalam pengadilan negeri setelah
tergugat mengajukan jawabannya.
Replik ini berasal dari 2 kata yakni re (kembali) dan pliek (menjawab), jadi dapat kita
simpulkan bahwa replik berarti kembali menjawab.
Menurut JTC Simoramgkir,cs 1980 :148 Replik ialah jawaban balasan atas jawaban tergugat
di dalam perkara perdata.
Replik harus disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas dalam jawaban tergugat. Oleh
sebab itu, replik ialah respons Penggugat atas suatu jawaban yang diajukan tergugat. Bahkan
juga tidak tertutup kemungkinan membuka peluang kepada penggugat agar mengajukan
rereplik. Replik Penggugat ini bisa berisi pembenaran terhadap suatu jawaban Tergugat atau
juga boleh jadi penggugat menambahkan keterangan dengan maksud untuk memperjelas dalil
yang diajukan penggugat di dalam gugatannya tersebut.
Sebagaimana juga halnya jawaban, maka replik itu juga tidak di atur dalam H.I.R/R.Bg, akan
tetapi di dalam pasal 142 reglemen acara perdata, replik itu biasanya berisi dalil-dalil atau
hak-hak tambahan guna dalam menguatkan dalil-dalil gugatan si penggugat. Penggugat di
dalam replik ini juga bisa mengemukakan sumber sumber pendapat pendapat para ahli,
kepustakaan, kebiasaan ,doktrin , dan sebagainya. Peranan yurisprudensi sangat penting
dalam replik, mengigat kedudukanya adalah salah satu dari sumber hukum. Untuk dalam
penyusunan replik biasanya cukup sekiranya dengan cara mengikuti poin-poin jawaban pihak
tergugat.
b. Duplik yaitu adalah jawaban tergugat terhadap suatu replik yang diajukan oleh
penggugat. Sama juga halnya dengan replik, duplik ini juga bisa diajukan baik dalam
bentuk tertulis maupun dalam bentuk lisan.
Duplik ini diajukan oleh tergugat untuk meneguhkan jawabannya yang pada lazimnya berisi
suatu penolakan terhadap suatu gugatan pihak penggugat.
Apabila dalam acara jawab-menjawab diantara pihak penggugat dan pihak tergugat sudah
dinyatakan cukup, dimana dalam duduk perkara perdata yang telah diperiksa sudah jelas
keseluruhannya, tahapan pemeriksaan berikutnya ialah tahapan pembuktian.
c. Kesimpulan
Pada tahap kesimpulan, maka masing-masing pihak (penggugat dan tegugat) mengajukan
pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan.Setelah tahap pembuktian, majelis hakim kemudian
bermusyawarat untuk merumuskan putusan. Hakim tidak diizinkan menjatuhkan putusan atas
perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat (Pasal 178 HIR).

Praktik membuat jawaban


Replik adalah tanggapan PU atas pledoi terdakwa/PH dan replik pada intinya
berupa bantahan terhadap hal-hal yang dikemukakan terdakwa atau PH dalam pledoi
terutama sepanjangan mengenai adanya perbedaan pandangan dengan PU. Sementara duplik
dari terdakwa/PH adalah tanggapan atas replik PU yang pada pokoknya berisikan dalil-dalil
untuk mempertahankan apa-apa yang sudah dikemukakan dalam pledoi. Selain itu duplik
terdakwa/PH bisa juga berisikan berupa penegasan-penegasan terhadap perbedaan penilaian
terhadap alat bukti dan lain sebagainya terkait hasil pemeriksakaan materi perkara.

Bahwa dalam menyusun replik dan duplik tidak ada bentuk baku/format yang telah
ditetapkan,artinya secara teoritis tidak teknik menyusun replik dan diplik. Bahkan mengenai
bentuk dan susunannya tidak terdapat aturan dalam hukum acara. Karena itu, penyusunan
replik dan diplik selain tergantung pada jenis bidang hukumnya juga tergantung pada materi
pokok dari perkaranya. Selain itu tergantung pula pada kemampuan dan penguasan materi
pemrmasalahan dari perkara dari pihak-pohak yang berperkara.

Sama halnya dengan replik dalam pembuatannya juga tidak terdapat bentuk
baku/format yang telah ditetapkan, bahwa duplik selain sebagai tanggapan terdakwa/PH atas
replik PU, sekaligus meneguhkan kembali jawaban terdakwa/PH. Pada dasarnya penyusunan
duplik adalah sama, namun dalam esensinya sesesuai dengan kepentingan hukum terdakwa.
Dalama konteks ini penyusunan duplik tentu tidak selamanya dipahami sebagai kontra atau
bantahan-bantahan dan peolakan terhadap dalil-dalil yang dikemukakan PU dalam
repliknya,tapi tetap harus berpegang teguh pada fakta-fakta hukum yang terrungkap selama
persidangan.

Duplik dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan sebagai jawaban kedua dari
Terdakwa/PH atau diartikan sebagai jawaban balik dari terdakwa/PH atas replik yang
disampaikan oleh PU. Meskipun keberadaan duplik masih dalam proses jawab-menjawab
dalam proses peradilan pidana, namun demikian sama halnya dalam penyusunan replik,
penyusunan replik dengan dalil-dalilnya juga harus berupa dalil-dalil yang pada gilirannya
berujuang pada proses pembuktian ketika pokok perkara diperiksa.

Dalam prakteknya selalu membuka kemungkinan untuk pengembangan sesuai kebutuhan


para pihak. Selain karena penyusunan replik dan duplik sangat ditentukan pokok perkara dan
persolan hukumnya, maka pada gilirannya penyusunan replik dan duplik dapat teraplikasikan
dengan baik sesuai kemampuan dan pengatahuan hukum penyusun replik dan duplik,
khususnya kemampuanndan kedalam penguasaan permasalahan yang menjadin pokok
perkara.

PERTEMUAN KE 7
Pengajuan Sita Jaminan
Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim / Ketua Majelis sebelum atau selama
proses pemeriksaan berlangsung dan untuk penyitaan tersebut Hakim / Ketua Majelis
membuat surat penetapan. Penyitaan dilaksanakan oleh Panitera Pengadilan Negeri / Juru Sita
dengan dua orang pegawai pengadilan sebagai saksi.
Ada dua macam sita jaminan, yaitu sita jaminan terhadap barang milik tergugat
(conservatoir beslag) dan sita jaminan terhadap barang milik penggugat (revindicatoir
beslag) (Pasal 227, 226 HIR. Pasal 261, 260 RBg.).
Permohonan agar dilakukan sita jaminan, baik itu sita conservatoir atau sita
revindicatoir, harus dimusyawarahkan Majelis Hakim dengan seksama, apabila permohonan
tersebut cukup beralasan dan dapat dikabulkan maka Ketua Majelis membuat penetapan sita
jaminan. Sita jaminan dilakukan oleh Panitera / Jurusita yang bersangkutan dengan disertai
dua orang pegawai Pengadilan Negeri sebagai saksi.

Penyusunan permohonan sita jaminan


Sebelum menetapkan permohonan sita jaminan Ketua Pengadilan / Majelis wajib terlebih
dahulu mendengar pihak tergugat.
Dalam mengabulkan permohonan sita jaminan, Hakim wajib memperhatikan :
1. Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang milik tergugat (atau dalam hal sita
revindicatoir terhadap barang bergerak tertentu milik penggugat yang ada di tangan
tergugat yang dimaksud dalam surat gugat), setelah terlebih dahulu mendengar
keterangan pihak tergugat (lihat Pasal 227 ayat (2) HIR/Pasal 261 ayat (2) RBg.).
2. Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka berita
acara penyitaan harus didaftarkan sesuai ketentuan dalam Pasal 227 (3) jo Pasal 198
dan Pasal 199 HIR atau pasal 261 jo pasal 213 dan Pasal 214.
3. Dalam hal tanah yang disita sudah terdaftar / bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan
di Badan Pertanahan Nasional. Dan dalam hal tanah yang disita belum terdaftar /
belum bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan di Kelurahan. Tindakan tersita yang
bertentangan dengan larangan tersebut adalah batal demi hukum.
4. Barang yang disita ini, meskipun jelas adalah milik penggugat yang disita dengan sita
revindicatoir, harus tetap dipegang / dikuasai oleh tersita. Barang yang disita tidak
dapat dititipkan kepada Lurah atau kepada Penggugat atau membawa barang itu untuk
di simpan di gedung Pengadilan Negeri.

Apabila telah dilakukan sita jarninan dan kemudian tercapai perdamaian antara kedua belah
pihak yang berperkara, maka sita jaminan harus diangkat.

PERTEMUAN KE 8
Syarat-syarat Pendaftaran & Registrasi Surat Kuasa :
1. Surat Kuasa Asli beserta fotocopy
2. Fotocopy Kartu Advokat
3. Fotocopy Berita Acara Penyumpahan Di Pengadilan Tinggi
PENDAFTARAN GUGATAN/PERMOHONAN TINGKAT PERTAMA
1. Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan Gugatan/Permohonan yang
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri pada Pengadilan di bagian Perdata, dengan
beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
1. Surat Permohonan/Gugatan
2. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Kuasa Hukum)
3. Bukti bukti yang menguatkan untuk mengajukan Gugatan atau Permohonan,
seperti KTP, KK, Surat Kuasa, Akte dll
2. Penggugat / Kuasanya membayar panjar biaya gugatan dengan menyetorkan uang
panjar perkara melalui bank yang ditunjuk oleh Pengadilan
3. Memberikan bukti tranfer serta menyimpan salinannya untuk arsip
4. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugata/Permohonan
5. Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan yang disampaikan oleh Juru
Sita/Juru Sita Pengganti
6. Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan

Tata cara pemanggilan


Pemanggilan para pihak agar hadir pada sidang yang telah ditentukan dibuat dalam
bentuk surat tertulis yang lazim juga disebut relaas panggilan. Pemanggilan secara lisan
dianggap tidak sah, demikian menurut pasal 390 HIR. Surat panggilan tersebut berisi:
1. Nama yang dipanggil.
2. Hari, jam, dan tempat sidang.
3. Membawa saksi-saksi yang diperlukan.
4. Membawa surat-surat yang hendak digunakan.
5. Penegasan dapat menjawab gugatan dengan surat.
Syarat-syarat tersebut bersifat akumulatif dan bukannya alternatif, sehingga jika salah
satu tidak terpenuhi maka panggilan tidak sah. Demikian pula syarat-syarat tersebut bersifat
memaksa (imperatif), dan bukannya fakultatif. Menurut Yahya Harahap, syarat pertama dan
syarat kedua itu bersifat mutlak harus ada, sedangkan syarat selebihnya dapat ditolerir, dalam
arti tidak serta merta dapat dinyatakan tidak sah.

Tahap mediasi
1. Proses Pra Mediasi
 Para pihak dalam hal ini penggugat mengajukan gugatan dan mendaftarkan perkara
Ketua Pengadilan Negeri menunjuk majelis hakim
 Pada hari pertama sidang majelis hakim wajib mengupayakan perdamaian kepada
para pihak melalui proses mediasi.
 Para pihak dapat memilih mediator hakim atau non hakim yang telah memiliki
sertifikat sebagai mediator dalam waktu 1 (satu) hari.
 Apabila dalam waktu 1 (satu) hari belum ditentukan maka majelis menetapkan
mediator dari para hakim.

2. Proses Mediasi
 Setelah penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen yang
memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang
terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak
 Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi
Pemanggilan saksi ahli dimungkinkan atas persetujuan para pihak, dimana semua
biaya jasa ahli itu ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan
 Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan
para pihak dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik
 Apabila diperlukan, kaukus atau pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak
tanpa kehadiran pihak lainnya, dapat dilakukan
3. Proses Akhir Mediasi
 Jangka waktu proses mediasi di dalam pengadilan paling lama adalah 40 hari kerja,
dan dapat diperpanjang lagi paling lama 14 hari kerja.
 Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak wajib merumuskan secara tertulis
kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani kedua pihak, dimana hakim dapat
mengukuhkannya sebagai sebuah akta perdamaian
 Apabila tidak tercapai suatu kesepakatan, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara
sesuai dengan ketentuan Hukum Acara yang berlaku

Proses dan Tahapan Persidangan Perkara Perdata


Sebelum Majelis Hakim sampai kepada pengambilan putusan dalam setiap perkara
yang ditanganinya, terlebih dahulu melalui proses pemeriksaan yang merupakan tahap-tahap
dalam pemeriksaan itu. Tanpa melalui proses pemeriksaan persidangan ini majelis hakim
tidak akan dapat mengambil putusan dalam perkara perdata yang ditanganinya.. Melalui
proses persidangan ini pula semua pihak, baik penggugat maupun tergugat diberi kesempatan
yang sama untuk mengajukan sesuatu dan mengemukakan pendapatnya serta menilai hasil
pemeriksaan persidangan menurut perspektifnya masing-masing. Pada akhir dari proses
pemeriksaan persidangan hakim akan mengambil putusan. Proses persidangan ini merupakan
salah satu aspek yuridis formil yang harus dilakukan hakim untuk dapat mengambil putusan
dalam perkara perdata.
Proses pemeriksaan persidangan perkara perdata di Pengadilan yang dilakukan oleh
hakim, secara umum diatur dalam HIR (Herzien Indonesis Reglement) untuk Jawa dan
Madura dan Rbg (Rechtsreglement Buitengewesten).
Pada garis besarnya proses persidangan pidana pada peradilan tingkat pertama di
Pengadilan Negeri terdiri dari 4 (empat) tahap sebagai berikut :
Tahap Mediasi
Pada hari sidang yang telah ditetapkan oleh Majelis Hakim, kedua belah pihak
(penggugat dan tergugat) hadir, maka Majelis Hakim sebelum melanjutkan pemeriksaan
wajib mengusahakan upaya perdamaian dengan mediasi, yaitu suatu cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan
diibantu oleh mediator.Mediator ini adalah pihak netral yang membantu para pihak yang
berperkara dalam perundingan untuk mencari penyelesaian secara mufakat. Mediator ini bisa
dari Hakim Pengadilan (yang bukan memeriksa perkara) dan bisa juga dari pihak luar yang
sudah memiliki sertifikat mediator.
Kewajiban mediasi ini diatur secara umum dalam pasal 130 HIR dan secara khusus
diatur secara lengkap dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Republik Indonesia No. 01
tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Kesempatan mediasi diberikan oleh Majelis Hakim selama 40 hari dan apabila masih
belum cukup dapat diperpanjang selama 14 hari. Pada kesempatan tersebut kedua belah pihak
akan mengajukan apa yang menjadi tuntutannya secara berimbang untuk mendapatkan titik
temu dalam penyelesaian sengketa secara win win solution. Apabila dalam proses ini dicapai
kesepakatan, maka dapat dituangkan dalam suatu akta perdamaian yang ditandatangani kedua
belah pihak dan diketahui oleh Mediator. Akta kesepakatan ini disampaikan kepada Majelis
Hakim untuk mendapatkan Putusan Perdamaian.
Akan tetapi sebaliknya jika dalam jangka waktu tersebut diatas tidak tercapai
perdamaian dan kesepakatan, maka Mediator akan membuat laporan kepada Majelis Hakim,
yang menyatakan mediasi telah gagal diakukan.

Tahap Pembacaan Gugatan (termasuk Jawaban, Replik, Duplik)


Apabila Majelis Hakim telah mendapatkan pernyataan mediasi gagal dari mediator,
maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan ke tahap ke-2 yaitu pembacaan surat gugatan.
Kesempatan pertama diberikan kepada pihak penggugat untuk membacakan surat
gugatannya. Pihak penggugat pada tahap ini dapat diberi kesempatan untuk memperbaiki
surat gugatannya apabila ada kesalahan-kesalahan, sepanjang tidak merobah pokok gugatan.
Bahkan lebih dari itu pihak penggugat dapat mencabut gugatannya. Kedua kesempatan
tersebut diberikan sebelum tergugat mengajukan jawabannya.
Setelah pembacaan surat gugatan, maka secara berimbang kesempatan kedua
diberikan kepada pihak tergugat atau kuasanya untuk membacakan jawabannya. Jawaban
yang dibacakan tersebut bisa berisi hanya jawaban/bantahan terhadap dalil-dalil gugatan itu
saja, bisa juga berisi dalam eksepsi dan dalam pokok perkara karena memang dari gugatan
tersebut ada yang perlu dieksepsi. Bahkan lebih dari itu dalam jawaban bisa berisi dalam
konpensi, dalam eksepsi, dalam pokok perkara dan dalam rekonpensi (bila pihak tergugat
ingin menggugat pihak penggugat secara bersama-sama dalam perkara tersebut).
Acara jawab menjawab ini akan berlanjut sampai dengan replik dari pihak penggugat
dan duplik dari pihak tergugat. Replik merupakan penegasan dalil-dalil Penggugat setelah
adanya jawaban dari tergugat, sedangkan duplik penegasan dari bantahan/jawaban tergugat
setelah adanya replik dari penggugat. Dengan berlangsungnya acara jawab menjawab ini
sampai kepada duplik akan menjadi teranglah apa sebenarnya yang menjadi pokok sengketa
antara pihak penggugat dan tergugat.
Bilamana dalam jawaban tergugat ada eksepsi mengenai kompetensi pengadilan, yaitu
pengadilan yang mengadili perkara tersebut tidak berwenang memeriksa perkara yang
bersangkutan, maka sesuai dengan ketentua pasal 136 HIR/ pasal 162 Rbg Majelis Hakim
akan menjatuhkan putusan sela terhadap eksepsi tersebut. Putusan sela tersebut dapat berupa
mengabulkan eksepsi dengan konsekuensi perkara dihentikan pemeriksaannya dan dapat pula
eksepsi tersebut ditolak dengan konsekuensi pemeriksaan perkara akan dilanjutkan dengan
tahap berikutnya.
Dalam tahap ke-2 ini sudah dapat kita lihat, bahwa semua pihak diberi kesempatan
yang sama dalam mengemukakan sesuatu dalam mempertahankan dan membantah suatu
gugatan terhadapnya. Kesempatan yang sama akan kita lihat juga ketika nanti dalam tahap
pembuktian.

PERTEMUAN KE 9
Tahap Pembuktian
Tahap pembuktian merupakan tahap yang cukup penting dalam semua proses
pemeriksaan perkara, karena dari tahap inilah nantinya yang akan menentukan apakah dalil
penggugat atau bantahan tergugat yang akan terbukti. Dari alat-alat bukti yang diajukan para
pihak, Majelis Hakim dapat menilai peristiwa hukum apa yang terjadi antara penggugat
dengan tergugat sehingga terjadi sengketa. Dari peristiwa hukum yang terbukti tersesebut
nantinya Majelis Hakim akan mempertimbangkan hukum apa yang akan diterapkan dalam
perkara tersebut dan memutuskan siapa yang menang dan kalah dalam perkara tersebut.
Untuk membuktikan suatu peristiwa yang disengketakan, Hukum Acara Perdata sudah
menentukan alat-alat bukti yang bisa diajukan para pihak di persidangan, yaitu tersebut dalam
pasal 164 HIR/pasal 284 Rbg yaitu:
1. Surat
2. Saksi
3. Persangkaan
4. pengakuan dan
5. sumpah
Kesempatan pertama mengajukan pembuktian akan diberikan oleh Majelis Hakim
kepada pihak penggugat. Dalam praktek persidangan terlebih dahulu pihak penggugat akan
mengajukan bukti surat yaitu berupa fotocopy yang ditempeli matrei dan telah dibubuhi cap
kantor pos. Dipersidangan fotcopy bukti surat tersebut akan dicocokkan dengan aslinya oleh
Majelis Hakim guna memastikan fotocopy surat adalah benar. Setelah bukti surat dari pihak
penggugat, dilanjutkan bukti surat dari pihak tergugat dengan prosedur yang sama seperti
bukti surat pada penggugat.
Dipersidangan pihak tergugat diberi kesempatan untuk menelihat dan meneliti surat yang
diajukan pihak penggugat dan begitu juga sebalinya pihak penggugat juga diberi kesempatan
untuk melihat dan meneliti bukti surat yang diajukan tergugat. Masing-masing pihak dapat
mengemukakan tanggapan terhadap bukti surat tersebut dan tanggapan itu dicatat dalam
berita acara sidang. Akan tetapi dalam praktek persidangan tanggapan terhadap bukti surat itu
sering para kuasa hukum para pihak menyatakan akan menanggapinya dalam kesimpulan
yang akan diajukan pada persidangan tahap-4.
Orang yang akan menjadi saksi untuk didengar keterangannya di persidangan biasanya
dibawa sendiri oleh para pihak, setelah bukti surat selesai diajukan. Tetapi ada juga saksi
tidak bisa dibawa sendiri oleh para pihak, oleh karenanya kuasa para pihak dapat minta ke
Majelis Hakim agar saksi tersebut dipanggil melalui Pengadilan. Biasanya kesaksian seperti
ini adalah orang-orang yang karena jabatannya harus dipanggil secara resmi, seperti pegawai
kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional) denganmembawa surat-surat yang berkaitan
dengan sertifikat tanah, lurah atau kepala desa dengan membawa buku leter C dan lain-lain.
Majelis Hakim terlebih dahulu akan mendengar keterangan saksi dari pihak penggugat.
Setelah saksi dari penggugat selesai didengar keterangannya selanjutnya giliran saksi tergugat
didengar keterangannya. Mengenai siapa-siapa yang tidak dapat didengar keterangannya
sebagai saksi dan siapa-siapa yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi sudah diatur dalam
pasal 145 dan pasal 146 HIR / pasal 172 dan pasal 174 Rbg, karena mereka terikat hubungan
keluarga atau hubungan karena perkawinan.
Dalam praktek saksi tidak menerangkan sendiri apa yang ia ketahui (yang ia dengar, ia
lihat dan ia alami) sendiri, akan tetapi Majeis Hakim secara bergantian akan mengajukan
pertanyaan kepada saksi tentang hal-hal yang relevan dengan pokok materi perkara. Setelah
Majelis selesai mengajukan pertanyaan, kasempatan akan diberikan kepada para pihak untuk
mengajukan pertanyaan. Disinilah peran kuasa hukum seperti advokat sangat diperlukan
kemahiran mengajukan pertanyaan kepada saksi. Advokat semestinya sudah mengantongi
sejumlah pertanyaan yang relevan untuk menguatkan dalil gugatan atau jawabannya sebelum
mengajukan pertanyaan dimuka persidangan. Hal ini perlu dilakukan agar pertanyaan-
pertanyaan yang akan diajukan kepada saksi jangan sampai melemahkan dalil gugatan atau
dalil jawabannya sendiri.
Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh kuasa para pihak dilakukan secara adil dan
secara berimbang, menunjukkan bahwa peradilan dilakukan secara tidak memihak untuk
mencari kebenaran dalam suatu perkara.
Tahap Kesimpulan
Pengajuan kesimpulan oleh para pilah setelah selesai acara pembuktian tidak diatur
dalam HIR maupun dalam Rbg, akan tetapi mengajukan kesimpulan ini timbul dalam praktek
persidangan. Dengan demikian sebenarnya ada pihak yang tidak mengajukan kesimpulan
tidak apa-apa. Bahkan kadang-kadang para pihak menyatakan secara tegas tidak akan
mengajukan kesimpulan akan tetapi mohon kebijaksanaan hakim untuk memutus dengan
seadil-adilnya.
Sebenarnya kesempatan pengajuan kesimpulan ini sangat perlu dilaksanakan oleh
kuasa hukum para pihak, karena melalui kesimpulan itulah seorang kuasa hukum akan
menganalisis dalil-dalil gugatannya atau dalil-dalil jawabannya melalui pembuktian yang
didapatkan selama persidangan. Dari analisis yang dilakukan itu akan mendapatkan suatu
kesimpulan apakah dalil gugatan terbukti atau tidak, dan kuasa penggugat memohon kepada
Majelis Hakim agar gugatan dikabulkan. Sebaliknya kuasa tergugat memohon kepada Majes
Hakim agar gugatan penggugat ditolak.
Bagi Majelis Hakim yang akan memutuskan perkara, kesimpulan ini sangat menolong
sekali dalam merumuskann pertimbangan hukumnya. Majelis Hakim akan menilai anlisis
hukum kesimpulan yang dibuat kuasa hukum para pihak dan akan dijadikan bahan
pertimbangan dalam dalam putusan bilamana analisis tersebut cukup rasional dan beralasan
hukum. Bahkan penemuan hukum oleh Hakim dalam putusannya berawal dari kesimpulan
yang dibuat oleh kuasa hukum.

Tahap Putusan
Setelah melalui beberapa proses dan tahap persidangan, maka proses persidangan
sampailah pada tahap terakhir yaitu pembacaan putusan. Menurut sudikno Mertokusumo,
putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Selanjutnya dikatakan, bahwa
suatu putusan hakim terdiri dari 4 bagian, yaitu:
1. kepala putusan,
2. identitas para pihak,
3. pertimbangan dan,
4. amar.
Setiap putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang
berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan ini
memberi kekuatan eksekutorial pada putusan.
Selain kepala putusan pada halaman pertama dari putusan juga dicantumkan identitas
para pihak yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat secara lengkap sesuai dengan surat
gugatan penggugat.
Selanjutnya di dalam putusan perkara perdata memuat pertimbangan. Pertimbangan
ini dibagi dua yaitu pertimbangan tentang duduknya perkara dan pertimbangan tentang
hukumnya. Dalam rumusan putusan sering dibuat dengan huruf kapital dengan judul “
TENTANG DUDUKNYA PERKARA dan TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM “.
Didalam pertimbangan tentang duduknya perkara memuat isi surat guagatan penggugat, isi
surat jawaban tergugat yang ditulis secara lengkap, alat-alat bukti yang diperiksa di
persidangan baik alat bukti dari pihak pengguat maupun alat bukti dari pihak terguagat. Kalau
ada saksi yang diperiksa, maka nama saksi dan seluruh keterangan saksi tersebut
dicantumkan dalam pertimbangan ini.
Pertimbangan hukum suatu putusan perkara perdata adalah merupakan pekerjaan
ilmiah seorang hakim, karena melalui pertimbangan hukum inilah hakim akan menerapkan
hukum kedalam peristiwa konkrit dengan menggunakan logika hukum. Biasanya
pertimbangan hukum ini diuraikan secara sistematis mulai dengan mempertimbangkan dalil-
dalil gugatan yang sudah terbukti kebenarannya karena sudah diakui oleh tergugat atau
setidak-tidaknya tidak dibantah oleh tergugat. Setelah merumuskan hal yang terbukti tersebut
lalu akan dirumuskan pokok sengketa berdasarkan bantahan tergugat.
Pokok sengketa ini akan dianalisis melalui bukti-bukti yang diajukan para pihak.
Pertama akan diuji dengan bukti surat/akta otentik atau dibawah tangan yang diakui
kebenarannya. Bukti surat tersebut juga akan dikonfrontir dengan keterangan saksi-saksi
yang sudah didengar keterangannya. Dengan cara demikian maka hakim akan mendapatkan
kesimpulan dalam pokok sengketa tersebut yang benar dalil penggugat atau dalilnya tergugat.
Bila yang benar menurut pertimbangan hukum adalah dalil penggugat maka gugatan akan
dikabulkan dan pihak penggugat adalah pihak yang menang perkara. Sebaliknya berdasarkan
pertimbangan hukum putusan dalil-dalil gugatan pengugat tidak terbukti dan justru dalil
jawaban tergugat yang terbukti, maka gugatan akan ditolak, sehingga pihak tergugat yang
menang dalam perkara tersebut.
Jadi bila ditinjau dari menang kalahnya para pihak, maka putusan perkara perdata
dapat dibagi menjadi dua yaitu gugatan dikabulkan dan gugatan ditolak. Ada lagi jenis
putusan karena kurang sempurnanya gugatan karenya tidak memenuhi formalitasnya suatu
gugatan yaitu putusan gugatan tidak dapat diterima.
Didalam amar putusan akan dicantumkan secara tegas ketiga jenis putusan tersebut
dengan pernyataan sebagai berikut.

 Apabila gugatan dikabulkan rumusannya: Mengabulkan gugatan penggugat untuk


seluruhnya dan seterusnya.
 Apabila gugatan ditolak maka rumusannya berbunyi: Menolak gugatan penggugat
untuk seluruhnya. Dan
 Apabila gugatan tidak dapat diterima, rumusannya: Menyatakan gugatan penggugat
tidak dapat diterima.

Setelah putusan diucapkan oleh hakim, maka kepada para pihak diberitahukan akan haknya
untuk mengajukan upaya hukum jika tidak menerima putusan tersebut.
Penutup
Setelah memperhatikan uraian tersebut diatas maka dapatlah dikatakan, bahwa pada
setiap tahap persidangan perkara perdata kedua belah pihak sama-sama didengar dan
diberikan kesempatan untuk mengemukakan sesuatu. Demikian sedikit uraian singkat tentang
proses dan tahapan persidangan perdata semoga kita semua memahami serta menggunakan
semua kesempatan pada setiap tahap persidangan tersebut secara profesional dan
proporsional.
PERTEMUAN KE 9
Alat-alat Bukti
Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, artinya
bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan
dalam undang-undang. Alat-alat bukti yang dapat diperkenankan di dalam persidangan
disebutkn dalam Pasal 164 HIR yang terdiri dari:
a) bukti surat
b) bukti saksi
c) persangkaan
d) pengakuan
e) sumpah
Dalam praktik masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering dipergunakan, yaitu
pengetahuan hakim.

Praktik pembuktian
Hakim yang memeriksa perkara perdata berwenang membagi beban pembuktian di
antara para pihak yang bersengketa. Pembagian beban pembuktian tersebut dilaksanakan
dengan mengingat asas fair trial dalam persidangan sehingga harus dilakukan dengan adil
dan tidak berat sebelah karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti
a priori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat dalam jurang
kekalahan.

Hukum pembuktian mengajarkan bahwa pembuktian dilaksanakan berdasarkan atas


prinsip berikut ini :
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan
haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjukkan pada suatu peristiwa,
diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Perlu dicatat bahwa beban pembuktian yang diletakkan kepada pihak yang harus
membuktikan sesuatu yang negatif adalah lebih berat dari pada beban pembuktian pihak yang
harus membuktikan sesuatu yang positif, yang tersebut terakhir ini dibebankan kepada pihak
yang lebih mampu untuk membuktikannya.

Sehubungan dengan itu, Hakim jangan sampai memerintahkan untuk membuktikan hal yang
negatif yaitu janganlah membebankan kepada si penjual bahwa ia belum menerima
pembayaran karena akan lebih mudah bagi si pembeli untuk membuktikan bahwa ia sudah
membayar.

Anda mungkin juga menyukai