Menyusun Gugatan
Sebelum menyusun gugatan, hal pertama yang harus dilakukan penggugat adalah
melakukan persiapan untuk menyusun gugatan dan kemudian mengajukan gugatan ke
pengadilan. Artinya sebelum sebuah gugatan disusun dan diajukan kepengadilan, maka
penggugat harus melakukan persiapan. Persiapan itu tergentung pula pada gugatan dalam
bentuk apa yang akan disusun.
Seperti telah dikemukakan, bahwa memahami dengan baik apa itu gugatan merupakan salah
satu faktor penting dari sejumlah faktor penting lainnya bila hendak menyusun sebuah
gugatan. Faktor penting lainnya dalam menyusun gugatan setidaknya dapat dikelompokan ke
dalam dua garis besar, yakni;
1. dasar hukum yakni berupa penjelasan akan adanya hubungan hukum antara pihak
penggugat dengan tergugat.
2. Dasar fakta, yakni fakta-fakta yang terjadi dalam hubungan hubungan hukum antara
penggugat dengan materi objek perkara maupun dengan subjek lawan (tergugat).
3. Pengedepanan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar hukum atau
hubungan hukum yang didalilkan.
Dengan beberapa unsur pokok dalam positum seperti dikemukakan di atas dalam
menyusun gugatan, maka kesemua itu adalah ditujukan bagi pencapaian pemenuhan tuntutan
dikabulkan karena tuntutan (petitum) telah didahului oleh dasar-dasar gugatan yang kuat
lengkap, sistematis. Artinya positum tidaklah layaknya sebuah uraian “unek-unek” dari
penggugat dan juga harus dihindari uraian dan penggunaan bahasa emosinal yang tidak
bermakna secara hukum.
Lazim juga dalam sebuah gugatan perdata disertakan berupakan gugatan tambahan
(additional claim) terhadap gugatan pokok dengan tujuan untuk melengkapi gugatan pokok.
Dalam pratek hukum acara, gugatan tambahan ini biasanya dikenal dengan gugatan provisi
atau berupa gugatan tambahan yakni berkaitan dengan penyitaan sebagai menghindari
terjadinya gugatan hampa apabila gugatan dikabulkan hakim.
Tidak satu acuan yang baku mengenai struktur gugatan, dan bila gugatan dibuat seorang
kuasa hukum (advokat, para pratisi hukum di pemerintahan/perusahan) tentulah dalam
menyusun sebuah gugatan sudah menjadi keahlian mereka. Dalam konteks ini, struktut
gugatan tidak semata-mata hanya berarti sebuah sistematika, tetapi juga mencerminkan
keruntutan yang antara satu bagian dengan bagian lainnya dari gugatan itu yang integratif.
Struktur sebuah gugatan lazimnya terdri dari;
Selain beberapa hal yang telah dikemukakan terkait dengan penyusunan gugatan, maka aspek
lain yang mesti menjadi perhatian adalah adanya ketentuan hukum acara mengenai gugatan.
Dalam hubungan ini misalnya;
Pengajuan gugatan
1. Pihak berperkara datang ke Pengadilan Negeri dengan membawa surat gugatan atau
permohonan.
2. Pihak berperkara menghadap petugas Meja Pertama dan menyerahkan surat gugatan atau
permohonan, 4 (empat) rangkap. Untuk surat gugatan ditambah sejumlah Tergugat.
2. Petugas Meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan
dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis
dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara
diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, didasarkan
pada pasal 182 ayat (1) HIR.
3. Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada
pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap
3 (tiga).
4. Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat gugatan atau
permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
5. Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pihak
berperkara sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank.
6. Pihak berperkara datang ke loket layanan bank dan mengisi slip penyetoran panjar biaya
perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM)
7. Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi dari petugas layanan
bank, pihak berperkara menunjukkan slip bank tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa
Untuk Membayar (SKUM) kepada pemegang kas.
8. Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kembali kepada pihak
berperkara. Pemegang kas kemudian memberi tanda lunas dalam Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM) dan menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli dan
tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat gugatan atau
permohonan yang bersangkutan.
9. Pihak berperkara menyerahkan kepada petugas Meja Kedua surat gugatan atau
permohonan sebanyak jumlah tergugat ditambah 2 (dua) rangkap serta tindasan pertama
Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
10. Petugas Meja Kedua mendaftar/mencatat surat gugatan atau permohonan dalam register
bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan atau permohonan tersebut
yang diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas.
11. Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan atau
permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak berperkara.
PERTEMUAN KE 6
Pada dasarnya jawaban bukanlah suatu kewajiban yang harus diberikan oleh Tergugat
di dalam persidangan. Melainkan adalah hak Tergugat untuk membantah dalil-dalil yang
Penggugat sampaikan di surat gugatannya.
Biasanya jawaban diberikan oleh Tergugat kepada Majelis Hakim dan Penggugat
pada sidang pertama setelah gagalnya proses mediasi yang difasilitasi oleh pengadilan.
Namun apabila Tergugat belum siap, maka Majelis Hakim akan memberikan kesempatan lagi
pada sidang berikutnya untuk menyertakan jawaban tersebut. Isi dari jawaban tersebut tidak
hanya berisi bantahan terhadap pokok perkara, namun Tergugat juga boleh dan dibenarkan
memberi jawaban yang berisi pengakuan (confession), terhadap sebagian atau seluruh dalil
gugatan Penggugat. Selain itu, jawaban yang disampaikan oleh Tergugat dapat sekaligus
memuat eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara. Jika jawaban sudah memuat eksepsi
dan bantahan terhadap pokok perkara, Tergugat harus menjawab secara sistematis agar lebih
mudah dibaca dan dipahami oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut.
Cara yang dianggap sesuai dengan tuntutan teknis peradilan, dalam hal jawaban sekaligus
berisi eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara, yaitu:
a) Mendahulukan eksepsi pada bagian depan. Dalam jawaban dibuat suatu judul “Dalam
Eksepsi” yang ditempatkan pada bagian depan mendahului uraian bantahan pokok
perkara.
b) Menyusul kemudian, uraian bantahan pokok perkara dengan judul “Dalam Pokok
Perkara”.
c) Bagian terakhir, berupa kesimpulan yang berisi pernyataan singkat eksepsi dan
bantahan pokok perkara.
Eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara di dalam konteks hukum acara memiliki
makna yang sama yaitu sebuah tangkisan atau bantahan (objection). Namun di dalam eksepsi
ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan, yaitu jika
gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan
gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible). Untuk lebih
memudahkan, eksepsi sendiri dibagi menjadi tiga jenis yaitu, Eksepsi Prosesual, Eksepsi
Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi dan Eksepsi Hukum Materil.
Eksepsi Prosesual adalah jenis eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan.
Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak
sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvantkelijke verklaard).
Eksepsi kewenangan absolut adalah bantahan Tergugat mengenai Penggugat dinilai
salah mendaftarkan gugatannya di pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara yang
bersangkutan. Ini berkaitan dengan pembagian lingkungan peradilan dan peradilan khusus.
Misalnya dalam kasus mengenai sengketa pembagian warisan orang yang beragama Islam
yang diajukan ke pengadilan negeri (peradilan umum). Tergugat mengajukan eksepsi bahwa
pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara warisan bagi yang beragama Islam
sebab itu berada dalam yurisdiksi pengadilan agama. Eksepsi kewenangan absolut dapat
diajukan kapanpun selama proses pemeriksaan dimulai sampai dengan sebelum putusan
dijatuhkan pada tingkat pertama (PN),
Eksepsi kewenangan relatif adalah bantahan Tergugat yang menyatakan Penggugat
salah mendaftarkan gugatannya di pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara yang
bersangkutan. Tetapi yang berwenang adalah pengadilan lain dalam lingkungan pengadilan
yang sama, misalnya Tergugat dalam hal ini berdomisli di Jakarta Selatan, namun gugatan
diajukan di Pengadilan Jakarta Pusat, yang seharusnya gugatan tersebut diajukan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Berbeda dengan eksepsi kewenangan absolut, eksepsi kewenangan relatif hanya dapat
diajukan di sidang pertama dan bersamaan dengan saat mengajukan jawaban pertama
terhadap materi pokok perkar
Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi terdiri dari beberapa bentuk yaitu
Eksepsi Surat Kuasa Khusus tidak sah, Eksepsi Error in Persona, Eksepsi Ne Bis In Idem,
dan Eksepsi Obscuur Libel:
Eksepsi Surat Kuasa Khusus tidak sah adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat
dalam hal surat kuasa bersifat umum; surat kuasa dibuat orang yang tidak berwenang atau
surat kuasa yang diajukan oleh kuasa Penggugat tidak sah karena tidak memenuhi syarat
formil yang diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR dan SEMA No. 1 Tahun 1971 jo. SEMA
No. 6 Tahun 1994, yaitu:
a. Tidak menyatakan secara spesifik kehendak untuk berperkara di PN tertentu
sesuai dengan kompetensi relatif;
b. Tidak menjelaskan identitas para pihak yang berperkara;
c. Tidak menyebutkan secara ringkas dan konkret pokok perkara dan objek yang
diperkarakan; serta
d. Tidak mencantumkan tanggal serta tanda tangan pemberi kuasa.
Eksepsi error in persona adalah eksepsi yang dilakukan oleh Tergugat dalam hal
Penggugat tidak memiliki kapasitas atau hak untuk mengajukan perkara tersebut, atau pihak
yang digugat adalah tidak memiliki urusan dengan perkara tersebut, atau pihak yang digugat
tidak lengkap.
Eksepsi ne bis in idem adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dalam hal perkara
yang digugat oleh Penggugat sudah pernah diajukan dan sudah dijatuhkan putusan yang
berkekuatan hukum tetap. Dan yang terakhir adalah
Eksepsi Obscuur Libel, yaitu eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dalam hal gugatan
Penggugat tidak terang atau isinya tidak jelas, contohnya tidak jelas dasar hukumnya, tidak
jelas obyek sengketanya, petitum tidak rinci dijabarkan dan permasalahan antara posita
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Eksepsi Hukum Materil. Eksepsi hukum materil dibagi dalam 2 jenis, yaitu exceptio
dilatoria dan exceptio peremptoria:
Exceptio dilatoria yaitu eksepsi yang dilakukan oleh Tergugat dalam hal gugatan
penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya di pengadilan, karena masih
prematur, dalam arti gugatan yang diajukan masih terlampau dini. Contohnya belum sampai
batas waktu untuk menggugat karena telah dibuat penundaan pembayaran oleh kreditur atau
berdasarkan kesepakatan antara kreditur dengan debitur.
Exceptio peremptoria adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat kepada Penggugat
yang dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan.
Contohnya perkara yang diajukan sudah lewat waktu atau daluarsa untuk digugat (exceptio
temporis), perjanjian yang dilakukan mengandung unsur penipuan (exceptio doli mali),
perjanjian yang dilakukan mengandung unsur paksaan atau dwang (exceptio metus), si
penggugat sendiri tidak melakukan prestasinya (exceptio non adimpleti contractus) dan
sengketa yang digugat sedang proses pemeriksaan juga di pengadilan dengan nomor perkara
yang berbeda (exceptio litis pendentis).
Gugatan rekonvensi
Gugatan rekonvensi dapat diajukan secara lisan, tetapi lebih baik apabila diajukan dalam
bentuk tertulis. Apapun bentuk pengajuannya baik secara lisan maupun tertulis, yang perlu
diperhatikan adalah gugatan rekonvensi harus memenuhi syarat formil gugatan yaitu:
Bahwa dalam menyusun replik dan duplik tidak ada bentuk baku/format yang telah
ditetapkan,artinya secara teoritis tidak teknik menyusun replik dan diplik. Bahkan mengenai
bentuk dan susunannya tidak terdapat aturan dalam hukum acara. Karena itu, penyusunan
replik dan diplik selain tergantung pada jenis bidang hukumnya juga tergantung pada materi
pokok dari perkaranya. Selain itu tergantung pula pada kemampuan dan penguasan materi
pemrmasalahan dari perkara dari pihak-pohak yang berperkara.
Sama halnya dengan replik dalam pembuatannya juga tidak terdapat bentuk
baku/format yang telah ditetapkan, bahwa duplik selain sebagai tanggapan terdakwa/PH atas
replik PU, sekaligus meneguhkan kembali jawaban terdakwa/PH. Pada dasarnya penyusunan
duplik adalah sama, namun dalam esensinya sesesuai dengan kepentingan hukum terdakwa.
Dalama konteks ini penyusunan duplik tentu tidak selamanya dipahami sebagai kontra atau
bantahan-bantahan dan peolakan terhadap dalil-dalil yang dikemukakan PU dalam
repliknya,tapi tetap harus berpegang teguh pada fakta-fakta hukum yang terrungkap selama
persidangan.
Duplik dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan sebagai jawaban kedua dari
Terdakwa/PH atau diartikan sebagai jawaban balik dari terdakwa/PH atas replik yang
disampaikan oleh PU. Meskipun keberadaan duplik masih dalam proses jawab-menjawab
dalam proses peradilan pidana, namun demikian sama halnya dalam penyusunan replik,
penyusunan replik dengan dalil-dalilnya juga harus berupa dalil-dalil yang pada gilirannya
berujuang pada proses pembuktian ketika pokok perkara diperiksa.
PERTEMUAN KE 7
Pengajuan Sita Jaminan
Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim / Ketua Majelis sebelum atau selama
proses pemeriksaan berlangsung dan untuk penyitaan tersebut Hakim / Ketua Majelis
membuat surat penetapan. Penyitaan dilaksanakan oleh Panitera Pengadilan Negeri / Juru Sita
dengan dua orang pegawai pengadilan sebagai saksi.
Ada dua macam sita jaminan, yaitu sita jaminan terhadap barang milik tergugat
(conservatoir beslag) dan sita jaminan terhadap barang milik penggugat (revindicatoir
beslag) (Pasal 227, 226 HIR. Pasal 261, 260 RBg.).
Permohonan agar dilakukan sita jaminan, baik itu sita conservatoir atau sita
revindicatoir, harus dimusyawarahkan Majelis Hakim dengan seksama, apabila permohonan
tersebut cukup beralasan dan dapat dikabulkan maka Ketua Majelis membuat penetapan sita
jaminan. Sita jaminan dilakukan oleh Panitera / Jurusita yang bersangkutan dengan disertai
dua orang pegawai Pengadilan Negeri sebagai saksi.
Apabila telah dilakukan sita jarninan dan kemudian tercapai perdamaian antara kedua belah
pihak yang berperkara, maka sita jaminan harus diangkat.
PERTEMUAN KE 8
Syarat-syarat Pendaftaran & Registrasi Surat Kuasa :
1. Surat Kuasa Asli beserta fotocopy
2. Fotocopy Kartu Advokat
3. Fotocopy Berita Acara Penyumpahan Di Pengadilan Tinggi
PENDAFTARAN GUGATAN/PERMOHONAN TINGKAT PERTAMA
1. Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan Gugatan/Permohonan yang
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri pada Pengadilan di bagian Perdata, dengan
beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
1. Surat Permohonan/Gugatan
2. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Kuasa Hukum)
3. Bukti bukti yang menguatkan untuk mengajukan Gugatan atau Permohonan,
seperti KTP, KK, Surat Kuasa, Akte dll
2. Penggugat / Kuasanya membayar panjar biaya gugatan dengan menyetorkan uang
panjar perkara melalui bank yang ditunjuk oleh Pengadilan
3. Memberikan bukti tranfer serta menyimpan salinannya untuk arsip
4. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugata/Permohonan
5. Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan yang disampaikan oleh Juru
Sita/Juru Sita Pengganti
6. Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan
Tahap mediasi
1. Proses Pra Mediasi
Para pihak dalam hal ini penggugat mengajukan gugatan dan mendaftarkan perkara
Ketua Pengadilan Negeri menunjuk majelis hakim
Pada hari pertama sidang majelis hakim wajib mengupayakan perdamaian kepada
para pihak melalui proses mediasi.
Para pihak dapat memilih mediator hakim atau non hakim yang telah memiliki
sertifikat sebagai mediator dalam waktu 1 (satu) hari.
Apabila dalam waktu 1 (satu) hari belum ditentukan maka majelis menetapkan
mediator dari para hakim.
2. Proses Mediasi
Setelah penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen yang
memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang
terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak
Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi
Pemanggilan saksi ahli dimungkinkan atas persetujuan para pihak, dimana semua
biaya jasa ahli itu ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan
Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan
para pihak dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik
Apabila diperlukan, kaukus atau pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak
tanpa kehadiran pihak lainnya, dapat dilakukan
3. Proses Akhir Mediasi
Jangka waktu proses mediasi di dalam pengadilan paling lama adalah 40 hari kerja,
dan dapat diperpanjang lagi paling lama 14 hari kerja.
Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak wajib merumuskan secara tertulis
kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani kedua pihak, dimana hakim dapat
mengukuhkannya sebagai sebuah akta perdamaian
Apabila tidak tercapai suatu kesepakatan, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara
sesuai dengan ketentuan Hukum Acara yang berlaku
PERTEMUAN KE 9
Tahap Pembuktian
Tahap pembuktian merupakan tahap yang cukup penting dalam semua proses
pemeriksaan perkara, karena dari tahap inilah nantinya yang akan menentukan apakah dalil
penggugat atau bantahan tergugat yang akan terbukti. Dari alat-alat bukti yang diajukan para
pihak, Majelis Hakim dapat menilai peristiwa hukum apa yang terjadi antara penggugat
dengan tergugat sehingga terjadi sengketa. Dari peristiwa hukum yang terbukti tersesebut
nantinya Majelis Hakim akan mempertimbangkan hukum apa yang akan diterapkan dalam
perkara tersebut dan memutuskan siapa yang menang dan kalah dalam perkara tersebut.
Untuk membuktikan suatu peristiwa yang disengketakan, Hukum Acara Perdata sudah
menentukan alat-alat bukti yang bisa diajukan para pihak di persidangan, yaitu tersebut dalam
pasal 164 HIR/pasal 284 Rbg yaitu:
1. Surat
2. Saksi
3. Persangkaan
4. pengakuan dan
5. sumpah
Kesempatan pertama mengajukan pembuktian akan diberikan oleh Majelis Hakim
kepada pihak penggugat. Dalam praktek persidangan terlebih dahulu pihak penggugat akan
mengajukan bukti surat yaitu berupa fotocopy yang ditempeli matrei dan telah dibubuhi cap
kantor pos. Dipersidangan fotcopy bukti surat tersebut akan dicocokkan dengan aslinya oleh
Majelis Hakim guna memastikan fotocopy surat adalah benar. Setelah bukti surat dari pihak
penggugat, dilanjutkan bukti surat dari pihak tergugat dengan prosedur yang sama seperti
bukti surat pada penggugat.
Dipersidangan pihak tergugat diberi kesempatan untuk menelihat dan meneliti surat yang
diajukan pihak penggugat dan begitu juga sebalinya pihak penggugat juga diberi kesempatan
untuk melihat dan meneliti bukti surat yang diajukan tergugat. Masing-masing pihak dapat
mengemukakan tanggapan terhadap bukti surat tersebut dan tanggapan itu dicatat dalam
berita acara sidang. Akan tetapi dalam praktek persidangan tanggapan terhadap bukti surat itu
sering para kuasa hukum para pihak menyatakan akan menanggapinya dalam kesimpulan
yang akan diajukan pada persidangan tahap-4.
Orang yang akan menjadi saksi untuk didengar keterangannya di persidangan biasanya
dibawa sendiri oleh para pihak, setelah bukti surat selesai diajukan. Tetapi ada juga saksi
tidak bisa dibawa sendiri oleh para pihak, oleh karenanya kuasa para pihak dapat minta ke
Majelis Hakim agar saksi tersebut dipanggil melalui Pengadilan. Biasanya kesaksian seperti
ini adalah orang-orang yang karena jabatannya harus dipanggil secara resmi, seperti pegawai
kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional) denganmembawa surat-surat yang berkaitan
dengan sertifikat tanah, lurah atau kepala desa dengan membawa buku leter C dan lain-lain.
Majelis Hakim terlebih dahulu akan mendengar keterangan saksi dari pihak penggugat.
Setelah saksi dari penggugat selesai didengar keterangannya selanjutnya giliran saksi tergugat
didengar keterangannya. Mengenai siapa-siapa yang tidak dapat didengar keterangannya
sebagai saksi dan siapa-siapa yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi sudah diatur dalam
pasal 145 dan pasal 146 HIR / pasal 172 dan pasal 174 Rbg, karena mereka terikat hubungan
keluarga atau hubungan karena perkawinan.
Dalam praktek saksi tidak menerangkan sendiri apa yang ia ketahui (yang ia dengar, ia
lihat dan ia alami) sendiri, akan tetapi Majeis Hakim secara bergantian akan mengajukan
pertanyaan kepada saksi tentang hal-hal yang relevan dengan pokok materi perkara. Setelah
Majelis selesai mengajukan pertanyaan, kasempatan akan diberikan kepada para pihak untuk
mengajukan pertanyaan. Disinilah peran kuasa hukum seperti advokat sangat diperlukan
kemahiran mengajukan pertanyaan kepada saksi. Advokat semestinya sudah mengantongi
sejumlah pertanyaan yang relevan untuk menguatkan dalil gugatan atau jawabannya sebelum
mengajukan pertanyaan dimuka persidangan. Hal ini perlu dilakukan agar pertanyaan-
pertanyaan yang akan diajukan kepada saksi jangan sampai melemahkan dalil gugatan atau
dalil jawabannya sendiri.
Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh kuasa para pihak dilakukan secara adil dan
secara berimbang, menunjukkan bahwa peradilan dilakukan secara tidak memihak untuk
mencari kebenaran dalam suatu perkara.
Tahap Kesimpulan
Pengajuan kesimpulan oleh para pilah setelah selesai acara pembuktian tidak diatur
dalam HIR maupun dalam Rbg, akan tetapi mengajukan kesimpulan ini timbul dalam praktek
persidangan. Dengan demikian sebenarnya ada pihak yang tidak mengajukan kesimpulan
tidak apa-apa. Bahkan kadang-kadang para pihak menyatakan secara tegas tidak akan
mengajukan kesimpulan akan tetapi mohon kebijaksanaan hakim untuk memutus dengan
seadil-adilnya.
Sebenarnya kesempatan pengajuan kesimpulan ini sangat perlu dilaksanakan oleh
kuasa hukum para pihak, karena melalui kesimpulan itulah seorang kuasa hukum akan
menganalisis dalil-dalil gugatannya atau dalil-dalil jawabannya melalui pembuktian yang
didapatkan selama persidangan. Dari analisis yang dilakukan itu akan mendapatkan suatu
kesimpulan apakah dalil gugatan terbukti atau tidak, dan kuasa penggugat memohon kepada
Majelis Hakim agar gugatan dikabulkan. Sebaliknya kuasa tergugat memohon kepada Majes
Hakim agar gugatan penggugat ditolak.
Bagi Majelis Hakim yang akan memutuskan perkara, kesimpulan ini sangat menolong
sekali dalam merumuskann pertimbangan hukumnya. Majelis Hakim akan menilai anlisis
hukum kesimpulan yang dibuat kuasa hukum para pihak dan akan dijadikan bahan
pertimbangan dalam dalam putusan bilamana analisis tersebut cukup rasional dan beralasan
hukum. Bahkan penemuan hukum oleh Hakim dalam putusannya berawal dari kesimpulan
yang dibuat oleh kuasa hukum.
Tahap Putusan
Setelah melalui beberapa proses dan tahap persidangan, maka proses persidangan
sampailah pada tahap terakhir yaitu pembacaan putusan. Menurut sudikno Mertokusumo,
putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Selanjutnya dikatakan, bahwa
suatu putusan hakim terdiri dari 4 bagian, yaitu:
1. kepala putusan,
2. identitas para pihak,
3. pertimbangan dan,
4. amar.
Setiap putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang
berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan ini
memberi kekuatan eksekutorial pada putusan.
Selain kepala putusan pada halaman pertama dari putusan juga dicantumkan identitas
para pihak yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat secara lengkap sesuai dengan surat
gugatan penggugat.
Selanjutnya di dalam putusan perkara perdata memuat pertimbangan. Pertimbangan
ini dibagi dua yaitu pertimbangan tentang duduknya perkara dan pertimbangan tentang
hukumnya. Dalam rumusan putusan sering dibuat dengan huruf kapital dengan judul “
TENTANG DUDUKNYA PERKARA dan TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM “.
Didalam pertimbangan tentang duduknya perkara memuat isi surat guagatan penggugat, isi
surat jawaban tergugat yang ditulis secara lengkap, alat-alat bukti yang diperiksa di
persidangan baik alat bukti dari pihak pengguat maupun alat bukti dari pihak terguagat. Kalau
ada saksi yang diperiksa, maka nama saksi dan seluruh keterangan saksi tersebut
dicantumkan dalam pertimbangan ini.
Pertimbangan hukum suatu putusan perkara perdata adalah merupakan pekerjaan
ilmiah seorang hakim, karena melalui pertimbangan hukum inilah hakim akan menerapkan
hukum kedalam peristiwa konkrit dengan menggunakan logika hukum. Biasanya
pertimbangan hukum ini diuraikan secara sistematis mulai dengan mempertimbangkan dalil-
dalil gugatan yang sudah terbukti kebenarannya karena sudah diakui oleh tergugat atau
setidak-tidaknya tidak dibantah oleh tergugat. Setelah merumuskan hal yang terbukti tersebut
lalu akan dirumuskan pokok sengketa berdasarkan bantahan tergugat.
Pokok sengketa ini akan dianalisis melalui bukti-bukti yang diajukan para pihak.
Pertama akan diuji dengan bukti surat/akta otentik atau dibawah tangan yang diakui
kebenarannya. Bukti surat tersebut juga akan dikonfrontir dengan keterangan saksi-saksi
yang sudah didengar keterangannya. Dengan cara demikian maka hakim akan mendapatkan
kesimpulan dalam pokok sengketa tersebut yang benar dalil penggugat atau dalilnya tergugat.
Bila yang benar menurut pertimbangan hukum adalah dalil penggugat maka gugatan akan
dikabulkan dan pihak penggugat adalah pihak yang menang perkara. Sebaliknya berdasarkan
pertimbangan hukum putusan dalil-dalil gugatan pengugat tidak terbukti dan justru dalil
jawaban tergugat yang terbukti, maka gugatan akan ditolak, sehingga pihak tergugat yang
menang dalam perkara tersebut.
Jadi bila ditinjau dari menang kalahnya para pihak, maka putusan perkara perdata
dapat dibagi menjadi dua yaitu gugatan dikabulkan dan gugatan ditolak. Ada lagi jenis
putusan karena kurang sempurnanya gugatan karenya tidak memenuhi formalitasnya suatu
gugatan yaitu putusan gugatan tidak dapat diterima.
Didalam amar putusan akan dicantumkan secara tegas ketiga jenis putusan tersebut
dengan pernyataan sebagai berikut.
Setelah putusan diucapkan oleh hakim, maka kepada para pihak diberitahukan akan haknya
untuk mengajukan upaya hukum jika tidak menerima putusan tersebut.
Penutup
Setelah memperhatikan uraian tersebut diatas maka dapatlah dikatakan, bahwa pada
setiap tahap persidangan perkara perdata kedua belah pihak sama-sama didengar dan
diberikan kesempatan untuk mengemukakan sesuatu. Demikian sedikit uraian singkat tentang
proses dan tahapan persidangan perdata semoga kita semua memahami serta menggunakan
semua kesempatan pada setiap tahap persidangan tersebut secara profesional dan
proporsional.
PERTEMUAN KE 9
Alat-alat Bukti
Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, artinya
bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan
dalam undang-undang. Alat-alat bukti yang dapat diperkenankan di dalam persidangan
disebutkn dalam Pasal 164 HIR yang terdiri dari:
a) bukti surat
b) bukti saksi
c) persangkaan
d) pengakuan
e) sumpah
Dalam praktik masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering dipergunakan, yaitu
pengetahuan hakim.
Praktik pembuktian
Hakim yang memeriksa perkara perdata berwenang membagi beban pembuktian di
antara para pihak yang bersengketa. Pembagian beban pembuktian tersebut dilaksanakan
dengan mengingat asas fair trial dalam persidangan sehingga harus dilakukan dengan adil
dan tidak berat sebelah karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti
a priori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat dalam jurang
kekalahan.
Sehubungan dengan itu, Hakim jangan sampai memerintahkan untuk membuktikan hal yang
negatif yaitu janganlah membebankan kepada si penjual bahwa ia belum menerima
pembayaran karena akan lebih mudah bagi si pembeli untuk membuktikan bahwa ia sudah
membayar.