Anda di halaman 1dari 257

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/362387585

BUKU AJAR

Book · July 2022

CITATIONS READS

0 3,916

7 authors, including:

Agus Hery Susanto Daniel Joko Wahyono


Universitas Jenderal Soedirman Universitas Jenderal Soedirman
34 PUBLICATIONS 64 CITATIONS 4 PUBLICATIONS 1 CITATION

SEE PROFILE SEE PROFILE

Alice Yuniaty Saefuddin Aziz


Universitas Jenderal Soedirman Universitas Jenderal Soedirman
16 PUBLICATIONS 71 CITATIONS 19 PUBLICATIONS 130 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Agus Hery Susanto on 01 August 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


BUKU AJAR

Agus Hery Susanto


Adi Amurwarto
Daniel Joko Wahyono
Nurtjahjo Dwi Sasongko
Alice Yuniaty
Saefuddin Aziz

Penerbit
Universitas Jenderal Soedirman
2022
Buku Ajar
GENETIKA
© 2022 Universitas Jenderal Soedirman

Cetakan Kesatu, Juli 2022


Hak Cipta dilindungi Undang-undang
All Right Reserved

Penulis:
Agus Hery Susanto
Adi Amurwarto
Daniel Joko Wahyono
Nurtjahjo Dwi Sasongko
Alice Yuniaty
Saefuddin Aziz

Editor Isi:
Dr. Ir. Ponendi Hidayat, M.P.

Editor Bahasa:
Octaria Putri Nurharyani, S.S., M.Hum.

Diterbitkan oleh:
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
Gd. BPU Percetakan dan Penerbitan (UNSOED Press)
Telp. (0281) 626070
Email: unsoedpresspwt@gmail.com

Anggota
Afiliasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia
Nomor : 003.082.1.02.2019

ix + 246 hal., 15 x 23 cm

ISBN: 978-623-465-006-8

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penerbit,


sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
photoprint, microfilm dan sebagainya.
SETELAH MENGIKUTI PEMBELAJARAN DI DALAM MATA KULIAH
INI MAHASISWA DIHARAPKAN MAMPU MENJELASKAN
KONSEP-KONSEP DASAR GENETIKA, BAIK DI LINGKUP KLASIK,
MOLEKULER, MAUPUN POPULASI.

GENETIKA iii
Buku ajar Genetika ini disusun sebagai rujukan utama dalam
pembelajaran mata kuliah Genetika pada Program Studi S1 Biologi
Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Sistematika
penyusunannya disesuaikan dengan Rancangan Pembelajaran Semester
(RPS) Genetika selama lima tahun terakhir. Dengan memahami materi-
materi yang dijelaskan di dalam buku ajar ini, mahasiswa dinilai telah
mencapai kompetensi pembelajaran teoretis yang ditetapkan di dalam
RPS tersebut. Sementara itu, pencapaian kompetensi psikomotorik yang
diperoleh melalui aktivitas praktikum tidak tercakup di dalam buku ajar
ini.
Pada bagian akhir tiap bab, kecuali Bab Pendahuluan, disajikan
beberapa soal evaluasi beserta kunci jawabannya. Soal diberikan dalam
bentuk pilihan ganda sehingga mahasiswa menjadi lebih mudah untuk
secara kuantitatif mengukur tingkat penguasaannya atas materi pada bab
yang bersangkutan. Hal ini karena di bawah kunci jawaban soal terdapat
cara penentuan kriteria penguasaan materi beserta tindak lanjut yang
direkomendasikan berdasarkan hasil evaluasi tersebut.
Meskipun sasaran utama pengguna buku ajar ini adalah mahasiswa
Program Studi S1 Biologi Unsoed, melihat kemasan penyajiannya yang
sederhana dan cakupan materinya yang cukup luas, buku ajar ini dapat
digunakan juga oleh mahasiswa program sarjana di rumpun ilmu
pertanian, kesehatan, dan bahkan khalayak umum yang berminat untuk
memahami konsep-konsep dasar genetika. Selanjutnya, sejalan dengan
perkembangan ilmu genetika, maka buku ajar ini rencananya akan
dimutakhirkan secara berkala. Di samping itu, segala saran dan kritik
konstruktif atas berbagai kekurangan yang ada akan senantiasa diterima
dengan senang hati demi penyempurnaan di masa yang akan datang.
Akhir kata, ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak
yang telah berkontribusi atas tersusunnya buku ajar ini. Semoga buku ajar
ini benar-benar dapat memberikan manfaat bagi penggunanya.

Purwokerto, Februari 2022


Tim Penyusun

iv GENETIKA
CAPAIAN PEMBELAJARAN MATA KULIAH ......................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................. v
DAFTAR TABEL .......................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR...................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................... 1
BAB II PRINSIP PEWARISAN MENDEL ........................... 10
BAB III PERLUASAN DAN IMPLIKASI PRINSIP
MENDEL ................................................................... 22
BAB IV BERANGKAI ............................................................ 41
BAB V PERUBAHAN JUMLAH DAN STRUKTUR
KROMOSOM ............................................................ 59
BAB VI PEWARISAN SITOPLASMIK ................................. 75
BAB VII MATERI GENETIK .................................................. 91
BAB VIII EKSPRESI GEN ........................................................ 110
BAB IX PENGATURAN EKSPRESI GEN ............................ 128
BAB X MUTASI .................................................................... 139
BAB XI GENETIKA KUANTITATIF .................................... 162
BAB XII GENETIKA POPULASI ........................................... 177
BAB XIII TEKNIK DASAR MOLEKULER............................. 195
BAB XIV DASAR-DASAR REKAYASA GENETIKA ........... 205
DAFTAR ISTILAH .............................................................. 231

GENETIKA v
Tabel 2.1. Formulasi matematika pada berbagai persilangan ...... 17
Tabel 2.1. Contoh pengujian hasil persilangan dihibrid .............. 32
Tabel 2.2. Tabel X2 ...................................................................... 33
Tabel 2.3. Konsentrasi relatif pigmen mata pada berbagai
genotipe....................................................................... 34
Tabel 2.4. Genotipe dan fenotipe individu pada sistem ABO ..... 35
Tabel 2.5. Kompatibilitas golongan darah sistem ABO pada
transfusi darah. ............................................................ 36
Tabel 2.6. Golongan darah sistem MN ........................................ 36
Tabel 4.1. Contoh data hasil hibridisasi sel somatis .................... 54
Tabel 6.1 Hasil persilangan pada tanaman bunga pukul empat .. 79
Tabel 8.1. Kode genetik ............................................................... 121
Tabel 11.1 Sebaran tinggi badan mahasiswa Fakultas Biologi
Unsoed tahun 2006 ..................................................... 164
Tabel 11.2. Sifat kuantitatif dan QTLs yang terdeteksi ................. 173
Tabel 12.1. Pembentukan zigot pada kawin acak .......................... 182
Tabel 12.2. Hubungan matematika antara fekuensi alel rangkai
X dan frekuensi genotipe ............................................ 184
Tabel 12.3. Frekuensi genotipe hasil kawin acak dan silang
dalam........................................................................... 191

vi GENETIKA
Gambar 2.1. Diagram persilangan monohibrid untuk karakter
tinggi tanaman....................................................... 11
Gambar 2.2. Diagram persilangan dihibrid untuk karakter
warna biji dan bentuk biji ..................................... 14
Gambar 2.3. Diagram anak garpu pada persilangan dihibrid .... 15
Gambar 2.4. Contoh penggunaan diagram anak garpu .............. 16
Gambar 2.5. Contoh diagram silang uji ..................................... 18
Gambar 2.6. Diagram persilangan sesama individu
bergolongan darah AB .......................................... 23
Gambar 2.7. Diagram persilangan epistasis resesif ................... 25
Gambar 2.8. Diagram persilangan epistasis dominan................ 25
Gambar 2.9. Diagram persilangan epistasis resesif ganda......... 26
Gambar 2.10. Diagram persilangan epistasis dominan ganda ..... 27
Gambar 2.11. Diagram persilangan epistasis dominan-resesif .... 27
Gambar 2.12. Diagram persilangan epistasis gen duplikat
dengan efek kumulatif .......................................... 28
Gambar 2.13. Bentuk jengger ayam dari galur yang berbeda ..... 29
Gambar 2.14. Diagram persilangan interaksi gen nonalelik ........ 30
Gambar 2.15. Diagram sterilitas s ............................................... 35
Gambar 4.1. Gamet yang terbentuk dari individu dihibrid ........ 43
Gambar 4.2. Hasil pindah silang dilihat dari pola askus pada
Neurospora crassa ................................................ 46
Gambar 4.3. Pindah silang di antara tiga gen berangkai ........... 48
Gambar 4.4. Peta kromosom pada lalat Drosophila
melanogaster......................................................... 51
Gambar 4.5. Hibridisasi in situ .................................................. 55
Gambar 5.1. Skema pembentukan autotetraploid dan aloploid . 61
Gambar 5.2. Skema pembentukan gandum aloheksaploid ........ 62
Gambar 5.3. Pemetaan delesi melalui silang uji ........................ 66
Gambar 5.4. Skema pindah silang tak seimbang ....................... 67
Gambar 5.5. Kedudukan kromosom inversi pada meiosis ........ 68
Gambar 5.6. Tahapan penting meisosis pada kromosom
inversi ................................................................... 69
Gambar 5.7. Sinapsis pada translokasi resiprok ........................ 70
Gambar 6.1. Pewarisan mutasi petit pada persilangan dengan
tipe liarnya (lingkaran kecil menggambarkan sel
petit; nukleus bergaris mendatar membawa alel
untuk pembentukan petit) ..................................... 78
Gambar 6.2. Model pewarisan maternal pada tanaman bunga
pukul empat .......................................................... 80

GENETIKA vii
Gambar 6.3. Diagram pewarisan sifat ketahanan terhadap
streptomisin pada Chlamydomonas ....................... 82
Gambar 6.4. Daur reproduksi pada Paramecium ....................... 83
Gambar 6.5. Persilangan antara pembunuh dan bukan
pembunuh pada Paramecium ................................ 85
Gambar 6.6. Diagram pewarisan sterilitas jantan pada jagung .. 86
Gambar 6.7. Diagram pewarisan arah kumparan cangkang
siput Limnaea peregra ........................................... 88
Gambar 7.1. Diagram percobaan transformasi yang
membuktikan DNA sebagai materi genetik ........... 93
Gambar 7.2. Daur hidup bakteriofag T2 dan diagram
percobaan infeksi T2 pada E. coli yang
membuktikan DNA sebagai materi genetik ........... 94
Gambar 7.3. Percobaan yang membuktikan RNA sebagai
materi genetik pada TMV ...................................... 95
Gambar 7.4. Komponen kimia asam nukleat ............................. 97
Gambar 7.5 Diagram struktur molekul DNA ............................ 99
Gambar 7.6. Tiga cara teoretis replikasi DNA ........................... 101
Gambar 7.7. Diagram percobaan Meselson dan Stahl yang
memperlihatkan replikasi DNA secara
semikonservatif ...................................................... 103
Gambar 7.8. Replikasi lingkaran menggulung ........................... 104
Gambar 7.9. Skema reaksi sintesis DNA ................................... 105
Gambar 7.10. Diagram replikasi pada kedua untai DNA ............. 107
Gambar 8.1. Diagram dogma sentral genetika molekuler .......... 110
Gambar 8.2. Diagram percobaan yang memperlihatkan satu
gen – satu enzim .................................................... 112
Gambar 8.3 Terminasi sintesis RNA menghasilkan ujung
berbentuk batang dan kala ..................................... 114
Gambar 8.4. Diagram struktur tRNA ......................................... 116
Gambar 8.5. Skema garis besar sintesis protein ......................... 118
Gambar 8.6. Mutasi penekan yang memulihkan rangka baca .... 123
Gambar 8.7. Diagram persilangan mutan rIIB pada T4 yang
memperlihatkan bahwa kode genetik berupa
triplet kodon........................................................... 124
Gambar 9.1. Model operon untuk pengaturan ekspresi gen ....... 130
Gambar 10.1. Skema substitusi basa nukleotida .......................... 141
Gambar 10.2. Percobaan transfer koloni (replica plating) ........... 143
Gambar 10.3. Metode ClB untuk mengestimasi laju mutasi ........ 145
Gambar 10.4. Mekanisme perbaikan salah pasangan ................... 147
Gambar 10.5. Mutasi tautomerik (transisi) akibat basa analog 5-
bromourasil ............................................................ 149

viii GENETIKA
Gambar 10.6. Struktur molekul dua agen alkilasi yang umum
digunakan .............................................................. 150
Gambar 10.7. Mekanisme eksisi untuk memperbaiki DNA ........ 153
Gambar 10.8. Skema mekanisme rekombinasi pascareplikasi .... 154
Gambar 11.1. Sebaran tinggi badan mahasiswa Fakultas Biologi
Unsoed tahun 2006 ............................................... 165
Gambar 11.2. Kurva normal tinggi badan mahasiswa Fakultas
Biologi Unsoed tahun 2006 .................................. 167
Gambar 11.3. Sebaran fenotipe dengan berbagai nilai
simpangan baku / ragam ....................................... 168
Gambar 11.4. Hubungan antara faktor genetik dan faktor
lingkungan dalam mempengaruhi fenotipe ........... 170
Gambar 11.5. Perubahan nilai tengah populasi akibat seleksi ..... 171
Gambar 12.1. Zimogram esterase dari ikan sidat (Anguilla sp)
di kawasan Segara Anakan, Cilacap ..................... 180
Gambar 12.2. Berbagai kondisi dominansi dilihat dari nilai
fitnes relatifnya ..................................................... 187
Gambar 13.1. Elektroforegram marka RAPD pada tanaman
kantung semar Nepenthes adrianii dan N.
gymnamphora di Kebun Raya Baturraden,
Banyumas menggunakan primer OPB-5 serta
hasil interpretasinya .............................................. 198
Gambar 13.2. Elektoforegram marka PCR-RFLP pada ikan teri
nasi (Stolephorus commersonnii) di Kawasan
Segara Anakan Cilacap menggunakan segmen
sitokrom oksidase I (COI) yang dipotong dengan
enzim restriksi VspI .............................................. 200
Gambar 14.1. Skema tahapan kloning gen .................................. 207
Gambar 14.2. Sistem restriksi/modifikasi pada E. coli................ 209
Gambar 14.3. Beberapa contoh enzim restriksi ........................... 210
Gambar 14.4. Konformasi molekul DNA.................................... 213
Gambar 14.5. Contoh hasil elektroforesis fragmen restriksi dan
ligasi ...................................................................... 214
Gambar 14.6. Plasmid pBR322 ................................................... 218
Gambar 14.7. DNA bakteriofag  ............................................... 220
Gambar 14.8. Putaran pertama PCR ............................................ 223
Gambar 14.9. Hasil PCR putaran kedua dan ketiga .................... 224
Gambar 14.10. Skema sekuensing DNA ....................................... 226

GENETIKA ix
Setelah mempelajari materi pada Bab I ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan batasan, ruang lingkup, sejarah perkembangan, bidang aplikasi,
dan syarat organisme percobaan genetika, serta beberapa kesalahfahaman
tentang pewarisan sifat.

ecara etimologi kata ‟genetika‟ berasal dari kata ‟genos‟ dalam

S Bahasa Latin, yang berarti asal mula kejadian. Namun, genetika


bukanlah ilmu tentang asal mula kejadian meskipun pada batas-
batas tertentu memang ada kaitannya juga dengan hal itu. Genetika ialah
ilmu yang mempelajari seluk-beluk alih informasi hayati dari generasi ke
generasi. Oleh karena cara berlangsungnya alih informasi hayati tersebut
mendasari adanya perbedaan dan persamaan sifat di antara individu
organisme, maka dengan singkat dapat pula dikatakan bahwa genetika
adalah ilmu tentang pewarisan sifat.

Sejarah Perkembangan
Jauh sebelum genetika dapat dianggap sebagai suatu cabang ilmu
pengetahuan, berbagai kegiatan manusia dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya tanpa disadari telah menerapkan prinsip-prinsip
genetika. Sebagai contoh, bangsa Sumeria dan Mesir kuno telah berusaha
untuk memperbaiki tanaman gandum, bangsa Cina mengupayakan sifat-
sifat unggul pada tanaman padi, bangsa Siria menyeleksi tanaman kurma.
Demikian pula, di benua Amerika dilakukan persilangan-persilangan
pada gandum dan jagung yang berasal dari rerumputan liar. Sementara
itu, pemuliaan hewan pun telah berlangsung lama; hasilnya antara lain
berupa berbagai hewan ternak piaraan yang kita kenal sekarang.
Sejarah perkembangan genetika sebagai ilmu pengetahuan dimulai
menjelang akhir abad ke-19 ketika seorang biarawan Austria bernama
Gregor Johann Mendel berhasil melakukan analisis yang cermat dengan
interpretasi yang tepat atas hasil-hasil percobaan persilangannya pada
tanaman kacang ercis (Pisum sativum). Sebenarnya, Mendel bukanlah
orang pertama yang melakukan percobaan-percobaan persilangan. Akan
tetapi, berbeda dengan para pendahulunya yang melihat setiap individu
dengan keseluruhan sifatnya yang kompleks, Mendel mengamati pola
pewarisan sifat demi sifat sehingga menjadi lebih mudah untuk diikuti.

1
Deduksinya mengenai pola pewarisan sifat ini kemudian menjadi
landasan utama bagi perkembangan genetika sebagai suatu cabang ilmu
pengetahuan, dan Mendel pun diakui sebagai Bapak Genetika. Penjelasan
lebih rinci mengenai percobaan persilangan Mendel akan diberikan pada
Bab II.
Karya Mendel tentang pola pewarisan sifat tersebut dipublikasikan
pada tahun 1866 di Proceedings of the Brunn Society for Natural History.
Namun, selama lebih dari 30 tahun tidak pernah ada peneliti lain yang
memperhatikannya. Baru pada tahun 1900 tiga orang ahli botani secara
terpisah, yakni Hugo de Vries di Belanda, Carl Correns di Jerman, dan
Eric von Tschermak-Seysenegg di Austria, melihat bukti kebenaran
prinsip-prinsip Mendel pada penelitian mereka masing-masing. Semenjak
saat itu hingga lebih kurang pertengahan abad ke-20 berbagai percobaan
persilangan atas dasar prinsip-prinsip Mendel sangat mendominasi
penelitian di bidang genetika. Hal ini menandai berlangsungnya suatu era
yang dinamakan genetika klasik.
Selanjutnya, pada awal abad ke-20 ketika biokimia mulai
berkembang sebagai cabang ilmu pengetahuan baru, para ahli genetika
tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang hakekat materi genetik,
khususnya mengenai sifat biokimianya. Pada tahun 1920-an, dan
kemudian tahun 1940-an, terungkap bahwa senyawa kimia materi genetik
adalah asam deoksiribonukleat (DNA). Dengan ditemukannya model
struktur molekul DNA pada tahun 1953 oleh J.D. Watson dan F.H.C.
Crick dimulailah era genetika yang baru, yaitu genetika molekuler.
Perkembangan penelitian genetika molekuler terjadi demikian
pesatnya. Jika ilmu pengetahuan pada umumnya mengalami
perkembangan dua kali lipat (doubling time) dalam satu dasawarsa, maka
hal itu pada genetika molekuler hanyalah dua tahun! Bahkan,
perkembangan yang lebih revolusioner dapat disaksikan semenjak tahun
1970-an, yaitu pada saat dikenalnya teknologi manipulasi molekul DNA
atau teknologi DNA rekombinan atau dengan istilah yang lebih populer
disebut sebagai rekayasa genetika.
Saat ini sudah menjadi berita biasa apabila organisme-organisme
seperti domba, babi, dan kera didapatkan melalui teknik rekayasa
genetika yang disebut kloning. Sementara itu, pada manusia telah
dilakukan pemetaan seluruh genom atau dikenal sebagai projek genom
manusia (human genom project), yang diluncurkan pada tahun 1990 dan
diharapkan selesai pada tahun 2005. Ternyata pelaksanaan proyek ini
berjalan justru lebih cepat dua tahun daripada jadwal yang telah
ditentukan.

2 GENETIKA
Kontribusi ke Bidang-bidang Lain
Sebagai ilmu pengetahuan dasar, genetika dengan konsep-konsep
di dalamnya dapat berinteraksi dengan berbagai bidang lain untuk
memberikan kontribusi terapannya.

1. Pertanian
Di antara kontribusinya pada berbagai bidang, kontribusi
genetika di bidang pertanian, khususnya pemuliaan tanaman dan
ternak, boleh dikatakan paling tua. Persilangan-persilangan
konvensional yang dilanjutkan dengan seleksi untuk merakit bibit
unggul, baik tanaman maupun ternak, menjadi jauh lebih efisien
berkat bantuan pengetahuan genetika. Demikian pula, teknik-teknik
khusus pemuliaan seperti mutasi, kultur jaringan, dan fusi protoplasma
kemajuannya banyak dicapai dengan pengetahuan genetika. Dewasa
ini beberapa produk pertanian, terutama pangan, yang berasal dari
organisme hasil rekayasa genetika atau genetically modified
organism (GMO) telah dipasarkan cukup luas meskipun masih sering
kali mengundang kontroversi, terutama terkait dengan keamanannya
bagi kesehatan manusia.

2. Kesehatan
Salah satu contoh klasik kontribusi genetika di bidang
kesehatan adalah diagnosis dan perawatan penyakit fenilketonuria
(PKU). Penyakit ini merupakan penyakit menurun yang disebabkan
oleh mutasi gen pengatur katabolisme fenilalanin sehingga timbunan
kelebihan fenilalanin akan dijumpai di dalam aliran darah sebagai
derivat-derivat yang meracuni sistem syaraf pusat. Dengan diet
fenilalanin yang sangat ketat, bayi tersebut dapat terhindar dari
penyakit PKU meskipun gen mutan penyebabnya sendiri sebenarnya
tidak diperbaiki.
Beberapa penyakit genetik lainnya telah dapat diatasi
dampaknya dengan cara seperti itu. Meskipun demikian, hingga
sekarang masih banyak penyakit yang menjadi tantangan para peneliti
dari kalangan kedokteran dan genetika untuk menanganinya seperti
berkembangnya resistensi bakteri patogen terhadap antibiotik,
penyakit-penyakit kanker, dan sindrom hilangnya kekebalan bawaan
atau acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).

3. Industri farmasi
Teknik rekayasa genetika memungkinkan dilakukannya
pemotongan molekul DNA tertentu. Selanjutnya, fragmen-fragmen
DNA hasil pemotongan ini disambungkan dengan molekul DNA lain
sehingga terbentuk molekul DNA rekombinan. Apabila molekul DNA

PENDAHULUAN 3
rekombinan dimasukkan ke dalam suatu sel bakteri yang sangat cepat
pertumbuhannya, misalnya Escherichia coli, maka dengan mudah
akan diperoleh salinan molekul DNA rekombinan dalam jumlah besar
dan waktu yang singkat. Jika molekul DNA rekombinan tersebut
membawa gen yang bermanfaat bagi kepentingan manusia, maka
berarti gen ini telah diperbanyak dengan cara yang mudah dan cepat.
Prinsip kerja semacam ini telah banyak diterapkan di dalam berbagai
industri yang memproduksi biomolekul penting seperti insulin,
interferon, dan beberapa hormon pertumbuhan.

4. Hukum
Sengketa di pengadilan untuk menentukan ayah kandung bagi
seorang anak secara klasik sering diatasi melalui pengujian golonan
darah. Pada kasus-kasus tertentu cara ini dapat menyelesaikan
masalah dengan cukup memuaskan, tetapi tidak jarang hasil yang
diperoleh kurang meyakinkan. Belakangan ini dikenal cara yang jauh
lebih canggih, yaitu uji DNA. Dengan membandingkan pola restriksi
pada molekul DNA anak, ibu, dan orang yang dicurigai sebagai ayah
kandung si anak, maka dapat diketahui benar tidaknya kecurigaan
tersebut.
Dalam kasus-kasus kejahatan seperti pembunuhan,
pemerkosaan, dan bahkan teror pengeboman, teknik rekayasa genetika
dapat diterapkan untuk memastikan benar tidaknya tersangka sebagai
pelaku. Jika tersangka masih hidup pengujian dilakukan dengan
membandingkan DNA tersangka dengan DNA objek yang tertinggal
di tempat kejadian, misalnya rambut atau sperma. Cara ini dikenal
sebagai sidik jari DNA (DNA finger printing). Akan tetapi, jika
tersangka mati dan tubuhnya hancur, maka DNA dari bagian-bagian
tubuh tersangka dicocokkan pola restriksinya dengan DNA kedua
orang tuanya atau saudara-saudaranya yang masih hidup.

5. Kemasyarakatan dan kemanusiaan


Di negara-negara maju, terutama di kota-kota besarnya, dewasa
ini dapat dijumpai klinik konsultasi genetik yang antara lain berperan
dalam memberikan pelayanan konsultasi perkawinan. Berdasarkan
atas data sifat-sifat genetik, khususnya penyakit genetik, pada kedua
belah pihak yang akan menikah, dapat dijelaskan berbagai
kemungkinan penyakit genetik yang akan diderita oleh anak mereka,
dan juga besar kecilnya kemungkinan tersebut.

Contoh kontribusi pengetahuan genetika di bidang kemanusiaan


antara lain dapat dilihat pada gerakan yang dinamakan eugenika, yaitu
gerakan yang berupaya untuk memperbaiki kualitas genetik manusia.
Jadi, dengan gerakan ini sifat-sifat positif manusia akan dikembangkan,

4 GENETIKA
sedangkan sifat-sifat negatifnya ditekan. Di berbagai negara, terutama di
negara-negara berkembang, gerakan eugenika masih sering dianggap
tabu. Selain itu, ada tantangan yang cukup besar bagi keberhasilan
gerakan ini karena pada kenyataannya orang yang tingkat kecerdasannya
tinggi dengan status sosial-ekonomi yang tinggi pula biasanya hanya
mempunyai anak sedikit. Sebaliknya, orang dengan tingkat kecerdasan
dan status sosial-ekonomi rendah umumnya justru akan beranak banyak.

Materi Percobaan
Di dalam berbagai penelitian genetika hampir selalu digunakan
organisme sebagai materi percobaan. Ada beberapa persyaratan umum
agar suatu organisme layak digunakan sebagai materi percobaan genetika,
khususnya pada persilangan-persilangan untuk mempelajari pola
pewarisan suatu sifat.

1. Keanekaragaman
Membedakan warna daun di antara varietas-varietas padi
dengan sendirinya akan jauh lebih sulit daripada mengamati warna
bunga pada berbagai jenis anggrek. Jadi, sifat-sifat seperti warna daun
padi kurang memenuhi syarat untuk dipelajari pola pewarisannya
karena keanekaragamannya sangat rendah.

2. Daya gabung
Analisis genetik pada suatu spesies akan lebih cepat
memberikan hasil apabila spesies tersebut memiliki cara yang efektif
dalam menggabungkan sifat kedua tetua (parental) persilangan ke
dalam sifat keturunannya. Sebagai contoh, organisme dengan sterilitas
sendiri atau sterilitas silang (Bab II) akan sulit menggabungkan sifat
kedua tetua kepada keturunannya sehingga organisme semacam ini
semestinya tidak digunakan untuk mempelajari pola pewarisan suatu
sifat.

3. Persilangan terkontrol
Tikus, lalat buah (Drosophila sp), dan jagung sering digunakan
sebagai materi percobaan genetika karena ketiga organisme tersebut
sangat mudah untuk dikontrol persilangannya. Kita dapat memilih
tetua sesuai dengan tujuan percobaan. Begitu pula, pencatatan
keturunan mudah untuk dilakukan dalam beberapa generasi.

4. Daur hidup
Organisme yang memiliki daur hidup pendek seperti lalat
Drosophila, tikus, dan bakteri sangat cocok untuk digunakan sebagai
materi percobaan genetika. Drosophila dapat menghasilkan 20 hingga

PENDAHULUAN 5
25 generasi tiap tahun, tikus menjadi dewasa hanya dalam waktu
enam minggu, sedangkan bakteri mempunyai daur hidup sekitar 20
menit.
5. Jumlah keturunan
Seekor lalat Drosophila betina dapat bertelur ribuan butir
semasa hidupnya. Organisme dengan jumlah keturunan yang besar
seperti Drosophila itu memenuhi persyaratan sebagai materi
percobaan genetika.
6. Kemudahan dalam pengamatan dan pemeliharaan
Dua hal di bawah ini kembali memperlihatkan bahwa lalat
Drosophila sangat cocok untuk digunakan dalam penelitian genetika.
Pertama, dengan kromosom yang ukurannya relatif besar dan
jumlahnya hanya empat pasang, Drosophila merupakan organisme
yang sangat mudah untuk diamati kromosomnya. Kedua, penanganan
kultur Drosophila di laboratorium sangat mudah dikerjakan. Hanya
dengan media yang komposisi dan pembuatannya sederhana, lalat
buah ini akan tumbuh dan berkembang biak dengan cepat.

Beberapa Kesalahfahaman tentang Pewarisan Sifat


Hingga sekarang masih sering dijumpai berbagai pandangan yang
kurang tepat mengenai pewarisan sifat. Pandangan atau faham semacam
ini tidak hanya diperlihatkan oleh kalangan awam yang relatif kurang
mengenal ilmu genetika, tetapi tanpa disadari berkembang juga di tengah
masyarakat modern dengan tingkat pendidikan dan wawasan pengetahuan
yang cukup memadai. Berikut ini dikemukakan beberapa kesalahfahaman
yang berkaitan dengan pewarisan sifat, khususnya pada manusia.
1. Faham bahwa ayah lebih penting daripada ibu
Menurut faham ini gambaran dasar sifat seorang anak, terutama
sifat fisiknya, hanya ditentukan oleh sosok ayahnya saja. Dalam hal
ini ibu hanya berperan mengarahkan perkembangan selanjutnya. Jika
anak diibaratkan sebagai buah atau biji mangga, maka ayah adalah
pohon mangga dan ibu adalah tanah tempat biji mangga itu akan
tumbuh.
Masyarakat paternalistik sebenarnya tanpa disadari masih
menganut faham yang keliru ini. Padahal, dalam Bab II jelas dapat
dilihat bahwa baik ayah/tetua jantan maupun ibu/tetua betina akan
memberikan kontribusi yang sama dalam menentukan sifat-sifat
genetik anak/keturunan. Bahkan, untuk sifat-sifat yang diatur oleh
faktor sitoplasmik (Bab VI), tetua betina memberikan kontribusi lebih
besar daripada tetua jantan karena sitoplasma ovum jauh lebih banyak
daripada sitoplasma spermatozoon.

6 GENETIKA
2. Teori homunkulus (manusia kecil)
Segera setelah Anthony van Leeuvenhoek menemukan
mikroskop, banyak orang melakukan pengamatan terhadap berbagai
objek mikroskopis, termasuk di antaranya spermatozoon. Dengan
mikroskop yang masih sangat sederhana akan terlihat bahwa
spermatozoon terdiri atas bagian kepala dan ekor. Di dalam bagian
kepala itulah diyakini bahwa struktur tubuh seorang anak telah
terbentuk dengan sempurna dalam ukuran yang sangat kecil. Ketika
spermatozoon membuahi ovum, maka ovum hanya berfungsi untuk
membesarkan manusia kecil yang sudah ada itu. Jadi, pada dasarnya
teori homunkulus justru memperkuat faham bahwa ayah lebih penting
daripada ibu.

3. Faham yang menganggap ibu sebagai penanggung jawab atas


jenis kelamin anak
Di kalangan masyarakat tertentu, misalnya masyarakat kerajaan,
sering muncul pendapat bahwa anak laki-laki lebih dikehendaki
kehadirannya daripada anak perempuan karena anak laki-laki
dipandang lebih cocok untuk dapat dipercaya sebagai pewaris tahta.
Jika setelah sekian lama anak laki-laki tidak kunjung diperoleh juga,
maka istri/permaisuri sering dituding sebagai pihak yang menjadi
penyebabnya sehingga perlu dicari wanita lain yang diharapkan akan
dapat memberikan anak laki-laki.
Pada Bab IV antara lain akan dijelaskan bahwa manusia
mengikuti sistem penentuan jenis kelamin XY. Dalam hal ini justru
prialah, sebagai individu heterogametik (XY), yang akan menentukan
jenis kelamin anak karena ia dapat menghasilkan dua macam
spermatozoon, yakni X dan Y. Sementara itu, wanita sebagai individu
homogametik (XX) hanya akan menghasilkan satu macam ovum (X).

4. Faham bahwa mutan adalah kutukan tuhan/dewa


Individu yang dilahirkan dengan cacat bawaan hingga kini
masih sering dianggap sebagai kutukan tuhan/dewa. Dalam Bab V
diuraikan bahwa perubahan/mutasi jumlah dan struktur kromosom
dapat mengakibatkan kelainan fisik dan mental pada individu yang
mengalaminya. Sebagai contoh, kelainan yang dinamakan sindrom
Down terjadi akibat adanya penambahan sebuah kromosom nomor 21,
yang peluangnya akan meningkat pada wanita yang melahirkan di atas
usia 45 tahun.

5. Teori abiogenesis
Filsuf Yunani terkenal, Aristoteles, memelopori faham yang
menganggap bahwa makhluk hidup berasal dari benda mati. Faham
yang dikenal sebagai teori abiogenesis ini ternyata kemudian terbukti

PENDAHULUAN 7
tidak benar. Louis Pasteur dengan percobaannya berupa tabung kaca
berbentuk leher angsa berhasil membuktikan bahwa makhluk hidup
berasal dari makhluk hidup sebelumnya atau omne vivum ex ovo omne
ovum ex vivo. Jadi, lalat berasal dari lalat, kutu berasal dari kutu,
manusia berasal dari manusia, dan sebagainya. Dalam hal ini, ada
sesuatu yang diabadikan dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Itulah informasi hayati atau informasi genetik seperti yang akan
menjadi materi bahasan di hampir semua bab, khususnya Bab VII.

6. Faham tentang percampuran sifat


Faham ini dipelopori oleh filsuf Yunani lainnya, Hippocrates.
Apabila dibandingkan dengan kelima faham yang telah dijelaskan
sebelumnya, tingkat kesalahannya sebenarnya dapat dikatakan paling
rendah. Menurut faham ini, sifat seorang anak merupakan hasil
percampuran acak antara sifat ayah dan sifat ibunya.
Orang sering kali mendeskripsikan sifat bagian-bagian tubuh
seorang anak seperti mata, rambut, hidung, dan seterusnya, sebagai
warisan dari ayah atau ibunya. Katakanlah, hidungnya mancung
seperti ayahnya, rambutnya ikal seperti ibunya, kulitnya kuning
seperti ibunya, dan sebagainya. Sepintas nampaknya pandangan
semacam ini sah-sah saja. Namun, sekarang kita telah mengetahui
dengan pasti bahwa sebenarnya bukanlah sifat-sifat tersebut yang
dirakit dalam tubuh anak, melainkan faktor (gen) yang menentukan
sifat-sifat itulah yang akan diwariskan oleh kedua orang tua kepada
anaknya.

7. Faham tentang pewarisan sifat nongenetik


Pada dasarnya hampir semua sifat yang nampak pada individu
organisme merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan faktor
lingkungan (nongenetik). Besarnya kontribusi masing-masing faktor
ini berbeda-beda untuk setiap sifat, seperti akan dijelaskan di dalam
Bab XI.
Beberapa sifat tertentu, yang sebenarnya jauh lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor nongenetik, kenyataannya justru sering kali
dianggap sebagai sifat genetik. Akibatnya, cara menyikapinya pun
menjadi kurang tepat. Sebagai contoh, seorang pakar ilmu
pengetahuan dengan tingkat kecerdasan intelektual yang sangat tinggi
tidak serta-merta akan mewariskan kecerdasannya itu kepada anaknya.
Tanpa kerja keras dan usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh
akan sangat sulit bagi anak tersebut untuk dapat menyamai prestasi
ayahnya.

8 GENETIKA
DAFTAR PUSTAKA
Griffiths, AJF., Wessler, SR., Carroll, SB. and Doebley, J. 2020.
Introduction to Genetic Analysis. 12th Ed. W. H. Freeman & Co.,
New York.
Miko, I. and Jeune, LL. (eds.) 2014. Essentials of Genetics. NPG
Education, Cambridge.
Pierce, BA. 2012. Genetics: a Conceptual Approach 4th Ed. WH Freeman
& Co., New York.
Susanto, AH. 2011. Genetika. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

PENDAHULUAN 9
Setelah mempelajari materi pada Bab II ini mahasiswa diharapkan
mampu menjelaskan terminologi umum di bidang genetika klasik, hukum
segregasi dan hukum pemilihan bebas, penggunaan diagram cabang,
silang balik dan silang uji, serta menyelesaikan soal-soal hitungan tentang
pewarisan sifat.

S
eorang biarawan dari Austria, bernama Gregor Johann Mendel,
menjelang akhir abad ke-19 melakukan serangkaian percobaan
persilangan pada kacang ercis (Pisum sativum). Dari percobaan
yang dilakukannya selama bertahun-tahun tersebut, Mendel berhasil
menemukan prinsip-prinsip pewarisan sifat, yang kemudian menjadi
landasan utama bagi perkembangan genetika sebagai suatu cabang ilmu
pengetahuan. Berkat karyanya inilah, Mendel diakui sebagai Bapak
Genetika.
Mendel memilih kacang ercis sebagai bahan percobaannya,
terutama karena tanaman ini memiliki beberapa karakter (pasangan sifat)
yang sangat mencolok perbedaannya, misalnya warna bunganya mudah
sekali untuk dibedakan antara yang ungu dan yang putih. Selain itu,
kacang ercis merupakan tanaman yang dapat menyerbuk sendiri, dan
dengan bantuan manusia, dapat juga menyerbuk silang. Hal ini karena
kacang ercis tidak hanya merupakan tanaman berumah satu (monosius),
tetapi juga mempunyai bunga sempurna, yaitu bunga dengan alat kelamin
jantan (stamen/benang sari) dan alat kelamin betina (pistil/putik).
Pertimbangan lainnya adalah bahwa kacang ercis memiliki daur hidup
yang relatif pendek, serta mudah untuk ditumbuhkan dan dipelihara.
Mendel juga beruntung, karena secara kebetulan kacang ercis yang
digunakannya merupakan tanaman diploid (mempunyai dua perangkat
kromosom). Seandainya ia menggunakan organisme poliploid, maka ia
tidak akan memperoleh hasil persilangan yang sederhana dan mudah
untuk dianalisis.

10
Persilangan Monohibrid
Pada salah satu percobaannya, Mendel menyilangkan tanaman
kacang ercis yang tinggi dengan yang pendek. Tanaman yang dipilih
adalah tanaman galur murni, yaitu tanaman yang kalau menyerbuk
sendiri tidak akan menghasilkan tanaman yang berbeda dengannya.
Dalam hal ini tanaman tinggi akan tetap menghasilkan tanaman tinggi.
Begitu juga tanaman pendek akan selalu menghasilkan tanaman pendek.
Dengan menyilangkan galur murni tinggi dengan galur murni
pendek, Mendel mendapatkan tanaman yang semuanya tinggi dan disebut
dengan hibrid. Selanjutnya, tanaman tinggi hibrid ini dibiarkan
menyerbuk sendiri. Ternyata keturunannya memperlihatkan nisbah
(perbandingan) tanaman tinggi terhadap tanaman pendek sebesar 3 : 1.
Secara skema, percobaan Mendel dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai
berikut.

P: ♀ tinggi x pendek ♂
DD dd
Gamet D d

F1: tinggi
Dd

Menyerbuk sendiri (Dd x Dd)



F2:

Gamet ♂ D d
Gamet ♀
D DD Dd
(tinggi) (tinggi)
d Dd dd
(tinggi) (pendek)

Tinggi (D-) : pendek (dd) = 3 : 1


DD : Dd : dd = 1 : 2 : 1

Gambar 2.1. Diagram persilangan monohibrid untuk karakter


tinggi tanaman

Persilangan yang dilakukan oleh Mendel seperti pada Gambar 2.1


tersebut hanya memperhatikan pewarisan satu karakter saja, yang dalam
hal ini adalah ukuran tanaman. Persilangan semacam ini dinamakan

PRINSIP PEWARISAN MENDEL 11


persilangan monohibrid. Jadi, pada contoh persilangan monohibrid
tersebut karakter yang diamati pewarisannya hanyalah ukuran tanaman
(tinggi atau pendek), tanpa mempedulikan apakah bunganya ungu atau
putih, polongnya rata atau berlekuk, bijinya bulat atau keriput, dan
sebagainya.
Individu galur murni tinggi dan pendek yang digunakan pada awal
persilangan dikatakan sebagai tetua (parental), disingkat P. Hibrid hasil
persilangannya merupakan keturunan (filial) generasi pertama, disingkat
F1. Persilangan sesama individu F1 menghasilkan keturunan generasi
kedua, disingkat F2. Tanaman galur murni pada generasi P masing-
masing dilambangkan dengan DD untuk tanaman tinggi dan dd untuk
tanaman pendek Sementara itu, tanaman tinggi hibrid yang diperoleh
pada generasi F1 dilambangkan dengan Dd.
Pada diagram persilangan monohibrid tersebut di atas, nampak
bahwa untuk menghasilkan individu Dd pada F1, maka baik DD maupun
dd pada generasi P membentuk gamet (sel kelamin). Individu DD
membentuk gamet D, sedangkan individu dd membentuk gamet d.
Dengan demikian, individu Dd pada F1 merupakan hasil penggabungan
kedua gamet tersebut. Begitu pula halnya, ketika sesama individu Dd ini
melakukan penyerbukan sendiri untuk menghasilkan F2, maka masing-
masing akan membentuk gamet terlebih dahulu. Gamet yang dihasilkan
oleh individu Dd ada dua macam, yaitu D dan d. Selanjutnya, dari
kombinasi gamet-gamet tersebut diperoleh individu-individu generasi F2
dengan nisbah DD : Dd : dd = 1 : 2 : 1. Jika DD dan Dd dikelompokkan
menjadi satu (karena sama-sama melambangkan individu tinggi), maka
nisbah tersebut menjadi D- : dd = 3 : 1.
Dari diagram itu pula dapat dilihat bahwa pewarisan suatu sifat
ditentukan oleh pewarisan materi tertentu, yang dalam contoh tersebut
dilambangkan dengan D atau d. Mendel menyebut materi yang
diwariskan ini sebagai faktor keturunan (herediter), yang pada
perkembangan berikutnya hingga sekarang dinamakan gen.

Terminologi
Ada beberapa istilah yang perlu diketahui untuk memudahkan
pemahaman akan prinsip-prinsip pewarisan sifat. Seperti telah disebutkan
di atas, P adalah individu tetua, F1 adalah keturunan generasi pertama,
dan F2 adalah keturunan generasi ke dua. Selanjutnya, gen D dikatakan
sebagai gen atau alel dominan, sedangkan gen d merupakan gen atau
alel resesif. Alel adalah bentuk alternatif suatu gen yang terdapat pada
lokus (tempat) tertentu. Gen D dikatakan dominan terhadap gen d,
karena ekpresi gen D akan menutupi ekspresi gen d jika keduanya
terdapat bersama-sama dalam satu individu (Dd). Dengan demikian, gen
dominan adalah gen yang ekspresinya menutupi ekspresi alelnya.

12 GENETIKA
Sebaliknya, gen resesif adalah gen yang ekspresinya ditutupi oleh
ekspresi alelnya.
Individu Dd dinamakan individu heterozigot, sedangkan individu
DD dan dd masing-masing disebut sebagai individu homozigot dominan
dan homozigot resesif. Sifat-sifat yang dapat langsung diamati pada
individu-individu tersebut, yang pada contoh di atas berupa tinggi atau
pendek, dinamakan fenotipe. Jadi, fenotipe adalah ekspresi gen yang
langsung dapat diamati sebagai suatu sifat pada suatu individu.
Singkatnya, fenotipe sama artinya dengan sifat. Sementara itu, kombinasi
alel atau susunan genetik yang mendasari munculnya suatu sifat/fenotipe
dinamakan genotipe. Dengan demikian, terdapat tiga macam genotipe,
yaitu genotipe homozigot dominan, homozigot resesif, dan heterozigot.
Pada contoh tersebut di atas, fenotipe tinggi (D-) dapat dihasilkan dari
genotipe homozigot dominan (DD) atau heterozigot (Dd), sedangkan
fenotipe pendek (dd) hanya dihasilkan dari genotipe homozigot resesif
dd. Nampak bahwa pada individu homozigot resesif, lambang untuk
fenotipe sama dengan lambang untuk genotipe.

Hukum Segregasi
Sebelum melakukan suatu persilangan, setiap individu
menghasilkan gamet-gamet yang kandungan gennya separuh dari
kandungan gen pada individu. Sebagai contoh, individu DD akan
membentuk gamet D, dan individu dd akan membentuk gamet d. Pada
individu Dd, yang menghasilkan gamet D dan gamet d, akan terlihat
bahwa gen D dan gen d akan dipisahkan (disegregasi) ke dalam gamet-
gamet yang terbentuk tersebut. Prinsip inilah yang kemudian dikenal
sebagai hukum segregasi atau hukum Mendel I.

Hukum Segregasi:
Pada waktu berlangsung pembentukan gamet, tiap pasang gen akan
disegregasi (dipisahkan) ke dalam masing-masing gamet yang
terbentuk.

Hukum Pemilihan Bebas


Selain persilangan monohibrid, Mendel juga melakukan
persilangan dihibrid, yaitu persilangan yang melibatkan pola perwarisan
dua macam karakter seketika. Salah satu di antaranya adalah persilangan
galur murni kedelai berbiji kuning-halus dengan galur murni berbiji
hijau-keriput. Jadi, dalam hal ini terdapat dua macam karakter, yaitu
warna biji dan bentuk biji. Hasilnya berupa tanaman kedelai generasi F1
yang semuanya berbiji kuning-halus. Ketika tanaman F1 ini dibiarkan
menyerbuk sendiri, maka diperoleh empat macam individu generasi F2,

PRINSIP PEWARISAN MENDEL 13


masing-masing berbiji kuning-halus, kuning-keriput, hijau-halus, dan
hijau-keriput dengan nisbah 9 : 3 : 3 : 1.
Jika gen yang menyebabkan biji berwarna kuning dan hijau
masing-masing adalah gen G dan g, sedangkan gen yang menyebabkan
biji halus dan keriput masing-masing adalah gen W dan w, maka
persilangan dihibrid tersebut dapat digambarkan secara skema seperti
pada diagram persilangan dalam Gambar 2.2.

P: ♀ kuning, halus x hijau, keriput ♂


GGWW ggww
Gamet GW gw

F1: kuning, halus
GgWw

Menyerbuk sendiri (GgWw x GgWw )



F2:

Gamet ♂ GW Gw gW gw
Gamet ♀
GW GGWW GGWw GgWW GgWw
(kuning, (kuning, (kuning, (kuning,
halus) halus) halus) halus)
Gw GGWw GGww GgWw Ggww
(kuning, (kuning, (kuning, (kuning,
halus) keriput) halus) keriput)
gW GgWW GgWw ggWW ggWw
(kuning, (kuning, (hijau, (hijau,
halus) halus) halus) halus)
gw GgWw Ggww ggWw ggww
(kuning, (kuning, (hijau, (hijau,
halus) keriput) halus) keriput)
Gambar 2.2. Diagram persilangan dihibrid untuk karakter warna
biji dan bentuk biji

Dari diagram persilangan dihibrid tersebut di atas dapat dilihat


bahwa fenotipe F2 memiliki nisbah 9 : 3 : 3 : 1 akibat terjadinya segregasi
gen G dan W secara independen atau tidak saling mempengaruhi. Dengan
demikian, gamet-gamet yang terbentuk dapat mengandung kombinasi gen
dominan dengan gen dominan (GW), gen dominan dengan gen resesif
(Gw dan gW), serta gen resesif dengan gen resesif (gw). Hal inilah yang
kemudian dikenal sebagai hukum pemilihan bebas (the law of
independent assortment) atau hukum Mendel II.

14 GENETIKA
Hukum Pemilihan Bebas:
Segregasi suatu pasangan gen tidak bergantung kepada segregasi
pasangan gen lainnya sehingga di dalam gamet-gamet yang
terbentuk akan terjadi pemilihan kombinasi gen-gen secara bebas.

Diagram yang melukiskan kombinasi gamet ♂ dan gamet ♀ dalam


menghasilkan individu generasi F2 seperti pada Gambar 2.2 dinamakan
diagram Punnett. Ada cara lain yang dapat digunakan untuk
menentukan kombinasi gamet pada individu generasi F2, yaitu
menggunakan diagram anak garpu (fork line). Cara ini didasarkan pada
perhitungan matematika bahwa persilangan dihibrid merupakan dua kali
persilangan monohibrid. Untuk contoh persilangan sesama individu
GgWw, diagram anak garpunya adalah sebagai berikut.

Gg x Gg Ww x Ww
 
3 W-  9 G-W- (kuning, halus)
3 G- 1 ww  3 G-ww (kuning, keriput)
3 W-  3 ggW- (hijau, halus)
1 gg 1 ww  1 ggww (hijau, keriput)
Gambar 2.3. Diagram anak garpu pada persilangan dihibrid

Ternyata penentuan nisbah fenotipe F2 menggunakan diagram anak


garpu dapat dilakukan dengan lebih cepat dan dengan risiko kekeliruan
yang lebih kecil daripada penggunaan diagram Punnett. Kelebihan cara
diagram anak garpu ini akan lebih terasa apabila persilangan yang
dilakukan melibatkan lebih dari dua pasang gen (trihibrid, tetrahibrid, dan
seterusnya) atau pada persilangan-persilangan di antara individu yang
genotipenya tidak sama. Sebagai contoh, hasil persilangan antara AaBbcc
dan aaBbCc akan lebih mudah diketahui nisbah fenotipe dan genotipenya
apabila digunakan cara diagram anak garpu, yaitu

PRINSIP PEWARISAN MENDEL 15


Aa x aa Bb x Bb cc x Cc
  
1 C-  3 A-B-C-
3 B- 1 cc  3 A-B-cc
1 A- 1 bb 1 C-  1 A-bbC-
1 cc  1 A-bbcc
1 C-  3 aaB-C-
3 B- 1 cc  3 aaB-cc
1 aa 1 bb 1 C-  1 aabbC-
1 cc  1 aabbcc
(a)

Aa x aa Bb x Bb cc x Cc
  
1 Cc 1 AaBBCc
1 BB 1 cc 1 AaBBcc
1 Cc 2 AaBbCc
1 Aa 2 Bb 1 cc 2 AaBbcc
1 Cc 1 AabbCc
1 bb 1 cc 1 Aabbcc
1 BB 1 Cc 1 aaBBCc
1 cc 1 aaBBcc
1 aa 2 Bb 1 Cc 2 aaBbCc
1 cc 2 aaBbcc
1 bb 1 Cc 1 aabbCc
1 cc 1 aabbcc
(b)
Gambar 2.4. Contoh penggunaan diagram anak garpu
(a) Penentuan nisbah fenotipe
(b) Penentuan nisbah genotipe

16 GENETIKA
Formulasi Matematika pada Berbagai Jenis Persilangan
Individu F1 pada suatu persilangan monohibrid, misalnya Aa, akan
menghasilkan dua macam gamet, yaitu A dan a. Gamet-gamet ini, baik
dari individu jantan maupun betina, akan bergabung menghasilkan empat
individu F2 yang dapat dikelompokkan menjadi dua macam fenotipe (A-
dan aa) atau tiga macam genotipe (AA, Aa, dan aa). Sementara itu,
individu F1 pada persilangan dihibrid, misalnya AaBb, akan membentuk
empat macam gamet, masing-masing AB, Ab, aB, dan ab. Selanjutnya,
pada generasi F2 akan diperoleh 16 individu yang terdiri atas empat
macam fenotipe (A-B-, A-bb, aaB-, dan aabb) atau sembilan macam
genotipe (AABB, AABb, AAbb, AaBB, AaBb, Aabb, aaBB, aaBb, dan
aabb).
Dari angka-angka tersebut akan terlihat adanya hubungan
matematika antara jenis persilangan (banyaknya karakter atau pasangan
gen), macam gamet F1, jumlah individu F2, serta macam fenotipe dan
genotipe F2. Hubungan matematika akan diperoleh pula pada persilangan-
persilangan yang melibatkan karakter/pasangan gen yang lebih banyak
(trihibrid, tetrahibrid, dan seterusnya) sehingga secara ringkas dapat
ditentukan formulasi matematika seperti pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Formulasi matematika pada berbagai persilangan


Persilangan Macam Jumlah Macam Macam Nisbah fenotipe F2
gamet F1 individu fenotipe genotipe
F2 F2 F2
monohibrid 2 4 2 3 3:1
dihibrid 4 16 4 9 9:3:3:1
trihibrid 8 64 8 27 27 : 9 : 9 : 9 : 3 : 3 : 3 : 1
n hibrid 2n 4n 2n 3n (3 : 1)n

Pada kolom terakhir dapat dilihat adanya formulasi untuk nisbah


fenotipe F2. Kalau angka-angka pada nisbah 3 : 1 dijumlahkan lalu
dikuadratkan, maka akan didapatkan (3 + 1)2 = 32 + 2.3.1 + 12 = 9 + 3 + 3
+ 1, yang tidak lain merupakan angka-angka pada nisbah hasil
persilangan dihibrid. Demikian pula, jika dilakukan pemangkattigaan,
maka akan diperoleh (3 + 1)3 = 33 + 3.32.11 + 3.31.12+ 13 = 27 + 9 + 9 + 9
+ 3 + 3 + 3 + 1, yang merupakan angka-angka pada nisbah hasil
persilangan trihibrid. Oleh karena itu, nisbah fenotipe pada generasi F2
dapat diformulasikan sebagai (3 : 1)n.

PRINSIP PEWARISAN MENDEL 17


Silang Balik (Back Cross) dan Silang Uji (Test Cross)
Silang balik ialah persilangan suatu individu dengan salah satu
tetuanya. Sebagai contoh, individu Aa hasil persilangan antara AA dan aa
dapat disilangbalikkan, baik dengan AA maupun aa. Silang balik antara
Aa dan AA akan menghasilkan satu macam fenotipe, yaitu A-, atau dua
macam genotipe, yaitu AA dan Aa dengan nisbah 1 : 1. Sementara itu,
silang balik antara Aa dan aa akan menghasilkan dua macam fenotipe,
yaitu A- dan aa dengan nisbah 1 : 1, atau dua macam genotipe, yaitu Aa
dan aa dengan nisbah 1 : 1.
Manfaat praktis silang balik adalah untuk memasukkan gen
tertentu yang diinginkan ke dalam suatu individu. Melalui silang balik
yang dilakukan berulang-ulang, dapat dimungkinkan terjadinya
pemisahan gen-gen tertentu yang terletak pada satu kromosom sebagai
akibat berlangsungnya peristiwa pindah silang (lihat juga Bab IV). Hal ini
banyak diterapkan di bidang pertanian, misalnya untuk memisahkan gen
yang mengatur daya simpan beras dan gen yang menyebabkan rasa nasi
kurang enak. Dengan memisahkan dua gen yang terletak pada satu
kromosom ini, dapat diperoleh varietas padi yang berasnya tahan simpan
dan rasa nasinya enak.
Apabila suatu silang balik dilakukan dengan tetuanya yang
homozigot resesif, maka silang balik semacam ini disebut juga silang uji.
Akan tetapi, silang uji sebenarnya tidak harus terjadi antara suatu
individu dan tetuanya yang homozigot resesif. Pada prinsipnya semua
persilangan yang melibatkan individu homozigot resesif (baik tetua
maupun bukan tetua) dinamakan silang uji.
Istilah silang uji digunakan untuk menunjukkan bahwa persilangan
semacam ini dapat menentukan genotipe suatu individu. Sebagai contoh,
suatu tanaman yang fenotipenya tinggi (D-) dapat ditentukan
genotipenya, DD ataukah Dd, melalui silang uji dengan tanaman
homozigot resesif (dd). Kemungkinan hasilnya dapat dilihat pada
diagram berikut ini.

DD x dd Dd x dd
 
Dd (tinggi) 1 Dd (tinggi)
1 dd (pendek)
Gambar 2.5. Contoh diagram silang uji

Jadi, apabila tanaman tinggi yang disilang uji adalah homozigot (DD),
maka hasilnya berupa satu macam fenotipe, yaitu tanaman tinggi.
Sebaliknya, jika tanaman tersebut heterozigot (Dd), maka hasilnya ada dua
macam fenotipe, yaitu tanaman tinggi dan pendek dengan nisbah 1 : 1.

18 GENETIKA
DAFTAR PUSTAKA
Griffiths, AJF., Wessler, SR., Carroll, SB. and Doebley, J. 2020.
Introduction to Genetic Analysis. 12th Ed. W. H. Freeman & Co.,
New York.
Pierce, BA. 2012. Genetics: a Conceptual Approach 4th Ed. WH Freeman
& Co., New York.
Susanto, AH. 2011. Genetika. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

SOAL LATIHAN
1. Pernyataan tentang galur murni di bawah ini benar, KECUALI
A. dapat menghasilkan dua macam gamet, yaitu gamet dominan dan
gamet resesif.
B. mempunyai genotipe homozigot.
C. jika dikawinkan dengan sesamanya, akan menghasilkan genotipe
yang sama.
D. jika disilangkan dengan galur murni yang lain, akan menghasilkan
individu hibrid.
E. jika dibiarkan menyerbuk sendiri, tidak akan menghasilkan
individu dengan genotipe yang berbeda.
2. Pernyataan yang benar tentang gamet adalah
A. mempunyai kandungan gen setengah dari kandungan gen individu.
B. dapat mempunyai genotipe homozigot dominan.
C. dapat mempunyai genotipe homozigot resesif.
D. dapat mempunyai genotipe heterozigot.
E. dapat mempunyai genotipe homozigot dominan atau homozigot
resesif.
3. Untuk menghasilkan generasi F2, Mendel melakukan persilangan
antara
A. dua galur murni.
B. dua genotipe homozigot.
C. dua genotipe heterozigot.
D. genotipe homozigot dominan dan homozigot resesif.
E. genotipe heterozigot dan homozigot resesif.
4. Susunan genetik individu yang menentukan munculnya suatu sifat
tertentu disebut dengan
A. alel.
B. lokus.
C. fenotipe.
D. genotipe.
E. gen.

PRINSIP PEWARISAN MENDEL 19


5. Setiap gen dapat memiliki beberapa macam bentuk, yang masing-
masing dinamakan
A. filial.
B. alel.
C. lokus.
D. kromosom.
E. faktor herediter.
6. Kombinasi alel-alel tertentu pada suatu individu disebut dengan
A. lokus.
B. gen.
C. alel.
D. fenotipe.
E. genotipe.
7. Individu dengan genotipe AABbCCDdee dapat menghasilkan gamet
sebanyak
A. 1 macam.
B. 2 macam.
C. 3 macam.
D. 4 macam.
E. 5 macam.
8. Persilangan individu AaBBCCDd dengan individu AabbccDd dapat
menghasilkan
A. 2 fenotipe.
B. 3 fenotipe.
C. 4 fenotipe.
D. 5 fenotipe.
E. 6 fenotipe.
9. Persilangan individu AaBbCcDd dengan individu AabbccDd dapat
menghasilkan
A. 3 genotipe.
B. 6 genotipe.
C. 12 genotipe.
D. 24 genotipe.
E. 36 genotipe.
10. Di antara persilangan di bawah ini yang merupakan silang uji (test
cross) adalah
A. AA x AA.
B. AA x aa.
C. AA x Aa.
D. Aa x Aa.
E. aa x aa.

20 GENETIKA
KUNCI JAWABAN
1. A 6. E
2. A 7. D
3. C 8. C
4. D 9. E
5. B 10. B

Jika Anda menjawab soal dengan benar sebanyak


> 8 berarti Anda telah sangat menguasai materi bab ini dan dapat
melanjutkan mempelajari materi bab berikutnya.
6 – 7 berarti Anda telah cukup menguasai materi bab ini, tetapi
sebaiknya mengulang lagi mempelajari bagian yang jawaban
soalnya masih keliru.
< 5 berarti Anda kurang menguasai materi bab ini sehingga perlu
mempelajarinya kembali, terutama di bagian yang jawaban soalnya
masih keliru.

PRINSIP PEWARISAN MENDEL 21


Setelah mempelajari materi pada Bab III ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan pengertian dan macam-macam modifikasi prinsip Mendel, aplikasi
teori peluang dan uji Chi-square dalam pewarisan sifat, pengertian alel ganda,
serta menyelesaikan soal-soal hitungan tentang teori peluang, Chi-Square, dan
alel ganda.

P ercobaan-percobaan persilangan sering kali memberikan hasil yang


seakan-akan menyimpang dari hukum Mendel. Dalam hal ini
nampak bahwa nisbah fenotipe yang diperoleh mengalami
modifikasi dari nisbah yang seharusnya sebagai akibat terjadinya aksi gen
tertentu. Secara garis besar modifikasi nisbah Mendel dapat dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu modifikasi nisbah 3 : 1 dan modifikasi
nisbah 9 : 3 : 3 : 1.

Modifikasi Nisbah 3 : 1
Ada tiga peristiwa yang menyebabkan terjadinya modifikasi nisbah
3 : 1, yaitu semi dominansi, kodominansi, dan gen letal.

Semi dominansi
Peristiwa semi dominansi terjadi apabila suatu gen dominan tidak
menutupi pengaruh alel resesifnya dengan sempurna sehingga pada
individu heterozigot akan muncul sifat antara (intermedier). Dengan
demikian, individu heterozigot akan memiliki fenotipe yang berbeda
dengan fenotipe individu homozigot dominan. Akibatnya, pada generasi
F2 tidak didapatkan nisbah fenotipe 3 : 1, tetapi menjadi 1 : 2 : 1 seperti
halnya nisbah genotipe.
Contoh peristiwa semi dominansi dapat dilihat pada pewarisan
warna bunga pada tanaman bunga pukul empat (Mirabilis jalapa). Gen
yang mengatur warna bunga pada tanaman ini adalah M, yang
menyebabkan bunga berwarna merah, dan gen m, yang menyebabkan
bunga berwarna putih. Gen M tidak dominan sempurna terhadap gen m
sehingga warna bunga pada individu Mm bukannya merah, melainkan
merah muda. Oleh karena itu, hasil persilangan sesama genotipe Mm

22
akan menghasilkan generasi F2 dengan nisbah fenotipe merah : merah
muda : putih = 1 : 2 : 1.

Kodominansi
Seperti halnya semi dominansi, peristiwa kodominansi akan
menghasilkan nisbah fenotipe 1 : 2 : 1 pada generasi F 2. Bedanya,
kodominansi tidak memunculkan sifat antara pada individu heterozigot,
tetapi menghasilkan sifat yang merupakan hasil ekspresi masing-masing
alel. Dengan perkataan lain, kedua alel akan sama-sama diekspresikan
dan tidak saling menutupi.
Peristiwa kodominansi dapat dilihat misalnya pada pewarisan
golongan darah sistem ABO pada manusia (lihat juga bagian pada bab ini
tentang beberapa contoh alel ganda). Gen IA dan IB masing-masing
menyebabkan terbentuknya antigen A dan antigen B di dalam eritrosit
individu yang memilikinya. Pada individu dengan golongan darah AB
(bergenotipe IAIB) akan terdapat baik antigen A maupun antigen B di
dalam eritrositnya. Artinya, gen IA dan IB sama-sama diekspresikan pada
individu heterozigot tersebut.
Perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing
memiliki golongan darah AB dapat digambarkan seperti pada diagram
berikut ini.

IAIB x IAIB

1 IAIA (golongan darah A)
2 IAIB (golongan darah AB)
1 IBIB (golongan darah B)
Golongan darah A : AB : B = 1 : 2 : 1

Gambar 2.6. Diagram persilangan sesama individu bergolongan


darah AB

Gen letal
Gen letal ialah gen yang dapat mengakibatkan kematian pada
individu homozigot. Kematian ini dapat terjadi pada masa embrio atau
beberapa saat setelah kelahiran. Akan tetapi, adakalanya pula terdapat
sifat subletal, yang menyebabkan kematian pada waktu individu yang
bersangkutan menjelang dewasa.
Ada dua macam gen letal, yaitu gen letal dominan dan gen letal
resesif. Gen letal dominan dalam keadaan heterozigot dapat menimbulkan
efek subletal atau kelainan fenotipe, sedangkan gen letal resesif
cenderung menghasilkan fenotipe normal pada individu heterozigot.

PERLUASAN DAN IMPLIKASI PRINSIP MENDEL 23


Peristiwa letal dominan antara lain dapat dilihat pada ayam redep
(creeper), yaitu ayam dengan kaki dan sayap yang pendek serta
mempunyai genotipe heterozigot (Cpcp). Ayam dengan genotipe CpCp
mengalami kematian pada masa embrio. Apabila sesama ayam redep
dikawinkan, akan diperoleh keturunan dengan nisbah fenotipe ayam
redep (Cpcp) : ayam normal (cpcp) = 2 : 1. Hal ini karena ayam dengan
genotipe CpCp tidak pernah ada.
Sementara itu, gen letal resesif misalnya adalah gen penyebab
albino pada tanaman jagung. Tanaman jagung dengan genotipe gg akan
mengalami kematian setelah cadangan makanan di dalam biji habis,
karena tanaman ini tidak mampu melakukan fotosintesis sehubungan
dengan tidak adanya khlorofil. Tanaman Gg memiliki warna hijau
kekuningan, sedang tanaman GG adalah hijau normal. Persilangan antara
sesama tanaman Gg akan menghasilkan keturunan dengan nisbah
fenotipe normal (GG) : kekuningan (Gg) = 1 : 2.

Modifikasi Nisbah 9 : 3 : 3 : 1
Modifikasi nisbah 9 : 3 : 3 : 1 disebabkan oleh peristiwa yang
dinamakan epistasis, yaitu penutupan ekspresi suatu gen nonalelik. Jadi,
dalam hal ini suatu gen bersifat dominan terhadap gen lain yang bukan
alelnya. Ada beberapa macam epistasis, masing-masing menghasilkan
nisbah fenotipe yang berbeda pada generasi F2.

Epistasis resesif
Peristiwa epistasis resesif terjadi apabila suatu gen resesif
menutupi ekspresi gen lain yang bukan alelnya. Akibat peristiwa ini, pada
generasi F2 akan diperoleh nisbah fenotipe 9 : 3 : 4.
Contoh epistasis resesif dapat dilihat pada pewarisan warna bulu
mencit (Mus musculus). Ada dua pasang gen nonalelik yang mengatur
warna bulu pada mencit, yaitu gen A yang menyebabkan bulu berwarna
kelabu, gen a yang menyebabkan bulu berwarna hitam, gen C yang
menyebabkan pigmentasi normal, dan gen c yang menyebabkan tidak
adanya pigmentasi. Persilangan antara mencit berbulu kelabu (AACC)
dan albino (aacc) dapat digambarkan seperti pada diagram berikut ini.

24 GENETIKA
P: AACC x aacc
kelabu albino

F1 : AaCc
kelabu
F2 : 9 A-C- kelabu
3 A-cc albino kelabu : hitam : albino =
3 aaC- hitam 9 : 3 : 4
1 aacc albino

Gambar 2.7. Diagram persilangan epistasis resesif

Epistasis dominan
Pada peristiwa epistasis dominan terjadi penutupan ekspresi gen
oleh suatu gen dominan yang bukan alelnya. Nisbah fenotipe pada
generasi F2 dengan adanya epistasis dominan adalah 12 : 3 : 1.
Peristiwa epistasis dominan dapat dilihat misalnya pada pewarisan
warna buah waluh besar (Cucurbita pepo). Dalam hal ini terdapat gen Y
yang menyebabkan buah berwarna kuning dan alelnya y yang
menyebabkan buah berwarna hijau. Selain itu, ada gen W yang
menghalangi pigmentasi dan w yang tidak menghalangi pigmentasi.
Persilangan antara waluh putih (WWYY) dan waluh hijau (wwyy)
menghasilkan nisbah fenotipe generasi F2 sebagai berikut.

P: WWYY x wwyy
putih hijau

F1 : WwYy
putih
F2 : 9 W-Y- putih
3 W-yy putih putih : kuning : hijau =
3 wwY- kuning 12 : 3 : 1
1 wwyy hijau

Gambar 2.8. Diagram persilangan epistasis dominan

Epistasis resesif ganda


Apabila gen resesif dari suatu pasangan gen, katakanlah gen I,
epistatis terhadap pasangan gen lain, katakanlah gen II, yang bukan
alelnya, sementara gen resesif dari pasangan gen II ini juga epistatis
terhadap pasangan gen I, maka epistasis yang terjadi dinamakan epistasis
resesif ganda. Epistasis ini menghasilkan nisbah fenotipe 9 : 7 pada
generasi F2.

PERLUASAN DAN IMPLIKASI PRINSIP MENDEL 25


Sebagai contoh peristiwa epistasis resesif ganda dapat
dikemukakan pewarisan kandungan HCN pada tanaman Trifolium
repens. Terbentuknya HCN pada tanaman ini dapat dilukiskan secara
skema sebagai berikut.

gen L gen H
 
Bahan dasar enzim L glukosida sianogenik enzim H HCN

Gen L menyebabkan terbentuknya enzim L yang mengatalisis perubahan


bahan dasar menjadi bahan antara berupa glukosida sianogenik. Alelnya,
l, menghalangi pembentukan enzim L. Gen H menyebabkan terbentuknya
enzim H yang mengatalisis perubahan glukosida sianogenik menjadi
HCN, sedangkan gen h menghalangi pembentukan enzim H. Dengan
demikian, l epistatis terhadap H dan h, sementara h epistatis terhadap L
dan l. Persilangan dua tanaman dengan kandungan HCN yang sama-sama
rendah tetapi genotipenya berbeda, yaitu LLhh dan llHH, dapat
digambarkan sebagai berikut.

P: LLhh x llHH
HCN rendah HCN rendah

F1 : LlHh
HCN tinggi
F2 : 9 L-H- HCN tinggi
3 L-hh HCN rendah HCN tinggi : HCN rendah =
3 llH- HCN rendah 9 : 7
1 llhh HCN rendah

Gambar 2.9. Diagram persilangan epistasis resesif ganda

Epistasis dominan ganda


Apabila gen dominan dari pasangan gen I epistatis terhadap
pasangan gen II yang bukan alelnya, sementara gen dominan dari
pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I, maka epistasis
yang terjadi dinamakan epistasis dominan ganda. Epistasis ini
menghasilkan nisbah fenotipe 15 : 1 pada generasi F2.
Contoh peristiwa epistasis dominan ganda dapat dilihat pada
pewarisan bentuk buah Capsella. Ada dua macam bentuk buah Capsella,
yaitu segitiga dan oval. Bentuk segitiga disebabkan oleh gen dominan C
dan D, sedangkan bentuk oval disebabkan oleh gen resesif c dan d.
Dalam hal ini, C dominan terhadap D dan d, sedangkan D dominan
terhadap C dan c.

26 GENETIKA
P: CCDD x ccdd
segitiga oval

F1 : CcDd
segitiga
F2 : 9 C-D- segitiga
3 C-dd segitiga segitiga : oval = 15 : 1
3 ccD- segitiga
1 ccdd oval

Gambar 2.10. Diagram persilangan epistasis dominan ganda

Epistasis dominan-resesif
Epistasis dominan-resesif terjadi apabila gen dominan dari
pasangan gen I epistatis terhadap pasangan gen II yang bukan alelnya,
sementara gen resesif dari pasangan gen II ini juga epistatis terhadap
pasangan gen I. Epistasis ini menghasilkan nisbah fenotipe 13 : 3 pada
generasi F2.
Contoh peristiwa epistasis dominan-resesif dapat dilihat pada
pewarisan warna bulu ayam ras. Dalam hal ini terdapat pasangan gen I,
yang menghalangi pigmentasi, dan alelnya, i, yang tidak menghalangi
pigmentasi. Selain itu, terdapat gen C, yang menimbulkan pigmentasi,
dan alelnya, c, yang tidak menimbulkan pigmentasi. Gen I dominan
terhadap C dan c, sedangkan gen c dominan terhadap I dan i.

P: IICC x iicc
putih putih

F1 : IiCc
putih
F2 : 9 I-C- putih
3 I-cc putih putih : berwarna = 13 : 3
3 iiC- berwarna
1 iicc putih

Gambar 2.11. Diagram persilangan epistasis dominan-resesif

Epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif


Pada Cucurbita pepo dikenal tiga macam bentuk buah, yaitu
cakram, bulat, dan lonjong. Gen yang mengatur pemunculan fenotipe
tersebut ada dua pasang, masing-masing B dan b serta L dan l. Apabila
pada suatu individu terdapat sebuah atau dua buah gen dominan dari
salah satu pasangan gen tersebut, maka fenotipe yang muncul adalah

PERLUASAN DAN IMPLIKASI PRINSIP MENDEL 27


bentuk buah bulat (B-ll atau bbL-). Sementara itu, apabila sebuah atau
dua buah gen dominan dari kedua pasangan gen tersebut berada pada
suatu individu, maka fenotipe yang dihasilkan adalah bentuk buah
cakram (B-L-). Adapun fenotipe tanpa gen dominan (bbll) akan berupa
buah berbentuk lonjong. Pewarisan sifat semacam ini dinamakan epistasis
gen duplikat dengan efek kumulatif.

P: BBLL x bbll
cakram lonjong

F1 : BbLl
cakram
F2 : 9 B-L- cakram
3 B-ll bulat cakram : bulat : lonjong = 9 : 6 : 1
3 bbL- bulat
1 bbll lonjong

Gambar 2.12. Diagram persilangan epistasis gen duplikat dengan


efek kumulatif

Interaksi Gen
Selain mengalami berbagai modifikasi nisbah fenotipe karena
adanya peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula penyimpangan semu
terhadap hukum Mendel yang tidak melibatkan modifikasi nisbah
fenotipe, tetapi menimbulkan fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil
kerja sama atau interaksi dua pasang gen nonalelik. Peristiwa semacam
ini dinamakan interaksi gen.
Peristiwa interaksi gen pertama kali dilaporkan oleh W. Bateson
dan R.C. Punnet setelah mereka mengamati pola pewarisan bentuk/tipe
jengger ayam. Dalam hal ini, terdapat empat macam tipe jengger ayam,
yaitu walnut, mawar, kacang, dan tunggal, seperti dapat dilihat pada
Gambar 2.13.

28 GENETIKA
Gambar 2.13. Bentuk jengger ayam dari galur yang berbeda
(sumber: Pierce, 2012)
(a) = tipe walnut (b) = tipe mawar (c) = tipe kacang (d) = tipe tunggal

Persilangan ayam berjengger mawar dengan ayam berjengger


kacang menghasilkan keturunan dengan bentuk jengger yang sama sekali
berbeda dengan bentuk jengger kedua tetuanya. Ayam hibrid hasil
persilangan ini memiliki jengger berbentuk walnut. Selanjutnya, apabila
ayam berjengger walnut disilangkan dengan sesamanya, maka diperoleh
generasi F2 dengan nisbah fenotipe walnut : mawar : kacang : tunggal = 9
: 3 : 3 : 1.
Dari nisbah fenotipe tersebut, terlihat adanya satu kelas fenotipe
yang sebelumnya tidak pernah dijumpai, yaitu bentuk jengger tunggal.
Munculnya fenotipe ini, dan juga fenotipe walnut, mengindikasikan
adanya keterlibatan dua pasang gen nonalelik yang berinteraksi untuk
menghasilkan suatu fenotipe. Kedua pasang gen tersebut masing-masing
ditunjukkan oleh fenotipe mawar dan fenotipe kacang.
Apabila gen yang bertanggung jawab atas munculnya fenotipe
mawar adalah R, sedangkan gen untuk fenotipe kacang adalah P, maka
keempat macam fenotipe tersebut masing-masing dapat dituliskan
sebagai R-pp untuk mawar, rrP- untuk kacang, R-P- untuk walnut, dan
rrpp untuk tunggal. Dengan demikian, diagram persilangan untuk
pewarisan bentuk jengger ayam dapat dijelaskan seperti pada Gambar
2.14.

PERLUASAN DAN IMPLIKASI PRINSIP MENDEL 29


P: RRpp x rrPP
mawar kacang

F1 : RrPp
walnut
F2 : 9 R-P- walnut
3 R-pp mawar walnut : mawar : kacang : tunggal
3 rrP- kacang = 9 : 3 : 3 : 1
1 rrpp tunggal

Gambar 2.14. Diagram persilangan interaksi gen nonalelik

Teori Peluang
Percobaan-percobaan persilangan secara teori akan menghasilkan
keturunan dengan nisbah tertentu. Nisbah teoretis ini pada hakekatnya
merupakan peluang diperolehnya suatu hasil, baik berupa fenotipe
maupun genotipe. Sebagai contoh, persilangan monohibrid antara sesama
individu Aa akan memberikan nisbah fenotipe A- : aa = 3 : 1 dan nisbah
genotipe AA : Aa : aa = 1 : 2 : 1 pada generasi F2. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa peluang diperolehnya fenotipe A- dari persilangan
tersebut adalah 3/4, sedangkan peluang munculnya fenotipe aa adalah
1/4. Begitu juga, untuk genotipe, peluang munculnya AA, Aa, dan aa
masing-masing adalah 1/4, 2/4 (=1/2), dan 1/4.
Peluang munculnya suatu kejadian dapat didefinisikan sebagai
nisbah munculnya kejadian tersebut terhadap seluruh kejadian. Nilai
peluang berkisar dari 0 (0%) hingga 1 (100%). Kejadian yang tidak
pernah muncul sama sekali dikatakan memiliki peluang = 0, sedangkan
kejadian yang selalu muncul dikatakan memiliki peluang = 1.
Dua kejadian independen untuk muncul bersama-sama akan
memiliki peluang yang besarnya sama dengan hasil kali masing-masing
peluang kejadian. Sebagai contoh, kejadian I dan II yang independen
masing-masing memiliki peluang = 1/2. Peluang bagi kejadian I dan II
untuk muncul bersama-sama = 1/2 x 1/2 = 1/4. Contoh lainnya adalah
pada pelemparan dua mata uang logam sekaligus. Jika peluang untuk
mendapatkan salah satu sisi mata uang = 1/2, maka peluang untuk
mendapatkan sisi mata uang tersebut pada dua mata uang logam yang
dilempar sekaligus = 1/2 x 1/2 = 1/4.
Apabila ada dua kejadian, misalnya A dan B yang masing-masing
memiliki peluang kemunculan sebesar p dan q, maka sebaran peluang
kemunculan kedua kejadian tersebut adalah (p + q)n. Dalam hal ini, n
menunjukkan banyaknya ulangan yang dilakukan untuk memunculkan
kejadian tersebut. Untuk jelasnya bisa dilihat contoh soal berikut ini.

30 GENETIKA
Berapa peluang untuk memperoleh tiga sisi bergambar burung
garuda dan dua sisi tulisan pada uang logam Rp 100,00 apabila lima mata
uang logam tersebut dilemparkan bersama-sama secara independen?
Jawab: Peluang untuk memperoleh sisi gambar = p = 1/2, sedangkan
peluang memperoleh sisi tulisan = q = 1/2. Sebaran peluang memperoleh
kedua sisi tersebut = (p + q)5 = p5 + 5 p4q + 10 p3q2 + 10 p2q3 + 5 pq4 + q5.
Dengan demikian, peluang untuk memperoleh tiga sisi gambar dan dua
sisi tulisan = 10 p3q2 = 10 (1/2)3(1/2)2 = 10/32.
Contoh lain penghitungan peluang misalnya pada sepasang suami-
istri yang masing-masing pembawa (karier) sifat albino. Gen penyebab
albino adalah gen resesif a. Jika mereka ingin memiliki empat orang anak
yang semuanya normal, maka peluang terpenuhinya keinginan tersebut
adalah 81/256. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

Aa x Aa
suami istri

3 A- (normal)
1 aa (albino)

Peluang munculnya anak normal = 3/4 (misalnya = p)


Peluang munculnya anak albino = 1/4 (misalnya = q)
Karena ingin diperoleh empat anak, maka sebaran peluangnya
= (p + q)4
= p4 + 4p3q + 6p2q2 + 4pq3 + q4
Peluang mendapatkan empat anak normal = p4 = (3/4)4 = 81/256

Uji X2 (Chi-square test)


Pada kenyataannya nisbah teoretis yang merupakan peluang
diperolehnya suatu hasil percobaan persilangan tidak selalu terpenuhi.
Penyimpangan (deviasi) yang terjadi bukan sekedar modifikasi terhadap
nisbah Mendel seperti yang telah diuraikan di atas, melainkan sesuatu
yang adakalanya tidak dapat diterangkan secara teori. Agar lebih jelas,
berikut ini akan diberikan sebuah contoh.
Suatu persilangan antara sesama individu dihibrid (AaBb)
menghasilkan keturunan yang terdiri atas empat macam fenotipe, yaitu A-
B-, A-bb, aaB-, dan aabb masing-masing sebanyak 315, 108, 101, dan 32.
Untuk menentukan bahwa hasil persilangan ini masih memenuhi nisbah
teoretis (9 : 3 : 3 : 1) atau menyimpang dari nisbah tersebut perlu
dilakukan suatu pengujian secara statistika. Uji yang lazim digunakan
adalah uji X2 (Chi-square test) atau ada yang menamakannya uji
kecocokan (goodness of fit).

PERLUASAN DAN IMPLIKASI PRINSIP MENDEL 31


Untuk melakukan uji X2 terhadap hasil percobaan seperti pada
contoh tersebut di atas, terlebih dahulu dibuat tabel sebagai berikut.

Tabel 2.1. Contoh pengujian hasil persilangan dihibrid


Kelas O E d = [O-E] d2/E
fenotipe (hasil (hasil yang
percobaan) diharapkan)
A-B- 315 9/16 x 556 = 312,75 2,25 0,016
A-bb 108 3/16 x 556 = 104,25 3,75 0,135
aaB- 101 3/16 x 556 = 104,25 3,25 0,101
aabb 32 1/16 x 556 = 34,75 2,75 0,218
Jumlah 556 556 X2h = 0,470

Pada tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa hasil percobaan


dimasukkan ke dalam kolom O (observed) sesuai dengan kelas
fenotipenya masing-masing. Untuk memperoleh nilai E (expected atau
hasil yang diharapkan), dilakukan perhitungan menurut proporsi tiap
kelas fenotipe. Selanjutnya, nilai d (deviasi) adalah selisih antara O dan
E. Pada kolom paling kanan nilai d dikuadratkan dan dibagi dengan nilai
E masing-masing, untuk kemudian dijumlahkan hingga dihasilkan nilai
X2h atau X2 hitung. Nilai X2h inilah yang nantinya akan dibandingkan
dengan nilai X2 yang terdapat dalam tabel X2 (disebut nilai X2tabel) yang
disingkat menjadi X2t. Apabila X2h lebih kecil daripada X2t dengan
peluang tertentu (biasanya digunakan nilai 0,05), maka dikatakan bahwa
hasil persilangan yang diuji masih memenuhi nisbah Mendel. Sebaliknya,
apabila X2h lebih besar daripada X2t, maka dikatakan bahwa hasil
persilangan yang diuji tidak memenuhi nisbah Mendel pada nilai peluang
tertentu (biasanya 0,05).
Adapun nilai X2t yang akan digunakan sebagai pembanding bagi
nilai X2h dicari dengan cara sebagai berikut. Kita tentukan terlebih dahulu
nilai derajad bebas (DB), yang merupakan banyaknya kelas fenotipe
dikurangi satu. Jadi, pada contoh di atas nilai DB nya adalah 4 - 1 = 3.
Selanjutnya, besarnya nilai DB ini akan menentukan baris yang harus
dilihat pada tabel X2. Setelah barisnya ditentukan, untuk mendapatkan
nilai X2t pembanding dilihat kolom peluang 0,05. Dengan demikian, nilai
X2t pada contoh tersebut adalah 7,815. Oleh karena nilai X2h (0,470) lebih
kecil daripada nilai X2t (7,815), maka dikatakan bahwa hasil persilangan
tersebut masih memenuhi nisbah Mendel.

32 GENETIKA
Tabel 2.2. Tabel X2
Derajad Peluang
Bebas
0,95 0,80 0,50 0,20 0,05 0,01 0,005
1 0,004 0,064 0,455 1,642 3,841 6,635 7,879
2 0,103 0,446 1,386 3,219 5,991 9,210 10,597
3 0,352 1,005 2,366 4,642 7,815 11,345 12,838
4 0,711 1,649 3,357 5,989 9,488 13,277 14,860
5 1,145 2,343 4,351 7,289 11,070 15,086 16,750
6 1,635 3,070 5,348 8,558 12,592 16,812 18,548
7 2,167 3,822 6,346 9,803 14,067 18,475 20,278
8 2,733 4,594 7,344 11,030 15,507 20,090 21,955
9 3,325 5,380 8,343 12,242 16,919 21,666 23,589
10 3,940 6,179 9,342 13,442 18,307 23,209 25,188
15 7,261 10,307 14,339 19,311 24,996 30,578 32,801
20 10,851 14,578 19,337 25,038 31,410 37,566 39,997
25 14,611 18,940 24,337 30,675 37,652 44,314 46,928
30 18,493 23,364 29,336 36,250 43,773 50,892 53,672

Alel Ganda
Pada Bab II telah disinggung bahwa alel merupakan bentuk
alternatif suatu gen yang terdapat pada lokus (tempat) tertentu. Individu
dengan genotipe AA dikatakan mempunyai alel A, sedangkan individu aa
mempunyai alel a. Demikian pula, individu Aa memiliki dua macam alel,
yaitu A dan a. Jadi, lokus A dapat ditempati oleh sepasang (dua buah)
alel, yaitu AA, Aa atau aa, bergantung kepada genotipe individu yang
bersangkutan.
Namun, kenyataan yang sebenarnya lebih umum dijumpai adalah
bahwa pada suatu lokus tertentu dimungkinkan munculnya lebih dari
hanya dua macam alel sehingga lokus tersebut dikatakan memiliki
sederetan alel. Fenomena semacam ini disebut sebagai alel ganda
(multiple alleles).
Meskipun demikian, pada individu diploid, yaitu individu yang tiap
kromosomnya terdiri atas sepasang kromosom homolog, betapa pun
banyaknya alel yang ada pada suatu lokus, yang muncul hanyalah
sepasang (dua buah). Katakanlah pada lokus X terdapat alel X1, X2, X3, X4,
X5. Maka, genotipe individu diploid yang mungkin akan muncul antara
lain X1X1, X1X2, X1X3, X2X2, dan seterusnya. Secara matematika hubungan
antara banyaknya anggota alel ganda dan banyaknya genotipe individu
diploid dapat diformulasikan sebagai berikut.

PERLUASAN DAN IMPLIKASI PRINSIP MENDEL 33


Banyaknya genotipe = 1/2 n (n + 1)

atau

(n + 1)!
Banyaknya genotipe =
2! (n - 1)!

n = banyaknya anggota alel ganda

Beberapa Contoh Kasus Alel Ganda


Alel ganda pada lalat Drosophila
Lokus w pada Drosophila melanogaster mempunyai sederetan alel
dengan perbedaan tingkat aktivitas dalam produksi pigmen mata yang
dapat diukur menggunakan spektrofotometer. Tabel 2.3 memperlihatkan
konsentrasi relatif pigmen mata yang dihasilkan oleh berbagai macam
genotipe homozigot pada lokus w.

Tabel 2.3. Konsentrasi relatif pigmen mata pada berbagai genotipe


D. melanogaster
Genotipe Konsentrasi relatif Genotipe Konsentrasi relatif
pigmen mata pigmen mata
terhadap pigmen terhadap pigmen
total total
ww 0,0044 wsatwsat 0,1404
wawa 0,0197 wcolwcol 0,1636
e e +s +s
ww 0,0324 w w 0,6859
wchwch 0,0410 w+cw+c 0,9895
wcowco 0,0798 w+Gw+G 1,2548

Alel ganda pada tanaman


Contoh umum alel ganda pada tanaman ialah alel s, yang berperan
dalam mempengaruhi sterilitas. Ada dua macam sterilitas yang dapat
disebabkan oleh alel s, yaitu sterilitas sendiri (self sterility) dan sterilitas
silang (cross sterility). Mekanisme terjadinya sterilitas oleh alel s pada
garis besarnya berupa kegagalan pembentukan saluran serbuk sari (pollen
tube) akibat adanya semacam reaksi antigen - antibodi antara saluran
tersebut dan dinding pistil.

34 GENETIKA
s2s3
s1s2 s1s2

s1s2 s 1s 2 s2s3
Gambar 2.15. Diagram sterilitas s
= fertil
= steril

Alel ganda pada kelinci


Pada kelinci terdapat alel ganda yang mengatur warna bulu. Alel
ganda ini mempunyai empat anggota, yaitu c+, cch, ch, dan c, masing-
masing untuk tipe liar, cincila, himalayan, dan albino. Tipe liar, atau
sering disebut juga agouti, ditandai oleh pigmentasi penuh; cincila
ditandai oleh warna bulu kelabu keperak-perakan; himalayan berwarna
putih dengan ujung hitam, terutama pada anggota badan. Urutan
dominansi keempat alel tersebut adalah c+ > cch > ch > c dengan sifat
dominansi penuh. Sebagai contoh, genotipe heterozigot cchc, akan
mempunyai bulu tipe cincila.

Golongan darah sistem ABO pada manusia


Pada tahun 1900 K. Landsteiner menemukan lokus ABO pada
manusia yang terdiri atas tiga buah alel, yaitu IA, IB, dan I0. Dalam
keadaan heterozigot IA dan IB bersifat kodominan, sedangkan I0
merupakan alel resesif (lihat juga bagian kodominansi pada bab ini).
Genotipe dan fenotipe individu pada sistem ABO dapat dilihat pada
Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Genotipe dan fenotipe individu pada sistem ABO


Genotipe Fenotipe
IAIA atau IAI0 A
IBIB atau IBI0 B
A B
II AB
I0I0 O

PERLUASAN DAN IMPLIKASI PRINSIP MENDEL 35


Lokus ABO mengatur tipe glikolipid pada permukaan eritrosit
dengan cara memberikan spesifikasi jenis enzim yang mengatalisis
pembentukan polisakarida di dalam eritrosit tersebut. Glikolipid yang
dihasilkan akan menjadi penentu karakteristika reaksi antigenik tehadap
antibodi yang terdapat di dalam serum darah. Antibodi adalah zat
penangkal terhadap berbagai zat asing (antigen) yang masuk ke dalam
tubuh.
Dalam tubuh seseorang tidak mungkin terjadi reaksi antara antigen
dan antibodi yang dimilikinya sendiri. Namun, pada transfusi darah
kemungkinan terjadinya reaksi antigen-antibodi yang mengakibatkan
terjadinya aglutinasi (penggumpalan) eritrosit tersebut sangat perlu untuk
diperhatikan agar dapat dihindari. Tabel 2.5 memperlihatkan
kompatibilitas golongan darah sistem ABO pada transfusi darah.

Tabel 2.5. Kompatibilitas golongan darah sistem ABO pada


transfusi darah.
Golongan Antigen Antibodi Eritrosit Golongan
darah dalam dalam yang darah donor
eritrosit serum digumpalkan
A A anti B B dan AB A dan O
B B anti A A dan AB B dan O
AB A dan B - - A, B, AB,
dan O
O - anti A dan A, B, dan AB O
anti B

Selain tipe ABO, K. Landsteiner, bersama-sama dengan P. Levine,


pada tahun 1927 berhasil mengklasifikasi golongan darah manusia
dengan sistem MN. Sama halnya dengan sistem ABO, pengelompokan
pada sistem MN ini dilakukan berdasarkan atas reaksi antigen - antibodi
seperti dapat dilhat pada Tabel 2.6. Namun, kontrol gen pada golongan
darah sistem MN tidak berupa alel ganda, tetapi dalam hal ini hanya ada
sepasang alel, yaitu IM dan IN , yang bersifat kodominan. Dengan
demikian, terdapat tiga macam fenotipe yang dimunculkan oleh tiga
macam genotipe, masing-masing golongan darah M (IMIM), golongan
darah MN (IMIN), dan golongan darah N (ININ).

Tabel 2.6. Golongan darah sistem MN


Genotipe Fenotipe Anti M Anti N
M M
I I M + -
IMIN MN + +
ININ N - +

36 GENETIKA
Sebenarnya masih banyak lagi sistem golongan darah pada
manusia. Saat ini telah diketahui terdapat lebih dari 30 lokus yang
mengatur sistem golongan darah, dan masing-masing mempunyai alel
yang menentukan jenis antigen pada permukaan eritrosit. Namun, di
antara sekian banyak lokus yang dikenal tersebut, sistem ABO dan MN
merupakan dua dari tiga sistem golongan darah pada manusia yang paling
penting. Satu sistem lainnya adalah sistem Rh (resus).
Sistem Rh pertama kali ditemukan oleh K. Landsteiner, bersama
dengan A.S. Wiener, pada tahun 1940. Mereka menemukan antibodi dari
kelinci yang diimunisasi dengan darah seekor kera (Macaca rhesus).
Antibodi yang dihasilkan oleh kelinci tersebut ternyata tidak hanya
menggumpalkan eritrosit kera donor, tetapi juga eritrosit sebagian besar
orang kulit putih di New York. Individu yang memperlihatkan reaksi
antigen-antibodi ini disebut Rh positif (Rh+), sedangkan yang tidak
disebut Rh negatif (Rh-).
Pada mulanya kontrol genetik sistem Rh diduga sangat sederhana,
yaitu R untuk Rh+ dan r untuk Rh-. Namun, dari temuan berbagai antibodi
yang baru, berkembang hipotesis bahwa faktor Rh dikendalikan oleh alel
ganda. Hal ini dikemukakan oleh Wiener. Sementara itu, R.R. Race dan
R.A. Fiescher mengajukan hipotesis bahwa kontrol genetik untuk sistem
Rh adalah poligen (lihat juga Bab XI).
Menurut hipotesis poligen, ada tiga lokus yang mengatur sistem
Rh. Oleh karena masing-masing lokus mempunyai sepasang alel, maka
ada enam alel yang mengatur sistem Rh, yaitu C, c D, d, E, dan e. Kecuali
d, tiap alel ini menentukan adanya antigen tertentu pada eritrosit, yang
diberi nama sesuai dengan alel yang mengaturnya. Jadi, ada antigen C, c,
D, E, dan e. Dari lokus C dapat diperoleh tiga macam fenotipe, yaitu CC
(menghasilkan antigen C), Cc (menghasilkan antigen C dan c), serta cc
(menghasilkan antigen c). Begitu juga, dari lokus E akan diperoleh tiga
macam fenotipe, yaitu EE, Ee, dan ee. Akan tetapi, dari lokus D hanya
dimungkinkan adanya dua macam fenotipe, yaitu D- (menghasilkan
antigen D) dan dd (tidak menghasilkan antigen D). Fenotipe D- dan dd
inilah yang masing-masing menentukan suatu individu akan dikatakan
sebagai Rh+ ataukah Rh-. Secara keseluruhan kombinasi alel pada ketiga
lokus tersebut dapat memberikan 18 macam fenotipe (sembilan Rh+ dan
sembilan Rh-).
Bertemunya antibodi Rh (anti D) yang dimiliki oleh seorang
wanita dengan janin yang sedang dikandungnya dapat mengakibatkan
suatu gangguan darah yang serius pada janin tersebut. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena antibodi Rh (anti D) pada ibu tadi dapat
bergerak melintasi plasenta dan menyerang eritrosit janin. Berbeda
dengan antibodi anti A atau anti B, yang biasanya sulit untuk menembus

PERLUASAN DAN IMPLIKASI PRINSIP MENDEL 37


halangan plasenta, antibodi Rh mudah melakukannya karena ukuran
molekulnya yang relatif kecil.
Penyakit darah yang disebabkan oleh faktor Rh terjadi apabila
seorang wanita Rh- (dd) menikah dengan pria Rh+ (DD) sehingga
genotipe anaknya adalah Dd. Pada masa kehamilan sering kali terjadi
percampuran darah antara ibu dan anaknya sehingga dalam perkawinan
semacam itu ibu yang Rh- akan memperoleh imunisasi dari anaknya yang
Rh+. Apabila wanita tersebut mengandung janin Dd secara berturut-turut,
maka ia akan menghasilkan antibodi anti D. Biasanya tidak akan terjadi
efek yang merugikan terhadap anak yang pertama akibat reaksi penolakan
tersebut. Akan tetapi, anak yang lahir berikutnya dapat mengalami gejala
penyakit yang disebut eritroblastosis fetalis. Pada tingkatan berat
penyakit ini dapat mengakibatkan kematian.
Dengan adanya peluang reaksi antigen - antibodi dalam golongan
darah manusia, maka dilihat dari kompatibiltas golongan darah antara
suami dan istri dapat dibedakan dua macam perkawinan, masing-masing
1. Perkawinan yang kompatibel, yaitu perkawinan yang tidak
memungkinkan berlangsungnya reaksi antigen-antibodi di antara ibu
dan anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut.
2. Perkawinan yang inkompatibel, perkawinan yang memungkinkan
berlangsungnya reaksi antigen-antibodi di antara ibu dan anak yang
dihasilkan dari perkawinan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Griffiths, AJF., Wessler, SR., Carroll, SB. and Doebley, J. 2020.
Introduction to Genetic Analysis. 12th Ed. W. H. Freeman & Co.,
New York.
Pierce, BA. 2012. Genetics: a Conceptual Approach 4th Ed. WH Freeman
& Co., New York.
Susanto, AH. 2011. Genetika. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

SOAL LATIHAN
1. Peristiwa di bawah ini menghasilkan penyimpangan semu terhadap
Hukum Mendel II, KECUALI
A. interaksi gen.
B. semidominansi.
C. epistasis resesif.
D. epistasis dominan.
E. epistasis gen duplikat.

38 GENETIKA
2. Pernyataan yang benar tentang epistasis adalah
A. merupakan penyimpangan semu terhadap Hukum Mendel I.
B. menghasilkan modifikasi nisbah 3 : 1.
C. dominansi gen terhadap gen lain yang bukan alelnya.
D. dominansi gen terhadap alelnya.
E. menimbulkan efek letal.
3. Perkawinan antara pria albino dan wanita karier akan menghasilkan
keturunan dengan kemungkinan
A. ¾ normal dan ¼ albino.
B. ½ normal dan ½ albino.
C. ¼ normal dan ¾ albino.
D. semua normal.
E. semua albino.
4. Jika pada perkawinan pria albino dengan wanita karier direncanakan
untuk memiliki empat orang anak, maka distribusi peluangnya adalah
A. p4 + q4.
B. p4 + 2p2q2 + q4.
C. p4 + 3p3q + 3 pq3 + q4.
D. p4 + 2p3q + 4p2q2 + 2 pq3 + q4.
E. p4 + 4p3q + 6p2q2 + 4pq3 + q4.
5. Jika p = peluang normal dan q = peluang albino, maka peluang untuk
mendapatkan tiga anak normal dan satu anak albino dari pasangan
suami albino dan istri karier adalah
A. 4p2q2.
B. 4pq3.
C. 4p3q.
D. 6p3q.
E. 6p2q2.
6. Peluang untuk mendapatkan dua anak yang semuanya normal dari
pasangan suami albino dan istri karier adalah
A. 1/4.
B. 3/16.
C. 9/16.
D. 25/64.
E. 81/256.
7. Pada uji X2 terhadap hasil persilangan antara AABb dan aabb terdapat
kelas fenotipe sebanyak
A. 2.
B. 4.
C. 6.
D. 8.
E. 16.

PERLUASAN DAN IMPLIKASI PRINSIP MENDEL 39


8. Banyaknya keturunan dengan fenotipe A-bb yang dapat diharapkan
dari hasil persilangan antara AABb dan aabb adalah
A. 3/16 x jumlah seluruh keturunan.
B. 3/8 x jumlah seluruh keturunan.
C. 1/8 x jumlah seluruh keturunan.
D. 1/4 x jumlah seluruh keturunan.
E. 1/2 x jumlah seluruh keturunan.
9. Nilai derajad bebas yang dilihat pada tabel X2 untuk menguji hasil
persilangan antara AABb dan aabb adalah
A. 1.
B. 2.
C. 3.
D. 4.
E. 5.
10. Jika suatu gen tertentu mempunyai 10 buah alel, maka banyaknya
genotipe yang dapat terbentuk pada lokus gen tersebut adalah
A. 40.
B. 45.
C. 50.
D. 55.
E. 60.

KUNCI JAWABAN
1. B 6. A
2. C 7. A
3. B 8. E
4. E 9. A
5. C 10. D

Jika Anda menjawab soal dengan benar sebanyak


> 8 berarti Anda telah sangat menguasai materi bab ini dan dapat
melanjutkan mempelajari materi bab berikutnya.
6 – 7 berarti Anda telah cukup menguasai materi bab ini, tetapi
sebaiknya mengulang lagi mempelajari bagian yang jawaban
soalnya masih keliru.
< 5 berarti Anda kurang menguasai materi bab ini sehingga perlu
mempelajarinya kembali, terutama di bagian yang jawaban soalnya
masih keliru.

40 GENETIKA
Setelah mempelajari materi pada Bab IV ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan pengertian gen-gen berangkai, pindah silang, pemetaan
kromosom, hibridisasi sel somatis, hibridisasi in situ; dan menyelesaikan soal-
soal hitungan tentang pemetaan kromosom.

P ercobaan-percobaan persilangan pada kacang ercis yang dilakukan


oleh Mendel, baik monohibrid maupun dihibrid, telah
menghasilkan dua hukum Mendel, yakni hukum segegasi dan
hukum pemilihan bebas. Jika kembali kita perhatikan persilangan dihibrid
menyangkut pewarisan warna biji dan bentuk biji, maka akan terlihat
bahwa gamet-gamet yang terbentuk tidak hanya mengandung kombinasi
gen dominan untuk warna biji (K) dengan gen dominan untuk bentuk biji
(B), tetapi memungkinkan pula kombinasi gen resesif untuk warna biji (k)
dengan gen resesif untuk bentuk biji (b), dan juga kombinasi gen K
dengan gen b, serta gen k dengan gen B. Oleh karena peluang terjadinya
kombinasi-kombinasi tersebut sama besar, maka keempat macam gamet
yang dihasilkan, yaitu KB, Kb, kB, dan kb, akan mempunyai nisbah 1 : 1 :
1 : 1.
Gen-gen yang mengatur warna biji dan bentuk biji dewasa ini telah
diketahui letaknya masing-masing. Gen pengatur warna biji terletak pada
kromosom 1, sedangkan gen pengatur bentuk biji terletak pada
kromosom 7. Inilah keuntungan lain yang diperoleh Mendel di samping
secara kebetulan tanaman yang digunakan adalah diploid. Seandainya gen
pengatur warna biji dan gen pengatur bentuk biji terletak pada kromosom
yang sama, barangkali Mendel tidak akan berhasil merumuskan hukum
pemilihan bebas.
Saat ini kita telah mengetahui bahwa banyaknya gen pada kacang
ercis, dan juga pada setiap spesies organisme lainnya, jauh lebih banyak
daripada jumlah kromosomnya. Artinya, di dalam sebuah kromosom
tertentu dapat dijumpai lebih dari sebuah gen. Gen-gen yang terdapat
pada kromosom yang sama dinamakan gen-gen berangkai (linked
genes), sedangkan fenomenanya sendiri dinamakan berangkai (linkage).
Fenomena berangkai pertama kali ditemukan pada percobaan
dihibrid oleh W. Bateson dan R.C. Punnet pada tahun 1906. Akan tetapi,
mereka tidak dapat memberikan interpretasi terhadap hasil persilangan
yang diperoleh. Baru sekitar lima tahun kemudian seorang ahli genetika

41
dan embriologi dari Amerika Serikat, T.H. Morgan, dapat menjelaskan
mekanisme pewarisan gen-gen berangkai pada lalat Drosophila
melanogaster. Dari konsep mengenai berangkai ini selanjutnya
berkembang pengetahuan mengenai pindah silang (crossing over) dan
pemetaan kromosom, yang sebagian besar melibatkan karya Morgan dan
para mahasiswanya, seperti C.B. Bridges, H.J. Muller, dan A.H.
Sturtevant. Seluk-beluk mengenai gen-gen berangkai, termasuk cara
memetakannya pada kromosom tempat mereka berada, akan menjadi
pokok bahasan pada Bab IV ini.

Dua Gen Berangkai


Dua buah gen yang berangkai akan mengalami segregasi dan
rekombinasi dengan pola yang tidak mengikuti hukum Mendel. Artinya,
pola segregasi dan rekombinasinya tidak bebas sehingga tiap macam
gamet yang dihasilkannya pun menjadi tidak sama jumlahnya.
Adanya perbedaan jumlah di antara macam gamet yang terbentuk
tersebut disebabkan oleh kecenderungan gen-gen berangkai untuk selalu
berada bersama-sama. Jadi, kalau gen-gen yang berangkai adalah sesama
dominan dan sesama resesif, maka gamet yang mengandung gen-gen
dominan dan gamet yang mengandung gen-gen resesif akan dijumpai
lebih banyak daripada gamet dengan kombinasi gen dominan-resesif.
Demikian pula, dalam keadaan gen dominan berangkai dengan gen
resesif, gamet yang mengandung kombinasi gen dominan-resesif akan
lebih banyak jumlahnya daripada gamet dengan kandungan gen sesama
dominan dan sesama resesif.
Sebagai contoh, jika gen A dan gen B berangkai pada suatu
kromosom sementara alel-alel resesifnya, a dan b, juga berangkai pada
kromosom homolognya, maka gamet-gamet yang dihasilkan akan terdiri
atas AB, Ab, aB, dan ab dengan nisbah n : 1 : 1 : n. Sebaliknya, jika gen A
berangkai dengan gen b, dan gen a berangkai dengan gen B, maka nisbah
gamet AB : Ab : aB : ab menjadi 1 : n : n : 1. Dalam hal ini, n merupakan
bilangan positif dengan nilai lebih dari satu.
Untuk lebih jelasnya pada Gambar 4.1 di bawah ini secara skema
dapat diperbandingkan tiga kemungkinan segregasi dan rekombinasi gen-
gen pada individu dihibrid AaBb. Gambar 4.1.a) memperlihatkan pola
segregasi dan rekombinasi gen-gen yang terjadi secara bebas karena
keduanya tidak berangkai. Sementara itu, pada Gambar 4.1.b) dan 4.1.c)
nampak bahwa segregasi dan rekombinasi kedua gen tidak terjadi secara
bebas. Dua gen yang berangkai cenderung untuk selalu bersama-sama
atau tidak bersegregasi di dalam gamet-gamet yang terbentuk.

42 GENETIKA
A B A B A b
a b a b a B
gamet:
A B 1 A B n A b n
A b 1 a b n a B n
a B 1 A b 1 A B 1
a b 1 a B 1 a b 1
a) b) c)

Gambar 4.1. Gamet yang terbentuk dari individu dihibrid


a) Kedua gen tidak berangkai
b) Kedua gen berangkai dengan kedudukan sis
c) Kedua gen berangkai dengan kedudukan trans

Kedudukan dua gen berangkai


Kalau kita perhatikan lagi Gambar 4.1, akan nampak bahwa dua
buah gen yang berangkai dapat berada pada dua macam kedudukan atau
konfigurasi yang berbeda. Pada Gambar 4.1.b) gen dominan A berangkai
dengan gen dominan B dan gen resesif a berangkai dengan gen resesif b.
Kedudukan gen berangkai semacam ini dinamakan sis atau coupling
phase. Sebaliknya, jika gen dominan berangkai dengan gen resesif seperti
pada Gambar 4.1.c), maka kedudukannya dinamakan trans atau
repulsion phase.
Kedudukan gen berangkai harus tercerminkan pada notasi individu
yang bersangkutan. Individu dihibrid AaBb, misalnya, ditulis sebagai
AB/ab jika kedua gen tersebut berangkai dengan kedudukan sis, dan
ditulis sebagai Ab/aB jika kedudukan berangkainya adalah trans. Jadi,
penulisan AaBb hanya digunakan apabila kedua gen tersebut tidak
berangkai.
Baik pada kedudukan sis maupun trans terdapat dua macam gamet,
yang masing-masing disebut sebagai gamet tipe parental dan gamet
tipe rekombinasi. Gamet tipe parental mempunyai susunan gen yang
sama dengan susunan gen pada individu, sedangkan gamet tipe
rekombinasi susunan gennya merupakan rekombinasi susunan gen pada
individu. Jadi, individu dihibrid AaBb akan menghasilkan gamet tipe
parental AB dan ab serta gamet tipe rekombinasi Ab dan aB jika kedua
gen tersebut berangkai dengan kedudukan sis. Kebalikannya, jika kedua
gen tersebut berangkai dengan kedudukan trans, maka gamet tipe
parentalnya adalah Ab dan aB sementara gamet tipe rekombinasinya
adalah AB dan ab.

B E R A N GK A I 43
Gamet tipe parental jumlahnya selalu lebih besar atau setidak-
tidaknya sama dengan jumlah gamet tipe rekombinasi. Dengan perkataan
lain, gamet tipe parental jumlahnya berkisar dari 50% hingga 100%,
sedangkan gamet tipe rekombinasi berkisar dari 0% hingga 50%. Jika
gamet tipe parental sama banyaknya dengan gamet tipe rekombinasi
(masing-masing 50% atau nisbah gamet = 1 : 1 : 1 : 1), maka hal ini
berarti kedua gen tidak berangkai. Sebaliknya, jika semua gamet yang
ada merupakan gamet tipe parental, atau dengan perkataan lain sama
sekali tidak terdapat gamet tipe rekombinasi, maka kedua gen dikatakan
mempunyai lokus (tempat gen pada kromosom) yang sangat berdekatan.
Besar kecilnya jumlah, atau persentase, gamet tipe rekombinasi
oleh A.H. Sturtevant digunakan untuk menggambarkan jarak genetik
antara dua gen berangkai. Setiap satuan peta ditetapkan sebagai jarak
antara dua gen berangkai yang dapat menghasilkan gamet tipe
rekombinasi sebanyak 1%. Makin panjang jarak antara dua gen
berangkai, makin besar persentase gamet tipe rekombinasi yang
dihasilkan. Sebagai contoh, jika suatu individu dihibrid dengan gen-gen
yang berangkai menghasilkan gamet tipe parental sebanyak 80% atau
gamet tipe rekombinasi sebanyak 20%, maka jarak antara kedua gen
berangkai tersebut dikatakan sama dengan 20% atau 20 satuan peta (map
unit) atau 20 Morgan.
Sebenarnya hubungan linier antara jarak dua gen berangkai dan
persentase gamet tipe rekombinasi hanya berlaku lebih kurang hingga
nilai 20%. Di atas nilai ini peningkatan jarak tidak terus-menerus diikuti
oleh peningkatan persentase gamet tipe rekombinasi. Seperti telah
dijelaskan, gamet tipe rekombinasi jumlahnya paling banyak hanya 50%.
Di sisi lain, jarak antara dua gen berangkai dapat mencapai lebih dari
100%, misalnya jarak terpanjang antara dua gen berangkai pada
kromosom 1 tanaman jagung yang mencapai 161%.

Pindah silang
Telah disebutkan bahwa dua buah gen yang berangkai akan
cenderung untuk tetap bersama-sama di dalam gamet yang terbentuk.
Akan tetapi, di antara keduanya masih terdapat pula kemungkinan untuk
mengalami segregasi dan rekombinasi sehingga akan diperoleh
kombinasi gen-gen seperti yang dijumpai pada gamet tipe rekombinasi.
Terjadinya segregasi dan rekombinasi dua buah gen berangkai ini tidak
lain karena mereka mengalami peristiwa yang dinamakan pindah silang
(crossing over), yaitu pertukaran materi genetik (gen) di antara
kromosom-kromosom homolog.
Dari pengertian pindah silang tersebut kita dapat menyederhanakan
batasan tentang gamet tipe parental dan gamet tipe rekombinasi. Di atas
telah dikatakan bahwa gamet tipe parental adalah gamet dengan susunan

44 GENETIKA
gen yang sama dengan susunan gen pada individu, sedangkan gamet tipe
rekombinasi adalah gamet yang susunan gennya merupakan rekombinasi
susunan gen pada individu. Sekarang dengan lebih mudah dapat kita
katakan bahwa gamet tipe parental adalah gamet bukan hasil pindah
silang, sedangkan gamet tipe rekombinasi adalah gamet hasil pindah
silang.
Peristiwa pindah silang, bersama-sama dengan pemilihan bebas
(hukum Mendel II), merupakan dua dari tiga mekanisme penting yang
mendasari pembentukan keanekaragaman genetik karena kedua-duanya
akan menghasilkan kombinasi baru di antara gen-gen yang terdapat pada
individu sebelumnya. Satu mekanisme penting lainnya adalah mutasi
(lihat Bab X). Selanjutnya, seleksi alam akan bekerja untuk
mempertahankan genotipe-genotipe dengan kombinasi gen yang adaptif
saja. Oleh karena itulah, banyak ilmuwan yang menganggap bahwa
pindah silang, pemilihan bebas (rekombinasi), dan mutasi sangat penting
bagi berlangsungnya proses evolusi.

Pindah silang terjadi pascaduplikasi kromosom


Pada profase I meiosis kedua kromosom homolog akan mengalami
duplikasi menjadi empat buah kromatid (lihat materi tentang pembelahan
sel pada mata kuliah Biologi Dasar). Selanjutnya, keempat kromatid ini
akan membentuk sinapsis yang dinamakan tetrad. Pada saat terbentuknya
konfigurasi tetrad inilah pindah silang terjadi.
Bukti bahwa pindah silang terjadi sesudah kromosom homolog
mengalami duplikasi diperoleh dari hasil analisis genetik pada percobaan
menggunakan kapang Neurospora crassa. Kapang ini sangat cocok untuk
keperluan analisis genetik terutama karena dalam fase reproduksi
aseksualnya terdapat askosopra haploid yang akan mengalami
pembelahan mitosis sehingga berkecambah dan tumbuh menjadi
miselium multisel yang juga haploid. Dengan adanya miselium haploid
inilah, keberadaan gen-gen resesif dapat dideteksi karena ekspresinya
tidak tertutup oleh gen dominan.
Secara skema bukti yang menujukkan bahwa pindah silang terjadi
pascaduplikasi kromosom dapat dilihat pada Gambar 4.2 di bawah ini.

B E R A N GK A I 45
a)

b)

Gambar 4.2. Hasil pindah silang dilihat dari pola askus pada
Neurospora crassa

46 GENETIKA
Pada Gambar 4.2.a) pindah silang terjadi sebelum kromosom
mengalami duplikasi. Ternyata dilihat dari kedelapan askospora hasil
pembelahan mitosis gamet dapat dipastikan bahwa keempat gamet yang
dihasilkan seluruhnya merupakan gamet tipe rekombinasi atau sama
sekali tidak ada gamet tipe parental. Hal ini jelas sesuatu yang tidak
mungkin terjadi karena dari penjelasan sebelumnya kita mengetahui
bahwa persentase gamet tipe rekombinasi berkisar dari 0 hingga 50%.
Sebaliknya, pada Gambar 4.2.b) pindah silang terjadi sesudah
kromosom mengalami duplikasi. Nampak bahwa kedelapan askospora
yang terbentuk terdiri atas dua macam, yaitu askospora yang berasal dari
gamet tipe parental dan askosopra yang berasal dari gamet tipe
rekombinasi. Di antara askospora tipe parental masih dapat dibedakan
lagi askopora dari parental pertama (AB) dengan askospora dari parental
kedua (ab). Oleh karena kemungkinan pada Gambar 4.2.b) ini masuk
akal, maka dapat disimpulkan bahwa pindah silang terjadi setelah
kromosom mengalami duplikasi.

Persentase pindah silang menggambarkan jarak antara dua gen


berangkai
Peristiwa pindah silang akan menyebabkan terbentuknya gamet
tipe rekombinasi, atau seperti disebutkan di atas, gamet tipe rekombinasi
merupakan gamet hasil pindah silang. Sementara itu, persentase gamet
tipe rekombinasi sampai dengan batas tertentu (lebih kurang 20%)
memperlihatkan korelasi positif dengan jarak antara dua gen berangkai.
Dengan demikian, besarnya persentase pindah silang juga
menggambarkan jarak genetik antara dua gen berangkai.

Tiga Gen Berangkai


Di antara tiga buah gen berangkai, misalnya gen-gen dengan urutan
A-B-C, dapat terjadi tiga kemungkinan pindah silang. Pertama, pindah
silang terjadi antara A dan B atau pindah silang pada interval I. Kedua,
pindah silang terjadi antara B dan C atau pindah silang pada interval II.
Ketiga, pindah silang terjadi antara A dan B sekaligus antara B dan C.
Kemungkinan yang terakhir ini dinamakan pindah silang ganda (double
crossing over).
Sesuai dengan banyaknya macam pindah silang yang terjadi, gamet
tipe rekombinasi yang dihasilkan ada tiga macam, yaitu gamet tipe
rekombinasi hasil pindah silang pada interval I, gamet tipe rekombinasi
hasil pindah silang pada interval II, dan gamet tipe rekombinasi hasil
pindah silang ganda. Kalau kita misalkan bahwa kedudukan ketiga gen
berangkai tersebut seperti pada Gambar 4.3, maka gamet tipe
rekombinasi yang dihasilkan adalah Abc dan aBC (hasil pindah silang I),
ABc dan abC (hasil pindah silang II), serta AbC dan aBc (hasil pindah

B E R A N GK A I 47
silang ganda). Selain itu, ada juga gamet tipe parental, yaitu ABC dan
abc.

A B C
a b c
interval I interval II

A B C
A B C

a b c
a b c

A B C

A b C

a B c
a b c

Gambar 4.3. Pindah silang di antara tiga gen berangkai

Dari delapan macam gamet yang dihasilkan tersebut, gamet tipe


parental dengan sendirinya paling besar persentasenya, sedangkan gamet
yang paling kecil persentasenya adalah gamet tipe rekombinasi hasil
pindah silang ganda. Bagaimana dengan gamet hasil pindah silang I dan
gamet hasil pindah silang II? Mana di antara kedua kelompok gamet tipe
rekombinasi tersebut yang lebih besar persentasenya? Jawabannya tentu
saja bergantung kepada besarnya jarak A-B dan jarak B-C. Jika A-B lebih
panjang daripada B-C, maka gamet hasil pindah silang I lebih banyak
daripada gamet hasil pindah silang II. Begitu pula sebaliknya, gamet hasil
pindah silang II akan dijumpai lebih banyak daripada gamet hasil pindah
silang I jika jarak B-C lebih panjang daripada jarak A-B.
Silang uji tiga titik
Silang uji, seperti telah dijelaskan pada Bab II, adalah persilangan
suatu individu dengan individu homozigot resesif. Silang uji terhadap

48 GENETIKA
individu trihibrid dinamakan silang uji tiga titik (three-point test cross).
Sebagai contoh, individu trihibrid AaBbCc disilang uji dengan aabbcc.
Jika di antara ketiga gen tersebut tidak ada yang berangkai, maka hasil
persilangannnya ada delapan macam fenotipe, yaitu A-B-C-, A-B-cc, A-
bbC-, aaB-C-, A-bbcc, aaB-cc, aabbC-, dan aabbcc, dengan nisbah 1 : 1 :
1 : 1 : 1 : 1 : 1 : 1.
Namun, jika gen A berangkai dengan gen B dan gen C, maka
nisbah fenotipe yang dihasilkan tidak akan sama tetapi bergantung
kepada jumlah tiap macam gamet individu trihibrid tersebut. Seperti pada
penjelasan Gambar 4.3, gamet dari individu ABC/abc dapat dibagi
menjadi empat kelompok. Kelompok pertama adalah gamet tipe parental
(ABC dan abc), kelompok kedua gamet hasil pindah silang di daerah I
(Abc dan aBC), kelompok ketiga gamet pindah silang di daerah II (ABc
dan abC), dan kelompok ke empat gamet hasil pindah silang ganda (AbC
dan aBc). Sementara itu, dari individu homozigot resesif aabbcc
(abc/abc) hanya akan dihasilkan satu macam gamet, yakni abc, karena
baik gamet tipe parental maupun rekombinasi akan mempunyai susunan
gen yang sama. Dengan demikian, fenotipe sekaligus genotipe hasil
silang ujinya akan ada empat kelompok, yang masing-masing terdiri atas
dua macam fenotipe, sesuai dengan nisbah gamet individu ABC/abc.

ABC/abc
tipe parental (persentasenya terbesar)
abc/abc
Abc/abc
tipe rekombinasi hasil pindah silang antara A dan B
(persentasenya bergantung kepada posisi lokus B)
aBC/abc
ABc/abc
tipe rekombinasi hasil pindah silang antara B dan C
(persentasenya bergantung kepada posisi lokus B)
abC/abc
AbC/abc
tipe rekombinasi hasil pindah silang ganda
(persentasenya terkecil)
aBc/abc

Salah satu kromosom homolog pada tiap fenotipe/genotipe hasil


silang uji tersebut di atas selalu membawa gen-gen dengan susunan yang
sama, yaitu abc. Oleh karena itu, biasanya notasi fenotipe/genotipe
individu hasil silang uji untuk gen-gen berangkai sama dengan notasi
untuk gametnya masing-masing. Jadi, individu ABC/abc, misalnya, cukup

B E R A N GK A I 49
ditulis dengan ABC. Begitu juga untuk ketujuh genotipe lainnya
penulisannya cukup seperti notasi gametnya saja.

Pemetaan kromosom
Data hasil silang uji tiga titik dapat dimanfaatkan untuk membuat
peta kromosom. Di dalam peta kromosom tiap kromosom disebut sebagai
satu kelompok gen berangkai (linkage group), yang terdiri atas
sederetan gen-gen dengan urutan dan jarak tertentu. Dengan demikian,
pada prinsipnya pembuatan peta kromosom meliputi penentuan urutan
gen pada satu kromosom dan penghitungan jarak antara gen yang satu
dan lainnya. Sebagai contoh, pada lalat Drosophila melanogaster telah
ditemukan adanya empat kelompok gen berangkai seperti dapat dilihat
pada Gambar 4.4.
Langkah-langkah untuk membuat peta kromosom dari data hasil
silang uji dapat dijelaskan dengan contoh berikut ini.

ABC = 265 AbC = 6 Abc = 435 abC = 139


ABc = 133 aBC = 441 aBc =4 abc = 227

Untuk menentukan urutan gen yang benar pertama-tama kita cari individu
tipe parental di antara kedelapan genotipe tersebut, yaitu dua individu
yang persentase atau jumlahnya terbesar (aBC dan Abc). Keduanya
dipasangkan menjadi aBC/Abc. Kemudian, kita cari individu hasil pindah
silang ganda, yaitu dua individu yang jumlahnya terkecil (AbC dan aBc).
Ini juga kita pasangkan menjadi AbC/aBc.
Individu parental disimulasi untuk mengalami pindah silang ganda
(psg). Artinya, aBC/Abc disimulasi untuk mengalami psg menjadi
abC/ABc. Setelah hasil simuasi ini dicocokkan dengan individu psg yang
ada ternyata susunan gennya tidak sama (abC/ABc tidak sama dengan
AbC/aBc). Oleh karena itu, individu parental harus kita ubah urutan
gennya, misalnya menjadi BaC/bAc. Jika individu ini mengalami psg,
maka akan diperoleh BAC/bac, yang ternyata masih belum cocok juga
dengan AbC/aBc. Alternatif ketiga (terakhir) adalah mengubah urutan gen
pada individu parental menjadi aCB/Acb. Individu parental dengan urutan
gen seperti ini (lokus C di tengah) jika mengalami psg akan menjadi
acB/ACb, yang ternyata cocok dengan AbC/aBc. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa urutan lokus gen yang benar adalah A-C-B atau B-C-
A.

50 GENETIKA
0 y (yellow body) 0 net (net wings) 0 ru (roughoid eyes) 0 ci (cubitus interruptus eyes)
w (whirte eyes) S (Star eyes) R (Roughened eyes) bt (bent wings)
N (Notch wings) 3 sv (shaven bristles)
ec (echinus eyes) Cy (Curly wings) IV
rb (ruby eyes)
bo (bordeaux eyes) ed (echinoid eyes) fs(3) G2 (betina steril)
cv (crossveinless wings) dp (dumpy wings)
ov (oval eyes) cl (clot eyes)
ct (cut wings) spd (spade wings) jv (javelin bristles)
sn (singed bristles) lys (lysine accumulation) Hn (Henna eyes)

t (tan body) tu-48 (abdominal tumors) se (sepia eyes)


ras (raspberry eyes) fy (fuzzy hairs) cur (curvoid wings)
m (miniature wings) corr (corrugated wings) rs (rose eyes)
wy (wavy wings) J (Jammed wings) Gl (Glued eyes)
g (garnet eyes) st (scarlet eyes)
pl (pleated wings) b (black body) eg (eagle wings)
sd (scalloped wings) rd (reduced bristles) cu (curly wings)
r (rudimentary wings) stw (straw bristles)
B (Bar eyes) cn (cinnabar eyes) bx (bithorax body)
car (carnation eyes) che (cherub wings) sr (stripe body)

bb (bobbed bristles) vg (vestigial wings) Dl (Delta wings)


68 U (Upturmed wings) e (ebony body)
I
c (curved wings) cd (cardinal eyes)
Amy (Amylase) obt (obtuse wings)
rf (roof wings)
nw (narrow wings)

dsr (disrupted wings) Pr (Prickly bristles)


hy (humpy body) r sd (raised wings)
ra (rase britles)
a (arc wings) ca (claret eyes)
Frd (Freckled body)
M(2)c (Minute body) 106 M(3)g (Minute body)
108 III
II

Gambar 4.4. Peta kromosom pada lalat Drosophila melanogaster


 = sentromir
Kromosom I = kromosom kelamin
Mutan yang diawali dengan huruf besar = mutan dominan

Setelah urutan gen yang benar diketahui, data hasil silang uji
tersebut di atas diubah urutan gennya sehingga menjadi

ACB = 265 ACb = 6 Acb = 435 aCb = 139


AcB = 133 aCB = 441 acB =4 acb = 227

Selanjutnya, kita dapat menghitung jarak antara dua gen berurutan


(A-C dan C-B), yang masing-masing sama dengan persentase pindah
silang di antara kedua gen yang diukur jaraknya (ingat! besarnya
persentase pindah silang menggambarkan jarak genetik antara dua gen

B E R A N GK A I 51
berangkai). Jadi, jarak A-C sama dengan pindah silang antara A dan C,
sedangkan jarak C-B sama dengan pindah silang antara C dan B.
Oleh karena individu parentalnya aCB/Acb, maka individu hasil
pindah silang antara A dan C terdiri atas acb, ACB, acB, dan ACb.
Dengan demikian, jarak A-C = (227 + 265 + 4 + 6)/1650 x 100% =
30,4%. Sementara itu, individu hasil pindah silang antara C dan B
masing-masing aCb, AcB, acB, dan ACb sehingga jarak C-B = (139 + 133
+ 4 + 6)/1650 x 100% = 17,1%.

A C B

30,4% 17,1%

Interferensi kromosom
Pada contoh soal tersebut di atas terlihat bahwa banyaknya
individu hasil pindah silang ganda ada (4 + 6)/1650 x 100% = 0,6%. Nilai
ini merupakan persentase pindah silang ganda yang benar-benar terjadi
(psg O). Namun, seperti telah dijelaskan sebelumnya, pindah silang
ganda adalah dua peristiwa pindah silang yang terjadi bersama-sama pada
dua daerah yang berurutan. Seandainya kedua pindah silang ini benar-
benar independen satu sama lain, maka secara teori besarnya persentase
pindah silang ganda seharusnya sama dengan hasil kali masing-masing
pindah silang (lihat teori peluang pada Bab III). Pada soal tersebut di atas
persentase pindah silang ganda yang diharapkan atau seharusnya terjadi
(psg E) sama dengan 30,4% x 17,1% = 5,2%.
Biasanya psg O lebih kecil daripada psg E. Fenomena ini pertama
kali ditemukan oleh H.J. Muller pada tahun 1916, dan dinamakan
interferensi kromosom atau interferensi kiasma. Jadi, interferensi ini
menunjukkan bahwa pindah silang di suatu tempat akan menghalangi
terjadinya pindah silang di dekatnya.
Derajad interferensi secara kuantitatif diukur dengan suatu nilai
yang disebut koefisien koinsidensi (KK), yang merupakan nisbah psg O
terhadap psg E. Nilai KK berkisar dari 0 hingga 1, dan pada contoh soal
di atas nilai KK = 0,6% / 5,2% = 0,12. Nilai KK = 1 menggambarkan
adanya independensi yang sempurna di antara dua peristiwa pindah silang
yang berurutan sehingga psg O sama besarnya dengan psg E. Sebaliknya,
nilai KK = 0 menunjukkan bahwa dua peristiwa pindah silang yang
berurutan benar-benar saling menghalangi. Oleh karena itu, nilai KK
berbanding terbalik dengan besarnya interferensi. Makin besar KK, kedua
pindah silang makin independen sehingga makin kecil interferensinya.
Untuk menggambarkan derajad interferensi dapat pula digunakan
koefisien interferensi (KI), yang nilainya sama dengan 1 – KK. Dengan
demikian, nilai KI juga berkisar dari 0 hingga 1 tetapi berbanding lurus

52 GENETIKA
dengan besarnya interferensi. Artinya, makin besar KI, kedua pindah
silang makin menghalangi satu sama lain atau makin besar
interferensinya.

Pemetaan Kromosom pada Manusia


Pada manusia dengan sendirinya tidak dapat dilakukan pembuatan
peta kromosom menggunakan data hasil silang uji. Oleh karena itu,
diperlukan cara lain untuk dapat mengetahui susunan gen pada suatu
kromosom tertentu. Cara yang paling lama dikenal adalah analisis silsilah
keluarga dengan mengamati pola pewarisan suatu sifat.
Pada tahun 1960-an terjadi kemajuan yang pesat dalam pembuatan
peta kromosom pada manusia berkat ditemukannya suatu teknik yang
dikenal sebagai hibridisasi sel somatis. Sejalan dengan penemuan ini
berkembang pula teknik sitologi yang memungkinkan dilakukannya
identifikasi kromosom dan segmen kromosom manusia. Bahkan dewasa
ini teknik DNA rekombinan dapat digunakan untuk isolasi dan
identifikasi keberadaan masing-masing gen di dalam molekul DNA
kromosom.
Teknik hibridisasi sel somatis pertama kali digunakan oleh G.
Barski dan koleganya pada tahun 1960 untuk menggabungkan sel somatis
mencit dengan sel somatis manusia secara in vitro. Penggabungan (fusi)
sel ini berlangsung dengan tingkat keberhasilan yang sangat rendah, yaitu
sekitar satu di antara sejuta sel. Namun, frekuensi fusi tersebut dapat
ditingkatkan dengan penambahan sejenis virus, yakni virus Sendai, yang
telah diinaktifkan dengan radiasi ultraviolet. Selain dengan virus Sendai,
frekuensi fusi dapat juga ditingkatkan dengan pemberian bahan kimia
polietilen glikol.
Sel hibrid yang terbentuk kemudian mengalami pembelahan
mitosis sehingga dihasilkan sejumlah besar sel hibrid. Di antara sel-sel
hibrid hasil mitosis ini selalu terjadi pengurangan jumlah kromosom
manusia sementara jumlah kromosom mencitnya tetap. Dengan adanya
variasi jumlah kromosom manusia pada sel hibrid, dapat ditentukan
keberadaan gen tertentu pada suatu kromosom atas dasar aktivitas enzim
yang dihasilkan.
Sebagai contoh, keberadaan gen yang mengatur sintesis enzim
timidin kinase dapat diketahui dari data seperti pada Tabel 4.1. Terlihat
bahwa kromosom 17 merupakan satu-satunya kromosom yang
keberadaannya berkorelasi positif dengan aktivitas timidin kinase. Dalam
hal ini kromosom 17 selalu dijumpai pada setiap sel hibrid yang
memperlihatkan aktivitas timidin kinase dan tidak dijumpai pada sel
hibrid yang tidak memperlihatkan aktivitas enzim tersebut. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa gen yang mengatur sintesis timidin
kinase terletak pada kromosom nomor 17. Cara yang sama digunakan

B E R A N GK A I 53
untuk menentukan bahwa pada suatu kromosom terdapat gen-gen
tertentu.

Tabel 4.1. Contoh data hasil hibridisasi sel somatis


Kromosom manusia
Nomor Aktivitas (+ = ada; - = tidak ada)
sel timidin X Y 1 2 4 7 9 10 15 17 18 21
hibrid kinase
1 aktif + + - + - - + + + + - +
2 aktif + - + + - + + - + + + -
3 aktif - - + + + + - - - + - -
4 aktif - - + - - - - + - + - +
5 tidak aktif + - - + - - + - + - - -

Hibridisasi In Situ
Pada pembuatan peta kromosom menggunakan teknik hibridisasi
sel somatis seperti dicontohkan dengan data pada Tabel 4.1 kita hanya
dapat mengetahui keberadaan gen tertentu di dalam suatu kromosom
berdasarkan ada tidaknya aktivitas enzim yang dihasilkan oleh gen
tersebut. Saat ini terdapat suatu metode yang dapat mendeteksi lokasi
keberadaan suatu gen di dalam kromosom. Metode yang memerlukan
dukungan penggunaan teknik molekuler ini (lihat Bab XIII) dikenal
sebagai hibridisasi in situ.
Pada hibridisasi in situ suatu gen harus diketahui sekuen (urutan)
DNAnya terlebih dahulu agar dapat diikat (dihibridisasi) oleh molekul
DNA pelacak (probe) yang dibuat menggunakan teknik PCR (polymerase
chain reaction) berdasarkan sekuen DNA gen tersebut. Agar dapat terjadi
hibridisasi, maka baik gen yang akan dilacak maupun molekul
pelacaknya harus dijadikan DNA dalam bentuk untai tunggal (single
stranded). Sementara itu, untuk dapat melakukan visualisasi terjadinya
hibridisasi perlu dilakukan pelabelan pada molekul pelacak menggunakan
zat radioaktif atau perpendaran (floresensi) di bawah sinar ultraviolet
seperti pada Gambar 4.5.

54 GENETIKA
Gambar 4.5. Hibridisasi in situ

Warna merah menunjukkan lokasi gen pada kromosom nomor 9,


sedangkan warna hijau menunjukkan lokasi gen pada kromosom
nomor 22 (sumber: Pierce, 2021)

Dewasa ini telah ditemukan metode untuk menentukan dengan


tepat lokasi gen (berupa sekuen DNA) di dalam kromosom sehingga baik
panjang gen maupun jaraknya satu sama lain juga dapat diketahui.
Metode ini adalah sekuensing DNA. Jika peta kromosom yang dibuat
berdasarkan persentase pindah silang menggambarkan jarak genetik
antara gen-gen berangkai, maka peta kromosom yang dibuat berdasarkan
sekuen DNA menggambarkan jarak fisik di antara gen-gen di dalam
suatu kromosom.

DAFTAR PUSTAKA
Griffiths, AJF., Wessler, SR., Carroll, SB. and Doebley, J. 2020.
Introduction to Genetic Analysis. 12th Ed. W. H. Freeman & Co.,
New York.
Pierce, BA. 2012. Genetics: a Conceptual Approach 4th Ed. WH Freeman
& Co., New York.
Susanto, AH. 2011. Genetika. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

B E R A N GK A I 55
SOAL LATIHAN
1. Jika gen A dan gen B terdapat pada sebuah kromosom dan n adalah
bilangan positif lebih dari 1, maka akan dihasilkan gamet
A. AB : Ab : aB : ab dengan nisbah n : 1 : n : 1.
B. AB : Ab : aB : ab dengan nisbah n : 1 : 1 : n.
C. AB : Ab : aB : ab dengan nisbah 1 : n : n : 1.
D. AB : Ab : aB : ab dengan nisbah 1 : n : 1 : n.
E. AB : Ab : aB : ab dengan nisbah 1 : 1 : 1 : 1.
2. Kedudukan sis (coupling phase) terlihat pada
A. AA/bb.
B. aa/bb.
C. Aa/Bb.
D. ab/AB.
E. aB/Ab.
3. Pernyataan yang benar mengenai gamet tipe parental adalah
A. Gamet tipe parental dijumpai lebih banyak daripada gamet tipe
rekombinasi.
B. Gamet tipe parental merupakan hasil pindah silang.
C. Gamet tipe parental mempunyai susunan gen yang berbeda dengan
susunan gen pada individu yang menghasilkannya.
D. Gamet tipe parental mempunyai kisaran persentase dari 0% hingga
100%.
E. Gamet tipe parental terdapat lebih dari dua macam.
4. Makin panjang jarak antara dua gen berangkai,
A. makin besar persentase gen-gen berangkai dengan kedudukan trans.
B. makin kecil persentase gen-gen berangkai dengan kedudukan sis.
C. makin besar persentase gen-gen berangkai dengan kedudukan sis.
D. makin besar persentase gamet tipe parental yang dihasilkan.
E. makin besar persentase gamet tipe rekombinasi yang dihasilkan.
5. Peristiwa pindah silang terjadi setelah
A. kedua kromatid mengalami duplikasi menjadi tetrad pada mitosis.
B. kedua kromatid mengalami duplikasi menjadi tetrad pada meiosis.
C. kedua kromosom homolog mengalami duplikasi menjadi empat
buah kromatid (tetrad) pada mitosis.
D. kedua kromosom homolog mengalami duplikasi menjadi empat
buah kromatid (tetrad) pada meiosis.
E. kedua kromatid mengalami duplikasi menjadi biad pada mitosis.
6. Di antara tiga buah gen berangkai terdapat kemungkinan terjadinya
A. dua kali pindah silang tunggal dan dua kali pindah silang ganda.
B. dua kali pindah silang tunggal dan satu kali pindah silang ganda.
C. dua kali pindah silang tunggal.
D. satu kali pindah silang tunggal.
E. satu kali pindah silang tunggal dan satu kali pindah silang ganda.

56 GENETIKA
7. Berikut ini data hasil silang uji pada jagung
c Wx sh 84
c Wx Sh 974
c wx sh 20
c wx Sh 2349
C wx sh 951
C wx Sh 99
C Wx sh 2216
C Wx Sh 15
6708
Gamet tipe parental pada persilangan tersebut adalah
A. c wx Sh dan C Wx sh.
B. C Wx Sh dan C wx sh.
C. c Wx Sh dan C wx sh.
D. c wx sh dan c Wx Sh.
E. C Wx Sh dan c wx sh.
8. Gamet hasil pindah silang ganda pada soal nomor 7
A. C wx sh dan c wx Sh.
B. C wx Sh dan C Wx Sh.
C. c wx sh dan C Wx Sh.
D. c wx Sh dan C Wx sh.
E. c wx sh dan c wx Sh.
9. Jika individu tipe parental adalah C Wx sh / c wx Sh, sedangkan
individu hasil pindah silang ganda adalah C Wx Sh / c wx sh, maka
urutan gen yang benar adalah
A. sh – c – wx.
B. wx – c – sh.
C. wx – sh – c.
D. sh – c – wx.
E. c – wx – sh.
10. Pernyataan yang benar tentang hibridisasi sel somatis adalah
A. merupakan gabungan antara gamet mencit dan gamet manusia.
B. menggabungkan sel somatis mencit dan sel somatis manusia secara
in vivo.
C. frekuensi fusi sel dapat ditingkatkan dengan bantuan virus Sendai
yang aktif.
D. terjadi pengurangan jumlah kromosom mencit pada hibrid yang
dihasilkan.
E. digunakan untuk menentukan letak gen pada kromosom manusia.

B E R A N GK A I 57
KUNCI JAWABAN
1. B 6. B
2. D 7. A
3. A 8. C
4. E 9. C
5. D 10. E

Jika Anda menjawab soal dengan benar sebanyak


> 8 berarti Anda telah sangat menguasai materi bab ini dan dapat
melanjutkan mempelajari materi bab berikutnya.
6 – 7 berarti Anda telah cukup menguasai materi bab ini, tetapi
sebaiknya mengulang lagi mempelajari bagian yang jawaban
soalnya masih keliru.
< 5 berarti Anda kurang menguasai materi bab ini sehingga perlu
mempelajarinya kembali, terutama di bagian yang jawaban soalnya
masih keliru.

58 GENETIKA
Setelah mempelajari materi pada Bab V ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan pengertian dan macam-macam variasi kromosom, baik
menyangkut perubahan jumlah maupun struktur kromosom, serta hubungan
antara kelainan kromosom dan kanker.

S
etiap kromosom pada hakekatnya dapat dilihat sebagai sekumpulan
gen dengan urutan dan jarak tertentu, atau seperti dikatakan pada
Bab IV kromosom merupakan sebuah kelompok gen-gen berangkai
(linkage group). Oleh karena kita telah mengetahui bahwa gen adalah
faktor pembawa sifat herediter, maka perubahan yang terjadi pada
kromosom dapat berpengaruh terhadap berlangsungnya proses pewarisan
sifat.
Perubahan pada kromosom dapat terjadi, baik menyangkut jumlah
maupun strukturnya. Pada Bab V ini kita akan membicarakan berbagai
kelainan fenotipe individu organisme yang diakibatkan oleh terjadinya
perubahan jumlah dan struktur kromosom. Akan terlihat nanti bahwa
tanaman ternyata jauh lebih toleran terhadap perubahan tersebut daripada
hewan. Selanjutnya, pada hewan perubahan jumlah kromosom akan
memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap pemunculan fenotipe
daripada pengaruh yang ditimbulkan oleh perubahan struktur kromosom.

Perubahan Jumlah Kromosom


Secara garis besar, perubahan jumlah kromosom dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu perubahan jumlah perangkat kromosom
(genom) dan perubahan jumlah salah satu atau beberapa kromosom saja.
Kelompok pertama dikenal dengan istilah euploidi, sedangkan kelompok
kedua disebut sebagai aneuploidi. Pada tumbuhan, euploidi sering
menyebabkan individu yang mengalaminya mempunyai ukuran lebih
besar dan penampilan lebih kokoh daripada individu normal atau
menghasilkan buah tanpa biji sehingga menjadi lebih mudah untuk
dikonsumsi. Demikian juga, pada hewan tertentu, khususnya invertebrata
seperti kerang, euploidi dapat menyebabkan sterilitas yang justru
menguntungkan bagi kepentingan manusia karena organisme tersebut
tidak bertelur dan dapat dimakan sepanjang musim. Sementara itu,

59
aneuploidi pada umumnya akan menimbulkan fenotipe cacat, baik pada
tumbuhan maupun hewan.

Euploidi
Individu yang mengalami euploidi dengan tiga buah genom disebut
individu triploid (dilambangkan dengan 3n). Demikian seterusnya,
individu dengan empat, lima, dan enam genom masing-masing
dinamakan tetraploid (4n), pentaploid (5n), dan heksaploid (6n). Secara
umum individu-individu ini dikatakan sebagai poliploid. Individu dengan
sebuah genom dinamakan haploid atau monoploid (n), sedangkan
individu diploid (2n) dianggap sebagai individu normal.
Contoh poliploid antara lain dapat dilihat pada genus
Chrysantemum. Dalam hal ini ada spesies Chrysantemum yang mempunyai
36 kromosom dan ada juga yang mempunyai 18 kromosom. Jika morfologi
kromosom di antara keduanya dibandingkan, akan nampak bahwa spesies
dengan 36 kromosom ternyata mempunyai dua genom lengkap seperti
yang terdapat pada spesies dengan 18 kromosom. Jumlah kromosom
haploid pada kedua spesies tanaman ini adalah sembilan, yaitu jumlah yang
ada pada gamet-gamet spesies dengan 18 kromosom. Artinya, individu
spesies dengan 18 kromosom merupakan individu yang mempunyai dua
genom atau dikatakan sebagai individu diploid normal (2n), sedangkan
individu spesies dengan 36 kromosom adalah individu tetraploid (4n)
karena mempunyai empat genom. Selain itu, ada juga spesies
Chrysantemum heksaploid (6n), oktoploid (8n), dan dekaploid (10n).
Pada pembelahan meiosis individu 2n akan membentuk n bivalen,
individu 4n membentuk 2n bivalen, individu 6n membentuk 3n bivalen,
individu 8n membentuk 4n bivalen, dan individu 10n membentuk 5n
bivalen. Jadi, individu diploid akan menghasilkan gamet haploid,
individu tetraploid menghasilkan gamet diploid, dan seterusnya.
Tanaman poliploid di alam hampir selalu mempunyai jumlah
genom genap (4n, 6n, 8n, dan seterusnya). Organisme dengan jumlah
genom gasal, misalnya triploid (3n), mempunyai fertilitas sangat rendah
karena banyak di antara gamet-gamet yang dihasilkan dari pembelahan
meiosis akan membawa kromosom yang tidak lengkap. Oleh karena itu,
hanya melalui reproduksi aseksual kelestarian organisme semacam ini
dapat dipertahankan.
Organisme tetraploid dapat dihasilkan melalui beberapa cara.
Mekanisme yang paling sederhana adalah kegagalan memisahnya
kromosom pada individu diploid selama mitosis sehingga terjadi
penggandaan jumlah genom dari 2n menjadi 4n. Demikian juga,
kegagalan memisahnya kromosom pada individu tetraploid selama
mitosis akan menyebabkan terjadinya penggandaan jumlah genom dari
4n menjadi 8n.

60 GENETIKA
Suatu tanaman oktoploid yang mengalami pembuahan sendiri akan
menghasilkan tanaman oktoploid pula karena terjadi penggabungan dua
gamet tetraploid. Namun, jika tanaman oktoploid disilangkan dengan
tanaman tetraploid, maka akan dihasilkan tanaman heksaploid sebagai
hasil penggabungan antara gamet tetraploid dan gamet diploid. Ploidisasi
dan persilangan-persilangan semacam itulah yang akhirnya memunculkan
serangkaian individu poliploid yang satu sama lain dekat kekerabatannya,
seperti halnya pada kasus Chrysantemum.
Poliploidi pada Chrysantemum disebut sebagai autoploidi karena
seluruh kromosom pada semua organisme poliploid yang ada berasal dari
satu spesies diploid. Namun, seringkali suatu individu poliploid
mempunyai kromosom yang berasal dari dua atau lebih spesies moyang
yang berbeda. Poliploidi semacam ini dinamakan aloploidi. Perbedaan
cara diperolehnya masing-masing tipe poliploidi tersebut secara skema
dapat dilihat pada Gambar 5.1.

Spesies A Spesies B

genom A

genom B

Autotetraploid Alotetraploid

Gambar 5.1. Skema pembentukan autotetraploid dan aloploid

Aloploidi dengan sendirinya hanya dapat terjadi jika berlangsung


peristiwa hibridisasi interspesifik. Hibridisasi semacam ini, yang diikuti
oleh pembentukan aloploid, sangat penting di dalam proses evolusi dan
pemuliaan tanaman. Salah satu contoh klasik yang sering dikemukakan
adalah aloploidi pada gandum. Tanaman gandum yang sekarang kita
kenal sebagai tanaman budidaya (Triticum aestivum) merupakan tanaman
aloheksaploid dengan 42 buah kromosom yang berasal dari tiga moyang

PERUBAHAN JUMLAH DAN STRUKTUR KROMOSOM 61


liarnya. Ke-42 kromosom ini meliputi genom diploid lengkap dari ketiga
tanaman liar tersebut.

Triticum monococcum Triticum searsii


(gandum liar, AA, 2n=14) (rumput liar, BB, 2n=14)

Triticum dicocoides Triticum tauschii


(gandum Persia, AABB, 2n=28) (rumput liar, DD, 2n=14)

Triticum aestivum
(gandum budidaya, AABBDD, 2n=42)

Gambar 5.2. Skema pembentukan gandum aloheksaploid

Pola pewarisan sifat pada organisme poliploid lebih rumit daripada


pola pewarisan pada diploid. Kalau kita perhatikan satu lokus saja,
misalnya lokus A, maka pada organisme diploid hanya ada tiga
kemungkinan genotipe, yaitu AA, Aa, dan aa. Akan tetapi, pada poliploid,
misalnya tetraploid, akan ada lima genotipe yang mungkin terbentuk,
yaitu AAAA, AAAa, AAaa, Aaaa, dan aaaa. Jadi, terlihat juga bahwa tidak
hanya ada satu genotipe heterozigot seperti pada diploid, tetapi ada tiga,
yaitu AAAa, AAaa, dan Aaaa.
Di awal pembicaraan kita tentang euploidi telah disinggung bahwa
individu dengan sebuah genom dinamakan haploid atau monoploid (n).
Namun, sebenarnya pengertian monoploid lebih luas dari itu, yakni
mencakup semua individu yang jumlah genomnya sama dengan jumlah
genom gametik. Jadi, kalau spesies tetuanya diploid, individu
monoploidnya hanya mempunyai sebuah genom atau membawa
seperangkat kromosom haploid, seperti pada pengertian yang telah
disebutkan di atas. Akan tetapi, kalau spesies tetuanya tetraploid, maka
individu monoploidnya mempunyai dua buah genom.
Monoploidi dapat dijumpai pada beberapa spesies serangga
tertentu, seperti lebah dan semut, yang individu jantannya dihasilkan dari
telur yang tidak dibuahi. Biasanya sel-sel individu monoploid tidak dapat
mengalami pembelahan meiosis sehingga individu ini menjadi steril.
Namun, beberapa spesies, misalnya lebah madu jantan, dapat
menghasilkan gamet melalui meiosis yang dimodifikasi, yakni tanpa
adanya pemisahan kromosom pada meiosis I.
Pada berbagai tumbuhan, produksi monoploid dapat dipacu dengan
menciptakan kondisi yang menyebabkan terjadinya penyimpangan
pembelahan sel. Monoploid menjadi sangat penting dalam pemuliaan
tanaman karena alel-alel resesif yang diinginkan akan nampak

62 GENETIKA
ekspresinya tanpa terhalang oleh alel dominan seperti halnya pada
individu heterozigot. Seleksi sifat yang diatur oleh alel resesif dapat
dilakukan melalui kultur anter, yang memungkinkan diperolehnya
individu tanaman monoploid. Selanjutnya, masalah sterilitas pada
individu monoploid ini dapat diatasi dengan pemberian zat kimia tertentu,
misalnya kolkisin, agar terjadi diploidisasi atau poliploidisasi yang
menghasilkan individu-individu homozigot untuk alel-alel yang
diinginkan.

Aneuploidi
Telah disebutkan di atas bahwa aneuploidi hanya melibatkan
perubahan jumlah salah satu atau beberapa kromosom saja meskipun
peristiwa ini justru akan menimbulkan efek negatif pada penampilan
fenotipe organisme yang mengalaminya. Efek negatif ini berkaitan
dengan ketidakseimbangan jumlah salinan untuk setiap gen. Kalau pada
euploidi setiap gen akan disalin sebanyak genom yang ada, maka pada
aneuploidi gen-gen yang terletak di dalam kromosom yang mengalami
pertambahan jumlah akan disalin lebih banyak daripada gen-gen lain
yang terletak pada kromosom yang jumlahnya normal.
Individu normal diploid dalam kaitannya dengan peristiwa
aneuploidi dikatakan sebagai individu disomik. Sementara itu, individu
dengan kelebihan sebuah kromosom dinamakan trisomik (2n + 1),
individu dengan kelebihan dua buah kromosom dinamakan tetrasomik,
demikian seterusnya. Lambang untuk tetrasomik adalah 2n+2 jika kedua
kromosom tambahannya terletak pada nomor yang sama, atau 2n+1+1
jika kedua kromosom tambahannnya terletak pada nomor yang berbeda.
Contoh trisomik pada tumbuhan antara lain dapat dilihat pada
gulma Datura stramonium, yang mempunyai bentuk selubung biji
bermacam-macam, bergantung kepada nomor kromosom yang
mempunyai kelebihan jumlah. Pada hewan, misalnya lalat Drosophila,
individu yang mengalami trisomik pada salah satu autosomnya selalu
letal, sementara individu betina triploidnya tetap fertil dan bahkan
mempunyai penampilan morfologi yang mendekati normal.
Di samping terjadinya pertambahan jumlah kromosom, ada pula
individu yang mengalami pengurangan jumlah kromosom. Individu yang
mengalami kehilangan kromosom ini dinamakan monosomik. Pada
umumnya hilangnya sebuah kromosom tertentu akan memberikan efek
yang lebih buruk daripada bertambahnya jumlah kromosom tersebut, dan
monosomik sering kali bersifat letal.
Monosomik dan trisomik pada manusia dapat terjadi, baik pada
autosom maupun pada kromosom kelamin. Semuanya mengakibatkan
munculnya fenotipe cacat. Salah satu contoh kasus trisomik yang sangat
umum dijumpai adalah trisomik pada kromosom 21, yang menyebabkan

PERUBAHAN JUMLAH DAN STRUKTUR KROMOSOM 63


terjadinya sindrom Down. Kasus ini muncul dengan frekuensi lebih
kurang 1 di antara 750 kelahiran dengan gejala umum berupa
keterbelakangan mental. Namun, kelainan fisik yang lebih kompleks
dapat pula menyertainya, misalnya kelainan jantung. Penyebab
trisomiknya sendiri adalah peristiwa gagal pisah (non disjunction) pada
pembelahan meiosis sehingga salah satu gamet akan kelebihan kromosom
21, sementara gamet lainnya kekurangan kromosom tersebut. Gagal pisah
pada kromosom 21 lebih sering terjadi selama oogenesis daripada selama
spermatogenesis karena suatu alasan yang hingga kini belum terungkap.
Selain itu, frekuensi gagal pisah pada kromosom 21 akan meningkat
tajam sejalan dengan meningkatnya usia ibu. Risiko kemunculan sindrom
Down mencapai angka 6% pada ibu-ibu yang melahirkan pada usia 45
tahun atau lebih.
Aneuploidi pada kromosom kelamin manusia biasanya
menimbulkan efek fenotipik yang tidak seberat efek aneuploidi pada
autosom. Beberapa kelainan yang umum dijumpai antara lain
1. 47,XXX atau disebut sindrom trisomi-X. Angka 47 menunjukkan
adanya kelebihan sebuah kromosom X bila dibandingkan dengan
jumlah kromosom pada individu normal, yaitu 46 buah. Individu
trisomi-X adalah wanita yang fenotipenya normal atau mendekati
normal meskipun frekuensi keterbelakangan mentalnya menjadi agak
lebih tinggi daripada wanita normal.
2. 47,XYY atau disebut sindrom Y-ganda. Individu ini adalah pria dan
secara umum fenotipenya normal. Hanya saja tubuhnya cenderung
lebih tinggi daripada pria normal. Pria 47,XYY pernah diduga sebagai
pengidap gangguan kepribadian yang berat dengan risiko melakukan
kejahatan dengan kekerasan. Namun, penelitian yang lebih cermat
menunjukkan bahwa meskipun angka kejahatan di antara pria ini lebih
tinggi daripada pria normal, ternyata kejahatan yang dilakukan pada
umumnya justru tidak disertai kekerasan.
3. 47,XXY atau disebut sindrom Klinefelter. Individu ini adalah pria
dengan ketidakmampuan untuk mengalami kematangan kelamin
sehingga menjadi steril. Tinggi tubuhnya di atas rata-rata tinggi pria
normal, kadang-kadang mempunyai buah dada yang membesar, dan
biasanya cacat mental.
4. 45,X atau disebut sindromTurner. Individu ini adalah wanita yang
tidak pernah mengalami kematangan kelamin. Tubuhnya sangat
pendek dengan buah dada yang kurang berkembang, tetapi
kemampuan mentalnya berada di dalam kisaran normal.

64 GENETIKA
Perubahan Struktur Kromosom
Pada awalnya ada beberapa kasus kelainan genetik yang sangat
sulit untuk difahami mekanisme terjadinya. Namun, dengan dukungan
bukti hasil pengamatan mikroskopik, ternyata dapat dijelaskan bahwa
kelainan genetik tersebut berkaitan dengan perubahan struktur
kromosom. Perubahan struktur kromosom pada garis besarnya dapat
dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu delesi, duplikasi, inversi, dan
translokasi.

Delesi
Delesi, atau disebut juga defisiensi, adalah hilangnya sebagian
segmen kromosom tertentu, yang biasanya akan menimbulkan efek
negatif pada individu yang mengalaminya. Makin banyak segmen yang
hilang, makin besar efek negatif yang ditimbulkannya. Bahkan, delesi
yang sangat besar pada sebuah kromosom dapat menyebabkan kematian
meskipun segmen yang hilang tersebut berada dalam keadaan heterozigot
dengan segmen pada kromosom homolognya yang normal. Sebaliknya,
delesi yang sangat kecil pun dapat menyebabkan kematian apabila berada
dalam keadaan homozigot. Hal ini karena delesi sering kali melibatkan
hilangnya sebuah gen atau lebih yang peranannya sangat menentukan
kelangsungan hidup individu yang bersangkutan.
Suatu delesi dapat dideteksi secara genetik karena kromosom yang
mengalaminya tidak akan membawa alel-alel tipe liar pada sejumlah
lokus yang hilang. Sebagai contoh dapat dikemukakan delesi pada
Drosophila yang melibatkan hilangnya lokus w atau lokus yang mengatur
warna mata. Ketika delesi menyebabkan hilangnya segmen yang
membawa alel tipe liar dominan w+, maka alel resesif w akan terekspresi
sehingga individunya menjadi bermata putih. Pemunculan alel resesif ini
menunjukkan adanya alel tipe liar yang hilang. Dengan demikian, jika
diketahui bahwa suatu delesi telah terjadi, maka besarnya dapat diukur
secara genetik berdasarkan atas mutan-mutan resesif yang muncul. Cara
ini pada dasarnya berupa silang uji dengan individu homozigot resesif
seperti dapat dilihat pada Gambar 5.3.
Kita juga bisa mempelajari delesi menggunakan pita-pita pada
kromosom politen di dalam kelenjar saliva lalat Drosophila. Hal ini
karena delesi akan menyebabkan hilangnya pita-pita tertentu. Dengan
melihat munculnya suatu mutan resesif setelah dilakukan silang uji, dapat
ditentukan pita yang membawa lokus gen mutan tersebut.

PERUBAHAN JUMLAH DAN STRUKTUR KROMOSOM 65


a+ b+ f+ a b c d e f

a+ b+ c+ d+ e+ f+ a b c d e f

Tipe liar yang mengalami delesi Individu homozigot resesif

a b c d e f a+ b+ f+

a+ b+ c+ d+ e+ f+ a b c d e f
Tipe liar Mutan resesif c,d,e

Gambar 5.3. Pemetaan delesi melalui silang uji

Duplikasi
Kalau pada delesi terjadi kehilangan sebagian segmen kromosom,
pada duplikasi ada sebagian segmen kromosom yang justru muncul dua
kali atau lebih. Peristiwa duplikasi tertentu akan memberikan efek
fenotipe yang sama dengan efek yang ditimbulkan oleh kromosom
normalnya tetapi dengan intensitas yang lebih kuat. Hal ini antara lain
dapat dilihat pada duplikasi segmen kromosom X pada lalat Drosophila
yang membawa lokus Bar, yaitu lokus yang mengatur fenotipe ‟bar‟ pada
mata Drosophila. Ternyata, makin banyak duplikasi yang terjadi pada
segmen tersebut, makin kecil mata Drosophila. Duplikasi Bar ini
dikatakan sebagai duplikasi tandem karena segmen duplikatnya terletak
berurutan dengan segmen normalnya.
Duplikasi tandem dapat menghasilkan lebih banyak salinan
segmen duplikat melalui proses yang dinamakan pindah silang tak
seimbang seperti dapat dilihat skemanya pada Gambar 5.4. Hasil pindah
silang semacam ini adalah dua buah kromosom dengan dua salinan
segmen duplikat, sebuah kromosom dengan satu salinan segmen duplikat,
dan sebuah kromosom dengan tiga salinan segmen duplikat. Pada kasus
‟bar‟, tiga salinan segmen duplikat akan menyebabkan mata lebih kecil
daripada dua salinan segmen duplikat, dan dua salinan segmen duplikat
menyebabkan mata lebih kecil daripada satu salinan segmen duplikat.
Kromosom dengan satu salinan segmen duplikat adalah kromosom
normal.

66 GENETIKA
kromosom normal

Gambar 5.4. Skema pindah silang tak seimbang


== segmen yang mengalami duplikasi

Pengaruh duplikasi yang paling sering dijumpai adalah


berkurangnya daya hidup individu yang mengalaminya. Pada umumnya
makin besar duplikasi, makin rendah daya hidup. Namun, pengaruh
negatif yang diakibatkan oleh duplikasi masih lebih kecil daripada
pengaruh delesi dengan ukuran yang sama.
Inversi
Perubahan yang terjadi pada inversi bukanlah ukuran segmen
kromosomnya, melainkan urutan gen-gennya. Hal ini terjadi karena
segmen tertentu patah, berputar 180°, dan kemudian menyambung
kembali dengan kromosom asalnya sehingga sekarang pada kromosom
tersebut ada sebagian urutan gennya yang terbalik. Sebagai contoh,
kromosom dengan urutan gen a-b-c-d-e-f setelah mengalami inversi
urutan gennya menjadi a-b-d-c-e-f jika segmen yang berputar membawa
gen c dan d.

PERUBAHAN JUMLAH DAN STRUKTUR KROMOSOM 67


Ketika kromosom yang mengalami inversi berpasangan dengan
kromosom homolognya yang normal, kedua-duanya harus membentuk
kala (loop). Kalau kita gunakan kembali contoh inversi di atas, maka
kedua kromosom tersebut akan membentuk kala seperti pada Gambar 5.5.

Gambar 5.5. Kedudukan kromosom inversi pada meiosis


a) kedudukan biad
b) kedudukan tetrad (sinapsis)
c) pindah silang

Pindah silang di antara kromosom inversi dan kromosom


homolognya yang normal akan mengakibatkan kematian gamet-gamet
rekombinasi yang dihasilkan pada meiosis karena dari pindah silang
tersebut akan didapatkan kromosom-kromosom delesi dan duplikasi
seperti ditunjukkan pada Gambar 5.6. Gamet-gamet dengan kromosom
hasil pindah silang ini akan menghilang sehingga seakan-akan tidak
pernah terjadi pindah silang. Oleh karena itu, inversi sering dikatakan
sebagai ‟penekan pindah silang‟.

68 GENETIKA
Gambar 5.6. Tahapan penting meisosis pada kromosom inversi
a) Profase I (sinapsis dan pindah silang)
b) Anafase I

Hasil pindah silang pada profase I (Gambar 5.6.a) adalah sebuah


kromosom disentrik (1-2-3-1), dan sebuah kromosom asentrik (4-2-3-4).
Kromosom asentrik akan mengakibatkan kematian gamet yang
membawanya karena dengan tidak adanya sentromir sebagai tempat
melekatnya benang spindel, kromosom semacam ini tidak mampu
mencapai kutub-kutub sel selama berlangsungnya pembelahan sel. Di sisi
lain, walaupun sebenarnya dapat mencapai kutub sel, kromosom disentrik
juga akan mengakibatkan kematian gamet yang membawanya karena
mengalami delesi gen 4, dan sekaligus duplikasi gen 1. Dengan demikian,
kita tidak akan menjumpai kedua macam gamet yang membawa
kromosom hasil pindah silang tersebut. Hanya dua macam gamet parental
saja yang akan didapatkan, yaitu gamet dengan kromosom normal
monosentrik (1-2-3-4) dan gamet dengan kromosom inversi monosentrik
(1-3-2-4).

PERUBAHAN JUMLAH DAN STRUKTUR KROMOSOM 69


Translokasi
Perubahan struktur kromosom dinamakan translokasi jika segmen
tertentu pada suatu kromosom terlepas dan berikatan dengan kromosom
lain yang bukan homolognya. Apabila perpindahan segmen, katakanlah
dari kromosom 1 ke kromosom 2, diikuti oleh perpindahan segmen dari
kromosom 2 ke kromosom 1, peristiwanya dinamakan translokasi
resiprok. Translokasi tipe inilah yang paling umum dijumpai.
Akibat sitologis translokasi resiprok adalah terbentuknya
konfigurasi perempatan pada profase I. Misalnya, translokasi resiprok
terjadi antara kromosom dengan gen-gen a-b-c-d-e dan kromosom
dengan gen-gen k-l-m-n-o sehingga didapatkan kromosom a-b-m-n-o dan
kromosom k-l-c-d-e. Ketika terjadi sinapsis pada profase I akan terbentuk
konfigurasi seperti pada Gambar 5.7.

a a
b b
e d c m n o
e d c m n o
l l
k k
Gambar 5.7. Sinapsis pada translokasi resiprok

Pada contoh ini gamet-gamet yang hidup adalah gamet yang di


dalamnya lengkap terdapat gen-gen a, b, c, d, e, k, l, m, n, dan o. Dengan
demikian, hanya ada dua macam gamet yang hidup, yaitu gamet dengan
kromosom a-b-c-d-e dan k-l-m-n-o, serta gamet dengan kromosom a-b-
m-n-o dan k-l-c-d-e. Gamet-gamet lainnya, yakni a-b-c-d-e dan a-b-m-n-
o; a-b-c-d-e dan k-l-c-d-e; k-l-m-n-o dan a-b-m-n-o; k-l-m-n-o dan k-l-c-
d-e akan mati karena tidak membawa lengkap kesepuluh gen tersebut.
Pada manusia dikenal suatu tipe translokasi nonresiprok yang
dinamakan translokasi Robertsonian. Dalam hal ini, lengan panjang dua
buah kromosom akrosentrik nonhomolog terikat pada satu sentromir.
Sementara itu, lengan pendeknya akan membentuk kromosom resiprokal,
tetapi kromosom pendek ini membawa gen-gen yang tidak esensial dan
biasanya akan hilang dalam beberapa generasi.

70 GENETIKA
+
kromosom 21 kromosom 14

dan
translokasi Robertsonian hilang
Gambar 5.8. Pembentukan translokasi Robertsonian

Translokasi Robertsonian dapat meningkatkan risiko terjadinya


sindrom Down karena salah satu kromosomnya adalah kromosom 21.
Individu karier/heterozigot mempunyai fenotipe normal, tetapi akan ada
kelainan segregasi kromosom dalam pembentukan gametnya. Salah satu
macam gamet yang dihasilkan adalah gamet dengan kromosom 21
normal dan kromosom 14 yang membawa lengan panjang kromosom 21.
Apabila gamet ini bertemu dengan gamet yang membawa kromosom 21
normal, maka anak hasil pembuahan ini akan membawa dua buah
kromosom 21 dan sebuah kromosom 14 dengan lengan panjang
kromosom 21. Dengan demikian, ia akan memiliki tiga salinan untuk
sebagian besar gen yang ada pada kromosom 21. Keadaan seperti
trisomik pada kromosom 21 ini akan mengakibatkan terjadinya sindrom
Down.

Pengaruh posisi gen


Pada pembicaraan tentang duplikasi antara lain dijelaskan bahwa
pada lalat Drosophila terdapat segmen kromosom X (disebut segmen
16A) yang berperan dalam pengaturan ukuran mata. Makin banyak
salinan segmen tersebut, makin kecil mata Drosophila. Dicontohkan
bahwa tiga salinan akan menyebabkan mata lebih kecil daripada dua
salinan, dan dua salinan menyebabkan mata lebih kecil daripada satu
salinan.
Namun, sebenarnya faktor yang menentukan ukuran mata
Drosophila bukan sekedar banyaknya salinan segmen tersebut, melainkan
juga letak atau posisi segmen di dalam kromosom. Sebagai contoh, empat
salinan yang terbagi dalam dua kromosom akan menjadikan mata
Drosophila lebih besar daripada apabila tiga salinan terdapat pada satu
kromosom dan satu salinan terdapat pada kromosom yang lain.
Fenomena ini dikenal sebagai pengaruh posisi gen (position effects).
Berbagai kemungkinan pengaruh posisi gen pada Drosophila
dewasa ini telah dapat dijelaskan mekanismenya. Secara garis besar
pengaruh posisi gen dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu stabil dan
bervariasi. Contoh pada kasus mata Bar tadi termasuk dalam kelompok
stabil, yang artinya bahwa pengaruh posisi gen bersifat seragam terhadap

PERUBAHAN JUMLAH DAN STRUKTUR KROMOSOM 71


fenotipe yang dihasilkan. Sebaliknya, kelompok bervariasi akan
memberikan pola mosaik pada karakter fenotipiknya. Sebagai contoh,
bintik mata yang berwarna-warni pada Drosophila akibat perubahan
posisi gen pada lokus w.

Kelainan Kromosom dan Kanker


Kanker secara umum dapat dikatakan sebagai perbanyakan sel
yang tidak terkendali sehingga membentuk suatu kelompok sel atau klon.
Sejalan dengan berlangsungnya pertumbuhan klon ini, banyak sel di
dalamnya yang mengalami kelainan kromosom, baik menyangkut jumlah
maupun strukturnya. Kelainan kromosom di dalam sel-sel kanker dapat
sangat bervariasi, tidak saja di antara individu dengan jenis kanker yang
sama, tetapi bahkan di antara sel-sel kanker di dalam satu klon.
Meskipun demikian, di antara variasi tersebut terdapat sejumlah
kelainan kromosom yang selalu dijumpai pada tipe kanker tertentu,
khususnya pada kanker hematologi seperti leukemia. Sebagai contoh,
delesi pada lengan panjang kromosom 22 selalu menyertai penyakit
leukemia mielogen khronis, dan kromosom yang mengalami delesi ini
dinamakan kromosom Philadelphia. Namun, dari penelitian sitologi
berikutnya diketahui bahwa kromosom Philadelphia ternyata merupakan
hasil translokasi resiprok dengan kromosom 8 atau 9. Contoh lainnya
adalah delesi pada lengan pendek kromosom 11 yang sering dijumpai
pada tumor Wilms, suatu jenis tumor ginjal yang biasanya terjadi pada
anak-anak.
Hampir semua kelainan kromosom tersebut mempunyai tempat
kerusakan di dekat lokasi onkogen, yaitu gen-gen yang berkaitan dengan
kanker. Dewasa ini telah dikenal lebih kurang 20 macam onkogen.
Fungsi normalnya belum diketahui, tetapi nampaknya berperan dalam
pengaturan perbanyakan sel. Onkogen akan diekspresikan dengan tidak
normal ketika suatu kelainan kromosom tertentu terjadi di dekatnya.
Akan tetapi, ketidaknormalan ekspresi onkogen ini sebenarnya belum
cukup untuk menghasilkan pertumbuhan sel kanker. Dalam hal ini masih
diperlukan adanya satu atau beberapa mutasi lainnya di dalam sel yang
sama. Secara umum, munculnya suatu jenis kanker ditandai oleh adanya
satu atau dua onkogen tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
Griffiths, AJF., Wessler, SR., Carroll, SB. and Doebley, J. 2020.
Introduction to Genetic Analysis. 12th Ed. W. H. Freeman & Co.,
New York.
Hartl, DL., Freifelder, D., Snyder, LA. 1988. Basic Genetics. 1st Ed.
Jones & Bartlett Publ. Inc., Portola Valley, California.

72 GENETIKA
Pierce, BA. 2012. Genetics: a Conceptual Approach 4th Ed. WH Freeman
& Co., New York.
Susanto, AH. 2011. Genetika. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

SOAL LATIHAN
1. Peristiwa aneuploidi melibatkan perubahan
A. struktur genom.
B. jumlah genom.
C. struktur kromosom tertentu.
D. jumlah kromosom tertentu.
E. struktur dan jumlah kromosom.
2. Peristiwa euploidi dapat dijumpai pada
A. tanaman Chrysantemum.
B. mata “bar” Drosophila.
C. sindrom Down.
D. leukemia mielogen kronis.
E. tumor Wilms.
3. Contoh aneuploidi dapat dijumpai pada individu
A. diploid.
B. disomi.
C. triploid.
D. tetraploid.
E. tetrasomi.
4. Notasi untuk melambangkan salah satu peristiwa aneuploid adalah
A. 2n.
B. 2n + 1.
C. 2n + 1 + 1 atau 4n.
D. 3n + 1 atau 4n.
E. 2n + 2 atau 4n.
5. Peristiwa di bawah ini disebabkan oleh aneuploidi pada kromosom
kelamin, KECUALI
A. sindrom Klinefelter.
B. sindrom Turner.
C. sindrom Down.
D. sindrom trisomi-X.
E. sindrom Y-ganda.
6. Fenomena mata ”bar” pada Drosophila merupakan contoh peristiwa
A. transversi.
B. translokasi.
C. inversi.
D. duplikasi.
E. delesi.

PERUBAHAN JUMLAH DAN STRUKTUR KROMOSOM 73


7. Sindrom Down terkait dengan peristiwa
A. delesi dan trisomi.
B. duplikasi dan triploidi.
C. translokasi dan trisomi.
D. inversi dan triploidi.
E. tranlokasi dan triploidi.
8. Pengaruh posisi gen (position effects) antara lain dapat dijumpai pada
kasus
A. mata “bar” lalat Drosophila.
B. bentuk selubung biji gulma Datura stramonium.
C. sindrom Turner.
D. sindrom Klinefelter.
E. sindrom Down.
9. Kromosom Philadelphia dijumpai pada penderita
A. hemofilia.
B. leukemia.
C. talasemia.
D. anemia bulan sabit.
E. Tumor Wilms.
10. Nama kromosom nomor 22 pada manusia yang mengalami delesi dan
menyertai penyakit leukemia mielogen kronis adalah
A. onkogen.
B. karsinogen.
C. Klinefelter.
D. Wilms.
E. Philadelphia.

KUNCI JAWABAN
1. D 6. D
2. A 7. C
3. E 8. A
4. B 9. B
5. C 10. E

Jika Anda menjawab soal dengan benar sebanyak


> 8 berarti Anda telah sangat menguasai materi bab ini dan dapat
melanjutkan mempelajari materi bab berikutnya.
6 – 7 berarti Anda telah cukup menguasai materi bab ini, tetapi
sebaiknya mengulang lagi mempelajari bagian yang jawaban
soalnya masih keliru.
< 5 berarti Anda kurang menguasai materi bab ini sehingga perlu
mempelajarinya kembali, terutama di bagian yang jawaban soalnya
masih keliru.

74 GENETIKA
Setelah mempelajari materi pada Bab VI ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan kriteria pewarisan sitoplasmik, organel sitoplasmik pembawa
materi genetik, pengaruh genetik simbion sitoplasmik pada Paramaecium,
mekanisme sterilitas jantan pada jagung, dan pengaruh maternal.

S
ebegitu jauh pembicaraan kita tentang pewarisan sifat pada
eukariot selalu dikaitkan dengan gen-gen yang terletak di dalam
kromosom/nukleus. Kenyataannya gen-gen kromosomal ini
memang memegang peranan utama di dalam pewarisan sebagian besar
sifat genetik. Meskipun demikian, sesekali pernah pula dilaporkan bahwa
ada sejumlah sifat genetik pada eukariot yang pewarisannya diatur oleh
unsur-unsur di luar nukleus. Pewarisan ekstranukleus, atau dikenal pula
sebagai pewarisan sitoplasmik, ini tidak mengikuti pola Mendel.
Pewarisan sifat sitoplasmik diatur oleh materi genetik yang
terdapat di dalam organel-organel seperti mitokondria, kloroplas (pada
tumbuhan), dan beberapa komponen sitoplasmik lainnya. Begitu juga,
virus dan partikel mirip bakteri dapat bertindak sebagai pembawa sifat
herediter sitoplasmik. Pada Bab VI ini akan dibahas berbagai contoh
kasus yang termasuk dalam pewarisan sitoplasmik. Di bagian akhir
dibicarakan pula suatu fenomena lain yang masih ada sangkut pautnya
dengan pewarisan sitoplasmik, yakni pengaruh maternal.

Kriteria Pewarisan Sitoplasmik


Sebenarnya tidak ada kriteria yang dapat berlaku universal untuk
membedakan pewarisan sitoplasmik dengan pewarisan gen-gen
kromosomal. Namun, setidak-tidaknya lima hal di bawah ini dapat
digunakan untuk keperluan tersebut.
1. Perbedaan hasil perkawinan resiprok merupakan penyimpangan dari
pola Mendel. Sebagai contoh, hasil persilangan antara betina A dan
jantan B tidak sama dengan hasil persilangan antara betina B dan
jantan A. Jika dalam hal ini pengaruh rangkai kelamin (sex linkage)
dikesampingkan, maka perbedaan hasil perkawinan resiprok tersebut
menunjukkan bahwa salah satu tetua (biasanya betina) memberikan
pengaruh lebih besar daripada pengaruh tetua lainnya dalam
pewarisan suatu sifat tertentu.

75
2. Sel kelamin betina biasanya membawa sitoplasma dan organel
sitoplasmik dalam jumlah lebih besar daripada sel kelamin jantan.
Organel dan simbion di dalam sitoplasma dimungkinkan untuk
diisolasi dan dianalisis untuk mendukung pembuktian tentang adanya
transmisi maternal dalam pewarisan sifat. Jika materi sitoplasmik
terbukti berkaitan dengan pewarisan sifat tertentu, maka dapat
dipastikan bahwa pewarisan sifat tersebut merupakan pewarisan
sitoplasmik.
3. Gen-gen kromosomal menempati loki tertentu dengan jarak satu sama
lain yang tertentu pula sehingga dapat membentuk kelompok
berangkai (Bab IV). Oleh karena itu, jika ada suatu materi penentu
sifat tidak dapat dipetakan ke dalam kelompok-kelompok berangkai
yang ada, sangat dimungkinkan bahwa materi genetik tersebut
terdapat di dalam sitoplasma
4. Tidak adanya nisbah segregasi Mendel menunjukkan bahwa
pewarisan sifat tidak diatur oleh gen-gen kromosomal tetapi oleh
materi sitoplasmik.
5. Substitusi nukleus dapat memperjelas pengaruh relatif nukleus dan
sitoplasma. Jika pewarisan suatu sifat berlangsung tanpa adanya
pewarisan gen-gen kromosomal, maka pewarisan tersebut terjadi
karena pengaruh materi sitoplasmik.

Organel Sitoplasmik Pembawa Materi Genetik


Di dalam sitoplasma antara lain terdapat organel-organel seperti
mitokondria dan kloroplas, yang memiliki molekul DNA (lihat Bab VII)
dan dapat melakukan replikasi subseluler sendiri. Oleh karena itu, kedua
organel ini sering kali disebut sebagai organel otonom. Beberapa hasil
penelitian memberikan petunjuk bahwa mitokondria dan kloroplas pada
awalnya masing-masing merupakan bakteri dan alga yang hidup bebas.
Dalam kurun waktu yang sangat panjang mereka kemudian membangun
simbiosis turun-temurun dengan sel inang eukariotnya dan akhirnya
berkembang menjadi organel yang menetap di dalam sel.
Mitokondria, yang dijumpai pada semua jenis organisme eukariot,
diduga membawa hingga lebih kurang 50 gen di dalam molekul DNAnya.
Gen-gen ini di antaranya bertanggung jawab atas struktur mitokondria itu
sendiri dan juga pengaturan berbagai bentuk metabolisme energi. Enzim-
enzim untuk keperluan respirasi sel dan produksi energi terdapat di dalam
mitokondria. Begitu juga, bahan makanan akan dioksidasi di dalam
organel ini untuk menghasilkan senyawa adenosin trifosfat (ATP), yang
merupakan bahan bakar bagi berbagai reaksi biokomia.
Sementara itu, kloroplas sebagai organel fotosintetik pada
tumbuhan dan beberapa mikroorganisme membawa sejumlah materi
genetik yang diperlukan bagi struktur dan fungsinya dalam melaksanakan

76 GENETIKA
proses fotosintesis. Klorofil beserta kelengkapan untuk sintesisnya telah
dirakit ketika kloroplas masih berada dalam bentuk alga yang hidup
bebas. Pada alga hijau plastida diduga membawa mekanisme genetik
lainnya, misalnya mekanisme ketahanan terhadap antibiotik streptomisin
pada Chlamydomonas, yang nanti akan dibicarakan pada bagian lain bab
ini.

Mutan Mitokondria
Pada suatu penelitian menggunakan khamir Saccharomyces
cerevisae B. Ephrusi menemukan sejumlah koloni berukuran sangat kecil
yang kadang-kadang terlihat ketika sel ditumbuhkan pada medium padat.
Koloni-koloni ini dinamakan mutan petit (petite mutant). Hasil
pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa sel-sel pada koloni
tersebut berukuran normal. Namun, hasil studi fisiologi menunjukkan
bahwa sel-sel tersebut mengalami petumbuhan yang sangat lambat karena
adanya kelainan dalam metabolisme senyawa karbon. Mutan petit
melakukan metabolisme karbon bukan dengan respirasi menggunakan
oksigen, melainkan melalui fermentasi glukosa secara anaerob yang jelas
jauh kurang efisien bila dibandingkan dengan respirasi aerob.
Analisis genetik terhadap hasil persilangan antara mutan petit dan
tipe liarnya memperlihatkan adanya tiga tipe mutan petit seperti dapat
dilihat pada Gambar 6.1.
Tipe pertama memperlihatkan segregasi Mendel seperti biasanya
sehingga dinamakan petit segregasional. Persilangan dengan tipe liarnya
menghasilkan zigot diploid yang normal. Jika zigot ini mengalami
pembelahan meiosis, akan diperoleh empat askopora haploid dengan
nisbah fenotipe 2 normal : 2 petit. Hal ini menunjukkan bahwa petit
segregasional ditimbulkan oleh mutasi di dalam nukleus. Selain itu, oleh
karena zigot diploid mempunyai fenotipe normal, maka dapat dipastikan
bahwa alel yang mengatur mutan petit merupakan alel resesif.
Tipe ke dua, yang disebut petit netral, berbeda dengan tipe
pertama jika dilihat dari keempat askopora hasil pembelahan meiosis
zigot diploid. Keempat askospora ini semuanya normal. Hasil yang sama
akan diperoleh apabila zigot diploid disilang balik dengan tetua petitnya.
Jadi, fenotipe keturunan hanya ditentukan oleh tetua normalnya. Dengan
perkataan lain, pewarisan sifatnya merupakan pewarisan uniparental.
Berlangsungnya pewarisan uniparental tersebut disebabkan oleh
hilangnya sebagian besar atau seluruh materi genetik di dalam
mitokondria yang menyandi sintesis enzim respirasi oksidatif pada
kebanyakan petit netral. Ketika sel petit netral bertemu dengan sel tipe
liar, sitoplasma sel tipe liar akan menjadi sumber materi genetik
mitokondria bagi spora-spora hasil persilangan petit dengan tipe liar
sehingga semuanya akan mempunyai fenotipe normal.

PEWARISAN SITOPLASMIK 77
Gambar 6.1. Pewarisan mutasi petit pada persilangan dengan tipe
liarnya (lingkaran kecil menggambarkan sel petit;
nukleus bergaris mendatar membawa alel untuk
pembentukan petit)

Tipe ke tiga disebut petit supresif, yang hingga kini belum dapat
dijelaskan dengan baik. Pada persilangannya dengan tipe liar dihasilkan
zigot diploid dengan fenotipe petit. Selanjutnya, hasil meiosis zigot petit
ini adalah empat askospora yang semuanya mempunyai fenotipe petit.
Dengan demikian, seperti halnya pada tipe petit netral, pewarisan
uniparental juga terjadi pada tipe petit supresif. Bedanya, pada petit
supresif alel penyebab petit bertindak sebagai penghambat (supresor)
dominan terhadap aktivitas mitokondria tipe liar. Petit supresif juga
mengalami kerusakan pada materi genetik mitokondrianya tetapi
kerusakannya tidak separah pada petit netral.
Selain pada khamir S. cerevisae, kasus mutasi mitokondria juga
dijumpai pada jamur Neurospora, yang pewarisannya berlangsung
uniparental melalui tetua betina (pewarisan maternal) meskipun
sebenarnya pada jamur ini belum ada perbedaan jenis kelamin yang
nyata. Mutan mitokondria pada Neurospora yang diwariskan melalui
tetua betina tersebut dinamakan mutan poki (poky mutant). Persilangan
antara betina poki dan jantan tipe liar menghasilkan keturunan yang
semuanya poki. Sebaliknya, persilangan antara betina tipe liar dan jantan
poki menghasilkan keturunan yang semuanya normal.

78 GENETIKA
Mutan poki menyerupai mutan petit pada S. cerevisae dalam hal
pertumbuhannya yang lambat dan kerusakan fungsi mitokondrianya.
Secara biokimia kelainan ini berupa gangguan pada sistem sintesis
protein mitokondria yang diatur oleh materi genetik di dalam
mitokondria. Akibatnya, sel kehilangan kemampuan untuk membentuk
protein yang diperlukan dalam metabolisme oksidatif. Seperti halnya
mutan petit, mutan poki juga memperoleh energi untuk pertumbuhannya
melalui jalur fermentasi anaerob yang sangat tidak efisien.

Materi Genetik di dalam Kloroplas


Carl Correns pada tahun 1908 melihat adanya perbedaan hasil
persilangan resiprok pada pewarisan warna bagian vegetatif tanaman,
khususnya daun, pada beberapa tanaman tertentu seperti bunga pukul
empat (Mirabilis jalapa). Dia mengamati bahwa pewarisan warna
tersebut semata-mata ditentukan oleh tetua betina dan berkaitan dengan
ada tidaknya kloroplas di dalam sitoplasma.
Suatu tanaman bunga pukul empat dapat memiliki bagian vegetatif
yang berbeda-beda warnanya, yaitu hijau, putih, dan belang-belang hjau-
putih (variegated). Sel-sel pada bagian yang berwarna hijau mempunyai
kloroplas yang mengandung klorofil, sedangkan sel-sel pada bagian yang
berwarna putih tidak mempunyai kloroplas tetapi berisi plastida yang
tidak berwarna. Sementara itu, bagian yang belang-belang terdiri atas sel-
sel, baik dengan maupun tanpa kloroplas. Ketiga macam bagian tanaman
tersebut dapat menghasilkan bunga, baik sebagai sumber polen (tetua
jantan) maupun sebagai pembawa putik (tetua betina), sehingga
dimungkinkan adanya sembilan kombinasi persilangan, yang hasilnya
dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1 Hasil persilangan pada tanaman bunga pukul empat


Fenotipe cabang Fenotipe cabang
yang membawa yang membawa Fenotipe keturunan
bunga sebagai bunga sebagai
tetua betina tetua jantan
putih putih putih
putih hijau putih
putih belang-belang putih
hijau putih hijau
hijau hijau hijau
hijau belang-belang hijau
belang-belang putih belang-belang, hijau, atau putih
belang-belang hijau belang-belang, hijau, atau putih
belang-belang belang-belang belang-belang, hijau, atau putih

PEWARISAN SITOPLASMIK 79
Jelas dapat disimpulkan dari Tabel 6.1 bahwa fenotipe keturunan
akan selalu sama dengan fenotipe tetua betina atau terjadi pewarisan
maternal. Hal ini karena seperti telah dikatakan di atas bahwa warna
hijau bergantung kepada ada tidaknya kloroplas, sementara polen hanya
sedikit sekali atau bahkan sama sekali tidak memiliki kloropas. Dengan
demikian, kontribusi kloroplas kepada zigot dapat dipastikan hanya
berasal dari sel kelamin betina. Model yang menjelaskan pewarisan
maternal ini dapat dilihat pada Gambar 6.2.

Gambar 6.2. Model pewarisan maternal pada tanaman bunga pukul


empat
= plastida tanpa klorofil ; = kloroplas

Penelitian tentang pewarisan sitoplasmik telah dilakukan pula pada


alga uniseluler Chlamydomonas reinhardii, yakni mengenai pewarisan
sifat ketahanan terhadap antibiotik. Sel alga ini memiliki sebuah
kloroplas yang besar ukurannya dan di dalamya terdapat sejumlah materi
genetik.
Ada dua macam sel pada Chlamydomonas bila dilihat dari tipe
kawinnya, yakni mt + dan mt -. Kedua macam sel haploid ini dapat
bergabung membentuk zigot diploid, yang selanjutnya akan mengalami
meiosis untuk menghasilkan tetrad yang terdiri atas empat buah sel
haploid. Oleh karena kedua sel tipe kawin tersebut ukurannya sama besar,
maka kontribusi sitoplasma kepada zigot yang terbentuk akan sama
banyaknya. Sel-sel haploid di dalam tetrad dapat ditumbuhkan pada
medium selektif padat dan membentuk koloni yang menunjukkan
genotipenya.

80 GENETIKA
Persilangan resiprok antara tipe liar (rentan antibiotik) dan mutan-
mutan yang tahan antibiotik memberikan hasil yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, persilangan antara tipe liar dan mutan yang tahan
terhadap streptomisin menghasilkan keturunan yang sifat ketahanannya
terhadap streptomisin bergantung kepada tetua mt+. Secara skema
persilangan tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 6.3.
Keturunan hasil persilangan antara kedua tipe kawin selalu
mempunyai genotipe seperti salah satu tetuanya. Persilangan mt+ str+
dengan mt – str - menghasilkan keturunan yang semuanya tahan
streptomisin (str+) sementara persilangan mt+ str - dengan mt - str+
menghasilkan keturunan yang semuanya rentan streptomisin (str -). Jadi,
pewarisan sifat ketahanan terhadap streptomisin berlangsung uniparental
atau bergantung kepada genotipe salah satu tetuanya, dalam hal ini mt+.
Dengan perkataan lain, pewarisan alel str mengikuti pola pewarisan
uniparental. Meskipun demikian, alel yang menentukan tipe kawin itu
sendiri (alel mt) nampak bersegregasi mengikuti pola Mendel, yakni
menghasilkan keturunan dengan nisbah 1 : 1, yang menunjukkan bahwa
alel tersebut terletak di dalam kromosom nukleus.
Berbagai penelitian mengenai ketahanan terhadap antibiotik selain
streptomisin telah dilakukan pula pada Chlamydomonas, dan semuanya
memperlihatkan terjadinya pewarisan uniparental. Analisis biokimia
membuktikan bahwa sifat ketahanan terhadap antibiotik berhubungan
dengan kloroplas. Seperti telah kita ketahui bahwa sel haploid
Chlamydomonas hanya mempunyai sebuah kloroplas. Jika kloroplas ini
berasal dari penggabungan kloroplas kedua sel tipe kawin yang
digunakan sebagai tetua dengan nisbah yang sama, maka tidak mungkin
terjadi pewarisan uniparental. Dengan demikian, kloroplas dapat
dipastikan berasal dari salah satu tipe kawin saja. Hal ini didukung oleh
penelitian menggunakan penanda fisik untuk membedakan kloroplas dari
kedua tipe kawin yang telah menunjukkan bahwa setelah terjadi
penggabungan, kloroplas dari mt – akan hilang oleh suatu sebab yang
hingga kini beluim diketahui. Jadi, kloroplas yang diwariskan hanya
berasal dari tetua mt +. Oleh karena pewarisan sifat ketahanan terhadap
antibiotik selalu ditentukan oleh tetua mt +, yang berarti sejalan dengan
pola pewarisan kloroplas, maka sifat ini jelas dibawa oleh kloroplas.
Dengan perkataan lain, pewarisan sifat ketahanan terhadap antibiotik
pada Chlamydomonas merupakan pewarisan ekstrakromosomal atau
pewarisan sitoplasmik.

PEWARISAN SITOPLASMIK 81
Gambar 6.3. Diagram pewarisan sifat ketahanan terhadap
streptomisin pada Chlamydomonas
(mt = tipe kawin; str+ = tahan streptomisin; str - =rentan
streptomisin)

Simbion Sitoplasmik pada Paramecium


Paramecium diketahui merupakan protozoa uniseluler yang
reproduksinya berlangsung baik seksual maupun aseksual. Reproduksi
seksual ditandai dengan peristiwa konjugasi dan perpindahan materi
genetik dari satu sel ke sel yang lain, sedangkan fase aseksual, atau sering
disebut autogami, terjadi melalui pembelahan sel yang menghasilkan sel-
sel dengan sifat-sifat genetik yang sama. Secara skema tahap-tahap
reproduksi pada Paramecium dapat dilihat pada Gambar 6.4.
Paramecium memiliki dua macam nukleus, yakni makronukleus
vegetatif dan mikronukleus yang mengalami pembelahan meiosis untuk
menghasilkan gamet-gamet haploid. Pada fase seksual kedua mikronuklei
pada masing-masing sel mengalami meiosis hingga dihasilkan delapan
mikronuklei haploid, yang tujuh di antaranya akan mengalami
degenerasi. Satu mikronukleus yang tersisa mengalami mitosis menjadi
dua mikronuklei yang juga haploid. Selanjutnya, membran sel di tempat
kedua sel berlekatan akan rusak sehingga terjadi pertukaran salah satu
mironuklei antarsel, yang diikuti dengan fusi kedua mikronuklei menjadi
satu mikronukleus diploid. Mulai tahap ini kedua sel (ekskonjugan)
secara genetik menjadi sama.

82 GENETIKA
1 2 3 4 5 6
a)

A A&A AA AA AA AA

Aa 1 a 2 a&a 3 aa 4 aa 5 aa 6 aa
b)

Gambar 6.4. Daur reproduksi pada Paramecium


a) Fase seksual (1=meiosis kedua mikronuklei menjadi delapan
mikronuklei; 2 = degenerasi tujuh mikronuklei dan
makronukleus, satu mikronukleus yang tersisa
mengalami mitosis menjadi dua mikronuklei; 3 =
pertukaran mikronuklei antarsel dan fusi menjadi
satu mikronukleus diploid;4 = dua kali mitosis
menjadi empat mikronuklei diploid; 5 = fusi dua
mikronuklei menjadi makronukleus; 6 = pemisahan
sel menjadi dua ekskonjugan diploid)
b) Fase aseksual (1 = meiosis kedua mikronuklei diikuti degenerasi
tujuh mikronuklei; 2 = mikronukleus yang tersisa
mengalami mitosis; 3 = fusi hasil mitosis; 4 = dua
kali mitosis; 5 = dua mikronuklei menjadi dua
makronuklei; 6 = mitosis mikronuklei diikuti
sitokinesis)

Fase aseksual juga diawali dengan meiosis mikronuklei menjadi


delapan mikronuklei haploid, yang tujuh di antaranya mengalami
degenerasi. Satu mikronukleus yang tersisa mengalami mitosis menjadi
dua mikronuklei haploid. Kedua mikronuklei ini bergabung membentuk
satu mikronukleus diploid, yang kemudian mengalami dua kali mitosis
menjadi empat mikronuklei diploid. Dua di antara mikronuklei ini
berkembang menjadi makronuklei. Kedua mikronuklei yang tersisa
mengalami mitosis menjadi empat mikronuklei diploid. Setelah terjadi
sitokinesis (pemisahan sel) diperoleh dua buah sel masing-masing dengan
dua mikronuklei dan satu makronukleus yang semuanya diploid. Hal
yang perlu untuk diketahui pada fase aseksual ini adalah bahwa meskipun
sel yang mengalami autogami pada awalnya heterozigot, sel-sel yang
dihasilkan semuanya akan menjadi homozigot karena sel awal

PEWARISAN SITOPLASMIK 83
heterozigot tersebut terlebih dahulu mengalami meiosis menjadi sel
haploid. Dengan demikian, peristiwa autogami pada hakekatnya sangat
menyerupai pembuahan sendiri, khususnya dalam hal peningkatan
homozigositas. Dari hasil autogami dapat dipelajari bahwa pewarisan
suatu sifat diatur oleh gen-gen kromosomal ataukah sitoplasmik.
Pada strain tertentu Paramecium aurelia ditemukan adanya
fenomena 'pembunuh' (killer) yang berkaitan dengan keberadaan
sejumlah partikel yang disebut sebagai kappa di dalam sitoplasmanya.
Keberadaan kappa bergantung kepada gen kromosomal dominan K.
Beberapa peneliti, seperti T.M. Sonneborn, mengamati bahwa sel P.
aurelia yang mengandung partikel-partikel kappa akan menghasilkan
senyawa beracun yang dapat mematikan strain-strain protozoa lainnya
yang ada di sekitarnya. Senyawa beracun ini selanjutnya disebut sebagai
paramesin, sedangkan partikel-partikel kappa ternyata merupakan bakteri
simbion yang kemudian dikenal dengan nama Caedobacter
taeniospiralis, yang artinya bakteri pembunuh berbentuk pita spiral.
Apabila strain pembunuh melakukan konjugasi dengan strain
bukan pembunuh (pada suatu kondisi yang memungkinkan strain bukan
pembunuh untuk bertahan hidup), maka ada dua kemungkinan yang dapat
terjadi. Pertama, kedua sel tidak bertukar materi sitoplasmik tetapi hanya
bertukar mikronuklei (Gambar 6.5.a) sehingga diperoleh dua kelompok
sel, yakni sel pembunuh dan sel bukan pembunuh yang kedua-duanya
bergenotipe Kk. Jika masing-masing sel ini melakukan autogami, maka
akan diperoleh sel pembunuh (KK) dan sel bukan pembunuh (kk) yang
berasal dari sel pembunuh (Kk) serta sel bukan pembunuh (baik KK
maupun kk) yang berasal dari sel bukan pembunuh (Kk). Jadi, genotipe
KK dapat menghasilkan fenotipe bukan pembunuh jika di dalam
sitoplasmanya tidak terdapat partikel kappa. Sebaliknya sel pembunuh
(Kk) melalui autogami dapat menghasilkan sel bukan pembunuh (kk)
karena partikel kappa tidak akan mampu bertahan di dalam sitoplasma
tanpa adanya gen K. Dengan demikian, dari hasil tersebut nampak jelas
bahwa sifat pembunuh atau bukan pembunuh ditentukan oleh ada
tidaknya partikel kappa di dalam sitoplasma walaupun partikel itu sendiri
keberadaannya bergantung kepada gen K di dalam nukleus.
Kemungkinan kedua terjadi pertukaran materi sitoplasmik di antara
kedua sel (Gambar 6.5 b) sehingga hanya diperoleh satu kelompok sel,
yakni sel pembunuh yang bergenotipe Kk. Jika sel-sel ini melakukan
autogami, maka akan diperoleh sel pembunuh (KK) dan sel bukan
pembunuh (kk) dengan nisbah 1 : 1.

84 GENETIKA
pbn b-pbn pbn b-pbn

konjugasi

autogami
pbn b-pbn pbn pbn

pbn b-pbn b-pbn b-pbn pbn b-pbn pbn b-pbn


a) b)

Gambar 6.5. Persilangan antara pembunuh dan bukan pembunuh


pada Paramecium
a) tidak terjadi pertukaran materi sitoplasmik
b) terjadi pertukaran materi sitoplasmik
pbn = pembunuh ; b-pbn = bukan pembunuh

Sterilitas Jantan pada Jagung


Di bidang pertanian ada satu contoh fenomena pewarisan
sitoplasmik yang sangat penting, yaitu sterilitas jantan sitoplasmik pada
jagung. Tanaman jagung dikatakan steril atau mandul jantan sitoplasmik
apabila tidak mampu menghasilkan polen yang aktif dalam jumlah
normal sementara proses reproduksi dan fertilitas betinanya normal.
Sterilitas jantan sitoplasmik tidak diatur oleh gen-gen kromosomal tetapi
diwariskan melalui sitoplasma gamet betina dari generasi ke generasi.
Jenis sterilitas ini telah banyak digunakan dalam produksi biji jagung
hibrida.
Pola pewarisan sterilitas jantan pertama kali dipelajari oleh M.
Rhoades melalui percobaan persilangan pada jagung, yang secara skema
dapat dilihat pada Gambar 6.6. Individu mandul jantan sebagai tetua
betina disilangkan dengan individu normal sebagai tetua jantan.
Keturunannya, yang mandul jantan, disilang balik selama beberapa
generasi dengan tetua yang normal. Ternyata setelah sekian generasi
diperoleh individu yang semua atau hampir semua gen kromosomalnya
berasal dari tetua normal tetapi individu ini mandul jantan. Sementara itu,
individu mandul jantan sebenarnya masih dapat menghasilkan polen aktif
meskipun jumlahnya sangat sedikit. Dengan polen yang sangat sedikit ini
dapat dilakukan persilangan resiprok antara individu mandul jantan

PEWARISAN SITOPLASMIK 85
sebagai tetua jantan dan individu normal sebagai tetua betina, yang
ternyata menghasilkan keturunan normal. Dari kedua persilangan tersebut
dapat disimpulkan bahwa sifat sterilitas jantan dibawa oleh tetua betina di
dalam sitoplasma gametnya.

mandul jantan normal

gamet polen
(jarang)

mandul jantan normal

gamet

silang balik
beberapa kali
dengan tetua normal

mandul jantan

Gambar 6.6. Diagram pewarisan sterilitas jantan pada jagung

86 GENETIKA
Dewasa ini telah dikenal berbagai macam penyebab sterilitas
jantan sitoplasmik. Sebagai contoh, ada sterilitas jantan sitoplasmik yang
hanya terjadi jika di dalam nukleus tidak terdapat gen dominan tertentu,
katakanlah R. Artinya, dengan adanya gen R akan terjadi pemulihan dari
steril menjadi fertil/normal. Sebaliknya, pemunculan sterilitas jantan
sitoplasmik jenis lain dapat terjadi karena adanya gen dominan lain di
dalam nukleus, katakalah S.

Pengaruh Maternal pada Arah Kumparan Cangkang Siput


Arah kumparan pada cangkang siput Limnaea peregra dapat
dibedakan menjadi dua, yakni ke kanan (dekstral) dan ke kiri (sinistral).
Sifat ini diwariskan dengan pola yang menyerupai pewarisan maternal
atau pewarisan uniparental melalui tetua betina, yang berarti diatur oleh
materi genetik di dalam sitoplasma. Akan tetapi, dari fenotipe generasi F3
ternyata diketahui bahwa pewarisan sifat tersebut diatur oleh gen
kromosomal yang segregasinya mengikuti hukum Mendel. Fenomena
semacam ini dikenal dengan istilah pengaruh maternal (maternal effect).
Pengaruh maternal terjadi karena zigot dan embrio berkembang di
lingkungan tetua betina. Begitu juga, embrio yang baru saja keluar dari
tubuh tetua betina akan memperoleh nutrisi dan sitoplasma dari sel telur
tetua betina. Oleh karena itu, penampilan fenotipe individu yang
dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kondisi tetua betina.
Persilangan antara tetua betina siput dekstral dan jantan sinistral
menghasilkan keturunan F1 yang semuanya dekstral (Gambar 6.7).
Sementara itu, persilangan resiproknya menghasilkan keturunan F1 yang
semuanya sinistral. Hasil ini merupakan ciri khas pewarisan sitoplasmik.
Namun, hasil perkawinan sendiri di antara individu-individu F1, baik
sesama dekstral maupun sesama sinistral menghasikan generasi F2 yang
semuanya dekstral, yang berarti tidak konsisten dengan pola pewarisan
sitoplasmik. Ketidakkonsistenan ini baru dapat dijelaskan dengan hasil
persilangan pada generasi F3.
Pada generasi F3 diperoleh nisbah fenotipe 3 dekstral : 1 sinistral,
yang menunjukkan adanya segregasi Mendel. Dekstral (d) dominan
terhadap sinistral (s) sehingga genotipe dd dan ds akan menghasilkan
fenotipe dekstral sementara ss adalah sinistral. Jadi, dalam hal arah
kumparan cangkang pada siput fenotipe individu jelas ditentukan oleh
genotipenya sendiri, tidak oleh fenotipe tetua betinanya seperti pada
pewarisan sitoplasmik. Inilah yang membedakan pengaruh maternal
dengan pewarisan maternal.

PEWARISAN SITOPLASMIK 87
♀ x ♂ P ♂ x ♀

dd ss dd ss
F1

ds ds

F2

dd ds ds ss dd ds ds ss

F3
dd ds ds ss dd ds ds ss

Gambar 6.7. Diagram pewarisan arah kumparan cangkang siput


Limnaea peregra

DAFTAR PUSTAKA
Griffiths, AJF., Wessler, SR., Carroll, SB. and Doebley, J. 2020.
Introduction to Genetic Analysis. 12th Ed. W. H. Freeman & Co.,
New York.
Hartl, DL., Freifelder, D., Snyder, LA. 1988. Basic Genetics. 1st Ed.
Jones & Bartlett Publ. Inc., Portola Valley, California.
Pierce, BA. 2012. Genetics: a Conceptual Approach 4th Ed. WH Freeman
& Co., New York.
Susanto, AH. 2011. Genetika. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

SOAL LATIHAN
1. Hal-hal berikut ini mengindikasikan terjadinya pewarisan sitoplasmik,
kecuali
A. perbedaan hasil perkawinan resiprok.
B. materi genetik yang mengatur suatu sifat tidak dapat dipetakan
dalam kelompok gen berangkai (linkage group) mana pun.
C. terjadi nisbah segregasi Mendel.
D. pewarisan sifat berlangsung tanpa adanya pewarisan gen-gen
kromosomal.
E. kedua tetua tidak memberikan pengaruh yang sama besar dalam
pewarisan sifat.

88 GENETIKA
2. Persilangan mutan petit netral pada Saccharomyces cerevisae dengan
tipe liarnya akan menghasilkan askospora
A. normal : petit = 1 : 1.
B. normal : petit = 3 : 1.
C. petit : normal = 3 : 1.
D. normal semua.
E. petit semua.
3. Persilangan antara betina poki dan jantan tipe liar pada jamur
Neurospora menghasilkan keturunan
A. poki.
B. normal.
C. normal : poki = 1 : 1.
D. normal : poki = 3 : 1.
E. normal : poki = 1 : 3.
4. Jika bunga tanaman Mirabilis jalapa dengan cabang berwarna hijau
diserbuki oleh polen dari M. jalapa yang mempunyai cabang berwarna
putih akan dihasilkan tanaman dengan cabang berwarna
A. hijau.
B. putih.
C. belang-belang (variegated).
D. hijau dan putih.
E. hijau, putih, dan belang-belang (variegated).
5. Persilangan antara tipe kawin mt+str - dan mt -str+ pada
Chlamydomonas reinhardii menghasikan keturunan yang
A. tahan terhadap streptomisin.
B. rentan terhadap streptomisin.
C. tahan : rentan terhadap streptomisin = 1 : 1.
D. tahan : rentan terhadap streptomisin = 3 : 1.
E. tahan : rentan terhadap streptomisin = 1 : 3.
6. Genotipe KK pada Paramecium aurelia menghasikan fenotipe bukan
pembunuh (non killer) jika di dalam
A. nukleusnya terdapat partikel kappa.
B. nukleusnya tidak terdapat partikel kappa.
C. sitoplasmanya terdapat partikel kappa.
D. sitoplasmanya tidak terdapat partikel kappa.
E. sitoplasma dan nukleusnya terdapat partikel kappa.
7. Partikel kappa tidak mampu bertahan pada Paramecium aurelia yang
memiliki genotipe
A. KK.
B. Kk.
C. kk.
D. KK atau Kk.
E. KK atau kk.

PEWARISAN SITOPLASMIK 89
8. Silang balik jagung mandul jantan dengan tetua normalnya yang
dilakukan selama beberapa generasi akan menghasilkan
A. jagung normal yang membawa gen-gen mandul jantan di dalam
sitoplasmanya.
B. jagung normal yang membawa gen-gen mandul jantan di dalam
nukleusnya.
C. jagung normal yang tidak membawa gen-gen mandul jantan.
D. jagung mandul jantan yang membawa gen-gen dari tetua normal di
dalam sitoplasmanya.
E. jagung mandul jantan yang membawa gen-gen dari tetua normal di
dalam nukleusnya.
9. Sterilitas jantan sitoplasmik pada jagung disebabkan oleh
A. gen sitoplasmik dan gen dominan R di dalam nukleus.
B. gen sitoplasmik dan gen resesif r di dalam nukleus.
C. gen sitoplasmik dan gen resesif s di dalam nukleus.
D. gen dominan R di dalam sitoplasma.
E. gen resesif r di dalam sitoplasma.
10. Pewarisan arah kumparan cangkang pada siput Limnaea peregra dapat
dikatakan sebagai
A. pewarisan ekstrakromosomal.
B. pewarisan uniparental.
C. pewarisan sitopasmik.
D. pewarisan maternal.
E. pengaruh maternal.

KUNCI JAWABAN
1. C 6. D
2. D 7. C
3. A 8. E
4. A 9. B
5. B 10. E

Jika Anda menjawab soal dengan benar sebanyak


> 8 berarti Anda telah sangat menguasai materi bab ini dan dapat
melanjutkan mempelajari materi bab berikutnya.
6 – 7 berarti Anda telah cukup menguasai materi bab ini, tetapi
sebaiknya mengulang lagi mempelajari bagian yang jawaban
soalnya masih keliru.
< 5 berarti Anda kurang menguasai materi bab ini sehingga perlu
mempelajarinya kembali, terutama di bagian yang jawaban soalnya
masih keliru.

90 GENETIKA
Setelah mempelajari materi pada Bab VII ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan tiga fungsi materi genetik, pembuktian DNA dan RNA sebagai
materi genetik, model struktur molekul DNA Watson-Crick, replikasi DNA
sebagai pelaksanaan fungsi genotipik materi genetik.

P ada tahun 1868 seorang mahasiswa kedokteran di Swedia, J.F.


Miescher, menemukan suatu zat kimia bersifat asam yang banyak
mengandung nitrogen dan fosfor. Zat ini diisolasi dari nukleus sel
nanah manusia dan kemudian dikenal dengan nama nuklein atau asam
nukleat. Meskipun ternyata asam nukleat selalu dapat diisolasi dari
nukleus berbagai macam sel, waktu itu fungsinya sama sekali belum
diketahui.
Dari hasil analisis kimia yang dilakukan sekitar empat puluh tahun
kemudian ditemukan bahwa asam nukleat ada dua macam, yaitu asam
deoksiribonukleat atau deoxyribonucleic acid (DNA) dan asam
ribonukleat atau ribonucleic acid (RNA). Pada tahun 1924 studi
mikroskopis menunjukkan bahwa DNA terdapat di dalam kromosom,
yang waktu itu telah diketahui sebagai organel pembawa gen (materi
genetik). Akan tetapi, selain DNA di dalam kromosom juga terdapat
protein sehingga muncul perbedaan pendapat mengenai hakekat materi
genetik, DNA atau protein.
Dugaan DNA sebagai materi genetik secara tidak langsung
sebenarnya dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa hampir semua sel
somatis pada spesies tertentu mempunyai kandungan DNA yang selalu
tetap, sedangkan kandungan RNA dan proteinnya berbeda-beda antara
satu sel dan sel yang lain. Di samping itu, nukleus hasil meiosis baik pada
tumbuhan maupun hewan mempunyai kandungan DNA separuh
kandungan DNA di dalam nukleus sel somatisnya.
Meskipun demikian, dalam kurun waktu yang cukup lama fakta
semacam itu tidak cukup kuat untuk meyakinkan bahwa DNA adalah
materi genetik. Hal ini terutama karena dari hasil analisis kimia secara
kasar terlihat kurangnya variasi kimia pada molekul DNA. Di sisi lain,
protein dengan variasi kimia yang tinggi sangat memenuhi syarat sebagai
materi genetik. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun protein lebih
diyakini sebagai materi genetik, sementara DNA hanya merupakan
kerangka struktur kromosom. Namun, pada pertengahan tahun 1940-an

91
terbukti bahwa justru DNA-lah yang merupakan materi genetik pada
sebagian besar organisme.

DNA sebagai Materi Genetik


Ada dua bukti percobaan yang menunjukkan bahwa DNA adalah
materi genetik. Masing-masing akan diuraikan berikut ini.
Percobaan transformasi
F. Griffith pada tahun 1928 melakukan percobaan infeksi bakteri
pneumokokus (Streptococcus pneumonia) pada mencit. Bakteri penyebab
penyakit pneumonia ini dapat menyintesis kapsul polisakarida yang akan
melindunginya dari mekanisme pertahanan tubuh hewan yang terinfeksi
sehingga bersifat virulen (menimbulkan penyakit). Jika ditumbuhkan
pada medium padat, bakteri pneumokokus akan membentuk koloni
dengan kenampakan halus mengkilap. Sementara itu, ada pula strain
mutan pneumokokus yang kehilangan kemampuan untuk menyintesis
kapsul polisakarida sehingga menjadi tidak tahan terhadap sistem
kekebalan tubuh hewan inangnya, dan akibatnya tidak bersifat virulen.
Strain mutan ini akan membentuk koloni dengan kenampakan kasar
apabila ditumbuhkan pada medium padat. Pneumokokus yang virulen
sering dilambangkan dengan S, sedangkan strain mutannya yang tidak
virulen dilambangkan dengan R.
Mencit yang diinfeksi dengan pneumokokus S akan mengalami
kematian, dan dari organ paru-parunya dapat diisolasi strain S tersebut.
Sebaliknya, mencit yang diinfeksi dengan strain R dapat bertahan hidup.
Demikian juga, mencit yang diinfeksi dengan strain S yang sebelumnya
telah dipanaskan terlebih dahulu akan dapat bertahan hidup. Hasil yang
mengundang pertanyaan adalah ketika mencit diinfeksi dengan campuran
antara strain S yang telah dipanaskan dan strain R yang masih hidup.
Ternyata dengan perlakuan ini mencit mengalami kematian, dan dari
organ paru-parunya dapat diisolasi strain S yang masih hidup.
Dengan hasil tersebut Griffith menyimpulkan bahwa telah terjadi
perubahan (transformasi) sifat strain R menjadi S. Transformasi terjadi
karena ada sesuatu yang dipindahkan dari sel-sel strain S yang telah mati
(dipanaskan) ke strain R yang masih hidup sehingga strain R yang semula
tidak dapat membentuk kapsul berubah menjadi strain S yang dapat
membentuk kapsul dan bersifat virulen.
Percobaan Griffith sedikit pun tidak memberikan bukti tentang
materi genetik. Namun, pada tahun 1944 tiga orang peneliti, yakni O.
Avery, C. MacLeod, dan M. McCarty melakukan percobaan untuk
mengetahui hakekat materi yang dipindahkan dari strain S ke strain R.
Mereka melakukan percobaan transformasi secara in vitro, yaitu
dengan menambahkan ekstrak DNA dari strain S yang telah mati kepada
strain R yang ditumbuhkan di medium padat. Di dalam ekstrak DNA ini

92 GENETIKA
terdapat juga sejumlah protein kontaminan, dan penambahan tersebut
ternyata menyebabkan strain R berubah menjadi S seperti pada percobaan
Griffith. Jika pada percobaan Avery dan kawan-kawannya itu
ditambahkan enzim RNase (pemecah RNA) atau enzim protease
(pemecah protein), transformasi tetap berjalan atau strain R berubah juga
menjadi S. Akan tetapi, jika enzim yang diberikan adalah DNase
(pemecah DNA), maka transformasi tidak terjadi. Artinya, strain R tidak
berubah menjadi strain S. Hal ini jelas membuktikan bahwa materi yang
bertanggung jawab atas terjadinya transformasi pada bakteri pneumonia,
dan ternyata juga pada hampir semua organisme, adalah DNA, bukan
RNA atau protein.

kultur strain S

ekstraksi DNA

ekstrak DNA + protein kontaminan


ditambahkan ke kultur strain R

protease RNase DNase

kultur kultur kultur


strain R strain R strain R

strain R + S strain R + S strain R

Gambar 7.1. Diagram percobaan transformasi yang membuktikan


DNA sebagai materi genetik

MATERI GENETIK 93
Percobaan infeksi bakteriofag
Percobaan lain yang membuktikan bahwa DNA adalah materi
genetik dilaporkan pada tahun 1952 oleh A. Hershey dan M. Chase.
Percobaan dilakukan dengan mengamati reproduksi bakteriofag (virus
yang menyerang bakteri) T2 di dalam sel bakteri inangnya, yaitu
Escherichia coli. Sebelumnya, cara berlangsungnya infeksi T2 pada E.
coli telah diketahui. Mula-mula partikel T2 melekatkan ujung ekornya
pada dinding sel E. coli, diikuti oleh masuknya materi genetik T2 ke
dalam sel E. coli sehingga memungkinkan terjadinya penggandaan
partikel T2 di dalam sel inangnya itu. Ketika hasil penggandaan partikel
T2 telah mencapai jumlah yang sangat besar, sel E. coli akan mengalami
lisis. Akhirnya, partikel-partikel T2 yang keluar akan mencari sel inang
yang baru, dan siklus reproduksi tadi akan terulang kembali.
Bakteriofag T2 diketahui mempunyai kandungan protein dan DNA
dalam jumlah yang lebih kurang sama. Untuk memastikan sifat kimia
materi genetik yang dimasukkan ke dalam sel inang dilakukan pelabelan
terhadap molekul protein dan DNAnya. Protein, yang umumnya banyak
mengandung sulfur tetapi tidak mengandung fosfor dilabeli dengan
radioisotop 35S. Sebaliknya, DNA yang sangat banyak mengandung
fosfor tetapi tidak mengandung sulfur dilabeli dengan radioisotop 32P.

materi genetik masuk


dilabeli dengan 35S dan 32P ke sel inang

banyak
didapatkan 35S
sel inang lisis
banyak
didapatkan 32P

Gambar 7.2. Daur hidup bakteriofag T2 dan diagram percobaan


infeksi T2 pada E. coli yang membuktikan DNA
sebagai materi genetik

94 GENETIKA
Bakteriofag T2 dengan protein yang telah dilabeli diinfeksikan
pada E. coli. Dengan sentrifugasi, sel-sel E. coli ini kemudian dipisahkan
dari partikel-partikel T2 yang sudah tidak melekat lagi pada dinding
selnya. Ternyata di dalam sel-sel E. coli sangat sedikit ditemukan
radioisotop 35S, sedangkan pada partikel-partikel T2 masih banyak
didapatkan radioisotop tersebut. Apabila dengan cara yang sama
digunakan bakteriofag T2 yang dilabeli DNAnya, maka di dalam sel-sel
E. coli ditemukan banyak sekali radiosiotop 32P, sedangkan pada partikel-
partikel T2 hanya ada sedikit sekali radioisotop tersebut. Hasil percobaan
ini jelas menunjukkan bahwa materi genetik yang dimasukkan oleh
bakteriofag T2 ke dalam sel E. coli adalah materi yang dilabeli dengan
32
P atau DNA, bukannya protein.

RNA sebagai Materi Genetik pada Beberapa Virus


Beberapa virus tertentu diketahui tidak mempunyai DNA, tetapi
hanya tersusun dari RNA dan protein. Untuk memastikan di antara kedua
makromolekul tersebut yang berperan sebagai materi genetik, antara lain
telah dilakukan percobaan rekonstitusi yang dilaporkan oleh H. Fraenkel-
Conrat dan B. Singer pada tahun 1957.
Mereka melakukan penelitian pada virus mozaik tembakau atau
tobacco mozaic virus (TMV), yaitu virus yang menyebabkan timbulnya
penyakit mozaik pada daun tembakau. Virus ini mengandung molekul
RNA yang terbungkus di dalam selubung protein. Dengan perlakuan
kimia tertentu molekul RNA dapat dipisahkan dari selubung proteinnya
untuk kemudian digabungkan (direkonstitusi) dengan selubung protein
dari strain TMV yang lain.

Gambar 7.3. Percobaan yang membuktikan RNA sebagai materi


genetik pada TMV
= TMV strain A = TMV strain B

MATERI GENETIK 95
RNA dari strain A direkonstitusi dengan protein strain B.
Sebaliknya, RNA dari strain B direkonstitusi dengan protein dari strain
A. Kedua TMV hasil rekonstitusi ini kemudian diinfeksikan ke inangnya
(daun tembakau) agar mengalami penggandaan. TMV hasil penggandaan
ternyata merupakan strain A jika RNAnya berasal dari strain A dan
merupakan strain B jika RNAnya berasal dari strain B. Jadi, faktor yang
menentukan strain hasil penggandaan adalah RNA, bukan protein. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa materi genetik pada virus-virus yang
tidak mempunyai DNA, seperti halnya TMV, adalah RNA.

Komposisi Kimia Asam Nukleat


Hasil analisis kimia asam nukleat menunjukkan bahwa
makromolekul ini tersusun dari subunit-subunit berulang (monomer)
yang disebut nukleotida sehingga asam nukleat dapat juga dikatakan
sebagai polinukleotida. Nukleotida yang satu dengan nukleotida
berikutnya dihubungkan oleh ikatan fosfodiester yang sangat kuat. Tiap
nukleotida terdiri atas tiga komponen, yaitu gugus fosfat, gula pentosa
(gula dengan lima atom karbon), dan basa nukleotida atau basa nitrogen
(basa siklik yang mengandung nitrogen). Pada DNA basa nitrogen
berikatan secara kimia dengan gula pentosa membentuk molekul yang
disebut nukleosida sehingga setiap nukleotida pada DNA dapat disebut
juga sebagai nukleosida monofosfat.
Gula pentosa pada DNA adalah 2-deoksiribosa, sedangkan pada
RNA adalah ribosa. Menurut kebiasaan, penomoran atom C pada gula
pentosa dilakukan menggunakan tanda aksen (‟) untuk membedakannya
dengan penomoran atom C pada basa nitrogen. Atom C pada gula
pentosa yang berikatan dengan basa nitrogen ditentukan sebagai atom C
pertama (1‟). Atom C nomor 2‟ pada DNA tidak mengikat gugus OH
seperti halnya pada RNA, tetapi mengikat gugus H sehingga gula
pentosanya dinamakan deoksiribosa.
Sementara tu, basa nitrogen ada dua macam, yakni basa dengan
cincin rangkap atau disebut purin dan basa dengan cincin tunggal atau
disebut pirimidin. Basa purin, baik pada DNA maupun RNA, dapat
berupa adenin (A) atau guanin (G), sedangkan basa pirimidin pada DNA
dapat berupa sitosin (C) atau timin (T). Pada RNA tidak terdapat basa
timin, tetapi diganti dengan urasil (U).
Biasanya DNA mempunyai struktur sebagai molekul
polinukleotida untai ganda, sedangkan RNA adalah polinukleotida untai
tunggal. Ini merupakan perbedaan lain di antara kedua macam asam
nukleat tersebut.

96 GENETIKA
Gambar 7.4. Komponen kimia asam nukleat

Model Struktur DNA Watson-Crick


Model struktur fisik molekul DNA pertama kali diajukan pada
tahun 1953 oleh J.D. Watson dan F.H.C. Crick. Ada dua dasar yang
digunakan dalam melakukan deduksi terhadap model tersebut, yaitu
1. Hasil analisis kimia yang dilakukan oleh E. Chargaff terhadap
kandungan basa nitrogen molekul DNA dari berbagai organisme
selalu menunjukkan bahwa konsentrasi adenin sama dengan timin,
sedangkan guanin sama dengan sitosin. Dengan sendirinya,
konsentrasi basa purin total menjadi sama dengan konsentrasi basa

MATERI GENETIK 97
pirimidin total. Akan tetapi, nisbah konsentrasi adenin + timin
terhadap konsentrasi guanin + sitosin sangat bervariasi dari spesies ke
spesies.
2. Pola difraksi yang diperoleh dari hasil pemotretan molekul DNA
menggunakan sinar X oleh M.H.F. Wilkins, R. Franklin, dan para
koleganya menunjukkan bahwa basa-basa nitrogen tersusun vertikal di
sepanjang sumbu molekul dengan interval 3,4 Å.

Dari data kimia Chargaff serta difraksi sinar X Wilkins dan


Franklin tersebut Watson dan Crick mengusulkan model struktur DNA
yang dikenal sebagai model tangga berpilin (double helix). Menurut
model ini kedua untai polinukleotida saling memilin di sepanjang sumbu
yang sama. Satu sama lain arahnya sejajar tetapi berlawanan
(antiparalel). Basa-basa nitrogen menghadap ke arah dalam sumbu, dan
terjadi ikatan hidrogen antara basa A pada satu untai dan basa T pada
untai lainnya. Begitu pula, basa G pada satu untai selalu berpasangan
dengan basa C pada untai lainnya melalui ikatan hidrogen. Oleh karena
itu, begitu urutan basa pada satu untai polinukleotida diketahui, maka
urutan basa pada untai lainnya dapat ditentukan pula. Adanya
perpasangan yang khas di antara basa-basa nitrogen itu menyebabkan
kedua untai polinukleotida komplementer satu sama lain.
Setiap pasangan basa berjarak 3,4 Å dengan pasangan basa
berikutnya. Di dalam satu kali pilinan (360°) terdapat 10 pasangan basa.
Antara basa A dan T yang berpasangan terdapat ikatan hidrogen rangkap
dua, sedangkan antara basa G dan C yang berpasangan terdapat ikatan
hidrogen rangkap tiga. Hal ini menyebabkan nisbah A+T terhadap G+C
mempengaruhi stabilitas molekul DNA. Makin tinggi nisbah tersebut,
makin rendah stabilitas molekul DNAnya, dan begitu pula sebaliknya.
Gugus fosfat dan gula terletak di sebelah luar sumbu. Seperti telah
disebutkan di atas, nukleotida-nukleotida yang berurutan dihubungkan
oleh ikatan fosfodiester. Ikatan ini menghubungkan atom C nomor 3‟
dengan atom C nomor 5‟ pada gula deoksiribosa. Di salah satu ujung
untai polinukleotida, atom C nomor 3‟ tidak lagi dihubungkan oleh ikatan
fosfodiester dengan nukleotida berikutnya, tetapi akan mengikat gugus
OH. Oleh karena itu, ujung ini dinamakan ujung 3’ atau ujung OH. Di
ujung lainnya atom C nomor 5‟ akan mengikat gugus fosfat sehingga
ujung ini dinamakan ujung 5’ atau ujung P. Kedudukan antiparalel di
antara kedua untai polinukleotida sebenarnya dilihat dari ujung-ujung ini.
Jika untai yang satu mempunyai arah dari ujung 5‟ ke 3‟, maka untai
komplementernya mempunyai arah dari ujung 3‟ ke 5‟.

98 GENETIKA
OH(3‟)
P(5‟)

P(5‟)
OH(3‟)
Gambar 7.5 Diagram struktur molekul DNA
= gula = adenin = timin = guanin = sitosin

Fungsi Materi Genetik


Setelah terbukti bahwa DNA merupakan materi genetik pada
sebagian besar organisme, kita akan melihat fungsi yang harus dapat
dilaksanakan oleh molekul tersebut sebagai materi genetik. Dalam
beberapa dasawarsa pertama semenjak gen dikemukakan sebagai faktor
yang diwariskan dari generasi ke generasi, sifat-sifat molekulernya baru
sedikit sekali terungkap. Meskipun demikan, ketika itu telah disepakati
bahwa gen sebagai materi genetik, yang sekarang ternyata adalah DNA,
harus dapat menjalankan tiga fungsi pokok berikut ini.

MATERI GENETIK 99
1. Materi genetik harus mampu menyimpan informasi genetik dan
dengan tepat dapat meneruskan informasi tersebut dari tetua kepada
keturunannya, dari generasi ke generasi. Fungsi ini merupakan fungsi
genotipik, yang dilaksanakan melalui replikasi. Bagian setelah ini
akan membahas replikasi DNA.
2. Materi genetik harus mengatur perkembangan fenotipe organisme.
Artinya, materi genetik harus mengarahkan pertumbuhan dan
diferensiasi organisme mulai dari zigot hingga individu dewasa.
Fungsi ini merupakan fungsi fenotipik, yang dilaksanakan melalui
ekspresi gen (Bab VIII).
3. Materi genetik sewaktu-waktu harus dapat mengalami perubahan
sehingga organisme yang bersangkutan akan mampu beradaptasi
dengan kondisi lingkungan yang berubah. Tanpa perubahan semacam
ini, evolusi tidak akan pernah berlangsung. Fungsi ini merupakan
fungsi evolusioner, yang dilaksanakan melalui peristiwa mutasi (Bab
X).

Replikasi DNA
Ada tiga cara teoretis replikasi DNA yang pernah diusulkan, yaitu
konservatif, semikonservatif, dan dispersif. Pada replikasi konservatif
seluruh tangga berpilin DNA awal tetap dipertahankan dan akan
mengarahkan pembentukan tangga berpilin baru. Pada replikasi
semikonservatif tangga berpilin mengalami pembukaan terlebih dahulu
sehingga kedua untai polinukleotida akan saling terpisah. Namun,
masing-masing untai ini tetap dipertahankan dan akan bertindak sebagai
cetakan (template) bagi pembentukan untai polinukleotida baru.
Sementara itu, pada replikasi dispersif kedua untai polinukleotida
mengalami fragmentasi di sejumlah tempat. Kemudian, fragmen-fragmen
polinukleotida yang terbentuk akan menjadi cetakan bagi fragmen
nukleotida baru sehingga fragmen lama dan baru akan dijumpai
berselang-seling di dalam tangga berpilin yang baru.

100 GENETIKA
konservatif semikonservatif dispersif

Gambar 7.6. Tiga cara teoretis replikasi DNA


= untai lama = untai baru

Di antara ketiga cara replikasi DNA yang diusulkan tersebut, hanya


cara semikonservatif yang dapat dibuktikan kebenarannya melalui
percobaan yang dikenal dengan nama sentrifugasi seimbang dalam
tingkat kerapatan atau equilibrium density-gradient centrifugation.
Percobaan ini dilaporkan hasilnya pada tahun 1958 oleh M.S. Meselson
dan F.W. Stahl.
Mereka menumbuhkan bakteri Escherichia coli selama beberapa
generasi di dalam medium yang mengandung isotop nitrogen 15N untuk
menggantikan isotop nitrogen normal 14N yang lebih ringan. Akibatnya,
basa-basa nitrogen pada molekul DNA sel-sel bakteri tersebut akan
memiliki 15N yang berat. Molekul DNA dengan basa nitrogen yang
mengandung 15N mempunyai tingkat kerapatan (berat per satuan volume)
yang lebih tinggi daripada DNA normal (14N). Oleh karena molekul-
molekul dengan tingkat kerapatan yang berbeda dapat dipisahkan dengan
cara sentrifugasi tersebut di atas, maka Meselson dan Stahl dapat
mengikuti perubahan tingkat kerapatan DNA sel-sel bakteri E. coli yang
semula ditumbuhkan pada medium 15N selama beberapa generasi,

MATERI GENETIK 101


kemudian dikembalikan ke medium normal 14N selama beberapa generasi
berikutnya.
Molekul DNA mempunyai kerapatan yang lebih kurang sama
dengan kerapatan larutan garam yang sangat pekat seperti larutan 6M
CsCl (sesium khlorida). Sebagai perbandingan, kerapatan DNA E.coli
dengan basa nitrogen yang mengandung isotop 14N dan 15N masing-
masing adalah 1,708 g/cm3 dan 1,724 g/cm3, sedangkan kerapatan larutan
6M CsCl adalah 1,700 g/cm3.
Ketika larutan 6M CsCl yang di dalamnya terdapat molekul DNA
disentrifugasi dengan kecepatan sangat tinggi, katakanlah 30.000 hingga
50.000 rpm, dalam waktu 48 hingga 72 jam, maka akan terjadi
keseimbangan tingkat kerapatan. Hal ini karena molekul-molekul garam
tersebut akan mengendap ke dasar tabung sentrifuga akibat adanya gaya
sentrifugal, sementara di sisi lain difusi akan menggerakkan molekul-
molekul garam kembali ke atas tabung. Molekul DNA dengan tingkat
kerapatan tertentu akan menempati kedudukan yang sama dengan
kedudukan larutan garam yang tingkat kerapatannya sama dengannya.
DNA yang diekstrak dari sel E. coli yang ditumbuhkan pada
medium 15N terlihat menempati dasar tabung. Selanjutnya, DNA yang
diekstrak dari sel E.coli yang pertama kali dipindahkan kembali ke
medium 14N terlihat menempati bagian tengah tabung. Pada generasi
kedua setelah E.coli ditumbuhkan pada medium 14N ternyata DNAnya
menempati bagian tengah dan atas tabung. Ketika E.coli telah
ditumbuhkan selama beberapa generasi pada medium 14N, DNAnya
nampak makin banyak berada di bagian atas tabung, sedangkan DNA
yang berada di bagian tengah tabung tetap. Meselson dan Stahl
menjelaskan bahwa pada generasi 15N, atau dianggap sebagai generasi 0,
DNAnya mempunyai kerapatan tinggi. Kemudian, pada generasi 14N
yang pertama, atau disebut sebagai generasi 1, DNAnya merupakan
hibrid antara DNA dengan kerapatan tinggi dan rendah. Pada generasi 2
DNA hibridnya masih ada, tetapi muncul pula DNA baru dengan
kerapatan rendah. Demikian seterusnya, DNA hibrid akan tetap
jumlahnya, sedangkan DNA baru dengan kerapatan rendah akan makin
banyak dijumpai. Pada Gambar 9.7 terlihat bahwa interpretasi data hasil
percobaan sentrifugasi ini jelas sejalan dengan cara pembentukan
molekul DNA melalui replikasi semikonservatif.

102 GENETIKA
medium 15N ekstrak DNA
(generasi 0)

ekstrak DNA
medium 14N (generasi 1)

ekstrak DNA
medium 14N (generasi 2)

ekstrak DNA
medium 14N (generasi 3)
interpretasi data hasil sentrifugasi DNA

Gambar 7.7. Diagram percobaan Meselson dan Stahl yang


memperlihatkan replikasi DNA secara semikonservatif

Pada percobaan Meselson dan Stahl ekstrak DNA yang diperoleh


dari sel-sel E. coli berada dalam keadaan terfragmentasi sehingga
replikasi molekul DNA dalam bentuknya yang utuh sebenarnya belum
diketahui. Replikasi DNA kromosom dalam keadaan utuh _ yang pada
prokariot ternyata berbentuk melingkar atau sirkular _ baru dapat diamati
menggunakan teknik autoradiografi dan mikroskopi elektron. Dengan
kedua teknik ini terlihat bahwa DNA berbagai virus, khloroplas, dan
mitokhondria melakukan replikasi yang dikenal sebagai replikasi θ
(theta) karena autoradiogramnya menghasilkan gambaran seperti huruf
Yunani tersebut. Selain replikasi θ, pada sejumlah bakteri dan organisme
eukariot dikenal pula replikasi yang dinamakan replikasi lingkaran
menggulung (rolling circle replication). Replikasi ini diawali dengan
pemotongan ikatan fosfodiester pada daerah tertentu yang menghasilkan
ujung 3‟ dan ujung 5‟. Pembentukan (sintesis) untai DNA baru terjadi
dengan penambahan deoksinukleotida pada ujung 3‟ yang diikuti oleh
pelepasan ujung 5‟ dari lingkaran molekul DNA. Sejalan dengan

MATERI GENETIK 103


berlangsungnya replikasi di seputar lingkaran DNA, ujung 5‟ akan makin
terlepas dari lingkaran tersebut sehingga membentuk ‟ekor‟ yang makin
memanjang (Gambar 7.8).

penambahan
nukleotida
ujung 3‟
tempat ujung 5‟ pelepasan ujung 5’ pemanjangan’ ekor’
terpotongnya ikatan fosfodiester

Gambar 7.8. Replikasi lingkaran menggulung


= untai lama = untai baru

Dimulainya (inisiasi) replikasi DNA terjadi di suatu tempat tertentu


di dalam lingkaran molekul DNA yang dinamakan titik awal replikasi
atau origin of replication (ori). Proses inisiasi ini ditandai oleh saling
memisahnya kedua untai DNA, yang masing-masing akan berperan
sebagai cetakan bagi pembentukan untai DNA baru sehingga akan
diperoleh suatu gambaran yang disebut sebagai garpu replikasi.
Biasanya, inisiasi replikasi DNA, baik pada prokariot maupun eukariot,
terjadi dua arah (bidireksional). Dalam hal ini dua garpu replikasi akan
bergerak melebar dari ori menuju dua arah yang berlawanan. Pada
eukariot, selain terjadi replikasi dua arah, ori dapat ditemukan di
beberapa tempat.

Enzim-enzim yang berperan dalam replikasi DNA


Replikasi DNA, atau sintesis DNA, melibatkan sejumlah reaksi
kimia yang diatur oleh beberapa enzim. Salah satu diantaranya adalah
enzim DNA polimerase, yang mengatur pembentukan ikatan fosfodiester
antara dua nukleotida yang berdekatan sehingga akan terjadi
pemanjangan untai DNA (polinukleotida).
Agar DNA polimerase dapat bekerja mengatalisis reaksi sintesis
DNA, diperlukan tiga komponen reaksi, yaitu
1. Deoksinukleosida trifosfat, yang terdiri atas deoksiadenosin trifosfat
(dATP), deoksiguanosin trifosfat (dGTP), deoksisitidin trifosfat
(dCTP), dan deoksitimidin trifosfat (dTTP). Keempat molekul ini
berfungsi sebagai sumber basa nukleotida.
2. Untai DNA yang akan digunakan sebagai cetakan (template).
3. Segmen asam nukleat pendek, dapat berupa DNA atau RNA, yang
mempunyai gugus 3‟- OH bebas. Molekul yang dinamakan primer ini
diperlukan karena tidak ada enzim DNA polimerase yang diketahui
mampu melakukan inisiasi sintesis DNA.

104 GENETIKA
Reaksi sintesis DNA secara skema dapat dilihat pada Gambar 7.9.
Dalam gambar tersebut sebuah molekul dGTP ditambahkan ke molekul
primer yang terdiri atas tiga nukleotida (A-C-A). Penambahan dGTP
terjadi karena untai DNA cetakannya mempunyai urutan basa T-G-T-C- .
. . . . Hasil penambahan yang diperoleh adalah molekul DNA yang terdiri
atas empat nukleotida (A-C-A-G). Dua buah atom fosfat (PPi) dilepaskan
dari dGTP karena sebuah atom fosfatnya diberikan ke primer dalam
bentuk nukleotida dengan basa G atau deoksinukleosida monofosfat
(dGMP). Kita lihat bahwa sintesis DNA (penambahan basa demi basa)
berlangsung dari ujung 5‟ ke ujung 3‟.

Gambar 7.9. Skema reaksi sintesis DNA

Enzim DNA polimerase yang diperlukan untuk sintesis DNA pada


E. coli ada dua macam, yaitu DNA polimerase I (Pol I) dan DNA
polimerase III (Pol III). Dalam sintesis DNA, Pol III merupakan enzim
replikasi yang utama, sedangkan enzim Pol I memegang peran sekunder.
Sementara itu, enzim DNA polimerase untuk sintesis DNA kromosom
pada eukariot disebut polimerase α.
Selain mampu melakukan pemanjangan atau polimerisasi DNA,
sebagian besar enzim DNA polimerase mempunyai aktivitas nuklease,
yaitu pembuangan molekul nukleotida dari untai polinukleotida. Aktivitas
nuklease dapat dibedakan menjadi (1) eksonuklease atau pembuangan
nukleotida dari ujung polinukleotida dan (2) endonuklease atau
pemotongan ikatan fosfodiester di dalam untai polinukleotida.
Enzim Pol I dan Pol III dari E. coli mempunyai aktivitas
eksonuklease yang hanya bekerja pada ujung 3‟. Artinya, pemotongan
terjadi dari ujung 3‟ ke arah ujung 5‟. Hal ini bermanfaat untuk
memperbaiki kesalahan sintesis DNA atau kesalahan penambahan basa,
yang bisa saja terjadi meskipun sangat jarang (sekitar satu di antara sejuta
basa !). Kesalahan penambahan basa pada untai polinukleotida yang
sedang tumbuh (dipolimerisasi) menjadikan basa-basa salah berpasangan,
misalnya A dengan C. Fungsi perbaikan kesalahan yang dijalankan oleh
enzim Pol I dan III tersebut dinamakan fungsi penyuntingan
(proofreading). Khusus enzim Pol I ternyata juga mempunyai aktivitas
eksonuklease 5‟→ 3‟ di samping aktivitas eksonuklease 3‟→5‟ (lihat juga
Bab X).

MATERI GENETIK 105


Enzim lain yang berperan dalam proses sintesis DNA adalah
primase. Enzim ini bekerja pada tahap inisiasi dengan cara mengatur
pembentukan molekul primer di daerah ori. Setelah primer terbentuk
barulah DNA polimerase melakukan elongasi atau pemanjangan untai
DNA.
Tahap inisiasi sintesis DNA juga melibatkan enzim DNA girase
dan protein yang mendestabilkan pilinan (helix destabilizing protein).
Kedua enzim ini berperan dalam pembukaan pilinan di antara kedua untai
DNA sehingga kedua untai tersebut dapat saling memisah.
Pada bagian berikut ini akan dijelaskan bahwa sintesis DNA baru
tidak hanya terjadi pada salah satu untai DNA, tetapi pada kedua-duanya.
Hanya saja sintesis DNA pada salah satu untai berlangsung tidak
kontinyu sehingga menghasilkan fragmen yang terputus-putus. Untuk
menyambung fragmen-fragmen ini diperlukan enzim yang disebut DNA
ligase.

Replikasi pada kedua untai DNA


Proses replikasi DNA yang kita bicarakan di atas sebenarnya
barulah proses yang terjadi pada salah satu untai DNA. Untai DNA
tersebut sering dinamakan untai pengarah (leading strand). Sintesis
DNA baru pada untai pengarah ini berlangsung secara kontinyu dari
ujung 5‟ ke ujung 3‟ atau bergerak di sepanjang untai pengarah dari ujung
3‟ ke ujung 5‟.
Pada untai DNA pasangannya ternyata juga terjadi sintesis DNA
baru dari ujung 5‟ ke ujung 3‟ atau bergerak di sepanjang untai DNA
cetakannya ini dari ujung 3‟ ke ujung 5‟. Namun, sintesis DNA pada
untai yang satu ini tidak berjalan kontinyu sehingga menghasilkan
fragmen terputus-putus, yang masing-masing mempunyai arah 5‟→ 3‟.
Terjadinya sintesis DNA yang tidak kontinyu sebenarnya disebabkan
oleh sifat enzim DNA polimerase yang hanya dapat menyintesis DNA
dari arah 5‟ ke 3‟ serta ketidakmampuannya untuk melakukan inisiasi
sintesis DNA.
Untai DNA yang menjadi cetakan bagi sintesis DNA tidak
kontinyu itu disebut untai tertinggal (lagging strand). Sementara itu,
fragmen-fragmen DNA yang dihasilkan dari sintesis yang tidak kontinyu
dinamakan fragmen Okazaki, sesuai dengan nama penemunya. Seperti
telah dikemukakan di atas, fragmen-fragmen Okazaki akan disatukan
menjadi sebuah untai DNA yang utuh dengan bantuan enzim DNA ligase.

106 GENETIKA
Gambar 7.10. Diagram replikasi pada kedua untai DNA

DAFTAR PUSTAKA
Griffiths, AJF., Wessler, SR., Carroll, SB. and Doebley, J. 2020.
Introduction to Genetic Analysis. 12th Ed. W. H. Freeman & Co.,
New York.
Hartl, DL., Freifelder, D., Snyder, LA. 1988. Basic Genetics. 1st Ed.
Jones & Bartlett Publ. Inc., Portola Valley, California.
Pierce, BA. 2012. Genetics: a Conceptual Approach 4th Ed. WH Freeman
& Co., New York.
Susanto, AH. 2011. Genetika. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

SOAL LATIHAN
1. Pelaksanaan fungsi genotipik materi genetik dapat dilihat dari
konversi
A. DNA menjadi DNA.
B. DNA menjadi RNA.
C. DNA menjadi protein.
D. RNA menjadi protein.
E. DNA menjadi polipeptida.
2. Pada percobaan transformasi secara in vitro, transformasi terhambat
oleh enzim
A. protease.
B. helikase.
C. DNase.
D. RNase.
E. DNase dan protease.

MATERI GENETIK 107


3. Percobaan rekonstitusi pada virus TMV membuktikan bahwa
A. DNA merupakan materi genetik.
B. RNA merupakan materi genetik.
C. DNA dan RNA merupakan materi genetik.
D. protein merupakan materi genetik.
E. DNA dan protein merupakan materi genetik.
4. Tiap molekul nukleotida terdiri atas
A. gugus fosfat dan nukleosida.
B. gugus fosfat dan gula pentosa.
C. basa nukleotida dan nukleosida.
D. basa nukleotida dan gula pentosa.
E. basa nukleotida dan fosfat.
5. Hubungan matematika antara konsentrasi basa-basa nitrogen pada
molekul DNA adalah
A. A + T = G + T.
B. A + C = G + C.
C. A + C = A + T.
D. A = G.
E. A = T.
6. Jika salah satu untai DNA mempunyai urutan basa 5‟-
GGCATCAAGACT-3‟, maka urutan basa pada untai pasangannya
adalah
A. 5‟- CCGTAGTTCTGA-3‟.
B. 5‟- AGTCTTGATGCC-3‟.
C. 5‟- TCAGAACTACGG-3‟.
D. 5‟- AGTCTTCTACGG-3‟.
E. 5‟- GGCATCAAGACT-3‟.
7. DNA pada umumnya berbeda dengan RNA dalam hal berikut ini,
kecuali
A. komponen gula pentosanya.
B. jumlah untai polinukleotidanya.
C. enzim yang mendegradasinya.
D. basa purinnya.
E. basa pirimidinnya.
8. Replikasi DNA berlangsung secara
A. dispersif.
B. konservatif.
C. semikonservatif.
D. konservatif atau semikonservatif.
E. konservatif atau dispersif.
9. Sintesis DNA berlangsung
A. dari arah 3‟ ke 5‟.
B. dari arah ujung OH ke arah 3‟.

108 GENETIKA
C. dari arah ujung P ke arah 5‟.
D. dari arah ujung P ke arah ujung OH.
E. ke segala arah.
10. Fragmen Okazaki terbentuk karena
A. daerah ori banyak mengandung pasangan basa AT.
B. lagging strand tidak membawa molekul primer.
C. DNA mengalami fragmentasi.
D. enzim ligase tidak bekerja optimal.
E. DNA polimerase hanya bisa bekerja dari arah 5‟ ke 3‟.

KUNCI JAWABAN
1. A 6. B
2. C 7. D
3. B 8. C
4. A 9. D
5. E 10. E

Jika Anda menjawab soal dengan benar sebanyak


> 8 berarti Anda telah sangat menguasai materi bab ini dan dapat
melanjutkan mempelajari materi bab berikutnya.
6 – 7 berarti Anda telah cukup menguasai materi bab ini, tetapi
sebaiknya mengulang lagi mempelajari bagian yang jawaban
soalnya masih keliru.
< 5 berarti Anda kurang menguasai materi bab ini sehingga perlu
mempelajarinya kembali, terutama di bagian yang jawaban soalnya
masih keliru.

MATERI GENETIK 109


Setelah mempelajari materi pada Bab VIII ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan pengertian dogma sentral genetika molekuler berikut
perkembangan konsepnya, proses transkripsi dan translasi sebagai
pelaksanaan fungsi fenotipik materi genetik.

P ada Bab VII telah disebutkan bahwa salah satu fungsi dasar yang
harus dijalankan oleh DNA sebagai materi genetik adalah fungsi
fenotipik. Artinya, DNA harus mampu mengatur pertumbuhan dan
diferensiasi individu organisme sehingga dihasilkan suatu fenotipe
tertentu.
Fenotipe organisme sangat ditentukan oleh hasil interaksi protein-
protein di dalam sel. Setiap protein tersusun dari sejumlah asam amino
dengan urutan tertentu, dan setiap asam amino pembentukannya disandi
(dikode) oleh urutan basa nitrogen di dalam molekul DNA. Rangkaian
proses ini, mulai dari DNA hingga terbentuknya protein, dikenal sebagai
dogma sentral genetika molekuler.

DNA RNA protein

replikasi transkripsi translasi

Gambar 8.1. Diagram dogma sentral genetika molekuler

Perubahan urutan basa di dalam molekul DNA menjadi urutan basa


molekul RNA dinamakan transkripsi, sedangkan penerjemahan urutan
basa RNA menjadi urutan asam amino atau protein dinamakan translasi.
Jadi, proses tanskripsi dan translasi dapat dilihat sebagai tahap-tahap
ekspresi urutan basa DNA. Namun, tidak semua urutan basa DNA akan
diekspresikan menjadi protein. Urutan basa DNA yang pada akhirnya
menyandi protein disebut sebagai gen. Selain itu, ada beberapa gen
tertentu yang hanya diekspresikan hingga tahap transkripsi menjadi RNA.
Dengan demikian, secara kimia gen adalah urutan basa nitrogen tertentu
pada molekul DNA yang dapat dieskpresikan melalui tahap transkripsi
menjadi RNA dan translasi menjadi protein tertentu.

110
Di atas telah kita katakan bahwa sejumlah asam amino dengan
urutan (sekuens) tertentu akan menyusun sebuah molekul protein.
Namun, setiap molekul protein sendiri dapat dilihat sebagai gabungan
beberapa subunit yang dinamakan polipeptida. Oleh karena itu, muncul
pertanyaan tentang hakekat sebuah gen: tiap gen menyandi satu protein
ataukah tiap gen menyandi satu polipeptida?
Perkembangan konsep tentang gen dapat diikuti semenjak awal
abad ke-20 ketika seorang dokter sekaligus ahli biokimia dari Inggris, Sir
Archibald E. Garrod, mengajukan konsep satu gen mutan – satu
hambatan metabolisme. Garrod mempelajari sejumlah penyakit
metabolik bawaan pada manusia dan menyimpulkan bahwa setiap
gangguan metabolisme bawaan yang menimbulkan penyakit tertentu,
misalnya alkaptonuria, disebabkan oleh satu gen mutan resesif.
Sekitar 50 tahun kemudian dua orang peneliti, G.W. Beadle dan
E.L. Tatum, mempelajari mutasi gen pada jamur Neurospora crassa
dengan menumbuhkan berbagai strain mutan hasil iradiasi menggunakan
sinar X atau sinar ultraviolet pada medium lengkap dan medium minimal.
Medium minimal adalah medium untuk pertumbuhan mikroorganisme
yang hanya mengandung garam-garam anorganik, sebuah gula sederhana,
dan satu macam vitamin. Mutan yang digunakan adalah mutan dengan
hanya satu kelainan, yang untuk mendapatkannya dilakukan silang balik
dengan strain tipe liar. Mutan hasil silang balik dengan nisbah keturunan
tipe liar : mutan = 1 : 1 dipastikan sebagai mutan dengan hanya satu
kelainan (mutasi).
Strain tipe liar, sebagai kontrol, mampu tumbuh baik pada medium
lengkap maupun pada medium minimal, sedangkan strain mutan hanya
mampu tumbuh pada medium lengkap. Strain-strain mutan ini kemudian
dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui macam faktor pertumbuhan yang
diperlukannya dengan cara melakukan variasi penambahannya ke dalam
medium minimal. Sebagai contoh, mutan yang hanya tumbuh pada
medium minimal yang ditambah dengan tiamin adalah mutan yang
mengalami mutasi pada gen untuk biosintesis tiamin. Dengan cara seperti
ini Beadle dan Tatum memperlihatkan bahwa tiap mutasi menyebabkan
kebutuhan akan pemberian satu macam faktor pertumbuhan. Selanjutnya,
dengan mengorelasikan hasil analisis genetik dengan hasil analisis
biokimia terhadap strain-strain mutan Neurospora tersebut dapat
diketahui bahwa tiap mutasi menyebabkan hilangnya satu aktivitas
enzim. Maka, konsep satu gen mutan – satu hambatan metabolisme
bergeser menjadi satu gen – satu enzim.
Dalam perkembangan berikutnya, setelah diketahui bahwa
sebagian besar enzim tersusun dari beberapa polipetida, dan masing-
masing polipeptida merupakan produk gen yang berbeda, maka konsep
terbaru tentang gen yang dianut hingga kini adalah satu gen - satu

EKSPRESI GEN 111


polipeptida. Sebagai contoh, enzim triptofan sintetase pada Escherichia
coli terdiri atas dua buah polipeptida, yaitu polipeptida α dan polipeptida
β. Polipeptida α merupakan produk gen trpA, sedangkan polipeptida β
merupakan produk gen trpB.

sinarX atau sinar uv

spora seksual
konidia
tipe liar silang balik medium lengkap medium minimal

riboflavin piridoksin tiamin asam pantotenat niasin inositol kholin asam folat asam nukleat

Gambar 8.2. Diagram percobaan yang memperlihatkan satu gen –


satu enzim

Transkripsi
Tahap pertama ekspresi gen adalah transkripsi atau sintesis molekul
RNA dari DNA (gen). Sintesis RNA mempunyai ciri-ciri kimiawi yang
serupa dengan sintesis DNA, yaitu
1. Adanya sumber basa nitrogen berupa nukleosida trifosfat. Bedanya
dengan sumber basa untuk DNA hanyalah pada molekul gula
pentosanya yang tidak berupa deoksiribosa tetapi ribosa dan tidak
adanya basa timin tetapi tetapi digantikan oleh urasil. Jadi, keempat
nukleosida trifosfat yang diperlukan adalah adenosin trifosfat (ATP),
guanosin trifosfat (GTP), sitidin trifosfat (CTP), dan uridin trifosfat
(UTP).
2. Adanya molekul cetakan berupa untai DNA. Dalam hal ini hanya
salah satu di antara kedua untai DNA yang akan berfungsi sebagai
cetakan bagi sintesis molekul RNA. Untai DNA ini mempunyai urutan
basa yang komplementer dengan urutan basa RNA hasil
transkripsinya, dan disebut sebagai pita antisens. Sementara itu, untai
DNA pasangannya, yang mempunyai urutan basa sama dengan urutan
basa RNA, disebut sebagai pita sens. Meskipun demikian, sebenarnya
transkripsi pada umumnya tidak terjadi pada urutan basa di sepanjang
salah satu untai DNA. Jadi, bisa saja urutan basa yang ditranskripsi
terdapat berselang-seling di antara kedua untai DNA.

112 GENETIKA
3. Sintesis berlangsung dengan arah 5‟→ 3‟ seperti halnya arah sintesis
DNA.
4. Gugus 3‟- OH pada suatu nukleotida bereaksi dengan gugus 5‟-
trifosfat pada nukleotida berikutnya menghasilkan ikatan fosofodiester
dengan membebaskan dua atom pirofosfat anorganik (PPi). Reaksi ini
jelas sama dengan reaksi polimerisasi DNA. Hanya saja enzim yang
bekerja bukannya DNA polimerase, melainkan RNA polimerase.
Perbedaan yang sangat nyata di antara kedua enzim ini terletak pada
kemampuan enzim RNA polimerase untuk melakukan inisiasi sintesis
RNA tanpa adanya molekul primer.

Tahap-tahap transkripsi
Transkripsi berlangsung dalam empat tahap, yaitu pengenalan
promoter, inisiasi, elongasi, dan teminasi. Masing-masing akan dijelaskan
sebagai berikut.
1. Enzim RNA polimerase mengikat untai DNA cetakan pada suatu
daerah yang mempunyai urutan basa tertentu sepanjang 20 hingga 200
basa. Daerah ini dinamakan promoter. Baik pada prokariot maupun
eukariot, promoter selalu membawa suatu urutan basa yang tetap atau
hampir tetap sehingga urutan ini dikatakan sebagai urutan
konsensus. Pada prokariot urutan konsensusnya adalah TATAAT dan
disebut kotak Pribnow, sedangkan pada eukariot urutan
konsensusnya adalah TATAAAT dan disebut kotak TATA. Urutan
konsensus akan menunjukkan kepada RNA polimerase tempat
dimulainya sintesis. Kekuatan pengikatan RNA polimerase oleh
promoter yang berbeda sangat bervariasi. Hal ini mengakibatkan
perbedaan kekuatan ekspresi gen.
2. Setelah mengalami pengikatan oleh promoter, RNA polimerase akan
terikat pada suatu tempat di dekat daerah promoter, yang dinamakan
tempat awal polimerisasi. Nukleosida trifosfat pertama akan
diletakkan di tempat ini dan sintesis RNA pun segera dimulai.
3. Selama sintesis RNA berlangsung RNA polimerase bergerak di
sepanjang molekul DNA cetakan sambil menambahkan nukleotida
demi nukleotida kepada untai RNA yang sedang diperpanjang.
4. Molekul RNA yang baru saja selesai disintesis, dan juga enzim RNA
polimerase, segera terlepas dari untai DNA cetakan begitu enzim
tersebut mencapai urutan basa pengakhir (terminasi). Terminasi dapat
terjadi oleh dua macam sebab, yaitu terminasi yang hanya bergantung
kepada urutan basa cetakan (disebut terminasi diri) dan terminasi yang
memerlukan kehadiran suatu protein khusus (protein rho). Di antara
keduanya terminasi diri lebih umum dijumpai. Terminasi diri terjadi
pada urutan basa palindrom yang diikuti oleh beberapa adenin (A).
Urutan palindrom adalah urutan yang sama jika dibaca dari dua arah

EKSPRESI GEN 113


yang berlawanan. Oleh karena urutan palindom ini biasanya diselingi
oleh beberapa basa tertentu, maka molekul RNA yang dihasilkan akan
mempunyai ujung terminasi berbentuk batang dan kala (loop) seperti
pada Gambar 10.3.

Gambar 8.3 Terminasi sintesis RNA menghasilkan ujung berbentuk


batang dan kala

Inisiasi transkripsi tidak harus menunggu selesainya transkripsi


sebelumnya. Hal ini karena begitu RNA polimerase telah melakukan
pemanjangan 50 hingga 60 nukleotida, promoter dapat mengikat RNA
polimerase yang lain. Pada gen-gen yang ditranskripsi dengan cepat
reinisiasi transkripsi dapat terjadi berulang-ulang sehingga gen tersebut
akan terselubungi oleh sejumlah molekul RNA dengan tingkat
penyelesaian yang berbeda-beda.
Secara umum mekanisme transkripsi pada prokariot dan eukariot
hampir sama. Hanya saja, pada prokariot produk langsung transkripsi
atau transkrip primernya adalah mRNA (akan dijelaskan di bawah),

114 GENETIKA
sedangkan pada eukariot transkrip primernya harus mengalami prosesing
RNA terlebih dahulu sebelum menjadi mRNA. Prosesing RNA ini
mencakup dua peristiwa, yaitu modifikasi kedua ujung transkrip primer
dan pembuangan urutan basa pada transkrip primer yang tidak akan
ditranslasi (disebut intron). Ujung 5‟ dimodifikasi dengan penambahan
guanosin dalam ikatan 5‟-5‟ yang tidak umum hingga terbentuk suatu
gugus terminal yang dinamakan cap, sedangkan ujung 3‟ dimodifikasi
dengan urutan poliadenosin (poli A) sepanjang lebih kurang 200 basa.
Sementara itu, panjang intron yang harus dibuang dapat mencapai 50%
hingga 90% dari panjang transkrip primer, tetapi segmen yang
mengandung ujung 5‟ (gugus cap) tidak pernah dibuang. Setelah intron
dibuang, segmen-segmen sisanya (disebut ekson) segera digabungkan
menjadi mRNA. Pembuangan intron dan penggabungan ekson menjadi
molekul mRNA dinamakan penyatuan RNA atau RNA splicing.

Macam-macam RNA
Transkripsi DNA menghasilkan molekul RNA yang kemudian
akan mengalami diferensiasi struktur sesuai dengan fungsinya masing-
masing. Kita mengenal tiga macam RNA, yaitu
1. RNA duta atau messenger RNA (mRNA), yang mempunyai struktur
linier kecuali bagian ujung terminasinya yang berbentuk batang dan
kala (Gambar 8.3). Molekul mRNA membawa urutan basa yang
sebagian di antaranya akan ditranslasi menjadi urutan asam amino.
Urutan basa yang dinamakan urutan penyandi (coding sequences)
ini dibaca tiga demi tiga. Artinya, tiap tiga basa akan menyandi
pembentukan satu asam amino sehingga tiap tiga basa ini dinamakan
triplet kodon. Daftar triplet kodon beserta asam amino yang
disandinya dapat dilihat pada Tabel 8.1. Pada prokariot bagian mRNA
yang tidak ditranslasi terletak di depan urutan penyandi (disebut
pengarah atau leader) dan di antara dua urutan penyandi (disebut
spacer sequences atau noncoding sequences). Sementara itu, pada
eukariot di samping kedua bagian tadi ada juga bagian di dalam urutan
penyandi yang tidak ditranslasi. Bagian inilah yang dinamakan intron
seperti telah dijelaskan di atas. Molekul mRNA pada prokariot sering
kali membawa sejumlah urutan penyandi bagi beberapa polipeptida
yang berbeda. Molekul mRNA seperti ini dinamakan mRNA
polisistronik. Dengan adanya mRNA polisistronik, sintesis beberapa
protein yang masih terkait satu sama lain dapat diatur dengan lebih
efisien karena hanya dibutuhkan satu sinyal. Pada eukariot hampir
tidak pernah dijumpai mRNA polisistronik.
2. RNA pemindah atau transfer RNA (tRNA), yang strukturnya
mengalami modifikasi hingga berbentuk seperti daun semanggi.
Seperti halnya struktur ujung terminasi mRNA, struktur seperti daun

EKSPRESI GEN 115


semanggi ini terjadi karena adanya urutan palindrom yang diselingi
oleh beberapa basa (Gambar 10.4). Pada salah satu kalanya, tRNA
membawa tiga buah basa yang komplemeter dengan triplet kodon
pada mRNA. Ketiga basa ini dinamakan antikodon. Sementara itu,
pada ujung 3‟-nya terdapat tempat pengikatan asam amino tertentu.
Pengikatan yang membentuk molekul aminoasil-tRNA ini terjadi
dengan bantuan enzim aminoasil-tRNA sintetase. Dalam hal ini
gugus hidroksil (OH) pada ujung 3‟ tRNA terikat sangat kuat dengan
gugus karboksil (COOH) asam amino. Macam asam amino yang
dibawa ditentukan oleh urutan basa pada antikodon. Jadi, ada
beberapa macam aminoasil-tRNA sesuai dengan antikodon dan
macam asam amino yang dibawanya.

antikodon

5‟

3‟ (tempat pengikatan asam amino)

Gambar 8.4. Diagram struktur tRNA

3. RNA ribosomal atau ribosomal RNA (rRNA), yang strukturnya


merupakan bagian struktur ribosom. Lebih kurang separuh struktur
kimia ribosom berupa rRNA dan separuh lainnya berupa protein.
Molekul rRNA, dan juga tRNA, dapat dikatakan sebagai RNA
struktural dan tidak ditranslasi menjadi asam amino/protein. Akan
tetapi, mereka adalah bagian mesin sel yang menyintesis protein
(lihat uraian tentang translasi di bawah ini).

116 GENETIKA
Translasi
Bila dibandingkan dengan transkripsi, translasi merupakan proses
yang lebih rumit karena melibatkan fungsi berbagai makromolekul. Oleh
karena kebanyakan di antara makromolekul ini terdapat dalam jumlah
besar di dalam sel, maka sistem translasi menjadi bagian utama mesin
metabolisme pada tiap sel. Makromolekul yang harus berperan dalam
proses translasi tersebut meliputi
1. Lebih dari 50 polipeptida serta 3 hingga 5 molekul RNA di dalam tiap
ribosom
2. Sekurang-kurangnya 20 macam enzim aminoasil-tRNA sintetase yang
akan mengaktifkan asam amino
3. Empat puluh hingga 60 molekul tRNA yang berbeda
4. Sedikitnya 9 protein terlarut yang terlibat dalam inisiasi, elongasi, dan
terminasi polipeptida.
Translasi, atau pada hakekatnya sintesis protein, berlangsung di
dalam ribosom, suatu struktur organel yang banyak terdapat di dalam
sitoplasma. Ribosom terdiri atas dua subunit, besar dan kecil, yang akan
menyatu selama inisiasi translasi dan terpisah ketika translasi telah
selesai. Ukuran ribosom sering dinyatakan atas dasar laju
pengendapannya selama sentrifugasi sebagai satuan yang disebut satuan
Svedberg (S). Pada kebanyakan prokariot ribosom mempunyai ukuran
70S, sedangkan pada eukariot biasanya sekitar 80S.
Tiap ribosom mempunyai dua tempat pengikatan tRNA, yang
masing-masing dinamakan tapak aminoasil (tapak A) dan tapak
peptidil (tapak P). Molekul aminoasil-tRNA yang baru memasuki
ribosom akan terikat di tapak A, sedangkan molekul tRNA yang
membawa rantai polipeptida yang sedang diperpanjang terikat di tapak P.
Gambaran penting sintesis protein adalah bahwa proses ini
berlangsung dengan arah tertentu sebagai berikut.
1. Molekul mRNA ditranslasi dengan arah 5‟→ 3‟, tetapi tidak dari
ujung 5‟ hingga ujung 3‟.
2. Polipeptida disintesis dari ujung amino ke ujung karboksil dengan
menambahkan asam-asam amino satu demi satu ke ujung karboksil.
Sebagai contoh, sintesis protein yang mempunyai urutan NH2-Met-
Pro- . . . -Gly-Ser-COOH pasti dimulai dengan metionin dan diakhiri
dengan serin.
Mekanisme sintesis protein secara skema garis besar dapat dilihat
pada Gambar 10.5. Sebuah molekul mRNA akan terikat pada permukaan
ribosom yang kedua subunitnya telah bergabung. Pengikatan ini terjadi
karena pada mRNA prokariot terdapat urutan basa tertentu yang disebut
sebagai tempat pengikatan ribosom (ribosom binding site) atau urutan

EKSPRESI GEN 117


Shine-Dalgarno. Sementara itu, pada eukariot pengikatan ribosom
dilakukan oleh ujung 5‟ mRNA. Selanjutnya, berbagai aminoasil-tRNA
akan berdatangan satu demi satu ke kompleks ribosom-mRNA ini dengan
urutan sesuai dengan antikodon dan asam amino yang dibawanya. Urutan
ini ditentukan oleh urutan triplet kodon pada mRNA. Ikatan peptida
terbentuk di antara asam-asam amino yang terangkai menjadi rantai
polipeptida di tapak P ribosom. Penggabungan asam-asam amino terjadi
karena gugus amino pada asam amino yang baru masuk berikatan dengan
gugus karboksil pada asam amino yang terdapat pada rantai polipeptida
yang sedang diperpanjang. Penjelasan tentang mekanisme sintesis protein
yang lebih rinci disertai contoh, khususnya pada prokariot, akan diberikan
di bawah ini.

Gambar 8.5. Skema garis besar sintesis protein

Inisiasi sintesis protein dilakukan oleh aminoasil-tRNA khusus,


yaitu tRNA yang membawa metionin (dilambangkan sebagai metionil-
tRNAiMet). Hal ini berarti bahwa sintesis semua polipeptida selalu
dimulai dengan metionin. Khusus pada prokariot akan terjadi formilasi
gugus amino pada metionil-tRNAiMet (dilambangkan sebagai metionil-
tRNAfMet) yang mencegah terbentuknya ikatan peptida antara gugus amin
tersebut dengan gugus karboksil asam amino pada ujung polipetida yang
sedang diperpanjang sehingga asam amino awal pada polipeptida
prokariot selalu berupa f-metionin. Pada eukariot metionil-tRNAiMet tidak
mengalami formilasi gugus amin, tetapi molekul ini akan bereaksi dengan
protein-protein tertentu yang berfungsi sebagai faktor inisiasi (IF-1, IF-2,
dan IF-3). Selain itu, baik pada prokariot maupun eukariot, terdapat pula
metionil-tRNA yang metioninnya bukan merupakan asam amino awal
(dilambangkan sebagai metionil-tRNAMet).

118 GENETIKA
Kompleks inisiasi pada prokariot terbentuk antara mRNA,
metionil-tRNAfMet, dan subunit kecil ribosom (30S) dengan bantuan
protein IF-1, IF-2, dan IF-3, serta sebuah molekul GTP. Pembentukan
kompleks inisiasi ini diduga difasilitasi oleh perpasangan basa antara
suatu urutan di dekat ujung 3‟ rRNA berukuran 16S dan sebagian urutan
pengarah (leader sequence) pada mRNA. Selanjutnya, kompleks inisiasi
bergabung dengan subunit besar ribosom (50S), dan metionil-tRNAfMet
terikat pada tapak P. Berpasangannya triplet kodon inisiasi pada mRNA
dengan antikodon pada metionil-tRNAfMet di tapak P menentukan urutan
triplet kodon dan aminoasil-tRNAfMet berikutnya yang akan masuk ke
tapak A. Pengikatan aminoasil-tRNAfMet berikutnya, misalnya alanil-
tRNAala, ke tapak A memerlukan protein-protein elongasi EF-Ts dan EF-
Tu. Pembentukan ikatan peptida antara gugus karboksil pada metionil-
tRNAfMet di tapak P dan gugus amino pada alanil-tRNAala di tapak A
dikatalisis oleh enzim peptidil transferase, suatu enzim yang terikat
pada subunit ribosom 50S. Reaksi ini menghasilkan dipeptida yang terdiri
atas f-metionin dan alanin yang terikat pada tRNAala di tapak A.
Langkah berikutnya adalah translokasi, yang melibatkan (1)
perpindahan f-met-ala- tRNAala dari tapak A ke tapak P dan (2)
pergeseran posisi mRNA pada ribosom sepanjang tiga basa sehingga
triplet kodon yang semula berada di tapak A masuk ke tapak P. Dalam
contoh ini triplet kodon yang bergeser dari tapak A ke P tersebut adalah
triplet kodon untuk alanin. Triplet kodon berikutnya, misalnya penyandi
serin, akan masuk ke tapak A dan proses seperti di atas hingga translokasi
akan terulang kembali. Translokasi memerlukan aktivitas faktor elongasi
berupa enzim yang biasa dilambangkan dengan EF-G.
Pemanjangan atau elongasi rantai polipeptida akan terus
berlangsung hingga suatu tripet kodon yang menyandi terminasi
memasuki tapak A. Sebelum suatu rantai polipeptida selesai disintesis
terlebih dahulu terjadi deformilisasi pada f-metionin menjadi metionin.
Terminasi ditandai oleh terlepasnya mRNA, tRNA di tapak P, dan rantai
polipeptida dari ribosom. Selain itu, kedua subunit ribosom pun memisah.
Pada terminasi diperlukan aktivitas dua protein yang berperan sebagai
faktor pelepas atau releasing factors, yaitu RF-1 dan RF-2.
Sesungguhnya setiap mRNA tidak hanya ditranslasi oleh sebuah
ribosom. Pada umumnya sebuah mRNA akan ditranslasi secara serempak
oleh beberapa ribosom yang satu sama lain berjarak sekitar 90 basa di
sepanjang molekul mRNA. Kompleks translasi yang terdiri atas sebuah
mRNA dan beberapa ribosom ini dinamakan poliribosom atau polisom.
Besarnya polisom sangat bervariasi dan berkorelasi dengan ukuran
polipeptida yang akan disintesis. Sebagai contoh, rantai hemoglobin yang
tersusun dari sekitar 150 asam amino disintesis oleh polisom yang terdiri
atas lima buah ribosom (pentaribosom).

EKSPRESI GEN 119


Pada prokariot translasi seringkali dimulai sebelum transkripsi
berakhir. Hal ini dimungkinkan terjadi karena tidak adanya dinding
nukleus yang memisahkan antara transkripsi dan translasi. Dengan
berlangsungnya kedua proses tersebut secara bersamaan, ekspresi gen
menjadi sangat cepat dan mekanisme nyala-padam (turn on-turn off)
ekspresi gen, seperti yang akan dijelaskan nanti, juga menjadi sangat
efisien.
Namun, tidak demikian halnya pada eukariot. Transkripsi terjadi di
dalam nukleus, sedangkan translasi terjadi di sitoplasma (ribosom).
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mRNA hasil transkripsi
dipindahkan dari nukleus ke sitoplasma, faktor-faktor apa yang
menentukan saat dan tempat translasi? Sayangnya, hingga kini kita belum
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan memuaskan.
Kita baru mengetahui bahwa transkripsi dan translasi pada eukariot jauh
lebih rumit daripada proses yang ada pada prokariot. Salah satu di
antaranya seperti telah kita bicarakan di atas, yaitu bahwa mRNA hasil
transkripsi (transkrip primer) pada eukariot memerlukan prosesing
terlebih dahulu sebelum dapat ditranslasi.

Kode Genetik
Penetapan triplet kodon pada mRNA sebagai pembawa informasi
genetik atau kode genetik yang akan menyandi pembentukan suatu asam
amino tertentu berawal dari pemikiran bahwa macam basa nitrogen jauh
lebih sedikit daripada macam asam amino. Basa nitrogen pada mRNA
hanya ada empat macam, sedangkan asam amino ada 20 macam. Oleh
karena itu, jelas tidak mungkin tiap asam amino disandi oleh satu basa.
Begitu juga, kombinasi dua basa hanya akan menghasilkan 42 atau 16
macam duplet, masih lebih sedikit daripada macam amino yang ada.
Kombinasi tiga basa akan menghasilkan 43 atau 64 triplet, melebihi
jumlah macam asam amino. Dalam hal ini, satu macam asam amino dapat
disandi oleh lebih dari satu macam triplet kodon.

120 GENETIKA
Tabel 8.1. Kode genetik
Basa I Basa II Basa III
(5‟) (3‟)
U C A G
Phe Ser Tyr Cys U
U Phe Ser Tyr Cys C
Leu Ser Stop Stop A
Leu Ser Stop Trp G
Leu Pro His Arg U
C Leu Pro His Arg C
Leu Pro Gln Arg A
Leu Pro Gln Arg G
ILe Thr Asn Ser U
A Ile Thr Asn Ser C
ILe Thr Lys Arg A
Met Thr Lys Arg G
Val Ala Asp Gly U
G Val Ala Asp Gly C
Val Ala Glu Gly A
Val Ala Glu Gly G

Keterangan :
phe = fenilalanin ser = serin his = histidin glu = asam glutamat
leu = leusin pro = prolin gln = glutamin cys = sistein
ile = isoleusin thr = treonin asn = asparagin trp = triptofan
met = metionin ala = alanin lys = lisin arg = arginin
val = valin tyr = tirosin asp = asam aspartat gly = glisin
AUG (kodon metionin) dapat menjadi kodon awal (start codon)
stop = kodon stop (stop codon)

Bukti bahwa kode genetik berupa triplet kodon diperoleh dari hasil
penelitian F.H.C. Crick dan kawan-kawannya yang mempelajari mutasi
pada lokus rIIB bakteriofag T4. Mutasi tersebut diinduksi oleh proflavin,
suatu molekul yang dapat menyisip di sela-sela pasangan basa nitrogen
sehingga kesalahan replikasi DNA dapat terjadi sewaktu-waktu,
menghasilkan DNA yang kelebihan atau kekurangan satu pasangan basa.
Hal ini akan menyebabkan perubahan rangka baca (reading frame),
yaitu urutan pembacaan basa-basa nitrogen untuk diterjemahkan menjadi
urutan asam amino tertentu. Mutasi yang disebabkan oleh perubahan
rangka baca akibat kelebihan atau kekurangan pasangan basa disebut
sebagai mutasi rangka baca (frameshift mutation) (lihat Bab XI).
Jika mutan (hasil mutasi) rangka baca yang diinduksi oleh
proflavin ditumbuhkan pada medium yang mengandung proflavin, akan

EKSPRESI GEN 121


diperoleh beberapa fag tipe liar sehingga mutasi seolah-olah dapat
dipulihkan atau terjadi mutasi balik (reverse mutation). Pada awalnya
mutasi balik diduga karena kelebihan pasangan basa dibuang dari rangka
baca yang salah sehingga rangka baca tersebut telah diperbaiki menjadi
seperti semula. Namun, karena mutasi bersifat acak, maka mekanisme
semacam itu kecil sekali kemungkinannya untuk terjadi dan dugaan
tersebut nampaknya tidak benar. Crick dan kawan-kawannya
menjelaskan bahwa mutasi balik disebabkan oleh hilangnya (delesi) satu
pasangan basa lain yang letaknya tidak terlalu jauh dari pasangan basa
yang menyisip (adisi). Rangka baca yang baru ini akan menghasilkan
urutan asam amino yang masih sama fungsinya dengan urutan sebelum
terjadi mutasi. Dengan perkataan lain, mutasi balik terjadi karena efek
mutasi awal akibat penambahan basa ditekan oleh mutasi kedua akibat
pengurangan basa sehingga mutasi yang kedua ini disebut juga sebagai
mutasi penekan (suppressor mutation).
Protein rIIB pada T4 mempunyai bagian-bagian yang di dalamnya
dapat terjadi perubahan urutan asam amino. Perubahan ini dapat
berpengaruh atau tidak berpengaruh terhadap fungsi proteinnya. Jika dua
strain mutan T4 yang satu sama lain mengalami mutasi berbeda di dalam
bagian protein rIIB disilangkan melalui infeksi campuran pada suatu
inang, maka T4 tipe liar akan diperoleh sebagai hasil rekombinasi genetik
antara kedua tempat mutasi yang berbeda itu. Akan tetapi, ketika kedua
strain mutan rIIB yang disilangkan merupakan strain-strain yang diseleksi
secara acak (tidak harus mengalami mutasi yang berbeda), ternyata tidak
selalu diperoleh tipe liar. Hasil ini menunjukkan bahwa strain-strain
mutan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu strain + dan strain -.
Dalam hal ini, strain + tidak harus selalu mutan adisi, dan strain – tidak
harus selalu mutan delesi. Namun, sekali kita menggunakan tanda +
untuk mutan adisi berarti strain + adalah mutan adisi. Begitu pula
sebaliknya, sekali kita gunakan tanda + untuk mutan delesi berarti strain
+ adalah mutan delesi.
Persilangan antara strain + dan strain – hanya menghasilkan
rekombinasi berupa fenotipe tipe liar, sedangkan persilangan antara
sesama + atau sesama – tidak pernah menghasilkan tipe liar. Hal ini
karena persilangan sesama + atau sesama – akan menyebabkan adisi atau
delesi ganda sehingga selalu menghasilkan fenotipe mutan. Sementara
itu, persilangan antara starin + dan – akan menyebabkan terjadinya
mutasi penekan (adisi ditekan oleh delesi atau delesi ditekan oleh adisi)
atau hanya menghasilkan mutasi pada urutan asam amino yang tidak
berpengaruh terhadap fungsi protein sehingga diperoleh fenotipe tipe liar.

122 GENETIKA
Gambar 8.6. Mutasi penekan yang memulihkan rangka baca

Oleh karena persilangan sesama + atau sesama – tidak pernah


menghasilkan tipe liar, kode genetik jelas tidak mungkin terdiri atas dua
basa. Seandainya, kode genetik berupa duplet, maka akan terjadi
pemulihan rangka baca hasil persilangan tersebut. Kenyataannya tidak
demikian. Pemulihan rangka baca akibat mutasi penekan justru terjadi
apabila persilangan dilakukan antara strain + dan strain -.
Apabila kode genetik berupa triplet, maka persilangan teoretis
sesama + atau sesama – akan menghasilkan fenotipe mutan, sesuai
dengan hasil kenyataannya. Namun, rekombinasi antara tiga + atau tiga -
akan menghasilkan tipe liar. Hal ini memperlihatkan bahwa kode genetik
terdiri atas tiga basa.

EKSPRESI GEN 123


urutan yang bila berubah urutan yang bila berubah
tidak berpengaruh berpengaruh

tipe liar AB CD EF GH IJ KL MN OP QR ST UV WX protein tipe liar


+1 AB C1 DE FG HI JK LM NO PQ RS TU VW X protein mutan
+2 AB CD E2 FG HI JK LM NO PQ RS TU VW X protein mutan
-1 AB DE FG HI JK LM NO PQ RS TU VW X protein mutan
-2 AB CD FG HI JK LM NO PQ RS TU VW X protein mutan
+1 x +2 AB C1 DE 2F GH IJ KL MN OP QR ST UV WX protein tipe liar
-1 x -2 AB CD EF GH IJ KL MN OP QR ST UV WX protein tipe liar
+1 x -1 AB C1 DE FG HI JK LM NO PQ RS TU VW X protein mutan
a)
urutan yang bila berubah urutan yang bila berubah
tidak berpengaruh berpengaruh

tipe liar ABC DEF GHI JKL MNO PQR STU VWX protein tipe liar
+1 AB1 CDE FGH IJK LMN OPQ RST UVW X protein mutan
+2 ABC DE2 FGH IJK LMN OPQ RST UVW X protein mutan
+3 ABC DEF GHI J3K LMN OPQ RST UVW X protein mutan
+1 x +2 AB1 CDE 2FG HIJ KLM NOP QRS TUV WX protein mutan
+1 x +2 x +3 AB1 CDE 2FG HIJ 3KL MNO PQR STU VWX protein tipe liar
b)
Gambar 8.7. Diagram persilangan mutan rIIB pada T4 yang
memperlihatkan bahwa kode genetik berupa triplet
kodon
a) Jika kode genetik berupa duplet, hasil persilangan
teoretis tidak sesuai dengan kenyataan yang
diperoleh.
b) Jika kode genetik berupa triplet, hasil persilangan
teoretis sesuai dengan kenyataan yang diperoleh.

Sifat-sifat kode genetik


Kode genetik mempunyai sifat-sifat yang akan dijelaskan sebagai
berikut.
1. Kode genetik bersifat universal. Artinya, kode genetik berlaku sama
hampir di setiap spesies organisme.
2. Kode genetik bersifat degenerate atau redundant, yaitu bahwa satu
macam asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu triplet kodon.
Sebagai contoh, treonin dapat disandi oleh ACU, ACC, ACA, dan
ACG. Sifat ini erat kaitannya dengan sifat wobble basa ketiga, yang
artinya bahwa basa ketiga dapat berubah-ubah tanpa selalu disertai
perubahan macam asam amino yang disandinya. Diketahuinya sifat
wobble bermula dari penemuan basa inosin (I) sebagai basa pertama
pada antikodon tRNAala ragi, yang ternyata dapat berpasangan dengan
basa A, U, atau pun C. Dengan demikian, satu antikodon pada tRNA
dapat mengenali lebih dari satu macam kodon pada mRNA.
3. Oleh karena tiap kodon terdiri atas tiga buah basa, maka tiap urutan
basa mRNA, atau berarti juga DNA, mempunyai tiga rangka baca

124 GENETIKA
yang berbeda (open reading frame). Di samping itu, di dalam suatu
segmen tertentu pada DNA dapat terjadi transkripsi dan translasi
urutan basa dengan panjang yang berbeda. Dengan perkataan lain,
suatu segmen DNA dapat terdiri atas lebih dari sebuah gen yang
saling tumpang tindih (overlapping). Sebagai contoh, bakteriofag
фX174 mempunyai sebuah untai tunggal DNA yang panjangnya lebih
kurang hanya 5.000 basa. Seandainya dari urutan basa ini hanya
digunakan sebuah rangka baca, maka akan terdapat sekitar 1.700 asam
amino yang dapat disintesis. Kemudian, jika sebuah molekul protein
rata-rata tersusun dari 400 asam amino, maka dari sekitar 1.700 asam
amino tersebut hanya akan terbentuk 4 hingga 5 buah molekul protein.
Padahal kenyataannya, bakteriofag фX174 mempunyai 11 protein
yang secara keseluruhan terdiri atas 2.300 asam amino. Dengan
demikian, jelaslah bahwa dari urutan basa DNA yang ada tidak hanya
digunakan sebuah rangka baca, dan urutan basa yang diekspresikan
(gen) dapat tumpang tindih satu sama lain.

DAFTAR PUSTAKA
Griffiths, AJF., Wessler, SR., Carroll, SB. and Doebley, J. 2020.
Introduction to Genetic Analysis. 12th Ed. W. H. Freeman & Co.,
New York.
Hartl, DL., Freifelder, D., Snyder, LA. 1988. Basic Genetics. 1st Ed.
Jones & Bartlett Publ. Inc., Portola Valley, California.
Pierce, BA. 2012. Genetics: a Conceptual Approach 4th Ed. WH Freeman
& Co., New York.
Susanto, AH. 2011. Genetika. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

SOAL LATIHAN
1. Penambahan basa nitrogen pada proses transkripsi berasal dari
molekul
A. RNA.
B. dNTP.
C. nukleosida trifosfat.
D. DNA polimerase.
E. RNA polimerase.
2. Istilah yang sama artinya dengan transkripsi adalah sintesis
A. polinukleotida.
B. RNA.
C. RNA polimerase.
D. DNA polimerase.
E. polipetida.

EKSPRESI GEN 125


3. Urutan konsensus pada promoter prokariot lazim disebut dengan
A. kotak TATA.
B. kotak Pribnow.
C. daerah Shine-Dalgarno.
D. kodon.
E. antikodon.
4. Terminasi proses transkripsi dicirikan oleh adanya
A. kodon awal (start codon).
B. kodon stop (stop codon).
C. struktur hairpin dan poliadenin.
D. ekson.
E. intron.
5. Urutan penyandi (coding sequence) terdapat pada molekul
A. mRNA.
B. tRNA.
C. rRNA.
D. ribosom.
E. DNA polimerase.
6. Antikodon dibawa oleh molekul
A. ribosom.
B. DNA.
C. rRNA.
D. mRNA.
E. tRNA.
7. Tempat pengikatan ribosom (Shine-Dalgarno) terdapat pada molekul
A. mRNA.
B. rRNA.
C. tRNA.
D. DNA.
E. asam amino.
8. Komponen di bawah ini terlibat dalam proses translasi, kecuali
A. aminoasil tRNA.
B. peptidil transferase.
C. mRNA.
D. RNA polimerase.
E. ribosom.
9. Tiap urutan basa DNA dan mRNA mempunyai rangka baca (open
reading frame) sebanyak
A. 0.
B. 1.
C. 2.
D. 3.
E. 4.

126 GENETIKA
10. Tiap asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu triplet kodon
karena kode genetik mempunyai
A. tiga rangka baca yang tumpang tindih.
B. tiga rangka baca yang berbeda.
C. sifat wobble pada basa pertama.
D. sifat universal.
E. sifat degenerate.

KUNCI JAWABAN
1. C 6. E
2. B 7. A
3. B 8. D
4. C 9. D
5. A 10. E

Jika Anda menjawab soal dengan benar sebanyak


> 8 berarti Anda telah sangat menguasai materi bab ini dan dapat
melanjutkan mempelajari materi bab berikutnya.
6 – 7 berarti Anda telah cukup menguasai materi bab ini, tetapi
sebaiknya mengulang lagi mempelajari bagian yang jawaban
soalnya masih keliru.
< 5 berarti Anda kurang menguasai materi bab ini sehingga perlu
mempelajarinya kembali, terutama di bagian yang jawaban soalnya
masih keliru.

EKSPRESI GEN 127


Setelah mempelajari materi pada Bab IX ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan mekanisme pengaturan ekspresi gen, baik pada sistem prokariot
maupun eukariot.

P roduk-produk gen tertentu seperti protein ribosomal, rRNA, tRNA,


RNA polimerase, dan enzim-enzim yang mengatalisis berbagai
reaksi metabolisme yang berkaitan dengan fungsi pemeliharaan sel
merupakan komponen esensial bagi semua sel. Gen-gen yang menyandi
pembentukan produk semacam itu perlu diekspresikan terus-menerus
sepanjang umur individu di hampir semua jenis sel tanpa bergantung
kepada kondisi lingkungan di sekitarnya. Sementara itu, banyak pula gen
lainnya yang ekspresinya sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan
sehingga mereka hanya akan diekspresikan pada waktu dan di dalam
jenis sel tertentu. Untuk gen-gen semacam ini harus ada mekanisme
pengaturan ekspresinya.
Pengaturan ekspresi gen dapat terjadi pada berbagai tahap,
misalnya transkripsi, prosesing mRNA, atau translasi. Namun, sejumlah
data hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan ekspresi gen,
khususnya pada prokariot, paling banyak terjadi pada tahap transkripsi.
Mekanisme pengaturan transkripsi, baik pada prokariot maupun
pada eukariot, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kategori
utama, yaitu (1) mekanisme yang melibatkan penyalapadaman (turn on
and turn off) ekspresi gen sebagai respon terhadap perubahan kondisi
lingkungan dan (2) sirkit ekspresi gen yang telah terprogram
(preprogramed circuits). Mekanisme penyalapadaman sangat penting
bagi mikroorganisme untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan
lingkungan yang seringkali terjadi secara tiba-tiba. Sebaliknya, bagi
eukariot mekanisme ini nampaknya tidak terlalu penting karena pada
organisme ini sel justru cenderung merespon sinyal-sinyal yang datang
dari dalam tubuh, dan di sisi lain, sistem sirkulasi akan menjadi
penyangga bagi sel terhadap perubahan kondisi lingkungan yang
mendadak tersebut. Pada mekanisme sirkit, produk suatu gen akan
menekan transkripsi gen itu sendiri dan sekaligus memacu transkripsi gen
kedua, produk gen kedua akan menekan transkripsi gen kedua dan
memacu transkripsi gen ketiga, demikian seterusnya. Ekspresi gen yang
berurutan ini telah terprogram secara genetik sehingga gen-gen tersebut

128
tidak akan dapat diekspresikan di luar urutan. Oleh karena urutan
ekspresinya berupa sirkit, maka mekanisme tersebut dinamakan sirkit
ekspresi gen.

Induksi dan Represi pada Prokariot


Escherichia coli merupakan bakteri yang sering dijadikan model
untuk mempelajari berbagai mekanisme genetika molekuler. Bakteri ini
secara alami hidup di dalam usus besar manusia dengan memanfaatkan
sumber karbon yang umumnya berupa glukosa. Apabila suatu ketika E.
coli ditumbuhkan pada medium yang sumber karbonnya bukan glukosa
melainkan laktosa, maka enzim pemecah laktosa akan disintesis, sesuatu
yang tidak biasa dilakukannya. Untuk itu, gen-gen penyandi berbagai
enzim yang terlibat dalam pemanfaatan laktosa akan diekspresikan
(turned on). Sebaliknya, dalam keadaan normal, yaitu ketika tersedia
glukosa sebagai sumber karbon, maka gen-gen tersebut tidak
diekspresikan (turned off). Proses yang terjadi ketika ekspresi gen
merupakan respon terhadap keberadaan suatu zat di lingkungannya
dikenal sebagai induksi, sedangkan zat atau molekul yang menyebabkan
terjadinya induksi disebut sebagai induser. Jadi, dalam contoh ini laktosa
merupakan induser.
Induksi secara molekuler terjadi pada tingkat transkripsi. Peristiwa
ini berkenaan dengan laju sintesis enzim, bukan dengan aktivitas enzim.
Pada pengaktifan enzim suatu molekul kecil akan terikat pada enzim
sehingga akan terjadi peningkatan aktivitas enzim tersebut, bukan
peningkatan laju sintesisnya.
Selain mempunyai kemampuan untuk memecah suatu molekul
(katabolisme), bakteri juga dapat menyintesis (anabolisme) berbagai
molekul organik yang diperlukan bagi pertumbuhannya. Sebagai contoh,
Salmonella typhimurium mempunyai sejumlah gen yang menyandi
enzim-enzim untuk biosintesis triptofan. Dalam medium pertumbuhan
yang tidak mengandung triptofan, S. typhimurium akan mengekspresikan
(turned on) gen-gen tersebut. Akan tetapi, jika suatu saat ke dalam
medium pertumbuhannya ditambahkan triptofan, maka gen-gen tersebut
tidak perlu diekspresikan (turned off). Proses pemadaman (turn off)
ekspresi gen sebagai respon terhadap keberadaan suatu zat di
lingkungannya dinamakan represi, sedangkan zat yang menyebabkan
terjadinya represi disebut sebagai korepresor. Jadi, dalam contoh ini
triptofan merupakan korepresor.
Seperti halnya induksi, represi juga terjadi pada tahap transkripsi.
Represi sering dikacaukan dengan inhibisi umpan balik (feedback
inhibition), yaitu penghambatan aktivitas enzim akibat pengikatan produk
akhir reaksi yang dikatalisis oleh enzim itu sendiri. Represi tidak
menghambat aktivitas enzim, tetapi menekan laju sintesisnya.

PENGATURAN EKSPRESI GEN 129


Model operon

operon

PR R PO O GS1 GS2 GS3

represor efektor (induser atau korepresor)

a)

RNA polimerase

induser

RNA polimerase berjalan

transkripsi
kompleks represor-induser
translasi
b)

RNA polimerase berjalan

transkripsi
korepresor
translasi

kompleks represor-korepresor

c)
Gambar 9.1. Model operon untuk pengaturan ekspresi gen
a) komponen operon b) induksi c) represi

Mekanisme molekuler induksi dan represi telah dapat dijelaskan


menurut model yang diajukan oleh F. Jacob dan J. Monod pada tahun
1961. Menurut model yang dikenal sebagai operon ini ada dua unsur
yang mengatur transkripsi gen struktural penyandi enzim, yaitu gen
regulator (gen represor) dan operator yang letaknya berdekatan dengan

130 GENETIKA
gen-gen struktural yang diaturnya. Gen regulator menyandi pembentukan
suatu protein yang dinamakan represor. Pada kondisi tertentu represor
akan berikatan dengan operator, menyebabkan terhalangnya transkripsi
gen-gen struktural. Hal ini terjadi karena enzim RNA polimerase tidak
dapat memasuki promoter yang letaknya berdekatan, atau bahkan
tumpang tindih, dengan operator.
Secara keseluruhan setiap operon terdiri atas promoter operon atau
promoter bagi gen-gen struktural (PO), operator (O), dan gen-gen
struktural (GS). Di luar operon terdapat gen regulator (R) beserta
promoternya (PR), molekul protein represor yang dihasilkan oleh gen
regulator, dan molekul efektor. Molekul efektor pada induksi adalah
induser, sedangkan pada represi adalah korepresor.
Pada Gambar 9.1 terlihat bahwa terikatnya represor pada operator
terjadi dalam keadaan yang berkebalikan antara induksi dan represi. Pada
induksi represor secara normal akan berikatan dengan operator sehingga
RNA polimerase tidak dapat memasuki promoter operon. Akibatnya,
transkripsi gen-gen struktural tidak dapat berlangsung. Namun, dengan
terikatnya represor oleh induser, promoter operon menjadi terbuka bagi
RNA polimerase sehingga gen-gen struktural dapat ditranskripsi dan
selanjutnya ditranslasi. Dengan demikian, gen-gen struktural akan
diekspresikan apabila terdapat molekul induser yang mengikat represor.
Operon yang terdiri atas gen-gen yang ekspresinya terinduksi
dinamakan operon induksi. Salah satu contohnya adalah operon lac,
yang terdiri atas gen-gen penyandi enzim pemecah laktosa seperti telah
disebutkan di atas.
Sebaliknya, pada represi secara normal represor tidak berikatan
dengan operator sehingga RNA polimerase dapat memasuki promoter
operon dan transkripsi gen-gen struktural dapat terjadi. Akan tetapi,
dengan adanya korepresor, akan terbentuk kompleks represor-korepresor
yang kemudian berikatan dengan operator. Dengan pengikatan ini, RNA
polimerase tidak dapat memasuki promoter operon sehingga transkripsi
gen-gen struktural menjadi terhalang. Jadi, ekspresi gen-gen struktural
akan terepresi apabila terdapat molekul korepresor yang berikatan dengan
represor.
Gen-gen yang ekspresinya dapat terepresi merupakan komponen
operon yang dinamakan operon represi. Operon trp, yang terdiri atas
gen-gen penyandi enzim untuk biosintesis triptofan merupakan contoh
operon represi.

Pengaturan Ekspresi Gen pada Eukariot


Hingga sekarang kita baru sedikit sekali mengetahui mekanisme
pengaturan ekspresi gen pada eukariot. Namun, kita telah mengetahui
bahwa pada eukariot tingkat tinggi gen-gen yang berbeda akan

PENGATURAN EKSPRESI GEN 131


ditranskripsi pada jenis sel yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa
mekanisme pengaturan pada tahap transkripsi, dan juga prosesing
mRNA, memegang peran yang sangat penting dalam proses diferensiasi
sel.
Operon, kalau pun ada, nampaknya tidak begitu penting pada
eukariot. Hanya pada eukariot tingkat rendah seperti jamur dapat
ditemukan satuan-satuan operon atau mirip operon. Semua mRNA pada
eukariot tingkat tinggi adalah monosistronik, yaitu hanya membawa
urutan sebuah gen struktural. Transkrip primer yang adakalanya
menyerupai polisistronik pun akan diproses menjadi mRNA yang
monosistronik.
Selain itu, terindikasi juga bahwa diferensiasi sel sedikit banyak
melibatkan ekspresi seperangkat gen yang telah terprogram
(preprogramed). Berbagai macam sinyal seperti molekul-molekul
sitoplasmik, hormon, dan rangsangan dari lingkungan memicu
dimulainya pembacaan program-program dengan urutan tertentu pada
waktu dan tempat yang tepat selama perkembangan individu. Bukti
paling nyata mengenai adanya keharusan urutan pembacaan program
pada waktu dan tempat tertentu dapat dilihat pada kasus mutasi yang
terjadi pada lalat Drosophila, misalnya munculnya sayap di kepala di
tempat yang seharusnya untuk mata. Dengan mempelajari mutasi-mutasi
semacam ini diharapkan akan diperoleh pengetahuan tentang mekanisme
pengaturan ekspresi gen selama perkembangan normal individu.
Pada eukariot tingkat tinggi kurang dari 10 persen gen yang
terdapat di dalam seluruh genom akan terepresentasikan urutan basanya
di antara populasi mRNA yang telah mengalami prosesing. Sebagai
contoh, hanya ada dua hingga lima persen urutan DNA mencit yang akan
terepresentasikan pada mRNA di dalam sel-sel hatinya. Demikian pula,
mRNA di dalam sel-sel otak katak Xenopus hanya merepresentasikan
delapan persen urutan DNAnya. Jadi, sebagian besar urutan basa DNA di
dalam genom eukariot tingkat tinggi tidak terepresentasikan di antara
populasi mRNA yang ada di dalam sel atau jaringan tertentu. Dengan
perkataan lain, molekul mRNA yang dihasilkan dari perangkat gen yang
berbeda akan dijumpai di dalam sel atau jaringan yang berbeda pula.

Dosis gen dan amplifikasi gen


Kebutuhan akan produk-produk gen pada eukariot dapat sangat
bervariasi. Beberapa produk gen dibutuhkan dalam jumlah yang jauh
lebih besar daripada produk gen lainnya sehingga terdapat nisbah
kebutuhan di antara produk-produk gen yang berbeda. Untuk memenuhi
nisbah kebutuhan ini antara lain dapat ditempuh melalui dosis gen.
Katakanlah, ada gen A dan gen B yang ditranskripsi dan ditranslasi
dengan efisiensi yang sama. Produk gen A dapat 20 kali lebih banyak

132 GENETIKA
daripada produk gen B apabila terdapat 20 salinan (kopi) gen A untuk
setiap salinan gen B. Contoh yang nyata dapat dilihat pada gen-gen
penyandi histon. Untuk menyintesis histon dalam jumlah besar yang
dibutuhkan dalam pembentukan kromatin, kebanyakan sel mempunyai
beratus-ratus kali salinan gen histon daripada jumlah salinan gen yang
diperlukan untuk replikasi DNA.
Salah satu pengaruh dosis gen adalah amplifikasi gen, yaitu
peningkatan jumlah gen sebagai respon terhadap sinyal tertentu. Sebagai
contoh, amplifikasi gen terjadi selama perkembangan oosit katak
Xenopus laevis. Pembentukan oosit dari prekursornya (oogonium)
merupakan proses kompleks yang membutuhkan sejumlah besar sintesis
protein. Untuk itu dibutuhkan sejumlah besar ribosom. Kita mengetahui
bahwa ribosom antara lain terdiri atas molekul-molekul rRNA. Padahal,
sel-sel prekursor tidak mempunyai gen penyandi rRNA dalam jumlah
yang mencukupi untuk sintesis molekul tersebut dalam waktu yang relatif
singkat. Namun, sejalan dengan perkembangan oosit terjadi peningkatan
jumlah gen rRNA hingga 4000 kali sehingga dari sebanyak 600 gen yang
ada pada prekursor akan diperoleh sekitar dua juta gen setelah
amplifikasi. Jika sebelum amplifikasi ke-600 gen rRNA berada di dalam
satu segmen DNA linier, maka selama dan setelah amplifikasi gen
tersebut akan berada di dalam gulungan-gulungan kecil yang mengalami
replikasi. Molekul rRNA tidak diperlukan lagi ketika oosit telah matang
hingga saat terjadinya fertilisasi. Oleh karena itu, gen rRNA yang telah
begitu banyak disalin kemudian didegradasi kembali oleh berbagai enzim
intrasel.
Jika waktu yang tersedia untuk melakukan sintesis sejumlah besar
protein cukup banyak, amplifikasi gen sebenarnya tidak perlu dilakukan.
Cara lain untuk mengatasi kebutuhan protein tersebut adalah dengan
meningkatkan masa hidup mRNA (lihat bagian pengaturan translasi).

Pengaturan transkripsi
Berdasarkan atas banyaknya salinan di dalam tiap sel, molekul
mRNA dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) mRNA salinan
tunggal (single copy), (2) mRNA semiprevalen dengan jumlah salinan
lebih dari satu hingga beberapa ratus per sel, dan (3) mRNA
superprevalen dengan jumlah salinan beberapa ratus hingga beberapa ribu
per sel. Molekul mRNA salinan tunggal dan semiprevalen masing-masing
menyandi enzim dan protein struktural. Sementara itu, mRNA
superprevalen biasanya dihasilkan sejalan dengan terjadinya perubahan di
dalam suatu tahap perkembangan organisme eukariot. Sebagai contoh,
sel-sel eritroblas di dalam sumsum tulang belakang mempunyai sejumlah
besar mRNA yang dapat ditranslasi menjadi globin matang. Di sisi lain,
hanya sedikit sekali atau bahkan tidak ada globin yang dihasilkan oleh

PENGATURAN EKSPRESI GEN 133


sel-sel prekursor yang belum berkembang menjadi eritroblas. Dengan
demikian, kita dapat memastikan adanya suatu mekanisme pengaturan
ekspresi gen penyandi mRNA superprevalen pada tahap transkripsi
eukariot meskipun hingga kini belum terlalu banyak rincian prosesnya
yang dapat diungkapkan.
Salah satu regulator yang diketahui berperan dalam transkripsi
eukariot adalah hormon, molekul protein kecil yang dibawa dari sel
tertentu menuju ke sel target. Mekanisme kerja hormon dalam mengatur
transkripsi eukariot lebih kurang dapat disetarakan dengan induksi pada
prokariot. Namun, penetrasi hormon ke dalam sel target dan
pengangkutannya ke dalam nukleus merupakan proses yang jauh lebih
rumit bila dibandingkan dengan induksi oleh laktosa pada E. coli.
Secara garis besar pengaturan transkripsi oleh hormon dimulai
dengan masuknya hormon ke dalam sel target melewati membran sel,
yang kemudian ditangkap oleh reseptor khusus yang terdapat di dalam
sitoplasma sehingga terbentuk kompleks hormon-reseptor. Setelah
kompleks ini terbentuk biasanya reseptor akan mengalami modifikasi
struktur kimia. Kompleks hormon-reseptor yang termodifikasi kemudian
menembus dinding nukleus untuk memasuki nukleus. Proses selanjutnya
belum banyak diketahui, tetapi rupanya di dalam nukleus kompleks
tersebut, atau mungkin hormonnya saja, akan mengalami salah satu di
antara beberapa peristiwa, yaitu (1) pengikatan langsung pada DNA, (2)
pengikatan pada suatu protein efektor, (3) aktivasi protein yang terikat
DNA, (4) inaktivasi represor, dan (5) perubahan struktur kromatin agar
DNA terbuka bagi enzim RNA polimerase.
Contoh induksi transkripsi oleh hormon antara lain dapat dilihat
pada stimulasi sintesis ovalbumin pada saluran telur (oviduktus) ayam
oleh hormon kelamin estrogen. Jika ayam disuntik dengan estrogen,
jaringan-jaringan oviduktus akan memberikan respon berupa sintesis
mRNA untuk ovalbumin. Sintesis ini akan terus berlanjut selama
estrogen diberikan, dan hanya sel-sel oviduktus yang akan menyintesis
mRNA tersebut. Hal ini karena sel-sel atau jaringan lainnya tidak
mempunyai reseptor hormon estrogen di dalam sitoplasmanya.

Pengaturan pada tahap prosesing mRNA


Dua jenis sel yang berbeda dapat membuat protein yang sama
tetapi dalam jumlah yang berbeda meskipun transkripsi di dalam kedua
sel tersebut terjadi pada gen yang sama. Fenomena ini seringkali
berkaitan dengan adanya molekul-molekul mRNA yang berbeda, yang
akan ditranslasi dengan efisiensi berbeda pula.
Pada tikus, misalnya, ditemukan bahwa perbedaan sintesis enzim
α-amilase oleh berbagai mRNA yang berasal dari gen yang sama dapat
terjadi karena adanya perbedaan pola pembuangan intron. Kelenjar ludah

134 GENETIKA
menghasilkan α-amilase lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh
jaringan hati meskipun gen yang ditranskripsi sama. Jadi, dalam hal ini
transkrip primernya sebenarnya sama, tetapi kemudian ada perbedaan
mekanisme prosesing, khususnya pada penyatuan (splicing) mRNA.
Pengaturan translasi
Berbeda dengan translasi mRNA pada prokariot yang terjadi dalam
jumlah yang lebih kurang sama, pada eukariot ada mekanisme pengaturan
translasi. Macam-macam pengaturan tersebut adalah (1) kondisi bahwa
mRNA tidak akan ditranslasi sama sekali sebelum datangnya suatu
sinyal, (2) pengaturan umur (lifetime) molekul mRNA, dan (3)
pengaturan laju seluruh sintesis protein.
Telur yang tidak dibuahi secara biologi bersifat statis. Akan tetapi,
begitu fertilisasi terjadi, sejumlah protein akan disintesis. Hal ini
menunjukkan bahwa di dalam sel telur yang belum dibuahi akan dijumpai
sejumlah mRNA yang menantikan datangnya sinyal untuk translasi.
Sinyal tersebut tidak lain adalah fertilisasi oleh spermatozoon, sedangkan
molekul mRNA yang belum ditranslasi itu dinamakan mRNA
tersembunyi (masked mRNA).
Pengaturan umur mRNA juga dijumpai pada telur yang belum
dibuahi. Sel telur ini akan mempertahankan diri untuk tidak mengalami
pertumbuhan atau perkembangan. Dengan demikian, laju sintesis protein
menjadi sangat rendah. Namun, hal ini bukan akibat kurangnya pasokan
mRNA, melainkan karena terbatasnya ketersediaan suatu unsur yang
dinamakan faktor rekrutmen. Hingga kini belum diketahui hakekat
unsur tersebut, tetapi rupanya berperan dalam pembentukan kompleks
ribosom-mRNA.
Sintesis beberapa protein tertentu diatur oleh aktivitas protein itu
sendiri terhadap mRNA. Sebagai contoh, konsentrasi suatu jenis molekul
antibodi dipertahankan konstan oleh mekanisme inhibisi atau
penghambatan diri dalam proses translasi. Jadi, molekul antibodi tersebut
berikatan secara khusus dengan molekul mRNA yang menyandinya
sehingga inisiasi translasi akan terhambat.

Sintesis beberapa protein dari satu segmen DNA


Pada prokariot terdapat mRNA polisistronik yang menyandi semua
produk gen. Sebaliknya, pada eukariot tidak pernah dijumpai mRNA
polisistronik, tetapi ada kondisi yang dapat disetarakan dengannya, yakni
sintesis poliprotein. Poliprotein adalah polipeptida berukuran besar yang
setelah berakhirnya translasi akan terpotong-potong untuk menghasilkan
sejumlah molekul protein yang utuh. Tiap protein ini dapat dilihat sebagai
produk satu gen tunggal.
Dalam sistem semacam itu urutan penyandi pada masing-masing
gen tidak saling dipisahkan oleh kodon stop dan kodon awal, tetapi

PENGATURAN EKSPRESI GEN 135


dipisahkan oleh urutan asam amino tertentu yang dikenal sebagai tempat
pemotongan (cleavage sites) oleh enzim protease tertentu. Tempat-tempat
pemotongan ini tidak akan berfungsi serempak, tetapi bergantian
mengikuti suatu urutan.

DAFTAR PUSTAKA
Griffiths, AJF., Wessler, SR., Carroll, SB. and Doebley, J. 2020.
Introduction to Genetic Analysis. 12th Ed. W. H. Freeman & Co.,
New York.
Hartl, DL., Freifelder, D., Snyder, LA. 1988. Basic Genetics. 1st Ed.
Jones & Bartlett Publ. Inc., Portola Valley, California.
Pierce, BA. 2012. Genetics: a Conceptual Approach 4th Ed. WH Freeman
& Co., New York.
Susanto, AH. 2011. Genetika. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

SOAL LATIHAN
1. Pada operon laktosa (lactoperon) terjadi
A. sintesis enzim anabolik.
B. sintesis enzim katabolik.
C. peningkatan aktivitas enzim anabolik.
D. peningkatan aktivitas enzim katabolik.
E. induksi enzim pemecah glukosa.
2. Pada operon laktosa (lactoperon), molekul laktosa berperan sebagai
A. induser.
B. represor.
C. korepresor.
D. promoter.
E. operator.
3. Dengan adanya korepresor, maka
A. terjadi pembukaan daerah operator.
B. represor akan meninggalkan operator.
C. represor akan memasuki operator.
D. transkripsi gen struktural akan berjalan.
E. translasi gen struktural akan berjalan.
4. Gen-gen struktural pada model operon terdapat pada molekul
A. DNA.
B. mRNA.
C. rRNA.
D. tRNA.
E. RNA polimerase.

136 GENETIKA
5. Pernyataan yang benar tentang induksi dan represi adalah
A. terkait dengan aktivitas enzim.
B. terkait dengan inhibisi umpan balik.
C. melibatkan enzim DNA polimerase.
D. lazim dijumpai pada sistem eukariot.
E. terjadi pada tahap transkripsi.
6. Pada operon trp, molekul triptofan berperan sebagai
A. represor.
B. korepresor.
C. operator.
D. gen struktural.
E. gen regulator.
7. Pada model operon, enzim RNA polimerase akan memasuki DNA di
sekitar
A. operator.
B. promoter gen regulator.
C. gen regulator.
D. represor.
E. efektor.
8. Stimulasi sintesis ovalbumin pada saluran telur ayam oleh hormon
estrogen terjadi pada tahap
A. amplifikasi gen.
B. prosesing mRNA.
C. translasi.
D. transkripsi.
E. pascatranslasi.
9. Pada eukariot tingkat tinggi
A. transkripsi gen tertentu tidak terjadi di setiap sel.
B. transkripsi gen tertentu terjadi pada setiap sel, tetapi tidak pada
waktu yang sama.
C. transkripsi gen tertentu terjadi pada waktu yang sama, tetapi pada
sel yang berbeda.
D. semua gen akan diekspresikan pada sel dan waktu yang sama.
E. mRNA dari gen yang berbeda akan dijumpai pada sel yang sama,
tetapi pada waktu yang berbeda.
10. Pengaturan ekspresi gen pada sistem eukariot yang paling menyerupai
mekanisme induksi pada prokariot adalah
A. dosis gen dan amplifikasi gen.
B. pengaturan umur mRNA.
C. splicing mRNA.
D. pembentukan poliprotein.
E. pengaturan transkripsi oleh hormon.

PENGATURAN EKSPRESI GEN 137


KUNCI JAWABAN
1. B 6. B
2. A 7. A
3. C 8. D
4. A 9. A
5. E 10. E

Jika Anda menjawab soal dengan benar sebanyak


> 8 berarti Anda telah sangat menguasai materi bab ini dan dapat
melanjutkan mempelajari materi bab berikutnya.
6 – 7 berarti Anda telah cukup menguasai materi bab ini, tetapi
sebaiknya mengulang lagi mempelajari bagian yang jawaban
soalnya masih keliru.
< 5 berarti Anda kurang menguasai materi bab ini sehingga perlu
mempelajarinya kembali, terutama di bagian yang jawaban soalnya
masih keliru.

138 GENETIKA
Setelah mempelajari materi pada Bab X ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan pengertian mutasi sebagai mekanisme pelaksanaan fungsi evolusi
materi genetik, macam-macam mutasi, penyebab mutasi, mekanisme perbaikan
DNA, dan uji Ames.

F ungsi ketiga materi genetik adalah fungsi evolusi, yang agar dapat
melaksanakannya materi genetik harus mempunyai kemampuan
untuk melakukan mutasi. Peristiwa mutasi atau perubahan materi
genetik, di samping segregasi dan rekombinasi, akan menciptakan variasi
genetik yang berguna untuk mengantisipasi perubahan kondisi
lingkungan yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
Pengaruh fenotipik yang ditimbulkan oleh mutasi sangat bervariasi,
mulai dari perubahan kecil yang hanya dapat dideteksi melalui analisis
biokimia hingga perubahan pada proses-proses esensial yang dapat
mengakibatkan kematian sel atau bahkan organisme yang mengalaminya.
Jenis sel dan tahap perkembangan individu menentukan besar kecilnya
pengaruh mutasi. Selain itu, pada organisme diploid pengaruh mutasi
juga bergantung kepada dominansi alel. Dalam hal ini, alel mutan resesif
tidak akan memunculkan pengaruh fenotipik selama berada di dalam
individu heterozigot karena tertutupi oleh alel dominannya yang normal.
Kita mengenal berbagai macam peristiwa mutasi sesuai dengan
kriteria yang digunakan untuk mengelompokkannya. Pada organisme
multiseluler dapat dibedakan antara mutasi germinal dan mutasi somatis.
Mutasi germinal terjadi pada sel-sel germinal atau sel-sel penghasil
gamet, sedangkan mutasi somatis terjadi pada sel-sel selain sel germinal.
Mutasi somatis akan menyebabkan terbentuknya khimera, yaitu individu
dengan jaringan normal dan jaringan yang terdiri atas sel-sel somatis
mutan. Alel-alel hasil mutasi somatis tidak akan diwariskan kepada
keturunan individu yang mengalaminya karena mutasi ini tidak
mempengaruhi sel-sel germinal. Pada tanaman tingkat tinggi mutasi
somatis justru sering kali menghasilkan varietas-varietas yang diinginkan
dan untuk perbanyakannya harus dilakukan secara vegetatif.

139
Mekanisme Molekuler Mutasi
Meskipun tidak selalu terjadi, perubahan urutan asam amino pada
suatu protein dapat menyebabkan perubahan sifat-sifat biologi protein
tersebut. Hal ini karena pelipatan rantai polipeptida sebagai penentu
struktur tiga dimensi molekul protein sangat bergantung kepada interaksi
di antara asam-asam amino dengan muatan yang berlawanan. Contoh
yang paling sering dikemukakan adalah perubahan sifat biologi yang
terjadi pada molekul hemoglobin.
Hemoglobin pada individu dewasa normal terdiri atas dua rantai
polipeptida α yang identik dan dua rantai polipeptida β yang identik juga.
Namun, pada penderita anemia bulan sabit (sickle cell anemia) salah satu
asam amino pada polipeptida β, yakni asam glutamat, digantikan atau
disubstitusi oleh valin. Substitusi asam glutamat, yang bermuatan negatif,
oleh valin, yang tidak bermuatan atau netral, mengakibatkan perubahan
struktur hemoglobin dan juga eritrosit yang membawanya. Hemoglobin
penderita anemia bulan sabit akan mengalami kristalisasi ketika tidak
bereaksi dengan oksigen sehingga akan mengendap di pembuluh darah
dan menyumbatnya. Demikian juga, eritrositnya menjadi lonjong dan
mudah pecah.
Seperti dikatakan di atas, perubahan urutan asam amino tidak selalu
menyebabkan perubahan sifat-sifat biologi protein atau menghasilkan
fenotipe mutan. Substitusi sebuah asam amino oleh asam amino lain yang
muatannya sama, misalnya substitusi histidin oleh lisin, sering kali tidak
berpengaruh terhadap struktur molekul protein atau fenotipe individu.
Jadi, ada tidaknya pengaruh substitusi suatu asam amino terhadap
perubahan sifat protein bergantung kepada peran asam amino tersebut
dalam struktur dan fungsi protein.
Setiap perubahan asam amino disebabkan oleh perubahan urutan
basa nukleotida pada molekul DNA. Akan tetapi, perubahan sebuah basa
pada DNA tidak selamanya disertai oleh substitusi asam amino karena
sebuah asam amino dapat disandi oleh lebih dari sebuah triplet kodon
(lihat Bab VIII). Perubahan atau mutasi basa pada DNA yang tidak
menyebabkan substitusi asam amino atau tidak memberikan pengaruh
fenotipik dinamakan mutasi tenang (silent mutation). Namun, substitusi
asam amino yang tidak menghasilkan perubahan sifat protein atau
perubahan fenotipik pun dapat dikatakan sebagai mutasi tenang.
Mutasi yang terjadi pada sebuah atau sepasang basa pada DNA
disebut sebagai mutasi titik (point mutation). Mekanisme terjadinya
mutasi titik ini ada dua macam, yaitu (1) substitusi basa dan (2)
perubahan rangka baca akibat adanya penambahan basa (adisi) atau
kehilangan basa (delesi). Mutasi titik yang disebabkan oleh substitusi
basa dinamakan mutasi substitusi basa, sedangkan mutasi yang terjadi

140 GENETIKA
karena perubahan rangka baca dinamakan mutasi rangka baca
(frameshift mutation) seperti telah disinggung pada Bab VIII.
Apabila substitusi basa menyebabkan substitusi asam amino seperti
pada kasus hemoglobin anemia bulan sabit, maka mutasinya dinamakan
mutasi salah makna (missense mutation). Sementara itu, jika substitusi
basa menghasilkan kodon stop, misalnya UAU (tirosin) menjadi UAG
(stop), maka mutasinya dinamakan mutasi tanpa makna (nonsense
mutation) atau mutasi terminasi rantai (chain termination mutation).
Substitusi basa pada sebuah triplet kodon dapat menghasilkan
sembilan kemungkinan perubahan triplet kodon karena tiap basa
mempunyai tiga kemungkinan substitusi. Sebagai contoh, kodon UAU
dapat mengalami substitusi basa menjadi AAU (asparagin), GAU (asam
aspartat), CAU (histidin), UUU (fenilalanin), UGU (sistein), UCU
(serin), UAA (stop), UAG (stop), dan UAC (tirosin). Kita bisa melihat
bahwa perubahan yang terakhir, yakni UAC, tidak menghasilkan
substitusi asam amino karena baik UAC maupun UAU menyandi asam
amino tirosin.
Mutasi substitusi basa dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu transisi dan transversi. Pada transisi terjadi substitusi basa purin
oleh purin atau substitusi pirimidin oleh pirimidin, sedangkan pada
transversi terjadi substitusi purin oleh pirimidin atau pirimidin oleh purin.
Secara skema kedua macam substitusi basa tersebut dapat dilihat pada
Gambar 10.1.

T C

G
Gambar 10.1. Skema substitusi basa nukleotida
transisi transversi

Sementara itu, mutasi rangka baca akan mengakibatkan perubahan


rangka baca semua triplet kodon di belakang tempat terjadinya mutasi
tersebut. Akan tetapi, adisi atau pun delesi sebanyak kelipatan tiga basa
pada umumnya tidak akan menimbulkan pengaruh fenotipik mutasi
rangka baca. Demikian pula, seperti dikatakan pada Bab VIII adisi satu
basa yang diimbangi oleh delesi satu basa di tempat lain, atau sebaliknya,
akan memperbaiki kembali rangka baca di belakang tempat tersebut.
Selain itu, apabila adisi atau delesi terjadi pada daerah yang sangat dekat

MUTASI 141
dengan ujung karboksil suatu protein, maka mutasi rangka baca yang
ditimbulkannya tidak akan menyebabkan sintesis protein nonfungsional.
Dengan perkataan lain, mutasi tidak memberikan pengaruh fenotipik.

Mutasi Spontan
Perubahan urutan basa nukleotida berlangsung spontan dan acak.
Tidak ada satu pun cara yang dapat digunakan untuk memprediksi saat
dan tempat akan terjadinya suatu mutasi. Meskipun demikian, setiap gen
dapat dipastikan mengalami mutasi dengan laju tertentu sehingga
memungkinkan untuk ditetapkan peluang mutasinya. Artinya, kita dapat
menentukan besarnya peluang bagi suatu gen untuk bermutasi sehingga
besarnya peluang untuk mendapatkan suatu alel mutan dari gen tersebut
di dalam populasi juga dapat dihitung.
Terjadinya suatu peristiwa mutasi tidak dapat dikatakan sebagai
hasil adaptasi sel atau organisme terhadap kondisi lingkungannya.
Kebanyakan mutasi memperlihatkan pengaruh yang sangat bervariasi
terhadap tingkat kemampuan adaptasi sel atau organisme, mulai dari
netral (sangat adaptable) hingga letal (tidak adaptable). Oleh karena itu,
tidak ada korelasi yang nyata antara mutasi dan adaptasi. Namun,
pemikiran bahwa mutasi tidak ada sangkut pautnya dengan adaptasi tidak
diterima oleh sebagian besar ahli biologi hingga akhir tahun 1940-an
ketika Joshua dan Esther Lederberg melalui percobaannya pada bakteri
membuktikan bahwa mutasi bukanlah hasil adaptasi.
Dengan teknik yang dinamakan replica plating koloni-koloni
bakteri pada kultur awal (master plate) dipindahkan ke medium baru
(replica plate) menggunakan velvet steril sehingga posisi setiap koloni
pada medium baru akan sama dengan posisinya masing-masing pada
kultur awal. Medium baru dibuat dua macam, yaitu medium nonselektif
seperti pada kultur awal dan medium selektif yang mengandung lebih
kurang 109 fag T1. Hanya koloni-koloni mutan yang resisten terhadap
infeksi fag T1 (mutan T1-r) yang dapat tumbuh pada medium selektif ini.
Dari percobaan tersebut terlihat bahwa koloni-koloni mutan T1-r yang
tumbuh pada medium selektif tidak terbentuk sebagai hasil adaptasi
terhadap kehadiran fag T1, tetapi sebenarnya sudah ada semenjak berada
pada kultur awal. Dengan demikian, teknik selektif semacam itu hanya
akan menyeleksi mutan-mutan yang telah ada sebelumnya di dalam suatu
populasi.

142 GENETIKA
master plate

transfer

replica plate replica plate


(medium nonselektif) (medium selektif)

Gambar 10.2. Percobaan transfer koloni (replica plating)


= koloni mutan T1-r

Teknik selektif seperti yang diuraikan di atas memberikan dasar


bagi pemahaman tentang munculnya resistensi berbagai populasi hama
dan penyakit terhadap senyawa kimia yang digunakan untuk
mengendalikannya. Sebagai contoh, sejumlah populasi lalat rumah saat
ini nampak sangat resisten terhadap insektisida DDT. Hal ini
menunjukkan betapa seleksi telah memunculkan populasi lalat rumah
dengan kombinasi mekanisme enzimatik, anatomi, dan perilaku untuk
dapat resisten terhadap atau menghindari bahan kimia tersebut. Begitu
pula, gejala peningkatan resistensi terhadap antibiotik yang diperlihatkan
oleh berbagai macam bakteri penyebab penyakit pada manusia tidak lain
merupakan akibat proses seleksi untuk memunculkan dominansi strain-
strain mutan tahan antibiotik yang sebenarnya memang telah ada
sebelumnya.

Laju mutasi
Laju mutasi adalah peluang terjadinya mutasi pada sebuah gen
dalam satu generasi atau dalam pembentukan satu gamet. Pengukuran
laju mutasi penting untuk dilakukan di dalam genetika populasi, studi
evolusi, dan analisis pengaruh mutagen lingkungan.
Mutasi spontan biasanya merupakan peristiwa yang sangat jarang
terjadi sehingga untuk memperkirakan peluang kejadiannya diperlukan
populasi yang sangat besar dengan teknik tertentu. Salah satu teknik yang

MUTASI 143
telah digunakan untuk mengukur laju mutasi adalah metode ClB yang
ditemukan oleh Herman Muller. Metode ClB mengacu kepada suatu
kromosom X lalat Drosophila melanogaster yang memiliki sifat-sifat
tertentu. Teknik ini dirancang untuk mendeteksi mutasi yang terjadi pada
kromosom X normal.
Kromosom X pada metode ClB mempunyai tiga ciri penting, yaitu
(1) inversi yang sangat besar (C), yang menghalangi terjadinya pindah
silang pada individu betina heterozigot; (2) letal resesif (l); dan (3)
marker dominan Bar (B) yang menjadikan mata sempit (lihat Bab VII).
Dengan adanya letal resesif, individu jantan dengan kromosom tersebut
dan individu betina homozigot tidak akan bertahan hidup.
Persilangan pertama dilakukan antara betina heterozigot untuk
kromosom ClB dan jantan dengan kromosom X normal. Di antara
keturunan yang diperoleh, dipilih individu betina yang mempunyai mata
Bar untuk selanjutnya pada persilangan kedua dikawinkan dengan jantan
normal. Individu betina dengan mata Bar ini jelas mempunyai genotipe
heterozigot karena menerima kromosom ClB dari tetua betina dan
kromosom X normal dari tetua jantannya. Hasil persilangan kedua yang
diharapkan adalah dua betina berbanding dengan satu jantan. Ada
tidaknya individu jantan hasil persilangan kedua ini digunakan untuk
mengestimasi laju mutasi letal resesif.
Oleh karena pindah silang pada kromosom X dihalangi oleh adanya
inversi (C) pada individu betina, maka semua individu jantan hasil
persilangan hanya akan mempunyai genotipe + . Kromosom X pada
individu jantan ini berasal dari tetua jantan awal (persilangan pertama).
Sementara itu, individu jantan dengan kromosom X ClB selalu
mengalami kematian. Meskipun demikian, kadang-kadang pada
persilangan kedua tidak diperoleh individu jantan sama sekali. Artinya,
individu jantan yang mati tidak hanya yang membawa kromosom ClB,
tetapi juga individu yang membawa kromosom X dari tetua jantan awal.
Jika hal ini terjadi, kita dapat menyimpulkan bahwa kromosom X pada
tetua jantan awal yang semula normal berubah atau bermutasi menjadi
kromosom X dengan letal resesif. Dengan menghitung frekuensi
terjadinya kematian pada individu jantan yang seharusnya hidup ini,
dapat dilakukan estimasi kuantitatif terhadap laju mutasi yang
menyebabkan terbentuknya alel letal resesif pada kromosom X. Ternyata,
lebih kurang 0,15% kromosom X terlihat mengalami mutasi semacam itu
selama spermatogenesis, yang berarti bahwa laju mutasi untuk
mendapatkan letal resesif per kromosom X per gamet adalah 1,5 x 10-3.

144 GENETIKA
betina Bar ClB + jantan normal

ClB ? + ? ClB +

letal

betina Bar
(dipilih untuk disilangkan dengan jantan normal)

ClB ? +

ClB + ? + ClB ?

letal letal
jika X-nya
membawa
letal resesif

Gambar 10.3. Metode ClB untuk mengestimasi laju mutasi


= kromosom X yang berasal dari tetua jantan pada
persilangan pertama

MUTASI 145
Pada metode ClB tidak diketahui laju mutasi gen tertentu karena
kita tidak dapat memastikan banyaknya gen pada kromosom X yang
apabila mengalami mutasi akan berubah menjadi alel resesif yang
mematikan. Namun, semenjak ditemukannya metode ClB berkembang
pula sejumlah metode lain untuk mengestimasi laju mutasi pada berbagai
organisme. Hasilnya menunjukkan bahwa laju mutasi sangat bervariasi
antara gen yang satu dan lainnya. Sebagai contoh, laju mutasi untuk
terbentuknya tubuh berwarna kuning pada Drosophila adalah 10-4 per
gamet per generasi, sementara laju mutasi untuk terbentuknya resitensi
terhadap streptomisin pada E. coli adalah 10-9 per sel per generasi.

Asal-mula terjadinya mutasi spontan


Ada tiga mekanisme yang paling penting pada mutasi spontan,
yaitu (1) kesalahan selama replikasi, (2) perubahan basa nukleotida
secara spontan, dan (3) peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan
penyisipan (insersi) dan pemotongan (eksisi) unsur-unsur yang dapat
berpindah (transposable elements).
Pada Bab VII telah kita bicarakan bahwa enzim Pol I dan Pol III
adakalanya membuat kesalahan dengan menyisipkan basa yang salah
ketika replikasi DNA sedang berlangsung. Namun, enzim-enzim DNA
polimerase ini juga diketahui mempunyai kemampuan untuk
memperbaiki kesalahan (proof reading) melalui aktivitas
eksonukleasenya dengan cara memotong basa yang salah pada ujung 3‟
untai DNA yang sedang dipolimerisasi.
Aktivitas penyuntingan oleh DNA polimerase boleh dikatakan
sangat efisien meskipun tidak berarti sempurna benar. Kadang-kadang
suatu kesalahan replikasi luput dari mekanisme penyuntingan tersebut.
Akan tetapi, ada sistem lain yang berfungsi dalam perbaikan kesalahan
replikasi DNA. Sistem ini dikenal sebagai sistem perbaikan salah
pasangan (mismatch repair). Berbeda dengan sistem penyuntingan oleh
DNA polimerase, sistem perbaikan salah pasangan tidak bekerja pada
ujung 3‟ untai DNA yang sedang tumbuh, tetapi mengenali kesalahan
basa di dalam untai DNA. Caranya, segmen DNA yang membawa basa
yang salah dibuang sehingga terdapat celah (gap) di dalam untai DNA.
Selanjutnya, dengan bantuan enzim Pol I celah ini akan diisi oleh segmen
baru yang membawa basa yang telah diperbaiki.
Sistem perbaikan salah pasangan, seperti halnya mekanisme
penyuntingan oleh DNA polimerase, tidaklah sempurna sama sekali.
Kadang-kadang ada juga kesalahan pasangan basa yang tidak
dikenalinya. Jika hal ini terjadi, timbullah mutasi spontan.

146 GENETIKA
5‟ GAGTCGAATC 3‟ untai cetakan
3‟ CTCAGTTTAG 5‟ untai baru

GAGTCGAATC
CTC AG AGTTT segmen dengan
perbaikan eksisi basa yang salah

GAGTCGAATC
CTCAGCTTAG untai yang telah diperbaiki

Gambar 10.4. Mekanisme perbaikan salah pasangan

Basa-basa tautomerik adakalanya dapat tergabung dengan benar ke


dalam molekul DNA. Pada saat penggabungan berlangsung, basa tersebut
akan membentuk ikatan hidrogen yang benar dengan basa pada untai
DNA cetakan sehingga fungsi penyuntingan oleh DNA polimerase tidak
dapat mengenalinya. Sistem perbaikan salah pasangan akan mengoreksi
kesalahan semacam itu. Akan tetapi, jika segmen yang membawa
kesalahan basa tersebut telah mengalami metilasi, maka sistem perbaikan
salah pasangan tidak dapat membedakan antara untai cetakan dan untai
baru. Hal ini akan menimbulkan mutasi spontan.
Sumber mutasi spontan lainnya adalah perubahan basa sitosin yang
telah termetilasi menjadi timin karena hilangnya gugus amino. Sitosin
yang seharusnya berpasangan dengan guanin berubah menjadi timin yang
berpasangan dengan adenin sehingga terjadilah mutasi transisi (purin
menjadi purin, pirimidin menjadi pirimidin). Dalam hal ini hilangnya
gugus amino dari sitosin yang telah termetilasi tidak dapat dikenali oleh
sistem perbaikan salah pasangan, dan basa timin yang seharusnya sitosin
tersebut tidak dilihat sebagai basa yang salah.

Mutasi Induksi
Laju mutasi spontan yang sangat rendah ternyata dapat
ditingkatkan dengan aplikasi berbagai agen eksternal. Mutasi dengan laju
yang ditingkatkan ini dinamakan mutasi induksi. Bukti pertama bahwa
agen eksternal dapat meningkatkan laju mutasi diperoleh dari penelitian
H. Muller pada tahun 1927 yang memperlihatkan bahwa sinar X dapat
menyebabkan mutasi pada Drosophila. Agen yang dapat menyebabkan
terjadinya mutasi seperti sinar X ini dinamakan mutagen.
Semenjak penemuan Muller tersebut, berbagai mutagen fisika dan
kimia digunakan untuk meningkatkan laju mutasi. Dengan mutagen-

MUTASI 147
mutagen ini dapat diperoleh bermacam-macam mutan pada beberapa
spesies organisme.

Basa analog
Basa analog merupakan senyawa kimia yang struktur molekulnya
sangat menyerupai basa nukleotida DNA sehingga dapat menjadi bagian
yang menyatu di dalam molekul DNA selama berlangsungnya replikasi
normal. Hal ini karena suatu basa analog dapat berpasangan dengan basa
tertentu pada untai DNA cetakan. Namun, bisa juga masuknya sebuah
basa analog terkoreksi melalui mekanisme penyuntingan oleh enzim
DNA polimerase.
Apabila suatu basa analog dapat membentuk ikatan hidrogen
dengan dua macam cara, maka basa analog ini dikatakan bersifat
mutagenik. Sebagai contoh, basa 5-bromourasil (BU) yang diketahui
mudah sekali bergabung dengan DNA bakteri dan virus, dapat
mempunyai dua macam bentuk, yaitu keto dan enol sehingga dapat
membentuk ikatan hidrogen dengan dua macam cara. Basa ini analog
dengan basa timin karena hanya berbeda pada posisi gugus metil yang
diganti dengan atom bromium. Jika sel yang akan dimutasi ditumbuhkan
pada medium yang mengandung BU dalam bentuk keto, maka selama
replikasi DNA adakalanya timin digantikan oleh BU sehingga pasangan
basa AT berubah menjadi ABU. Penggantian ini belum dapat dikatakan
sebagai peristiwa mutasi. Akan tetapi, jika BU berada dalam bentuk enol,
maka BU akan berpasangan dengan guanin (GBU), dan pada putaran
replikasi berikutnya, molekul DNA yang baru akan mempunyai pasangan
basa GC pada posisi yang seharusnya ditempati oleh pasangan basa AT.
Dengan demikian, telah terjadi mutasi tautomerik berupa transisi dari AT
ke GC (Gambar 10.5).
Percobaan-percobaan berikutnya menunjukkan bahwa mekanisme
mutagenesis BU dapat terjadi dengan cara lain. Konsentrasi
deoksinukleosida trifofat (dNTP) di dalam sel pada umumnya diatur oleh
konsentrasi deoksitimidin trifosfat (dTTP). Artinya, konsentrasi dTTP
akan menentukan konsentrasi ketiga dNTP lainnya untuk keperluan
sintesis DNA. Apabila suatu saat dTTP terdapat dalam jumlah yang
sangat berlebihan, maka akan terjadi hambatan dalam sintesis dCTP.
Sementara itu, BU sebagai basa yang analog dengan timin juga dapat
menghambat sintesis dCTP. Jika BU ditambahkan ke dalam medium
pertumbuhan, maka dTTP akan disintesis dalam jumlah normal tetapi
sintesis dCTP akan sangat terhambat. Akibatnya, nisbah dTTP terhadap
dCTP menjadi sangat tinggi dan frekuensi salah pasangan GT, yang
seharusnya GC, akan meningkat. Mekanisme penyuntingan dan
perbaikan salah pasangan sebenarnya dapat membuang basa timin yang
salah berpasangan dengan guanin tersebut. Akan tetapi, keberadaan BU

148 GENETIKA
ternyata menyebabkan laju perbaikan menjadi tertinggal oleh laju salah
pasangan. Pada putaran replikasi berikutnya basa timin pada pasangan
GT akan berpasangan dengan adenin sehingga posisi yang seharusnya
ditempati oleh GC sekarang diganti dengan AT. Dengan perkataan lain,
BU telah menginduksi mutasi tautomerik berupa transisi GC menjadi AT.

A=T
substitusi T oleh BU (keto)

A=BU
replikasi 1

A=T G=BU pengikatan G oleh BU (enol)


replikasi 2
A=T A=T G=C A=BU
transisi

Gambar 10.5. Mutasi tautomerik (transisi) akibat basa analog 5-


bromourasil

Mutagen-mutagen kimia
Berbeda dengan basa analog yang hanya bersifat mutagenik ketika
DNA sedang melakukan replikasi, mutagen kimia dapat mengakibatkan
mutasi pada DNA baik yang sedang bereplikasi maupun yang tidak
sedang bereplikasi. Beberapa di antara mutagen kimia, misalnya asam
nitros (HNO2), menimbulkan perubahan yang sangat khas. Namun,
beberapa lainnya, misalnya agen-agen alkilasi, memberikan pengaruh
dengan spektrum yang luas.
HNO2 bekerja sebagai mutagen dengan mengubah gugus amino
(NH2) pada basa adenin, sitosin, dan guanin menjadi gugus keto (=O)
sehingga spesifisitas pengikatan hidrogen pada basa-basa tersebut juga
mengalami perubahan. Deaminasi adenin akan menghasilkan hipoksantin
(H), yang berpasangan dengan sitosin. Hal ini mengakibatkan terjadinya
transisi AT menjadi GC melaui HC. Dengan mekanisme serupa,
deaminasi sitosin yang menghasilkan urasil akan mengakibatkan transisi
GC menjadi AT melalui AU.
Agen alkilasi etilmetan sulfonat (EMS) dan mustard nitrogen
merupakan mutagen-mutagen kimia yang banyak digunakan dalam
penelitian genetika. Kedua-duanya akan memberikan gugus etil (C2H5)
atau sejenisnya kepada basa DNA. Jika HNO2 terbukti sangat bermanfaat
pada sistem prokariot, maka agen-agen alkilasi sangat efektif untuk
digunakan pada sistem eukariot.

MUTASI 149
Alkilasi pada basa G atau T akan menyebabkan terjadinya salah
pasangan yang mengarah kepada transisi AT→ GC dan GC → AT.
Selain itu, EMS dapat juga bereaksi dengan A dan C.

O CH2 - CH2 - Cl

CH3 - CH2 – O – S - CH3 HN

O CH2 - CH2 - Cl
etilmetan sulfonat mustard nitrogen

Gambar 10.6. Struktur molekul dua agen alkilasi yang umum


digunakan

Fenomena lain yang dapat muncul akibat terjadinya alkilasi guanin


adalah depurinasi, yaitu hilangnya basa purin yang telah mengalami
alkilasi tersebut dari molekul DNA karena patahnya ikatan yang
menghubungkannya dengan gula deoksiribosa. Depurinasi tidak selalu
bersifat mutagenik karena celah yang terbentuk dengan hilangnya basa
purin tadi dapat segera diperbaiki. Akan tetapi, garpu replikasi sering kali
terlebih dahulu telah mencapai celah tersebut sebelum perbaikan sempat
dilakukan. Jika hal ini terjadi, maka replikasi akan terhenti tepat di depan
celah dan kemudian dimulai lagi dengan menyisipkan basa adenin pada
posisi yang komplementer dengan celah tersebut. Akibatnya, setelah
replikasi basa adenin di posisi celah tersebut akan berpasangan dengan
timin atau terjadi pasangan TA. Padahal seharusnya pasangan basa pada
posisi celah tersebut adalah GC (bukankah yang hilang adalah G?). Oleh
karena itu, pada posisi celah tersebut terjadi perubahan dari GC menjadi
TA atau purin-pirimidin menjadi pirimidin-purin. Perubahan ini tidak lain
merupakan mutasi tautomerik jenis transversi.

Interkalasi
Senyawa kimia akridin, yang salah satu contohnya adalah proflavin
(Bab VIII), memiliki struktur molekul berupa tiga cincin sehingga sangat
menyerupai pasangan basa purin - pirimidin atau pirimidin - purin.
Dengan struktur yang sangat menyerupai sebuah pasangan basa, akridin
dapat menyisip di antara dua pasangan basa yang berdekatan pada
molekul DNA. Peristiwa penyisipan semacam ini dinamakan interkalasi.
Pengaruh interkalasi terhadap molekul DNA adalah terjadinya
perenggangan jarak antara dua pasangan basa yang berurutan. Besarnya
perenggangan sama dengan tebal molekul akridin. Apabila DNA yang
membawa akridin tadi melakukan replikasi, maka untai DNA hasil
replikasi akan ada yang mengalami adisi dan ada yang mengalami delesi

150 GENETIKA
pada posisi terjadinya interkalasi. Dengan demikian, mutasi yang
ditimbulkan bukanlah mutasi tautomerik, melainkan mutasi rangka baca.

Iradiasi ultraviolet
Sinar ultraviolet (UV) dapat menghasilkan pengaruh, baik letal
maupun mutagenik, pada semua jenis virus dan sel. Pengaruh ini
disebabkan oleh terjadinya perubahan kimia pada basa DNA akibat
absorpsi energi dari sinar tersebut. Pengaruh terbesar yang ditimbulkan
oleh iradiasi sinar UV adalah terbentuknya pirimidin dimer, khususnya
timin dimer, yaitu saling terikatnya dua molekul timin yang berurutan
pada sebuah untai DNA. Dengan adanya timin dimer, replikasi DNA
akan terhalang pada posisi terjadinya timin dimer tersebut. Namun,
kerusakan DNA ini pada umumnya dapat diperbaiki melalui salah satu di
antara empat macam mekanisme, yaitu fotoreaktivasi, eksisi,
rekombinasi, dan SOS.

Fotoreaktivasi
Mekanisme perbaikan ini bergantung kepada cahaya. Dengan
adanya cahaya, ikatan antara timin dan timin akan terputus oleh suatu
enzim tertentu. Sebenarnya enzim tersebut telah mengikat dimer, baik
ketika ada cahaya maupun tidak ada cahaya. Akan tetapi, aktivasinya
memerlukan spektrum biru cahaya sehingga enzim tersebut hanya bisa
bekerja apabila ada cahaya.

Eksisi
Perbaikan dengan cara eksisi merupakan proses enzimatik bertahap
yang diawali dengan pembuangan dimer dari molekul DNA, diikuti oleh
resintesis segmen DNA baru, dan diakhiri oleh ligasi segmen tersebut
dengan untai DNA. Ada dua mekanisme eksisi yang agak berbeda. Pada
mekanisme pertama, enzim endonuklease melakukan pemotongan
(eksisi) pada dua tempat yang mengapit dimer. Akibatnya, segmen yang
membawa dimer akan terlepas dari untai DNA. Pembuangan segmen ini
kemudian diikuti oleh sintesis segmen baru yang akan menggantikannya
dengan bantuan enzim DNA polimerase I. Akhirnya, segmen yang baru
tersebut diligasi dengan untai DNA sehingga untai DNA ini sekarang
tidak lagi membawa dimer.
Pada mekanisme yang kedua pemotongan mula-mula hanya terjadi
pada satu tempat, yakni di sekitar dimer. Pada celah yang terbentuk
akibat pemotongan tersebut segera terjadi sintesis segmen baru dengan
urutan basa yang benar. Pada waktu yang sama terjadi pemotongan lagi
pada segmen yang membawa dimer sehingga segmen ini terlepas dari
untai DNA. Seperti pada mekanisme yang pertama, proses ini diakhiri
dengan ligasi segmen yang baru tadi dengan untai DNA.

MUTASI 151
Rekombinasi
Berbeda dengan dua mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya,
perbaikan kerusakan DNA dengan cara rekombinasi terjadi setelah
replikasi berlangsung. Oleh karena itu, mekanisme ini sering juga
dikatakan sebagai rekombinasi pascareplikasi.
Ketika DNA polimerase sampai pada suatu dimer, maka
polimerisasi akan terhenti sejenak untuk kemudian dimulai lagi dari
posisi setelah dimer. Akibatnya, untai DNA hasil polimerisasi akan
mempunyai celah pada posisi dimer. Mekanisme rekombinasi pada
prinsipnya merupakan cara untuk menutup celah tersebut menggunakan
segmen yang sesuai pada untai DNA cetakan yang membawa dimer.
Untuk jelasnya, skema mekanisme tersebut dapat dilihat pada Gambar
10.8.
DNA yang membawa dimer pada kedua untainya melakukan
replikasi (Gambar 10.8.a) sehingga pada waktu garpu replikasi mencapai
dimer akan terbentuk celah pada kedua untai DNA yang baru (Gambar
10.8.b). Celah akan diisi oleh segmen yang sesuai dari masing-masing
untai DNA cetakan yang membawa dimer. Akibatnya, pada untai DNA
cetakan terdapat segmen yang hilang. Jadi, sekarang kedua untai DNA
cetakan selain membawa dimer juga mempunyai celah, sedangkan kedua
untai DNA baru tidak mempunyai celah lagi (Gambar 10.8.c). Akhirnya,
segmen penutup celah akan terligasi dengan sempurna pada masing-
masing untai DNA baru (Gambar 10.8.d).

Mekanisme SOS
Mekanisme perbaikan DNA dengan sistem SOS dapat dilihat
sebagai jalan pintas yang memungkinkan replikasi tetap berlangsung
meskipun harus melintasi dimer. Hasilnya berupa untai DNA yang utuh
tetapi sering kali sangat defektif. Oleh karena itu, mekanisme SOS dapat
dikatakan sebagai sistem perbaikan yang rentan terhadap kesalahan.

152 GENETIKA
dimer

pemotongan di dua tempat pemotongan di satu tempat


di sekitar dimer

resintesis segmen baru oleh Pol I

pemotongan segmen
ligasi yang membawa dimer

ligasi

Gambar 10.7. Mekanisme eksisi untuk memperbaiki DNA

Ketika sistem SOS aktif, sistem penyuntingan oleh DNA


polimerase III justru menjadi tidak aktif. Hal ini dimaksudkan agar
polimerisasi tetap dapat berjalan melintasi dimer. Untai DNA yang baru
akan mempunyai dua basa adenin berurutan pada posisi dimer (dalam
kasus timin dimer). Dengan sendirinya, kedua adenin ini tidak dapat
berpasangan dengan timin karena kedua timin berada dalam bentuk
dimer. Sistem penyuntingan tidak dapat memperbaiki kesalahan ini
karena tidak aktif, sedangkan sistem perbaikan salah pasangan
sebenarnya dapat memperbaikinya. Namun, karena jumlah dimer di
dalam setiap sel yang mengalami iradiasi UV biasanya begitu banyak,
maka sistem perbaikan salah pasangan tidak dapat memperbaiki semua
kesalahan yang ada. Akibatnya, mutasi tetap terjadi. Pengaruh mutagenik
iradiasi UV memang hampir selalu merupakan akibat perbaikan yang
rentan terhadap kesalahan.

MUTASI 153
a) b)

d) c)

Gambar 10.8. Skema mekanisme rekombinasi pascareplikasi


= pirimidin dimer
= penutupan celah oleh segmen dari untai DNA cetakan
yang membawa dimer

Radiasi pengion
Radiasi pengion mempunyai energi yang begitu besar sehingga
molekul air dan senyawa kimia lainnya yang terkena olehnya akan terurai
menjadi fragmen-fragmen bermuatan listrik. Semua bentuk radiasi
pengion akan menyebabkan pengaruh mutagenik dan letal pada virus dan
sel. Radiasi pengion meliputi sinar X beserta partikel-partikelnya dan
radiasi yang dihasilkan oleh unsur-unsur radioaktif seperti partikel α, β,
dan sinar γ.
Intensitas radiasi pengion dinyatakan secara kuantitatif dengan
beberapa macam cara. Ukuran yang paling lazim digunakan adalah rad,
yang didefinisikan sebagai besarnya radiasi yang menyebabkan absorpsi
energi sebesar 100 erg pada setiap gram materi.
Frekuensi mutasi yang diinduksi oleh sinar X sebanding dengan
dosis radiasi yang diberikan. Sebagai contoh, frekuensi letal resesif pada
kromosom X Drosophila meningkat linier sejalan dengan meningkatnya
dosis radiasi sinar X. Pemaparan sebesar 1000 rad meningkatkan
frekuensi mutasi dari laju mutasi spontan sebesar 0,15% menjadi 3%.

154 GENETIKA
Pada Drosophila tidak terdapat ambang bawah dosis pemaparan yang
yang tidak menyebabkan mutasi. Artinya, betapapun rendahnya dosis
radiasi, mutasi akan tetap terinduksi.
Pengaruh mutagenik dan letal yang ditimbulkan oleh radiasi
pengion terutama berkaitan dengan kerusakan DNA. Ada tiga macam
kerusakan DNA yang disebabkan oleh radiasi pengion, yaitu kerusakan
pada salah satu untai, kerusakan pada kedua untai, dan perubahan basa
nukleotida. Pada eukariot radiasi pengion dapat menyebabkan kerusakan
kromosom, yang biasanya bersifat letal. Akan tetapi, pada beberapa
organisme terdapat sistem yang dapat memperbaiki kerusakan kromosom
tersebut meskipun perbaikan yang dilakukan sering mengakibatkan
delesi, duplikasi, inversi, dan translokasi.
Radiasi pengion banyak digunakan dalam terapi tumor. Pada
prinsipnya perlakuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan frekuensi
kerusakan kromosom pada sel-sel yang sedang mengalami mitosis. Oleh
karena tumor mengandung banyak sekali sel yang mengalami mitosis
sementara jaringan normal tidak, maka sel tumor yang dirusak akan jauh
lebih banyak daripada sel normal yang dirusak. Namun, tidak semua sel
tumor mengalami mitosis pada waktu yang sama. Oleh karena itu,
iradiasi biasanya dilakukan dengan selang waktu beberapa hari agar sel-
sel tumor yang semula sedang beristirahat kemudian melakukan mitosis.
Diharapkan setelah iradiasi diberikan selama kurun waktu tertentu, semua
sel tumor akan rusak.

Mutasi Balik dan Mutasi Penekan


Kebanyakan mutasi yang telah kita bicarakan hingga saat ini adalah
perubahan dari bentuk alami atau normal ke bentuk mutan, atau sering
dikatakan sebagai mutasi ke depan (forward mutation). Namun, seperti
telah disinggung pada Bab VIII, mutasi dapat juga berlangsung dari
bentuk mutan ke bentuk normal. Mutasi semacam ini dinamakan mutasi
balik atau reversi. Ada dua mekanisme yang berbeda pada mutasi balik,
yaitu (1) perubahan urutan basa pada DNA mutan sehingga benar-benar
pulih seperti urutan basa pada fenotipe normalnya dan (2) terjadinya
mutasi kedua di suatu tempat lainnya di dalam genom yang mengimbangi
atau menekan pengaruh mutasi pertama sehingga mutasi yang kedua
tersebut sering disebut sebagai mutasi penekan (suppressor mutation).
Mekanisme mutasi balik berupa mutasi penekan jauh lebih umum
dijumpai daripada mekanisme yang pertama. Mutasi penekan dapat
terjadi di suatu tempat di dalam gen yang sama dengan mutasi pertama
yang ditekannya. Dengan perkataan lain, terjadi penekanan intragenik.
Akan tetapi, mutasi penekan dapat juga terjadi di dalam gen yang lain
atau bahkan di dalam kromosom yang lain sehingga peristiwanya
dinamakan penekanan intergenik. Kebanyakan mutasi penekan, baik

MUTASI 155
intra- maupun intergenik, tidak dapat sepenuhnya memulihkan mutan ke
fenotipe normalnya seperti yang akan diuraikan di bawah ini.

Penekanan intragenik
Pada garis besarnya ada dua macam cara penekanan intragenik.
Cara yang pertama telah kita jelaskan pada Bab VIII, yaitu perbaikan
rangka baca dengan kompensasi adisi-delesi sehingga rangka baca yang
bergeser sebagian besar dapat dikembalikan seperti semula. Jika bagian
yang tidak dapat dipulihkan bukan merupakan urutan yang esensial, maka
pembacaan rangka baca akan menghasilkan fenotipe normal.
Pada cara yang kedua tidak terjadi adisi dan delesi pada urutan
basa, tetapi perubahan suatu asam amino yang mengakibatkan hilangnya
aktivitas protein akan diimbangi oleh perubahan asam amino lainnya
yang memulihkan aktivitas protein tersebut. Sebagai contoh dapat
dikemukakan penekanan mutasi enzim triptofan sintetase pada E. coli,
yang disandi oleh gen trpA pada. Salah satu di antara dua polipeptida
yang menyusun enzim tersebut adalah polipeptida A yang terdiri atas 268
asam amino. Pada strain normal asam amino yang ke-210 adalah glisin.
Jika asam amino glisin ini berubah menjadi asam glutamat, maka enzim
triptofan sintetase menjadi tidak aktif. Perubahan glisin menjadi asam
glutamat sebenarnya tidak menyebabkan inaktivasi enzim secara
langsung karena glisin tidak terletak pada tapak aktif. Namun, perubahan
ini mengakibatkan perubahan struktur pelipatan enzim sehingga secara
tidak langsung akan mempengaruhi tapak aktifnya. Sementara itu, asam
amino normal yang ke-174 adalah tirosin, yang interaksinya dengan asam
amino ke-210 menentukan aktivitas enzim. Apabila tirosin berubah
menjadi sistein, maka struktur pelipatan enzim yang telah berubah karena
glisin digantikan oleh asam glutamat justru akan dipulihkan oleh interaksi
sistein dengan asam glutamat. Dengan demikian, aktivitas enzim pun
dapat dipulihkan. Jadi, perubahan glisin menjadi asam glutamat akan
ditekan pengaruhnya oleh perubahan tirosin menjadi sistein. Begitu pula
sebaliknya, jika perubahan tirosin menjadi sistein terjadi terlebih dahulu,
maka pengaruhnya akan ditekan oleh perubahan glisin menjadi asam
glutamat.

Penekanan intergenik
Penekanan intergenik yang paling umum dijumpai adalah
penekanan oleh suatu produk mutasi gen terhadap pengaruh mutasi yang
ditimbulkan oleh sejumlah gen lainnya. Contoh yang paling dikenal dapat
dilihat pada gen-gen penyandi tRNA. Pengaruh yang ditimbulkannya
adalah mengubah kekhususan pengenalan kodon pada mRNA oleh
antikodon pada tRNA.

156 GENETIKA
Mutasi semacam itu pertama kali ditemukan pada strain-strain E.
coli yang dapat menekan mutan-mutan fag T4 tertentu. Mutan-mutan ini
gagal untuk membentuk plak pada strain bakteri standar tetapi dapat
membentuk plak pada strain yang mengalami mutasi penekan. Strain
yang mengalami mutasi penekan ini ternyata juga dapat menekan mutasi
pada sejumlah gen yang terdapat pada genom bakteri sendiri.
Mutasi penekan intergenik dapat memulihkan baik mutasi tanpa
makna (nonsense) maupun mutasi salah makna (missense). Penekanan
mutasi tanpa makna disebabkan oleh mutasi gen penyandi tRNA
sehingga terjadi perubahan antikodon pada tRNA yang
memungkinkannya untuk mengenali kodon stop hasil mutasi. Sebagai
contoh, salah satu kodon untuk tirosin, yakni UAC dapat berubah
menjadi kodon stop UAG. Mutasi ini dapat ditekan oleh molekul tRNA
mutan yang membawa triptofan dengan antikodon AUC. Antikodon pada
molekul tRNA normal yang membawa triptofan adalah AAC. Dengan
tRNA mutan, kodon UAG yang seharusnya merupakan kodon stop
berubah menjadi kodon yang menyandi triptofan. Akibatnya, terminasi
dapat dibatalkan, atau dengan perkataan lain, mutasi tRNA telah
memulihkan mutasi tanpa makna.
Penekanan mutasi salah makna oleh mutasi penekan intergenik
antara lain dapat dilihat contohnya pada pemulihan aktivitas protein yang
hilang akibat perubahan valin (tidak bermuatan) menjadi asam aspartat
(bermuatan negatif). Pemulihan terjadi karena asam aspartat digantikan
oleh alanin (tidak bermuatan). Substitusi ini dapat terjadi dengan empat
macam cara, yaitu (1) mutasi antikodon yang memungkinkan tRNA
untuk mengenali kodon yang berbeda seperti halnya yang terjadi pada
pemulihan mutasi tanpa makna, (2) mutasi pada tRNA yang mengubah
sebuah basa di dekat antikodon sehingga tRNA dapat mengenali dua
kodon yang berbeda, (3) mutasi di luar kala (loop) antikodon yang
memungkinkan aminoasil sintetase mengenali tRNA sehingga terjadi
asilasi yang menyebabkan tRNA ini membawa asam amino yang lain,
dan (4) mutasi aminoasil sintetase yang kadang-kadang salah mengasilasi
tRNA.
Pada notasi konvensional, mutasi penekan diberi lambang sup
diikuti dengan angka (atau kadang-kadang huruf) yang membedakan
penekan yang satu dengan penekan lainnya. Sel yang tidak mempunyai
penekan dilambangkan dengan sup0.

Uji Ames
Dewasa ini terjadi peningkatan jumlah dan macam bahan kimia
yang mencemari lingkungan. Beberapa di antaranya dikenal memiliki
potensi sebagai mutagen. Selain itu, kebanyakan karsinogen juga

MUTASI 157
merupakan mutagen. Oleh karena itu, uji mutagenesis terhadap bahan-
bahan kimia semacam ini perlu dilakukan.
Cara yang paling sederhana untuk melihat mutagenesis suatu bahan
kimia adalah uji mutasi balik menggunakan mutan nutrisional pada
bakteri. Senyawa yang dicurigai potensial sebagai mutagen ditambahkan
ke dalam medium padat, diikuti dengan penaburan (plating) suatu mutan
bakteri dalam jumlah tertentu. Banyaknya koloni revertan (fenotipe
normal hasil mutasi balik) yang muncul dihitung. Peningkatan frekuensi
revertan yang tajam apabila dibandingkan dengan frekuensi yang
diperoleh di dalam medium tanpa senyawa kimia yang dicurigai tersebut
mengindikasikan bahwa senyawa yang diuji adalah mutagen.
Meskipun demikian, cara seperti tersebut di atas tidak dapat
digunakan untuk memperlihatkan mutagenesis sejumlah besar karsinogen
yang potensial. Hal ini karena banyak sekali senyawa kimia yang tidak
langsung bersifat mutagenik/karsinogenik, tetapi harus melalui beberapa
reaksi enzimatik terlebih dahulu sebelum menjadi mutagen. Reaksi-reaksi
enzimatik tersebut terjadi di dalam organ hati hewan dan tidak ada
kesepadanannya di dalam sel bakteri. Fungsi normal enzim-enzim itu
adalah melindungi organisme dari berbagai bahan beracun dengan cara
mengubahnya menjadi bahan yang tidak beracun. Akan tetapi, ketika
enzim-enzim itu bertemu dengan bahan kimia tertentu, maka mereka
akan mengubah bahan tersebut dari sifatnya yang semula tidak mutagenik
menjadi mutagenik. Enzim-enzim tersebut terdapat di dalam komponen
sel-sel hati yang dinamakan fraksi mikrosomal. Pemberian fraksi
mikrosomal yang berasal dari hati tikus ke dalam medium pertumbuhan
bakteri memungkinkan dilakukannya deteksi mutagenisitas. Perlakuan ini
mendasari teknik pemeriksaan karsinogen menggunakan metode yang
dinamakan uji Ames.
Di dalam uji Ames mutan-mutan bakteri Salmonella typhimurium
yang memerlukan pemberian histidin eksternal atau disebut dengan
mutan His- digunakan untuk menguji mutagenisitas senyawa kimia atas
dasar mutasi baliknya menjadi His+. Mutan-mutan His- membawa baik
mutasi tautomerik maupun mutasi rangka baca. Di samping itu, strain-
strain bakteri tersebut dibuat menjadi lebih sensitif terhadap mutagenesis
dengan menggabungkan beberapa alel mutan yang dapat menginaktifkan
sistem perbaikan eksisi dan menjadikannya lebih permiabel terhadap
molekul-molekul asing. Oleh karena beberapa mutagen hanya bekerja
pada DNA yang sedang melakukan replikasi, maka medium pertumbuhan
yang digunakan harus mengandung histidin dalam jumlah yang cukup
untuk mendukung beberapa putaran replikasi tetapi tidak cukup untuk
memungkinkan terbentuknya koloni yang dapat dilihat. Ke dalam
medium tersebut kemudian ditambahkan mutagen potensial yang akan
diuji. Fraksi mikrosomal dari hati tikus disebarkan ke permukaan

158 GENETIKA
medium, diikuti dengan penaburan bakteri. Apabila bahan kimia yang
diuji adalah mutagen atau diubah menjadi mutagen, maka koloni bakteri
akan terbentuk. Analisis kuantitatif terhadap frekuensi mutasi balik dapat
dilakukan juga dengan membuat variasi jumlah mutagen potensial
tersebut di dalam medium. Frekuensi mutasi balik ternyata bergantung
kepada konsentrasi bahan kimia yang diuji, dan pada karsinogen tertentu
juga nampak adanya korelasi dengan efektivitasnya pada hewan.
Uji Ames saat ini telah banyak digunakan pada beribu-ribu
senyawa seperti pengawet makanan, pestisida, pewarna rambut, dan
kosmetika. Frekuensi mutasi balik yang tinggi tidak serta-merta berarti
bahwa senyawa yang diuji adalah karsinogen, tetapi setidak-tidaknya
memperlihatkan adanya peluang seperti itu. Akibat dilakukannya uji
Ames, banyak industri terpaksa mereformulasi produk-produknya.
Bukti terakhir tentang karsinogenisitas suatu bahan kimia
ditentukan atas dasar hasil uji pembentukan tumor pada hewan-hewan
percobaan. Jadi, uji Ames sebenarnya hanya berperan dalam mengurangi
jumlah bahan kimia yang harus diuji menggunakan hewan percobaan.

DAFTAR PUSTAKA
Griffiths, AJF., Wessler, SR., Carroll, SB. and Doebley, J. 2020.
Introduction to Genetic Analysis. 12th Ed. W. H. Freeman & Co.,
New York.
Hartl, DL., Freifelder, D., Snyder, LA. 1988. Basic Genetics. 1st Ed.
Jones & Bartlett Publ. Inc., Portola Valley, California.
Pierce, BA. 2012. Genetics: a Conceptual Approach 4th Ed. WH Freeman
& Co., New York.
Susanto, AH. 2011. Genetika. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

SOAL LATIHAN
1. Pernyataan di bawah ini terkait dengan peristiwa mutasi tenang (silent
mutation)
A. Hanya terjadi pada sel-sel penghasil gamet.
B. Substitusi basa tanpa perubahan asam amino.
C. Delesi triplet kodon pada molekul DNA.
D. Merupakan hasil adaptasi terhadap kondisi lingkungan.
E. Mutasi yang tidak diwariskan.
2. Perubahan adenin menjadi guanin dapat dikelompokkan ke dalam
mutasi
A. transisi.
B. transversi.

MUTASI 159
C. adisi.
D. delesi.
E. rangka baca (frame shift).
3. Untuk mengestimasi laju mutasi spontan dapat digunakan
A. teknik replica plating.
B. transposable elements.
C. uji Ames.
D. metode ClB.
E. radioisotop.
4. Bahan kimia yang dapat berperan sebagai mutagen alkilasi adalah
A. HNO2.
B. akridin.
C. nitrogen mustard.
D. etidium bromid.
E. basa analog.
5. Perbaikan kerusakan DNA akibat iradiasi ultraviolet yang melibatkan
proses enzimatik bertahap hingga terjadi resintesis segmen DNA baru
adalah
A. fotoreaktivasi.
B. rekombinasi.
C. interkalasi.
D. eksisi.
E. SOS.
6. Mekanisme perbaikan kerusakan DNA akibat iradiasi ultraviolet yang
terjadi setelah peristiwa replikasi adalah
A. fotoreaktivasi.
B. rekombinasi.
C. interkalasi.
D. eksisi.
E. SOS.
7. Mekanisme perbaikan kerusakan DNA akibat iradiasi ultraviolet yang
menghasilkan untai DNA yang sering kali masih rentan terhadap
kesalahan adalah
A. fotoreaktivasi.
B. rekombinasi.
C. interkalasi.
D. eksisi.
E. SOS.
8. Unsur-unsur radioaktif maupun sinar di bawah ini merupakan radiasi
pengion (ionizing radiation), KECUALI
A. X.
B. alfa.
C. beta.

160 GENETIKA
D. gama.
E. ultraviolet.
9. Radiasi di bawah ini yang tidak menyebabkan kerusakan kromosom
pada eukariot adalah
A. ultraviolet.
B. alfa.
C. beta.
D. gama.
E. X.
10. Fraksi mikrosomal pada uji Ames berasal dari sel
A. otak.
B. jantung.
C. hati.
D. pankreas.
E. ginjal.

KUNCI JAWABAN
1. B 6. B
2. A 7. E
3. D 8. E
4. C 9. A
5. D 10. C

Jika Anda menjawab soal dengan benar sebanyak


> 8 berarti Anda telah sangat menguasai materi bab ini dan dapat
melanjutkan mempelajari materi bab berikutnya.
6 – 7 berarti Anda telah cukup menguasai materi bab ini, tetapi
sebaiknya mengulang lagi mempelajari bagian yang jawaban
soalnya masih keliru.
< 5 berarti Anda kurang menguasai materi bab ini sehingga perlu
mempelajarinya kembali, terutama di bagian yang jawaban soalnya
masih keliru.

MUTASI 161
Setelah mempelajari materi pada Bab XI ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan perbedaan antara sifat kuantitatif dan sifat kualitatif,
penggolongan sifat kuantitatif, beberapa nilai statistik penting, komponen
ragam, daya waris, dan QTLs.

P ercobaan-percobaan persilangan yang dilakukan oleh Mendel,


seperti dibicarakan pada Bab II, melibatkan sifat-sifat dengan
perbedaan yang sangat mencolok. Sebagai contoh, biji berwarna
kuning mudah sekali dibedakan dengan biji berwarna hijau. Demikian
pula, pada peristiwa alel ganda, betapa pun banyaknya alel yang dapat
menempati suatu lokus tertentu, kita dapat dengan mudah membedakan
tiap fenotipe yang dihasilkan oleh masing-masing alel. Alel IA, misalnya,
mengatur pembentukan glikolipid pada permukaan eritrosit dengan tipe
yang berbeda dengan tipe glikolipid yang dihasilkan oleh alel IB.
Namun, banyak sifat lainnya, khususnya sifat-sifat penting di
bidang pemuliaan tanaman dan ternak, memperlihatkan perbedaan yang
sangat tipis satu sama lain. Karena sangat tipisnya batas antara tiap
kelompok sifat/fenotipe, maka fenotipe-fenotipe yang dihasilkan akan
memiliki sebaran (distribusi) yang kontinyu di antara kedua nilai ekstrim
(maksimum dan minimum). Tinggi suatu tanaman yang berkisar dari 30
cm hingga 50 cm, misalnya, dapat mempunyai nilai mulai dari 30 cm,
30,000 . . .cm, dan seterusnya hingga 49,999 . . .cm dan akhirnya 50 cm.

Perbedaan antara Sifat Kuantitatif dan Sifat Kualitatif


Sifat-sifat dengan sebaran kontinyu mempunyai nilai tertentu yang
hanya dapat diperoleh melalui pengukuran secara kuantitatif. Oleh karena
itu, sifat semacam ini dikenal sebagai sifat kuantitatif. Sebaliknya, sifat-
sifat seperti warna biji, bentuk biji, warna bunga, dan sebagainya, yang
tidak memerlukan pengukuran untuk mendapatkan suatu nilai disebut
sifat kualitatif. Tinggi tanaman kacang ercis sebenarnya termasuk dalam
kelompok sifat kuantitatif. Namun, Mendel rupanya mengabaikan rentang
nilai hasil pengukuran yang dilakukannya sehingga ia membagi fenotipe
yang diamatinya menjadi tinggi dan pendek saja.
Perbedaan antara sifat kuantitatif dan kualitatif selain menyangkut
cara untuk mendapatkan data dan sebaran fenotipenya, juga dapat dilihat

162
dalam hal jumlah gen yang mengaturnya serta besarnya pengaruh faktor
lingkungan. Sifat kualitatif diatur oleh sebuah gen (single genic) dan
sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sedangkan sifat kuantitatif
dikendalikan oleh banyak gen nonalelik (polygenic) yang masing-masing
memberikan kontribusi relatif terhadap pemunculan suatu fenotipe. Sifat
kuantitatif banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Produksi padi,
misalnya, selain ditentukan oleh varietas yang ditanam, juga sangat
bergantung kepada pemupukan, jenis tanah, jarak tanam, curah hujan, dan
berbagai faktor lingkungan lainnya.
Melihat adanya peranan faktor lingkungan dalam pemunculan
suatu sifat kuantitatif, maka dalam melakukan analisis genetik terhadap
sifat kuantitatif perlu diperhitungkan pula kontribusi faktor lingkungan
tersebut. Besarnya kontribusi faktor lingkungan ini akan tercermin dari
besarnya variasi (keanekaragaman) yang ditimbulkannya pada suatu
fenotipe. Selanjutnya, besarnya variasi, yang ditunjukkan oleh nilai
varians (ragam), hanya dapat diketahui jika analisis dilakukan pada
tingkat populasi. Dengan perkataan lain, analisis sifat kuantitatif hanya
dapat dilakukan pada tingkat populasi, suatu hal yang tidak mutlak
diperlukan bagi sifat kualitatif. Inilah perbedaan lain sifat kuantitatif
dengan sifat kualitatif.

Penggolongan Sifat Kuantitatif


Ada tiga kelompok sifat yang pewarisannya berlangsung sebagai
sifat kuantitatif, terutama karena pengendaliannya dilakukan oleh banyak
gen nonalelik. Ketiga kelompok sifat tersebut masing- masing
1. Sifat kontinyu, yaitu sifat yang bervariasi secara kontinyu di antara
kedua ekstrim tanpa ada pemisahan yang tegas dari satu fenotipe ke
fenotipe berikutnya. Contohnya antara lain produksi susu sapi,
produksi padi, laju tumbuh tanaman, serta tekanan darah pada
manusia. Sifat kontinyu merupakan kelompok sifat kuantitatif yang
benar-benar memenuhi semua kriteria yang telah dijelaskan di atas. Di
samping itu, seperti pada contoh mengenai tinggi tanaman dengan
kisaran dari 30 cm hingga 50 cm, dapat difahami bahwa pada sifat
kontinyu banyaknya fenotipe yang mungkin muncul di antara kedua
ekstrim menjadi tidak terbatas.
2. Sifat meristik, yaitu sifat kuantitatif yang fenotipenya ditentukan
melalui penghitungan. Karena penentuannya dilakukan dengan
penghitungan, maka sifat meristik mempunyai sebaran fenotipe yang
tidak kontinyu. Akan tetapi, dilihat dari cara pewarisannya, sifat ini
termasuk sifat kuantitatif. Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor
ayam betina, jumlah bulir padi tiap malai, jumlah biji kedelai tiap
polong merupakan beberapa contoh sifat meristik.

GENETIKA KUANTITATIF 163


3. Sifat ambang (threshold characters), yaitu sifat yang hanya
mempunyai dua atau beberapa kelas fenotipe, tetapi pewarisannya
ditentukan oleh banyak gen dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan
seperti halnya sifat kuantitatif pada umumnya. Sebagai contoh dapat
dikemukakan berbagai kelainan bawaan pada manusia. Dalam hal ini
kita mungkin hanya mengenal individu yang normal dan abnormal.
Namun, sebenarnya setiap individu memiliki risiko dasar menuju
pemunculan kondisi abnormal tersebut.. Jika besarnya risiko berada di
bawah nilai ambang, maka individu yang bersangkutan akan memiliki
fenotipe normal. Sebaliknya, jika besarnya risiko berada di atas nilai
ambang, mucullah kondisi itu.

Nilai Statistik
Data mengenai sifat kuantitatif dapat disajikan dalam bentuk
sebaran frekuensi, baik menggunakan tabel maupun grafik. Sebagai
contoh, data tinggi badan mahasiswa Fakultas Biologi Unsoed tahun
2006 dapat dilihat pada Tabel 11.1 dan Gambar 11.1 di bawah ini.

Tabel 11.1 Sebaran tinggi badan mahasiswa


Fakultas Biologi Unsoed tahun 2006
Interval tinggi Jumlah
(cm) mahasiswa
150 – 154 5
154 – 158 18
158 – 162 51
162 – 166 124
166 – 170 295
170 – 174 209
174 – 178 66
178 – 182 30
182 – 186 2
T o t a l = 800

164 GENETIKA
Jumlah
mahasiswa
300

270

240

210

180

150

120

90

60

30

150 154 158 162 166 170 174 178 182 186
Tinggi badan (cm)

Gambar 11.1. Sebaran tinggi badan mahasiswa Fakultas Biologi


Unsoed tahun 2006

Penyajian dalam bentuk tabel maupun grafik seperti pada contoh di


atas jarang dilakukan karena tidak praktis. Biasanya untuk itu kita cukup
menampilkan nilai-nilai tertentu yang mengambarkan sebaran frekuensi
suatu sifat kuantitatif. Nilai yang dimaksudkan ini adalah nilai statistik.
Ada dua nilai statistik yang paling sering digunakan untuk
menggambarkan sebaran frekuensi suatu sifat kuantitatif, yaitu
1. Nilai tengah (mean) atau rata-rata (average). Nilai ini merupakan
pusat sebaran frekuensi. Besarnya nilai tengah suatu populasi (μ)
ditaksir atas dasar nilai tengah sampel individu yang diambil dari
populasi tersebut. Rumus untuk menghitung nilai tengah sampel
adalah sebagai berikut.

GENETIKA KUANTITATIF 165


X = Σ ƒiXi / Σ ƒi atau X = Σ Xi / n

X = nilai tengah atau rata-rata sampel


Xi = nilai (rata-rata) X yang ke i (pada contoh di atas adalah rata-rata
tinggi badan pada tiap kelompok tinggi badan)
ƒi = frekuensi nilai X yang ke i (pada contoh di atas adalah frekuensi
tiap kelompok tinggi badan)
2. Ragam atau varians (variance). Nilai ini merupakan ukuran sebaran
data di sekitar nilai rata-rata. Data yang sangat tersebar akan
menghasilkan nilai ragam yang tinggi, dan sebaliknya, data yang
cenderung mengelompok akan memberikan nilai ragam yang rendah.
Seperti halnya nilai rata-rata, besarnya nilai ragam populasi (σ2)
ditaksir atas dasar ragam sampel individu yang diambil dari populasi
tersebut. Nilai ragam sampel dihitung menggunakan rumus :

s2 = Σ ƒi (Xi - X)2 / (Σ ƒi - 1) atau s2 = Σ (Xi - X)2 / n - 1

s2 = nilai ragam sampel

Dari rumus nilai ragam tersebut dapat dilihat bahwa nilai ragam akan
selalu positif karena berupa angka kuadrat. Bentuk kuadrat ini secara
matematika mudah untuk dihitung tetapi menjadikan nilai ragam
sering kali sulit untuk ditafsirkan. Oleh karena itu, ada nilai statistik
lain untuk menggambarkan besarnya sebaran data, yaitu simpangan
baku (standard deviation), yang merupakan akar kuadrat nilai ragam.
Dengan demikian, lambang matematika untuk nilai simpangan baku
adalah s.

Nilai rata-rata dan ragam (dalam bentuk simpangan baku) sering


kali digunakan untuk menggambarkan suatu sifat kuantitatif tertentu.
Sebagai contoh, bobot tubuh ayam kampung betina di suatu tempat rata-
rata 1,43 kg + 0,12 kg, sedangkan panjang tubuhnya rata-rata 27,10 cm +
1,50 cm. Kedua sifat kuantitatif ini dapat memiliki hubungan satu sama
lain, dan untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua sifat kuantitatif
digunakan nilai koefisien korelasi (r), yang besarnya sama dengan
COVxy/sx.sy. Dalam hal ini, COVxy adalah kovarians (ragam bersama)
kedua sifat kuantitatif, yang besarnya sama dengan (Xi - X)(Yi - Y) / n – 1,
sedangkan sx dan sy masing-masing adalah simpangan baku untuk sifat
yang pertama dan sifat yang kedua. Sementara itu, jika besarnya suatu
sifat kuantitatif akan diprediksi berdasarkan sifat kuantitatif lain yang
telah diketahui nilainya, maka digunakan koefisien regresi (b), yang
besarnya sama dengan COVxy/sx2.

166 GENETIKA
Apabila data sifat kuantitatif menyebar simetris atau mendekati
simetris, maka sebaran sifat tersebut dapat digambarkan sebagai kurva
lengkung yang halus. Sebaran tinggi badan mahasiswa Fakultas Biologi
Unsoed tahun 2006, misalnya, dapat digambarkan sebagai suatu kurva
seperti pada Gambar 11.2. Kurva semacam itu disebut kurva normal.
Oleh karena kurva normal berbentuk simetris, maka separuh
bagian daerah di bawahnya ditempati oleh data yang mempunyai nilai
lebih besar daripada nilai tengah dan separuh bagian lainnya terdiri atas
data yang nilainya lebih kecil daripada nilai tengah. Dengan perkataan
lain, proporsi fenotipe yang nilainya melebihi atau kurang dari nilai
tengah masing-masing adalah 1/2. Adapun simpangan baku / ragam akan
menggambarkan bentuk sebaran fenotipe seperti dapat dilihat pada
Gambar 11.3.

Jumlah
mahasiswa
300

270

240

210

180

150

120

90

60

30

150 154 158 162 166 170 174 178 182 186
Tinggi badan (cm)

Gambar 11.2. Kurva normal tinggi badan mahasiswa Fakultas


Biologi Unsoed tahun 2006

GENETIKA KUANTITATIF 167


0,7

0,6

0,5

0,4

0,3

0,2

0,1

0
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nilai fenotipe

Gambar 11.3. Sebaran fenotipe dengan berbagai nilai simpangan


baku / ragam

Komponen Ragam
Seperti dikatakan di muka, nilai ragam merupakan ukuran bagi
sebaran data sifat kuantitatif. Dalam hal ini ragam yang memberikan
bentuk sebaran fenotipe seperti pada Gambar 11.3 dikatakan sebagai
ragam fenotipe atau ragam total (VP).
Ragam fenotipe secara garis besar dapat diuraikan menjadi
komponen penyusunnya, yaitu ragam genetik atau ragam genotipik
(VG) dan ragam lingkungan (VE). Selanjutnya, ragam genetik dapat
dibagi lagi menjadi ragam aditif (VA) dan ragam dominan (VD).
Ragam genotipik menyebabkan terjadinya keanekaragaman
genotipe di antara individu dalam suatu populasi. Sementara itu, ragam
lingkungan menyebabkan terjadinya keanekaragaman individu dalam
suatu populasi akibat perbedaan faktor lingkungan. Keanekaragaman
yang tampak pada populasi generasi F1 hasil persilangan antara dua galur
murni merupakan contoh keanekaragaman individu yang disebabkan oleh
ragam lingkungan. Hal ini karena individu-individu yang ada di dalam
popilasi F1 seharusnya tidak memperlihatkan adanya perbedaan satu sama
lain. Dengan demikian, perbedaan yang terlihat hanya diakibatkan oleh
faktor lingkungan. Sementara itu, keanekaragaman yang tampak pada
populasi generasi F2 disebabkan baik oleh ragam genotipik maupun
ragam lingkungan. Ragam genotipik dapat dicari dengan mudah, yaitu
merupakan selisih antara ragam F2 dan ragam F1 .

168 GENETIKA
Sebagai contoh, ragam populasi F1 dan F2 pada populasi ikan
Astyanax masing-masing sebesar 0,057 dan 0,563. Dari kedua nilai ini
dapat dihitung ragam genotipik dan ragam lingkungan. Besarnya ragam
lingkungan sama dengan besarnya ragam F1 (0,057), sedangkan besarnya
ragam genotipik adalah selisih antara ragam F2 dan ragam F1, yaitu 0,563
- 0,057 = 0,506.
Contoh penghitungan ragam genotipik dapat dilihat juga dari hasil
studi anak kembar. Seperti kita ketahui, kasus anak kembar dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu kembar identik yang berasal dari
satu telur dan kembar fraternal yang berasal dari dua telur. Individu-
individu kembar identik secara genetik adalah sama, sehingga
keanekaragaman yang terlihat semata-mata karena pengaruh ragam
lingkungan saja. Di sisi lain, keanekaragaman yang tampak di antara
individu kembar fraternal disebabkan oleh ragam genotipik dan ragam
lingkungan. Oleh karena itu, kita bisa mengetahui besarnya ragam
genotipik dengan cara menghitung selisih antara ragam di antara kembar
fraternal dan ragam di antara kembar identik. Besarnya ragam lingkungan
sama dengan ragam di antara kembar identik.

Perkiraan jumlah gen yang mengatur sifat kuantitatif


Apabila tidak terlalu besar, maka jumlah gen yang mengatur suatu
sifat kuantitatif dapat diperkiraan atas dasar besarnya ragam genotipik.
Nilai lain yang diperlukan adalah nilai tengah kedua tetua. Adapun
besarnya perkiraan jumlah gen dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut.
n = D2 / 8VG
n = perkiraan jumlah gen
D = selisih antara nilai tengah kedua tetua
VG = ragam genotipik

Daya Waris
Analisis genetik sifat kuantitatif selain berupa perkiraan banyaknya
gen yang mengatur suatu sifat, dapat juga dilakukan dengan
membandingkan besarnya nilai VG terhadap nilai VP. Perbandingan VG
terhadap VP menghasilkan suatu nilai yang disebut dengan daya waris
(heritabilitas). Dari batasan matematis ini dapat difahami bahwa daya
waris adalah proporsi atau persentase kontribusi faktor genetik dalam
pemunculan suatu sifat. Jika nilai daya waris rendah (0 hingga < 0,5),
maka dikatakan bahwa kontribusi faktor genetik kecil. Sebaliknya, jika
nilai daya waris tinggi (> 0,5 hingga 1) berarti kontribusi faktor genetik
besar.

GENETIKA KUANTITATIF 169


Dalam kenyataannya faktor genetik dan faktor lingkungan jarang
sekali berdiri sendiri-sendiri dalam mempengaruhi suatu fenotipe. Di
antara kedua faktor tersebut dapat terjadi interaksi ataupun asosiasi.
Faktor genetik dan faktor lingkungan dikatakan berinteaksi apabila
pengaruh faktor lingkungan terhadap suatu fenotipe berbeda-beda,
bergantung kepada genotipe, atau dengan perkataan lain, pengaruh faktor
genetik terhadap suatu fenotipe berbeda-beda, bergantung kepada
lingkungannya. Sebagai contoh, padi varietas A akan memberikan daya
hasil lebih tinggi daripada padi varietas B jika ditanam di tanah X. Akan
tetapi, di tanah Y padi B hasilnya lebih baik daripada padi A.
Adapun yang dimaksud dengan asosiasi adalah apabila faktor
genetik dan faktor lingkungan bersama-sama meningkatkan atau
menurunkan nilai fenotipe. Sebagai contoh, sapi yang secara genetis
produksi susunya memang tinggi akan menghasilkan susu makin banyak
jika diberi pakan yang baik apabila dibandingkan dengan sapi yang
produksi susunya secara genetis rendah dan diberi pakan kurang baik.
Secara skema hubungan antara faktor genetik dan faktor lingkungan
dapat dilihat pada Gambar 11.4.

nilai fenotipe nilai fenotipe nilai fenotipe nilai fenotipe

B A

A
A A/B

B
B

kualitas lingkungan kualitas lingkungan kualitas lingkungan kualitas lingkungan


(a) (b) (c) (d)

Gambar 11.4. Hubungan antara faktor genetik dan faktor


lingkungan dalam mempengaruhi fenotipe
(a) fenotipe hanya dipengaruhi oleh faktor genetik
(b) fenotipe hanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan
(c) fenotipe dipengaruhi oleh interaksi faktor genetik
dan lingkungan
(d) fenotipe dipengaruhi oleh asosiasi faktor genetik
dan lingkungan

170 GENETIKA
Kita kembali berbicara tentang daya waris. Ada dua macam nilai
daya waris, yaitu daya waris dalam arti luas (broad-sense heritability)
dan daya waris dalam arti sempit (narrow-sense haeritability). Daya
waris yang dihitung sebagai nisbah VG terhadap VP tersebut di atas
merupakan daya waris dalam arti luas. Nilai ini dilambangkan dengan H2.
Sementara itu, daya waris dalam arti sempit adalah nisbah VA terhadap VP,
dan dilambangkan dengan h2. Jadi, H2 = VG / VP dan h2 = VA / VP.
Dalam bidang pemuliaan, nilai h2 lebih penting daripada H2. Hal
ini karena dengan melihat nilai h2 kita dapat memprediksi perubahan nilai
tengah populasi akibat tekanan seleksi.
Nilai h2 dapat diperoleh melalui beberapa macam cara, antara lain
dengan menghitung nisbah respon seleksi (R) terhadap diferensial seleksi
(S). Diferensial seleksi adalah selisih antara nilai tengah populasi tetua
yang diseleksi (M*) dan nilai tengah populasi seluruh tetua (M),
sedangkan respon seleksi adalah selisih antara nilai tengah populasi
keturunan tetua yang diseleksi (M') dan nilai tengah populasi seluruh
tetua (M). Dengan demikian, secara matematika dapat dituliskan
h2 = R/S atau h2 = (M' - M) / (M* - M)
jumlah individu

M*

nilai fenotipe
Generasi 0

jumlah individu

M'

nilai fenotipe
Generasi 1

Gambar 11.5. Perubahan nilai tengah populasi akibat seleksi

GENETIKA KUANTITATIF 171


Quantitative Trait Loci (QTLs)
Nilai daya waris hanya memberikan gambaran mengenai besarnya
kontribusi faktor genetik terhadap variasi fenotipik suatu sifat kuantitatif.
Selain itu, nilai daya waris untuk setiap sifat tertentu tidaklah berlaku
universal. Artinya, daya waris sifat yang sama sangat dimungkinkan
untuk berbeda jika diukur pada populasi yang berbeda. Hal ini karena
adanya perbedaan pengaruh faktor lingkungan terhadap suatu sifat
kuantitatif meskipun sifat ini memiliki daya waris yang tinggi.
Terlepas dari pengaruh faktor lingkungan terhadap variasi
fenotipik suatu sifat kuantitatif, di muka telah disinggung bahwa sifat
kuantitatif diatur oleh beberapa gen nonalelik atau diatur secara
poligenik. Dalam hal ini, memang ada sejumlah lokus pada kromosom
yang diketahui secara bersama-sama mengatur suatu sifat kuantitatif
tertentu. Loki (lokus-lokus) ini dinamakan quantitative trait loci atau
disingkat menjadi QTLs.
Di masa lalu terjadi kesulitan untuk mengidentifikasi QTLs dan
mengukur pengaruhnya masing-masing terhadap suatu sifat kuantitatif.
Namun, dewasa ini sejumlah marka atau penanda genetik telah dapat
dipetakan dengan baik menggunakan teknik-teknik molekuler (lihat Bab
XIII). Sebenarnya, pemetaan ini dilandasi oleh pemikiran yang cukup
sederhana sebagai berikut. Jika pewarisan suatu marka genetik
berlangsung secara konsisten dengan pewarisan suatu sifat kuantitatif,
maka dapat dipastikan bahwa marka genetik ini merupakan bagian dari
QTLs untuk sifat kuantitatif tersebut.
Makin banyak marka genetik yang dianalisis pewarisannya, makin
lengkap QTLs yang terdeteksi di sepanjang genom. Saat ini telah
terdeteksi sejumlah QTLs untuk sifat kuantitatif tertentu pada berbagai
spesies organisme seperti dapat dilihat pada Tabel 11.2.

172 GENETIKA
Tabel 11.2. Sifat kuantitatif dan QTLs yang terdeteksi
Banyaknya QTLs
Organisme Sifat kuantitatif
yang terdeteksi
Tomat kelarutan bahan padat 7
massa buah 13
pH buah 9
pertumbuhan 5
entuk daun 9
tinggi tanaman 9
Jagung tinggi tanaman 11
panjang daun 7
jumlah anakan 1
kekerasan biji 5
hasil biji 18
jumlah tongkol 9
termotoleransi 6
Kacang merah jumlah bintil akar 4
Kacang hijau bobot biji 4
Kacang panjang bobot biji 2
Gandum perkecambahan 4
Babi pertumbuhan 2
panjang usus halus 1
lemak punggung 1
lemak perut 1
Mencit epilepsi 2
Tikus hipertensi 2
(Sumber: Tanksley, 1993)

DAFTAR PUSTAKA
Edowai, E., Tumbal, ELS. and Maker FM. 2019. Penampilan sifat
kualitatif dan kuantitatif ayam ayam kampung di Distrik Nabire
Kabupaten Nabire. Jurnal Fapertanak 4(1): 50 – 57.
Griffiths, AJF., Wessler, SR., Carroll, SB. and Doebley, J. 2020.
Introduction to Genetic Analysis. 12th Ed. W. H. Freeman & Co.,
New York.
Hartl, DL., Freifelder, D. and Snyder, LA. 1988. Basic Genetics. 1st Ed.
Jones & Bartlett Publ. Inc., Portola Valley, California.
Pierce, BA. 2012. Genetics: a Conceptual Approach 4th Ed. WH Freeman
& Co., New York.
Susanto, AH. 2011. Genetika. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.
Tanksley, SD. 1993. Mapping polygenes. Annual Review on Genetics 27:
205 – 233.

GENETIKA KUANTITATIF 173


SOAL LATIHAN
1. Berikut ini adalah ciri-ciri sifat kuantitatif.
A. Variasi diskrit terlihat di antara fenotipe.
B. Data diperoleh tidak harus melalui pengukuran.
C. Individu bersifat informatif sehingga pengamatan tidak harus
dilakukan dalam skala populasi.
D. Ekspresinya diatur oleh beberapa gen secara kumulatif.
E. Sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
2. Contoh sifat kontinyu antara lain
A. laju tumbuh suatu tanaman.
B. jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor ayam betina.
C. jumlah biji kedelai per polong.
D. ketahanan tanaman tomat terhadap penyakit tertentu.
E. kelainan genetik pada manusia.
3. Agar nilai ragam atau varians memiliki dimensi yang sama dengan
nilai rata-rata, maka
A. komponennya perlu dikurangi.
B. digunakan simpangan baku.
C. satuannya diabaikan.
D. dikuadratkan nilainya hingga mencapai nilai maksimum.
E. dikalikan dengan frekuensi kemunculannya.
4. Pada persilangan antara dua varietas tembakau diperoleh nilai ragam
untuk jumlah daun per tanaman sebesar 1,46 pada generasi F1 dan
5,97 pada generasi F2. Nilai ragam genetik untuk sifat tersebut adalah
A. 1,46.
B. 4,51.
C. 5,97.
D. 7,43.
E. 11,94.
5. Untuk memprediksi besarnya nilai suatu sifat kuantitatif (misalnya
produksi telur ayam) berdasarkan nilai sifat kuantitatif yang lain
(misalnya bobot induk betina) digunakan
A. koefisien korelasi.
B. koefisien regresi.
C. respon seleksi.
D. daya waris dalam arti luas.
E. daya waris dalam arti sempit.
6. Besarnya nilai daya waris dalam arti luas (H2) untuk suatu sifat
merupakan nisbah atau perbandingan
A. ragam lingkungan terhadap ragam genetik.
B. ragam genetik terhadap ragam lingkungan.
C. ragam genetik terhadap ragam fenotipik.
D. ragam genetik terhadap ragam aditif.

174 GENETIKA
E. semua jawaban tersebut di atas salah.
7. Besarnya nilai daya waris dalam arti sempit (h2) untuk suatu sifat
merupakan nisbah atau perbandingan
A. ragam genetik terhadap ragam lingkungan.
B. ragam genetik terhadap ragam fenotipik.
C. ragam aditif terhadap ragam lingkungan.
D. ragam genetik terhadap ragam aditif.
E. ragam aditif terhadap ragam fenotipik.
8. Apabila pengaruh faktor genetik terhadap suatu fenotipe berbeda-
beda, bergantung kepada lingkungannya, maka hubungan antara
faktor genetik dan faktor lingkungan dikatakan sebagai
A. interaksi.
B. independensi.
C. interdependensi.
D. asosiasi.
E. disosiasi.
9. Besarnya nilai daya waris dalam arti sempit (h2) untuk suatu sifat
merupakan nisbah
A. respon seleksi terhadap ragam lingkungan.
B. respon seleksi terhadap rata-rata populasi awal.
C. respon seleksi terhadap rata-rata populasi terseleksi.
D. respon seleksi terhadap rata-rata populasi keturunan.
E. respon seleksi terhadap diferensial seleksi.
10. Quantitative trait loci (QTLs) adalah
A. daerah pada kromosom yang membawa gen-gen pengatur suatu
karakter poligenik.
B. lokus suatu gen tertentu yang mempunyai banyak alel.
C. kromosom yang terdiri atas banyak gen.
D. A dan B benar.
E. A, B, dan C benar.

KUNCI JAWABAN
1. D 6. C
2. A 7. E
3. B 8. A
4. B 9. E
5. B 10. A

Jika Anda menjawab soal dengan benar sebanyak


> 8 berarti Anda telah sangat menguasai materi bab ini dan dapat
melanjutkan mempelajari materi bab berikutnya.

GENETIKA KUANTITATIF 175


6 – 7 berarti Anda telah cukup menguasai materi bab ini, tetapi
sebaiknya mengulang lagi mempelajari bagian yang jawaban
soalnya masih keliru.
< 5 berarti Anda kurang menguasai materi bab ini sehingga perlu
mempelajarinya kembali, terutama di bagian yang jawaban soalnya
masih keliru.

176 GENETIKA
Setelah mempelajari materi pada Bab XII ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan pengertian tentang populasi Mendelian, frekuensi genotipe dan
frekuensi alel, polimorfisme lokus sebagai indeks keanekaragaman genetik,
hukum keseimbangan Hardy-Weinberg serta faktor-faktor yang mengganggu
keseimbangan tersebut.

P ola pewarisan suatu sifat tidak selalu dapat dipelajari melalui


percobaan persilangan buatan. Pada tanaman keras atau hewan-
hewan dengan daur hidup panjang seperti gajah, misalnya, suatu
persilangan baru akan memberikan hasil yang dapat dianalisis setelah
kurun waktu yang sangat lama. Demikian pula, untuk mempelajari pola
pewarisan sifat tertentu pada manusia jelas tidak mungkin dilakukan
percobaan persilangan. Pola pewarisan sifat pada organisme-organisme
semacam itu harus dianalisis menggunakan data hasil pengamatan
langsung pada populasi yang ada.
Seluk-beluk pewarisan sifat pada tingkat populasi dipelajari pada
cabang genetika yang disebut genetika populasi. Ruang lingkup genetika
populasi secara garis besar oleh beberapa penulis dikatakan terdiri atas
dua bagian, yaitu (1) deduksi prinsip-prinsip Mendel pada tingkat
populasi, dan (2) mekanisme pewarisan sifat kuantitatif. Bagian yang
kedua ini berkaitan dengan penjelasan pada Bab XI bahwa analisis
genetik sifat-sifat kuantitatif hanya dapat dilakukan pada tingkat populasi
karena individu tidak informatif. Namun, beberapa penulis lainnya,
seperti halnya Bab XII ini, menyebutkan bahwa materi yang dibahas
dalam genetika populasi hanya meliputi deduksi prinsip-prinsip Mendel
pada tingkat populasi.

Populasi dalam arti Genetika


Untuk mempelajari pola pewarisan sifat pada tingkat populasi
terlebih dahulu perlu difahami pengertian populasi dalam arti genetika
atau lazim disebut juga populasi Mendelian. Populasi Mendelian ialah
sekelompok individu suatu spesies yang bereproduksi secara seksual,
hidup di tempat tertentu pada saat yang sama, dan di antara mereka
terjadi perkawinan (interbreeding) sehingga masing-masing akan
memberikan kontribusi genetik ke dalam lungkang gen (gene pool),

177
yaitu sekumpulan informasi genetik yang dibawa oleh semua individu di
dalam populasi.
Deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat
diperoleh apabila kita mengetahui macam genotipe yang ada dan juga
banyaknya masing-masing genotipe tersebut. Sebagai contoh, jika di
dalam suatu populasi tertentu terdapat tiga macam genotipe, yaitu AA, Aa,
dan aa, maka proporsi atau persentase genotipe AA, Aa, dan aa akan
menggambarkan susunan genetik populasi tempat mereka berada.
Adapun nilai proporsi atau persentase genotipe tersebut dikenal dengan
istilah frekuensi genotipe. Jadi, frekuensi genotipe dapat dikatakan
sebagai proporsi atau persentase genotipe tertentu di dalam suatu
populasi. Dengan perkataan lain, dapat juga didefinisikan bahwa
frekuensi genotipe adalah proporsi atau persentase individu di dalam
suatu populasi yang tergolong ke dalam genotipe tertentu. Pada contoh di
atas jika banyaknya genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing 30, 50, dan
20 individu, maka frekuensi genotipe AA = 0,30 (30%), Aa = 0,50 (50%),
dan aa = 0,20 (20%).
Di samping dengan melihat macam dan jumlah genotipenya,
susunan genetik suatu populasi dapat juga dideskripsi atas dasar
keberadaan gennya. Hal ini karena populasi dalam arti genetika, seperti
telah dikatakan di atas, bukan sekedar kumpulan individu, melainkan
kumpulan individu yang dapat melangsungkan perkawinan sehingga
terjadi transmisi gen dari generasi ke generasi. Dalam proses transmisi
ini, genotipe tetua (parental) akan dibongkar dan dirakit kembali menjadi
genotipe keturunannya melalui segregasi dan rekombinasi gen-gen yang
dibawa oleh tiap gamet yang terbentuk, sementara gen-gen itu sendiri
akan mengalami kesinambungan (kontinyuitas). Dengan demikian,
deskripsi susunan genetik populasi dilihat dari gen-gen yang terdapat di
dalamnya sebenarnya justru lebih bermakna bila dibandingkan dengan
tinjauan dari genotipenya.
Susunan genetik suatu populasi ditinjau dari gen-gen yang ada
dinyatakan sebagai frekuensi gen, atau lebih lazim disebut frekuensi
alel, yaitu proporsi atau persentase alel tertentu pada suatu lokus. Jika
kita gunakan contoh perhitungan frekuensi genotipe tersebut di atas,
maka frekuensi alelnya dapat dihitung sebagai berikut.

AA Aa aa Total
Banyaknya individu 30 50 20 100
Banyaknya alel A 60 50 - 110 200
Banyaknya alel a - 50 40 90

178 GENETIKA
Karena di dalam tiap individu AA terdapat dua buah alel A, maka di
dalam populasi yang mempunyai 30 individu AA terdapat 60 alel A.
Demikian juga, karena tiap individu Aa membawa sebuah alel A, maka
populasi yang mempunyai 50 individu Aa akan membawa 50 alel A.
Sementara itu, pada individu aa dengan sendirinya tidak terdapat alel A
sehingga secara keseluruhan banyaknya alel A di dalam populasi tersebut
adalah 60 + 50 + 0 = 110. Dengan cara yang sama dapat dihitung
banyaknya alel a di dalam populasi, yaitu 0 + 50 + 40 = 90. Oleh karena
itu, frekuensi alel A = 110/200 = 0,55 (55%), sedangkan frekuensi alel a
= 90/200 = 0,45 (45%).
Frekuensi alel berkisar dari 0 hingga 1. Suatu populasi yang
mempunyai alel dengan frekuensi = 1 dikatakan mengalami fiksasi untuk
alel tersebut.

Hubungan matematika antara frekuensi genotipe dan frekuensi alel


Seandainya di dalam suatu populasi terdapat genotipe AA, Aa, dan
aa, masing-masing dengan frekuensi sebesar P, H, dan Q, sementara
diketahui bahwa frekuensi alel A dan a masing-masing adalah p dan q,
maka antara frekuensi genotipe dan frekuensi alel terdapat hubungan
matematika sebagai berikut.
p=P+½H dan q=Q+½H
Dalam hal ini P + H + Q = 1 dan p + q = 1. Agar diperoleh
gambaran yang lebih jelas mengenai hubungan tersebut, kita perhatikan
contoh perhitungan berikut ini.
Data frekuensi golongan darah sistem MN pada orang Eskimo di
Greenland menurut Mourant (1954) menunjukkan bahwa frekuensi
golongan darah M, MN, dan N masing-masing sebesar 83,5 %, 15,6%,
dan 0,9% dari 569 sampel individu. Kita telah mengetahui pada Bab II
bagian alel ganda bahwa genotipe golongan darah M, MN, dan N masing-
masing adalah IMIM, IMIN, dan ININ. Maka, dari data frekuensi genotipe
tersebut dapat dihitung besarnya frekuensi alel IM dan IN. Frekuensi alel IM
= 83,5% + ½ (15,6%) = 91,3%, sedangkan frekuensi alel IN = 0,9% + ½
(15,6%) = 8,7%.
Alel yang dijumpai lebih banyak dinamakan alel umum (common
allele), sedangkan alel yang dijumpai lebih sedikit dinamakan alel langka
(rare allele). Dengan demimian, pada contoh tersebut di atas IM
merupakan alel umum, sedangkan IN merupakan alel langka. Hasil
perhitungan frekuensi alel dapat digunakan untuk menentukan sifat lokus
tempat alel tersebut berada. Suatu lokus dikatakan bersifat polimorfik
jika frekuensi alel umumnya sama atau kurang dari 0,95, sedangkan
frekuensi alel langkanya lebih dari 0,05. Sebaliknya, suatu lokus
dikatakan bersifat monomorfik jika frekuensi alel umumnya melebihi

GENETIKA POPULASI 179


0,95, sedangkan frekuensi alel langkanya sama atau kurang dari 0,05.
Jadi, pada contoh golongan darah sistem MN tersebut lokus yang
ditempati oleh alel IM dan IN adalah lokus polimorfik karena frekuensi
alel umumnya (IM = 91,3%), masih lebih kecil dari 0,95, dan frekuensi
alel langkanya (IN = 8,7%) lebih besar dari 0,05.
Proporsi lokus polimorfik pada suatu populasi sering kali
digunakan sebagai salah satu indeks keanekaragaman genetik. Nilai
lainnya yang juga sering digunakan sebagai indeks keanekaragaman
genetik suatu populasi adalah heterozigositas rata-rata atau frekuensi
heterozigot (H) rata-rata. Pada contoh di atas besarnya nilai H untuk
lokus MN adalah 15,6%. Seandainya dapat diperoleh nilai H untuk lokus-
lokus yang lain, maka dapat dihitung nilai heterozigositas rata-rata pada
populasi tersebut.
Perhitungan frekuensi alel menggunakan data elektroforesis
Frekuensi alel pada suatu populasi spesies organisme dapat
dihitung atas dasar data elektroforesis protein/enzim atau zimogram yang
menampilkan pita-pita sebagai gambaran mobililitas masing-masing
polipeptida penyusun protein (Gambar 12.1). Elektroforesis merupakan
teknik pemisahan molekul yang berbeda-beda ukuran dan muatan
listriknya. Oleh karena itu, molekul-molekul yang akan dipisahkan
tersebut harus bermuatan listrik seperti halnya protein dan DNA.

Jarak
migrasi (cm)
4
3
2
1
Individu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Genotipe CL LL LL CL CL CL LL CL CL CL LL CL LL LL CL

Gambar 12.1. Zimogram esterase dari ikan sidat (Anguilla sp) di


kawasan Segara Anakan, Cilacap
(Sumber: Susanto et al., 2004)

Prinsip kerja elektroforesis secara garis besar dapat dijelaskan


sebagai berikut. Sampel ditempatkan pada salah satu ujung media berupa
gel, kemudian kedua ujung gel tersebut diberi aliran listrik selama
beberapa menit sehingga komponen-komponen penyusun sampel akan
bergerak menuju kutub yang muatan listriknya berlawanan dengannya.
Kecepatan gerakan (mobilitas) tiap komponen ini akan berbeda-beda
sesuai dengan ukuran molekulnya. Makin besar ukuran molekul, makin

180 GENETIKA
lambat gerakannya. Akibatnya, dalam satuan waktu yang sama molekul
berukuran besar akan menempuh jarak migrasi yang lebih pendek
daripada jarak migrasi molekul berukuran kecil.
Pola pita seperti pada zimogram esterase di atas sebenarnya
merupakan gambaran fenotipe, bukan genotipe. Namun, analisis variasi
fenotipe terhadap kebanyakan enzim pada berbagai macam organisme
sering kali dapat memberikan dasar genetik secara sederhana. Seperti
diketahui, tiap enzim dapat mengandung sebuah polipeptida atau lebih
dengan susunan asam amino yang berbeda sehingga menghasilkan
fenotipe berupa pita-pita dengan mobilitas yang berbeda. Variasi fenotipe
ini disebabkan oleh perbedaan alel yang menyusun genotipe.
Jika alel-alel yang menyebabkan perbedaan polipeptida pada enzim
tertentu terletak pada suatu lokus, maka bentuk alternatif enzim yang
diekspresikannya dikenal sebagai alozim atau isozim. Alel yang
mengatur alozim biasanya bersifat kodominan, yang berarti dalam
keadaan heterozigot kedua-duanya akan diekspresikan. Dengan demikian,
individu pada Gambar 12.1 yang menampilkan pita lambat dan pita cepat
(nomor 1, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 12, dan 15) memiliki genotipe heterozigot,
yaitu CL (C=cepat; L=lambat). Sementara itu, individu yang hanya
menampilkan pita lambat (nomor 2, 3, 7, 11, 13, dan 14) adalah
homozigot LL. Begitu pula, individu dengan hanya satu pita cepat
(kebetulan pada zimogram tersebut tidak ada) dikatakan mempunyai
genotipe homozigot CC.
Dari data genotipe yang diturunkan dari data variasi fenotipe
tersebut, kita dengan mudah dapat menghitung baik frekuensi genotipe
maupun frekuensi alelnya. Frekuensi genotipe CC, CL, dan LL masing-
masing adalah 0, 9/15, dan 6/15. Frekuensi alel C = 0 + ½ (9/15) = 9/30 =
0,30, sedangkan frekuensi alel L = 6/15 + ½ (9/15) = 21/30 = 0,70.
Berdasarkan hasil perhitungan frekuensi alel ini, lokus esterase tersebut
bersifat monomorfik ataukah polimorfik?

Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg


Populasi Mendelian yang berukuran besar sangat memungkinkan
terjadinya kawin acak (panmiksia) di antara individu-individu
anggotanya. Artinya, tiap individu memiliki peluang yang sama untuk
bertemu dengan individu lain, baik dengan genotipe yang sama maupun
berbeda dengannya. Dengan adanya sistem kawin acak ini, frekuensi alel
akan senantiasa konstan dari generasi ke generasi. Prinsip ini dirumuskan
oleh G.H. Hardy, ahli matematika dari Inggris, dan W.Weinberg, dokter
dari Jerman,. sehingga selanjutnya dikenal sebagai hukum
keseimbangan Hardy-Weinberg.
Di samping kawin acak, ada persyaratan lain yang harus dipenuhi
bagi berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg, yaitu tidak

GENETIKA POPULASI 181


terjadi migrasi, mutasi, dan seleksi. Dengan perkatan lain, terjadinya
peristiwa-peristiwa ini serta sistem kawin yang tidak acak akan
mengakibatkan perubahan frekuensi alel.
Deduksi terhadap hukum keseimbangan Hardy-Weinberg meliputi
tiga langkah, yaitu (1) dari tetua kepada gamet-gamet yang dihasilkannya,
(2) dari penggabungan gamet-gamet kepada genotipe zigot yang
dibentuk, dan (3) dari genotipe zigot kepada frekuensi alel pada generasi
keturunan. Secara lebih rinci ketiga langkah ini dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Kembali kita misalkan bahwa pada generasi tetua terdapat genotipe
AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi P, H, dan Q. Sementara
itu, frekuensi alel A adalah p, sedangkan frekuensi alel a adalah q. Dari
populasi generasi tetua ini akan dihasilkan dua macam gamet, yaitu A dan
a. Frekuensi gamet A sama dengan frekuensi alel A (p). Begitu juga,
frekuensi gamet a sama dengan frekuensi alel a (q).
Dengan berlangsungnya kawin acak, maka terjadi penggabungan
gamet A dan a secara acak pula. Oleh karena itu, zigot-zigot yang
terbentuk akan memilki frekuensi genotipe sebagai hasil kali frekuensi
gamet yang bergabung. Pada Tabel 12.1 terlihat bahwa tiga macam
genotipe zigot akan terbentuk, yakni AA, Aa, dan aa, masing-masing
dengan frekuensi p2, 2pq, dan q2.

Tabel 12.1. Pembentukan zigot pada kawin acak


Gamet-gamet ♀
dan frekuensinya
A a
(p) (q)
A (p) AA Aa
Gamet-gamet ♂ (p2) (pq)
dan frekuensinya a (q) Aa aa
(pq) (q2)

Oleh karena frekuensi genotipe zigot telah didapatkan, maka


frekuensi alel pada populasi zigot atau populasi generasi keturunan dapat
dihitung. Fekuensi alel A = p2 + ½ (2pq) = p2 + pq = p (p + q) = p.
Frekuensi alel a = q2 + ½ (2pq) = q2 + pq = q (p + q) = q. Dengan
demikian, dapat dilihat bahwa frekuensi alel pada generasi keturunan
sama dengan frekuensi alel pada generasi tetua.

Aplikasi Hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel


autosomal
Kemampuan sesesorang untuk merasakan zat kimia
feniltiokarbamid (PTC) disebabkan oleh alel autosomal dominan T.

182 GENETIKA
Individu dengan genotipe TT dan Tt dapat merasakan PTC, sedangkan
individu tt tidak. Pada suatu pengujian terhadap 228 orang diperoleh
bahwa hanya 160 di antaranya yang dapat merasakan PTC. Dari 160
orang ini dapat dihitung individu yang bergenotipe TT dan Tt sebagai
berikut.
Individu yang tidak dapat merasakan PTC (genotipe tt) jumlahnya
228 - 160 = 68 sehingga frekuensi genotipe tt = 68/228 = 0,30. Dengan
mudah dapat diperoleh frekuensi alel t = √ 0,30 = 0,55 dan frekuensi alel
T = 1 - 0,55 = 0,45. Selanjutnya, frekuensi genotipe TT = (0,45)2 = 0,20,
sedangkan frekuensi genotipe Tt = 2(0,45)(0,55) = 0,50. Banyaknya
individu yang bergenotipe TT = 0,20 x 228 =46, sedangkan individu yang
bergenotipe Tt = 0,50 x 228 = 114. Jika TT dijumlahkan dengan Tt, maka
diperoleh individu sebanyak 160 orang, yang semuanya dapat merasakan
PTC.

Aplikasi Hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel


ganda
Salah satu contoh alel ganda yang sering dikemukakan adalah alel
pengatur golongan darah sistem ABO pada manusia. Seperti telah kita
bicarakan pada Bab II, sistem ini diatur oleh tiga buah alel, yaitu IA, IB,
dan I0. Jika frekuensi ketiga alel tersebut masing-masing adalah p, q, dan
r, maka sebaran frekuensi genotipenya = (p + q + r)2 = p2 + 2pq + 2pr +
q2 + 2qr + q2. Frekuensi golongan darah A adalah penjumlahan frekuensi
genotipe IAIA dan IAI0 , yakni p2 + 2pr. Demikian pula, frekuensi golongan
darah B, AB, dan O pada suatu populasi dapat dicari dari sebaran
frekuensi tersebut. Sebaliknya, dari data frekuensi golongan darah
(fenotipe) dapat dihitung besarnya frekuensi alel.
Misalnya, dari 500 mahasiswa Fakultas Biologi Unsoed diketahui
196 orang bergolongan darah A, 73 golongan B, 205 O, dan 26 AB. Alel
yang langsung dapat dihitung frekuensinya adalah I0 , yang merupakan
akar kuadrat frekuensi O. Jadi, frekuensi alel I0 = √ 205/500 = 0,64.
Selanjutnya, jumlah frekuensi A dan O = p2 + 2pr + r2 = (p + r)2 = (1 - q) 2
sehingga akar kuadrat frekuensi A + O = 1 - q. Dengan demikian,
frekuensi alel IB (q) = 1 - akar kuadrat frekuensi A + O = 1 - √(196 +
205)/500 = 0,11. Dengan cara yang sama dapat diperoleh frekuensi alel IA
(p) = 1 - √(73 + 205)/500 = 0,25.

Aplikasi Hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel


rangkai X
Telah kita ketahui bahwa pada manusia dan beberapa spesies
organisme lainnya dikenal adanya jenis kelamin homogametik (XX) dan
heterogametik (XY). Pada jenis kelamin homogametik hubungan
matematika antara frekuensi alel yang terdapat pada kromosom X

GENETIKA POPULASI 183


(rangkai X) dan frekuensi genotipenya mengikuti formula seperti pada
autosom. Namun, pada jenis kelamin heterogametik formula tersebut
tidak berlaku karena frekuensi alel rangkai X benar-benar sama dengan
frekuensi genotipe. Pada jenis kelamin ini tiap individu hanya membawa
sebuah alel untuk masing-masing lokus pada kromosom X-nya. Agar
lebih jelas dapat dilihat Tabel 12.2 berikut ini.

Tabel 12.2. Hubungan matematika antara fekuensi alel rangkai X


dan frekuensi genotipe
Homogametik Heterogametik
Genotipe AA Aa aa A a
Frekuensi genotipe P H Q R S
Alel A a A a
Frekuensi alel pm = P + ½H qm = Q + ½H pt = R qt = S
pm = frekuensi alel A pada individu homogametik
qm = frekuensi alel a pada individu homogametik
pt = frekuensi alel A pada individu heterogametik
qt = frekuensi alel a pada individu heterogametik

Untuk seluruh populasi, frekuensi alel A dapat dihitung, yaitu p =


2/3 pm + 1/3 pt = 1/3 (2 pm + pt) = 1/3 (2P + H + R). Dengan cara yang
sama dapat dihitung pula frekuensi alel a pada seluruh populasi, yaitu q =
2/3 qm + 1/3 qt = 1/3 (2 qm + qt) = 1/3 (2Q + H + S). Kontribusi alel
sebanyak 2/3 bagian oleh individu homogametik disebabkan oleh
keberadaan dua buah kromosom X pada individu tersebut, sementara
individu heterogametik memberikan kontribusi alel 1/3 bagian karena
hanya mempunyai sebuah kromosom X.
Sebagai contoh perhitungan frekuensi alel rangkai X dapat
dikemukakan alel rangkai X yang mengatur warna tortoise shell pada
kucing. Misalnya, dalam suatu populasi terdapat 277 ekor kucing betina
berwarna hitam (BB), 311 kucing jantan hitam (B), 54 betina tortoise
shell (Bb), 7 betina kuning (bb), dan 42 jantan kuning (b). Dari data ini
dapat dihitung frekuensi genotipe BB pada populasi kucing betina, yaitu P
= 277 / (277+54+7) = 0.82. Sementara itu, frekuensi genotipe Bb (H) =
54 / (277+54+7) = 0,16 dan frekuensi genotipe bb (Q) = 7 / (277+54+7) =
0,02. Di antara populasi kucing jantan frekuensi genotipe B adalah R =
311 / (311+42) = 0,88, sedangkan frekuensi genotipe b adalah S = 42 /
(311+42) = 0,12. Sekarang kita dapat menghitung frekuensi alel B pada
seluruh populasi, yaitu p = 1/3 (2.0,82 + 0,16 + 0,88) = 0,89, dan
frekuensi alel b pada seluruh populasi, yaitu q = 1/3 (2.0,02 + 0,16 +
0,12) = 0,11.

184 GENETIKA
Migrasi
Di atas telah disebutkan bahwa migrasi merupakan salah satu
syarat yang harus dipenuhi bagi berlakunya hukum keseimbangan Hardy-
Weinberg. Hal ini berarti bahwa peristiwa migrasi akan menyebabkan
terjadinya perubahan frekuensi alel. Lebih jauh, kuantifikasi migrasi
dalam bentuk laju migrasi (lazim dilambangkan sebagai m), sering kali
digunakan untuk menjelaskan adanya perbedaan frekuensi alel tertentu di
antara berbagai populasi, misalnya perbedaan frekuensi golongan darah
sistem ABO yang terlihat sangat nyata antara ras yang satu dan lainnya.
Laju migrasi dapat didefinisikan sebagai proporsi atau persentase
alel tertentu di dalam suatu populasi yang digantikan oleh alel migran
pada tiap generasi. Sebagai contoh, jika pada tiap generasi sebanyak 80
dari 1000 ekor ikan normal digantikan oleh ikan albino, maka dikatakan
bahwa laju migrasinya 0,08 atau 8%.
Secara matematika, hubungan antara perubahan frekuensi alel dan
laju migrasi dapat dilihat sebagai persamaan berikut ini.
Pn – P = (po – P)(1 – m)n
pn = frekuensi alel pada populasi yang diamati setelah n generasi
migrasi
P = frekuensi alel pada populasi migran
po = frekuensi alel pada populasi awal (sebelum terjadi migrasi)
m = laju migrasi
n = jumlah generasi

Mutasi
Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan
frekuensi alel adalah mutasi. Namun, peristiwa yang sangat mendasari
proses evolusi ini sebenarnya tidak begitu nyata pengaruhnya dalam
perubahan frekuensi alel. Hal ini terutama karena laju mutasi yang
umumnya terlalu rendah untuk dapat menyebabkan terjadinya perubahan
frekuensi alel. Selain itu, individu-individu mutan biasanya mempunyai
daya hidup (viabilitas), dan juga tingkat kesuburan (fertilitas), yang
rendah.
Dari kenyataan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa mutasi
hanya akan memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi
alel jika mutasi berlangsung berulang kali (recurrent mutation) dan
mutan yang dihasilkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang ada.
Hubungan matematika antara laju mutasi dan perubahan frekuensi
alel dapat dirumuskan seperti pada contoh berikut ini. Misalnya, di dalam
suatu populasi terdapat alel A dan a, masing-masing dengan frekuensi

GENETIKA POPULASI 185


awal po dan qo. Mutasi berlangsung dari A ke a dengan laju mutasi
sebesar u. Sebaliknya, laju mutasi alel a menjadi A adalah v. Dengan
demikian, perubahan frekuensi alel A akibat mutasi adalah ∆p = vqo - upo,
sedangkan perubahan frekuensi alel a akibat mutasi adalah ∆q = upo -
vqo.
Ketika dicapai keseimbangan di antara kedua arah mutasi tersebut
nilai ∆p dan ∆q adalah 0. Oleh karena itu, vqo = upo, atau secara umum vq
= up. Jika persamaan ini dielaborasi, maka akan didapatkan p = v/(u + v)
dan q = u/(u + v).

Seleksi
Sebegitu jauh kita mengasumsikan bahwa semua individu di dalam
populasi akan memberikan kontribusi jumlah keturunan yang sama
kepada generasi berikutnya. Namun, kenyataan yang sebenarnya sering
dijumpai tidaklah demikian. Individu-individu dapat memberikan
kontribusi genetik yang berbeda karena mereka mempunyai daya hidup
dan tingkat kesuburan yang berbeda.
Proporsi atau persentase kontribusi genetik suatu individu kepada
generasi berikutnya dikenal sebagai fitnes relatif atau nilai seleksi
individu tersebut. Nilai fitnes relatif berkisar antara 0 dan 1. Genotipe
superior di dalam suatu populasi, atau disebut juga genotipe baku,
dikatakan memiliki nilai fitnes relatif sama dengan 1, sementara besarnya
nilai fitnes relatif untuk genotipe-genotipe lainnya kurang dari 1. Proporsi
pengurangan kontribusi genetik suatu genotipe bila dibandingkan dengan
kontribusi genetik genotipe baku disebut koefisien seleksi (s) untuk
genotipe tersebut. Dengan perkataan lain, nilai fitnes relatif genotipe ini
adalah 1 - s.
Kembali kita misalkan bahwa di dalam suatu populasi terdapat
genotipe AA, Aa, dan aa. Kondisi dominansi ketiga genotipe ini
berdasarkan atas nilai fitnes relatifnya dapat dilihat pada Gambar 12.2
berikut ini.

186 GENETIKA
aa Aa AA
(1-s) (1-½s) 1
a)

aa Aa AA
(1-s) (1-½s) 1
b)

aa AA/Aa
(1-s) 1
c)

aa AA Aa
(1-s2) (1-s1) 1
d)

Fitnes relatif
Gambar 12.2. Berbagai kondisi dominansi dilihat dari nilai fitnes
relatifnya
a) Semi dominansi
b) Dominansi parsial
c) Dominansi penuh
d) Overdominansi

Pada kondisi semi dominansi dan dominansi parsial (Gambar 11.2


a dan b) genotipe Aa memberikan kontribusi genetik yang lebih kecil bila
dibandingkan dengan kontribusi genotipe baku (AA), sedangkan pada
kondisi dominansi penuh (Gambar 12.2 c) genotipe ini memberikan
kontribusi genetik sama besar dengan kontribusi genotipe AA. Bahkan,
pada kondisi overdominansi, genotipe Aa menjadi genotipe baku dan
kontribusi genetiknya justru lebih besar daripada kontribusi genotipe AA.
Dominansi heterozigot (kondisi overdominansi) ini dapat dijumpai
misalnya pada kasus resistensi individu karier anemia bulan sabit (sickle
cell anemia) terhadap penyakit malaria. Individu dengan genotipe
homozigot HbSHbS akan mengalami pengkristalan molekul hemoglobin,
dan eritrositnya berbentuk seperti bulan sabit sehingga individu ini akan
menderita anemia berat dan biasanya meninggal pada usia muda. Namun,
individu heterozigot HbSHbA justru memiliki ketahanan yang lebih tinggi
terhadap infeksi parasit penyebab malaria bila dibandingkan dengan
individu normal (HbAHbA). Di tempat-tempat yang menjadi wilayah
endemi penyakit malaria, genotipe HbSHbA merupakan genotipe baku

GENETIKA POPULASI 187


(fitnes relatif = 1), sedangkan individu normal HbAHbA mempunyai nilai
fitnes relatif kurang dari 1.
Perubahan frekuensi alel akibat seleksi berlangsung sesuai dengan
kondisi dominansi yang ada. Pada kondisi dominansi penuh, misalnya,
perubahan frekuensi alel dapat dihitung sebagai berikut.

Genotipe AA Aa aa Total
Frekuensi awal p2 2pq q2 1
Fitnes relatif 1 1 1-s
Kontribusi genetik p2 2pq 2
q (1 - s ) 1 - sq2

Terlihat bahwa kontribusi genetik total mejadi lebih kecil dari 1


karena genotipe aa mempunyai nilai fitnes relatif 1 - s. Dari rumus
hubungan matematika antara frekuensi alel dan frekuensi genotipe dapat
dihitung besarnya frekuensi alel a setelah seleksi, yaitu q1 = {q2(1 - s ) +
pq} / 1-sq2. Jika perubahan frekuensi alel a dilambangkan dengan ∆q,
maka ∆q = q1 - q = q2(1 - s ) + pq / 1-sq2 - q. Setelah persamaan ini kita
elaborasi akan didapatkan ∆q = - sq2(1 - q) / 1 - sq2. Untuk kondisi
dominansi yang lain besarnya perubahan frekuensi alel akibat seleksi
dapat dirumuskan dengan cara seperti di atas.

Sistem Kawin Tidak Acak


Faktor lain yang meyebabkan gangguan keseimbangan Hardy-
Weinberg adalah sistem kawin tidak acak (non random mating). Jika
dilihat dari segi fenotipe, ada sistem kawin tidak acak yang dikenal
sebagai perkawinan asortatif. Dengan perkataan lain, perkawinan
asortatif adalah sistem kawin tidak acak yang didasarkan atas fenotipe.
Perkawinan asortatif dapat berupa perkawinan asortatif positif
atau asortatif negatif (disasortatif). Pada perkawinan asortatif positif
individu-individu yang mempunyai fenotipe sama cenderung untuk lebih
sering bertemu bila dibandingkan dengan individu-individu dengan
fenotipe berbeda. Sebaliknya, pada perkawinan asortatif negatif individu-
individu yang mempunyai fenotipe berbeda cenderung untuk lebih sering
bertemu bila dibandingkan dengan individu-individu dengan fenotipe
yang sama.
Di samping perkawinan asortatif ada pula sistem kawin tidak acak
yang tidak memandang fenotipe individu tetapi dilihat dari hubungan
genetiknya. Sistem kawin semacam ini dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu silang dalam (inbreeding) dan silang luar (outbreeding).
Silang dalam adalah perkawinan di antara individu-individu yang secara
genetik memiliki hubungan kekerabatan, sedangkan silang luar adalah
perkawinan di antara individu-individu yang secara genetik tidak
memiliki hubungan kekerabatan. Perkawinan asortatif positif dan silang

188 GENETIKA
dalam akan meningkatkan frekuensi genotipe homozigot. Sebaliknya,
perkawinan asortatif negatif dan silang luar akan meningkatkan frekuensi
genotipe heterozigot.

Silang dalam
Contoh silang dalam yang paling ekstrim dapat dilihat pada
tanaman yang melakukan penyerbukan sendiri. Katakanlah generasi
pertama suatu populasi tanaman menyerbuk sendiri hanya terdiri atas
individu-individu dengan genotipe Aa. Oleh karena terjadi penyerbukan
sendiri di antara genotipe Aa, maka pada generasi kedua dari seluruh
populasi akan terdapat genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing sebanyak
1/4, 1/2, dan 1/4 bagian. Pada generasi ketiga genotipe AA dan aa akan
bertambah 1/8 bagian yang berasal dari segregasi genotipe Aa pada
generasi kedua. Sebaliknya, genotipe Aa akan berkurang menjadi 1/4
bagian sehingga populasi generasi ketiga akan terdiri atas (1/4+1/8) AA,
1/4 Aa, dan (1/4+1/8) aa atau 3/8 AA, 1/4 Aa, 3/8 aa. Dengan demikian,
sampai dengan generasi ketiga saja sudah terlihat bahwa frekuensi
genotipe homozigot, baik AA maupun aa, mengalami peningkatan,
sedangkan frekuensi heterozigot Aa berkurang.
Genotipe homozigot untuk suatu lokus tertentu - jika kita berbicara
individu normal diploid - mempunyai dua buah alel yang sama pada
lokus tersebut. Persamaan di antara dua alel pada genotipe homozigot
dapat terjadi dengan dua kemungkinan. Pertama, mereka secara
fungsional sama sehingga menghasilkan fenotipe yang sama pula. Dua
alel semacam ini dikatakan sebagai alel serupa (alike in state).
Kemungkinan kedua, mereka berasal dari hasil replikasi sebuah alel pada
generasi sebelumnya. Jika hal ini yang terjadi, maka kedua alel tersebut
dikatakan seasal atau identik (identical by descent).
Untuk menggambarkan besarnya peluang bahwa dua buah alel
yang sama pada individu homozigot merupakan alel identik digunakan
suatu nilai yang disebut sebagai koefisien silang dalam (inbreeding
coefficient). Nilai ini besarnya berkisar dari 0 hingga 1, dan biasanya
dilambangkan dengan F. Nilai F sama dengan 0 apabila kedua alel pada
individu homozigot tidak mempunyai asal-usul yang sama atau
merupakan hasil kawin acak. Sebaliknya, nilai F sama dengan 1 apabila
kedua alel sepenuhnya merupakan alel identik atau berasal dari leluhur
bersama (common ancestor) yang sangat dekat.
Besarnya nilai F dapat dihitung dari diagram silsilah seperti contoh
pada Gambar 12.3. Misalnya, individu A kawin dengan B menghasilkan
dua anak, yaitu C dan D. Selanjutnya, kakak beradik C dan D kawin,
mempunyai anak X. Koefisien silang dalam individu X dapat dihitung
sebagai berikut.

GENETIKA POPULASI 189


Gambar 12.3.Contoh diagram silsilah

* Hitung jumlah loop. Loop adalah jalan yang menghubungkan kedua


orang tua X (C dan D) melewati leluhur bersama (A dan B). Pada soal
ini terdapat dua X loop, yaitu CAD dan CBD.
* Hitung jumlah individu yang terdapat pada tiap loop sebagai nilai n.
* Hitung nilai F dengan rumus :
F = Σ (½)n(1 + FA)
n = jumlah individu yang terdapat pada tiap loop (pada soal ini
terdapat 3 individu, baik pada loop CAD maupun CBD)
FA = koefisien silang dalam leluhur bersama (pada soal ini FA dan
FB masing-masing sama dengan 0 karena dianggap sebagai
individu hasil kawin acak)

Dengan demikian, nilai F individu X (FX) pada contoh soal tersebut


di atas adalah (½)3(1 + 0) + (½)3(1 + 0) = ¼. Hal ini berarti bahwa
peluang bertemunya alel-alel identik yang berasal dari leluhur bersama,
baik A maupun B, pada individu X besarnya ¼.
Makin besar nilai F, makin cepat diperoleh tingkat homozigositas
yang tinggi. Sebagai gambaran, pembuahan sendiri dapat mencapai
homozigositas 100% pada generasi keenam, sementara perkawinan antara
saudara kandung baru mencapainya pada generasi keenam belas.
Peningkatan homozigositas akibat silang dalam dapat menimbulkan
tekanan silang dalam (inbreeding depression) apabila di antara alel-alel
identik yang bertemu terdapat sejumlah alel resesif yang kurang
menguntungkan.
Perubahan frekuensi alel yang disebabkan oleh terjadinya silang
dalam dapat dihitung dari perubahan frekuensi genotipe seperti pada
Tabel 12.3.

190 GENETIKA
Tabel 12.3. Frekuensi genotipe hasil kawin acak dan silang dalam
Genotipe Frekuensi
Kawin acak Silang dalam
AA p2 p2 (1 - F) + pF
Aa 2 pq 2 pq (1 - F)
2 2
aa q q (1 - F) + qF

Jika nilai F = 0, maka frekuensi genotipe AA, Aa, dan aa masing-


masing adalah p2, 2 pq, dan q2. Frekuensi tersebut ternyata sama dengan
frekuensi genotipe hasil kawin acak. Jika nilai F = 1, maka frekuensi
genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing menjadi p, 0, dan q. Hal ini
berarti di dalam populasi hanya tinggal individu homozigot, sedangkan
individu heterozigot tidak dijumpai lagi.

Silang luar
Berkebalikan dengan silang dalam, silang luar akan meningkatkan
frekuensi genotipe heterozigot. Di samping itu, jika silang dalam dapat
menyebabkan terjadinya tekanan silang dalam yang berpengaruh buruk
terhadap individu yang dihasilkan, silang luar justru dapat memunculkan
individu hibrid dengan sifat-sifat yang lebih baik daripada kedua tetuanya
yang homozigot. Fenomena keunggulan yang diperlihatkan oleh individu
hibrid hasil persilangan dua tetua galur murni (homozigot) disebut
sebagai vigor hibrida atau heterosis.
Ada beberapa teori mengenai mekanisme genetik yang
menjelaskan terjadinya heterosis. Salah satu di antaranya adalah teori
dominansi, yang pada prinsipnya menyebutkan bahwa alel-alel resesif
merugikan yang dibawa oleh masing-masing galur murni akan tertutupi
oleh alel dominan pada individu hibrid yang heterozigot. Misalnya, ada
alel A yang menyebabkan akar tanaman tumbuh kuat, sedangkan alel a
menjadikan akar tanaman lemah. Sementara itu, alel B menyebabkan
batang menjadi kokoh, sedangkan alel b menyebabkan batang lemah.
Persilangan antara galur murni AAbb (akar kuat, batang lemah) dan aaBB
(akar lemah, batang kuat) akan menghasilkan hibrid AaBb yang
mempunyai akar dan batang kuat.
Fenomena heterosis sudah sering sekali dimanfaatkan pada bidang
pemuliaan tanaman, antara lain untuk merakit varietas jagung hibrida.
Galur murni A disilangkan dengan galur murni B, mendapatkan hibrid H.
Namun, karena biji hibrid H ini dibawa oleh tongkol tetuanya (A atau B)
yang kecil, maka jumlah bijinya menjadi sedikit dan tidak cukup untuk
dijual kepada petani. Oleh karena itu, jagung hibrida yang dipasarkan
biasanya bukan hasil silang tunggal (single cross) seperti itu, melainkan
hasil silang tiga arah (three-way cross) atau silang ganda (double
cross). Pada silang tiga arah hibrid H digunakan sebagai tetua betina

GENETIKA POPULASI 191


untuk disilangkan lagi dengan galur murni lain sehingga biji hibrid yang
dihasilkan akan dibawa oleh tongkol hibrid H yang ukurannya besar.
Agak berbeda dengan silang tiga arah, pada silang ganda hibrid H
disilangkan dengan hibrid I hasil silang tunggal antara galur murni C dan
D. Dalam silang ganda ini, sebagai tetua betina dapat digunakan baik
hibrid H maupun hibrid I karena kedua-duanya mempunyai tongkol yang
besar.

DAFTAR PUSTAKA
Griffiths, AJF., Wessler, SR., Carroll, SB. and Doebley, J. 2020.
Introduction to Genetic Analysis. 12th Ed. W. H. Freeman & Co.,
New York.
Hartl, DL. and Clark, AG. 2007. Principles of Population Genetics. 4rd
Ed. Sinauer Associates, Inc. Publ., Sunderland, Massachusetts.
Hartl, DL., Freifelder, D. and Snyder, LA. 1988. Basic Genetics. 1st Ed.
Jones & Bartlett Publ. Inc., Portola Valley, California.
Pierce, BA. 2012. Genetics: a Conceptual Approach 4th Ed. WH Freeman
& Co., New York.
Susanto, AH. 2011. Genetika. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.
Susanto, AH., Amurwanto, A., dan Nuryanto, A. 2004. Studi
keanekaragaman genetik Anguilla di Kawasan Segara Anakan
untuk mendukung upaya konservasi hayati. Biosfera 21 (1) : 9 –
16.

SOAL LATIHAN
1. Berikut ini adalah ciri-ciri populasi Mendelian, KECUALI
A. terdiri atas sekelompok individu yang termasuk dalam satu genus.
B. semua individu anggota populasi menempati suatu area tertentu.
C. semua individu anggota populasi hidup pada waktu yang sama.
D. memungkinkan terjadinya perkawinan di antara anggota populasi.
E. tiap anggota populasi memberikan kontribusi genetik ke dalam
lungkang gen.
2. Suatu populasi terdiri atas 10 individu AA,15 individu Aa, dan 5
individu aa. Frekuensi genotipe AA pada populasi tersebut adalah
A. 0,17.
B. 0,33.
C. 0,42.
D. 0,50.
E. 0,58.

192 GENETIKA
3. Suatu populasi terdiri atas 10 individu AA,15 individu Aa, dan 5
individu aa. Frekuensi alel A pada populasi tersebut adalah
A. 0,17.
B. 0,33.
C. 0,42.
D. 0,50.
E. 0,58.
4. Jika p dan q masing-masing adalah frekuensi alel X dan x, sedangkan
P, H, dan Q masing-masing adalah frekuensi genotipe XX, Xx, dan xx,
maka
A. p = P + ½ H dan q = Q + ½ H.
B. p = P + H dan q = P + H.
C. p = H + ½ P dan q = H + ½ Q.
D. p = 2 P + H dan q = 2 P + H.
E. p = 2 H + P dan q = 2 H + Q.
5. Suatu lokus dikatakan polimorfik apabila
A. tidak mempunyai alel.
B. hanya terdiri atas satu alel.
C. frekuensi alel yang langka (rare allele) mencapai 95%.
D. frekuensi alel yang umum (common allele) hanya mencapai 95%
atau kurang.
E. frekuensi alel yang umum (common allele) mencapai 95% atau
lebih.
6. Keanekaragaman genetik suatu populasi antara lain ditentukan oleh
A. banyaknya alel dalam suatu lokus.
B. banyaknya lokus dalam suatu populasi.
C. proporsi lokus polimorfik.
D. homozigositas rata-rata.
E. individu-individu dengan genotipe homozigot.
7. Hukum keseimbangan Hardy-Weinberg berlaku apabila
A. terjadi migrasi.
B. terjadi mutasi.
C. terjadi seleksi.
D. terjadi perkawinan asortatif.
E. ukuran populasi cukup besar sehingga memungkinkan terjadinya
kawin acak.
8. Proporsi pengurangan kontribusi genetik suatu genotipe bila
dibandingkan dengan kontribusi genetik genotipe baku disebut sebagai
A. respon seleksi.
B. koefisien seleksi.
C. diferensial seleksi.
D. intensitas seleksi.
E. fitnes relatif.

GENETIKA POPULASI 193


9. Sistem kawin tidak acak yang dilihat dari hubungan genetik
individunya dijumpai pada
A. perkawinan asortatif positif.
B. perkawinan asortatif negatif.
C. perkawinan diasortatif.
D. silang dalam.
E. heterosis.
10. Fenomena superioritas yang diperlihatkan oleh keturunan hasil silang
luar dikenal sebagai
A. gen identik.
B. gen seasal.
C. vigor hibrida.
D. leluhur bersama.
E. tekanan silang luar.

KUNCI JAWABAN
1. A 6. C
2. B 7. E
3. E 8. B
4. A 9. D
5. D 10. C

Jika Anda menjawab soal dengan benar sebanyak


> 8 berarti Anda telah sangat menguasai materi bab ini dan dapat
melanjutkan mempelajari materi bab berikutnya.
6 – 7 berarti Anda telah cukup menguasai materi bab ini, tetapi
sebaiknya mengulang lagi mempelajari bagian yang jawaban
soalnya masih keliru.
< 5 berarti Anda kurang menguasai materi bab ini sehingga perlu
mempelajarinya kembali, terutama di bagian yang jawaban soalnya
masih keliru.

194 GENETIKA
Setelah mempelajari materi pada Bab XIII ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan beberapa teknik molekuler yang biasa digunakan dalam analisis
keanekaragaman genetik populasi, khususnya PCR-RAPD dan PCR-RFLP, serta
prinsip dasar sekuensing DNA.

S
ecara garis besar ada dua pendekatan yang dapat dilakukan dalam
mempelajari variasi genetik pada suatu populasi spesies organisme,
yaitu pendekatan menggunakan metode konvensional dan
pendekatan molekuler. Penggunaan metode konvensional melibatkan
analisis genetik berdasarkan karakter fenotipik, baik berupa morfologi,
anatomi, fisiologi maupun biokimia. Hal ini telah dijelaskan pada Bab
XII dengan beberapa contoh, misalnya penghitungan frekuensi alel pada
lokus pengatur golongan darah sistem ABO pada manusia, lokus
pengatur kemampuan merasakan zat kimia PTC, atau lokus pengatur
warna bulu tortoise shell pada kucing. Pada Bab XIII ini akan diuraikan
sekilas penggunaan metode molekuler untuk analisis variasi genetik.
Jika dibandingkan dengan metode konvensional, yang
mengandalkan data fenotipe, penggunaan metode molekuler dalam studi
variasi genetik memiliki akurasi yang lebih tinggi. Hal ini karena marka
atau penanda molekuler tidak terpengaruh oleh faktor lingkungan.
Sementara itu, seperti telah kita pelajari pada Bab XI, fenotipe untuk
sifat-sifat kuantitatif bukan hanya merupakan hasil ekspresi suatu
genotipe, melainkan dapat juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yang
dicerminkan oleh nilai daya warisnya. Demikian pula, faktor lingkungan
sebenarnya juga berpengaruh pada fenotipe sifat kualitatif meskipun
pengaruhnya cenderung kecil. Di samping karena adanya pengaruh faktor
lingkungan, sifat kuantitatif dengan sebaran fenotipiknya yang kontinyu
tidak memungkinkan dilakukannya penghitungan frekuensi alel dan
frekuensi genotipe berdasarkan data fenotipe. Oleh karena itu, diperlukan
pendekatan molekuler untuk menganalisis variasi genetik secara langsung
tanpa memperhatikan data fenotipe.
Pada metode molekuler secara garis besar dikenal dua macam
marka yang dapat digunakan, yaitu DNA dan protein/isozim. Penggunaan
DNA sebagai marka molekuler lebih akurat bila dibandingkan dengan
protein. Variasi genetik yang terdeteksi ketika digunakan marka DNA
bisa saja tidak terlihat jika dianalisis menggunakan marka protein.

195
Mengapa? (lihat penjelasan tentang sifat kode genetik pada Bab VIII dan
mutasi tenang pada Bab X). Selain itu, marka protein sebenarnya adalah
fenotipe karena protein merupakan produk ekspresi gen, yang terdapat di
dalam DNA. Hanya saja, berbeda dengan pengertian fenotipe pada
umumnya, protein merupakan fenotipe yang tidak dipengaruhi oleh faktor
lingkungan karena merupakan produk langsung dari gen/DNA.

Elektroforesis dan Isozim


Analisis variasi genetik secara molekuler, baik dengan marka DNA
maupun protein, memerlukan dukungan teknik elektroforesis untuk
memvisualisasikan data molekuler yang akan dianalisis. Pada Bab XII
telah disinggung garis besar prinsip kerja elektroforesis, yaitu bahwa
sampel-sampel makromolekul yang bermuatan listrik dimigrasikan pada
suatu media berupa gel yang diberi aliran listrik sehingga akan terjadi
perbedaan kecepatan migrasi di antara sampel-sampel tersebut
berdasarkan ukuran molekulnya.
Selain karena ukuran molekul, perbedaan kecepatan migrasi juga
ditentukan oleh bentuk atau struktur molekul dan muatan listriknya.
Molekul DNA sirkuler tertutup (closed covalently circular) akan
bermigrasi lebih cepat daripada molekul DNA linier karena energi
potensial pada molekul DNA dalam bentuk sirkuler tertutup, yang
kemudian diubah menjadi energi gerak, lebih besar bila dibandingkan
dengan yang ada pada DNA linier. Sementara itu, pada molekul DNA
tidak terdapat perbedaan muatan listrik. Akan tetapi, tidak demikian
halnya dengan molekul protein, yang dapat bermuatan positif, negatif,
atau netral, bergantung kepada residu asam aminonya. Oleh karena itu,
tidak seperti sumuran elektroforesis untuk sampel DNA, yang diletakkan
di salah ujung gel di dekat kutub negatif (katode), sumuran elektroforesis
untuk sampel protein ditempatkan di bagian tengah gel. Hal ini karena
sampel protein dapat bergerak ke arah anode, katode, atau pun tetap
berada di dalam sumuran, bergantung kepada muatan listrik residu asam
aminonya.
Gel yang digunakan pada elektroforesis DNA biasanya berupa
agarosa. Pada gel agarosa dapat dipisahkan molekul DNA dengan
perbedaan ukuran 100 pb. Artinya, molekul DNA yang berukuran 100 pb,
misalnya, dapat dipisahkan dengan jelas dari molekul DNA yang
berukuran 200 pb. Namun, gel agarosa tidak dapat digunakan untuk
memisahkan DNA dengan perbedaan ukuran 1 pb seperti yang dilakukan
pada sekuensing DNA. Untuk keperluan ini, digunakan jenis gel lainnya
yang terbuat dari poliakrilamid. Elektroforesis yang dilakukan
menggunakan gel poliakrilamid disebut dengan elektroforesis gel
poliakrilamid atau polyacrilamide gel electrophoresis (PAGE). Untuk
protein/isozim biasanya juga digunakan PAGE yang dikombinasikan

196 GENETIKA
dengan penambahan sodium dodesil sulfat (SDS) sehingga dikenal
sebagai teknik SDS-PAGE. Pada teknik ini terjadi perubahan struktur
kompleks molekul protein sehingga perbedaan laju migrasinya semata-
mata hanya disebabkan oleh perbedaan ukuran molekulnya.
Contoh hasil elektroforesis marka protein/isozim dapat dilihat pada
Bab XII (Gambar 12.1), yang menghasilkan suatu zimogram. Dari
zimogram yang diperoleh dapat dilakukan analisis variasi genetik
terhadap isozim yang dipelajari dengan menghitung frekuensi alel pada
lokus yang mengatur isozim tersebut. Hal ini karena alel-alel yang
mengatur suatu isozim bersifat kodominan sehingga pola pita individu
heterozigot dapat dibedakan dari yang homozigot.
Terlihat pada Gambar 12.1 tersebut bahwa individu heterozigot
menghasilkan dua pita, yaitu pita C dan pita L. Terbentuknya dua pita ini
karena isozim yang dianalisis merupakan protein dengan satu subunit
(monomer). Namun, jika suatu isozim terdiri atas dua subunit (dimer),
maka pada individu heterozigot akan dihasilkan tiga pita. Hal ini karena
selain ada pita C1C2 (yang bermigrasi cepat) dan L1L2 (yang bermigrasi
lambat), juga terdapat pita C1L2 dan C2L1 (yang bemigrasi sedang).
Dalam hal ini, C1 adalah pita cepat dari subunit 1, C2 pita cepat dari
subunit 2, L1 pita lambat dari subunit 1, dan L2 pita lambat dari subunit 2.
Demikian seterusnya, jika suatu isozim tersusun dari n subunit, maka
pada individu heterozigot akan terdapat n + 1 pita.

Marka PCR-RAPD
Banyak sekali macam marka DNA yang dapat digunakan untuk
menilai tingkat variasi genetik suatu populasi spesies organisme. Salah
satu di antaranya adalah marka polymerase chain reaction – random
amplified polymorphic DNA (PCR-RAPD). Sesuai dengan namanya,
penggunaan marka ini melibatkan teknik PCR, yaitu teknik penggandaan
(amplifikasi) segmen DNA tertentu yang terletak di antara dua situs
penempelan primer oligonukeotida. Dengan demikian, pada PCR
diperlukan sepasang primer oligonukleotida berupa molekul DNA pendek
untai tunggal, yang masing-masing akan diperpanjang dengan arah
berlawanan. Primer yang satu dinamakan primer maju (forward primer),
sedangkan primer pasangannya dinamakan primer mundur (reverse
primer). Jadi, pada hakekatnya PCR merupakan replikasi DNA secara in
vitro. Hanya saja pada PCR tidak terdapat enzim yang diperlukan untuk
memisahkan kedua untai DNA karena fungsinya digantikan oleh
penggunaan suhu yang tinggi (sekitar 95ºC). Begitu pula, primer yang
digunakan bukanlah molekul RNA, melainkan DNA pendek untai
tunggal. Selain itu, pada PCR tidak terjadi penggandaan seluruh genom,
tetapi hanya berlangsung pada segmen DNA tertentu. Penjelasan yang
lebih rinci mengenai prinsip teknik PCR dapat dilihat pada Bab XIV,

TEKNIK DASAR MOLEKULER 197


sedangkan berbagai modifikasi teknik PCR dapat dipelajari di buku-buku
biologi molekuler.
Berbeda dengan teknik PCR pada umumnya, pada PCR-RAPD
hanya digunakan sebuah primer yang dapat berperan sebagai primer maju
sekaligus sebagai primer mundur. Selain itu, situs penempelan primer
tersebut di sepanjang genom bisa lebih dari satu sehingga dapat diperoleh
beberapa kombinasi pasangan pimer dan segmen DNA yang
teramplifikasi pun bisa lebih dari satu. Dengan perkataan lain, primer
pada PCR-RAPD merupakan primer acak (random primer) karena dapat
menempel di sembarang tempat di sepanjang genom asalkan memiliki
komplementasi dengannya.

Gambar 13.1. Elektroforegram marka RAPD pada tanaman


kantung semar Nepenthes adrianii dan N.
gymnamphora di Kebun Raya Baturraden,
Banyumas menggunakan primer OPB-5 serta hasil
interpretasinya
M = marka DNA; A = N. adrianii; G = N.
gymnamphora
(sumber: Mayangsari et al., 2017)

Contoh hasil amplifikasi marka PCR-RAPD dapat dilihat pada


Gambar 13.1, yang menampilkan hasil elektroforesis pita PCR-RAPD
dari dua spesies tanaman kantung semar. Kalau misalnya kita perhatikan
hasil interpretasi untuk Nepenthes gymnamphora, maka terlihat adanya
empat pita dengan ukuran yang berbeda. Masing-masing ukuran pita
tersebut menunjukkan lokus segmen DNA yang teramplifikasi. Jadi,
untuk lokus dengan ukuran pita 1.400 bp misalnya, hanya tiga individu
yang memperlihatkan hasil amplifikasi (amplikon), sedangkan pada
individu G4 tidak diperoleh amplikon. Pita amplikon yang muncul
dianggap sebagai satu alel (misalnya N) dan pita amplikon yang tidak

198 GENETIKA
muncul dianggap sebagai alel pasangannya (n). Dengan demikian, untuk
lokus 1.400 bp tersebut kita bisa menghitung frekuensi alel N dan n,
masing-masing sebesar 0,75 dan 0,25. Oleh karena alel yang umum (N)
kurang dari 0,95, maka lokus tersebut dikatakan bersifat polimorfik.
Dengan cara yang sama kita bisa menghitung frekuensi alel dan
polimorfisme pada ketiga lokus lainnya dan juga lokus-lokus pada N.
gymnamphora.
Jika dibandingkan dengan penggunaan marka DNA lainnya, PCR-
RAPD dapat dikatakan paling sederhana, murah, dan mudah
pengerjaannya. Namun, ada kelemahan pada teknik PCR-RAPD, yaitu
keterulangan (reproduksibilitas) nya rendah sehingga tentu saja
berpengaruh terhadap tingkat akurasinya. Untuk mengatasi masalah ini
perlu dilakukan pengulangan beberapa kali jika analisis variasi genetik
melibatkan penggunaan marka PCR-RAPD.

Marka PCR-RFLP
Teknik molekuler menggunakan marka DNA yang akurasinya
relatif lebih lebih baik daripada PCR-RAPD adalah polymerase chain
reaction – restriction fragment length polymorphism (PCR-RFLP).
Dalam hal ini, segmen amplikon (hasil amplifikasi) yang diperoleh
melalui teknik PCR dipotong menggunakan enzim restriksi tertentu. Perlu
difahami bahwa tiap enzim restriksi akan memotong DNA hanya di
dalam situs dengan sekuen basa nukleotida yang dikenalinya atau disebut
dengan situs pengenalan (recognition site). Dengan perkataan lain,
enzim restriksi tidak akan memotong DNA di sembarang tempat. Sebagai
contoh, enzim restriksi EcoRI hanya akan memotong DNA yang
memiliki sekuen GAATTC, dan pemotongannya pun hanya terjadi antara
posisi basa G dan A, yang disebut sebagai situs pemotongan (cleavage
site). Jadi, di dalam tiap situs pengenalan terdapat satu situs pemotongan.
Nah, berdasarkan pola pemotongan suatu segmen amplikon, kita bisa
menghitung frekuensi alel sekaligus menentukan polimorfisme lokusnya.
Contoh penggunaan marka PCR-RFLP dalam analisis variasi
genetik dapat kita simak berikut ini. Hasil elektroforesis marka PCR-
RFLP pada 30 sampel ikan teri nasi (Stolephorus commersonnii) dari
Kawasan Segara Anakan Cilacap memperlihatkan adanya dua pita,
masing-masing berukuran 214 bp dan 435 bp, seperti yang dapat dilihat
pada Gambar 13.2. Segmen yang diamplifikasi adalah gen penyandi
sitokrom oksidase I (COI), yang kemudian dipotong menggunakan enzim
restriksi VspI. Diperolehnya pola pita yang sama pada semua sampel
tersebut menunjukkan bahwa semua amplikon COI terpotong oleh VspI.
Oleh karena ikan teri nasi merupakan spesies diploid, maka ketiga puluh
sampel tersebut memiliki genotipe homozigot yang sama pada lokus
VspI, atau dengan perkataan lain, kedua alelnya sama-sama terpotong

TEKNIK DASAR MOLEKULER 199


oleh VspI sehingga lokus tersebut dapat dipastikan monomorfik.
Penggunaan beberapa enzim restriksi lainnya ternyata juga menghasilkan
lokus monomorfik pada populasi ikan teri nasi tersebut.

Gambar 13.2. Elektoforegram marka PCR-RFLP pada ikan teri


nasi (Stolephorus commersonnii) di Kawasan Segara
Anakan Cilacap menggunakan segmen sitokrom
oksidase I (COI) yang dipotong dengan enzim
restriksi VspI
M = marka DNA; K+ = kontrol positif
(Sumber: Nuryanto et al., 2019)

Sekuensing DNA
Telah disinggung di atas bahwa terdapat bermacam-macam marka
DNA, dan kita baru menjelaskan dua di antaranya, yaitu PCR-RAPD dan
PCR-RFLP. Selain kedua marka ini ada AFLP (amplified fragment length
polymorphism), SSR (simple sequence repeats), SNP (single nucleotide
polymorphism), dan masih banyak lagi. Namun, dari sekian banyak
teknik molekuler dengan marka DNA, penggunaan data sekuen (urutan
basa nukleotida) DNA adalah yang paling akurat.
Pada dasarnya terdapat dua metode sekuensing DNA, yaitu metode
kimia dari Maxam-Gilbert dan metode enzimatik atau biasa disebut juga
metode chain termination dari Sanger. Di antara kedua metode ini,
metode Sanger lebih banyak digunakan, terutama karena kepraktisannya.
Dewasa ini metode Sanger telah sangat berkembang hingga mendasari

200 GENETIKA
metode sekuensing yang paling mutakhir sekalipun (next generation
sequencing atau NGS).
Prinsip metode Sanger adalah reaksi sintesis DNA yang dihentikan
di beberapa tempat menggunakan molekul yang menyerupai dNTP, yaitu
ddNTP (dideoksi nukleotida trifosfat). Oleh karena itu, selain dikenal
sebagai metode chain-termination, metode Sanger juga sering disebut
sebagai metode dideoksi. Seperti halnya dNTP, ada empat macam
ddNTP, masing-masing ddATP, ddGTP, ddCTP, dan ddTTP. Enzim
DNA polimerase dapat menambahkan molekul ddNTP ke untai DNA
yang sedang disintesis tetapi tidak mampu melanjutkan reaksi tersebut.
Akibatnya, ujung 3„ untai DNA yang dihasilkan akan membawa basa
nukleotida sesuai dengan macam ddNTP yang ditambahkan.
Pada metode Sanger ketika awal ditemukan, diperlukan empat
macam reaksi sintesis DNA, yang masing-masing berisi untai DNA
cetakan (yang akan kita tentukan sekuennya), enzim DNA polimerase
(untuk menyintesis DNA berdasarkan sekuen DNA cetakan), satu
molekul primer oligonukleotida (untuk menyediakan gugus 3„-OH bagi
DNA polimerase), keempat macam dNTP (sebagai sumber basa
nukleotida), dan satu macam ddNTP (sebagai terminator reaksi sintesis).
Pada campuran reaksi yang berisi ddATP, sintesis DNA akan dihentikan
di beberapa tempat yang pada untai DNA cetakannya berupa basa T
(karena T bepasangan dengan A). Dengan demikian, pada campuran
reaksi ini akan dihasilkan beberapa fragmen DNA dengan ukuran yang
berbeda-beda tetapi ujung 3„ nya pasti berupa basa A. Demikian pula,
pada campuran reaksi yang berisi ddGTP, ddCTP, dan ddTTP, masing-
masing akan dihasilkan beberapa fragmen DNA dengan ukuran yang
berbeda-beda tetapi ujung 3„ nya pasti berupa basa G, C, dan T. Dengan
mengurutkan fragmen-fragmen DNA yang dihasilkan dari keempat
campuran reaksi berdasarkan ukurannya, kita akan memperoleh urutan
basa atau sekuen DNA cetakan. Penjelasan lebih rinci mengenai prinsip
metode Sanger dapat dilihat pada Bab XIV.
Pengurutan fragmen-fragmen DNA pada awalnya dilakukan
menggunakan teknik elektroforesis yang dikombinasikan dengan
autoradiografi karena keempat molekul ddNTP diberi label radioaktif.
Namun, metode Sanger dalam kurun waktu yang singkat telah banyak
mengalami automatisasi, antara lain pelabelan tidak lagi menggunakan
zat radiaoaktif tetapi dengan floresensi. Demikian pula, gel elektroforesis
poliakrilamid tidak lagi digunakan dan digantikan dengan matriks kapiler
yang hasil pembacaannya langsung dihubungkan dengan layar monitor.
Dengan demikian, data sekuen DNA tidak lagi dibaca berdasarkan pita-
pita elektroforesis, tetapi berupa kromatogram dengan warna yang
berbeda untuk tiap basa. Selain kemudahan dalam pengerjaannya
tersebut, kemampuan alat sekuensing DNA yang diautomatisasi juga

TEKNIK DASAR MOLEKULER 201


sudah sangat jauh meningkat, yaitu dapat mencapai dua juta basa per hari.
Bahkan, pada NGS dapat dilakukan reaksi sekuensing secara paralel yang
menghasilkan pembacaan ratusan megabasa hingga beberapa gigabasa
nukleotida dalam satu kali pengoperasian alat sekuensing DNA.

DAFTAR PUSTAKA
Griffiths, AJF., Wessler, SR., Carroll, SB. and Doebley, J. 2020.
Introduction to Genetic Analysis. 12th Ed. W. H. Freeman & Co.,
New York.
Hartl, DL. and Clark, AG. 2007. Principles of Population Genetics. 4rd
Ed. Sinauer Associates, Inc. Publ., Sunderland, Massachusetts.
Hartl, DL., Freifelder, D. and Snyder, LA. 1988. Basic Genetics. 1st Ed.
Jones & Bartlett Publ. Inc., Portola Valley, California.
Mayangsari, R., Susanto, AH. dan Yuniaty, A. 2017. Profil RAPD
tanaman kantung semar beberapa koleksi Kebun Raya Baturraden.
Biosfera 34(2): 89 – 97.
Nuryanto, A., Dewi, RE. and Pramono, H. 2019. Genetic homogenity of
Commerson‟s anchovy (Stolephorus commersonnii) in Segara
Anakan Cilacap Central Java inferred from PCR-RFLP markers.
Biogenesis 7(1): 14 – 23.
Pierce, BA. 2012. Genetics: a Conceptual Approach 4th Ed. WH Freeman
& Co., New York.
Susanto, AH. 2011. Genetika. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.
Turner, P., McLennan, A., Bates, A. and White, M. 2007. Instant Notes in
Molecular Biology 3rd Ed. Bios Scientific Publ., Oxford.

SOAL LATIHAN
1. Jika dibandingkan dengan protein, penggunaan DNA sebagai marka
molekuler dalam analisis variasi genetik lebih akurat karena
A. variasi yang tidak terdeteksi pada penggunaan marka protein dapat
terlihat ketika digunakan marka DNA.
B. marka protein menyebabkan terjadinya variasi kontinyu.
C. marka protein sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
D. A dan B benar.
E. A, B, dan C benar.
2. Sumuran elektroforesis untuk memasukkan sampel protein/isozim
ditempatkan di bagian tengah gel karena protein/isozim
A. merupakan molekul DNA yang bermuatan netral.
B. diekspresikan dari molekul protein.
C. dapat bermuatan positif, negatif, atau netral.

202 GENETIKA
D. hanya tervisualisasi dengan jelas di bagian tengah gel.
E. adalah protein yang kandungan asam aminonya seragam.
3. Alel-alel yang mengatur isozim bersifat kodominan sehingga
A. individu homozigot dominan lebih mudah tervisualisasi.
B. individu homozigot dominan dan resesif akan menyatu.
C. individu homozigot resesif dapat diabaikan.
D. pita individu homozigot dominan bermigrasi paling cepat.
E. individu heterozigot dapat dibedakan dari individu homozigot.
4. Pada isozim yang terdiri atas dua subunit (dimer), individu heterozigot
akan menghasilkan pita sebanyak
A. 1.
B. 2.
C. 3.
D. 4.
E. 5.
5. Berikut ini merupakan hal-hal yang terkait dengan teknik PCR-RAPD,
KECUALI
A. memiliki keterulangan (reproducibility) yang rendah
B. merupakan teknik molekuler yang relatif murah dan mudah
pengerjaannya
C. perlu dilakukan beberapa pengulangan agar akurasinya meningkat
D. memerlukan sepasang primer universal
E. primer akan menempel di sembarang tempat di sepanjang genom
6. Jika suatu lokus yang dianalisis berdasarkan marka PCR-RAPD
memperlihatkan adanya pita DNA pada 4 sampel dan tidak adanya
pita pada 16 sampel, maka lokus tersebut bersifat
A. monomorfik
B. polimorfik
C. homozigot
D. heterozigot
E. A dan B benar
7. Prinsip kerja PCR-RFLP untuk analisis variasi genetik adalah
A. enzim restriksi akan memotong setiap molekul DNA.
B. pola pita DNA hasil restriksi berbeda dengan pola pita DNA
nonrestriksi.
C. intensitas warna pita DNA hasil restriksi sangat karakteristik.
D. intensitas warna dan ketebalan pita DNA hasil restriksi sangat
karakteristik.
E. hasil pemotongan oleh enzim restriksi pada DNA berbeda dengan
hasil pemotongannya pada protein.
8. Jika hasil PCR-RFLP pada suatu popualsi mencit memberikan data
individu +/+, +/-, dan -/-, masing-masing sebanyak 3, 9, dan 8, maka
frekuensi genotipe heterozigot adalah

TEKNIK DASAR MOLEKULER 203


A. 0,30.
B. 0,35.
C. 0,40.
D. 0,45.
E. 0,50.
9. Frekuensi alel + pada soal nomor 8 adalah
A. 0,375.
B. 0,425.
C. 0,450.
D. 0,585.
E. 0,625.
10. Molekul yang berperan sebagai terminator pada reaksi sintesis DNA
di dalam metode sekuensing Sanger adalah
A. DNA cetakan.
B. primer oligonukleotida.
C. DNA polimerase.
D. dNTP.
E. ddNTP.

KUNCI JAWABAN
1. A 6. B
2. C 7. B
3. E 8. D
4. C 9. A
5. D 10. E

Jika Anda menjawab soal dengan benar sebanyak


> 8 berarti Anda telah sangat menguasai materi bab ini dan dapat
melanjutkan mempelajari materi bab berikutnya.
6 – 7 berarti Anda telah cukup menguasai materi bab ini, tetapi
sebaiknya mengulang lagi mempelajari bagian yang jawaban
soalnya masih keliru.
< 5 berarti Anda kurang menguasai materi bab ini sehingga perlu
mempelajarinya kembali, terutama di bagian yang jawaban soalnya
masih keliru.

204 GENETIKA
Setelah mempelajari materi pada Bab XIV ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan pengertian dan manfaat rekayasa genetika, tahapan kloning gen,
vektor kloning, dan analisis fragmen DNA, khususnya sekuensing DNA.

P engetahuan tentang mutasi telah banyak diterapkan dalam berbagai


bidang, khususnya pertanian, untuk menciptakan variabilitas yang
tinggi pada suatu spesies organisme. Variabilitas yang tinggi akan
memberikan materi seleksi yang beranekaragam sehingga meningkatkan
peluang untuk mendapatkan genotipe yang diinginkan. Meskipun
demikian, mutasi dengan sifatnya yang acak sebenarnya hanya berperan
sebagai penyedia materi untuk seleksi. Dengan perkataan lain, mutasi
tidak dapat langsung diarahkan kepada perakitan suatu genotipe tertentu.
Demikian pula, perakitan genotipe baru melalui hibridisasi secara
konvensional harus diikuti dengan tahapan seleksi karena rekombinasi
materi genetik dari kedua tetua di dalam individu-individu hasil
persilangan berlangsung acak.

Pengertian dan Manfaat Rekayasa Genetika


Pada tahun 1970-an berkembang suatu teknik yang
memungkinkan diperolehnya suatu genotipe baru yang diinginkan
melalui manipulasi materi genetik yang terarah. Teknik yang dikenal
sebagai rekayasa genetika atau teknologi DNA rekombinan ini
melibatkan upaya perbanyakan gen tertentu di dalam suatu sel yang
bukan sel alaminya sehingga sering pula dikatakan sebagai kloning gen.
Banyak definisi telah diberikan untuk mendeskripsikan pengertian
rekayasa genetika. Salah satu di antaranya, yang mungkin paling
representatif, menyebutkan bahwa rekayasa genetika adalah pembentukan
kombinasi materi genetik yang baru dengan cara penyisipan molekul
DNA ke dalam suatu vektor sehingga memungkinkannya untuk
terintegrasi dan mengalami perbanyakan di dalam suatu sel organisme
lain yang berperan sebagai sel inang.
Rekayasa genetika mempunyai dua segi manfaat. Pertama,
dengan mengisolasi dan mempelajari masing-masing gen akan diperoleh
pengetahuan tentang fungsi dan mekanisme kontrolnya. Kedua, teknik ini

205
memungkinkan diperolehnya produk gen tertentu dalam waktu lebih
cepat dan jumlah lebih besar daripada produksi secara konvensional.

Tahapan Kloning Gen


Pada dasarnya upaya untuk mendapatkan suatu genotipe yang
diinginkan melalui rekayasa genetika melibatkan beberapa tahapan
tertentu. Tahapan-tahapan tersebut adalah isolasi DNA genomik yang
akan diklon, pemotongan molekul DNA menjadi sejumlah fragmen
dengan berbagai ukuran, isolasi DNA vektor, penyisipan fragmen DNA
ke dalam vektor untuk menghasilkan molekul DNA rekombinan,
transformasi sel inang menggunakan molekul DNA rekombinan, reisolasi
molekul DNA rekombinan dari sel inang, dan analisis DNA rekombinan.
Secara skema tahapan-tahapan kloning gen ini dapat dilihat pada Gambar
14.1.

Isolasi DNA
Isolasi DNA diawali dengan perusakan dan atau pembuangan
dinding sel, yang dapat dilakukan baik dengan cara mekanis seperti
sonikasi, tekanan tinggi, beku-leleh maupun dengan cara enzimatis
seperti pemberian lisozim. Langkah berikutnya adalah lisis sel. Bahan-
bahan sel yang relatif lunak dapat dengan mudah diresuspensi di dalam
medium bufer nonosmotik, sedangkan bahan-bahan yang lebih kasar
perlu diperlakukan dengan deterjen yang kuat seperti triton X-100 atau
dengan sodium dodesil sulfat (SDS). Pada eukariot langkah ini harus
disertai dengan perusakan membran nukleus.
Setelah sel mengalami lisis, remukan-remukan sel harus dibuang.
Biasanya pembuangan remukan sel dilakukan dengan sentrifugasi.
Protein yang tersisa dipresipitasi menggunakan fenol atau pelarut organik
seperti kloroform untuk kemudian disentrifugasi dan dihancurkan secara
enzimatis dengan proteinase. DNA yang telah dibersihkan dari protein
dan remukan sel masih tercampur dengan RNA sehingga perlu
ditambahkan RNAse untuk membersihkan DNA dari RNA. Molekul
DNA yang telah diisolasi tersebut kemudian dimurnikan dengan
penambahan amonium asetat dan alkohol atau dengan sentrifugasi
kerapatan menggunakan CsCl.
Teknik isolasi DNA tersebut dapat diaplikasikan, baik untuk
DNA genomik maupun DNA vektor, khususnya plasmid. Untuk memilih
di antara kedua macam molekul DNA ini yang akan diisolasi dapat
digunakan dua pendekatan. Pertama, plasmid pada umumnya berada
dalam struktur tersier yang sangat kuat atau dikatakan mempunyai bentuk
covalently closed circular (CCC), sedangkan DNA kromosom jauh lebih
longgar ikatan kedua untainya dan mempunyai nisbah aksial atau nisbah
panjang terhadap lebar yang sangat tinggi. Perbedaan tersebut

206 GENETIKA
menyebabkan DNA plasmid jauh lebih tahan terhadap denaturasi apabila
dibandingkan dengan DNA kromosom. Oleh karena itu, aplikasi kondisi
denaturasi akan dapat memisahkan DNA plasmid dengan DNA
kromosom.

bakteri sumber gen bakteri pembawa


vektor(plasmid)

isolasi DNA genomik isolasi DNA plasmid


gen yang akan
ekstrak DNA diklon (gen X)
genomik
DNA plasmid

pemotongan menggunakan enzim restriksi

fragmen- fragmen yang


fragmen DNA membawa gen X DNA plasmid
dengan terpotong
berbagai ukuran (linier)
ligasi fragmen-fragmen DNA genomik
dengan DNA plasmid

plasmid ligasi DNA rekombinan DNA rekombinan


sendiri (religasi) tanpa gen X yang membawa gen X

kromosom analisis elektroforesis transformasi sel inang


sel inang

sel inang utuh sel inang dengan sel inang dengan sel inang dengan
(nontransforman) plasmid religasi DNA rekombinan DNA rekombinan
tanpa gen X tanpa gen X dan
dengan gen X

seleksi untuk memilih sel inang


dengan DNA rekombinan yang
membawa gen X

sel inang dengan


DNA rekombinan
yang membawa gen X

reisolasi DNA rekombinan

analisis DNA rekombinan

Gambar 14.1. Skema tahapan kloning gen

DASAR-DASAR REKAYASA GENETIKA 207


Pendekatan kedua didasarkan atas perbedaan daya serap etidium
bromid, zat pewarna DNA yang menyisip atau melakukan interkalasi di
sela-sela basa molekul DNA. DNA plasmid akan menyerap etidium
bromid jauh lebih sedikit daripada jumlah yang diserap oleh DNA
kromosom per satuan panjangnya. Dengan demikian, perlakuan
menggunakan etidium bromid akan menjadikan kerapatan DNA
kromosom lebih tinggi daripada kerapatan DNA plasmid sehingga
keduanya dapat dipisahkan melalui sentrifugasi kerapatan.
Enzim restriksi
Tahap kedua dalam kloning gen adalah pemotongan molekul
DNA, baik genomik maupun plasmid. Perkembangan teknik pemotongan
DNA berawal dari saat ditemukannya sistem restriksi dan modifikasi
DNA pada bakteri E. coli, yang berkaitan dengan infeksi virus atau
bakteriofag lambda (). Virus  digunakan untuk menginfeksi dua strain
E. coli, yakni strain K dan C. Jika  yang telah menginfeksi strain C
diisolasi dari strain tersebut dan kemudian digunakan untuk mereinfeksi
strain C, maka akan diperoleh  progeni (keturunan) yang lebih kurang
sama banyaknya dengan jumlah yang diperoleh dari infeksi pertama.
Dalam hal ini, dikatakan bahwa efficiency of plating (EOP) dari strain C
ke strain C adalah 1. Namun, jika  yang diisolasi dari strain C digunakan
untuk menginfeksi strain K, maka nilai EOP-nya hanya 10-4. Artinya,
hanya ditemukan  progeni sebanyak 1/10.000 kali jumlah yang
diinfeksikan. Sementara itu,  yang diisolasi dari strain K mempunyai
nilai EOP sebesar 1, baik ketika direinfeksikan pada strain K maupun
pada strain C. Hal ini terjadi karena adanya sistem restriksi/modifikasi
(r/m) pada strain K.

208 GENETIKA
E. coli K
isolasi

EOP=10-4 reinfeksi
(EOP=1)
C K
reinfeksi (EOP=1)
isolasi EOP=1

E. coli C

Gambar 14.2. Sistem restriksi/modifikasi pada E. coli


E. coli K mempunyai sistem r/m
E. coli C tidak mempunyai sistem r/m

Pada waktu bakteriofag  yang diisolasi dari strain C


diinfeksikan ke strain K, molekul DNAnya dirusak oleh enzim
endonuklease restriksi yang terdapat di dalam strain K. Di sisi lain, untuk
mencegah agar enzim ini tidak merusak DNAnya sendiri, strain K juga
mempunyai sistem modifikasi yang akan menyebabkan metilasi beberapa
basa pada sejumlah urutan tertentu yang merupakan tempat-tempat
pengenalan (recognition sites) bagi enzim restriksi tersebut.
DNA bakteriofag  yang mampu bertahan dari perusakan oleh
enzim restriksi pada siklus infeksi pertama akan mengalami modifikasi
dan memperoleh kekebalan terhadap enzim restrisksi tersebut. Namun,
kekebalan ini tidak diwariskan dan harus dibuat pada setiap akhir putaran
replikasi DNA. Dengan demikian, bakteriofag  yang diinfeksikan dari
strain K ke strain C dan dikembalikan lagi ke strain K akan menjadi
rentan terhadap enzim restriksi.
Metilasi hanya terjadi pada salah satu di antara kedua untai
molekul DNA. Berlangsungnya metilasi ini demikian cepatnya pada tiap
akhir replikasi hingga molekul DNA baru hasil replikasi tidak akan
sempat terpotong oleh enzim restriksi.
Enzim restriksi dari strain K telah diisolasi dan banyak dipelajari.
Selanjutnya, enzim ini dimasukkan ke dalam suatu kelompok enzim yang
dinamakan enzim restriksi tipe I. Banyak enzim serupa yang ditemukan
kemudian pada berbagai spesies bakteri lainnya.
Pada tahun 1970 T.J. Kelly menemukan enzim pertama yang
kemudian dimasukkan ke dalam kelompok enzim restriksi lainnya, yaitu
enzim restriksi tipe II. Ia mengisolasi enzim tersebut dari bakteri
Haemophilus influenzae strain Rd, dan sejak saat itu ditemukan lebih dari
475 enzim restriksi tipe II dari berbagai spesies dan strain bakteri.

DASAR-DASAR REKAYASA GENETIKA 209


Semuanya sekarang telah menjadi salah satu komponen utama dalam tata
kerja rekayasa genetika.
Enzim restriksi tipe II antara lain mempunyai sifat-sifat umum
yang penting sebagai berikut:
1. mengenali urutan tertentu sepanjang empat hingga tujuh pasang basa
di dalam molekul DNA, yang disebut dengan situs pengenalan
(recognition site).
2. memotong kedua untai molekul DNA di tempat tertentu pada atau di
dekat tempat pengenalannya, yang disebut dengan situs pemotongan
(cleavage site).
3. menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran dan
urutan basa.
Sebagian besar enzim restriksi tipe II akan mengenali dan
memotong urutan pengenal yang mempunyai sumbu simetri rotasi.
Gambar 14.3 memperlihatkan beberapa enzim restriksi beserta tempat
pengenalannya.

Sumber Nama Tempat Pengenalan


C A
Anabaena variabilis Ava I C T C G G G
A C
G G G C T C

*
Escherichia coli strain R EcoR I G A A T T C
C T T A A G
*
*
Haemophilus influenzae strain d Hind III A A G C T T
T T C G A A
*
*
Haemophilus aegyptus Hae III G G C C
C C G G
*

Moraxella bovis Mbo I G A T C


C T A G

Gambar 14.3. Beberapa contoh enzim restriksi


* = tempat metilasi = tempat pemotongan

210 GENETIKA
Pemberian nama kepada enzim restriksi mengikuti aturan sebagai
berikut. Huruf pertama adalah huruf pertama nama genus bakteri sumber
isolasi enzim, sedangkan huruf kedua dan ketiga masing-masing adalah
huruf pertama dan kedua nama petunjuk spesies bakteri sumber tersebut.
Huruf-huruf tambahan, jika ada, berasal dari nama strain bakteri, dan
angka romawi digunakan untuk membedakan enzim yang berbeda tetapi
diisolasi dari spesies yang sama.
Tempat pemotongan pada kedua untai DNA sering kali terpisah
sejauh beberapa pasang basa. Pemotongan DNA dengan tempat
pemotongan semacam ini akan menghasilkan fragmen-fragmen dengan
ujung 5‟ yang runcing karena masing-masing untai tunggalnya menjadi
tidak sama panjang. Dua fragmen DNA dengan ujung yang runcing akan
mudah disambungkan satu sama lain sehingga ujung runcing sering pula
disebut sebagai ujung lengket (sticky end) atau ujung kohesif.
Hal itu berbeda dengan enzim restriksi seperti Hae III, yang
mempunyai tempat pemotongan DNA pada posisi yang sama. Kedua
fragmen hasil pemotongannya akan mempunyai ujung 5‟ yang tumpul
karena masing-masing untai tunggalnya sama panjangnya. Fragmen-
fragmen DNA dengan ujung tumpul (blunt end) akan sulit untuk
disambungkan. Biasanya diperlukan perlakuan tambahan untuk
menyatukan dua fragmen DNA dengan ujung tumpul, misalnya
pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau penambahan enzim
deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal
homopolimerik 3‟.

Ligasi molekul - molekul DNA


Pemotongan DNA genomik dan DNA vektor menggunakan
enzim restriksi harus menghasilkan ujung-ujung potongan yang
kompatibel. Artinya, fragmen-fragmen DNA genomik nantinya harus
dapat disambungkan (diligasi) dengan DNA vektor yang sudah berbentuk
linier.
Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk meligasi fragmen-
fragmen DNA secara in vitro. Pertama, ligasi menggunakan enzim DNA
ligase dari bakteri. Kedua, ligasi menggunakan DNA ligase dari sel-sel E.
coli yang telah diinfeksi dengan bakteriofag T4 atau lazim disebut sebagai
enzim T4 ligase. Jika cara yang pertama hanya dapat digunakan untuk
meligasi ujung-ujung lengket, cara yang kedua dapat digunakan baik
pada ujung lengket maupun pada ujung tumpul. Sementara itu, cara yang
ketiga telah disinggung di atas, yaitu pemberian enzim deoksinukleotidil
transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3‟. Dengan
untai tunggal semacam ini akan diperoleh ujung lengket buatan, yang
selanjutnya dapat diligasi menggunakan DNA ligase.

DASAR-DASAR REKAYASA GENETIKA 211


Suhu optimum bagi aktivitas DNA ligase sebenarnya 37ºC. Akan
tetapi, pada suhu ini ikatan hidrogen yang secara alami terbentuk di
antara ujung-ujung lengket akan menjadi tidak stabil dan kerusakan
akibat panas akan terjadi pada tempat ikatan tersebut. Oleh karena itu,
ligasi biasanya dilakukan pada suhu antara 4 dan 15ºC dengan waktu
inkubasi (reaksi) yang diperpanjang (sering kali hingga semalam).
Pada reaksi ligasi antara fragmen-fragmen DNA genomik dan
DNA vektor, khususnya plasmid, dapat terjadi peristiwa religasi atau
ligasi sendiri sehingga plasmid yang telah dilinierkan dengan enzim
restriksi akan menjadi plasmid sirkuler kembali. Hal ini jelas akan
menurunkan efisiensi ligasi. Untuk meningkatkan efisiensi ligasi dapat
dilakukan beberapa cara, antara lain penggunaan DNA dengan
konsentrasi tinggi (lebih dari 100µg/ml), perlakuan dengan enzim alkalin
fosfatase untuk menghilangkan gugus fosfat dari ujung 5‟ pada molekul
DNA yang telah terpotong, serta pemberian molekul linker, molekul
adaptor, atau penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk
menyintesis untai tunggal homopolimerik 3‟ seperti telah disebutkan di
atas.

Analisis hasil pemotongan dan ligasi DNA


Tahap berikutnya setelah ligasi adalah analisis terhadap hasil
pemotongan DNA genomik dan DNA vektor serta analisis hasil ligasi
molekul-molekul DNA tersebut. Analisis dilakukan menggunakan teknik
elektroforesis. Namun, elektroforesis sendiri bukanlah teknik analisis
semata-mata karena teknik ini dapat juga digunakan untuk keperluan
isolasi dan pemurnian fragmen DNA tertentu.
Prinsip kerja elektroforesis dapat dilihat pada Bab XIII, yang
antara lain menyebutkan bahwa teknik ini digunakan untuk memisahkan
molekul-molekul bermuatan listrik berdasarkan atas ukuran (berat
molekul) dan muatan listriknya. Khusus untuk DNA, pemisahan tidak
didasarkan atas perbedaan muatan listriknya, tetapi menurut ukuran dan
konformasi atau struktur fisik molekulnya. Gel yang biasa digunakan
adalah agarosa dan poliakrilamid. Gel agarosa digunakan untuk
memisahkan sampel DNA dengan ukuran dari beberapa ratus hingga
20.000 pasang basa (pb), sedangkan gel poliakrilamid digunakan untuk
fragmen-fragmen DNA yang lebih kecil.
Molekul DNA bermuatan negatif sehingga di dalam medan listrik
akan bermigrasi melalui matriks gel menuju kutub positif (anode). Makin
besar ukuran molekulnya, makin rendah laju migrasinya. Jika hubungan
antara ukuran molekul dan laju migrasi dipetakan dalam suatu grafik
logaritmik, maka akan diperoleh kurva linier. Oleh karena itu, kita dapat
memperkirakan berat molekul suatu fragmen DNA dengan melihat atau

212 GENETIKA
membandingkan laju migrasinya dengan laju migrasi fragmen-fragmen
molekul DNA strandar (marker) yang telah diketahui ukurannya.
Fragmen-fragmen DNA divisualisasikan di bawah sinar ultraviolet
setelah terlebih dulu direndam di dalam larutan etidium bromid, pewarna
yang akan menyisip atau melakukan interkalasi di sela-sela basa DNA.
Perendaman dilakukan setelah migrasi dianggap cukup untuk dihentikan.
Fragmen DNA akan nampak sebagai pita berwarna merah dengan posisi
migrasi yang sesuai dengan berat molekulnya. Cara ini dapat
memvisualisasikan fragmen DNA hingga sekecil 0,05 µg.
Seperti telah dikatakan di atas bahwa selain karena perbedaan
ukurannya, laju migrasi DNA pada gel elektroforesis juga ditentukan oleh
konformasi molekulnya. DNA dengan bentuk covalently closed circular
(CCC) akan bergerak paling cepat, disusul berikutnya konformasi open
circular (OC), dan yang terakhir linier. Oleh karena perbedaan
konformasi menyebabkan perbedaan laju migrasi, maka penentuan
ukuran suatu fragmen DNA selalu dilakukan pada konformasi linier.

covalently closed circular open circular linier


(CCC) (OC)
Gambar 14.4. Konformasi molekul DNA

DNA genomik, baik yang utuh maupun yang telah dipotong


menggunakan enzim restriksi, perlu divisualisasikan pada gel
elektroforesis. Begitu pula halnya dengan vektor utuh dan vektor yang
telah dilinierkan serta vektor rekombinan hasil ligasi dengan fragmen
DNA genomik. Selain itu, molekul DNA marker yang telah diketahui
ukurannya juga dimigrasikan sebagai standar untuk menentukan ukuran
sampel-sampel DNA yang kita analisis.
DNA genomik utuh pada lajur 2 nampak sebagai pita dengan laju
migrasi paling lambat. Jika dibandingkan dengan marker, akan terlihat
bahwa ukurannya lebih besar dari 21,3 kb. Berikutnya pada lajur 3, DNA
genomik yang telah dipotong menggunakan enzim restriksi tertentu
tervisualisasi sebagai pita melebar (smear). Pita ini merupakan kumpulan
fragmen-fragmen DNA hasil pemotongan tersebut yang sangat bervariasi
ukurannya. Sementara itu, pada lajur 4 dan 5 terlihat jelas perbedaan laju
migrasi antara plasmid utuh yang mempunyai konformasi CCC dan
plasmid linier hasil pemotongan dengan suatu enzim restriksi. Plasmid
linier bergerak lebih lambat daripada plasmid CCC, dan posisi
migrasinya digunakan untuk menentukan ukurannya (sekitar 4,9 kb).

DASAR-DASAR REKAYASA GENETIKA 213


Terakhir pada lajur 6, plasmid rekombinan hasil ligasi dengan fragmen
DNA genomik menunjukkan ukuran yang lebih besar dari 4,9 kb. Hal ini
terlihat dari migrasinya yang lebih lambat daripada plasmid linier tanpa
fragmen sisipan.

123456
sumuran (well) arah migrasi

21,3 kb

7,4 kb
5,8 kb
5,6 kb
4,9 kb

3,5 kb

anode (+)

Gambar 14.5. Contoh hasil elektroforesis fragmen restriksi dan ligasi


1= marker berupa DNA  terpotong EcoRI 5 = plasmid terpotong
2= DNA genomik utuh enzim restriksi
3= DNA terpotong enzim restriksi 6 = plasmid rekombinan
4= plasmid utuh (hasil ligasi)

Transformasi sel inang


Jika visualisasi hasil pemotongan dan ligasi memperlihatkan pola
pita seperti pada Gambar 14.5, campuran reaksi ligasi dimasukkan ke
dalam sel inang agar dapat diperbanyak dengan cepat. Dengan sendirinya,
di dalam campuran reaksi tersebut selain terdapat molekul DNA
rekombinan, juga ada sejumlah fragmen DNA genomik dan DNA
plasmid yang tidak terligasi satu sama lain. Tahap memasukkan
campuran reaksi ligasi ke dalam sel inang ini dinamakan transformasi
karena sel inang diharapkan akan mengalami perubahan sifat tertentu
setelah dimasuki molekul DNA rekombinan.
Teknik transformasi pertama kali dikembangkan pada tahun 1970
oleh M. Mandel dan A. Higa, yang melakukan transformasi bakteri E.
coli. Sebelumnya, transformasi pada beberapa spesies bakteri lainnya
yang mempunyai sistem transformasi alami seperti Bacillus subtilis telah
dapat dilakukan. Kemampuan transformasi B. subtilis pada waktu itu
telah dimanfaatkan untuk mengubah strain-strain auksotrof (tidak dapat

214 GENETIKA
tumbuh pada medium minimal) menjadi prototrof (dapat tumbuh pada
medium minimal) dengan menggunakan preparasi DNA genomik utuh.
Baru beberapa waktu kemudian transformasi dilakukan menggunakan
perantara vektor, yang selanjutnya juga dikembangkan pada transformasi
E.coli.
Hal terpenting yang ditemukan oleh Mandel dan Higa adalah
perlakuan kalsium klorid (CaCl2) yang memungkinkan sel-sel E. coli
untuk mengambil DNA dari bakteriofag . Pada tahun 1972 S.N. Cohen
dan kawan-kawannya menemukan bahwa sel-sel yang diperlakukan
dengan CaCl2 dapat juga mengambil DNA plasmid. Frekuensi
transformasi tertinggi akan diperoleh jika sel bakteri dan DNA dicampur
di dalam larutan CaCl2 pada suhu 0 hingga 5ºC. Perlakuan kejut panas
antara 37 dan 45ºC selama lebih kurang satu menit yang diberikan setelah
pencampuran DNA dengan larutan CaCl2 tersebut dapat meningkatkan
frekuensi transformasi tetapi tidak terlalu esensial. Molekul DNA
berukuran besar lebih rendah efisiensi transformasinya daripada molekul
DNA kecil.
Mekanisme transformasi belum sepenuhnya dapat dijelaskan.
Namun, setidak-tidaknya transformasi melibatkan tahap-tahap berikut ini.
Molekul CaCl2 akan menyebabkan sel-sel bakteri membengkak dan
membentuk sferoplas yang kehilangan protein periplasmiknya sehingga
dinding sel menjadi bocor. DNA yang ditambahkan ke dalam campuran
ini akan membentuk kompleks resisten DNase dengan ion-ion Ca2+ yang
terikat pada permukaan sel. Kompleks ini kemudian diambil oleh sel
selama perlakuan kejut panas diberikan.

Seleksi transforman dan seleksi rekombinan


Oleh karena DNA yang dimasukkan ke dalam sel inang bukan
hanya DNA rekombinan, maka kita harus melakukan seleksi untuk
memilih sel inang transforman yang membawa DNA rekombinan.
Selanjutnya, di antara sel-sel transforman yang membawa DNA
rekombinan masih harus dilakukan seleksi untuk mendapatkan sel yang
DNA rekombinannya membawa fragmen sisipan atau gen yang
diinginkan.
Cara seleksi sel transforman akan diuraikan lebih rinci pada
penjelasan tentang vektor kloning, khususnya plasmid. Pada dasarnya ada
tiga kemungkinan yang dapat terjadi setelah transformasi dilakukan, yaitu
(1) sel inang tidak dimasuki DNA apa pun atau berarti transformasi
gagal, (2) sel inang dimasuki vektor religasi atau berarti ligasi gagal, dan
(3) sel inang dimasuki vektor rekombinan dengan/tanpa fragmen sisipan
atau gen yang diinginkan. Untuk membedakan antara kemungkinan
pertama dan kedua dilihat perubahan sifat yang terjadi pada sel inang.
Jika sel inang memperlihatkan dua sifat marker (penanda) vektor, maka

DASAR-DASAR REKAYASA GENETIKA 215


dapat dipastikan bahwa kemungkinan kedualah yang terjadi. Sebaliknya,
jika sel inang tidak memperlihatkan kedua sifat marker vektor, maka
kemungkinan pertamalah yang terjadi. Selanjutnya, untuk membedakan
antara kemungkinan kedua dan ketiga dilihat pula perubahan sifat yang
terjadi pada sel inang. Jika sel inang hanya memperlihatkan salah satu
sifat di antara kedua marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa
kemungkinan ketigalah yang terjadi.
Seleksi sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan
dilakukan dengan mencari fragmen tersebut menggunakan fragmen
pelacak (probe), yang pembuatannya dilakukan secara in vitro
menggunakan teknik reaksi polimerisasi berantai atau polymerase
chain reaction (PCR). Pelacakan fragmen yang diinginkan antara lain
dapat dilakukan melalui cara yang dinamakan hibridisasi koloni. Koloni-
koloni sel rekombinan ditransfer ke membran nilon, dilisis agar isi selnya
keluar, dibersihkan protein dan remukan sel lainnya hingga tinggal tersisa
DNAnya saja. Selanjutnya, dilakukan fiksasi DNA dan perendaman di
dalam larutan pelacak. Posisi-posisi DNA yang terhibridisasi oleh
fragmen pelacak dicocokkan dengan posisi koloni pada kultur awal
(master plate). Dengan demikian, kita bisa menentukan koloni-koloni sel
rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan.

Vektor Kloning
Di atas telah dikatakan bahwa transformasi sel inang dilakukan
menggunakan perantara vektor. Jadi, vektor adalah molekul DNA yang
berfungsi sebagai wahana atau kendaraan yang akan membawa suatu
fragmen DNA masuk ke dalam sel inang dan memungkinkan terjadinya
replikasi dan ekspresi fragmen DNA asing tersebut. Ada beberapa macam
vektor yang dapat digunakan, khususnya pada sel inang E. coli, yaitu
plasmid, bakteriofag, kosmid, dan fasmid.

Plasmid
Secara umum plasmid dapat didefinisikan sebagai molekul DNA
sirkuler untai ganda di luar kromosom yang dapat melakukan replikasi
sendiri. Plasmid tersebar luas di antara organisme prokariot dengan
ukuran yang bervariasi dari sekitar 1 kb hingga lebih dari 250 kb (1 kb =
1.000 pb).
Agar dapat digunakan sebagai vektor kloning, plasmid harus
memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. mempunyai ukuran relatif kecil bila dibandingkan dengan pori dinding
sel inang sehingga dapat dengan mudah melintasinya,
2. mempunyai sekurang-kurangnya dua gen marker yang dapat
menandai masuk tidaknya plasmid ke dalam sel inang,

216 GENETIKA
3. mempunyai tempat pengenalan restriksi sekurang-kurangnya di dalam
salah satu marker yang dapat digunakan sebagai tempat penyisipan
fragmen DNA, dan
4. mempunyai titik awal replikasi (ori) sehingga dapat melakukan
replikasi di dalam sel inang.
Salah satu contoh plasmid buatan yang banyak digunakan dalam
kloning gen adalah pBR322. Plasmid ini dikonstruksi oleh F. Bolivar dan
kawan-kawanya pada tahun 1977. Urutan basa lengkapnya telah
ditentukan sehingga baik tempat marker maupun pengenalan restriksinya
juga telah diketahui. Sayangnya, tempat pengenalan EcoR I, salah satu
enzim restriksi yang sangat umum digunakan, terletak di luar marker.
Oleh karena salah satu marker akan menjadi tempat penyisipan fragmen
DNA asing, maka EcoR I tidak dapat digunakan untuk memotong
pBR322 di tempat penyisipan tersebut. Namun, saat ini telah dikonstruksi
derivat-derivat pBR322 yang mempunyai tempat pengenalan EcoR I di
dalam marker, misalnya plasmid pBR324 dan pBR325 yang masing-
masing mempunyai tempat pengenalan EcoR I di dalam gen struktural
kolisin dan di dalam gen resisten kloramfenikol.
Misalnya saja kita menyisipkan suatu fragmen DNA pada daerah
marker resisten ampisilin dengan memotong daerah ini menggunakan
enzim restriksi tertentu selain EcoR I (mengapa harus selain EcoR I?).
Plasmid pBR322 yang tersisipi oleh fragmen DNA akan kehilangan sifat
resistensinya terhadap ampisilin, tetapi masih mempunyai sifat resistensi
terhadap tetrasiklin. Oleh karena itu, ketika plasmid pBR322 rekombinan
ini dimasukkan ke dalam sel inangnya, yakni E. coli, bakteri transforman
ini tidak mampu tumbuh pada medium yang mengandung ampisilin,
tetapi tumbuh pada medium tetrasiklin. Secara alami E. coli tidak mampu
tumbuh baik pada medium ampisilin maupun tetrasiklin sehingga sel
transforman dapat dengan mudah dibedakan dengan sel nontransforman
yang tidak mengandung pBR322 sama sekali. Sementara itu, E. coli
transforman yang membawa plasmid pBR322 utuh (religasi) mampu
tumbuh pada kedua medium antibiotik tersebut. Jadi, untuk memperoleh
sel E. coli transforman yang membawa DNA rekombinan dicari koloni
yang hidup di tetrasiklin tetapi mati di ampisilin. Secara teknis pekerjaan
ini dilakukan menggunakan transfer koloni atau replica plating (lihat Bab
X).
Plasmid yang digunakan pada bakteri gram negatif seperti halnya
pBR322 tidak dapat digunakan pada bakteri gram positif. Namun, saat ini
telah tersedia plasmid untuk kloning pada bakteri gram positif, misalnya
pT127 dan pC194, yang dikonstruksi oleh S.D. Erlich pada tahun 1977
dari bakteri Staphylococcus aureus. Demikian juga, telah ditemukan
plasmid untuk kloning pada eukariot, khususnya pada khamir, misalnya

DASAR-DASAR REKAYASA GENETIKA 217


yeast integrating plasmids (YIps), yeast episomal plasmids (YEps), yeast
replicating plasmids (YRps), dan yeast centromere plasmid (YCps).

EcoR I
ampR tetR

4.363 kb

3.147
(ori)

Gambar 14.6. Plasmid pBR322


ampR = marker resisten ampisilin
tetR = marker resisten tetrasiklin

Bakteriofag 
Bakteriofag atau fag  merupakan virus kompleks yang
menginfeksi bakteri E. coli. Berkat pengetahuan yang memadai tentang
fag ini, kita dapat memanfaatkannya sebagai vektor kloning semenjak
masa-masa awal perkembangan rekayasa genetika. DNA  yang diisolasi
dari partikel fag ini mempunyai konformasi linier untai ganda dengan
panjang 48,5 kb. Namun, masing-masing ujung fosfatnya berupa untai
tunggal sepanjang 12 pb yang komplementer satu sama lain sehingga
memungkinkan DNA  untuk berubah konformasinya menjadi sirkuler.
Dalam bentuk sirkuler, tempat bergabungnya kedua untai tunggal
sepanjang 12 pb tersebut dinamakan kos.
Seluruh urutan basa DNA  telah diketahui. Secara alami terdapat
lebih dari satu tempat pengenalan restriksi untuk setiap enzim restriksi
yang biasa digunakan. Oleh karena itu, DNA  tipe alami tidak cocok
untuk digunakan sebagai vektor kloning. Akan tetapi, saat ini telah
banyak dikonstruksi derivat-derivat DNA  yang memenuhi syarat
sebagai vektor kloning. Ada dua macam vektor kloning yang berasal dari
DNA , yaitu
1. vektor insersional, yang dengan mudah dapat disisipi oleh fragmen
DNA asing,

218 GENETIKA
2. vektor substitusi, yang untuk membawa fragmen DNA asing harus
membuang sebagian atau seluruh urutan basanya yang terdapat di
daerah nonesensial dan menggantinya dengan urutan basa fragmen
DNA asing tersebut.
Di antara kedua macam vektor  tersebut, vektor substitusi lebih
banyak digunakan karena kemampuannya untuk membawa fragmen
DNA asing hingga 23 kb. Salah satu contohnya adalah vektor WES, yang
mempunyai mutasi pada tiga gen esensial, yaitu gen W, E, dan S. Vektor
ini hanya dapat digunakan pada sel inang yang dapat menekan mutasi
tersebut.
Cara substitusi fragmen DNA asing pada daerah nonesensial
membutuhkan dua tempat pengenalan restriksi untuk setiap enzim
restriksi. Jika suatu enzim restriksi memotong daerah nonesensial di dua
tempat berbeda, maka segmen DNA  di antara kedua tempat tersebut
akan dibuang untuk selanjutnya digantikan oleh fragmen DNA asing. Jika
pembuangan segmen DNA  tidak diikuti oleh substitusi fragmen DNA
asing, maka akan terjadi religasi vektor DNA  yang kehilangan sebagian
segmen pada daerah nonesensial. Vektor religasi semacam ini tidak akan
mampu bertahan di dalam sel inang. Dengan demikian, ada suatu
mekanisme seleksi automatis yang dapat membedakan antara sel inang
dengan vektor rekombinan dan sel inang dengan vektor religasi.
Bakteriofag  mempunyai dua fase daur hidup, yaitu fase litik dan
fase lisogenik. Pada fase litik, transfeksi sel inang (istilah transformasi
untuk DNA fag) dimulai dengan masuknya DNA  yang berubah
konformasinya menjadi sirkuler dan mengalami replikasi secara
independen atau tidak bergantung kepada kromosom sel inang. Setelah
replikasi menghasilkan sejumlah salinan DNA  sirkuler, masing-masing
DNA ini akan melakukan transkripsi dan translasi membentuk protein
kapsid (kepala). Selanjutnya, tiap DNA akan dikemas dalam kapsid
sehingga dihasilkan partikel  baru yang akan keluar dari sel inang untuk
menginfeksi sel inang lainnya. Sementara itu, pada fase lisogenik DNA 
akan terintegrasi ke dalam kromosom sel inang sehingga replikasinya
bergantung kepada kromosom sel inang. Fase lisogenik tidak
menimbulkan lisis pada sel inang.
Di dalam medium kultur, sel inang yang mengalami lisis akan
membentuk plak (plaque) berupa daerah bening di antara koloni-koloni
sel inang yang tumbuh. Oleh karena itu, seleksi vektor rekombinan dapat
dilakukan dengan melihat terbentuknya plak tersebut.

DASAR-DASAR REKAYASA GENETIKA 219


% total molekul
12 pb 15 38 rekombinasi 70 80 85 95 100
5’ dan integrasi 3’

3’ daerah non esensial daerah sint fungsi lisis 5’


kepala ekor cI DNA lanjut inang 12 pb
a)

kos
12 pb
lisis inang kepala

ekor
fungsi lanjut

daerah
sintesis DNA nonesensial

cI

b)
Gambar 14.7. DNA bakteriofag 
a) konformasi linier (di luar sel inang)
b) konformasi sirkuler (di dalam sel inang)

Bakteriofag M13
Ada jenis bakteriofag lainnya yang dapat menginfeksi E. Coli.
Berbeda dengan  yang mempunyai struktur ikosahedral berekor, fag
jenis kedua ini mempunyai struktur berupa filamen. Contoh yang paling
penting adalah M13, yang mempunyai genom berupa untai tunggal DNA
sirkuler sepanjang 6.408 basa. Infeksinya pada sel inang berlangsung
melalui pili, suatu penonjolan pada permukaan sitoplasma.
Ketika berada di dalam sel inang genom M13 berubah menjadi
untai ganda sirkuler yang dengan cepat akan bereplikasi menghasilkan
sekitar 100 salinan. Salinan-salinan ini membentuk untai tunggal sirkuler
baru yang kemudian bergerak ke permukaan sel inang. Dengan cara
seperti ini DNA M13 akan terselubungi oleh membran dan keluar dari sel
inang menjadi partikel fag yang infektif tanpa menyebabkan lisis. Oleh
karena fag M13 terselubungi dengan cara pembentukan kuncup pada
membran sel inang, maka tidak ada batas ukuran DNA asing yang dapat
disisipkan kepadanya. Inilah salah satu keuntungan penggunaan M13
sebagai vektor kloning bila dibandingkan dengan plasmid dan .

220 GENETIKA
Keuntungan lainnya adalah bahwa M13 dapat digunakan untuk
sekuensing (penentuan urutan basa) DNA dan mutagenesis tapak terarah
(site directed mutagenesis) karena untai tunggal DNA M13 dapat
dijadikan cetakan (templat) di dalam kedua proses tersebut.
Meskipun demikian, M13 hanya mempunyai sedikit sekali daerah
pada DNAnya yang dapat disisipi oleh DNA asing. Di samping itu,
tempat pengenalan restriksinya pun sangat sedikit. Namun, sejumlah
derivat M13 telah dikonstruksi untuk mengatasi masalah tersebut.

Kosmid
Kosmid merupakan vektor yang dikonstruksi dengan
menggabungkan kos dari DNA  dengan plasmid. Kemampuannya untuk
membawa fragmen DNA sepanjang 32 hingga 47 kb menjadikan kosmid
lebih menguntungkan daripada fag  dan plasmid.

Fasmid
Selain kosmid, ada kelompok vektor sintetis yang merupakan
gabungan antara plasmid dan fag . Vektor yang dinamakan fasmid ini
membawa segmen DNA  yang berisi tempat att. Tempat att digunakan
oleh DNA  untuk berintegrasi dengan kromosom sel inang pada fase
lisogenik.

Reaksi Polimerisasi Berantai atau Polymerase Chain Reaction


(PCR)
Fragmen pelacak yang diperlukan dalam seleksi rekombinan
merupakan molekul DNA untai ganda yang urutan basanya harus
komplementer dengan sebagian urutan basa fragmen (gen) yang dilacak.
Di atas telah disebutkan bahwa fragmen pelacak ini dibuat secara in vitro
menggunakan teknik PCR. Namun, teknik PCR tidak hanya digunakan
untuk membuat fragmen pelacak, tetapi secara umum teknik ini
merupakan cara untuk menggandakan urutan basa nukleotida tertentu
secara in vitro.
Penggandaan berlangsung melalui reaksi polimerisasi yang
dilakukan berulang-ulang secara berantai selama beberapa putaran
(siklus). Tiap reaksi polimerisasi membutuhkan komponen-komponen
seperti yang telah dijelaskan pada Bab XIII, yaitu untai DNA yang akan
digunakan sebagai cetakan (templat), molekul oligonukleotida untai
tunggal dengan ujung 3‟-OH bebas yang berfungsi sebagai prekursor
(primer), sumber basa nukleotida berupa empat macam dNTP (dATP,
dGTP, dCTP, dTTP), dan enzim DNA polimerase.
DNA templat adalah DNA untai ganda yang membawa urutan basa
fragmen atau gen yang akan digandakan. Urutan basa ini disebut juga

DASAR-DASAR REKAYASA GENETIKA 221


urutan target (target sequence). Penggandaan urutan target pada
dasarnya merupakan akumulasi hasil polimerisasi molekul primer, yaitu
oligonukleotida untai tunggal yang terdiri atas sekitar 30 basa.
Polimerisasi primer dapat berlangsung karena adanya penambahan basa
demi basa dari dNTP yang dikatalisasi oleh enzim DNA polimerase.
Namun, pada PCR enzim DNA polimerase yang digunakan harus
termostabil karena salah satu tahap reaksinya adalah denaturasi untai
ganda DNA yang membutuhkan suhu sangat tinggi (sekitar 95ºC). Salah
satu enzim DNA polimerase yang umum digunakan adalah Taq DNA
polimerase, yang berasal dari bakteri termofilik Thermus aquaticus.
Tiap putaran reaksi PCR terdiri atas tiga tahap, yaitu denaturasi
templat, penempelan primer, dan polimerisasi primer, yang masing-
masing berlangsung pada suhu lebih kurang 95ºC, 50ºC, dan 70ºC. Pada
tahap denaturasi, pasangan untai DNA templat dipisahkan satu sama lain
sehingga menjadi untai tunggal. Pada tahap selanjutnya, masing-masing
untai tunggal akan ditempeli oleh primer. Jadi, ada dua buah primer yang
masing-masing menempel pada untai tunggal DNA templat. Biasanya,
kedua primer tersebut dinamakan primer maju (forward primer) dan
primer mundur (reverse primer). Setelah menempel pada untai DNA
templat, primer mengalami polimerisasi mulai dari tempat
penempelannya hingga ujung 5‟ DNA templat (ingat polimerisasi DNA
selalu berjalan dari ujung 5’ ke 3’ atau berarti dari ujung 3’ ke 5’ untai
templatnya). Dengan demikian, pada akhir putaran reaksi pertama akan
diperoleh dua pasang untai DNA jika DNA templat awalnya berupa
sepasang untai DNA.
Pasangan-pasangan untai DNA yang diperoleh pada suatu akhir
putaran reaksi akan menjadi templat pada putaran reaksi berikutnya.
Begitu seterusnya hingga pada putaran yang ke n diharapkan akan
diperoleh fragmen DNA pendek sebanyak 2n – 2n. Fragmen DNA pendek
yang dimaksudkan adalah fragmen yang ukurannya sama dengan jarak
antara kedua tempat penempelan primer. Fragmen pendek inilah yang
merupakan urutan target yang memang dikehendaki untuk digandakan
(diamplifikasi).
Bisa kita bayangkan seandainya PCR dilakukan dalam 20 putaran
saja, maka pada akhir reaksi akan diperoleh fragmen urutan target
sebanyak 220 – 2.20 = 1.048576 – 40 = 1.048536 ! Jumlah ini masih
dengan asumsi bahwa DNA templat awalnya hanya satu untai ganda.
Padahal kenyataannya, hampir tidak mungkin DNA templat awal hanya
berupa satu untai ganda. Jika DNA templat awal terdiri atas 20 untai
ganda saja, maka jumlah tadi tinggal dikalikan 20 menjadi 20.970.720,
suatu jumlah yang sangat cukup bila akan digunakan sebagai fragmen
pelacak.

222 GENETIKA
urutan target

3‟ 5‟
5‟ DNA templat awal berupa DNA untai ganda 3‟

denaturasi (+95ºC)

3‟ 5‟

5‟ 3‟
penempelan primer (+ 50ºC)

3‟ 5‟
primer maju 5‟ 3‟
3‟ 5‟ primer mundur
5‟ 3‟

polimerisasi primer (+70ºC)

3‟ 5‟
5‟ 3‟
3‟ 5‟
5‟ 3‟

Gambar 14.8. Putaran pertama PCR

DASAR-DASAR REKAYASA GENETIKA 223


3‟ 5‟
5‟ 3‟
3‟ 5‟
5‟ 3‟
3‟ 5‟
5‟ 3‟
3‟ 5‟
5‟ 3‟

3‟ 5‟
5‟ 3‟
3‟ 5‟
5‟ 3‟

3‟ 5‟ fragmen pendek
5‟ 3‟ yang diinginkan

3‟ 5‟
5‟ 3‟

3‟ 5‟
5‟ 3‟

3‟ 5‟ fragmen pendek
5‟ 3‟ yang diinginkan

3‟ 5‟
5‟ 3‟
3‟ 5‟
5‟ 3‟

Gambar 14.9. Hasil PCR putaran kedua dan ketiga

224 GENETIKA
Analisis Fragmen DNA
Molekul DNA rekombinan yang memperlihatkan hasil positif
dalam reaksi hibridisasi dengan fragmen pelacak sangat diduga sebagai
molekul yang membawa fragmen sisipan atau bahkan gen yang
diinginkan. Namun, hal ini masih memerlukan analisis lebih lanjut untuk
memastikan bahwa fragmen tersebut benar-benar sesuai dengan tujuan
kloning. Analisis dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu analisis
restriksi dan analisis pengurutan basa nukleotida (sekuensing). Di
bawah ini hanya akan diuraikan sekilas tentang analisis sekuensing.
Teknik sekuensing DNA yang pertama dikenal adalah teknik
yang dikembangkan oleh A.M. Maxam dan W. Gilbert pada tahun 1977
atas dasar reaksi pemotongan basa yang spesifik. Dewasa ini metode
sekuensing Maxam-Gilbert sudah sangat jarang digunakan karena ada
metode lain yang jauh lebih praktis, yaitu metode dideoksi atau chain-
terminator yang dikembangkan oleh A. Sanger dan koleganya pada tahun
1977 juga (lihat Bab XIII).
Metode Sanger pada dasarnya memanfaatkan dua sifat salah satu
subunit enzim DNA polimerase yang disebut fragmen klenow. Kedua
sifat tersebut adalah kemampuannya untuk menyintesis DNA dengan
adanya dNTP dan ketidakmampuannya untuk membedakan dNTP dengan
ddNTP. Jika molekul dNTP hanya kehilangan gugus hidroksil (OH) pada
atom C nomor 2 gula pentosa, molekul ddNTP atau dideoksi nukleotida
juga mengalami kehilangan gugus OH pada atom C nomor 3 sehingga
tidak dapat membentuk ikatan fosfodiester. Artinya, jika ddNTP
disambungkan oleh fragmen klenow dengan suatu molekul DNA, maka
polimerisasi lebih lanjut tidak akan terjadi atau mengalami terminasi.
Basa yang terdapat pada ujung molekul DNA ini dengan sendirinya
adalah basa yang dibawa oleh molekul ddNTP.
Dengan dasar pemikiran itu sekuensing DNA menggunakan
metode dideoksi dilakukan pada empat reaksi yang terpisah. Keempat
reaksi ini berisi dNTP sehingga polimerisasi DNA dapat berlangsung.
Namun, pada masing-masing reaksi juga ditambahkan sedikit ddNTP
sehingga kadang-kadang polimerisasi akan terhenti di tempat -tempat
tertentu sesuai dengan ddNTP yang ditambahkan. Jadi, di dalam tiap
reaksi akan dihasilkan sejumlah fragmen DNA yang ukurannya bervariasi
tetapi ujung 3‟nya selalu berakhir dengan basa yang sama. Sebagai
contoh, dalam reaksi yang mengandung ddATP akan diperoleh fragmen-
fragmen DNA dengan berbagai ukuran yang semuanya mempunyai basa
A pada ujung 3‟nya.
Pada Gambar 14.10 diberikan sebuah contoh sekuensing sebuah
fragmen DNA. Tabung ddATP menghasilkan dua fragmen dengan
ukuran tiga dan tujuh basa; tabung ddCTP menghasilkan tiga fragmen
dengan ukuran satu, dua, dan empat basa; tabung ddGTP menghasilkan

DASAR-DASAR REKAYASA GENETIKA 225


dua fragmen dengan ukuran lima dan sembilan basa; tabung ddTTP
menghasilkan dua fragmen dengan ukuran enam dan delapan basa. Di
depan (arah 5‟) tiap fragmen ini sebenarnya terdapat primer, yang
berfungsi sebagai prekursor reaksi polimerisasi sekaligus untuk kontrol
hasil sekuensing karena urutan basa primer telah diketahui.
Untuk melihat ukuran fragmen-fragmen hasil sekuensing tersebut
dilakukan elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid sehingga akan
terjadi perbedaan migrasi sesuai dengan ukurannya masing-masing.
Setelah ukurannya diketahui, dilakukan pengurutan fragmen mulai dari
yang paling pendek hingga yang paling panjang, yaitu fragmen dengan
ujung C (satu basa) hingga fragmen dengan ujung G (sembilan basa).
Dengan demikian, hasil sekuensing yang diperoleh adalah
CCACGTATG. Urutan basa DNA yang dicari adalah urutan yang
komplementer dengan hasil sekuensing ini, yaitu GGTGCATAC.

dNTP
ddATP ddCTP ddGTP ddTTP

A C G T
A C G T
C
a)

A C G T
fragmen
besar
CCACGTATG
CCACGTAT
CCACGTA
primer + CCACGT
CCACG
CCAC
CCA
CC
C fragmen
kecil
b)

Gambar 14.10. Skema sekuensing DNA


a) reaksi polimerisasi dan terminasi
b) elektroforesis untuk melihat ukuran fragmen

226 GENETIKA
DAFTAR PUSTAKA
Griffiths, AJF., Wessler, SR., Carroll, SB. and Doebley, J. 2020.
Introduction to Genetic Analysis. 12th Ed. W. H. Freeman & Co.,
New York.
Hartl, DL., Freifelder, D. and Snyder, LA. 1988. Basic Genetics. 1st Ed.
Jones & Bartlett Publ. Inc., Portola Valley, California.
Susanto, AH. 2011. Genetika. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.
Turner, P., McLennan, A., Bates, A. and White, M. 2007. Instant Notes in
Molecular Biology 3rd Ed. Bios Scientific Publ., Oxford.

SOAL LATIHAN
1. Urutan tahapan kloning gen yang benar adalah
A. isolasi DNA genomik dan DNA vektor – konstruksi DNA
rekombinan – pemotongan DNA genomik dan DNA vektor –
transformasi sel inang – seleksi klon rekombinan – reisolasi DNA
rekombinan dari sel inang – analisis DNA rekombinan.
B. isolasi DNA genomik dan DNA vektor – pemotongan DNA
genomik dan DNA vektor – konstruksi DNA rekombinan –
transformasi sel inang – seleksi klon rekombinan – reisolasi DNA
rekombinan dari sel inang – analisis DNA rekombinan.
C. isolasi DNA genomik dan DNA vektor – pemotongan DNA
genomik dan DNA vektor – transformasi sel inang – konstruksi
DNA rekombinan – seleksi klon rekombinan – reisolasi DNA
rekombinan dari sel inang – analisis DNA rekombinan.
D. isolasi DNA genomik dan DNA vektor – pemotongan DNA
genomik dan DNA vektor – konstruksi DNA rekombinan – seleksi
klon rekombinan – transformasi sel inang – reisolasi DNA
rekombinan dari sel inang – analisis DNA rekombinan.
E. isolasi DNA genomik dan DNA vektor – pemotongan DNA
genomik dan DNA vektor – konstruksi DNA rekombinan –
transformasi sel inang – reisolasi DNA rekombinan dari sel inang –
seleksi klon rekombinan – analisis DNA rekombinan.
2. Enzim restriksi tipe II mempunyai ciri-ciri antara lain
A. mengenali urutan tertentu di sepanjang molekul DNA yang disebut
dengan recognition site.
B. memotong DNA di tempat tertentu yang disebut dengan cleavage
site.
C. selalu menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan ujung lengket
(sticky ends).
D. A dan B benar.
E. A, B, dan C benar.

DASAR-DASAR REKAYASA GENETIKA 227


3. Efisiensi ligasi fragmen DNA genomik dengan DNA plasmid dapat
ditingkatkan dengan beberapa cara, KECUALI
A. penggunaan DNA dengan konsentrasi tinggi (lebih dari 100µg/ml)
B. penambahan enzim alkalin fosfatase.
C. pemberian molekul linker.
D. pemberian molekul adaptor.
E. penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk
menyintesis untai tunggal homopolimerik 5‟.
4. Di antara molekul berikut ini yang memperlihatkan laju migrasi
tercepat pada elektroforesis adalah
A. DNA genomik utuh.
B. DNA genomik yang dipotong menggunakan enzim restriksi.
C. plasmid utuh dalam konfigurasi closed covalently circular.
D. plasmid rekombinan.
E. plasmid linier.
5. Fungsi CaCl2 dalam meningkatkan efisiensi transformasi adalah untuk
A. menjadikan sel inang membengkak
B. membentuk sferoplas yang kehilangan protein periplasmiknya pada
sel inang
C. menyebabkan dinding sel inang bocor.
D. A dan B benar.
E. A, B, dan C benar.
6. Jika penyisipan fragmen DNA genomik dilakukan pada daerah marker
resistensi ampisilin plasmid pBR322, maka koloni sel inang yang
diharapkan membawa plasmid rekombinan tersebut
A. tumbuh di media tetrasiklin tetapi mati di media ampisilin.
B. tumbuh di media ampisilin tetapi mati di media tetrasiklin.
C. tumbuh di media tetrasiklin dan di media ampisilin.
D. mati di media tetrasiklin dan di media ampisilin.
E. mati di semua media yang mengandung antibiotik apa pun.
7. Pada kloning gen menggunakan vektor plasmid pBR322 tidak
dilakukan pemotongan menggunakan enzim EcoRI karena
A. enzim EcoR I memotong pBR322 di luar kedua marker resistensi
antibiotik.
B. enzim EcoR I tidak memiliki situs pengenalan pada plasmid
pBR322.
C. pBR322 hanya dapat dipotong oleh enzim restriksi yang
menghasilkan ujung lengket.
D. pBR322 hanya dapat dipotong oleh enzim restriksi yang
menghasilkan ujung tumpul.
E. pBR322 tidak dapat dipotong oleh enzim restriksi tipe II.

228 GENETIKA
8. Vektor kloning yang genomnya berupa untai tunggal sirkuler tetapi
berubah menjadi untai ganda ketika berada di dalam sel inang adalah
A. plasmid.
B. fasmid.
C. kosmid.
D. M13.
E. bakteriofag λ.
9. Jika tiap siklus PCR berjalan dengan baik, maka pada siklus yang
keempat akan dihasilkan fragmen target sebanyak
A. 4.
B. 8.
C. 16.
D. 32.
E. 64.
10. Molekul yang berperan sebagai terminator pada reaksi sintesis DNA
di dalam metode sekuensing Sanger adalah
A. primer oligonukleotida.
B. dNTP.
C. ddNTP.
D. DNA cetakan.
E. DNA polimerase.

KUNCI JAWABAN
1. B 6. A
2. D 7. A
3. E 8. C
4. C 9. B
5. E 10. E

Jika Anda menjawab soal dengan benar sebanyak


> 8 berarti Anda telah sangat menguasai materi bab ini dan dapat
melanjutkan mempelajari materi bab berikutnya.
6 – 7 berarti Anda telah cukup menguasai materi bab ini, tetapi
sebaiknya mengulang lagi mempelajari bagian yang jawaban
soalnya masih keliru.
< 5 berarti Anda kurang menguasai materi bab ini sehingga perlu
mempelajarinya kembali, terutama di bagian yang jawaban soalnya
masih keliru.

DASAR-DASAR REKAYASA GENETIKA 229


abiogenesis Faham yang menganggap bahwa makhluk hidup berasal
dari benda mati.
adenin Salah satu basa purin pada asam nukleat, yang
berpasangan dengan basa timin.
agen alkilasi Senyawa organik yang dapat memindahkan gugus alkil
ke molekul lain.
akrosentrik Kedudukan sentromir yang mendekati ujung suatu
kromosom, yang menyebabkan kedua lengan kromosom
sangat berbeda panjangnya.
albino Cacat bawaan berupa ketiadaan pigmen melanin di mata,
kulit, dan rambut pada hewan atau ketiadaan klorofil
pada tumbuhan.
alel Salah satu dari serangkaian bentuk alternatif gen
tertentu.
alkaptonuria Gangguan metabolisme bawaan akibat suatu gen resesif
yang menyebabkan ketidakmampuan untuk memecah
tirosin sehingga terjadi ekskresi asam homogentisat
(alkapton) di dalam urin.
aminoasil-tRNA Molekul tRNA yang membawa asam amino tertentu.
antikodon Tiga basa pada molekul tRNA yang komplementer
dengan tiga basa kodon tertentu pada mRNA.
antiparalel Istilah untuk menjelaskan orientasi kimia kedua untai
asam nukleat, khususnya DNA untai ganda, yang sejajar
tetapi berlawanan arah.
asam nukleat Molekul asam yang merupakan salah satu makromolekul
hayati penting terutama karena membawa informasi
genetik, tersusun dari gugus fosfat, gula pentosa, dan
basa organik.
auksotrof Mikroorganisme mutan yang tidak mampu menyintesis
senyawa yang diperlukan untuk pertumbuhannya, tetapi
mampu tumbuh apabila senyawa tersebut diberikan.
autosom Kromosom yang tidak dapat digunakan untuk
membedakan jenis kelamin individu.
bakteriofag Virus yang inangnya berupa sel bakteri, lazim disebut
juga dengan fag.

231
basa analog Suatu purin atau pirimidin yang secara kimia
menyerupai basa nukleotida normal sehingga dapat
bergabung dengan molekul DNA.
basa nitrogen Basa organik yang merupakan komponen asam nukleat,
disebut juga dengan basa nukleotida, terdiri atas purin
dan pirimidin.
berangkai Kecenderungan gen-gen nonalelik yang terdapat pada
satu kromosom untuk selalu berada bersama-sama ketika
terjadi pembentukan gamet selama meiosis.
biad Perpasangan dua kromatid kembar hasil penggandaan
kromosom maternal atau paternal, terlihat pada metafase
mitosis.
bromourasil Basa analog yang menyerupai timin karena hanya
berbeda pada posisi gugus metil yang diganti dengan
atom bromium, dalam bentuk keto dapat berikatan
dengan adenin sehingga menyebabkan mutasi subsitusi.
Chi-square test Metode statistika yang lazim digunakan dalam genetika
untuk menentukan kesesuaian data hasil percobaan
dengan harapan teoretis.
coupling phase Kondisi pada pewarisan dua gen berangkai yang
menyebabkan individu heterozigot menerima dua gen
dominan dari salah satu tetua dan dua gen resesif dari
tetua lainnya, disebut juga dengan konfigurasi sis.
daya waris Proporsi atau persentase kontribusi faktor genetik
terhadap pemunculan suatu fenotipe, yang dapat
dimodifikasi melalui seleksi
degenerate Sifat kode genetik yang menunjukkan bahwa satu asam
amino dapat disandi oleh lebih dari satu triplet kodon.
deoksinukleosida Molekul yang memberikan basa nukleotida dalam
trifosfat sintesis DNA dengan melepaskan pirofosfat anorganik.
diagram Punnet Diagram berbentuk papan catur untuk mengetahui hasil
persilangan antara dua genotipe.
diferensial seleksi Selisih antara nilai rata-rata populasi individu terseleksi
dan nilai rata-rata populasi awal
dihibrid Individu heterozigot untuk dua pasang alel, misalnya
AaBb; persilangan antara individu-individu dengan alel
yang berbeda untuk dua lokus, misalnya AABB x aabb.
diploid Sel atau organisme dengan dua perangkat genom.
DNA Makromolekul hayati, biasanya berupa dua rantai
polinukleotida dalam bentuk tangga berpilin, yang

232 GENETIKA
membawa informasi genetik pada sebagian besar
organisme.
DNA girase Enzim yang selama replikasi DNA berfungsi untuk
melonggarkan pilinan molekul DNA.
DNA ligase Enzim yang mengatalisis pembentukan ikatan kovalen
antara ujung 5‟- P dan ujung 3‟- OH yang berdekatan
pada suatu rantai polinukleotida yang terputus.
DNA polimerase Enzim yang mengatalisis sintesis DNA dari
deoksinukleosida trifosfat dengan pengarahan oleh untai
DNA cetakan.
dogma sentral Prinsip dasar pada genetika molekuler yang
genetika molekuler menyebutkan bahwa DNA dapat bereplikasi
menghasilkan lebih banyak DNA, DNA dapat
ditranskripsi menjadi RNA untuk selanjutnya ditranslasi
menjadi protein.
dominan Menutupi ekspresi alel pasangannya pada individu
heterozigot.
eksisi Pembuangan fragmen DNA dari kromosom.
eksonuklease Enzim yang membuang nukleotida pada ujung rantai
polinukleotida dengan memotong ikatan fosfodiester
terminal.
endonuklease Enzim yang memotong ikatan fosfodiester di dalam
molekul asam nukleat.
epistasis Penutupan ekspresi gen oleh gen lain yang bukan
alelnya.
etil metan sulfonat Mutagen kimia yang memberikan gugus etil (C2H5) atau
sejenisnya kepada basa DNA, khususnya pada eukariot.
eukariot Sel atau organisme yang tersusun dari sel-sel dengan
nukleus sejati (nukleus yang dibatasi oleh membran).
fag Virus yang inangnya berupa sel bakteri; sering disebut
juga dengan bakteriofag.
faktor elongasi Protein-protein tertentu yang berfungsi dalam
pemanjangan molekul protein
faktor inisiasi Protein-protein tertentu yang berfungsi dalam inisiasi
sintesis protein.
faktor pelepas Protein-protein tertentu yang berfungsi melepaskan
mRNA, tRNA, dan rantai polipeptida dari ribosom
sehingga sintesis protein berakhir.
fenotipe Ekspresi gen yang langsung dapat diamati sebagai suatu
sifat pada suatu individu.

DAFTAR ISTILAH 233


fertilisasi Pembentukan individu baru sebagai hasil penggabungan
antara gamet jantan dan gamet betina.
filial Generasi keturunan hasil persilangan.
foto reaktivasi Pembuangan pirimidin dimer dari molekul DNA oleh
enzim yang aktivitasnya memerlukan sinar tampak.
fragmen Okazaki Rantai DNA pendek yang dihasilkan selama sintesis
terputus-putus pada untai tertinggal (lagging strand).
frekuensi alel Proporsi atau persentase alel tertentu pada suatu lokus.
frekuensi genotipe Proporsi atau persentase individu di dalam suatu
populasi yang tergolong ke dalam genotipe tertentu.
fungsi Aktivitas DNA polimerase untuk membuang nukleotida
penyuntingan –nukleotida yang salah bergabung dalam rantai DNA
yang sedang disintesis.
galur murni Individu dengan genotipe homozigot
gamet Sel reproduktif matang, misalnya sperma atau ovum
pada hewan (disebut juga sel kelamin).
gen Satuan herediter yang terdapat di dalam suatu lokus pada
kromosom, membawa informasi genetik dalam bentuk
urutan nukleotida tertentu, dan dapat bermutasi ke dalam
berbagai bentuk.
gen berangkai Gen-gen nonalelik yang terdapat di dalam satu
kromosom sehingga cenderung untuk selalu bersama-
sama ketika terjadi pembentukan gamet selama meiosis.
gen duplikat Salah satu fenomena epistasis yang ditandai dengan
dengan efek pemunculan fenotipe sesuai dengan banyaknya gen
kumulatif dominan yang ada, misalnya bentuk buah cakram pada
waluh disebabkan oleh dua gen dominan (B dan L),
bentuk bulat disebabkan oleh satu gen dominan (B atau
L), dan bentuk lonjong disebabkan oleh ketiadaan gen
dominan.
gen letal Gen yang dapat menyebabkan kematian pada individu
homozigot.
gen regulator Gen yang mengatur laju sintesis produk yang dihasilkan
oleh gen lainnya.
gen struktural Gen yang menyandi urutan asam amino suatu rantai
polipeptida.
genom Kumpulan semua gen yang dimiliki oleh suatu spesies;
pada manusia genom tersebar dalam 23 buah kromosom
yang berbeda.

234 GENETIKA
genotipe Susunan gen pada suatu individu yang mendasari
pemunculan sifat tertentu.
guanin Salah satu basa purin pada asam nukleat, yang
berpasangan dengan basa sitosin.
gula pentosa Gula dengan lima atom C, yang salah satu jenisnya
(ribosa) merupakan komponen utama asam nukleat.
haploid Sel atau organisme yang hanya mempunyai seperangkat
genom.
heterosis Fenomena keunggulan yang diperlihatkan oleh individu
hibrid atas kedua tetuanya yang masing-masing
merupakan galur murni, disebut juga vigor hibrida.
heterozigositas Proporsi atau persentase heterozigot di dalam suatu
populasi.
heterozigot Individu diploid atau poliploid yang mempunyai alel-
alel berbeda pada satu lokus atau lebih.
hibrid Individu hasil persilangan dua tetua dengan genotipe
yang berbeda.
hibridisasi sel Percampuran (fusi) antara dua sel somatis, misalnya fusi
somatis in vitro antara sel somatis mencit dan sel somatis
manusia dalam upaya untuk memetakan kromosom
manusia.
homozigot Individu diploid atau poliploid yang mempunyai alel-
alel sama pada satu lokus atau lebih.
hukum Hukum yang menyatakan bahwa frekuensi alel akan
keseimbangan selalu konstan dari generasi ke generasi asalkan tidak
Hardy – Weinberg terjadi migrasi, mutasi, seleksi, dan kawin tak acak (non
random mating).
hukum Mendel I Hukum yang menyatakan bahwa pada waktu terjadi
pembentukan gamet, tiap pasang gen akan disegregasi
ke dalam masing-masing gamet yang terbentuk (disebut
juga dengan hukum segregasi).
hukum Mendel II Hukum yang menyebutkan bahwa segregasi suatu
pasangan gen tidak bergantung kepada segregasi
pasangan gen lainnya sehingga di dalam gamet-gamet
yang terbentuk akan terjadi pemilihan kombinasi gen-
gen secara bebas (disebut juga dengan hukum pemilihan
bebas).
ikatan fosfodiester Pada asam nukleat berupa ikatan kovelen antara gugus
fosfat dan gugus hidroksil pada dua nukleotida yang
berdekatan.

DAFTAR ISTILAH 235


ikatan hidrogen Ikatan nonkovalen yang lemah, terjadi karena satu atom
hidrogen digunakan bersama oleh dua atom.
induksi Ekspresi gen-gen tertentu yang terjadi karena adanya
suatu molekul pemicu.
induser Molekul yang memungkinkan terjadinya ekspresi gen-
gen tertentu untuk menghasilkan suatu produk, misalnya
enzim.
interaksi gen kerjasama antara gen-gen nonalelik dalam memunculkan
suatu fenotipe.
keanekaragaman Keanekaragaman hayati dalam suatu populasi yang
genetik disebabkan oleh perbedaan genotipe di antara individu-
individu anggota populasi tersebut.
kode genetik Seperangkat triplet basa nukleotida yang menyandi asam
amino tertentu.
kodon awal Kodon pada mRNA yang mengawali sintesis suatu
polipeptida, biasanya berupa AUG.
kodon stop Kodon pada mRNA yang mengakhiri sintesis suatu
polipeptida, biasanya berupa UAA, UAG, atau UGA.
koefisien Nilai yang menggambarkan peluang bahwa suatu
interferensi peristiwa pindah silang akan menghambat terjadinya
pindah silang yang lain.
koefisien Nilai yang menggambarkan peluang bahwa suatu
koinsidensi peristiwa pindah silang akan menyebabkan terjadinya
pindah silang yang lain.
koefisien seleksi Proporsi pengurangan kontribusi genetik suatu genotipe
bila dibandingkan dengan kontribusi genetik genotipe
baku di dalam suatu populasi.
korepresor Molekul yang akan membentuk kompleks dengan
represor untuk memasuki daerah operator pada operon
sehingga transkripsi gen-gen struktural tidak dapat
berlangsung.
kotak Pribnow Urutan basa pada promoter prokariot yang menjadi
tempat pengikatan RNA polimerase pada tahap inisiasi
transkripsi.
kotak TATA Urutan basa pada promoter eukariot yang menjadi
tempat pengikatan RNA polimerase pada tahap inisiasi
transkripsi; disebut juga kotak Hogness atau kotak
Goldberg-Hogness.
kromatid Salah satu subunit struktur hasil replikasi kromosom
yang bergabung dengan struktur kembarnya pada
sentromir.

236 GENETIKA
kromatin Kumpulan DNA dan histon yang menyusun kromosom
eukariot.
kromosom Struktur linier pada eukariot yang terdiri atas molekul
DNA dengan sejumlah protein yang terikat padanya,
mempunyai telomir dan sentromir; pada prokariot
berbentuk sirkuler dengan lebih sedikit protein serta
tidak mempunyai telomir dan sentromir; pada virus
tertentu berupa RNA linier atau sirkuler, biasanya tanpa
protein.
kromosom homolog Kromosom-kromosom dengan struktur dan lokus-lokus
genetik yang sama dan akan berpasangan selama
meiosis.
kromosom kelamin Kromosom yang dapat digunakan untuk membedakan
jenis kelamin.
lisogenik Fase daur repoduksi bakteriofag yang ditandai oleh
terjadinya integrasi materi genetik bakteriofag ke dalam
kromosom sel inang dan tidak dihasilkannya partikel
bakteriofag progeni sehingga sel inang tetap hidup.
litik Fase daur repoduksi bakteriofag yang ditandai oleh
dihasilkannya partikel bakteriofag progeni sehingga
suatu ketika sel inang akan mengalami lisis.
lokus Tempat keberadaan gen tertentu di dalam kromosom.
lungkang gen Kumpulan informasi genetik di dalam suatu populasi
spesies organisme yang berproduksi secara seksual.
medium selektif Medium yang hanya memungkinkan pertumbuhan
mikroorgansime tertentu.
meiosis Pembelahan sel somatis khusus untuk menghasilkan
gamet yang ditandai dengan terjadinya dua kali
pembelahan nukleus berturut-turut setelah kromosom
mengalami replikasi sehingga dari sebuah sel diploid
akan diperoleh empat buah sel yang masing-masing
haploid.
metasentrik Kedudukan sentromir di tengah kromosom, yang
menyebabkan kedua lengan kromosom lebih kurang
sama panjangnya.
metionil tRNA Molekul tRNA yang membawa metionin.
migrasi Perpindahan individu antarpopulasi; Gerakan molekul
pada elektroforesis.
mitosis Pembelahan sel somatis untuk menghasilkan sel somatis
anakan yang ditandai dengan terjadinya suatu
pembelahan nukleus setelah kromosom mengalami

DAFTAR ISTILAH 237


replikasi sehingga dari sebuah sel diploid akan diperoleh
dua buah sel yang masing-masing diploid juga.
monohibrid Individu heterozigot untuk sepasang alel, misalnya Aa;
persilangan antara individu-individu dengan alel yang
berbeda untuk satu lokus, misalnya AA x aa.
monomorfik Keadaan suatu lokus dengan alel yang paling umum
dijumpai mencapai frekuensi lebih dari 0,95 sehingga
lokus tersebut seakan-akan hanya mempunyai sebuah
alel.
mutagen Agen yang dapat meningkatkan laju mutasi.
mutan Alel yang berbeda dengan tipe normalnya; Individu
dengan fenotipe hasil ekspresi alel semacam itu.
mutan nutrisional Mutan bakteri yang tidak dapat menyintesis nutrien-
nutrien esensial sehingga tidak mampu tumbuh kecuali
dengan pemberian nutrien yang diperlukan ke dalam
medium pertumbuhannya.
mutan resistensi Mutan bakteri yang mampu tumbuh pada medium
antibiotik dengan antibiotik tertentu.
mutan sumber Mutan bakteri yang tidak dapat menggunakan zat-zat
karbon tertentu sebagai sumber karbon atau energi.
mutasi Perubahan pada gen yang diwariskan.
mutasi germinal Mutasi yang terjadi pada sel-sel germinal atau sel-sel
penghasil gamet.
mutasi rangka baca Mutasi yang terjadi karena perubahan rangka baca
(reading frame).
mutasi salah makna Mutasi yang terjadi apabila substitusi basa menyebabkan
substitusi asam amino, misalnya pada kasus hemoglobin
penderita anemia bulan sabit.
mutasi somatis Mutasi yang terjadi pada sel-sel selain sel germinal,
dapat menyebabkan terbentuknya khimera atau individu
dengan jaringan normal dan jaringan yang terdiri atas
sel-sel mutan.
mutasi substitusi Mutasi titik yang disebabkan oleh substitusi basa pada
basa posisi tertentu.
mutasi tanpa Mutasi yang terjadi apabila substitusi basa menghasilkan
makna kodon stop, misalnya UAU (tirosin) menjadi UAG
(stop).
mutasi tautomerik Mutasi substitusi basa, dapat berupa transisi atau
transversi.

238 GENETIKA
mutasi tenang Mutasi basa pada DNA yang tidak menyebabkan
substitusi asam amino atau tidak memberikan pengaruh
fenotipik.
mutasi titik Mutasi yang terjadi pada sebuah atau sepasang basa
pada DNA.
nuklein Zat kimia yang banyak mengandung fosfor, dijumpai di
dalam nukleus, selanjutnya dikenal sebagai asam
nukleat.
nukleosida Basa purin atau pirimidin yang secara kovalen terikat
pada molekul gula.
nukleotida Nukleosida yang berikatan dengan gugus fosfat.
operator Daerah regulator pada DNA yang berinteraksi dengan
protein represor tertentu dalam mengatur transkripsi
gen-gen struktural di dekatnya.
operon Sekumpulan gen-gen yang ekspresinya diatur oleh suatu
operator dan represor.
ORF urutan triplet kodon yang dapat dibaca pada suatu urutan
DNA atau mRNA.
organel otonom organel yang mempunyai materi genetik sendiri, yaitu
nukleus, mitokondria, dan kloroplas (pada tumbuhan).
ovarium organ penghasil ovum.
ovum sel kelamin (gamet) yang dihasilkan oleh individu
betina.
palindrom Segmen DNA yang urutan basanya sama pada kedua
untai komplementer apabila dibaca dari titik pusat
simetri, biasanya merupakan urutan pengenalan suatu
enzim restriksi.
parental Generasi tetua (induk) pada suatu persilangan.
penanda seleksi Penanda genetik yang dapat digunakan untuk seleksi
suatu mutan bakteri.
pengaruh maternal Fenomena yang ditandai oleh adanya pengaruh genotipe
tetua betina terhadap fenotipe keturunan akibat adanya
suatu materi di dalam sitoplasma ovum.
penyatuan RNA Pemotongan intron dan penggabungan ekson.
peptidil transferase Enzim di dalam ribosom yang bertanggung jawab dalam
ikatan peptida.
perbaikan salah Pembuangan suatu nukleotida dari suatu pasangan yang
pasangan tidak dapat membentuk ikatan hidrogen, diikuti oleh
penggantian dengan nukleotida lain yang dapat
membentuk ikatan hidrogen.

DAFTAR ISTILAH 239


perkawinan Perkawinan di antara individu-individu dengan
asortatif kecenderungan fenotipe tertentu; pada perkawinan
asortatif positif fenotipe individu cenderung sama,
sedangkan pada perkawinan asortatif negatif fenotipe
individu cenderung berbeda.
peta kromosom Peta yang menggambarkan kedudukan gen-gen di dalam
suatu kromosom, yang meliputi urutan dan jaraknya satu
sama lain.
pewarisan Pewarisan sifat yang diatur oleh faktor-faktor di luar
ekstrakromosomal nukleus; disebut juga pewarisan sitoplasmik.
pewarisan maternal Pewarisan ekstrakromosomal yang dikontribusi oleh
gamet betina.
pindah silang Pertukaran materi genetik di antara kromatid dari
kromosom maternal dan kromatid dari kromosom
paternal, menghasilkan rekombinasi gen-gen berangkai.
pindah silang ganda Pindah silang yang seketika terjadi pada dua tempat
berbeda.
pirimidin Basa nukleotida yang strukturnya berupa cincin tunggal
(monosiklik); pada DNA berupa sitosin atau timin,
sedangkan pada RNA berupa sitosin atau urasil.
pita antisens Untai DNA yang urutan basanya sama dengan urutan
basa mRNA.
pita sens Untai DNA yang urutan basanya komplementer dengan
urutan basa mRNA.
poligenik Pengaturan suatu sifat oleh sejumlah gen non alelik
secara kumulatif.
polihibrid Individu heterozigot untuk beberapa pasang alel,
misalnya AaBbCcDdEe (pentahibrid); persilangan antara
individu-individu dengan alel yang berbeda untuk
beberapa lokus, misalnya AABBCCDDEE x
aabbccddee.
polimorfik Keadaan suatu lokus dengan alel yang paling umum
dijumpai tidak mencapai frekuensi 0,95 sehingga lokus
tersebut mempunyai dua buah alel atau lebih.
polinukleotida Molekul yang terdiri atas sejumlah nukleotida yang satu
sama lain dihubungkan oleh ikatan fosfodiester; DNA
dan RNA merupakan polinukleotida.
populasi Mendelian Sekelompok individu suatu spesies yang bereproduksi
secara seksual, hidup di tempat tertentu pada saat yang
sama, dan di antara mereka terjadi perkawinan
(interbreeding).

240 GENETIKA
plak Daerah bening pada medium padat pertumbuhan bakteri
yang disebabkan oleh terjadinya lisis sel bakteri akibat
infeksi bakteriofag.
proflavin Molekul yang dapat menyisip di sela-sela pasangan basa
nitrogen sehingga kesalahan replikasi DNA dapat terjadi
sewaktu-waktu, menghasilkan DNA yang kelebihan atau
kekurangan satu pasangan basa.
prokariot Sel atau organisme yang tersusun dari sel-sel tanpa
nukleus sejati.
promoter Urutan DNA tertentu yang merupakan tempat
pengikatan RNA polimerase dan dimulainya transkripsi.
prosesing RNA Perubahan transkrip primer menjadi mRNA, tRNA, atau
rRNA.
protein rho Protein khusus yang dapat menyebabkan terjadinya
terminasi transkripsi.
purin Basa nukleotida yang strukturnya berupa cincin ganda
(bisiklik); pada DNA dan RNA berupa adenin atau
guanin.
radiasi pengion Radiasi elektromagnetik yang menghasilkan pasangan-
pasangan ion ketika menyebarkan energinya di dalam
suatu materi.
ragam Nilai statistik yang menggambarkan besarnya sebaran
suatu karakter.
ragam aditif Ragam genetik yang ditimbulkan oleh aksi aditif
sejumlah gen dalam memunculkan suatu sifat.
ragam dominan Ragam genetik yang ditimbulkan oleh pengaruh
dominan alel-alel yang memunculkan suatu sifat.
ragam fenotipe Ragam yang langsung dapat diamati di antara individu-
individu di dalam suatu populasi, merupakan gabungan
antara ragam genetik dan ragam lingkungan; disebut
juga ragam total.
ragam genetik Ragam yang ditimbulkan oleh perbedaan genetik di
antara individu.
ragam lingkungan Ragam yang ditimbulkan oleh perbedaan pengaruh
lingkungan di antara individu.
redundancy Sifat triplet kodon yang menunjukkan bahwa suatu asam
amino dapat disandi oleh lebih dari satu triplet kodon;
disebut juga degeneracy.
rekombinasi Mekanisme perbaikan kerusakan DNA yang terjadi
dengan cara penutupan celah di dekat posisi dimer

DAFTAR ISTILAH 241


pascareplikasi menggunakan segmen yang sesuai.
rekonstitusi Pemisahan selubung protein dari RNA suatu strain virus,
diikuti dengan penempelan selubung protein tersebut
pada RNA strain virus lainnya.
replikasi DNA Penggandaan molekul DNA untuk melaksanakan fungsi
genotipiknya sebagai materi genetik.
represi Terhalangnya ekspresi gen-gen tertentu karena adanya
suatu molekul represor.
represor Molekul protein yang secara spesifik mengikat urutan
regulator di dekat gen struktural sehingga menghalangi
transkripsi gen tersebut.
repulsion phase Kondisi pada pewarisan dua gen berangkai yang
menyebabkan individu heterozigot menerima satu gen
dominan dan satu gen resesif dari salah satu tetua serta
satu gen dominan dan satu gen resesif dari tetua lainnya,
disebut juga dengan konfigurasi trans.
resesif Ekspresinya ditutupi oleh alel pasangannya pada
individu heterozigot.
RNA Makromolekul hayati, biasanya berupa rantai
polinukleotida tunggal, membawa informasi genetik
pada virus tertentu.
RNA duta RNA yang membawa urutan triplet kodon yang akan
ditranslasi menjadi urutan asam amino; dalam Bahasa
Inggris dinamakan messenger RNA (mRNA).
RNA pemindah RNA yang membawa asam amino tertentu untuk
dirangkai dengan asam-asam amino lainnya di dalam
ribosom menjadi polipeptida/protein; dalam Bahasa
Inggris dinamakan transfer RNA (tRNA).
RNA polisistronik Molekul mRNA pada prokariot yang membawa
sejumlah urutan penyandi bagi beberapa polipeptida
yang berbeda.
RNA tersembunyi Molekul mRNA yang menantikan datangnya sinyal
tertentu untuk translasi.
RNA ribosomal RNA yang merupakan komponen struktur ribosom.
satuan Svedberg Ukuran ribosom yang dinyatakan atas dasar laju
pengendapannya selama sentrifugasi.
segregasi Pemisahan gen-gen yang berpasangan ke dalam gamet-
gamet yang terbentuk.
seleksi Perbedaan kemampuan genotipe untuk dapat bertahan
hidup dan bereproduksi (dalam evolusi); Pemilihan

242 GENETIKA
individu dengan fenotipe tertentu untuk dijadikan tetua
bagi generasi berikutnya (dalam pemuliaan); Prosedur
yang hanya memungkinkan tipe sel tertentu untuk
tumbuh (dalam studi mutasi).
sel kelamin Sel reproduktif matang, misalnya sperma atau ovum
pada hewan (disebut juga gamet).
sel kompeten Sel yang telah siap untuk ditransformasi menggunakan
materi genetik asing.
sel somatis Semua sel selain sel kelamin pada organisme
multiseluler.
sentrifugasi Sentrifugasi molekul-molekul hingga masing-masing
seimbang dalam menempati posisi yang sesuai dengan kerapatannya.
tingkat kerapatan
sentromir Daerah pada kromosom yang berikatan dengan benang
spindel dan terlibat dalam pergerakan kromosom selama
mitosis dan meiosis.
sentrosom Daerah tertentu di sitoplasma tempat asal keluarnya
mikrotubul, yang ketika menjelang metafase mengalami
pembelahan menjadi dua.
sifat ambang Sifat kuantitatif yang hanya mempunyai dua atau
beberapa kelas fenotipe, tetapi pewarisannya ditentukan
oleh banyak gen dan dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, misalnya ketahanan suatu spesies tanaman
terhadap penyakit tertentu.
sifat kontinyu Sifat yang bervariasi secara kontinyu di antara kedua
ekstrim tanpa ada pemisahan yang tegas dari satu
fenotipe ke fenotipe berikutnya, misalnya laju tumbuh
tanaman.
sifat kualitatif Sifat individu yang memperlihatkan batas yang tegas di
antara kelas-kelas fenotipe.
sifat kuantitatif Sifat individu yang tidak memperlihatkan batas yang
tegas di antara kelas-kelas fenotipe.
sifat meristik Sifat kuantitatif yang fenotipenya ditentukan melalui
penghitungan, misalnya jumlah biji per polong.
silang balik Persilangan antara suatu individu dan salah satu
tetuanya.
silang dalam Persilangan antara individu -individu dengan
kekerabatan genetik yang dekat.
silang ganda Persilangan antara dua hibrid.

DAFTAR ISTILAH 243


silang luar Persilangan antara individu-individu yang tidak
memiliki kekerabatan genetik.
silang tiga arah Persilangan antara suatu hibrid dan suatu galur murni
yang bukan tetuanya.
silang tunggal Persilangan antara dua galur murni.
silang uji Persilangan antara suatu individu yang belum diketahui
genotipenya dan individu (tetuanya) yang homozigot
resesif untuk menentukan genotipe individu tersebut.
silang uji tiga titik Silang uji yang memperhatikan tiga lokus seketika, biasa
digunakan untuk menyusun peta kromosom pada
eukariot tingkat tinggi.
simpangan baku Nilai statistik yang merupakan akar kuadrat nilai ragam
sehingga memiliki satuan dengan dimensi yang sama
dengan dimensi nilai rata-rata.
sis lihat coupling phase.
sistem kawin tak Sistem kawin dengan peluang lebih besar terjadi di
acak antara individu-individu dengan kecenderungan tertentu
bila dibandingkan dengan peluangnya untuk terjadi di
antara individu-individu secara bebas.
sitosin Salah satu basa pirimidin pada asam nukleat, yang
berpasangan dengan basa guanin.
SOS Mekanisme perbaikan DNA yang memungkinkan
replikasi tetap berlangsung meskipun harus melintasi
dimer sehingga menghasilkan untai DNA yang utuh
tetapi sering kali sangat defektif
spermatozoon sel kelamin (gamet) yang dihasilkan oleh individu
jantan.
sterilitas jantan Ketidakmampuan tumbuhan untuk menghasilkan polen
yang aktif dalam jumlah normal sementara proses
reproduksi dan fertilitas betinanya normal.
submetasentrik Kedudukan sentromir di antara tengah dan ujung
kromosom, yang menyebabkan kedua lengan kromosom
agak berbeda panjangnya.
tangga berpilin Struktur yang terbentuk antara kedua untai DNA yang
komplementer.
tapak aminoasil Tempat pengikatan aminoasil-tRNA yang baru
memasuki ribosom.
tapak peptidil Tempat pengikatan molekul tRNA yang membawa
rantai polipeptida yang sedang diperpanjang di dalam
ribosom.

244 GENETIKA
telomir Ujung kromosom; Urutan DNA yang diperlukan untuk
menstabilkan ujung kromosom.
tempat pengikatan Urutan basa pada mRNA prokariot yang merupakan
ribosom tempat terikatnya ribosom untuk melakukan inisiasi
sintesis protein, disebut juga urutan Shine – Dalgarno .
terminasi diri Terminasi transkripsi yang hanya bergantung kepada
urutan basa DNA cetakan.
tetrad Perpasangan empat kromatid kembar hasil penggandaan
kromosom maternal dan paternal, terlihat pada metafase
I meiosis.
tetua Generasi induk pada suatu persilangan, biasanya
merupakan dua galur murni yang berbeda.
timin Salah satu basa pirimidin pada DNA, yang berpasangan
dengan basa adenin.
timin dimer Dua basa timin pada satu untai polinukleotida yang
dihubungkan oleh ikatan kimia, biasanya terbentuk
akibat iradiasi ultraviolet.
tipe parental Tipe gamet dengan susunan gen yang sama dengan
susunan gen pada individu yang menghasilkannya.
tipe rekombinasi Tipe gamet dengan susunan gen yang merupakan
rekombinasi dari susunan gen pada individu yang
menghasilkannya akibat terjadinya peristiwa pindah
silang.
titik awal replikasi Tempat tertentu di dalam molekul DNA yang menjadi
awal dimulainya replikasi DNA.
trans lihat repulsion phase.
transformasi Transfer genetik pada pada bakteri yang ditandai oleh
pengambilan materi genetik oleh sel bakteri resipien dari
molekul DNA donor yang terdapat bebas pada medium
di sekelilingnya.
transisi Substitusi basa purin oleh basa purin lainnya, atau
substitusi pirimidin oleh pirimidin lainnya.
transkrip primer Hasil transkripsi DNA yang pada prokariot langsung
berupa mRNA, sedangkan pada eukariot memerlukan
prosesing terlebih dahulu sebelum menjadi mRNA.
transkripsi Perubahan urutan basa di dalam molekul DNA menjadi
urutan basa molekul RNA.
translasi Penerjemahan urutan basa mRNA menjadi urutan asam
amino suatu polipetida/protein.

DAFTAR ISTILAH 245


transversi Substitusi basa purin oleh basa pirimidin, atau
sebaliknya, substitusi pirimidin oleh purin.
triplet kodon Kode genetik pada mRNA, yang terdiri atas tiga basa
nukleotida.
uji X2 Uji statistik yang lazim digunakan untuk mengetahui
kesesuaian hasil persilangan dengan nisbah teoretis yang
seharusnya diperoleh.
ujung OH Ujung molekul asam nukleat berupa gugus OH yang
terikat pada atom C nomor tiga gula pentosa, disebut
juga ujung 3‟.
ujung P Ujung molekul asam nukleat berupa gugus fosfat yang
terikat pada atom C nomor lima gula pentosa, disebut
juga ujung 5‟.
ujung 3’ lihat ujung OH.
ujung 5’ lihat ujung P.
untai pengarah Untai DNA yang menjadi cetakan bagi sintesis DNA
secara kontinyu.
untai tertinggal Untai DNA yang menjadi cetakan bagi sintesis DNA
secara terputus –putus sehingga membawa fragmen
Okazaki.
urasil Salah satu basa pirimidin pada RNA, yang berpasangan
dengan basa adenin.
urutan konsensus Urutan basa yang tetap atau hampir tetap pada daerah
promoter, baik prokariot maupun eukariot.
urutan penyandi Urutan basa yang akan ditranslasi menjadi urutan asam
amino.
urutan Shine – lihat tempat pengikatan ribosom.
Dalgarno
vigor hibrida lihat heterosis.
virulen Dapat menimbulkan penyakit; Sifat bakteriofag yang
dapat mengakibatkan lisis sel bakteri inangnya.
virus mozaik Virus yang menyebabkan timbulnya penyakit mozaik
tembakau pada daun tembakau, mempunyai materi genetik berupa
RNA.
wobble Perubahan basa ketiga pada triplet kodon tanpa disertai
perubahan macam asam amino yang disandi oleh kodon
tersebut.
zigot Produk penggabungan gamet jantan dengan gamet
betina pada reproduksi seksual.

246 GENETIKA

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai