net/publication/366684879
CITATIONS READS
0 2,569
5 authors, including:
Rosnah Rosnah
Poltekkes Kemenkes Kendari
17 PUBLICATIONS 14 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Laeli Nur Hasanah on 30 December 2022.
Penulis :
Risda Yulianti
Arwin Muhlishoh
Laeli Nur Hasanah
Rosnah
Sanya Anda Lusiana
Eko Sutrisno
KEAMANAN DAN KETAHANAN
PANGAN
Risda Yulianti
Arwin Muhlishoh
Laeli Nur Hasanah
Rosnah
Sanya Anda Lusiana
Eko Sutrisno
Penulis :
Risda Yulianti
Arwin Muhlishoh
Laeli Nur Hasanah
Rosnah
Sanya Anda Lusiana
Eko Sutrisno
ISBN : 978-623-8102-57-0
Redaksi :
Jl. Pasir Sebelah No. 30 RT 002 RW 001
Kelurahan Pasie Nan Tigo Kecamatan Koto Tangah
Padang Sumatera Barat
Website : www.globaleksekutifteknologi.co.id
Email : globaleksekutifteknologi@gmail.com
Penulis
i
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
vi
BAB 1
KONSEP DASAR KEAMANAN
PANGAN
Oleh Risda Yulianti
1.1 Pendahuluan
Setiap manusia berhak terpenuhi kebutuhan dasarnya
berupa pangan karena pemenuhan pangan merupakan salah
satu hak asasi manusia. Pangan yang diperoleh harus aman,
bermutu, bergizi dan menyehatkan. Dalam The World Food
Summit tahun 1996 telah ditegaskan bahwa setiap manusia
berhak mendapatkan pangan yang cukup, aman dan bergizi
untuk menjalani kehidupan yang sehat dan aktif. Undang-
undang Pangan No.18 Tahun 2012 melengkapi definisi di atas
dalam spektrum yang lebih luas, bahwa pangan juga harus
terjangkau oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat (Lukman &
Kusnandar, 2015). Contohnya konsumen di Indonesia yang
mayoritas beragama Islam menginginkan jaminan halal dari
setiap produk makanan yang dikonsumsi. Berdasarkan definisi
tersebut, terlihat bahwa keamanan pangan adalah hak setiap
individu dan mutlak dipenuhi agar pangan tersebut dapat aman
dikonsumsi masyarakat. Prinsip-prinsip keamanan pangan
harus diperhatikan sejak diproduksi di on-farm hingga
disajikan di meja makan.
Risda Yulianti 3
mikroba, sedangkan faktor ekstrinsik adalah adalah faktor-
faktor dari lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroba.
Faktor-faktor intrinsik yang membuat mikroba tumbuh
dan berkembang biak, sebagai berikut:
1. Kandungan gizi pada pangan.
Mikroba membutuhkan air, nitrogen, vitamin dan mineral
untuk pertumbuhannya, Semua zat itu diperoleh dari
bahan pangan. Oleh karena itu pangan yang mengandung
banyak atau tinggi zat gizi dan kadar air sangat disukai
oleh mikroba.
2. Tingkat keasaman (pH).
pH sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroba melalui
dua mekanisme yaitu memengaruhi fungsi enzim dan
proses transpor gizi dari luar ke dalam sel. Berdasarkan
tingkat keasaman, bakteri dibagi menjadi asidofilik
(tumbuh optimal pada pH sekitar 2), netrofilik (pada pH
sekitar 7) dan alkalinofilik (pH sekitar 12).
3. Aktivitas air (aw)
Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh jumlah air bebas
dalam suatu bahan pangan atau dikenal dengan istilah
aktivitas air. Air bebas ini dapat digunakan oleh mikroba
untuk proses transport nutrisi, reaksi enzimatis,
pembentukan komponen seluler dan berbagai reaksi
biokimia lainnya.
4. Potensial reduksi-oksidasi (redoks)
Potensial redoks menunjukkan kemampuan substrat untuk
menerima atau melepas elektron, yang dilambangkan
dengan Eh. Mikroba aerobik seperti bakteri aerobik,
kapang dan kamir membutuhkan Eh positif, sedangkan
mikroba anaerobik atau mikroaerofilik (hidup pada kondisi
sedikit oksigen) membutuhkan potensial redoks yang
sedikit negatif.
4 Risda Yulianti
5. Komponen antimikroba.
Bahan pangan tertentu mengandung komponen alami yang
dapat berfungsi sebagai anti mikroba sehingga
menghambat pertumbuhan bakteri contohnya eugenol
pada cengkeh, alisin pada bawang putih dan timol pada
oregano. Komponen antimikroba juga dapat berasal dari
luar (faktor ekstrinsik) seperti deterjen, disinfektan dan
bahan pengawet (bahan tambahan pangan/BTP).
6 Risda Yulianti
disinfektan/sanitizer, logam berat, cat pada peralatan
masak;
4. Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang tidak
sesuai penggunaan dan melebihi dosis. Cara penggunaan
BTP diatur dalam peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2019.
5. Penggunaan bahan kimia berbahaya yang dilarang
penggunaannya pada pangan, seperti boraks, formalin,
Rhodamin B, Metanil Yellow.
8 Risda Yulianti
Berdasarkan laporan oleh Rahayu et al., (2016), estimasi
kerugian akibat keracunan pangan di Indonesia adalah sekitar
78 juta USD pada tahun 2013 yang terdiri dari biaya kesehatan
dan non-kesehatan langsung dan biaya non-kesehatan tidak
langsung. Selain itu perkiraan total kasus diare secara tahunan
di Indonesia berkisar 4.157 hingga 9.170 kasus/100.000
penduduk dengan perkiraan kerugian 4.763.051.067–
16.752.046.500 USD (On & Rahayu, 2017). Data tersebut
menunjukkan keracunan makanan tidak hanya mengakibatkan
kesakitan yang tinggi namun juga kerugian yang sangat besar.
Selain itu data menunjukkan rata-rata 62% (dengan rentang
33-80%) produk pangan Indonesia ditolak pasar internasional
karena alasan mengandung sesuatu yang tidak seharusnya ada
dalam bahan pangan tersebut atau dikenal dengan istilah filthy.
Penyebabnya adalah kurangnya penerapan cara pengolahan
pangan yang baik (SEAMEO RECFON, 2020).
Berdasarkan review sistematis yang dilakukan oleh
Arisanti et al., (2018), keracunan pangan sering terjadi pada
kegiatan makan harian (36,6%), hajatan (29,7%), dan kegiatan
jajanan (14,3%). Kasus keracunan pangan terbanyak
ditemukan pada rumah tinggal (48,9%), sekolah (13,7%) dan
pabrik (10,3%). Berdasarkan agen penyebab KLB keracunan
pangan, bahaya biologi (yang disebabkan mikroba) menjadi
penyebab tertinggi KLB. Hal ini dikarenakan kemampuan
mikroba untuk berkembangbiak dalam waktu cepat dan
menyebabkan infeksi. Berdasarkan faktor risiko pengelolaan
pangan, KLB keracunan pangan bersumber dari proses
pemasakan (37%), higiene perorangan (29%), pemilihan bahan
pangan (12%) dan penyimpanan makanan matang (11%). Ini
artinya apabila standar keamanan pangan tidak diterapkan
dengan baik pada ke empat aspek pengelolaan pangan tersebut
sangat mungkin menimbulkan risiko KLB (SEAMEO RECFON,
2020).
Risda Yulianti 9
Menurut Foodborne Illness Investigation, ada 10 masalah
yang biasanya ditemukan menyebabkan terjadinya foodborne
disease atau bahkan KLB (Kusuma et al., 2017):
1. Penyimpanan dingin yang tidak benar. Penyimpanan
dingin (suhu rendah) yang suhu nya tidak sesuai, wadah
penyimpanan yang tidak mendukung, jumlah pangan yang
disimpan melebih kapasitas kulkas/freezer dapat
meningkatkan risiko pangan menjadi tidak aman.
2. Waktu penahanan (Holding time). Holding time makanan
yang lama misalnya pada proses persiapan makanan
memungkinkan pertumbuhan bakteri berkali-kali lipat.
3. Kesadaran higiene karyawan yang rendah
4. Kegagalan proses pemanasan ulang (reheating) sebelum
makanan disajikan misalnya peralatan yang digunakan
tidak tepat, prosedur reheating yang tidak benar, dan suhu
reheating tidak tercapai
5. Hot holding yang tidak benar. Membiarkan makanan pada
suhu danger zone (20-50oC) selama 4 jam atau lebih, akan
menyebabkan pertumbuhan bakteri yang sangat luar biasa
yang akan menghasilkan outbreak (KLB).
6. Kontaminasi pada bahan makanan yang tidak mengalami
proses pemanasan contohnya salad, karedok dan lalapan
mentah yang tidak mengalami proses pemanasan untuk
mengurangi mikroorganisme mulai dari proses persiapan
sampai dengan penyajian.
7. Menggunakan bahan makanan dari sumber yang tidak
aman. Contohnya ikan, kerang yang didapatkan dari
tempat dimana air telah terkontaminasi dengan bahan
kimia
8. Peralatan yang kurang bersih. Sumber air yang digunakan
untuk mencuci peralatan terkontaminasi dan penggunaan
sabut/spons untuk mencuci peralatan memasak yang tidak
pernah disanitasi setelah digunakan.
10 Risda Yulianti
9. Kontaminasi silang dari makanan mentah ke makanan
matang. Contoh kegiatan yang dapat menyebabkan
kontaminasi silang yaitu menggunakan cutting board atau
peralatan lain untuk memotong makanan mentah dan
makanan matang, tidak mencuci tangan dengan baik
setelah menyentuh bahan makanan mentah (ayam, ikan,
daging, telur mentah, sayur, buah dan lain-lain) dan setelah
itu memegang makan matang.
10. Makanan belum matang (gagal matang). Contohnya tidak
ada proses pemantauan suhu internal selama memasak
bahan pangan hewani sehingga makanan tidak matang
sempurna.
Risda Yulianti 11
1.5 Higiene sanitasi
Pengertian higiene adalah upaya menjaga kebersihan
subyek misalnya penjamah makanan mencuci tangan untuk
melindungi kebersihan tangan, upaya sanitasi peralatan untuk
melindungi kebersihan peralatan. Sedangkan sanitasi terkait
dengan penyediaan alat dan sarana yang menunjang praktek
higiene misalnya penyediaan air bersih, wastafel cuci tangan,
sabun dan lain-lain. Prinsip-prinsip higiene sanitasi makanan
harus dilakukan mulai proses pemilihan bahan makanan,
hingga penyajian makanan.
Implementasi higiene sanitasi dalam proses
penyelenggaran makanan diatur atau merujuk pada beberapa
undang-undang dan peraturan yaitu Undang-undang No.18
tahun 2012 tentang pangan (pasal 70, pasal 71), Undang-
undang no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 111 terkait
penerapan pedoman cara produksi yang baik, dan Peraturan
Pemerintah No. 86 Tahun 2019 terkait pemenuhan standar
sanitasi di seluruh kegiatan rantai pangan. Higiene sanitasi
meliputi penjamah makanan, makanan, lingkungan dan
peralatan (Kusuma et al., 2017).
12 Risda Yulianti
rambut dan mulut, tidak merokok di ruang produksi, dll), dan
aturan-aturan yang mengatur praktek higiene penjamah
makanan dalam rangka mewujudkan keamanan pangan.
1.5.2 Makanan
Hal-hal yang dapat diupayakan untuk menjaga higiene
sanitasi makanan dalam mewujudkan keamanan makanan :
memastikan pemasok makanan dari suplier yang terpercaya,
proses penerimaan bahan makanan yang sesuai standar dan
spesifikasi baik bahan makanan segar maupun makanan jadi,
penyimpanan bahan makanan menerapkan sistem FIFO (First
in First out) dan sistem FEFO (First expired First Out) dan
pengolahan makanan memperhatikan aspek higiene sanitasi
dan pengecekan kematangan.
1.5.3 Lingkungan
Lingkungan yang memenuhi syarat keamanan pangan
yaitu tidak berdekatan dengan sumber pencemaran seperti
tempat pembuangan akhir, toilet umum, dan limbah pabrik.
Bangunan juga harus kokoh, aman dan tidak berbahaya bagi
penjamah makanan yang beraktivitas di dalamnya.
Pencahayaan ruangan disediakan dalam jumlah yang cukup
dan dilengkapi ventilasi untuk menjaga suhu dan kenyamanan
ruangan. Peralatan berkaitan dengan pencegahan hama
dipasang dengan aman dan efektif.
1.5.4 Peralatan
Higiene sanitasi peralatan meliputi tersedianya tempat
cuci tangan, air bersih, jamban peturasan, kamar mandi yang
cukup memadai, tersedia lemari penyimpanan dingin dengan
kompartemen yang memadai dan suhu yang dapat mencapai
kebutuhan yang disyaratkan.
Risda Yulianti 13
1.6 Manajemen mutu pangan terpadu
Dewasa ini dengan semakin meningkatnya
kesejahteraan masyarakat, tuntutan konsumen semakin tinggi
terhadap mutu produk makanan. Tuntutan-tuntunan
konsumen tersebut meliputi food security, food safety, food
nutrition, food palatability and food functionality. Untuk
menghasilkan pangan yang aman dikonsumsi, perlu dilakukan
Penerapan Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) yang terdiri atas
Standard Sanitation Operational Procedure (SSOP), Good
Manufacturing Practices (GMP) dan Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP). SSOP dan GMP merupakan pondasi
dasar yang harus dilaksanakan dan dikuatkan lebih dulu
sebelum suatu industri pangan menerapkan HACCP. Peran GMP
dalam menjaga keamanan pangan sangat selaras dengan pre-
requisite (persyaratan dasar) penerapan HACCP. Penerapan
program pre-requisite harus didokumentasikan dalam Standard
Sanitation Operational Procedure (SSOP). Terdapat 8 kunci
persyaratan sanitasi dalam SSOP yaitu:
1. Keamanan air
2. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan
bahan pangan
3. Pencegahan kontaminasi silang
4. Menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet
5. Proteksi dari bahan-bahan kontaminan
6. Pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan toksin
yang benar
7. Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat
mengakibatkan kontaminasi
8. Pengendalian hama
14 Risda Yulianti
GMP terdiri atas tiga komponen yang harus
diperhatikan guna menghasilkan produk yang memenuhi
standar mutu dan jaminan keamanan pangan yaitu (1) bahan
baku yang bermutu baik; (2) lingkungan kerja yang terkontrol
dan (3) cara pengolahan yang cermat (Pudjirahaju, 2017).
Risda Yulianti 15
standar jaminan kualitas baru untuk menghindari bahaya
kesehatan.
16 Risda Yulianti
Analisis risiko
Manajemen risiko
Kajian risiko Evaluasi risiko
Identifikasi bahaya Profil risiko
Karakterisasi Kebijakan umum
bahaya dan spesifik
Kajian paparan Kajian pilihan
Karakterisasi risiko Implementasi
Rekomendasi pilihan
ilmiah/teknis Monitoring dan
review
Komunikasi risiko
Perolehan informasi
Distribusi informasi
Pertukaran informasi
dan opini tentang risiko
secara interaktif
Risda Yulianti 17
DAFTAR PUSTAKA
18 Risda Yulianti
BAB 2
BAHAN TAMBAHAN PANGAN
TERLARANG
Oleh Arwin Muhlishoh
20 Arwin Muhlishoh
No. Golongan BTP Fungsi
Contoh: Asam askorbat.
4. Bahan Digunakan untuk
Pengkarbonasi membentuk karbonasi pada
(carbonating pangan. Contoh: Karbon
agent) dioksida.
5. Garam Pengemulsi Digunakan untuk
(emulsifying salt) mendispersikan protein
pada keju sehingga
pemisahan lemak dapat
dicegah. Contoh: Natrium
dihidrogen sitrat.
6. Gas untuk Kemasan Digunakan untuk
(packaging gas) mempertahankan mutu dan
mencegah kerusakan
pangan. Contoh: Karbon
dioksida, Nitrogen.
7. Humektan Menjaga kelembaban
(humectant) pangan. Contoh: Natrium
laktat.
8. Pelapis (glazing Digunakan untuk
agent) membentuk lapisan di
permukaan pangan sehingga
dapat memberikan
perlindungan dan/atau efek
mengkilap. Contoh: Malam
(Beeswax).
9. Pemanis Digunakan untuk memberi
(sweetener), rasa manis. Contoh: Pemanis
termasuk Pemanis alami (Sorbitol), Pemanis
Alami (natural buatan (Aspartam).
sweetener) dan
Pemanis Buatan
Arwin Muhlishoh 21
No. Golongan BTP Fungsi
(artificial
sweetener)
10. Pembawa (carrier) Digunakan untuk
memfasilitasi penanganan,
aplikasi atau penggunaan
BTP lain atau Zat Gizi di
dalam pangan dengan cara
melarutkan, mengencerkan,
mendispersikan atau
memodifikasi secara fisik
BTP lain atau Zat Gizi tanpa
mengubah fungsinya dan
tidak mempunyai efek
teknologi pada pangan.
Contoh: Sukrosa asetat
isobutirat.
11. Pembentuk Gel Digunakan untuk membuat
(gelling agent) gel. Contoh: Asam alginat
12. Pembuih (foaming Digunakan untuk
agent) memelihara atau
membentuk homogenitas
dispersi fase gas pada
Pangan dalam bentuk cair
atau padat. Contoh: Gom
xanthan.
13. Pengatur Digunakan untuk memberi
Keasaman (acidity rasa asam, netral dan/atau
regulator) mempertahankan derajat
keasaman pangan. Contoh:
Asam asetat
14. Pengawet Digunanakan sebagai
(preservative) penghambat fermentasi,
22 Arwin Muhlishoh
No. Golongan BTP Fungsi
rasa asam, penguraian, dan
kerusakan pada pangan
akibat mikroorganisme.
Contoh: Asam sorbat dan
garamnya.
15. Pengembang Digunakan untuk melepas
(raising agent) gas agar volume adonan
dapat meningkat. Contoh:
Diamonium hidrogen fosfat.
16. Pengemulsi Digunakan untuk
(emulsifier) membentuk campuran yang
homogen dari dua atau lebih
fase yang tidak dapat
tercampur seperti minyak
dan air. Contoh: Lesitin.
17. Pengental Digunakan untuk
(thickener) menambah viskositas
pangan. Contoh: Gelatin,
Karagen.
18. Pengeras (firming Digunakan untuk
agent) memperkeras atau
mempertahankan jaringan
pada buah dan sayuran, atau
berinteraksi dengan bahan
pembentuk gel agar lebih
kuat. Contoh: Trikalsium
sitrat.
19. Penguat Rasa Digunakan untuk
(flavour enhancer) menguatkan atau
memodifikasi rasa dan/atau
aroma yang telah ada pada
bahan pangan tanpa
Arwin Muhlishoh 23
No. Golongan BTP Fungsi
memberikan rasa dan/atau
aroma tertentu. Contoh:
Asam L-glutamat dan
garamnya.
20. Peningkat Volume Digunakan untuk
(bulking agent) menambah volume pangan.
Contoh: Natrium alginat.
21. Penstabil Digunakan agar sistem
(stabilizer) dispersi yang homogen lebih
stabil pada pangan. Contoh:
Asam fumarat.
22. Peretensi Warna Digunakan agar intensitas
(colour retention warna pada pangan lebih
agent) tahan, stabil dan kuat tanpa
menimbulkan warna baru.
Contoh: Magnesium
karbonat.
23. Perisa (flavouring), Digunakan untuk
termasuk Perisa menambahkan/memberikan
Alami, Perisa rasa (flavor) pada pangan
Identik Alami dan kecuali rasa asin, asam dan
Perisa Artifisial manis. Contoh: rempah-
rempah.
24. Perlakuan Tepung Digunakan agar warna,
(flour treatment mutu adonan dan/atau
agent) pemanggangan lebih baik,
termasuk bahan untuk
mengembangkan adonan,
memucatkan dan
mematangkan tepung.
Contoh: L-Amonium laktat.
25. Pewarna (colour), Digunakan untuk
24 Arwin Muhlishoh
No. Golongan BTP Fungsi
termasuk Pewarna memberikan warna atau
Alami (natural food agar warna pangan lebih
colour) dan baik. Contoh: Pewarna alami
Pewarna Sintetis (Kurkumin CI. No. 75300),
(synthetic food Pewarna sintetis (Tartrazin
colour) CI. No. 19140).
26. Propelan Merupakan gas yang
(propellant) digunakan untuk
mendorong pangan keluar
dari kemasan. Contoh:
Dinitrogen monooksida.
27. Sekuestran Digunakan sebagai pengikat
(sequestrant) ion logam polivalen untuk
membentuk kompleks
sehingga stabilitas dan
kualitas pangan meningkat.
Contoh: Kalsium dinatrium
etilen diamin tetra asetat
Sumber: Peraturan BPOM No 11 Tahun 2019 dan Peraturan BPOM No 13
tahun 2020
Arwin Muhlishoh 25
2.3 BTP Terlarang
Berdasarkan Undang-undang RI No 18 Tahun 2012
tentang Pangan, pada Bab II tentang Keamanan Pangan, pasal
10 terkait Bahan Tambahan Pangan dijelaskan bahwa:
1. Setiap produsen pangan dilarang menggunakan bahan
tambahan pangan terlarang atau menggunakan bahan
tamabahan yang dijinkan namun melebihi batas maksimal
yang di tetapkan.
2. Pemerintah menetapkan lebih lanjut terkait bahan yang di
larang dan yang diijinkan sebagai bahan tambahan pangan
dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang
batas maksimal penggunaan sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat 1.
28 Arwin Muhlishoh
desinfektan, cat, keramik, pestisida dan industri tekstil.
Asam borat dan boraks sering disalah gunakan oleh
beberapa produsen pangan dengan tujuan untuk
memperbaiki rasa, tekstur dan warna pangan, contoh pada
pembuatan mie, bakso, makaroni, kerupuk, makanan
ringan dan lontong. Asam borat dan boraks dilarang
digunakan dalam pangan karena dapat menimbulkan
bahaya pada manusia karena bersifat racun bagi semua sel.
Dalam jangka pendek penggunaan asam borat dan boraks
dapat menimbukan malaise, mual, kram/nyeri perut,
muntah, diare, demam, pusing dan pendarahan saluran
cerna. Sedangkan efek jangka panjangnya dapat berupa
kulit kering, bercak merah kulit, gangguan saluran cerna.
Selain itu, juga dapat menyebabkan terjadinya kanker,
gangguan hormonal, sistem reproduksi dan kekebalan
tubuh. Serta dapat menyebabkan kematian jika dikonsumsi
pada dosis letal yaitu sebanyak 5-6 gram pada anak-anak
dan 10-25 gram pada dewasa.
2. Asam Salisilat dan Garamnya (Salicylic Acid and its
Salt)
Asam salisilat atau yang sering dikenal sebagai
aspirin merupakan obat analgetik dan anti inflamasi yang
biasa disalahgunakan sebagai bahan tambahan pangan
untuk mencegah buah berjamur pada pembuatan cuka dan
digunakan sebagai bahan pengawet. Asam salisilat dilarang
penggunaannya sebagai bahan tambahan pangan karena
jika terhirup ataupun tertelan dapat mengakibatkan iritasi,
mual dan muntah dan jika terakumulasi dapat jumlah yang
banyak dapat menyebabkan pengerasan dinding pembuluh
darah dan kanker pada saluran cerna.
3. Dietilpirokarbonat (DEPC)
Dietilpirokarbonat (DEPC) merupakan salah satu
bahan tambahan pangan terlarang yang biasa digunakan
untuk mengawetkan pangan namun dapat memicu
Arwin Muhlishoh 29
terjadinya kanker karena bersifat karsinogenik akibat
unsur kimia C6H10O5 yang dikandungnya. DEPC biasa
digunakan dalam produk bir, jus, dan susu.
4. Dulsin
Dulsin merupakan salah satu bahan tambahan
pangan terlarang yang biasa digunakan untuk memberikan
rasa manis pada pangan karena memiliki daya manis yang
tinggi yaitu 250x daya manis sukrosa. Namun hasil
penelitian menunjukkan bahwa dulsin memiliki sifat
karsinogenik dan menyebabkan terjadinya kanker pada
hewan coba, sehingga penggunaannya pada pangan
dilarang.
5. Formalin
Formalin merupakan formaldehida yang dilarutkan
dalam air dan penggunaannya dilarang dalam makanan.
Formalin adalah larutan tak berwarna, memiliki bau tajam
dan dapat membunuh kuman, sehingga sering digunakan
untuk bahan pembersih pakaian dan lantai, pembasmi
serangga, bahan untuk membuat parfum dan pupuk,
pengawet kosmetik dan mayat. Namun terdapat produsen
yang menggunakannya sebagai bahan tambahan pangan
dengan tujuan agar pagnan yang dihasilkan lebih awet.
Contoh pada ikan segar, ayam, mie dan tahu. Namun
penggunaan formalin pada pangan sangat berbahaya
karena jika terkonsumsi oleh manusia dapat
mengakibatkan iritasi, alergi, merah-merah pada kulit,
mual, muntah, panas pada tonggorokan, pusing dan sakit
perut. Dan jika digunakan dalam jangka panjang dapat
mengakibatkan gangguan pada pencernaan, ginjal, hati,
pankreas, sistem saraf, sistem reproduksi dan dapat
mengakibatkan terjadinya kanker. Selain itu, penggunaan
formalin sebanyak 2 sendok makan dapat mengakibatkan
kematian.
6. Kalium Bromat (Pottasium Bromate)
30 Arwin Muhlishoh
Kalium Bromat (KbrO3) merupakan bahan
tambahan pangan terlarang yang biasanya di gunakan pada
pembuatan roti/kue sebagai oksidan, pemutih dan
memperbaiki tekstur roti/kue agar lebih lembut dan
mengembang dengan baik. Selain biasa digunakan dalam
pembuatan roti/kue, kalium bromat juga biasa digunakan
dalam pembuatan lotion, pengolahan barli dan terbentuk
sebagai produk samping selama proses ozonisasi air. Hasil
penelitian di Jepang menunjukkan bahwa kalium bromat
bersifat karsinogenik pada hewan coba baik pada tikus
maupun mencit, karena terbukti dapat menyebabkan
tumor/kanker ginjal dan jaringan lain. Selain itu, kalium
bromat juga terbukti bersifat nefrotoksik pada manusia
dan menyebabkan gangguan hormonal karena dapat
menginduksi stres oksidatiif di kelenjar endokrin.
7. Kalium Klorat (Potassium Chlorate)
Kalium klorat (Potassium chlorate) adalah bahan
kimia yang biasa digunakan untuk pemutih, bahan korek
api dan peledak. Bahan ini dilarang digunakan sebagai
bahan tambahan pangan karena dapat menyebabkan nyeri
perut, kerusakan hati, ginjal, metheglobinemia, bahkan
kematian.
8. Kloramfenikol (Chloramphenicol)
Kloramfenikol (Chloramphenicol) merupakan
antibiotik yang dilarang digunakan sebagai bahan
tambahan pangan karena berbahaya, bahkan dilarang
penggunaannya sebagai bahan tambahan pada pakan
hewan karena dapat dimetabolisme dan tersimpan dalam
daging sehingga daging tercemari dan berbahaya jika di
konsumsi.
9. Minyak nabati yang dibromisasi (Brominated vegetable
oils)
Minyak nabati yang dibromisasi (BVO) merupakan
bahan tamabahan pangan terlarang yang biasa digunakan
Arwin Muhlishoh 31
pada produk minuman ringan sebagai pengemulsi dan
penstabil. BVO diketahui dapat menyebabkan ganggguan
metabolisme lemak jantung dan memicu ternjadinya
penyakit jantung koroner. Hasil penelitian terbaru yang
dilakukan Woodling et al (2022) menunjukkan bahwa pada
tikus jantan dan betina usia 6 minggu yang diberi BVO
selama 90 hari dengan dosis 0,002%, 0,02%, 0,1% dan
0,5% per berat badan mengakibatkan hipertrofi sel folikel
tiroid dan peningkatan serum TSH (Thyroid-stimulating
hormone), serta mengakibatkan peningkatan serum T4
pada tikus jantan pada pemberian dosis tertinggi. Selain
itu, pada semua pemberian dosis di temukan di dan tetra-
asam bromostearat pada jantung, hati dan inguinal lemak.
10. Nitrofurazon (Nitrofurazone)
Nitrofurazon (Nitrofurazone) merupakan antibiotik
pada pembuatan salep dan dilarang digunakan sebagai
bahan tambahan pangan karena bersifat karsinogenik jika
masuk ke dalam tubuh.
11. Auramine
Auramine merupakan pewarna sintesis yang
dilarang penggunaannya pada pangan karena bersifat
karsinogenik dan terbukti dapat menyebabkan kanker
prostat dan kandung kemih pada uji epidemiologi manusia.
12. Butter Yellow
Butter Yellow merupakan pewarna sintetis yang
dilarang penggunaannya pada pangan karena hasil
penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa butter
yellow bersifat karsinogenik, menyebabkan tumor
kandung kemih dan hati.
13. Black 7984
Black 7984 merupakan pewarna sintetis dengan
warna coklat hingga hitam yang penggunaannya dilarang
karena dapat menyababkan alergi dan memperberat gejala
asma.
32 Arwin Muhlishoh
14. Chrysoidine
Chrysoidine merupakan pewarna sintetis dengan
warna jingga yang dilarang penggunaannya pada pangan
karena bersifat karsinogenik dan toksik pada hati dan
saluran cerna.
15. Citrus Red No. 2
Citrus Red No. 2 merupakan pewarna sintetis yang
dilarang penggunaannya karena dari hasil penelitian di
hewan coba menunjukkan bahwa pemberian Citrus Red
No. 2 melalui oral pada tikus dapat mengakibatkan
hiperplasia dan tumor pada kandung kemih. Selanjutnya
pemberian melalui subkutan pada mencit menunjukkan
terjadinya tumor limfa.
16. Metanil Yellow
Metanil Yellow merupakan zat pewarna yang sering
dimanfaatkan pada pewarna cat, kertas, dan tekstil. Metanil
Yellow dilarang digunakan pada pangan karena dapat
mengakibatkan mual, muntah, diare, dan dapat
menyebabkan kanker kandung kemih jika digunakan
dalam jangka waktu lama.
17. Oil Orange SS
Oil Orange SS merupakan pewarna sintetis yang
dilarang penggunaannya pada pangan karena terbukti
bersifat karsinogenik pada hewan coba dan manusia.
Arwin Muhlishoh 33
18. Orange G
Orange G merupakan pewarna sintetis yang dilarang
penggunaanya pada pangan karena dapat mengakibatkan
iritasi pada kulit, mata dan saluran pencernaan.
19. Rhodamin B
Rhodamin B merupakan bahan kimia berbahaya
yang biasa digunakan dalam industri tekstil dan kertas.
Rhodamin B biasa di temukan dalam produk kosmetik dan
makanan karena dapat memberikan warna cerah, praktis
dan murah. Rhodamin B dilarang penggunaannya oleh
BPOM karena dapat mengakibatkan iritasi pada kulit jika
kontak lansung dan dapat mengkibatkan iritasi saluran
pernafasan apabila terhirup.
34 Arwin Muhlishoh
DAFTAR PUSTAKA
Arwin Muhlishoh 35
36 Arwin Muhlishoh
BAB 3
KERUSAKAN DAN PENURUNAN
MUTU BAHAN PANGAN
Oleh Laeli Nur Hasanah
3.1 Pendahuluan
Pangan menjadi kebutuhan dasar manusia paling utama
dan upaya pemenuhannya telah menjadi hak asasi manusia.
Pemenuhan kebutuhan pangan yang berkualitas akan
mendukung terwujudnya sumber daya manusia yang
berkualitas. Berdasarkan UU RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang
pangan adalah sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber
hayati produk pertanian, perairan, kehutanan, perikanan,
peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak
diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman
bagi konsumsi manusia.
Pangan mengandung berbagai zat gizi yang penting
seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang
bermanfaat bagi kesehatan tubuh (Rokhmah LN, et al., 2022).
Pangan dapat dibedakan menjadi dua yaitu, pangan mentah
dan olahan. Bahan pangan umumnya jarang dikonsumsi dalam
bentuk mentah melainkan diolah terlebih dahulu sehingga
terbentuk makanan yang dapat diterima manusia secara
sensoris. Bahan pangan memiliki potensi penurunan mutu atau
kualitas sejak dipanen hingga sampai kepada tangan
konsumen. Oleh karena itu, pemahaman tentang sifat fisik dan
kimia bahan pangan serta proses yang terjadi pada pangan baik
selama proses produksi dan pengolahannya dapat untuk
menilai dan menetapkan mutu pangan. Selain itu, pemahaman
ini dapat mengurangi potensi kerusakan mutu pangan dan
Laeli Nur Hasanah 37
terhindar dari berbagai ancaman kerusakan pangan seperti
ancaman fisik, kimiawi, dan biologis dapat menimbulkan
berbagai penyakit akibat makanan (foodborne disease).
Saat ini jaminan mutu dan keamanan pangan menjadi
hal yang penting sesuai dengan tuntutan peningkatan
kesehatan dan kesejahteraan manusia (Muhandri &
Kadarisman, 2012). Selain itu, saat ini konsumen telah
menyadari bahwa mutu dan keamanan pangan yang baik mulai
dari bahan baku, penanganan atau pengolahan dengan baik,
didistribusikan dengan baik maka akan menghasilkan produk
akhir yang baik pula (Hariyadi & Dewanti, 2009).
4.1 Pendahuluan
Saat ini, sebagian besar negara di dunia terus berupaya
untuk memastikan bahwa makanan yang dikonsumsi
masyarakatnya aman dan sehat. Sistem manajemen kualitas
dan keamanan pangan yang dikenal dengan Hazard Analysis
and Critical Control Point (HACCP) telah terbukti efektif,
sehingga mayoritas negara di dunia telah mengadopsi HACCP
sebagai sistem jaminan mutu dan keamanan pangan (Vatria,
2022).
Banyaknya kasus keracunan makanan dari jasa katering,
masakan rumah, makanan olahan, dan makanan ringan
menunjukkan perlunya pengawasan dan kontrol tambahan
terhadap keamanan dan kualitas makanan (Sartika, 2020).
Industri makanan di Indonesia baik skala kecil,
menengah, dan besar berkembang pesat, dan bekerja keras
untuk menjamin keamanan dan kualitas produk makanan
olahannya untuk memenuhi permintaan pasar bebas. Persepsi
masyarakat internasional terhadap Indonesia pada umumnya
dan industri pengolahan pangan pada khususnya akan
meningkat jika produk pangan olahan diproduksi secara
berkualitas dan aman (Hermansyah et al., 2013).
Bisnis modern di berbagai industri dituntut untuk
beroperasi dalam lingkungan sosial dan ekonomi yang sangat
kompleks dan dinamis. Kemampuan perusahaan untuk
memenuhi kebutuhan pelanggan dengan produk yang aman
Rosnah 55
dan berkualitas tinggi adalah syarat kesuksesan dan kestabilan
dari perusahaan pada kondisi pasar saat ini. Hanya dengan
keunggulan kompetitif yang terorganisir dengan baik, sebuah
perusahaan dapat bertahan di pasar, dan ini membutuhkan
lingkungan kerja perusahaan yang terorganisir dengan baik
(Akhmetova et al., 2019).
Seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen
akan pentingnya keamanan dan kesehatan pangan bagi
makanan yang dikonsumsi, tuntutan akan jaminan keamanan
dan mutu pangan juga meningkat. Dalam banyak kasus,
kemajuan suatu industri tidak sejalan dengan pengawasan dan
pengendalian kualitas makanan dan produk. Oleh karena itu ,
untuk menjamin pangan yang diproduksi dan diedarkan aman
dikonsumsi konsumen, perlu dikembangkan sistem jaminan
keamanan pangan yang menitikberatkan pada upaya
pencegahan dan pengendalian bahaya (hazard) (S. A. R. T.
Prayitno, 2019).
Salah satu aspek yang sangat krusial dalam
penyelenggaraan sistem pangan adalah keamanan pangan.
Tujuan ketentuan umum (Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 86 Tahun 2019 tentang keamanan pangan,
adalah agar masyarakat dapat mengkonsumsi pangan yang
aman dengan menerapkan langkah-langkah keamanan pangan.
Keamanan pangan harus diterapkan di seluruh mata
rantai pangan, mulai dari tahap produksi sampai ke tangan
konsumen, untuk memastikan pangan yang tersedia bagi
masyarakat aman untuk dikonsumsi. Menurut (Lestari, 2020),
guna menjamin pangan yang aman untuk konsumsi,
persyaratan keamanan pangan harus diterapkan pada semua
kegiatan dan proses produksi domestik maupun impor.
Semua produsen makanan harus menggunakan sistem
mutu manajemen keamanan pangan seperti HACCP atau ISO
22000 sehingga konsumen memiliki hak atas produk yang
aman dan terjamin kualitasnya. Produk yang terbuat dari
56 Rosnah
protein hewani apapun sangat rentan terhadap kerusakan
makanan, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi manusia. Hal
ini dibuktikan dengan beberapa kasus penyakit bawaan
makanan (Sutrisno et al.,2016).
Rosnah 57
4.3 Tujuan Penerapan Haccp
HACCP adalah alat untuk menilai bahaya keamanan
pangan dan membangun sistem kontrol yang mengutamakan
pencegahan daripada pengujian produk jadi. Untuk
memastikan keamanan produk makanan yang dihasilkannya,
sistem HACCP secara sistematis dan ilmiah mengidentifikasi
bahaya spesifik dan mengendalikannya. Keamanan pangan
adalah tujuan dari HACCP, namun gagasan tersebut juga dapat
digunakan untuk meningkatkan aspek mutu pangan lainnya
(Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2016).
Secara umum, tujuan penerapan HACCP adalah untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah
atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui
makanan (Food born disease). Adapun tujuan khusus dari
penerapan HACCP adalah untuk :
1. Mengevaluasi cara produksi makanan
2. Memperbaiki cara produksi makanan
3. Memantau dan mengevaluasi penanganan, pengolahan,
sanitasi
4. Meningkatkan inspeksi mandiri
58 Rosnah
didokumentasikan; penerapan program kelayakan dasar yang
didokumentasikan serta assesmen status kelayakan dasar.
Apabila program kelayakan dasar tersebut tidak memenuhi
persyaratan, maka dilakukan tindakan koreksi (Christine,
2016).
Menurut (Vatria, 2022), terdapat sejumlah prasyarat
yang harus dipenuhi sebelum menerapkan sistem HACCP agar
dapat berfungsi secara efektif dan efisien. Program-program
berikut diperlukan:
1. Memenuhi persyaratan lokasi, lingkungan (tempat),
bangunan, dan peralatan (fasilitas).
2. Penerapan Good Manufacturing Practice (GMP), disebut
juga dengan cara produksi yang baik atau Standard
Processing Operation Procedure (SPOP).
3. Memenuhi persyaratan Standar Operasional Sanitasi
(SPOS) atau Standar Operasional Prosedur Sanitasi (SSOP).
4. Program ketertelusuran produk, prosedur penanganan
keluhan pelanggan, dan pelatihan karyawan merupakan
prasyarat tambahan.
60 Rosnah
2. Penyimpanan bahan makanan. Hal ini juga harus
diperhatikan karena berdampak signifikan terhadap
kualitas bahan baku. Jika bahan baku makanan ini tidak
disimpan dengan baik, dapat mengakibatkan kerusakan
mekanis antara lain seperti tekanan, benturan, dan
gesekan, , serta kontaminasi oleh bakteri.
3. Transformasi bahan baku menjadi bahan matang atau siap
makan dikenal dengan pengolahan bahan baku. Pada
tahap ini harus benar-benar focus, baik pada peralatan
yang digunakan maupun teknik pengolahannya.
4. Penyajian. Harus sudah teruji klinis pada saat penyajian
agar aman untuk dikonsumsi. Selain itu, wadah tidak boleh
terkontaminasi zat asing.
Rosnah 61
Lima langkah pada tahap persiapan penerapan HACCP
meliputi :
Tahap 1. Pembentukan Tim HACCP
(Wallace et al., 2012) menyatakan multidisiplin dari tim
HACCP merupakan salah satu aspek HACCP yang paling
penting. Sehingga sangat disarankan agar perusahaan
makanan menyadari pentingnya tim HACCP yang terdiri dari
anggota dengan perpaduan yang tepat antara keahlian teknis
dan penerapan prinsip HACCP, pengalaman praktis, kerja tim,
keterampilan administrasi dan kepemimpinan, dan bahwa tim
HACCP diizinkan waktu yang cukup untuk melakukan peran
penting mereka dalam manajemen keamanan pangan.
Menurut (Perdana, 2018), organisasi tim HACCP
dibentuk oleh: kepribadian dan kemampuan staf yang baik,
kumpulan harapan, kewajiban dan spesialis kelompok HACCP,
serta teknik terkait yang menunjukkan fakultas bertanggung
jawab untuk menciptakan, melaksanakan keluar dan
menjalankan Rencana HACCP atau organisasi Rencana HACCP.
Tim HACCP terdiri dari ahli mikrobiologi, staf dari departemen
teknik/teknik, personel dari departemen produksi (yang
memahami bahan baku dan proses produksi), dan staf dari
Quality Assurance atau Quality Control.
64 Rosnah
Prinsip 1. Analisis Bahaya Dan Penetapan Risiko
Tiga tahapan analisis bahaya adalah identifikasi bahaya,
pemilihan tindakan pencegahan, dan pemilihan kategori risiko
atau signifikansi suatu risiko. Menurut (Perdana, 2018), bahaya
terbagi dalam enam kategori yaitu bahaya A hingga F.
Tabel 4.1 : Karakteristik bahaya
Kelompok Karakteristik bahaya
Bahaya
Bahaya A Kelompok khusus dari produk non steril
yang ditujukan untuk
pelanggan/konsumen berisiko tinggi
seperti bayi, pasien, lansia, dan sebagainya.
Bahaya B Produk yang mengandung bahan
ingredient yang sensitif terhadap bahaya
biologis, kimia atau fisik.
Bahaya C Bahan yang rentan terhadap bahaya
biologi, kimia, atau fisik dalam produk.
Tidak ada panas yang digunakan dalam
proses untuk mencegah atau
menghilangkan bahaya kimia atau fisik
atau membunuh mikroorganisme
berbahaya.
Bahaya D Produk yang kemungkinan terkontaminasi
ulang setelah diolah dan dikemas.
Bahaya E Selama pendistribusian, penjualan, atau
penanganan/ penyimpanan konsumen,
produk dapat terkontaminasi ulang atau
salah penanganan, yang mengakibatkan
berbahaya jika konsumsi.
Bahaya F Setelah pengemasan atau persiapan di
rumah, tidak ada proses pemanasan yang
dapat menghancurkan atau menghilangkan
bahaya biologis. Atau di sisi lain,
Rosnah 65
Kelompok Karakteristik bahaya
Bahaya
konsumen sama sekali tidak mungkin
mengenali atau memusnahkan risiko fisik
atau kimia.
66 Rosnah
Identifikasi Potensi Bahaya
Menurut (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2016),
“bahaya” adalah komponen biologis, kimia, fisik, atau kondisi
dari pangan yang berpotensi membahayakan kesehatan atau
kualitas produk.
1. Bahaya fisik adalah hal-hal yang dapat melukai atau
mencederai seseorang, contohnya adalah : pecahan kaca,
logam, plastik, potongan tulang atau duri, kerikil, patahan
kuku, perhiasan, bagian tubuh serangga, dan sebagainya.
2. Logam berat, residu pestisida, obat hewan, bahan
pembersih, dan alergen, racun mikroba, racun hewan, dan
bahan kimia berbahaya makanan (boraks, formalin, dll.)
adalah contoh bahaya kimia, termasuk BTP yang
melampaui batas pemanfaatannya, racun tumbuhan, zat
pengotor, alergen, dan lain sebagainya. (Hermansyah et
al., 2013) menyatakan contoh bahaya kimia, antara lain
bahaya kimia organik dan anorganik. Logam dan
senyawa seperti merkuri, tembaga, oksida besi, timbal
sulfat, dan seng fosfat merupakan contoh bahaya kimia
anorganik; asam anorganik seperti asam sulfat, asam
hidroklorik, asam nitrat; alkali yang anorganik, seperti
natrium hidroksida dan kalium hidroksida; non-logam
seperti hidrogen, karbon, belerang, nitrogen, klor, dan
brom; serta gas anorganik seperti CO, CO2, alkali, H2S
3. Bahaya mikrobiologis /biologis, contonya antara lain sel
vegetatif bakteri patogen, virus, jamur, ragi, parasit, dan
spora mikroorganisme patogen. Mikroorganisme patogen
yang tergolong anaerob, sangat berbahaya karena dapat
tumbuh pada suhu penyimpanan dan tahan terhadap
suhu proses. Clostridium botulinum adalah bakteri
indikator sterilisasi komersial.
Rosnah 67
Menurut (Perdana, 2018), kategori risiko dapat
diidentifikasi dengan menentukan risiko atau peluang yang
terkait dengan terjadinya suatu bahaya. Kategori risiko I hingga
VI dapat digunakan untuk menggambarkan salah satu dari
beberapa potensi bahaya bahan baku.
Tabel 4.2 : Kategori resiko
Karakteristik Kategori Keterangan
bahaya resiko
0 (tidak ada 0 Tidak mengandung
bahaya) bahaya A s/d F
(+) I Satu bahaya B s/d F
(++) II Dua bahaya B s/d F
(+++) III Tiga bahaya B s/d F
(++++) IV Empat bahaya B s/d F
(+++++) V Lima bahaya B s/d F
A+ (Kategori VI Kategori resiko paling
khusus) tanpa tinggi (semua produk
atau bahaya mempunyai bahaya A
dengan bahaya B s/d F)
s/d F
68 Rosnah
Tabel 4.3 : Daftar kategori resiko produk pangan
Produk-produk kategori I (Resiko Tinggi)
Rosnah 69
Pengembangan Tindakan Pencegahan
Tindakan pencegahan adalah setiap tindakan yang
dapat menghambat timbulnya bahaya dalam produk yang
mengacu pada prosedur operasi. Tindakan pencegahan dapat
berupa pemberian bahan kimia, tindakan fisik atau lainnya
yang dapat mengendalikan bahaya keamanan pangan.
Tindakan pencegahan dalam mengatasi bahaya dapat
lebih dari satu bila dibutuhkan. Contoh tindakan pencegahan,
antara lain : 1. Pemisahan penyimpanan bahan baku dengan
produk akhir ; 2. Menggunakan sumber air yang sudah
bersertifikat ; 3. Menggunakan truk yang mempunyai
kemampuan mengatur suhu, dll.
Rosnah 71
Di samping menurut codex juga ada jenis pohon
keputusan lainnya, pada jenis ini pohon keputusan digolongkan
menjadi 3 :
1. Pohon keputusan bahan baku
2. Pohon keputusan formulasi
3. Pohon keputusan tahapan proses
72 Rosnah
Tabel 4.5 : Pohon keputusan tahapan proses
No. Tahapan Seri pertanyaan Keputus-an
/proses P1:apakah P2: apakah P3 :apakah P4 :apakah P5: apakah
terdapat ada tindakan proses ini bahaya proses
bahaya pada pencegahan dirancang dapat selanjutnya
tahap proses untuk khusus untuk meningkat dapat
ini? mengendalik menghilangk sampai menghilangk
Ya : lanjut ke an bahaya an batas tidak an/mengura
P2 tersebut? /mengurangi aman? ngi bahaya:
Tidak :bukan Ya : lanjut ke bahaya Ya : lanjut Ya : bukan
CCP P3 sampai ke P5 CCP
Tidak : aman? Tidak : Tidak : CCP
apakah Ya : CCP bukan CCP
pengendalia Tidak : lanjut
n diperlukan ke P4
untuk
meningkatk
an
keamanan?
Ya :
modifikasi
proses/prod
uk
Tidak :
bukan CCP
1.
dst
Rosnah 73
Tabel 4.6 : Pohon keputusan formulasi
Pertanyaan Keputusan
P1 : apakah formulasi/komposisi/adonan/resep penting untuk
mencegah terjadinya bahaya?
Ya : CCP
Tidak : bukan CCP
Setiap tahapan proses ditentukan termasuk CCP atau tidak melalui pertimbangan
tingkat resiko dan berdasarkan jawaban atas pertanyaan dari CCP decision tree. Tahap
proses yang tidak termasuk CCP, dapat termasuk Control Point (CP) yang berarti tahapan
tersebut apabila tidak dikendalikan dengan baik dapat menyebabkan kecacatan dari segi
kualitas(Surahman & Ekafitri, 2014).
Tahapan proses yang telah diidentifikasi sebagai suatu titik kendali kritis (CCP)
kemudian akan dibuatkan suatu lembar kerja (worksheet) yang berisi informasi mengenai:
bahaya yang teridentifikasi beserta tindakan pengendalian dan batas kritis pengendaliannya,
prosedur pengawasan, tindakan koreksi, rekaman, serta aktivitas verifikasi dan validasinya.
Lembar kerja ini yang kemudian digunakan sebagai acuan dalam penyusunan instruksi kerja
CCP pada tahapan proses terkait (Hermansyah et al., 2013).
Proses yang merupakan CCP harus dilakukan dengan benar sesuai SSOP, agar
menghilangkan bahaya yang terjadi. Kelalaian pada saat melakukan beberapa proses
dapat menimbulkan bahaya pada sistem produksi. Proses yang merupakan CP juga tetap
memerlukan kontrol untuk pencegahan potensi bahaya (Yuniarti et al., 2015).
74 Rosnah
Prinsip Ke-3. Penetapan Limit Kritis Untuk CCP Yang Telah
Diidentifikasi
Batas kritis adalah sebuah kriteria yang memisahkan
antara produk aman dan tidak aman (Badan Pengawas Obat
dan Makanan RI, 2016). Penetapan batas kritis yang harus
dipenuhi pada setiap CCP yang telah ditetapkan. Kriteria yang
umum digunakan sebagai batas kritis: suhu, waktu,
kelembaban, nilai pH, keasaman (titrasi), bahan pengawet,
konsentrasi garam, klorin bebas, viskositas. Merupakan batas-
batas kritis pada CCP yang ditetapkan berdasarkan referensi,
standar teknis, obesrvasi. Batas kritis harus ditentukan untuk
setiap CCP. Kriteria /parameter/indikator yang sering
dipergunakan : suhu, waktu, kelembaban, pH, Aw, kadar
chlorine, parameter yang berhubungan dengan panca indra
seperti kenampakan dan tekstur.
Batas kritis menunjukkan perbedaan antara kondisi
yang aman dan tidak aman sehingga proses produksi dapat
dikelola dalam tingkat yang aman. Batas kritis harus mudah
diidentifikasi dan dijaga oleh operator proses produksi. Batas
kritis diusahakan dalam bentuk batas kritis fisik, dan jika tidak
memungkinkan baru mengarah pada kimia atau mikrobiologi.
Beberapa contoh batas kritis fisik : tidak adanya logam, ukuran
mesh ayakan, suhu, waktu, unsur-unsur uji organoleptik.
Contoh batas kritis kimia : pH, Aw, kadar klorin, Alergen, dan
lain-lain.
Penetapan batas kritis dapat dilakukan berdasarkan beberapa
sumber:
1. Data yang sudah dipublikasi (Codex, ICMSF, FDA, DepKes,
Deperindag, dll.)
2. Advis pakar : konsultan, asosiasi penelitian, perusahaan
peralatan, pemasok bahan kimia pembersih, ahli
mikrobiologi, toksikologis, dll.
3. Data eksperimental (eksperimen pabrik, pemeriksaan
mikrobiologis spesifik dari produk dan ingridien).
Rosnah 75
4. Modelling matematik : simulasi komputer terhadap
karakteristik ketahanan hidup dan pertumbuhan dari
bahaya mikrobiologis dalam sistem pangan.
76 Rosnah
pengolahan dan penanganan pada CCP dapat dikendalikan,
pengujian atau pengamatan jadwal terhadap efektifitas suatu
untuk menghasilkan data yang teliti dan dilanjutkan untuk
menjamin bahwa batas kritis yang ditetapkan dapat menjamin
keamanan produk. Monitoring HACCP adalah tindakan
observasi yang dicatat oleh unit usaha untuk melaporkan
keadaan CCP Tujuan monitoring adalah untuk memeriksa
apakah prosedur pengolahan atau penanganan pada CCP sudah
terkendali dan efektif untuk mempertahankan keamanan
produk.
Tindakan pencegahan yang telah dilakukan harus
dimonitoring secara teratur,
teratur, terutama untuk tindakan pencegahan bahaya kritis
(Perdana, 2018).
Ada lima cara monitoring CCP, yaitu :
1. Observasi visual;
2. Evaluasi sensoris;
3. Pengujian fisik;
4. Pengujian kimia;
5. Pengujian mikrobiologi.
Rosnah 77
sehingga diperlukan tindakan koreksi (S. A. Prayitno & S,
2019).
(Astutik Pudjirahaju, 2018) menyatakan tindakan
perbaikan atau tindakan koreksi adalah semua tindakan yang
harus diambil ketika hasil pengawasan pada CCP menunjukkan
kegagalan pengendalian. Tindakan perbaikan harus
dikembangkan untuk masing-masing CCP agar dapat mengatasi
penyimpangan bilamana ada. Tindakan-tindakan ini harus
menjamin bahwa CCP telah terkendali.
Tindakan koreksi dilakukan apabila terjadi
penyimpangan melampaui batas kritis pada suatu CCP. Jenis
tindakan koreksi tergantung pada tingkat risiko yang mungkin
Pada tingkat resiko tinggi, tindakan koreksi dapat berupa
penghentian proses produksi, mengeliminasi produk.
Pada tingkat resiko yang lebih rendah → tindakan
pencegahan berupa penyesuaian
Dalam pelaksanaannya terdapat 2 level tindakan koreksi, yaitu:
1. Tindakan Segera (Immediate Action)
2. Tindakan Pencegahan (preventative Action)
Rosnah 79
secara harian. Peninjauan dilaksanakan secara harian oleh
operator, manager, atau supervisor.
3. Pengujian bahan baku, produk dalam proses dan produk
akhir . Mikroba, residu bahan kimia, kontaminan fisik.
4. Audit. Audit adalah suatu pemeriksaan yang bersifat
independen dan sistematis untuk mengetahui apakah
kegiatan penjaminan mutu dan hasil-hasilnya telah sesuai
dengan yang direncanakan. Audit dapat dilaksanakan
secara: Internal: dilaksanakan oleh orang-orang intern
perusahaan. Eksternal : dilakukan oleh pihak di luar
perusahaan
80 Rosnah
Prinsip Ke-7. Dokumentasi Dan Rekaman Yang Baik
Pembuatan dokumentasi dan rekaman implementasi
HACCP merupakan langkah terakhir dalam implementasi
sistem HACCP. Pemantauan apakah sistem HACCP sudah
diimplementasikan dengan benar dapat dipermudah dengan
dokumentasi yang baik.
Implementasi sistem dokumentasi dan pencatatan yang
pertama kali untuk usaha kecil adalah tantangan dalam
mengadaptasi budaya organisasi yang terbiasa tidak mencatat
menjadi terbiasa untuk melakukan pencatatan. Orang yang
terbiasa dengan rutinitas yang ada akan menimbulkan
tantangan terhadap perubahan budaya apa pun. Langkah awal
penerapan sistem HACCP membutuhkan komitmen dari
pemilik perusahaan yang memiliki pengaruh signifikan
terhadap bisnis agar sistem tersebut dapat diterapkan
(Jumiono et al., 2020).
Untuk mendokumentasikan sistem HACCP secara
efektif, diperlukan prosedur penyimpanan catatan. Dokumen-
dokumen berikut harus ada saat sistem HACCP digunakan:
dokumen yang terkait dengan analisis bahaya, penentuan CCP,
dan penentuan batas kritis. Sementara itu, beberapa contoh
catatan adalah: pemantauan kegiatan CCP, modifikasi sistem
HACCP, penyimpangan dan tindakan korektif.
Prosedur analisis untuk penentuan bahaya, titik kendali
kritis, atau batas kritis merupakan prosedur yang harus
didokumentasi. Sedangkan yang harus dicatat antara lain :
1. Kegiatan pemantauan titik kendali kritis (TKK / CCP).
2. Penyimpangan dan tindakan perbaikan yang terkait.
3. Perubahan pada sistem HACCP.
82 Rosnah
DAFTAR PUSTAKA
Rosnah 83
Junais, I., Brasit, N., & Latief, R. 2018. Kajian Strategi
Pengawasan Dan Pengendalian Mutu Produk Ebi Furay
PT. Bogatama Marinusa. Journal of Fisheries Resources
Utilization Management and Technology Universitas
Diponegoro, 2(5), 15–20.
Kurniawan, W. 2015. Sistem Pemantauan (Monitoring) Pada
Sistem Manajemen Hazard Analysis Critical Control
Point (Studi Kasus Industri Makanan PT X) Wawan
Kurniawan. Seminar Nasional IENACO, November, 282–
288.
Lestari, T. R. P. 2020. Keamanan Pangan Sebagai Salah Satu
Upaya Perlindungan Hak Masyarakat Sebagai
Konsumen. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial,
11(1), 57–72.
https://doi.org/10.46807/aspirasi.v11i1.1523
Mohd Bakri, J., Maarof, A. G., & Norazmir, M. N. 2017. Confusion
determination of critical control point (CCP) via HACCP
decision trees. International Food Research Journal,
24(2), 747–754.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun
2019 Tentang Keamanan Pangan, 2019 Peraturan
Pemerintah Tentang Keamanan Pangan 1 (2019).
Perdana, W. W. 2018. Penerapan GMP Dan Perencanaan
Pelaksanaan HACCP (Hazard Analysis Critical Control
Point) Produk Olahan Pangan Tradisional (Mochi).
Agroscience (Agsci), 8(2), 231.
https://doi.org/10.35194/agsci.v8i2.492
Prayitno, S. A. R. T. 2019. Penerapan 12 Tahapan Hazard
Analysis and Critical Control Point (Haccp) Sebagai
Sistem Keamanan Pangan Pada Produk Udang (Panko
Ebi). Jurnal Teknologi & Industri Hasil Pertanian, 24(2),
100. https://doi.org/10.23960/jtihp.v24i2.100-112
84 Rosnah
Prayitno, S. A., & S, M. B. S. 2019. Penerapan 12 Tahapan Hazard
Analysis and Critical Control Point (Haccp) Sebagai
Sistem Keamanan Pangan Pada Produk Udang (Panko
Ebi). Jurnal Teknologi & Industri Hasil Pertanian, 24(2),
100. https://doi.org/10.23960/jtihp.v24i2.100-112
Sartika, R. S. 2020. Keamanan Pangan Penyelenggaraan
Makanan bagi Pekerja. Jurnal Gizi Kerja Dan
Produktivitas, 1(1), 29–35.
Surahman, D. N., & Ekafitri, R. 2014. Kajian HACCP (Hazard
Analysis and Critical Control Point) Pengolahan Jambu
Biji Di Pilot Plant Sari Buah UPT. B2PTTG – LIPI Subang.
Jurnal Agritech, 34(03), 266.
https://doi.org/10.22146/agritech.9454
Vatria, B. 2022. Review : Penerapan Sistim Hazard Analysis And
Critical Control Point (HACCP) Sebagai Jaminan Mutu.
Manfish Journal, 2(2), 104–113.
Wallace, C. A., Holyoak, L., Powell, S. C., & Dykes, F. C. 2012. Re-
thinking the HACCP team: An investigation into HACCP
team knowledge and decision-making for successful
HACCP development. Food Research International, 47(2),
236–245.
https://doi.org/10.1016/j.foodres.2011.06.033
Yani, A. S., & Safitri, R. W. 2021. Pengaruh Penerapan Good
Manufacturing Practices (GMP) Dan Penyusunan
Sanitasi Standar Operasional Prosedur (SSOP) terhadap
Proses Pengolahan Cumi Beku yang Dimoderasi oleh
Sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
pada PT. Sanjaya Internasiona. Jurnal EBI, 3(1), 19–31.
https://doi.org/10.52061/ebi.v3i1.31
Yuniarti, R., Azlia, W., & Sari, R. A. 2015. Penerapan Sistem
Hazard Analysis Critical Control Point ( Haccp ) Pada
Proses Pembuatan Keripik Tempe. Jurnal Ilmiah Teknik
Industri, 14(167), 86–95.
Rosnah 85
Astutik Pudjirahaju. 2018. Pengawasan Mutu Pangan (Tahun
2017). Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia
Kesehatan Badan Pengembangan Dan Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia Kesehatan.
86 Rosnah
BAB 5
KONSEP KETAHANAN PANGAN
Oleh Sanya Anda Lusiana
5.1 Pendahuluan
Pangan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia
yang harus dipenuhi setiap hari. Isu yang sedang dibahas saat
ini adalah mewujudkan Indonesia sebagai lumbung padi dunia
karena ketika ketahanan pangan sudah kuat maka masyarakat
Indonesia tidak lagi menderita kemiskinan serta sudah dapat
memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Ketahanan pangan
mempunyai ukuran yang cukup luas yang digunakan sebagai
ukuran ketersediaan pangan. Adapun ukuran ini meliputi
waktu (dapat dilakukan pada tingkat individu, rumah tangga,
regional, nasional dan, global), tujuan, dan sosial ekonomi
masyarakat. Ukuran tingkat ketersediaan pangan yang meliputi
tingkat kerusakan tanaman/ternak, rasio stok, kondisi
ketahanan pangan, perkembangan pangan, dan harga
merupakan indikator ketahanan pangan di tingkat regional,
nasional, dan global (Pujiastuti and Haryadi, 2021).
Pangan merupakan kebutuhan primer dan
permintaannya selalu meningkat seiring dengan meningkatnya
jumlah dan kualitas hidup masyarakat. Namun konsep
ketahanan pangan itu bervariasi tergantung perhatian yang
berbeda. Masalah ketahanan pangan yang paling penting
adalah bagaimana cara bangsa atau penguasa mencari
perspektif pembangunan serta pilihan dan strategis dalam
ketahanan pangan. Pada paruh kedua Tahun 1980-an,
ketahanan pangan menjadi "prinsip pengorganisasian" yang
penting dalam pembangunan. Akar kekhawatiran terhadap
ketahanan pangan dapat ditelusuri kembali ke krisis pangan
Sanya Anda Lusiana 87
dunia Tahun 1974 dan lebih dari itu, setidaknya pada Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia pada Tahun 1948, yang mengakui
hak atas pangan sebagai elemen inti dari standar hidup yang
memadai (Mahela and Sutanto, 2006).
Pembangunan suatu negara dikaitkan dengan isu
ketahanan pangan karena menyangkut kebutuhan dasar
manusia serta keadaan politik. Fokus yang ada sekarang tidak
hanya dari swasembada pangan tetapi yang terpenting
bagaimana mencapai ketahanan pangan tingkat rumah tangga
sehingga masyarakat yang rawan pangan menjadi berkurang
(Puspita, 2017). Definisi ketahanan pangan telah berkembang
dari waktu ke waktu sejak pertama pengenalan istilah untuk
konteks kebijakan di awal 1970-an. Dalam tahun-tahun
berikutnya, ketahanan pangan telah dipahami secara luas
sebagai: bertumpu pada empat pilar utama: ketersediaan,
akses, pemanfaatan, dan stabilitas. Sejak krisis pangan 2007–
2008, kerangka empat pilar ini telah menjadi utama di dalam
Komite PBB tentang Dunia Ketahanan Pangan (CFS) dan
Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa
(FAO). Beberapa dekade terakhir juga terlihat kesadaran
meningkat yang mempengaruhi kelaparan dan kekurangan gizi,
termasuk melebarnya ketidaksetaraan sistem pangan yang
ditandai dengan dinamika kekuasaan yang tidak merata dan
memburuknya iklim global dan krisis ekologi. Perkembangan
ini mengajukan pertanyaan penting tentang apakah empat pilar
pendekatan untuk mengkonseptualisasikan ketahanan pangan
cukup menangkap berbagai dimensi yang penting untuk
ketahanan pangan (Clapp et al., 2022).
6.1 Pendahuluan
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2012
mengesahkan Undang-Undang tentang Pangan, UU yang
bernomer 18 tersebut menyebutkan tentang prinsip atau asas
penyelenggaraan pangan di Indonesia harus berdasarkan
kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat,
pemerataan, berkelanjutan, dan keadilan. Prinsip ketahanan
pangan di Tahun 2012 menurut Kementrian Pertanian RI
dirubah menjadi ketahanan pangan dan gizi. Sistem pangan
nasional berdasar pada UU No 18 tahun 2012 dilandasi oleh
keinginan adanya kedaulatan pangan di dalam negeri.
Kedaulatan pangan dapat terjadi jika terciptanya sebuah
kemandirian pangan. Disisi lain, terjadinya pemborosan
pangan yang dilakukan oleh masyarakat seperti seseorang
mengambil makanan dim piringnya dengan porsi banyak,
tetapi hanya di makan sedikit, sisa di piring masih banyak.
Perilaku suka membeli suatu bahan pangan dengan jumlah
yang banyak, tetapi bahan pangan tersebut sering menjamur
atau bahkan busuk karena kadaluarsa atau terlalu lama di
tempat penyimpanan (Kariyasa, 2012). Daya beli masyarakat
dan pengetahuan gizi juga bisa menjadi suatu permasalahan
tersendiri guna menciptakan ketahanan pangan (Suryana,
2014).
2. Pemanfaatan pangan
Kegiatan pemanfaatan pangan antara lain metode
penyimpanan, pengolahan, dan penyajian makanan.
Eko Sutrisno 103
Penggunaan pangan oleh individu atau keluarga atau
rumahtangga guna memenuhi kebutuhan harian sehingga
keluarga dan individu tersebut sehat dan gizinya
berkecukupan. Pemanfaatan air untuk konsumsi yang cukup
serta seseorang yang berkebutuhan khusus seperti orang
hamil, menyusui dan anak-anak di masa pertumbuhan.
e. SDM Pertanian
Saat ini banyak pemuda desa yang keluar dari desa dan
bekerja di luar sektor pertanian. Para pekerja di sektor
pertanian adalah orang tua dan orang muda yang tidak
memiliki keahlian tertentu dan pilihan terakhir adalah
menjadi petani atau buruh tani. Data BPS pada 2018
menunjukkan 885.077 petani yang berusia di bawah 25
tahun, usia 25-34 sebanyak 4,1 juta jiwa, kelompok usia
35-44 tahun sebanyak 8,17 juta jiwa. Kelompok yang
mendominasi profesi petani berada di rentang usia 45-54
tahun, yakni 9,19 juta jiwa. Adapun, petani dari kelompok
usia 55-64 tahun dan di atas 65 tahun masing-masing
sebanyak 6,95 juta jiwa dan 4,19 juta jiwa (Bayu, 2022).
f. Makanan yang terbuang dan menjadi limbah
Proses produksi hingga bahan pangan akan di konsumsi
akan menimbulkan limbah atau sisa yang terbuang di
kenal dengan istilah food loss. Kalau kita menengok TPA
2. Distribusi
a. Akses pangan
Akses atau jalur distribusi bahan pangan di wilayah
Indonesia belum merata. Wilayah atau daerah yang
terpencil dan jauh dari kota membutuhkan biaya yang
lebih mahal dan waktu yang lebih lama, sehingga harga
bahan pangan menjadi lebih mahal. Keadaan ekonomi
masyarakat juga ikut mempengaruhi kemampuan untuk
memperoleh bahan kebutuhan pangan. Bagi warga yang
kurang mampu dan berpenghasilan rendah, maka untuk
memenuhi kebutuhan protein cukupdari tahu dan tempe,
3. Permintaan (Demand)
a. Pertumbuhan penduduk
Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan bahwa laju
pertumbuhan penduduk Indonesia akan mencapai 1,17%
pada tahun 2022, lebih lambat dari tahun sebelumnya
yang mencapai 1,22%. Semakin besar jumlah penduduk,
maka permintaan akan kebutuhan pangan juga akan
meningkat (Khairati, 2016).
b. Meningkatnya IPM
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada
tahun 2021 tumbuh sebesar 0,49%, lebih tinggi dari
tahun sebelumnya yaitu 0,03%, tetapi lebih rendah
dibandingkan tahun 2019 yang tumbuh sebesar 0,74 %.
Naiknya IPM menunjukkan bahwa masyarakat sudah
memiliki pengetahuan dan menyadari pentingnya
makanan bergizi dan sehat. Kondisi tersebut
menyebabkan usia hidup menjadi lebih lama.
Eko Sutrisno 113
Gambar 6.5 : Jumlah Penduduk Indonesia di Pertengahan
Tahun (2015-2022) (Annur, 2022)
c. Gizi kurang
Kasus kurang gizi di wilayah Indonesia cukup banyak,
kondisi tersebut tidak hanya berpengaruh pada
kesehatan, tetapi dampak jangka panjangnya yaitu
adanya berpengaruh buruk pada kualitas hidup dan
produktivitas masyarakat. Jumlah desa/kelurahan di
indonesia yang penduduknya menderita kekurangan gizi
mencapai 12.183 desa (Rizaty, 2022). Dibutuhkan
edukasi dan pemenuhan bahan pangan yang sehat dan
bermutu baik guna mengatasi keadaan kekurangan gizi
tersebut.
d. Keamanan dan mutu pangan
Keadasaran masyarakat akan mutu pangan yang baik
berdampak pada permintaan yang naik. Maka diperlukan
sebuah intervensi dari pemerintah kepada pihak-pihak
121
profesional, diantaranya adalah pelatihan Penerapan Sistem
Keamanan Pangan (HACCP), Intensive Training for Instructor
(ITFI) Pendidikan Profesi Gizi, South East Asian Nutrition
Leadership Program (SEANLP) dan pelatihan lainnya. Di
kampus, Penulis mengampu mata kuliah Pengawasan Mutu
Makanan, Ilmu Pangan, Teknologi Pangan dan Sistem
Penyelenggaraan Makanan Institusi.
122
BIODATA PENULIS
123
BIODATA PENULIS
124
BIODATA PENULIS
125
BIODATA PENULIS
Eko Sutrisno
Dosen di Prodi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Islam
Majapahit
126